Pencarian

Bangkitnya Ki Rawa Rontek 1

Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek Bagian 1


BANGKITNYA KI RAWE RONTEK oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
Dalam episode 006 :
Bangkitnya Ki Rawe Rontek
128 hal. http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Pantai Barat Buleleng tak hentinya
didera ombak. Gelombang demi gelombang menggapai, hingga melemah di pasir bibir
pantai. Selaksa buih bertumbukan,
selaksa lainnya lahir atau menghilang.
Dibatas laut, bayang-bayang rembulan
penuh tampak bagai tercabik-cabik
gejolak samudera.
Tak jauh dari benteng pasir pantai
berdiri sebuah bangunan karang besar
yang mematung kaku. Tepat di kaki sebelah timur bukit karang itu, terdapat goa
cukup besar. Goa Karang Hitam.
Goa Karang Hitam tetap bisu. Tak
seperti ombak laut yang selalu
bergemuruh, Bongkahan-bongkahan batu
karang dingin tampak menimbun seluruh
mulut goa. Tebing karang di atasnya,
ratusan sarang burung walet tampak
tersusun tak teratur, bagai
bintik-bintik jika dipandang dari jauh.
Di setiap sarang itu burung-burung
mungil berkumpul menanti pagi.
Malam kian terpuruk dalam kelam.
Kendati demikian tak juga sunyi, riuh
rendah pesta ombak sang Samudera terus berlangsung. Pada pangkal dini hari yang
diselumuti dingin, timbunan batu-batu
karang di mulut Goa Karang Hitam
tiba-tiba bergerak-gerak.
Grrr.... Tak ada sepasang mata pun
menyaksikan. Kelihatannya pantai saat
ini tidak diminati seorang pun. Bahkan para nelayan yang biasanya sudah berada
di tengah laut, kini lebih memilih
berkumpul dengan keluarga. Badai
tampaknya memang akan mengamuk di musim angin barat yang ganas.
Bongkahan karang penimbun mulut Goa
Karang Hitam terus bergetar kecil, lalu saling bergeser. Padahal, tak ada gempa
saat itu. Dan memang, hanya di sekitar mulut goa itu saja yang bergetar. Sesaat
kemudian, bongkahan batu karang itu
kembali mematung bisu.
Waktu terus merayap, merangkak
bagai langkah-langkah para pencabut
nyawa. Pada puncaknya....
Blar! Gruk..., grrr...!
Ledakan menggila yang dibuntuti
gemuruh riuh tercipta seketika.
Bongkahan batu karang sebesar setengah badan manusia langsung terlontar ke
segala arah, menghambur tak berdaya
seperti butiran pasir. Bukit karang
menjulang di atasnya turut bergetar.
Ratusan burung walet mendadak kehilangan kedamaian di sarang masing-masing.
Mereka berterbangan liar, bagai digerah keterkejutan.
"Cuit.... Cuit! Cuit... Cuit...!"
Mulut Goa Karang Hitam ternganga
lebar. Tak ada lagi karang keras yang
menyumpal mulutnya. Yang tertinggal
hanya pecahan-pecahan batu kecil di
sekitarnya, serta kehampaan di rongga
dalam goa. Di dalam sana, gelap berkuasa bersama kawalan kelengangan. Namun itu
tidak berlangsung lama. Karena mendadak saja...
"Aaarrrrggghhh...!"
Tiba-tiba terdengar erangan yang
menggidikkan bagai terpelanting keluar.
*** Di satu hamparan lembah hijau
berumput halus dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tabanan, berdiri menyendiri
sebuah pondok sederhana. Di halaman
terlihat dua orang berbeda usia
bertelanjang dada. Sekujur tubuh mereka berkilatan oleh keringatyang membanjir.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Terdengar teriakan penuh semangat
secara bergantian dari mulut
masing-masing. Dengan diiringi
teriakan, mereka melakukan
gerakan-gerakan penuh kekuatan. Yang
seorang adalah pemuda gagah berusia dua puluh enam tahun. Tubuhnya berotot
kenyal. Pantas saja jika dia begitu
bergelora melakukan setiap gerakan.
Wajahnya tak tergolong tampan. Namun
terlihat ramah dan tak bosan dipandang.
Kini wajahnya memperlihatkan kesung-
guhan. Sementara rambutnya yang
sepanjang bahu terikat kain hitam,
menggelepar-gelepar dipermainkan angin lembah.
Sementara yang seorang lagi adalah
lelaki tua. Meski usianya bisa dibilang lanjut, namun tubuhnya masih tampak
gagah. Otot-ototnya pun tak begitu
mengalami kesulitan dalam membuat
gerakan jurus yang terhitung sulit.
Menilik kerutan serta kumis dan jenggot putih di wajahnya, bisa ditebak kalau
usianya hampir mencapai sembilan puluh tahun.
Wrrrt! Deru seketika tercipta, begitu
celana pangsi hitam mereka bertumbukan cepat dengan angin. Kaki kanan mereka
teracung lurus menantang langit, seolah hendak mematahkanleher lawan. Setelah
itu, kaki masing-masing kembali ditarik ke bawah perlahan.
"Hsss!"
Dengan menghempas napas berangsur,
mereka pun mengakhiri latihan hari ini.
"Cukup dulu untuk hari ini, Yaksa!"
ujar lelaki tua itu, seraya menyapu peluh di kening.
"Baik, Guru. Tapi kalau boleh, aku hendak sedikit menyempurnakan gerakanku pada
jurus kesembilan belas...," pinta anak muda yang ternyata bernama Yaksa.
Si Lelaki Tua terkekeh. "Kau punya semangat baja. Aku senang memiliki murid
sepertimu. Tapi...."
"Tapi hari iri aku harus meneruskan pelajaran memahat...," sela Yaksa,
mendahului kalimat laki-laki tua yang
ternyata adalah gurunya.
"Ha ha ha...!" laki-laki tua itu tertawa. Sudah seringkali dia mengatakan
kalimat itu pada Yaksa.
Sampai-sampai, murid tunggalnya ini
hafal. "Dan tentunya Guru juga akan
mengatakan, kalau aku harus mempelajari ilmu lain selain bela diri. Karena hidup
menuntut banyak hal. Seni bisa membuat jiwa kita hidup, sekaligus bisa menjadi
penopang hidup," tambah Yaksa.
Sang Guru tertawa lagi. Lagi-lagi
dia kedahuluan, seketika diraihnya bahu Yaksa dengan wajah gembira.
"Ayo kita ke dalam! Setelah
beristirahat sebentar, kita mesti
melanjutkan pahatan!" ajak laki-laki tua itu.
Mereka segera masuk ke dalam pondok
untuk beristirahat sejenak. Begitu
berada di dalam, mereka meneguk air putih segar dari sebuah kendi. Lalu
masing-masing menyapu keringat dan
sedikit berangin-angin di sisi jendela.
Dan kini mereka menuju belakang pondok, siap
melanjutkan pekerjaan lain.
Sepertinya, mereka tidak ingin
menyia-nyiakan waktu. Memang, bukankah waktu begitu cepat berlalu"
Di halaman belakang pondok, telah
menunggu tumpukan balok kayu besar serta dua pahatan yang hampir rampung. Yaksa
menghampiri salah satu pahatan.
"Kenapa Guru menyuruhku membuat
patung Sang Kala ini?" tanya Yaksa sambil meraih alat-alat pahatannya.
Laki-laki tua ini menepuk-nepuk
kepala patung berbentuk raksasa bermata besar dan bertaring itu.
"Patung Sang Kala adalah perlambang kejahatan di dunia. Aku menyuruh
membuatnya, karena aku ingin kau selalu waspada terhadap setiap kejahatan di
bumi ini...."
"Kenapa Guru menyuruhku membuat
sepasang?" tanya Yaksa lebih lanjut.
Diperhatikannya satu patung lain yang
berbentuk raksasa wanita berwajah
bengis. "Patung Sang Kala adalah Dewa
Perusak. Sedangkan pasangannya adalah patung Sang Khali Durga. Artinya, setiap
manusia baik perempuan atau lelaki,
setiap saat bisa melakukan kejahatan.
Karena sifat jahat adalah salah satu
sifat setiap orang. Yang tidak bisa
menguasai sifat itu, dia akan dikuasai.
Tapi jika bisa menguasainya, niscaya
orang akan mendapat ketenteraman hidup,"
tutur guru pemuda ini.
"Tapi seseorang yang bisa menguasai sifat jahat dalam dirinya, tidak mungkin
tenteram kalau dizaliminya, Guru...,"
sergah Yaksa. Lelaki tua berjanggut putih yang
kini sudah mengenakan baju hitam itu
mengangguk-angguk seraya menebar senyum arif.
"Untuk itulah, seseorang harus
memiliki kemampuan bela diri, serta
menghapus kejahatan pada orang-orang
yang dikuasainya. Kau mau menjadi
pendekar pembela kebenaran, bukan?"
Kini giliran Yaksa mengangguk
angguk. "Nah, Sekarang kau teruskan
kerjamu." "Baik, Guru."
Yaksa mulai menghujamkan pahatnya
pada lekukan tubuh patung Sang Kala yang harus dirampungkan. Sedangkan, gurunya
sudah kembali ke pondok. Tapi, begitu
lama sudah kembali lagi. Di tangannya
kini ada segulungan daun lontar kering yang sudah diawetkan.
"Yaksa.... Kalau kau sudah
menyelesaikan patung Sang
Kala, masukanlah lembaran-lembaran lontar ini ke lubang patung yang kemarin kau
buat..." Sang Guru langsung menyodorkan
gulungan di tangannya.
"Apa ini, Guru?" tanya Yaksa ingin tahu.
"Ini adalah sobekan-sobekan sebuah kitab," sahut lelaki tua itu singkat.
"Kitab apa, Guru?" desak Yaksa, ingin tahu lebih banyak.
"Kitab ilmu hitam. Dalam lontar itu tertulis rahasia-rahasia kelemahan ilmu
hitam," jelas gurunya hati-hati. "Karena aku yakin, suatu saat ada orang-orang
berhati iblis akan mencarinya. Maka kita harus menyembunyikan pada satu tempat
rahasia." "Di dalam patung Dewa Perusak ini?"
bisik Yaksa, juga hati-hati.
Gurunya mengangguk sekali.
*** Waktu terus menyingkir tanpa
terasa. Siang berganti senja yang
merahlembayung dari
belahan langit sebelah barat. Yaksa pun telah
merampungkan pahatannya. Bahkan sudah
pula menghaluskan patung kayu itu,
hingga makin menampakkan nilai seni.
"Satu persatu, kedua patung itu
dimasukkan ke dalam gubuk. Di dalam sana, dia membalik patung Sang Kala yang di
bawah kakinya terdapat semacam laci
kecil yang tertutup rapat. Di laci
rahasia itu, Yaksa memasukan gulungan
lontar seperti pesan gurunya. Sementara, lelaki tua itu sendiri saat itu sedang
duduk menyendiri di serambi. Dan pemuda itu segera menghampiri.
"Pesanmu sudah kulaksanakan, Guru,"
ucap Yaksa begitu sampai di serambi.
"Bagus.... Sekarang, duduklah
dulu," sahut laki-laki tua itu dari sebuah dipan bambu tempatnya bersila.
