Pencarian

Bayang Bayang Gaib 2

Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib Bagian 2


kentara. "Itu artinya, kau minta aku membunuhmu...."
"Cukup, Beruang Betina!" terabas Pangeran Husein melihat gelagat tak baik bakal
dialami salah seorang perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan.
Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya.
Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal.
Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara
Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara.
"Kau telah terlalu jauh, Nona...," ucap Pangeran Husein satu-satu, dipadati
gelegak kegeraman.
Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat ke manik mata Beruang Betina
Kutub Utara yang selalu menebar pengaruh rayu.
"Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk menumpahkan darah pada siapa
pun. Tapi karena aku memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan kerajaan,
terpaksa aku harus berhadapan denganmu...,"
jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada wanita calon lawannya
agar segera bersiap.
Sring! Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi, itu pun memperdengarkan
suara menggiriskan manakala lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan
kontan bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal, menjilati mata pedang
sepanjang satu kaki yang
membengkok. Wut! Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka
di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat yang pernah terjadi
beberapa waktu lalu di negerinya akan segera terulang kembali. Tapi sebelum
masing-masing bergerak lebih lanjut....
"Hi hi hi...! Jangan digubris perempuan jalang seperti dia, Pangeian Gagah...,"
selak seseorang, menjegal pertarungan yang baru saja hendak tersulut.
Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu.
Siapa dia"
Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah berurusan dengan Anggraini.
Perempuan yang tak kalah cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya
telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul dengan lenggak-lenggok
gemulai menggoda.
Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah
beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita
jalang. "Perempuan bosan hidup dari mana yang berani menyebutku selancang itu?" geram
Beruang Betina Kutub Utara."Heee..., bosan hidup?" wanita berkebaya melengak.
Bibirnya mencibir. "Bagaimana bisa dikatakan kalau aku bosan hidup, bila aku
datang ke sini malah hendak memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa... "
Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya
mengerling nakal ke arah Pangeran Husein.
Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap teliti wanita berkebaya.
"Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pe-ngumumanku?" bisik sang pangeran
membatin. "Kalau benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang muncul dalam
mimpiku" Dia memang cantik. Tak kalah cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara.
Tapi wajahnya sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam
mimpiku...."
"Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan hamba Pangeran yang
'ehm..ehm' kalau aku nanti sudah resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas
menikmatinya. Bahkan lebih dari itu... hi....hi" kicau wanita berkebaya.
*** 6 Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek bertudung lebar melenting
ringan di antara lekuk-lekuk tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak
menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal koyakan-koyakan saja, menari-
nari ditepis angin.
Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek,
memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan tempurung dengkul menonjol.
Sesekali gigi tebingnya runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak
beralas apa-apa.
Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di
bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara aneh si kakek melakukan
perjalanan, membuat dara jelita berkesan ketus itu menjadi tertarik.
"Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...,"
senandung si kakek lamat-lamat.
Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini melewati gadis itu di atas
tebing. "Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya...," sambung si
kakek bertudung.
merangkai senandungnya.
Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini segera bertautan satu sama
lain. Bagaimana tidak"
Ternyata. lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali dengan keadaan dirinya.
Pada punggung kanan Anggraini pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma.
"Pak Tua, tunggu!" tahan Anggraini dari bawah.
Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik bersenandung sambil mencelat-celat
di antara tonjolan tebing menuju matahari terbenam.
Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas kesal."Pak Tua! Kenapa kau
menyanyikan lagu yang buruk itu"! Telingaku pekak mcndengarnya!" pancing
Anggraini, agar si kakek mau berhenti.
Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu
yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak.
Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk
orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya berhenti ketimbang
panggilan santun.
"Bocah perempuan gendengl" hardik orang tua itu dongkol.
Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek berhenti. Hanya saja,
kepalanya belum menoleh sedikit pun. Apalagi berbalik.
"Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku hanya ingin agar kau berhenti
sejenak," hatur Anggraini dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling
tidak, bisa membayar kekurang ajaran yang dilakukan karena terpaksa tadi.
"Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu artinya mau mempermainkanku.
Itu lebih mendongkolkan daripada sekadar hinaan tadi!" ketus si kakek, tetap tak
berbalik. "Oh! Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak Tua," ralat Anggraini bcrgegas.
"Huh! Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?" Menerima gerutuan janggal si kakek,
perut Anggraini seperti digelitik sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum
menahan tawa."Jangan menertawakanku!" bentak si orang tua.
Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara
tawa. Namun, si kakek tahu kalau gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana
dia tahu tanpa perlu menoleh" Anggraini jadi terkagum-kagum.
"Jus.. , jus.. ."
Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki tua itu bukan orang
sembarangan. Mungkin saja
kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku hitam dibanding ilmu si
kakek. "Bicara yang jelas! Masih muda sudah seperti nenek peyot dan pikun! Pakai 'jus..
jus' segala lagi!"
"Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak Tua tentang lirik yang kau
nyanyikan Pak T ua," lagi-lagi Anggraini merasa harus meralat ucapannya.
"Tanya!"
"Bagaimana, Pak Tua?" tanya Anggraini karena tidak jelas menangkap ucapan
singkat si kakek yang sampai saat itu tak sudi menoleh padanya.
"Kubilang, tanya! Kau taruh otakmu di mana"!"
dengus si kakek.
"Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua.
Apakah...."
"Ya! Memang ada pangeran dari seberang lautan hendak mencari istri!" terabas si
lelaki tua, sebelum Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya.
"Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?"
tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas.
"Huh, karanganku...," gerutu lelaki tua ini. "Sana kau datangi pesisir! Biar kau
bisa lebih jelas duduk perkaranya!
Jangan hanya bertanya melulu!"
Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan perjalanan dengan cara aneh.
Sejurus tubuhnya melenting tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting
lagi. Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di
kejauhan. "Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada seorang pangeran yang
mengharapkan wanita yang
bertanda bunga Wijayakus uma di punggung kanannya,"
bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi.
"Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir berbentuk bunga
Wijayakusuma.... Aneh! Apa ini kebetulan semata" Atau...."
Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar benak dara cantik berkesan
ketus itu. "Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu.
Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua itu...," putus Anggraini
akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh.
Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu
berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti tonggak menanti
cahaya rembulan di te-ngah malam.
Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka tabirnya, terlempar tawa dari
mulut kakek aneh tadi. Tawa yang bising, melengking serta menggidikkan. "Ha ha
ha...!" Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung tawanya. Seluruh kulit lelaki
tua itu mengelupas. Saat yang sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat
puluhan ulat-ulat kecil!
Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam wujud kerangka busuk. Jasad
halus manusia terkutuk telah merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat
dari liang lahat.
*** Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar
Pangeran Husein tertambat.
Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah
berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah Buangan, memperkenalkan
namanya pada Pangeran
Husein. "Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng,"
kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul. "Tak perlu lagi pangeran
mengurusi wanita pucat ini. Nanti hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak
mencari seorang istri" Inilah aku, calon istrimu. Datang memenuhi
panggilanmu.... Hi hi hi...!"
"Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung
kanannya," kata Pangeran Husein.
"Ya, aku orangnya! Mau lihat buktinya" Boleh...."
Tanpa malu-malu, Kuntum Mawar melorotkan kebayanya sebagian. Untung saja. tubuhnya masih
tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein bisa-bisa membuang
pandangannya jauh-jauh ke tengah laut! Dengan membelakangi Pangeran Husein,
Kuntum Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di punggung kanannya.
