Pencarian

Bangkitnya Ki Rawa Rontek 2

Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek Bagian 2


hantaman-hantaman nyasar. Beberapa
bagian tembok istana pun sudah menjadi korban. Sebagian hancur lebur bagai
dihantam godam raksasa, sedang sebagian lain retak terbelah tersapu angin
pukulan, baik milik Ki Rawe Rontek atau Pendekar Slebor.
Cokorde hanya terpana bersama para
petingginya. Sementara para prajurit
ternganga-nganga. Semuanya bagai
ditenung diam, bersama-sama menyaksikan peristiwa di depan mata.
Untunglah para prajurit dan Patih I
Wayan Rama diminta oleh Andika untuk
mengambil jarak yang aman dari kancah
pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka
bisa seburuk tembok pagar istana dan
pelataran tempat pertempuran!
"Hiaaa!"
"Huaaargh!"
Des! Wet! Wet! Drak!
Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe
Rontek sudah mengeluarkan sebagian ilmu andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk
Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki
Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu,
Pendekar Slebor bisa meladeni dengan
menyelubungi dirinya dengan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan
dalam penyerangan, pendekar muda ini
lebih unggul beberapa tingkat.
Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam' memang
ilmu hitam yang hanya mengandalkan
keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa
diimbangi kemampuan gerak memadai.
Menghadapi jurus-jurus Pendekar Slebor yang demikian beragam dan cepat, ilmu
pukulan hitam itu jadi tak begitu
berarti. Apalagi ketika pendekar muda itu
mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir
Membabi buta'! Setiap pergantian sikap tubuh dalam kembangan jurusnya sangat
sulit ditangkap penglihatan.
Keadaan ini benar-benar menyudutkan
Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa menyarangkan 'Pukulan Peremuk Dalam' ke
tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan berada di atas angin. Tapi hingga saat
ini, Pendekar Slebor selalu berkelit
lebih cepat. Bahkan angin pukulan Ki Rawe Rontek yang mampu melantakkan sendi
lawan, tak pernah menemui sasaran.
Apalagi Pendekar Slebor membentengi diri dengan selubung kekuatan yang sulit
ditembus. Pada satu kesempatan, desakan
Pendekar Slebor tak bisa lagi
dimentahkan Ki Rawe Rontek. Plak!
Seketika satu tamparan menggeledek
mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek.
Benar-benar telak! Rasanya bagai
didorong tenaga beribu kali. Tak ada
tulang leher manusia yang sanggup
menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor, meski tulangnya terbuat dari baja
sekalipun! Krak! Suara berderak mengikuti dalam
sekejap, di belakang suara tamparan
Pendekar Slebor. Asalnya dari leher
bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat itu
juga leher tokoh hitam itu terpuntir
tajam, membuat kepalanya kini berpaling ke belakang!
Patih I Wayan Rama kontan berseru
tertahan. Bukan main kagumnya patih ini melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah
Jawa Dwipa yang dilihatnya. Dalam hati, harus diakui bahwa Andika mempunyai nama
besar dalam dunia persilatan.
Sama seperti Patih I Wayan Rama,
Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar biasa. Tapi lain halnya yang terjadi
si Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai Andika. Lelaki berkepribadian ular
berkepala dua itu memejamkan mata
rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain penutup tubuhnya. Dia memang begitu
digasak kengerian.
Sementara itu yang terjadi dalam
pertempuran memang tak kalah
mempesonakan daripada kehandalan
pukulan Pendekar Slebor. Nyatanya Ki
Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh karang. Andika sendiri sempat
terperangah, hampir-hampir tak percaya dengan matanya sendiri. Bagaimana
mungkin seorang yang sudah terpuntir
kepalanya ke belakang, masih bisa
berdiri sekokoh itu" Kalau saja Andika tak segera ingat kalau Artapati ini
memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan menganggap dirinya sedang bermimpi.
"Jadi inikah kehebatan 'Rawe
Rontek' yang dimiliki Artapati...,"
bisik Pendekar Slebor.
Keterpanaan Andika dimanfaatkan Ki
Rawe Rontek alias Artapati, untuk
membetulkan kembali kepalanya.
Krak! Seperti kepala boneka, Ki Rawe
Rontek membalikkan kembali wajahnya ke depan!
"Gila...," bisik Andika sambil meringis kembali.
Pendekar Slebor mengusap lehernya
sendiri. Sebagai pendekar yang sudah
cukup banyak makan pahit manis di
pengembaraan, Pendekar Slebor cepat
tersadar dari keterpakuan. Dia harus
segera menggempur kembali lawannya.
Baru saja Andika membuka jurus baru,
lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat kemudian tubuhnya bergetar kecil.
Akhirnya.... Plas! Mendadak Ki Rawe Rontek menghilang!
Sekali lagi Andika tak bisa
menyembunyikan keterpanaannya. "Ilmu hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor
kontan dilanda kebingungan. Sedang
s-buk-sibuknya dia bertanya pada diri
sendiri, tiba-tiba....
Bekh! "Aaagh!"
Pendekar Slebor menjerit tertahan
di udara, begitu sebuah hantaman amat
keras menghajar lambungnya. Tubuhnya
memang langsung terhempas deras delapan tombak ke belakang. Ketika bumi
menyambutnya, mulut pemuda itu
memuntahkan darah segar. Tampaknya ada yang terluka di bagian dalam tubuh
Andika. "Oekh!"
Muntahan darah keluar lagi manakala
Pendekar Slebor hendak bangkit. Menilik keadaannya! Pendekar Slebor tampak
terluka cukup parah.
Sementara dari jauh, Patih I Wayan
Rama khawatir. Dia hendak beranjak
mendekat, tapi segera ditahan Cokorde.
"Percayalah, Patih. Pendekar Slebor bukanlah seorang yang mudah menyerah,"
ujar laki-laki tua itu yakin.
Pendapat Cokorde Ida Bagus Tanca
terbukti. Dengan menarik napas
tersengal, Andika bangkit
bersusah-payah. Di atas sepasang kakinya yang masih tergetar, kembali napasnya
diatur untuk mengerahkan hawa murni
dalam tubuh. "Hosss...."
Begh! Buang napas Andika tiba-tiba
terhentak, karena sebuah hantaman tak
berwujud sekali lagi mengganyang
lambungnya. Untuk kedua kalinya,
Pendekar Slebor terlempar seperti
ranting kering disapu topan. Dia jatuh ke tanah, lebih jauh dari sebelumnya.
Kali ini Andika tak memuntahkan
darah Beruntung sekali, pada saat
pukulan, tak berwujud dari lawannya
datang, Pendekar Slebor sedang berada
mengerahkan tenaga saktinya.
Pemuda keras kepala itu mencoba
bangkit lagi. Tak diperhatikan lagi rasa sesakyang nyaris memutus napasnya.
Seluruh otot perutnya menegang, mencoba memadamkan siksaan sakit luar biasa.
Butiran peluh merembes keluar,
membanjiri tubuh dan pakaiannya.
"Huarrr... huar... huargh!"
Terdengar tawa Ki Rawe Rontek.
Sementara, tubuhnya tetap tersembunyi
dari pandangan setiap mata.
Pada waktu yang sama, Andika sedang
memutar otak dalam gelombang rasa sakit.
Dia berjuang agar daya pikirnya
terkuasai, sehingga bisa menemukan jalan keluar untuk mengecoh. Sudah bisa
dipastikan, Pendekar Slebor tak akan
mendapat kemenangan kalau terus melayani ilmu hitam Ki Rawe Rontek, tanpa
mengetahui kunci kelemahannya. Untuk
saat ini, menyelamatkan diri dari
kebuasan lawan rasanya sudah cukup.
Rasa sakit menyiksa Andika.
Akhirnya pikirannya bisa dijernihkan.
Kecerdikannya pun muncul ke permukaan.
Dia menemukan akal" Dengan serta merta, tubuhnya berbalik menghadap Cokorde Ida
Bagus Tanca. "Paduka! Cepat berikan padaku
salinan naskah daun lontar yang
diberikan Ki Lantanggeni padamu!" teriak Andika, serak bersama kedipan mata
sebagai isyarat
Mulanya Cokorde tak paham maksud
Andika. Namun karena jaraknya cukup
dekat, dia menangkap kerdipan mata
Andika. Dia cepat tanggap siasat yang dijalankan si Pendekar Muda ini. Andika
pasti hendak menipu agar lawan
menyingkir tanpa harus membuang-buang
tenaga lebih banyak. Untuk itu, dia harus
segera mendapatkan sesuatu yang bisa
membuat Ki Rawe Rontek menyangka kalau itu adalah salinan naskah gulungan
lontar. Maka dengan serta merta
dilepaskannya kain hitam di pinggangnya.
"Andika, tangkap!"
Kain hitam panjang yang sesung-
guhnya tak pernah ditulisi salinan
naskah gulungan lontar itu melayang di udara, menggelepar menembus tiupan
angin. Hal inilah yang diharapkan
Andika. Dengan begitu, Ki Rawe Rontek
tentu menyangka kalau kain itu berisi
salinan rahasia kelemahan ilmu hitamnya.
Andika segera siaga, menanti kain
itu disambar lawan tak terlihat.
Sret! Kain Cokorde terlihat berubah arah.
Saat itulah Andika berteriak sepenuh
tenaga. Tubuhnya langsung meluncur
deras, menyusul perubahan arah kain.
Dalam waktu yang demikian singkat,
tangannya memutar. Ketika kain yang
dilemparkan Cokorde terlihat berubah
arah, saat itulah Andika menyusul
perubahan arahnya sambil melepas kain
pusakanya. "Yeaaar Sret! Tas! Kain pusaka itu kontan terbentang
lurus, bagai samurai lebar yang menebas benda tak berwujud. lepas kain pusaka
dari bahu. "Yeaaa!"
Sret! Tas! Kain pusaka itu kontan terbentang
lurus, bagai sebilah samurai lebar untuk menebas sesuatu di udara.
Buk! Terdengar dentam sesosok tubuh
jatuh menimpa tanah. Tak lama kemudian, Ki Rawe Rontek terlihat kembali. Tangan
kanannya sudah tak ada lagi, hingga batas siku. Berbarengan dengan penampakan
tubuhnya, potongan tangan lelaki itu pun terlihat. Tergolek jauh empat belas
depa darinya. "Aaargh! Thungghu pembhalashanku!"
ancamnya. Peristiwa aneh terulang
lagi. Potongan tangan datuk sesat itu mendadak saja bergerak-gerak, seperti bergeliat.