"Tapi, aku hendak menemui
seseorang, Guru," tolak Yaksa.
Lelaki tua itu melirik Yaksa dengan
sepasang mata yang sudah keabu-abuan.
"Kau mau menemui gadis itu lagi?"
sindir gurunya.
Yaksa hanya bisa tertawa risih.
"Baiklah. Pergilah sana...." Yaksa menjura dengan sebaris senyum lega.
"Terima kasih, Guru," hatur pemuda itu hormat.
"Kau tidak memintaku untuk
melamarnya?" tukas gurunya sebelum Yaksa jauh melangkah meninggalkan gubuk.
"Apa, Guru?" Lelaki tua itu
terkekeh. "Tidak apa-apa. Ada nyamuk usil
tadi!" kilah gurunya.
Sepeninggalan muridnya, lelaki tua


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjanggut putih ini masukke dalam
gubuk. Raut wajahnya berubah, tak lagi menampakkan bias ketenangan. Ada
sesuatuyang tiba-tiba mengusik batinnya saat ini. Dia merasa ini adalah firasat
buruk. Seperti dituntun oleh suara hati,
dia mengambil pahat milik Yaksa di bawah balai-balai kayu tempat tidur. Dengan
pahat itu, ditulisnya sebaris pesan di papan dinding gubuk.
"Yaksa! Tiba-tiba saja aku mendapat firasat buruk Entah apa yang terjadi, aku
sendiri tidak tahu. Tapi jika nanti kau tidak bisa berjumpa lagi denganku,
carilah seorang
pemuda yangbernama Andika diDesa Umbuldadi Jika dia masih di sana, mintalah agar mengajarimu
beberapa jurus bela diri
Gurumu, Lantanggeni..."
Laksana mata panah yang tepat
menghujam sa-saran, firasat lelaki tua yang ternyata Ki Lantanggeni (Baca kisah
Pendekar Slebor dalam episode: "Darah Pembangkit Mayat") agaknya mendekati
kebenaran. Karena mendadak saja
terdengar lengkingan erangan serak dan panjang di luar pondok Ki Lantanggeni.
Lengkingan menyeramkan itu jelas sarat dengan ancaman. Lebih mengancam daripada
geraman ratusan serigala liar!
Ki Lantanggeni kontan tersentak
Sebenarnya laki-laki tua ini tidak akan begitu terkejut. Kalau lengkingan tadi
tanpa disertai hempasan tenaga dalam
tingkat tinggi. Tapi, suara menggidikkan yang menerabas gendang telinganya
memang bukan teriakan seorang perempuan usil.
Teriakan itu bahkan sedahsyat angin
topan yang berhembus sekejap, membuat
dinding pondoknya bergetar dan nyaris
berguguran. Tak hanya itu. Telinganya
yang semula menyepi untuk memeluk
kedamaian mendadak saja bagai disodok sebatang besi panas.
Ki Lantanggeni langsung mendekap
kedua telinganya untuk menahan rasa
nyeri yang amat sangat. Wajahnya makin berkerut tak karuan. Sedangkan sepasang
matanya terpejam rapat.
"Aaargggkhhh!"
Terdengar kembali lengkingan serak
ketika Ki Lantanggeni baru saja melepas tangannya dari telinga. Untunglah, kali
ini lelaki tua itu telah menyalurkan hawa murni ke sepasang telinganya. Sehingga
tenaga dalam kandungan lengking tadi tak lagi membuatnya kesakitan.
Menjadi suatu keharusan baginya
saat ini, untuk segera menyiapkan diri lebih siaga. Kemungkinan terburuk yang
akan menyusul harus diwaspadai. Toh,
biar bagaimanapun, dia tidak mau mati
konyol meski usianya sudah bau tanah.
Tindakan itu memang membawa manfaat
karena.... Glarrr...! Tiba-tiba saja satu tenaga tak
terlihat datang menghancurkan dinding
kayu pondok di sisi kiri. Untung saja, Ki Lantanggeni masih mampu menyelamatkan
diri. Sekuat tenaga tubuhnya didorong ke udara hingga menembus atap rumbia
pondoknya. Serangan itu demikian
mendadak. Kalau saja kurang cepat, maka
tubuhnya akan berkeping-keping bagai
dinding kayu pondoknya yang bertaburan ke segala arah.
Srak! Ki Lantanggeni memang masih bisa
menyelamatkan nyawa tuanya. Dia memang bisa lolos dari terjangan hantaman
asing, melalui atap rumbia di atas pondok Tapi, tetap saja angin hantaman itu
sempat menyentuhnya juga. Meski tak
kencang, namun seluruh rangka tulangnya terasa luluh lantak.
Di atas wuwungan rapuh, Ki
Lantanggeni berdiri sambil bertahan dari kekuatan kasap mata yang merasuki
tubuhnya. Ketika sekujur tubuhnya terasa melemas seakan tanpa tulang, barulah
disadari kalau dirinya telah terkena
pengaruh pukulan langka. 'Pukulan
Peremuk Dalam'. Ilmu pukulan hitam yang mampu merapuhkan sebatang baja dari
dalam! "Gusti.... Kenapa ilmu hitam itu
tiba-tiba muncul kembali," desis
laki-laki tua itu lamat.
Sepengetahuannya, ilmu hitam itu
telah musnah, saat matinya datuk sesat ilmu hitam
yang juga saudara seperguruannya sendiri. Dia adalah
Artapati, alias Ki Rawe Rontek.
*** 2 "Lhanthanghhh.... Akkhu kembhalhi uhnthukh mencabhut nyawhamuhuuuuh...."
Ki Lantanggeni terkesiap begitu
mendengar sebuah suara seseorang yang
sepertinya kenal dengan dirinya. Kini dugaannya terbukti. Artapati, atau lima
puluh tahun lalu amat tersohor dengan
julukan Ki Rawe Rontek, telah bangkit
kembali! Bahkan untuk mencabut nyawanya sebagai pembayar hutang!
Sambil menarik napas sesak akibat
pengaruh 'Pukulan Peremuk Dalam',
sekaligus untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya, Ki Lantanggeni mengeluh berat.
Bukanlah kematian yang ditakuti. Tapi, sepak terjang tak berperi kemanusiaan
yang dilakukan Artapati. Tentu datuk
sesat itu setiap waktu akan menumpahkan darah kembali di mana-mana, jika mulai
merasa haus darah!
"Ini tak boleh terjadi...," desis Ki Lantanggeni, lirih.
"Khenhaphah therdhiamh sepherthi ithu, Lhantahanghhh"
Khau tahkut menerima kemathianmuhhh?"
Suara berat itu kembah menyesaki
udara di sekitar gubuk, menerjang jiwa Ki Lantanggeni Sehingga, membuatnya
bergetar. "Aku tak takut pada kematian, Arta!
Aku tetap seperti yang dulu. Pantang
mundur untuk kebatilan, rela membuang
nyawa untuk menegakkan kebenaran!"
bentak Ki Lantanggeni, masih tetap
berdiri kukuh pada pucuk atap rumbia
rapuh. Kalau bukan tokoh semacam Ki
Lantanggeni, tentu atap itu akan segera roboh. Karena, sebenarnya kekuatannya
hanya untuk menahan berat tubuh seekor burung nuri.
"Haaarhhh..., haaarhhh... haaarh!"
Entah yang terdengar itu adalah tawa
Artapati, atau semacam kegusaran. Ki
Lantanggeni sendiri tak bisa
menentukannya. Yang jelas, telinganya
menangkap kesan keangkuhan di sana.
"Khau phikhir, khau mhashih tethaph sepherti dhuluh, Lhanthanghhh" Apha khau
thak shadar khalau thubuhhmu sudhah
laphuk?" cemooh suara berat yang
terseret itu. "Akhu thak mauhhh bhanyak omhong lhlagi, Lhantanghh. Akhu akhan
mengamphuni nyawhamu, asal khau mau
menyerhahkan sobhekhan khitab ilmhu
hitham ithu...."
Ki Lantanggeni menyeringai. Namun
sempat terhenyak juga.
"Kau pikir kau siapa, Arta" Tuhan yang bisa mengampuni nyawa manusia" Kau
terlalu sombong, Arta! Tuhan akan
menghukummu!" hardik laki-laki tua itu dengan wajah memerah matang.
"Haarrrh... haarrh... harrh!
Uchapanmhu therlhaluh bodhoh,
Lhantangh!"
"Hentikan keangkuhan memuakanmu, Arta! Kalaupun sejuta setan neraka kau bawa ke
sini untuk memaksaku menyerahkan gulungan lontar itu, tetap tak akan
kuberikan!" tandas Ki Lantanggeni:
"Aaaargggh!"
Lengkingan serak ketiga kembali
menyayat angkasa, disusul membersitnya gelang-gelang api yang garis tengahnya
sebesar mulut sumur, menuju Ki
Lantanggeni. Asalnya, dari satu gundukan semak tinggi di tepi lembah.
Kegesitan Ki Lantanggeni, tak
berkurang meski tubuhnya masih didera
pengaruh pukulan tak berwujud tadi.
Bagaikan tupai yang meloncat lincah,
tubuh lelaki tua itu melenting ringan ke udara dengan kedua tangan terbentang.
Kemudian setelah berputaran beberapa
kali, kakinya mendarat ringan tiga belas tombak dari tempat asal serangan.
Dalam hati Ki Lantanggeni bergumam
setengah menyumpah. Serangan barusan
merupakan salah satu ilmu hitam yang
dimiliki Artapati, setelah direbutnya
secara curang dari tangan Ki
Lantanggeni. Padahal, ilmu hitam itu tak terlalu tangguh. Tapi yang baru saja
disaksikannya, benar-benar di luar
dugaan. Tampaknya setelah sekian puluh tahun tubuhnya terperam bumi, ilmu-ilmu
Artapati menjadi kian matang. Terbukti dengan kehebatan jangkauan gelang-
gelang api yang mampu mencapai tiga puluh lima tombak.
Jauh di belakang sana, pondok milik
Ki Lantanggeni mulai dilahap lidah api.
Jilatan si Jago Merah itu mulai menjalar ke rangka pondoknya. Sampai akhirnya,
menjalar ke bagian dinding.
Kebakaran ini membuat Ki Lantanggeni khawatir, karena patung kayu tempat persembunyian gulung lontar
rahasia kelemahan ilmu-ilmu hitam tentu akan terbakar api pula. Kalau gulungan
lontar itu terbakar, maka musnahlah
rahasia kelemahan ilmu hitam Artapati.
Dan, tidak akan ada lagi orangyang
menahan kebuasannya.
Dengan segera Ki Lantanggeni hendak
berbalik. Tapi niatnya diurungkan,
karena Artapati arias Ki Rawe Rontek
telah mendahului dengan hantaman
gelang-gelang api kembali.
Wrrr! Wrrr! Wrrr!
"Haih!"
