Pencarian

Darah Pembangkit Mayat 2

Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat Bagian 2


kalau memperhatikan alis matanya yang lebat, hampir
menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya tetap mencerminkan semangat bergelora,
meski rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban.
Berbeda dengan patihnya, Cokorde Ida Bagus Tanca bertubuh agak pendek dan agak
gemuk. Meski begitu, perutnya tidak terlihat buncit. Dengan pakaian
kebesarannya, dia tampak tak kalah gagah dengan Patih I Wayan Rama. Wajahnya
putih, dengan kumis rapi. Karena usianya sudah cukup tua, wajahnya yang cukup
tampan, tampak sudah dihiasi kerutan.
"Tangkap pemuda itu!" perintah Cokorde Ida Bagus Tanca, setelah menyetujui saran
patihnya. Andika jadi gelagapan tak karuan. Bibirnya meringis tak mengerti. Apalagi ketika
kedua puluh delapan orang prajurit mulai maju ke arahnya.
"Kutu koreng! Bisa-bisa aku kedahuluan Sepasang Datuk Karang...," maki Andika.
Sementara, seluruh prajurit sudah mengurung Pendekar Slebor dari setiap penjuru.
Tunggu duluuu!" teriak Andika kembali agak sedikit mengkel. "Ini pasti salah
paham!" "Tidak ada yang salah paham. Seorang keluarga kerajaan telah melaporkan. kalau
kau telah membunuh tiga sesepuh Buleleng!" tandas Patih I Wayan Rama lantang.
"Siapa yang telah melaporkan kebohongan itu?"
sangkal Andika:
Selama ini, Pendekar Slebor hanya tahu ada sepasang suami-istri tua yang dibunuh
Sepasang Datuk Karang. Entah, siapa sesepuh lain yang dimaksud Patih I Wayan
Rama. "Tuan tadi menyebut-nyebut seorang keluarga kerajaan yang melaporkan hal itu?"
tanya Andika lagi.
"Apa dia I Made Raka?"
Mata Patih I Wayan Rama menyipit.
"Dari mana kau tahu?"
Tiba-tiba Andika tertawa.
"Sebaiknya Tuan sedikit mencari tahu, apa orang itu bisa dipercaya atau tidak.
Menurutku, dia hanya seekor ular berkepala dua!"
"Tutup mulutmu, Anak Muda!" bentak Cokorde dengan mata agak terbelalak.
"Menyerah atau terpaksa kami menggunakan kekerasan"!"
Andika menggeleng. Bagaimana mau menyerah kalau kesalahan tidak pernah dibuat.
Menyerahkan diri untuk dihukum karena fitnah, rasanya terlalu bodoh baginya.
"Kuminta pada Gusti, agar menyelidiki kembali perkara ini," kata Andika.
Patih I Wayan Rama tak bisa bersabar lagi. Setelah meminta izin Cokorde,
diperintahkannya pasukan untuk segera menyerang Andika.
"Seraaang!"
Seketika kepungan berbentuk lingkaran besar yang dibentuk para prajurit bergerak
mengecil ke satu titik, yakni ke tubuh Andika. Bagai puluhan kuda liar, mereka
meluruk menciptakan gumpalan debu yang tersamar kegelapan malam. Tombak di
tangan masing-masing teracung lurus ke depan, siap merencah tubuh Pendekar
Slebor dari tiap jurusan.
"Hiiiaaa...!"
Dengan mulut mengumpat panjang-pendek,
Pendekar Slebor menghindari tusukan demi tusukan tombak. Seiring serbuan tiap
senjata lawan, tubuh pendekar urakan itu melengos kian kemari. Sejengkal ruang
pun, saat itu amat berarti baginya agar mata tombak tidak sempat menembus atau
menyodok kulitnya.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Slebor melompat tinggi-tinggi ke atas, lalu
hinggap di mana pun suka.
Setelah itu, tubuhnya bisa digenjot secepat mungkin, pergi dari tempat tersebut.
Hal itu tidak dilakukannya, karena Andika tidak mau menjadi buronan pihak
kerajaan untuk sesuatu yang tak pernah dibuatnya.
"Haih!"
Trak! Trak! Dua batang tombak yang menutup ruang gerak Pendekar Slebor di bagian tulang
rusuk, patah berkeping oleh tamparan tangannya.
Slep... slep... slep...!
Beberapa batang lain kontan kandas dihimpit ketiak Andika. Saat berikutnya,
semua terbelah berantakan dicongkel sepasang pergelangan tangan Pendekar Slebor.
Prak! Bisa saja untuk selanjutnya Pendekar Slebor mengirim pukulan beruntun pada para
prajurit yang telah kehilangan tombaknya. Namun, Andika tahu kalau lawannya
hanya korban kesalahpahaman akibat termakan fitnah manusia licik I Made Raka.
Satu-satunya cara yang bisa diperbuat Pendekar Slebor agar terhindar dari
hujaman senjata lawan, sekaligus tidak membuat para prajurit terluka, adalah
menotok jalan darah masing-masing. Namun niat tersebut tak terlaksana, manakala
prajurit yang masih memiliki senjata cepat menerobos masuk di antara prajurit
lain, seraya menusukkan ujung tombak.
Serangan susulan mendadak itu menerabas dari depan. Sehingga, memaksa Pendekar
Slebor melemparkan tubuh ke belakang, melewati kepala beberapa prajurit di belakangnya.
Setelah memutar tubuh di udara sekali, kakinya menjejak kembali di
tanah. Belum lagi Pendekar Slebor bisa menarik napas lega, lima prajurit di belakang
lapisan pertama membokongnya berbarengan.
"Hiaaa!"
Zeb... zeb... zeb...!
Telinga pendekar Tanah Jawa Dwipa yang terlatih ini segera dapat menangkap
ancaman bahaya di belakang. Dengan tangkas dirinya dijatuhkan ke tanah. Dan
seketika kaki kelima prajurit tadi langsung tersapu keras, manakala tubuh
Pendekar Slebor bergulir cepat ke arah mereka. Akibatnya, mereka pun jatuh
berdebam susul-menyusul.
Bruk! Bruk! Kini Andika sudah berdiri kembali sekitar tiga depa di tempat yang agak aman
dari kepungan. "Hm, mereka tampaknya begitu terlatih untuk kulumpuhkan dengan mudah," desis
Pendekar Slebor. "Kodok bengkak! Aku makin sulit saja untuk segera tiba di
pantai barat Buleleng...."
"Serang lagiii...!" seru seorang prajurit, penuh gelora.
Para prajurit baik yang masih bersenjata maupun yang tidak, dengan berapi-api
menerjang untuk yang kesekian kalinya. Selaku prajurit sejati, mereka memang
digembleng untuk tidak mudah menyerah.
Sikap mereka bagai sudah tidak lagi memiliki rasa takut mati. Mereka percaya,
mati dalam mengemban tugas negera adalah terhormat.
Hal itu semua terangkum dalam dasar hukum adat dalam Tri Pepali, atau Tiga Dasar
Hukum bagi kehidupan manusia sebagai keyakinan mereka. 'Sepi ingpamrih rame
inggawe'. Kali ini, serangan para prajurit demikian kompak
menggebu. Keadaan yang makin menempatkan
Andika pada keadaan yang sulit, di mana harus menyelamatkan dirinya tanpa
melukai seorang lawan pun. Maka saat itulah Pendekar Slebor harus menentukan
pilihan. Membiarkan dirinya direncah lawan, atau menghantam balik dengan akibat
kematian. Dan mendadak....
"Berhenti!"
Pada saat yang rawan itulah, tiba-tiba teriakan mengguntur menyelamatkan Andika
dari tindakan yang tak diharapkan. Dan seketika, semua mata mencari arah
datangnya suara.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang laki-laki tua berpakaian
hitam-hitam di belakang Cokorde Ida Bagus Tanca.
"Ki Lantanggeni! Kenapa kau mencegah kami menangkap bocah perusuh ini"!" tanya
Raja Buleleng itu, seperti tidak senang. Rupanya, raja ini sudah kenal dekat
dengan laki-laki tua yang dipanggil Ki Lantanggeni tadi.
"Dia tidak bersalah, Cokorde. Akulah saksinya,"
kata Ki Lantanggeni.
Kemudian Ki Lantanggeni segera menceritakan apa yang disaksikan terhadap
tindakan I Made Raka selama ini. Juga tentang fitnah yang dilimpahkan kepada
Pendekar Slebor.
*** 7 Di pantai barat Buleleng. Ombak susul-menyusul, menepis jutaan buih ketepian.
Deburnya menciptakan irama alam teratur, seakan tetabuhan genderang dari alam
jauh tak tergapai mata. Tebaran pasir putih di mana-mana, membersitkan cahaya-
cahaya kecil kala sinar mentari senja menimpa, bagai timbunan permata halus
berkilau menawan.
Di bibir pantai, jejak memanjang terlihat. Asalnya dari seretan peti mati besar
yang ditarik dua lelaki.
Siapa lagi kalau bukan Sepasang Datuk Karang.
"Apakah anak itu telah membohongi kita, Kang?"
ungkap Gumbala.
Telah lama mereka hanya memusatkan mata pada pantai, mencari kotak berukir yang
diincar. "Hampir sepanjang pantai kita susuri, kotak berukir itu belum juga kita temui,"
kata Gumbala lagi.
Lalinggi tidak menyahut. Dari balik caping yang menutup wajahnya, mata lelaki
itu terus mengawasi jengkal demi jengkal pantai barat Buleleng.
"Kita belum lagi sampai di batas pantai, Gumbala,"
ujar Lalinggi, dingin akhirnya.
"Tapi kalau anak sundal itu membohongi, sia-sia saja usaha kita. Dengan begitu,
kita toh hanya membuang waktu percuma," sungut Gumbala.
"Aku tahu. Tapi, percayalah. Jika anak itu membohongi kita, dia harus menerima
akibatnya," balas Lalinggi.
"Ya! Aku ingin sekali menghancurkan batok kepalanya!"
"Apakah sekarang kau bisa diam dan meneruskan pencarian"!" bentak Lalinggi.
Gumbala diam. Kalau Lalinggi sudah menghardik seperti itu, dia tidak berani
macam-macam lagi.
Dengan menekuk wajah buruknya dalam-dalam, diturutinya perintah Lalinggi.
Kini keduanya meneruskan pencarian. Sampai di satu bagian pantai mereka
menemukan sesuatu yang terapung-apung di bibir pantai.
"Itu dia, Kang!" seru Gumbala.
"Ya, aku tahu."
