Sepasang Bidadari Merah 2
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah Bagian 2
rintik-rintik gerimis sa-ja.
Dalam rinai gerimis halus, dua
sosok tubuh berjalan beriringan. Salah seorang berbadan gagah dan tegap, mem-
bopong tubuh sintal seorang wanita. Di sisinya, tertatih-tatih melangkah nenek
tua bungkuk berpakaian ganjil.
Keduanya adalah Andika dan Nyai
Silili-lilu. Sedangkan wanita yang di-bopong Pendekar Slebor tentu saja
Mayangseruni. Semalam, ketika hujan badai me-
rangsek bumi keduanya membawa segera Mayangseruni kebukit terdekat. Sebuah bukit
yang gundul kerontang, tanpa ada sebatang pohon menjulang. Tempat itulah yang
amat tepat bagi orang yang hendak menyudahi hidup, dalam hujan
menggila. Petir setiap saat akan mencari perantara ke bumi. Jika tidak ada
sebatang pohon pun, maka setiap benda yang sudi berdiri tegak di sana akan
menjadi sasarannya. Termasuk, manusia.
Dan tempat itu pula, sangat tepat
untuk melaksanakan rencana pengobatan Mayangseruni menurut Nyai Silili-lilu.
Andika pun berpikir begitu, setelah niatnya benar-benar bulat untuk menolong si
gadis malang. Maka, malam itu juga mereka be-
rangkat. Tebing-tebing terjal yang me-magari bukit tak menjadi halangan bagi
kedua tokoh sakti berbeda usia itu.
Tak juga badai yang mengamuk, tak juga jurang-jurang yang siap menelan tubuh
mereka. Begitu tiba di ubun-ubun bukit,
Nyai Silili-lilu bergegas menjauhi Andika yang tegak menentang angkasa,
serta tubuh Mayangseruni yang rebah di dekatnya. Meski dalam hal kesaktian, si
nenek berada beberapa tingkat ilmu atas Andika, namun tak akan sudi han-gus
diterjang lidah petir. Hanya
orang-orang yang beruntung memakan
buah 'inti petir' saja yang bisa me-naklukkan gejala alam dahsyat itu.
Belum lagi tubuh bungkuk Nyai Si-
lili-lilu mencapai jarak yang cukup jauh, sejulur lidah petir menyalak, membelah
langit. Glar! Tubuh Andika yang menjadi ujung
puncak bukit, tak ayal lagi disambarnya. Pada kejap yang berselang begitu tipis,
tubuh si jejaka bergetar dan tersentak-sentak.
Yang terjadi selanjutnya, siksaan
tak terhingga dialami Andika. Penderi-taannya lebih hebat, dibanding tubuhnya
ditarik seratus ekor kuda liar.
Atau lebih menyakitkan dari sayatan sejuta sembilu.
Tak ada satu benteng diri yang
sanggup menahan penderitaan itu. Tak juga milik pemuda berhati baja Pendekar
Slebor. Alam memang terkadang bisa ditaklukkan. Tapi, manusia tetap tak kuasa
mengaturnya. Maka, mulut Andika pun melempar teriakan melengking bagai hendak
menyaingi salakan guntur merobek angkasa!
Tangan Andika mengejang serta
membentang tinggi-tinggi ke atas. Kepalanya menengadah, seakan hendak merobek
lehernya sendiri. Seluruh otot-otot di tubuhnya meregang, dialiri te-gangan
petir alam raksasa.
Kekokohan poros hati pemuda ini
memang patut dikagumi. Meski dalam
penderitaan yang bisa melempar kesadarannya, Andika ternyata mampu
mempertahankan tekad untuk menolong Mayangseruni. Dia bertahan untuk tidak jatuh
pingsan. Dan kesadarannya meronta-ronta, untuk segera melakukan tindakan
terhadap gadis di dekat tempatnya berdiri.
Perjuangan antara hidup dan mati
dimulai. Andika berusaha menahan te-gangan lidah-lidah petir raksasa dalam
tubuhnya, agar tak langsung terserap bumi. Sesuai nasihat Nyai Silili-lilu,
Andika harus menyalurkan sebagian tenaga petir ketubuh Mayangseruni melalui
keningnya. Dalam cucuran hujan dan terpaan
badai, dalam gelombang siksaan yang tak kunjung henti, dan dalam getaran tubuh,
Andika perlahan-lahan menurun-kan dua jari telunjuknya ke pelipis gadis itu.
Begitu kedua jari telunjuk Pende-
kar Slebor menyentuh pelipis Mayangseruni, gelombang hebat tenaga petir
raksasa dalam tubuhnya mengalir liar menuju tubuh gadis ini.
Srrrt! Tubuh basah kuyup Mayangseruni
tersentak-sentak seperti dialami Andika sebelumnya. Dada montoknya terangkat-
angkat cepat, bagai dirasuki mak-hluk halus buas.
Pada kala itulah Pendekar Slebor
harus segera memenggal aliran lidah petir raksasa yang menjadikan tubuh gadis
itu sebagai perantara ke bumi.
Jika tidak, Mayangseruni bukannya bisa disembuhkan. Malah, justru nyawanya akan
melayang! Namun, tindakan itu bukanlah hal
yang mudah buat Andika. Tubuh halus gelombang lidah petir raksasa yang sudah
mendapat perantara menuju bumi, akan sulit diputuskan manakala telan-jur
menemukan jalan. Untuk itu, Andika harus mengempos seluruh kekuatan dalam setiap
jengkal dirinya.
"Heeeaaakh!" teriak Andika serak mengerikan.
Di akhir teriakan, jari Andika
dapat diangkat dari pelipis Mayangseruni. Berbarengan dengan itu, tubuh Pendekar
Slebor terlempar jauh ke belakang terhempas tenaganya sendiri.
Pemuda berhati baja itu baru bisa
bangkit, setelah hujan mereda. Itu pun telah dibantu Nyai Silili-lilu dengan
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya.
"Kira-kira, kapan dia akan si-
uman, Uwak?" tanya Andika ketika mereka tiba di pintu masuk yang terdapat di
tubuh pohon besar. Pakaiannya tampak koyak-moyak, seperti dicabik-cabik sekawanan serigala. Wajahnya yang basah masih tampak pucat,
setelah mengalami perjuangan antara hidup dan mati di atas bukit.
"Kenapa kau bertanya begitu, Bocah Slompret?" Nyai Silili-lilu malah balik
bertanya. Bibirnya tersungging kecil, penuh arti. "Apa kau sudah tak sabar ingin
mengenal lebih dekat gadis
yang telah kau tolong" Kau punya pa-mrih sewaktu berniat menolong, ya?"
Andika tentu saja tahu kalau ne-
nek tua yang telah diketahui sebagai kakak kandung buyutnya, Pendekar Lembah
Kutukan, hanya ingin bergurau.
Sewaktu melewati anak tangga batu
menuju ruang bawah tanah, mata Andika memperhatikan seluruh anak tangga yang
aneh menurutnya.
"Uwak! Boleh kutanya sedikit?"
aju Pendekar Slebor pada si nenek.
"Ah! Kau selalu saja bertanya!"
tukas Nyai Silili-lilu.
"Kenapa tangga batu ini aneh sekali" Beberapa anak tangga diwarnai merah.
Sebagian lain kuning, dan si-sanya hijau. Apa maksudnya?"
Nyai Silili-lilu berhenti pada
satu anak tangga. Andika mengikuti.
Jari telunjuk nenek itu lalu menotok-notok kening Andika keras-keras. Sampai-
sampai, kepalanya melengak-lengak.
"Pikir..., pikir! Anak muda beb-al! Sepanjang pengetahuanku, keturu-nanku
memiliki otak yang encer!"
* * * 7 Gubuk kecil tempat kediaman Pan-
geran Neraka dan anteknya, Kembar Dari Tiongkok kelihatan sepi. Tak ada suara
seorang pun di dalamnya.
Sementara, Anggraini tiba di anak
tangga masuk. Dan saat itulah Pangeran Neraka muncul bersama Kembar Dari
Tiongkok. "Anggraini!" panggil Pangeran Neraka.
Anggraini menoleh. Langkahnya un-
tuk menaiki tangga gubuk diurungkan.
"Dari mana saja kau?" tanya Bureksa, setelah dekat. "Kami sudah mencari-cari kau
belakangan ini. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap dirimu...."
Kata-kata Bureksa seolah penuh
perhatian. Padahal dalam hatinya ada rencana busuk yang akan melibatkan
kemenakannya sendiri. Itu sebabnya dia mencari-cari Anggraini.
"Aku hanya berkeliling-keliling,"
jawab Anggraini berbohong. Dihinda-
rinya tatapan mata si paman berjiwa bejat, namun belum diketahuinya sampai saat
itu. "Kau tak apa-apa, bukan?" tanya Bureksa lagi. "Kelihatannya kau murung sekali?"
"Aku tak apa-apa, Paman. Hanya lelah...."
Anggraini membalikkan tubuh, lalu
mulai meniti anak tangga.
"Aku ingin istirahat dulu Paman,"
pamit gadis itu dengan suara tak ber-gairah.
Tubuh Anggraini menghilang di ba-
lik pintu gubuk beberapa saat. Setelah itu, Bureksa melirik Chia Jui dan Chia
Kuo dengan pandangan licik.
"Hari ini, kita harus mematangkan rencana," desis Bureksa perlahan.
Chia Jui dan Chia Kuo mengangguk
berbarengan. "Kalian lihat pandangan gadis itu barusan" Apa kalian bisa melihat ada sesuatu
yang terjadi padanya. Kuyaki-ni, ini ada hubungannya dengan Ratu Lebah, atau
Andika. Sore nanti, kalian berpura-pura hendak keluar. Aku akan mengorek
keterangan dari gadis itu
yang nantinya akan bisa mempermulus rencana kita...."
"Menyingkirkan Pendekar Slebor keparat!" tambah Chia Jui diiringi se-ringai.
"Ya!" timpal Bureksa mantap.
Lalu, ketiganya segera masuk ke
dalam gubuk. *** Tanpa terasa, sore pun tiba. Se-
suai rencana Pangeran Neraka, Kembar Dari Tiongkok pamit keluar gubuk. Mereka
hendak mencari bahan makanan di kotapraja. Begitu alasan mereka.
Di dalam gubuk, kini tinggal Bu-
reksa dan Anggraini.
Kepura-puraan Pangeran Neraka
saat itu diumbar lagi. Dengan penuh kepalsuan, dibuatkannya teh hangat untuk
Anggraini. Agar dianggap kalau dirinya menaruh rasa sayang pada kemenakan
sendiri. Benar kata Nyai Silili-lilu pada
Andika beberapa waktu lalu. Bureksa memang selicik serigala dan selicin belut.
Dia mampu bersandiwara dengan sempurna di hadapan Anggraini. Dalam benaknya
sendiri, tak pernah ada rasa sayang pada kemenakannya. Yang ada
hanya kelicikan dengan memanfaatkan Anggraini, untuk mengenyahkan Pendekar
Slebor. Sebab, lelaki itu amat jeli membaca pikiran Anggraini yang ayahnya
dibunuh Andika. Dendam pasti sedang bergelora dalam hati gadis itu. Begitu pikir
Bureksa. Dendam itulah yang akan dipicunya, sehingga Anggraini akan
mengenyahkan Andika!
"Kau perlu meminum teh hangat
ini, untuk menyegarkan tubuh," kata Bureksa dengan tata krama yang manis.
Diletakkannya cangkir teh di depan
Anggraini. "Terima kasih, Paman," hatur Anggraini.
Saat ini gadis itu sedang duduk
menekuk lutut di lantai beralas tikar pandan. Baru saja Anggraini selesai
bersemadi. "Kau tampaknya sedang ada masalah, Anakku," kata Bureksa memulai
kembali. "Kau bisa menceritakan masa-lahmu padaku. Anggaplah aku sebagai
pengganti Ayahmu...."
Anggraini menoleh sejenak. Bibir-
nya menyembulkan senyum tawar. Beberapa saat, dia hanya menimbang.
"Paman benar. Aku memang sedang memiliki masalah," kata gadis itu.
"Ceritakanlah...," bujuk Pangeran Neraka. Matanya berbinar-binar culas,
mengetahui Anggraini mulai mau membuka mulut.
"Kau tentu tahu pemuda yang ber-samaku dulu, Paman...."
"Yang berpakaian hijau itu?"
"Ya."
"Kau masih berhubungan dengan
pembunuh ayahmu itu?" kata Bureksa, berpura-pura tersentak kaget. Anggraini
menggeleng. "Aku justru menemuinya untuk menuntut balas atas kematian Ayah...,"
tutur Anggraini datar.
"Lalu?"
"Kurasa aku tak sanggup membunuhnya...."
"Dia memang terlampau sakti untukmu."
"Bukan itu, Paman," sergah Anggraini. "Melainkan, aku tak bisa melakukannya.
Hatiku menolak setiap kali aku berusaha membunuh pembunuh itu."
Bureksa mengangguk-angguk dengan
wajah dibuat sebijak mungkin.
"Kalau kau merasa tak sanggup, kenapa tak lupakan saja dendammu padanya" Dendam
itu selamanya tak baik, Anakku...," tutur Bureksa halus. "Kalaupun aku
melarangmu berhubungan dengan pemuda itu, bukan berarti mengan-jurkan untuk
membunuhnya karena luapan dendam kesumat."
Bureksa tampaknya berusaha me-
mancing keingintahuan Anggraini, dengan membuat tekanan kalimat.
Sementara Anggraini kemudian me-
nyeruput teh. Diletakkannya kembali cangkir tanah liat di tempatnya.
"Kenapa Paman melarangku berhubungan dengan pemuda itu?" tanya gadis itu
kemudian, terpancing gaya bicara Bureksa.
Bureksa tertawa ringan. Ditarik-
nya napas dalam-dalam, seakan begitu berat menjelaskan hal yang akan diuta-
rakannya. "Ayolah, Paman...,"
desak Anggraini, lagi-lagi terpancing sikap Bureksa.
"Kularang kau mencintai pemuda itu, bukan karena telah membunuh adik kandungku,
ayahmu. Aku tidak sepicik itu, Anggraini. Sebabnya karena...."
Sengaja Bureksa memenggal kali-
mat. "Katakan saja, Paman!"
"Kau yakin siap mendengarnya?"
Andika mengangguk, meski agak ra-
gu. "Kau tak akan kecewa?"
Kini kepala gadis itu menggeleng
lamban. "Baiklah...," desah Bureksa, langsung diam sesaat. "Sebenarnya, pemuda itu
adalah seorang hidung belang.
Di dunia persilatan, dia dikenal sebagai Iblis Pemetik Bunga. Banyak gadis yang
sudah menjadi korbannya. Setiap gadis akan mengalami kematian menge-naskan,
setelah digauli pemuda itu.
Dia memiliki ilmu yang menuntut tumbal kehormatan gadis suci seperti kau. Setiap
kali seorang gadis dikorbankan, ilmunya bertambah beberapa tingkat...," papar
Pangeran Neraka dengan sandiwaranya yang sempurna.
Selesai mendengar penuturan Bu-
reksa, mata Anggraini berkaca-kaca.
Tampak tersirat rasa kegeraman di sa-na. Giginya terdengar bergeletuk dihantam
kekecewaan mendalam.
"Pantas saja dia tak segera membunuhku, sementara mengetahui aku hendak menuntut
balas padanya. Rupanya, pemuda keparat itu ingin menjadikan aku tumbal ilmu
iblisnya!"
Pak!
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tinjunya, Anggraini meng-
hajar lantai kayu pondok. Hantaman itu membuat lubang cukup besar, Pertanda
kegeraman dan kebenciannya telah ter-
bakar cepat! Bureksa menepuk-nepuk bahu
Anggraini. Wajahnya ditampakkan se
prihatin mungkin, terhadap keadaan ha-ti gadis kemenakannya.
"Sudahlah...," bujuk Pangeran Neraka. "Lupakan pemuda itu. Lupakan pu-la
dendammu. Kembalilah ke Tanah Buangan menemani ibumu. Tentu beliau kesepian di
sana...." "Aku tak akan kembali ke Tanah Buangan sebelum membunuh pemuda itu, Paman!"
tandas Anggraini. Matanya memerah penuh. "Dia telah membuat Ibu kesepian dengan
tewasnya Ayah!"
Kepala Bureksa menggeleng-geleng
perlahan. Sementara, raut wajahnya tetap mempertahankan kesan prihatin. Sedang
benaknya sendiri melantunkan tawa puas. Tawa tersembunyi penuh kemenan-gan!
Pada saat yang sama, Mayangseruni
sedang berbincang-bincang dengan gurunya, Nyai Silili-lilu dalam tempat rahasia.
Beberapa saat waktu lalu, gadis menawan itu telah siuman.
Sementara keduanya berbicara hi-
lir- udik, melepas kerinduan setelah tak berjumpa demikian lama, Andika masuk
melalui tangga batu. Dia baru saja keluar untuk mencari pengganti pakaian, atas
saran Nyai Silili-lilu.
Begitu Andika hendak memasuki se-
buah pintu yang menghubungkan ruang
bawah tanah dengan anak tangga, ka-
kinya tertahan untuk melangkah lebih lanjut. Andika tertarik oleh pembicaraan
dua perempuan yang usianya ter-paut jauh itu. Telinganya mendengar namanya
disebut-sebut. "Pemuda yang menolongmu bernama Andika," terdengar suara Nyai Silili-lilu sayup.
"Andika" Rasanya aku pernah mendengar selentingan nama pemuda itu,"
susul suara Mayangseruni yang halus terdengar.
"Tentu saja kau pernah mendengarnya, 'Nduk'. Apa kau lupa kalau Andika adalah
nama asli Pendekar Slebor....
Hik hik hik!"
Si nenek tertawa pada akhir kali-
mat. Padahal, tidak ada yang lucu untuk ditertawakan.
"Pendekar Slebor, Guru"! Jadi
pendekar muda terhormat itu yang telah membantuku menawarkan racun dalam tu-
buhku"!"
Suara Mayangseruni terdengar me-
ninggi. Tampaknya, gadis ini demikian terperanjat.
"Ya! Apa telingamu tuli, 'Nduk'?"
"Ya, Tuhan.... Ini benar-benar membuat hatiku berbunga-bunga, Guru!"
"Eh, eh! Apa kau tahu, anak muda itu mati-mati dalam usaha menolongmu.
Kupikir, kalau ada pemuda yang paling cocok denganmu, ya dia orangnya!"
Andika tersenyum sendiri menden-
garnya. "Ah, Guru...!" desah Mayangseruni malu-malu.
"Eee! Bagaimana kalau dia naksir kau. Dan kau harus tahu malu pada Andika. Dia
sudah mempertaruhkan nyawa demi kesembuhanmu!"
Tak terdengar tanggapan Mayangse-
runi. Mungkin hatinya begitu risih
mendengar celoteh guru ceriwisnya yang terlalu memojokkan.
"Bayangkan saja, dia harus membiarkan dirinya disambar petir!"
"Untuk menolongku?"
"Iya! Apa kau belum tahu, racun
'Perusak Saraf hanya bisa dilumpuhkan dengan menyalurkan sebagian kekuatan petir
ke dalam tubuhmu" Dan hanya
orang yang pernah memakan buah 'inti petir' saja yang bisa melakukannya...."
"Uggg, sekarang mmm, Kang Andika di mana, Guru?"
"Weit, weit! Belum apa-apa sudah panggil-panggil 'Kang'. Mesra sekali
kedengarannya.... Hik hik hik!"
