Pencarian

Warisan Kitab Pusaka 1

Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka Bagian 1


WARISAN KITAB PUSAKA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Warisan Kitab Pusaka
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Udara pagi yang bening masih terasa sejuknya di
antara desau angin yang bertiup semilir. Ran-ting-
ranting kayu bergoyang-goyang seperti menari bersama kicau burung yang terdengar
satu persatu. Terasa indah dan memberikan suasana tenteram. Sinar mata-
hari yang kemerahan memberi segarnya udara saat ini
di pinggiran sebuah hutan yang penuh dengan pepo-
honan berukuran besar dan kecil.
Tak jauh dari tempat itu, di dekat sebuah bukit ke-
cil, terlihat sebuah pondok yang amat sederhana. Di depannya tengah duduk
seorang laki-laki tua berusia
sekitar enam puluh tahun dan memiliki jenggot pan-
jang. Tubuhnya sedang dibungkus baju hitam yang
agak pudar. Rambutnya pendek dan memakai ikat ke-
pala warna merah. Sambil duduk bersila, bola matanya tajam memperhatikan seorang
pemuda tanggung berusia sekitar lima belas tahun yang tengah menggerak-
gerakkan tubuhnya seperti sedang berlatih ilmu silat di pekarangan depan.
Sebentar-sebentar tampak dia menghela napas
pendek sambil menggeleng pelan. Bibirnya tersungging kecil.
"Anak itu benar-benar keras kepala, dan diam-
diam tanpa sepengetahuanku dia terus berlatih ilmu
silat. Meski gerakannya ngawur, tapi semangatnya
sangat dipuji," gumam orang tua itu.
Orang tua itu kembali memperhatikan dengan sek-
sama. Dari sorot matanya yang tajam bisa diduga
bahwa dia memiliki tingkat tenaga dalam yang tidak
bisa dianggap rendah. Dan sesungguhnya orang tua
yang bernama Ki Ageng Sura ini memang bukan orang
sembarangan. Beliau merupakan salah seorang tokoh
persilatan yang amat disegani karena memiliki kepan-
daian yang tinggi. Ki Ageng Sura termasuk sebagai salah seorang tokoh persilatan
kelas atas yang memiliki gelar Pendekar Langlang Buana.
Pemuda tanggung yang bertubuh tegap itu se-mula
tak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan
orang tua itu. Barulah ketika tubuhnya berputar dia
dapat melihat kehadiran Ki Ageng Sura. Dengan serta
merta dia menghentikan gerakannya dan tersenyum
malu sambil menundukkan kepala dan menjura hor-
mat. "Eyang, maafkan aku...," suaranya halus dan bernada penyesalan.
Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian me-
manggil pemuda itu.
"Jaka Permana, kemarilah kau...."
Dengan perlahan-lahan pemuda itu menghampiri,
dan tetap menundukkan kepala. Dia kembali menjura
hormat setelah tiba di hadapannya.
"Maafkan kelancanganku, Eyang...," katanya lirih.
Ki Ageng Sura tersenyum kembali, kemudian me-
nepuk pundak pemuda tanggung bernama Jaka Per-
mana itu. "Duduklah di dekatku...," katanya seraya mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.
"Eh, ng...," Jaka Permana terlihat ragu.
"Duduklah," lanjut Ki Ageng Sura menegaskan.
'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda itu seraya duduk di atas balai-balai, dan
tetap menundukkan kepala.
"Kau sudah membelah kayu bakar?"
"Sudah, Eyang...."
"Bagus. Kau ingin belajar ilmu silat...?"
"Eh, aku tak berani meminta, Eyang...."
Ki Ageng Sura tersenyum kembali. Tangan kanan-
nya menepuk-nepuk bahu pemuda tanggung itu.
"Sudah berapa lama kau ikut denganku...?"
"Lebih kurang lima tahun lamanya, Eyang..."
"Ya, lima tahun lamanya. Tak terasa waktu bergulir demikian cepat. Kau tumbuh
menjadi seorang pemuda
yang cakap dan cerdas. Aku menyadari akan dendam-
mu terhadap pembunuh kedua orangtua mu. Tapi be-
lajar ilmu silat untuk membalas dendam bisa mem-
pengaruhi pikiranmu ke dalam jurang kejahatan. Dan
bila hal itu terjadi, bukan saja aku yang akan terpukul, tapi tanpa kau sadari
dirimu akan terus terpengaruh oleh hawa nafsumu sendiri," kata orang tua itu
pelan. Jaka Permana diam mendengarkan nasihat orang
tua itu. "Kau mengerti maksudku, kenapa hingga saat ini
aku tak mengajarkan ilmu silat padamu?"
"Mengerti, Eyang...," sahut Jaka Permana lirih.
'Tapi kau tak perlu berkecil hati. Selama di sini aku tahu betul bagaimana
watakmu. Dan lama kuperhati-kan, aku yakin kelak kau akan menjadi seorang yang
mampu membedakan mana yang harus kau kerjakan
dan mana yang harus kau jauhi." Jaka Permana diam tak menyahut. "Aku percaya
padamu, Jaka...," lanjut Ki Ageng Sura.
"Terima kasih, Eyang."
"Nah, mulai pagi ini kau akan mendapat pelajaran langsung dariku," kata Ki Ageng
Sura mantap sambil menepuk pundak pemuda itu.
Jaka Permana mendongakkan kepala dan meman-
dang orang tua itu dengan wajah tak percaya.
"Eyang! Oh, benarkah apa yang kudengar baru-
san..."!" serunya kaget.
Ki Ageng Sura tersenyum sambil mengangguk pe-
lan. 'Terima kasih, Eyang! Terima kasih...!" sahut Jaka Permana seraya membungkukkan
tubuh dan berkali-kali berseru girang mengucapkan terima kasih.
"Sudahlah. Nah, dengarlah kata-kataku. Hari ini kuangkat kau menjadi muridku
yang ketiga setelah
Begara Seta dan Widi Saksana. Dan kau harus mema-
tuhi serta berjanji bahwa kau akan bertindak yang benar dalam mengamalkan
kepandaian yang kau miliki.
Jika kau bertindak salah dan menuruti hawa nafsu
sendiri, maka aku akan datang menghukummu!"
"Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana cepat "Bagus. Nah, man kita mulai
dengan latihan dasar yang pertama...," sahut Ki Ageng Sura seraya turun dari
balai-balai dan melangkah ke pekarangan depan
diikuti Jaka Permana di belakangnya.
*** Jaka Permana berada di samping orang tua itu
saat Ki Ageng Sura memperagakan jurus-jurus dasar
yang dimilikinya, dan memperhatikan dengan seksa-
ma. Sebagian besar dia pernah melihat jurus-jurus itu ketika orang tua itu
mengajarkannya pada kedua muridnya yang terdahulu, meskipun dari jarak yang agak
jauh. Sehingga ketika Ki Ageng Sura memintanya untuk
mengulangi jurus-jurus yang tadi diperagakannya,
maka dengan mudah Jaka Permana mengulanginya.
"Bagus! Kau memang sangat cerdas dan berbakat,
Jaka!" puji Ki Ageng Sura. "Hanya gerakanmu memang masih belum mantap dan
berisi. Tak mengapa karena
ini hanya gerakan-gerakan dasar. Untuk selanjutnya
gerakanmu harus mantap seiring dengan pernapasan
yang teratur untuk mengembangkan tenaga dalam dari
dalam tubuhmu...."
Jaka Permana cepat mengangguk, kemudian kem-
bali memperhatikan dengan seksama ketika Ki Ageng
Sura melakukan gerakan latihan pernapasan yang di-
maksudnya. Hal-hal itu memang bukan pelajaran yang baru ba-
ginya. Dulu ketika Begara Seta dan Widi Saksana ma-
sih berada di tempat ini, dia suka mencuri-curi ketika mereka sedang berlatih
setiap hari. Dan sedikit banyak dia bisa meniru gerakan-gerakan yang mereka
lakukan. Hanya saja dia tak bisa mendengar apa-apa yang
dikatakan Ki Ageng Sura pada mereka karena jaraknya
cukup jauh dan tak terjangkau pendengarannya. Se-
hingga tak mengherankan bila dalam waktu yang san-
gat singkat dia mampu meniru semua gerakan-gerakan
dasar yang diajarkan oleh orang tua itu.
"Bagus, Jaka! Bagus! Aku senang sekali melihat
perkembanganmu. Kau memang sangat serius sekali
dalam mempelajari ilmu silat. Dan tak segan-segan
kukatakan bahwa kau sangat berbakat!" puji Ki Ageng Sura kembali.
'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda tanggung itu tersenyum malu.
"Dengan kecerdasanmu itu kau bisa mengungguli
saudara seperguruanmu yang lain! Bahkan bukan tak
mungkin kau akan belajar dalam waktu singkat!"
"Eyang, aku tak berani berpikir begitu."
"Kenapa?"
Jaka Permana terdiam beberapa saat sambil me-
nundukkan kepala. Namun tak lama dia memandang
orang tua itu. Wajahnya kelihatan muram seperti me-
rasa bersalah. "Kemampuanku sebenarnya biasa-biasa saja,
Eyang...," ucapnya lirih.
"Hm, kenapa kau berkata demikian" Bukankah ti-
dak kau sadari bahwa kau mampu menirukan gera-
kan-gerakan yang kuajarkan dalam waktu singkat?"
tanya Ki Ageng Sura heran.
"Sebenarnya hamba tidak semata-mata bisa meni-
rukan jurus-jurus dasar yang tadi Eyang tunjukkan
dengan cepat. Tapi itu bisa hamba lakukan karena
hamba sering mencuri-curi lihat saat dulu Eyang ser-
ing mengajar Kakang Begara Seta dan Kakang Widi
Saksana." Suara Jaka Permana semakin lama semakin pelan
terdengar. Dan wajahnya semakin tertunduk dengan
perasaan bersalah.
"Maafkan kelancangan hamba, Eyang. Hamba telah
berbuat kesalahan. Tapi hamba rela mendapat huku-
man...," lanjut pemuda tanggung itu.
Ki Ageng Sura memandang murid barunya itu be-
berapa saat lamanya, kemudian tersenyum sambil me-
langkah mendekati. Ditepuknya pundak Jaka Perma-
na, kemudian berkata pelan. Jelas sekali terdengar
oleh pemuda itu.
