Pencarian

Bayang Bayang Gaib 1

Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib Bagian 1


BAYANG-BAYANG GAIB
oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor dalam episode :
Bayang-Bayang Gaib
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Angkasa malam ini dikekang kemuraman. Berjuta
bintang yang biasa membagi kerdipan cahaya, kali ini sirna oleh timbunan awan
hitam kelam. Sementara sinar
temaram rembulan hanya mengintip malu-malu di antara arakan awan yang merayap-
rayap. Rona langit malam seperti mati. Denyut benda-benda angkasa bagai dibungkam para
makhluk gaib. Alam tampak lengang. Detak waktu terasa begitu
lamban bagai langkah-langkah para pengantar jenazah.
Suatu saat, semua itu bagai dihancurkan satu
kelebatan cahaya menyilaukan membelah langit. Cahaya yang sanggup membutakan
mata manusia, meluncur deras bagai tak berpenghalang menuju satu tempat di wajah
bumi.... *** Seorang gadis cantik jelita terlihat berjalan di sebuah dataran berumput kering.
Pakaiannya merah, menantang hari yang sebenarnya sudah cukup panas. Rambutnya
yang hitam, memantulkan cahaya lembut. Tergerai hingga sebatas pinggang. Jika
angin bertiup kecil, anak rambutnya meliuk-liuk menggemaskan. Kalau melihat
busur di punggungnya, bisa diduga kalau gadis itu seorang pendekar. Apalagi bila
mengamati cara berjalannya yang cukup gagah, meski kegemulaiannya sebagai wanita
tak hilang. Di bagian pinggang ramping gadis itu, terbelit seutas cemeti.
Sehingga penampilannya terlihat begitu angker.
Banyak tokoh dunia persilatan mengenal, siapa
pemilik cemeti itu dulu. Memang, pemilik cemeti adalah seorang tokoh kelas atas
kaum sesat. Begal Ireng! (Untuk mengetahui tentang tokoh ini, silakan baca
episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
Lalu, siapakah gadis ini" Dialah anak satu-satunya.
Sifatnya sangat bertolak belakang dengan ayahnya. Begal Ireng adalah manusia
berdarah dingin yang cukup tega menghirup darah manusia lain. Sedang gadis ini
adalah wanita yang memiliki kelembutan hati. Meskipun sifatnya judes dan ketus
dalam berbicara (Untuk mengetahui lebih jelas tentang diri gadis ini, baca
episode : "Pendekar Wanita Tanah Buangan").
Anggraini, namanya. Seorang gadis berilmu tinggi yang namanya mulai merambah
dunia persilatan belakangan ini, dengan julukan Pendekar Wanita Tanah Buangan.
Mata Anggraini tampak kehilangan cahaya. Akhir-akhir ini pikirannya memang
sedang terganggu sesuatu masalah.
Khususnya, tentang seorang pendekar muda sakti nan tampan berkepribadian
menarik, yang membuat hatinya terpesona. Pendekar itu tak lain adalah....
Pendekar Slebor.
Di samping itu, Anggraini menjadi banyak tahu,
tentang pemuda yang telah mencuri sekeping hati dari dasar lubuk hatinya. Seolah
gadis ini makin dekat dengan bayangan Pendekar Slebor. Malah makin tak berdaya
diombang-ambingkan cinta. Namun,
ada sebongkah dendam bagai karat yang sulit dihilangkan. Bagaimanapun juga, Pendekar Sleborlah
yang telah membuatnya tak bisa berjumpa dengan ayahnya, Begal Ireng.
Pertentangan dalam diri inilah yang membuat mata Anggraini tampak kehilangan
cahaya selama ini. Gadis ini bagai disiksa dari dalam. Satu siksaan yang tak
kunjungpadam. Disatu sisi dirinya terus menuntut untuk melaksanakan hasrat
dendam. Sedang di sisi lain, dia kian dilenakan oleh bayangan jejaka sakti itu.
"Berhenti kau! Aku ingin tanya padamu!"
Segala kemelut batin Anggraini pupus seketika, begitu tiba-tiba dari arah
belakang terdengar bentakan keras, kasar, dan tak sopan. Kepalanya cepat
menoleh. Tampak seorang wanita telah berdiri angkuh tak begitu jauh di
belakangnya. Untuk dikatakan tua, wanita itu tidak begitu pantas.
Baik dari perawakan ataupun wajahnya. Dilihat dari
usianya sebenarnya wanita ini masih muda. Cuma,
penampilannya saja yang tak sesuai. Rambutnya dikonde kecil dengan arnel perak,
seperti kebanyakan perempuan tua. Begitu juga pakaiannya. Amat tak sedap
dipandang mata. Karena, biasa dikenakan wanita berusia lanjut.
Kebayanya berwarna muram dengan paduan kain wiron berwarna suram. Namun kalau
menilik wajahnya. setiap lelaki pasti akan terpana tanpa kedip. Kematangan usia
yang sekitar tiga puluhan, membawa kematangan pula pada wajahnya.
"Siapa kau"!" tanya Anggraini setengah membentak.
Dia tak suka pada orang yang tak bersikap ramah pada orang lain.
"Ah! Pakai tanya siapa aku segala! Cepat kasih tahu, ke mana arah kotapraja"!"
balas wanita berkebaya ini.
Lagi-lagi suaranya tak sedap masuk ke telinga Anggraini.
Diperlakukan demikian, terang saja Anggraini makin panas. Bukannya lebih dulu
minta maaf karena telah lancang mengusik lamunannya, eee..., kini berani pula
dia berbicara kasar!
Tanpa ingin menanggapi pertanyaan wanita asing di belakangnya, Anggraini
melanjutkan langkahnya.
"Hey, apa kau tuli"!" hardik perempuan berkebaya ini berang, merasa diacuhkan
Anggraini. Anggraini tetap saja melangkah acuh. Hardikan tadi tak dianggapnya sama sekali.
Diperlakukan semacam itu, tak ayal lagi kegusaran wanita berkebaya ini bertambah
dua kali lipat. Seraya mendengus, urat-urat lehernya mengejang. Dan....
"Berhenti kau!"
Terdengar mengguntur teriakan wanita cantik berkebaya itu, saat terlepas dari kerongkongannya. Bumi bagai digebah gempa.
Rerumputan kering berterbangan, seperti dibabat topan. Tak cuma itu. Batu-batu
sebesar kepala manusia terangkat bersamaan ke udara. Beberapa saat seluruh batu
itu melayang. Dan setelah kekuatan teriakan tadi menyusut, barulah semuanya
berjatuhan kembali. Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan.
Tapi kejadian ini sedikit pun tidak membuat nyali gadis berselempang busur di
punggung ini menjadi tergetar.
Tanpa menoleh, Anggraini melecehkan perbuatan
wanita berkebaya tadi.
"Permainanmu sudah cukup hebat. Tapi, belum benar-benar hebat kalau hanya batu-
batu itu yang dibuat melayang di udara...."
