Pencarian

Warisan Kitab Pusaka 2

Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka Bagian 2


dan berjalan pelan sambil menggandeng kudanya me-
masuki perkampungan itu.
Lalu lalang orang yang sesekali memperhati-
kannya, tidak menarik perhatiannya. Tatapan mata
pemuda itu lurus ke depan. Hanya sesekali dia meno-
leh jika batinnya merasa curiga.
Ketika melihat sebuah kedai kecil, pemuda itu me-
nambatkan kudanya di depan, kemudian me-langkah
masuk. Tak banyak orang di dalam kedai itu, tapi be-
berapa orang memandangnya dengan sikap tidak ber-
sahabat. Pemuda itu seperti tak mempedulikan sikap
mereka melihat kehadirannya. Dia memanggil seorang
pelayan. "Apakah kau menjual rumput untuk kudaku, Ki-
sanak?" tanyanya.
Pelayan itu hanya mengangguk pelan.
"Kalau demikian, tolong berikan kudaku rum-put
dan air. Kami telah melakukan perjalanan yang cukup
jauh. Dia juga haus dan lapar sepertiku...."
Mendengar kata-kata pemuda itu, si pelayan segera
menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mengena-
kan apa yang diinginkan pemuda itu. Tapi tidak demi-
kian halnya dengan beberapa orang pengunjung kedai.
Mereka tertawa, bahkan salah seorang berkata dengan
nada menyindir.
"Hei, Pelayan! Orang itu pasti perlu rumput seperti kudanya. Kenapa tidak
sekalian kau buatkan dua por-si untuknya" Dia pasti akan menyantapnya dengan la-
hap!" Mendengar ejekan itu, mereka yang berada di da-
lam kedai kembali tertawa keras.
Pemuda yang diejek itu cuma menoleh sekilas ke-
pada mereka, kemudian berkata pelan kepada si pe-
layan. "Pelayan, apakah nama desa ini?"
"Sukamulya, Kisanak..."
"Hm, nama yang bagus. Alangkah sayangnya jika
desa yang bagus ini dihuni oleh seekor monyet buduk!"
"Kurang ajar!" orang yang tadi mengejek pemuda itu, menggeram sambil menggebrak
meja. Brakkk! "Dia pikir bisa bertingkah seenaknya di sini. Huh, belum kenal dengan si Koneng
rupanya!" dengus laki-laki berbaju hitam dan memakai gelang bahar besar di
pergelangan tangan kanannya.
Koneng memegang gagang golok yang terselip di
pinggang kiri. Dan sesekali memelintir kumisnya, dia melangkah gusar mendekati
pemuda itu. Melihat si Koneng mulai berbuat demikian, yang
lainnya terdiam seribu bahasa. Mereka seperti menger-ti apa yang akan terjadi
kemudian. Selama ini, tidak seorang pun di desa ini yang berani menyinggung, dan
tidak segan-segan menghabisi nyawa orang itu. Ko-
neng memang jawara di Desa Sukamulya ini, dan pe-
muda kurus yang terlihat lemah itu bukan sekadar
membuat si Koneng tersinggung dengan kata-katanya
tadi, tapi telah membuatnya marah.
"Siapa yang kau katakan monyet buduk tadi"!" geram Koneng dengan mata melotot
lebar sehingga biji
matanya seperti hendak mencelat keluar.
Dengan sikap acuh tak acuh, dan sama sekali ti-
dak menoleh ke arah si Koneng, pemuda itu me-
nyahut pelan. "Monyet buduk itu telah berdiri di depanku...."
"Bangsaaat..!"
Brakkk! "Ohhh...!"
Kemarahan Koneng agaknya tidak bisa ditahan la-
gi. Kepalan tangan kirinya dengan geram menghantam
pemuda itu. Namun dengan gerakan yang gesit, pemu-
da itu bergerak ke samping sambil berjumpalitan un-
tuk menghindari hantaman lawan. Akibatnya sungguh
luar biasa. Meja yang tadi berada di hadapan pemuda
kurus itu hancur berantakan. Si pemilik kedai menge-
luh pelan melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengurut dada tanpa bisa berbuat
apa-apa karena tahu, da-
lam keadaan marah begitu bisa jadi si Koneng akan
melampiaskan kemarahan padanya kalau saja dia ber-
teriak-teriak cemas.
Tapi pemuda bertubuh kurus itu agaknya mengerti
apa yang dikhawatirkan pemilik kedai itu. Atau mung-
kin juga karena dia merasa tidak leluasa meladeni lawan dalam ruangan kedai yang
sempit. Maka dengan
satu gerakan manis, tubuhnya melesat keluar.
"Keparat! Jangan lari kau! Aku tidak membiarkan orang menghinaku lepas begitu
saja. Kau harus mampus, Jahanam!" geram Koneng seraya melesat keluar
mengejar pemuda berbaju coklat itu.
"Huh, siapa yang bilang aku kabur" Menghadapi
monyet buduk sepertimu aku akan kehilangan muka
kalau sampai kabur!" desis si pemuda dengan nada mengejek.
"Kau tidak akan perlu kehilangan mukamu karena
hari ini juga aku akan memenggal kepala-mu!"
"Huh, lakukanlah kalau kau mampu!"
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
*** Koneng agaknya memang geram sekali melihat si-
kap pemuda itu. Selama ini tidak ada seorang pun
yang berani menentangnya di desa ini, tapi pemuda itu bukan saja menentangnya,
bahkan sama sekali tidak
memandang sebelah mata kepadanya. Isi dadanya se-
perti mau meledak menahan hawa amarah. Maka tan-
pa pikir panjang lagi, dia langsung mencabut golok dan menyerang lawan dengan
mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi alangkah kagetnya
dia ketika menyaksikan tidak satu pun dari serangan-
nya yang mampu melukai lawan. Bahkan dengan ge-
rakan yang manis, pemuda kurus itu berhasil meng-
hindari serangan-serangan gencarnya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin
geram. "Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!"
"Huh, buktikanlah omong kosongmu itu!" desis si pemuda dingin. "Salah-salah
malah kau akan kehilangan kepalamu!"
Ujung golok Koneng menyebar ke arah perut lawan,
namun pemuda itu cukup memiringkan tubuh sehing-
ga senjata lawan lewat beberapa jari dari perutnya.
Sambil memutar tubuh dengan cepat, dia melayang-
kan kepalan tangan menghajar wajah Koneng.
"Hup!"
"Uts!"
Duk! Koneng menjerit dengan tubuh terjungkal! Laki-laki
itu agaknya tidak bisa membaca gerakan tipuan yang
dilancarkan lawan. Ketika kepalan pemuda itu meng-
hajar wajahnya, dia bergerak ke samping untuk meng-
hindarinya. Namun. pada saat itu kaki kiri si pemuda terayun menghantam
perutnya. Hal itu sama sekali tidak diduga oleh Koneng, sehingga dia harus
menang- gung akibatnya.
"Setan...!" Koneng menggeram dan bangkit kembali dengan cepat seraya mengusap
darah yang menetes
dari sudut bibirnya.
Bola matanya menatap tajam ke arah lawan. Dan
wajahnya berkerut menahan geram.
"Hari ini kau akan mampus ditanganku!" dengusnya geram.
"Huh, monyet buduk bermulut besar! Majulah kau
kalau ingin kurobek mulutmu!"
'Yeaaa...!"
Koneng membentak nyaring sambil mengayunkan
goloknya menyambar leher dan bagian bawah tubuh
lawan dengan cepat. Pemuda itu tersenyum sinis, ke-
mudian melompat ke atas melewati kepala Koneng.
Wuk! Wuk! Koneng menyambar ke atas dan bermaksud mem-
belah perut lawan. Namun gerakan yang di-lakukan
pemuda itu lebih cepat lagi. Ujung kakinya menghan-
tam punggung Koneng. Dan untuk yang kedua kalinya
Koneng tersungkur ke depan. Namun kali ini masih
untung karena dia tidak sampai terjerembab. Tapi pe-
muda itu tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Be-
gitu kakinya menyentuh tanah, saat itu juga dia kem-
bali melompat menyerang lawan dengan gerakan gesit.
"Hiyaaat...!"
Koneng terkesiap. Tubuhnya berguling sambil
mengayunkan golok untuk memapas serangan lawan
dengan untung-untungan.
"Hup!"
Des! Entah bagaimana caranya, tubuh pemuda itu ber-
kelebat cepat menghindari serangan tebasan golok Ko-
neng. Kemudian dengan cepat ujung kakinya kembali
menghajar perut lawan. Kali ini Koneng memekik ke-
sakitan. Hajaran ini betul-betul membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk
Langkahnya terhuyung-huyung
ketika dia berusaha bangkit.
'Yeaaa...!"
Pemuda itu agaknya tidak ingin memberikan ke-
sempatan lagi pada Koneng. Meskipun lawan sudah
kelihatan tidak mampu memberikan perlawanan lagi,
namun tubuhnya telah melesat ke arah Koneng dan
siap menghajarnya kembali. Namun pada saat itu se-
konyong-konyong melesat sebuah bayangan yang
menghadang serangan itu.
Plak! "Hih!"
"Uts...!"
