Pencarian

Bayangan Kematian 1

Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian Bagian 1


Pendekar Slebor
Bayangan Kematian
Djvu by NOVO Editor : Raynold (www.tagtag.com/tamanbacaan)
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
1 Jalan setapak berliku itu sepi sekali.. Angin menghampar
dan. berlari dari satu pohon ke pohon lain. Tak ada suara
burung berkicau. Suasana hening dan angker. Di belakang
jalan setapak itu, berdiri perbukitan menghijau. Meskipun
demikian, bukit itu bagai mati belaka. Penuh misteri.
Tetapi, satu sosok tubuh ramping dengan wajah cantik
jelita, berjalan tenang. Dari cara berjalannya yang
melonjak-lonjak, menandakan ia seorang gadis yang riang.
Rambutnya beriap dan sesekali melompat. Wajah bulat
telur gadis itu sungguh menggemaskan dengan pakaian
warna merah muda. Di pinggangnya terdapat sebuah
selendang berwarna kuning. Sungguh kontras sebenarnya,
dan membuat kecantikan wajah serta kerampingan
tubuhnya semakin nampak.
Sesekali ia berhenti melangkah. Bukan semata untuk
menikmati suasana yang benar-benar tak menyenangkan.
Tetapi sepertinya ia sedang mengira-ngira jalan mana yang
sedang ditujunya.
Siapa gadis berpakaian ala orang-orang rimba persilatan"
Ayu, namanya. Seorang gadis yang memiliki kesaktian
tinggi. Datang dari lereng Gunung Karimun, Ia memang
belum dikenal oleh orang-orang rimba persilatan. Karena,
baru kali ini ia turun gunung.
Sebenarnya, Ayu berasal dari sebuah desa yang jauh dari
Gunung Karimun. Desa Sawo Luwih yang cukup ramai.
Selama lima tahun - semenjak ia berusia dua belas tahun ia
diambil oleh seorang nenek yang berjuluk Beruang Gunung
Karimun, yang sekali waktu bertandang ke Desa Sawo
Luwih. Saat itu, Ayu sedang bermain lompat tali bersama teman-
temannya. Beruang Gunung Karimun, yang nama aslinya
ia sendiri sudah lupa, tertarik melihat betapa cekatannya
gadis kecil itu. Matanya yang agak masuk ke dalam tak
luput sekali pun memperhatikan gadis itu.
"Ia memiliki susunan tulang yang bagus. Rasanya, inilah
waktu yang tepat bagiku untuk memiliki seorang murid.
Selama tiga tahun aku keluar dari Gunung Karimun untuk
mencari murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu yang
kumiliki. Gadis kecil itu cocok untukku," desis nenek
bersanggul kecil yang diberi tiga buah tusuk konde warna
perak. Saat itu senja semakin turun, Ayu memutuskan untuk
selesai bermain. Ia berlari pulang. Beruang Gunung
Karimun tak berkesip menatap kepergiannya yang seperti
seekor kijang muda yang lincah. Rasa ingin tahunya dan
ingin memiliki bocah kecil itu sebagai muridnya semakin
membesar. Ia pun melangkah untuk mengikuti ke mana
Ayu pergi. Dilihatnya Ayu memasuki rumah yang sederhana,
terletak agak menepi dari keramaian desa. Lampu sentir di
depan rumah itu sudah dinyalakan. Dari kejauhan, Beruang
Gunting Karimun bisa menebak kenyamanan yang ada di
rumah itu. Didengarnya suara lembut dan dalam rumah itu,
"Mengapa begitu senja kau baru pulang, Ayu!"
"Maafkan aku, Ibu. Aku asyik bermain dengan teman-
teman sampai lupa waktu. Lain kali, aku tidak akan
melakukannya lagi, bu," jawab Ayu sambil menundukkan
kepala. Ibunya tersenyum. Tak mau membuat anaknya menjadi
merasa bersalah. "Sudahlah. Pergi mandilah. Setelah itu,
kita makan bersama, Ayu."