"Nih, lihat! Benar, bukan?" tukas wanita seronokan itu.
Pangeran Husein menggeleng-gelengkan kepala.
Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar bunga Wijayakusuma. Tapi
matanya tidak bisa ditipu. Itu bukan sekadar tanda scjak lahir, melainkan tatto
yang sengaja dibuat dan tampaknya masih baru.
"Dasar perempuan murahan!" caci Beruang Betina Kutub Utara gusar melihat si
pangeran hendak dirayu wanita saingannya.
"Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri Pangeran Yang Perkasa!" bentak
Kuntum Mawar. Matanya berkedip-kedip cepat karena marah.
Beruang Betina Kutub Utara mencibir.
"Jangan bodoh! Pangeran tak pernah mencari wanita seperti kau.... Juga, jangan
menganggap Pangeran bodoh.
Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu hanya buatan tangan?"
cemooh Beruang Betina Kutub Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin
seperti biasa."Eee, kurang asem! Mau kujambak rambut 'kain kafan'mu itu, ya"!"
Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala
betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub Utara. Kedua tangannya
membentuk cakar ke depan, siap menjambak rambut lawan.
Wuk! Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba
menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut dengan pukulan 'Cakar
Beruang' nya pula.
Bret! Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina Kutub Utara tersadar, jubah
bulu beruang salju kesayangan telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran
Kuntum Mawar Lebih
dahulu menge-nai
sasaran. Sedangkan, pukulan 'Cakar Beruang' Beruang Betina Kutub
Utara bagai hilang lertelan angin.
Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah
berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan yang tampaknya selemah
penari itu. Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara
mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar.
Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah bulunya seperti melukai bagian
tubuh-nya sendiri.
"Tangan lancangmu harus membayarnya!" ancam Beruang Betina Kutub Utara, nyaris
terdengar seperti geraman seekor beruang betina.
"Maaf, aku tak punya persediaan tangan lain. Hanya ini yang aku punya," ledek
Kuntum Mawar seraya mengangkat sepasang tangannya.
"Kutung tanganmu!" Sekarang, giliran Beruang Betina Kutub Utara memulai
serangan. Pertarungan dua wanita yang memiliki pesona wajah menarik itu pun tak
bisa dihindari lagi.
*** Pada saat yang sama, Anggraini tiba pula di sekitar dermaga. Dari kejauhan, dara
berpakaian merah-merah itu sudah bisa menduga ada pertarungan seru berlangsung.
Telinganya bisa menangkap angin pukulan yang berderu kencang sampai ke
lempatnya. Demikian pula teriakan-teriakan penuh gejolak nafsu membunuh dari
kedua wanita yang terlihat pertarungan.
Anggraini mempercepat langkahnya. Tak begitu lama kemudian. matanya sudah bisa
menyaksikan medan laga di sisi dermaga timur.
Bibirnya mengembangkan senyum tipis melihat salah seorang wanita yang sedang
bertarung. Si wanita
berkebaya beberapa waktu lalu, sempat dipermainkan Anggraini karena sikap
pongahnya. Kalau sekarang dia sudah mendapat musuh kembali, Anggraini tidak
begitu heran."Dasar perempuan usil,"bisik Anggraini mencela
wanita berkebaya.
Medan laga rupanya tak begitu menguras perhatian Anggraini. Karena, ada hal lain
yang membuatnya lebih tertarik. Yakni seorang pemuda perkasa bersorban dan
beraut wajah tampan, namun asing.
"Itukah pangeran yang dimaksud orang tua yang kutemui?"
tanya Anggraini, membatin. Tak

Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa dibayangkan, kalau dirinya yang sedang dicari sang pangeran untuk dijadikan
istri. Mungkin itu bukan lagi sekadar kejutan, namun lebih dari itu.
Apa iya, ya" Anggraini berbisik tak yakin. Seorang anak raja dari negeri di
seberang lautan, tampan, perkasa, dan dari sinar matanya tampak memiliki
kelembutan, mencari wanita bertanda tubuh berbentuk kembang
Wijayakusuma di punggung kanannya?"
Ketika dua bola mata lentik mcnawan milik Anggraini memperhatikan lekat-lekat
Pangeran Husein, mendadak saja membersit sinar amat menyilaukan dari dalam
tanah, tepat di tempat pangeran itu ber?diri.
Slas! Sinar itu bagai bunga raksasa aneh yang meman-car ke segenap penjuru, merangsek
kegelapan malam. Begitu menyilaukannya sinar itu, sampai-sampai tubuh pangeran
tak tampak lagi.
Anggraini kontan mengangkat tangan ke depan wajah.
Matanya tak sanggup lagi menerima terjangan sinar tadi.
Bahkan, Beruang Betina Kutub Utara dan Kuntum Mawar yang sedang berbaku jurus
pun tak luput melakukan hal yang sama. Seperti juga Perwira Thariq serta
beberapa awak kapal kerajaan negeri Parsi.
Kemudian, menyusul ledakan amat gempita menerpa
seluruh kawasan dermaga....
*** 7 Malam ini Pendekar Slebor bermimpi amat menakutkan. Dalam mimpi, Anggraini yang sudah amat dikenalnya
ditelan sekawanan mambang bersosok menyeramkan yang keluar dari seberkas cahaya amat menyilaukan. Andika sendiri
saat itu seperti berusaha menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Anggraini.
Seluruh tenaganya
terkuras untuk meraih tangan Anggraini. Tapi, si gadis tetap tak tergapai. Wajah jelita Anggraini memucat dan
dirasuki ketakutan teramat sangat.
Mulutnya menjerit pada Andika, tanpa suara. Anggraini menggapai-gapai dalam
jarak yang semakin jauh dari Andika. Sampai akhirnya, tubuhnya hilang tertelan
oleh rongga mulut para mambang.
"Bang! Bang, bangun! Bang Andika!"
Andika terjaga. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh.
Napasnya turun naik tak teratur, seakan baru saja menempuh perjalanan panjang
melelahkan tanpa batas.
"Di mana aku?" tanya Andika, dengan tatapan nanar.
"Memang, Kakang kira ada di mana" Di sorga"
Aduh.... Sudah jadi pendekar kesohor, kok masih bisa linglung! Kita kan masih di
penginapan!" jawab Tompel yang baru saja membangunkan Andika.
Andika membuang napas lega.
"Fhuii h.... Kukira, aku benar-benar mengalaminya...,"
ucap Andika terseret. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di tepinya.
"Mengalami apa. Bang"!"
"Mimpi itu," singkat Andika.
"Mimpi, ya mimpi.... Bukan kenyataan!" sergah Tompel, sok tahu.
Andika menautkan alis. Matanya menerawang.
"Tapi mimpi yang baru saja kualami seperti
kenyataan. Pel...," kata Pendekar Slebor sungguh-sung-guh.
"Ah, sudahlah Bang! Ini tengah malam. Tidur saja lagi!"
Kemudian bocah tanggung yang belum lagi akil balig
itu ngeloyor keluar kamar.
"Mau ke mana, kau?" tanya Andika.
"Ada pagelaran wayang semalam suntuk di alun-alun, mau ikut?" sahut Tompel acuh.