Pemuda bertubuh agak kurus itu terkejut bukan
main. Dia tidak sempat lagi untuk mengalihkan perha-
tian. Tapi mujur baginya karena bayangan itu keliha-
tannya hanya menangkis serangannya belaka agar ti-
dak sampai mencelakai Koneng lebih parah lagi, se-
hingga ada waktu baginya untuk mengelak serangan
berikutnya dari lawan barunya itu. Meski demikian
pemuda itu sempat meringis ketika pergelangan tan-
gannya seperti beradu dengan benda keras. Tubuhnya
melenting ke belakang seraya membuat salto yang in-
dah. Begitu telapak kakinya menyentuh tanah, pemuda
itu langsung bersiaga. Namun serangan ter-henti, dan di depannya terlihat banyak
orang berkeliling sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu mendengus tajam ketika
melihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun memakai baju yang
seperti sisik ular ber-
warna merah menyala. Laki-laki bertubuh ceking den-
gan bentuk wajah lonjong dan sepasang mata sipit
memandangnya dengan sikap merendahkan.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang
laki-laki bertubuh tegap dan memakai baju putih den-
gan warna ikat kepala yang sama. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Di
pinggang kirinya terlihat sepasang gelang-gelang yang sisinya tajam seperti mata
pisau. "Apakah kau kira bisa berlari jauh dariku, Widi...?"
tanya pemuda berbaju putih itu kepada pemuda ber-
tubuh agak kurus, seraya tersenyum kecil.
*** "Phuih! Pengkhianat keparat! Sampai kapanpun
aku tidak menyerah begitu saja kepada kalian!" dengus pemuda yang dipanggil
Widi, atau lengkapnya Widi
Saksana. "Kau hanya seorang diri, sedangkan dirimu telah terkepung oleh kami. Kau sendiri
mengetahui bahwa
mereka memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap
enteng, bukan" Nah, menyerahlah dan bergabung ber-
sama kami. Niscaya kau akan memperoleh apa saja
yang kau inginkan. Mau harta" Wanita" Kau tinggal
sebut, maka ketua akan mengabulkannya dengan ce-
pat..." 'Tutup mulutmu, Begara Seta! Kau murid durhaka!
Kau mencelakakan gurumu sendiri. Aku tidak akan
mengatakan apa pun padamu!"
"Hm, agaknya kau tetap berkeras pada pendirian-
mu. Kalau demikian, tidak ada jalan lain. Tanpa kete-ranganmu pun kami akan
berusaha mencari kedua
pusaka itu. Tapi kau akan mengalami nasib yang pa-
hit..," gumam pemuda berbaju putih yang dipanggil Begara Seta itu dengan senyum
sinis. "Huh, jangan kira aku takut dengan segala gertak-mu itu, Begara! Majulah kau dan
kawanan anjingmu
itu. Aku tidak akan mundur setapak pun!" dengus Wi-di Saksana dengan sikap
tegar. Begara Seta memandang dingin, kemudian meno-
leh ke arah laki-laki berbaju kulit ular dan memberi isyarat. Laki-laki itu
mengangguk seperti mengerti apa yang dimaksud oleh Begara Seta.
"Kau boleh bersenang-senang dengannya, Dewo.
Dengan cara bagaimanapun yang kau suka...."
"Beres! Akan kupatahkan kedua kaki dan tangan-
nya, lalu akan ku congkel kedua biji matanya, lalu
akan kuhirup darah di jantungnya sampai kering!" desis laki-laki yang dipanggil
Dewo itu seraya menyeringai lebar.
Sementara itu melihat adanya orang-orang itu, Ko-
neng merasa mendapat angin segar. Dia merasa tidak
takut untuk menghadapi pemuda kurus berbaju coklat
itu, tapi kali ini dia akan menyingkir tanpa harus kehilangan gengsi karena
hadirnya orang-orang itu.
Sementara itu Widi Saksana memandang tajam la-
wannya yang mulai melangkah pelan mendekatinya
sambil terus menyeringai mengejek dan menganggap-
nya rendah. Seolah-olah dia merasa dirinya seekor
elang yang gagah perkasa dengan seekor anak ayam
yang menciap-ciap kehilangan induknya dengan tubuh
gemetar. "Dengan sekali sambar, akan kubeset tubuh-mu!"
serak terdengar suaranya bernada mengancam.
"Huh, majulah kau! Jangan kira aku takut den-


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganmu!" dengus Widi Saksana tidak kalah gertak.
"Yeaaa...!"
Werrrr! "Uhhh...!"
Meski belum bertarung secara langsung, namun
Widi Saksana bisa merasakan bahwa kemampuan ilmu
silat maupun tenaga dalam serta kegesitan lawan me-
lebihi dirinya. Namun dia tidak berkecil hari dan berusaha tabah untuk melawan
dengan sekuat daya ke-
mampuannya. Dan ternyata apa yang diduganya me-
mang benar. Dengan sekali berkelebat terasa angin
kencang bersiur menerpa dirinya bersama dengan
himpitan tenaga dalam yang kuat menekan.
Widi Saksana menjatuhkan diri dan bergulingan
untuk menghindari sambaran serangan lawan selan-
jutnya. "Hiyaaat..!" Dewo kembali berkelebat cepat sambil mengirim serangan bertenaga
kuat ke arah lawan.
Tangan kanannya terpentang ke muka, sementara ke-
palan tangan kirinya berada di pinggang. Tubuhnya
berjumpalitan mengejar lawan.
"Hup!"
Widi memiringkan tubuh ketika kepalan kiri lawan
menghantam mukanya. Kepalanya tertunduk ketika
serangan balik kembali menyapu. Tubuhnya melompat
ke belakang agak menyerong ke kiri ketika tendangan
lawan menghantam dirinya. Tapi Dewo agaknya tidak
mau membuang waktu lama-lama menghadapi lawan.
Dia tahu betul bahwa Widi Saksana sengaja menghin-
dari benturan anggota tubuh karena menyadari tenaga
dalamnya yang berada di bawah dirinya. Sehingga se-
perti mendapat peluang besar, Dewo terus-menerus
menekannya. "Yeaaa...!"
Wuk! Wuk! "Uts...!"
Widi Saksana merasa kewalahan menghadapi se-
rangan gencar lawannya. Sehingga dalam satu kesem-
patan ketika lawan telah mengurung dengan ketat, dia terpaksa mencabut golok dan
menyambar tubuh lawan
untuk memberikan jalan keluar dari serangan lawan
yang amat gencar. Sebaliknya Dewo hanya sedikit ter-
kejut. Tubuhnya meliuk indah menghindari tebasan
senjata lawan. Tidak sedikit pun terlihat perubahan air mukanya melihat
permainan golok lawan. Seolah-olah
lawan bersenjata atau tidak, sama saja baginya. Dan
hal itu memang terlihat kemudian.
Meskipun Widi Saksana telah mengarahkan sege-
nap kemampuan kepandaiannya bermain golok, na-
mun senjata itu belum mampu mengejar kecepatan
bergerak lawan. Bahkan sambil terkekeh-kekeh, Dewo
mengejeknya. "He he he...! Ayo, kerahkan semua ilmu golok yang kau miliki! Keluarkan
kepandaian si tua bangka Ageng Sura yang tidak berharga itu!"
"Keparat! Kusobek mulutmu berani merendah-kan
guruku!" dengus Widi Saksana geram.
"Ha ha ha...! Apa hebatnya kepandaian yang kalian miliki" Huh, dengan sekali
tiup aku membuat tua
bangka keropos itu melayang ke akherat!"
"Jahanam! Mampuslah kau! Mampuslah kau...!" teriak Widi Saksana dengan amarah
yang menggelegak
di dada. Dia sama sekali tidak bisa menerima jika gurunya dihina begitu rupa.
Eyang Ageng Sura bukan sa-
ja sekadar guru baginya, melainkan sebagai pengganti kedua orangtuanya yang
telah tiada. Sehingga siapa
pun yang berani menghinanya, sama saja dengan
menghina dirinya.
Namun agaknya hal itu memang disengaja oleh la-
wan untuk membakar amarah Widi Saksana. Dengan
demikian dia berharap bahwa pemusatan pikirannya
akan terganggu dan kacau, yang akan berpengaruh
pada serangan-serangannya.
Dan perhitungannya memang berhasil. Widi Sak-
sana membuat kesalahan besar. Dia tidak menyadari,
bahwa dalam keadaan berhati-hati saja belum tentu
dia mampu mengalahkan lawan. Dan kini dalam kea-
daan amarah begitu, dia kehilangan kendali dan tidak mampu mempertahankan diri
dengan baik. Tujuan
utamanya saat ini adalah menyerang lawan dengan
sekuat tenaga. Sehingga tidak heran bila dalam bebe-
rapa saat saja dia kena dijatuhkan.
Sebuah tebasan menyilang menyambar Dewo.
Orang itu bergerak ke samping. Widi Saksana menge-
jar, namun tubuh lawan telah melesat cepat ke atas
dan terus bergerak mengayunkan sebelah ujung ka-
kinya menghantam dada.
Duk! "Aaakh...!"
Widi Saksana memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal beberapa langkah. Dengan keadaan ter-
huyung-huyung dia berusaha bangkit. Namun lawan
agaknya tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tu-
buhnya telah berkelebat sambil mengirim-kan seran-
gan kedua. Wut! Begkh! Des! "Aaa...!"
Dalam keadaan mata kabur dan rasa sakit yang
mengganggunya, Widi Saksana mencoba bertahan dan
mengayunkan golok untuk menghalau serangan la-
wan. Tapi Dewo dengan mudah menghindari. Kepalan
tangan kanannya kembali menggedor dada lawan, lalu
disusul dengan hajaran kaki kirinya ke perut Widi
Saksana. Pemuda itu memekik kesakitan. Tubuhnya
kembali terjungkal sambil memuntahkan darah kental
berkali-kali. "Nah, sekarang terimalah kematianmu yang men-
genaskan! Yeaaa...!"
Widi Saksana berusaha menggeser tubuh, namun
tenaganya seperti terkuras habis dan tak mampu
menggerakkan tubuh. Dia hanya bisa pasrah dan ber-
doa ketika lawan bersiap melesat untuk menghabi-
sinya. *** 6 "Kisanak hentikan perbuatanmu!"