Selesai berkata, sebelah kaki dara cantik berpa-kaian merah itu menghentak keras
ke bumi. Dukh! Seketika, batu-batu sebesar kepala manusia yang
telah berjatuhan, kini terangkat kembali. Bahkan lebih tinggi dari semula dan
lebih lama melayang di udara. Itu pun masih tambah gerakan berputar setiap batu,
sehingga terlihat seperti puluhan gasing ajaib.
Sebelum batu-batu itu berjatuhan, sebelah kaki
Anggraini yang lain cepat dihentakkan lagi ke bumi.
Dukh! Tak ada sekedip mata berselang dari suara hantaman kaki Anggraini ke bumi, tubuh
wanita berkebaya turut terangkat ke udara, menyusul bebatuan yang masih berputar
tak karuan. "Genderuwo perempuan keparat!" maki wanita berkebaya ini. Sementara tubuhnya
masih terapung.
"Jangan kau pikir aku kagum dengan permainan tengikmu ini!" Selesai melepaskan
makian, tangan wanita be?kebaya ini bertepuk.
Plok! Pada tepukan pertama, seluruh batu mendadak
berhenti berputar. Semuanya diam di udara, tak beda barisan area tanpa bentuk.
Plok! Tepukan kedua terdengar.
kini, tubuh wanita berkebaya perlahan turun ke permukaan bumi dalam gerak
berkesan wibawa.
Dua jengkal lagi, kaki wanita berkebaya ini akan menyentuh tanah. Namun tiba-
tiba, kaki Anggraini untuk yang kesekian kali dihentakkan lagi ke tanah.
Dugkh! Wesh! Begitu bunyi hentakan kaki terdengar, tubuh wanita berkebaya itu mencelat
kembali ke atas. Bahkan lebih deras dan lebih cepat.
"Genderuwo
perempuan siaaal!" maki wanita berkebaya dengan geram. Seluruh wajah cantiknya saat itu juga menjadi merah
matang. Malah, lebih matang dari panggangan kambing guling! Bibirnya yang
berlekuk menantang, berkelok-kelok kian kemari. Agaknya dia berusaha menahan
kejengkelannya pada Anggraini.
Mata berbulu hitam dan lebat milik wanita berkebaya itu terbelalak, tepat ketika
tangannya bertepuk yang sarat kegeraman memuncak.
"Hih!"
Tampaknya, wanita berkebaya ini tak sudi lagi
setengah-setengah dalam adu kesaktian. Seketika tiga tepukan sekaligus
dibuatnya. Plok! Plok! Plok!
Berturut-turut bebatuan sebesar kepala yang terpaku di udara, menjadi hancur
seperti diledakkan suatu kekuatan dari dalam. Butiran-butirannya berhamburan ke
segenap penjuru. Begitu halus, sampai-sampai desah angin lembut pun dapat
melibasnya. Dan saat itu pula tubuh wanita berkebaya ini me-
luncur turun dengan deras, menentang kekuatan Anggraini yang tetap mencoba
mengungkitnya dari bawah.
Dua tombak bisa dilalui. Selanjutnya, luncuran tubuh sintal wanita berkebaya itu
tersendat. Anggraini tampaknya tak mau mengalah begitu saja.
Tanpa kentara, tenaga dalamnya yang disalurkan ke bumi melalui kaki ditambahkan.
Kalau Anggraini tak mau kalah, wanita berkebaya itu pun semakin kalap. Maka
tekanan tenaga dalamnya
ditambah pula. Akibatnya, pengerahan yang mulai
berlebihan membuat wajahnya makin berkerut.
"Ekh.... Ekh. . Ekh.. ."
Wanita berkebaya ini terpejam-pejam, menekan
tenaga dalamnya agar bisa tiba kembali di tanah. Dahinya sudah dibanjiri butiran
peluh. Rona wajahnya pun lebih matang dari semula. Bahkan mulai tampak membiru.
Kasihan dia. Sepertinya. wanita itu lebih tersiksa daripada orang yang sulit
buang air besar! "Ekh... ekh...
ngekh...."
Di tengah seru-serunya wanita berkebaya itu mejan di udara tanpa peduli lagi
pada sekitarnya, tiba-tiba saja tenaga dorongan dari bawah Ienyap bagai ditelan
dedemit rakus. Wajah wanita berkebaya ini terkesiap. Matanya
terbuka Iebar-lebar. Sayang, kebodohannya terlambat disadari.... Gedubrak!
Anggraini rupanya telah meninggalkan begitu saja wanita itu tanpa pamit
lagi...." *** 2 Panas mentari siang ini memanggang bulat-bulat
kotapraja Kerajaan Alengka. Debu jalan amat ringan.
Tatkala angin bertiup menyapu jalan, debu menjengkelkan itu berterbangan. Biar
pun s uasana dikatakan tak nyaman, kotapraja tetap ramai.
Kotapraja ibarat 'lumbung gula yang mengandung
semut'. Tempat yang memiliki daya pikat berkumpulnya banyak manusia. Bagi hampir
setiap orang di tempat ini, kotapraja adalah pusat kegiatan mencari penghidupan.
Berdenyut terus dengan ber-bagai usaha memburu nafsu para penghuninya. Seorang
pemuda berpakaian hijau pupus tiba di sana. Rambutnya sepanjang bahu tak
teratur. Wajahnya tampan menawan. Alisnya melengkung tajam bagai kepak sayap elang. Di
bawah alis, terpancar kesan tegar perkasa dari sorot matanya yang tajam. Begitu
juga garis rahangnya. Sementara di bahunya tersampir kain bercorak catur.
Pemuda itu memasuki pusat kotapraja dengan
lenggangan santai. Matanya terlempar kian kemari, menikmati segala denyut
kehidupan kotapraja. Sesekali bibir tipisnya mengembang. Namun sedang enak-
enaknya mengagumi pemandangan disana, tiba-tiba....
"Cooopeeettt...!"
Tak jauh di depan jalan tempat si pemuda berdiri, terdengar teriakan keras yang
menyeruak di antara kebisingan lain. Menyusul dua orang berlari seperti dikejar
setan, menyeruak keramaian tanpa peduli.
Orang yang mengejar, adalah lelaki setengah baya berpakaian perlente. Dilihat
dari bahan bajunya yang terbuat dari sutera halus, serta kancing-kancing cmas
berukir menandakan bahwa dia termasuk orang kaya.
Namun, wajahnya demikian berang tak tertolong. Sambil mengejar, tangannya
berusaha menggapai orang yang sedang diburunya.
Sedangkan yang dikejar, adalah bocah berusia sekitar
dua belas tahun. Pakaiannya lusuh dan rombeng.
Tubuhnya kurus, pertanda kehidupannya dalam keprihatinan yang bcrlebihan. Rambutnya pun kelihatan tak terawat. Kemerahan dan
panjang. Juga kotor, karena jarang dicuci. Di tangan bocah itu tergenggam erat
sekantung uang milik lelaki perlente yang mungkin telah dicurinya.