"Bapak sudah pulang, Ibu?"
"Sebentar lagi. Biasanya, sebelum, magrib bapakmu
sudah berada di rumah, bukan?"
Beruang Gunung Karimun yang mendengarkan semua
itu dari sebuah dahan pohon yang rimbun, di kejauhan
tampak terlihat seorang laki-laki berwajah sekitar dua puluh
tujuh tahun pulang dengan membawa cangkul di bahunya.
Ia bisa melihat dari mana sunan tulang yang dimiliki gadis
kecil itu berasal.
Laki-laki yang diyakininya ayahnya gadis bernama Ayu
itu, memiliki pula susunan tulang yang baik. Tetapi dalam
sekali lihat saja Beruang Gunung Karimun yang memiliki
kesaktian tinggi bisa menebak kalau laki-laki itu tak
memiliki ilmu kanuragan.
"Aku yakin, meminta pada kedua orangtua gadis kecil
itu, tak akan pernah dikabulkan. Masa bodoh! Aku harus
mendapatkan gadis itu sebagai muridku. Pilihanku telah
jatuh padanya."
Memikir demikian, Beruang Gunung Karimun menunggu sampai tengah malam tiba di sebuah pohon
besar yang tak jauh dari tempat tinggal Ayu. Lewat tengah
malam, nenek bertusuk konde perak itu pun melompat
ringan ke tanah. Dan melesat bagai bayangan ke pintu
rumah Ayu. Mempergunakan kesaktiannya, dengan mudah ia bisa
berada di dalam. Sejenak diperhatikannya gadis kecil yang
telah membuatnya jatuh hati tadi sedang tertidur di balai-
balai Keinginannya untuk mendapatkan gadis itu semakin
membesar. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Beruang Gunung
Karimun sangat tinggi, hingga saat ia membopong Ayu
keluar, tak sedikit pun Suara terdengar.
"Akan kukabarkan pada kedua orangtua gadis kecil ini,
kalau anaknya kuambil untuk sementara waktu. Dan akan
kupulangkan setelah lima tahun mendatang."
Ia pun melesat cepat kembali ke tempat asalnya yang
berjarak sangat jauh dari Desa Sawo Luwih. Desa yang
cukup nyaman. itu pun menjadi gempar keesokan paginya.
Bermula Rokayah yang ketika terbangun dari tidur tak
melihat putrinya. Dalam pikirnya, Ayu sudah bangun lebih
dulu. Tetapi ketika melihat keluar, gelap masih menyelimuti
alam, wanita itu tak yakin Ayu sudah bermain-main di luar.
Apakah ia ke kamar mandi" pikirnya, Bergegas Rokayah
menuju ke sana. Tak ada tanda-tanda Ayu di sana.
Kepanikan mulai melanda diri wanita itu.
Dibangunkan suaminya yang tak kalah terkejut
mendengar penuturannya. Sigap Rahmat bergerak, mencari
putrinya. Sampai matahari sepenggalah ia tak menemukan
di mana putrinya.
Sementara Rokayah sudah menangis berkepanjangan.
Para tetangga berdatangan dan membantu Rahmat mencari
Ayu. Setelah tiga hari lamanya, tak ada kabar yang
memuaskan. Ayu dinyatakan lenyap begitu saja. Ada yang
mengatakan, Ayu dibawa penunggu Serean Salehraga. Ada
yang mengatakan, Ayu diculik. Dan bermacam dugaan
yang datang. Sampai dua hari kemudian, ketika Rahmat hendak ke
kamar mandi pagi hari, ia merasa ada sesuatu yang jatuh
dari atas, menimpa wajahnya.
Yang jatuh itu ternyata sebuah daun lontar. Rasa heran
menyelimutinya mengingat tak ada pohon lontar di sana.