Pada saat yang kritis bagi Widi Saksana, ter-dengar
bentakan keras yang berisi tenaga dalam kuat. Dewo
tersentak kaget. Demikian juga bagi mereka yang be-
rada di tempat itu. Mendadak saja melesat sebuah
bayangan yang memapaki serangan laki-laki kurus itu.
Plak! "Uhhh...!"
Wuk! Dewo terpaksa mengalihkan perhatian dan men-
gayunkan kepalan tangan kanannya ke samping me-
nyambut serangan lawan. Terasa tangannya seperti
membentur benda keras. Dewo mengeluh kesakitan.
Namun kaki kanannya masih mampu menyambar tu-
buh lawan yang baru datang. Alangkah kagetnya dia
ketika merasakan tendangannya hanya menyapu angin
saja. Lawan mampu menghindar dengan gesit. Padahal
dia telah mengerahkan kecepatan luar biasa ketika
menyapukan kakinya tadi. Selama ini belum ada seo-
rang pun yang berhadapan dengannya mampu men-
gimbangi kecepatannya bergerak. Dan, kalaupun ada, tentulah dia seorang tokoh
yang memiliki kepandaian hebat. Siapa tokoh ini"
Dewo baru menjejakkan kakinya ke tanah ketika
bayangan tadi kembali melesat mengejarnya. Dia ter-
cekat, dan dengan cepat membuang diri ke samping
untuk kemudian melenting ke atas dengan gerakan
ringan. Namun seperti menempel di belakangnya pada
jarak tertentu, bayangan lawan terus mengejarnya.
"Hiyaaa...!" Dewo membentak nyaring ketika mengibaskan tangan sambil mengerahkan
tenaga dalam hebat. Terasa angin berkesiur kencang, bahkan sampai
membuat ujung baju mereka yang menyaksikan perta-
rungan itu berkibar-kibar. Debu mengepul ke udara
dan dedaunan kering seperti dihempas badai.
Plak! Duk! "Aaakh...!"
Dewo menjerit keras ketika tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang.
Ketika kepalan tangannya mengibas, lawanpun
bukannya menghindar tapi malah memapaki. Untuk
sesaat dia merasa girang karena yakin bahwa lawan
akan cidera akibat benturan tenaga dalamnya yang
hebat. Tapi bukan main terkejutnya dia ketika mera-
sakan bahwa tulang lengannya seperti menghantam,
sebatang baja yang kerasnya luar biasa.
Dia mengeluh kesakitan. Dan pada saat itu juga
satu tendangan menggeledek menghajar dadanya. De-
wo memekik ketika merasakan isi dadanya seperti re-
muk. Dia berusaha berdiri tegak sambil menahan rasa
sakit yang hebat. Terasa darah menetes dari sudut bibirnya. Wajahnya menggeram
dan sepasang matanya
menyipit ketika melihat kehadiran seorang pemuda
tampan berwajah keras pada jarak lima langkah da-
rinya. Pemuda yang mengenakan baju dari kulit hari-
mau itu memandangnya dengan sorot mata tajam se-
perti tidak berkedip.
"Keparat! Apa urusanmu mengacau di sini"!" ben-taknya geram.
"Siapa yang menjadi pengacau sebenarnya" Kau
atau aku?" sahut pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau
Neraka sambil tersenyum sinis.
"Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat karena bisa mengalahkanku" Huh, aku
belum kalah, Keparat!
Akan kucincang tubuhmu dan kujadikan santapan
anjing-anjing kampung yang kelaparan!" dengus Dewo geram seraya mengambil
ancang-ancang untuk bersiap
menyerang kembali.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Tubuh Dewo kembali melesat menderu menyambar
lawan sambil mengerahkan tenaga dalam kuat. Kepa-
lan tangan kanannya menyambar ke arah dahi. Pende-
kar Pulau Neraka mengelak ke samping. Namun ten-
dangan kaki kiri lawan siap menyambut. Dengan tang-
kas dia menangkis dengan tangan kiri, sementara kaki kanannya menyodok ke
lambung lawan. Plak! "Hiyaaa...!"
Tubuh Dewo melompat ke atas untuk menghindari
sodokan kaki lawan, kemudian terus bersalto ke bela-
kang ketika lawan mengejar.
Wuk! Kedua kakinya seperti menggunting menghajar ba-
tok kepala Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu dite-
kuk dengan kepala merunduk dalam-dalam, untuk
menghindari serangan lawan itu.
Setelah serangan itu luput, dia buru-buru menje-
jakkan kaki ke tanah dan menunggu lawan yang masih
mengapung di udara. Tubuhnya berguling dan men-
gayunkan kedua kakinya ke atas, siap menghajar la-
wan. Tapi Pendekar Pulau Neraka bukannya menghin-
dar melihat serangan lawan. Kedua kakinya malah
bersiap memapaki tendangan lawan.
Duk! Desss...! "Aaa...!"
Kedua telapak kaki mereka beradu. Dewo menge-
luh kesakitan ketika terdengar tulang berderak patah.
Tubuh lawan terus berjumpalitan dan sebelum dia
menyadari apa yang akan terjadi, kedua telapak ka-
kinya kembali mendarat di dadanya. Dewo memekik
keras ketika tulang dadanya berderak patah. Tubuh-
nya berkelojotan beberapa kali setelah darah muncrat dengan deras dari mulut,
hidung serta pelupuk matanya. Tubuh Pendekar Pulau Neraka telah melejit lima
langkah dari lawan yang tidak lama kemudian tak bergerak.
"Hm, kehebatan Pendekar Pulau Neraka ter-nyata
bukan nama kosong belaka!" terdengar satu suara lantang menggema di tempat itu.
Bayu menoleh sekilas ke arah datangnya suara itu
dengan sorot mata setajam mata elang!
*** Ketika Bayu melihat beberapa orang yang berada di
tempat itu sama-sama memandangnya dengan wajah
geram dan dendam yang tersirat jelas dari sikap mere-ka yang tidak sabaran untuk
menghajar dirinya, salah seorang dari mereka, yang tadi tidak dilihatnya,
tersenyum kecil. Laki-laki muda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan
memiliki wajah tampan dengan
rambut panjang dan pengikat kepala dari sutera halus warna merah muda. Bajunya
yang warna kuning keemasan terlihat mewah. Dan sepintas lalu terlihat dia sama
sekali tidak mengesankan sebagai seorang tokoh
persilatan. Tapi lebih mirip sebagai orang yang terpelajar. Tubuhnya pun sedang,
dan tidak terlihat otot-otot maupun urat-urat yang menonjol. Satu-satunya yang
terlihat jelas bahwa pemuda itu tak bisa dipandang enteng adalah sorot matanya
yang tajam menusuk, me-
nandakan bahwa dia memiliki tenaga dalam hebat. La-
lu ada lagi ciri khas yang jelas bahwa dia adalah tokoh persilatan, yaitu rantai
besi panjang yang melilit di pinggangnya.
"Dia memang patut mati di tanganmu...!" lanjutnya. Bayu berusaha bersikap
setenang mungkin seraya
berjalan dua langkah mendekati pemuda itu. Kemu-
dian berkata pendek.
"Aku hanya tidak ingin dia, dan juga kalian berbuat sewenang-wenang...," ucap
Bayu tenang. Kemudian kakinya melangkah mendekati Widi Saksana.


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau tahu apa yang telah kau lakukan?"
"Aku tidak akan bertindak kalau aku tidak mengetahuinya."
"Hm, kalau begitu jelas kau mengetahui bahwa po-sisimu berada di tempat yang
salah," lanjut pemuda terpelajar itu sambil tersenyum kecil.
Bayu memandangnya sekilas, kemudian tersenyum
sinis. "Menyerakahi benda yang bukan miliknya, itulah
yang jelas bersalah!"
"Syukurlah kalau memang kau mengerti. Aku je-
laskan kembali agar kau mengetahui duduk persoalan
yang sebenarnya. Kami mencari dua kitab pusaka ke-
punyaan guruku, Nyai Imas Wari yang bergelar Peri
Tambang Setan Ular. Kedua kitab itu lenyap saat gu-
ruku sedang bertapa, dan belakangan kami mendengar
bahwa kedua kitab itu berada di tangan Ki Ageng Sura, guru pemuda itu. Ketika
kami memintanya baik-baik,
dia tidak mau memberikannya. Maka terpaksa kami
menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan mi-
lik kami kembali. Dan saat ini kau membela salah seorang murid orang tua itu
ketika kami berusaha menca-
ri tahu ke mana kedua kitab pusaka milik kami itu
mereka sembunyikan. Nah, menurutmu, siapa yang
bersalah di antara kita berdua...?" tanya pemuda itu setelah menjelaskan secara
ringkas duduk persoalan-nya. "Dusta! Dia mengarang cerita bohong. Guruku bukan
pencuri! Kedua kitab itu merupakan warisan al-
marhum guru Eyang Ageng Sura!" sergah Widi Saksa-na membantah cerita pemuda
terpelajar itu.
"Hm, pernahkah kau mendengar ujar-ujaran orang
tua yang berkata, maling teriak maling" Dia sedang melakukan hal itu untuk
menutupi kebusukan gurunya...," sahut pemuda berbaju kuning emas itu tenang.
"Dusta! Dia berkata dusta! Aku tahu betul karena guruku tidak pernah berkata
bohong. Kedua kitab pusaka itu milik perguruan kami!" sanggah Widi Saksana
kembali. 'Pendekar Pulau Neraka, kudengar kau seorang
yang bijaksana dan mampu menilai mana yang benar
dan mana yang salah. Kau tidak mungkin memper-
cayai ucapannya tanpa fakta yang jelas, bukan?" lanjut pemuda berbaju kuning
emas itu masih tetap dengan
sikap yang tenang.