Sepeninggalan Tompel, pendekar muda dari Lembah
Kutukan itu berdiri termenung di sisi jendela kamar penginapan sederhana yang
berada di sisi jalan kotapraja.
Pikiran Pendekar Slebor kembali merayapi mimpi yang baru saja dialaminya.
Cahaya" Bisik hatinya. Sepertinya, dia juga pernah menyaksikan cahaya dalam
mimpi.... Tapi, di mana" Dan para mambang itu, mengingatkannya pada satu hal.
Rahang Andika bergemeletuk. "Kutu buduk.... Monyel gundul! Kenapa otakku jadi
buntu seperti ini!" Andika menyumpah-nyumpah sambil menyapu udara dengan
tangannya. Mulailah Andika mondar-mandir seperti mandor
kehilangan pekerjaan.
"Aku harus dapat mengingatnya," desis pemuda itu berketad. "Akuyakin ini bukan
sekadar mimpi kosong tak berarti. Mimpi itu pasti berhubungan erat dengan
'bayangan' yang didapat Walet!"
Langkah Andika terhenti sejenak.
"Aku yakin, Anggraini dalam bahaya. Tapi... sialan!
Bahaya apa yang sebenarnya mengancam gadis itu"! Dan siapa pula dalang
semuanya?"
Merasa yakin pengaruh mimpi itu masih membekas di alam bawah sadarnya, hingga
sulit untuk memusatkan pikirannya, Andika segera memusatkan untuk melakukan
semadi. Kini Pendekar Slebor mengambil sikap semadi. Dan dia melakukannya di atas tempat
tidur. Tak begitu lama, Andika sudah membuka mata
kembali. Dia bangkit dari silanya dengan wajah lebih segar.
"Ya! Sekarang aku bisa ingat.... Kapan dan di mana aku pernah melihat cahaya
semacam itu. Yang ketika aku berhasil menumpas Manusia Dari Pusat Bumi beberapa
waktu silam! Dan mambang yang ada dalam cahaya tentu perlambang kekuatan alam
kegelapan yang dimiliki Manusia Dari Pusat Bumi! Kalau begitu, manusia laknat
jelmaan siluman itu telah munc ul kembali!"
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Manusia Dari Pusat Bumi, bacalah tiga
episode berikut ini: "Manusia Dari Pusat Bumi, Pangadilan Perut Bumi, dan Cermin
Alam Gaib").
Untuk beberapa lama Andika memutar-mutar pikirannya. Setahu Andika, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi telah hancur lebur
terhajar kekuatan petir yang tersalur melalui tubuh Andika. Kalau begitu, tentu
manusia jelmaan siluman ini tak muncul dengan jasad aslinya. Rohnya yang menyatu
dengan Cermin Alam Gaib, tentu telah melanglang buana mencari wadah untuk
ditempati. "Ya, Tuhan...," desis Pendekar Slebor tiba-tiba.
Andika teringat pada pangeran yang mencari seorang gadis
bertanda bunga Wijayakusuma di
punggung kanannya. Pada saat yang hampir bersamaan, dia pun teringat cerita Walet.
Menurut 'bayangan' yang dilihat bocah ajaib itu, ada seorang wanita cantik
berpakaian merah yang bertanda sama tengah berada dalam keadaan bahaya.
"Kalau mimpiku benar, berarti gadis yang berada dalam ' bayangan' Walet dan
gadis yang dicari pangeran itu adalah Anggraini! Dan..., astaga! Tentu pangeran
asing itu telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi!" simpul Pendekar Slebor
nyaris tercekat.
Tanpa banyak mengumbar waktu lebih lama, Andika
segera mengempos seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tujuannya sudah pasti ke pesisir pantai! Bukankah dalam
bayangannya Walet melihat tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang, dan di
atasnyapurnama membulatpenuh" Andika yakin, tempat yang digambarkan Walet adalah
pesisir pantai. Sedangkan purnama membulat penuh, jatuh tepat pada malam ini!
*** Dermaga di pesisir pantai ditelan kebisuan men-
cengkam. Tak ada suara. Bahkan sekadar desir angin atau kecipak gelombang kecil
sekali pun. Laut begitu tenang.
Andika yang telah tiba di sana, merasakan ketenangan laut seperti gambaran
sebuah kematian.
Di sebelah tenggara dermaga, terlihat kapal layar kerajaan dari negeri Parsi
tertambat, sebisu suasana.
"Aku merasakan hal yang aneh," bisik Andika.
Seketika bulu di sekujur tengkuknya meremang hebat. "Tak seperti biasanya. alam
semati ini...."
Dengan langkab satu-satu, pemuda sakti yang
tersohor sebagai Pendekar Slebor mendekati lam-bung kapal. Begitu sampai
ditempat yang dituju, matanya tertumbuk
pada beberapa sosok mayat yang bergelimpangan, nyaris tersamar karena tertutup pasir pantai.
Begitu mega gelap membiarkan cahaya purnama
jatuh pada bibir pantai, tubuh-tubuh mayat itu terlihat jelas.
Dua lelaki berpakaian khas negeri Parsi tertelungkup tanpa gemik. Begitu juga
dua wanita di sisi lain sudah tidak bernapas lagi. Wanita yang satu mengenakan
mantel bulu beruang salju. Sementara yang satu lagi berkebaya ketat dengan kain
wiron ketat pula. Dari kedua wanita itu, tak seorang pun yang dikenal Andika.
Sewaktu anak muda sakti itu sedang berjongkok di sisi tubuh perempuan bermantel
bulu beruang, tanpa disadari
dua pasang mata memendarkan sinar menatapnya di kegelapan. Mata itu demikian liar, memendam dendam. Dalam
kesunyian tempat per-sembunyiannya, tcrsembul suara gcraman berat.
Rupanya, sesosok makhluk besar berbulu itu adalah beruang kutub milik Beruang
Betina Kutub Utara. Tepat pada saat Andika di dekat tuannya, beruang itu pun
melihat Andika. Entah bagaimana. naluri binatang itu menganggap
Andika lah yang telah membunuh majikannya. Dengan menggeram di kejauhan, beruang itu
menjauhi dermaga.
Sementara itu, Andika mencoba meneliti dua lelaki yang telah meninggal di sisi
lain. Udara di sekeliling tercium bau anyir dari darah yang mengering.
Mayat lelaki yang satu berbadan gempal, tapi bagian dada dan perutnya sobek.
Seperti habis di cabik-cabik binatang buas. Mayat itu adalah Thariq, Perwi?ra
Kerajaan Parsi.
Mayat yang lain memiliki luka yang sama. Begitu
mengenaskan keadaannya. Andika mau tak mau harus mengerutkan dahi dalam-dalam.
Lelaki itu Pangeran Husein, seorang yang dicurigainya sebagai Manusia Dari Pusat
Bumi. "Kalau begitu, aku telah salah duga. Rupanya, pangeran dari seberang lautan ini
tampaknya tidak bersalah. Tapi, kenapa dia mendapat wangsit dalam mimpinya untuk
mencari Anggraini sebagai calon istri?"
Andika kembali berbisik, bertanya pada diri sendiri. Tiba-tiba...."Dia telah
diperalat, Kang," ucap seseorang di belakang Andika.
Andika menoleh. Ternyata di belakangnya berdiri, si bocah ajaib titisan seorang
pangeran sakti yang mati ratusan tahun lalu. Walet!