"Jaka Permana, kuhargai kejujuranmu. Itu salah satu sifat baikmu yang kusadari.
Aku hanya ingin sekadar menguji apakah kau berkata terus terang atau
tidak, sebab aku telah lama mengetahui apa yang kau
katakan tadi."
"Oh, Eyang.... Eyang telah mengetahuinya"!" tanya pemuda itu tak percaya.
Ki Ageng Sura mengangguk, lalu tersenyum kecil.
"Apa yang terjadi di sekitar pondokku ini akan ku-ketahui, meski kau bersembunyi
di balik semak-
semak. Nah, aku juga tahu bahwa jurus-jurus dasar
yang kau mainkan tadi telah lama kau ketahui. Bah-
kan aku mengetahui bahwa kemampuanmu melebihi
itu. Tapi yang tak kumengerti, kenapa tadi kau berlatih
dengan gerakan-gerakan ngawur?" tanya orang tua itu dengan dahi berkerut.
Jaka Permana tersenyum malu.
"Sekali lagi maafkan hamba, Eyang. Hamba tahu
persis saat Eyang terjaga dari tidur. Lalu agar Eyang tak mengetahuinya karena
hamba takut Eyang akan
mengintip, maka hamba berpura-pura berlatih dengan
jurus-jurus yang ngawur."
"Dan kau melatih diri dengan jurus-jurus yang sesungguhnya di dalam hutan sana
saat mencari kayu
bakar dan buah-buahan?" tanya Ki Ageng Sura sambil tersenyum dengan wajah yakin.
Jaka Permana mengangguk pelan, lalu berkata
dengan lirihnya.
"Ampuni hamba, Eyang."
Ki Ageng Sura kembali tersenyum kecil.
"Aku mengerti akan kekerasan hatimu untuk bela-
jar ilmu silat dariku. Kalau dulu aku masih ragu kepadamu, tapi sekarang aku
yakin kau mampu untuk
mengamalkan ilmu silat yang kau miliki di jalan yang benar."
"Hamba tak akan mengecewakan harapan Eyang.
Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana cepat.
"Syukurlah kalau memang demikian. Nah, seka-
rang coba tunjukkan padaku, sampai di mana ke-
mampuanmu saat ini!"
"Baiklah, Eyang. Tolong perbaiki kekurangan ham-ba...," sahut Jaka Permana
girang. Pemuda tanggung itu melompat lima langkah ke
belakang dengan gerakan ringan, kemudian mulai
membuka jurus. Lalu tubuhnya bergerak cepat dan
lincah. Selama Jaka Permana memperlihatkan jurus-jurus
yang telah dikuasainya, Ki Ageng Sura memperhatikan
dengan seksama. Sesekali tampak dia berdecak ka-
gum. Gerakan Jaka Permana gesit dan lincah, seba-
gaimana layaknya gerakan yang dilakukan oleh tokoh
persilatan yang memiliki ilmu silat tangguh. Hanya beberapa kali dan bisa
dihitung dengan jari dia membuat gerakan yang salah, selebihnya betul-betul sama
dengan jurus yang dimilikinya!
Tengah guru dan murid itu berlatih, mendadak
terdengar suara ribut-ribut tak jauh dari tempat mere-ka berada.
*** "Gadis molek dan cantik, kau kira bisa pergi seenak perutmu sendiri" Phuah! Kau
tak akan bisa lepas
begitu saja!" dengus beberapa orang yang membawa senjata tajam di tangan.
Ki Ageng Sura dan Jaka Permana mengerutkan
alis. Seorang gadis cantik memakai baju merah dan
memegang sebatang pedang, tampak tengah dikejar-
kejar oleh segerombolan laki-laki berwajah seram yang berkelakuan kasar. Raut
wajah mereka menyiratkan
hawa nafsu yang menggelegak-gelegak dan siap me-
nerkam gadis itu laksana hewan buas yang telah me-


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nemukan mangsanya.
Gadis itu sendiri tampak bingung. Dia sempat meli-
rik ke arah Ki Ageng Sura dan Jaka Permana, kemu-
dian buru-buru berlari kencang menghampiri kedua-
nya, lalu menjura hormat dengan napas memburu.
"Kisanak, tolonglah aku. Mereka hendak me-
rampok dan memperkosaku! Tolonglah, Kisanak...,"
tubuh gadis itu menggigil ketakutan, dan wajahnya
pucat dengan keringat dingin membasahi sekujur tu-
buhnya. Berkali-kali dia melihat ke arah pengejarnya yang terus memburu dari
belakang. "Itu dia!"
'Tangkap! Jangan biarkan dia lolos...!"
Mendengar suara teriakan-teriakan yang semakin
mendekat, ketakutan gadis itu semakin menjadi-jadi.
Dia menangkap sebelah kaki Ki Ageng Sura, dan me-
meluknya seperti tak ingin melepaskan.
"Kisanak, tolonglah aku...! Oh, mereka... mereka sangat kejam dan buas...!"
"Hei, Nisanak! Lepaskan cengkeramanmu pa-da
kakiku...!" teriak Ki Ageng Sura kaget melihat apa yang dilakukan gadis itu.
'Tidak! Aku tidak akan melepaskannya sebelum
kau bersedia menolongku menghajar mereka!" sentak gadis itu berkeras dan malah
mempererat cekalannya.
Sementara itu para pengejar si gadis telah tiba pula di dekat Ki Ageng Sura.
Mereka memperhatikan langkah dan berbaris rapi dengan sikap mengancam orang
tua itu. Salah seorang yang berbadan besar dan ber-
kumis melintang dan mengenakan rompi hitam se-
hingga terlihat dadanya yang tegap, maju ke depan
dengan sebilah golok besar yang tajam berkilat, ter-
genggam erat di tangan kanannya.
"Orang tua, kalau saja tak memandang bahwa kau
penghuni tempat ini, tentu saja kami tak sudi berbasa-basi denganmu. Kau telah
mencoba me-rampas bu-
ruan kami. Nah, karena memandang bahwa kau me-
mang sudah sepatutnya dihormati, berikan gadis itu
dan kami akan segera berlalu dari tempatmu ini!" suara orang itu terdengar keras
dan serak. Selamanya Ki Ageng Sura memang tak suka meli-
hat kelakuan orang seperti gerombolan itu. Merampok, membunuh, dan memperkosa
wanita-wanita yang mereka temui. Dan meskipun gadis itu tak memohonkan
pertolongan padanya, dia pun akan senang hati mem-
bantu. Namun ada sedikit yang agak mengherankan
baginya sejak tadi. Bagaimana mungkin mereka bisa
nyasar ke tempat ini" Lembah ini cukup jauh dari perkampungan yang terdekat, dan
jauh pula dari jalan
umum yang biasa dilewati orang. Dan selama ini, jarang sekali ada yang sampai
tersasar ke tempatnya.
Bahkan boleh disebut, tidak pernah. Karena selain
agak tersembunyi, tempat ini pun agak sukar dilalui
karena banyaknya semak belukar yang berduri meng-
halangi perjalanan. Untuk seseorang yang tengah me-
larikan diri dari kejaran orang lain, seharusnya dia berlari ke perkampungan
yang terdekat, atau berlari
menuju jalan utama yang dilalui orang-orang.
Ki Ageng Sura termenung sesaat lamanya sambil
memperhatikan gerombolan yang berjumlah lebih ku-
rang lima belas orang itu dengan seksama. Sebenarnya pikiran tadi bukan berasal
dari dirinya, melainkan Ja-ka Permana yang berbisik pelan mengutarakan kecuri-
gaannya. Itulah yang membuat orang tua itu sedikit
bimbang ketika si gadis menubruk dan mencengkeram
sebelah kakinya. Tapi mendengar kata-kata salah seo-
rang dari mereka yang sinis dan seperti memandang
rendah terhadapnya, Ki Ageng Sura sudah merasa tak
senang. Dia memandang ke arah gadis itu, kemudian
berkata pelan. 'Tenanglah, Anak Manis. Kau berdiri di belakang-
ku. Biar kuhajar bajingan-bajingan ini...," tunjuknya ke belakang Jaka Permana.
Mendengar kata-kata si orang tua, gadis itu berlari
kecil dan bersembunyi di punggung Jaka Permana.
Pemuda tanggung itu menjadi risih sendiri jadinya. Dia melirik sejenak ke arah
gurunya, kemudian berusaha
tenang memperhatikan ketika Ki Ageng Sura melang-
kah mendekati gerombolan itu perlahan-lahan.
"Kalian pergilah, dan urusan ini selesai sampai di sini. Gadis ini ada dalam
perlindunganku, dan tak seorang pun boleh mengganggunya!" sahut Ki Ageng Sura
tegas dengan suara keras.
"Keparat! Tua bangka tak tahu diri. Jangan se-
enaknya mulutmu bicara seperti itu. Tahukah kau se-
dang berhadapan dengan siapa saat ini"!" bentak laki-taki bertubuh besar itu
dengan mata melotot garang.
"Perlu apa aku mengetahui siapa kalian" Yang jelas, orang-orang seperti kalian
memang sudah sepa-
tutnya mendapat hajaran," sahut Ki Ageng Sura dengan nada dingin.
"Kurang ajar! Berani kau bicara begitu pada Ge-
rombolan Iblis Maut, maka kau harus berani pula me-
nanggung akibatnya!" dengus laki-laki kasar itu sambil membabatkan goloknya ke
leher orang tua di depannya
dengan gemas. "Uts...!"
Ki Ageng Sura mengelak ke samping sambil meren-
dahkan tubuh. Kepalanya tertunduk ketika sebelah
kakinya terayun menghantam pergelangan tangan la-
wan dengan cepat.
'Duk! "Uhhh...!"
Laki-laki itu mengeluh kesakitan. Pergelangan tan-
gan kanannya sakit sekali, dan kemungkinan tulang-
nya retak akibat tendangan ujung kaki orang tua itu.
Masih untung golok besar dalam genggamannya tak
terpental lagi. Kalau saja Ki Ageng Sura mengerahkan sedikit lagi tenaga dalam
yang disalurkan ke ujung kakinya, niscaya pergelangan tangannya hancur tak ber-
bentuk. Menyadari keadaan itu, dia tak berani gegabah.