Bayu tersenyum kecil setelah berpikir sejenak.
"Kalau kau berharap aku bertindak yang adil, kau keliru. Aku bukan hakim yang
baik. Kenapa aku harus
percaya pada kalian?"
"Syukurlah, tanpa kau sadari telah memilih keputusan yang bijaksana. Kau tidak
mengenal kami ber-
dua, tentu tidak akan berpihak pada siapa pun. Maka
kalau kau hendak berlalu dari tempat ini, tentu kami tidak akan
mempersoalkannya.
"Tentu saja, aku akan segera berlalu dari tempat ini setelah membawa kawanku
ini...," sahut Bayu tenang sambil menunjuk Widi Saksana.
"Hm, apa maksudmu, Sobat?" tanya pemuda berbaju kuning keemasan itu masih dengan
sikap tenang. "Mudah saja! Telah kukatakan bahwa aku bukan-
lah hakim yang baik untuk memutuskan persoalan
baik dan buruk. Dan aku akan bebas memilih mana
yang kuanggap baik, dan mana yang kuanggap buruk.
Nah, jika kau memang menyerahkan persoalan ini pa-
daku untuk memutuskannya, kau dan kawan-
kawanmu itu harus bisa menerima keputusanku den-
gan lapang dada. Aku akan membawa pemuda itu per-
gi, dan tidak seorang pun boleh menghalangi," sahut Pendekar Pulau Neraka
enteng. "Hm, sayang sekali. Sebenarnya kau bisa menjadi sahabat yang baik bagiku. Tapi
aku telah mempunyai
sikap, yaitu tidak seorang pun boleh menghalangi
keinginanku. Meski itu malaikat sekalipun!" sahut pemuda itu tandas.
"Ya, memang sayang sekali. Karena aku telah
mempunyai sahabat yang lebih gagah dan tampan di-
bandingkan denganmu!" sahut Bayu seraya tersenyum
mengejek dan memberi isyarat pada Tiren yang sejak
tadi berada agak jauh ketika pertarungan berlangsung.
Monyet berbulu hitam itu melompat di atas pang-
kuan sahabatnya itu seraya berteriak-teriak sambil
menjulurkan lidah mengejek kepada pemuda berbaju
kuning keemasan itu.
"Hm, memang benar. Monyetmu itu memang lebih
tampan dariku. Tapi yang lebih jelas sekali, kau mirip sekali tampannya dengan
dia!" sahut pemuda itu tersenyum mengejek.
"Kau dengar Tiren" Baru sekali ini ada orang yang memujiku!" sahut Bayu seraya
tersenyum girang.
"Ada baiknya kau menjaga peliharaanmu itu, So-
bat. Salah-salah dia akan mencelakakanmu!"
Selesai berkata demikian, pemuda itu mendorong
telapak tangan kanannya ke arah Pendekar Pulau Ne-
raka. Saat itu juga menderu serangkum angin panas
ke arah Bayu. *** "Hup!"
Bayu sama sekali tidak berusaha mengelak. Dia
tersenyum sinis lalu mengibaskan tangan kirinya. Dari situ mendesir angin
kencang yang juga berhawa panas
memapaki pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan.
Desss! "Yeaaa...!"
Pemuda itu agaknya tidak mau menunggu begitu
saja. Tubuhnya langsung bergerak cepat menyerang ke
arah Pendekar Pulau Neraka dengan satu bentakan
nyaring. Bayu pun tidak mau tinggal diam. Dia bisa
menduga bahwa lawan tidak mau bertindak kepalang
tanggung terhadapnya. Terbukti dengan angin seran-
gannya yang kuat bukan main.
Plak! Duk! Telapak tangan lawan yang terkembang dipapa-
kinya. Tangannya terasa linu dan kesemutan akibat
benturan itu. Demikian juga yang dilihatnya di wajah lawan. Berkerut menahan
rasa sakit. Dia belum bisa
menduga sampai sejauh mana kehebatan tenaga da-
lam lawan. Namun dari benturan itu dia merasa yakin
bahwa kemampuan lawan tidak berada jauh di ba-
wahnya. "Ki Dandaka Wario, kenapa musti repot-repot men-gurusinya" Biarkan kami yang
akan membereskan-
nya!" teriak Begara Seta menawarkan diri.
"Apakah kau ingin buru-buru mampus" Nah, kalau
benar, bantulah aku meringkusnya!" sahut pemuda yang dipanggil Dandaka Wario itu
dengan tersenyum
dingin sambil melakukan tendangan keras.
Begara Seta bingung sendiri mendengar jawaban
itu. Dia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Se-
perti mengejek, ataukah memang mengharapkan ban-
tuannya untuk meringkus Pendekar Pulau Neraka"
Dia seperti tidak peduli dengan semua itu. Selama ini setelah mengenal pemuda
itu, dia masih sulit menebak sikapnya. Terkadang sifat Dandaka Wario seperti
tidak peduli sama sekali. Dia tetap teguh pada pendiriannya dan tak mau terusik
sedikit pun. Pernah pula dia bertarung dan mereka membantunya, tapi dia sama
sekali tidak merasa rendah mengerubuti seorang lawan. Pa-
dahal mereka semua mengetahui bahwa kepandaian
pemuda itu hebat luar biasa. Berpikir demikian, dia
merasa perlu untuk membereskan Pendekar Pulau Ne-
raka secepatnya. Terlebih-lebih beberapa orang ka-
wannya sejak tadi memang sudah gatal tangannya me-
lihat kematian Dewo di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Maka tanpa membuang waktu, dia memberi perintah
pada kawan-kawannya untuk menyerang Bayu.
"Hajar dia! Jangan biarkan lolos...!"
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut melihat lebih dari
sepuluh orang dari kawanan itu mengerubutinya den-
gan penuh nafsu membunuh. Agaknya mereka begitu
geram dan siap menghabisinya saat itu juga. Pemuda
itu menggeram. Dia sedikit kerepotan, apalagi ketika Dandaka Wario mulai
menekannya lebih hebat. Bagaimanapun dia mengerahkan kecepatan bergeraknya,
mustahil mampu menghindar dari serangan-serangan
gencar yang dilakukan para pengeroyoknya. Senjata-
senjata tajam mereka bersiuran nyaris melukai kulit-
nya. Widi Saksana mengeluh pelan melihat tuan peno-
longnya menghadapi keroyokan begitu banyak orang.
Dia pernah mendengar bahwa Pendekar Pulau Neraka
memiliki kepandaian hebat dan sangat tangguh. Tapi
menghadapi keroyokan sekian banyak orang yang me-
miliki kepandaian hebat rasanya kecil kemungkinan
dia akan lolos. Dua di antara mereka nyata diketa-
huinya memiliki kepandaian hebat. Yaitu, saudara se-
perguruannya sendiri, Begara Seta, serta pemuda ter-
pelajar yang bernama Dandaka Wario itu. Belum lagi
ketika mereka mulai mengeluarkan senjatanya masing-
masing dan agaknya berniat menghabisi pemuda itu
secepat mungkin.
"Nguk! Nguk..! Kaaakh...!"
Tiren berteriak-teriak seraya berjungkir balik sam-
bil sesekali menutup kedua matanya. Tampak dia me-
rasa khawatir sekali akan nasib sahabatnya itu, dan
tidak tahu harus berbuat apa.
Demikian juga halnya dengan penduduk desa yang
mulai keluar dan menyaksikan pertarungan itu dengan
wajah heran. Sebagian tampak kecut dan merasa ya-
kin bahwa pemuda berbaju kulit harimau itu tidak la-
ma lagi tentu tewas dengan cara yang amat menge-
naskan. Sedangkan yang dialami Pendekar Pulau Neraka
mungkin sama dengan apa yang dikhawatirkan mere-
ka. Apalagi ketika dia merasakan bahwa dirinya betul-betul terjepit. Dandaka
Wario mulai menggunakan sen-
jata rantainya yang amat berbahaya. Senjata yang terbuat dari untaian baja putih
yang di ujungnya terlihat runcing seperti anak panah. Seperti seekor ular,
rantai itu meliuk-liuk dan terus mengejar ke mana saja tubuh Pendekar Pulau
Neraka menghindar. Belum lagi
dia harus menghindari sepasang gelang tajam yang
mendesing-desing dilemparkan Begara Seta. Juga te-
basan-tebasan golok tajam dari para pengeroyoknya
yang lain. "Hup!"
Cras! "Akh!"
Bayu mengeluh kesakitan ketika ujung rantai Dan-
daka Wario menyerempet pinggangnya ketika dia me-
lompat ke atas untuk menghindari sepasang gelang
milik Begara Seta yang mengarah ke leher dan perut-
nya. "Dia sudah terluka! Hajar terus...!" teriak Begara Seta memberi semangat.
"Cincaaang...!"
Pendekar Pulau Neraka menggeram. Tubuhnya me-
lenting tinggi, namun beberapa orang sempat melem-
parkan goloknya menyambar tubuh Bayu. Begitu juga
dengan ujung rantai Dandaka Wario terus mengejar
seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun
padanya. Bayu mengibaskan tangan kanannya ke atas.
'Yeaaa...!"
Siiing! Secercah sinar keperakan yang menyilaukan mata
terpancar dari pergelangan tangannya. Senjata anda-
lannya berupa Cakra Maut mendesing kencang me-
nyambar senjata-senjata lawan yang meluruk ke arah-
nya. Trak! Trak! Breeet! "Aaa...!"