Mereka pun segera mendekat. Benar! Ternyata benda terapung itu memang kotak
berukir yang selama ini dicari. Tanpa menunggu perintah Lalinggi lagi, Gumbala
dengan wajah berseri-seri segera menjemput kotak itu.
"Ini, Kang...," kotak di tangannya segera pula diantar pada Lalinggi.
"Periksalah dulu, Kang," pinta Gumbala.
Lalinggi menerima kotak itu dari tangan Gumbala.
Untuk beberapa saat, diteliti seluruh bagian kotak, untuk meyakinkan kalau tidak
keliru. Tak lama kemudian kepala bercaping Lalinggi pun bergerak-gerak berirama.
Rupanya, dia mengangguk-angguk puas.
"Sebentar lagi kita akan menjadi murid seorang tokoh hitam yang bakal
menaklukkan dunia
persilatan Gumbala," kata Lalinggi.
Selesai mengungkapkan isi hatinya, Lalinggi tertawa canggung. Hal yang selama
ini belum pernah dilakukannya.
Sedang Gumbala ikut menimpali tawa Lalinggi, penuh kemenangan. Suaranya yang
serak, terdengar bagai jeritan burung pemakan bangkai.
"Sekarang kita harus cepat pergi dari sini," ajak Lalinggi setelah puas tertawa.
Gumbala cepat mengangguk. Maka kini keduanya pun pergi. Seperti biasa, mereka
menyeret peti mati besar bersama-sama. Hanya, kali ini ada satu peti kecil
berukir di tangan Lalinggi.
*** Goa Karang Hitam berada tak begitu jauh dari pantai barat Buleleng. Letaknya
tepat di kaki satu bukit karang yang tak begitu menjulang. Sewaktu menemukan goa
itu, Lalinggi dan Gumbala ber-sepakat untuk memanfaatkanya sebagai tempat
menjalankan sebuah rencana.
"Goa ini benar-benar cocok dengan rencana kita.
Kebetulan sekali, Kang," cetus Gumbala saat keduanya telah memasuki goa buntu,
sedalam kira-kira lima puluh depa.
"Ya," jawab Lalinggi singkat seraya mengangkat kayu bakar yang digunakan sebagai
penerang. Dipandanginya seluruh bagian dinding goa yang dipenuhi lumut. "Kita harus segera
membuat api unggun."
Gumbala menuruti ucapan Lalinggi. Kayu-kayu kering yang telah dikumpulkan
sebelum memasuki goa, segera diserakkannya di dasar goa berpasir ini.
Lalu mulai dibuatnya api dengan memantik-mantik dua buah batu di atas jerami
kering. "Api unggun sudah menyala, Kang." lapor
Gumbala. Lalinggi mengangguk lemah. Setelah itu kayu bakar di tangannya disatukan dengan
kayu api unggun.
"Sekarang kau geser peti mati itu ke sini," perintah Lalinggi.
Gumbala bergegas menjalankan perintah Lalinggi.
Kini peti mati besar yang selama ini selalu diseret-seret telah berada tepat di
sisi api unggun. Lidah api unggun menjilat-jilat liar, hendak menggapai langit-
langit goa. Cahayanya menyapu sisi peti mati, membuat benda besar itu terlihat
kian angker. "Sekarang apa lagi, Kang?" tanya Gumbala.
Tak ada jawaban dari Lalinggi. Lelaki itu hanya menurunkan peti berukir dari
tangannya ke dasar goa. Tepat di hadapan peti berukir, Lalinggi duduk bersila.
Tangannya bersidekap, sedang matanya terpejam.
Ketika waktu berlalu cukup lama, tangan Lalinggi mulai bergerak ke depan.
Seluruh otot-otot di tangannya mengejang. Satu telapak tangannya yang terbuka
pun tiba di lubang kunci peti berukir. Tak begitu lama, telapak tangan itu
menempel, maka asap putih kehitaman mengebul dari sela-sela antara telapak
tangan dengan sisi lubang kunci. Krak!
Tiba-tiba saja peti berukir terbuka bersama suara berderak. Namun, hanya berupa
kuakan celah kecil.
"Biar aku yang buka, Kang," serobot Gumbala tak sabar, mengetahui pengunci peti
berukir telah dapat dihancurkan Lalinggi.
"Tunggu dulu!" cegah Lalinggi cepat. "Jangan berlaku ceroboh!"
Tangan Gumbala urung diulurkan ke peti berukir.
Bentakan keras Lalinggi, lumayan membuatnya kaget.
"Kenapa, Kang?" tanya laki-laki berwajah buruk itu.
"Lihat saja...," kata Lalinggi dingin.
Kemudian laki-laki bercaping ini melepas satu
pundi yang digantung di sekitar pinggang. Pundi itu kemudian digulung dengan
bajunya, hingga membentuk sebuah bantalan kain.
"Kau pegang penutup peti itu," ujar Lalinggi pada Gumbala. "Kalau kubilang buka,
kau harus secepatnya membuka penutup peti itu. Mengerti?"
Gumbala hanya mengangguk-angguk.
"Siap...," Lalinggi memberi aba-aba.
Gumbala yang berada di belakang peti menatap Lalinggi tegang, menanti aba-aba
selanjutnya. Sementara, Lalinggi siap dengan bantalan kain di tangan.
"Buka!" seru Lalinggi.
Secepat kilat, Gumbala menarik penutup peti.
Dalam saat yang hampir bersamaan, Lalinggi pun mendekapkan buntalan kain ke
mulut peti yang baru saja terkuak.
Blep! Jep! Jep! Jep!
Serentak suara halus terdengar. Sewaktu Lalinggi mengangkat bantalan kain dari
mulut peti, terlihatlah puluhan batang bambu beracun berwarna biru kehijauan.
Kain pada bagian yang tertancap batang bambu itu tampak kontan terbakar
menghitam serta mengepulkan asap sewarna dengan batang-batang bambu.
"Kau lihat," ujar Lalinggi. "Kalau kau seenaknya membuka peti ini, pasti sudah
mengejang hangus seperti kain ini...."
Mata besar Gumbala terbelalak kian besar.
Mungkin lebih besar daripada mata burung hantu.
Dan dia hanya menelan ludah. Kalau saja tak dicegah Lalinggi, tentu sudah
mampus! Gumbala ngeri membayangkannya.
Lalu, apa isi peti itu sebenarnya"
Sambil tertawa nyaring yang membuat dinding goa bergetar, Lalinggi mengambil isi
peti berukir di depannya. Ternyata, sebuah kepala manusia!
"Hua ha ha...! Kau akan hidup kembali Ki Rawe Rontek! Dan kau pasti akan
membalas budi baik kami, dengan menurunkan ilmu 'Rawe Rontek'mu pada kami! Hua
ha ha...!"


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak hanya Lalinggi, Gumbala pun turut terbahak-bahak.
"Kita akan menjadi dua jago persilatan, Kang!"
teriak Gumbala. "Hua ha ha...!"
*** Sementara itu di tepi pantai barat Buleleng malam ini, tampak pula dua laki-laki
lain. Seperti Lalinggi dan Gumbala, mereka pun sama-sama menelusuri tepi pantai.
Jejak panjang yang ditinggalkan di belakang, menandakan kalau mereka sudah cukup
lama berjalan di sana.
Salah seorang lelaki tua bercaping kerucut.
Pantulan cahaya rembulan di laut, menerangi samar wajahnya yang berkeriput serta
berjanggut. Kekurusan lelaki tua itu menyebabkan tulang pipinya jadi menonjol.
"Tampaknya kita telah didahului, Andika," kata lelaki tua itu.
Saat ini, mereka telah tiba di batas pantai sebelah selatan. Dan memang pemuda
di sebelah laki-laki tua itu adalah Pendekar Slebor. Setelah lelaki tua yang tak
lain adalah Ki Lantanggeni itu menyelamatkan Pendekar Slebor dari keroyokan
prajurit Buleleng, Andika memang langsung menceritakan tentang kotak berukir.
Maka, kini mereka berada di pantai
barat Buleleng.
Pendekar Slebor hanya menghela napas. Dia juga seyakin lelaki tua di sebelahnya,
kalau peti berukir yang dicari telah diambil orang lain.
"Apakah orang-orang yang mendahului kita
Sepasang Datuk Karang, Ki Lantanggeni?" tanya Andika penasaran.
"Besar kemungkinan begitu," sahut Ki
Lantanggeni. "Bagaimana kalau kita mencari tahu pada penduduk sekitar pantai
ini?" Andika setuju. Maka mereka melangkah ke
pedalaman pesisir menuju desa penduduk terdekat untuk mencari keterangan.
Siapakah Ki Lantanggeni sebenarnya, sehingga ikut campur dalam masalah peti
berukir yang telah menelan beberapa korban nyawa itu"
*** Kira-kira enam puluh tahun lalu, ada seorang tokoh golongan hitam yang memiliki
ilmu sesat 'Rawe Rontek'. Dengan ilmu itu, si Tokoh Sesat amat sulit
dibinasakan. Setiap luka yang berhasil merobek kulit tubuhnya, selalu saja
menutup kembali tanpa cacat, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Lebih dahsyat
lagi, setiap kali bagian tubuhnya terpotong, setiap kali pula bagian tubuh itu
menyatu kembali. Bahkan kepalanya sendiri! Di dunia persilatan, dia amat
tersohor sebagai Ki Rawe Rontek.
Kisah Ki Rawe Rontek, berasal dari perjalanan hidup seorang pemuda dari sebuah
desa kecil bernama Watukarang. Namanya, Lantang. Sejak kecil, pemuda itu
memiliki tabiat buruk dan perangai tercela.
Seperti bibit perusuh, dia tumbuh dalam kejahatan demi kejahatan. Mencuri,
menganiaya, dan membuat kekacauan adalah pekerjaan biasa.
Suatu hari, terjadi perampokan yang mengakibatkan terbunuhnya satu keluarga
secara keji. Pada malam yang sama dengan saat perampokan, Lantang pun mempunyai
niat buruk pada seorang kembang desa, bernama Saridewi. Cintanya yang selama ini
selalu ditolak Saridewi, membuatnya bermata gelap.
Hendak dilarikannya Saridewi, lalu dipaksa untuk dikawini.
Naas, pada saat mengendap-endap di samping kamar si Kembang Desa, orangtua
Saridewi yang terkenal kasar, keluar dan hampir memergokinya.
Kontan saja Lantang lari tunggang-langgang, karena begitu takut akan kekasaran
lelaki itu. Saat itulah perampok yang sedang dikejar para penduduk bertemu
Lantang. Dengan licik, si Perampok menghajar Lantang seraya meneriakinya perampok.
