Pencarian

Setan Seribu Nyawa 1

Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa Bagian 1


SETAN SERIBU NYAWA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Setan Seribu Nyawa
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Siang hari di Desa Ngampar Cai terlihat cerah. Ma-
tahari bersinar tidak terlalu garang, sementara awan
putih bergerumbul menaungi membuat suasana se-
makin teduh. Desa yang memiliki penduduk cukup
ramai itu, hari ini semakin semarak saja dengan
adanya suatu keramaian di salah satu rumah yang be-
rukuran paling besar dan mewah di desa ini. Juragan
Sasmita Dimeja yang merupakan orang paling kaya di
desa itu tengah melangsungkan pesta perkawinan pu-
tra pertamanya yang bernama Danu Umbara dengan
seorang gadis dari desa seberang bernama Diah Ke-
muning. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan
bertubuh besar itu tampak mengumbar senyumnya
ketika menyambut tamu-tamunya yang semakin ramai
berdatangan. "Selamat, Juragan! Mudah-mudahan lekas menda-
pat cucu yang manis dan tampan...," kata Ki Darwono, kepala desa itu sambil
tersenyum lebar.
'Terima kasih, Ki Darwono. Silakan...!" kata Juragan Sasmita Dimeja sambil
mempersilakan tamunya
itu menyalami kedua mempelai yang duduk di ruangan
depan berhiaskan tempat duduk yang besar serta te-
rukir indah. "Wealah, Danu! Bisa-bisanya kau mendapat-kan
bidadari secantik ini. Hati-hati menjaganya. Salah-
salah disambar orang lain nantinya dan kau tidak
mungkin akan mendapatkan seperti ini lagi!" seloroh Ki Darwono sambil menyalami
pemuda itu. "Ah, Ki Darwono bisa saja...," sahut pemuda itu tersenyum.
Diah Kemuning menundukkan kepala sambil ter-
senyum mendengar gurauan laki-laki kurus berusia
sekitar lima puluh tahun itu,
"Hm, tidak mengherankan kalau anaknya secantik
ini jika ternyata ibunya pun seperti bidadari di sorga-loka!" lanjut kepala desa
itu kembali bergurau ketika menyalami kedua orangtua pihak pengantin wanita.
Wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu terse-
nyum kecil. Apa yang dikatakan Ki Darwono tidak sa-
lah. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah
dengan kulit kuning langsat. Bahkan sepintas dengan
Diah Kemuning seperti antara kakak beradik saja
layaknya. Kepala Desa Ngampar Cai itu memang supel dan
dekat dengan warganya. Selain itu beliau juga senang
berkelakar sehingga tidak mengherankan bila seluruh
penduduk desa ini menyukainya. Bahkan ketika rom-
bongan kesenian yang diundang Juragan Sasmita Di-
meja mulai menggelar pertunjukan dengan mengada-
kan tari-tarian, Ki Darwono tidak segan-segan untuk
menari pula bersama beberapa orang undangan lain-
nya. "Ki Darwono, awas...! Jangan sampai matanya melotot dengan gadis berbaju
merah itu!" teriak seorang warga dengan nada menggoda.
Ki Darwono cuma mesem-mesem saja mendengar
godaan itu sambil terus berjoget bersama seorang ga-
dis berwajah manis yang memakai kebaya merah.
Semua orang dalam pesta perkawinan itu memang
bergembira, seolah larut dalam suasana kemeriahan
itu. Berbagai tepuk sorak-sorai berkali-kali berkumandang dan wajah-wajah
keceriaan menghiasi setiap wa-
jah mereka. Namun ternyata tidak semuanya larut da-
lam kegembiraan pesta itu, karena istri Juragan Sas-
mita Dimeja sejak tadi lebih banyak membisu dengan
wajah murung. "Kenapa, Bu..." Apa Ibu tidak merasa bergembira
pada pesta perkawinan anak kita ini...?" tanya Juragan Sasmita Dimeja dengan
wajah heran. Wanita berwajah cantik dan berusia sekitar tiga
puluh tujuh tahun itu tersenyum tipis sambil melirik
sekilas suaminya itu.
"Aku gembira, bahkan sangat gembira melihat per-
kawinan anak kita...," jawabnya pelan.
"Lalu mengapa wajahmu murung...?"
Wanita itu tidak langsung menjawab melainkan
menarik napas agak panjang. Kemudian berkata den-
gan lirihnya. "Aku punya firasat buruk dari mimpiku yang su-
dah tiga malam ini datang berturut-turut..."
"Hm, mimpi itu lagi...," desah Juragan Sasmita Dimeja seperti tidak percaya dengan
firasat istrinya itu.
"Apakah Kakang tidak mempercayainya...?"
"Mimpi hanya bunga tidur, kenapa kita harus
mempercayainya"
Sudahlah, jauhkan bayang-
bayangan mimpi itu. Kalau Ibu terlalu percaya maka
kita akan dihantuinya terus," kata Juragan Sasmita Dimeja.
"Aku melihat desa kita ini terbakar oleh lautan api dan orang-orang sibuk
menyelamatkan diri sambil
menjerit-jerit ketakutan. Lalu sekelompok awan hitam
kemudian menelan seluruh penghuni desa ini...!" desis wanita itu dengan wajah
semakin cemas. "Sudahlah, Bu. Jangan terlalu dipikirkan hal itu.
Kita berdoa saja mudah-mudahan perkawinan anak ki-
ta selamat dan mereka menempuh hidup yang bahagia
berdua," hibur Juragan Sasmita Dimeja.
Wanita itu tidak mengangguk. Wajahnya tidak be-
rubah dari kecemasan hatinya. Tatapannya kosong
melihat keramaian orang-orang yang bergembira dalam
suasana pesta itu.
Danu Umbara yang duduk di sebelah ibunya itu
bukan tidak memperhatikan wajah ibunya yang resah
itu. "Kenapa, Bu" Adakah sesuatu hal yang meri-
saukan hati Ibu?" tanyanya sambil berbisik.
Wanita itu tersenyum tipis ketika menoleh ke arah
putra tertuanya itu. Dia tidak menjawab se-patah kata pun.
"Ceritakanlah kalau memang Ibu mempunyai pera-
saan hati yang tidak menyenangkan...," lanjut pemuda itu. 'Tidak. Tidak ada...."
"Lalu mengapa wajah Ibu tidak bergembira...?"
"Ibu gembira melihat perkawinanmu, bahkan san-
gat gembira. Mudah-mudahan perkawinanmu akan
bahagia!" sahut wanita itu berusaha tersenyum untuk melegakkan hati putranya
itu. Danu Umbara ikut-ikutan tersenyum tipis. Tapi
hatinya sama sekali tidak mempercayai akan kata-kata
ibunya. Dia merasa yakin bahwa ibunya itu menyim-
pan sesuatu di hatinya, dan terbayang jelas dari wa-
jahnya yang cemas. Hanya saja dia tidak tahu apa
yang merisaukan hati wanita itu. Sehingga kegembi-
raan pemuda itu jadi ikut terpengaruh. Pikirannya
menerawang jauh dan menduga-duga, apa yang tengah
direnungkan ibunya saat ini.
"Kakang, kenapa berwajah murung...?" tanya Diah Kemuning halus sambil
memperhatikan wajah suaminya itu dengan seksama.
Danu Umbara sedikit terkejut, namun dia cepat
tersenyum. "Tidak. Kenapa aku musti murung" Aku tidak tahu
bagaimana gembiranya hatiku saat ini!" sahutnya cepat. Diah Kemuning ikut
tersenyum. Hatinya lega keti-
ka melihat senyum suaminya yang lebar.
Irama gamelan masih terus berkumandang, dan
beberapa orang yang berjoget menyemarakkan seiring
dengan sorak-sorai yang semakin ramai menyemarak-
kan pesta perkawinan itu. Pada saat itulah terdengar
teriakan sayup-sayup dari kejauhan.
"Tolooong...! Tolooong...!"
*** "Hai, apa itu"!" sentak beberapa orang centeng Juragan Sasmita Dimeja berpaling
ke arah datangnya su-
ara itu. Dari kejauhan di ujung desa itu terlihat debu men-
gepul membubung tinggi menghalangi pandangan.
Namun samar-samar jelas terdengar derap langkah
kaki kuda yang bergemuruh. Seiring dengan itu jeri-
tan-jeritan ketakutan berkumandang dan menyentak
orang-orang yang memenuhi tempat kediaman Jura-
gan Sasmita Dimeja.
"Gendon, ada apa?" tanya Juragan Sasmita Dimeja pada salah seorang centengnya.
"Entahlah, Juragan. Saya akan periksa bersama
yang lainnya!" sahut Gendon cepat sambil mengajak beberapa orang kawannya untuk
melihat kejadian itu.
Namun baru saja mereka melompat keluar dari ha-
laman rumah kediaman Juragan Sasmita Dimeja, tiba-
tiba suara-suara derap langkah kuda telah semakin je-
las terdengar. Dan orang-orang desa berteriak-teriak
ketakutan sambil menyelamatkan diri masing-masing.
Lebih dari sepuluh orang penunggang kuda yang ber-
tampang seram berhenti tepat di depan halaman ru-
mah Juragan Sasmita Dimeja.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tidak usah bersusah payah
mengumpulkan tikus-tikus bu-
suk ini mereka telah berkumpul dengan sendirinya!"
teriak salah seorang yang bertubuh tinggi besar den-
gan suara menggelegar.
Orang itu berusia lanjut sekitar enam puluh tahun.
Rambutnya hitam dan berdiri tegak memperlihatkan
gigi-giginya yang besar menonjol keluar. Tangan ka-
nannya mengacung-acungkan sebuah senjata mirip
clurit yang panjang. Dan di pinggangnya berderet pi-
sau-pisau kecil.
"Guru, buat apa berlama-lama di sini" Sebaiknya
kita bereskan saja mereka secepatnya," tim-pal seorang pemuda di sebelahnya.