Saat selanjutnya potongan tangan itu
terseret di permukaan tanah mendekati
pemiliknya. Lalu seperti tak pernah
terluka, tangan itu menyatu kembali.
Yang tersisa hanya darah di tangan lelaki itu.
Ki Rawe Rontek pergi. Menyingkir,
seperti harapan Andika. Bukan karena
Andika berhasil melukainya. Tapi, karena pendekar muda itu memegang kain hitam
milik Cokorde yang dikiranya salinan
tulisan di daun lontar.
*** 7 Sejak Andika menyatakan kalau hanya
ingin bersahabat, Idayu Wayan Laksmi
kini mulai mencoba membuka diri untuk
Yaksa. Gadis itu baru sadar betapa
bodohnya telah menyangka Andika jatuh
hati padanya. Dia mabuk terhadap sikap manis pemuda yang tak hanya gagah, tapi
juga tampan itu. Semestinya dia tahu
kalau sikap manis tidak selalu berarti cinta. Rupanya cinta dari dirinya
sendirilah yang membutakan mata hatinya selama ini. Untunglah, Andika tak


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlambat memberi pernyataan. Kalau
tidak, tentu gadis itu akan mengalami
kekecewaan mendalam.
Kebutaan mata batin akibat kasmaran
pada Andika itu pula yang menyebabkan
Idayu Wayan Laksmi mengacuhkan cinta
seseorang. Cinta milik Yaksa. Selama ini dia merasa telah menelantarkan sebutir
mutiara hati milik Yaksa yang hendak
dipersembahkan padanya.
Senja ini, Idayu Wayan Laksmi duduk
menyapa bayu sejuk di anak tangga
gubuknya. Semalam, Yaksa datang
berkunjung. Pemuda itu memberanikan diri untuk mengungkapkan cinta padanya. Saat
itu, Idayu Wayan Laksmi diam saja. Dalam hati, gadis itu menilai kalau pemuda
itu cukup tampan. Dan dari pembicaraan bisa sedikit dinilai kalau pribadinya
cukup baik. Yaksa berjanji akan kembali lagi
senja ini. Entah kenapa, Idayu Wayan
Laksmi menjadi agak berharap. Sempat
terpikir olehnya kalau harapan yang
terpercik untuk Yaksa hanya sekadar
untuk menghibur diri dari kekecewaan
yang dialami saat ini. Namun pikiran itu segera saja ditepisnya. Dia hendak
mencoba mencintai Yaksa. Toh, dia memang pantas dicintai"
"Sore, Laksmi...," sapa Yaksa.
Pemuda itu baru saja tiba di dekat
tangga gubuk, tanpa diketahui Idayu
Wayan Laksmi. Maklum gadis itu sedang
melamun. "Oh, Beli Yaksa," sambut Idayu Wayan Laksmi, agak terkejut.
"Kau sedang menungguku atau
menunggu seorang pemuda tampan yang
sering kulihat menginap di gubukmu?"
tanya Yaksa. Idayu Wayan Laksmi tersipu.
Wajahnya berubah merona menggemaskan.
"Tadi Beli menyebut-nyebut seorang pemuda?" Idayu Wayan Laksmi balik bertanya.
berusaha mengikis kerikuhan.
"Ya, memang. Apa benar?"
"Benar apa, Beli"
"Kau sedang menunggu pemuda itu" Dia kekasihmu?" cecar Yaksa menggoda, namun
berkesan menyudutkan.
" Beli Andika maksudmu?"
"Andika?" sentak Yaksa agak
terkejut. Pemuda itu langsung teringat pada
nama seseorang yang tertulis di kayu
bekas dinding gubuk gurunya.
"Jadi, dialah orang yang Guru
maksudkan?" gumam Yaksa perlahan sekali dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi sempat menangkap
gumaman Yaksa. "Kenapa, Beli?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa...,"
kilah Yaksa tersadar. "Apa dia
kekasihmu?"
Idayu Wayan Laksmi merunduk.
Pandangannya langsung jatuh pada
lembar-lembar rumput di sisi dasar
tangga. "Bukan," jawab gadis itu lirih.
"Ah, syukurlah.... Kukira dia
kekasihmu. Sebab sikapmu tampak begitu manja...," tutur Yaksa.
"Aku manja, karena dia kuanggap
sebagai kakakku. Kau kan tahu aku tak memiliki kakak...," jelas Idayu Wayan
Laksmi berdusta.
Tentu saja, Idayu Wayan Laksmi tak
berani mengadukan mata pada mata pemuda di sisinya, karena takut kalau
kebohongannya terbaca. Mata memang sulit berbohong.
"Hey" Dari mana Beli tahu kalau Mbokku suka bermanja-manja dengan Beli Andika"!"
Tiba-tiba saja I Ktut Regeg menyelak
dari mulut pintu. Rupanya, anak muda
tanggung itu nguping sejak tadi. Dasar brengsek!
Yaksa terkejut.
"Eee, dari mana ya...?" kata pemuda itu bingung sendiri.
"Nah, Mbok. Ini dia orangnya yang suka mengintip-intip rumah kita!" tuding I
Ktut Regeg tanpa tedeng aling. "Untung saja dia termasuk kebal 'bintit'. Kalau
tidak, tentu matanya sudah dijejali
'bintit-bintit'. Ha ha ha...!"
Tawa I Ktut Regeg langsung meledak.
"I Ktut Regeg!" bentak Idayu Wayan Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi memang sering
kali jengkel dengan sikap adiknya yang berbicara seenak perut sendiri.
"Mbokl" I Ktut Regeg malah balik membentak. Setelah itu, tertawa lagi.
Idayu Wayan Laksmi jadi tak sabar.
Di tangannya kebetulan ada sisir kayu
berujung runcing. Sebelum bertemu Yaksa, rambutnya memang sempat ditata sedikit.
Dengan sisir itu, disodoknya I Ktut Regeg di belakang. Maksudnya, ingin menyodok
bahu anak itu. Tapi karena I Ktut Regeg bangun mendadak, yang menjadi sasaran
justru kantung menyannya.
"Adaouw.... Adaouw!" I Ktut Regeg berjingkat-jingkat ke sana kemari dengan mulut
meringis. "Mbok keterlaluan! Kalau nanti tidak ada perempuan yang mau
padaku, Mbok akan kusalahkan."
Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik
besar. Omongan I Ktut Regeg sudah kelewat batas. Tangannya cepat bergerak,
hendak menyodokan lagi ujung sisir ke kaki anak itu.
"Eee! Maksudku, Mbok tolong doakan agar aku jadi ganteng! Kalau tidak
didoakan, berarti tidak ada lagi
perempuan yang mau"!" dalih anak muda tanggung ini.
*** "Tuan Andika!"
Seorang prajurit mendatangi Andika
yang sedang menjalani perawatan dari
seorang tabib istana di sebuah kamar
khusus. "Ada apa, Beli?" tanya Andika hormat.
"Paduka, Cokorde menyuruh hamba
menyampaikan ini pada Tuan...," si Prajurit segera mengangsurkan sehelai
kain. "Hamba menemukan itu tanpa sengaja di sebuah sungai."
Andika membuka lipatan kain yang
ternyata berupa surat. Masih tampak
basah. Dan tulisannya sudah agak
mengabur, karena luntur. Ketika surat
itu dibaca, sepasang alis sayap elang
anak muda itu menyatu rapat.
"Hamba pamit dulu, Tuan Andika!"
hatur si Prajurit.
"O, ya! Terima kasih, Belil" sahut Andika. Sepeninggalan prajurit tadi,
pikiran Andika kembali tertuju pada
surat dari kain di tangannya.
Ki Rawe Rontek....
Jika. kau ingin menemukan Ki
Lantanggeni, datanglah ke lembah
tersembunyi di sebelah timur Gunung Agung. Di sanalah lelaki tua itu
bersembunyi... Begitu isi surat itu. Tanpa ada
tertanda dari si Pengirim.
Andika tidak bisa menduga, siapa
orang itu. Hanya yang diketahuinya,
orang itu pula yang telah memberitahu-
kannya melalui surat yang diikat pada
pisau terbang tentang maksud kedatangan Ki Rawe Rontek ke istana yang ingin
merebut kekuasaan. Memang, Pendekar
Slebor amat hafal betul dengan gaya
tulisannya. "Pantas saja Ki Lantanggeni dengan mudah bisa ditemui...," bisik Andika.
"Tanpa surat ini, perlu waktu
berbulan-bulan untuk menemukan Ki
Lantanggeni di tempat terpencil seperti itu...."
Andika menerawang sesaat.
Ingatannya kembali pada lelaki tua itu.
"Kasihan Ki Lantanggeni...," desah Pendekar Slebor.
Tak begitu lama kemudian, Cokorde
masuk "Bagaimana menurutmu, Andika" Apa surat kain itu ada hubungannya dengan
kematian Ki Lantanggeni?" tanya Raja Buleleng ini.
Cokorde Ida Bagus Tanca tahu tentang
kematian sahabat istana itu dari Andika.
Dia begitu kehilangan seorang ksatria
yang sering menjadi kawan bertukar
pikiran. Karena akrabnya, Cokorde lebih suka menyebut Ki Lantanggeni sebagai
sahabat. Untuk menghormati jenazahnya, sengaja Cokorde mendatangi kuburan
almarhum, beserta beberapa petinggi
kerajaan. Sewaktu Andika bertanya, kenapa
mayat Ki Lantanggeni tidak dibakar
seperti layaknya orang Bali dalam
upacara Ngaben, Cokorde menjelaskan
kalau sebenarnya Ki Lantanggeni bukan
asli Bali. Dia berasal dari Tanah Jawa Dwipa, dan mengasingkan diri di pulau
kecil ini. "Jelas surat ini memang ada
hubungannya dengan kematian Ki
Lantanggeni," sahut Andika, menjawab pertanyaan Cokorde tadi.
"Pantas, beliau begitu mudah
didatangi Ki Rawe Rontek," gumam Cokorde seperti pendapat Andika juga.
"Apakah kau sudah bisa
menerka-nerka, siapa si Pembuat Surat
ini?" tanya Cokorde lebih lanjut. Andika menggeleng.