"Copeeeth! Copeeeth...! Tangkap bocah itu! Hoi, Anak Dedemit! Berhenti kau...!"
Kejar-kejaran makin dekat ke arah pemuda ber-baju hijau pupus yang masih saja
berjalan santai dengan arah berlawanan.
Selain kedua orang yang sedang berkejaran tadi,
tentu banyak orang lain di sana. Tapi, tak ada satu pun yang peduli pada
kejadian itu. Sebagian besar sibuk dengan urusan masing-masing. Bagi mereka,
urusan perut sendiri lebih diutamakan meskipun ada yang teraniaya sampai
kehilangan nyawa.
Sebagian dari warga kotapraja memang tahu,
keadilan di kotapraja tidak bisa diharapkan. Untuk me-nyambung hidup sehari-
hari, seorang bocah lemah
mungkin harus berebut bungkusan nasi bekas dengan seekor anjing di tempat
sampah. Jadi kalau suatu saat ketidak adilan harus menerima ganjarannya,
bukanlah hal aneh. Maka tak heran, banyak bocah disalahkan, karena hanya butuh


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan untuk hari ini. Tapi. yang sering diterima hanyalah caci maki dari para
hartawan kotapraja.
Rupanya, para hartawan lebih suka memberi makan anjing peliharaan, daripada....
Pada saatnya, si bocah pencopet dengan wajah
ketakutan tiba tepat di depan pemuda ganteng berpakaian hijau pupus tadi. Dengan
sigap, pemuda ini menahan laju tubuh kurusnya dengan tangan.
"Kenapa terburu-buru, Adik kecil?" tanya pemuda berbaju hijau pupus ini, pura-
pura tak tahu. "Lepaskan aku, Bang! Lelaki lintah darat itu akan menginjak-injakku kalau sampai
tertangkap!" teriak si
bocah ketakutan. Kepalanya menoleh ke belakang,
mewaspadai lelaki yang mcmburunya.
"Kena kau!" sergah lelaki setengah baya berpakaian perlente, ketika tiba di
dekat pemuda berbaju hijau pupus.
Tangan kirinya cepat meraih belakang baju anak kurus itu.
Tanpa peduli pada siapa pun. tangannya yang lain terangkat tinggi-tinggi. "Biar
mampus kau!"
Laki-laki perlente ini hendak mengirim bogem mentah ke arah bocah pencopet.
Tindakan itu membuat bocah pencopet ini merengket dalam rangkulan pemuda
berpakaian hijau pupus.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, pasrah.
"Ampun...!"
Sekejap lagi tangan kasar lelaki setengah baya itu tcntu akan telak menimpa
sasarannya. Namun.... Tap!
Sebuah tangan menghadang tindakan
laki-laki perlente. Memang, pemuda berbaju hijau pupus itu yang melakukannya.
Gerakannya sungguh menga-gumkan.
Begitu cepat, sehingga nyaris tak terlihat. Sementara, tangan yang lain membuat
bocah pencopet kini telah berada di belakang si pemuda.
"Kenapa kau bengis sekali terhadap bocah lemah?"
tanya pemuda tampan ini dengan tatapan dingin.
Karena tangannya ditahan secara begitu menakjubkan, lelaki setengah baya berpakaian perlente agak tergetar hatinya.
Apalagi ketika matanya bertumbukan dengan tatapan dingin pemuda bermata
setajam sembilu itu.
"Sss. . siapa..., siapa kau?" tanya lelaki setengah baya gelagapan, tergebah
pengaruh mata pemuda ini.
"Aku hanya seorang pengembara," jawab pemuda itu singkat dan datar. "Sekarang,
jelaskan padaku. Mengapa kau hendak menghajar anak kecil ini?"
"Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku, Tuan Muda. Lepaskan
tanganku. Biar kuhabisi anak tak berguna ini," pinta lelaki setengah baya,
memelas. Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah
pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki-laki perlente. Matanya
terus saja menyelidik, bagai hendak menerobos langsung ke dalam jantung lelaki
yang masih dicekalnya.
Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si lelaki setengah baya. Mungkin
benar, bahwa bocah kecil ini sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa
hidup dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja bocah kecil ini
dituding sebagai anak tak berguna. Padahal, dirinya sendiri bukan saja tak
berguna. Lebih dari itu, malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain!
Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke arah bocah pencopet di
belakang tubuhnya.
"Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini, Adik Kecil?" tanya pemuda ini
setenang telaga.
"Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya memerah uang rakyat! Bunga
dari hutang yang diberikan pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher!"
tukas si bocah, lugu dan jujur.
"Tutup bacotmu!" hardik lelaki perlente dengan mata membesar penuh. Tangannya
telah dilepas oleh si
pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar lagi.
"Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya baru saja mengalami
kesusahan. Anaknya meninggal.
Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang busuk ini malah merampas uang
keperluan pemakaman!?"
Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua
kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini diutarakan si bocah.
"Tutup bacotmu! Tutup bacoootmu!" hardik si lelaki perlente makin kalap. Namun,
dia tak berani bertindak lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda.
"Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan!" perintah si pemuda tanpa mau banyak
urusan lagi. "Tapi, Bang...."
"Jangan pakai tapi-tapian segala! Apa susahnya mengembalikan kantong uang orang
ini?" desak si
pemuda. Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk, bocah pencopet ini mau juga
mengeluarkan kantong uang hasil jarahan dari balik baju rombeng-nya.
"Nih. makan biar perutmu menggelembung!" umpat bocah itu seraya melempar kasar
kantong uang tadi ke tanah.Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk
tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih penasaran karena belum
menghajar. Dan baru saja dia hendak
maju, pemuda berbaju hijau pupus itu mengangsurkan badannya.
"Heee... he... he! Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da!"
celoteh laki-laki perlente ini memuakkan.
Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki perlente itu melewati si
pemuda dan bocah pencopet tanpa permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong
uang hasil perasan dengan hati puas.
"Abang keterlaluan!" bentak si bocah pada pemuda di dekatnya, sepeninggalan
lelaki perlente tadi.
"Keterlaluan bagaimana?" tanya si pemuda, acuh tak acuh.Pemuda itu lantas
melangkah perlahan. Sementara si bocah pencopet mengikutinya di belakang.
Terkadang dia pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan.
Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda yang scbenarnya telah
menolongnya. "Jangan Abang pikir sudah menolong! Aku sungguh tidak merasa baru ditolong. Biar
mampus, aku tidak akan berterima kasih!" cecar si bocah bersungut-sungut.
Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang
di kutinya. "Hush! Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja!"
sergah si pemuda.
"Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa! Pokoknya aku tidak terima perlakuanmu!