Pemuda Itu berusia sekitar dua puluh tahun ber-
pakaian rapi dan berwajah tampan. Rambutnya yang
panjang digelung ke atas. Bahasanya halus dan me-
lengking mirip seorang wanita. Dan caranya berdandan
menunjukkan pula bahwa dia seorang pesolek. Senja-
tanya mirip dengan orang tua itu. Hanya saja di ping-
gangnya tidak terdapat pisau-pisau kecil.
Orang-orang yang berada di tempat kediaman Ju-
ragan Sasmita Dimeja tersentak kaget. Seketika mere-
ka memandang pada rombongan itu dengan wajah ti-
dak senang. Salah seorang centeng Juragan Sasmita
Dimeja, beserta beberapa orang kawannya, langsung
melangkah mendekati mereka.
"Kisanak, siapa kalian dan ada urusan apa meng-
ganggu pesta perkawinan Juragan Sasmita Dimeja?"
tanya salah seorang centeng itu dengan sikap garang.
"Pesta perkawinan" Mana yang sedang kawin" Ma-
na dia..."!" tanya pemuda pesolek itu sambil cengar-cengir kegirangan.
"Hei, kutu busuk! Menyingkirlah kau kalau tidak
ingin mampus!" bentak orang tua di samping si pemuda pesolek itu dengan garang
sambil melototkan mata
kepada si centeng.
Mendengar bentakan si orang tua, wajah centeng
itu tampak merah menahan marah.
"Kunyuk kurap, pergilah kau dari tempat ini sebelum kami bertindak kasar
padamu!" bentaknya garang.
"Kurang ajar! Berani kau bicara begitu di depan Ki Rantek"!" dengus orang tua
itu sambil memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya.
Salah seorang penunggang kuda di sampingnya
langsung melompat sambil mengayunkan senjata clurit
besar di tangannya.
"Kutu busuk tidak tahu diri, mampuslah kau...!
Yeaaah...!"
Srak! Trang! Melihat orang itu langsung menyerangnya, si cen-
teng mencabut golok dan menangkis senjata lawan.
Tapi akhirnya dia mengeluh kesakitan ketika senjata
mereka beradu. Tangannya terasa perih dan jantung-
nya berdetak kencang. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, senjata lawan dengan
cepat menyambar lehernya
tanpa ampun. Crasss...! "Hokh...!"
"Hei..."!"
"Iblis biadab...!" desis orang-orang yang melihat kejadian itu.
Centeng itu tidak mampu menghindari tebasan
senjata lawan yang mengarah ke lehernya. Orang itu
memekik tertahan. Kepalanya putus dan menggelind-
ing ke tanah. Darah mengucur deras dari pangkal le-
hernya dan membuat orang-orang yang hadir dalam
pesta perkawinan itu tersentak kaget dan mulai ma-
rah. "Keparat jahanam! Kalian sungguh biadab! Bunuh mereka...!" bentak salah
seorang centeng memberi pe-
rintah pada kawan-kawannya.
Beberapa orang centeng Juragan Sasmita Dimeja
langsung mencabut golok dan menyerang kawanan itu.
Bukan hanya mereka yang turun menyerbu namun
hampir semua orang-orang yang berada dalam pesta
perkawinan itu ikut menyerang kawanan tersebut.
"Hiyaaa...!"
"Seraaang...!"


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hancurkan mereka...!"
Teriakan gegap-gempita itu terus berkumandang
dan bagai tanggul jebol mereka menghunus apa saja
untuk mengeroyok kawanan itu. Namun kawanan itu
bukannya takut serta gentar melihat begitu banyak
menyerang mereka. Orang tua bernama Ki Rantek
yang memimpin kawanan itu langsung membentak
nyaring. "Habisi mereka...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung
melompat turun dari punggung kuda mereka sambil
menghunus senjata mereka yang berupa clurit panjang
laksana pedang.
Trang! Cras! Bret..! "Aaa...!"
Suara beradunya senjata serta pekik kematian
mewarnai tempat yang semula meriah oleh gelak tawa
itu. Beberapa sosok tubuh langsung ambruk dengan
bersimbah darah ditebas oleh senjata-senjata kawanan
yang dipimpin oleh Ki Rantek itu.
Penduduk desa yang berjumlah banyak itu menye-
rang kawanan, itu karena diliputi amarah yang me-
luap-luap melihat sikap Ki Rantek dan anak buahnya
itu. Tapi hal itu tidak ditunjang dengan kemahiran me-
reka dalam hal ilmu bela diri. Sedikit sekali yang mengerti ilmu silat.
Sedangkan anak buah Ki Rantek rata-
rata memiliki kemampuan yang hebat dan bertenaga
kuat. Mereka adalah orang-orang buas yang tidak
mengenal belas kasihan. Meski hanya berjumlah seki-
tar lima belas orang, namun dengan ganasnya mereka
membantai orang-orang desa itu, tanpa kenal ampun.
Sehingga dalam waktu singkat saja halaman rumah
Juragan Sasmita Dimeja banjir oleh darah.
"Lariii...!" teriak seseorang dengan wajah ketakutan. Melihat pembantaian itu
banyak di antara undan-
gan lainnya yang sibuk menyelamatkan diri. Mereka
merasa percuma saja melawan kawanan itu karena
hanya mengantar nyawa secara percuma.
*** "Jangan biarkan mereka lolos seorang pun...!" teriak Ki Rantek.
Mendengar itu maka beberapa orang anak buahnya
langsung melompat menghadang orang-orang yang be-
rusaha menyelamatkan diri dan dengan kejam meng-
hunuskan senjata ke arah orang-orang itu.
Crasss,..! Brettt. ! "Aaa...!"
"Jangan bunuh mereka! Kita akan memberikan ke-
nang-kenangan agar mereka tahu siapa kita...!" teriak Ki Rantek kembali.
"Guru, aku menemukan gadis cantik ini! Amboi,
alangkah cantiknya dia...!" teriak pemuda pesolek yang memanggil Ki Rantek
sebagai gurunya.
"Hei, Aria Denta! Jangan serakah kau...! Beri-kan dia untukku!" teriak Ki Rantek
sambil mendekati si
pemuda. Orang tua langsung terkekeh ketika melihat gadis
cantik yang berada di hadapannya. Gadis yang tidak
lain dari Diah Kemuning itu langsung merapat sambil
memeluk tubuh suaminya dengan wajah pucat mena-
han rasa takut.
"He hei he...! Ke sini manis, ke sini. Kau tidak akan kusakiti kalau menurut
kata-kataku...!" kata Ki Rantek sambil terkekeh dan melangkah pelan mendekati
gadis itu. "Anjing busuk, jangan coba-coba ganggu is-
triku...!" bentak Danu Umbara.
"He he he...! Guru, kau memang tidak pantas un-
tuknya. Kenapa tidak kau cari saja yang lain" Nah, co-ba lihat. Wanita itu
sangat cocok untukmu dan sepan-
dan pula. Biarlah gadis ini untukku...!" sahut Aria Denta sambil menunjuk ke
arah ibunya Diah Kemuning yang sama-sama ketakutan dengan putrinya sam-
bil memeluk suaminya.
"Hi hi hi...! Cerdik kau, Aria Denta. Tapi tidak mengapa. Wanita ini pun cukup
cantik. Kau boleh ambil si pengantin wanita itu biarlah yang ini bagianku...,"
sahut Ki Rantek tanpa mempedulikan bentakan Danu
Umbara. "Ki, bolehkah aku memiliki wanita ini?" tanya salah seorang anak buah Ki Rantek
langsung menunjuk ke
arah ibunya Danu Umbara sambil terkekeh-kekeh ke-
cil. "He he he...! Pintar juga kau Somali. Nah, kau boleh mengambilnya
untukmu...!" sahut Ki Rantek.
"Hi hi hi...! Terima kasih, terima kasih Ki...!" sahut Somali langsung menerkam
wanita yang di-inginkannya.
"Jahanam busuk! Jangan sentuh istriku...!" bentak Juragan Sasmita Dimeja garang
sambil berusaha me-
nangkis tangan lawan.
'Tua bangka busuk, minggir kau...!" sentak Somali sambil menepiskan tangan
Juragan Sasmita Dimeja.
Plak! Desss...! Juragan Sasmita. Dimeja menjerit kesakitan den-
gan sekali sentak, tubuhnya terjerembab menghajar
tembok rumahnya. Danu Umbara membentek garang
dengan wajah terkejut. Dia bermaksud hendak meno-
long bapaknya, namun saat itu juga istrinya menjerit-
jerit karena Aria Denta menangkap pergelangan tan-
gannya. Lalu dengan sekali sentak, gadis itu telah berada dalam dekapannya.
"Kakang Danu, tolooong...! Tolooong...!"
"Keparat...!" Danu Umbara membentek garang.
Darahnya mendidih dan rongga dadanya seperti
hendak rengkah menahan amarah yang meluap-luap
melihat pemuda pesolek itu seenaknya menciumi is-
trinya yang berusaha berontak dari dekapan pemuda
itu. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengayun-
kan kepalan tangan menghantam pemuda itu.
Plak! Desss! "Aaakh...!"
Tanpa berpaling lagi Aria Denta menangkis seran-
gan lawan, dan sebelah kakinya dengan telak mengha-
jar dada Danu Umbara sehingga pemuda yang sama
sekali tidak mengerti ilmu silat itu, terpekik dengan tubuh terjengkang keras.
Danu Umbara merasa dadanya mau pecah akibat
tendangan itu. Namun jeritan-jeritan Diah Kemuning
dan ibunya serta mertuanya membuat semangatnya
kembali menyala-nyala. Tanpa mempedulikan rasa sa-
kit yang dideritanya dia kembali bangkit dan mengha-
jar Somali yang berada dekat dengannya.
"Jahanam keparat! Lepaskan ibuku...! Le-
paskaaan...!"
"Hiiih...!"
Plak! Begkh! "Aaakh...!"