*** 7 Beberapa orang tersentak kaget melihat kelebatan
sinar keperakan itu. Demikian juga halnya dengan
Dandaka Wario dan Begara Seta. Mereka sama sekali
tak menyangka akan hal itu. Tiba-tiba saja terdengar teriakan kesakitan. Enam
orang langsung ambruk
dengan tenggorokan koyak dan perut robek. Golok-
golok mereka patah menjadi dua bagian. Sepasang ge-
lang Begara Seta pun putus menjadi dua potong ketika jatuh ke tanah. Demikian
pula halnya dengan Dandaka Wario. Dia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin
rantai bajanya bisa putus sepanjang lima jengkal dari ujungnya. Padahal selama
ini senjatanya itu amat di-banggakannya.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, kembali
terdengar desingan tajam yang menyambar kerumu-
nan itu. Begara Seta dan Dandaka Wario melompat
jungkir balik menghindarinya. Namun tiga orang anak
buah mereka kembali menjadi korban disambar Cakra
Maut. Breeet! "Aaa...!"
Cakra Maut terus melesat dan kembali ke perge-
langan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Namun secepat itu pula Bayu mengibaskan tan-
gannya kembali, dan Cakra Maut mendesing mengejar
Dandaka Wario. Bersamaan dengan itu pula tubuhnya
melompat mengejar Begara Seta sambil mengirimkan
serangan maut. 'Yeaaa...!"
Plak! "Uhhh...!"
Bukan main kagetnya Begara Seta menghadapi se-
rangan cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Nera-
ka. Dengan bertangan kosong begini dia sedikit kikuk dan merasa kedudukannya
betul-betul berada di bawah angin. Tidak seorang pun kini yang memban-
tunya. Beberapa orang kawannya tampak melarikan
diri setelah merasakan gebrakan balik yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Dia
berusaha menangkis kepalan tangan Bayu. Tapi kemudian terlihat wajahnya
meringis menahan rasa sakit. Tubuhnya melompat ke
belakang untuk menghindari serangan selanjutnya
yang dilancarkan ujung kaki kanan Bayu.


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu tidak langsung mengejar, melainkan berjum-
palitan ke atas untuk menyambar Cakra Maut yang
berbalik ke arahnya. Bersamaan dengan itu tubuh
Dandaka Wario pun melesat ke arahnya sambil men-
gayunkan rantai mautnya.
'Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas,
namun ujung senjata lawan mengejarnya. Dia terus
berjumpalitan menghindarkan diri dari serangan la-
wan. Crok! 'Yeaaa...!"
Ketika tubuhnya melesat ke bawah, ujung rantai
lawan menderu mengejarnya, namun secepat itu pula
kembali dia melenting ke atas sehingga senjata lawan menghantam tanah.
Begara Seta mempergunakan kesempatan itu un-
tuk menghajar lawan dengan satu tendangan mengge-
ledek. Tapi Bayu telah memperhitungkan hal itu. Tan-
gan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut men-
desing menyambar Begara Seta tanpa bisa dielakkan-
nya. Suing! Cras! "Aaa...!"
Begara Seta hanya mampu menjerit tertahan. Ca-
kra Maut menyambar tenggorokannya tanpa bisa di-
hindari. Lehernya terkulai dan nyaris putus dengan
darah segar menyembur dari pangkalnya. Tubuhnya
ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Terlihat
dia menggelepar-gelepar sesaat kemudian diam tidak
berkutik lagi. Menyadari bahwa senjata lawan dapat berbalik lagi
kepada pemiliknya, Dandaka Wario menggunakan ke-
sempatan itu untuk merontokkan Cakra Maut. Tidak
seperti waktu melesat dari sarungnya di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, kembalinya
senjata itu tentu tidak memiliki kekuatan seperti pertama. Demikian
pemikirannya. Tapi Bayu bukannya tidak mengerti apa yang ten-
gah dipikirkan lawan. Begitu Dandaka Wario mengejar
senjatanya, tubuhnya pun berkelebat menyerang la-
wan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
'Yeaaa....'"
Dandaka Wario terkesiap kaget. Buru-buru rantai
mautnya dikibaskan untuk menghancurkan batok ke-
pala lawan. Bayu merundukkan kepala sehingga ter-
hindar dari maut. Tangan kanannya terangkat ke atas, dan Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan
tangannya. Lalu dengan secepat kilat dilemparkannya
kembali ketika sebelah kakinya bam saja menjejak ta-
nah. Bersamaan dengan itu tubuhnya pun kembali
melesat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
Bukan main kagetnya Dandaka Wario melihat dua
serangan sekaligus. Bila dia memapaki senjata lawan, maka pertahanannya akan
terbuka dan lawan dengan
mudah menghajarnya. Tapi bila dia bermaksud mena-
han serangan lawan, bisa jadi senjata Cakra Maut
yang mendesing kencang itu mencelakakan dirinya.
Dandaka Wario menahan napas. Dia memutuskan
untuk menghindari kedua serangan itu sekaligus. Tu-
buhnya berkelit ke samping sambil menundukkan ke-
pala ketika Cakra Maut berdesing keras di dekat telinganya. Namun satu sapuan
tendangan yang dilancar-
kan Bayu nyaris membuat perutnya jebol kalau dia ti-
dak buru-buru melompat ke belakang.
Cras! Begkh! "Aaa...!"
Dandaka Wario lupa memperhitungkan bahwa Ca-
kra Maut itu mampu berbalik kembali meski serangan
awalnya gagal. Senjata yang melesat bagai bumerang
itu menyambar punggung kirinya. Dia mengeluh kesa-
kitan. Keseimbangannya menjadi limbung ketika tu-
buhnya sedikit terhuyung. Pada saat itulah kepalan
tangan kanan Bayu menghantam dengan pukulan
menggeledek ke arah dada lawan tanpa bisa dielakkan.
Dandaka Wario memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal dengan darah kental muncrat dari mulutnya.
Tubuhnya menggelepar-gelepar beberapa saat, untuk
kemudian mengejang. Diam tak bergerak! Isi dadanya
remuk dan jantungnya pecah akibat pukulan yang di-
lancarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk! Nguk...!"
Tiren bertepuk-tepuk girang seraya berlari kencang
mendapati sahabatnya itu. Bayu tersenyum kecil. Setelah menangkap kembali
senjatanya dia menggendong
sahabatnya itu. Lalu melangkah pelan mendekati Widi
Saksaka yang masih duduk bersila untuk mengatur
pernapasan dan jalan darahnya yang kacau akibat per-
tarungannya tadi.
Pemuda itu tersenyum kecil. Apa yang didengarnya
tentang kehebatan Pendekar Pulau Neraka memang
bukan omong kosong belaka. Juga berita tentang ke-
sadisan tokoh itu. Wajahnya sama sekali tidak menge-
sankan apa-apa setelah mengalami pertandingan yang
amat menguras tenaganya tadi.
"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Bayu pelan seraya tersenyum kecil.
"Agak mendingan. Terima kasih atas pertolongan-
mu. Namaku Widi Saksaka...," sahutnya seraya mengulurkan tangan.
"Bayu Hanggara, dan ini sahabatku, Tiren...," sahut Bayu sambil menjabat tangan
pemuda itu. "Kudengar pembicaraan kalian tadi. Dan sepertinya kau tahu banyak tentang
persoalan yang terjadi di antara kami."
'Tidak banyak Aku sedikit mengetahuinya setelah
bertemu dengan adik seperguruanmu."
"Adik seperguruanku?" tanya Widi Saksaka heran.
Dahinya berkerut menandakan kebingungannya.
"Namanya Jaka Permana...," ucap Bayu men-coba menjelaskan.
"Oh, jadi..., jadi Eyang telah mengambilnya sebagai murid!" seru Widi Saksaka
girang. "Hm, apa maksudmu" Bukankah dia adik sepergu-
ruanmu" Kenapa kau katakan gurumu telah mengam-
bilnya sebagai murid?"
Widi Saksaka tersenyum kecil.
"Anak itu tadinya dipungut oleh guru kami ketika masih kecil. Guru kami
menganggapnya sebagai anak
sendiri. Tapi beliau tidak pernah mengambilnya murid dan tak pernah
mengajarkannya ilmu silat. Mungkin
sekarang Eyang telah berubah. Ke mana dia seka-
rang?" "Dia pergi. Kelihatannya curiga padaku. Tapi kurasa dia membawa amanat dari guru
kalian." "Amanat?"
"Entahlah. Mungkin tentang kedua kitab pusaka
yang disebut oleh mereka tadi."
"Astaga! Kalau benar demikian, tentu dia sedang dalam bahaya besar! Aku harus
menolong-nya!" seru Widi Saksaka dengan wajah kaget.
Bayu terdiam beberapa saat ketika pemuda itu
memandangnya dengan seksama. Kemudian berujar
pendek. "Maaf, aku telah membunuh saudara sepergu-
ruanmu. " "Huh, dia memang pantas menerima kematian aki-
bat pengkhianatan yang dilakukannya!" dengus Widi Saksaka geram.
Bayu memandangnya dengan wajah bingung.
"Gara-gara dia, guru sampai ditawan oleh gadis celaka itu!"
"Kau pun mengetahui kalau gurumu telah di-
culik?" Widi Saksaka mengangguk, kemudian menghela
napas panjang. "Begara Seta kepincut dengan gadis itu dan akhirnya membeberkan tentang kedua
buah pusaka pergu-
ruan yang sering diceritakan guru kepada kami. Kedua pusaka itu kelak akan
diturunkan kepada salah seorang di antara kami yang akan dipilihnya. Setan telah
merasuki hati saudara seperguruanku itu. Dia betul-betul kepincut dengan godaan
gadis celaka itu!" desis Widi Saksaka menahan geram.
Bayu mengangguk-angguk mendengar penuturan
pemuda itu. "Kalau memang Begara Seta telah membeberkan
kedua pusaka itu, kenapa mereka masih mengejar-
ngejar gurumu dan kau sendiri?"