Apa Abang tahu, keluarga yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi
dalam waktu yang begitu mendesak! Eee, Abang tega-teganya menyuruhku
mengembalikan uang itu! Huh....
Huh!" dengus si bocah, kesal.
"Sudah, tidak usah merajuk seperti itu," ujar si pemuda tenang. Lalu
dikeluarkannya segenggam uang perak dari balik pakaian. "Ini ambil! Pakai untuk
keperluan anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu!"
Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang bising terhenti seketika.
"Ayo, ambil! Kenapa diam?" kata si pemuda, mencoba meyakinkan
bocah itu kalau
benar-benar hendak memberikan uang di tangannya. "Ayo, buka tanganmu!"
Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga.
Lantas pemuda berambut gondrong itu menuang
segenggam uang perak ke tangan kurusnya.
"Terima kasih, Bang... Kukira, Abang juga berhati busuk seperti lelaki tadi."
tutur si bocah, malu-malu.
"Tidak usah berterima kasih padaku...," kata pemuda ini. "Pada Tuhan?" selak
bocah pencopet.
Si pemuda mengangguk.
"Lagi pula, itu bukan uangku, kok!" tambahnya.
Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung.
"Aku tak mengerti maksud Abang" Uang ini jelas-jelas dikeluarkan dari pakaian
Abang. Tapi, kenapa dibilang ini bukan uang Abang?" tanya bocah tanggung itu
sambil mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka.
"Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari balik bajumu. Dari kantong
uang itu, kukeluarkan semua isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu,
sebelum kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya...."
Si bocah terbengong dengan mulut melompong.
Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan kembali dengan langkah tetap
santai. "Bang!" panggil si bocah dari belakang. "Kenapa Abang menyuruhku mengembalikan
kantong uang itu
tadi?" "Ada salahnya" Bukankah pemiliknya tadi hanya meminta kantong uang?" sahut si
pemuda tampan menoleh.
"Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?" tanya si bocah, penasaran.
Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya me-
nunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang kebetulan hendak dijual di sisi
jalan. Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai air matanya keluar.
*** Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi,
sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di kotapraja, orang-orang
biasa memanggil dengan sebutan Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam
sebesar uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir.
Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel.
Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun begitu. Meski begitu, paras
Tompel bisa dibilang menarik.
Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas matanya hitam, tumbuh
rata dan teratur. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati
keturunan priyayi dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan
mengenaskan. Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja dibayang-bayangi wajah pemuda yang
menolongnya. Jauh di dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan
masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah
dikenalnya. Siapa dia, ya" Begitu yang terus terpikir dalam benak Tompel. Terkadang pikiran
itu digumamkan keluar. Setiap kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan
masa silam mengambang dalam ingatannya.
Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali
seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak
dari duduk bertopang dagu.
"Aku ingat! Sekarang aku ingat! Dia itu kan. Bang Andika, yang dulu menjadi
pencopet ulung di sini!" seru Tompel seperti kesetanan. Sambil berseru, tubuhnya
melompat-lompat tak karuan.
Bagaimana bocah itu tidak gembira" Pemuda yang
menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama-sama menjadi gelandangan
kotapraja. Waktu itu, Tompel masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang
kini tersohor dengan juluk-an Pendekar Slebor, berusia empat belas tahun.
Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel berlari riang menuju pusat
kotapraja. Hendak dicarinya pemuda
yang telah menolongnya. Tompel yakin, ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak angkatnya yang pernah bersama-
sama mengarungi hidup di kotapraja beberapa tahun yang lalu.
Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai bertanya pada setiap orang
yang dijumpai. "Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir
di bahu?" tanya bocah tanggung itu pada beberapa orang.
Kembali bocah itu mencari-cari.
"Pak... Mak. . Euceu.... Abah.... Mas.. . Lihat anak muda yang memakai pakaian
hijau muda dengan kain catur di bahu?" tanya Tompel pula pada beberapa orang
lain. Namun, tak ada satu orang pun tahu. Kebanyakan dari mereka hanya menjawab
dengan gelengan kepala.
Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan
seorang anak kecil gelandangan" Meski begitu, ada juga yang mau menjawabnya
sungguh-sungguh. Biasanya,
mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi
sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel berjumpa orang asing
yang tak dikenal.
"Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang, mengenakan pakaian hijau dan
bersampir kain catur di
bahu?" tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba putih. Dari
penampilannya, terlihat kalau pemuda itu seorang pertapa.
Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun
memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel.
"Rasanya tidak, Adik Kecil," kata pemuda itu berbareng gelengan kepala yang
perlahan. Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya.
Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun dapat keterangan yang
berarti. Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan di wajah. Hingga dia lupa
mengucapkan terima kasih pada pemuda berkepala gundul itu.
"Hei, Adik Kecil!" tahan si pemuda gundul. "Kenapa kau jadi begitu tergesa-
gesa?" Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara
pemuda pertapa ini menghampiri.
"Rasanya, aku pernah kenal denganmu...," lanjut si pemuda pertapa. Sebentar saja
mengingat-ingat. "Gusti...!
Bukankah kau Tompel"!"
Siapa pula Abang muda ini" Tompel terheran-heran.
Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah pemuda di depannya, timbul
bayangan masa lalu yang lain, seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian
hijau-hijau."Bang Suta" Kau..., Bang Sutawijaya?" tanya Tompel ragu.Tya, ini
aku. Apa kau pangling" Aku juga pangling padamu," balas pemuda yang dipanggil
Sutawijaya. Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di bawah kelopaknya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel yang lama tak berjumpa
berpelukan. Tak dipedulikan lagi keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian
puluh mata sedang menatap keduanya.
Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah
bersama-sama sebagai gelandangan di kotapraja. Seperti
Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang oleh Tompel.
Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama.
Dan S utawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski begitu,
Andika ternyata sanggup bersikap sebagai
pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar biasa daripada yang lain.
Dia juga memiliki sikap tegas, sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam
menghadapi kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula yang mula-
mula mengusulkan membagikan hasil jarahan kepada orang-orang yang hidupnya
kembang-kempis di bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat.


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang kaya yang culas semata-mata
adalah amanat yang harus disampaikan kembali kepada pemiliknya. Dengan sedikit
kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu berusia delapan tahun,
menjuluki Andika "Sang Penyampai Amanat'.
Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah itu pun menjadi tiga
dedemit kecil yang paling ditakuti para hartawan culas berkantong tebal.
"Bang! Mimpi apa, ya aku semalam...," kata Tompel, memulai kembali.
"Memang kenapa"' tanya Sutawijaya, seraya mengajak Tompel berjalan beriringan.
"Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira Abang sudah jadi makanan
cacing...," kata Tompel, berseloroh.
"Hush!"
"Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar culas yang menjadi mangsa kita
dulu! Habis, Abang menghilang begitu saja tanpa kabar berita...," tutur Tompel,
bebas lepas. Sutawijaya tertawa renyah.