Somali cepat berbalik dan menangkis serangan
pemuda itu. Lalu kaki kanannya dengan cepat terayun
menghantam perut Danu Umbara. Tubuhnya kembali
terjungkal. Hal yang sama dialami oleh Juragan Sasmita Dime-
ja dan besannya yang laki-laki. Mereka berusaha me-
nolong istrinya, namun tanpa mengenal belas kasihan,
Ki Rantek dan anak buahnya yang bernama Somali itu
menghajar mereka sampai muntah darah. Demikian
pula ketika Danu Umbara hendak menyelamatkan is-
trinya. Namun meskipun demikian mereka seolah ti-
dak merasakan rasa sakit yang diderita mendengar je-
ritan istri masing-masing. Dan hal itu menimbulkan
kejengkelan Ki Rantek dan muridnya yang bernama
Aria Denta, serta anak buahnya yang bernama Somali.
"Keparat! Mereka harus didiamkan lebih dulu...!"
geram Ki Rantek sambil menotok wanita da-lam deka-
pannya. Tindakannya itu diikuti oleh Aria Denta dan Soma-
li. Lalu dengan geram mereka menghajar ke-tiga laki-
laki yang sejak tadi mengganggu nafsu setan mereka
yang telah menggelegak itu.
"Kalian harus dibuat diam dulu dan kemudian me-
nyaksikan kami bersenang-senang. Itulah hukuman
yang setimpal buat kalian!" dengus Ki Rantek sambil menangkap pergelangan tangan
lawannya, ayahnya
Diah Kemuning. Plak! Krakkk! "Aaakh..."
*** 2 Laki-laki itu menjerit keras ketika tulang lengannya
patah dihantam Ki Rantek. Jeritannya kian panjang
ketika bagian dada dan perutnya dihantam Ki Rantek
dengan keras bertubi-tubi sambil memegangi lengan-
nya yang patah itu. Dan yang terakhir kali Ki Rantek
langsung mengayunkan satu tendangan yang keras
sehingga lawannya terjungkal sambil memuntahkan
darah segar. "Hoakhhh...!"
"Ayah...!" Diah Kemuning menjerit keras melihat keadaan ayahnya yang megap-megap
tidak berdaya untuk berusaha bangkit.
Hal yang sama dialami oleh Danu Umbara. Tanpa
mengenal belas kasihan, Aria Denta menghajarnya ha-
bis-habisan. Begitu juga yang dialami oleh Juragan
Sasmita Dimeja. Ketiga wanita itu menjerit-jerit melihat suaminya dihajar sampai
muntah. "Nah, sekarang mampuslah...!" bentak Ki Rantek sambil mencabut senjatanya yang
unik dan siap menebas leher lawan.
"Guru, tahan...!" teriak Aria Denta mencegah.
"Hm, mau apa kau?"
"Kenapa harus terburu-buru" Tanpa dibunuh pun
mereka akan mampus karena luka-luka dalam yang
dideritanya. Bukankah kita akan membuat mereka
menggeliat menahan rasa sakit yang hebat?" tanya Aria Denta sambil tersenyum
tipis. "Apa maksudmu, Aria Denta?" tanya Somali.
Pemuda itu tersenyum-senyum membisikkan sesu-
atu di telinga Somali. Orang itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kupret! Apa yang kalian rencanakan, heh..."!"
bentak Ki Rantek berang.
Somali pun membisikkan ke telinga orang tua itu.
Ki Rantek mendengus kemudian terkekeh kecil.
"He he he...! Dasar si Aria Denta, otaknya se-lalu encer. Nah, tunggu apa
lagi"!"
"Hi hi hi...! Aku akan bersenang-senang dulu dengan bidadari yang cantik itu!"
seru Aria Denta sambil menerkam Diah Kemuning.
Gadis itu menjerit-jerit ketakutan, namun dengan
buasnya Aria Denta mendekapnya erat-erat dan tan-
gannya dengan nakal menyusup ke seluruh bagian tu-
buh gadis itu dengan nafsu iblis yang menggelegak-
gelegak. Lalu dengan kasarnya dia mencabik-cabik pa-
kaian yang melekat di tubuh gadis itu. Diah Kemuning
yang dalam keadaan tertotok, tidak mampu berontak
selain berteriak-teriak dengan air mata bercucuran.
Hal yang sama juga dilakukan Ki Rantek dan So-
mali terhadap orang tua perempuannya dan Ibunya
Danu Umbara. Kebejatan itu mereka laku-kan di de-
pan mata Danu Umbara dan Juragan Sasmita Dimeja
serta besan laki-lakinya. Karuan saja ketiga laki-laki itu mendidih darahnya dan
berusaha bangkit untuk
menolong istrinya. Namun luka dalam yang mereka de-
rita membuat mereka kembali terjatuh lunglai dan tu-
lang-belulangnya terasa rapuh untuk digerakkan aki-
bat hantaman bertubi-tubi yang dilakukan lawannya
tadi. Mereka hanya mampu berteriak-teriak sambil
memaki-maki tidak karuan.
"Keparat busuk! Hentikan perbuatanmu yang bi-
adab! Jahanam, hentikan...!" Danu Umbara memekik menahan geram dan dendam yang
meledak-ledak di
dalam dadanya. Tapi akibat amarah dan teriakan yang menggelegar
itu, dia memuntahkan darah segar berkali-kali. Kepa-
lanya terasa pusing dan penglihatannya berkunang-
kunang. Meski begitu si pemuda berusaha merayap
mendekati ketiga laki-laki bejat yang tengah mengum-
bar nafsu iblisnya terhadap wanita-wanita yang dekat
dengannya. Masih sempat dilihat ayahandanya tergele-
tak tak berdaya akibat amarah yang tidak tertahan-
kan. Demikian juga dengan mertua laki-lakinya. Na-
mun telinga pemuda itu masih terus menangkap jeri-
tan-jeritan ketakutan istrinya yang penuh ketakutan.
Kerongkongannya terasa kering dan berlumur darah
akibat teriakan-teriakannya semakin serak memaki-
maki ketiga orang yang tengah melakukan perbuatan
bejad itu. Apa yang dilakukan oleh Ki Rantek beserta murid-
nya dan salah seorang anak buahnya itu, diikuti oleh
anak buah yang lain. Mereka menangkap wanita-
wanita yang ditemuinya dan memperkosanya dengan
rakus seperti sekawanan hewan kelaparan yang me-
nemukan makanan kesukaannya. Siapa pun yang
mencoba menghalangi perbuatan mereka maka bisa
dipastikan orang itu akan menemui ajalnya ditebas
senjata-senjata para perampok yang tidak mengenal
rasa belas kasihan itu. Setelah melakukan perbuatan
bejad itu, mereka langsung menguras benda para pen-
duduk dan merampok apa saja yang berharga di dalam
setiap rumah yang mereka masuki. Penduduk yang
melawan tanpa ampun lagi mereka hajar.
Sementara itu Ki Rantek dan muridnya tertawa


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkekeh-kekeh setelah melampiaskan nafsu bejadnya
terhadap wanita-wanita itu.
"Sekarang akan kita apakan mereka, Ketua?" tanya Somali yang paling terakhir
menyelesaikan nafsu iblis-
nya. "He he he...! Kau punya usul, Aria Denta?" tanya Ki Rantek pada muridnya
itu. Aria Denta mesem-mesem sambil menghampiri ke-
tiga laki-laki yang tadi mereka hajar. Ujung kakinya
menghajar Danu Umbara.
Begkh! "Aaakh...!"
"Hm, yang ini masih hidup. Dia akan merasakan
siksaan yang lain...!" dengus Aria Denta ke-tika mendengar pemuda itu menjerit
keras akibat tendangan-
nya itu. Danu Umbara memang tidak tahan dan di samping
luka dalam yang dideritanya, dia merasa pandangan-
nya semakin gelap mendengar jeritan-jeritan Istrinya.
Kemudian alam seperti gelap dan sepi. Dia tidak sa-
darkan diri. Namun merasakan tendangan Aria Denta,
kesadarannya kembali pulih.
"Jahanam keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh
kau...!" teriak Danu Umbara.
*** Pemuda itu berusaha bangkit untuk menghajar
pemuda pesolek di hadapannya. Aria Denta cuma
mencibir sinis, dia yakin sekali bahwa pemuda itu ti-
dak mampu berbuat apa-apa terhadapnya. Dan du-
gaannya itu memang benar. Danu Umbara merasa tu-
buhnya lemah tidak berdaya. Bahkan untuk berdiri
pun dia tidak mampu. Ketika dipaksakannya juga, tu-
buhnya langsung ambruk sambil kembali memuntah-
kan darah kental.
'Yang ini sudah mampus...!" desis Ki Rantek sambil menendang tubuh laki-laki
yang tadi dihajarnya.
"Ini juga...!" timpal Somali sambil menendang tu-
buh Juragan Sasmita Dimeja.
"Apa yang mau kau lakukan, Aria Denta?" tanya Ki Rantek ketika melihat muridnya
itu membawa dua
bongkah batu besar.
"Aku akan memberi pelajaran yang tidak akan per-
nah dilupakan di akherat sana...!" sahut pemuda pesolek itu sambil tersenyum-
senyum. Tanpa berkata apa-apa lagi Aria Denta menghan-
tamkan batu-batu runcing itu ke kaki Danu Ambar.
Crak! "Aaa...!"
Danu Ambar memekik kesakitan. Namun Aria Den-
ta malah terkekeh-kekeh dan terus menghantamkan
batu-batu di tangannya sehingga kaki Danu Umbara
hancur dengan seluruh dagingnya yang terkelupas.
"He he he...! Ini belum seberapa. Tapi kau akan
merasakan yang lain...!" lanjut Aria Denta sambil mencabut senjatanya.
Sret! "Aaa...!"
Kembali Danu Umbara tersentak dan memekik ke-
sakitan ketika senjata lawan menyayat-nyayat wajah
dan seluruh tubuhnya, sehingga tidak berbentuk lagi.