Ki Lantanggeni langsung melenting,
menyelamatkan diri. Dan seketika
tubuhnya melesat nekat, menerobos tepat di tengah lingkaran gelang-gelang api
yang meluruk deras ke arahnya. Tampaknya laki-laki tua itu sudah cukup mengenali
pukulan api tersebut. Sehingga mau
mengambil langkah nekat dan sebahaya
itu. Pada saat tubuh laki-laki tua
membentang lurus di atas, seketika
sesosok bayangan besar menerkamnya dari semak-semak. Padahal, jarak antara
semak-semak dengan tubuh Ki Lantanggeni terbilang sekitar sepuluh tombak. Namun,
terkaman itu sanggup menggapainya.
Itulah sosok Artapati yang menerkam
laksana terbang!
Sementara, kedua tokoh berbeda
aliran itu menyulut pertarungan maut,
tanpa ada yang tahu seseorang menerabas masuk pondok yang terbakar. Beberapa
saat matanya mencari-cari sesuatu di
setiap ruangan pondok, di tengah
gapaian-gapaian lidah api, tanpa merasa takut terbakar, dengan tenang
diperiksanya ruang demi ruang sampai
akhirnya ditemukannya sepasang patung
buatan Yaksa, yang baru saja
dirampungkan. Dari bawah kaki salah satu patung kayu itu. Si Penelusup mengambil
gulungan lontar tanpa harus berlama-lama meneliti lubang rahasianya. Gulungan
lontar ini kemudian dimasukkan kembali ke dalam laci rahasia di bawah kaki
patung itu. Setelah itu, dia keluar tanpa kesulitan.
*** Yaksa telah tiba di Desa Umbuldadi
senja hari, menjelang tersungkurnya
mentari di kaki langit. Temaram telah
mengurung desa kecil itu. Beberapa
rumpun nyiur bergerak-gerak lamban,
diusik angin sepoi-sepoi.
Sejak gurunya pergi bersama
Pendekar Slebor untuk memburu kotak
berukir yang dibawa Sepasang Datuk
Karang, Yaksa tidak pernah menjumpai
gadis yang disukainya di Desa Umbuldadi yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng.
Tanpa izin Ki Lantanggeni, dia tak berani pergi meninggalkan pondok kecuali
untuk urusan penting.
Setelah kepulangan Ki Lantanggeni
beberapa hari lalu, Yaksa baru bisa
mendapat latihan jurus-jurus bela diri lagi. Sekaligus, bisa meminta izin untuk
menemui gadis pujaannya.
Jika seseorang bertanya pada Yaksa
tentang perasaannya saat ini, pasti akan dijawab lantang kalau perasaannya amat
berbunga-bunga. Siapa yang tak senang
jika hendak menemui orang yang dicintai"
Tak begitu lama berjalan memasuki
desa, Yaksa akhirnya tiba di depan sebuah rumah gubuk sederhana yang bersih dan
nyaman. Di situlah pujaan hatinya
tinggal. Makin dekat dengan gubuk itu, hatinya makin berbunga-bunga. Bahkan
jantungnya jadi bertalu-talu keras.
Baru saja pemuda itu hendak
memijakkan kakinya di anak tangga
pondok, telinganya menangkap dua orang sedang berbincang-bincang di dalam.
Entah, apa yang dibicarakan. Yang
diketahuinya suara itu dari seorang pria dan wanita.
Yaksa jadi curiga. Dengan sangat
hati-hati, dinaikinya tangga satu
persatu. Lalu dari celah pintu, dia
mengintip ke dalam. Benar! Memang ada
seorang pemuda yang sebaya dengannya
sedang bercakap-cakap bersama seorang
wanita. Pemuda itu baru kali ini
dilihatnya. Jadi, sama sekali Yaksa tak mengenal. Kalau yang wanita, sudah
dikenalinya betul. Dialah gadis yang
selama ini mengusik hatinya.
Yaksa jadi makin penasaran. Sewaktu


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis pujaan sedang berbicara dengan
wajah mesra, Yaksa jadi cemburu. Hatinya langsung terbakar. Terlebih, waktu
gadis itu mempersilakan pemuda di depannya
untuk mencicipi Rujak Degan dengan
mesra. Huh! Lama tak berjumpa, sewaktu
hendak berjumpa malah menyaksikan
pemandangan yang menyakitkan!
Betul-betul sial! Yaksa memaki dalam
hati. Saat itu pula, pemuda itu merasa mendapat saingan. Bagaimana tidak"
Pemuda yang dilihatnya di dalam sana,
ternyata lebih tampan!
Memang, selama ini Yaksa hanya baru
jatuh hati pada gadis itu. Dengan kata lain, cintanya masih seperti bertepuk
sebelah tangan Apa mungkin ini salahnya juga" Dia jadi bertanya pada diri
sendiri. Mengapa tidak sesegera mungkin mengutarakan isi hatinya pada gadis itu"
Ah! Yaksa jadi tak peduli. Pokoknya,
hari ini dia jadi jengkel bukan main.
Sambil membanting langkah pada anak
tangga, ditinggalkannya rumah panggung ini dengan bersungut-sungut.
Di dalam rumah panggung, terdengar
tawa dua anak muda yang pecah
sepeninggalan Yaksa. Gadis itu terkikik kecil sambil menutup mulutnya dengan
sebelah tangan Sedang sang Jejaka
tertawa renyah. Di tangannya masih
terpegang semangkuk Rujak Degan.
"Dasar orang usil!" ujar gadis itu.
Dengan rambut panjang ekor kuda, matanya yang berbulu lentik masih sedikit
menyempit, karena menahan tawa. Kulitnya yang agak kecoklatan, menjadi terlihat
manis ditutupi kebaya Bali berwarna biru muda. Namanya Idayir Wayan Laksmi.
Sedangkan pemuda di hadapannya tak lain dari Andika alias Pendekar Slebor (Baca
episode : "Darah Pembangkit Mayat").
"Dikiranya kita sedang berbuat yang macam-macam, barangkali," timpal
Andika, ikut meledek orang yang baru saja mengintip.
Sebenarnya, biarpun Yaksa sudah
begitu hati-hati melangkah di anak
tangga, tapi telinga yang terlatih
Andika tetap sanggup menangkap suara
geraknya. Tapi karena yakin tidak
berbahaya, Pendekar Slebor membiarka-
nnya saja. Idayu Wayan Laksmi pun diberi tahu Andika, kalau ada seseorang
mengintip mereka. Mulanya, Idayu Wayan Laksmi takut. Tapi dia diyakini kalau
orang di luar itu tidak berbahaya. Akhirnya,
mereka berkesimpulan kalau orang di luar tadi hanya mau usil.
Tawa kedua anak muda itu terpenggal,
ketika I Ketut Regeg adik Idayu Wayan
Laksmi masuk. "Mbok, apa tak tahu kalau tadi Bli Yaksa datang?" tanya I Ketut Regeg seraya
menghampiri Andika dan Idayu Wayan
Laksmi. Idayu Wayan Laksmi menyahut.
Matanya malah dikerjap-kerjapkan pada I Ketut Regeg, memberi isyarat agar tutup
mulut. Dia tidak mau kalau Andika sampai tahu tentang pemuda dari Tabanan yang
jatuh hati padanya.
"Mbok, cacingan, ya"!" tukas I Ketut Regeg. "Aku bilang Bli Yaksa datang, kok
Mbok malah mengedip-ngedip seperti
itu...." "Siapa itu Yaksa?" tanya Andika, jadi ingin tahu Idayu Wayan Laksmi
mencegah mulut ceriwis I Ketut Regeg yang berkicau lebih lanjut. Tapi sayang
mulut lincah anak muda tanggung berbadan kurus itu lebih gesit.
"Dia orang dari Tabanan yang naksir Mbok Laksmi, Bli Andika," tutur pemuda
tanggung bertubuh kurus ini acuh tanpa rasa bersalah.
Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik
kesal. Tapi I Ketut Regeg justru mendelik
lebih besar lagi.
"O, ya?" goda Andika pada Idayu Wayan Laksmi.
"Tapi, aku lebih suka kalau Beli
yang jadi kekasih Mbokku...," ucap I Ktut Regeg.
"Ah! Aku sendiri lebih suka menjadi sahabat Mbokmu. Ya tentu sahabatmu
juga!" Pandangan Idayu Wayan Laksmi kontan
terjatuh ke lantai. Kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan wajah yang
mendadak berubah mendung. Dia sungguh tidak suka mendengar pernyataan Andika
barusan. "Hanya sahabat?" Idayu Wayan Laksmi berbisik dalam hati. Hanya
sebagai sahabat"
"Kau kenapa, Laksmi?" usik Andika, menyadari perubahan sikap Idayu Wayan Laksmi.
" Beli hanya ingin bersahabat dengan Mbok, sih!" tukas I Ktut Regeg. "Mbok
Laksmi kan berharap Beli
menjadi kekasihnya. Apa Beli tidak naksir pada Mbok" Padahal, Mbok kan Jegeg kata orang
Bali. Banyak pemuda yang jatuh hati pada Mbok. Tapi, belum ada seorang pun yang
bisa membuatnya bertekuk lutut. Eee,
Beli kok malah menolaknya...."
I Ktut Regeg terus menyerocos
panjang-panjang seperti tidak sempat
mengambil napas. Tapi niatnya yang
hendak menyambung ucapan, terhadang isak tertahan Idayu Wayan Laksmi.
Andika dan anak muda tanggung itu
agak terperangah. Belum lagi Pendekar
Slebor sempat menanyakan kenapa Idayu
Wayan Laksmi terisak, dara nan ayu itu sudah menghambur ke belakang rumah.
Tubuh Idayu Wayan Laksmi langsung
menghilang di balik kerai terbuat dari anyaman kulit rotan. Suara tangisnya
masih tertinggal, di ruangan tempat
Andika dan I Ktut Regeg duduk saling
menatap. "Apa ucapanku tadi sudah
menyinggung perasaan Mbok?" tanya I Ktut Regeg, seperti bergumam pada diri
sendiri. Andika menyahutinya dengan
gelengan. Bukan karena tak tahu kenapa hati dara itu terkoyak, tapi karena
merasa berdosa pada Idayu Wayan Laksmi.
Selama ini, tanpa disadari Andika telah memberi ha-rapan pada gadis itu. Dan
pemuda ini tak pernah mengatakan kalau dirinya tidak bisa mencintai Idayu Wayan
Laksmi. Tentu saja Idayu Wayan Laksmi
yang selama ini berharap, walaupun
sampai kapan. "Biar kutemani dia, Geg," ucap Andika.
"Aku ikut, Beli. Ini karena salahku juga...."
"Kau tetap di sini saja," cegah Andika.
I Ktut Regeg tetap bersikeras. Dia
ikut bangkit, membarengi pendekar tampan ini. Dan ini membuat Andika jadi
mangkel pada sikap bandel anak muda tanggung itu.
Dengan menyeringai jengkel, I Ktut Regeg ditotoknya.
Tuk! Saat itu juga, tubuh pemuda tanggung
itu kejang mematung. Wajahnya masih
mendongak kaget. Matanya berkedip-kedip kelimpungan. Mulut usilnya yang masih
bisa digerakkan, segera saja melancarkan sumpah serapah pada Andika.
Andika makin mangkel. Sambil
menggeleng-geleng kepala, disumpalnya
mulut I Ktut Regeg dengan daging kelapa Rujak Degan.
"Belhfif befbafhfan afuh!" teriak I Ktut Regeg kalap.