Diambilnya daun itu. Yang lebih menarik perhatiannya,
ada tulisan di sana.
Sungguh, aku tak bermaksud merepotkan. Putrimu ada
bersamaku. Kupinjam untuk kuturunkan semua ilmu yang
kumiliki. Lima tahun mendatang, ia akan kukembalikan lagi.
Beruang Gunung Karimun
Sejenak Rahmat terdiam. Putrinya yang dinyatakan
hilang bersama Beruang Gunung Karimun" Siapakah orang
yang berjuluk Beruang Gunung Karimun"
Tetapi sedetik kemudian, ia sudah masuk lagi ke
rumahnya. Keinginannya untuk buang air lenyap sudah.
Dikabarkannya pemberitahuan itu pada istrinya yang
nampak semakin hari bertambah payah memikirkan putri
mereka. Mengetahui kalau putrinya baik-baik saja, Rokayah
mendesah panjang.
"Istriku... aku yakin, orang yang berjuluk Beruang
Gunung Karimun akan mengembalikan putri kita."
"Lima tahun, Kang" Lima tahun cukup lama...," desis
Rokayah pelan, namun hatinya agak tenang, senang.
Di Gunung Karimun, Beruang Gunung Karimun
menggembleng Ayu untuk mempelajari seluruh ilmu yang
dimilikinya. Semakin hari ia semakin sayang pada gadis itu,
meskipun terkadang harus membujuk Ayu bila gadis kecil
itu menangis karena rindu pada kedua orangtuanya.
"Bapak dan Ibumu menyuruhku untuk mendidikmu,
Ayu...." "Tetapi, Nek... mengapa mereka tidak pernah datang
menjengukku?" tanya Ayu sambil menatap Beruang
Gunung Karimun dengan pandangannya yang bundar.
"Karena, mereka tak mau mengganggumu yang sedang
belajar padaku."
"Ih! Aku kangen mereka sekali, Nek!"
"Mereka menginginkan kau untuk belajar dengan tekun
dan menunggumu pulang."
Wajah Ayu jadi berseri-seri. "Kalau begitu, aku akan
semakin tekun berlatih, Nek."
Ganti wajah Beruang Gunung Karimun yang berseri-seri.
Pelajaran demi pelajaran yang diberikannya diterima
Ayu dengan cepat. Setelah satu setengah tahun berlalu,
Beruang Gunung Karimun pergi ke Desa Sawo Luwih
menemui kedua orangtua Ayu.
"Percayalah... Ayu dalam keadaan baik-baik."
Rokayah menggenggam erat tangan suaminya. Sungguh
gembira ia mendengar kabar itu.
"Kami menunggu ia pulang, Nek."
"Tiga setengah tahun lagi, ia akan kembali pada kalian. "
"Kami menitip salam untuknya. Dan kami berharap kau
menjaganya sepenuhnya, Nek."
Beruang Gunung Karimun hanya menganggukkan
kepala. Dan tiga setengah tahun pun berlalu tanpa terasa. Kini
Ayu bukanlah gadis kecil seperti lima tahun yang lalu. Kini
telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja berwajah cantik
jelita. Memiliki perawakan ramping dan budi pekerti yang
sopan. Karena selain ilmu kanuragan yang diajarkan
Beruang Gunung Karimun, wanita tua itu pun mengajarkan
bagaimana cara beradab.
Seperti janjinya pada kedua orangtua Ayu, Beruang
Gunung Karimun pun menyuruh Ayu untuk kembali
kepada mereka. Di Desa Sawo Luwih. Ia memang sengaja
melepas Ayu seorang diri, semata untuk melihat keberanian
gadis itu. -0o-dw-ray-o0- Gadis berbaju merah muda itu terus melangkah dengan
tenangnya. Samar dalam bayangannya ia teringat kembali
pada kedua orangtuanya. Rasa rindu pun semakin
menyesakkan dada.