Lantang yang memang tak memiliki kepandaian silat, tak bisa berbuat apa-apa. Dia
megap-megap dihajar oleh si Perampok. Bahkan para penduduk yang sudah kalap,
tanpa banyak tanya langsung saja menghajarnya habis-habisan.
"Ampun! Ampun! Aku bukan perampok!" teriak Lantang kala itu.
"Ah! Mana ada orang maling yang mau mengaku!"
hardik si Perampok dengan mimik sinis penuh kesungguhan.
"Aku Lantang! Aku memang suka berbuat
kericuhan, tapi tidak pernah merampok!" sangkal Lantang lagi.
"Kau tidak hanya merampok! Kau juga membantai
seluruh keluarga korban dengan golok itu!" tuding si Perampok lagi, seraya
menunjuk golok berlumur darah yang sempat diselipkan di balik pakaian Lantang.
Lantang terkesiap. Wajahnya yang sudah babak belur tampak demikian takut.
Dikeluarkannya golok dari balik baju. Dengan mata bengkak terbelalak,
diperhatikannya senjata itu tanpa bisa berkata sepatah pun. Bibirnya kelu dan
pita suaranya seperti tersumpal.
"Ayo, tunggu apa lagi"!" seru si Perampok pada penduduk. "Cepat cincang dia!
Bunuh seperti dia membunuh keluarga korban!"
Amukan penduduk meledak seketika. Pikiran mereka tak lagi jernih. Bersama
segenap kekalapan, Lantang dihajar kembali tanpa ampun.
"Sungguh, demi Tuhan! Aku tak pernah merampok atau membunuh!" teriak serak
Lantang di antara suara-suara pukulan kayu para penduduk yang menghantam
tubuhnya. Sementara Lantang menerima siksaan tak ter-hingga. Perampok yang memfitnahnya
melarikan diri secara diam-diam.
Jika beberapa saat saja Lantang dibiarkan dihajar orang-orang gelap mata itu,
sudah bisa dipastikan nyawa mudanya akan melayang. Untunglah sebuah bayangan
berkelebat cepat, menyambar di antara kerumunan penduduk. Lalu disambarnya tubuh
Lantang pada saat hampir sekarat.
Gerakan bayangan itu begitu cepat bagai
bayangan hantu. Setiap orang yang berada di sana mendadak takjub dan lupa pada
kemarahan. Seakan, suatu kekuatan gaib telah menguasai diri mereka masing-
masing. Memang, yang menyelamatkan
Lantang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa tua yang hanya
muncul dua puluh tahun sekali, untuk mencari seorang murid. Namanya Ki Gintung.
Karena Ki Gintung adalah seorang pertapa yang memiliki ketajaman mata batin, dia
bisa menilai kalau Lantang sebenarnya memiliki hati baik. Hanya karena
dikucilkan penduduk yang disebabkan kemelaratan-nya, dia menjadi seorang pemuda
berjiwa pem-berontak. Kejahatan-kejahatannya selama ini hanya cara untuk unjuk
rasa terhadap sikap orang-orang desanya yang sudah menganggapnya seperti anjing
geladak tak berarti. Ki Gintung juga bisa menilai kalau pemuda yang telah
diselamatkannya memiliki kemauan keras dan bentuk tubuh yang bagus.
Dengan semua pertimbangan itu, Ki Gintung membuat keputusan untuk mengangkat
Lantang sebagai murid kelima.
Sejak saat itulah Lantang mendapat godokan lahir batin dari si Pertapa Tua.
Godokan batin ini membuatnya menjadi seorang berjiwa matang dan bersih.
Sedangkan godokan lahir. membuatnya menjadi seorang tangguh. Maka, jadilah dia
seorang ksatria.
Selama lima tahun menjalani didikan keras Ki Gintung, suatu saat Lantang
diperkenalkan pada keempat kakak seperguruannya yang telah
meninggalkan goa penggodokan terlebih dahulu.
Betapa kagetnya Lantang, manakala melihat salah seorang kakak seperguruannya.
Dari keempat lelaki itu, ada seorang yang dulu memfitnahnya hingga dihajar habis
oleh penduduk! Rupanya panggilan duniawi menyebabkan kakak seperguruannya itu mengkhianati
seluruh petuah Ki
Gintung, sekaligus mengkhianati amanat ilmu-ilmu yang telah diberikan.
Karena tak ingin mengecewakan Ki Gintung, Lantang tak mengungkap makar yang
dilakukan Artapati, kakak seperguruan yang melakukan perampokan waktu itu.
Padahal, tanpa perlu diberitahu, mata batin Ki Gintung sendiri sudah bisa
merasakan pengkhianatan Artapati.
Namun apa mau dikata" Ki Gintung tak bisa berbuat apa-apa, karena usianya yang
kian lanjut. Dia tak ingin bergelimang darah lagi. Dan akibatnya, pertapa itu
menderita sakit parah. Merasa dirinya sudah mendekat ajal, Ki Gintung pada suatu
hari memanggil Lantang seorang diri. Di samping Lantang adalah murid satu-
satunya yang masih tinggal di tempat, dia juga murid kesayangan Ki Gintung.
"Sepertinya ajalku akan segera tiba, Lantang,"
ucap Ki Gintung tersendat. Napasnya terseret satu-satu. "Saatnyalah aku
memberimu wasiat...."
Lantang diam tanpa suara. Ditatapnya sang Guru tercinta dengan mata menahan bias
bening. "Di bawah batu tempat bertapaku," lanjut Ki Gintung. "Ada sebuah tempat
penyimpanan rahasia.
Di sana, aku menyimpan kitab berisi ajian-ajian ilmu hitam, lengkap dengan
seluruh riwayatnya. Kuberikan kitab itu padamu. Pelajarilah. Tapi, jangan
dipakai kecuali jika memang mendesak sekali...."
Wasiat Ki Gintung selesai. Dan saat itu pula, usianya pun tamat.
Betapa kehilangannya Lantang. Baginya, Ki Gintung lebih dari sekadar guru. Ki
Gintung juga sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri. Itu sebabnya, dia
sempat pula menitikkan airmata kehilangan, meski sudah berusaha menahannya.
Selesai menguburkan jenazah gurunya, Lantang segera memeriksa batu tempat
bertapa Ki Gintung. Di balik batu bundar serta datar itu, ditemukannya lubang
tempat penyimpanan sebuah kitab kuno, seperti pernah dikatakan Ki Gintung.
Lalu, diambilnya kitab itu. Selama berminggu-minggu, mulai dipelajari seluruh
riwayat ilmu hitam dalam kitab termasuk ajian 'Rawe Rontek'.
Sayang, sebelum ilmu-ilmu dalam kitab sempat dikuasai, Artapati datang secara
diam-diam. Dengan licik, mata air yang biasa dipakai Lantang untuk minum
dicampur racun. Dan ketika Lantang tak sadarkan diri, kitab kuno warisan
mendiang Ki Gintung pun dicuri.
Sejak saat itu, Lantang tak pernah lagi bertemu Artapati. Suatu hari, Lantang
pulang kembali ke desanya untuk melihat keadaan Saridewi, kembang desa yang
dicintainya dulu hingga sekarang.
*** "Bagaimana dengan Lantang dan Artapati, Ki?"
tanya Andika penasaran, karena Ki Lantanggeni memutuskan cerita.
"Keduanya bertemu kembali di desa itu. Artapati sudah berhasil menguasai ajian
'Rawa Rontek". Niat Artapati ke desa itu adalah menculik Saridewi.
Artapati memang licik. Sengaja Saridewi diculik untuk memancing kemarahan
Lantang," papar Ki
Lantanggeni meneruskan cerita.
Sementara dia dan Andika sudah tiba di tapal batas sebuah desa di dekat panlai
barat Buleleng.
"Lalu?" tanya Andika untuk kedua kalinya.
"Dengan telengas, wanita yang dicintai Lantang
dibunuh Artapati di depan matanya sendiri. Lantang tentu saja jadi amat murka.
Dia pun melabrak Artapati. Saat itu, Lantang nyaris kehilangan nyawa.
Untunglah, datang tiga saudara seperguruannya yang lain. Dengan penggabungan
kepandaian, mereka bisa menandingi kemampuan Artapati. Rupanya, sejak lama
ketiga kakak perguruan Lantang yang lain telah mengawasi setiap sepak terjang
Artapati yang keji.
Mereka bertarung habis-habisan. Dan satu persatu kakak perguruan Lantang bisa
dibunuh Artapati.
Namun begitu, Artapati harus membayar mahal nyawa ketiga saudara seperguruannya,
dengan nyawanya sendiri. Pada saat puncak di mana Artapati dan Lantang sudah
kehilangan tenaga, Lantang teringat pada rahasia kelemahan ajian 'Rawe Rontek'.
Dengan rahasia yang pernah dibaca dari kitab yang dicuri akhirnya Artapati bisa
dibunuh." Ki Lantanggeni mengakhiri cerita. Napasnya terlihat agak memberat. Tampaknya dia
terhanyut oleh ceritanya sendiri.
"Apakah Lantang adalah kau sendiri, Ki?" duga Andika, saat mendapati keadaan Ki
Lantanggeni. Lelaki tua bercaping kerucut itu mengangguk.
"Dan orang yang disebut Ki Rawe Rontek adalah saudara seperguruanmu yang bernama
Artapati?"
duga Andika lagi.
Kembali laki-laki tua itu mengangguk.
Malam semakin larut. Di langit, bulan sabit diselimuti awan tipis bagai
serpihan-serpihan kain tembus pandang. Sementara di laut, suasana tak juga
lekang dari debur ombak yang mulai meninggi.
Goa Karang Hitam yang terletak tak begitu jauh dari pantai barat Buleleng tampak
diterangi cahaya kemerahan yang berasal dari api unggun. Di dalam-
nya, Sepasang Datuk Karang akan memulai suatu upacara. Mereka akan berusaha
menyatukan kembali kepala Artapati, alias Ki Rawe Rontek dengan tubuhnya. Dengan
penyatuan itu, Lalinggi dan Gumbala berharap Ki Rawe Rontek akan hidup kembali.
Mereka percaya, ilmu 'Rawe Rontek' yang dimiliki Artapati masih tetap menyatu
dengan jasadnya yang tak membusuk.