Darah mengucur deras dari luka-luka sayatan itu.
Namun Aria Denta memang sengaja tidak mau mem-
bunuhnya dan hanya menyiksanya habis-habisan.
"Bunuh saja aku...! Bunuh...!" jerit Danu Umbara menahan sakit yang tidak kuat
dirasakannya. "He he he...! Membunuh kau soal mudah, tapi aku
ingin melihat dulu kau merangkak-rangkak memohon
ampun padaku sambil menangis tersedu-sedu," ejek Aria Denta.
"Huh, jangan harapkan itu, Keparat! Aku lebih su-ka begini daripada memohon-
mohon belas kasihan-
mu...!" dengus Danu Umbara geram dengan suara se-
rak. "Nah, kalau demikian kau akan merasakannya la-gi!" sahut Aria Denta sambil
tersenyum sinis.
Selesai berkata demikian, dia berteriak lantang pa-
da yang lainnya sehingga mereka semua berkumpul
sambil memanggul barang-barang berharga dalam
kantong besar yang mereka pikul.
"Apa yang telah kalian dapatkan?" tanya Aria Denta. "Banyak. Kami menguras semua
harta benda berharga dari semua rumah yang berada di desa ini!" sahut beberapa
orang di antara mereka serentak.
"Hm, bagus! Nah, coba lihat. Rumah itu paling megah dan mewah dari seluruh rumah
yang berada di de-
sa ini. Tentu di dalamnya banyak tersimpan harta
benda yang berharga. Kita akan kuras semuanya saat
ini juga. Tapi sebelum itu aku akan berikan kepuasan
pada kalian!" lanjut Aria Denta.
"Hei, Aria Denta! Cepatlah bicara jangan berbelit-belit!" teriak salah seorang
di antara anak buah Ki Rantek.
"He he he...! Sabarlah sebentar. Nah, kalian lihat tiga wanita cantik ini"
Kalian boleh berpesta pora dengan mereka!" sahut Aria Denta cepat.
"Hei, boleh juga!" seru seseorang dengan mata melotot dan cengar-cengir gembira
melihat tiga wanita
cantik yang tengah tergolek tidak berdaya.
"Ha ha ha...! Pintar juga kau Aria Denta...!" timpal yang lainnya.
Namun meski mereka semua mulai menggelegak
nafsu setan di dalam diri mereka melihat wanita-
wanita yang dalam keadaan tidak berdaya itu, tidak
seorang pun yang berani mendekat sebelum Ki Rantek
memberi izin dan perintah. Agaknya mereka semua pa-
tuh bercampur takut sekali pada orang tua itu. Maka
terlihat mereka semua melirik pada orang tua itu seo-
lah mengharapkan izin darinya.
"He he he...! Kalian boleh melakukannya. Ayo, am-billah wanita-wanita itu...,"
kata Ki Rantek sambil terkekeh-kekeh kecil.
Mendengar kata-kata itu, langsung saja anak buah
Ki Rantek menyerbu ke arah tiga wanita yang tergolek
tidak berdaya itu. Mereka tidak kuasa menahan kebe-
jatan nafsu iblis kawanan perampok yang tidak berpe-
rikemanusiaan. "Keparat! Hentikan perbuatan kalian...! Hentikan perbuatan bejat kalian...!"
teriak Danu Um-bara dengan dada mau pecah melihat pemandangan menjijik-
kan sekaligus memilukan hatinya.
Orang-orang itu seperti anjing-anjing kelaparan
yang memperebutkan tulang-tulang yang berjumlah
sedikit, sehingga sepotong tulang mereka lahap bersa-
maan. Danu Umbara tidak kuasa menahan gejolak ha-
tinya. Dia hanya bisa berteriak-teriak memaki-maki
dengan suara yang semakin lemah dan parau. Bebera-
pa kali dia muntahkan darah kental dan kering. Hanya
gejolak semangat hidup serta dendam membara saja
yang membuatnya tidak mau mengakhiri hidupnya.
"Ha ha ha...! Sering-sering begini nikmat juga rasanya...!" kata salah seorang
anak buah Ki Rantek sambil membetulkan letak celananya yang kedodoran.
"He he he...! Dasar buaya-buaya rakus, cepat kita pergi dan tinggalkan tempat
ini!" sentak Ki Rantek sambil mengumpulkan harta benda yang dikurasnya
dari rumah Juragan Sasmita Dimeja.
"Wah, aku tidak kebagian! Mereka kojor semua...!"
teriak salah seorang anak buah Ki Rantek dengan pe-
rasaan kecewa. "Diam kau, Kebo Badung! Lekas angkut barang-
barang itu!" bentak Ki Rantek garang.
"Lalu mayat-mayat dan orang-orang yang se-karat
ini mau dikemanakan?" tanya salah seorang anak
buah Ki Rantek bingung.
"Setan kau! Buat apa mengurusi mereka"! Sudah
tinggalkan saja cepat...!" bentak Ki Rantek lagi.
"Tunggu dulu...!" potong Aria Denta.
"Mau apa lagi kau, Aria Denta?" tanya Ki Rantek.
"Ada banyak gerobak kosong di rumah ini. Bawa
mereka yang sekarat ke hutan. Dan tumpakan ketiga
wanita ini dalam satu gerobak dengan pemuda keparat
itu!" tunjuk Aria Denta ke arah Danu Umbara.
Dua orang anak buah Ki Rantek langsung melaku-
kan apa yang diperintahkan Aria Denta.
"Kalau masih ada gerobak yang kosong, bawa seka-
lian mayat-mayat ini. Kita akan bawa mere-ka ke ping-
gir Hutan Mapag Nyawa, biar menjadi santapan anjing-
anjing hutan di sana!" teriak Aria Denta kembali.
"Hei, setelah urusanmu selesai, cepat kau pulang ke markas, Aria Denta!" teriak
Ki Rantek sambil mengajak anak buahnya yang lain untuk berlalu dari tem-
pat itu dengan membawa beberapa buah gerobak.
"Beres, Ki!" sahut Aria Denga cepat.
*** Aria Denta bersama dua orang kawannya langsung
melarikan dua gerobak yang ditarik dua ekor kuda ke
pinggiran Hutan Mapag Nyawa yang terkenal angker
dan buas. Tidak ada seorang pun yang pernah kembali
setelah memasuki hutan itu. Selain dihuni oleh bina-
tang-binatang buas, tempat itu diyakini oleh penduduk di seluruh wilayah yang
berada di dekatnya, termasuk
Desa Ngampar Cai, sebagai penghuni dan sarang dari
segala dedemit yang menakutkan dan kejam.
"Ha ha ha...! Sekarang kau rasakan di tempat ini.
Sebentar lagi anjing-anjing hutan dan harimau-
harimau lapar akan merencah tubuh kalian...," teriak Aria Denta sambil tertawa
kegirangan melihat dua
orang kawannya melempar mayat-mayat serta bebera-
pa orang penduduk Desa Ngampar Cai yang masih se-
karat. "Selesai sudah...!" kata salah seorang kawan Aria Denta setelah melempar tubuh
terakhir yang berada di
dalam gerobaknya ke pinggir hutan ini.
"Ayo, lekas kita tinggalkan tempat ini! Biar mereka di situ karena sebentar lagi
penghuni Hutan Mapag
Nyawa akan berdatangan ke tempat ini!" sahut Aria Denta sambil terkekeh-kekeh
kegirangan. Danu Umbara hanya mampu melihat kepergian
mereka dengan bola mata yang sayu dan buram. Tu-
buhnya seperti tidak bertenaga sama sekali, dan kepa-
lanya terasa berat untuk diangkat sementara rasa sa-
kit yang dideritanya tidak tertahankan lagi.
"Anjing-anjing laknat! Aku bersumpah tidak akan
mau mati dulu sebelum membalas perlakukan kalian
yang kelewat batas!" desisnya geram di dalam hati.
Danu Umbara mencoba memalingkan wajah dan
mencari-cari istrinya di antara tumpukan tubuh pen-
duduk Desa Ngampar Cai serta bau darah dan bangkai
di tempat itu. "Diah..., oh, maafkan aku yang tidak mampu ber-
buat apa-apa untuk menolongmu...!" keluh Danu Umbara ketika melihat tubuh
istrinya samar-samar dari
bola matanya yang mulai mengabur.
Tubuh gadis itu terhampar tanpa mengenakan pa-
kaian di tubuhnya. Dari mulutnya yang terluka lebar
terlihat cairan busa yang kental, dan bola matanya
membelalak lebar. Dari bagian bawah tubuhnya darah
mengalir seolah tidak mau henti.
"Akan kubalas perlakuan mereka! Akan kubuat
mereka menderita seperti apa yang mereka lakukan
terhadapmu, terhadapku, dan terhadap semua pendu-
duk Desa Ngampar Cai...!" desis Danu Umbara dengan tubuh menggigil menahan geram
dan dendam yang
meledak-ledak. Pemuda itu hendak beringsut lagi mencari tubuh
orangtua serta mertuanya. Namun sebelum hal itu di-
lakukannya, terdengar raungan panjang di kejauhan.
Pemuda itu tersentak.
"Celaka! Anjing-anjing hutan kelaparan itu telah mencium bau anyir darah di
tempat ini. Aku harus bi-sa menyelamatkan diri!" katanya sambil menguatkan
semangatnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Danu Umbara bering-
sut menjauhi tempat itu. Beberapa kali dia sempat
berpaling pada tubuh istrinya, dan tidak terasa bebe-
rapa rintik air mata jatuh membasahi pipinya yang tadi disayat-sayat oleh
senjata pemuda pesolek itu. Danu
Umbara merasakan sakit yang tiada taranya ketika be-
rusaha beringsut menjauhi tempat itu. Namun dia sa-
dar bahwa itulah satu-satunya jalan agar dia bisa hi-
dup dan terhibur dari terkaman binatang-binatang
buas yang sedang menuju ke tempat itu. Semangatnya
untuk tetap hidup serta dendamnya yang menyala-
nyala seperti memberikan tambahan tenaga baginya.