*** 3 Lembah di sebelah timur wilayah
Tabanan tempat Ki Lantanggeni mengadu
jiwa, digempur kekuatan hitam Artapati yang merupakan musuh lamanya. Entah,
sudah berapa puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu pula Ki Lantanggeni berada di bawah tekanan serangan laki-laki
yang sebenarnya sudah mati, dan berjuluk Ki Rawe Rontek ini.
Mati-matian Ki Lantanggeni menyela-
matkan selembar nyawa dari tangan keji Artapati. Dalam pertempuran terdahulu, Ki
Lantanggeni mendapat dukungan dari
ketiga saudara seperguruannya yang lain.
Namun ketiga saudaranya itu tewas. Dan kendati demikian, Ki Lantanggeni pun
bisa membunuh Artapati. Sayang, kini
berbeda. Laki-laki tua ini harus
menghadapi datuk sesat itu seorang diri.
Untuk bisa menang, dia tidak yakin.
Bahkan kalaupun bisa selamat, itu pun
sudah terlalu sulit.
"Grrrhhh!"
"Hiah!"
Artapati terus mendesak Ki
Lantanggeni dengan serangan-serangan
mematikan. Tidak ada lagi ancaman
gelang-gelang berapi seperti sebelum-
nya. Tapi bukan berarti serangannya
tidak lebih ganas. Laki-laki yang
menamakan diri Ki Rawe Rontek kini justru mengerahkan ilmu hitam 'Pukulan
Peremuk Dalam'. Bentuk serangan yang amat sukar dihadapi dalam pertarungan jarak
dekat. Karena tidak ingin pengaruh
'Pukulan Peremuk Dalam' melemahkan
benteng pertahanan dan mengacaukan
perhatiannya, Ki Lantanggeni berusaha
sekuat mungkin untuk bertarung jarak
jauh. Paling tidak, bisa menjauhi
lawannya. Desakan Artapati saat itu adalah
bagaikan serangan iblis yang tak
berbelas kasihan. Rangsekannya liar dan buas. Dia seolah telah menjelma menjadi
makhluk terganas di muka bumi ini!
Sepasang tangan dan kaki Ki Rawe
Rontek yang memiliki otot-otot kenyal
menggelembung dan berkulit keras serta berbulu kasar, menderu kian kemari. Di
sekelilingnya berhembus semacam
selubung kekuatan kasap mata yang mampu membuat seluruh tulang-belulang
lawannya terasa remuk!
Seperti kebuasan terjangannya,
wajah Artapati pun memancarkan kebuasan.
Helai-helai rambutnya yang panjang
sebatas punggung, menyatu dan bergumpal seperti bulu-bulu domba. Bentuk wajahnya
persegi dengan rahang kekar. Alis
matanya hitam, hampir menyatu. Di bawah alisnya tampak bersinar jalang sepasang
mata yang membiru pada seputar
kelopaknya. Bentuk hidungnya
membengkok. Tulang hidung dekat matanya tampak menonjol, nyaris sama panjang
dengan cupingnya. Sedangkan bibirnya
hanya seperti garis tipis memanjang
dengan ujung-ujung menekuk berkesan
menggiriskan. Di samping itu, bentuk tubuh
Artapati pun menyeramkan. Orang bernyali kecil pun akan takut, jika baru melihat
seluruh otot di bagian tubuhnya yang
menonjol. Apalagi bahunya besar dan
dadanya bidang. Batang lehernya seperti beton, kaku serta kekar. Di beberapa
bagian kulitnya, tumbuh sejenis jamur
menggumpal. Mungkin karena telah begitu lama terpendam di perut bumi. Semua itu
bisa terlihat, karena laki-laki ini
hanya mengenakan celana hitam sebatas
lutut yang sudah koyak di mana-mana.
Ada lagi yang tak kalah menyeramkan
dari semua itu. Di lehernya, terdapat
bekas luka melingkar. Daging-daging
kecil tampak menyembul keluar dari
lukanya. Kalau menyaksikan bekas luka itu, Ki
Lantanggeni jadi bergidik. 'Rawe
Rontek', ilmu hitam itu telah
menghidupkannya kembali! Tapi,
bagaimana dia bisa hidup kembali tanpa bantuan orang lain dengan memberinya
darah perawan sebagai pembangkit"
Memang! Sewaktu Ki Lantanggeni,
Andika, dan Idayu Wayan Laksmi memasuki Goa Karang Hitam beberapa waktu lalu,
tanpa disengaja darah dari luka Idayu
Wayan Laksmi menetes-netes di tubuh
Artapati. Walaupun tak terlalu banyak, tapi itulah awal kebangkitan kembali
tokoh hitam berjuluk Ki Rawe Rontek!
(Baca episode : "Darah Pembangkit Mayat").
*** Artapati terus merangsek Ki
Lantanggeni makin ganas. Sementara
kedudukan laki-laki tua guru Yaksa itu pun kian terhimpit.
"Grrrhhh!"
Di suatu kesempatan, seiring
raungan berat, Artapati menyapukan
tangan di udara. Cakaran tangannya
hendak melantakkan kaki Ki Lantanggeni yang masih melayang di udara.
Gerakan yang demikian cepat ini
membuat Ki Lantanggeni tidak mungkin
lagi menarik kaki. Satu-satu jalan
baginya untuk menghadapi sambaran cakar Artapati adalah menyambutnya dengan
kaki. Maka segera disalurkannya seluruh kekuatan tenaga dalam pada kaki. Paling
tidak, ini bisa menyelamatkan kakinya
dari keremukan Dan....
"Haaath!"
Drak! "Aaakh...!"
Benturan keras terjadi antara cakar
Artapati dengan tulang kaki Ki
Lantanggeni. Laki-laki tua, guru dari
Yaksa ini meraung tinggi. Wajahnya
disesaki warna merah karena menahan
sakit luar biasa. Nyerinya bahkan terasa sampai ke seluruh jaringan tubuhnya.
Semula harapan Ki Lantanggeni adalah,
kakinya tidak mengalami luka parah. Tapi kini, harapannya hanya pepesan kosong.
Betapa tidak merasakan, bagian tulang di
pergelangan kakinya seperti direncah-
rencah. Tubuh orang tua itu melayang di
udara, lalu ambruk berdebam di tanah. Di wajah bumi itu, Ki Lantanggeni
menggelepar-gelepar sambil memegangi
pergelangan kaki kanannya. Debu di bawah rumput terangkat ke udara, merubungi
tubuhnya. "Harrh... harrrhh... harrh! Masih jugha khau mahau bershikeras unthuk
menyembhunyikan ghulungan lhontar ithu padhakhu?" cemooh Artapati, dingin.


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Demi Tuhan! Kau bunuh aku akan
lebih baik daripada harus menyerahkan
gulungan lontar itu padamu, Iblis!"
hardik Ki Lantanggeni di tengah-tengah erangan.
"Harrrh... harrh... harrrh...
harh!" Lagi-lagi Artapati tertawa ganjil.
Wajahnya mendongak menantang langit.
Tampaknya dia begitu puas jika melihat seseorang menggelepar-gelepar
kesakitan. Ki Lantanggeni sekarang melihat
kesempatan untuk menyerang. Dalam
keadaan sehat, dia tidak akan sudi
berbuat curang dengan memanfaatkan
kelemahan lawan. Tapi keadaan kali ini jauh berbeda. Segala cara harus
diusahakan untuk dapat mencegah tokoh
hitam ini merajah dunia persilatan.
Sambil menghempas napas untuk
menguasai rasa sakit, lelaki tua itu
bangkit dalam sekali sentakan Tanpa
menghiraukan bakal kehilangan nyawa,
diterkamnya kepala Artapati. Sementara, kedua telapak tangannya siap mendongkel.
leher datuk sesat itu. Dia memang
berusaha kembali memisahkan kepala
Artapati dari tubuhnya.
"Hih!"
Sayang seribu kali sayang. Artapati
rupanya hanya hendak mengecoh Ki
Lantanggeni. Sengaja wajahnya mendongak agar lawan mengira dirinya lengah.
Padahal pada saat yang bersamaan,
tangannya telah siap dengan 'Pukulan
Peremuk Dalam' tingkat enam belas.
Tingkat pukulan hitam yang bisa melebur baja setebal satu hasta dari dalam!
Dan.... "Aaarrrgh!"
Bes! Tak dapat dicegah lagi, sepasang
telapak melebar Artapati memakan dada Ki Lantanggeni. Sehing-a, mata lelaki tua
itu seketika terbelalaklebar. Bahkan
otot-otot merah di matanya membersit
jelas. Tubuh tua Ki Lantanggeni kontan tergantung-gantung lunglai di atas
telapak tangan Artapati yang menengadah.
Lubang hidung, mulut, telinga, mata,
bahkan dari setiap pori-pori kulit Ki
Lantanggeni mengeluarkan darah kental
kehitaman. Orang tua itu telah gugur dengan
tubuh bagian dalamnya hancur lebur.
Artapati segera menghempas tubuh Ki
Lantanggeni begitu saja. Selanjutnya,
dia tertawa penuh kepuasan.
Beberapa lama kemudian, tokoh yang
tergolong mayat hidup itu sudah tampak meninggalkan puing arang gubuk milik Ki
Lantanggeni. Di tangannya ada segulungan lontar yang didapat dari sisa-sisa
patung Sang Kala, yang tanpa disengaja terlihat olehnya laci kecil di bawah kaki
patung. Di depan puing-puing hitam berasap
pondok ini, Artapati meremas-remas
gulungan lontar yang ditemukannya tanpa memeriksa terlebih dahulu. Gulungan
lontar itu pun langsung lebur menjadi
abu, di tangan datuk sesat yang merasa yakin telah memusnahkan petunjuk rahasia
kelemahan seluruh ilmu sesatnya.
*** Biru langit tampak menipis. Warna
hitam malam di wajah cakrawala
menampakkan diri. Hari kini dipagut
malam. Di Desa Umbuldadi, dua insan berbeda
jenis terdiam menatap kerlap-kerlip
sejuta bintang di angkasa raya. Sesekali mata mereka juga menjilati sinar
temaram rembulan yang hanya sepenggal. Mereka
adalah Andika dan Idayu Wayan Laksmi yang
tengah berdiri di halaman belakang
rumah. Sejak sore tadi, Idayu Wayan Laksmi
terus memagar diri dari Andika diam tak beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Sampai gelap pun merambah, dia tetap
berdiri tanpa sepatah kata terucap.
Karena kebekuan Idayu Wayan Laksmi,
Andika jadi tak berani mengusiknya.
Cukup lama juga Pendekar Slebor berdiri saja di sisi gadis ayu itu. Sama-sama
mematung, sama-sama bisu.
"Maafkan, kalau ucapanku sore tadi menyinggung perasaanmu, Laksmi," ucap Andika
akhirnya. Andika terdiam sebentar.
"Aku mengaku salah karena tak pernah mengatakan hal yang sebenarnya," sambung
pemuda itu perlahan.
Idayu Wayan Laksmi tak bergeming
dari sikap semula. Tetap berdiri diam, seperti area yang tak berusik badai.
"Sungguh! Aku sulit untuk mencintai mu, Laksmi. Sulit mencintaimu," aku Andika.