"Entahlah, Paduka. Untuk itu aku
masih belum jelas. Ada hal yang
membingungkan dalam perkara ini," kata Andika.
"Apa?"
"Apa Paduka tak heran sewaktu
kedatanganku , tepat pada saat Ki Rawe Rontek juga mendatangi istana?"
"Ya, kenapa bisa begitu?"
"Sebelumnya, aku memang diberitahu seseorang melalui surat bahwa datuk
sesat itu akan mencoba menguasai
Kerajaan Buleleng. Paduka tahu, tulisan pada surat ini sama persis dengan
tulisan dalam surat ini" Bahkan ditulis di atas kain yang sebenarnya tak
lazim...,"
papar Andika. Cokorde Ida Bagus Tanca
mengangguk-angguk di bibir tempat tidur perawatan Andika. Dia duduk tepat di
samping pemuda itu. Seolah, tak ada lagi jurang pemisah antara seorang raja
dengan rakyat biasa, seperti Andika.
"Kalau surat-surat itu memang benar ditulis oleh satu orang, kenapa dia
mencoba memperingati akan bahaya niat Ki Rawe Rontek yang ingin merebut
kekuasaan kerajaan ini. Sementara di lain sisi, dia justru menuntun Ki Rawe
Rontek untuk bisa menemukan Ki Lantanggeni dan
membunuhnya. Itukah yang membingungkan maksudmu?" duga lelaki berwibawa itu.
"Tepat sekali, Paduka!" "Apa mungkin...."
Ucapan Cokorde terpenggal seketika.
Tapi, tiba-tiba saja Andika menyergap
dari samping. "Awas Paduka!" seru Pendekar Slebor.
Mendadak berkelebat sebuah benda
berkilatan ke arah tempat Cokorde duduk, sebelum disergap Andika.
Sing! Jlep! Sebilah pisau terbang luput
memangsa punggung Cokorde. Lalu,
menjadikan bingkai sebuah lukisan
sebagai sasaran. Tentu saja Cokorde
murka. Dia bangkit dengan wajah merah
matang dan berjalan ke arah jendela.
"Pengawal! Tangkap orang yang
menyusup ke istana ini!" perintah Raja Buleleng ini dari jendela yang menjadi
jalan masuk pisau terbang barusan.
Memang ruang perawatan Andika
berbatasan dengan taman samping istana yang luas. Untuk
ruang khusus orang-orang sakit dan terluka, sudah
pasti dilengkapi jendela-jendela besar agar udara segar dari taman bisa masuk
ruangan. Cokorde hendak beranjak keluar,
namun cepat dicegah Andika.
"Tak perlu, Paduka! Tampaknya pisau terbang ini tak dimaksudkan untuk
membunuh Paduka...."
Pendekar Slebor segera bangkit,
langsung menghampiri pisau terbang itu.
Lalu dicabutnya pisau dari pigura
lukisan. Persis seperti bentuk pisau terbang
yang menghujam gundukan tanah makam Ki Lantanggeni, pisau terbang kali ini pun
berbentuk lempeng baja bergagang bambu kuning. Di lempengannya, terikat kain
yang warnanya sama dengan kain di pisau terbang terdahulu.
Andika segera melepas kain itu.
Dugaannya tak meleset. Kain itu memang sebuah surat.
Kalau kau ingin menemui datuk sesat
itu, pergilah ke Kotapraja Kerajaan
Tabanan! "Dari si Pengirim yang sama dengan surat-surat terdahulu," kata Andika ketika
melihat Cokorde bersinar penuh
tanya. *** Keesokan harinya, setelah
kesehatannya terasa telah pulih benar, Andika secepatnya minta izin Cokorde
untuk berangkat ke Tabanan. Untuk
sementara dia akan mengikuti isi surat dari pengirim yang tak jelas itu Dengan
begitu, diharapkan bisa membongkar
maksud sesungguhnya orang itu. Entah
lawan, entah pula kawan
Sebelum tengah hari, Andika sudah
tiba di Kotapraja Kerajaan Tabanan.
Layaknya kota besar kerajaan, wilayah
itu cukup ramai. Orang-orang menjalani kegiatan masing-masing, untuk mengais
nafkah sehari-hari.
Lama juga Andika berkeliling
keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor tiba di suatu daerah
yang cukup ramai, karena di sana tampaknya


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai jantung Kotapraja Kerajaan
Tabanan. Tatkala melintasi sebuah kedai,
telinga Andika menangkap pembicaraan
menarik tiga lelaki di dalamnya. Salah satu dari orang itu menyebut-nyebut
tentang orang asing yang datang ke kota ini.
Dan Andika pun memutuskan untuk
mencari-tahu tentang orang asing itu
dari mereka. Segera dimasukinya kedai
ini. Hitung-hitung sekalian mengisi
perut, karena memang sudah waktunya
makan siang. Dari seorang pelayan muda yang sigap
menyambutnya, Pendekar Slebor memesah makanan. Sepeninggalan
pelayan, dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di sudut dekat pintu masuk kedai.
" Beli sekalian. Bisakah aku
bertanya sedikit tentang orang asing
yang sedang kalian bicarakan," sapa Andika seramah mungkin.
Ketiga lelaki itu kontan terkejut
mendapat sapaan Andika. Wajah mereka
melepas kesan ketakutan, walaupun
teguran Andika sudah amat ramah.
"Maaf jika aku menyelak. Kalau tak salah Beli-Beli ini sedang membicarakan
seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi, mencoba menegaskan pertanyaan. "Bisakah
kalian menggambarkan penampilan orang
asing itu?"
Tak ada jawaban untuk Andika. Tak
seperti sifat ramah orang Bali, mereka tak menggubris pertanyaan Andika. Malah
mereka bangkit tergesa-gesa,
meninggalkan kedai dengan wajah pucat.
"Tunggu, Beli". tahan Andika.
Seruan Andika malah membuat mereka
melangkah lebih cepat, seperti baru saja melihat hantu di siang bolong.
"Aneh...," desah Andika, tak mengerti. "Tampaknya ada sesuatu yang membuat
mereka begitu takut...."
"Tuan...," tegur
pelayan di belakangnya. Andika menoleh.
"Makanan telah siap di meja," kata pelayan muda itu memberitahu.
Andika menganggukbersama seulas
senyum sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dihampirinya meja makan yang
sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk
sementara, dilupakannya dulu persoalan Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap,
disantapnya makanan di meja.
*** "Pelayan!" panggil Andika.
Pelayan muda tadi cepat menghampiri
Pendekar Slebor.
"Aku telah selesai," kata Andika memberitahu.
Si Pelayan mengangguk, lalu mulai
membenahi bekas makan Andika. Sebelum
dia beranjak mengangkut piring-piring ke dalam, Andika cepat menahannya.
"Maaf, Beli. Boleh aku sedikit bertanya padamu?" cetus Andika.
Si Pelayan mengangguk. "Silakan,
Tuan...." "Apakah beberapa hari belakangan
ada orang asing memasuki kota ini?" tanya Andika langsung, ke pokok
permasalahan. Sama seperti ketiga lelaki tadi, si
Pelayan pun menampakkan ketakutan di
wajahnya. Namun, tak sama dengan ketiga lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya
lebih punya nyali. Setelah melirik kian kemari, didekatinya telinga Andika.
"Benar. Tuan. Sejak kedatangan
orang asing itu, sudah tiga belas orang terbunuh secara keji. Mereka rata-rata
adalah para pengawal pribadi orang-orang yang berkuasa di sini...," bisik
pelayan muda ini.
Wajah Andika berkerut. Rasanya dia
belum begitu jelas dengan keterangan
pelayan ini. " Beli bisa menggambarkan ciri-ciri orang asing yang telah membunuh para
pengawal itu?" tanya Pendekar Slebor.
Si Pelayan Muda melirik ke luar
kedai. Dan matanya melihat sesuatu di
sana. Itu tampak dari sinar matanya yang menegang.
"Lebih baik Tuan mencari tahu dari orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini
lagi lebih samar.
Andika melirik keluar, mengikuti
pandangan si Pelayan. Tampak empat orang berperawakan kekar sedang menggotong
tandu mewah yang tertutup rapat kain
mewah bersulam.
"Terima kasih Beli," ucap Andika seraya menepuk bahu si Pelayan.
Pendekar Slebor membayar seluruh
makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru saja kakinya bergerak empat langkah...
Sing! Seketika terdengar desiran halus
menyambar dari arah depan.
"Haih!"
Tanpa kesulitan, Pendekar Slebor
langsung bergeser ke kanan dan cepat
menangkap sebatang pisau terbang yang
hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi
sebilah pisau terbang yang sama seperti dengan yang didapat terdahulu. Tanpa
bermaksud hendak membaca pesan yang
terlipat pada pisau terbang, Andika
bergegas menyusul rombongan orang
bertandu tadi. Di luar, Pendekar Slebor melihat
tandu berhenti. Keempat pengusungnya
segera menurunkan kenda-raan mewah yang
biasa dipakai para penguasa itu. Dari
dalamnya, keluar seorang laki-laki
berperawakan besar. Tak seperti
bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan kemeja sutera hitam berlapis tanpa
kancing dan kerah. Pinggangnya dililit kain batik yang menutup sebagian celana
panjang hitam, sebatas lutut berujung
sulaman benang warna emas.
Andika nyaris pangling pada lelaki
itu, kalau saja tak sungguh-sungguh
memperhatikan wajah.
"Ki Rawe Rontek!" desis Pendekar Slebor.
Penampilan tokoh yang semula bagai
mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di lehernya sudah tidak tampak lagi bekas
luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini
sudah bebas dari jamur-jamur yang
menjijikkan. Kini, buruan Pendekar Slebor telah
ditemukan. Tapi tanpa mengetahui
kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak bisa berbuat banyak.
"Entah apa
yang hendak direncanakannya," bisik Andika di tempat pengintaian.
*** 8 Kerik jangkrik mengisyaratkan hari
untuk segera meredup. Senja pun
tercecer. Malam pun datang merambat.
Gubuk besar milik Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-
lampu minyak kecil. Di dalamnya, dua insan
berbeda jenis yang telah lama duduk
berbincang sejak senja menjelang, saling menatap tanpa kedip. Mereka adalah
Idayu Wayan Laksmi dan Yaksa.