Setelah berhasil membuka peti kecil berukir tempat kepala Ki Rawe Rontek,
Lalinggi memerintah Gumbala untuk membuka peti mati besar yang selama ini selalu
dibawa-bawa. Di dalam peti itu tersimpan tubuh Ki Rawe Rontek. Mereka membawanya
dari pemakaman di Pulau Jawa Dwipa, setelah melakukan pencarian selama bertahun-
tahun. Memang! Lantang yang kini dikenal Andika sebagai Ki Lantanggeni sengaja mengubur
kepala dan tubuh kakak seperguruannya yang murtad itu, secara terpisah. Karena
menurut kitab kuno warisan gurunya, orang penganut ilmu 'Rawe Rontek' akan bisa
bangkit dari kematiannya, jika kepala dan tubuhnya tidak dikuburkan secara
terpisah jauh. Semakin jauh, akan semakin menutup kemungkinan bagi si Pemilik ilmu sesat
tersebut untuk bangkit kembali. Makanya Lantang mengubur tubuh Artapati di tanah
Jawa Dwipa, sedangkan kepalanya dikuburkan di Pulau Bali. Untuk urusan
penguburan kepala Artapati, dipercayakannya pada tiga tokoh Pulau Dewata yang
belum lama dibunuh oleh Sepasang Datuk Karang.
Kini Gumbala tampak telah membuka penutup peti mati. Kedua lelaki aliran sesat
itu bersama-sama mengeluarkan tubuh Ki Rawe Rontek. Tanpa
kesulitan, mereka bisa memindahkan tubuh besar berotot itu ke satu bagian lantai
goa. "Sekarang ambil kain hitam di dalam peti itu, Gumbala," ujar Lalinggi.
Setelah menerima kain hitam yang dimaksud, Lalinggi menyatukan kepala Ki Rawe
Rontek dengan tubuh kakunya. Kemudian dilanjutkan dengan menutup mayat si Tokoh
penganut ilmu 'Rawe Rontek' dengan kain hitam lebar hingga seluruh bagian
tubuhnya tertutup.
Sementara Gumbala diam memperhatikan dengan mata tak berkedip, Lalinggi melepas
pundi-pundi kecil dari pinggangnya. Di dalam pundi-pundi tersebut, tersimpan
serbuk dupa yang selanjutnya dibakar Lalinggi di seputar mayat Ki Rawe Rontek.
Asap dupa tampak menyebar. Harum namun berkesan menggidikkan, membuat orang yang
mencium aromanya akan langsung merinding. Hal itu dialami Gumbala. Walau sebagai
tokoh sesat yang sudah biasa melakukan hal mengerikan, tetap saja seluruh bulu
di kuduknya terasa meremang hebat. Tanpa terasa tengkuknya diusap. Berbeda
sekali dengan sikap Lalinggi yang tetap dingin dan tenang.
"Sekarang apa lagi yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Gumbala mengetahui
Lalinggi telah selesai membakar serbuk dupa.
"Darah...."
"Darah?"
"Ya! Kita perlu darah seorang perawan suci. Ki Rawe Rontek memerlukan itu,
sebagai daya hidup karena telah begitu lama mati dan terkubur di perut bumi,"
jelas Lalinggi nyaris mendesis bagai kerasukan.
"Aku akan cari ke desa terdekat...."
"Bodoh!" hardik Lalinggi. "Cari di desa yang jauh dari tempat ini. Aku tak mau
orang-orang di desa terdekat menemukan tempat persembunyian kita!"
"Ba... baik, Kang," gagap Gumbala.
Lelaki buruk rupa itu pun segera beranjak lagi. Di luar goa, Gumbala bergumam
sendiri. "Hm, kenapa aku tak mencoba menculik seorang perawan dari desa tempat anak
lelaki yang telah memberitahukan tempat pembuangan peti berukir itu...."
Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh, tubuh Gumbala pun
melesat bagai anak panah lepas dari busur.
Tak begitu lama Gumbala keluar, Lalinggi
menyusul. Rupanya, dia tak begitu yakin dengan kerja Gumbala yang dinilainya
sering kali bertindak ceroboh.
"Aku harus pula mencari seorang perawan di desa lain," bisik Lalinggi. "Kalau
Gumbala gagal, aku tetap bisa mendapatkan perawan sebagai tumbal Ki Rawe
Rontek." *** Di luar malam purnama, Desa Umbuldadi diringkus sepi. Dini hari yang datang
bersama dingin, membuat para penduduk lelap dalam selimut masing-masing.
Jalan-jalan di desa sepi dan lengang. Temaram lampu bambu dari beberapa rumah di
tepinya, hanya mampu menerangi sebagian jalan.


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di satu rumah panggung, Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terpulas dihanyut
mimpi. Idayu Wayan Laksmi tidur di kamarnya. Begitu juga I Ktut Regeg.
Kalau kamar Idayu Wayan Laksmi ada di tengah
bangunan, kamar I Ktut Regeg berada di belakang bangunan.
Malam itu, entah kenapa I Ktut Regeg mendadak terjaga. Setelah mengerjap-ngerjap
mata beberapa saat, anak muda tanggung itu duduk terpaku di tepi balai-balai.
Pikiran dan hatinya resah, tanpa dia tahu penyebabnya.
"Sial! Nyamuk tak ngalor-ngidul, panas juga tidak.
Tapi, kenapa aku tidak bisa tidur lagi. Padahal, aku baru saja mau bermimpi
bercengkerama dengan bidadari. Apa bisa kuteruskan mimpinya, ya?" gumam I Ktut
Regeg, setengah menggerutu. Digaruk-garuknya kepala dengan jengkel. "Ayo..., ayo
mengantuk lagi!
Kalau tidak, bidadari itu bisa pulang lagi ke kampungnya!"
Namun, tetap saja I Ktut Regeg tak bisa tidur.
Dengan satu dengusan kesal, dia bangkit. Dibanting-nya langkah ke lantai kayu,
sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Anak muda tanggung berbadan kurus
itu mondar-mandir tak karuan. Tiba-tiba....
Srek! I Ktut Regeg terdiam. Telinganya dipasang tajam-tajam. Dia biasa mendengar
suara-suara hewan malam dan sangat hafal. Tapi suara yang satu ini bukan dari
binatang malam. I Ktut Regeg jadi curiga.
Sambil mengendap-endap, didekatinya jendela kamar. Dari salah satu celahnya I
Ktut Regeg mulai mengintip.
"Lho" Itu kan lelaki jelek yang memberiku uang untuk sebuah keterangan tentang
peti berukir yang kubuang ke pantai?" bisik I Ktut Regeg kala melihat pengendap
di luar. "Mau apa dia datang ke sini lagi"
Dan kenapa pula dengan cara mengendap-endap
seperti maling ayam?"
I Ktut Regeg menjauhi jendela dengan hati-hati.
Dia merasa kalau lelaki di luar itu hendak berniat tidak baik.
"Apa akalku supaya dia cepat-cepat pergi...," desis pemuda tanggung itu, amat
perlahan. "Ah! Aku ada akal...."
Wajah anak muda tanggung itu berseri. Benaknya memunculkan rencana kecil. Akan
diteriakinya lelaki itu sebagai maling! Tak peduli maling ayam, atau maling
jemuran, maling sandal, atau maling sundal.
Bergegas I Ktut Regeg menguak daun jendela.
Mulutnya terbuka lebar, siap meneriakkan kata maling.
"Ma...."
Teriakan I Ktut Regeg tak dilanjutkan, terhenti begitu saja seperti orang
tersedak. Dengan mulut masih menganga, I Ktut Regeg celingukkan ke sana kemari.
Orang yang hendak diteriaki ternyata sudah tidak terlihat lagi, menghilang bagai
hantu. I Ktut Regeg mengusap-usap mata tak percaya.
"Ah! Barangkali aku masih bermimpi. Dan lelaki jelek itu adalah penjelmaan
bidadari. Hi hi hi..., bidadari malang," ceracau I Ktut Regeg.
Dia menguap lebar-lebar, lalu melangkah kembali ke balai-balai kayunya.
Baru saja I Ktut Regeg hendak merebahkan tubuh di sana, satu suara keras
mengejutkannya.
Brak! Kontan saja anak muda tanggung itu terlonjak sambil teriak-teriak kelimpungan.
"Maliiing! Maliiing! Ada bidadari jadi maliiing!"
"Aaa!"
Menyusul, suara jeritan Idayu Wayan Laksmi dari
kamar tengah. I Ktut Regeg sekali lagi tersentak. Teriakannya macet seketika. Rasanya,
sekarang ini dia tidak bermimpi! Untuk meyakinkan diri disiapkannya kepalan ke
hidungnya, lalu segera dilayangkan tanpa ragu. Bukh!
"Aduh... aduh! Sakit! Wah! Berarti aku tidak mimpi!" seru pemuda tanggung itu
tersadar. Hidung I Ktut Regeg yang berdenyut-denyut dipegangi seraya berlari ke kamar
kakaknya. "Mbok! Ada apa Mbok"."
Setibanya di kamar Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg hanya menemukan balai-balai
kayu Idayu Wayan Laksmi yang kosong berantakan. Idayu Wayan Laksmi tak ada lagi
di sana. Sementara, dinding bilik di sebelah timur kamarnya sudah jebol. I Ktut
Regeg jadi teringat kejadian kemarin. Dinding bilik yang baru saja diperbaiki
kemarin juga jebol sewaktu Idayu Wayan Laksmi diculik.
"Jangan-jangan Mbok diculik lagi," duga I Ktut Regeg.
Tiba-tiba saja, pemuda itu berlari ke kamarnya kembali. Di dekat jendela
kamarnya, dia berteriak sekali lagi.
"Tolooong! Bukan maliiing! Bukan maliiing! Eh...
penculiiik! Penculiiik! Mbok-ku diculiiik!"
Anak muda tanggung itu terus berteriak blingsatan, sampai beberapa penduduk
datang membawa senjata masing-masing.
*** Sementara itu di desa dekat pantai barat Buleleng, Andika dan Ki Lantanggeni
telah mendapat keterangan dari salah seorang penduduk yang menegaskan, kalau peti berukir yang
sedang dicari memang telah dibawa dua lelaki. Seorang berwajah buruk dengan
badan agak bungkuk, dan seorang lagi mengenakan caping keranjang.
Tapi ketika Andika menanyakan ke mana dua lelaki yang dilihat penduduk itu,
jawaban yang didapat tidak memuaskan. Ternyata si Nelayan tidak tahu ke mana
Sepasang Datuk Karang membawa peti berukir itu. Dia hanya memberi petunjuk kalau
dua lelaki yang dilihatnya pergi ke arah utara.
Sesudah menghaturkan terimakasih, Andika dan Ki Lantanggeni langsung memacu
tubuh ke arah utara. Mereka berharap, belum terlambat untuk mengejar Sepasang
Datuk Karang. Jarak ke utara yang ditempuh sudah cukup jauh.