Maka dengan wajah gusar, dia berteriak pada kawan-
kawannya. "Hajar si keparat ini, dan jangan biarkan hidup...!"
*** 2 Dengan serta merta mereka mengurung Ki Ageng
Sura. Melihat keadaan itu Jaka Permana merasa ber-
kewajiban membantu gurunya. Namun sebelum pe-
muda tanggung itu bergerak membantu, Ki Ageng Sura
telah berkata dengan suara tegas kepadanya.
"Jaka, kau lindungi gadis itu. Dia adalah tanggung jawabmu untuk saat ini!"
"Tapi, Eyang...."
"Jangan membantah! Turuti apa kataku!" sentak Ki Ageng Sura.
"Eh, kalau demikian, baiklah...," sahut pemuda tanggung itu tak punya pilihan
lain. Jaka Permana bersiap ketika dua orang lawan
mendekatinya dengan senjata terhunus. Dia sedikit
gentar karena selama hidupnya belum pernah berkela-
hi. Juga timbul keraguan dalam hatinya, apakah
mampu menghadapi kedua orang lawannya itu"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Dengan teriakan keras, mereka menyerbu guru dan
murid itu berbarengan. Ki Ageng Sura tersenyum kecil ketika tubuhnya melompat ke
samping dengan sebelah
kaki ditekuk, lalu diayunkan dengan keras ke perut
salah seorang lawan.
Begkh! "Akh!"
"Yeaaa...!"
Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal dan terus bergulingan. Dua orang kawannya
dengan garang mengayunkan senjata di tangan mereka
masing-masing ke arah leher dan perut orang tua itu.
Namun dengan gesit tubuh Ki Ageng Sura meliuk-liuk
menghindari sambil melompat ke atas. Pada saat yang
bersamaan, laki-laki bertubuh besar yang pertama
berhadapan dengannya telah siap menghadang dengan
sabetan goloknya yang berisi tenaga dalam kuat. Cuitan angin serangannya
terdengar tajam dengan kema-
rahan yang luar biasa.
Wukkk! Plak! Namun Ki Ageng Sura bukanlah tokoh sembaran-
gan yang tak mengerti gelagat. Dari awal serangan bersama itu dia sudah
memperhitungkan bahwa lawan
akan mengincarnya begitu ada kesempatan. Untuk itu
dia telah mempersiapkan diri sebelumnya. Sehingga
begitu golok lawan hendak menebas lehernya, buru-
buru dia menundukkan kepala. Tangan kirinya kem-
bali menghantam pergelangan tangan lawan dengan
mengikuti ayunan golok yang luput dari sasaran. Na-
mun lawan pun agaknya telah memperhitungkan hal
itu, sehingga mendahului dengan tendangan kaki ka-
nannya untuk memapaki pukulan si orang tua. Tapi
yang terjadi justru laki-laki bertubuh besar itu yang mengeluh kesakitan dengan
wajah berkerut ketika tulang kering kakinya dihantam tangan Ki Ageng Sura.
Dengan gerakan cepat yang tiada terduga, tubuh orang tua itu berputar seraya
mengibaskan kaki kanannya
ke perut lawan.
Begkh! "Aaakh...!"
Lawannya terjungkal sambil menjerit keras. Dari
mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit, namun isi perutnya terasa
sakit seperti diaduk-aduk.
Dilihatnya orang tua itu dengan leluasa menghajar
kawan-kawannya yang lain.
Sementara itu beberapa kali Jaka Permana nyaris
kena dilukai oleh kedua lawannya. Keringat dingin
mengucur deras di tubuhnya, dan wajahnya pucat pasi
dengan napas yang memburu. Namun demikian den-
gan sekuat tenaga dia berusaha terus mengelak dari
serangan-serangan lawan yang gencar.
"Mampus...!"
Crak! "Uhhh...!"
Salah seorang lawannya dengan gemas membabat
tubuhnya yang terjungkal akibat menghindari seran-
gan bertubi-tubi lawannya yang seorang lagi. Jaka
Permana bergulingan sehingga senjata lawan mengha-
jar tanah. Tapi pada saat itu juga lawan yang seorang lagi telah siap
menghadangnya. "Yeaaa...!"
Jaka Permana terkesiap. Tak ada lagi jalan ke-luar
baginya. Kalaupun dia berusaha mengelak, senjata la-
wan akan lebih cepat lagi menebas tubuhnya. Kalau-
pun pasrah dan diam, cuma sedikit memperpanjang
nyawanya. "Hup!"
Duk! "Aaakh...!"
Pada saat kritis itu Ki Ageng Sura bergerak cepat
membantu muridnya sambil menendang cepat kedua
tubuh lawan dengan ujung kaki kanannya.
Kedua orang itu memekik kesakitan. Tubuh mere-
ka terjungkal sejauh dua tombak dengan darah segar
meleleh dari mulutnya. Tapi agaknya kawan-kawannya
yang lain bukan menjadi takut lalu gentar dan melarikan diri setelah melihat
sepak terjang orang tua itu.
Mereka malah menyerangnya semakin kalap.
"Orang tua bau tanah, mampus kau...!"
'Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Ki Ageng Sura sebenarnya tak terlalu kerepotan
untuk meladeni mereka. Meski sekaligus melindungi
Jaka Permana. Tapi dia juga semula tak sampai hati
untuk membunuh mereka. Tapi ketika melihat bahwa
mereka sama sekali tak mau mengerti akan niat baik-
nya itu dan bukannya sadar, malah melakukan seran-
gan-serangan gencar dengan penuh nafsu. Seolah-olah
mereka menganggapnya sebagai musuh nomor satu
yang harus dilenyapkan, kesabaran orang tua itu pun
mulai habis dibuatnya.
"Hm, agaknya kalian tak bisa dihadapi dengan cara baik. Baiklah. Kalian akan
menerima apa yang kalian
inginkan!" dengus Ki Ageng Sura geram.
*** Baru saja orang tua itu akan melompat menyerang
lawan ketika beberapa buah senjata rahasia melayang
ke arahnya. Ki Ageng Sura terkejut bukan main. Tu-
buhnya meliuk-liuk menghindari serangan yang da-
tangnya bertubi-tubi itu. Namun bersamaan dengan
itu, kawanan tadi serentak menyerangnya seperti
mendapat peluang emas.
Ki Ageng Sura bukanlah tokoh yang dapat diang-
gap enteng. Namun mendapat serangan gelap bertubi-
tubi, lalu disusul dengan keroyokan yang begitu ba-
nyak, mau tidak mau dia sedikit kerepotan meski be-
lum terlalu terdesak.
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
Dalam pada itulah Ki Ageng Sura terkejut bu-kan
main ketika merasakan satu sambaran kuat dari arah
belakang. Dia membungkukkan tubuh dan terus me-
lompat ke samping.
Namun sambaran angin kencang itu seperti mengi-
kuti ke mana saja tubuhnya bergerak Ki Ageng Sura
tak punya pilihan selain memapaki senjata lawan yang belum lagi diketahui
bentuknya itu. Namun dari angin serangannya, dia bisa menduga bahwa paling tidak
si pemilik senjata adalah tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Ki Ageng Sura mencabut
pedang pendek dan tipis dari balik bajunya dan lang-
sung berbalik menyambar senjata gelap yang tengah
terarah kepadanya.


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wut! Wut! Ctarrr! "Akh...!"
Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika pan-
dangannya menyambar tempat kosong. Pada-hal dia
yakin betul bahwa dengan kecepatan yang tadi dilaku-
kannya, maka serangan gelap itu akan mampu dippa-
kinya. Tapi siapa nyana ternyata senjata gelap itu
mampu menghindari serangannya. Bahkan Ki Ageng
Sura tersentak kaget ketika sebuah ujung cambuk
mendera menghantam kulit dadanya. Masih untung
dia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun tak
urung kulit dadanya terluka. Ki Ageng Sura mengeluh
kesakitan, dan terus melompat ke belakang sambil
berputar beberapa kali.
'Yeaaa...!"
"Uts!"
Baru saja ujung kakinya menyentuh tanah, saat
itu juga kembali melayang senjata rahasia berupa bintang berwarna keperakan
bertubi-tubi. Ki Ageng Sura
kembali melompat sambil mengayunkan pedangnya.
Trang! Trang! Rrrrt! "Naik..!"
Orang tua itu kembali terkejut. Seutas tambang
sebesar telunjuk melibat tubuhnya dengan kuat sekali.
Kemudian dengan sentakan keras, tubuhnya seperti
ditarik ke atas dengan kuat Ki Ageng Sura berusaha
menahan sambil mengerahkan tenaganya. Tubuhnya
berbalik dan kini jelas terlihat siapa penyerang gelap-nya itu.
"Kau..."!"
"Ya, aku. Kau kira siapa yang mampu melaku-
kannya...?" sahut gadis yang tadi berusaha dilin-dunginya sambil tersenyum kecil
mengejek. Bukan main jengkel dan marahnya Ki Ageng Sura
melihat bahwa dirinya telah tertipu mentah-mentah.
Dengan geram dia berusaha melepaskan diri dari beli-
tan tambang itu dan menyentak lawan agar terjungkal.
Namun alangkah kagetnya ketika dirasakannya bahwa
semakin kuat dia mengerahkan tenaga untuk mele-
paskan diri, maka semakin kuat pula tambang itu
membelit tubuhnya seperti seekor ular yang hendak
meremukkan tulang-belulangnya.
"Wanita iblis! Ternyata kau yang memiliki Tambang Setan ini!" desis Ki Ageng
Sura geram. "Hik hik hik...! Tua bangka tolol, syukur akhirnya kau tabu siapa diriku...!"
sahut gadis itu dengan tertawa nyaring.
Sementara itu melihat gurunya telah diringkus oleh
gadis licik yang justru tengah mereka tolong, Jaka
Permana marah bukan main. Dia menerjang mereka
dengan kalap. "Pengecut-pengecut hina, kuhabisi kalian!
Yeaaa...!"
"Phuih! Bocah tak tahu diri. Biar kuringkus dia, dan kalau perlu dicincang!"
geram salah seorang dari kawanan itu seraya maju memapaki serangan Jaka
Permana dengan tangan kosong.