"Bapak dan Ibu... kini aku pulang," desisnya riang.
Gadis itu menengadah. Menatap langit yang mulai
kelam. Malam sebenar lagi akan datang. Angin berhembus
dingin, membelai rambutnya yang panjang beriap.
"Sebenar lagi pasti akan turun hujan, aku harus
meninggalkan jalan setapak ini," membatin gadis itu.
Sebelum Ayu melakukan maksudnya....
"Berhenti!!"
Segala yang diniatkannya pupus seketika begitu
mendengar bentakan bernada kasar dari belakangnya.
Kepalanya cepat menoleh. Ia melihat seorang laki-laki
bertampang kasar dengan wajah mengerikan berdiri sambil
menatapnya dengan tatapan nyalang.
Laki-laki itu tinggi besar dengan perawakan tegap.
Pakaiannya berwarna hitam terbuka di dada yang
memperlihatkan dada bidang disertai bulu yang lebat.
Celana pangsi hitam yang agak kumal dikenakan. Kumis
dan cambangnya menghiasi wajahnya yang lonjong.
Hidungnya cukup bagus sebenarnya, tetapi karena bibir
bagian bawahnya agak turun, membuat laki-laki itu jadi
begitu mengerikan. Rambutnya diikat ekor kuda.
Sejenak Ayu memperhatikan laki-laki itu sebelum
berkata, "Siapa kau adanya" Mengapa membentakku
sedemikian rupa?"
Bukannya segera menyahut, laki-laki itu justru perdengarkan tawanya yang menyakitkan telinga.
"Hmm... sedang pamer tenaga dalam rupanya," desis
Ayu sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Nona manis... kau beruntung berjumpa denganku
Maharaja Langit Hitam. Tak seorang pun yang berjumpa
denganku akan kubiarkan hidup. Tetapi untukmu, suatu
pengecualian."
Pada dasarnya Ayu memang memiliki kesopanan yang
tinggi. Meskipun ia tidak suka mendengar kata-kata
bernada penghinaan dari laki-laki yang mengaku berjuluk
Maharaja Langit Hitam, namun ia tetap menyahut sopan,
"Kuterima pengecualianmu itu. Dan kuhaturkan terima
kasih. Tetapi maaf, karena aku agak tergesa, aku akan
segera meninggalkanmu."
Setelah berkata begitu, tanpa menunggu jawaban


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maharaja Langit Hitam, Ayu segera berbalik dan siap
berlari. "Berhenti!!" bentakan sekeras guntur itu kembali
terdengar. Rumput kering beterbangan bagai digebah.
Beberapa hewan malam yang muncul kembali masuk ke
sarang. Ayu kembali memutar tubuh. "Sebuah pameran tenaga
dalam yang cukup tinggi," desisnya. Lalu ia berkata, "Tak
ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"
Wajah Marahaja Langit Hitam menjadi kelam. Selama
hidupnya, tak sekali pun ia pernah mendengar ada yang
berani membantah ucapannya, bahkan membantah
perintahnya. Laki-laki berwajah mengerikan yang berasal
dari Goa Setan itu memang memiliki nama angker yang
menakutkan. Ia berasal dari golongan hitam yang tak segan-
segan menyiksa lawannya.
"Aku menginginkanmu!" suaranya mengguntur kembali.
Sekalipun Ayu tak memperlihatkan rasa takutnya. Ia
tetap tenang bahkan senyuman tersungging di bibirnya.
"Maafkan aku... aku tak punya waktu untuk meladenimu."
"Setan alas!!" Tangan Maharaja Langit Hitam yang
dilingkari gelang bahar besar mengibas ke arah Ayu.
Kibasan itu bukan kibasan biasa, mengandung tenaga
dalam yang tinggi. Dalam sekali kibas, angin yang menderu
dahsyat ke arah Ayu akan mampu menerbangkannya.