"Kenapa, Beli?" tanya Idayu Wayan Laksmi, menggugurkan kebisuannya. Mata
indahnya tetap terpaut nanar, pada
sebuah bintang yang bersinar paling
terang. "Karena...," Andika kehabisan kata-kata. "Kurasa karena aku memang sulit
mencintaimu."
"Aku bukan menanyakan itu, Beli. Aku bertanya, kenapa selama ini sikap Beli
seolah memberi banyak harapan padaku?"
ucapan Idayu Wayan Laksmi menyudutkan
pendekar tampan itu.
"Sekali lagi aku mengaku salah,
Laksmi. Sewaktu pertama kali berkenalan, aku memang tertarik padamu. Kau memang
ayu. Pribadimu pun mengagumkan. Pemuda mana yang tak akan tertarik" Begitu juga
aku. Tapi setelah cukup lama mengenalmu, baru kusadari kalau aku hanya tertarik
Tak lebih dari itu...."
Garis-garis bening mulai turun di
dua belahan pipi Idayu Wayan Laksmi,
membiaskan cahaya redup rembulan.
Benaknya mengulang-ulang pertanyaan
Andika barusan dalam nada kecewa. Hanya tertarik"
"Jadi selama ini Beli tak pernah mencintaiku" Menyayangiku?" tanya gadis itu
tersendat, diberontaki rasa sesak
yang menanjak ke tenggorokannya.
"Apa selama ini aku begitu
memperhatikanmu" Atau bersikap baik
padamu?" Andika balik bertanya.
"Ya...," singkat Idayu Wayan Laksmi.
"Itu artinya aku menyayangimu.
Sepenuh hati kukatakan, aku menyayangi mu. Tapi kau jangan salah duga.
Menyayangi bukan berarti mencintai,
layaknya seorang kekasih...," tutur
Andika di antara hempasan-hempasan napas kecil.
"Kenapa kau tak bisa mencintaiku?"
susul Idayu Wayan Laksmi.
Andika menarik napas dalam.
Disapunya anak rambut ke belakang kepala dengan kedua tangannya.
"Entahlah...," desah pemuda itu.
"Mungkin karena aku pernah kehilangan orang yang begitu kucintai, dan sampai
kini tetap membekas di bilik-bilik
hatiku. Atau mungkin, karena aku tak mau mengecewakan seorang gadis dengan
meninggalkannya. Sebab, aku mengemban
tugas suci untuk menegakkan kebenaran.
Aku tak bisa tinggal di satu tempat,
selama aku masih mampu menjelajah muka bumi untuk menegakkan kebenaran."
Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk
dengan kata hati masing-masing.
"Jadi, kuharap kau mau mengerti
keadaanku, Laksmi. Dan, mau pula
memaafkanku," tutur Andika, lembut.
Idayu Wayan Laksmi mulai
mau memindahkan pandangannya kewajah
Andika. Lama ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam. Di sana ditemukannya
kesungguhan tanpa sebersit kebohongan.
Air muka yang tegar, siap melangkahi
buana yang penuh kebatilan. Idayu Wayan Laksmi juga menemukan mata
elang Pendekar Slebor yang menghujam angkasa, seakan tidak pernah takut menghadapi
tantangan apa pun.
Perlahan tangan lembut Idayu Wayan
Laksmi bergerak, menjemput tangan kekar Andika. Digenggamnya tangan pemuda itu
erat-erat. Dan Andika pun membalasnya.
" Beli," tegur Idayu Wayan Laksmi.
Andika menoleh lembut. Matanya bisa
langsung menemukan sinar persahabatan di mata gadis ayu itu
"Kalau aku memaafkan Beli, maukah Beli memaafkanku juga?" tambah Idayu Wayan
Laksmi. Idayu Wayan Laksmi berpikir memang
tak bijaksana jika hanya karena
cintanya, dia telah menahan seorang
pemuda mulia dalam melakukan tugas suci.
"Kini aku bisa mengerti, Beli..."
tutur Idayu Wayan Laksmi mengakhiri.
"Dan kini aku pun memaafkanmu,
Laksmi...," ujar Andika tersenyum.
Mereka sama-sama tersenyum lepas.
Lalu sama-sama pula menatap angkasa
kembali, dalam satu rasa persahabatan.
*** 4 Pagi telah bangkit, dan sarat dengan
kesegaran. Desa Umbuldadi tempat Andika menetap untuk sementara sejuk dibelai
angin pagi. Pepohonan memendarkan warna hijau samar, saat matahari menyapa ramah
dari tempat munculnya.
Pagi-pagi sekali, Pendekar Slebor
sudah duduk di anak tangga rumah Idayu Wayan Laksmi. Semalaman matanya tidak
bisa dipejamkan. Bukan karena Idayu
Wayan Laksmi dia sendiri tidak tahu,
kenapa. Yang jelas, semalam hatinya
malah terus bertanya-tanya, kenapa masih berada di sini" Bukankah semestinya dia
sudah melanjutkan perjalanan, seperti
yang dikatakannya pada Idayu Wayan
Laksmi semalam"
Semenjak pertarungan dengan
Sepasang Datuk Karang dulu, timbul
keengganan Pendekar Slebor untuk
meninggalkan wilayah ini. Dia sendiri
bingung. Seolah-olah, nalurinya menahan agar dirinya tetap di Desa Umbuldadi
ini. "Aneh! Apakah urusan ini belum
selesai?" gumam Pendekar Slebor bertanya pada diri sendiri. "Lalu, kenapa pula
semalam aku begitu gelisah" Apakah ada sesuatu yang tak beres?"
Seketika Andika teringat pada Ki
Lantanggeni. Segera saja diputuskannya untuk mengunjungi lelaki tua itu.
Memang, rasanya ada firasat buruk
terhadap Ki Lantanggeni.
Andika segera bangkit.
" Beli mau ke mana?" sapa seseorang di belakangnya.
Rupanya, I Ktut Regeg sudah
terbangun juga. Pemuda tanggung itu
sedang mengucek-ucek mata, kala Andika menoleh.
"Aku ada sedikit urusan," jawab Andika. "Mau ikut juga seperti semalam?"
"Ah! Tidak, Beli. Terima kasih,"
tukas I Ktut Regeg cepat.
Dia memang tidak mau lagi dijadikan
patung hidup oleh Andika, seperti
semalam. Sampai-sampai seluruh tubuhnya pegal-pegal.
Andika tertawa, namun segera
beranjak pergi. Seketika Pendekar Slebor melesat pergi dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat
tinggi. Begitu cepatnya, sehingga begitu I Ktut Regeg menoleh kembali ke arah
Andika, pendekar muda itu sudah lenyap bagai tertelan bumi.
*** Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa itu
terkesiap, manakala menemukan pondok
sahabat tuanya sudah tidak ada lagi. Yang terlihat hanya serakan puing-puing
arang yang masih mengepulkan asap tipis.
Sekitar empat depa dari reruntuhan
pondok, seorang pemuda yang sebaya
dengannya tampak terduduk lesu di tepi satu gundukan tanah basah. Andika yakin,
gundukan tanah itu adalah kuburan. Itu bisa diduga dari ranting kayu kefingyang
ditancapkan pada satu ujung gundukan.
Tapi, kuburan siapa" Dan, siapa pula
pemuda itu"
Segera saja Andika menghampiri.
"Kisanak... Kalau bolehku tahu, kuburan siapa ini?" tegur Andika di belakang
tubuh pemuda yang tak lain dari Yaksa, murid Ki Lantanggeni.
Yaksa menoleh cepat. Matanya
mengawasi curiga pada Andika. Dia kenal betul pada wajah pemuda yang menyapanya.
Inilah lelaki yang berbincang-bincang
dengan Idayu Wayan Laksmi kemarin sore!
"Kenapa kau bertanya?" Yaksa balik bertanya. Nada bicaranya terdengar
menyelidik dan sedikit sinis.
Andika mencoba membalas perlakuan
tak ramah Yaksa dengan senyum.
"Aku hanya ingin tahu," jawab Pendekar Slebor sambil lalu.
"Kalau begitu, pergilah dari tempat ini secepatnya. Aku sudah muak melihat
wajahmu!" usir Yaksa.
Tentu saja sikap pemuda yang baru
dikenalnya ini membuat Andika
kebingungan. Sepasang alis matanya yang legam hampir bertemu, karena penasaran.
Apa-apaan ini" Tak ada angin tak ada
kentut, tiba-tiba saja pemuda itu
mencurigainya"
"Ah! Tak sepantasnya Kisanak
bersikap sekasar itu padaku," bujuk Andika. "Bukankah kita baru saja
berjumpa?"
"Sepantasnya kau segera pergi dari tempat ini!" terabas Yaksa gusar, langsung
berpaling dari wajah Andika.
"Ah, baik.... Aku akan segera pergi.


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sebelum pergi, bolehkah aku tanya di mana Ki Lantanggeni?"
Yaksa menoleh kembali.
"Ada urusan apa kau dengan guruku?"
tanya pemuda itu dengan tatapan
menyelidik. "Aaa! Jadi kau murid Ki
Lantanggeni...."
Andika mengulurkan tangan, mengajak
Yaksa berjabatan. Tapi yang diterimanya hanya wajah asam dari Yaksa. Dan
Pendekar Slebor pun jadi mengangkat bahu.
"Baiklah kalau kau tak mau menyambut jabat tanganku," kata Pendekar Slebor
setengah menggerutu. "Aku adalah sahabat Ki Lantanggeni."
Yaksa kontan tertawa mencemooh.
"Heh"! Apa mungkin guruku mempunyai sahabat semuda dirimu"!"
Andika menarik napas kesal.
"Apa gurumu tak pernah bercerita
tentang sahabat barunya yang tinggal
sementara di Desa Umbaldadi?"
"Hei"! Yang kutahu, beliau memang mempunyai sahabat di desa itu. Tapi yang jelas
bukan kau!"
"Siapa namanya?"
"Apa urusanmu?"
"Andika?" duga Andika.
Mata Yaksa kontan membesar.
Diambilnya sebilah belahan kayu dinding, di mana Ki Lantanggeni meninggalkan
pesan untuknya. Dibacanya teliti nama
orang yang tertulis di atasnya, seakan ingin meyakinkan diri.
"Dari mana kau tahu kalau guruku
punya sahabat bernama Andika?" tanya pemuda itu heran. Matanya masih saja
melemparkan sinar kecurigaan.
Mendengar pertanyaan tolol dari
Yaksa, tawa Andika jadi ingin meledak
mendadak. Tapi, dia berusaha menahannya.
Andaikata sudah lama mengenal Yaksa,
sudah pasti dia akan terpingkal-pingkal di tempat.
"Kau meledekku"!" Yaksa gusar.
Segera pemuda itu bangkit,
menyentak tubuhnya. Langsung
dibantingnya potongan kayu dinding dari tangannya
Andika akhirnya tak kuat lagi
menahan tawa. Kalau tawanya ditahan
terus, bisa-bisa malah keluar dari
'lubang' yang lain!
"Hua ha ha...!"
Manusia waras mana pun pasti akan
menjadi marah diperlakukan seperti itu.
Begitu juga Yaksa. Tubuhnya langsung
merangsek maju, hendak menyodok perut
Andika dengan tinjunya.