"Guru kenapa terus menggodaku!"
"Kakang mu itu sekarang sedang sembunyi seperti cecurut di balik pintu itu!"
tukas Nyai Silili-lilu, mengejutkan Andika.
Andika benar-benar tak menyangka
kalau uwaknya mengetahui kehadirannya.
Padahal, dia sudah begitu hati-hati.
"Alah, tidak usah pura-pura segala! Ayo masuk!" bentak si nenek dari dalam.
Dengan wajah merah padam, Andika
terpaksa masuk juga. Perempuan bangko-tan itu memang paling hebat menangkap
basah seseorang!
"Nah! Inilah Pendekar Slebor,
'Nduk'! Sudah lama kau ingin kenal
dengannya, bukan?" cerocos Nyai Silili-lilu, seolah hendak menelanjangi Andika
di tempatnya. Untuk pertama kalinya, Andika bi-
sa menyaksikan pribadi Mayangseruni sesungguhnya. Tak ada lagi kesan keji pada
wajah gadis ayu luar biasa ini.
Mata lentiknya kini memancarkan keang-gunan serta kesungkanan, sekaligus
manakala bentrok dengan mata elang Andika. Hati pemuda ini terasa sejuk
dibuatnya. "Ayo! Ke sini, Anak Muda Slompret!" maki Nyai Silili-lilu semena-mena, mendapati
Andika terdiam di mulut pintu masuk ruang bawah tanah.
Andika tersentak. Matanya menger-
jap-ngerjap layaknya bocah kampung ca-cingan.
Sewaktu pendekar muda itu melang-
kah lebih dekat ke arah dua perempuan berbeda usia yang duduk bersandingan di
meja batu, Mayangseruni tampak tertunduk-tunduk. Wajah halusnya tampak
bersemu merah. Nyai Silili-lilu bangkit dari me-
ja batu. Lalu dia berjalan terbungkuk-bungkuk menuju ruang semadinya.
"Ajak anak gadisku cari angin!
Terserah kalian, di luar mau berbuat apa! Mau main petak umpet, kek. Atau apa,
kek! Masabodoh! Asal jangan berbuat yang macam-macam! Bisa kusunat dua kali kau
Andika!" kata Nyai Silili-lilu.
Pendekar Slebor menarik napas se-
dalam mungkin. Untung dia hanya punya satu uwak seperti Nyai Silili-lilu.
Kalau lebih sedikit saja, bisa-bisa mati berdiri.
"Heh, tunggu apa lagi"!" sentak Nyai Silili-lilu di belakang Andika.
"Ayo, gandeng tangan Mayangseruni!
Ajak dia keluar! Kalian hanya membuat tempat tinggalku sumpek!"
Puas berkoar-koar, nenek pertapa
itu menghilang di balik dinding ruang semadinya.
Tinggal Andika dan Mayangseruni
yang masih terdiam, menikmati keterpesonaan masing-masing.
* * * "Kita akan ke mana, Kang Andika?"
tanya Mayangseruni pada pemuda di sisinya.
Mereka kini berjalan beriringan.
Pagi tadi, mereka baru saja pamit pada Nyai Silili-lilu.
Sebenarnya, Andika tak berniat
pergi bersama-sama murid tunggal uwaknya. Berhubung Nyai Silili-lilu mende-
saknya terus untuk mengajak Mayangseruni, Andika akhirnya mengizinkan juga gadis
itu pergi bersamanya.
Mayang sendiri memang sudah lama
merindukan bisa berjalan beriringan bersama pendekar besar macam Andika.
Biarpun masih agak risih, hatinya tentu saja gembira mendengar desakan gurunya
pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika...," tegur Mayangseruni. Pertanyaannya tadi belum dijawab Andika.
"Eh, apa?" gagap Andika tersadar.
"Kakang melamun, ya?" goda Mayang, sungkan-sungkan.
"Ah, tidak...! Eh, iya!"
"Melamun apa?" Andika tersenyum kecil.
"Kau tadi tanya apa padaku?" Andika mengalihkan pembicaraan.
Merasa Andika tak mau membicara-
kan isi pikirannya, Mayangseruni tidak ingin memaksa.
"Aku tanya, kita akan ke ma-
na...?" ulang Mayangseruni.
"Ooo, itu. Kita akan ke lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia," jawab Andika.
"Apa Kakang ada urusan di sana?"
tanya Mayangseruni lagi.
Sementara kesadarannya pulih,
Mayangseruni tak lagi ingat tentang tempat tersebut. Termasuk, tentang dirinya
yang diperalat Pangeran Neraka.
Andika maklum akan hal itu.
"Aku punya sobat baru. Dia masih hijau dalam dunia persilatan. Karena suatu hal,
aku harus mengenyahkan
ayahnya. Lalu, dia pun mencari pembunuh ayahnya. Ketika tahu dari pamannya kalau
akulah pembunuh ayahnya, dia pun mulai memusuhiku. Aku hendak mencarinya di
sana, karena khawatir terhadap kelicikan si paman," tutur Andika gamblang.
"Entah kenapa, aku sepertinya merasa pernah mendengar tentang tempat itu...,"
kata Mayangseruni, seperti bergumam sendiri.
Karena merasa yakin Mayangseruni
sudah siap, Andika memutuskan untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa
Mayangseruni. "Apa kau ingat dengan seorang tokoh golongan sesat berjuluk Pangeran Neraka?"
pancing Andika, memulai membuka ingatan si gadis.
Beberapa ayunan langkah, gadis
berparas amat mempesona itu mengingat-ingat nama yang disebutkan Andika.
Kening halusnya sedikit terlipat.
"Ya, aku ingat kini...," ucap Mayangseruni kemudian.
"Sebenarnya, ada urusan apa antara kau dan lelaki itu?" tanya Andika lagi.
Kali ini, pertanyaan itu tidak
dimaksudkan untuk memancing ingatan Mayangseruni. Andika hanya ingin tahu lebih
jelas duduk persoalan antara gadis itu dengan Pangeran Neraka, hingga melibatkan
diri Mayangseruni jauh ke lembah kaum sesat.
"Apa Kakang tak tahu kalau lelaki itu adalah kakak kandung Begal Ireng?"
Kelopak mata teduh Mayangseruni
sedikit membesar. Ditatapnya mata Andika, meminta jawaban.
"Aku baru mengetahuinya belakangan ini. Tapi, apa hubungan perkaramu dengan
urusan antara aku dan Begal
Ireng?" Andika balik tanya. Caranya melempar pertanyaan berkesan menyudutkan
gadis berpakaian merah-merah di sisinya.
Tetap dengan kesungkanan yang me-
nyertainya, Mayangseruni akhirnya membuka satu rahasia yang selama ini dis-
impannya sendiri.
"Sebenarnya, aku tak ada urusan apa-apa dengan Pangeran Neraka," aku
Mayangseruni. "Tapi, kenapa kau bisa sampai
terlibat jauh dengan lelaki itu?"
tanya Andika, dengan alis legam ber-taut rapat, pertanda mulai terbawa
arus keingintahuannya.
"Sewaktu Kakang hendak menumpas gerombolan Begal Ireng, namamu jadi kesohor ke
seantero penjuru angin. Aku kerap kali mendengar nama harum Kakang disebut-sebut
di mana-mana. Banyak ku-dengar tentang diri Kakang, tentang pribadi. Juga...."
Mayang tersipu.
"Juga, tentang ketampanan Kakang."
Mendengar hal itu, Andika kontan
terbahak. "Lalu?" tanya Pendekar Slebor penasaran. Bibirnya masih menyisakan senyum lebar.
"Suatu hari, aku juga mendengar desas-desus kalau Pangeran Neraka hendak
membantu Begal Ireng. Dia merenca-nakan pembunuhan licik terhadap diri Kakang.
Lalu...." Anggraini kembali memenggal ceri-
ta. Ada sesuatu yang membuatnya malu mengutarakan kelanjutan cerita.
"Lalu apa" Ayo, lanjutkanlah! Aku toh, bukan siapa-siapa bagimu. Maksudku, aku
toh, masih cicit kemenakan gu-rumu sendiri. Nyai Silili-lilu sudah mengatakannya
padamu, bukan?" desak Andika, halus.
"Lalu, aku berusaha menggagalkan rencana licik Pangeran Neraka...,"
tambah Mayangseruni, hampir-hampir
berbisik karena diusik kesungkanan.
"Apa?" mata Andika kontan membesar seperti hampir tak percaya. "Jadi, kau
bertaruh nyawa menghadapi Pangeran
Neraka hanya karena ingin menyela-
matkanku"!"
Anggraini tertunduk. Gadis yang
berkepribadian agak pemalu itu memainkan ujung-ujung kukunya. Tak berani matanya
menatap langsung mata jantan Andika. Seolah-olah, takut ada sinar mencemooh di
sana. Kepala Andika menggeleng-geleng. "Aku harus bilang apa padamu" Rupanya,
kau terlalu termakan desas-desus tentang diriku. Kau tertarik padaku, sementara
orangnya belum lagi kau kenal. Padahal, aku ini, ya hanya begini...," ucap
Andika tanpa tedeng aling-aling. Sifat acuhnya membuat ingatannya terlupa kalau
sedang berbicara dengan gadis yang agak pemalu.
Sebentar saja, Andika menyadari
kebodohan ucapannya. Sambil mengumpati diri dalam hati, keningnya ditampar
gemas-gemas. "Tapi, terus terang. Terima kasih saja, rasanya belum cukup kuberikan untukmu.
Karena, kau telah begitu berani menentang Pangeran Neraka...,"
hatur Andika, seperti hendak meralat kesalahan ucapannya barusan.
Mayangseruni tetap diam. Pandan-
gannya masih saja terjatuh mengawal langkah-langkah kakinya.
"Terima kasih, Mayang.... Dengan berbuat itu, berarti kau telah membantuku dalam
menegakkan kebenaran!"
"Aku malu, Kang...," kata Mayangseruni, seperti berbisik.
"Kenapa harus malu dalam melaksanakan hal yang baik?"
"Aku malu karena alasanku mencoba menggagalkan rencana Pangeran Neraka, hanya
karena ingin menyelamatkanmu...."
"Apa itu perbuatan dosa" Bukankah tugas kita untuk saling bahu membahu dalam
kebaikan dan kebenaran?" hibur Andika kembali.
Bibir ranum Mayangseruni memper-
lihatkan senyum sejuk.
"Nah, begitu! Jadi, pada dasarnya kita telah lunas, bukan" Kau telah berusaha
menyelamatkanku, dan aku pun telah berusaha menyelamatkanmu...,"
tambah Pendekar Slebor seraya menggandeng bahu gadis itu. Dan seketika wajah
Mayangseruni mendadak matang.
Sementara kedua anak muda itu me-
lanjutkan langkah begitu akrab, sepasang mata terus mengawasi dari kejauhan.
Mengawasi terus, dan terus. Melihat keakraban Andika dan Mayangseruni, matanya
perlahan namun pasti, mulai menyimpan bara kebencian.... Anggraini. Gadis itulah
yang menguntit Andika dan Mayangseruni selama ini. Api kebencian yang berhasil
disulut Pangeran Neraka, makin berkobar-kobar melihat bagaimana
mesranya Andika dengan
Mayangseruni. Paling tidak, begitulah
dalam pandangan Anggraini.
Masih teringat kalimat-kalimat
yang diutarakan Bureksa, pamannya, manakala menanyakan tentang Ratu Lebah atau
Mayangseruni. "Kau tahu, perempuan itu sesungguhnya adalah kekasih Iblis Pemetik Bunga," tutur
Pangeran Neraka waktu itu. Disebutnya Andika dengan julukan karangannya sendiri.
"Jangan heran kalau suatu saat nanti, kau akan melihat mereka berjalan
beriringan dengan mesra. Terus terang saja Paman katakan, kau telah dikelabui
mereka mentah-mentah, Anakku...."
Tentu saja Bureksa bisa menduga
demikian, karena begitu tahu siapa
Mayangseruni. Seorang pendekar wanita yang begitu menyanjung Andika. Setelah
mendengar dari Anggraini kalau Ratu Lebah alias Mayangseruni dibawa seorang
nenek ceriwis yang diyakini Bureksa sebagai gurunya, maka lelaki itu yakin,
cepat atau lambat Andika akan dekat dengan Mayangseruni. Apalagi, Bureksa tahu.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya Andika yang bisa membantu menyembuhkan Mayangseruni da-ri racun miliknya.
Dapat dibayangkan, betapa licik-
nya tokoh sesat ini. Semua kenyataan diputarbalikkan, agar Anggraini terpe-
rangkap ke dalam tipu dayanya. Tak la-gi dipedulikannya hubungan darah antara
dirinya dengan Anggraini. Baginya,
yang terpenting adalah mencapai tujuan yang diinginkan. Tanpa mempedulikan,
apakah cara mencapai tujuan itu men-gorbankan orang lain atau tidak. Tidak juga
kemenakannya sendiri!
"Jika kau telah berhasil dijadikan tumbal ilmu sesat pemuda itu, maka mereka
akan menertawai bangkaimu,
Anggraini.... Bangkaimu!" tandas Bureksa, memberi pengulangan pada kata
terakhirnya. Hal itu akan mengendap rekat-rekat di dasar benak Anggraini.
Dan Bureksa tahu itu.
*** Lembah Pintu Sorga dan Neraka Du-
nia. Andika dan Mayangseruni akhirnya tiba di sana. Tanpa diketahui keduanya,
Anggraini yang terpedaya mentah-mentah semua hasutan pamannya, terus mengikuti.
"Ke mana kira-kira aku harus mencari gadis itu?" tanya Andika pada di-ri
sendiri. Matanya mencari-cari ke segenap lembah yang berbukit-bukit.
"Jadi, sobat barumu itu wanita, ya Kang Andika?" usik Mayangseruni.
Andika hanya menjawab dengan ang-
gukan kecil. Dia masih sibuk mengedarkan pandangan kesekitar lembah yang luas.
"Cantik, Kang?"
"Apa?"
"Apa gadis itu cantik?" ulang Mayangseruni.
"Mmm, yah.... Bisa dibilang begitu."
"Boleh tanya sedikit yang sifatnya agak pribadi, Kang?"
Pendekar muda itu menghentikan
kesibukan matanya. Sekarang sepasang mata perkasanya ditujukan langsung ke bola
mata Mayangseruni yang selalu tak punya daya untuk membalas tatapan itu.
Timbul semacam kerikuhan apabila men-cobanya. Mata Andika terlalu menelu-supkan
pesona ke dalam dirinya. Itu sebabnya kepalanya menunduk.
"Tanya soal apa?" ucap Andika.
"Apa.... Kang Andika tertarik pa-da gadis itu?"
Pertanyaan Mayangseruni memaksa
Andika tergelak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Pendekar Slebor, di
antara derai tawa lepasnya.
"Tidak apa-apa, Kang...," kilah Mayangseruni, seraya mengangkat bahu.
"Tak mungkin. Tak mungkin kau tak punya alasan menanyakan hal itu,"
sanggah Andika, main-main.
Tapi siapa nyana kalau ucapan
main-main Andika, justru ditanggapi sungguh-sungguh oleh gadis itu. Pendekar
Slebor melihat wajah ayu gadis itu berubah. Kedua belah pipinya bersemu merah
menggemaskan. "Ah! Sudahlah, Mayang.... Tak
perlu dipersoalkan lagi. Aku memperhatikan gadis itu, karena akulah yang
membuatnya kehilangan seorang ayah.
Meski tak merasa berdosa, aku tetap merasa bersalah padanya. Kau paham?"
Mayangseruni mengangguk perlahan.
"Sekarang, kita harus secepatnya menemukan gadis itu. Aku tak ingin
Pangeran Neraka yang licik mengua-
sainya. Dia masih terlalu hijau untuk menyadari kebusukan dunia persilatan...,"
tambah Andika. "Bagaimana kalau kita berpencar, Kang. Biar bisa lebih cepat menemukan-nya,"
usul Mayangseruni.
"Kau yakin?" tanya Andika.
Pendekar Slebor hanya agak khawa-
tir terhadap keselamatan Mayangseruni.
Namun karena Andika percaya Mayangseruni dapat menjaga dirinya sendiri, akhirnya
disetujuinya. Bukankah dia pernah melihat sendiri kehebatan murid uwaknya itu,
ketika bertarung melawan Anggraini" Dan kalaupun dulu pernah dipecundangi
Pangeran Neraka, tentu karena lawannya memperdayai gadis itu dengan tipu
muslihat licik.... (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode :
"Pendekar Wanita Tanah Buangan").
"Aku akan mencarinya ke timur.
Kau mencarinya ke barat. Bagaimana?"
kata Andika, menanggapi usul Mayangseruni.
Gadis itu mengangguk.
"Dan kalau terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungiku. Kau punya caranya?"
Mayangseruni berpikir sejenak.
"Aku akan melepas lebah-lebah
keangkasa," jawab Mayangseruni cepat.
"Pikiran jitu!" puji Andika.
Lalu keduanya pun segera berpi-
sah. Seperti rencana, Andika mulai menyusuri lembah bagian timur, Sedangkan
Mayangseruni, si Ratu Lebah, akan menyusuri arah yang berlawanan.
Dengan berpisahnya Andika dengan
Mayangseruni, Anggraini yang menguntit mesti membuat keputusan. Hendak mengikuti
Andika atau Mayangseruni. Gejolak kebencian yang diwarnai rasa cemburu, tanpa
disadari telah mendorongnya untuk mengikuti Mayangseruni.
Anggraini pun menuju lembah ba-
gian barat. Sepeminum teh kemudian, Mayangseruni sampai di sebuah bukit yang
membentang di bagian barat lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Tak seperti di
tempat semula, tempat ini di-tumbuhi pepohonan cemara besar yang berbaris
seperti gerombolan pendaki.
Mayangseruni sejenak melepas le-
lah. Tubuhnya bersandar di batang sebuah pohon cemara. Rasa sejuk ditariknya ke
dalam dada, untuk mengusir pe-nat setelah mencari cukup lama.
"Apa mungkin gadis yang dicari Kang Andika masih berada di daerah
ini?" gumam Mayangseruni, pelan.
Dalam benak, Mayangseruni tetap
saja digerayangi pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan gadis yang sedang di-
carinya dengan Andika. Yang pasti, dia ingin langsung mempercayai perkataan
Andika, bahwa pemuda itu tak memiliki hubungan khusus dengan Anggraini. Namun,
keresahan dan kekhawatiran tetap saja melingkupi benaknya.
Mayangseruni cukup sadar. Pera-
saan seperti itu lahir dalam dirinya, mungkin karena berharap banyak terhadap
pemuda pujaannya. Seperti pernah diungkapkan langsung pada
Andika, Mayangseruni memang memuja Andika yang sebelumnya hanya diketahui dari seli-
weran kabar burung. Tentang Pendekar Slebor yang muda, tampan, dan gagah.
Pendekar Slebor yang banyak mengecoh bahkan memberantas tokoh-tokoh atas
golongan sesat.
Belum lagi bertemu, Mayangseruni
sudah begitu mengagumi. Apalagi kini telah bertemu langsung tokoh muda pujaannya
itu" Memikirkan semua itu, Mayangseru-
ni jadi tak memiliki semangat lagi untuk meneruskan pencarian.
Mendadak sontak, Mayangseruni di-
kejutkan suara mendesir yang datang dari sebelah kiri. Lamunannya koyak
seketika. Meski belum tahu suara apa, namun gadis berjuluk Ratu Lebah itu
serta merta berjungkir balik ke depan.