"Itulah yang sengaja diciptakan oleh guru kami.
Eyang Ageng Sura bercerita tentang kedua pusaka itu
pada kami tidak bersamaan. Semula kami tidak men-
getahui bahwa guru menceritakan pada kami berdua,
sebab ketika itu Eyang hanya berpesan bahwa hanya
aku saja yang mengetahui rahasia itu dan tidak boleh membocorkannya pada Begara
Seta. Kurasa beliau
pun bercerita hal yang sama pada Begara Seta. Juga
tentang pesan untuk merahasiakannya. Kami sendiri
tidak mengetahui di mana kedua kitab pusaka itu dis-
embunyikan, sebab guru kami telah berjanji jika tiba saatnya kelak, beliau akan
memanggil kami pulang untuk mempelajari kitab pusaka itu. Begara Seta merasa
yakin bahwa aku mengetahui di mana kedua kitab pusaka itu disembunyikan. Semula
dia membujukku dengan cara halus, tapi karena aku tidak mengatakan
juga, dia akhirnya marah dan menyerangku. Aku me-
larikan diri, tapi agaknya mereka tidak ingin membiarkanku lepas begitu saja.
Dan akhirnya kau tahu sendi-ri apa yang kualami di tempat ini...," jelas Widi
Saksaka panjang lebar.
Bayu kembali mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penjelasan Widi Saksaka.
"Lalu dari mana kau mengetahui bahwa gurumu
diculik mereka?"
"Begara Seta mengatakannya ketika dia mengan-
camku." Keduanya saling pandang sejenak kemudian Widi
Saksaka bangkit dan melangkah pelan. Wajahnya keli-
hatan bingung sekali ketika dia kembali memandang
Pendekar Pulau Neraka. Ada yang ingin dikatakannya,
namun seperti tidak keluar dari tenggorokannya.
"Ada sesuatu yang bisa kulakukan...?" tanya Bayu.
"Eh, aku..., aku tidak enak hati. Pertolonganmu telah cukup banyak."
"Bagaimana kalau kita berusaha membebaskan gu-
rumu?" "Apakah..., apakah kau bersedia menolong-ku?"
"Kenapa tidak?"
"Tapi..., gadis itu memiliki kepandaian yang hebat.
Kalau kau sampai celaka, aku tentu merasa sangat
bersalah sekali karena telah menyeretmu pada persoa-
lan kami."
"Jangan pikirkan hal itu. Mari kita pergi mencari gurumu dan membebaskannya!"
"Eh, terima kasih atas kesediaanmu. Tapi..., apakah tidak lebih baik kalau kita
mencari Jaka Permana lebih dulu?"
Bayu berpikir sejenak, kemudian berkata pelan.
"Apakah kau tahu di mana sarang mereka?"
Widi Saksaka mengangguk cepat.
"Kita berangkat sekarang!" sahut Bayu cepat.
'Tapi..., bagaimana dengan Jaka Permana" Aku
khawatir terjadi apa-apa dengannya...."
"Kita akan urus nanti. Saat ini menyelamatkan
guru lebih utama dibanding dengan menyelamatkan
saudara seperguruan yang belum ketahuan nasibnya!"
sahut Bayu tandas.
Widi Saksaka diam saja. Dalam hati dia membe-
narkan apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
Tak berapa lama kemudian mereka telah berlari dari
desa itu. *** Nyi Imas Wari bangkit dari kursinya. Wajah gadis
berparas cantik itu tampak gusar. Dengan sepasang
bola mata mendelik tajam dia menghardik tiga orang
laki-laki yang duduk bersila sambil menundukkan ke-
pala di hadapannya.
"Kalian betul-betul tidak becus, dan tidak bisa ku andalkan! Meringkus satu
orang saja kalian tidak
mampu!" 'Tapi, Nyi... pemuda itu betul-betul hebat kepan-
daiannya. Bahkan Ki Dandaka Wario mampu dibina-
sakannya setelah Ki Begara Seta tewas...," sahut salah seorang di antara mereka.
"Apa katamu?"
"Benar, Nyi. Ki Dandaka Wario dan Ki Begara Seta tewas di tangannya."
"Keparat! Akan kuremukkan batok kepala pemuda
itu!" geram Nyi Imas Wari sambil mengepal-kan kedua tangannya. Wajahnya tampak
kelam dengan tarikan
keras menandakan kemarahan hatinya yang memun-
cak. "Siapa pemuda itu?""
"Eh, Ki Dandaka Wario agaknya mengenalnya.
Dia..., dia yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...."
"Pendekar Pulau Neraka" Hm, pantas nama itu be-
lakangan ini amat menggetarkan rimba persilatan. Ka-
kang Dandaka Wario boleh kalah di tangannya, tapi
jangan harap dia mampu menaklukkanku!" desis Nyi Imas Wari dengan sorot mata
tajam. "Apakah..., apakah Nyi Imas Wari akan menggem-
purnya?" "Goblok! Apa kau pikir aku akan berbaik-baik padanya"!"
"Eh, maafkan kami, Nyi. Tapi kalau memang niat
Nyi Imas Wari demikian, itu memang sudah seharus-
nya. Pemuda sombong itu harus diberi pelajaran. Ka-
lau tidak, dia akan merasakan dirinya hebat tak terka-lahkan."
"Tutup mulut kalian!"
Orang itu kembali menundukkan kepala dengan
wajah kecut. "Kalian tidak perlu mengajariku! Kalian sendiri kerja tidak becus, dan untuk itu
ada hukuman tersendiri buat kalian!"
Ketiga orang itu terkejut mendengar keputusan Nyi
Imas Wari. "Eh, ampuni kami, Nyi. Jangan hukum kami...,"


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut mereka dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Siapa yang mengatakan bahwa aku akan meng-
hukum kalian" Aku justru akan membebaskan kalian
dari siksaan!"
"Oh, terima kasih, Nyi! Terima kasih!" sahut mereka serentak menarik napas lega.
"Memiliki jiwa pengecut adalah siksaan batin dan sulit diobati. Aku akan
mengobati kalian dan melepaskan siksaan itu...," sahut Nyi Imas Wari seraya
tersenyum kecil.
Setelah selesai berkata begitu, Nyi Imas Wari me-
masukkan tangannya ke balik baju, kemudian men-
gembangkannya ke depan. Dari situ melesat jarum-
jarum beracun yang langsung menerpa ketiga orang
laki-laki yang berada di hadapannya. Mereka memekik
kesakitan, dan ambruk seketika dengan tubuh kejang
membiru. "Huh, orang-orang seperti kalian tak pantas hidup
lebih lama lagi. Kematian lebih pantas bagi kalian!"
dengusnya sinis.
Nyi Imas Wari menepuk tangannya tiga kali, dan
tak berapa lama masuk dua orang laki-laki bertubuh
kekar ke dalam ruangan itu.
"Seret mereka dan berikan pada anjing-anjing hutan kelaparan!"
"Baik, Nyi...!"
"Panggilkan Gotoloko ke sini!"
"Baik, Nyi...!" sahut kedua laki-laki bertubuh kekar itu bersamaan.
Setelah menunggu beberapa saat, masuklah seo-
rang laki-laki bertubuh besar dan kekar ke dalam
ruangan itu. Wajahnya seram dan berkumis tebal den-
gan kepala botak. Di punggungnya terlihat sebilah pedang yang cukup besar dan
berat. Dia memberi hormat
pada Nyi Imas Wari, kemudian duduk bersila di hada-
pannya. "Bagaimana dengan tua bangka itu" Apakah dia
masih tak mau bicara?"
"Ampun, Gusti Ayu. Aku telah berbuat sekuat ke-
mampuanku, tapi dia tak juga mau bicara. Keadaan-
nya betul-betul amat lemah. Kalau aku terus menyik-
sanya, dia mungkin akan tewas."
"Kurang ajar!" gadis itu menggeram sambil menge-palkan sebelah tangannya.
"Saat ini dia tengah tak sadarkan diri, Gusti Ayu.
Tapi begitu sadar, aku akan memaksanya lagi untuk
memberitahukan di mana kedua kitab pusaka itu be-
rada...," kata Gotoloko melanjutkan keterangannya.
Nyi Imas Wari berkali-kali mendengus geram.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Nyi?"
Nyi Imas Wari memandangnya sekilas, kemudian
kembali menghela napas kesal sambil menggeleng le-
mah. 'Tidak. Untuk saat ini sudah cukup. Kembalilah
kau ke tempatmu."
"Baik, Gusti Ayu."
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menjura hor-
mat, kemudian berlalu dari tempat itu. Namun baru
saja dia menghilang dari balik ruangan itu, terdengar teriakan-teriakan panjang
dari arah luar. Nyi Imas Wa-ri tersentak kaget dan buru-buru keluar untuk
melihat apa yang sedang terjadi.
Bukan main geramnya dia ketika melihat seorang
pemuda berbaju kulit harimau tengah membantai
anak buahnya satu persatu. Gerakannya amat gesit
dan tenaganya kuat. Terlihat lebih dari tujuh orang
anak buahnya terkapar di tanah dalam keadaan yang
mengerikan. "Pendekar Pulau Neraka, hentikan perbuatan-mu!
Akulah tandinganmu, bukan mereka!" teriak Nyi Imas Wari geram.
*** 8 Pemuda berbaju kulit harimau yang tengah men-
gamuk itu tak lain memang Pendekar Pulau Neraka.
Begitu mendengar bentakan itu, serentak para penge-
royoknya menghentikan serangan. Bayu memandang
ke arah gadis yang tadi mengeluarkan bentakan nyar-
ing itu. Widi Saksaka yang berada di dekatnya dan sedang menggendong Tiren,
berbisik ke telinga pemuda
itu. "Gadis itulah yang kukatakan tadi. Hati-hati, kepandaiannya hebat sekali.