Plak! Bet! Melihat yang menghadapinya hanya seorang, Jaka
Permana merasa mampu melumpuhkan orang itu.
Ujung kaki kanannya menyodok ke arah leher, namun
dengan gerakan manis lawan melompat ke belakang
sambil berjumpalitan. Jaka Permana mengirim seran-
gan susulan dengan mengayunkan kepalan tangan ki-
rinya ke arah dada lawan.
"He he he...! Kau kira bisa memperdayaiku dengan kemampuanmu yang secuil itu,
heh"!" ejek lawan
sambil menahan kepalan tangan Jaka Permana den-
gan telapak tangan kanannya.
Pemuda tanggung itu terkejut Kepalan tangan-nya
seperti menghantam benda keras. Belum lagi habis ra-
sa kagetnya, mendadak satu hantaman keras mengha-
jar perutnya. Jaka Permana menjerit keras, ketika tubuhnya terjungkal dengan
darah kental meleleh dari
bibirnya. Isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk dan
sakit sekali. Isi kepalanya berat dan sulit digerakkan, serta pandangannya mulai
mengabur. Namun dengan
susah payah dia berusaha bangkit.
Duk! "Aaakh...!"
Jaka Permana menjerit keras. Tubuhnya kembali
terjungkal beberapa langkah ketika satu tendangan keras menghantam dadanya.
Pandangannya semakin
mengabur dan berkunang-kunang dengan rasa sakit
yang menyesakkan dada.
"Jahanam!" Ki Ageng Sura menggeram. Pedangnya terayun hendak memapas tambang
yang membelenggu
dirinya. Tapi saat itu juga si gadis menghantamnya
dengan satu pukulan jarak jauh yang berhawa panas
ke arahnya. "Jangan coba-coba, Orang Tua Dungu! Kau akan
mampus dengan sendirinya!" dengus gadis itu dingin.
Ki Ageng Sura terpaksa membatalkan serangan
dan berusaha menghindari serangan lawan. Tapi ber-
samaan dengan itu pun si gadis menyentak tambang-
nya hingga tubuh Ki Ageng Sura nyaris terjerembab ke depan.
"Keparat! Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Pe-rempuan Iblis"!" geram Ki Ageng
Sura dengan wajah merah padam menahan perasaan marah dan malu.
Gadis itu tersenyum halus, kemudian memberi
isyarat agar orang yang menghajar Jaka Permana
menghentikan perbuatannya, kemudian dia kembali
menatap ke arah Ki Ageng Sura.
*** "Kau mengerti apa yang kuinginkan, Ki Ageng Su-
ra...!" dingin terdengar nada suara gadis itu.
"Huh, Wanita Iblis! Sampai kapan pun kau tak
akan mendapatkan apa yang kau inginkan!" dengus Ki Ageng Sura tegas.
"Begitu?" sahut gadis itu dengan nada mengejek.
"Aku ingin melihat sampai di mana daya tahan tubuhmu menghadapi Tambang Setan
ini...." "Huh, lakukanlah sesukamu. Tapi jangan harap
aku menyerahkan apa yang kau inginkan!"
Gadis itu tertawa nyaring. Bola matanya yang ben-
ing menatap orang tua itu dengan bibir tersungging
mengejek. "Kau pikir aku begitu bodoh, heh" Tak ada gu-
nanya menyiksamu, kalau memang kau telah bung-
kam. Tapi bagaimana kalau muridmu yang akan kupa-
tahkan satu-persatu anggota tubuhnya di hadapan-
mu" Kau akan melihat pertunjukan yang menyenang-
kan," kata gadis itu sambil menyeringai kecil dan
memberi isyarat pada salah seorang gerombolan yang
berada di tempat itu untuk menyeret Jaka Permana ke
hadapannya. Pemuda tanggung yang sekujur tubuhnya terasa
sakit dan linu itu tak mampu melawan sedikit pun. Dia hanya bisa pasrah ketika
tubuhnya diseret ke depan
gadis itu. "Kau lihat, Orang Tua! Aku akan membuat murid-
mu ini mati perlahan-lahan dengan cara yang menge-
naskan...!" dengus gadis itu sambil menekan telapak kaki kirinya ke perut Jaka
Permana. "Aaakh...!"
Jaka Permana menjerit kesakitan ketika telapak
kaki wanita itu mulai menekan kuat. Tubuhnya men-
gejang dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit
yang hebat. Ki Ageng Sura sendiri menahan napas panjang
sambil memejamkan mata. Hatinya marah bukan
main, namun dia berusaha menekan perasaan itu.
Percuma saja kalau dia berontak sebab tenaga dalam
wanita itu berada di bawahnya. Lagi pula, siapa yang tak kenal dengan wanita
itu" Tambang Setan itu sebagai bukti bahwa wanita itu tak lain dari Peri Tambang
Setan Ular! Namun ada hal yang membuatnya tak habis pikir,
Bagaimana mungkin wanita itu masih begitu belia"
Padahal setahunya, tokoh legendaris yang kepan-
daiannya amat tinggi itu telah berusia lanjut ketika dia masih berusia muda.
Kalau sekarang tentu usianya telah semakin lanjut usia. Ataukah dia memiliki
ilmu yang membuatnya awet muda" Atau barangkali ini
muridnya" "Jangan coba-coba berbuat licik padaku! Lekas berikan jawabanmu. Berikan kitab
itu atau muridmu
akan mampus dalam keadaan tersiksa di hadapanmu
sendiri!" dengus wanita itu memperingatkan.
Ki Ageng Sura menghela napas pendek Wanita ini
memang tak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi tam-
bang mautnya itu. Sedikit saja dia mengerahkan tena-
ga untuk melepaskan diri, maka bagaikan bernyawa,
tambang itu melilitnya semakin kuat dan membuatnya
sulit bernapas. Sia-sia saja dia berusaha melepaskan diri, sementara nyawa Jaka
Permana sendiri terancam.
"Lepaskan dia, sebab dia tak ada sangkut-pautnya denganku...," sahut Ki Ageng
Sura dengan sorot mata tajam.
"Hi hi hi...! Kau pikir aku begitu bodoh untuk melepaskannya" Dia merupakan
jaminan bagiku jika kau
berbuat macam-macam!" sinis nada suara gadis itu dengan senyum mengejek.
"Bukankah kau menginginkan kedua kitab pusaka
itu...?" "Syukur kau mengetahuinya. Nah, berikan kedua
kitab itu, maka kalian berdua akan kulepaskan."
Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian berkata
pelan dengan suara mengejek.
"Kau telah membelenggu aku, dan siapa yang tak
mengetahui kehebatan tambang ini. Tapi dengan me-
nyandera muridku yang tak becus apa-apa, kau hanya
mempermalukan dirimu sendiri. Lepaskan dia, maka
kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan..."
"Eyang, aku tak tahu apa yang mereka ingin-kan!
Tapi apa pun itu, jangan berikan! Eyang tak boleh menyerah begitu saja kepada
para pengecut licik ini!" teriak Jaka Permana gusar.
"Bocah goblok! Bicara apa kau..."! Hih!"
Wanita itu menggeram kecil, kemudian menekan
sedikit telapak kakinya yang masih belum bergeser da-ri perut pemuda itu.
Jaka Permana terpekik keras menahan sakit!
"Nisanak, lepaskan dia. Maka akan kuberikan apa yang kau inginkan!" teriak Ki
Ageng Sura dengan suara keras.
"Hik hik hik...! Ternyata kau lebih sayang pada murid goblokmu ini ketimbang
kedua kitab ilmu silat yang hebat itu. Baiklah, aku akan melepaskannya. Nah,
sekarang berikan kedua kitab itu padaku!" kata wanita itu sambil menarik telapak
kakinya yang tadi meng-himpit tubuh Jaka Permana, kemudian memandang ke
arah Ki Ageng Sura dengan tersenyum sinis.
"Aku tahu kekejamanmu, Wanita Iblis. Kau tentu
tak akan membiarkanku hidup setelah mendapatkan
kedua kitab itu. Aku menyadari hal itu. Tapi biarkan muridku pergi dari tempat
ini. Nyawa muridku ditukar dengan kedua kitab itu rasanya sudah lebih dari
cukup!" ujar Ki Ageng Sura.
"Tidak, Eyang! Aku tidak akan membiarkanmu di
sini seorang diri! Aku akan selalu menyertai-mu...!" teriak Jaka Permana sambil
berusaha berdiri dan berja-
lan terhuyung-huyung mendekati orang tua itu.
"Jaka, seorang murid harus patuh pada perintah
gurunya. Dan kata-kataku tadi merupakan suatu pe-
rintah bagimu! Pergilah kau, dan pulanglah ke kam-
pung halamanmu. Orangtua mu pasti telah menung-
gu-nunggu. Hanya ingat pesanku! Katakan pada ab-
ang-abangmu untuk beternak kuda dengan baik. Dan
juga sampaikan pesanku pada mereka bahwa kedua
kuda pemberianku itu hendaknya diserahkan padamu
agar kau bisa mengurus dan membuatnya berkembang
biak. Dengan demikian hidupmu akan lebih terjamin.
Tapi sebaiknya kuda betina berbulu hitam yang liar itu bunuh saja, sedangkan
kuda jantan putih yang gagah
perkasa, kau rawat baik-baik Carikan betina lain yang lebih sepadan...," kata Ki
Ageng Sura. "Tapi, Eyang...," dahi Jaka Permana berkerut den-
gan wajah heran.
"Jangan membantah, Tolol! Kerjakan saja apa yang kukatakan! Nah, pergilah cepat
dari sini!"
"Eyang...," suara Jaka Permana tercekat di kerong-kongan. Dia masih belum
beranjak. Namun ketika Ki
Ageng Sura kembali membentak garang, barulah dia
bangkit perlahan-lahan meninggalkan tempat itu sam-
bil sesekali menoleh ke arah guru-nya.
Tapi baru saja beranjak kira-kira lima langkah,
kawanan itu telah mengepungnya. Si gadis yang agak-
nya bertindak sebagai pimpinan itu terkekeh-kekeh.
"Hi hi hi...! Kau kira begitu mudah aku tertipu, ya"
Tak seorang pun di antara kalian yang boleh pergi!"