"Aku harus tetap hidup...! Aku harus hidup untuk mencoba membalas perlakuan
mereka...!" desisnya berkali-kali untuk memberi semangat pada dirinya.
Sementara itu suara derap kawanan serigala seolah
semakin dekat menuju tempat tumpukan tubuh pen-
duduk Desa Ngampar Cai yang telah menjadi mayat,
dan sebagiannya sekarat.
"Auuung...!"
"Ohhh...!"
Danu Umbara merasa tenggorokannya tercekat dan
darahnya tersirap habis mendengar raungan serigala
yang jelas terdengar di telinganya. Jantungnya berde-
tak lebih kencang ketika tubuhnya terus bergulingan
menjauhi tempat itu.
"Oh, Sang Hyang Widhi Jagat Bhatara, sela-
matkanlah aku dari serigala-serigala kelaparan itu! Biarkan aku tetap hidup agar
aku bisa membalaskan
dendam di hatiku ini...!" desisnya sambil berdoa di dalam hati.
Berkali-kali dia mengeluh kesakitan ketika tubuh-
nya tersandung batu serta ranting-ranting yang tajam.
Danu Umbara hanya bisa menggigit bibirnya yang ker-
ing agar suaranya tidak keluar dan didengar oleh serigala-serigala yang telah
mendekat. Jelas sekali terdengar di telinganya suara raungan dan pesta pora
bina- tang-binatang itu merencah mayat-mayat yang berada
di pinggir Hutan Mapag Nyawa itu. Danu Umbara ter-
sentak sesaat, namun dia terus beringsut-ingsut dan
bergulingan agar tubuhnya menjauh dari tempatnya
tadi. Tanpa sadar dia telah menyeret dirinya sendiri
masuk ke dalam Hutan Mapag Nyawa yang terkenal
angker itu!

Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari telah mulai gelap ketika pemuda itu me-rasa
tenaganya telah terkuras habis. Kepalanya berdenyut
kencang dan menimbulkan rasa sakit yang hebat.
Tenggorokannya kering, tubuhnya menggigil kedingi-
nan, rasa sakit akibat luka-luka yang dideritanya semakin membuat pandangannya
berkunang-kunang
serta denyut jantungnya melemah seiring dengan de-
nyut nadinya dan tarikan napas yang satu-satu.
Danu Umbara tidak kuat lagi menggerakkan tu-
buhnya walaupun hanya bergulingan. Dia tergeletak
tidak berdaya di bawah sebatang pohon beringin yang
lebat. Saat itulah mendadak terdengar bisikan halus di telinganya.
"Anak muda, kau dengarkan suaraku...?"
"Ohhh..., si..., siapa...?" sahut pemuda itu dengan suara lemah hampir tidak
terdengar. *** 3 "Kau tidak perlu mengetahuinya...," kembali terdengar suara halus seperti
berbisik di telinganya.
Danu Umbara termangu beberapa saat lama-nya.
Suara siapakah itu" Benarkah ada yang berbisik di te-
linganya" Ataukah itu cuma khayalan belaka"
"Anak muda...," panggil suara bisikan itu.
Danu Umbara terdiam seolah ingin meyakini kebe-
naran suara itu.
"Pergilah ke balik pohon beringin itu. Di sana akan kau dapati sebongkah batu
berbentuk segi empat. Gali
batu itu dan di dalamnya kau akan menemukan dua
buah benda yang berharga...," lanjut suara itu kembali. "Aku..., tidak kuat..,"
sahut Danu Umbara lemah.
Dia tidak yakin apakah suaranya keluar dari teng-
gorokannya atau tidak. Tapi tenaga pemuda itu benar-
benar terkuras habis. Untuk sesaat dia tidak merasa-
kan apa-apa. Suasana begitu hening dan sepi sekali.
Bahkan bisikan-bisikan itu seperti lapat-lapat didengarnya di antara desau angin
halus. Danu Umbara tergeletak tidak sadarkan diri.
Pemuda itu tidak tahu berapa lama dia terbaring di
tempat itu. Namun ketika tubuhnya terasa dingin aki-
bat siraman tetesan air hujan yang jatuh dari dedau-
nan pohon beringin yang berusia tua itu. Danu Umba-
ra tersentak kaget. Luka di tubuhnya terasa perih.
Saat itulah kembali terdengar bisikan yang mengaung
di telinganya. "Anak muda, pergilah ke balik pohon ini. Kau akan menemukan batu persegi empat
Gali dan temukan dua
buah benda di dalamnya. Kau akan mengetahui apa
khasiatnya nanti..."
"Ohhh...," Danu Umbara menggeliat letih. Perlahan-lahan dia beringsut dari
tempatnya semula dan
menggulingkan tubuhnya menuju ke balik pohon be-
ringin yang memiliki batang besar itu.
"Kuatkan semangatmu, Anak Muda....'" kata bisikan itu lagi.
"Ohhh..., aku..., aku tidak kuat...," keluh Danu Umbara.
"Tidak. Kau harus kuat. Kau harus membalas-kan
sakit hati dan dendam yang ada di hatimu. Ingat! Kau
harus membalaskan dendammu itu...!" sahut suara bisikan itu.
"Dendam" Oh, ya! Aku harus kuat! Aku harus
kuat...!" Danu Umbara tersentak begitu mendengar ka-ta-kata bisikan itu.
Tiba-tiba saja kembali terlintas dalam benaknya
pembantaian dan kekejian yang dilakukan Ki Rantek,
pemuda pesolek itu beserta anak buahnya. Mendadak
darahnya kembali mendidih dan amarahnya bangkit
meluap-luap menimbulkan kekuatan hebat dalam di-
rinya. Dia menggulingkan tubuhnya dengan seluruh
tenaga yang tersisa. Dan apa yang dikatakan bisikan
itu memang benar. Di balik pohon beringin itu terdapat batu berbentuk segi empat
yang telah berlumut dan
hampir menyatu dengan tanah.
"Korek batu itu, cepat!" lanjut bisikan itu lagi.
Danu Umbara langsung mengorek batu itu. Di da-
lamnya terdapat lobang berbentuk segi empat kira-kira dua jengkal.
"Ambil benda itu...!" perintah bisikan itu yang di-dengarnya.
Sebelah tangan pemuda itu langsung merogoh ke
dalam, dan dia menemukan dua buah benda yang un-
ik. Sebuah berbentuk cincin dengan ukiran tengkorak
manusia yang memiliki dua buah gigi taring yang
runcing dan tajam serta mencuat keluar laksana tan-
duk banteng. Sebuah lagi adalah sebilah keris sepanjang satu jengkal berwarna
kuning emas, Di badannya
terdapat tulisan, Kyai Medi!
"Kenakan cincin itu dan simpan keris Kyai Medi...!"
kembali bisikan halus terdengar.
Danu Umbara tidak mengerti untuk apa cincin itu
dikenakannya. Begitu juga halnya dengan keris yang
bernama Kyai Medi. Keris itu sama sekali tidak indah, bahkan menyeramkan.
Senjata itu sama sekali tidak
layak disebut senjata meskipun ujungnya runcing, se-
bab selain ukurannya yang amat kecil dibandingkan
dengan senjata-senjata keris pada umumnya, keris
Danu Umbara pun sama sekali tidak tajam. Namun
meskipun demikian, Danu Umbara menurut saja. Dis-
elipkannya keris itu di pinggang, lalu dikenakannya
cincin itu. Dan....
Danu Umbara tersentak kaget. Mendadak saja an-
gin kencang mengelilingi tubuhnya dan mampu mem-
buat dedaunan pohon beringin di atasnya seperti di-
landa badai topan. Perlahan-lahan tubuh pemuda itu
terangkat sehingga dia mampu berdiri tegak. Darahnya
mengalir dengan kencang, dan demikian pula halnya
dengan detakan jantungnya. Tangannya perlahan-
lahan merayap di sekujur tubuhnya dengan diiringi
hawa panas yang berputar-putar dari bawah perut dan
terus menjalar di seluruh bagian tubuhnya.
"Anak muda, kini aku telah menyusup di tu-
buhmu. Keris Kyai Medi dan cincin itu adalah dua
buah senjata pusaka yang menjadi kekuatan sekaligus
kelemahanmu. Kau harus mendapatkan korban agar
tenagamu berlipat ganda dengan menusukkan kedua
taring cincin itu. Dia tidak akan terlepas sebelum darah korban terhisap habis.
Bila dalam tiga hari kau tidak mendapatkan korban, maka kau yang akan cela-
ka. Sedangkan keris itu adalah naasmu. Kau akan ma-
ti oleh keris Kyai Medi. Oleh sebab itu keris Kyai Medi tidak boleh berada jauh-
jauh darimu dan kau harus
menyimpannya dengan hati-hati...," kata bisikan itu kembali.
"Huh, aku tidak peduli apa pun syarat-syarat-nya!
Yang penting dendamku harus terbalaskan!" dengus Danu Umbar sambil melangkah
pelan meninggalkan
tempat itu. Pemuda itu merasakan betul bahwa tenaganya te-
lah pulih sama sekali. Bahkan kini dia merasa sangat
kuat. Tubuhnya ringan ketika melangkah. Bahkan ke-
tika dia mencoba bangkit, terasa sapuan angin ken-
cang yang mendorong tubuhnya bagai melayang-
layang! *** Angin bertiup semilir menerpa kedua penunggang
kuda yang memacu kudanya lambat-lambat. Mereka
adalah sepasang muda-mudi yang berparas tampan
dan cantik. Yang seorang berambut panjang terurai
mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau dan
di tangan kanannya melekat sebuah cakra segi enam.
Pemuda tampan itu tak lain dari Bayu Hanggara yang
lebih dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau
Neraka. Dan gadis cantik berbaju merah muda di sebe-
lahnya adalah Wulandari yang banyak dikenal dunia
persilatan sebagai Dewi Maut.