Tetapi pada kenyataannya, murid Beruang Gunung
Karimun hanya terdiam di tempatnya tak bergeser sedikit
pun. Hanya saja, ketika angin dahsyat itu dirasakan sudah
mendekat, ia membuat gerakkan dengan tangan kanan.
Memutar dua kali.
Angin dahsyat itu mengeluarkan suara yang cukup keras
seperti membentur sebuah dinding yang sangat tebal.
Maharaja Langit Hitam tercekat melihatnya. Ia tidak
percaya gadis muda itu mampu menahan gebrakan
pertamanya. "Kau"!" geramnya dengan tubuh menggigil.
Ayu yang merasa tak perlu meladeni laki-laki itu tak
menghentikan gerakannya. Dan gerakan memutar tadi, ia
menggerakkan tangan kanannya ke depan, dengan telapak
tangan terbuka.
Wuss! Satu serangan penuh tenaga dalam telah melesat ke arah
Maharaja Langit Hitam yang mengeluarkan seruan tertahan
dan melompat menghindar.
"Keparat!!" makinya dan terus hinggap di tanah. Namun
ia terbelalak dengan kegusaran yang tinggi ketika melihat
gadis itu sudah tak ada di hadapannya.
"Tak kusangka gadis semuda itu mampu menahan
seranganku. Hhh! Dialah calon istriku yang selama ini
kucari-cari! Aku tak akan melepaskannya!"
Tak lama kemudian, sosok tinggi besar itu pun
berkelebat untuk menyusul ke mana Ayu pergi.
-0o-dw-ray-o0- 2 Desa Sawo Luwih tempat kelahiran Ayu, sejak tiga
tahun terakhir ini, bukanlah sebuah desa yang nyaman lagi.
Setelah dua tahun kepergian Ayu, desa itu didatangi
gerombolan kejam yang menamakan diri Serikat Baju
Merah. Mereka datang dengan niat jahat untuk menguasai Desa
itu. Para penduduk sudah tentu tidak menerima keinginan
orang-orang itu. Dengan gagah berani mereka angkat
senjata mempertahankan tanah leluhur. Namun Serikat
Baju Merah yang berjumlah sebelas orang, rata-rata
memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan mudahnya
mereka membantai habis seluruh perlawanan yang
diberikan para penduduk desa. Sementara yang masih
sayang nyawanya, harus merelakan diri menjadi abdi dari
Serikat Baju Merah dengan menahan sakit hati dalam-
dalam. Gerombolan itu dipimpin oleh seorang laki-laki yang
berwajah bulat. Dua buah codet di pipi kanan kirinya
membuat tampangnya begitu menakutkan.
Rambutnya panjang tak beraturan. Di bahunya tersampir
dua buah kain berselempangan berwarna hitam. Ia bernama
Singgih Murka. Mereka menempati tempat tinggal kepala desa yang mati
terbunuh saat memimpin gerakan mempertahankan desa.
Sungguh malang nasib yang dialami istri dan anak
gadisnya. Mereka kini menjadi sapi perahan dari Singgih
Murka. Kehadiran Serikat Baju Merah yang menguasai Desa
Sawo Luwih membuat desa itu bertahun-tahun bagai
berubah menjadi neraka. Orang-orang kejam itu melakukan
apa saja yang mereka inginkan. Dan tak segan-segan
mencabut nyawa para penduduk yang mencoba menentang,
hingga banyak yang mengurungkan diri untuk diam-diam
melarikan diri. Karena, gerombolan itu bagai memiliki mata
yang sangat banyak. Mereka seperti tahu bila ada penduduk
yang nekat melarikan diri.
Bahkan tiga orang yang mencoba melarikan diri, harus
menerima nasib yang mengenaskan. Mereka dibunuh
dengan kejam dan mayat mereka digantung di tengah alun-
alun. Sebagai peringatan bagi yang lainnya agar tidak
melakukan tindakan konyol yang memancing kemarahan
para anggota gerombolan. Tak ada yang berani menentang.