"Apa yang telah kau ketahui lagi, Walet?" tanya Andika, tanpa mau banyak basa-
basi. "Selama beberapa hari belakangan, aku berusaha menembus medan kekuatan gaib dari
alam kegelapan yang datang berupa cahaya dalam 'bayangan'ku. Meski susah payah,
akhirnya aku dapat sedikit menguaknya,"
lapor si bocah ajaib seraya melangkah menuju Pendekar Slebor. "Pangeran ini
rupanya telah diperalat roh jahat...."
"Manusia Dari Pusat Bumi?" duga Andika cepat. "Ya!
Roh manusia siluman itu telah mengirim wangsit palsu dalam mimpi sang pangeran.
Dengan begitu, pangeran akan berusaha mencari Anggraini, gadis yang memiliki
tanda tubuh di punggung kanannya. Setelah pengumuman
dibuat sang pangeran, tentu Anggraini akan tertarik. Lalu, dia pun mendatangi
tempat ini, tempat di mana kapal layar pangeran tertambat sekaligus sebagai
satu-satunya tempat bagi Manusia Dari Pusat Bumi untuk bisa melaksanakan niatnya
menculik Anggraini."
"Aku masih belum paham dengan tujuan roh laknat itu dalam menculik Anggraini?"
ujar Andika, masih diliputi rasa penasaran.
"Untuk dijadikan tumbal, Kang," sahut Walel. Saat berucap, kelopak matanya
menyipit. "Gadis itu memiliki tanda khusus di tubuhnya. Hanya dialah yang bisa
menjadi syarat kembalinya Manusia Dari Pusat Bumi ke dunia kasar."
Andika bergidik mendengar penuturan si bocah ajaib di depannya.
"Kalau begitu, aku harus segera menyelamatkan Anggraini sebelum semuanya
terlambal. Tapi, aku tak tahu ke mana harus pergi...," kata Pendekar Slebor,
seperti mengeluh.
"Rasanya aku sudah bisa menemukan tempat
Manusia Dari Pusat Bumi yang kini sedang menggunakan wadah sescorang untuk
melaksanakan niatnya...," kata Walet lagi, dengan gaya berkesan orang tua.
"Cepat katakan, di mana?" desak Andika. Walet pun memberitahukan Pendekar Slebor
tempat yang dimaksud.
Selelah itu, segera Pendekar Slebor berlari bagai mengejar waktu ke arah yang
dituju. *** 8 Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun yang
menjulang seperti hendak meraih langit, menjadi tempat untuk melaksanakan
rencana Manusia Dari Pusat Bumi.
Dia memang bermaksud menyempurnakan dirinya kembali agar dapat muncul di alam
kasar. Tempat ini sangat tepat, karena sama sekali tidak mengundang minat orang
untuk mendatanginya. Letaknya memang persis di pusat hutan yang terkenal paling
angker. Rimba Selaksa Mambang!
Untuk yang kedua kalinya, Andika tiba di sana.
Pertama ketika berusaha mengambil Cermin Alam Gaib (Untuk
mengetahui lebih jelas, bacalah episode: "Pengadilan Perut Bumi"). Kini untuk yang kedua kalinya, bertujuan untuk
menyelamatkan Anggraini.
Saal ini, hari makin ditelan malam. Dini hari kian suntuk. Kabut merayap-rayap
di segenap penjuru hutan, bagai segerombolan dedemit mencari mangsa. Pandangan
yang terhalang kabut pekat, tak bisa menahan Pendekar Slebor untuk terus
menembus hutan menuju jantung Rimba Slaksa Mambang. Bahkan udara dingin yang
serasa hendak meretakkan tulang-tulang di sekujur tubuhnya tak mampu menahan
langkah pemuda itu.
Sambil berjalan, Andika mengerahkan seluruh panca indranya, juga hawa murni


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tubuhnya diatur agar dapat mengenyahkan rasa dingin. Kalau tidak begitu,
dia bisa kehilangan kesadaran akibat siksaan dingin.
Menurut kabar angin, banyak orang persilatan
menjadi hilang ingatan, manakala terjebak dalam hutan itu pada saat malam.
Beruntung kalau kebetulan mereka memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak,
biasanya esok hari mereka akan ditemukan mati dalam keadaan membiru.
Sementara Andika terus berjalan tersuruk-suruk, para satwa malam memperdengarkan
rintihan. Suasana jadi kian menggidikkan.
Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang
batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa.
"Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing!"
maki Andika berdesis.
Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada tempat itu. Di samping di sana
bermukim para siluman yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil Cermin
Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya.
Manusia Dari Pusat Bumi!
Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat
bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris pohon tua itu tak
terlihat kalau saja tak ada sinar purnama yang sedikit menyusupi celah daun-daun
pepohonan hutan yang demikian lebat.
Menurut Walet, Andika bisa menembus mas uk ke
dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu.
Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya bisa terluka, bahkan
mungkin Andika akan kehilangan nyawa!
Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi.
Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi alam kegelapan para
makhluk durjana. Pendekar muda itu memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu
penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik.
Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak
tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh erat pangkal
lengannya. Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda-
kuda."Tompel"!" ucap Andika hampir-hampir berseru begitu melihat seseorang yang
baru saja menyentuh tangannya.
Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah
anak ini Tompel" Padahal, Andika harus mengatur hawa murni sedemikian rupa agar
bisa bertahan dari hawa dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel..."
Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke belakang. Ditatapnya hati-hati
serta teliti bocah tanggung di depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman
yang menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak ingin tertipu untuk kedua
kalinya. Dia tak boleh 'terpuruk dalam lobang yang sama! (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").
"Bang Andika.... Yeee... Kenapa jadi seperti orang kurang waras"!" sungut si
bocah tanggung.
Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya memang khas Tompel. Acuh dan
asal bunyi. Tapi, tetap saja Andika ragu.
"Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman berpusar jengkol!" maki
Andika tersenyum sinis.
Bocah di depan Pendekar Slebor langsung memperlihatkan muka asam.
"Abang Andika ini bagaimana"! Aku ini Tompel! Benar-benar Tompel tulen! Masa'
dibilang siluman berpusar jengkol segala!" rutuk Tompel.
"Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi hawa dingin hutan ini!" sergah
Andika. "Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku.
Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi murid Pendekar Dungu?" Mata
Pendekar Slebor menyipit.
"Kau..." Murid Pendekar Dungu?" tanya Pendekar Slebor tak percaya.
"Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri-cirinya. Orangnya sudah tua.
Giginya tinggal tiga. Bertopi pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu
lagi..., bodohnya minta tobat!" papar si bocah tanggung lancar!
"Aku sudah kenal dia." kata Andika lagi. "Tapi, tetap saja aku tak percaya kalau
kau adalah Tompel."
"Aaah, Abang ini! Kenapa jadi memusingkan aku ini Tompel atau bukan"! Yang
penting, Abang harus tahu! Ada sesuatu yang lebih gawat dari itu!" Andika tak
berucap apa-apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh dengan
keadaan tetap siap siaga.
"Bang Suta! Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke alun-alun untuk menonton
pertunjukan wayang, aku berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali
tidak mengenaliku.
Padahal, aku lewat persis
di depannya...," cerocos si bocah tanggung, lancar seperti mercon kembang api.
"Karena aku yakin ada yang tak beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu
kuurungkan niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke tempat ini.
Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga dalam oleh Guru Rengga...."
"Guru Rengga?"
"Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama Renggaswara!" ujar Tompel,
kurangajar. "Kalau aku tidak berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus
dalam keadaan kaku di tempat ini."
Andika mulai mempercayai keterangan bocah tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel sesungguhnya. Anak ini
tampak kurang ajar pada siapa saja. Tapi, sebenarnya berhati baik.
"Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika!"
cetus Tompel, setengah berbisik. "Bang S uta, entah bagaimana bisa menembus
masuk ke dalam pohon besar itu."
Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang
Andika. "Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa melakukannya...," lanjut Tompel tetap
berbisik. "Suta?" desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah dirasuki roh Manusia Dari
Pusat Bumi adalah sahabatnya sendiri" Orang yang sudah seperti saudara
kandungnya.... "Ah! Rasanya aku tak bisa mempercayainya," kata Andika, lirih.
"Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan seringkali bertolak belakang dari
harapan kita," tukas Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya tergolong
bijak. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Bang?"
"Aku harus menyelamatkan seorang perempuan
dalam alam siluman di balik pohon ini," sahut Andika. "Kita masuk, Bang?" ralat
Tompel. "Apa maksudmu?" tanya
Andika. "Lho" Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam sana. Bang Suta kan, sudah
seperti kakak kan-dungku juga!" sambung Tompel beralasan.
"Bukan itu masalahnya...."
"Apakah Abang kira aku takut dengan 'genderuwo', setan belang, siluman cacingan,
dan segala macam?"
serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar.
"Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi...."
"Tak ada tapi, Bang!" Tompel bersikeras. Bibirnya mencibir, seolah hendak
menganggap masuk ke alam kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut
baginya. "Kau...," Andika kehabisan kata. "Baiklah, hitung-hitung buat berjaga-jaga."
"Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?"
"Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung ngacir melihat wajahmu. Wajahmu
kan. lebih jelek daripada mereka.... He he he.. ."
"Sialan benar!"
Andika lalu memulai kembali niatnya untuk ber-
semadi. "Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam gaib terbuka, kau harus
segera masuk. Setelah itu, aku menyusul," pesan Andika, seraya menyatukan kedua
tangannya. "Kenapa bukan Abang lebih dahulu?" tanya Tompel, tak suka.
"Katanya kau bukan pengecut...," ledek Andika.
Tompel lagi-lagi mencibir.
"Ooo, pasti! Perkenalkan, pendekar sakti kotapraja yang belum sempat tersohor!"
"Sudah diam kau!" bentak Andika. Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia
harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar suara berat dan serak
merambah seisi hutan. Andika tersentak. Lebih-lebih Tompel.
"Nah, lo...! Rasanya aku belum pernah mendengar suara siluman seperti itu,
Bang," bisik Tompel seraya
mendekati Andika.
"Itu memang bukan suara siluman," kata Andika. "Aku yakin, itu suara binatang
buas. Tapi, aku belum pernah mendengarnya di tanah Jawadwipa ini...." "Jadi
binatang buas apa, Bang?"
"Mana aku tahu."
"Khoaarrrkhhh!"
Suara geraman memecah suasana hutan angker
kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan, muncullah sosok makhluk
yang tak pernah ada di tanah Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas
berbulu indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan pemangsa berdarah
dingin. "Apa itu, Bang?" tanya Tompel, tersentak.
Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud yang begitu perkasa
sekaligus menggetarkan hati!
"Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub, Pel," jawab Andika tenang.
Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor meng-
hadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya.
Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun dapat ditumpasnya dalam
sekali kepruk. Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan, Anggraini harus segera
diselamatkan. Sebentar lagi, dini hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari
Pusat Bumi melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar dirinya dapat
kembali ke alam kasar.
"Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan ilmu tenaga dalamnya padamu?"
tanya Andika cepat.
"Cukup," jawab Tompel dengan mata tak berkedip memandang
makhluk yang mempesona sekaligus membuat nyalinya mengkerut.
"Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?" tanya Andika.
"Ya..., kira-kira begitu."
"Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi binatang ini. Sementara itu, aku
akan masuk sendiri ke
alam siluman."
Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar
bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa terhalang kedatangan makhluk
buas yang menyeramkan itu.
"Cepat maju!" hardik Andika. "Jangan biarkan hewan itu mengusik semadiku," pesan
Andika. Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk memulai semadi kembali.
*** 9 "Chiaaat...!"
Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia persilatan, Tompel merangsak
beruang kutub yang telah kehilangan
tuannya. Mulutnya terbuka lebar-lebar, sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak atau justru menguap.
Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan dihadapinya, anak tanggung
yang ternyata murid si Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada beruang
kutub. Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang
kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri di atas kedua kaki
belakangnya. Sementara sepasang kaki depannya
mencakar-cakar udara ke muka, siap menyambut kedatangan tendangan Tompel.
Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi menghinaari dari sambaran
kuku-kuku tajam beruang salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya
yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara tubuhnya menggulung
demikian rupa seperti bola karet.
Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang hendak merobek kaki kurusnya
dapat dihindarinya.
Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel dengan cerdik segera
melenturkan tubuh kembali sepenuh tenaga.
Dugkh! Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi mangsa empuk kaki kurus
Tompel. Meskipun kakinya langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup
mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke belakang.
Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani.
Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran kalau sekarang kehebatan
tenaga dalam itu terlihat pada murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru
mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu.
"Wihhh! Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini terjengkang ke belakang, lho!"
seru Tompel kegirangan sendiri melihat hasil tendangannya.
Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga
sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu telah menyatu dalam
semadinya. "Khoarrkh!"
Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi makin murka menerima perlakuan
dari si bocah. Seraya mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh beruang
itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel dengan tatapan sepasang bola mata yang
tajam mengancam. Perlahan binatang itu bergerak mengintai.
"Khoaargkh...!"
Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju
Tompel. Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan main. Tak diduga kalau lawan
besarnya akan melakukan serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru
akan melarikan diri.
"Mampus juga aku!" teriak Tompel kelimpungan seraya bergegas membuang diri ke
sisi kiri. Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah yang penuh akar-akar merangas.
"Bang! Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih"!" seru Tompel pada Andika.
Bibirnya meringis sambil berusaha untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua
rupanya telah menghantam dengkulnya yang terlalu mancung.
Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan te-


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

riakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba di titik puncak
kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu niat Pendekar Slebor ditentukan,
apakah berhasil membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau tidak.Beberapa saat berselang,
di sekujur tubuh Pen?dekar
Slebor munc ul semacam pendaran cahaya halus yang hanya bisa ditangkap mata
seseorang yang memiliki kekuatan batin.
Cahaya halus itu merambat dan
mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh pendekar muda ini sendiri
tampak berge-tar. Kian lama, getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya....
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup amat kencang. Anehnya,
hanya di daerah se-kitar pohon tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran
yang menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan daun-daun, ranting-
ranting kering, rerumputan dan apa-apa yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar
yang tidak bisa
bertahan dengan akarnya lagi! Semuanya diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah batang besar pohon tua.
Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung cahaya yang amat menyilaukan.
Kian lama lingkaran itu kian membesar membentuk celah bundar pada batang pohon.
Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang, sekerdip mata saja Pendekar
Slebor telah melompat ke sana.Plash!
Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan pintu alam gaib yang bcrhasil
dibukanya. Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu alam gaib, tanpa pikir panjang
segera menyusul Pendekar Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus
buang 'gas' dari pantatnya segala. Sekejap Tompel terlambat, maka tak akan bisa
menyusul Andika. Karena begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam
gaib tersebut cepat menutup kembali.
*** Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata
tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun
dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya.
Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar Pendekar Slebor dan
Tompel. Seluruh warna begitu menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun
Tompel sama sekali tidak terpengaruh.
Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di
mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa.
Telinga keduanya dikerubungi suara-suara yang bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak menjadikan pekak.
Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk pertama kali dalam hidup
Andika dan Tompel memasuki alam para makhluk durjana.
"Akan ke mana kita. Bang?" tanya Tompel.
"Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan,"
jawab Pendekar Slebor.
"Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti ini, apa tidak mungkin kita
akan tersesat?" cetus Tompel.
Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang pendekar sakti yang amat
disegani di dunia persilatan.
"Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini milikNya. Percayalah, bahwa Sang
Khalik tetap memelihara kita dari kejahatan para makhluk durjana," tutur Andika
mantap. Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah mereka merasa menjejak
gumpalan-gumpalan awan tebal yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai
sebentang sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka membentang di
depan, maka Tompel dan Andika berhenti.
"Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang"
Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?" desis Tompel, ngeri membayangkan
dirinya mati menyusuri bentangan sinar membara tanpa tepi.
Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara apa-apa. Tidak juga untuk
menjawab pertanyaan bocah tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang.
Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya
mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya pada T uhan, tiba-tiba
dari bawah kaki muncul tangan-tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan
Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram pergelangan tangan kaki
mereka. Srap! Srap! Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih
kesigapannya, Andika cepat membuat gerakan menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam tingkat sembilan belas nya. "Khiaaa!"
Dua pasang tangan yang sempat menjepit pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut putus dari gumpalan-
gumpalan seperti asap di bawahnya.
Seketika, cairan bcrwarna kuning kental menjijikkan bercucuran dari setiap
potongan tangan tersebut.
Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa menguasai diri, saat itu juga
Pendekar Slebor akan muntah.
Sementara itu, Tompel berusaha melakukan tindakan yang sama. Sayang,
kesigapannya jauh berada di bawah Pendekar Slebor. Dia tcrlambat, karena sudah
terlalu banyak tangan-tangan berlcndir mencengkeram pergelangan kaki kurusnya hingga ke betis.
Namun sebagai gelandangan kotapraja, dia terdidik untuk hidup pantang menyerah.
Tompel tak putus harapan.
Seluruh ilmu tenaga dalam yang ter-golong tanggung, langsung dikerahkan ke
bagian kaki. Pada saatnya, dia menghentak keras.
"Hiaaah!"
Tras! Tras! Hanya dua-tiga tangan yang terputus. Selebihnya, malah menjepit Tompel lebih
kuat, lalu mulai menariknya ke dasar gumpalan.
Melihat hal itu, Pendekar Slebor tak mau kalah cepat dengan betotan-betotan
liar. Segera selendang pusaka bercorak catur diloloskan dari bahunya. Sejurus,
diputarnya bagai baling-baling. Kemudian disabetkannya beberapa kali. Kain yang semula
lembut itu berubah tegang bagai lempengan baja. Dalam beberapa kelebatan,
tangan-tangan yang berusaha membetot tubuh Tompel langsung nenjadi mangsa empuk.
Ctas! Ctas! Ctas!
"Cepat menyingkir dari tempat ini, Tompel!" seru Andika.
"Ke mana. Bang"! Bukankah di hadapan kita hanya ada bentangan cahaya membara"!"
"Jangan banyak tanya!" bentak Pendekar Slebor.
Terpaksa, Tompel pun menggenjot kakinya memasuki hamparan cahaya merah yang
panasnya menyengat
sekujur badan. Kini, di atas hamparan cahaya merah menyiksa,
kedua lelaki berbeda usia itu berlari bagai pecundang.
Biarpun Andika sudah banyak makan asam-garam dunia persilatan, namun sebagai
manusia biasa rasa takut tetap ada di benaknya. Hal yang sama pun berlaku pada
Tompel. Maka jangan tanya bagaimana takutnya si bocah badung yang semula menganggap
semua itu sekadar buang
kentut. Tak beda orang kesetanan, keduanya berlari. Andika yang memiliki ilmu
meringankan tubuh lebih tinggi daripada Tompel, terpaksa harus menyeret tubuh
bocah tanggung itu agar bisa tetap bersamanya.
Tanpa diketahui Andika dan Tompel yang terdampar di alam halus itu, para makhluk
penghuninya tengah menertawakan mereka dari tempat tersembunyi.
Suara makhluk halus memadati segenap penjuru. Di mana pun Pendekar Slebor dan
Tompel menjejakkan kaki, di situ terdengar tawa mengejek yang hingar bingar
mendirikan bulu kuduk.
Lama kelamaan, terbakar kegeraman Pendekar
Slebor. Ketegaran hatinya memaksanya berontak dari kungkungan rasa takut yang
mendera bertubi-tubi. Andika jadi murka, karena merasa telah dipermainkan
mentah- mentah oleh para makhluk durjana.
Seketika Andika menghentikan larinya, napasnya
memburu bersama kepulan hawa panas dari hidungnya.
"Aku makhluk yang lebih mulia! Terlalu bodoh jika aku menjadi bulan-bulanan
kalian!" teriak Pendekar Slebor mengguntur.
Teriakan itu mencabik-cabik hingar-bingar tawa
mengejek para siluman. Lalu alam pun sunyi. Sunyi....
Menyusul, perubahan berangsur-angsur
di sekelilingnya. Dan lamat-lamat, semuanya mengabur dari pandangan Andika dan
Tompel. Ketika pandangan kembali terang, Andika dan Tompel sama-sama tertegun. Hati
masing-masing berujar kalau mereka sangat kenal tempat itu.
"Bang! Bukankah ini kamar penginapan Bang Suta?"
tanya Tompel hati-hati sekali.
Tidak ada tanggapan dari pemuda di sebelahnya.
Pendekar Slebor tampak sedang terdiam tegang, karena mendengar suara
mencurigakan merambat menuju tempat mereka. Makin lama terdengar makin dekat.
Wuk, wuk, wuk! Deru santer bagai kcpakan sayap rajawali raksasa terdengar, dis usul hancurnya
dinding kamar penginapan yang selama ini dipakai Sutawijaya.
Blar! Dari lobang besar yang tercipta, mencuat sebuah
benda kecil berbentuk bulat lonjong melayang-layang liar.
Pendekar Slebor langsung mengenali benda itu, begitu melihatnya!
"Cermin Alam Gaib...," desis Pendekar Slebor.
Memang, cermin itu adalah senjata andalan musuh
terberatnya. Manusia Dari Pusat Bumi!
Jika benda warisan siluman itu sudah muncul, itu berati pemiliknya pun tak lama
lagi akan muncul pula.
Begitu duga Andika.
Tak lama berselang, Sutawijaya yang dirinya dikuasai roh halus Manusia Dari
Pusat Bumi pun tampak memasuki
lobang menganga di dinding pengi?napan. Lelaki muda sahabat Andika itu terlihat
ber-beda dari sebelumnya. Sinar matanya tampak menusuk bagai hendak mencabik
langsung kejantung. Wajahnya kaku, dingin, dan pucat.
Lebih pucat daripada mayat!