*** 3 "Hm, jadi kau tak menginginkan kedua kitab itu?"
tanya Ki Ageng Sura sinis.
"Siapa bilang" Aku menginginkan kedua kitab itu, dan juga kedua nyawa kalian!"
sahut gadis itu tandas.
"Kau boleh membunuh kami, tapi jangan harap
kedua kitab itu bisa kau temukan!" sahut Ki Ageng Su-ra mengancam.
"Hi hi hi...! Ingin kulihat, sampai di mana kekerasan kepalamu setelah melihat
bocah ini sekarat me-
nemui ajalnya di hadapanmu!" dengus gadis itu sambil tersenyum mengejek.
Setelah berkata demikian dia memberi isyarat pada
bocah itu untuk mendekat sambil menggerak-gerakkan
telunjuknya. "Yeaaa...!"
"Hih!"
Melihat kesempatan itu, Ki Ageng Sura mengerah-
kan segenap kemampuannya untuk melepaskan diri
dari belitan tambang lawan dan menyentaknya dengan
kuat. Gadis itu terkejut untuk beberapa saat. namun saat itu juga dia menggeram


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menarik tambangnya
kuat-kuat. "Hup!"
Ki Ageng Sura menyadari adanya tenaga kuat yang
menarik dirinya. Dia tak berusaha melawan, malah
mengikuti sentakan itu sambil mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuh.
"Hiyaaa...!"
Plak! Wut! Wut! Ki Ageng Sura berteriak nyaring sambil mengayun-
kan pedangnya menyambar leher lawan. Namun den-
gan gerakan manis, gadis itu mengelak ke belakang
sambil merendahkan tubuh. Kaki kanannya dengan
cepat menyambar pergelangan tangan orang tua itu.
Bukan main kagetnya Ki Ageng Sura melihat kecepa-
tan gadis itu bergerak. Dia mengeluh kesakitan ketika pergelangan tangannya
berderak. Tulangnya mungkin
patah, dan genggamannya pada pedangnya melemah
sehingga dengan sekali kibas saja, senjatanya terpental jatuh. Namun begitu dia
masih sempat mengayunkan
tendangan keras ke dada lawan.
Tapi gadis itu ternyata lebih gesit lagi melompat ke atas untuk menghindari
tendangan lawan. Tubuhnya
berjumpalitan sambil membuat putaran beberapa kali.
Kemudian terdengar dia berteriak lantang.
'Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Desss! Tubuh Ki Ageng Sura tersentak bagai mengikuti
pusaran angin kencang yang membuatnya terseret
tanpa mampu menahan atau mengendalikan diri. Be-
lum lagi dia sempat menguasai diri, mendadak satu
hantaman keras mendarat di tubuhnya. Ki Ageng Sura
menjerit keras. Isi tubuhnya terasa remuk bagai dihantam godam yang beratnya
puluhan kati. "Eyaaang...!" Jaka Permana terkejut dan berlari cepat sambil menahan sakit untuk
mendapati orang tua
itu. "Jaka, cepat kau tinggalkan tempat ini! Cepaaat..!"
teriak Ki Ageng Sura.
'Tidak, Eyang! Aku tidak akan meninggalkan-mu
seorang diri di sini!"
"Anak goblok! Ayo, selamatkan dirimu karena ma-
sih ada yang harus kau kerjakan untuk menyampai-
kan pesanku tadi!"
'Tapi, Eyang...."
"Cepat tinggalkan aku... aaakh!" Ki Ageng Sura tak mampu melanjutkan kata-
katanya ketika tubuhnya
melayang ke atas dan disusul dengan se-sosok tubuh
melesat memapaki.
Plak! Desss! "Aaa...!"
Tubuh orang tua itu terjerembab tak berdaya.
Dari mulutnya keluar darah kental. Gadis itu ter-
senyum sambil menarik tambang yang masih melilit di
tubuh Ki Ageng Sura.
"Jangan biarkan bocah itu pergi! Bunuh dia...!" se-ru gadis itu dingin.
"Tidak! Jaka, cepat tinggalkan tempat ini. Ce-
paaat..!" teriak Ki Ageng Sura gusar.
Orang tua itu berusaha bangkit untuk menolong
muridnya, namun dengan sekali sentak, tubuhnya
kembali terjerembab. Gadis itu mendengus dingin. Tapi Ki Ageng Sura tak mau
menyerah begitu saja. Tangan-
nya bergetar meraup debu dan melemparkannya ke
muka gadis itu dengan sekuat tenaga.
"Gadis iblis, rasakan olehmu...!"
"Keparat! Hih...!"
Rrrt! Dengan cepat gadis itu mengayunkan tangan kiri
untuk melindungi wajahnya. Perbuatan orang tua itu
telah membuat hatinya gusar bukan main. Dengan ge-
ram ditariknya tambang itu sehingga membuat tubuh
Ki Ageng Sura terangkat ke atas. Kemudian dengan
gemas tubuh ramping gadis itu telah mengapung di
udara sambil mengeluarkan lengkingan keras.
"Yeaaa...!"
Plak! Begkh! "Aaa...!"
Ki Ageng Sura bukannya tak menyadari kemarahan
gadis itu. Dia berusaha menahan agar tubuhnya tak
terangkat, namun tenaga yang dikerahkan gadis itu
untuk menyentak dirinya sungguh luar biasa. Bahkan
dia sendiri masih berusaha melindungi diri ketika gadis itu bermaksud
menghajarnya. Tapi akhirnya Ki
Ageng Sura terpaksa mengeluh pelan ketika tulang
tangannya remuk akibat benturan dengan tangan ha-
lus si gadis. Lalu dengan kecepatan yang sulit diduga, tiba-tiba saja tubuhnya
terpental jauh sambil merasakan sakit yang bukan kepalang.
Jaka Permana yang saat itu tengah berusaha mele-
paskan diri dari kejaran anggota kawanan itu sempat terkesiap dan menoleh ke
belakang. Wajahnya tampak
muram dan dadanya terasa sakit menahan perasaan
ngeri. Tapi bukan hanya karena itu, melainkan pera-
saannya yang lebih terasa sakit untuk saat ini. Dia tak mampu berbuat apa-apa
melihat gurunya tersiksa oleh
lawan-lawannya. Apa yang dapat dilakukannya sebagai
balas budi terhadap orang yang telah menyelamatkan
hidupnya" Menyelamatkan diri sendiri"
*** Hampir saja pemuda itu berbalik dan hendak
membantu gurunya kalau dia tak terkejut mendengar
teriakan lawan-lawannya yang akan meringkusnya.
Jaka Permana terkejut, dengan tiba-tiba dia kembali
berlari menyelamatkan diri sambil menerobos hutan
lebat di depan matanya. Kakinya terus berlari tanpa
tujuan. Yang ada di benaknya saat ini adalah menye-
lamatkan diri dan berlari sejauh-jauhnya sampai me-
reka tak bisa menemukannya.
"Keparat! Kencang juga larinya bocah itu!" dengus salah seorang di antara
kawanan itu geram.
"Padahal dia dalam keadaan terluka dalam!" timpal kawannya.
"Jangan banyak ribut! lebih baik kita kejar terus.
Dia tengah terluka, tentu tak bisa berlari jauh!" teriak yang seorang lagi
memberi perintah pada yang lainnya.
"Sebaiknya kita berpencar. Kalian dari sebelah kiri, kelompok ini terus dari
arah ini, sementara kami mengejarnya ke kanan!" cetus seseorang memberi saran.
"Bagus! Itu saran yang baik! Kami berangkat sekarang!" sahut salah seorang yang
mewakili ke-lompok tengah.
Tak lama kemudian kelompok bagian kiri telah ter-
bentuk dan langsung melanjutkan pengejaran. Kelom-
pok sebelah kanan kembali menyusul tak berapa lama
kemudian. Sementara itu dengan napas yang semakin tersen-
gal-sengal, Jaka Permana terus berlari sambil sesekali melirik ke belakang
dengan wajah pucat dan berkerin-gat seperti hendak memastikan bahwa para
pengejar- nya tak berhasil menemukan dirinya. Namun meski
tak terlihat tanda-tanda bahwa mereka telah menemu-
kannya, hatinya tetap yakin seolah derap langkah me-
reka begitu dekat terdengar oleh telinganya.
Duk! "Aduuuh...!" Jaka Permana menjerit kesakitan ketika kaki kanannya tersandung
sebuah akar. Tubuh-
nya terjerembab ke depan dan terus bergulingan ke
bawah lembah yang tak begitu curam.
Tubuhnya baru berhenti bergulir ketika tersandung
sebuah batu besar yang menonjol ke permukaan. Pe-
muda tanggung itu bersungut-sungut dengan wajah
berkerut menahan kesal dan rasa sakit. Tubuhnya le-
mas sekali, dan rasanya tak kuat untuk diajak berdiri.
Apalagi untuk berlari. Tapi ketika memandang ke sekeliling, debaran jantungnya
semakin kencang. Dia telah salah mengambil jalan. Seharusnya terus berlari ke
dalam hutan yang jarang dimasuki orang, namun lang-
kah kakinya malah membawanya ke tempat terbuka.
Dengan begitu kehadirannya akan mudah diketahui
mereka. Mengingat hal itu dia berusaha bangkit dan me-
langkah dengan terhuyung-huyung. Baru saja kakinya
menapak lima langkah, tubuhnya kembali terjungkal
lunglai. Dari mulutnya keluar keluh kesakitan. Pan-
dangannya mulai berkunang-kunang, dan rasa sakit
yang dideritanya semakin tak kuat untuk ditahannya.
Samar-samar terdengar teriakan-teriakan beberapa
orang. Dari nada suaranya dia bisa menduga bahwa
mereka kelihatan begitu girang menemukannya, dan
dia langsung menebak bahwa mereka tak lain dari ka-
wanan itu. "Habislah riwayatku kali ini," keluh Jaka Permana pelan di dalam hari dalam
keadaan putus asa.
Apa yang dipikirkan pemuda tanggung itu memang
tak salah. Salah satu dari kelompok yang berpencar itu menemukannya. Mereka yang
berjumlah empat orang
itu langsung melompati menghampiri. Salah seorang
dengan gemas bermaksud membacok pemuda itu den-
gan goloknya. "Hentikan! Jangan sembarangan kau bertindak!"
cegah salah seorang kawannya yang bertubuh kurus
dengan nada gusar.