Tak ada yang berani melarikan diri untuk melaporkan hal
itu ke Kadipaten Karang Sutra yang selama ini dikenal
selalu melindungi desa, tak terkecuali Desa Sawo Luwih,
Di rumahnya, Rahmat terpekur dengan wajah kelu.
Lima tahun telah banyak membawa perubahan pada
dirinya. Tubuhnya yang dulu tegap, kini menjadi kurus
kering. Wajahnya yang selalu segar menjadi tirus dengan
rambut tak beraturan.
Tiga tahun berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah,
membuatnya terasa hilang sukmanya. Lebih-lebih menyaksikan bagaimana Rokayah diseret oleh tiga orang
anggota Serikat Baju Merah dan diperkosa di satu tempat.
Lalu dikembalikan dengan tubuh kuyu dan wajah sembab.
Rahmat mendesah pendek. Ia menyesali mengapa ia tak
mampu mencegah perbuatan keji orang-orang itu pada
istrinya. Karena saat itu, Rahmat sendiri dalam keadaan
pingsan setelah dihajar anggota gerombolan karena
sebelumnya ia mencoba mempertahankan istrinya.
Sejak perlakuan tak senonoh terhadap istrinya, Rokayah
benar-benar menjadi seperti orang mati suri. Ia tak pernah
beranjak dari pembaringannya. Batin wanita itu terinjak-
injak penuh kenistaan. Dengan penuh kasih sayang,
Rahmat mengurus segala sesuatunya.
Ingatan Rahmat saat ini berpulang pada Ayu, putrinya
yang dibawa oleh Beruang Gunung Karimun. Hari demi
hari ia selalu menghitung. Menurut perhitungannya, lima
tahun sudah berlalu. Dan sudah tiba saatnya putrinya akan
pulang. "Ini mungkin hikmah dari keinginan Beruang Gunung
Karimun membawa Ayu pergi. Bila saja Ayu masih berada
di sini, sudah tentu ia akan menjadi korban kebuasan para
gerombolan yang tak pernah pandang bulu bila menginginkan seseorang," desisnya kelu. "Ayu, aku
berharap Beruang Gunung Karimun memenuhi janjinya.
Menggemblengmu menjadi seorang pendekar wanita yang
bisa menghentikan kezaliman ini."
Lagi Rahmat terpekur dengan tubuh kuyu. Ia telah letih
bekerja. Karena tiga bulan belakangan ini, Singgih Murka
berkenan membangun sebuah tempat tinggal yang sangat
megah untuknya. Dan ia memeras tenaga rakyat untuk
mewujudkan keinginannya itu. Bagi yang menolak, tak ada
imbalan lain keeuali mati. Bagi yang bersedia melakukannya pun tak ada imbalan apa-apa, kecuali rasa
letih yang bertambah menyiksa. Karena, hanya sekali
mereka diperkenankan beristirahat. Itu pun tak mendapatkan makanan atau minuman apa-apa. Setelah itu,
bagai seekor kuda tenaga mereka dipacu untuk segera
menuntaskan bangunan besar itu.
Brak! Rahmat tersentak ketika mendengar pintu didobrak
dengan kerasnya dari luar. Dinding rumahnya yang terbuat
dari bilik bambu bagai bergoyang.
Ia cepat-cepat berdiri dan pandangannya melihat,dua
orang anggota Serikat Baju Merah muncul sambil terbahak-
bahak. Kemarahan mulai naik di hatinya.
"Mau... mau apa kalian?" sentaknya terbata. Meskipun
merasa tak akan mampu menghadapi keduanya, namun
Rahmat memiliki nyali yang tinggi.
Kedua anggota Serikat Baju Merah yang baru muncul itu
saling berpandangan dan sama-sama tertawa.
"Tikus ini masih memiliki nyali!" kata yang seorang
berwajah tirus dengan mata culas. "Minggir! Aku
menginginkan istrimu!"