"Tunggu, Bang!" sergah Tompel tiba-tiba. "Kenapa aku jadi lupa sama Bang
Andika...?"
"Apa kau bilang?" tanya Sutawijaya, begitu mendengar
ucapan si bocah tanggung.
Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya.
Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan suatu yang menggembirakan.
"Apa Abang tahu...?" tanya si bocah tanggung, memulai.
"Apa?" timpal Sutawijaya.
"Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga!"
"Sungguh?" tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar.
"Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam...."
"Di mana dia sekarang, Pel?" tanya Sutawijaya, bergegas. Rasanya S utawijaya
ingin secepatnya bertemu kawan lama yang begitu lama dirindukan.
"Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari-cari. Susahnya sungguh
mampus! Setiap orang yang kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika
seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang....
Posss!" Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa
menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak sampai memperlihatkan
barisan giginya yang putih teratur.
Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa yang semua tindak-
tanduknya memiliki aturan dan tata-krama sendiri.
"Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?"
tanya Tompel. "Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan lama kita itu. Kalau Tuhan
menghendaki, menjelang senja nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku
berniat mengajakmu makan di kedai...," kata Sutawijaya.
"Hanya berniat?" gurau Tompel.
"Segalanya, kan harus diawali niat."
"Makannya?"
"Ya! Tahun kodok nanti," kelakar Sutawijaya. masih bisa bergurau meski sudah
menjalani hidup sebagai orang suci. Keduanya pun kembali berjalan beriringan
akrab. 3 Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah barat. Sinarnya menguning
matang, bagai terpanggang panasnya sendiri.
Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai makan murah. Tompel mengusap-
usap perutnya yang agak membuncit karena disesaki makanan. Selama di kedai tadi,
anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh dilahapnya tanpa kesulitan. Belum
lagi lauk-pauk dan dua buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di
pintu keluar kedai, Tompel terus saja berdahak berkepanjangan.
"Kalau sering-sering begini, bisa ' bengkak' aku, Bang,"
ujar Tompel dengan mata terkatup-katup.
Karena kekenyangan, matanya jadi mengantuk. "Ngomong- ngomong, Abang dapat uang dari mana" Apa masih
menjarah kantong-kantong
orang-orang kaya yang brengsek?"
Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak
kerbau. "Jangan bicara sembarangan," tukas Sutawijaya.
"Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum tahu ya, kalau kini
aku berdagang kain. Berkcliling dari satu kota ke kota lain. Sambil berjualan,
aku banyak mempelajari sifat-sifat manusia...."
"Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?"
Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir jalan yang tak begitu jauh
dari kedai. "Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk sementara, barang daganganku kutaruh
di sana...," papar Sutawijaya.
"Ooo...," mulut Tompel pun membulat.
"Aku bukan seperti dulu lagi. Pel," kata Sutawijaya tanpa ditanya. "Aku berusaha
untuk menjauhi kekotoran dunia...."
"Tapi tujuan kita mencopet kan, untuk menegakkan
keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain.
Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah orang-orang yang berkuasa
mengisap darah rakyat. Bisa-bisa, malah kehilangan kepala...."
"Ya! Aku tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan. Kebenaran bagi setiap orang
bisa berbeda. Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam.
Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik, bukan?" kata Sutawijaya,
mengungkap pendapatnya.
Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya
pendapat. "Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang Andika?" tanya Tompel.
Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan
bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya, keduanya telah diusik
kerumunan orang di alun-alun.
Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan menjadi kian membengkak.
Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman
serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali terdengar gemuruh sorak
yang ramai. Jelas, hal itu memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel.
Sutawijaya segcra mengajak Tompel untuk melihatnya. "Ada apa ya. Bang?" tanya bocah kotapraja itu. saat mereka berjalan tergesa
menuju alun-alun.
"Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bcrtanya be?gitu padamu. Kau kan selama ini
tinggal di sini...," sa-hut Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki
lebar-lebar.Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat kerumunan. Alun-alun
makin dipadati orang-orang yang ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan
sudah hampir sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan.
Tepat di tengah-tengah kerumunan,
terbentuk semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah berusia lebih tua dua
tahun di atas Tompel sedang
memainkan satu pertunjukan.
Semacam pagelaran hiburan rakyat sederhana. Biarpun sederhana, daya pikat permainan si bocah
benar-benar bisa membuat penonton terperangah kagum.
Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada
istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang-camping dan dekil.
Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya menggemaskan, dengan mata bulat seperti
pipi tembem. Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat
pinggangnya terselip sebuah suling bam-bu.
Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu melepas suling bambu dari
ikatan pinggangnya.
"Para penonton yang kuhormati...." kata bocah itu lantang seraya mengangkat
tangan tinggi-tinggi. "Aku akan menghibur kalian semua dengan satu permainan
lagi." Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka.
"Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib.
Bukan pula suling pengamen! Namun, benda tak berguna ini memiliki keistimewaan.
Jika dimainkan."
Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan.
Satu persatu penonton yang berada paling depan
diperlihatkan seruling di tangannya.
"Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik!
Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa"!"
sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari
sebelumnya. Semua penonton di pinggir arena puas melihat
keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu memang tidak terdapat apa-
apa di dalamnya. Karena itu, mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si
bocah. Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena.
"Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat pertunjukan terakhir ini"!"
tanya si bocah mencoba memancing semangat penonton.
Penonton terpancing, gemuruh pun tercipta. "Siaaap...!" sambut sebagian besar dari mereka.
"Baik," mulai si bocah lagi. "Kini perhatikan baik-baik...."
Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua itu pun memulai permainannya.
Lambat tapi pasti, seruling ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan
irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa pun pendengarnya.
Sampai sebegitu jauh,
belum tercipta hal-hal mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para hadirin mulai tak sabar
menanti. Mereka memang cukup terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang
dijanjikan si bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka menuntut
janji tadi. "Tong...! Mana yang kau katakan kalau seruling itu bisa mengeluarkan sesuatu
yang mengherankan"! Jeee...!
Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa!" tuntut salah seorang penonton.
Tya! Mana"!" timpal yang lain. "Iya, mana! Eh! Mana apanya, ya?" tanya seseorang
yang baru saja datang tergopoh-gopoh.
"Mana... mana! Mana jidatmu! Kalau tak tahu, jangan ngomong!"
"Wong aku punya mulut sendiri, kok!" "Kalau begitu, ngomong sana sama bedug!"
Meski banyak yang berteriak-teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap
tenang memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling.
Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling.
Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan tadi hanya dianggap pepesan
kosong oleh si bocah.
Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton mengambil sandal dari
kakinya. Biarpun pertunjukannya belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak
memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran.
Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan akibatnya. Wuk!
Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan bau pun melayang ke udara.
Sasarannya, tepat kepala si
bocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan.
Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung seruling muncul bergumpal-
gumpal asap jingga de?ngan cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah
seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah menelan sandal kayu.