Terutama tambang yang
melingkar di pinggangnya itu."
Bayu melihat dengan seksama ke arah gadis berpa-
ras cantik itu, juga memperhatikan tambang yang me-
lilit rapi di pinggangnya yang ramping. Sekilas melihat penampilannya, orang
tidak akan menyangka bahwa
gadis itu kejam dan memiliki kepandaian yang hebat.
"Hm, jadi diakah orang yang kau andalkan untuk
menghadapiku, Widi?" dengus gadis itu sinis.
"Kaukah majikan tempat ini?" Bayu menimpali dengan pertanyaan pula seraya
memberi isyarat pada
Widi Saksaka agar tidak mempedulikan ejekan gadis
itu. "Ya, akulah orangnya...," sahut gadis itu dengan wajah angkuh.
"Hm, kalau begitu bebaskanlah orang tua itu!"
"Huh, seenaknya saja kau bicara! Siapa pun yang berani masuk daerah kekuasaanku,
maka mutlak dia
adalah tawananku. Dan kalian telah melakukannya,
bahkan berani membunuh anak buahku, maka kalian
berdua adalah tawananku!"
Bayu tersenyum sinis dan berkata dengan lantang-
nya. "Aku adalah penguasa diriku, dan tak seorang pun kubiarkan menguasai
diriku. Apalagi menjadikanku
tawanan!" "Akan kulihat, sampai di mana kebenaran kata-
katamu itu!" sahut gadis itu seraya memberi isyarat pada Gotoloko untuk
meringkus pemuda itu.
Gotoloko menggeram ketika tubuhnya yang besar
bagai raksasa itu melompat dan menggetarkan tanah
yang berada di sekitar tempat itu.
Bayu memandang dengan wajah sinis. Dia menoleh
sekilas, dan melihat sekitar lima belas orang anak
buah gadis itu yang masih tersisa. Dan di antara me-
reka agaknya hanya si raksasa ini yang menjadi anda-
lannya. Bayu menyipitkan mata seperti hendak me-
naksir sampai di mana kekuatan lawannya ini.
"Ghrrr...! Akan kurencah tubuhmu, Bocah!" geram Gotoloko sambil menyeringai
lebar. Bersamaan dengan itu juga tubuhnya yang besar
meluruk mencengkeram Bayu. Pemuda itu berkelit ke
samping, namun dengan sigap tangan Gotoloko me-
nyapu pinggangnya. Terpaksa Bayu melompat ke atas
sambil terus melewati kepala lawan. Dia ingin menguji, sampai di mana kecepatan
bergerak raksasa ini.
"Hup!"
Wuk! Gotoloko berusaha menyambarnya, namun tan-
gannya hanya mengenai angin belaka. Tubuh pemuda
itu telah berada di belakangnya. Ketika dia berbalik hendak menyapu dengan satu
tendangan bertenaga
kuat, tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mencelat ke
sampingnya sambil melakukan tendangan keras.
Jder! "Aaakh!"
Gotoloko mengeluh kesakitan ketika tendangan
Bayu menghajar dadanya. Tubuhnya ambruk dan ter-
jungkal sejauh empat langkah. Belum lagi dia berusa-
ha bangkit, Bayu telah mengirim tendangan kembali.
Des! Krak! "Aaakh...!"
Gotoloko memekik kesakitan. Rahangnya patah ke-
tika tulang lehernya patah. Dadanya seperti dihantam bandul besi yang beratnya
puluhan kati, sehingga terlihat tulang rusuknya melesak ke dalam.
Bayu mendengus pelan.
"Huh, kau hanya memiliki gentong kosong yang tak berisi!"
"Pendekar Pulau Neraka, kau memang hebat! Tak
percuma banyak tokoh persilatan yang takut terha-
dapmu. Aku menawarkan kerja sama dengan imbalan
yang memuaskan asal kau mau berada di pihakku,"
sahut Nyi Imas Wari seraya melangkah genit mendeka-
ti pemuda itu sambil tersenyum sinis.
Bayu tersekat sesaat lamanya. Dia tidak begitu
mudah dirayu oleh wanita walau bagaimanapun can-
tiknya. Tapi kali ini ada yang aneh. Sorot mata gadis itu seperti memancarkan
daya pesona sihir yang hendak membetot sukmanya. Kejantanannya perlahan-
lahan bangkit tanpa bisa dikendalikan seiring langkah gadis itu yang perlahan-
lahan mendekatinya.
"Bayu, jangan tatap matanya! Dia sedang menggu-
nakan ilmu sihir untuk mempengaruhimu!" teriak Widi Saksaka memperingatkan.
"Jangan dengarkan ocehannya, Sayang. Ketahuilah olehmu, aku telah lama
merindukanmu. Setiap saat
namamu ku sebut, dan ku impikan dalam tidurku. Oh,
dekaplah aku. Dekaplah aku dalam pelukanmu...!"
rayu Nyi Imas Wari seraya terus melangkah mendekati
Bayu. Tiren berteriak-teriak dengan suara meleng-king,
kemudian melompat dari pangkuan Widi Saksaka dan
terus berjumpalitan di tanah, dan melenting dengan
ringan di pundak Bayu. Dia menjerit keras.
"Kaaakh...!"
"Uhhh...!"
Bayu yang tadi terpaku dengan wajah takjub terpe-
sona oleh kecantikan dan kelembutan suara Nyi Imas
Wari, kini seperti tersadar dari mimpi oleh teriakan melengking di telinganya.
*** "Monyet jahanam, kubunuh kau! Hih...!"
Melihat usahanya digagalkan oleh Tiren, Nyi Imas
Wari marah bukan main. Telapak tangannya disorong-
kan ke depan. Dari situ menyambar jarum-jarum bera-
cun yang sangat halus menerpa monyet itu dan Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu buru-buru melompat ke atas, namun Nyi Im-
as Wari agaknya telah memperhitungkan hal itu. Dia
meloloskan tambang di pinggangnya dan memutarnya
perlahan-lahan. Salah satu ujung tambang melesat ke
arah Pendekar Pulau Neraka bagai anak panah, se-
mentara ujung yang satunya lagi berada dalam geng-
gaman gadis itu.
"Mampus kau...!"
"Hup!"
Bayu mencelat turun, namun ujung tambang itu
terus mengikutinya. Juga ketika tubuhnya bergulingan dan kembali melenting ke
atas dan ke mana pun dia
bergerak. Pemuda itu geram sendiri jadinya. Dia tidak mampu menjangkau tambang
itu sebab ingat apa yang
dipaparkan oleh Jaka Permana dan Widi Saksana ten-
tang kehebatan senjata lawan. Begitu mendekat, dia akan langsung melibat dan
melilit sendiri bagai seekor ular menyantap mangsa.
"Hi hi hi...! Ayo, bertahanlah terus sampai kau ke-habisan napas. Ayo, lawanlah
senjataku ini dengan
senjatamu yang hebat itu! Ayo, keluarkan senjatamu
itu...!" Bayu mendengus geram. Keadaannya kini memang
serba salah. Walaupun dia bergerak cepat untuk me-
nyerang gadis itu, maka ujung tambang lawan akan
lebih cepat lagi menyambarnya. Sekali saja dia terbelit, maka akan sukar
melepaskan diri, karena semakin
kuat dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mele-
paskan lilitan, maka tambang itu akan semakin kuat
membelit. "Hiyaaa...!"
Siiing...! Bayu membentak nyaring ketika mengibaskan tan-
gan kanannya! Dalam keadaan terjepit begini tak ada
kesempatan lagi baginya membela diri selain memapa-
ki serangan lawan dengan Cakra Maut.
"Hm, kenapa tidak sejak tadi saja kau keluarkan senjatamu?" ujar Nyi Imas Wari
sinis. Tapi sesaat kemudian gadis itu terkejut bukan
main ketika mencoba membelit Cakra Maut dengan
senjatanya. Tes! "Hei"!"
Tambangnya yang sangat dibanggakan dan dian-
dalkan itu terbabat putus oleh senjata Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi habis
rasa kagetnya, mendadak sa-ja Cakra Maut itu mendesing menyambar lehernya. Nyi
Imas Wari terkejut dan cepat membuang diri ke samp-
ing. "Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat sambil
berjumpalitan untuk menangkap senjatanya kembali
dan terus menghajar lawan dengan satu tendangan
menggeledek. Plak! Wuk! Nyi Imas Wari mencoba menangkis dengan tangan
kirinya. Namun tangannya terasa linu ketika benturan terjadi. Dia mengeluh
kesakitan. Namun masih sempat
menundukkan kepala untuk menghindari sapuan ten-
dangan lawan berikutnya. Tubuhnya melompat ke be-
lakang sambil menyerang lawan dengan tambang
mautnya. Wut! Siiing! Bersamaan dengan senjatanya membelit ping-gang
Pendekar Pulau Neraka, Cakra Maut melesat menyam-
bar dadanya tanpa bisa dielakkan lagi.
Cras! "Aaa...!"
Nyi Imas Wari memekik kesakitan. Dadanya robek
lebar ketika tulang rusuknya patah. Tubuhnya ter-
jungkal bersimbah darah, dan tewas beberapa saat
kemudian. "Kurang ajar! Serang dia! Bunuh...!"
Melihat majikannya tewas, anak buah Nyi Imas
Wari yang masih tersisa, tidak mau tinggal diam. Me-


Pendekar Pulau Neraka 42 Warisan Kitab Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka menyerbu Pendekar Pulau Neraka dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Dengan senjata terhunus,
mereka menyerang dengan membabi buta.
'Yeaaa...!"