Rasanya, setelah beberapa kali
dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi
mulai menemukan benih-benih cinta yang merambah hatinya. Secara jujur diakui,
Yaksa memang memiliki kharisma
tersendiri yang sanggup melumpuhkan
hatinya. Dia memang tak setampan Andika.
Namun, memiliki pesona.
Untuk adat orang timur, duduk berdua
di malam seperti itu sebenarnya tabu.
Tapi entah kenapa, pautan perasaan
mereka berdua menyingkirkan ketabuan
itu. Lekatnya tatapan sepasang mata
masing-masing memang menghanyutkan.
Sadar tak sadar, Yaksa mendekatkan
wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi.
Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi jadi
merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke belakang. Tapi Yaksa tak memperhatikan
kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya disorongkan. Sampai akhirnya....
Cup! Yaksa berhasil mengecup.... Tapi,
astaga! Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi yang tersentuh bibirnya. Ternyata hanya
kepala ekor ayam jantan yang sudah babak belur di sana sini.
"Keok!"
Yaksa tersentak.
"Hua ha ha...!"
Terdengar tawa meriah seorang anak
muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek"!
"Nah, Merah! Kemenanganmu tadi sore telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra
dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg pada ayam jantan di tangannya.
Yaksa sendiri kini kelimpungan
membersihkan bibir. Tak disangka tak
diduga, kalau hari ini dia tertimpa
'musibah' seperti itu.
"Kalau hanya mencium ayam jantan, tak akan tabu!" tukas I Ktut Regeg sambil
melangkah santai ke ruang dalam.
Dan baru saja I Ktut Regeg
menghilang, terdengar sebuah suara.
"Malam...."
Andika muncul di pintu masuk.
Pendekar Slebor baru saja tiba dari
Kerajaan Buleleng, setelah mela-porkan hasil penyelidikannya.
"Oh! Beli Andika," sambut Idayu Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu
tertangkap basah oleh Andika.
"Aha, pemuda kita rupanya!" ujar Andika, saat melihat Yaksa.
Yaksa langsung berdiri, mendekati
Andika. Mengingat kemarahan Yaksa
sewaktu di sisi makam Ki Lantanggeni
dulu, Pendekar Slebor jadi curiga.
Jangan-jangan, dia masih penasaran akan memukulnya. Tapi sesampainya di depan
Andika, pemuda itu malah menjura
dalam-dalam. "Tuan Pendekar, maafkan atas
kelancanganku dulu. Sungguh aku tak
pernah menduga kalau Tuan adalah sahabat guruku," tutur Yaksa hormat.
Andika tertawa. Dia jadi mengumpat
kebodohannya yang telah menduga
tidak-tidak pada Yaksa.
"Ah! Penghormatan seperti itu tak pantas kau tujukan untukku," kilah Pendekar
Slebor. "Toh, usia kita
sebenarnya tak jauh berbeda...."
"Tapi, Tuan...."
"Andika! Panggil aku Andika saja."
"Tapi, ng.... Tuan Pendekar,
sebelum meninggal guruku berpesan agar aku memohon pada Tuan untuk meminta
beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa menyebut nama Andika begitu saja.
Andika menarik napas. Kepalanya
menggeleng-geleng.
"Kalau kau tetap memanggilku Tuan Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi
menurunkan padamu beberapa jurus
milikku," tegas Pendekar Slebor.
Yaksa mengangkat kepala hati-hati.
"Dan hentikan sikapmu membungkuk
seperti kakek peot!" bentak Andika.
Seketika disabetnya kepala Yaksa dengan lembaran lontar di tangannya. Setelah
itu dia ngeloyor ke dalam sambil
mengupat-ngumpat.
Di dalam, Andika membuka lembaran
lontar yang didapat dari pisau terbang di Kotapraja Kerajaan Tabanan. Dia yakin,
lembaran itu adalah sobekan halaman
kitab ilmu hitam milik Ki Lantanggeni
yang telah dicuri seseorang. Cokorde
juga yakin, begitu Andika
memperlihatkannya.
Sayang, lembaran lontar itu
bertuliskan huruf-huruf
Pegon yang mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak satu dua abad lalu. Sementara waktu
Andika minta tolong pada Cokorde yang
mungkin memiliki seorang ahli bahasa,
Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli bahasa satu-satunya yang dimiliki telah
wafat setahun lalu. Dan mereka sampai
kini belum memiliki penggantinya.
" Beli Andika," tegur I Ktut Regeg.
"Anak muda tanggung itu tahu-tahu sudah berdiri di pintu kamar.
"Sedang apa?" tanya I Ktut Regeg mau tahu urusan orang.
"Jangan usil!" hardik Andika.
"Jangan sok menutup diri!" balas I Ktut Regeg.
Kaki pemuda tanggung itu melangkah,
mendekati Andika.
"Apa itu"!" tanya I Ktut Regeg lagi, makin menjadi keusilannya begitu sudah
dekat. Andika melipat lembaran lontar.
"Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit!"
maki Pendekar Slebor, setengah bergurau.
I Ktut Regeg mengangkat bahu.
"Ya, sudah. Aku juga tidak untung melihat lembaran lontar lusuh itu,"
sungut anak muda tanggung itu. Dia
berbalik, melangkah keluar.
"Hanya aku dulu memang suka membaca naskah-naskah kuno kalau sedang iseng."
"Hei, tunggu!" tahan Andika.
"Apa katamu tadi?"
"Dulu, aku sering membaca
naskah-naskah kuno milik ayahku.
Kadang-kadang aku juga membantu Ayah
menerjemahkan naskah kuno...."
"Naskah-nakah milik kerajaan"!"


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sela Andika. "Lho, dari mana Beli tahu?"
"Siapa nama ayahmu?"
"I Made Tantra. Memangnya kenapa?"
Andika menepuk keningnya
keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa yang disebut Cokorde tadi. Memang, nama
I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu itu.
"Jadi, kau anak dari I Made Tantra"
Ahli bahasa kerajaan?"
I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.
"Ayahku memang tidak ingin
memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi
jabatan membuat anak-anaknya menjadi
sombong. Makanya, dia tak pernah
bercerita pada Cokorde kalau punya
anak," tutur I Ktut Regeg.
"Bagus!" sentak Andika.
"Bagus apanya?"
"Kalau begitu, kau harus
menolongku! ujar Pendekar Slebor,
langsung menarik anak kurus itu ke sisi balai-balai bambu.
"Duduklah. Coba kau terjemahkan
lembaran-lembaran lontar ini!"
Andika cepat menyerahkan lembaran
lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda tanggung itu membukanya dengan santai,
merasa menang karena sedang dibutuhkan oleh seorang pendekar besar seperti
Andika. Tak lama kemudian kepalanya
tampak mengangguk-angguk sok tahu.
"Yem, mmh...mmm...emm. Sus sus
memem...," gumam I Ktut Regeg,
menyebalkan. "Hei"! Jangan membaca bergumam
seperti jampi-jampi dukun!" bentak Andika. "Percuma saja aku menyuruhmu
membaca!" I Ktut Regeg melotot.
"Sabar dulu, dong!" balas pemuda tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan
lagi membacanya sampai kedua lembaran
lontar itu selesai.
"Jadi, apa isinya?" tanya Andika bersemangat.
Mata I Ktut Regeg menyipit. Lagaknya
sudah seperti petinggi kerajaan.
"Menurut dua lembaran lontar ini, ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe
Rontek'...."
"Yang itu aku sudah tahu!" jegal Andika. "Apa di situ ada rahasia
kelemahan ilmu 'Rawe Rontek'?"
"Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua lembaran lontar ini, ilmu hitam itu bisa
dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik Ilmu dengan bumi...," papar I Ktut
Regeg. Andika memukul telapak tangan
dengan tinjunya sendiri.
"Jadi itu rahasia kelemahan ilmu
Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor.
"Lalu, apa lagi penjelasan tentang ilmu hitam selain 'Rawe Rontek'?"
"Menurut...."
"Menurut dua lembar lontar ini! Ah!
Aku bosan dengan basa-basi itu! Katakan saja langsung, apa saja isinya yang
lain!" I Ktut Regeg menatap Andika dengan
sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia ingin mengatakan bila Andika tak
berhenti mengomel, lembaran lontar itu akan ditinggalkannya.
"Baik..., baik. Aku tidak akan
membentak-bentak lagi," bujuk Andika, melihat gelagat buruk I Ktut Regeg.
Akhirnya I Ktut Regeg mau juga
melanjutkan. "Ada yang aneh, Beli...,ucap I Ktut Regeg, sesaat berikutnya.
"Apa?"
"Di lembaran pertama, dijelaskan tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk
'Rawe Rontek'. Tapi, di lembaran, yang
satunya kenapa hanya ada penjelasan
mengenai rahasia ilmu 'Rawe Rontek'
saja...?" "Jadi maksudmu ada lembaran yang
hilang?" duga Andika.
"Sepertinya begitu...."
Andika diam. Regeg juga diam. Tapi
pemuda tanggung itu terus memperhatikan Andika yang mengusap-usap dagu dengan
wajah berkerut. Pendekar muda itu sedang berpikir keras. Sesekali kakinya
melangkah mondar-mandir.
"Rasanya aku mulai bisa membaca
maksud orang ini," gumam Pendekar Slebor. "Pertama-tama, dia menuntun Ki Rawe
Rontek dengan suratnya agar Ki
Lantanggeni terbunuh. Pada saat Ki
Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu, tentu lembaran lontar itu dicuri. Lalu,
aku dijadikan kambing hitam untuk
menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan
memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe
Rontek' padaku, orang itu berharap aku bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang
kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe Rontek mati, dia akan mencari kuburannya
lagi, dan mencoba menghidupkannya
kembali...."
"Tapi apa untungnya buat dia?" sela I Ktut Regeg
"Tentu saja sebagai orang yang
berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan menolak permintaan orang itu. Yakni,
mengajarkan cara-cara mendapatkan
ilmu-ilmu hitam...."
"Tapi akan percuma saja ilmu hitam itu, sebab rahasianya sudah terbongkar dengan
adanya lembaran lontar ini,"
sergah I Ktut Regeg, makin sok pintar.
"Tidak! Tidak semua rahasia ilmu
hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang kita tahu rahasia kelemahannya.