Saat itulah mereka menangkap sesosok tubuh yang berkelebat, sama cepat dengan
gerakan mereka. Di punggung orang itu tampak beban sebesar manusia.
Meski tampak lebih berat dari badannya sendiri yang agak kurus membungkuk, orang
itu tidak terlihat mengalami hambatan saat berlari dengan membawa beban.
Andika dan Ki Lantanggeni cepat bersembunyi di balik serumpun pohon kelapa.
Keduanya memang tak ingin diketahui oleh lelaki yang mencurigakan itu.
Terlebih-lebih sampai bentrokan.
"Sepertinya aku pernah melihat orang itu," bisik Andika perlahan pada Ki
Lantanggeni. "Bagaimana kalau kita coba ikuti dulu?" usul Ki Lantanggeni.
Andika setuju. Mereka pun mulai membuntuti lelaki yang dicurigai. Orang yang
dikuntit memang melewati daerah terbuka dengan sinar bulan yang
samar menerangi seluruh tubuhnya. Namun baik mata Andika maupun Ki Lantanggeni
bisa melihat siapa sesungguhnya orang itu.
"Dia adalah salah seorang dari Sepasang Datuk Karang," ucap Andika tak kentara.
Ki Lantanggeni masih bisa menangkap ucapan pendekar muda di sisinya.
"Siapa dia?" tanya orang tua itu ingin tahu.
"Dialah orang yang telah membunuh tiga sesepuh Buleleng," jawab Andika,
memperjelas keterangan-nya.
"Sepasang Datuk Karang" Tapi, mana yang
seorang lagi. Bukankah kau bilang Sepasang Datuk Karang dua orang?"
"Itulah yang harus kita ketahui, Ki."
"Kalau begitu, aku akan meringkusnya...."
"Jangan, Ki. Apa kau tak ingat dengan peti berukir itu?"
Ki Lantanggeni menoleh pada Andika. Dia belum paham maksud Pendekar Slebor.
"Nelayan tadi berkata, kalau mereka telah mendapatkan peti itu. Jadi, pasti
mereka sedang mencoba menjalankan satu rencana. Biar kita ikuti lelaki itu.
Dengan begitu, mungkin dia akan membawa kita langsung pada peti berukir
tersebut, sekaligus bisa bertemu kawannya. Sekali tepuk, dua nyawa!"
Ki Lantanggeni tersenyum. Baru dimengerti maksud Pendekar Slebor. Dalam hati,
dia sempat memuji kecerdikan pemuda yang baru saja dikenalnya.
"Kalau begitu, mari kita ikuti lagi! Jangan sampai kita kehilangan jejak," ajak
Ki Lantanggeni.
Mereka pun mengerahkan ilmu meringankan
tubuh masing-masing, berlari cepat di belakang
Gumbala dalam jarak yang cukup aman, sehingga orang yang dikuntit tidak merasa
curiga. Tak ada sepenimum teh kemudian, Andika dan Ki Lantanggeni melihat Gumbala tiba
di bibir Goa Karang Hitam.
"Kang! Aku telah mendapatkan seorang perawan, Kang!" seru Gumbala gembira.
Tak ada sahutan dari dalam goa.
"Kang?"
Gumbala memajukan kepala. Diperhatikannya dalam goa tajam-tajam.
"Kang" Kau masih di dalam, Kang?" tanya
Gumbala. Laki-laki buruk rupa itu mulai melangkah masuk.
Padahal, semula dia berharap Lalinggi menyambut-nya dengan senyum lebar di luar
karena telah berhasil menjalankan tugas dengan sempurna.
Tak jauh dari Goa Karang Hitam, Andika dan Ki Lantanggeni saling berpandangan.
"Tampaknya orang yang satunya sedang tidak ada dalam goa itu, Ki," bisik Andika.
"Ah! Aku jadi ada akal, Ki...."
Lalu tanpa memberi kesempatan Ki Lantanggeni bertanya, pemuda itu langsung saja
mengangkat tangan ke depan mulut.
"Hoi! Aku di sini!" teriak Pendekar Slebor dengan suara dibuat tersamar mungkin.
Gumbala yang mendengar teriakan Andika segera mengurungkan niat untuk masuk ke
dalam goa. "Kang"! Apa kau di sana, Kang Lalinggi"!" tanya Gumbala.
"Yhuaaah!" sahut Andika.
"Sedang apa di situ, Kang?" tanya Gumbala heran.
Matanya mencari-cari ke asal suara.
"Cepat ke sini, kau!" teriak Andika lagi.
Gumbala baru hendak meletakkan beban di
pundaknya yang ternyata Idayu Wayan Laksmi. Tapi, kembali terdengar teriakan
Andika. "Bawa sekalian perempuan itu!"
"Baik, Kang!" sahut Gumbala. "Heran"! Sedang apa Kang Lalinggi di sana, ya?"
gumam Gumbala, sambil melangkah ke balik karang tempat
persembunyian Andika dan Ki Lantanggeni.
Sewaktu hendak melangkah ke balik karang, Gumbala akan membuka suara kembali.
Dia ingin membanggakan hasil kerjanya pada Lalinggi yang dikira berada di balik
karang. Tapi belum sempat mulutnya menganga, satu sergapan cepat datang ke
arahnya. Tuk! Mata Gumbala kontan membalalak. Tubuhnya
mengejang seketika, setelah itu lunglai. Dia ter-jerembab bersama tubuh Idayu
Wayan Laksmi yang juga dalam keadaan tertotok!
Bruk! "Kau mencari kakangmu?" ledek Andika.
Mata Pendekar Slebor tampak memelototi tubuh yang tanpa bisa bergerak.
"Lihat jelas-jelas dengan matamu yang sebesar koreng itu. Apa aku kakangmu?"
lanjut Pendekar Slebor seraya membantu Idayu Wayan Laksmi berdiri, setelah
membebaskan totokan di tubuh wanita ayu itu.
Dengan gerakan lembut Idayu Wayan Laksmi
berdiri, dan langsung memandang Andika.
"Kau tidak apa-apa, Laksmi?" tanya Andika.
Wanita itu menggeleng. Wajahnya pucat pasi.
Sedangkan satu tangannya mendekap bahu sebelah
kanan. "Kenapa?" tanya Andika lagi.
Tidak apa-apa, Beli! Aku hanya tergores batu karang sewaktu lelaki itu jatuh
tadi." Biar kulihat...," Andika memeriksa luka Idayu Wayan Laksmi.
Bahu gadis itu memang tidak terluka terlalu parah.
Tapi, goresannya cukup dalam. Darah pun mulai membasahi pakaian di bagian
bahunya. "Ah! Maafkan aku, Laksmi. Aku tak cepat-cepat menangkap tubuhmu tadi. Aku tak
tahu kalau orang yang dibopong lelaki jelek ini ternyata dirimu," sesal Andika.
"Biar kubalut dengan kainku...."
Andika segera melepas kain bercorak catur dari pundaknya.
"Tak usah..., tak usah Beli. Aku tak apa-apa.
Sungguh...," cegah Idayu Wayan Laksmi sungguh-sungguh.
"Tidak! Kamu harus dibalut," tegas Andika bersikeras.
Pendekar Slebor mulai mengangsurkan kain
miliknya ke bahu Idayu Wayan Laksmi. Dan Idayu Wayan Laksmi pun rupanya
bersikeras pula. Satu tangannya menahan tangan pemuda tampan di depannya itu,
sehingga tangan keduanya bertemu.
Tanpa disadari, tangan mereka saling terpagut.
Andika terpaku. Ada sebentuk kehangatan men-jalar dari tangan wanita ayu yang
pernah ditolongnya dulu. Kehangatan yang sulit sekali dijelaskan oleh kata-kata.
Ditemukannya mata lentik Idayu Wayan Laksmi. Pada saat yang sama, Idayu Wayan
Laksmi pun menatap mata berkesan tegar milik Andika.
"Oh, Tuhan.... Betapa sempurna kecantikan wanita ini," bisik Andika dalam hati.
"Hm... ehem." Ki Lantanggeni di belakang Andika berdehem-dehem usil.
Andika tersadar. Untung saja Pendekar Slebor masih bisa menguasai diri, kalau
tidak tentu sudah gelagapan seperti orang tolol.
"Oh, ya. Ki Lantanggeni, perkenalkan.... Ini Laksmi," tutur Andika
memperkenalkan si Gadis pada Ki Lantanggeni.
Orang tua bercaping dan selalu tampak tenang itu menjura dalam, seolah-olah
tidak terlalu mem-persoalkan kalau yang diperkenalkan padanya berusia jauh lebih
muda darinya. Merasa risih pada penghormatan Ki Lantanggeni, Idayu Wayan Laksmi
pun bergegas menundukkan tubuh lebih dalam.
"Bagaimana, Andika?" tanya Ki Lantanggeni.
"Ah! Itu tadi kan hanya sikap wajar seorang anak muda sepertiku, Ki. Aku tak
bisa menjadikannya kekasih. Kau kan tahu, aku masih memiliki tugas lain di dunia
persilatan," bisik Andika di telinga Ki Lantanggeni.
Lelaki tua itu mendadak saja terkekeh.
"Hei" Aku bukan menanyakan perihal hubungan-mu dengan gadis ayu ini," kata Ki
Lantanggeni sedikit dikeraskan agar Idayu Wayan Laksmi bisa mendengar. "Aku
menanyakan, bagaimana tindakan kita selanjutnya...."
Andika melotot. Seluruh pipinya mendadak
matang! Lebih merah dari daging panggang!
"Mati aku," gumam Pendekar Slebor dengan
menutup kelopak mata. Malu sekali hatinya!
*** 9 Andika dan Ki Lantanggeni akhirnya sepakat untuk memasuki Goa Karang Hitam.
Mereka berharap, di dalam sana dapat menemukan peti berukir tempat kepala
Artapati yang lebih dikenal sebagai Ki Rawe Rontek.
Pada saat bersamaan, ketika mereka baru men-jejakkan kaki di bibir goa, Lalinggi
tiba. Di pundaknya ada seorang perawan yang didapat entah dari desa mana. Yang
pasti, bukan dari desa di sekitar pantai barat Buleleng.
Mengetahui ada tiga orang hendak masuk dalam goa, Lalinggi menghentikan langkah.
Dengan sekali genjot tanpa menimbulkan suara, laki-laki bercaping itu berpindah
ke tempat tersembunyi. Dari sana diperhatikannya ketiga penyusup itu.
"Keparat.... Anak muda itu bisa membawa
kesulitan besar padaku," geram Lalinggi saat mengenali Andika.