Wesss! Blar! Firasat pekanya terbukti. Seben-
tuk bahaya maut baru saja luput! Manakala mata Mayangseruni menemukan tempatnya
berdiri tadi, pohon cemara yang dijadikan sandaran telah hancur lantak bagai
baru tersambar petir. Batangnya tumbang, menciptakan suara bergemuruh.
Pada bagian yang terhajar desiran ta-di, mengepulkan asap tipis. Bahkan bagian
atasnya membara!
Bukan orang sembarangan yang bisa
melakukan pukulan jarak jauh seperti itu. Maka murid tunggal Nyai Silili-lilu
itu langsung saja bersiaga.
"Jangan beraninya main bokong!
Keluar kau!" tantang Ratu Lebah pada si penyerang gelap.
Di ujung kalimat Mayangseruni,
sesosok tubuh berkelebat keluar dari semak-semak. Pakaiannya sewarna dengan
Mayangseruni. Merah-merah. Begitu juga panjang rambutnya. Sepintas saja,
penampilan mereka sulit dibedakan.
"Siapa kau"!" tanya Mayangseruni gusar.
Gadis itu sama sekali tidak men-
genali kalau wanita yang berdiri di hadapannya adalah Anggraini, orang
yang pernah bertarung dengannya beberapa waktu lalu.
"Jangan banyak basa-basi, Perem-
puan Lacur!" maki Anggraini amat kasar dan menyakitkan telinga.
Mayangseruni tak begitu terpenga-
ruh mendengar makian Anggraini. Malah diamatinya penampilan gadis di hadapannya
dengan kelopak mata agak menyipit. Penampilan perempuan ini amat mirip dengan
gambaran yang diberikan Andika.
"Apakah kau Anggraini?" tanya Mayangseruni hati-hati.
"Apa pedulimu menanyakan nama-ku"!" balas Anggraini, tetap kasar.
Sehingga, membuat Mayangseruni jadi ragu apakah telah menemukan wanita
yang dimaksud Andika atau bukan.
"Kalau kau Anggraini, kenapa kau menyerangku?" tanya Mayangseruni kembali,
berusaha tetap menjaga kesabaran.
"Karena kau perempuan bejat yang patut kukirim ke neraka!"
Selesai itu, Anggraini langsung
membuka jurusnya.
"Terimalah kematianmu, Perempuan Keparat! Hiaaa!"
"Tunggu!" tahan Mayangseruni.
Usaha Mayangseruni sudah terlam-
bat. Anggraini telah menggempurnya
dengan serangkai tusukan anak panah yang baru saja diloloskan dari tempatnya.
Jep! Jep! Jep! Tampaknya, gadis dari Tanah Buan-
gan itu tidak ingin lagi melihat lawannya hidup dalam keadaan utuh. Cemburu dan
benci telah menjadi satu,
menghasutnya untuk merobek-robek tubuh Ratu Lebah. Seakan Anggraini tidak su-di
melihat kecantikan Mayangseruni me-lebihi dirinya.
Dalam segebrakan, tiga tusukan
mengancam bagian-bagian mematikan di tubuh Mayangseruni. Sementara, Ratu Lebah
sendiri sudah pasti tidak ingin dijadikan satai hidup-hidup. Dengan lincah tanpa
kehilangan kegemulaian-nya, tubuhnya berkelit cepat dalam ti-ga kali
menyempongkan tubuh.
Karena tak mungkin untuk terus
menghindar, Mayangseruni pun melancarkan serangan balasan. Satu anak panah
Anggraini yang hendak menembus dada kanannya, segera dihantam dengan baco-kan
tangan. Maksudnya, tentu saja hendak mematahkan senjata itu.
Namun betapa tersentaknya Mayang-
seruni, tatkala tangannya berbenturan dengan anak panah yang hanya terbuat dari
kayu. Sekujur tangan hingga ke bagian rusuknya terasa tersengat api.
Bagaimana mungkin panas yang demikian tinggi, bisa disalurkan dalam sebatang
kayu tipis tanpa terbakar"
Di lain pihak, Anggraini tak mem-
beri kesempatan pada Mayangseruni, wa-lau sekadar untuk terheran.
"Heaaa!"
Swing! Mata panah di tangan kiri
Anggraini membabat udara menuju perut Mayangseruni. Hendak dirobeknya perut
gadis cantik itu. Jika perlu, sampai isi perutnya bobol keluar!
Sekali lagi Mayangseruni terke-
siap. Gesekan mata panah dari baja
dengan udara, menimbulkan bunga api di sepanjang jalur babatan! Kini makin
yakinlah Mayangseruni. Ternyata, lawannya benar-benar tidak ingin memberinya
kesempatan untuk hidup. Padahal, murid si nenek pertapa semula hanya menganggap
Anggraini ingin memberinya pelajaran, karena kecemburuan pada sikap akrab Andika
padanya. Paling tidak, begitu dugaannya.
Tak ada pilihan lain bagi Mayang-
seruni kini. Dia pun harus melakukan perlawanan seimbang. Maka tanpa ragu lagi,
gadis yang lebih dikenal sebagai Ratu Lebah itu langsung saja memainkan jurus-
jurus andalannya.
"Bagus! Keluarkan semua ilmu an-dalanmu! Agar aku puas membunuhmu!"
geram Anggraini, Pendekar Wanita dari Tanah Buangan.
Pertarungan hebat yang kedua kali
bisa dipastikan akan segera tercipta kembali. Namun....
"Tahan...!"
Satu bentakan lantang, tiba-tiba
menggetarkan pepohonan dan merontokkan
dedaunan. Dua lelaki berkepala gundul tahu-
tahu telah berdiri di dekat arena pertarungan. Keduanya berpenampilan amat
mirip. Dari pakaian sampai ke wajah mereka. Anggraini mengenali mereka sebagai
Kembar Dari Tiongkok.
"Paman Chia Kuo.... Paman Chia Jui! Kenapa kalian menghentikan perta-runganku?"
tanya Anggraini terheran-heran. Kemarahannya yang sudah memuncak menjadi surut
kembali. Sementara Kembar Dari Tiongkok
tak bergemik dari tempat berdiri. "Pamanmu menyuruh kau untuk segera kembali,"
ucap Chia Jui. "Dan kau harus kembali, begitu kata pamanmu," timpal Chia Kuo memberi tekanan
pada kata 'harus'.
Anggraini tidak bisa terima. Ke-
napa pada saat harus menumpas perempuan jahat seperti dikatakan pamannya, dia
harus berhenti menggempur lalu pu-lang begitu saja.
"Tapi, Paman...."
"Tak ada tetapi, Anggraini! Kau harus menuruti perintah pamanmu!"
Anggraini ingin menolak perintah
kedua lelaki dari tanah Tiongkok itu, tapi secepatnya Chia Jui memotong.
Meski memendam perasaan tak me-
nentu, benturan perasaan antara penasaran ingin menghabisi Ratu Lebah dengan
keheranan terhadap perintah paman-
nya, Anggraini akhirnya meninggalkan sang lawan.
"Kita akan segera bertemu lagi, Perempuan Laknat!" ancam Anggraini pa-da
Mayangseruni yang masih berdiri
dengan kuda-kuda siap tempur.
Tak beda dengan
Anggraini, Mayangseruni pun dibuat heran atas
tindak-tanduk mereka semua. Menurut cerita Andika, paman Anggraini adalah
Pangeran Neraka. Bila lelaki itu tahu kalau kemenakannya bertarung dengan
Mayangseruni, tentunya tak akan meme-rintah untuk menghentikan pertarungan.
Apa mungkin Pangeran Neraka tidak ta-hu, dengan siapa kemenakannya bertarung"
Sebelum benar-benar pergi, seo-
rang dari dua lelaki kembar itu mele-satkan sebuah tabung bambu ke arah
Mayangseruni. Amat cepat meluncur, namun tidak begitu berarti bagi gadis murid
Nyai Silili-lilu. Tanpa menemui kesulitan, tangannya menyergap benda itu.
Pada dasarnya, tabung bambu se-
panjang jengkalan tangan itu memang tidak dimaksudkan untuk menyerang.
Buktinya, setelah meneliti sebentar, Mayangseruni menemukan secarik surat.
Dan Mayangseruni membacanya.
"Pendekar Slebor! Tunggu aku di-penginapan, sebelah utara Bukit Cemara
jajar - Pangeran Neraka"
Sepeninggalan gadis yang diyakini
sebagai Anggraini dan dua lelaki
Tiongkok tadi, Mayangseruni segera pu-la meninggalkan tempat ini. Hendak
disusul nya Andika ke arah timur.
*** Tanpa kesulitan berarti, Mayang-
seruni cepat menemukan Andika. Lalu, segera diceritakannya kejadian yang terjadi
secara singkat dan gamblang.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usai mendengar penuturan gadis
itu, Andika terdiam sambil mengetuk-ngetuk siku tangan yang disilangkan ke depan
dada. Sedangkan matanya menera-wang jauh.
"Aku merasa ada yang ganjil dengan peristiwa itu," ucap Pendekar Slebor samar,
namun cukup jelas ditangkap telinga Mayangseruni.
"Ya! Entah bagaimana, aku pun merasakan hal yang sama," timpal Mayangseruni.
"Kau kenal dua lelaki yang menyusul Anggraini?" tanya pemuda sakti da-ri Lembah
Kutukan ini. "Tidak," jawab Mayangseruni.
"Kalau menilik gambaran yang kau berikan, aku yakin mereka adalah Kembar Dari
Tiongkok. Kau tentu pernah mendengar dua kaki tangan Begal Ireng,
bukan" Merekalah orangnya. Pasti mereka telah bersekongkol dengan Pangeran
Neraka...."
Kepala Mayangseruni mengangguk-
angguk. Dia ingat sekarang tentang
Kembar Dari Tiongkok yang menjadi
orang kepercayaan Begal Ireng, sewaktu mengadakan makar jahat terhadap kerajaan
Alangkah. Andika tak berhenti berpikir sam-
pai di situ. Otaknya yang encer, berjalan lagi.
Kalau Kembar Dari Tiongkok berga-
bung cukup lama dengan Pangeran Nera-ka, tentunya sudah mengenal Mayangseruni
sebagai Ratu Lebah yang kejam, pendamping Pangeran Neraka. Kalau kini kedua
lelaki itu tak menggubris
Mayangseruni, berarti pula Pangeran Neraka tahu kalau Mayangseruni sudah sembuh
dari pengaruh racun Perusak
Syarafnya. Begitulah yang dipikirkan pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan
ini. Bukankah menurut Nyai Silili-
lilu, Pangeran Neraka adalah lelaki yang memiliki kelicikan serigala dan licin
bagai belut"
Kalau tiba-tiba dia tak mempedu-
likan kehadiran Ratu Lebah, sudah pasti ada satu rencana licik pula dalam
benaknya.... "Hmmm.... Apa maumu, Setan Gundul!" bisik Andika geram, mengumpat
lelaki sesat yang kini merongrong pikirannya.
"Kang...," tegur Mayangseruni, melihat pemuda itu mondar-mandir tak karuan
seperti mandor perkebunan jeng-kol!
Andika tak memperhatikan teguran
gadis didekatnya. Otaknya masih sibuk teraduk-aduk.
"Kang Andika...," panggil Mayangseruni sekali lagi.
Barulah Andika tersadar. "E,
apa?" tanya Andika.
"Ternyata dugaanku benar."
"Benar apa?"
"Gadis itu memang cantik."
"Gadis apa" Eh..., gadis yang ma-na?" tanya Andika acuh tak acuh. Kembali
kebingungannya dilanjutkan memikirkan rencana licik Pangeran Neraka.
"Anggraini, Kang. Siapa lagi?"
ucap Mayangseruni, sungkan.
Gadis itu masih malu-malu mengha-
dapi Andika yang sifatnya berlawanan sama sekali dengannya.
"Iya.... Anggraini.... Siapa la-gi...," gumam Andika, tak sadar mengulang ucapan
Mayangseruni. "Eh, tunggu dulu! Anggraini"!" sentaknya tiba-tiba. Kalau ada
cecurut jantungan di dekatnya, tentu binatang itu akan tewas seketika!
"Oh, ya! Ada pesan untukmu,
Kang!" kata Mayangseruni lagi. Dis-
odorkannya secarik surat pada Andika.
"Surat ini kudapat dari Kembar Dari Tiongkok itu."
Andika segera membaca. Dan seke-
tika air mukanya berubah, setelah membaca. Ada satu hal yang baru saja dis-
impulkan pemuda itu. Kini kepalanya mengangguk-angguk.
"Rasanya sekarang aku mulai bisa membaca niat busuk lelaki itu," ujar Andika
meletup-letup. "Ayo, kita segera tinggalkan tempat ini, Mayang!"
Seketika Pendekar Slebor menyam-
bar tangan gadis cantik rupawan itu semena-mena, lalu membawanya lari.
*** 9 Penginapan yang dimaksud dalam
surat Pengeran Neraka, terletak tepat di kaki Bukit Cemarajajar. Sesuai namanya,
bukit itu dikepung jajaran pepohonan cemara yang tumbuh rapat tak teratur hingga
merambahi kakinya. Pa-noramanya memikat. Barisan cemara yang tumbuh pada dataran
miring, akan terlihat seperti payung-payung kuncup da-ri kejauhan.
Penginapan itu dibentengi pagar
tembok tak terlalu tinggi. Di halaman depan dan belakangnya yang luas, bebe-
rapa batang cemara dibiarkan tumbuh pada setiap sudut dan tepian jalan masuk.
Rumput jarum tumbuh subur di seluruh taman, bak permadani hijau ter-hampar luas.
Pada beberapa bagian taman, ditempatkan patung-patung kayu ukir bernilai seni
tinggi. Di tambah sebuah kolam buatan berisi ikan berwarna-warni serta tanaman
bunga di sisinya. Sehingga menyempurnakan taman menjadi tempat yang menawarkan
kenya-manan. Tampaknya, si pemilik penginapan
tak mau tanggung-tanggung dalam menge-lola penginapannya, agar benar-benar
menarik pengunjung. Terbukti, bangunannya dirancang sedemikian rupa. Sebagian
mengambil rancangan seni lelu-hur, bagian lain mengambil gaya bangunan Cina.
Meski si pemilik tahu, tempatnya agak terpencil.
Andika dan Mayangseruni tiba di
sana. Mereka masuk sambil mengagumi taman dan bangunannya. Dalam hati,
Pendekar Slebor jadi berseloroh sendiri.
"Selera Pangeran Slompret itu rupanya tinggi juga....?"
Melalui jalan setapak dari susu-
ran batuan sungai halus, dua anak muda itu melangkah terus sampai memasuki
bangunan penginapan.
Di ruang penerimaan tamu yang tak
begitu besar, keduanya disambut lelaki
yang tampaknya berdarah campuran Melayu Cina.
"Ada yang bisa hamba bantu?"
tanya penerima tamu ramah, layaknya pemilik penginapan lain.
"Kami hendak memesan kamar," kata Andika, menanggapi sambutan penerima tamu.
Tanpa banyak tanya, si penerima
tamu berjalan menuju meja berukir di sudut ruangan. Dari lacinya, diambil-nya
dua anak kunci.
"Kamarnya terletak agak berjauhan," kata penerima tamu yang sekaligus pemilik
penginapan, setibanya di dekat Andika dan Mayangseruni.
"Satu kamar berada disayap timur, sedang yang lain berada di sayap kanan. Aku
harap, Tuan-tuan dapat mengerti. Karena hanya kamar-kamar itu yang belum
terisi." Ketajaman otak Andika menangkap
suatu yang mencurigakan dengan sambutan yang berkesan tergesa-gesa itu.
Bukan Pendekar Slebor kalau tak bisa mencium gelagat aneh, meski hanya se-
kelebatan. Tak percuma orang-orang
persilatan sering membicarakannya sebagai pendekar yang memiliki otak lebih
encer dari pada bubur bayi!
"Dari mana lelaki ini tahu kalau aku dan Mayangseruni hendak menginap dengan dua
kamar terpisah?" tanya Andika. "Padahal, lazimnya pemilik pen-
ginapan selalu menanyakan berapa kamar yang hendak dipesan, jika kedatangan tamu
lebih dari satu orang...."
Tanpa hendak memperlihatkan kecu-
rigaan, Pendekar Slebor menerima sodo-ran anak kunci dari lelaki berdarah
campuran itu. Satu hal lagi keganjilan yang ditangkap mata Andika. Ketika
memberi kunci, lelaki itu seperti tahu hendak menyerahkan kunci yang mana pa-da
Andika, dan yang mana pula untuk Mayangseruni.
"Terima kasih," tutur Andika datar.
Menurut dugaan, lelaki pemilik
penginapan tentu telah terlibat dalam rencana busuk Pangeran Neraka. Kalau
melihat sinar matanya, tampaknya tak ada sifat-sifat jahat dalam dirinya.
Barangkali, dia terpaksa terlibat karena diancam.
Setelah Mayangseruni menyusul pu-
la kata terima kasih, keduanya lalu menuju kamar masing-masing. Kedua kamar itu
terletak sama-sama dilantai atas. Tapi, jaraknya berjauhan. Kira-kira, terpisah
jarak dua puluh lima tombak.
Andika masuk ke dalam kamarnya.
Hampir berbarengan, Mayangseruni pun masuk.
* * * Malam pun tiba. Sejauh ini tak
ada tanda-tanda mencurigakan bakal
terjadi. Pendekar Slebor berusaha terus untuk tetap waspada, sesuatu bisa saja
terjadi secara tiba-tiba.
Jangkrik berkerik-kerik tanpa bo-
san-bosan. Nyanyian hewan malam lain turut menimpali, membuat suasana makin
terasa tegang. Tanpa mampu memicingkan mata se-
jenak pun, Pendekar Slebor berjalan hilir mudik di dalam kamarnya yang sengaja
tidak diberi penerangan. Dalam keadaan gelap itu, matanya justru lebih leluasa
meneliti keadaan di luar.
Sementara itu, pikirannya terus dige-layuti kegelisahan. Andika khawatir akan
keselamatan Mayangseruni di kamar lain. Biarpun ilmu dara cantik tersebut tidak
diragukan, namun tetap merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatannya.
Waktu terus merangkak. Entah su-
dah berapa lama Andika seperti itu, tetap juga tak terjadi apa-apa.
Untuk menghempas kejenuhan, Pen-
dekar Slebor mencoba sedikit menyibak kerai jendela. Angin menerobos diam-diam,
sedikit pun tak membuatnya menjadi merasa lebih tenang. Di angkasa maha luas,
matanya menemukan sinar pucat rembulan. Benda langit itu seakan menambah
kegelisahan hatinya.
Di kamar lain, Mayangseruni pun
mengalami hal yang sama. Matanya juga tak bisa dipicingkan. Hatinya pun gelisah,
seperti pemuda pujaannya.
Bedanya, kalau Andika berjalan
tak karuan, gadis itu memilih untuk duduk diam di atas pembaringan dalam keadaan
bersemadi. Dalam gelap, mata berbulu lentik Mayangseruni sesekali bergerak
waspada. Gadis itu pun rupanya berpendapat sama dengan Andika.
Jika tidak ingin diawasi orang lain dari luar, lentera kamarnya harus di-
padamkan. Suatu saat, perasaan Mayangseruni
tiba-tiba memperingati akan suatu bahaya mengancam. Dia belum tahu, apa yang
bakal terjadi. Yang jelas, nalu-rinya memperingati harus waspada.