' Kalau sampai Nyi Imas Wari mengetahui kau
mendahului keputusannya, bisa hilang kepalamu!"
Orang itu bersungut-sungut sambil menya-
rungkan kembali goloknya.
"Lalu mau kita apakan dia sekarang" Bukankah
Nyi Imas Wari pun menyuruh kita untuk membunuh
mereka berdua?"
"Pokoknya jangan mendahului dia, titik! Soal dia dibunuh atau tidak, terserah
setelah kita berhadapan dengan Nyi Imas Wari. Siapa tahu setelah kita bawa,
dia berubah pikiran. Kita akan celaka kalau membu-
nuhnya sekarang. Lebih baik bawa dia ke hadapan Nyi
Imas Wari."
Salah seorang dari mereka segera mengangkat tu-
buh Jaka Permana yang tak sadarkan diri ke pundak-
nya. Keempat orang itu siap berlalu dari tempat itu.
Namun baru dua langkah berjalan, sekonyong-
konyong langkah mereka terhenti ketika seorang pe-
muda tampan berwajah keras telah berdiri di hadapan
mereka. Pemuda berbaju kulit harimau dengan monyet
berbulu hitam bertengger di pundak kirinya itu me-
mandang mereka dengan sorot mata tajam, dan sama
sekali tak terlihat senyumnya.
"Kunyuk sial! Mau apa kau menghalangi perjala-
nan kami"!" bentak laki-laki bertubuh kerempeng sambil bertolak pinggang dan
mata melotot garang.
"Biar kubereskan saja dia!" selak kawannya yang
memakai ikat kepala hijau dan sudah langsung men-
cabut golok hendak menebas leher pemuda berbaju
kulit harimau itu.
Laki-laki itu adalah yang tadi gagal melukai Jaka
Permana karena dihalangi laki-laki bertubuh kerem-
peng, yang agaknya bertindak sebagai pimpinan dalam
kelompok kecil ini. Hatinya masih dendam dan belum
puas karena amarahnya belum mendapatkan sasaran.
Maka begitu melihat pemuda itu bersikap dengan wa-
jah angkuh dan sama sekali tak menunjukkan ketaku-
tannya saat berhadapan dengan mereka, kemarahan-
nya yang tadi belum surut, kini seperti menemukan
pelampiasannya.
"Yeaaa...!"
Plak! Pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tak
bergeming menghadapi serangan lawan. Dia masih te-
tap berdiri tegak ketika laki-laki itu mengayunkan goloknya yang tajam berkilat
ke bagian leher. Namun sesaat lagi golok itu akan menyambar lehernya, pemuda
itu cepat menundukkan kepala. Lalu bersamaan den-
gan itu sebelah tangannya menangkap pergelangan
tangan lawan dan ditekuknya ke belakang dengan
kuat. Krek! Duk! "Aaa...!"
"Hei"!"
*** Bukan main terkejutnya ketiga kawanan itu ketika
melihat apa yang terjadi pada laki-laki itu. Pemuda
berbaju kulit harimau itu mematahkan tulang lengan
kawan mereka, lalu menghajar tulang belakangnya se-
hingga lawan terjungkal ke depan sambil memekik ke-
sakitan. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya kem-
bali terjerembab sambil merasakan sakit yang hebat di tangan dan tulang
belakangnya yang patah.
'Keparat! Siapa kau berani mempermainkan salah
seorang gerombolan Peri Iblis Maut"!" bentak si kerempeng dengan wajah merah
padam menahan geram.
"Huh! Siapa yang peduli dengan segala rombongan busuk seperti kalian" Lepaskan
bocah itu dan me-nyingkirlah dari sini!" dingin terdengar suara pemuda berbaju
kulit .harimau itu.
Seperti mengerti apa yang dikatakan tuannya, mo-
nyet berbulu hitam yang sejak awal pertarungan telah melompat turun dari pundak
pemuda itu, kini berjalan dengan kedua kakinya ke arah si kerempeng. Kedua
tangannya digerakkan ke dekat telinga dengan lidah
terjulur keluar dan wajah yang sesekali berkerut seperti mengejek mereka.
"Ngukh, ngukh...! Kaaakh...!"
"Monyet sial! Kau dan tuanmu tak ada bedanya
baik dalam kelakuan maupun wajah kalian. Dan
orang-orang celaka seperti kalian harus mampus saat ini juga!" dengus si
kerempeng geram sambil memberi isyarat pada dua orang kawannya untuk menyerang
bersamaan. Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu Hanggara, alias Pendekar Pulau Neraka itu ter-
senyum sinis sambil memandang mereka satu persatu
yang kini mulai mengepungnya.
"Yeaaa...!"
Dengan satu teriakan panjang, si kerempeng maju
terlebih dulu dengan mencabut golok dan menebas la-
wan dari kepala hingga ke kaki. Gerakannya cepat dan meliuk-liuk sangat dahsyat.
Dan sesaat kemudian, dua orang kawannya telah menyusul menyambar ke atas
dan ke bawah dengan gerakan yang tak kalah cepat-
nya. Dengan demikian mereka mengunci lawan agar
terperangkap dan tak mampu lari ke mana pun pemu-
da itu hendak bergerak menyelamatkan diri.
Bayu mendengus geram. Tubuhnya merunduk
sambil mendongakkan kepala ke belakang dan bersa-
maan dengan itu tubuhnya seperti mengapung untuk
menghindari babatan dari atas dan tengah. Lalu ke-
mudian terlihat dia menjatuhkan diri dan merapat rata dengan tanah untuk
menghindari sabetan senjata lawan yang rendah. Kemudian dengan tiba-tiba saja
tu- buhnya melenting dengan ringan sambil mengayunkan
sebelah kakinya menghantam dada lawan.
Duk! "Aaakh...!"
Salah seorang lawan menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal ke belakang sambil berkelojotan. Dia sama sekali tak menyangka lawan
mampu berbuat demikian
sehingga membuatnya. tak waspada.
Masih beruntung kedua lawannya yang lebih cepat
melompat ketika sapuan kaki pemuda itu menyam-
bung menyambar mereka.
Tapi mereka pun dibuat terkejut ketika pemuda
berbaju kulit harimau itu mendadak saja telah berke-
lebat cepat menyambar mereka dengan hajaran sebe-
lah tangannya yang mengibas keras. Terasa betul
bahwa kepandaian pemuda itu tak bisa dianggap ren-
dah. Dari desir angin kencang yang menyertai seran-
gannya, bisa diduga bahwa dia memiliki kepandaian
yang tinggi. Namun mereka hanya menyambar angin
belaka ketika tubuh pemuda itu bergulung bagai
trenggiling, dan ketika terbuka, kedua kakinya meng-
hajar tepat di dada kedua lawannya.
Duk! Desss! "Aaakh...!"
Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh ter-
jungkal beberapa langkah. Darah kental menggelegak
dari mulut keduanya. Dengan terengah-engah mereka
berusaha bangkit. Namun tubuhnya menggigil, bukan
saja oleh rasa sakit melainkan ngeri menyaksikan ke-
hebatan pemuda itu yang berjalan pelan mendekati
mereka. "Kalian boleh teruskan permainan ini atau kupe-
cahkan kepala kalian satu persatu"!"
"Eh, ng... ampuni nyawa kami, Kisanak...," sahut salah seorang di antara mereka
sambil menjura dan
bersujud di dekat kaki pemuda itu.
'Pengecut! Apa yang kau lakukan"!" bentak si kerempeng geram melihat ulah
kawannya itu. "Aku tak peduli! Apa kalian bisa menyelamatkan
diri dalam keadaan begini?" dengus orang itu membela diri. 'Pergilah kalian dari
hadapanku! Cepaaat..!" bentak Bayu keras.
"Eh, iya! Iya...," sahut mereka serentak meninggalkan tempat itu sambil berlari
terbirit-birit Bayu memandang sekilas pada mereka, kemudian
melangkah mendapati Jaka Permana.
"Hm, anak ini mendapat luka yang cukup serius.
Sungguh hebat daya tahan tubuhnya. Kalau saja anak
lain seusianya yang mengalami penderitaan seperti ini, pasti telah tewas...,"
gumam Bayu setelah memeriksa keadaan pemuda tanggung itu.
Pemuda itu mengurut-urut beberapa tempat di ba-
gian tubuh Jaka Permana. Tak berapa lama terlihat
pemuda tanggung itu batuk-batuk kecil sambil mengu-
rut-urut keningnya. Pandangannya masih kabur, dan
terlihat dia berusaha menegaskan pandangan pada
orang yang berada di hadapannya.
"Kau sudah agak baik...?" tanya Bayu pelan sambil ikut mengurut kening pemuda
tanggung itu. "Eh, siapakah Kisanak...?" tanya Jaka Permana.
"Aku kawanmu...," sahut Bayu singkat.
Jaka Permana memandangnya dengan seksama.
Pemuda yang memakai baju kulit harimau itu berwa-
jah tampan dengan rambut panjang. Sorot matanya ta-
jam berkilat laksana mata seekor harimau. Hal yang
lebih jelas terasa olehnya bahwa pemuda di hadapan-
nya sama sekali tak ramah, dalam arti kata tak men-
gobral senyum atau berkata. Yang cukup dipercayanya
bahwa pemuda itu sama sekali tak bermaksud jahat
padanya, adalah seekor monyet yang sangat ramah
dan berusaha menarik perhatiannya sambil cengar-
cengir, yang bertengger di pundak pemuda itu.
*** 4 "Kaukah yang mengusir mereka...?" tanya Jaka Permana seraya bangkit dan
menyandarkan tubuhnya
pada sebatang pohon.
Bayu tak menyahut, melainkan balik bertanya.
"Siapa orang itu, dan kenapa kau sampai beruru-
san dengan mereka?"
"Entahlah. Mereka tiba-tiba saja datang ke pondok kami dengan siasat licik.
Guruku kena diringkus, lalu menyuruhku kabur. Dan... selanjutnya mungkin kau
mengetahuinya...," jelas Jaka Permana singkat.
"Hm, apa alasan mereka memusuhi guru-mu...?"