Plas! Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal tadi mestinya menimpa
kepala si bocah. Setelah melewati gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu,
ternyata sandal itu tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap
jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap tak terlihat lagi.
"E-eh! Kok, gitu ya...?" seru beberapa orang.
"Iya, ya.. . Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi, gimana nanti aku
mengatakannya pada istriku" Sandal itu kan warisan mbah-nya..." gumam si
pelempar sandal. Baru menyesal dia sekarang!
Plok, plok, plok.. !
Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah
terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah mengeluarkan topi pandan
yang dikira untuk meminta saweran, hampir sebagian besar bubar.
"Lho..., lho" Jangan bubar dulu!" cegah si bocah. "Aku tidak mau minta saweran.'
Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para
penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala, anak itu memanggul
buntalannya. "Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai bayaran dari hiburan yang
kupersembahkan barusan...,"
kata bocah itu lagi.
"Tak perlu!" sergah seseorang tiba-tiba dari kerumunan. Tak lama, munc ul seorang pemuda berpakaian hijau muda ke tengah arena. Bibirnya
mengembang-kan senyum menyapa.
"Bang Andika.... Apa kabar"!" sambut si bocah.
Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia persilatan
dikenal sebagai Pendekar Slebor. Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan.
Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya dua sahabat yang lama tak
jumpa. Padahal, usia mereka terpaut cukup jauh.
"Apa kabar juga, 'Pangeran' Walet," balas Andika dengan sebuah embel-embel baru
yang disepuhkan di depan nama bocah itu.
Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang memiliki kehebatan batin.
Dengan kehebatannya, banyak orang menjulukinya Bocah Ajaib (Untuk mengetahui
tentang Walet lebih jelas, baca episode: "Mustika Putri Terkutuk" dan "Cermin


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alam Gaib").
Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak dipedulikan lagi penonton
yang menggerutu.
"Kau harus hati-hati, Kang Andika...," papar Walet.
"Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau akan berhadapan kembali
dengan salah satu musuh
lamamu yang paling berat."
"Bayangan" Bayangan apa maksudmu?" tanya Andika hcran."Seperti mimpi yang
kualami, saat aku dalam keadaan sadar...."
"Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi sewaktu seseorang tak sadar.
Maksudku, saat seseorang sedang tertidur...."
"Kakang tak perlu paham, bagaimana aku men-
dapatkan 'bayangan' itu. Yang mesti diperhatikan adalah, isi 'bayangan' itu...,"
tukas Walet. "Apa itu?"
"Dalam 'bayangan' itu, aku melihat satu cahaya amat menyilaukan menembus langit
malam kelam. Cahaya itu jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini...."
"Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu" Apa mungkin itu hanya benda angkasa
yang masuk ke bumi?" tanya Andika.
Walet menggeleng mantap.
"Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah benda langit biasa. Ada satu
kekuatan gaib luar biasa yang dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit
menembus ke dalam cahaya itu," papar Walet dengan mata menyipit.
Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet.
"Ada hal lain yang kulihat dalam ' bayangan'ku," Walet mulai lagi.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekat-nya
menunggu. "Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah-merah ditelan cahaya
menyilaukan itu, di suatu tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan
saat itu, purnama membulat penuh," lanjut Walet.
Sementara, para penonton satu persatu kembali pada urusan masing-masing. Malam
sudah sempurna. Lampu-lampu minyak di pinggiran jalan kotapraja sudah menyala.
Para pedagang malam pun sudah siap dengan dagangannya di beberapa tempat.
Dua orang masih tersisa. Mereka adalah S utawi?jaya dan Tompel.
"Bukankah itu Bang Andika, Kang?" ungkap Tompel berbisik pada Sutawijaya di
sampingnya. Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel.
Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan sosok Andika. Rasanya memang
sulit dipercaya kalau bisa bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti
saudara kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kotapraja dulu.
"Andika...!" sapa Sutawijaya.
Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat itu juga bocah penjelmaan
seorang pangeran yang mati ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada
Pendekar Slebor.
"Kenapa kau terburu-buru, Walet?" tanya Pendekar Slebor.
"Masih banyak yang harus kulakukan, Kang! Selamat
tinggal...."
Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet
melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel sudah tiba di depan Pendekar
Slebor. *** 4 "Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika"!" kata Sutawijaya dengan mata
membesar. Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil Tompel sedang duduk berleha-
leha di kedai pinggir jalan kotapraja.
"Ini benar-benar menggelikan," ungkap Sutawijaya lagi. "Sudah begitu lama aku
mendengar kabar tentang Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke
mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang sudah kukenal sejak
masih ingusan! Bagaimana tidak lucu"!"
Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gcbu.
"Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta," sergah Andika malu hati.
Diseruputinya teh kental pahit khas kotapraja.
"Kang Andika tidak berubah dari dulu," tukas Tompel ambil bagian. "Biarpun
urakannya setengah modar, tapi sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh...,
maksudku tak kalah... ya, begitulah...."
"Kalau lak bisa ngomong dengan jelas. lebih baik tidak usah bicara. Pel!" gurau
Andika. "Nah, tuh! Bang Andika mulai mengalihkan pembicaraan, kan" Coba kalau tadi tidak ada yang berbisik-bisik kalau Bang
Andika adalah Pendekar Slebor yang 'wah' itu, tentu kita tak akan pernah tahu.
Ya, Bang Suta?"
Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel.
"Ah, sudahlah! Kalian pikir, akan berbeda seorang yang namanya tersohor dengan
orang yang tidak tersohor"
Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut saja.... Manusia kan harus
dinilai dari pribadinya. Bukan
'embel-embernya!" tukas Andika seraya tangannya menepis udara.
Plok, plok, plok.. !
Tompel bertepuk tangan.
"Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang Andika. Dari dulu, sok
pintarnya tidak hilang-hilang juga!"
gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek.
"Bocah sialan, kau!" umpat Andika.
Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya.
"O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah kecil ajaib yang menggelar
pertunjukan itu" Dia tampaknya sudah begitu mengenalmu. Tapi. kenapa cepat-cepat
pergi lagi?" tanya Sutawijaya.
"Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit keperluan
denganku. Setelah itu, ingin melanjutkan
perjalanannya kembali," jawab
Andika, tanpa mau memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet.
Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di jalan utama kotapraja
terlihat debu menga-pung pekat ke udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan
gagah mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik empat ekor kuda
putih jantan bertubuh menawan.
Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah gagah dibanding dua
penunggang kudanya. Dari jendela kereta
kencana terlihat seorang pangeran gagah melayangkan pan-dangan ke arah luar.
Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam kereta kuda, sedikit pun tak
mencerminkan kalau mereka adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih
mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun lebih hitam. kecuali sang
pangeran yang berkulit putih.
Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu asing. Belum ada yang bisa
memastikan, dari mana asal mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya,
banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari negeri seberang.
Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan
semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua pe-
nunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir berwarna hitam. Sedangkan
si pangeran warna ungu. Dua penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk
rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka.
Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada bagian mata kaki. Yang
terlihat agak lucu bagi mata para penduduk kotapraja adalah. sepatu mereka.
Ujung sepatu keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas membengkok
seperti tanduk.
Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat
kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang tampaknya
berisi sebuah maklumat yang akan disampaikan kepada orang-orang di kotapraja.
"Saudara-saudara yang terhormat...," si penunggang kuda tadi mulai dengan ucapan
terpatah-patah dan kaku.
"Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke sini adalah, hendak
melaksanakan kehendak junjungan kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari
seorang istri. Beliau telah membuat suatu pengumunan. Bunyi pengumumannya adalah sebagai berikut:
"Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan bahwa aku hendak menc ari seorang
pendamping hidup.
Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita yang akan ditakdirkan
menjadi istriku berasal dari negeri ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di
bagian punggung kanannya berupa kembang Wijayakusuma...."
Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main.
Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku kedai. Wajahnya sulit
digambarkan. Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu saja menjadi heran.
"Kenapa Bang Andika" Kok seperti orang yang baru diserobol tuyul?" usik Tompel.
"Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di punggungnya?" desis Andika, tanpa
menjawab pertanyaan ngawur Tompel.
"Kau bilang apa, Andika?" tanya Sutawijaya tak jelas mendengar gumaman
sahabatnya. Andika baru tersadar. ketika Tompel meninju perutnya cukup keras.
Dugkh! "Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa"!"
teriak Tompel, di dekat telinga Andika.
"Ah, tak apa-apa...," kilah Andika, berusaha menutupi.
Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus awang-awang. Bahkan sepertinya
kedua sahabatnya tak dipedulikan.
"Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung
kanannya?" bisik hati Andika bcrtanya-tanya. "Apa pula hubungannya 'bayangan'
yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?"
Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah
Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak menggaruk kepala
karena tak mengerti teka-teki yang harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih
memegang cangkir teh.
"Aufh...!"
Si pemuda bertampang ningrat namun berpe-
nampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri begitu cairan hitam pekat
mengguyur wajahnya.
"Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang"!"
ledek Tompel. Andika hanya bisa mendelik dongkol.
*** 5 Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki tinggi tegap berhidung
manc ung tengah berjalan mondar-mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah
Pangeran Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang baru-baru
ini membuat pengumuman yang isinya ingin mencari calon istri. Di negerinya, dia
mendapat gelar kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang tak hanya
sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar tampak
pada kepribadian sesungguhnya. Dengan kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam negeri
yang merongrong kedaulatan ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran
mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan tangguh daripada panglima
istana. Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi
didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang gadis cantik rupawan ke
dalam pelukannya. Si gadis memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di
punggung kanan.
Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana, Pangeran Husein merasa yakin
kalau mimpi itu semacam wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh
dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya adalah calon istrinya.
Kalaupun Pangeran Husein kemudian memaklumatkan sebuah pengumuman di tanah Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat hamparan padi yang
menguning sepanjang pandangan.
Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para cendikiawan
istana. Dan seorang cendikiawan menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina sampai tiba di sebuah pulau
subur makmur bernama Jawa Dwipa.
Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan
kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga
tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir dan dua pengawal untuk
menyebarkan pengumuman yang telah dibuatnya.
Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman dibacakan di kotapraja.
Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang mendatangi kapal layar kerajaan
milik Pangcan Husein.
Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu menjadi gelisah.
Menunggu dan menunggu baginya seperti siksaan berat. Keinginan untuk segera
bertemu wanita yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu-gebu, bagai
letupan-letupan kawah gunung berapi.
Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai ketimbang tiga hari menanti.
Itulah yang mendera perasaan Pangeran Husein belakangan ini.
Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas.
Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak juga bayangan bulan
yang mengapung di permukaan laut, atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa
raya. Hatinya benar-benar gelisah.
Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mematung. Raut wajahnya s udah dipenuhi kerutan.
Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak ada kesan rapuh pada
perawakannya. Dengan kumis
berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung berwarna kelabu, perwira
ini justru ke-lihatan berwibawa.
"Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini, Paman Thariq?" cetus
Pangeran Husein lamat, di antara bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung
lepas menatap gerak gemulai bayangan bulan yang dipermainkan gelombang kecil.
Perwira tua di sisinya menoleh.
"Sudah menjelang hari keempat, Pangeran," jawab sang perwira bernama Thariq,
penuh rasa hormat.
Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu
menggeleng perlahan.
"Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...,"
desis Pangeran Husein nyaris bergumam.
"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya Pangeran mendatangi negeri yang
begitu jauh ini?" tanya Perwira Thariq.
Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu
tujuan Pangeran Husein sebenarnya.
Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas
dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak pada lelaki berwibawa di
sebelahnya. "Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada Paman, kenapa aku begitu menggebu-
gebu hendak ke negeri ini...?" tutur Pangeran Husein.
"Apakah aku telah lancang menanyakannya?"
"Oh! Bukan itu, Paman," kilah Pangeran Husein cepat.
"Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada Paman, sebelum kita
berangkat dahulu. Tapi, aku
sungkan...."
Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke
tepian kapal. "Kenapa jadi sungkan" Bukankah Pangeran menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua Pangeran juga" Dulu,
Pangeran berkata begitu, bukan?"
"Ya! Tentu saja aku ingat, Paman." Pangeran muda dari negeri Parsi itu
menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman akan mendengarkan."
"Asal Paman tidak menertawai ceritaku...," ujar Pangeran Husein, mengajukan
syarat. "Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...," balas Perwira Thariq, sedikit
bergurau. Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul.
"Begini, Paman...."
Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut,
mendadak saja selantun suara seorang wanita ber-
senandung merayapi sekitar dermaga.
Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga
Perwira Thariq.
"Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?"
tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya sendiri.
"Aku rasa begitu, Pangeran," sahut sang perwira.
Merasa yakin kalau memang ada wanita bersenandung, Pangeran Husein berseru.
"Hei! Adakah seorang wanita di sana" Kalau benar, sudikah kiranya memperlihatkan
diri"!"
Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan tiba-tiba saja berdesir
serangkum angin pukulan deras tak tampak mata dari arah timur dermaga
Wush! "Pangeran awas!" Perwira Thariq memperingatkan.
Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersor-ban dan berpakaian merah dengan
rompi kain putih itu, Pangeran Husein melenting ke udara.
Blash! Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar
yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain tebal berwarna abu-abu
tersebut koyak bagai dicabik-cabik cakar seekor beruang.
"Beruang Betina Kutub Utara...," desis Pangeran Husein, begitu kakinya menjejak
lantai buritan.
Pangeran Husein dan Perwira Thariq saling berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka mengenal wanita berjuluk Beruang
Betina Kutub Utara. Seorang wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit
dimengerti, tapi juga sulit diduga kesaktiannya.
*** Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah
muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama seekor beruang kutub berwarna
putih salju. Kehebatannya hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu,
Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan pukulan 'Cakar Beruang
Salju' milik wanita aneh itu.
Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang menyebar seperti wabah menular.
Rakyat sampai petinggi istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang
wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat mayat. Rambutnya panjang.
Dan tak seperti orang
kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna binatang peliharaannya.
Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran
Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon pewaris tahta
kerajaan itu mengorek keterangan tentang Beruang Betina Kutub Utara. Selang
sekian waktu, setelah si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya,
Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana.
Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang itu tanpa tedeng aling-aling
mengungkapkan niatnya.
Melamar Pangeran Husein.
Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana.
Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa wanita asing yang dikawal
beruang salju itu bermaksud menghina keluarga istana.
Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara dari pelataran istana. Tapi
bukannya pergi, wanita yang memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju
serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri.
Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana
menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi, serangkum sampokan
bertenaga dalam dahsyat terlepas dari punggung tangan wanita bermuka pucat
berjuluk Beruang Betina Kutub Utara.
Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu melayang.
Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing
kegusaran para perwira istana. Malah, menyusul ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira berusia muda langsung turun
menghadapi kebengisannya.
Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat
akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak
beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena kepandaian tempur mereka
terbilang cukup tinggi, maka akibat yang diderita pun tak separah keempat
prajurit. Mereka hanya terluka dalam.
Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi
mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina
Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda yang berada di sisinya,
pangeran muda perkasa itu melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan
wanita yang tak hanya telah lancang melamarnya, tapi juga telah berbuat semena-
mena di wilayah kekuasaannya.
"Siapa kau sebenarnya,
Wanita Asing?" tanya
Pangeran Husein, tenang.
"Aku?"
Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein.
Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang lahir dari setiap gerak
bola matanya mengandung kekuatan memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja,
Pangeran Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung terpengaruh.
"Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak punya nama. Tapi, aku lebih
suka disebut Beruang Betina Kutub Utara," sambung wanita itu, menjelaskan.
"Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran di tempat ayahku?" sambung
Pangeran Husein, datar tapi mantap.
"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara singkat sambil menyingkap anak
rambut berwarna putih yang jatuh menutupi mata.
"Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah berbuat kemungkaran akan mendapat
hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya?"
"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara, dengan singkat pula.
"Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk menyerahkan diri pada hukum
yang berlaku di kerajaan kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa
empat prajurit dan melukai dua perwira...."
"Aku juga tahu itu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara sekali lagi. "Tapi aku
tak mau...."
Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh Pangeran Husein, selain
menggempur wanita cantik yang berkulit wajah pucat di depannya.
Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja yang pernah melihat Pangeran
berlaga di medan perang baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang
pernah dialami sang pangeran.
Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan.
Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya.
Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang
mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu tinggi sekali pun.
Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang pangeran. Belum lagi hantaman-
hantaman dari setiap kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara.
Sampai akhirnya....
"Pangeran Husein! Aku menyusulmu untuk melamarmu kembali!"
Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan
kejadian silam dalam benak Pangeran Hu?sein.
Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu nelayan kecil yang tertambat
bisu, tampak seso-sok bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran
rembulan. Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira Thariq.... Wanita yang baru
munc ul itu memang Beruang Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan
mantel bulu beruangnya.
"Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?"
tanya Pangeran Husein.
"Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu kembali...," jawab wanita itu di
kejauhan. "Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin
meringkusmu kembali, karena kau telah berhasil meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan kejimu waktu itu"!" balas
sang pangeran muda penuh tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan.
"Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?"
Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi alis hitam lebal yang
merentang jantan, menusuk
kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri.
"Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik, mungkin aku bisa tertarik
denganmu. Tapi, kini, di mataku kau bagaikan buronan yang mesti menjalani
hukuman!" tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang.
"Mmm...," Beruang Betina Kutub Utara bergumam lepas. "Apa karena kau sudah
merasa memiliki pilihan hati, seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga
Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang
diumumkan beberapa hari lalu?" cemooh Beruang Betina Kutub Utara.
"Itu bukan urusanmu, Nona!" bentak Pangeran Husein. Gagang pedang di pinggangnya
diremas kuat-kuat.
Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari pancingan Beruang Betina
Kutub Utara. "Tentu saja itu jadi urusanku...," balas Beruang Betina Kutub Utara.
Perempuan berwajah jelita namun pucat itu me-
langkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas geladak kapal menyapu
wajah dan sebagian tubuhnya.
"Kau ingin tahu, kenapa?" lanjut Beruang Betina Kutub Utara dingin dan datar.
"Karena wanita yang kau cari itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu.
Pangeran...."
Kalau sang pangeran masih bisa menahan kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya kewibawaan dalam diri lelaki
tua itu bukanlah jaminan bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran.
"Perempuan tak tahu adat!" hardik Perwira Thariq mengguntur. Dilompatinya
pinggir buritan setinggi dada.
Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh
depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara.
"Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup atau mati!" dengus Perwira
Thariq geram. Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis mencemooh.
"Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua!"
Srang! Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak
kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas senjata dari sarangnya.
"Hiaaa...!"
Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein lagi, laki-laki bagai singa tua
itu segera melabrak beruang wanita dengan sabetan pedang menggetarkan.
Sing...! Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang Betina Kutub Utara. Dilihat


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari sasaran te-basannya, tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan.
Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi aturan-aturan yang
berlaku dikerajaan. Salah satunya adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk
menyerah, dengan melumpuhkannya saja. Di samping itu, ada
ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita.
Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara,
ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada kenyataannya, Beruang
Betina Kutub Utara justru lebih berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago
tempur sekalipun.
Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak
segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina Kutub Utara.
Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak
kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara.
Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya dari dalam. Maka sekerdip
mata saja, sisi tajam pedang bertumbukan dengan kibasan mantel. Drang!
Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq
terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan telah sompal!
Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan mantel Beruang Betina Kutub
Utara kembali menyibak udara. Drang!
Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya sungguh mengejutkan.
Bagaimana bisa mantel bulu yang terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang
Perwira Thariq menjadi tiga bagian sama rata"!
Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi terpaksa terbelalak lebar.
Perwira T hariq yakin, kalau wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya
sekali saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan dengan tiga
gerakan. Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus
memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di negerinya, jago pedang
yang paling hebat pun, belum bisa melakukannya. Bahkan kelihaian permainan
pedang Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum tentu mampu.
"Aku tak ingin mengotori tangan dengan mem-
bunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari jalanku!" gebah Beruang
Betina Kutub Utara dengan tatapan menghujam.
"Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah gunung, aku tak akan mundur,"
balas Perwira Thariq, sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat
terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi.
Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak
Kelana Buana 2 Seruling Sakti Karya Didit S Andrianto Jala Pedang Jaring Sutra 17
^