Wesss! Benar juga. Dari arah lubang an-
gin di atas pintu, mendesis suara tajam menuju dirinya.
Tangkas sekali Mayangseruni me-
lempar tubuh ke samping ranjang. Tak ada sekejap, desisan tadi menghujam
ranjangnya, melahirkan suara lain yang tak begitu kentara.
Bles! Seusai suara tadi, tak ada keja-
dian lain menyusul. Hanya kelengangan merajai kamarnya, serta suara lamat-lamat
jangkrik yang berdendang. Untuk lebih yakin, sengaja Mayangseruni menunggu
beberapa lama dalam sikap mema-
sang kuda-kuda siaga.
Karena tetap tak terjadi apa-apa,
barulah Mayangseruni mencoba menghi-dupkan lentera yang sejak tadi dipadamkan.
Bunyi pemantik api penginapan terdengar, menyusul ruangan menjadi terang.
Kini, mata Mayangseruni bisa me-
lihat jelas, benda apa yang telah me-mangsa ranjangnya. Di sana, tertancap
sebilah anak panah yang di tengahnya diikatkan secarik surat.
Cepat Mayangseruni menjemput anak
panah tersebut. Dari ikatannya Mayangseruni melepas surat pada anak panah.
Asal kau tahu, perempuan tak tahu malu! Pemuda tampan yang kini bersama-mu,
adalah kekasihku. Kau telah berani-beraninya merebut Andika dari pelu-kanku.
Bukankah wanita seperti itu pantas disebut sebagai wanita murahan.
Anggraini Betapa panasnya wajah Mayangseru-
ni membaca surat yang berisi bukan
hanya kecaman, tapi juga caci maki.
Seluruh kata yang tertulis dalam surat, seperti menyeruak paksa ke setiap jalan
darahnya. Dadanya mendadak se-sak, memaksa hidungnya menarik napas setarikan
demi setarikan dengan terse-ret-seret.
Wanita mana yang sudi dikatakan
wanita murahan" Tidak juga diri gadis
cantik itu. Sebutan itu lebih menyakitkan ketimbang hantaman godam raksasa
seberat ribuan kati!
Saat itu, yang terbersit dalam
pikiran Mayangseruni hanya perkataan kalau pemuda idamannya telah menipu dirinya
mentah-mentah. Cinta murninya telah dipermainkan Andika. Cintanya yang selama
ini terbangun dengan pen-gorbanan, terserpih begitu mudah.
Perlahan-lahan, desakan rasa pe-
dih dari dalam dada Mayangseruni memaksa garis bening merembes dari kelopak
matanya. Dia memang seorang pendekar wanita. Tapi, tentu saja tak akan sanggup
memungkiri kewanitaannya. Biar bagaimanapun, air mata tetap menjadi bagian dalam
hidup seorang wanita seperti Mayangseruni.
Mayangseruni tak ingin terisak.
Cukup airmata saja yang jatuh sebagai tanda kekecewaan mendalam.
Mayangseruni melempar surat dan
anak panah di tangan. Dengan hati lu-luh lantak, kakinya melangkah menuju pintu
kamar dan keluar dari sana. Jika seseorang menanyakan hendak ke mana saat itu,
dia tidak bisa menjawab.
Mayangseruni hanya ingin meninggalkan tempat itu. Seakan-akan, hanya dengan
begitu bisa membuang jauh-jauh segala hal tentang Andika.
Bagaimana dengan Andika sendiri"
Tidak! Pemuda itu tak pernah tahu ka-
lau Mayangseruni pergi. Jendela kamarnya membelakangi kamar Mayangseruni.
Sehingga apa pun yang terjadi di kamar gadis itu, Andika tidak dapat melihatnya.
Sementara, letak yang cukup jauh, membuat suara halus anak panah tersapu angin
tak dapat tertangkap telinga Andika.
"Sudah lewat dini hari, tapi kenapa belum terjadi apa-apa juga...,"
gumam Andika berbisik.
Untuk yang ke sekian kalinya,
Pendekar Slebor melepas pandangan keluar dari jendela, seraya menajamkan indera
pendengarannya. Tapi tetap saja tak tertangkap suatu yang mencurigakan.
"Apakah aku sudah salah perhitungan?" tanya Pendekar Slebor pada diri sendiri,
ragu. "Apa mungkin aku justru telah benar-benar masuk ke dalam pe-rangkap
pangeran sial itu tanpa kusa-dari?"
Andika makin digebah keraguan.
Sebelumnya pemuda itu sudah merasa yakin, telah berhasil membaca rencana licik
Pangeran Neraka. Semua hal-hal yang berkesan ganjil, direkam serta diolah
otaknya. Dia yakin, telah berada pada arah yang tepat menuju puncak rencana
lawan. Kalau sampai selarut itu perki-
raannya belum terbukti, tentu saja Andika menjadi ragu.
Segera Andika memutuskan untuk
memeriksa kamar murid bibi buyutnya.
Bukankah Pangeran Neraka amat licik"
Bisa saja, dia telah memperdayai
Mayangseruni tanpa sepengetahuannya.
Namun baru saja tangannya hendak
menjemput gagang pintu, tiba-tiba saja matanya melihat seseorang mengendap-endap
ringan di atas wuwungan. Tak jelas, apakah orang itu wanita atau lelaki. Sebab
pada saat itu, bulan dis-elumuti awan hitam pekat. Gerakan
orang itu amat ringan, seringan kucing liar. Tak ada keributan yang ditimbul-
kannya.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anehnya, begitu melihat kehadiran
sosok tak dikenal itu, Andika telah mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, bibirnya
malah memperlihatkan senyum.
Hanya Pendekar Slebor sendiri
yang tahu, kenapa begitu.
"He he he, kukira aku sudah salah perhitungan...," bisik Andika samar.
Selang beberapa waktu berikutnya,
pemuda urakan yang terkadang sulit di-mengerti itu, mengangkat kesepuluh ja-
rinya. Satu persatu, jari tersebut di-lipat seraya menghitung.
"Satu... dua... tiga...."
Pada hitungan kesepuluh, Andika
bergegas membuka pintu kamarnya. Wajahnya kini dibuat seperti sedang di-guncang
kekhawatiran. Namun karena dasarnya memang urakan, masih sempat-
sempat pula bibirnya tersungging kecil.
Aneh! Lalu, pemuda dari Lembah Kutukan
itu berlari-lari, seolah memburu suatu yang mencemaskan. Arahnya, menuju kamar
Mayangseruni. Agar lebih terlihat seperti sungguh-sungguh, Andika pun
mengerahkan sebagian ilmu meringankan tubuhnya yang amat dikagumi banyak tokoh
persilatan. Whus! Lebih cepat dari 'gas buangan'
siapa pun, Pendekar Slebor telah tiba di depan kamar Mayangseruni. Tepat di
depan pintu kamar, pemuda itu berdiri sejenak. Dibenarkannya letak kerah ba-ju,
kemudian menjemput gagang pintu.
Pintu terbuka. Ruangan ternyata
sudah gelap kembali. Ada seseorang
yang telah mematikan kembali lentera yang baru saja dinyalakan Mayangseruni
sebelumnya. Entah, siasat apa lagi yang se-
dang dijalankan pemuda berotak encer itu. Yang jelas, dia berlagak seperti orang
yang bersiaga penuh. Kakinya melangkah satu-satu, melewati mulut pintu. Sepasang
tangannya teracung ke depan dengan otot menegang. Diliriknya ranjang di dalam
kamar. Ada seseorang sedang terlelap di sana.
"Mayang..., ssst, Mayang," bisik Pendekar Slebor hati-hati seraya men-
dekat perlahan-lahan ke sisi ranjang.
Makin dekat, gaya anak muda
brengsek itu makin dibuat-buat. Sepertinya, Andika begitu tahu ada orang lain
selain wanita diranjang yang sedang mengawasi semua gerak-geriknya.
Kaki Andika mulai berjingkat-jingkat kecil menuju tepi ranjang, seperti
maling jemuran. Tangannya pun mencak sana mencak sini tak karuan.
Sebenarnya, apa yang ada dalam
pikiran Andika saat itu"
"Mayang.... Mayang...," ulang Pendekar Slebor, memanggil nama gadis yang sudah
tidak ada lagi di tempatnya.
Tepat ketika benar-benar tiba di
tepi ranjang. Werrr! Selimut yang menutupi sebagian
badan tersingkat amat cepat. Seiring dengan itu, seberkas suara mendesis halus
terdengar. Seth! Tahu-tahu, telah menempel benda
kecil tajam yang dingin tepat di tenggorokan Andika. Namun Pendekar Slebor tak
tampak terperanjat mendapat sambutan tak ramah itu. Malah dia memperlihatkan
cengiran kudanya yang menjengkelkan.
"Apa kabar, Anggraini?" tegur Pendekar Slebor.
Sungguh pada saat itu, tak ada
sedikit cahaya yang menerangi wajah wanita di depannya. Semuanya memang telah
diperhitungkan Pendekar Slebor.
Jadi, tanpa perlu melihat jelas pun, Andika sudah tahu kalau wanita itu
adalah Anggraini. Kalaupun sebelumnya memanggil-manggil nama Mayangseruni, itu
semata-mata hanya berpura-pura.
"Tak perlu berbasa-basi lagi padaku, Penipu Laknat!" geram Anggraini.
Di tangannya telah siap busur yang merentang tegang. Ujung anak panahnya
menempel di tenggorokan Andika.
"Kukira aku tidak seperti apa
yang kau ucapkan," sangkal Andika tenang. "Aku yakin, kau telah termakan hasutan
pamanmu. Bukan begitu,
Anggraini?"
"Sekali lagi kau berbicara, le-hermu akan tertembus anak panahku!"
ancam Anggraini. "Sekarang nyalakan lentera itu!"
Andika menuruti perintah gadis
yang dibakar api dendam buta ini. Perlahan tubuhnya beringsut ke tempat lentera
tergantung. Dengan pemantik api di dekatnya, dinyalakannya lentera minyak itu
hati-hati di bawah ancaman busur Anggraini.
"Sekarang, aku bisa melihat wajah pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas melihat,
bagaimana wajahmu ketika meregang maut...," desis Anggraini geram dengan
menyipit. Andika tak peduli dengan kegera-
man di wajah ayu yang terbakar warna merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata
Anggraini, seakan sedang berusaha menembus langsung ke hati gadis itu.
"Apa kau yakin hendak membunuh-ku?" tanya Andika.
Ucapan Pendekar Slebor mungkin
tak beda dengan sebuah tantangan. Namun, nada kalimat yang dibuatnya men-gandung
tekanan mantap, mencoba meng-goyahkan niat membunuh dalam diri gadis itu.
Anggraini tak segera menjawab.
"Kenapa kau diam, Anggraini" Apakah kau ragu?" susul Andika lagi.
"Diam kau! Aku tak pernah ragu untuk membunuh orang yang telah membunuh ayahku!"
bentak gadis itu hampir tersekat isak yang muncul tanpa tertahan.
"Kau tak akan percaya bila kukatakan, kalau aku telah melakukan tindakan yang
benar dengan membunuh ayahmu," ucap Andika kembali, tanpa takut Anggraini
melepas tali busurnya.
"Kau penipu!" maki Anggraini. Wajahnya menyimpan mendung. Kalau saja tak
berusaha menahan, tentu isaknya sudah terlempar keluar.
"Aku memang pembunuh ayahmu. Ta-pi, aku bukan penipu seperti katamu,"
sangkal Andika. "Pamanmu lah yang pantas disebut penipu...."
"Diam!" bentak Anggraini. Tapi, Andika tak peduli.
"Dia telah memutar balikkan kenyataan sesungguhnya. Kau telah berhasil
dipermainkan lelaki itu, lalu di-manfaatkan untuk melaksanakan keinginannya
untuk membunuhku...."
"Diam! Diam! Diam! Kalau kau tidak diam...."
"Kalau aku tak diam, apa yang
akan kau lakukan Anggraini" Apa" Membunuhku dengan anak panahmu ini" Ayo,
bunuhlah aku! Ayo bunuh!" Andika terus menyudutkan Anggraini dengan kata demi
katanya. Anggraini tidak bisa menjawab.
Bibirnya bergerak-gerak, hendak mengucapkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir
bening yang sejak tadi bergelayut di kelopak matanya, kini mulai gugur di
sepanjang pipi halusnya.
"Kenapa kau belum juga membunuh-ku, Anggraini" Kau ragu bukan" Karena, kau tidak
ingin menyesal seumur hidup setelah tahu aku tak pantas dibunuh...," sambung
Andika agak melembut.
Sementara hati gadis di depan
Pendekar Slebor makin goyah diberon-dong isak.
"Perlu kau tahu. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini.
Kelicikan pamanmu sudah dapat kubaca.
Manakala tahu Mayangseruni telah ber-samaku, dia pun segera mengatur siasat
licik untuk mengenyahkanku dengan tan-ganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni
hampir sulit dibedakan, jika dilihat sekilas. Apalagi dalam gelap seperti
tadi...," kata Andika, lalu diam sesaat. "Dia mengira, aku bisa tertipu dengan
menempatkanmu di kamar Mayangseruni. Tidak! Aku tidak tertipu. Kalaupun aku
datang juga ke kamar ini, itu karena ingin membuktikan padamu bahwa aku tidak.
bersalah dengan membunuh ayahmu. Aku yakin, telah melakukan tindakan benar.
Jadi, kenapa aku harus takut menghadapi tuntutan dendammu?"
Seluruh kalimat Andika bagai
menghujam ke dalaman batin Anggraini.
Di telinganya, kata-kata itu begitu mantap terulur bagai tak memiliki keraguan
atau kedustaan sepercik pun.
Di lain sisi, justru keraguan da-
lam diri Anggraini makin membesar dan membesar. Bahkan berkembang perlahan bagai
daging tumbuh yang menyiksa.
Tangan Anggraini yang merentang-
kan busur makin kehilangan kekuatan.
Getarannya menghebat.
Biar bagaimanapun, dendam buta
membakar, cinta pula yang bisa menerobos dari kepungannya. Anggraini tak kuasa
menghalangi rontaan cinta dari dalam dirinya. Sementara, kata demi kata pemuda
di hadapannya telah jatuh tepat di garba cinta itu sendiri.
"Sadarlah. Anggraini. Begal
Ireng, ayahmu, adalah tokoh sesat yang harus kusingkirkan...."
Mendapat kalimat terakhir Andika,
mata Anggraini yang semula terjatuh, kini membeliak beringas.
"Kebohongan apa lagi yang kau katakan, Andika?" geram Anggraini.
"Kalau kau benar-benar ingin membunuhku, cari tahulah tentang ayahmu di Istana
Alengka, agar nanti tak menyesal. Dan kau pun harus benar meyakini setiap ucapan
pamanmu...."
Saat berbicara, mata Andika men-
cari-cari sesuatu dalam kamar. Ditemukannya remasan surat yang ditujukan untuk
Mayangseruni, serta anak panah di satu sudut ruangan.
Sejak semula, Andika sudah tahu
kalau Pangeran Neraka akan memperdayai Mayangseruni agar keluar dari kamar itu,
lalu memperdayai Anggraini pula agar menggantikan Mayangseruni di kamarnya.
Hanya sampai semuanya terjadi, Andika tidak tahu bagaimana cara Pangeran Neraka
melakukannya. Setelah melihat secarik surat lu-
suh dan anak panah itu, pikiran Andika terbuka kembali. Kini dia tahu, Pangeran
Neraka mengeluarkan Mayangseruni dari kamar secara halus. Tampaknya, tidak akan
terjadi apa-apa terhadap diri gadis itu. Karena, sasaran Pangeran Neraka hanya
Andika sendiri.
"Kau lihat secarik surat lusuh dan anak panah di sudut ruangan itu?"
kata Andika memulai kembali pada
Anggraini. "Dengan benda-benda itu, kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya
pamanmu...."
"Apa maksudmu"!" sentak Anggraini bersama derai airmata yang tak bisa lagi
dibendung. "Apa kau tak mengenali kalau anak panah itu adalah anak panahmu" Meski-pun belum
sempat kubaca, namun aku yakin isi surat itu mengatas namakan dirimu. Sementara,
kau tak pernah mengi-rimnya pada Mayangseruni yang sebelumnya menempati kamar
ini...." Mata sembab gadis itu melirik ra-
gu ke sudut ruangan.
"Ayo, lihatlah.... Aku tak akan lari. Dan aku tak akan membokong-mu...," ucap
Andika. Mata Anggraini kini beralih pada
mata Andika. Ditembusnya manik-manik mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia ingin
mencaritahu apakah Andika berusaha menipunya atau tidak. Tapi, sebe-tik pun tak
ditemukan kedustaan di sa-na.
Perlahan-lahan,
tubuh Anggraini
beringsut menghampiri anak panah dan secarik surat lusuh tadi. Mata anak panah
di tangannya tetap ditujukan pa-da Andika, seperti juga matanya yang tetap
mengawasi. Begitu tangan lembut Anggraini
hendak menjemput kedua benda itu....
Brak! Mendadak saja, dinding kamar je-
bol. Serangkum pukulan bertenaga dalam dahsyat yang ditujukan pada Andika,
merangsek masuk dengan amat kasar! Andika terkesiap. Begitu juga Anggraini.
Apalagi, pukulan jarak jauh dahsyat itu searah dengan tempat Anggraini.
Pendekar Slebor yang sering kali
menelan kejadian-kejadian tak terduga selama petualangannya serta merta
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Anggraini awas!"
Sekelebat gerak yang sulit diiku-
ti mata, dilakukan pendekar muda itu.
Disergapnya tubuh sintal Anggraini, sekaligus menyelamatkan diri dari ter-jangan
pukulan jarak jauh tadi.
Tak ayal lagi, tubuh mereka ber-
gulingan di lantai.
Ketika guguran dinding kayu ber-
serakan tanpa daya, ketika debu-debu ruangan sudah tergolek di seluruh
ruangan, tubuh Andika dan Anggraini terdiam. Andika masih memeluk punggung
Anggraini di bawahnya. Pemuda itu menanti serangan lebih lanjut, tapi tak
kunjung datang juga.
Andika lalu berkesimpulan, penye-
rang gelapnya adalah Pangeran Neraka.
Tahu kalau sasarannya selamat, Bureksa
mungkin menyingkir secepatnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mau mengambil
bahaya menghadapi Andika secara langsung.
"Manusia kentut pengecut!" umpat Pendekar Slebor geram.
Andika bangkit, seraya membantu
Anggraini. "Kau tidak apa-apa, Anggraini?" tanya Andika lembut.
Sulit digambarkan, bagaimana wa-
jah Anggraini saat itu. Sehimpun rasa berbaur menjadi satu. Gundah, kalut,
kecewa, serta dendam. Kini dia tahu, ucapan Andika seluruhnya benar. Pamannya
telah mengkhianati.
Tanpa berniat menjawab pertanyaan
Andika, Anggraini menghambur keluar kamar, membawa isak dan segala kepedi-han
tak tertanggungkan.
"Anggraini, tunggu!" tahan Andika.
Tapi, kehancuran batin Anggraini
memaksanya untuk tidak mempedulikan apa-apa lagi. Dia terus berlari...,
berlari..., membawa seluruh luka dalam diri. Akan ke mana kau, Anggraini"
S E L E S A I Ikuti kelanjutan kisah ini,
dalam episode :
"BAYANG-BAYANG GAIB"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Harimau Kemala Putih 10 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Selubung Awan Hitam 2
rintik-rintik gerimis sa-ja.