"Oh, Tuhan... di mana perikemanusiaan yang kalian
miliki" Istriku sudah kalian hina habis-habisan sehingga ia
jatuh sakit! Apakah kalian masih tega untuk menghinanya
lagi?" seru Rahmat dengan suara lantang. Seluruh sakit
hatinya bagai tercurah had ini.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir bila masih sayang
dengan nyawamu!!" Laki-laki itu meloloskan parang
besarnya. Dan mengayun-ayunkannya di wajah Rahmat.
"Hari ini aku masih bersedia mengampunimu, asalkan kau
tarik ucapan sialmu itu!"
"Tidak!" seru Rahmat gagah. "Tak akan pernah
kubiarkan lagi kalian menjamah istriku!!"
"Keparat!!" Laki-laki itu mengayunkan parangnya
dengan cepat. Rahmat merundukkan tubuhnya. Gerakan yang dilakukannya hingga serangan itu luput bukanlah karena
Rahmat memiliki kepandaian bela diri. Hal itu dilakukan
hanya karena naluri pertahanannya saja. Tetapi tendangan
yang dilakukan laki-laki berwajah tirus itu membuatnya
tersuruk ke belakang.
"Setan! Kau memancing kemarahanku!"
"Habisi saja, Dul!" seru temannya yang bernama Marta.
Gandul menyeringai "Aku menyukai pekerjaan ini!!"
Dengan langkah angker ia menghampiri Rahmat yang
mencoba untuk bangkit. Tetapi tendangan keras yang
dirasakannya dan membuat perutnya sakit luar biasa, tak
mampu membuatnya untuk bangkit.
"Hhh! Hanya kematianlah upah dari orang-orang dungu
seperti kau ini yang mencoba menentang keinginan Serikat
Baju Merah!!" seru Gandul dengan seringaian seperti seekor
serigala yang melihat mangsanya.
Tetapi dengan penuh keberanian Rahmat membuka lebih
lebar kedua matanya. Matanya bagai siap-siap menyongsong kematian. Gandul menjadi jengkel melihat
keberanian yang diperlihatkan Rahmat. Ia menggeram
keras. Rahmat tak peduli. Dilihatnya parang yang berkilat itu
bergerak ke arah kepalanya.
Crok! Tanpa ampun lagi kepalanya pun pecah. Darah
bersimbah. Tak ada suara keluhan atau jeritan yang
terdengar. Tubuh Rahmat ambruk dengan nyawa putus.
Gandul terbahak-bahak sambil menjilat parangnya yang
penuh darah. "Itulah akibatnya berani menantangku! Ayo, Marta! Kita
sikat bininya! Peduli ia lagi sakit atau tidak!!"
Dengan serentak keduanya menyingkap tirai kamar dan
melihat Rokayah yang terbaring lemah. Keduanya
mendekat sambil tertawa-tawa. Tanpa membuang waktu
lagi, mereka menjalankan niat busuk yang sudah tak
tertahankan. Selang beberapa lama keduanya selesai dengan
tubuh penuh dibasahi peluh.


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar sedang sakit... wanita ini masih memiliki Tubuh
yang menggairahkan," kata Gandul.
"Apa iya begitu?"
Gandul seketika menoleh karena bukan suara Marta
yang didengarnya. Marta pun melakukan hal yang sama.
Keduanya melihat seorang bocah sedang duduk di kursi di
sisi pintu sambil mengangkat satu kaki di kursi.
-0o-dw-ray-o0- Keduanya berpandangan dengan kening berkerut. Tak
mengerti mengapa tahu-tahu bocah itu berada di sana.
"Kenapa pada bengong" Asyik juga ya melihat kalian
menggeluti wanita itu?" kata si bocah yang bertampang
lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor.
Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian.
Celana panjang hitamnya begitu kotor, sekotor penampilannya. Wajahnya bulat telur menggemasnya.