Sedangkan rahasia ilmu hitam lain berada di lembaran yang kurang itu. Dan sudah
pasti orang itu menahannya. Agar jika
ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe
Rontek benar-benar dikuasainya nanti,
dia akan menjadi tak tertandingi," papar Andika makin yakin.
" Beli tahu siapa kira-kira orang itu?"
Andika mengangguk mantap.
"Rasanya, aku tahu orang itu,
Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar Slebor, amat pelan.
"O, iya! Aku hampir saja lupa,"
cetus I Ktut Regeg tiba-tiba. "Orang bertopi keranjang yang dulu mencari peti
berukir, menitip pesan buat Beli."
Ucapan I Ktut Regeg benar-benar
menyentak Andika.
"Apa katanya?"
"Katanya, dia akan kembali lagi,"
tutur I Ktut Regeg menyampaikan pesan
yang diterima dari orang yang tak lain dari Lalinggi.
Untuk ke dua kalinya, Andika meninju
telapak tangan sendiri.
"Sekakang semuanya jadi benar-benar jelas," desis Pendekar Slebor seraya
menyipitkan mata.
*** 9 Di luar gubuk Idayu Wayan Laksmi dan
I Ktut Regeg. Seorang utusan Kerajaan
Buleleng datang menemui Andika. Dia
bermaksud mengabarkan hasil kegiatan
memata-matai terhadap gerakan Ki Rawe
Rontek di wilayah Tabanan.
"Jadi, bagaimana?" tanya Andika pada lelaki muda kepercayaan Patih I
Wayan Rama berwajah tegar itu
"Menurut pengamatan hamba,
tampaknya Ki Rawe
Rontek telah mempersiapkan makar terhadap Raja
Tabanan. Setelah berhasil membunuh
seorang saudagar kaya di Kotapraja
Kerajaan Tabanan, begundal-begundal
bayarannya mulai dikumpulkan untuk
membumi hanguskan kekuatan Kerajaan
Tabanan. Sudah tentu dia memanfaatkan
harta si Saudagar, untuk membayar mereka semua," lapor sang Utusan.
"Kau sudah pula melaporkan hal ini pada Patih I Wayan Rama dan Cokorde?"
"Sudah, Tuan Andika."
"Apa tanggapan mereka?"
"Menurut mereka, sebaiknya kita
segera mendahului Ki Rawe Rontek. Akan sangat berbahaya bagi Kerajaan Buleleng
bila datuk sesat itu menguasai Kerajaan Tabanan. Itu artinya akan terjadi perang
antara kerajaan, yang bakal
menyengsarakan rakyat tak berdosa."
Pendekar Slebor melepas napas.
Matanya menerawang. Pemuda itu sedang
menimbang-nimbang pendapat Patih I Wayan Rama dan Cokorde yang didengar dari
sang Utusan ini. Sebenarnya dia pun
berpikiran sama. Tapi, masih ada
ganjalan yang membuatnya bimbang.
Pendekar Slebor masih belum tahu,
bagaimana cara menghadapi Ki Rawe Rontek jika sudah mengeluarkan ilmu
menghilang. Dan menurut lembaran lontar, ilmu itu
bernama 'Halimunan'. Sedangkan daun
lontar itu hanya memberi gambaran
singkat tentang ilmu hitam yang
dimaksud. Untuk rahasia kelemahannya,
sudah pasti ada di lembaran yang hilang.
Cukup lama Andika menimbang. Sampai
akhirnya, mengutuki diri sendiri karena begitu bimbang untuk segera memerangi
kebatilannya hanya karena satu ilmu
hitam yang dulu sempat mengecohkan,
bahkan hendak merenggut nyawanya. Toh, nyawa ada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan
masih menghendaki nyawanya tetap
bersemayam di badan, siapa yang akan
sanggup membunuhnya" Lagi pula, dia
yakin, pasti ada satu cara lain untuk
melumpuhkan ilmu 'Halimunan'.
"Kalau begitu, cepat sampaikan pada Cokorde. Kita akan segera bergerak!"
putus Andika akhirnya.
"Kalau begitu, hamba mohon pamit!"
ucap sang Utusan.
*** Keesokan harinya, Andika sudah
berada di Istana Kerajaan Buleleng.
Cokorde, Patih I Wayan Rama, dan beberapa orang prajurit pilihan pun sudah
bersiap dengan senjata lengkap untuk membuka.
Cokorde ditemui Andika di ruang
pribadinya. Jarang orang bisa mendapat kesempatan untuk memasuki kamar pribadi
Cokorde tersebut. Tapi untuk Andika,
Cokorde memberikan pengecualian. Meski begitu, tak pernah terbetik di hati
Andika perasaan bangga karena telah
diistimewakan. "Apa kita telah siap, Paduka?" tanya Andika pada Cokorde Ida Bagus Tanca yang
sedang duduk menekuni sesuatu di meja
kayu berukir. "Aku harus mempersiapkan surat
untuk Penguasa Tabanan dulu. Kita harus minta izin pada mereka, kalau hendak
memasuki daerahnya. Aku tak ingin
terjadi kesalah pahaman yang bisa
mengakibatkan pertumpahan darah
sia-sia," sahut Cokorde, setelah menoleh sebentar.
"Apakah nantinya tidak akan membuat kecemasan pihak Tabanan, jika tahu
tentang rencana Ki Rawe Rontek yang akan merebut kerajaan?" tanya Andika.
"Tentu saja kita tak akan
menjelaskan pada mereka tujuan
sebenarnya. Kita hanya menjelaskan kalau hendak menangkap seorang buronan
Buleleng. Itu saja. Jadi jangan dikira hanya kau saja yang berotak encer," papar
Raja Buleleng itu di sela tawa yang
meletup kecil. Andika menimpali tawa lelaki bijak
itu. Cokorde lalu merampungkan surat
yang sedang dibuatnya. Pada saat itulah Andika melihat tabung tinta milik
Cokorde. Mendadak saja, dia teringat
pada ilmu 'Halimunan' milik Ki Rawe
Rontek. Dan kecerdikannya, mampu
menangkap manfaat tinta hitam itu dalam menghadapi Ki Rawe Rontek nanti.
"Paduka, apakah persediaan tinta
kerajaan masih cukup banyak?" pinta Andika, begitu Cokorde menyelesaikan
suratnya. Siapa yang tak heran mendengar
pertanyaan aneh Andika tadi" Apa
hubungannya tinta kerajaan dengan
persiapan perang mereka" Begitu
pertanyaan tersembul di hati Cokorde.
Dan matanya pun menatap bingung pada
Andika. "Banyak! Bahkan cukup untuk
persediaan selama sepuluh tahun," kata Cokorde. "Kenapa?"
"Nantilah Paduka tahu. Yang
penting, tolong bawa juga beberapa
tabung tinta untuk perjalanan kita
nanti," tutur Andika, tak peduli pada keheranan membludak Cokorde.
Walaupun masih belum mengerti
tujuan Andika, akhirnya Raja Buleleng
ini mengangguk juga.
Hari itu juga pasukan besar dipimpin
langsung. Cokorde Ida Bagus Tanca
berangkat menuju Tabanan. Untuk
mempersingkat waktu perjalanan, seluruh pasukan dilengkapi kuda. Mereka terdiri
dari lima puluh prajurit pilihan yang gagah, berpakaian prajurit Bali. Lengkap
dengan tombak, tameng, dan golok
panjang. Sebagian membawa panah, karena mereka juga jago bidik kerajaan. Tampak
pula Patih I Wayan Rama yang bertindak sebagai panglima pasukan dan dibantu
seorang patih muda. Tentu saja, tak
ketinggalan adalah Andika.
Derap seluruh kaki kuda di jalan
kering yang hampir bersamaan, membuat
debu berterbangan liar. Suara bergemuruh terbangun, menghentak suasana.


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rombongan besar itu sudah bagai raksasa, siap mengamuk.
*** Sudah sejak tadi rombongan pasukan
Kerajaan Buleleng berangkat ke Kerajaan Tabanan. Dan tanpa diduga Kerajaan
Buleleng kini dihentak oleh puluhan
penyusup berkepandaian tinggi. Mereka
rata-rata adalah para bajingan musuh
rakyat, yang telah dikumpulkan Ki Rawe Rontek selama di Tabanan.
Sungguh suatu pukulan telak bagi
pihak Kerajaan Buleleng. Manakala para prajurit andalan sedang dikerahkan ke
Tabanan, kerajaan justru diserang. Dan sungguh menyedihkan jika rombongan
Cokorde pulang, disambut dengan
gelimpangan mayat prajurit pengawal
istana dan para petingginya.
Hal itu mungkin saja terjadi, karena
serangan para penyusup itu dipimpin
langsung oleh Ki Rawe Rontek sendiri!
Seorang datuk sesat yang tak mungkin
ditandingi para patih istana....
"Heaaa!"
"Gempur!"
Teriakan-teriakan haus darah
orang-orang bayaran Ki Rawe Rontek
menghentak istana. Setelah memanjat
benteng istana tanpa diketahui, mereka menyulut peperangan terbuka. Korban
pertama adalah para petugas jaga.
Kemudian mereka menyerbu bagai air bah ke dalam istana.
Prajurit pengawal istana yang tak
menduga sama sekali serangan itu, jadi kalang-kabut. Mereka tidak gentar,
karena sebagai prajurit sejati memang
tabu bila mesti gentar. Tapi menghadapi serbuan mendadak dari komplotan
berkepandaian tinggi, keberanian mereka jadi sia-sia.
"Hieaaa!"
Crak "Wuaaa!"
Hadangan pasukan pengawal istana
terbabat habis bagai alang-alang, oleh barisan terdepan komplotan Ki Rawe
Rontek. Jika para prajurit bertempur
sebagai kstaria yang rela berkorban
nyawa dengan membela negara, maka
komplotan Ki Rawe Rontek bertempur bagai sekumpulan hewan buas haus darah.
Mereka menggila, karena janji Ki Rawe Rontek
yang akan memberi harta dan kekuasaan
jika Kerajaan Buleleng dapat dikuasai.
Ternyata perkiraan Andika, Cokorde,
maupun Patih I Wayan Rama jauh dari
kebenaran. Ki Rawe Rontek mempersiapkan antek-antek di Tabanan, bukanlah hendak
menguasainyai. Justru dia hendak
melumpuhkan kekuatan Kerajaan Buleleng!