Jaka Permana tidak langsung menjawab. Di pan-
danginya pemuda di hadapannya beberapa saat la-
manya, seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa pemu-
da itu bukan merupakan salah seorang dari kawanan
yang telah mencelakakan gurunya dan dirinya sendiri.
Tapi meskipun dia percaya bahwa pemuda ini bermak-
sud baik dan telah menolongnya, tetap saja dia orang asing baginya. Dan bayangan
yang selalu melekat dalam benaknya adalah, tidak boleh mempercayai orang
asing. Siapa pun orang itu.
"Eh, aku... aku sendiri tak mengetahuinya...," sahut Jaka Permana sambil
menggeleng lesu.
"Hm, mungkin antara gurumu dan mereka pernah
terjadi saling permusuhan di masa lalu...," gumam Bayu.
"Bisa jadi!" sahut Jaka Permana cepat.
"Berapa jauh tempatmu dari sini?"
"Entahlah...," sahut Jaka Permana sambil memandang ke sekeliling tempat itu.
"Aku berlari terus tanpa menoleh-noleh lagi, dan saat ini tak tahu berada di
mana...." "Di mana, eh maksudku apa namanya tempat
asalmu itu?"
"Lembah Dasawarna...."
"Hm...," Bayu mengangguk-angguk. "Mari kita ke sana!"
"Ke sana...?" wajah Jaka Permana tampak bingung.
"Ya, kenapa" Tidakkah kau ingin menolong guru-
mu?" tanya Bayu seraya memandang tajam ke arah
pemuda tanggung itu.
"Eh, tentu saja! Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Jumlah mereka banyak, dan... gadis itu memiliki kepandaian yang hebat. Guruku
saja yang kuanggap
sakti mampu diringkus dengan tambang mautnya.
Aku... aku...," Jaka Permana tak melanjutkan kata-katanya. Tanpa sadar dia
bermaksud bercerita panjang lebar dengan pemuda asing yang belum dikenalnya ini.
Begitu ingat bahwa dia tak boleh bicara banyak, dia
segera menghentikan kata-katanya.
Tapi kemudian dia menjadi salah tingkah sendiri
ketika melihat pemuda berbaju kulit harimau itu me-
mandang tajam ke arahnya dengan sorot mata penuh
selidik. "Kau mau menyembunyikan sesuatu dari-ku...?"
tanya Bayu dingin.
"Eh, tidak! Tidak...!"
"Hm.... Siapa namamu?"
"Jaka... Jaka Permana."
"Jaka, kau boleh memanggilku Bayu, dan ini sahabatku. Namanya Tiren," sahut Bayu
seraya memperke-nalkan monyet berbulu hitam itu.
Jaka Permana tersenyum lebar. Dilihatnya tingkah
laku monyet itu seperti mengerti saja apa yang dikatakan oleh Bayu. Bahkan
monyet itu mengulurkan tan-
gan kanannya seperti hendak bersalaman. Jaka Per-
mana terpaksa menyambutnya sambil tersenyum geli.
Kemudian dilihatnya monyet itu bertepuk-tepuk seraya berjumpalitan beberapa kali
sambil berteriak-teriak keras. "Hush, sudah! Jangan ribut!" bentak Bayu.
Wajah monyet itu merunduk, kemudian me-
langkah pelan mendekati Jaka Permana, kemudian
menyembunyikan wajahnya ke dada pemuda tanggung
itu. Bayu tersenyum kecil. Jaka Permana baru melihat senyum pemuda itu sejak
tadi. "Jaka, kau berhak merahasiakan apa yang tidak
boleh diketahui orang lain. Tapi sebagai murid yang
berbakti pada gurunya, kau wajib menolongnya pada
saat beliau berada dalam kesulitan...," kata Bayu melanjutkan kata-katanya.
Jaka Permana memandang pemuda itu sekilas,
kemudian dengan cepat dia bangkit sambil mengang-
gukkan kepala. "Aku memang bermaksud demikian. Tapi seorang
diri melawan mereka percuma saja. Seperti yang kuka-
takan tadi, jumlah mereka banyak. Dan pemimpinnya
memiliki kemampuan yang hebat. Tadi aku... aku ber-
maksud untuk menemui dua orang saudara sepergu-
ruanku untuk memberitahukan kejadian ini...," jelas Jaka Permana mulai jujur.
"Nanti saja kau beritahukan mereka. Sekarang ma-ri kita ke sana!" desak Bayu.
"Maksudmu kita berdua..."!" tanya Jaka Permana menegaskan.
Bayu memandang Jaka Permana beberapa saat
lamanya, kemudian berkata pelan.
"Entahlah, aku jarang keluar lembah itu sampai sejauh sekarang. Tapi kalau
melihat gunung yang men-
julang tinggi itu, maka tempatku di sebelah uta-
ranya...," tunjuk Jaka Permana.
"Nah, mari ikut denganku!" sahut Bayu pendek seraya menyambar Jaka Permana dan
membawanya ber-
lari kencang dari tempat ini.
Pemuda tanggung itu sedikit heran bercampur tak-
jub. Pemuda berbaju kulit harimau itu mampu berlari
cepat meski menggendong dirinya dan monyet hitam
itu. Siapa dia sebenarnya" Yang jelas kecurigaannya
mulai sedikit berkurang, dan merasa yakin bahwa pe-
muda ini pastilah salah seorang pendekar persilatan yang sering membantu kaum
lemah, seperti yang pernah didengarnya dari penuturan Eyang Ageng Sura.
*** Jaka Permana merasakan mereka hanya berlari da-
lam sekejapan waktu saja karena beberapa saat kemu-
dian mereka telah tiba. Bayu menurunkan Jaka Per-
mana yang langsung memandang ke sekeliling tempat
itu. "Sunyi..., ke mana mereka?" bisik Jaka Permana ragu.
Bayu menajamkan pendengarannya. Namun tak
terdengar suara apa pun yang mencurigakan. Dia me-
langkah mendekati pondok dengan hati-hati sekali.
Terlihat darah berceceran di sana-sini dan tanah yang sempal akibat pertarungan.
Namun kalau tewas, tentu
mayatnya akan terlihat. Namun yang mereka temukan
cuma bercak-bercak darah dan bekas pertarungan itu
saja. "Kosong...!" seru Bayu pelan ketika dia membuka pondok.
"Aneh, ke mana mereka" Ke mana Eyang Ageng"
Mungkinkah mereka menculiknya...?" desis Jaka Permana bingung.
"Nguk... nguk...!" Tiren mendekati Bayu sambil menunjuk-nunjuk sesuatu.
Buru-buru Bayu mengikuti apa yang ingin di-
tunjukkan oleh sahabatnya itu.
Tak jauh dari halaman depan, Tiren menunjukkan
sesuatu yang tergurat di tanah, bercampur noda da-
rah. "Cul...," Bayu bergumam membaca kata yang ter-putus itu. Dahinya sedikit
berkerut, tapi tak berapa lama kemudian kelanjutan kata-kata itu dimenger-tinya.
Jaka Permana yang kemudian menyusul ke tempat
itu memandang Bayu dengan wajah kecut.
"Mereka menculik guruku...," gumamnya pelan.
"Siapa sebenarnya mereka, Jaka?" tanya Bayu.
"Entahlah, aku tidak mengetahui siapa mereka.
Tapi yang menjadi pemimpinnya seorang gadis berpa-
ras cantik Dia bahkan terlalu muda untuk bisa menga-
lahkan guruku. Tapi buktinya..., ah! Kepandaiannya
hebat. Senjatanya seutas tambang yang mampu mem-
belenggu guruku hingga tak berdaya," jelas Jaka Permana.
"Tambang...?"
"Ya, tambang. Seperti ular yang hidup!" sahut Jaka Permana seraya menganggukkan
kepala. "Kau kenal dengan mereka?"
"Entahlah, aku tak yakin...," Bayu menggeleng lemah.
"Kaaakh...!" tiba-tiba Tiren menjerit keras.
Bayu dan Jaka serentak berpaling. Pemuda berba-
ju kulit harimau itu segera mendekat ke arah Jaka
Permana dan memegang bahunya seraya menatap ke
satu arah. Pemuda tanggung itu menjadi bingung sen-
diri melihat kelakuan Pendekar Pulau Neraka.
"Ada apa?" tanyanya heran.
"Ada tamu yang tak diundang ke sini...," sahut Bayu.
"Tamu.." Siapa?"
"Kau akan mengetahuinya sebentar lagi...."
"Ha ha ha...! Bukan saja monyetmu yang memiliki pendengaran tajam, tapi juga
tuannya memiliki kuping yang hebat pula!" terdengar suara keras yang kemudian
disusul dengan melesatnya sebuah bayangan hi-
tam tak jauh dari mereka.
Jaka Permana tersentak kaget. Mendadak saja te-
lah berdiri tegak sesosok tubuh di hadapannya menge-
nakan baju hitam yang agak kebesaran. Wajah orang
itu sangat mengerikan. Sepasang matanya melotot ga-
rang dan merah bagai saga. Rambutnya berdiri kaku
dan lehernya mengenakan kalung yang terbuat dari


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengkorak kepala manusia. Tangan kanannya meme-
gang sebatang tombak yang ujungnya berlekuk seperti
keris. "Hm, tak disangka Pendekar Pulau Neraka yang
termahsyur itu pun ternyata kemaruk dengan segala
pepesan kosong!" lanjut laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan
bertubuh besar itu
"Siapa kau dan apa yang kau maksud dengan
pepesan kosong?" tanya Bayu tenang dengan nada suara dingin.
"Ha ha ha...! Nama Setan Ular Hitam memang bu-
kan nama yang hebat, tapi tak sembarangan orang bi-
sa memandang rendah padanya. Kau mengerti apa
yang ku maksud" Jangan menganggapku bodoh, So-
bat!" "Hm, jadi kau berjuluk Setan Ular Hitam" Apa yang kau kehendaki sehingga datang
ke sini?" "Phuih! Ternyata kau betul-betul menganggap-ku
rendah dan tolol! Tapi tidak semudah itu kau bisa menyerakahi kedua pusaka itu.
Serahkan padaku seka-
rang juga!"
Pendekar Pulau Neraka memandang geram pada
laki-laki itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Setan
Ular Hitam. Datang dengan ti-ba-tiba, lalu sekarang marah-marah dengan sikap
hendak mengancamnya. Tentu saja dia tidak bisa me-
nerima sikap seperti itu.