Senang sekali bisa bepergian lagi denganmu, Ka-
kang...," kata gadis itu pelan sambil tersenyum dan memandang wajah pemuda di
sebelahnya itu.
Bayu ikut-ikutan tersenyum sambil menyahut pe-
lan. "Aku pun senang kau sudah sehat kembali...."
"Kakang, ceritakanlah bagaimana pengalamanmu
bepergian tanpa aku...!"
"Tidak ada yang istimewa. Aku merasa sepi...!"
"Bohong!" potong gadis itu cepat.
"Kenapa aku musti berbohong!"
"Bukankah lebih senang bisa bepergian sendiri
tanpa ku temani" Kau bisa berkenalan dengan gadis
cantik, dan...," gadis itu tidak meneruskan kata-katanya melainkan melirik
pemuda itu sambil terse-
nyum menggoda. "Lalu...?"
"Yaaah, yang jelas pasti senang!" sahut Wulan-dari enteng sambil memalingkan
wajah. "Bisa jadi...."
"Nah, betulkan"!" sentak Wulandari sambil memandang pemuda itu dengan sorot mata
menuduh. "Betul kenapa?" tanya Bayu santai.
"Iya, kau senang bepergian tanpa aku karena bebas bisa menggoda gadis-gadis
cantik!" sahut Wulandari sedikit kesal.
"Hm, untuk apa menggoda mereka" Kau pasti lebih
cantik dibandingkan gadis mana pun di dunia ini...,"
sahut Bayu memuji.
"Bohong...!"
"Jadi kau ingin aku mengatakan bahwa kau gadis
paling terjelek dari semua gadis di dunia ini?"
Wulandari diam tidak menjawab. Wajahnya di-
tekuk sedemikian rupa menandakan hatinya yang
cemburu bercampur kesal.
"Sudah, jangan begitu. Nanti kau sakit lagi...," bu-juk Bayu.
"Biar!"
"Hm, kalau sakit memang tidak apa, tapi kalau wajahmu cemberut begitu mana bisa
dikatakan cantik...,"
lanjut Bayu. "Biar...!" sentak Wulandari ketus tanpa menoleh.
'Ya sudah, kalau memang begitu...," sahut Bayu
seenaknya. Keduanya kembali berdiam diri untuk beberapa
saat lamanya. Dan ketika mereka sampai di mulut se-
buah desa, keduanya berhenti sejenak.
"Hm, desa ini lengang seperti dipekuburan...!" desis Bayu pada diri sendiri.
"Kakang, coba lihat! Banyak darah bercecer-an!"
Wulandari menunjuk pada tanah yang berada di de-
pannya. Bayu melompat turun dan memeriksa ceceran da-
rah yang telah kering dan membeku.
"Darah apa ini, Kakang?" tanya Wulandari yang telah berada di sebelahnya seolah
telah melupakan ke-
jengkelan hatinya tadi.
"Entahlah...," sahut Bayu lemah sambil mengge-lengkan kepala.
Pemuda itu berjalan pelan memasuki desa yang
sepi seperti tidak berpenghuni itu. Sepanjang jalan banyak mereka temui darah-
darah kering dan beku ber-
ceceran. Dan semakin mereka melangkah ke depan,
terlihat banyak sekali rumah-rumah yang hancur dan
porak-poranda. "Sepertinya ada sesuatu yang hebat merusak desa
ini...," gumam Bayu.
"Hm.... Agaknya darah-darah itu berasal dari penduduk desa ini, Kakang...," kata
Wulandari pelan.
"Ya, sepertinya ada kawanan perampok atau sema-
cam itu yang memporak-porandakan dan membunuh
penduduk desa ini," timpal Bayu menduga-duga apa yang telah terjadi di desa ini.
"Kakang...!" sentak Wulandari sambil memandang ke satu arah.
"Ada apa?"
"Aku melihat seseorang berkelebat cepat di balik rumah-rumah itu!" tunjuk
Wulandari. Baru saja gadis itu selesai berkata, Bayu telah me-
lompat mengejar diikuti oleh Wulandari dari belakang.
Seorang pemuda tanggung berusia sekitar lima be-
las tahun dengan tubuh kurus, berlari-lari kecil masuk ke dalam sebuah rumah,
dan menyembunyikan diri di
bawah sebuah balai-balai reot. Wajahnya pucat keta-
kutan dengan napas turun naik tidak karuan. Jan-
tungnya seperti berhenti berdetak ketika dilihatnya sepasang kaki manusia
berdiri persis di depannya.
"Keluarlah kau atau aku musti memaksamu ke-
luar...!" terdengar seseorang berkata dengan suara mengancam.
Pemuda tanggung itu menggigil tubuhnya dan di-
am tidak bergerak. Tubuhnya tersentak ke belakang
membentur dinding ketika balai-balai diangkat ke atas dan tersingkaplah
persembunyiannya. Pemuda tanggung itu mendekap kepalanya ke bawah dengan kedua
kaki ditekuk. "Ampuuun...! Jangan bunuh aku..., jangan bunuh
aku...!" katanya dengan suara lirih.
'Tidak ada yang membunuhmu. Kami berdua
hanya kebetulan lewat saja," jawab Bayu pelan.
"Siapakah kau...?" tanya orang itu dengan suara halus.
Mendengar suara itu, si pemuda mendongak-kan
kepala dan melihat sepasang muda-mudi yang tadi di-
lihatnya berada di tengah desa ini.
*** "Jangan takut Kami tidak akan menyakitimu. Na-
maku Bayu, dan ini kawanku, Wulandari...," kata pemuda berbaju kulit harimau itu
ramah. Pemuda tanggung itu masih diam tidak bicara. Bo-
la matanya masih memandang keduanya dengan takut
Kemudian dengan cepat dia menunduk kembali.
"Siapa namamu dan apa yang telah terjadi di desa ini?" tanya Bayu dengan suara
halus. "Kakang, kelihatannya dia ketakutan...," kata Wulandari.
"Adik, jangan takut. Kami tidak akan menyakiti-
mu..," lanjut Bayu sambil berjongkok dan menepuk pundak pemuda tanggung itu.
Pemuda tanggung itu agak tenang. Kembali dia
memandang kedua muda-mudi itu agak lama.
"Siapa namamu...?" tanya Wulandari lembut sambil ikut berjongkok di sebelah
Bayu. "Apa..., apakah kalian bukan kawan-kawannya Pe-
rampok Tangan Darah itu...?" tanya si pemuda tanggung dengan suara gemetar.


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perampok Tangan Darah" Siapa mereka" Baru se-
kali ini kami mendengarnya," sahut Wulandari heran.
"Mereka... Mereka merampok dan membunuh serta
memperkosa wanita-wanita di desa ini...," sahut anak itu lirih dengan wajah
sedih. "Jahanam keparat! Di mana mereka seka-rang"!"
sentak Wulandari geram.
Melihat wajah gadis itu kelihatan geram dan marah
terhadap Perampok Tangan Darah yang di ceritakan-
nya, pemuda tanggung itu semakin berani saja berceri-
ta karena dianggapnya kedua orang itu sama sekali ti-
dak ada sangkut-pautnya dengan Perampok Tangan
Darah yang amat ditakutinya.
"Aku tidak tahu di mana berada. Tapi kudengar-
dengar ketuanya bernama Ki Rantek dan se-orang mu-
ridnya bernama Aria Denta...," sahut pemuda tanggung itu. "Hm, sungguh keji
perbuatan mereka. Orang seperti itu memang harus dihajar!" desis Wulandari
kembali dengan wajah geram dan kedua tangannya terkepal
erat-erat. "Adik, siapakah namamu dan di mana orang-
tuamu...?" tanya Bayu.
"Namaku Prasetya, dan kedua orangtua ku telah dibunuh mereka. Kini aku hidup
sebatang kara...," sahut pemuda tanggung dengan nada lirih.
Prasetya menatap kedua orang itu dengan seksa-
ma, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan sua-
ra penuh harap.
"Maukah kalian menolongku...?"
"Apa yang bisa kami tolong...?" tanya Bayu.
"Menghancurkan Perampok Tangan Darah itu...."
"Prasetya, kau tidak usah khawatir. Tanpa kau
minta pun kami bermaksud menghancurkan peram-
pok keparat itu setelah apa yang mereka lakukan ter-
hadap desa ini!" sahut Wulandari cepat sebelum Bayu buka suara.
"Oh, sungguhkah..."!" sahut Prasetya dengan bola mata berbinar-binar.
Wulandari mengangguk cepat
"Nah, jagalah dirimu baik-baik. Kami akan mencari Perampok Tangan Darah yang
biadab itu dan menghancurkan mereka!" lanjut Wulandari sambil bangkit berdiri
dan mengajak Bayu berlalu dari tempat itu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih atas kesediaan kalian. Aku akan berdoa mudah-
mudahan kalian selamat
dan mampu menghancurkan perampok itu!" sahut
Prasetya gembira.
Wulandari dan Bayu tersenyum. Mereka segera ke-
luar dari rumah itu. Langkah keduanya terhenti ketika mereka baru saja beberapa
langkah. Tujuh orang laki-laki yang masing-masing memegang senjata berupa go-
lok, pentungan, dan berbagai macam senjata lainnya
telah menghadang. Wajah mereka jelas menunjukkan
rasa permusuhan.
"Berhenti! Hari ini kami telah bersumpah akan
membunuh kalian berdua...!" bentak salah seorang di antara mereka garang.
"Kisanak, siapa kalian dan apa yang kalian bicarakan" Seingatku di antara kita
tidak ada saling permu-
suhan. Kenapa kalian bicara seolah-olah menyimpan
dendam kesumat terhadap kami?" tanya Bayu dengan sikap tenang.
"Jangan-banyak bicara! Kalian pasti salah satu dari mereka yang ingin kembali
untuk meratakan desa ka-mi ini!" desis orang itu tidak peduli dengan apa yang
diucapkan Bayu.