Tapi dari mana Ki Rawe Rontek tahu
kalau Kerajaan Buleleng tengah dalam
keadaan kosong" Tentu saja, itu karena ulah seseorang yang pernah menuntun Ki
Rawe Rontek dengan surat, hingga bisa
menemukan persembunyian Ki Lantanggeni.
Orang itu mengirimi kabar lagi, kalau
tidak ada salinan lontar seperti
dikatakan Andika. Juga dijelaskan
tentang rencana keberangkatan pasukan
Kerajaan Buleleng ke Kerajaan Tabanan di bawah pimpinan Cokorde. Maka, makin
mantaplah niat Ki Rawe Rontek untuk
kembali ke Kerajaan Buleleng, mewujudkan impiannya menguasai kerajaan tersebut!
"Tumpas semua prajurit yang hendak menentang!" seru Ki Rawe Rontek.
Suara tokoh menggiriskan itu kini
sudah jelas terdengar. Tak lagi seperti dulu, saat masih ada sisa luka melingkar
di lehernya. "Hancurkaaan! Kita akan menjadi
kaya dan berkuasa!"
"Hiaaa!"
Bret! Bles! Des!
"Wuaaa!"
Nyawa demi nyawa terlempar dari
raga. Sepuluh nyawa prajurit istana
mungkin hanya terbayar oleh satu nyawa anakbuah Ki Rawe Rontek. Mereka memang,
terlalu tangguh. Darah dan cabikan
daging para prajurit pun menodai wajah bumi.
Pasukan kerajaan bisa musnah bila
terus digasak beringas seperti itu.
Menyadari hal ini, salah seorang
prajurit mencoba menerobos keluar istana dengan kudanya. Begitu berhasil kuda
itu digebah kencang untuk menyusul pasukan Cokorde Namun tak luput, tubuhnya
sempat tersabet golok salah seorang penyerbu.
Kuda prajurit itu terus berlari
kesetanan. Menembus belukar, memotong
padang ilalang, mencoba membuat jalan
pintas. Debu tebal tertinggal di bela-
kang kuda jantan gagah ini. Sementara luka menganga si Prajurit terus
mengeluarkan darah, menetes di sepanjang perjalanan.
Setelah cukup lama berkuda, di jalan
dalam apitan sepasang bukit, si Prajurit akhirnya bisa menyusul rombongan
pasukan Kerajaan Buleleng.
"Paduka, tunggu!" seru prajurit itu terengah.
Seluruh rombongan menoleh. Mereka
menatap kaget pada prajurit yang baru
tiba dalam keadaan menyedihkan. Wajahnya memucat, banyak kehilangan darah.
Bibirnya bergetar seperti juga cuping
hidung yang melepas napas terengah
satu-satu. Di dekat Andika, prajurit itu
terjatuh dari punggung kuda. Andika
segera menangkapnya dengan sigap,
setelah mencelat turun dari kudanya
sendiri. "Uph!"
Dengan hati-hati, Pendekar Slebor
meletakkannya di tanah.
"Apa yang terjadi, Prajurit?" tanya Andika.
"Jangan ke Tabanan.... Ki Rawe
Rontek tak ada lagi di sana.... Dia dan pasukannya kini menyerang istana, dengan
kekuatan penuh. Dan kami ti...."
Kalimat si Prajurit terputus,
bersamaan dengan nyawanya yang melayang.
"Kutu congek! Rupanya kita telah
dikecoh datuk sesat itu!" umpat Andika gusar. Paduka! Lebih baik kita segera
kembali!" Bergegas Pendekar Slebor melangkah
ke punggung kudanya. Dari kantung
pelana, dikeluarkan empat tabung tinta.
"Aku akan kembali lebih dahulu,"
pamit Pendekar Slebor pada Cokorde.
Lalu tanpa menambah kata lagi,
Andika melesat cepat dengan ilmu lari
cepatnya yang sulit tertan-dingi.
Sebentar saja, tubuhnya sudah menghilang di balik bukit, arah kedatangan si
Prajurit tadi. Andika pun tampak akan
melalui jalan pintas.
*** 10 Sejak turun dari Lembah Kutukan,
baru dua kali inilah Andika
menyelesaikan perkara besar yang
menyangkut perebutan kekuasaan satu
kerajaan. Dulu, pertama kali turun ke
dunia persilatan, pendekar sakti ini
harus berhadapan dengan musuh bebuyutan keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang
berjuluk Ki Begal Ireng. Tokoh hitam itu dulu hendak mengangkangi Kerajaan
Sanggabu. la yang ternyata masih ada
hubungan darah dengan Andika sendiri.
Kini Pendekar Slebor harus berhadapan
dengan Ki Rawe Rontek. Baik Begal Ireng maupun Ki Rawe Rontek sama-sama tangguh
dari aliran sesat!
Apakah kali ini Andika juga akan
berhasil" Pertanyaan seperti itu memang tak pernah jadi persoalan buat Andika.
Sebab baginya, perjuangan bukanlah
menang dan kalah. Melainkan persoalan kesungguhan menjalani perjuangan itu
sendiri Siapa pun manusia di dunia ini, tak akan bisa menentukan sejarah seenak
perut. Tuhan akan terus dan tetap
menentukan! Istana Buleleng masih dirancah oleh
suara riuh rendah peperangan dua pihak.
Para prajurit dan para petinggi kerajaan bertarung melawan Ki Rawe Rontek yang
dibantu seluruh antek-anteknya.
Saat ini keadaan pihak istana kian
tersudut. Bahkan dipastikan dapat
dikalahkan secara mengenaskan.
Perlawanan mereka tidak begitu berarti dalam membendung kebuasan gerombolan
lawan. Senjata mereka tak banyak berguna menghadapi senjata haus darah lawan.
Trang! Trang! Bret! "Aaa!"
"Habisiii!"
Di satu sudut pertarungan, Ki Rawe
Rontek berlaga bagai kerasukan.
Terjangannya buas, lebih buas daripada seribusinga lapar. Empat orang patih
kerajaan terdesak seperti kawanan domba menghadapi harimau. Keempat lintang
putang kian kemari, menyelamatkan nyawa tanpa berkesempatan balas menyerang.
Sampai suatu ketika....
"Hiaaa!"
Degh! "Aaakh!"
Amat telak 'Pukulan Peremuk Dalam'
yang baru saja dikerahkan Ki Rawe Rontek untuk menghajar dada seorang patih
termuda. Hanya sempat mengerang pendek, patih muda itu pergi ke akherat. Begitu
mengenaskan. Ketiga patih lain hanya bisa
memandang terpana pada rekan termuda
mereka. Jangan lagi untuk mencoba
menolong. Untuk menggerakkan otot-otot di bahunya saja, mereka begitu sulit.
Pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam'
tampaknya telah memangsa tubuh
ketiganya, menerobos jaringan otot dan menelusup ke tulang sumsum. Sehingga,
mereka menjadi lemas bergetar.
"Huah ha ha...!" Ki Rawe Rontek tergelak angkuh. "Kalian akan menjadi tumbal
ilmuku satu persatu! Tapi kalian kuberi pilihan. Mati, atau menjadi
pengikutku!"
"Jangan dikira kami bisa diancam
seperti itu. Kami bukan pengecut yang takut menghadapi kematian demi
kebenaran!" sahut seorang patih tua lantang. Meski tubuhnya terlihat gontai,
namun tetap menantang gagah.
"Huak... haa... haa... hak! Kalau itu keinginan kalian, maka akan kuhabisi
seluruh patih istana ini! Bagiku,
bukanlah hal yang sulit mencari
pengganti kalian, orang-orang bodoh sok suci!" cemooh Ki Rawe Rontek
menyakitkan. "Jaga mulutmu, Manusia Laknat! Kami tahu kebenaran. Dan kami rela mati
karenanya. Jadi bukan berarti bodoh sok suci!" sergah patih yang lain.
"Apa artinya kebenaran kalau kalian tak bisa bersenang-senang menikmati
hidup" Apa kalian pikir kebenaran itu
menenangkan?"
"Kenapa kau jadi ngotot hendak
meyakinkan kami untuk ikut denganmu"
Apakah kau sudah kehilangan semangat
tempur, seperti ayam jantan pecundang?"
sindir seorang patih lain.
Rupanya, dia tidak ingin mendengar
ocehan Ki Rawe Rontek lebih banyak.
Baginya, mati lebih baik daripada
mendengarkan ucapan wakil iblis seperti
"Kepparrat! Kalian para patih,
memang minta segera kubunuh!"
Selesai memaki, Ki Rawe Rontek
membuka jurus kembali. Tapi sebelum
merangsek ketiga lawan, seseorang
menahannya dari satu arah.
"Tuan, jangan bunuh hamba...,"
ratap seorang yang baru saja tiba di
dekat Ki Rawe Rontek.
Rupanya, orang itu adalah si
Penasihat Tua, penjilat yang tak begitu disukai para patih yang bisa mencium
keculasannya. Ki Rawe Rontek menoleh. Gerakannya
seperti terpaku, tak melanjutkan
jurusnya. "Siapa kau"!" bentak tokoh
menggiriskan ini garang. "Kenapa kau baru muncul?"
Si Penasihat Tua tersenyum
dibuat-buat. Antara dorongan rasa takut, dan keinginan untuk selamat.
"Hamba salah seorang petinggi
istana ini, Tuan. Sejak tadi, hamba
memang tidak ingin menentang, karena
hanya Tuanlah yang pantas menjadi raja hamba," ucap si Penasihat Tua penuh
kepalsuan. Padahal sejak penyerbuan
dimulai, dia hanya bersembunyi ketakutan di dalam kamar mandi istana!
Ki Rawe Rontek tertawa serak.
Mulutnya terbuka lebar-lebar,
memperlihatkan barisan giginya yang
lancip tak teratur. Si Penasihat Tua
mengira, laki-laki itu senang mendengar sanjungan tadi.
"Bagaimana, Tuan?" tanya si
Penasihat Tua. "Bagaimana apa?"
"Biarkan aku hidup, dan aku akan
menjadi pengikut setiamu".
Ki Rawe Rontek menyeringai. Dan
tiba-tiba.... Prok! Mendadak saja sebelah tangan Ki Rawe
Rontek terayun cepat ke kepala si
Penasihat Tua. Maka dalam sekejap batok kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk
lagi, disertai muncratan darah segar.
Dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setia katamu" Hah! Manusia busuk macam kau, hanya jadi sampah buatku.