Dalam rinai gerimis halus, dua
sosok tubuh berjalan beriringan. Salah seorang berbadan gagah dan tegap, mem-
bopong tubuh sintal seorang wanita. Di sisinya, tertatih-tatih melangkah nenek
tua bungkuk berpakaian ganjil.
Keduanya adalah Andika dan Nyai
Silili-lilu. Sedangkan wanita yang di-bopong Pendekar Slebor tentu saja
Mayangseruni. Semalam, ketika hujan badai me-
rangsek bumi keduanya membawa segera Mayangseruni kebukit terdekat. Sebuah bukit
yang gundul kerontang, tanpa ada sebatang pohon menjulang. Tempat itulah yang
amat tepat bagi orang yang hendak menyudahi hidup, dalam hujan
menggila. Petir setiap saat akan mencari perantara ke bumi. Jika tidak ada
sebatang pohon pun, maka setiap benda yang sudi berdiri tegak di sana akan
menjadi sasarannya. Termasuk, manusia.
Dan tempat itu pula, sangat tepat
untuk melaksanakan rencana pengobatan Mayangseruni menurut Nyai Silili-lilu.
Andika pun berpikir begitu, setelah niatnya benar-benar bulat untuk menolong si
gadis malang. Maka, malam itu juga mereka be-
rangkat. Tebing-tebing terjal yang me-magari bukit tak menjadi halangan bagi
kedua tokoh sakti berbeda usia itu.
Tak juga badai yang mengamuk, tak juga jurang-jurang yang siap menelan tubuh
mereka. Begitu tiba di ubun-ubun bukit,
Nyai Silili-lilu bergegas menjauhi Andika yang tegak menentang angkasa,
serta tubuh Mayangseruni yang rebah di dekatnya. Meski dalam hal kesaktian, si
nenek berada beberapa tingkat ilmu atas Andika, namun tak akan sudi han-gus
diterjang lidah petir. Hanya
orang-orang yang beruntung memakan
buah 'inti petir' saja yang bisa me-naklukkan gejala alam dahsyat itu.
Belum lagi tubuh bungkuk Nyai Si-
lili-lilu mencapai jarak yang cukup jauh, sejulur lidah petir menyalak, membelah
langit. Glar! Tubuh Andika yang menjadi ujung
puncak bukit, tak ayal lagi disambarnya. Pada kejap yang berselang begitu tipis,
tubuh si jejaka bergetar dan tersentak-sentak.
Yang terjadi selanjutnya, siksaan
tak terhingga dialami Andika. Penderi-taannya lebih hebat, dibanding tubuhnya
ditarik seratus ekor kuda liar.
Atau lebih menyakitkan dari sayatan sejuta sembilu.
Tak ada satu benteng diri yang
sanggup menahan penderitaan itu. Tak juga milik pemuda berhati baja Pendekar
Slebor. Alam memang terkadang bisa ditaklukkan. Tapi, manusia tetap tak kuasa
mengaturnya. Maka, mulut Andika pun melempar teriakan melengking bagai hendak
menyaingi salakan guntur merobek angkasa!
Tangan Andika mengejang serta
membentang tinggi-tinggi ke atas. Kepalanya menengadah, seakan hendak merobek
lehernya sendiri. Seluruh otot-otot di tubuhnya meregang, dialiri te-gangan
petir alam raksasa.
Kekokohan poros hati pemuda ini
memang patut dikagumi. Meski dalam
penderitaan yang bisa melempar kesadarannya, Andika ternyata mampu
mempertahankan tekad untuk menolong Mayangseruni. Dia bertahan untuk tidak jatuh
pingsan. Dan kesadarannya meronta-ronta, untuk segera melakukan tindakan
terhadap gadis di dekat tempatnya berdiri.
Perjuangan antara hidup dan mati
dimulai. Andika berusaha menahan te-gangan lidah-lidah petir raksasa dalam
tubuhnya, agar tak langsung terserap bumi. Sesuai nasihat Nyai Silili-lilu,
Andika harus menyalurkan sebagian tenaga petir ketubuh Mayangseruni melalui
keningnya. Dalam cucuran hujan dan terpaan
badai, dalam gelombang siksaan yang tak kunjung henti, dan dalam getaran tubuh,
Andika perlahan-lahan menurun-kan dua jari telunjuknya ke pelipis gadis itu.
Begitu kedua jari telunjuk Pende-
kar Slebor menyentuh pelipis Mayangseruni, gelombang hebat tenaga petir
raksasa dalam tubuhnya mengalir liar menuju tubuh gadis ini.
Srrrt! Tubuh basah kuyup Mayangseruni
tersentak-sentak seperti dialami Andika sebelumnya. Dada montoknya terangkat-
angkat cepat, bagai dirasuki mak-hluk halus buas.
Pada kala itulah Pendekar Slebor
harus segera memenggal aliran lidah petir raksasa yang menjadikan tubuh gadis
itu sebagai perantara ke bumi.
Jika tidak, Mayangseruni bukannya bisa disembuhkan. Malah, justru nyawanya akan
melayang! Namun, tindakan itu bukanlah hal
yang mudah buat Andika. Tubuh halus gelombang lidah petir raksasa yang sudah
mendapat perantara menuju bumi, akan sulit diputuskan manakala telan-jur
menemukan jalan. Untuk itu, Andika harus mengempos seluruh kekuatan dalam setiap
jengkal dirinya.
"Heeeaaakh!" teriak Andika serak mengerikan.
Di akhir teriakan, jari Andika
dapat diangkat dari pelipis Mayangseruni. Berbarengan dengan itu, tubuh Pendekar
Slebor terlempar jauh ke belakang terhempas tenaganya sendiri.
Pemuda berhati baja itu baru bisa
bangkit, setelah hujan mereda. Itu pun telah dibantu Nyai Silili-lilu dengan
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya.
"Kira-kira, kapan dia akan si-
uman, Uwak?" tanya Andika ketika mereka tiba di pintu masuk yang terdapat di
tubuh pohon besar. Pakaiannya tampak koyak-moyak, seperti dicabik-cabik sekawanan serigala. Wajahnya yang basah masih tampak pucat,
setelah mengalami perjuangan antara hidup dan mati di atas bukit.
"Kenapa kau bertanya begitu, Bocah Slompret?" Nyai Silili-lilu malah balik
bertanya. Bibirnya tersungging kecil, penuh arti. "Apa kau sudah tak sabar ingin
mengenal lebih dekat gadis
yang telah kau tolong" Kau punya pa-mrih sewaktu berniat menolong, ya?"
Andika tentu saja tahu kalau ne-
nek tua yang telah diketahui sebagai kakak kandung buyutnya, Pendekar Lembah
Kutukan, hanya ingin bergurau.
Sewaktu melewati anak tangga batu
menuju ruang bawah tanah, mata Andika memperhatikan seluruh anak tangga yang
aneh menurutnya.
"Uwak! Boleh kutanya sedikit?"
aju Pendekar Slebor pada si nenek.
"Ah! Kau selalu saja bertanya!"
tukas Nyai Silili-lilu.
"Kenapa tangga batu ini aneh sekali" Beberapa anak tangga diwarnai merah.
Sebagian lain kuning, dan si-sanya hijau. Apa maksudnya?"
Nyai Silili-lilu berhenti pada
satu anak tangga. Andika mengikuti.
Jari telunjuk nenek itu lalu menotok-notok kening Andika keras-keras. Sampai-
sampai, kepalanya melengak-lengak.
"Pikir..., pikir! Anak muda beb-al! Sepanjang pengetahuanku, keturu-nanku
memiliki otak yang encer!"
* * * 7 Gubuk kecil tempat kediaman Pan-
geran Neraka dan anteknya, Kembar Dari Tiongkok kelihatan sepi. Tak ada suara
seorang pun di dalamnya.
Sementara, Anggraini tiba di anak
tangga masuk. Dan saat itulah Pangeran Neraka muncul bersama Kembar Dari
Tiongkok. "Anggraini!" panggil Pangeran Neraka.
Anggraini menoleh. Langkahnya un-
tuk menaiki tangga gubuk diurungkan.
"Dari mana saja kau?" tanya Bureksa, setelah dekat. "Kami sudah mencari-cari kau
belakangan ini. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap dirimu...."
Kata-kata Bureksa seolah penuh
perhatian. Padahal dalam hatinya ada rencana busuk yang akan melibatkan
kemenakannya sendiri. Itu sebabnya dia mencari-cari Anggraini.
"Aku hanya berkeliling-keliling,"
jawab Anggraini berbohong. Dihinda-
rinya tatapan mata si paman berjiwa bejat, namun belum diketahuinya sampai saat
itu. "Kau tak apa-apa, bukan?" tanya Bureksa lagi. "Kelihatannya kau murung sekali?"
"Aku tak apa-apa, Paman. Hanya lelah...."
Anggraini membalikkan tubuh, lalu
mulai meniti anak tangga.
"Aku ingin istirahat dulu Paman,"
pamit gadis itu dengan suara tak ber-gairah.
Tubuh Anggraini menghilang di ba-
lik pintu gubuk beberapa saat. Setelah itu, Bureksa melirik Chia Jui dan Chia
Kuo dengan pandangan licik.
"Hari ini, kita harus mematangkan rencana," desis Bureksa perlahan.
Chia Jui dan Chia Kuo mengangguk
berbarengan. "Kalian lihat pandangan gadis itu barusan" Apa kalian bisa melihat ada sesuatu
yang terjadi padanya. Kuyaki-ni, ini ada hubungannya dengan Ratu Lebah, atau
Andika. Sore nanti, kalian berpura-pura hendak keluar. Aku akan mengorek
keterangan dari gadis itu
yang nantinya akan bisa mempermulus rencana kita...."
"Menyingkirkan Pendekar Slebor keparat!" tambah Chia Jui diiringi se-ringai.
"Ya!" timpal Bureksa mantap.
Lalu, ketiganya segera masuk ke
dalam gubuk. *** Tanpa terasa, sore pun tiba. Se-
suai rencana Pangeran Neraka, Kembar Dari Tiongkok pamit keluar gubuk. Mereka
hendak mencari bahan makanan di kotapraja. Begitu alasan mereka.
Di dalam gubuk, kini tinggal Bu-
reksa dan Anggraini.
Kepura-puraan Pangeran Neraka
saat itu diumbar lagi. Dengan penuh kepalsuan, dibuatkannya teh hangat untuk
Anggraini. Agar dianggap kalau dirinya menaruh rasa sayang pada kemenakan
sendiri. Benar kata Nyai Silili-lilu pada
Andika beberapa waktu lalu. Bureksa memang selicik serigala dan selicin belut.
Dia mampu bersandiwara dengan sempurna di hadapan Anggraini. Dalam benaknya
sendiri, tak pernah ada rasa sayang pada kemenakannya. Yang ada
hanya kelicikan dengan memanfaatkan Anggraini, untuk mengenyahkan Pendekar
Slebor. Sebab, lelaki itu amat jeli membaca pikiran Anggraini yang ayahnya
dibunuh Andika. Dendam pasti sedang bergelora dalam hati gadis itu. Begitu pikir
Bureksa. Dendam itulah yang akan dipicunya, sehingga Anggraini akan
mengenyahkan Andika!
"Kau perlu meminum teh hangat
ini, untuk menyegarkan tubuh," kata Bureksa dengan tata krama yang manis.
Diletakkannya cangkir teh di depan
Anggraini. "Terima kasih, Paman," hatur Anggraini.
Saat ini gadis itu sedang duduk
menekuk lutut di lantai beralas tikar pandan. Baru saja Anggraini selesai
bersemadi. "Kau tampaknya sedang ada masalah, Anakku," kata Bureksa memulai
kembali. "Kau bisa menceritakan masa-lahmu padaku. Anggaplah aku sebagai
pengganti Ayahmu...."
Anggraini menoleh sejenak. Bibir-
nya menyembulkan senyum tawar. Beberapa saat, dia hanya menimbang.
"Paman benar. Aku memang sedang memiliki masalah," kata gadis itu.
"Ceritakanlah...," bujuk Pangeran Neraka. Matanya berbinar-binar culas,
mengetahui Anggraini mulai mau membuka mulut.
"Kau tentu tahu pemuda yang ber-samaku dulu, Paman...."
"Yang berpakaian hijau itu?"
"Ya."
"Kau masih berhubungan dengan
pembunuh ayahmu itu?" kata Bureksa, berpura-pura tersentak kaget. Anggraini
menggeleng. "Aku justru menemuinya untuk menuntut balas atas kematian Ayah...,"
tutur Anggraini datar.
"Lalu?"
"Kurasa aku tak sanggup membunuhnya...."
"Dia memang terlampau sakti untukmu."
"Bukan itu, Paman," sergah Anggraini. "Melainkan, aku tak bisa melakukannya.
Hatiku menolak setiap kali aku berusaha membunuh pembunuh itu."
Bureksa mengangguk-angguk dengan
wajah dibuat sebijak mungkin.
"Kalau kau merasa tak sanggup, kenapa tak lupakan saja dendammu padanya" Dendam
itu selamanya tak baik, Anakku...," tutur Bureksa halus. "Kalaupun aku
melarangmu berhubungan dengan pemuda itu, bukan berarti mengan-jurkan untuk
membunuhnya karena luapan dendam kesumat."
Bureksa tampaknya berusaha me-
mancing keingintahuan Anggraini, dengan membuat tekanan kalimat.
Sementara Anggraini kemudian me-
nyeruput teh. Diletakkannya kembali cangkir tanah liat di tempatnya.
"Kenapa Paman melarangku berhubungan dengan pemuda itu?" tanya gadis itu
kemudian, terpancing gaya bicara Bureksa.
Bureksa tertawa ringan. Ditarik-
nya napas dalam-dalam, seakan begitu berat menjelaskan hal yang akan diuta-
rakannya. "Ayolah, Paman...,"
desak Anggraini, lagi-lagi terpancing sikap Bureksa.
"Kularang kau mencintai pemuda itu, bukan karena telah membunuh adik kandungku,
ayahmu. Aku tidak sepicik itu, Anggraini. Sebabnya karena...."
Sengaja Bureksa memenggal kali-
mat. "Katakan saja, Paman!"
"Kau yakin siap mendengarnya?"
Andika mengangguk, meski agak ra-
gu. "Kau tak akan kecewa?"
Kini kepala gadis itu menggeleng
lamban. "Baiklah...," desah Bureksa, langsung diam sesaat. "Sebenarnya, pemuda itu
adalah seorang hidung belang.
Di dunia persilatan, dia dikenal sebagai Iblis Pemetik Bunga. Banyak gadis yang
sudah menjadi korbannya. Setiap gadis akan mengalami kematian menge-naskan,
setelah digauli pemuda itu.
Dia memiliki ilmu yang menuntut tumbal kehormatan gadis suci seperti kau. Setiap
kali seorang gadis dikorbankan, ilmunya bertambah beberapa tingkat...," papar
Pangeran Neraka dengan sandiwaranya yang sempurna.
Selesai mendengar penuturan Bu-
reksa, mata Anggraini berkaca-kaca.
Tampak tersirat rasa kegeraman di sa-na. Giginya terdengar bergeletuk dihantam
kekecewaan mendalam.
"Pantas saja dia tak segera membunuhku, sementara mengetahui aku hendak menuntut
balas padanya. Rupanya, pemuda keparat itu ingin menjadikan aku tumbal ilmu
iblisnya!"
Pak!
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tinjunya, Anggraini meng-
hajar lantai kayu pondok. Hantaman itu membuat lubang cukup besar, Pertanda
kegeraman dan kebenciannya telah ter-
bakar cepat! Bureksa menepuk-nepuk bahu
Anggraini. Wajahnya ditampakkan se
prihatin mungkin, terhadap keadaan ha-ti gadis kemenakannya.
"Sudahlah...," bujuk Pangeran Neraka. "Lupakan pemuda itu. Lupakan pu-la
dendammu. Kembalilah ke Tanah Buangan menemani ibumu. Tentu beliau kesepian di
sana...." "Aku tak akan kembali ke Tanah Buangan sebelum membunuh pemuda itu, Paman!"
tandas Anggraini. Matanya memerah penuh. "Dia telah membuat Ibu kesepian dengan
tewasnya Ayah!"
Kepala Bureksa menggeleng-geleng
perlahan. Sementara, raut wajahnya tetap mempertahankan kesan prihatin. Sedang
benaknya sendiri melantunkan tawa puas. Tawa tersembunyi penuh kemenan-gan!
Pada saat yang sama, Mayangseruni
sedang berbincang-bincang dengan gurunya, Nyai Silili-lilu dalam tempat rahasia.
Beberapa saat waktu lalu, gadis menawan itu telah siuman.
Sementara keduanya berbicara hi-
lir- udik, melepas kerinduan setelah tak berjumpa demikian lama, Andika masuk
melalui tangga batu. Dia baru saja keluar untuk mencari pengganti pakaian, atas
saran Nyai Silili-lilu.
Begitu Andika hendak memasuki se-
buah pintu yang menghubungkan ruang
bawah tanah dengan anak tangga, ka-
kinya tertahan untuk melangkah lebih lanjut. Andika tertarik oleh pembicaraan
dua perempuan yang usianya ter-paut jauh itu. Telinganya mendengar namanya
disebut-sebut. "Pemuda yang menolongmu bernama Andika," terdengar suara Nyai Silili-lilu sayup.
"Andika" Rasanya aku pernah mendengar selentingan nama pemuda itu,"
susul suara Mayangseruni yang halus terdengar.
"Tentu saja kau pernah mendengarnya, 'Nduk'. Apa kau lupa kalau Andika adalah
nama asli Pendekar Slebor....
Hik hik hik!"
Si nenek tertawa pada akhir kali-
mat. Padahal, tidak ada yang lucu untuk ditertawakan.
"Pendekar Slebor, Guru"! Jadi
pendekar muda terhormat itu yang telah membantuku menawarkan racun dalam tu-
buhku"!"
Suara Mayangseruni terdengar me-
ninggi. Tampaknya, gadis ini demikian terperanjat.
"Ya! Apa telingamu tuli, 'Nduk'?"
"Ya, Tuhan.... Ini benar-benar membuat hatiku berbunga-bunga, Guru!"
"Eh, eh! Apa kau tahu, anak muda itu mati-mati dalam usaha menolongmu.
Kupikir, kalau ada pemuda yang paling cocok denganmu, ya dia orangnya!"
Andika tersenyum sendiri menden-
garnya. "Ah, Guru...!" desah Mayangseruni malu-malu.
"Eee! Bagaimana kalau dia naksir kau. Dan kau harus tahu malu pada Andika. Dia
sudah mempertaruhkan nyawa demi kesembuhanmu!"
Tak terdengar tanggapan Mayangse-
runi. Mungkin hatinya begitu risih
mendengar celoteh guru ceriwisnya yang terlalu memojokkan.
"Bayangkan saja, dia harus membiarkan dirinya disambar petir!"
"Untuk menolongku?"
"Iya! Apa kau belum tahu, racun
'Perusak Saraf hanya bisa dilumpuhkan dengan menyalurkan sebagian kekuatan petir
ke dalam tubuhmu" Dan hanya
orang yang pernah memakan buah 'inti petir' saja yang bisa melakukannya...."
"Uggg, sekarang mmm, Kang Andika di mana, Guru?"
"Weit, weit! Belum apa-apa sudah panggil-panggil 'Kang'. Mesra sekali
kedengarannya.... Hik hik hik!"