Salah seorang kawannya yang lain malah tidak
mampu menahan sabar dan sudah langsung menghu-
nuskan goloknya menyerang kedua orang di hadapan-
nya. "Huh, banyak mulut! Lebih baik kalian mampus...!"
"Uts...!"
Plak! Gusrak! Orang itu sama sekali tidak memiliki dasar ilmu si-
lat yang baik sehingga serangannya terkesan seram-
pangan. Dengan mudah Bayu mengelak sambil memi-
ringkan sedikit kepalanya. Sementara bersamaan den-
gan itu sebelah kakinya mengait kaki lawan hingga ja-
tuh terjerembab. Beberapa orang kawannya terkejut
dan bertambah marah. Dengan serentak mereka maju
menyerang kedua orang itu. Namun sebelum mereka
bertindak lebih jauh, terdengar seseorang berteriak
nyaring. "Tahaaan...!"
"Hei, Prasetya! Apa yang kau lakukan di sini?"
tanya salah seorang di antara mereka yang hendak
mengeroyok Bayu dan Wulandari.
"Ki Sugeng, jangan memusuhi mereka. Mereka bu-
kanlah kawanan perampok-perampok itu!" teriak orang yang baru muncul yang tidak
lain dari Prasetya.
"Hm, bagaimana kami bisa percaya?" dengus orang yang pertama berbicara pada
Pendekar Pulau Neraka
tadi. "Mereka kawanku dan akan menghancurkan para
perampok itu. Percayalah, Ki. Mereka orang baik!" jelas Prasetya meyakini
mereka. "Hm...," laki-laki bertubuh sedang dengan kumis tebal yang dipanggil Sugeng itu
mendengus pelan.
"Kisanak, kalian boleh percaya. Kami sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan kawanan perampok
itu. Bahkan kalau kalian percaya, kami bermaksud
menyatroni sarang mereka," sahut Bayu pelan sambil menaiki punggung kudanya
diikuti Wulandari.
"Hm, kau pikir kami akan percaya dengan omon-
ganmu begitu saja"!" dengus Sugeng sinis dan tetap curiga.
Sementara kawan-kawannya yang lain bersiap
dengan menjaga-jaga segala kemungkinan agar kedua
orang itu tidak bisa kabur seenaknya.
"Kau boleh percaya karena yang bicara denganmu
adakah Pendekar Pulau Neraka dan...!" sahut Bayu mulai kesal dan langsung
menghela kudanya kencang-kencang dari tempat itu.
"Hei..."!" Sugeng tersentak kaget dengan wajah tidak percaya mendengar kata-kata
terakhir pemuda itu.
"Kenapa, Ki?" tanya seorang kawannya dengan na-da heran.
"Pantas! Lima kali lipat dari jumlah ini pun tidak akan mampu menghalangi
keduanya. Mereka pende-kar hebat, dan aku yakin di tangan keduanya kawanan
Perampok Tangan Darah akan mampu dihancurkan.
Sayang, kita tidak sempat meminta maaf...," desah Sugeng sambil memandang ke
arah di mana kedua orang
muda-mudi itu telah menghilang dari pandangan!
*** 4 Bayu dan Wulandari memperlambat lari kuda me-
reka setelah jauh dari desa yang mereka lalui tadi. Wajah Wulandari tampak
kesal. Terasa betul kejengkelan
hatinya akibat sikap orang-orang tadi.
"Orang-orang seperti itu membuatku muak. Kalau
saja tidak ingat penderitaan yang mereka alami, ingin rasanya kuhajar orang-
orang itu!" dengusnya geram.
"Sudahlah, bukankah mereka tidak mengeta-
huinya...," sahut Bayu menghibur.
"Iya, tapi seharusnya mereka kan bisa tanya atau bagaimana. Tidak langsung main
tuduh!" "Mereka baru saja mengalami kejadian yang amat
mengerikan. Sudah pasti kecurigaan mereka membabi-
buta begitu melihat orang asing yang membawa senja-
ta di desa mereka," jelas Bayu.
"Huh, aku tidak peduli!"
Bayu tertawa pelan. Wulandari sudah hendak ma-
rah pada pemuda itu ketika mendadak muncul tiga so-
sok tubuh menghadang mereka dengan menunggang
kuda. Langsung keduanya menghentikan langkah me-
reka dan menatap ketiga penghadang berwajah seram
itu dengan sikap tenang.
"Kisanak, siapakah kalian dan ada urusan apa
menghadang perjalanan kami?" tanya Bayu berusaha menahan perasaan hatinya ketika
dia men-coba mengambil jalan lain, namun ketiga orang itu seperti sengaja
mengikuti dengan sikap menghadang.
"Kakang, tidak usah banyak bicara lagi. Sudah jelas mereka ingin mencari gara-
gara. Biar kuhajar saja!"
gerutu Wulandari geram.
Tapi sebelum gadis itu berbuat apa-apa, ketiga
orang penghadang itu tertawa keras.
"Ha ha ha...! Sungguh galak gadis cantik ini. Tapi dengan sikapnya itu semakin
membuatku gemas dan
ingin cepat-cepat mendekapnya!" kata salah seorang di antara mereka yang
bertubuh besar dan bercambang
bauk tebal di wajahnya.
"Bangsat kotor, tutup mulutmu...!" bentak Wulandari sambil melompat turun dari
kudanya dan lang-
sung menyerang orang itu dengan geram.
"Jaka Sunggring, diamlah kau biar kutangkap ga-
dis liar ini untukmu!" sahut kawannya yang bertubuh kurus sambil melompat
memapaki serangan Wulandari. "Hati-hati, Delangu! Jangan sampai dia lecet di
tanganmu!" kata orang bercambang bauk yang dipanggil Jaka Sunggring itu.
Melihat Wulandari bertindak demikian, Bayu men-
diamkan saja sambil memperhatikan dengan seksama
dan menarik napas pendek.
'Yeaaah...!"
"Uhhh...!"
Kepalan tangan kiri Wulandari menderu meng-
hantam batok kepala Delangu. Namun laki-laki kurus
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu dengan gesit
mengelak. Dia bermaksud memper-mainkan gadis itu
dengan menundukkan kepala dan hendak mencengke-
ram dada Wulandari. Namun alangkah kagetnya dia
ketika dengan tiba-tiba kaki kanan gadis itu menghajar bagian bawah perutnya.
Dengan cepat Delangu mengelak ke samping. Tapi Wulandari cepat memutar tubuh
dan mengayunkan kaki kirinya menghajar dada lawan.
"Begkh!"
"Aaakh...!"
Delangu menjerit keras ketika merasakan dadanya
seperti mau pecah menerima tendangan yang kerasnya
bukan main. Tubuhnya sampai terjungkal dengan da-
rah menetes di sudut bibirnya.
"Hiyaaa...!"
Belum lagi dia sempat memperbaiki kedu-
dukannya, Wulandari telah melompat menyerang-nya
kembali dengan satu tendangan bertenaga kuat.
"Delangu, awas kau!" bentak Jaka Sunggring sambil melompat memapaki serangan
Wulandari untuk
menyelamatkan kawannya itu.
Srak! Trang! Jaka Sunggring langsung mencabut senjatanya be-
rupa clurit yang berukuran panjang dan menyambar
kaki gadis itu. Wulandari buru-buru mencabut pedang
tipis dari pinggangnya untuk menangkis senjata lawan
seraya menekuk kakinya yang tadi terentang.
Wut! Des! "Aaakh...!" Jaka Sunggring menjerit keras ketika ujung kaki kiri lawan
menghantam dadanya.
Ketika senjata mereka tadi beradu, Jaka Sunggring
mengeluh kesakitan merasakan telapak tangannya pe-
rih. Namun begitu dia masih sempat menundukkan
kepala ketika ujung pedang lawan menyambar ke arah
leher. Tubuhnya melompat ke belakang untuk meng-
hindari serangan lawan berikutnya. Namun tubuh Wu-
landari telah melompat tinggi sambil mengayunkan
kaki kirinya ke dada lawan. Jaka Sunggring terjungkal beberapa langkah dari
tempatnya berdiri tadi. Dan Wulandari seolah tidak mau memberi kesempatan pada
lawannya, tubuhnya langsung berjumpalitan untuk
menghabisi lawan.
Melihat keadaan kawannya yang kritis, Delangu
dan seorang kawannya yang satu lagi langsung me-
lompat menyerang Wulandari.
"Betina liar, mampuslah kau...!" bentak mereka sambil menghunuskan senjatanya.
"Wulan, biar kubereskan mereka! Kau hajar saja
bagianmu yang bermulut kotor itu!" teriak Bayu sambil melompat dari punggung
kudanya dengan gerakan indah untuk menahan serangan kedua lawan yang akan
menghajar Wulandari.
"Mampus...!"
"Uts...!"
"Hiiih...!"
*** Bayu memancing serangan keduanya dengan men-
gayunkan kaki ke arah keduanya. Serta-merta mereka
mengayunkan senjata memapak kaki pemuda itu. Saat
itu Bayu menarik pulang tendangannya, dan kaki ki-
rinya yang satu lagi menotol bumi sehingga tubuhnya
terangkat ke atas dengan ringan sambil berjumpalitan.
Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menghajar wa-
jah kedua lawannya secara bersamaan.
Des! "Aaakh...!"
Kedua orang itu terjungkal sambil menjerit kesaki-
tan. Yang seorang hidungnya patah dan mengucurkan
darah, sedang yang seorang lagi dua buah giginya
tanggal. Mereka berusaha bangkit dengan amarah
yang meluap-luap.
Dengan senjata terhunus mereka menyabet tubuh
lawan secara bersamaan. Namun dengan gesit tubuh
Bayu meliuk-liuk menghindari tebasan senjata lawan.
Tubuhnya berputar cepat sambil mengayunkan satu
tendangan keras menghantam dada kedua lawannya.