Dengan rajamu dulu saja kau tak setia.
Apalagi nanti bila mengabdi padaku. Kau tentu akan berkhianat!" sumpah serapah
Ki Rawe Rontek.
Ketiga patih yang sejak tadi
memperhatikan peristiwa itu hanya sempat berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada
lelaki tua itu. Mati dalam keadaan
terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.
"Kali ini giliran kalian!" sentak Ki Rawe Rontek. Lalu....
"Hiaaa!"
"Sepi ingpamrih, rame ing gawel"
teriak ketiga patih serempak
Meski tak yakin akan bisa
menyelamatkan diri dari serangan akibat pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam'
yang bersarang, ketiga patih itu tetap meneguhkan hati untuk mengadakan
perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek.
Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek
berhasil di-hindari. Untuk
terjangansusulanberikutnya, mereka mati langkah. Sepasang tangan laki-laki
menggiriskan ini berputar kencang, siap meremukkan batok kepala mereka dalam
satu gebrakan. Tapi....
Prat! Pada saat genting itu, mendadak
terdengar suara tamparan sehelai kain
pusaka. Seperti dorongan kekuatan tangan raksasa, benda gemulai itu menghadang
putaran tangan Ki Rawe Rontek.
"Mereka bukan lawanmu, datuk
terkutuk bau ketiak!" seru seorang pemuda di sisi Ki Rawe Rontek. Mendengar
caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan langsung bisa menduga kalau itu adalah
Andika. Memang benar! Si Pendekar Slebor
kini berdiri bertolak pinggang dua
tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah
rejeki nomplok apa yang membuat dia
bermurah hati sehingga tersenyum pada
lawan. "Kau rupanya, Anak Muda Keparat! Aku senang, karena tak perlu susah-susah
mencarimu. Rupanya, kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!" geram Ki Rawe
Rontek. Sambil mengebut-ngebutkan kain
pusaka ke bagian leher, Andika menatap orang tua menggiriskan itu.
"Terus terang, aku sedang gerah
setelah berlari cukup jauh. Dan
mendengar omonganmu, aku jadi semakin
gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah
menelan api neraka, ya?" oceh Pendekar Slebor ngelantur tak karuan.
"Jangan banyak mulut!"
Andika cepat-cepat meraba mulutnya.
Tingkahnya dibuat-buat, untuk memancing amukan lawan.
"Kalau tidak salah, dari dulu juga ibuku memberi mulut hanya satu...," kata
Andika pura-pura linglung.
"Kheaaah!"
Ki Rawe Rontek tak punya cukup
kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang ketiga patih dialihkan ke Pendekar
Slebor. Dia geram, segeram-geramnya.
Ingin rasanya mulut pemuda itu
dihancurkan secepatnya.
Dua cakar Ki Rawe Rontek, seketika
menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor.
Pengerahan tenaga dalam ke otot tangan, membuat dadanya menggelembung besar di
balik pakaian. "Haiiih!"
Tapi, mana sudi Pendekar Slebor
mengizinkan lawan merobek wajahnya yang sudah tampan" Didahului teriakan
melengking, kepalanya ditarik ke arah
samping. Dan sambil membuat kelitan,
Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu
hati Ki Rawe Rontek yang lowong.
"Benjoi udelmu!"
Blep! Memang, tusukan jari-jari kanan
Pendekar Slebor berhasil mendaratkan
serangan bertenaga sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh.
Suatu tingkat kekuatan yang bisa
membobol benteng beton setebal dua depa!
Tapi, siapa sangka kalau perut laki-laki yang menggiriskan itu ternyata begitu
alot, kenyal bagai gulungan karet!
Pendekar Slebor mendelik sekejap.
Ilmu hitam macam apa lagi ini" Pada saat yang sama, Artapati alias Ki Rawe
Rontek menurunkan tangan dengan gesit ke
tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku Ki Rawe Rontek akan meremukkan tulang
leher Andika! Merasa ada angin deras dari atas,
secepat kilat Pendekar Slebor
menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku
Artapati pun tak bisa menyusulnya.
Namun, di bawah Pendekar Slebor sudah disambut jejakan kaki kanan tokoh yang
sebenarnya sudah mati ini.
Masih dalam keadaan tengkurap
dengan kedua tangan dan kaki sebagai
penopang, Pendekar Slebor menggenjot
tubuh ke kiri dan kanan.
Jleg! Jleg! Jleg!
Hasilnya, tiga jejakan kaki itu
luput dan terbenam di samping tubuh
jejakan sakti itu. Tanah yang menjadi
sasaran menjadi berlubang, berbentuk
telapak kaki. Kalau terus bertarung seperti itu,
Andika berpikir kelihatan seperti ulat nangka yang baru menelan sebatang lidL
Dia memang tak ingin terlihat jelek
sewaktu bertempur, Maka tubuhnya segera melejit ke atas, lalu menjejakkan kaki
di belakang Ki Rawe Rontek.
Tapi Ki Rawe Rontek tak mau
membiarkan Andika dengan mudah berdiri di belakangnya. Dua sikunya cepat
menyodok kuat ke belakang. Arahnya,
tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor.
Deb! "Yeah!"
Untung dengan sigap Pendekar Slebor
mengangsurkan sepasang telapak tangan.
Pak! Maka benturan terjadi. Namun tenaga
benturan itu dimanfaatkan Andika untuk melempar tubuh lebih jauh ke belakang.
Beberapa putaran tubuhnya bersalto
manis, sampai akhirnya berdiri mantap
tujuh depa dari lawan.
"Kenapa kau mengambil jarak, Pemuda Keparat"! Apa sudah gentar dengan
seranganku"!" ledek Ki Rawe Rontek dengan raut wajah amat meremehkan.
"Gentar" Maaf saja.... Tapi kalau geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu, itu
jelas! Karena itulah aku mengambil jarak!" balas Andika lebih hebat.
Sebentar kemudian, pendekar Tanah
Jawa Dwipa itu mulai memantapkan
kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya
bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki Rawe
Rontek apakah lawan sedang
memainkan satu jurus silat atau bukan.
Namun dari tonjolan
mengeras otot-ototnya, harus segera disadari
kalau Pendekar Slebor sedang
mempersiapkan suatu yang dahsyat.
Terlebih lagi, manakala garis-garis
cahaya putih keperakan mulai melingkupi tubuhnya.
Saat itu juga, Ki Rawe Rontek ingat
pada benteng tenaga tangguh yang sanggup melindungi tubuh pemuda ini dari sapuan
angin 'Pukulan Peremuk Da-lam'nya
sewaktu bertempur dengannya pertama kali itu.
Deb! Wuk! Wuk! Deb! "Hosss...!"
Menilai lawan akan menggempurnya
habis-habisan, Ki Rawe Rontek pun tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera
disiapkannya tiga ilmu hitam sekaligus
'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam', dan 'Halimunan'. Di antara ilmu-ilmu
hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah
sebagai pamungkasnya. Akan
dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu
secara bergantian.
Sementara, Pendekar Slebor makin
cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa bagian tubuhnya jadi tampak mengganda.
Sedangkan kini Ki Rawe Rontek menyatukan
telapak tangan di depan dada. Matanya
terpejam rapat, sedangkan bibirnya
berkomat-kamit membacakan mantera.
Pada saat yang sama, mendadak
sentakan keduanya berteriak membahana.
Gabungan suara mereka seperti hendak
melantak langit, menggugurkan bumi!
"Khiaaa!"
"Haaah!"
Pendekar Slebor cepat merangsek ke
depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai meniti petak-petak lantai, namun amat
cepat! Itulah langkah-langkah 'Titian
Batu Petir'. Suatu gerak kakiyang
tercipta begitu saja, karena terbiasa meniti susunan batu di Lembah Kutukan
dahulu. *** Sementara itu rombongan prajurit
pilihan di bawah pimpinan langsung
Cokorde Ida Bagus Tanca datang
menghambur. Teriakan perang seketika
tercipta. Gagah dan lantang. Para
prajurit pengawal istana yang nyaris
putus asa, mendadak terbakar lagi
semangatnya. Ketangguhan prajurit prajurit itu tidak diragukan lagi
kemampuannya. Boleh dikata, pertarungan kali ini akan berimbang.
"Heaaa!"
Trang! Trang! Des! Bret! Cep! "Gempurrr! Jangan mundur oleh
kebatilan!" teriak Patih I Wayan Rama memberi aba-aba di medan laga. Dia
berusaha memompa semangat sebagian
prajurit yang nyaris padam.
Cokorde Ida Bagus Tanca pun tak
kalah lantang meneriakkan aba-aba
perang. Keris di tangannya teracung
tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang ikut dalam rombongan, dia mengamuk
sejadi-jadinya.
Begitulah mestinya sosok seorang
pemimpin. Langsung terjun dalam kancah berdarah. Tak hanya bisa berteriak
lantang saja, sementara para bawahan
harus menyabung nyawa demi
pemerintahnya. Trang! Trang! Crep! Pertarungan besar terus
berlangsung, menggelora bagai api besar membakar.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan
Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap
pertarungan menentukan. Mereka telah
habis-habisan mengeluarkan kesaktian
andalan masing-masing.
Pada satu kesempatan, Pendekar
Slebor mendapat peluang bagus untuk
meneroboskan satu tinju geledek
berkekuatan tenaga sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat
terakhir. Tangannya menyodok hebat bahu kiri Ki Rawe Rontek dalam kece-patan
dahsyat, hingga tak bisa lagi diikuti
pandangan. Wesss! Begkh! "Agh!"
Ki Rawe Rontek menjerit pendek.
Sekejap saja, tubuhnya sudah terlempar jauh ke belakang. Bahu kirinya seketika
amblas beberapa rambut ke dalam.
Kekenyalan tubuhnya tak bisa lagi
diandalkan untuk menahan pukulan
pamungkas Pendekar Slebor.
Setelah menimpa tubuh seorang
anteknya yang langsung mampus saat itu juga, barulah luncuran Ki Rawe Rontek
terhenti, dan terjatuh mencium bumi.