Dia tahu, bagaimana ketinggian ilmu kesaktian Andika yang hingga saat itu belum
dikenalnya sebagai Pendekar Slebor, karena pernah pula menyaksikan pertarungan
Andika dengan Gumbala.
"Ke mana pula si Gumbala?" bisik Lalinggi kesal.
"Sendiri seperti ini, menghadapi pemuda itu saja belum tentu aku akan menang
secara mudah. Apalagi dengan dua orang yang bersamanya itu...."
Lalinggi meletakkan wanita yang diculiknya ke tanah. Sambil melakukannya,
kepalanya menoleh
kian kemari, mencari-cari Gumbala.
Dengan gelisah, Lalinggi menunggu. Dia makin gelisah ketika Andika, Ki
Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi telah hilang tertelan goa.
"Keparat.... Ke mana Gumbala"! Semua rencana yang bertahun-tahun kuusahakan bisa
berantakan dalam sekejap," gerutu Lalinggi.
Karena dorongan kegelisahan yang bergeliat dalam diri, Lalinggi berjalan hilir-
mudik di tempat persembunyiannya. Sampai suatu saat, kakinya terantuk sesuatu.


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sialan!" maki Lalinggi jengkel dengan suara tertahan.
Baru saja laki-laki bercaping itu hendak mengangkat kaki hendak menendang
sesuatu di tanah yang dikiranya tumpukan karang, mendadak saja niatnya
diurungkan. Dari balik caping penutup wajah diperhatikannya sesuatu yang
menghalangi barusan.
"Gumbala...," desis Lalinggi kaget.
Sementara di dalam goa, Andika dan Ki
Lantanggeni serta Idayu Wayan Laksmi telah sampai di tempat Lalinggi dan Gumbala
mempersiapkan upacara kebangkitan Ki Rawe Rontek.
"Apa-apaan ini?" tanya Andika seperti tak ditujukan pada siapa-siapa.
DitatapnyaKi Lantanggeni, meminta penjelasan pada lelaki yang sudah banyak makan
asam garam dunia persilatan itu.
Ki Lantanggeni melangkah lebih dekat pada jasad Ki Rawe Rontek yang tertutup
kain hitam lebar.
"Tampaknya Sepasang Datuk Karang hendak
menghidupkan kembali saudara seperguruanku,"
gumam laki-laki tua itu menjawab keingintahuan Andika.
Andika kembali menatap mata Ki Lantanggeni lekat-lekat. Dia tak puas atas
penjelasan lelaki tua itu.
Ki Lantanggeni mengerti maksud Andika.
"Kau masih ingat ceritaku tentang ajian hitam
'Rawe Rontek'"! Ilmu itu akan tetap tinggal bersama jasad si Penganutnya, meski
telah lama mati. Jika suatu saat ada orang lain menolongnya menyatukan kembali
bagian tubuhnya lalu melaksanakan suatu upacara gaib, dia akan bisa
membangkitkan kembali ilmu hitamnya. Pada akhirnya, dia akan bangkit kembali
dari kematian...," jelas Ki Lantanggeni.
Idayu Wayan Laksmi bersidekap rapat. Bahunya terangkat dalam getaran halus. Dia
jadi merinding, mendengar pengungkapan lelaki tua yang baru dikenalnya itu.
Selama hidup, baru kali ini dia mendengar tentang ilmu sesat yang mengerikan.
"Lalu kenapa belum juga hidup kembali?" tanya Andika, sambil menyusul Ki
Lantanggeni ke dekat jasad Artapati alias Ki Rawe Rontek.
Ki Lantanggeni diam sesaat. Pikirannya mencoba menerka-nerka.
"Hmmm... Mungkin ada satu persyaratan yang
kurang...," duga laki-laki tua itu datar.
"Persyaratan apa?"
Ki Lantanggeni menatap Idayu Wayan Laksmi yang masih menciut ketakutan di satu
sudut dinding goa.
Andika jadi turut memperhatikan gadis ayu itu.
"O, aku mengerti," sela Andika. "Tumbal. Begitu maksudmu, Ki?"
Ki Lantanggeni mengangguk sekali.
"Darah seorang perawan suci mungkin adalah syarat terakhir. Itu sebabnya, mereka
berusaha menculik Laksmi...."
Demi mendengar percakapan kedua orang
berbeda usia itu, Idayu Wayan Laksmi merasakan bulu kuduknya kian meremang
hebat. Mimik wajahnya memperlihatkan ketakutan dalam. Setarikan napas
berikutnya, gadis itu berlari mendekati Andika.
Dipeluknya pemuda itu dari belakang, sehingga membuat pendekar ugal-ugalan itu
tak bisa berkutik.
Kecuali, senyum-senyum pada Ki Lantanggeni seperti lelaki kehilangan akal.
"Tak perlu takut, Laksmi...," ucap Ki Lantanggeni.
"Ya, tak perlu takut," timpal Andika. "Toh kau sudah selamat, dan aku masih ada
di sampingmu. Juga Ki Lantanggeni...."
Bujukan Ki Lantanggeni dan Andika percuma.
Ketakutan gadis itu tidak juga bisa diredam, meski sedikit. Malah dia makin
merapatkan tubuh pada Andika. Kala itulah, tanpa disadari mereka darah dari luka
di bahu Idayu Wayan Laksmi menetes jatuh ke kain hitam penutup mayat Ki Rawe
Rontek. Menetes dan menetes....
"Hei"! Kalian yang ada di dalam goa! Keluar!"
Mendadak terdengar suara lantang seseorang dari luar.
Andika dan Ki Lantanggeni menoleh tenang
dengan mimik wajah tak berubah. Lain halnya Idayu Wayan Laksmi. Gadis itu
terlonjak tak alang kepalang.
Wajahnya makin kehilangan darah. Kalau saja Andika tak segera mendekap mulutnya,
mungkin akan menjerit sejadi-jadinya.
"Aku tahu kalian ada di dalam. Jadi, jangan berpura-pura!" suara itu membahana
kembali. "Aku juga tahu, kalian pula yang telah memperdayai pasanganku di balik
batu karang. Kini, dia telah kubebaskan. Itu berarti kalian bisa menghadapi
kami, Sepasang Datuk Karang, secara langsung. Tak perlu
lagi main kucing-kucingan, jika kalian memang bukan pengecut!"
"Wah! Si Tuan Rumah tampaknya marah, Ki," kata Andika acuh tak acuh. "Sebagai
tamu yang baik, kita tentu harus memenuhi permintaan mereka...."
Dengan gaya dibuat-buat, Andika membungkukkan badan sambil mengayun satu tangan
perlahan. Diperhatikannya Ki Lantanggeni.
"Sebagai orang yang lebih tua, kau patut
didahulukan...," seloroh Andika.
Ki Lantanggeni tertawa lebar.
"Kau jadi mengingatkan aku pada cerita seorang pendekar muda tanah Jawa Dwipa
yang amat tersohor dengan julukan Pendekar Slebor, Andika...,"
ucap orang tua itu sambil melangkah.
Andika mengerutkan kening.
"Memangnya aku ini siapa"! Bagong, atau
Semar?" ceracau hati Andika.
Lalu Pendekar Slebor pun mengikuti lelaki tua itu keluar seiring seulas senyum
dikulum. Idayu Wayan Laksmi mengikuti rapat di sisinya.
Di luar, Sepasang Datuk Karang menunggu garang.
Keduanya berdiri tegang bagai dua tonggak kayu tak bernyawa. Cara berdiri mereka
begitu menantang.
Lalinggi mendekap tangan di depan dada, sedangkan Gumbala bertolak pinggang
angkuh. "Hei"! Apa kabar!" sapa Andika setibanya di mulut goa dengan maksud mengejek.
"Kita bertemu lagi, ya" Ada perlu apa" Menagih utang atau minta digebuk?"
"Jangan banyak omong lagi, Kang," bisik Gumbala.
"Mereka bisa menggagalkan usaha kita yang sudah dibangun bertahun-tahun."
Lalinggi mengangguki Gumbala. Dia setuju
pendapat lelaki berwajah buruk itu. Lalu dengan gerakan kepala diberinya isyarat
pada Gumbala untuk segera menghajar Pendekar Slebor.
Gumbala tampak senang. Tak tanggung-tanggung lagi, dipersiapkannya pukulan
tenaga dalamnya.
Seperti pernah dipakai saat menghancurkan gubuk salah seorang sesepuh Buleleng,
Gumbala meng-gerakkan sepasang tangannya dalam bentuk paruh burung gagak. Sesaat
dicobanya memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada kedua tangan.
Saat berikutnya....
"Hiah!"
Wesss! Serangkum angin pukulan keras memburu ke arah Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni,
dan Idayu Wayan Laksmi.
Pendekar Slebor terkejut. Begitu juga lelaki tua di sisinya. Mereka sama sekali
tidak menduga kalau orang itu akan melepaskan pukulan jarak jauh. Idayu Wayan
Laksmi yang tak biasa menghadapi keadaan seperti itu malah menjerit tak
tanggung-tanggung.
"Aaa!"
Dilihat dari tempat mereka berdiri, ketiga orang itu benar-benar dalam keadaan
yang tidak menguntungkan. Di bibir goa, mereka tak bisa bergerak terlalu bebas,
meskipun Pendekar Slebor termasuk dalam jajaran tokoh atas aliran putih.
Terlebih, karena pukulan jarak jauh Gumbala yang melingkupi hampir seluruh mulut
goa. Maka mau tak mau Pendekar Slebor melakukan tindakan yang cukup nekat. Beriring
teriakan yang sanggup merontokkan bebatuan dinding goa, pendekar muda dari
Lembah Kutukan itu merangsek ke depan. Pukulan jarak jauh Gumbala akan
dihadangnya tanpa persiapan benteng pertahanan diri yang matang.
"Hiaaa!"
Des! Pukulan tanpa wujud Gumbala seketika menghajar seluruh bagian tubuhnya, bagai
satu sapuan topan raksasa. Pakaian di sekujur tubuh Pendekar Slebor langsung
koyak-koyak. Tubuhnya yang meluncur ke depan terhenti sekejap, setelah itu mulai
terseret ke belakang kembali.
"Hiaaa!"
Pendekar Slebor bertahan, dengan mencoba
mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan yang masih sempat dapat
dikerahkan dalam keadaan terlambat seperti itu. Maka benturan dua kekuatan hebat
itu membuat sepasang kakinya mulai melesak, karena hendak mempertahankan kuda-
kuda. Dalam sekejap, kakinya sudah terkubur ke bumi sebatas betis.
Sekujur tubuh Pendekar Slebor saat itu bagai ditimpa beruntun ribuan kerikil
tajam. Dirasakannya setiap pori-pori kulit seperti hendak terbelah.