"Guru kenapa terus menggodaku!"
"Kakang mu itu sekarang sedang sembunyi seperti cecurut di balik pintu itu!"
tukas Nyai Silili-lilu, mengejutkan Andika.
Andika benar-benar tak menyangka
kalau uwaknya mengetahui kehadirannya.
Padahal, dia sudah begitu hati-hati.
"Alah, tidak usah pura-pura segala! Ayo masuk!" bentak si nenek dari dalam.
Dengan wajah merah padam, Andika
terpaksa masuk juga. Perempuan bangko-tan itu memang paling hebat menangkap
basah seseorang!
"Nah! Inilah Pendekar Slebor,
'Nduk'! Sudah lama kau ingin kenal
dengannya, bukan?" cerocos Nyai Silili-lilu, seolah hendak menelanjangi Andika
di tempatnya. Untuk pertama kalinya, Andika bi-
sa menyaksikan pribadi Mayangseruni sesungguhnya. Tak ada lagi kesan keji pada
wajah gadis ayu luar biasa ini.
Mata lentiknya kini memancarkan keang-gunan serta kesungkanan, sekaligus
manakala bentrok dengan mata elang Andika. Hati pemuda ini terasa sejuk
dibuatnya. "Ayo! Ke sini, Anak Muda Slompret!" maki Nyai Silili-lilu semena-mena, mendapati
Andika terdiam di mulut pintu masuk ruang bawah tanah.
Andika tersentak. Matanya menger-
jap-ngerjap layaknya bocah kampung ca-cingan.
Sewaktu pendekar muda itu melang-
kah lebih dekat ke arah dua perempuan berbeda usia yang duduk bersandingan di
meja batu, Mayangseruni tampak tertunduk-tunduk. Wajah halusnya tampak
bersemu merah. Nyai Silili-lilu bangkit dari me-
ja batu. Lalu dia berjalan terbungkuk-bungkuk menuju ruang semadinya.
"Ajak anak gadisku cari angin!
Terserah kalian, di luar mau berbuat apa! Mau main petak umpet, kek. Atau apa,
kek! Masabodoh! Asal jangan berbuat yang macam-macam! Bisa kusunat dua kali kau
Andika!" kata Nyai Silili-lilu.
Pendekar Slebor menarik napas se-
dalam mungkin. Untung dia hanya punya satu uwak seperti Nyai Silili-lilu.
Kalau lebih sedikit saja, bisa-bisa mati berdiri.
"Heh, tunggu apa lagi"!" sentak Nyai Silili-lilu di belakang Andika.
"Ayo, gandeng tangan Mayangseruni!
Ajak dia keluar! Kalian hanya membuat tempat tinggalku sumpek!"
Puas berkoar-koar, nenek pertapa
itu menghilang di balik dinding ruang semadinya.
Tinggal Andika dan Mayangseruni
yang masih terdiam, menikmati keterpesonaan masing-masing.
* * * "Kita akan ke mana, Kang Andika?"
tanya Mayangseruni pada pemuda di sisinya.
Mereka kini berjalan beriringan.
Pagi tadi, mereka baru saja pamit pada Nyai Silili-lilu.
Sebenarnya, Andika tak berniat
pergi bersama-sama murid tunggal uwaknya. Berhubung Nyai Silili-lilu mende-
saknya terus untuk mengajak Mayangseruni, Andika akhirnya mengizinkan juga gadis
itu pergi bersamanya.
Mayang sendiri memang sudah lama
merindukan bisa berjalan beriringan bersama pendekar besar macam Andika.
Biarpun masih agak risih, hatinya tentu saja gembira mendengar desakan gurunya
pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika...," tegur Mayangseruni. Pertanyaannya tadi belum dijawab Andika.
"Eh, apa?" gagap Andika tersadar.
"Kakang melamun, ya?" goda Mayang, sungkan-sungkan.
"Ah, tidak...! Eh, iya!"
"Melamun apa?" Andika tersenyum kecil.
"Kau tadi tanya apa padaku?" Andika mengalihkan pembicaraan.
Merasa Andika tak mau membicara-
kan isi pikirannya, Mayangseruni tidak ingin memaksa.
"Aku tanya, kita akan ke ma-
na...?" ulang Mayangseruni.
"Ooo, itu. Kita akan ke lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia," jawab Andika.
"Apa Kakang ada urusan di sana?"
tanya Mayangseruni lagi.
Sementara kesadarannya pulih,
Mayangseruni tak lagi ingat tentang tempat tersebut. Termasuk, tentang dirinya
yang diperalat Pangeran Neraka.
Andika maklum akan hal itu.
"Aku punya sobat baru. Dia masih hijau dalam dunia persilatan. Karena suatu hal,
aku harus mengenyahkan
ayahnya. Lalu, dia pun mencari pembunuh ayahnya. Ketika tahu dari pamannya kalau
akulah pembunuh ayahnya, dia pun mulai memusuhiku. Aku hendak mencarinya di
sana, karena khawatir terhadap kelicikan si paman," tutur Andika gamblang.
"Entah kenapa, aku sepertinya merasa pernah mendengar tentang tempat itu...,"
kata Mayangseruni, seperti bergumam sendiri.
Karena merasa yakin Mayangseruni
sudah siap, Andika memutuskan untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa
Mayangseruni. "Apa kau ingat dengan seorang tokoh golongan sesat berjuluk Pangeran Neraka?"
pancing Andika, memulai membuka ingatan si gadis.
Beberapa ayunan langkah, gadis
berparas amat mempesona itu mengingat-ingat nama yang disebutkan Andika.
Kening halusnya sedikit terlipat.
"Ya, aku ingat kini...," ucap Mayangseruni kemudian.
"Sebenarnya, ada urusan apa antara kau dan lelaki itu?" tanya Andika lagi.
Kali ini, pertanyaan itu tidak
dimaksudkan untuk memancing ingatan Mayangseruni. Andika hanya ingin tahu lebih
jelas duduk persoalan antara gadis itu dengan Pangeran Neraka, hingga melibatkan
diri Mayangseruni jauh ke lembah kaum sesat.
"Apa Kakang tak tahu kalau lelaki itu adalah kakak kandung Begal Ireng?"
Kelopak mata teduh Mayangseruni
sedikit membesar. Ditatapnya mata Andika, meminta jawaban.
"Aku baru mengetahuinya belakangan ini. Tapi, apa hubungan perkaramu dengan
urusan antara aku dan Begal
Ireng?" Andika balik tanya. Caranya melempar pertanyaan berkesan menyudutkan
gadis berpakaian merah-merah di sisinya.
Tetap dengan kesungkanan yang me-
nyertainya, Mayangseruni akhirnya membuka satu rahasia yang selama ini dis-
impannya sendiri.
"Sebenarnya, aku tak ada urusan apa-apa dengan Pangeran Neraka," aku
Mayangseruni. "Tapi, kenapa kau bisa sampai
terlibat jauh dengan lelaki itu?"
tanya Andika, dengan alis legam ber-taut rapat, pertanda mulai terbawa
arus keingintahuannya.
"Sewaktu Kakang hendak menumpas gerombolan Begal Ireng, namamu jadi kesohor ke
seantero penjuru angin. Aku kerap kali mendengar nama harum Kakang disebut-sebut
di mana-mana. Banyak ku-dengar tentang diri Kakang, tentang pribadi. Juga...."
Mayang tersipu.
"Juga, tentang ketampanan Kakang."
Mendengar hal itu, Andika kontan
terbahak. "Lalu?" tanya Pendekar Slebor penasaran. Bibirnya masih menyisakan senyum lebar.
"Suatu hari, aku juga mendengar desas-desus kalau Pangeran Neraka hendak
membantu Begal Ireng. Dia merenca-nakan pembunuhan licik terhadap diri Kakang.
Lalu...." Anggraini kembali memenggal ceri-
ta. Ada sesuatu yang membuatnya malu mengutarakan kelanjutan cerita.
"Lalu apa" Ayo, lanjutkanlah! Aku toh, bukan siapa-siapa bagimu. Maksudku, aku
toh, masih cicit kemenakan gu-rumu sendiri. Nyai Silili-lilu sudah mengatakannya
padamu, bukan?" desak Andika, halus.
"Lalu, aku berusaha menggagalkan rencana licik Pangeran Neraka...,"
tambah Mayangseruni, hampir-hampir
berbisik karena diusik kesungkanan.
"Apa?" mata Andika kontan membesar seperti hampir tak percaya. "Jadi, kau
bertaruh nyawa menghadapi Pangeran
Neraka hanya karena ingin menyela-
matkanku"!"
Anggraini tertunduk. Gadis yang
berkepribadian agak pemalu itu memainkan ujung-ujung kukunya. Tak berani matanya
menatap langsung mata jantan Andika. Seolah-olah, takut ada sinar mencemooh di
sana. Kepala Andika menggeleng-geleng. "Aku harus bilang apa padamu" Rupanya,
kau terlalu termakan desas-desus tentang diriku. Kau tertarik padaku, sementara
orangnya belum lagi kau kenal. Padahal, aku ini, ya hanya begini...," ucap
Andika tanpa tedeng aling-aling. Sifat acuhnya membuat ingatannya terlupa kalau
sedang berbicara dengan gadis yang agak pemalu.
Sebentar saja, Andika menyadari
kebodohan ucapannya. Sambil mengumpati diri dalam hati, keningnya ditampar
gemas-gemas. "Tapi, terus terang. Terima kasih saja, rasanya belum cukup kuberikan untukmu.
Karena, kau telah begitu berani menentang Pangeran Neraka...,"
hatur Andika, seperti hendak meralat kesalahan ucapannya barusan.
Mayangseruni tetap diam. Pandan-
gannya masih saja terjatuh mengawal langkah-langkah kakinya.
"Terima kasih, Mayang.... Dengan berbuat itu, berarti kau telah membantuku dalam
menegakkan kebenaran!"
"Aku malu, Kang...," kata Mayangseruni, seperti berbisik.
"Kenapa harus malu dalam melaksanakan hal yang baik?"
"Aku malu karena alasanku mencoba menggagalkan rencana Pangeran Neraka, hanya
karena ingin menyelamatkanmu...."
"Apa itu perbuatan dosa" Bukankah tugas kita untuk saling bahu membahu dalam
kebaikan dan kebenaran?" hibur Andika kembali.
Bibir ranum Mayangseruni memper-
lihatkan senyum sejuk.
"Nah, begitu! Jadi, pada dasarnya kita telah lunas, bukan" Kau telah berusaha
menyelamatkanku, dan aku pun telah berusaha menyelamatkanmu...,"
tambah Pendekar Slebor seraya menggandeng bahu gadis itu. Dan seketika wajah
Mayangseruni mendadak matang.
Sementara kedua anak muda itu me-
lanjutkan langkah begitu akrab, sepasang mata terus mengawasi dari kejauhan.
Mengawasi terus, dan terus. Melihat keakraban Andika dan Mayangseruni, matanya
perlahan namun pasti, mulai menyimpan bara kebencian.... Anggraini. Gadis itulah
yang menguntit Andika dan Mayangseruni selama ini. Api kebencian yang berhasil
disulut Pangeran Neraka, makin berkobar-kobar melihat bagaimana
mesranya Andika dengan
Mayangseruni. Paling tidak, begitulah
dalam pandangan Anggraini.
Masih teringat kalimat-kalimat
yang diutarakan Bureksa, pamannya, manakala menanyakan tentang Ratu Lebah atau
Mayangseruni. "Kau tahu, perempuan itu sesungguhnya adalah kekasih Iblis Pemetik Bunga," tutur
Pangeran Neraka waktu itu. Disebutnya Andika dengan julukan karangannya sendiri.
"Jangan heran kalau suatu saat nanti, kau akan melihat mereka berjalan
beriringan dengan mesra. Terus terang saja Paman katakan, kau telah dikelabui
mereka mentah-mentah, Anakku...."
Tentu saja Bureksa bisa menduga
demikian, karena begitu tahu siapa
Mayangseruni. Seorang pendekar wanita yang begitu menyanjung Andika. Setelah
mendengar dari Anggraini kalau Ratu Lebah alias Mayangseruni dibawa seorang
nenek ceriwis yang diyakini Bureksa sebagai gurunya, maka lelaki itu yakin,
cepat atau lambat Andika akan dekat dengan Mayangseruni. Apalagi, Bureksa tahu.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya Andika yang bisa membantu menyembuhkan Mayangseruni da-ri racun miliknya.
Dapat dibayangkan, betapa licik-
nya tokoh sesat ini. Semua kenyataan diputarbalikkan, agar Anggraini terpe-
rangkap ke dalam tipu dayanya. Tak la-gi dipedulikannya hubungan darah antara
dirinya dengan Anggraini. Baginya,
yang terpenting adalah mencapai tujuan yang diinginkan. Tanpa mempedulikan,
apakah cara mencapai tujuan itu men-gorbankan orang lain atau tidak. Tidak juga
kemenakannya sendiri!
"Jika kau telah berhasil dijadikan tumbal ilmu sesat pemuda itu, maka mereka
akan menertawai bangkaimu,
Anggraini.... Bangkaimu!" tandas Bureksa, memberi pengulangan pada kata
terakhirnya. Hal itu akan mengendap rekat-rekat di dasar benak Anggraini.
Dan Bureksa tahu itu.
*** Lembah Pintu Sorga dan Neraka Du-
nia. Andika dan Mayangseruni akhirnya tiba di sana. Tanpa diketahui keduanya,
Anggraini yang terpedaya mentah-mentah semua hasutan pamannya, terus mengikuti.
"Ke mana kira-kira aku harus mencari gadis itu?" tanya Andika pada di-ri
sendiri. Matanya mencari-cari ke segenap lembah yang berbukit-bukit.
"Jadi, sobat barumu itu wanita, ya Kang Andika?" usik Mayangseruni.
Andika hanya menjawab dengan ang-
gukan kecil. Dia masih sibuk mengedarkan pandangan kesekitar lembah yang luas.
"Cantik, Kang?"
"Apa?"
"Apa gadis itu cantik?" ulang Mayangseruni.
"Mmm, yah.... Bisa dibilang begitu."
"Boleh tanya sedikit yang sifatnya agak pribadi, Kang?"
Pendekar muda itu menghentikan
kesibukan matanya. Sekarang sepasang mata perkasanya ditujukan langsung ke bola
mata Mayangseruni yang selalu tak punya daya untuk membalas tatapan itu.
Timbul semacam kerikuhan apabila men-cobanya. Mata Andika terlalu menelu-supkan
pesona ke dalam dirinya. Itu sebabnya kepalanya menunduk.
"Tanya soal apa?" ucap Andika.
"Apa.... Kang Andika tertarik pa-da gadis itu?"
Pertanyaan Mayangseruni memaksa
Andika tergelak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Pendekar Slebor, di
antara derai tawa lepasnya.
"Tidak apa-apa, Kang...," kilah Mayangseruni, seraya mengangkat bahu.
"Tak mungkin. Tak mungkin kau tak punya alasan menanyakan hal itu,"
sanggah Andika, main-main.
Tapi siapa nyana kalau ucapan
main-main Andika, justru ditanggapi sungguh-sungguh oleh gadis itu. Pendekar
Slebor melihat wajah ayu gadis itu berubah. Kedua belah pipinya bersemu merah
menggemaskan. "Ah! Sudahlah, Mayang.... Tak
perlu dipersoalkan lagi. Aku memperhatikan gadis itu, karena akulah yang
membuatnya kehilangan seorang ayah.
Meski tak merasa berdosa, aku tetap merasa bersalah padanya. Kau paham?"
Mayangseruni mengangguk perlahan.
"Sekarang, kita harus secepatnya menemukan gadis itu. Aku tak ingin
Pangeran Neraka yang licik mengua-
sainya. Dia masih terlalu hijau untuk menyadari kebusukan dunia persilatan...,"
tambah Andika. "Bagaimana kalau kita berpencar, Kang. Biar bisa lebih cepat menemukan-nya,"
usul Mayangseruni.
"Kau yakin?" tanya Andika.
Pendekar Slebor hanya agak khawa-
tir terhadap keselamatan Mayangseruni.
Namun karena Andika percaya Mayangseruni dapat menjaga dirinya sendiri, akhirnya
disetujuinya. Bukankah dia pernah melihat sendiri kehebatan murid uwaknya itu,
ketika bertarung melawan Anggraini" Dan kalaupun dulu pernah dipecundangi
Pangeran Neraka, tentu karena lawannya memperdayai gadis itu dengan tipu
muslihat licik.... (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode :
"Pendekar Wanita Tanah Buangan").
"Aku akan mencarinya ke timur.
Kau mencarinya ke barat. Bagaimana?"
kata Andika, menanggapi usul Mayangseruni.
Gadis itu mengangguk.
"Dan kalau terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungiku. Kau punya caranya?"
Mayangseruni berpikir sejenak.
"Aku akan melepas lebah-lebah
keangkasa," jawab Mayangseruni cepat.
"Pikiran jitu!" puji Andika.
Lalu keduanya pun segera berpi-
sah. Seperti rencana, Andika mulai menyusuri lembah bagian timur, Sedangkan
Mayangseruni, si Ratu Lebah, akan menyusuri arah yang berlawanan.
Dengan berpisahnya Andika dengan
Mayangseruni, Anggraini yang menguntit mesti membuat keputusan. Hendak mengikuti
Andika atau Mayangseruni. Gejolak kebencian yang diwarnai rasa cemburu, tanpa
disadari telah mendorongnya untuk mengikuti Mayangseruni.
Anggraini pun menuju lembah ba-
gian barat. Sepeminum teh kemudian, Mayangseruni sampai di sebuah bukit yang
membentang di bagian barat lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Tak seperti di
tempat semula, tempat ini di-tumbuhi pepohonan cemara besar yang berbaris
seperti gerombolan pendaki.
Mayangseruni sejenak melepas le-
lah. Tubuhnya bersandar di batang sebuah pohon cemara. Rasa sejuk ditariknya ke
dalam dada, untuk mengusir pe-nat setelah mencari cukup lama.
"Apa mungkin gadis yang dicari Kang Andika masih berada di daerah
ini?" gumam Mayangseruni, pelan.
Dalam benak, Mayangseruni tetap
saja digerayangi pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan gadis yang sedang di-
carinya dengan Andika. Yang pasti, dia ingin langsung mempercayai perkataan
Andika, bahwa pemuda itu tak memiliki hubungan khusus dengan Anggraini. Namun,
keresahan dan kekhawatiran tetap saja melingkupi benaknya.
Mayangseruni cukup sadar. Pera-
saan seperti itu lahir dalam dirinya, mungkin karena berharap banyak terhadap
pemuda pujaannya. Seperti pernah diungkapkan langsung pada
Andika, Mayangseruni memang memuja Andika yang sebelumnya hanya diketahui dari seli-
weran kabar burung. Tentang Pendekar Slebor yang muda, tampan, dan gagah.
Pendekar Slebor yang banyak mengecoh bahkan memberantas tokoh-tokoh atas
golongan sesat.
Belum lagi bertemu, Mayangseruni
sudah begitu mengagumi. Apalagi kini telah bertemu langsung tokoh muda pujaannya
itu" Memikirkan semua itu, Mayangseru-
ni jadi tak memiliki semangat lagi untuk meneruskan pencarian.
Mendadak sontak, Mayangseruni di-
kejutkan suara mendesir yang datang dari sebelah kiri. Lamunannya koyak
seketika. Meski belum tahu suara apa, namun gadis berjuluk Ratu Lebah itu
serta merta berjungkir balik ke depan.