Mereka menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal
beberapa tombak. lsi dada mereka seperti mau mele-
dak menerima tendangan yang kerasnya luar biasa.
Beberapa kali mereka memuntahkan darah segar.
"Bangkitlah...," kata Bayu sambil memandang mereka dengan seksama.
Kedua orang itu tersentak kaget. Entah bagai-mana
caranya pemuda itu telah tegak berdiri di depan mere-
ka. "Ayo, bangun! Bukankah kalian hendak menghabi-siku?" tanya Bayu dingin.
Belum sempat mereka berkata sepatah kata pun
mendadak terdengar jeritan keras.
"Aaakh...!"
Tubuh Jaka Sunggring bergulingan sambil mena-
han rasa sakit, dan berhenti persis di samping kedua


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya itu. Di dadanya terlihat luka go-resan me-
manjang yang cukup dalam akibat sabetan senjata
Wulandari. Sedangkan senjatanya sendiri telah lepas
dari genggaman. Orang itu berusaha bangkit namun
ujung kaki Wulandari dengan cepat menghantam pe-
rutnya. Duk! "Hokh...!"
Jaka Sunggring tergeletak dalam keadaan tengku-
rap dan mendekap perutnya yang mau meledak akibat
tendangan gadis itu.
"Siapa kalian dan ada urusan apa mencegat perja-
lanan kami"!" bentak Wulandari galak sambil menjam-bak rambut Jaka Sunggring.
"Aaa..., ampun, ampuni kami, Nisanak....'" lirih suara Jaka Sunggring dengan
wajah pucat ketakutan.
Plak! "Aaakh...!"
Jaka Sunggring menjerit keras ketika sebelah tan-
gan gadis itu menampar pipinya dengan keras, sehing-
ga terlihat sudut bibirnya pecah dan berdarah.
"Itu hadiah atas mulut kotormu tadi. Sekarang katakan siapa kalian sebelum aku
hilang kesabaran dan
mencabut nyawa kalian!" bentak Wulandari geram.
"Eh, kami..., kami..."
"Cepaaat!" teriak Wulandari menggeledek.
Ketiga orang itu tersentak kaget. Dan wajah mereka
pucat ketakutan melihat kegalakan gadis itu. Jaka
Sunggring menelan ludah sebelum menyahut.
"Kami..., kami kawanan Perampok Tangan Da-
rah...," sahutnya terbata-bata.
"Hm, Perampok Tangan Darah" Bagus!" Wulandari mendengus geram ketika mendengar
jawaban itu. Des! "Wuaaa...!"
Dengan menyebutkan nama itu mereka berharap
kedua orang itu akan takut dan segera pergi ketaku-
tan. Tapi, bagi mereka sama sekali tidak menyangka
ketika gadis galak itu mengayunkan tendangan berun-
tun sehingga ketiga orang itu terjungkal sambil meme-
kik kesakitan. "Perampok Tangan Darah keparat! Dicari-cari ka-
lian tidak bertemu tapi siapa sangka kalian malah da-
tang tanpa diminta! Hajaran itu belum seberapa di-
banding perbuatan kalian yang bejad terhadap orang-
orang desa!" desis Wulandari dengan kemarahan yang meluap-luap.
Sebelum ketiganya bangkit, gadis itu telah kembali
melompat dan menghajar ketiganya habis-habisan se-
hingga mereka kembali menjerit-jerit kesakitan tanpa
bisa melakukan perlawanan yang berarti.
Sring! "Sekarang lebih baik kalian mampus saja...!" desis Wulandari sambil mencabut
pedangnya dan bermaksud menghabisi ketiga lawannya yang telah tidak ber-
daya itu. "Wulan, tahan...!" sentak Bayu sambil menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"Lepaskan, Kakang! Biar kubereskan mereka seka-
rang juga!" sentak gadis itu berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Bayu.
"Dengar dulu! Bila kau bunuh mereka kita cu-ma
mendapat tiga orang. Tapi kalau kita paksa mereka
menunjukkan sarangnya, maka kita akan menda-
patkan seluruh kawanan itu. Bila kau bunuh mereka
sekarang, maka sulitlah bagi kita untuk menumpas
mereka seluruhnya. Nah, kau mengerti maksudku?"
Wulandari terdiam mendengar kata-kata itu.
Meskipun hatinya geram, tapi dia mengakui bahwa apa
yang dikatakan Bayu memang benar. Dia menghampiri
ketiga laki-laki itu sambil menghunus ujung pedang-
nya ke arah Jaka Sunggring.
"Katakan di mana kawan-kawanmu yang lain kalau
kau ingin selamat"! Kalau tidak kau akan mampus se-
karang juga!" dengus Wulandari sambil menempelkan ujung pedangnya ke leher
lawan. "Ka..., kalian pasti akan celaka bila bertemu dengan mereka...," sahut Jaka
Sunggring. "Aku tidak butuh peringatanmu! Katakan di mana
kawan-kawanmu berada?" desis Wulandari sambil me-
nekan ujung pedangnya agak kuat
"Ba..., baiklah. Me..., mereka berada di Lem-bah Kematian di sebelah selatan
Gunung Dieng...," sahut Jaka Sunggring dengan wajah pucat ketakutan.
"Bagus! Sekarang jalan! Ayo, jalan...!" bentak Wulandari menggiring mereka.
Wulandari menyuruh mereka berjalan lebih dulu
sementara dia dan Bayu mengikuti dari belakang den-
gan berkuda. "Bila kalian coba-coba kabur, maka pedangku tidak akan kenal ampun terhadap
kalian!" ancam gadis itu lagi mengingatkan.
Ketiga orang itu bergidik ngeri. Melihat sepak ter-
jang kedua orang itu, mereka bisa merasakan bahwa
tak seorang pun dari mereka yang mampu melarikan
diri. Bukan saja tenaga kedua muda-mudi itu sangat
hebat, tapi mereka bertiga tak mau menanggung aki-
batnya untuk coba melarikan diri.
*** Lembah Kematian yang berada di sebelah sela-tan
Gunung Dieng adalah suatu tempat yang agak tersem-
bunyi dan dikelilingi bukit-bukit yang berdinding le-
kuk-lekuk. Di dinding bukit-bukit kecil itu banyak terdapat goa-goa yang
merupakan tempat tinggal kawa-
nan Perampok Tangan Darah yang dipimpin Ki Rantek.
Sementara di depan dinding-dinding itu sendiri diha-
dang oleh hutan-hutan lebat dengan pepohonannya
yang besar serta berumur ratusan tahun. Selama ini
tidak ada seorang pun yang berani memasuki wilayah
itu, sebab mereka yang ke sana tidak ada seorang pun
yang pernah kembali dengan selamat.
Lembah Kematian yang selama ini lengang, hari ini
terlihat ada keramaian. Ki Rantek dan anak buahnya
terlihat sedang mengadakan pesta-pora atas keberha-
silan mereka merampok iring-iringan pedati yang
membawa barang-barang berharga. Namun bukan
hanya karena itu saja yang membuat mereka menga-
dakan pesta besar-besaran melainkan karena hari ini
sedang berlangsung perkawinan antara Aria Denta,
murid Ki Rantek satu-satunya dengan Kusumawarda-
ni, murid tunggal Nyai Dasih Malela. Seperti diketahui, Nyai Dasih Malela adalah
seorang perampok wanita
yang memiliki kepandaian tinggi dan sepak terjangnya
amat kejam. Ki Rantek berharap dengan adanya ikatan perka-
winan di antara murid mereka, maka kedudukannya
akan semakin kuat dan kawanan Perampok Tangan
Darah akan lebih disegani. Tidak heran jika dia merasa sangat bergembira melihat
perjodohan itu. Kusumawardani yang berwajah cantik dengan pakaian seronok
itu tentu saja memiliki kepandaian hebat dan bisa di-
andalkan, jika mereka telah bergabung dalam kelom-
poknya. "Selamat atas perkawinan Aria Denta dan Kusu-
mawardani...!" teriak salah seorang anak buah Ki Rantek sambil mengangkat
secawan anggur ke atas.
"Hidup Ki Rantek...!" lanjut yang lainnya.
"Hidup Nyai Dasih Malela...!" timpal seorang lagi.
"Hidup Perampok Tangan Darah...!" sambut yang lainnya.
"Hi hi hi...! Anak-anak buahmu sungguh berse-
mangat sekali, Ki Rantek...!" puji Nyai Dasih Malela.
"Ya, mereka memang sudah lama menantikan saat-
saat seperti ini. Silakan diminum anggurnya, Nyai...!"
"Silakan!" kata Nyai Dasih Malela sambil mengangkat cawan berisi anggur.
"Mari, Nyai...!" sahut Ki Rantek ikut mengangkat cawan anggur.
Melihat hal itu semua anak buah Ki Rantek pun
melakukan hal yang sama untuk menghormati wanita
tua itu. "Dan sekali lagi untuk kedua mempelai...!" lanjut Ki Rantek mengangkat cawannya
ditujukan kepada Aria
Denta dan Kusumawardani.
"Mudah-mudahan mereka hidup bahagia sampai
kakek dan nenek...!" timpal Nyai Dasih Malela.
"Hidup Aria Denta...!" teriak seseorang.
"Hidup Kusumawardani...!" timpal seorang lagi.
"Hidup keduanya...!" sambung seorang lagi.
Kemudian bersama-sama mereka minum anggur
yang ada di dalam cawan masing-masing. Be-berapa
orang anak buah Ki Rantek menari-nari diiringi tepuk
tangan kawan-kawannya. Ki Rantek dan Nyai Dasih
Malela tersenyum-senyum melihat hal itu.
"Anak-anak buahmu tampaknya amat setia pada-
mu, Ki Rantek...," puji Nyai Dasih Malela.
"Ya, begitulah. Mereka bahkan tidak segan-segan
Pedang Inti Es 1 Tengkorak Maut Karya Khu Lung Istana Pulau Es 18
^