"Keparat!"
"Eit, tunggu!" cegah Andika.
Tubuh Pendekar Slebor cepat
menyurut kebelakang, seraya mengangkat telapak tangan ke muka. Dicobanya
menahan niat Yaksa.
"Kalau kau tak memukulku akan
kuberitahu di mana tempat tinggal lelaki bernama Andika itu...," sambung Andika,
setengah membujuk.
"Baik," ucap Yaksa dengan satu hempasan napas kesal. "Tapi kalau kau mencoba
membohongiku, akan kuhajar kau!
Sekarang katakan padaku, di mana orang bernama Andika itu tinggal!" desak Yaksa
sambil mengancam.
"Di kolong langit...," jawab Pendekar Slebor enteng dan seenak udel.
"Bangsat!" Yaksa langsung
mengangkat tangan geram.
"Ei...! Ei...! Tapi aku tahu, di
mana dia sekarang!" tahan Andika lagi.
"Di mana"!" hardik Yaksa dengan wajah merah matang.
Andika hanya menyeringai bodoh.
"Di sini," kata Pendekar Slebor.
Yaksa makin merasa dipermainkan
pemuda di depannya. Untuk kemarahan
terakhir, dia tak mau lagi menahan
tangan. Diiringi geraman gusar,
dilayangkannya tinju keras ke wajah
Andika. "Hih!"
Deb! Cepat bagai kilat Andika bergegas ke
kiri satu langkah. Sehingga serangan itu luput dari sasaran.
Tapi pada saat itu pula, Pendekar
Slebor merasakan adanya bahaya maut.
Bukan dari pukulan Yaksa. Karena dari
gerak dan kekuatan pukulan pemuda itu, sudah langsung dapat dinilai sampai di
mana tingkat kepandaiannya. Yaksa
tergolonghijau baginya. Meski, dia murid Ki Lantanggeni. Yang jelas, bahaya maut
itu kian mendekati tubuh Yaksa. Lalu....
"Hiah!"
Dalam satu rangkai tangkisan dan
pukulan telapak tangan yang secepat
kerdipan mata, Pendekar Slebor langsung melempar deras tubuh Yaksa ke belakang.
Lalu pada saat yang hampir bersamaan, sebuah benda berkilauan melesat tepat di
depan Pendekar Slebor.
Sing! Jep! Benda berkilatan itu meluncur,
membentuk sudut empat puluh lima derajat ke bumi, lalu menancap mantap di
gundukan tanah tempat Yaksa bersimpuh tadi. Kalau saja Andika tak segera
menyarangkan hantaman telapak tangan ke dada, bisa
dipastikan benda tajam berbentuk pisau terbang itu akan memangsa leher Yaksa!
Dalam keadaan tertunduk, Yaksa
terperangah. Matanya terbeliak ngeri
pada pisau terbang yang luput memangsa lehernya. Kemudian, sepasang bola
matanya bergulir ke Andika. Ditatapnya pemuda sebayanya itu dengan pandangan
sulit dijabarkan.
"Kau sengaja memukulku untuk
menyelamatkanku," ucap pemuda itu.
Suaranya lebih terdengar seperti
berkata pada diri sendiri. Yaksa yakin itu. Sebab, dia tak merasakan dadanya
mengalami luka.
Pemuda yang diajak bicara seperti
tak peduli perkataan Yaksa barusan.
Matanya menyelidik tajam ke arah asal
luncuran pisau terbang tadi. Merasa
yakin kalau si Pelempar Gelap sudah tak ada lagi di tempatnya, Andika segera
menghampiri pisau terbang tadi.
"Ada yang ingin menyampaikan pesan padamu dengan cara keji," kata Andika sambil
menimang-nimang pisau terbang
yang baru diambilnya.
Pada tubuh pisau, Andika menemukan
secarik kain. Dia yakin, kain itu semacam surat. Dan dugaannya tak meleset.
Ketika potongan kain kecil itu dibentang,
ditemukannya tulisan.
"Apakah kau tak tahu kalau dalam
gundukan tanah di dekatmu, terkubur jasad Ki Lantanggeni" Ki Rawe Rontek telah
bangkit kembali! Dialah yang telah mengirim Ki Lantanggeni ke dalam kubur.
Apa kau tahu niat Ki Rawe Rontekyang ingin menguasai Buleleng?"
Selesai membaca pesan dalam surat
itu, kening Andika mengernyit. Sehimpun pertanyaan pun menyeruak di benaknya.
Seperti juga Ki Lantanggeni ketika
disantroni Artapati, Andika pun
bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa Ki Rawe Rontek atau Artapati bisa bangkit
kembali" Sepengetahuannya, orang itu
tidak akan bisa bangkit sendiri. Harus ada orang lain yang membantunya dengan
darah perawan sebagai pembangkit hidup.
Selain itu, hatinya juga jadi penasaran pada si Pengirim Pesan. Siapa
sesungguhnya orang itu?"
"Kenapa kau tak bilang padaku kalau gundukan itu adalah kuburan gurumu?"
tanya Andika, selesai meremas kain di
tangannya. "Apa pedulimu?" Yaksa balik
bertanya dengan nada sinis. Tak
dipedulikannya tindakan Andika yang
membebaskannya dari incaran maut pisau terbang tadi.
"Apa peduliku" Kalau kau cepat
memberitahu tentang kematian gurumu,
tentu aku akan....," Andika menghentikan ucapan. "Ah, sudahlah! Tak ada gunanya
berdebat denganmu!"
Pendekar Slebor segera berbalik,
hendak pergi meninggalkan Yaksa.
"Mau ke mana kau"!" tahan Yaksa.
"Apa pedulimu"!"
"Karena, bisa saja justru kau yang telah membunuh guruku!" tuding Yaksa.
Lelaki itu bangkit cepat.
"Siapa namamu?"
"Apa pedulimu?" ulang Andika seraya melangkah acuh.
Yaksa mencoba menyusul, hendak
menghadang. Tapi belum lagi tubuhnya
tiba, pendekar muda itu sudah menghilang dengan gerakan kilatnya.
*** Andika kini tiba di Kerajaan
Buleleng. Keputusan untuk datang ke
istana Cokorde Ida Bagus Tanca, Raja
Buleleng, ditetapkannya setelah
menebak-nebak maksud kalimat terakhir
dalam surat kain. Jika kalimat itu
menyatakan bahwa Artapati atau Ki Rawe Rontek hendak menguasai Buleleng, maka
sudah bisa dipastikan datuk sesat itu
akan mencoba menguasai istana sebagai
pusat pemerintah terlebih dahulu. Kalau pihak istana runtuh, maka kerajaan pun
terkuasai. Itu berarti, seluruh wilayah Buleleng akan dikuasai.
Di pintu gerbang, dua penjaga yang
sudah mengenal Pendekar Slebor ketika
dulu hendak ditangkap akibat fitnah
salah seorang keluarga kerajaan, segera memberi hormat dengan tata cara
prajurit. "Ada perlu apa, Tuan Andika?" tanya salah seorang prajurit ramah dan sopan.
"Aku hendak berjumpa Cokorde. Ada hal yang harus dibicarakan dengan
beliau," sahut Andika, tak kalah ramah.
Si Prajurit mengangguk.
"Baik, Tuan Andika. Kalau begitu
mari, ikut hamba...," ajak prajurit, langsung melangkah ke pelataran istana.
Dan Andika pun mengikuti.
Setelah melintasi taman depan
istana, serambi, dan beberapa ruang
besar, barulah mereka tiba di satu ruang makan keluarga istana. Cokorde tampak
baru saja menyelesaikan makan siang
bersama keluarga besarnya.
Betapa gembiranya Cokorde menyambut
kedatangan Pendekar Slebor. Dijabatnya tangan pemuda itu hangat. Dan belum lagi
Andika beramah-tamah, Cokorde sudah
memintanya untuk makan siang. Lelaki
berusia sekitar tujuh puluhan dan
bertubuh agak pendek gemuk itu
mengantarkannya ke meja makan. Wajah
Raja Buleleng yang tampak putih bersih dengan kumis rapi itu tampak selalu
dihiasi senyum ramah.
Sementara itu, beberapa pejabat
istana yang kebetulan mendapat undangan makan siang, menjadi terheran-heran.
Selama ini, tidak ada seorang pun yang disambut demikian hangat oleh Cokorde.
Tapi, anak muda berpenampilan kampungan itu justru diperlakukan lebih akrab,
ketimbang seorang sahabat raja. Dalam
hati masing-masing, tentu saja
bertanya-tanya siapa sesungguhnya anak muda itu.
Memang dalam adat istiadat keluarga
Cokorde Ida Bagus Tanca, seorang ksatria
sejati yang sudi mengorbankan hidup dan mati demi kebenaran, amat dihormati.
Nilai-nilai itu diwarisi turun-temurun pada keluarga kerajaan. Di samping
karena memegang teguh aturan adat dalam Tri Pepali di mana seseorang harus
bersikap ksatria, mereka juga merasa
sebagai keluarga keturunan para Ksatria Buleleng.
Mendapat tawaran makan siang dari
Cokorde, Andika merasa tertimpa rejeki nomplok. Sejak pagi tadi, perutnya
memang belum disentuh makanan.
Untuk langsung mengiyakan tawaran
baik ini, hatinya agak risih. Maka dia bersandiwara sedikit, berpura-pura
menolak. "Maaf, Baginda. Bukannya menolak.
Tapi..," Pendekar Slebor sengaja
memutuskan kata-katanya agar Cokorde
menyelanya, dengan memaksa untuk makan.
Tapi, sungguh mampus! Jawaban
Cokorde ternyata jauh di luar perkiraan Andika.
"Kenapa" Apa kau sudah makan" Yah!
Kalau begitu, aku tak bisa memaksa...,"
kata Cokorde sambil menepuk-nepuk bahu Pendekar Slebor.
"Sial!" maki Andika dalam hati. Apes sekali nasibnya hari ini....
"Kalau begitu, mari kita ke ruang anjangsana. Bukankah kau hendak
membicarakan sesuatu padaku?" ajak
Cokorde, sekaligus menduga maksud
kedatangan Andika.
Andika hanya bisa mengangguk, dan
berpura-pura tidak kecewa. Apa mesti dia merengek-rengek meminta agar tawaran
makan siang Cokorde diulang lagi"
Kini mereka berjalan akrab
bersisian ke ruang yang dimaksud.
Sebelum tiba di sana, salah seorang Patih I Wayan Rama yang ikut dalam usaha
penangkapan Andika dulu datang menghadap Cokorde dengan tergopoh-gopoh.
Patih I Wayan Rama adalah lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun.
Badannya kekar berotot. Dia tampak
semakin gagah dengan sebilah keris
pusaka dipinggang. Wajahnya garang meski tanpa kumis melintang. Apalagi kalau
memperhatikan alis matanya. Lebat
menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya memancarkan semangat berkobar, sesuai
jabatan kepala prajurit istana.
"Ampun, Paduka," ucap patih itu pada Cokorde. "Ada seseorang tak dikenal ingin


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadap Paduka. Dia begitu
memaksa. Sewaktu beberapa prajurit
hendak mencegahnya, orang itu mengamuk.