Wesss! Blar! Firasat pekanya terbukti. Seben-
tuk bahaya maut baru saja luput! Manakala mata Mayangseruni menemukan tempatnya
berdiri tadi, pohon cemara yang dijadikan sandaran telah hancur lantak bagai
baru tersambar petir. Batangnya tumbang, menciptakan suara bergemuruh.
Pada bagian yang terhajar desiran ta-di, mengepulkan asap tipis. Bahkan bagian
atasnya membara!
Bukan orang sembarangan yang bisa
melakukan pukulan jarak jauh seperti itu. Maka murid tunggal Nyai Silili-lilu
itu langsung saja bersiaga.
"Jangan beraninya main bokong!
Keluar kau!" tantang Ratu Lebah pada si penyerang gelap.
Di ujung kalimat Mayangseruni,
sesosok tubuh berkelebat keluar dari semak-semak. Pakaiannya sewarna dengan
Mayangseruni. Merah-merah. Begitu juga panjang rambutnya. Sepintas saja,
penampilan mereka sulit dibedakan.
"Siapa kau"!" tanya Mayangseruni gusar.
Gadis itu sama sekali tidak men-
genali kalau wanita yang berdiri di hadapannya adalah Anggraini, orang
yang pernah bertarung dengannya beberapa waktu lalu.
"Jangan banyak basa-basi, Perem-
puan Lacur!" maki Anggraini amat kasar dan menyakitkan telinga.
Mayangseruni tak begitu terpenga-
ruh mendengar makian Anggraini. Malah diamatinya penampilan gadis di hadapannya
dengan kelopak mata agak menyipit. Penampilan perempuan ini amat mirip dengan
gambaran yang diberikan Andika.
"Apakah kau Anggraini?" tanya Mayangseruni hati-hati.
"Apa pedulimu menanyakan nama-ku"!" balas Anggraini, tetap kasar.
Sehingga, membuat Mayangseruni jadi ragu apakah telah menemukan wanita
yang dimaksud Andika atau bukan.
"Kalau kau Anggraini, kenapa kau menyerangku?" tanya Mayangseruni kembali,
berusaha tetap menjaga kesabaran.
"Karena kau perempuan bejat yang patut kukirim ke neraka!"
Selesai itu, Anggraini langsung
membuka jurusnya.
"Terimalah kematianmu, Perempuan Keparat! Hiaaa!"
"Tunggu!" tahan Mayangseruni.
Usaha Mayangseruni sudah terlam-
bat. Anggraini telah menggempurnya
dengan serangkai tusukan anak panah yang baru saja diloloskan dari tempatnya.
Jep! Jep! Jep! Tampaknya, gadis dari Tanah Buan-
gan itu tidak ingin lagi melihat lawannya hidup dalam keadaan utuh. Cemburu dan
benci telah menjadi satu,
menghasutnya untuk merobek-robek tubuh Ratu Lebah. Seakan Anggraini tidak su-di
melihat kecantikan Mayangseruni me-lebihi dirinya.
Dalam segebrakan, tiga tusukan
mengancam bagian-bagian mematikan di tubuh Mayangseruni. Sementara, Ratu Lebah
sendiri sudah pasti tidak ingin dijadikan satai hidup-hidup. Dengan lincah tanpa
kehilangan kegemulaian-nya, tubuhnya berkelit cepat dalam ti-ga kali
menyempongkan tubuh.
Karena tak mungkin untuk terus
menghindar, Mayangseruni pun melancarkan serangan balasan. Satu anak panah
Anggraini yang hendak menembus dada kanannya, segera dihantam dengan baco-kan
tangan. Maksudnya, tentu saja hendak mematahkan senjata itu.
Namun betapa tersentaknya Mayang-
seruni, tatkala tangannya berbenturan dengan anak panah yang hanya terbuat dari
kayu. Sekujur tangan hingga ke bagian rusuknya terasa tersengat api.
Bagaimana mungkin panas yang demikian tinggi, bisa disalurkan dalam sebatang
kayu tipis tanpa terbakar"
Di lain pihak, Anggraini tak mem-
beri kesempatan pada Mayangseruni, wa-lau sekadar untuk terheran.
"Heaaa!"
Swing! Mata panah di tangan kiri
Anggraini membabat udara menuju perut Mayangseruni. Hendak dirobeknya perut
gadis cantik itu. Jika perlu, sampai isi perutnya bobol keluar!
Sekali lagi Mayangseruni terke-
siap. Gesekan mata panah dari baja
dengan udara, menimbulkan bunga api di sepanjang jalur babatan! Kini makin
yakinlah Mayangseruni. Ternyata, lawannya benar-benar tidak ingin memberinya
kesempatan untuk hidup. Padahal, murid si nenek pertapa semula hanya menganggap
Anggraini ingin memberinya pelajaran, karena kecemburuan pada sikap akrab Andika
padanya. Paling tidak, begitu dugaannya.
Tak ada pilihan lain bagi Mayang-
seruni kini. Dia pun harus melakukan perlawanan seimbang. Maka tanpa ragu lagi,
gadis yang lebih dikenal sebagai Ratu Lebah itu langsung saja memainkan jurus-
jurus andalannya.
"Bagus! Keluarkan semua ilmu an-dalanmu! Agar aku puas membunuhmu!"
geram Anggraini, Pendekar Wanita dari Tanah Buangan.
Pertarungan hebat yang kedua kali
bisa dipastikan akan segera tercipta kembali. Namun....
"Tahan...!"
Satu bentakan lantang, tiba-tiba
menggetarkan pepohonan dan merontokkan
dedaunan. Dua lelaki berkepala gundul tahu-
tahu telah berdiri di dekat arena pertarungan. Keduanya berpenampilan amat
mirip. Dari pakaian sampai ke wajah mereka. Anggraini mengenali mereka sebagai
Kembar Dari Tiongkok.
"Paman Chia Kuo.... Paman Chia Jui! Kenapa kalian menghentikan perta-runganku?"
tanya Anggraini terheran-heran. Kemarahannya yang sudah memuncak menjadi surut
kembali. Sementara Kembar Dari Tiongkok
tak bergemik dari tempat berdiri. "Pamanmu menyuruh kau untuk segera kembali,"
ucap Chia Jui. "Dan kau harus kembali, begitu kata pamanmu," timpal Chia Kuo memberi tekanan
pada kata 'harus'.
Anggraini tidak bisa terima. Ke-
napa pada saat harus menumpas perempuan jahat seperti dikatakan pamannya, dia
harus berhenti menggempur lalu pu-lang begitu saja.
"Tapi, Paman...."
"Tak ada tetapi, Anggraini! Kau harus menuruti perintah pamanmu!"
Anggraini ingin menolak perintah
kedua lelaki dari tanah Tiongkok itu, tapi secepatnya Chia Jui memotong.
Meski memendam perasaan tak me-
nentu, benturan perasaan antara penasaran ingin menghabisi Ratu Lebah dengan
keheranan terhadap perintah paman-
nya, Anggraini akhirnya meninggalkan sang lawan.
"Kita akan segera bertemu lagi, Perempuan Laknat!" ancam Anggraini pa-da
Mayangseruni yang masih berdiri
dengan kuda-kuda siap tempur.
Tak beda dengan
Anggraini, Mayangseruni pun dibuat heran atas
tindak-tanduk mereka semua. Menurut cerita Andika, paman Anggraini adalah
Pangeran Neraka. Bila lelaki itu tahu kalau kemenakannya bertarung dengan
Mayangseruni, tentunya tak akan meme-rintah untuk menghentikan pertarungan.
Apa mungkin Pangeran Neraka tidak ta-hu, dengan siapa kemenakannya bertarung"
Sebelum benar-benar pergi, seo-
rang dari dua lelaki kembar itu mele-satkan sebuah tabung bambu ke arah
Mayangseruni. Amat cepat meluncur, namun tidak begitu berarti bagi gadis murid
Nyai Silili-lilu. Tanpa menemui kesulitan, tangannya menyergap benda itu.
Pada dasarnya, tabung bambu se-
panjang jengkalan tangan itu memang tidak dimaksudkan untuk menyerang.
Buktinya, setelah meneliti sebentar, Mayangseruni menemukan secarik surat.
Dan Mayangseruni membacanya.
"Pendekar Slebor! Tunggu aku di-penginapan, sebelah utara Bukit Cemara
jajar - Pangeran Neraka"
Sepeninggalan gadis yang diyakini
sebagai Anggraini dan dua lelaki
Tiongkok tadi, Mayangseruni segera pu-la meninggalkan tempat ini. Hendak
disusul nya Andika ke arah timur.
*** Tanpa kesulitan berarti, Mayang-
seruni cepat menemukan Andika. Lalu, segera diceritakannya kejadian yang terjadi
secara singkat dan gamblang.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usai mendengar penuturan gadis
itu, Andika terdiam sambil mengetuk-ngetuk siku tangan yang disilangkan ke depan
dada. Sedangkan matanya menera-wang jauh.
"Aku merasa ada yang ganjil dengan peristiwa itu," ucap Pendekar Slebor samar,
namun cukup jelas ditangkap telinga Mayangseruni.
"Ya! Entah bagaimana, aku pun merasakan hal yang sama," timpal Mayangseruni.
"Kau kenal dua lelaki yang menyusul Anggraini?" tanya pemuda sakti da-ri Lembah
Kutukan ini. "Tidak," jawab Mayangseruni.
"Kalau menilik gambaran yang kau berikan, aku yakin mereka adalah Kembar Dari
Tiongkok. Kau tentu pernah mendengar dua kaki tangan Begal Ireng,
bukan" Merekalah orangnya. Pasti mereka telah bersekongkol dengan Pangeran
Neraka...."
Kepala Mayangseruni mengangguk-
angguk. Dia ingat sekarang tentang
Kembar Dari Tiongkok yang menjadi
orang kepercayaan Begal Ireng, sewaktu mengadakan makar jahat terhadap kerajaan
Alangkah. Andika tak berhenti berpikir sam-
pai di situ. Otaknya yang encer, berjalan lagi.
Kalau Kembar Dari Tiongkok berga-
bung cukup lama dengan Pangeran Nera-ka, tentunya sudah mengenal Mayangseruni
sebagai Ratu Lebah yang kejam, pendamping Pangeran Neraka. Kalau kini kedua
lelaki itu tak menggubris
Mayangseruni, berarti pula Pangeran Neraka tahu kalau Mayangseruni sudah sembuh
dari pengaruh racun Perusak
Syarafnya. Begitulah yang dipikirkan pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan
ini. Bukankah menurut Nyai Silili-
lilu, Pangeran Neraka adalah lelaki yang memiliki kelicikan serigala dan licin
bagai belut"
Kalau tiba-tiba dia tak mempedu-
likan kehadiran Ratu Lebah, sudah pasti ada satu rencana licik pula dalam
benaknya.... "Hmmm.... Apa maumu, Setan Gundul!" bisik Andika geram, mengumpat
lelaki sesat yang kini merongrong pikirannya.
"Kang...," tegur Mayangseruni, melihat pemuda itu mondar-mandir tak karuan
seperti mandor perkebunan jeng-kol!
Andika tak memperhatikan teguran
gadis didekatnya. Otaknya masih sibuk teraduk-aduk.
"Kang Andika...," panggil Mayangseruni sekali lagi.
Barulah Andika tersadar. "E,
apa?" tanya Andika.
"Ternyata dugaanku benar."
"Benar apa?"
"Gadis itu memang cantik."
"Gadis apa" Eh..., gadis yang ma-na?" tanya Andika acuh tak acuh. Kembali
kebingungannya dilanjutkan memikirkan rencana licik Pangeran Neraka.
"Anggraini, Kang. Siapa lagi?"
ucap Mayangseruni, sungkan.
Gadis itu masih malu-malu mengha-
dapi Andika yang sifatnya berlawanan sama sekali dengannya.
"Iya.... Anggraini.... Siapa la-gi...," gumam Andika, tak sadar mengulang ucapan
Mayangseruni. "Eh, tunggu dulu! Anggraini"!" sentaknya tiba-tiba. Kalau ada
cecurut jantungan di dekatnya, tentu binatang itu akan tewas seketika!
"Oh, ya! Ada pesan untukmu,
Kang!" kata Mayangseruni lagi. Dis-
odorkannya secarik surat pada Andika.
"Surat ini kudapat dari Kembar Dari Tiongkok itu."
Andika segera membaca. Dan seke-
tika air mukanya berubah, setelah membaca. Ada satu hal yang baru saja dis-
impulkan pemuda itu. Kini kepalanya mengangguk-angguk.
"Rasanya sekarang aku mulai bisa membaca niat busuk lelaki itu," ujar Andika
meletup-letup. "Ayo, kita segera tinggalkan tempat ini, Mayang!"
Seketika Pendekar Slebor menyam-
bar tangan gadis cantik rupawan itu semena-mena, lalu membawanya lari.
*** 9 Penginapan yang dimaksud dalam
surat Pengeran Neraka, terletak tepat di kaki Bukit Cemarajajar. Sesuai namanya,
bukit itu dikepung jajaran pepohonan cemara yang tumbuh rapat tak teratur hingga
merambahi kakinya. Pa-noramanya memikat. Barisan cemara yang tumbuh pada dataran
miring, akan terlihat seperti payung-payung kuncup da-ri kejauhan.
Penginapan itu dibentengi pagar
tembok tak terlalu tinggi. Di halaman depan dan belakangnya yang luas, bebe-
rapa batang cemara dibiarkan tumbuh pada setiap sudut dan tepian jalan masuk.
Rumput jarum tumbuh subur di seluruh taman, bak permadani hijau ter-hampar luas.
Pada beberapa bagian taman, ditempatkan patung-patung kayu ukir bernilai seni
tinggi. Di tambah sebuah kolam buatan berisi ikan berwarna-warni serta tanaman
bunga di sisinya. Sehingga menyempurnakan taman menjadi tempat yang menawarkan
kenya-manan. Tampaknya, si pemilik penginapan
tak mau tanggung-tanggung dalam menge-lola penginapannya, agar benar-benar
menarik pengunjung. Terbukti, bangunannya dirancang sedemikian rupa. Sebagian
mengambil rancangan seni lelu-hur, bagian lain mengambil gaya bangunan Cina.
Meski si pemilik tahu, tempatnya agak terpencil.
Andika dan Mayangseruni tiba di
sana. Mereka masuk sambil mengagumi taman dan bangunannya. Dalam hati,
Pendekar Slebor jadi berseloroh sendiri.
"Selera Pangeran Slompret itu rupanya tinggi juga....?"
Melalui jalan setapak dari susu-
ran batuan sungai halus, dua anak muda itu melangkah terus sampai memasuki
bangunan penginapan.
Di ruang penerimaan tamu yang tak
begitu besar, keduanya disambut lelaki
yang tampaknya berdarah campuran Melayu Cina.
"Ada yang bisa hamba bantu?"
tanya penerima tamu ramah, layaknya pemilik penginapan lain.
"Kami hendak memesan kamar," kata Andika, menanggapi sambutan penerima tamu.
Tanpa banyak tanya, si penerima
tamu berjalan menuju meja berukir di sudut ruangan. Dari lacinya, diambil-nya
dua anak kunci.
"Kamarnya terletak agak berjauhan," kata penerima tamu yang sekaligus pemilik
penginapan, setibanya di dekat Andika dan Mayangseruni.
"Satu kamar berada disayap timur, sedang yang lain berada di sayap kanan. Aku
harap, Tuan-tuan dapat mengerti. Karena hanya kamar-kamar itu yang belum
terisi." Ketajaman otak Andika menangkap
suatu yang mencurigakan dengan sambutan yang berkesan tergesa-gesa itu.
Bukan Pendekar Slebor kalau tak bisa mencium gelagat aneh, meski hanya se-
kelebatan. Tak percuma orang-orang
persilatan sering membicarakannya sebagai pendekar yang memiliki otak lebih
encer dari pada bubur bayi!
"Dari mana lelaki ini tahu kalau aku dan Mayangseruni hendak menginap dengan dua
kamar terpisah?" tanya Andika. "Padahal, lazimnya pemilik pen-
ginapan selalu menanyakan berapa kamar yang hendak dipesan, jika kedatangan tamu
lebih dari satu orang...."
Tanpa hendak memperlihatkan kecu-
rigaan, Pendekar Slebor menerima sodo-ran anak kunci dari lelaki berdarah
campuran itu. Satu hal lagi keganjilan yang ditangkap mata Andika. Ketika
memberi kunci, lelaki itu seperti tahu hendak menyerahkan kunci yang mana pa-da
Andika, dan yang mana pula untuk Mayangseruni.
"Terima kasih," tutur Andika datar.
Menurut dugaan, lelaki pemilik
penginapan tentu telah terlibat dalam rencana busuk Pangeran Neraka. Kalau
melihat sinar matanya, tampaknya tak ada sifat-sifat jahat dalam dirinya.
Barangkali, dia terpaksa terlibat karena diancam.
Setelah Mayangseruni menyusul pu-
la kata terima kasih, keduanya lalu menuju kamar masing-masing. Kedua kamar itu
terletak sama-sama dilantai atas. Tapi, jaraknya berjauhan. Kira-kira, terpisah
jarak dua puluh lima tombak.
Andika masuk ke dalam kamarnya.
Hampir berbarengan, Mayangseruni pun masuk.
* * * Malam pun tiba. Sejauh ini tak
ada tanda-tanda mencurigakan bakal
terjadi. Pendekar Slebor berusaha terus untuk tetap waspada, sesuatu bisa saja
terjadi secara tiba-tiba.
Jangkrik berkerik-kerik tanpa bo-
san-bosan. Nyanyian hewan malam lain turut menimpali, membuat suasana makin
terasa tegang. Tanpa mampu memicingkan mata se-
jenak pun, Pendekar Slebor berjalan hilir mudik di dalam kamarnya yang sengaja
tidak diberi penerangan. Dalam keadaan gelap itu, matanya justru lebih leluasa
meneliti keadaan di luar.
Sementara itu, pikirannya terus dige-layuti kegelisahan. Andika khawatir akan
keselamatan Mayangseruni di kamar lain. Biarpun ilmu dara cantik tersebut tidak
diragukan, namun tetap merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatannya.
Waktu terus merangkak. Entah su-
dah berapa lama Andika seperti itu, tetap juga tak terjadi apa-apa.
Untuk menghempas kejenuhan, Pen-
dekar Slebor mencoba sedikit menyibak kerai jendela. Angin menerobos diam-diam,
sedikit pun tak membuatnya menjadi merasa lebih tenang. Di angkasa maha luas,
matanya menemukan sinar pucat rembulan. Benda langit itu seakan menambah
kegelisahan hatinya.
Di kamar lain, Mayangseruni pun
mengalami hal yang sama. Matanya juga tak bisa dipicingkan. Hatinya pun gelisah,
seperti pemuda pujaannya.
Bedanya, kalau Andika berjalan
tak karuan, gadis itu memilih untuk duduk diam di atas pembaringan dalam keadaan
bersemadi. Dalam gelap, mata berbulu lentik Mayangseruni sesekali bergerak
waspada. Gadis itu pun rupanya berpendapat sama dengan Andika.
Jika tidak ingin diawasi orang lain dari luar, lentera kamarnya harus di-
padamkan. Suatu saat, perasaan Mayangseruni
tiba-tiba memperingati akan suatu bahaya mengancam. Dia belum tahu, apa yang
bakal terjadi. Yang jelas, nalu-rinya memperingati harus waspada.