Saat itu, hanya satu hal yang amat dikhawatirkan Andika, terhadap diri
sahabatnya. Dia takut, roh Manusia Dari Pusat Bumi telah benar-benar menguasai
garba batin Sutawijaya. Namun menurut Walet, Manusia Dari Pusat Bumi baru benar-
benar akan menguasai penuh jasad Sutawijaya jika sudah berhasil mengorbankan
Anggraini sebagai tumbalnya.
Lalu ke mana Anggraini"
"Hua ha ha haaahhh!" satu tawa menyeramkan melompat dari tenggorokan Sutawijaya.
"Kita bertemu kembali, Pendekar Slebor. Seperti pernah kuancamkan padamu, aku
akan kembali menghancurkanmu seperti kau menghancurkan jasadku...."
"Manusia siluman bau!" maki Pendekar Slebor.
"Kujamin niatmu tak akan tersampaikan untuk hadir kembali ke alam kasar dengan
menguasai diri sahabatku!"
Manusia Dari Pusat Bumi tertawa lagi. Kali ini lebih nyaring melengking,
"Buktikanlah, Pendekar Slebor! Buktikan...," tantang Manusia Dari Pusat Bumi,
memancing kemarahan Andika.
"Kalau itu yang kau ingikan, akan kulayani," tegas Andika seraya memasang jurus
terampuhnya, 'Mengubak Hujanan Petir Membabi buta'.
Bibir Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelekmu itu, Pendekar Slebor" Ha ha ha...!"
"Banyak cincong!"
Pendekar Slebor yang sudah sepenuhnya siap
menghadapi lawan, segera menerjang ke depan. Se-
rangkai langkah-langkah teramat cepat dilakukannya.
Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat bertenaga dan mantap.
Itulah ciri khas jurus-jurus yang
diciptakannya di Lembah Kutukan ketika menjalani penyempurnaan kesaktian dulu!
(Baca episode : "Dendam dan Asmara").
"Hiaaa!"
Deb! Wes! Sampokan tangan kanan Pendekar Slebor membabat
lurus ke bagian leher Manusia Dari Pusat Bumi. Ketika nyaris tiba di sasaran,
gerakan tangannya tiba-tiba menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampok,
tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di bagian dada.
Pendekar Slebor memang tak berniat sungguh-sungguh menghajar. Dia bukan pemuda
bodoh yang baru saja turun gunung. Kalau seandainya berhasil menghantam leher
lawan, itu sama artinya sengaja membunuh Sutawijaya sahabatnya.
Sementara Manusia Dari Pusat Bumi tampaknya tak
mudah dikelabui dengan perubahan gerak secara tiba-tiba yang bisa mengecohkan
tokoh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat lincah, Manusia Dari
Pusat Bumi menjepit jari jemari Pendekar Slebor dengan sepasang telapak
tangannya. Tep!
Pada saat yang nyaris tak berlainan, mata bengis Manusia Dari Pusat Bumi melirik
tajam ke arah Cermin Alam Gaib. Seketika benda terkutuk yang masih melayang-
layang di udara itu bagai mengerti bahasa isyarat mata tuannya. Langsung
dibokongnya Pendekar Slebor dari belakang.
"Bang Andika, awas di belakangmu!" teriak Tompel keras.
Tanpa diperingatkan Tompel pun, Pendekar Slebor
sebenarnya sudah menyadari bahaya. Dengan sigap, kakinya disentakkan ke atas.
Masih dengan tangan terjepit telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi, dengan
cerdik Andika melenting ke atas.
Maka tanpa bisa dicegah lagi, Cermin Alam Gaib
langsung menghajar tubuh tuannya scndiri.
Dakh! Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi kontan terhempas ke belakang amat deras. Dinding
penginapan kembali jebol, menciptakan lobang besar tambahan.
"Sinting kau. Bang! Bang Suta bisa terluka!" bentak Tompel gusar menyaksikan
siasat bertarung Pendekar Slebor yang sengaja mengumpankan tubuh lawan pada
senjatanya sendiri.
"Tenang, Pel. Tentu saja aku sudah memperhi-tungkan. Senjata itu seperti anjing
penurut bagi Manusia Dari Pusat Bumi. Mungkin bisa menghajar tuannya, tapi tak
akan sampai terluka parah," kata Andika yakin.
Perkataan Pendekar Slebor terbukti. Dari lobang di dinding tadi, Manusia Dari
Pusat Bumi meluncur masuk kembali dengan satu terkaman ganas dan berkekuatan
penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku, seolah-olah siap mencabik baja
terkeras sekalipun.
"Nah, kau lihat sendiri, bukan?" ujar Pendekar Slebor seraya berkelit gesit.


Pendekar Slebor 14 Bayang-bayang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih sempat-sempatnya Andika berkelakar dengan
Tompel, pada saat yang bagi orang lain tak bisa
menggerakkan lidah sekalipun, karena diliputi rasa tegang.
Sewaktu dua cakar Manusia Dari Pusat Bumi hendak merobek tenggorokannya,
Pendekar Slebor bergerak sigap satu tindak ke samping.
Wuk! Maka sambaran itu pun lewat begitu saja, hanya
setengah jengkal dari tenggorokan Andika. Sebuah cara menghindar yang terlalu
mengandung bahaya
119 besar. Seakan-akan, pendekar muda itu hendak
mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Manusia Siluman Bau! Coba sedikit lagi kau
percepat gerakanmu.
Ayo... ayo...," ledek Andika, menganggap lawan seperti bocah kecil yang baru
bisa merangkak.
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrak, Manusia Dari Pusat Bumi sudah
membuat serangan sus ulan menggunakan siku kirinya.
Sementara dada bidang Pendekar Slebor hendak dijadikan sasaran.
Pendekar Slebor tak mau terus menghindar. Dia sadar kalau terus seperti itu
lama-kelamaan akan terhantam juga oleh serangan gencar Manusia Dari Pusat Bumi.
Maka dengan satu gerakan pontang-panting tapi secepat kedipan mata, tangannya
menekuk di depan dada.
Dakh! Siku Manusia Dari Pusat Bumi berhasil ditahan
Pendekar Slebor. Kemudian tangan Pendekar Slebor yang lain
meruntunkan serangkai totokan yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus.
Wuk, wuk, wuk.. !
Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian totokan Pendekar Slebor. Tapi
tak satu pun bisa
melumpuhkan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena setiap kali mengenai sasaran, tubuh
Manusia Dari Pusat Bumi berubah menjadi selembut asap. Meski setiap totokannya
tepat mengenai sasaran, ujung jari Andika tak merasa menyentuh apa-apa.
Menyadari hal itu, Andika melenting ringan untuk menjauhi Manusia Dari Pusat
Bumi. Pengalamannya di waktu lalu saat menghadapi lawannya untuk pertama kali,
langsung terngiang di benaknya.
"Monyet iler, anjing bengek, kutu mencret!" sumpah serapah panjang pendek keluar
dari mulut Pendekar Slebor. "Rupanya dia mulai bermain sihir!"
Sambil memaki, mata Andika mencari-cari ke mana
Cermin Alam Gaib. Di seluruh ruangan, tak ditemukannya lagi benda laknat itu,
setelah sebelumnya melayang-layang.
Barulah Andika sadar.
Semenjak menghantam tuannya sendiri, cermin itu telah berada pada Manusia Dari Pusat Bumi kembali.