Karena tak ingin bertindak gegabah, maka hamba harus melaporkan hal ini pada
Paduka. Apakah hamba harus menindaknya?"
"Apa dia menyebut-nyebut namanya?"
sergah Andika, tanpa mau tahu kalau telah menyela ucapan yang baru hendak
dikatakan Cokorde.
Patih I Wayan Rama yang baru melihat
kehadiran Pendekar Slebor ini sesaat,
menatap Andika dengan sinar mata
menyapa. "Aku tidak tahu, Andika. Jangan lagi nama orang itu. Setiap kata yang keluar
dari mulutnya pun begitu membingungkan.
Dan lagi, penampilannya begitu
mengerikan!"
Andika langsung mengeryitkan dahi.
Rupanya peringatan dalam surat kain
memang bukan hanya isapan jempol!
*** 5 Cokorde Ida Bagus Tanca berdiri
tegang di tangga depan istana. Wajahnya yang masih menyisakan ketampanan itu
tampak berkerut gusar menyaksikan
kejadian di depannya. Bersama Andika,
Patih I Wayan Rama dan beberapa petinggi kerajaan, Raja Buleleng ini melihat
bagaimana para prajurit dibantai oleh
seorang lelaki tak dikenal yang
bertampang menyeramkan.
Sementara Pendekar Slebor sendiri,
masih cukup jelas mengingat, bagaimana wajah mayat di Goa Karang Hitam dulu.
Wajah yang kini dilihatnya adalah milik lelaki yang sedang mengamuk bagai naga
luka haus darah.
"Aaa!"
"Grrrhhh!"
Terdengar lengking kematian para
prajurit, yang disertai geraman buas
lelaki berjuluk Ki Rawe Rontek, berbaur tumpang tindih dengan suara-suara
hantaman dan terjangannya. Debu-debu di permukaan pelataran depan gerbang
berterbangan menciptakan pemandangan
menggiriskan. Selaku raja yang memiliki tanggung
jawab besar serta perhatian pada para
abdi istana, Cokorde menjadi tak tega
melihat prajuritnya dijadikan bulan
bulanan empuk si Pengacau. Dengan cuping hidung murka, kepalanya menoleh ke arah
Patih I Wayan Rama.
"Hadapi dia, Patih Rama!" perintah Raja Buleleng ini lantang terbakar.
Patih I Wayan Rama yang dari tadi
menunggu tak sabar titah rajanya, segera saja melabrak maju ke tengah-tengah
kancah pertarungan.
"Prajurit! Mundur semua! Bentuk
kepungan besar dan berkan aku jalan!"
teriak Patih I Wayan Rama merobek langit.
Sambil berlari mendekati Ki Rawe
Rontek, lelaki gagah itu melepas keris pusaka dari pinggangnya.
"Kau telah membunuh para prajurit kami, Lelaki Asing! Aku bisa langsung
menjatuhkan hukuman di tempat ini juga!
Tapi, kau bisa menyerahkan diri secara baik-baik, agar kami bisa mengadilimu!"
seru Patih I Wayan Rama lagi, memberi
peringatan pertama.
Ki Rawe Rontek hanya berdiri kaku.
Air mukanya tampak dingin, seakan sama sekali tidak menggubris peringatan tadi.
Dari tarikan-tarikan napasnya yang
terseret, tersembul suara mendirikan
bulu roma bagi yang mendengarnya.
Erangan yang seolah-olah datang langsung dari dasar neraka!
Sebenarnya, Patih I Wayan Rama pun
tak luput dari perasaan ngeri yang sulit dijelaskan. Rasa ngeri yang menelusup
begitu saja ke dalam benaknya, seperti jasad halus roh gentayangan. Kini baru
disadari kalau lawan tidak seperti
manusia sewajarnya.
"Manusia macam apa dia...?" desis patih itu tersamar.
Patih I Wayan Rama jelas menyaksikan
bekas luka di seputar leher calon
lawannya yang pada kulit ditumbuhi jamur mengerak
"Apa kau tak dengar ucapanku"!"
bentak laki-laki gagah ini setelah
menguasai keterpanaannya.
Ki Rawe Rontek tetap membatu.
Napasnya seo-lah berhenti, usai
mendengar peringatan kedua dari Patih I Wayan Rama. Sekian waktu berikutnya dia
menggeram amat keras. Dan tiba-tiba....
"Aaarrrgh!"
Seketika puluhan prajurit yang
mengelilinginya bagai terdorong
sekumpulan makhluk halus. Mereka
tersentak beberapa langkah ke belakang dengan wajah ngeri. Tak luput, Patih I
Wayan Rama. Namun karena lebih mampu
menguasai diri ketimbang para prajurit, sentakan tubuhnya tak begitu kentara.
Jauh di belakang sana, Cokorde
berpahng ke arah Andika. Di dekatkan
mulutnya ke telinga Pendekar Slebor.
"Kau tahu siapa dia, Saudara
Andika?" bisik Raja Buleleng ini, seperti takut didengar Ki Rawe Rontek.
Tanpa menoleh, Andika mengangguk
kecil. "Tahu, Paduka. Dia adalah tokoh
sesat yang paling ditakuti beberapa
puluh tahun lalu, julukannya Ki Rawe
Rontek...," jawab Pendekar Slebor mendesis.
Cokorde terperangah. Matanya
memancarkan sinar tak percaya dengan
ucapan Andika. "Mana mungkin" Aku pernah baca buku sejarah keperwiraan milik para sesepuhku
yang sempat mencatat tentang Ki Rawe
Rontek Sepanjang catatan itu, dijelaskan kalau dia sudah mati...."
"Tapi apa dalam catatan itu Paduka tak membaca tentang ilmu hitam 'Rawe
Rontek'yang juga dipakai sebagai julukan lelaki itu?" tanya Andika.
"Ya, memang ada. Tapi tak dijelaskan ilmu hitam macam apa itu...," sergah
Cokorde. "Ilmu hitam itu mampu membuat
pemiliknya hidup kembali meski seluruh tubuhnya sudah direncah-rencah atau
kepalanya sudah terpisah...."
Cokorde kontan bergidik.
"Paduka lihat bekas luka di leher lelaki itu" Itu adalah bekas penggalan kepala
saat kematiannya. Dengan ilmu
hitamnya dan darah perawan yang didapat entah dari mana, kepala dan tubuhnya
bisa disatukan kembali seperti sekarang.
Artinya, dia telah bangkit dari
kematian," papar Andika dengan irama tegang. Sehingga membuat, seorang
penasihat kerajaan tua bernyali ayam
kampung tanpa sadar merapatkan tubuh
pada Andika. Dalam kungkungan ketegangan seperti
itu, jiwa urakan Andika ternyata tak
menghilang begitu saja. Tahu kalau
penasihat tua yang mendapati kedudukan dengan jalan menjilat sana-sini itu
merengket-rengket ketakutan, keusilan
pemuda sakti itu pun kambuh. Dan
tiba-tiba saja....
"Nah...!" bentak Andika.
Si Penasihat Tua kontan tersedak-
sedak. Napasnya nyaris terhenti dengan wajah pucat tanpa ampun. Matanya
terbelalak, lebih jelek daripada mata
semar sakit perut!
Ketika Pendekar Slebor coba-coba
melirik, tampak si Penasihat Tua itu
sedang mengusap-usap dada sambil
berkomat-kamit.
Di depan mereka sekitar dua puluh
tiga tombak, Patih I Wayan Rama siap
menggempur Ki Rawe Rontek. Habis sudah tenggang waktu yang diberikan Patih I
Wayan Rama pada perusuh ini untuk
menyerah. Diawali teriakan melantakkan hati, lelaki gagah itu mengacungkan
keris ke muka. "Hiaaa!"
Setelah menyalurkan tenaga dalam ke
kaki yang dihentakkan, Patih I Wayan Rama melayang laksana sebilah tombak menuju
sasaran. Tubuhnya terus ke depan dengan tangan menghunus keris. Sasaran
tusukannya adalah dada kiri Ki Rawe
Rontek. Menyadari keganasan laki-laki
asing itu saat menghadapi para prajurit, Patih I Wayan Rama tidak ingin
tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Jantung datuk sesat itu hendak
dihujamnya mentah-mentah.
Ki Rawe Rontek masih tetap berdiri
tegak, sewaktu tubuh lawan meluncur kian dekat. Terkaman Patih I Wayan Rama
hanya dilayani secara dingin, n-mun dengan
mata memperlihatkan saraf-saraf
memerah. Dan ketika ujung keris patih itu tinggal setengah jengkal lagi dari
kulit dadanya, tangan datuk sesat itu bergerak lebih cepat daripada tusukan
keris. Tep! Dua telapak kekar dan besar Ki Rawe
Rontek langsung menghempit senjata Patih I Wayan Rama. Kekuatan jepitan itu
seakan penyatuan dua bukit karang, memaksa
senjata patih ini terhenti dalam sekejap mata. Pada saat bersamaan, luncuran
tubuhnya tak bisa dihentikan. Telapak
tangan yang menggenggam gagang keris
kontan bergetar luar biasa, sehingga
meleset ke batang keris. Sementara itu, kepalanya siap menghantam kepala Ki Rawe
Rontek. Ki Rawe Rontek sendiri sudah siaga
menanti kepala laki-laki gagah ini.
Kening kasar miliknya hendak dibenturkan dengan kening Patih I Wayan Rama.
"Huaaargh!"
Menyadari laki-laki asing itu lebih
siap menghadapi benturan kepala, Patih I Wayan Rama tak mau ambil bahaya. Bagi
Ki Rawe Rontek, teriakan seraknya adalah
pertanda awal gerakan kepalanya. Tapi
bagi Patih I Wayan Rama, teriakan itu
justru isyarat bahaya yang harus segera dihindari jika kepalanya tidak ingin
remuk dalam sekejap!
"Haiiih!"
Dengan teriakan keras, petinggi
istana gagah itu memutar tubuhnya di
udara. Sehingga, kedua kakinya dapat
melewati kepala Ki Rawe Rontek lebih
dahulu. Jlep! Patih I Wayan Rama mampu berdiri di
tanah kembali, tanpa kehilangan nyawa.
Namun begitu, bukan berarti tidak
mengalami luka. Telapak tangan yang
terseret batang kerisnya sendiri tampak tersayat dalam. Darah merah dengan cepat
membanjir keluar, menyiram bumi.
Di lain pihak, Ki Rawe Rontek kini
sudah menggenggam ujung dan pangkal
keris Patih I Wayan Rama yang berhasil direbutnya. Tangannya kemudian terlihat
meregang, memunculkan otot-otot setebal jari kelingking. Lalu....
Trak! Senjata pusaka dari baja bercampur
logam-logam langka milik Patih I Wayan Rama terpatah dua, layaknya sebatang
lidi di tangan seorang bocah!
Kejadian di depan mata ini memaksa
Patih I Wayan Rama terperangah antara
kekaguman dan keterkejutan. Sepanjang
delapan keturunan, senjata itu sampai di tangannya. Dan selama itu belum pernah
ada seorang pun yang mempunyai kekuatan menandingi kekerasan senjatanya. Tapi
hari ini, pusaka turun-temurun itu
dijadikan mainan tak berarti oleh
lawannya! "Apa orang ini memiliki semacam ilmu iblis?" bi-sik Patih I Wayan Rama, seperti
untuk diri sendiri.