Melihat keadaan itu Bayu serentak menyambar
Cakra Mautnya dan dengan geram menghajar mereka
dengan senjatanya itu.
Siiing! Bret! Cras! "Aaa...!"
Tiga orang langsung ambruk bermandikan darah
disambar senjata maut itu. Bayu melesat cepat men-
gayunkan tendangan ke arah dua orang yang mende-
kat ke arahnya.
Duk! Desss! "Aaa...!"
Dua orang lagi terjungkal dengan dada remuk. Tu-
buh Pendekar Pulau Neraka terus berkelebat seraya
menyebar Cakra Mautnya dan kembali melepaskannya
dengan geram. Tenggorokan mereka robek dan tulang
lehernya patah. Nyawa mereka terbang saat itu juga.
Melihat sepak terjang pemuda itu yang ganas dan
tak kenal ampun, sisanya melarikan diri. Namun Bayu
betul-betul tak memberi ampun pada mereka. Cakra
Mautnya kembali berputar mengejar dan menyambar
punggung tiga orang yang terlambat melarikan diri. Ke-tiganya memekik ketika
tubuh mereka ambruk ber-
mandikan darah.
Bayu mendengus pelan dan membiarkan sisanya
melarikan diri. Kemudian dia memandang ke sekeliling tempat itu. Widi Saksaka
tak ada. Tiren menunjuk-nunjuk ke satu arah. Bayu mengangguk sambil terse-
nyum kecil. "Hm, syukurlah dia telah menemukan gurunya.
Kalau begitu tugas kita telah selesai, Tiren. Mari kita tinggalkan tempat ini,"
kata pemuda itu seraya menyambar tubuh monyet kecil itu dan melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
*** Apa yang ditunjukkan Tiren memang benar. Begitu
melihat mereka mengerubuti Pendekar Pulau Neraka,
Widi Saksaka menyelinap masuk ke, dalam gedung di
depannya dan menemukan gurunya terkulai lemah da-
lam sebuah ruang penyiksaan. Buru-buru dilepaskan-
nya belenggu yang mengikat kedua tangan dan kaki
orang tua itu. buahnya.
"Pendekar Pulau Neraka membantuku, Eyang. Dia
telah membinasakan gadis itu, dan seluruh anak
buahnya. Juga termasuk Kakang Begara Seta...," jelas Widi Saksaka.
"Pendekar Pulau Neraka" Oh, syukurlah...."
"Tapi aku belum menemukan adik Jaka Per-mana."
"Ah, sampai aku lupa memberitahukannya pada-
mu. Lekaslah kau tolong dia. Mereka pun telah me-
nyekapnya di ruangan lain. Aku akan menolong Pen-
dekar Pulau Neraka!"
"Tak perlu, Eyang. Terakhir kulihat dia tengah
membantai anak buah gadis itu. Mereka pasti tidak
akan selamat di tangannya!"
"Ah, tokoh itu memang hebat, dan sekaligus kejam.
Dia tentu tidak akan membiarkan mereka selamat seo-
rang pun!" gumam Ki Ageng Sura sambil menggeleng lemah dan menghela napas
pendek. Orang tua itu melangkah pelan keluar dari ruan-
gan ketika Widi Saksaka mencari Jaka Permana di
ruangan lain. Namun ketika tiba di halaman depan,
tak dijumpainya seorang pun di sana. Yang ada hanya
mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan yang
mengenaskan. Termasuk mayat gadis yang menculik-
nya tempo hari.
Ki Ageng Sura kembali menggeleng kecil.
"Hm, kabar tentangnya memang bukan omong ko-
song belaka. Kepandaian mereka hebat, tapi dia tidak mampu mengalahkannya...."
'Eyaaang...!" teriak seseorang.
Ki Ageng Sura cepat berbalik dan melihat seorang
pemuda tanggung berusia sekitar lima belas tahun,
berlari-lari kecil menghampirinya, dan berlutut di kakinya.
"Syukurlah kau selamat, Jaka...."
"Eyang tak apa-apa...?" tanya Jaka Permana dengan wajah cemas.
Ki Ageng Sura tersenyum kecil sambil menggeleng
lemah. Dilihatnya wajah Jaka Permana agak memar.
Begitu juga dengan bagian tubuhnya yang lain. Tentu
saja telah mendapat siksaan yang cukup parah.
"Lho, ke mana perginya dia, Eyang?" tanya Widi Saksaka yang tadi menyertai Jaka
Permana. "Apakah yang kau maksud Pendekar Pulau Nera-
ka?" Widi Saksaka mengangguk cepat.
"Dia telah pergi."
"Eyang sempat menjumpainya?"
"Tidak..."
"Ah, kita belum sempat mengucapkan terima kasih padanya...," keluh Widi Saksaka
pelan. "Pendekar sepertinya tak memerlukan basa-basi
dari ucapan terima kasih seseorang yang telah dito-
longnya, Widi."
"Aku masih merasa bersalah karena mencuri-
gainya, Eyang...," ucap Jaka Permana lirih.
"Sudahlah. Di lain waktu kau akan sempat men-
jumpainya dan menyatakan penyesalan sekaligus rasa
terima kasihmu...," hibur Ki Ageng Sura.
"Eyang, ada yang ingin kutanyakan. Apakah sebe-
narnya Eyang menyimpan kedua kitab pusaka yang
mereka inginkan itu?" tanya Widi Saksaka dengan wajah sungguh-sungguh.
Ki Ageng Sura mengangguk.
"Dan Eyang bermaksud mewariskannya pada salah
seorang di antara kami?"
Ki Ageng Sura kembali mengangguk.
"Widi, dengarkanlah. Kedua kitab itu merupakan
pelajaran ilmu silat yang hebat. Kelak jika kalian telah memiliki tenaga batin
yang hebat barulah aku mempercayai pada kalian berdua karena telah terbukti
kini, siapa sebenarnya muridku yang berbakti...."
"Dan untuk sekarang ini kami tidak boleh menge-
tahui di mana Eyang menyimpan kedua kitab pusaka
itu, bukan?" tanya Widi Saksaka meyakinkan sambil tersenyum kecil.
Ki Ageng Sura mengangguk.
"Eyang, aku pun punya pertanyaan...," sergah Jaka Permana.
"Aku masih ingat pesan yang Eyang berikan sebe-
lum Eyang tertangkap. Apa maksudnya?"
Ki Ageng Sura tersenyum kecil.
"Ketika aku mengetahui bahwa ada orang yang
menginginkan kedua kitab pusaka itu, maka aku me-
mastikan bahwa salah satu atau kedua muridku telah
mengkhianatiku, sebab selama ini tidak seorang pun
yang mengetahui rahasia kedua kitab pusaka itu se-
lain kedua muridku. Untuk itulah aku memutuskan
bahwa kau sebagai pewarisnya karena yakin bahwa
mereka akan membunuhku. Tapi Tuhan agaknya ber-
kehendak lain, dan aku tidak malu mencabut kata-
kataku sendiri agar sesuatunya berjalan dengan adil
dan bijaksana. Kujanjikan kedua kitab itu akan kuwa-
riskan pada kalian...," jelasnya.
Jaka Permana dan Widi Saksaka tersenyum kecil.
"Tapi, Eyang. Masih ada lagi yang mengganjal di benakku soal pesan Eyang
tersebut. Sepertinya sebuah teka-teki bagiku," lanjut Jaka Permana.
'Teka-teki itu akan kau pecahkan sendiri jika wak-
tunya tiba dan akalmu bisa mencernakannya. Nah,
apa yang jelas kau tangkap dari teka-teki dalam pe-
sanku itu"' tanya Ki Ageng Sura tersenyum.
"Ada yang harus kupakai dan ada yang musti ku
buang. Benarkah itu, Eyang?"
"Kau benar. Demikian pula dengan kedua kitab itu.
Hanya satu yang bisa kalian pelajari sedangkan sa-
tunya lagi adalah kitab yang menyesatkan. Bagaima-
napun kuatnya batin kalian, tapi karena kedua kitab
itu ilmu silat yang sangat dahsyat dan memiliki hawa panas yang mampu menguasai
serta menyeret kalian
ke dalam pikiran jahat, maka faktor pertama yang per-lu dikuasai adalah kekuatan
batin untuk bisa mengu-
asai diri...," jelas Ki Ageng Sura.
"Kami mengerti, Eyang...," sahut kedua murid-nya
serentak. "Syukurlah kalau kalian telah memahami hal itu.
Sesungguhnya kedua kitab itu ilmu silat yang berasal dari seorang tokoh sesat
yang memiliki kepandaian
hebat. Dan tokoh sesat itu adalah kakek buyut guru-
ku. Generasi di bawahnya tidak sembarangan yang
mampu mempelajarinya, karena kalau batin mereka
tidak kuat hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak
gila, maka dia akan tersesat dalam sifat jahat yang
menyesatkan," jelas Ki Ageng Sura kembali.
"Eyang, kabarnya guru Pendekar Pulau Neraka
adalah bekas tokoh sesat?" tanya Widi Saksaka.
"Ya. Dan kau bisa melihat sendiri apa yang di-
lakukan muridnya, bukan" Bisa kau bayangkan kehe-
batan tenaga batin pemuda itu sehingga tidak mem-
pengaruhi pikirannya untuk berbuat jahat. Namun
demikian, masih terlihat sisi jahat dari ilmu yang dimilikinya, yaitu hawa kejam
dalam membunuh lawan-
lawannya. Kalian bisa memetik pelajaran dari dirinya."
Kedua pemuda itu kembali mengangguk-
anggukkan kepala.
Tak berapa lama mereka telah melangkah pelan
meninggalkan tempat itu.
SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Sinar Emas 10 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Pedang Medali Naga 10
^