Hanya dengan benda itu tokoh iblis itu bisa mengerahkan seluruh kekuatan
saktinya. Untuk menghadapi kekuatan sihir Manusia Dari Pusat Bumi, jalan satu-satunya bagi
Pendekar Slebor adalah
memusatkan segertap jiwanya pada satu titik terdalam di dasar diri lawannya.
Sementara itu, dia menyerahkan dirinya pada kekuasaan Tuhan Semes-ta Alam.
Pengalaman ini didapat atas saran pangeran yang
menitis pada diri Walet. Dan terbukti, Pendekar Slebor dulu bisa menaklukkan
Manusia Dari Pusat Bumi.
Kini Pendekar Slebor berusaha menyatukan dirinya dengan kekuatan Tuhan Alam
Semesta. Dugaan Andika tak meleset. Begitu memasuki taraf pengosongan diri,
sebuah semburan api raksasa tercipta dari sepasang telapak tangan Manusia Dari
Pusat Bumi. Seolah ada naga ganjil yang hendak menelan bulat-bulat tubuh Andika.
Api raksasa itu menderu menuju dirinya tanpa bisa dielakkan lagi.
Seketika seluruh tubuh Andika menghilang di balik kobaran api. Namun beberapa
saat berikutnya, api mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori
Pendekar Slebor membersit cahaya bening. Cahaya bening seperti air tanpa wujud
ini mendesak dan terus mendesak api besar milik Manusia Dari Pusat Bumi.
Menyadari usahanya tak berhasil, Manusia Dari Pusat Bumi menambah pengerahan
kekuatan sihirnya. Kini, bukan hanya api yang muncul dari telapak langan manusia
jelmaan siluman itu. Sesosok makhluk yang bentuknya berubah-ubah melayang deras
meluruk ke arah Pendekar Slebor.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata
sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening dari tubuh Pendekar
Slebor. Pada akhirnya. sebentuk tangan mencuat dari perut makhluk itu. Dan,
langsung mencengkeram Pendekar Slebor.
Krep! Saat itu, Andika merasa dirinya seperti dipaksa
tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. Napasnya sesak.
Jangankan menarik napas,
mengembangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah Pendekar Slebor akan terus bergeliat hingga meregang nyawa"
*** Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman
tangan ganjil di leher Pendekar Slebor sirna. Andika heran.
Secepat itu pula kelopak matanya membuka. Lalu apa yang dilihatnya" Sungguh
suatu hal yang membuatnya nyaris tertawa geli, meski dirinya hampir mati
sebelumnya. Tompel, si bocah tanggung yang selama ini hanya jadi penonton, ternyata telah
mencopet Cermin Alam Gaib dari balik pakaian Manusia Dari Pusat Bumi. Bocah itu
yang berhati masih bersih dari kotoran dunia, membuatnya sama sekali tak
terpengaruh kekuatan jahat benda laknat milik Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan mata kepala sendiri Andika melihat anak itu menimang-nimang Cermin Alam
Gaib. Sedangkan bibirnya yang terlalu kecil, bersiul-siul tanpa bunyi.
"Abang boleh bangga padaku.... Biar begini-begLii, aku tidak bodoh untuk
mengetahui kelemahan lawan," Tompel sesumbar dengan cuping hidung kembang-kempis
bangga. Sementara itu, mata Manusia Dari Pusat Bumi
mendelik sejadi-jadinya. Sulit diduga kalau bocah kecil yang tak pernah
dipandang sebelah mata itu berhasil menjarah benda dari balik pakaiannya saat
sedang memusatkan perhatian mengerahkan kekuatan sihir dari cermin. Sama sekali
dia tak merasakan apa-apa. Sampai akhirnya, baru tahu ketika kekuatan sihirnya
tiba-tiba pupus.
"Kembalikan benda itu!" hardik Manusia Dari Pusat Bumi dengan sehimpun keganasan
terpancar di sepasang matanya.
Tompel melirik acuh.
"Kembalikan dulu Kang Suta yang kini kau pakai jasadnya!" balas si bocah
pencopet acuh tak acuh.
Dengan garang, Manusia Dari Pusat Bumi menerkam
bocah kecil itu. Dia tidak ingin benda andalannya direbut Pendekar Slebor.
"Tompel cepat lempar benda itu!" seru Andika.
Tompel pun tak ingin menjadi korban cabikan tangan Manusia Dari Pusat Bumi.
Karena dirinya bukan dendeng yang bisa disobek-sobek. Maka segera dilemparkannya
Cermin Alam Gaib pada Andika.
"Nih Bang!"
Benda sakti itu berputar di udara. Bersamaan dengan itu, Andika melepas pukulan
bertenaga dalam tingkat tinggi warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Wush! Blash! Bagai bara mas uk ke dalam air, terdengar bunyi
desisan panjang ketika pukulan jarak jauh Andika menghantam Cermin Alam Gaib.
Tepat pada saat itu, mulut Manusia Dari Pusat Bumi melepas lengkingan tinggi.
"Aaa...!"
Saat itu pula seberkas cahaya amat menyilaukan
membersit keluar dari tubuh Sutawijaya yang menjadi tumpangan roh halus Manusia
Dari Pusat Bumi.
Keanehan tercipta. Tubuh Sutawijaya seperti mcmbelah dua. Salah satu tubuh yang keluar dari diri Sutawijaya adalah,
Anggraini.... Andika tergugu. Tompel pun begitu. Seperti dua
manusia yang baru saja mengalami prahara yang teramat menggoncangkan jiwa.
Seumur hidup, memang baru kali ini Andika dan
Tompel melihat kejadian yang amat ganjil. Sesosok tubuh yang tiba-tiba muncul
dari dalam diri orang lain"
Sementara Pendekar Slebor dan Tompel mematung,
Sutawijaya dan Anggraini tampak menggeliat kecil. Dua manusia
berbeda jenis yang tergeletak
di lantai penginapan ini mulai siuman.
"Huhhh...." keluhan Sutawijaya terdengar.
Hampir berbarengan, Anggraini pun melepas erangan.
"Di mana aku?" tanya Sutawijaya mendesis, begitu
membuka kelopak matanya.
Bcrbeda dengan Sutawijaya, Anggraini membuka
mata beriring garis-garis ketakutan pada wajahnya.
Sepasang bola matanya yang indah bergerak nyalang kian kemari, seolah di
sekelilingnya berkumpul segerombolan makhluk menakutkan dari dasar neraka.
Manakala matanya menemukan Andika, gadis itu
kontan bangkit dan memburu ke arah pemuda itu.
Disergapnya Pendekar Slebor erat-erat. Sikapnya tak beda seorang gadis kecil
yang meminta perlindungan. Di dada bidang
Pendekar Slebor, Anggraini benar-benar menumpahkan semua ketakutannya dalam tangis.
"Semuanya telah berakhir, Anggraini.... Telah berakhir," ucap Andika lembut. Tangannya mencoba memberi rasa perlindungan
dengan memeluk tubuh
gadis itu erat-erat.
Namun jauh di dasar batin, Andika tetap bertanya gelisah....
"Mungkinkah
dendammu akan hilang padaku. Anggraini?"
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Serial Pendekar Slebor selanjutnya:
PERMAINAN TIGA DEWA
Misteri Di Bukit Ular Emas 2 Dewi Ular Ancaman Iblis Betina Suling Emas Dan Naga Siluman 18
^