"Ki Lantanggeni! Cepat keluarkan Laksmi dari mulut goa!" teriak Pendekar Slebor
di sela jeritan.
Ki Lantanggeni cepat tanggap maksud Andika.
Kalau dia tetap di mulut goa, keadaan akan makin tak menguntungkan. Maka cepat
disambarnya tubuh Idayu Wayan Laksmi, langsung melesat keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, Pendekar
Slebor melepas pertahanan. Seketika tubuhnya dihentakkan keluar dari terjangan
angin pukulan jarak jauh Gumbala.
"Khiaaah!"
Ketika Pendekar Slebor berpuntar di udara, sisa
pukulan jarak jauh lawan tanpa tertahan lagi menghantam bibir goa. Maka
bongkahan batu sebesar manusia pun beruntuhan. Akibatnya, mulut Goa Karang Hitam
tertimbun cepat.
Menyadari pukulan jarak jauhnya dapat membuat seluruh goa tertutup bongkahan-
bongkahan batu cadas, Gumbala cepat menghentikan pengerahan ilmu andalannya.
"Kau tak apa-apa, Andika?" tanya Ki Lantanggeni, saat Andika tiba di depannya
dalam keadaan tak karuan.
"Tak apa-apa, Ki," sahut Andika.
Berhubung ada gadis yang bersama Ki
Lantanggeni di belakangnya, Andika lebih sudi bilang tak apa-apa. Padahal
dadanya begitu sesak! Tak cuma itu. Dari lubang hidung si Pendekar Urakan itu
pun merembes darah segar. Andika baru menyadari ketika merasakan anyir darah itu
mengalir ke mulutnya.
"Hey, binatang langka itu telah membuat hidungku berdarah," gerutu Pendekar
SIebor berbisik mangkel.
Baru saja Andika menyeka hidung dengan koyakan tangan bajunya, Lalinggi ganti
menyerang. Lelaki yang biasanya bersikap setenang permukaan telaga dan sedingin
es itu, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Tentu saja penyebabnya
karena kegusaran-nya, akibat tindakan ketiga orang itu yang mengacaukan
rencananya. "Kau telah membuat rencanaku kacau balau, Pemuda Sialan!" maki Lalinggi murka
seraya melabrak Pendekar Slebor garang.
"Hih!"
Deb! Deb! Seperti Gumbala, Lalinggi pun tak ingin tanggung-
tanggung lagi menghadapi lawannya. Jurus-jurus maut tingkat tertinggi yang
dimilikinya langsung dikerahkan. Sepasang tangan dan kakinya menyabet deras
dengan gerakan berputar bergantian, ke arah kepala dan kaki Pendekar Slebor.
Untuk serangan kalap itu, Andika mengeluarkan jurus yang sudah amat dikenal
kalangan kaum persilatan. Jurus 'Memapak Peti Membabibuta'. Dia tahu, serangan
lawan harus dihadapi dengan jurus-jurus utamanya.
Seperti orang gila kelimpungan, Pendekar Slebor menangkis sabetan demi sabetan
tangan dan kaki lawan.
Des! Des! Des! Lalinggi tersentak mundur beberapa tindak.
Dirasakan tangan dan kakinya seperti baru saja menimpa benda tak terlihat yang
demikian keras.
Sehingga membuat sekujur tangan dan kakinya berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana
lawan bisa bergerak secepat itu" Padahal, dia telah melancarkan serangan cepat
yang sanggup meremukkan empat puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya,
jurusnya diberi nama 'Empat Puluh Hantaman Dewa'.
Lebih herannya lagi, pemuda itu bergerak seperti main-main, tak seperti biasanya
orang bertempur.
Tapi setiap gerakan yang dibuat sanggup membentengi sekujur tubuhnya dalam satu
gebrakan! Empat-lima tombak di belakang Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni juga tersentak.
Matanya terbelalak tak percaya pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak
melihat tangan Andika bergerak menangkis, kecuali gerakan-gerakan ngawur ke
berbagai arah. Tapi kenyataannya, hantaman-hantaman lawan kandas begitu saja!
Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru sadar kalau pemuda yang selama ini
bersamanya adalah seorang pendekar kalangan atas. Di tanah Jawa Dwipa, mungkin
dia begitu terkenal! Sayang, dia tidak mengetahui julukan pemuda itu.
Lain lagi Lalinggi. Tidak seperti Ki Lantanggeni yang telah lama mengucilkan
diri di Pulau Bali, Lalinggi adalah tokoh sesat yang masih berkubang di dunia
persilatan. Dengan begitu, dia sering mendengar kabar burung mengenai seorang
pendekar kenamaan berusia muda yang memiliki jurus aneh....
"Kau.... Pendekar Slebor," desis Lalinggi kaget.
Meskipun hanya berbisik, ucapan Lalinggi tertangkap pula telinga Ki Lantanggeni.
Untuk kedua kalinya, lelaki tua itu terperangah.
"Apa" Pendekar Slebor?" sentak hati orang tua itu.
Lagi-lagi dia hampir tak percaya. Bodoh sekali dia selama ini, tak mengetahui
kalau pemuda itu adalah pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor.
"Gumbala! Bantu aku! Kita menghadapi lawan berat!" seru Lalinggi tak malu-malu.
"Apa, Kang"!"
"Bodoh! Cepat ke sini dan bantu aku! Pemuda sialan ini ternyata Pendekar
Slebor!" teriak Lalinggi kalap.
Gumbala yang hendak memeriksa goa, mendadak terbelalak. Matanya makin membesar
saja seperti hantu telat buang air!
"Cepat, Goblok! Kenapa jadi bengong seperti itu!"
bentak Lalinggi makin kalap.
"Iy... iya, Kang!" sahut Gumbala tersadar. Lalu segera dia melompat ke sisi
pasangannya dengan genjotan tubuh lebar.
"Siapkan jurus 'Sepasang Iblis Menghimpit Badai'!"
kata Lalinggi memberi aba-aba.
"Siap, Kang!" jawab Gumbala.
Sementara benak laki-laki buruk rupa itu masih bergumam tak menentu. Pantas,
dulu dia begitu mudah dipermainkan lawan....
Lalinggi mulai mempersiapkan jurus gabungan andalan mereka. Mula-mula
dilakukannya hal yang amat jarang sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat
menghadapi lawan amat berat seperti sekarang.
Dilepaskannya caping di kepala. Dan terlihatlah wajah asli Lalinggi.
Wajah lelaki itu ternyata tak kalah buruk dengan Gumbala. Seluruh wajahnya
dipenuhi kerutan mengerikan bagai luka bakar. Bibirnya bagai bentuk mulut
makhluk melata dari rawa, bergelombang men-jijikkan. Sedangkan hidungnya seperti
dikoyak-koyak pisau tajam! Yang lebih menyeramkan lagi adalah matanya. Yang
bersinar kebiru-biruan menyilaukan!
Kini lelaki itu mengatur pernapasan. Kedua tangannya kaku di depan dada dengan
keadaan seperti sedang mendekap sesuatu. Satu kakinya terangkat tinggi, hingga
dengkulnya menyentuh siku kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya
bertambah menyilaukan. Sinar kebiruan perlahan-lahan merambat ke sekujur
tubuhnya, seakan satu selimut biru tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan
ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki itu.
Saat tubuh Lalinggi sudah terbungkus seluruhnya oleh sinar kebiru-biruan,
Gumbala maju ke depan.
Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangan Gumbala disatukan dengan tangan
Lalinggi. Keanehan pun terjadi lagi. Sinar kebiru-biruan di sekujur tubuh Lalinggi mulai
merambat pula ke tubuh Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya,
kedua lelaki itu benar-benar terbungkus selubung sinar tersebut.
"Wan... wah... wah! Ada yang mau main lampu-lampuan rupanya," leceh Andika.
Kepalanya mengangguk-angguk seperti burung pelatuk kurang kerjaan. "Baik kalau
itu yang kalian mau...."
Pendekar Slebor pun mulai mempersiapkan
jurusnya 'Guntur Selaksa'. Jurus ciptaannya ini sering kali digunakan untuk


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benteng pertahanan, di samping untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang
pernah membuatnya sanggup melindungi diri dari setiap sambaran lidah petir!
"Iii...!"
Diawali satu lengkingan aneh, Sepasang Datuk Karang memulai serangan. Lalinggi
menghentak tubuh Gumbala, sehingga pasangannya terayun cepat di tangannya.
"Iii...!"
Beriring satu lengkingan ganjil kembali, tubuh Gumbala kini malah berputar.
Sedang tubuh Lalinggi menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama bertambah
cepat. Pada saat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang menderu ke arah Pendekar Slebor,
Andika pun sudah mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan tingkat terakhir. Kekuatan sakti dalam tubuhnya membentuk sinar pula,
seperti milik lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh Pendekar Slebor
berwarna putih keperakan.
Angin besar menerbangkan debu dan kerikil di sekitar arena pertarungan maut,
akibat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang. Dan mereka makin dekat saja ke arah
Pendekar Slebor.
Wrrr! Angin yang tercipta dari jurus langka Sepasang Datuk Karang bagai amukan topan
badai. Dalam jarak dua puluh tombak, sekeliling kancah pertarungan bagai hendak
diobrak-abrik. Bahkan batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai beterbangan,
layaknya sekumpulan bulu.
Agar Idayu Wayan Laksmi tak terluka, Ki
Lantanggeni mengambil keputusan cepat untuk membawanya segera keluar dari
sekitar kancah pertarungan. Disambarnya kembali tubuh Idayu Wayan Laksmi yang
sudah begitu lunglai ketakutan.
Sekitar dua puluh lima tombak dari tempat pertarungan, barulah Ki Lantanggeni
menurunkan tubuh wanita Bali itu.
Jarak antara Pendekar Slebor dengan putaran tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal
dua tombak lagi. Angin makin menggila. Pendekar Slebor merasa tubuhnya bagai
hendak dilempar kekuatan raksasa.
"Hiaaa!"
Terdengar teriakan mengguruh terlontar dari mulut Pendekar Slebor. Tampaknya,
dia tak ingin menunggu dua lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-otot
kakinya dikejangkan kemudian digenjotnya ke arah lawan.
Seperti berjalan di dasar laut, kaki Pendekar Slebor bergerak sejengkal demi
sejengkal ditahan dorongan angin raksasa milik Sepasang Datuk Karang. Tanah
bercadas tempat pijakannya lebur terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya
berupa tepung. Pada saatnya, tubuh mereka pun bentrok.