Untuk beberapa saat, datuk sesat itu
mengerang-erang dan bergeliat. Tapi,
selanjutnya dia bangkit tersentak,
seperti memiliki pegas lentur tak
terlihat. Patut Diakui secara jujur, untuk
menghadapi kecepatan gebrakan Pendekar Slebor, seluruh ilmu hitamnya tak
berarti apa-apa. Namun dengan ilmu hitam yang bernama 'Rawe Rontek' dia bisa
bertahan beratus-ratus jurus lagi. Dan itu tentu saja bisa menguras tenaga
lawan. Bagaimana tidak" Setiap kali
Pendekar Slebor mampu menyarangkan
hantaman maut yang meremukkan, tiba-tiba laki-laki menggiriskan itu bangkit
kembali dalam keadaan utuh tanpa cacat sedikit pun.
Namun karena Ki Rawe Rontek tak
ingin mengulur-ulur waktu,
diputuskannya untuk segera memanfaatkan ilmu 'Halimunan'. Hanya ilmu itu yang
bisa dijadikan senjata ampuh menghadapi kecepatan gerak Pendekar Slebor.
"Khiaaah!"
Psss...! Layaknya kabut tertepis angin,


Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh kekar Ki Rawe Rontek mendadak sirna perlahan.
Apakah Pendekar Slebor akan menjadi
bulan-bulanan lawan lagi seperti
pertarungan pertama" Sebuah jawaban yang amat sulit dijawab. Apalagi Andika
belum lagi tahu kelemahan ilmu gaib laki-laki itu. Kalaupun memiliki rencana,
itu pun sekadar untung-untungan. Ya!
Pertarungan selanjutnya adalah
perjudian bagi Pendekar Slebor. Nyawalah taruhannya!
*** Andika di satu sisi, memperkuat
benteng kekuatan di sekeliling tubuhnya.
Pengerahan kesaktian puncak,
memperjelaskan sinar putih keperakan
yang membungkus tubuhnya. Sinar itu
menebal dan membersit kuat.
Tak ada yang bisa dilakukan jejaka
tangguh itu, kecuali menunggu datangnya serangan. Dan pada saatnya....
Wesss! Telinga Pendekar Slebor yang tajam
menangkap desir angin dari sebelah kiri.
Dan tanpa bisa memastikan bentuk
serangan, tangan dan kaki kanannya cepat disapukan serentak ke samping.
Dak! Pertahanan untung-untungan itu
ternyata membawa hasil, ketika serangan gelap Ki Rawe Rontek sanggup dibendung.
Pada hantaman selanjutnya, Pendekar
Slebor tak bisa lagi berharap banyak.
Tanpa sepengetahuannya, laki-laki itu
mengirim hantaman jarak jauh lewat
'Pukulan Peremuk Dalam'.
Des! "Bhaaa!"
Teriakan menggiriskan meluncur
keluar dari kerongkongan pendekar muda itu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat,
menyusul hempasan cahaya putih ke-
perakan, akibat pertemuan dengan pukulan jarak jauh Ki Rawe Rontek. Pukulan
hitam itu mencoba melantakkan serat-serat
tubuhnya dari dalam. Dan dirinya pun
terasa sedang digerogoti jutaan
ulat-ulat rakus di balik kulitnya.
Ototnya mengejang keras, namun terasa
lemas. Alat-alat penting di tubuhnya
bagai berhenti bekerja saat itu juga.
Saat darah kental kehitaman mulai
merembes perlahan dari lubang hidung dan mulut, satu hantaman tenaga luar
mendadak membumi hanguskan kuda-kuda
Pendekar Slebor.
Bak! Bak! Di sekeliling dada Pendekar Slebor
mendarat telak tinju melebar, memaksa tubuhnya terpental sembilan tombak ke
belakang. Setelahmenembus lapisan
udara, tubuhnya tersuruk jatuh, nyaris kehilangan tenaga. Dan selubung sinar
putih keperakan pun meredup.
"Huhhh...," keluh Andika lirih seraya meraba bagian dada.
Kini Pendekar Slebor benar-benar
terhempas dalam perjudian maut. Sudah
saatnya dia mencoba menjalani rencana
untung-untungan yang sempat terpikirkan sebelumnya. Masih dengan napas sesak,
tangan Andika merogoh sesuatu di balik bajunya. Dan, terlihatlah empat tabung
tinta hitam....
"Haiiih!"
Diawali lengkingan nyaring untuk
menekan deraan rasa sakit, Pendekar
Slebor secara bersamaan menghancurkan
tutup keempat tabung tinta dengan
jentikan jari-jarinya. Dan dalam waktu yang demikian cepat, tubuhnya melakukan
satu gerakan susulan, menerjang kembali ke kancah pertarungan. Begitu tiba
tubuhnya diputat bagai gasing dengan
satu kaki sebagai tumpuan.
Werrr! Werrr! Crat! Crat Tak ayal lagi, cairan tinta dalam
empat tabung di tangan Andika memercikan tinta hitam pekat kesegenap penjuru.
Sehingga, tak ada sejengkal ruang pun
yang luput! Sebagian besar percikan
tinta hanya sempat jatuh menodai tanah.
Namun bagi mata yang amat jeli, akan
terlihat beberapa noda hitam yang tampak melayang-layang di udara. Itulah tinta
yang sempat memercikan tubuh gaib Ki Rawe Rontek!
Kecerdasan Andika memang patut
dipuji. Dia yakin tubuh lawan tak
menghilang begitu saja seperti roh
halus, tapi hanya menipu pandangan mata manusia. Sehingga tubuh itu seperti
menghilang, sedangkan jasadnya
sebenarnya tetap ada. Jasadnya itulah
yang menjadi tempat mendarat percikan
tinta.... Bagi Andika, titik-titik tinta yang
mengapung di udara itu adalah satu
kesempatan emas yang tak boleh
disia-siakan. Pendekar Slebor sendiri
yakin, lawan belum menyadari siasatnya.
Dan tentu saja lawan tak akan dibiarkan menyadarinya!
Diiringi satu teriakan melantak
gendang telinga, Pendekar Slebor
menggempur Ki Rawe Rontek dengan seluruh kekuatan sakti.
"Hiiiaaa!"
Wusss! Deb! Plak! Sapuan kilat kaki Pendekar Slebor
yang begitu cepat dapat dihindari Ki Rawe Rontek. Sementara tokoh hitam itu
diusik rasa heran, karena bisa mengetahui
tempatnya berdiri. Kini Ki Rawe Rontek melontarkan tubuhnya tinggi-tinggi ke
angkasa, seperti tak mau mengambil
bahaya dengan sapuan gila kaki Pendekar Slebor.
Namun tanpa diduga, justru hal itu
yang dikehendaki Pendekar Slebor.
Sekedip mata di bawah lawan, Andika pun menyusul ke atas. Tubuhnya meluncur
lebih cepat, hingga mampu menyamai
kedudukan Ki Rawe Rontek.
Masih di ketinggian sekian depa dari
bumi, tangan Pendekar Slebor bergerak
cekatan, melepas kain pusaka dari
bahunya. Srat! Ctas! Crat! Satu sabetan dahsyat untung-
untungan dibuat Andika.
Tanpa dinyana, leher Ki Rawe Rontek
tertebas kain pusaka yang mengeras bagai kepinganbaja. Terputusnya pita suara,
membuat Ki Rawe Rontek menemui ajal di udara tanpa sempat mengeluarkan teriakan
kematian. Sedangkan tubuhnya kini sudah
terlihat kembali tidak berupa bayang-
bayang semu seperti tadi.
Sewaktu potongan kepala dan tubuh Ki
Rawe Rontek berbalik arah ke bawah,
Pendekar Slebor secepat mungkin
menangkapnya. "Huph!"
Tep! Tep! Jleg! Di wajah bumi yang dibasahi warna
merah dimana-mana, Andika berdiri gagah.
Tangannya sudah terbentang kejang ke
atas, menahan kepala dan tubuh Ki Rawe Rontek agar tidak menyentuh bumi.
*** Menyusul kematian Ki Rawe Rontek,
sisa anak buahnya berhamburan keluar
istana. Mereka melarikan diri, seperti sekumpulan anjing geladak. Tanpa
menggubris seorang pun dari mereka,
Pendekar Slebor berjalan mantap ke
pedati kerajaan yang mulanya
dimanfaatkan untuk mengangkut
perlengkapan perang ke Kerajaan Tabanan.
Di atas pedati itulah tubuh kaku Ki Rawe Rontek dilemparkan.
Untuk kedua kalinya, tamatlah
riwayat datuk sesat itu!
"Lalinggi! Kali ini kau tak akan
punya kesempatan untuk menghidupkan
manusia iblis ini lagi. Karena, aku akan membakarnya seperti orang Bali menga-
dakan upacara Ngaben Kau jangan berharap lelaki ini kukubur secara terpisah,
seperti pernah dilakukan Ki Lantanggeni.
Dia mungkin masih menghormati Ki Rawe
Rontek, sebagai kakak seperguruannya.
Tapi, tidak bagiku!" teriak Andika.
Selesai terdengar teriakan Andika
yang lantang memenuhi rongga angkasa,
orang yang dipanggil Lalinggi pun muncul dari gerbang istana. Sesaat dia berdiri
kaku di mulut gerbang.
Mata elang Pendekar Slebor
mengawasi laki-laki itu dengan sependam bara kemerahan. Sedangkan seluruh
penghuni istana menatap Lalinggi dengan sinar mata penuh selidik.
"Sekali lagi kau menang, Pendekar Slebor! Kuakui, kau memang memiliki
kepandaian mengagumkan, dan keenceran
otak luar biasa! Tapi, ingatlah Pendekar Slebor! Aku setiap saat akan datang
untuk menuntut semua tindakanmu!" ancam Lalinggi sarat kemurkaan.
Puas melontarkan ancaman, lelaki
bertopi keranjang itu berkelebat pergi, meninggalkan pelataran istana. Di
sebelah tangannya tergenggam selembar
halaman daun lontar yang tidak pernah
diterima Andika.
Belum lagi Andika menghempas napas
lega, terdengar kembali jeritan dari
arah gerbang istana. "Wuaaa!"
Andika terperangah. Di kejauhan
sana, tampak I Ktut Regeg sedang
mengaduh-aduh dijeweri Idayu Wayan
Laksmi " Beli Andikaaa! Tuoluooong aku!
Mbok marah-marah, sebab aku mau kasih
tahu Beli, kalau dia akan kawin dengan Beli Yaksaaa! Uwa! Ampooon,Mbok!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Jejak Di Balik Kabut 16 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pertarungan Para Pendekar 2
^