Wesss! Benar juga. Dari arah lubang an-
gin di atas pintu, mendesis suara tajam menuju dirinya.
Tangkas sekali Mayangseruni me-
lempar tubuh ke samping ranjang. Tak ada sekejap, desisan tadi menghujam
ranjangnya, melahirkan suara lain yang tak begitu kentara.
Bles! Seusai suara tadi, tak ada keja-
dian lain menyusul. Hanya kelengangan merajai kamarnya, serta suara lamat-lamat
jangkrik yang berdendang. Untuk lebih yakin, sengaja Mayangseruni menunggu
beberapa lama dalam sikap mema-
sang kuda-kuda siaga.
Karena tetap tak terjadi apa-apa,
barulah Mayangseruni mencoba menghi-dupkan lentera yang sejak tadi dipadamkan.
Bunyi pemantik api penginapan terdengar, menyusul ruangan menjadi terang.
Kini, mata Mayangseruni bisa me-
lihat jelas, benda apa yang telah me-mangsa ranjangnya. Di sana, tertancap
sebilah anak panah yang di tengahnya diikatkan secarik surat.
Cepat Mayangseruni menjemput anak
panah tersebut. Dari ikatannya Mayangseruni melepas surat pada anak panah.
Asal kau tahu, perempuan tak tahu malu! Pemuda tampan yang kini bersama-mu,
adalah kekasihku. Kau telah berani-beraninya merebut Andika dari pelu-kanku.
Bukankah wanita seperti itu pantas disebut sebagai wanita murahan.
Anggraini Betapa panasnya wajah Mayangseru-
ni membaca surat yang berisi bukan
hanya kecaman, tapi juga caci maki.
Seluruh kata yang tertulis dalam surat, seperti menyeruak paksa ke setiap jalan
darahnya. Dadanya mendadak se-sak, memaksa hidungnya menarik napas setarikan
demi setarikan dengan terse-ret-seret.
Wanita mana yang sudi dikatakan
wanita murahan" Tidak juga diri gadis
cantik itu. Sebutan itu lebih menyakitkan ketimbang hantaman godam raksasa
seberat ribuan kati!
Saat itu, yang terbersit dalam
pikiran Mayangseruni hanya perkataan kalau pemuda idamannya telah menipu dirinya
mentah-mentah. Cinta murninya telah dipermainkan Andika. Cintanya yang selama
ini terbangun dengan pen-gorbanan, terserpih begitu mudah.
Perlahan-lahan, desakan rasa pe-
dih dari dalam dada Mayangseruni memaksa garis bening merembes dari kelopak
matanya. Dia memang seorang pendekar wanita. Tapi, tentu saja tak akan sanggup
memungkiri kewanitaannya. Biar bagaimanapun, air mata tetap menjadi bagian dalam
hidup seorang wanita seperti Mayangseruni.
Mayangseruni tak ingin terisak.
Cukup airmata saja yang jatuh sebagai tanda kekecewaan mendalam.
Mayangseruni melempar surat dan
anak panah di tangan. Dengan hati lu-luh lantak, kakinya melangkah menuju pintu
kamar dan keluar dari sana. Jika seseorang menanyakan hendak ke mana saat itu,
dia tidak bisa menjawab.
Mayangseruni hanya ingin meninggalkan tempat itu. Seakan-akan, hanya dengan
begitu bisa membuang jauh-jauh segala hal tentang Andika.
Bagaimana dengan Andika sendiri"
Tidak! Pemuda itu tak pernah tahu ka-
lau Mayangseruni pergi. Jendela kamarnya membelakangi kamar Mayangseruni.
Sehingga apa pun yang terjadi di kamar gadis itu, Andika tidak dapat melihatnya.
Sementara, letak yang cukup jauh, membuat suara halus anak panah tersapu angin
tak dapat tertangkap telinga Andika.
"Sudah lewat dini hari, tapi kenapa belum terjadi apa-apa juga...,"
gumam Andika berbisik.
Untuk yang ke sekian kalinya,
Pendekar Slebor melepas pandangan keluar dari jendela, seraya menajamkan indera
pendengarannya. Tapi tetap saja tak tertangkap suatu yang mencurigakan.
"Apakah aku sudah salah perhitungan?" tanya Pendekar Slebor pada diri sendiri,
ragu. "Apa mungkin aku justru telah benar-benar masuk ke dalam pe-rangkap
pangeran sial itu tanpa kusa-dari?"
Andika makin digebah keraguan.
Sebelumnya pemuda itu sudah merasa yakin, telah berhasil membaca rencana licik
Pangeran Neraka. Semua hal-hal yang berkesan ganjil, direkam serta diolah
otaknya. Dia yakin, telah berada pada arah yang tepat menuju puncak rencana
lawan. Kalau sampai selarut itu perki-
raannya belum terbukti, tentu saja Andika menjadi ragu.
Segera Andika memutuskan untuk
memeriksa kamar murid bibi buyutnya.
Bukankah Pangeran Neraka amat licik"
Bisa saja, dia telah memperdayai
Mayangseruni tanpa sepengetahuannya.
Namun baru saja tangannya hendak
menjemput gagang pintu, tiba-tiba saja matanya melihat seseorang mengendap-endap
ringan di atas wuwungan. Tak jelas, apakah orang itu wanita atau lelaki. Sebab
pada saat itu, bulan dis-elumuti awan hitam pekat. Gerakan
orang itu amat ringan, seringan kucing liar. Tak ada keributan yang ditimbul-
kannya.
Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anehnya, begitu melihat kehadiran
sosok tak dikenal itu, Andika telah mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, bibirnya
malah memperlihatkan senyum.
Hanya Pendekar Slebor sendiri
yang tahu, kenapa begitu.
"He he he, kukira aku sudah salah perhitungan...," bisik Andika samar.
Selang beberapa waktu berikutnya,
pemuda urakan yang terkadang sulit di-mengerti itu, mengangkat kesepuluh ja-
rinya. Satu persatu, jari tersebut di-lipat seraya menghitung.
"Satu... dua... tiga...."
Pada hitungan kesepuluh, Andika
bergegas membuka pintu kamarnya. Wajahnya kini dibuat seperti sedang di-guncang
kekhawatiran. Namun karena dasarnya memang urakan, masih sempat-
sempat pula bibirnya tersungging kecil.
Aneh! Lalu, pemuda dari Lembah Kutukan
itu berlari-lari, seolah memburu suatu yang mencemaskan. Arahnya, menuju kamar
Mayangseruni. Agar lebih terlihat seperti sungguh-sungguh, Andika pun
mengerahkan sebagian ilmu meringankan tubuhnya yang amat dikagumi banyak tokoh
persilatan. Whus! Lebih cepat dari 'gas buangan'
siapa pun, Pendekar Slebor telah tiba di depan kamar Mayangseruni. Tepat di
depan pintu kamar, pemuda itu berdiri sejenak. Dibenarkannya letak kerah ba-ju,
kemudian menjemput gagang pintu.
Pintu terbuka. Ruangan ternyata
sudah gelap kembali. Ada seseorang
yang telah mematikan kembali lentera yang baru saja dinyalakan Mayangseruni
sebelumnya. Entah, siasat apa lagi yang se-
dang dijalankan pemuda berotak encer itu. Yang jelas, dia berlagak seperti orang
yang bersiaga penuh. Kakinya melangkah satu-satu, melewati mulut pintu. Sepasang
tangannya teracung ke depan dengan otot menegang. Diliriknya ranjang di dalam
kamar. Ada seseorang sedang terlelap di sana.
"Mayang..., ssst, Mayang," bisik Pendekar Slebor hati-hati seraya men-
dekat perlahan-lahan ke sisi ranjang.
Makin dekat, gaya anak muda
brengsek itu makin dibuat-buat. Sepertinya, Andika begitu tahu ada orang lain
selain wanita diranjang yang sedang mengawasi semua gerak-geriknya.
Kaki Andika mulai berjingkat-jingkat kecil menuju tepi ranjang, seperti
maling jemuran. Tangannya pun mencak sana mencak sini tak karuan.
Sebenarnya, apa yang ada dalam
pikiran Andika saat itu"
"Mayang.... Mayang...," ulang Pendekar Slebor, memanggil nama gadis yang sudah
tidak ada lagi di tempatnya.
Tepat ketika benar-benar tiba di
tepi ranjang. Werrr! Selimut yang menutupi sebagian
badan tersingkat amat cepat. Seiring dengan itu, seberkas suara mendesis halus
terdengar. Seth! Tahu-tahu, telah menempel benda
kecil tajam yang dingin tepat di tenggorokan Andika. Namun Pendekar Slebor tak
tampak terperanjat mendapat sambutan tak ramah itu. Malah dia memperlihatkan
cengiran kudanya yang menjengkelkan.
"Apa kabar, Anggraini?" tegur Pendekar Slebor.
Sungguh pada saat itu, tak ada
sedikit cahaya yang menerangi wajah wanita di depannya. Semuanya memang telah
diperhitungkan Pendekar Slebor.
Jadi, tanpa perlu melihat jelas pun, Andika sudah tahu kalau wanita itu
adalah Anggraini. Kalaupun sebelumnya memanggil-manggil nama Mayangseruni, itu
semata-mata hanya berpura-pura.
"Tak perlu berbasa-basi lagi padaku, Penipu Laknat!" geram Anggraini.
Di tangannya telah siap busur yang merentang tegang. Ujung anak panahnya
menempel di tenggorokan Andika.
"Kukira aku tidak seperti apa
yang kau ucapkan," sangkal Andika tenang. "Aku yakin, kau telah termakan hasutan
pamanmu. Bukan begitu,
Anggraini?"
"Sekali lagi kau berbicara, le-hermu akan tertembus anak panahku!"
ancam Anggraini. "Sekarang nyalakan lentera itu!"
Andika menuruti perintah gadis
yang dibakar api dendam buta ini. Perlahan tubuhnya beringsut ke tempat lentera
tergantung. Dengan pemantik api di dekatnya, dinyalakannya lentera minyak itu
hati-hati di bawah ancaman busur Anggraini.
"Sekarang, aku bisa melihat wajah pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas melihat,
bagaimana wajahmu ketika meregang maut...," desis Anggraini geram dengan
menyipit. Andika tak peduli dengan kegera-
man di wajah ayu yang terbakar warna merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata
Anggraini, seakan sedang berusaha menembus langsung ke hati gadis itu.
"Apa kau yakin hendak membunuh-ku?" tanya Andika.
Ucapan Pendekar Slebor mungkin
tak beda dengan sebuah tantangan. Namun, nada kalimat yang dibuatnya men-gandung
tekanan mantap, mencoba meng-goyahkan niat membunuh dalam diri gadis itu.
Anggraini tak segera menjawab.
"Kenapa kau diam, Anggraini" Apakah kau ragu?" susul Andika lagi.
"Diam kau! Aku tak pernah ragu untuk membunuh orang yang telah membunuh ayahku!"
bentak gadis itu hampir tersekat isak yang muncul tanpa tertahan.
"Kau tak akan percaya bila kukatakan, kalau aku telah melakukan tindakan yang
benar dengan membunuh ayahmu," ucap Andika kembali, tanpa takut Anggraini
melepas tali busurnya.
"Kau penipu!" maki Anggraini. Wajahnya menyimpan mendung. Kalau saja tak
berusaha menahan, tentu isaknya sudah terlempar keluar.
"Aku memang pembunuh ayahmu. Ta-pi, aku bukan penipu seperti katamu,"
sangkal Andika. "Pamanmu lah yang pantas disebut penipu...."
"Diam!" bentak Anggraini. Tapi, Andika tak peduli.
"Dia telah memutar balikkan kenyataan sesungguhnya. Kau telah berhasil
dipermainkan lelaki itu, lalu di-manfaatkan untuk melaksanakan keinginannya
untuk membunuhku...."
"Diam! Diam! Diam! Kalau kau tidak diam...."
"Kalau aku tak diam, apa yang
akan kau lakukan Anggraini" Apa" Membunuhku dengan anak panahmu ini" Ayo,
bunuhlah aku! Ayo bunuh!" Andika terus menyudutkan Anggraini dengan kata demi
katanya. Anggraini tidak bisa menjawab.
Bibirnya bergerak-gerak, hendak mengucapkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir
bening yang sejak tadi bergelayut di kelopak matanya, kini mulai gugur di
sepanjang pipi halusnya.
"Kenapa kau belum juga membunuh-ku, Anggraini" Kau ragu bukan" Karena, kau tidak
ingin menyesal seumur hidup setelah tahu aku tak pantas dibunuh...," sambung
Andika agak melembut.
Sementara hati gadis di depan
Pendekar Slebor makin goyah diberon-dong isak.
"Perlu kau tahu. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini.
Kelicikan pamanmu sudah dapat kubaca.
Manakala tahu Mayangseruni telah ber-samaku, dia pun segera mengatur siasat
licik untuk mengenyahkanku dengan tan-ganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni
hampir sulit dibedakan, jika dilihat sekilas. Apalagi dalam gelap seperti
tadi...," kata Andika, lalu diam sesaat. "Dia mengira, aku bisa tertipu dengan
menempatkanmu di kamar Mayangseruni. Tidak! Aku tidak tertipu. Kalaupun aku
datang juga ke kamar ini, itu karena ingin membuktikan padamu bahwa aku tidak.
bersalah dengan membunuh ayahmu. Aku yakin, telah melakukan tindakan benar.
Jadi, kenapa aku harus takut menghadapi tuntutan dendammu?"
Seluruh kalimat Andika bagai
menghujam ke dalaman batin Anggraini.
Di telinganya, kata-kata itu begitu mantap terulur bagai tak memiliki keraguan
atau kedustaan sepercik pun.
Di lain sisi, justru keraguan da-
lam diri Anggraini makin membesar dan membesar. Bahkan berkembang perlahan bagai
daging tumbuh yang menyiksa.
Tangan Anggraini yang merentang-
kan busur makin kehilangan kekuatan.
Getarannya menghebat.
Biar bagaimanapun, dendam buta
membakar, cinta pula yang bisa menerobos dari kepungannya. Anggraini tak kuasa
menghalangi rontaan cinta dari dalam dirinya. Sementara, kata demi kata pemuda
di hadapannya telah jatuh tepat di garba cinta itu sendiri.
"Sadarlah. Anggraini. Begal
Ireng, ayahmu, adalah tokoh sesat yang harus kusingkirkan...."
Mendapat kalimat terakhir Andika,
mata Anggraini yang semula terjatuh, kini membeliak beringas.
"Kebohongan apa lagi yang kau katakan, Andika?" geram Anggraini.
"Kalau kau benar-benar ingin membunuhku, cari tahulah tentang ayahmu di Istana
Alengka, agar nanti tak menyesal. Dan kau pun harus benar meyakini setiap ucapan
pamanmu...."
Saat berbicara, mata Andika men-
cari-cari sesuatu dalam kamar. Ditemukannya remasan surat yang ditujukan untuk
Mayangseruni, serta anak panah di satu sudut ruangan.
Sejak semula, Andika sudah tahu
kalau Pangeran Neraka akan memperdayai Mayangseruni agar keluar dari kamar itu,
lalu memperdayai Anggraini pula agar menggantikan Mayangseruni di kamarnya.
Hanya sampai semuanya terjadi, Andika tidak tahu bagaimana cara Pangeran Neraka
melakukannya. Setelah melihat secarik surat lu-
suh dan anak panah itu, pikiran Andika terbuka kembali. Kini dia tahu, Pangeran
Neraka mengeluarkan Mayangseruni dari kamar secara halus. Tampaknya, tidak akan
terjadi apa-apa terhadap diri gadis itu. Karena, sasaran Pangeran Neraka hanya
Andika sendiri.
"Kau lihat secarik surat lusuh dan anak panah di sudut ruangan itu?"
kata Andika memulai kembali pada
Anggraini. "Dengan benda-benda itu, kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya
pamanmu...."
"Apa maksudmu"!" sentak Anggraini bersama derai airmata yang tak bisa lagi
dibendung. "Apa kau tak mengenali kalau anak panah itu adalah anak panahmu" Meski-pun belum
sempat kubaca, namun aku yakin isi surat itu mengatas namakan dirimu. Sementara,
kau tak pernah mengi-rimnya pada Mayangseruni yang sebelumnya menempati kamar
ini...." Mata sembab gadis itu melirik ra-
gu ke sudut ruangan.
"Ayo, lihatlah.... Aku tak akan lari. Dan aku tak akan membokong-mu...," ucap
Andika. Mata Anggraini kini beralih pada
mata Andika. Ditembusnya manik-manik mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia ingin
mencaritahu apakah Andika berusaha menipunya atau tidak. Tapi, sebe-tik pun tak
ditemukan kedustaan di sa-na.
Perlahan-lahan,
tubuh Anggraini
beringsut menghampiri anak panah dan secarik surat lusuh tadi. Mata anak panah
di tangannya tetap ditujukan pa-da Andika, seperti juga matanya yang tetap
mengawasi. Begitu tangan lembut Anggraini
hendak menjemput kedua benda itu....
Brak! Mendadak saja, dinding kamar je-
bol. Serangkum pukulan bertenaga dalam dahsyat yang ditujukan pada Andika,
merangsek masuk dengan amat kasar! Andika terkesiap. Begitu juga Anggraini.
Apalagi, pukulan jarak jauh dahsyat itu searah dengan tempat Anggraini.
Pendekar Slebor yang sering kali
menelan kejadian-kejadian tak terduga selama petualangannya serta merta
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Anggraini awas!"
Sekelebat gerak yang sulit diiku-
ti mata, dilakukan pendekar muda itu.
Disergapnya tubuh sintal Anggraini, sekaligus menyelamatkan diri dari ter-jangan
pukulan jarak jauh tadi.
Tak ayal lagi, tubuh mereka ber-
gulingan di lantai.
Ketika guguran dinding kayu ber-
serakan tanpa daya, ketika debu-debu ruangan sudah tergolek di seluruh
ruangan, tubuh Andika dan Anggraini terdiam. Andika masih memeluk punggung
Anggraini di bawahnya. Pemuda itu menanti serangan lebih lanjut, tapi tak
kunjung datang juga.
Andika lalu berkesimpulan, penye-
rang gelapnya adalah Pangeran Neraka.
Tahu kalau sasarannya selamat, Bureksa
mungkin menyingkir secepatnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mau mengambil
bahaya menghadapi Andika secara langsung.
"Manusia kentut pengecut!" umpat Pendekar Slebor geram.
Andika bangkit, seraya membantu
Anggraini. "Kau tidak apa-apa, Anggraini?" tanya Andika lembut.
Sulit digambarkan, bagaimana wa-
jah Anggraini saat itu. Sehimpun rasa berbaur menjadi satu. Gundah, kalut,
kecewa, serta dendam. Kini dia tahu, ucapan Andika seluruhnya benar. Pamannya
telah mengkhianati.
Tanpa berniat menjawab pertanyaan
Andika, Anggraini menghambur keluar kamar, membawa isak dan segala kepedi-han
tak tertanggungkan.
"Anggraini, tunggu!" tahan Andika.
Tapi, kehancuran batin Anggraini
memaksanya untuk tidak mempedulikan apa-apa lagi. Dia terus berlari...,
berlari..., membawa seluruh luka dalam diri. Akan ke mana kau, Anggraini"
S E L E S A I Ikuti kelanjutan kisah ini,
dalam episode :
"BAYANG-BAYANG GAIB"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Harimau Kemala Putih 10 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Selubung Awan Hitam 2