Tangan Pendekar Slebor menjulur ke depan
seperti gerakan seorang pencuri jemuran, siap menerkam kepala Lalinggi yang
masih berpusing.
"Haaaih!"
Des! Terkaman Pendekar Slebor dapat digagalkan Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang
sama, Gumbala menekuk dua kakinya yang masih melayang di udara. Maka tangan
Pendekar Slebor dan kaki Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar
kebiru-biruan dengan selubung sinar putih keperak-perakan terjadi. menimbulkan
percikan-percikan bunga api di udara.
Cras! Cras! Sepasang Datuk Karang mencoba menyusun
serangan balasan. Sementara kaitan dua tangan mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh
Gumbala terus berputar. Pada saat sepasang kakinya menghadapi tubuh Lalinggi,
pasangannya itu pun segera menangkap kakinya.
Wuk! Tep! Lalu kedua tangan Gumbala yang kini menghadap Andika, beruntun mencabik di udara
dengan jari membentuk paruh gagak.
Jep! Jep! Jep...!
Pendekar Slebor tentu saja tak sudi wajahnya yang masih bagus dan mulus diacak-
acak jari tangan Gumbala. Dengan kedua tangannya ditangkisnya serangan itu
berkali-kali. Taks! Taks! Taks...!
"Kau tentu ingin merusak wajahku seperti wajah kalian yang porak-poranda itu!
Dasar sirik!" cerocos Andika. "Sudah jelek, ya jelek saja! Tak usah mengajak
orang lain ikut jelek!"
Pendekar Slebor masih sempat meledek, meski pertarungan berlangsung dalam tempo
yang demikian cepat. Pertarungan dahsyat berlanjut. Sembilan puluh sembilan jurus berlalu cepat
seperti angin. Masing-masing masih terlihat tangguh dengan jurus andalan.
Percikan demi percikan bunga api masih terus tercipta, mengiringi setiap
bentrokan. Deru angin raksasa ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap menyapu gila
ke berbagai arah, ke segenap penjuru.
Selama itu, otak encer pendekar muda dari Lembah Kutukan itu terus merekam
titik-titik lemah jurus andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak.
Dia yakin, ada satu kunci untuk menembus pertahanan rapat lawannya.
Memang sampai saat ini, usahanya untuk membongkar titik lemah jurus kedua
lawannya masih tak menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari tangan
Gumbala berhasil menyayat dada Pendekar Slebor.
Sret! Maka sobekan luka memanjang dari bahu kiri ke lambung kanan Pendekar Slebor pun
terlihat. Darah pun merembes dari luka yang cukup dalam.
"Monyet kudis! Setan ileran! Kunyuk bau! Bau!
Bauuu...!"
Umpatan panjang-pendek pendekar yang kadang lebih cerewet dari mulut nenek-nenek
pikun itu pun merajalela ke segenap kancah pertarungan.
Kepala Pendekar Slebor jadi panas meledak-ledak.
Dengan menghentak-hentak kaki ke tanah dan kepala menggeleng-geleng tak karuan
seperti bocah kecil dilanda kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba membayar
perbuatan Gumbala.
"Hiaaaiii, ai... ai... aiii!"
Orang sinting satu kampung pun kalah dengan
terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan kakinya merangsek bergantian
dalam satu rangkai jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali tangannya
mengarah ke punggung Gumbala yang melengkung bak tanda tanya. Sesekali pula,
kakinya menyapu ke leher Lalinggi.
"Akan kubuat punggungmu membengkok ke
depan, Manusia Bau! Agar nanti kau berterima kasih padaku di liang lahat!" maki
Pendekar Slebor.
Wus! Wus! Wus! Kedua tangan Andika berputar ke depan, hendak menampar punggung orang yang telah
melukainya. Kecepatan yang terbawa gerakan Pendekar Slebor kali ini sungguh sulit dipapaki
kedua tangan lawan lagi.
Agar punggungnya tetap awet membungkuk ke belakang, Gumbala terpaksa melakukan
gerakan yang begitu sulit dalam keadaan berputar seperti itu.
Badannya ditekuk dalam-dalam ke bawah, dan terus melaju ke kolong selangkangan
Lalinggi. Dan gerakannya dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar tubuh ke depan.
Kaki lelaki yang semula selalu bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus
ke depan. Des! "Augkh! Andika mengerang sesaat. Dadanya lagi-lagi menjadi sasaran empuk. Sehingga tubuh
pendekar muda itu terlempar deras ke belakang.
"Andikaaa!" teriak Idayu Wayan Laksmi di
belakang sana, khawatir akan nasib pemuda yang mulai menempati ruang dalam
kalbunya. Tepat lima tombak di depan Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika
berdebam me- ninju tanah. Punggungnya jatuh lebih dahulu.
Beberapa saat pemuda itu mengerang-erang. Dada dan punggungnya dirasa bagai
dilantak dari dalam.
"Andika kau tak apa-apa"!" seru Ki Lantanggeni.
"Andikaaa! ' Beli' Andikaaa!" teriak Idayu Wayan Laksmi lagi makin was-was.
Demi mendengar teriakan suara gadis ayu itu, Andika langsung bangkit walau
dipaksakan. Mulutnya meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi.
Tapi, dasar anak muda kepala batu dan sedikit sombong, dia malah membusungkan
dada sok jumawa. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," jawab Pendekar Slebor sok kuat. Padahal,
dadanya masih terasa remuk.
"Kau yakin, Andika" Biar aku membantumu?"
"Jangan, Ki!" cegah Andika. "Biar aku saja yang melabrak manusia-manusia bau
itu!" Padahal mulut Pendekar Slebor meringis-ringis terus. Untung saja saat itu
membelakangi Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak, tentu kedua
orang itu bisa melihat wajah mengenas-kan pendekar muda kepala batu itu.
Pendekar Slebor menarik napas kuat-kuat. Diperhatikannya putaran tubuh lawan
yang tercipta kembali, dan kini meluncur ke arahnya. Saat itulah dia teringat
pada serangan terakhir Sepasang Datuk Karang. Dalam waktu yang demikian cepat,
mata tajamnya menangkap suatu titik yang begitu dilindungi oleh Sepasang Datuk
Karang. Mereka berusaha berputar mengganti kedudukan, agar lawan tidak dekat
pada titik itu. Titik itu adalah kaitan tangan milik Lalinggi dengan kaki
Gumbala! "Kali ini akan kubuat kerak kolak kalian!" dengus
Andika, diawali satu seringai.
Pendekar Slebor yakin, telah berhasil memecah-kan teka-teki kelemahan lawan.
Maka tanpa menunggu serangan tiba. Pendekar Slebor melarikan tubuh deras ke arah
mereka. "Hiaaa!"
Kalau seseorang ingin menilai, tentu mereka akan melihat gerak lari Pendekar
Slebor mirip maling kesiangan. Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu
terjangan penuh siasat matang. Memang aneh kalau Andika tak segera tiba di dekat
lawannya. Karena, tak sedikit pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang begitu
disegani di kalangan persilatan. Dia memang lari, tapi larinya seperti lari
orang awam. Tindakan Pendekar Slebor sungguh-sungguh mem-bingungkan lawan. Apa sesungguhnya
yang mau diperbuat pendekar muda yang banyak memiliki tingkah urakan itu"
Pada saat mereka bertanya-tanya heran dalam hati, tubuh Pendekar Slebor telah
tiba di dekat keduanya. Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi maupun Gumbala
begitu yakin akan segera bisa merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor.
Dengan lengkingan aneh, mereka memutar tubuh lebih cepat untuk menghantam
Pendekar Slebor. Tapi di luar dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor mengerahkan
kembali ilmu kecepatannya.
"Iii...!"
Wut! Hantaman sapuan tubuh Gumbala luput, karena Pendekar Slebor sudah melenting
indah gemulai ke atas. Di udara, dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya kain
pusaka bercorak catur dari pundaknya.
Sret! Sekedip mata saja, kain pusaka itu sudah melecut tepat ke arah pegangan tangan
Lalinggi. Prat! "Wuaaa!"
Lalinggi kontan menjerit tak alang kepalang. Jari-jemarinya langsung hancur
berantakan seperti batang pohon pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh
Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu kontan terlempar ke udara.
Entah bagaimana caranya, dalam keadaan masih tetap di udara Pendekar Slebor
melepas inti tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ke arah Gumbala.
Wezzz! "Aaa...!"
Tanpa bisa menghindar lagi, leher belakang lelaki buruk rupa itu termakan telak
pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan kepala
lelaki itu nyaris saja terlepas, begitu ambruk di tanah.
Pendekar Slebor kini berdiri dua tombak persis di depan hidung Lalinggi. Mata
kebiru-biruan lelaki itu membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut kain
pusaka kembali.
"Wuaaa!" raung Lalinggi, menyangka Pendekar Slebor akan segera melepas lecutan
kembali. Matanya terpejam, mulutnya membuka lebar seperti lalat.
Lalinggi menunggu-nunggu lecutan senjata pusaka Pendekar Slebor, tapi tak juga
datang. Takut-takut, matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada lagi di
depannya. Tapi, telinganya mendengar tawa pemuda tersebut di belakang. Ketika
menoleh, tampak Pendekar Slebor tengah memegang
pakaiannya. "Ini untuk membayar pakaianku yang dirusak oleh kawanmu...," kata Pendekar
Slebor ringan. Lalinggi terlonjak. Ketika melirik ke bawah, tubuhnya sudah polos seperti bayi
baru lahir! Entah malu atau takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa itu
langsung lari tunggang langgang sambil melindungi bagian 'rahasianya' dengan
tangan hancur. "Oiii, ada tuyul!" teriak Andika sambil tergelak.
Idayu Wayan Laksmi yang melihat kejadian itu menutup wajah cepat-cepat. Ngeri
campur geli....
*** Bagaimana keadaan jasad Ki Rawe Rontek yang
telah ditetesi darah Idayu Wayan Laksmi secara tidak disengaja" Apakah dia
berhasil bangkit kembali" Apa sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang
luar biasa itu, sehingga Ki Rawe Rontek dikabarkan masih mampu hidup kembali
meski kepalanya telah terpenggal sekalipun" Kalau bangkit kembali, mampukah
Andika menghadapinya"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : BANGKITNYA KI RAWE RONTEK
SELESAI Catatan * Cokorde = raja
* Beli = panggilan untuk kakak lelaki
* Mbok = kakak perempuan
* Banjar = kelompok keluarga dalam wilayah Bali
* Geg = kependekan Jegeg (manis)
* Monggo = silakan
* Kala = raksasa
* Odah = nenek Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 6 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Seruling Gading 10
^