"Setan Ular Hitam, aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Tapi dengan caramu
itu, meskipun benda
yang kau inginkan itu ada di tanganku, tidak akan kuberikan. Apalagi saat ini
aku tak tahu-menahu tentang kedua pusaka yang kau katakan tadi!" desis Bayu.
"Setan! Orang lain boleh takut padamu, tapi jangan harap aku gentar! Kau akan
mendapat pelajaran pahit
atas kesombonganmu itu!" kata Setan Ular Hitam geram.
Selesai dengan kata-katanya itu, Setan Ular Hitam
melompat lima langkah ke hadapan Pendekar Pulau
Neraka, sehingga jarak mereka kini kurang lebih hanya enam langkah saja. Dia
melangkah perlahan ke samping dengan sorot mata setajam elang mengawasi pe-
muda berbaju kulit harimau itu dengan senjata terhu-
nus. "Nguk! Nguk...!" Tiren melompat lompat sambil menutup kedua matanya melihat
gelagat itu. "Jaka, mundurlah kau. Jangan jauh-jauh dari Ti-
ren. Dia bisa menjadi sahabat yang baik. Biar kube-
reskan babi gemuk ini!" kata Bayu pelan seraya mengambil ancang-ancang untuk
bersiap menghadapi la-
wan. Bukan main geramnya Setan Ular Hitam menden-
gar dirinya disebut sebagai babi gemuk. Sambil berteriak nyaring dia melompat
dan memutar tombaknya
bagai baling-baling menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
Wuk! Wuk..! Pendekar Pulau Neraka melompat dengan satu kaki
terangkat ke atas untuk menghindari serangan lawan,
sekaligus berjumpalitan dan mengayunkan kepalan
tangannya menghantam ke wajah Setan Ular Hitam.
"Phuih! Mampus kau!" geram Setan Ular Hitam seraya berbalik dan menghantam lawan
dengan ujung tombaknya. Pendekar Pulau Neraka tak kehilangan akal. Dia
menarik kepalan tangannya, kemudian menundukkan
kepala untuk menghindari sabetan pangkal tombak
lawan. Senjata itu lewat beberapa rambut dari kepa-
lanya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Be-
gitu sebelah kakinya menyentuh, maka saat itu juga
tubuhnya melenting cepat ke arah batok kepala lawan.
"Hih!"
"Uts!"
Begkh! Setan Ular Hitam terkejut sekali melihat kecepatan
lawan bergerak. Dia bahkan tidak sempat mengayun-
kan tombaknya untuk memapas serangan lawan. Sa-
tu-satunya jalan untuk menghindari serangan itu ha-
nyalah jangkauan kepalan tangan lawan. Dan hal itu-
lah yang dilakukannya. Tapi bukan main kagetnya dia
manakala satu tendangan keras justru menghantam
perutnya ketika lawan menarik pulang pukulannya,
dan malah mengayunkan kaki kanan yang jangkaua-
nnya lebih panjang.
*** Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal beberapa langkah. Namun dia masih mam-
pu menguasai diri sehingga tidak sampai jatuh terjerembab.
Pendekar Pulau Neraka tidak bisa membiarkan la-
wan begitu saja lepas dari hajarannya. Sekali kesempatan terbuka, maka dia akan
terus mengincarnya se-
hingga lawan tidak mampu berkutik. Dan hal itulah
yang dilakukannya saat ini.
Belum lagi Setan Ular Hitam memantapkan kuda-
kudanya, tubuh lawan telah mencelat menyambar ke
arahnya dengan satu serangan deras.
"Yeaaa...!"
Setan Ular Hitam mengeluh pelan. Tubuhnya ber-
putar ke belakang dua kali sambil mengayunkan ujung
tombaknya ke arah lawan. Namun mata Pendekar Pu-
lau Neraka yang jeli, bukannya tidak memperhitung-
kan hal itu. Tubuhnya melompat ke tanah, dan ujung
tombak lawan dengan gencar menyambarnya. Tapi be-
gitu tubuhnya terjatuh, maka secepat itu pula kembali melenting sambil
mengayunkan satu tendangan ke
arah wajah lawan.
"Hih!"
Setan Ular Hitam terkesiap dan terpaksa menang-
kis dengan tangan kirinya. Tapi dia mengeluh kesaki-
tan ketika benturan itu terjadi. Kaki lawan seperti terbuat dari besi ketika
beradu dengan tangannya. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak tendangan kaki
Pendekar Pulau Neraka yang sebelah lagi menghajar
dadanya dengan telak.
Desss! "Aaakh...!"
Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal lima langkah sambil menyemburkan darah
segar. Ketika jatuh ke tanah, dia menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya
diam tak berkutik!
Jaka Permana terpaku. Dia tidak percaya dengan
penglihatannya. Orang bertubuh besar dan berwajah
seram itu tewas dengan dada remuk. Sepasang ma-
tanya yang melotot lebar, kini bertambah lebar seperti tercekik. Darah kental
meleleh dari mulut dan hidung serta matanya seperti tiada henti. Dia sedikit
mengetahui kalau orang tewas dengan cara demikian, pastilah isi tubuhnya hancur
berantakan. Dan selama hidupnya, belum pernah dilihatnya orang tewas dengan cara
demikian. Juga sepengetahuannya, hanya orang-orang
berhati kejam yang sering berbuat demikian. Dan
orang-orang berhati kejam itu biasanya bersifat jahat dan keji.
Jaka Permana memandang dengan wajah takut ke
arah pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya berperang untuk kembali menilai
sikap Pendekar Pulau Ne-
raka. Jahatkah dia" Akankah dia berpura-pura baik
lalu akan membunuhku dengan cara yang kejam keti-
ka aku lengah"
"Mari kita pergi, Jaka...!" ajak Bayu setelah meng-
gendong Tiren. Jaka Permana kembali memperhatikan. Dilihatnya
wajah pemuda itu sama sekali tidak mengesankan
apa-apa. Dingin dan... menyeramkan! Diam-diam dia
bergidik ngeri, dan membayangkan, nasib apa yang
akan menimpanya bila berjalan bersama-sama dengan
pemuda itu. "Kenapa" Tidakkah kau ingin mencari gurumu?"
tanya Bayu dengan dahi berkerut ketika melihat Jaka
Permana menggeleng pelan.
"Eh, aku... aku telah banyak merepotkanmu. Biarlah kucari sendiri. Lagi pula,
aku... aku harus menemui kedua saudara seperguruanku untuk mencari
guru kami. Te... terima kasih banyak atas pertolon-
ganmu padaku...."
"Hm, jadi kau ingin mencari gurumu seorang diri?"
tanya Bayu meyakinkan.
"Hm, ya...."
"Kudengar laki-laki itu membicarakan tentang dua buah kitab pusaka yang dicari-
carinya. Apakah itu ada kaitannya dengan kejadian yang menimpa kalian sehingga
gurumu diculik?"
"Eh, aku tidak tahu apa-apa soal itu...!" sahut Jaka Permana dengan suara gagap.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk sambil ber-
gumam pelan. "Mungkin mereka salah alamat dan tersasar hingga ke sini, lalu mencari gara-
gara...," lanjut Jaka Permana mengalihkan dugaan di benak Pendekar Pulau Neraka.
"Gurumu Ki Ageng Sura, bukan?"
Jaka Permana mengangguk.
"Ya, aku pernah mendengar nama beliau. Dia seo-
rang yang hebat dan tidak heran bila mempunyai ba-
nyak musuh. Tapi ada orang yang mampu menculik-
nya, itu hal yang hebat lagi...."
Jaka Permana jadi merasa tidak enak ketika meli-
hat Bayu tersenyum tipis seperti menyembunyikan se-
suatu. Seolah hatinya mengatakan bahwa pemuda
berbaju kulit harimau itu mengetahui kebohongannya.
"Apa maksudmu dengan lebih cepat lagi...?" tanya Jaka Permana dengan heran.
Dilihatnya Pendekar Pulau Neraka memandangnya
tajam untuk beberapa saat, kemudian mengelus mo-
nyet kecil di pundaknya. Lalu terdengar dia bersuara pelan.
"Kalau kau memang hendak mencari gurumu seo-
rang diri, berhati-hatilah. Kau sedang menghadapi bahaya besar, Jaka. Bahaya
bisa merenggut nyawamu.
Nah, aku pergi dulu!"
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka
melesat dari tempat itu, dan hilang dalam sekejapan
mata. Jaka Permana memandang takjub. Dalam hatinya
sebenarnya menyesal telah mencurigai pemuda itu ber-
lebihan. Seharusnya dia tidak bersikap bodoh seperti itu. Bukankah pemuda itu
telah menyelamatkannya"
Dan dia sama sekali tidak menyebut-nyebutkan mak-
sudnya untuk menolong dirinya dalam bahaya. Kalau
demikian, bukankah dia menolong tanpa pamrih"
Jaka Permana menghela napas pendek dan meng-
hibur diri dari tuduhan-tuduhan hati kecilnya sendiri yang menyalahkan dirinya.
Siapa tahu pemuda itu
hanya bersandiwara dengan berpura-pura menolong-
nya. Bukankah gadis itu pun berpura-pura lemah dan
mengharapkan pertolongan mereka" Dan siapa duga
ternyata dia adalah pemimpin pengacau yang telah
menculik gurunya!
*** 5 Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dan ber-
tubuh agak kurus itu memacu kudanya kencang-
kencang. Sesekali terlihat kepalanya menoleh ke belakang seperti memastikan,
bahwa apa dan siapa pun
yang mengejarnya sejak tadi, kini tidak mengikutinya lagi. Namun meski tak
terlihat siapa pun di belakangnya, pemuda yang di pinggangnya terselip sebatang
golok itu terus memacu kudanya seperti tiada henti.
"Heaaa! Hiyaaa...!"
Tak lama kemudian dia telah berada dekat sebuah
perkampungan. Pemuda itu memperlambat lari ku-
danya. Wajahnya yang agak tampan telah bercucuran
keringat. Demikian juga bajunya yang coklat pudar,
basah oleh cucuran keringatnya. Dia melompat turun
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 17 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Harpa Iblis Jari Sakti 22
^