"Ya! Dia memang memiliki ilmu sesat, Tuan Patih...," timpal Andika yang tiba-
tiba sudah berdiri di samping
petinggi kerajaan itu. "Kalau
diperbolehkan, biar aku saja yang
mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek berjamur ini."
"Maaf, Saudara Andika. Ini adalah tanggung jawabku selaku keamanan
istana," tolak Patih I Wayan Rama.
Andika malah tertawa.
"Aaa, kenapa Tuan pelit terhadapku"
Lagi pula, apa Tuan tak melihat
jamur-jamur berkerak di tubuhnya" Aku pikir, itu adalah buyut dari segala buyut
panu. Tuan orang terhormat. Jadi tak
mungkin meladeni orang seperti dia. Dia hanya akan mengotorkan tangan Tuan,"
desak Andika halus, dibumbui gurauan
ngelantur. Patih I Wayan Rama melirik Andika,
mendengar permohonan yang terdengar aneh di telinganya. Pantas saja dunia
persilatan menjuluki pemuda itu sebagai Pendekar Slebor. Dalam keadaan genting
berbau maut seperti saat ini, dia masih mengoceh ngalor-ngidul!
"Sekali lagi maaf, Andika," ulang Patih I Wayan Rama. "Aku tak bisa mundur dalam
tugas, selama masih mampu
memikulnya."
Andika kehilangan akal menghadapi
keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang berjiwa ksatria. Untungnya, Pendekar
Slebor masih tersisa satu cara....
"Paduka!" seru Pendekar Slebor pada Cokorde. "Paduka tentu masih ingat
penjelasanku tadi bukan" Kalau Paduka
tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama mundur, percayalah. Paduka akan
kehilangan seorang kstaria kerajaan
sejati!" Di kejauhan, Cokorde tampak
mengangguk-angguk. Setelah itu,
tangannya memberi isyarat agar Patih I Wayan Rama mundur. Maka dengan berat


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati, lelaki setengah baya itu pun
menuruti perintah rajanya.
"Naaah! Sekarang kau bisa
berhadapan denganku, Biang Panu!" ledek Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah
Patih I Wayan Rama mengambil jarak di luar
arena pertarungan "Hari ini kau harus mempertanggung
jawabkan perbuatan
kejimu pada Ki Lantanggeni!"
Seperti saat pertama kali
menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe Rontek kali ini juga diam tak bergeming,
hanya mata baranya saja yang mengawasi Andika tajam-tajam.
"Kenapa diam?" Pendekar Slebor melangkah setindak. "Apa baru kali ini melihat
manusia setampan aku?" Kembali kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak.
"Ayo! Kau boleh menggeram,
mengaung, menggonggong, atau mengembik.
Lalu, seranglah aku!" tantang Pendekar Slebor kian mendekati tubuh calon
lawannya. Sekitar dua depa dari Ki Rawe
Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti
melangkah. Lagaknya makin terlihat tak waras. Bagai seorang mandor menang
undian, pemuda urakan itu bertolak
pinggang di depan tokoh hitam
menggiriskan ini.
Sedang pongah-pongahnya Andika
bertolak pinggang, mulut berlendir Ki
Rawe Rontek melepas geraman keras
membahana. "Aaargh!"
Andika sempat terlonjak kaget.
Dikira calon lawannya hendak melakukan serangan. Sadar kalau cuma menggeram,
Andika berpura-pura seolah-olah tidak
terkejut. Tangannya yang sempat terlepas dari pinggang, diangkat kembali
tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia
justru lebih mirip penderita encok!
"Kenapa hanya menggeram" Ayo
seranglah aku!" gertak Pendekar Slebor lagi.
"Aaargh!"
"Menggeram lagi...."
"Aaargh! Khau hanyah chari
mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak jelas.
"Mbeeek! Akhu thidhak chari mhathi!
Shebab akhu bhelum khawhin," Andika meniru cara bicara Ki Rawe Rontek.
Setelah itu, dia terbatuk-batuk sendiri.
Baru saja Pendekar Slebor selesai
melepas batuknya, Ki Rawe Rontek
mendadak membabatkan kedua cakarnya ke kepala.
"Aaargh!"
Wet! Wet! Serangan mendadak seperti itu
memang tidak terlalu merepotkan Pendekar Slebor. Di Lembah Kutukan tempatnya
menjalani penyempurnaan dulu, Andika
malah terbiasa berhadapan dengan
sambaran-sambaran kilat tak terduga.
Sebab itu, Pendekar Slebor mudah saja
mementahkan keprukan kedua cakar
lawannya. Tangannya terangkat sigap,
melindungi dua sisi kepalanya.
"Hait!"
Dak! Begitu habis menangkis Pendekar
Slebor memulai serangan
balasan. Tangannya yang semula terangkat di sisi kepala, didorong ke depan di sisi dalam
tangan Ki Rawe Rontek. Dengan tetap
menahan tangan laki-laki asing itu,
Pendekar Slebor hendak balik mengepruk kepala.
Srat! Nyatanya, Ki Rawe Rontek pun cukup
sigap menanggapi keprukan balasan
Andika. Tubuhnya segera ditarik ke
belakang, tanpa merubah sikap kaki,
sehingga badannya agak menyorong.
Prak! Hantaman telapak tangan Pendekar
Slebor pun hanya sempat memakan angin.
*** 6 Gubuk tempat tinggal Idayu Wayan
Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah diawasi seseorang, di bawah bayangan
sebuah pohon besar lima belas langkah di sebelah barat. Matahari yang tersungkur
di belakang, mulai melemah. Sinarnya
yang kini berwarna jingga, menanduk
bokong si Pengintai sehingga,
penampilannya sulit dikenali.
Lama sosok itu hanya menatap gubuk
Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai
sebatang tonggak mati tak bernyawa.
Wajahnya tersapu bayangan pohon. Begitu juga sebagian tubuhnya. Sehingga
kesannya begitu penuh tanda tanya.
Sesekali, bayangan anak rambut
orang itu tampak berkibaran kecil
tersibak angin. Entah apa yang
diperhatikan di gubuk besar itu. Hanya dia yang tahu.
Sementara itu, I Ktut Regeg keluar
dari pintu gubuk. Pemuda tanggung
bertubub kurus ini memeluk seekor ayam jantan berwarna merah menyala dan
berjalu panjang. Layaknya orang-orang
Bali, I Ktut Regeg memiliki ayam jago
kesayangan untuk disabung dengan jago lain. Memang bila hari menjelang sore,
banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I Ktut Regeg pun berniat untuk ambil
bagian dalam budaya rakyat yang mengasyikkan
itu. Sambil bersiul-siul menyenandung-
kan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan santai. Tak jauh di belakangnya, si
Pengintai segera mengekori.
Sementara itu di alun-alun, sudah
berkumpul ku-rang lebih lima belas
pemuda dan orangtua. Semuanya
berkeliling, membentuk lingkaran kecil tempat menyabung ayam. Sebagian duduk
atau berjongkok. Dan sebagian lain
berdiri. Mereka bersorak penuh semangat, membakar semangat tarung dua ekor ayam
jantan di tengah-tengah arena.
"Ayo Hitam, pakai jalumu! Iya,
begitu!" teriak salah seorang.
Tatuk kepalanya! Terus, jangan mau
kalah!" seru yang lain.
"Ah! Si Hitam itu pecundang! Nanti juga dia keok bila lawan si Ompok!"
teriak salah seorang pemilik ayam.
Ketika kedua ayam jago sabungan itu
sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru tiba. Dilewatinya dua lelaki pemilik
ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.
"Wah.... Tampaknya baru saja
terjadi pertarungan seru," kata I Ktut Regeg, manakala melihat ayam sabungan di
arena sudah dipisahkan.
Pemuda tanggung itu langsung menuju
pinggiran lingkaran kecil tempat sabung ayam.
"Siapa yang ingin menyabung dengan jagoku?"
tantang I Ktut Regeg, setibanya di
arena sabung. "Wah, ini dia! Cepat sini, Geg! Aku ingin taruhan besar buat jagomu itu!"
sambut seseorang.
Baru saja I Ktut Regeg hendak
meletakkan ayamnya di arena, orang yang menguntitnya sejak tadi menepuk bahunya.
I Ktut Regeg langsung menoleh. Begitu
juga orang-orang yang berada di sana.
Lelaki itu ternyata mengenakan topi
keranjang penutup wajah dan kepala. Ya!
Dialah Lalinggi, salah seorang dari
Sepasang Datuk Karang yang pernah
dipecundangi Andika di dekat Goa Karang Hitam (Baca episode: "Darah Pembangkit
Mayat"). Tangannya yang hancur karena sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor,
kini dibalut kain warna putih.
"Hei"! Bukankah Bel i yang dulu memberi sekantung uang padaku dulu?"
sambut I Ktut Regeg, mengenali Lalinggi.
Di balik topi keranjangnya,
Lalinggi mengangguk.
"Ya, untuk meminta keterangan
tentang peti berukir yang kau buang di laut sebelah Barat Buleleng. Dan
sekarang, boleh aku bicara lagi padamu, Dik?" pinta Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas menangkap
jagonya. Tak dipedulikan lagi orang-
orang yang sudah gemas ingin melihat jago
I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak
terkalahkan. "Ayo, kita cari tempat yang agak
sepi," ajak Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas mengikuti.
Kini mereka tiba di naungan sebatang
pohon beringin besar.
" Beli ingin bicara apa?" tanya I Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.
"Aku hendak menitip pesan untuk
seseorang," tutur Lalinggi datar.
"Boleh."
"Katakan pada pemuda yang bertamu di rumahmu...."
" Beli Andika?" potong I Ktut Regeg.
"Tepat. Katakan padanya kalau
Lalinggi akan datang lagi," tandas Lalinggi, tetap datar dan dingin.
"Ooo.... Soal mudah, Beli"
Lalinggi segera merogoh sesuatu di
balik bajunya. Di tangannya yang sudah nyaris tak berjari, kini terlihat
beberapa keping uang perak.
"Ini buatmu," kata laki-laki itu.
"Ah! Tak usahlah, Beli" sergah I Ktut Regeg cepat. "Sisa uang yang Beli berikan padaku, masih banyak. Ayam
jantan ini pun kubeli dari uang itu...."
Lalinggi mengangguk-angguk, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
" Beli Nama Beli siapa, ya"!" teriak I Ktut Regeg dari jauh.
Lalinggi tak menggubris. Kakinya
terus melangkah, sampai akhirnya
menghilang di jalan menurun.
"Huh! Sayang, aku tak tahu nama Beli yang baik itu. Padahal aku ingin
menamakan ayam kesayanganku ini dengan namanya!" gerutu I Ktut Regeg, sambil
berlalu juga dari tempat itu.
*** Halaman Istana Kerajaan Buleleng
masih dibuncah pertemuan kesaktian milik dua orang yang sedang bertarung dahsyaL
Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah
kancah pertarungan sudah terkuak di
beberapa tempat, akibat
Pedang Bulan Madu 2 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Puteri Es 1
^