Hidungnya bangir dengan bibir tipis yang agak kemerahan.
Namun di balik penampilannya yang lusuh itu, wajah si
bocah nampak tersenyum-senyum, Matanya berkilat-kilat
jenaka. Dan aksi sekali gayanya saat duduk begitu.
"Setan! Anak siapa kau, Bocah?" maki Gandul keras.
Matanya bagai hendak melompat keluar karena ia sama
sekali tidak mendengar kehadiran bocah itu.
Bocah itu cuma mengangkat bahunya. Lalu berkata
dengan sikap mengejek, "Anak siapa ya" Aku juga tidak
tahu, kok. Apa kau mau menjadi bapakku" tidak usah ya!
Mana sudi aku memiliki bapak bau berhati jahat seperti kau
ini!" Sudah tentu bukan buatan kemarahan Gandul. Ia
menggerakkan kakinya dengan cepat.
Wusss! Brak! Tendangannya itu menghancurkan kursi di mana si
bocah duduk. Tetapi Gandul tak merasa menghantam
bocah, itu. Justru ia terbelalak melihat bocah itu berdiri di
ambang pintu sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Sakit kakimu, ya?"
"Bocah keparat! Siapa kau sebenarnya?" maki Gandul
tak mengerti. Matanya nanar menatap bocah itu yang
masih tersenyum-senyum.
Bocah itu tak berkata apa-apa. Cuma matanya yang
jenaka berkedip-kedip. Marta yang sejak tadi menahan
geram, segera cabut parangnya.
Srat! Suara tarikan senjata terdengar keras. Sambil menggeram, Marta mengibaskan parangnya. Membabi-
buta. Di samping jengkel melihat kehadiran bocah itu, juga
geram karena dengan mudahnya serangan Gandul diatasi.
Tetapi serangannya pun tak mengenai sasaran apa-apa.
Karena tanpa bisa terlihat oleh mata bocah itu menghindari
setiap kibasan parangnya, sampai akhirnya ia justru
kehabisan napas. Bocah itu tertawa-tawa, "Yang beginian
ini ya anggota Serikat Baju Merah" Wah, lebih baik kalian
minggat saja!"
Gandul hanya terpaku menatap bagaimana bocah itu
menghindari serangan Marta. Tiba-tiba Darahnya naik ke
ubun-ubun. "Bocah setan! Kulumat kau!"
"Heit!" Bocah itu mengangkat kedua tangannya. Gandul
jadi ngeri sendiri, karena disangkanya bocah itu kan
menyerangnya. Tetapi bocah itu tetap berdiri di tempatnya
dengan kilatan mata jenaka. "Masa kalian marah" Aku kan
masih kecil. Boleh saja kan melihat bagaimana kalian asyik
menggeluti wanita malang itu" Tetapi, apa kalian tidak
salah memilih" Sebenarnya wanita atau batang kayu yang
kalian geluti?"
Bagai diperintah, Gandul dan Marta menoleh ke arah
pembaringan. Keduanya terbelalak dengan jeritan kecil.
Karena ketika melihat ke pembaringan, sosok wanita yang
mereka geluti tadi ternyata hanya batang kayu belaka.
"Gila! Bagaimana bisa begini?" sentak Gandul dan tanpa
disadarinya kakinya mundur satu langkah.
"Setan! Ini pasti ulah setan!" seru Marta gelagapan.
Bocah itu tertawa lagi. "Kasihan, ya?" ejeknya, Lalu
seperti melihat suatu kejadian yang menyedihkan bocah itu
berkata menyentak, "Ya ampun! Mengapa celana kalian
mengeluarkan darah begitu?"
Bagai mendengar sebuah peringatan, keduanya melihat
ke bagian selangkangan mereka. Dan keduanya menjerit
kaget karena memang ada darah yang merembes di sana.
Tiba-tiba pula mereka merasakan batang kemaluan mereka
kesakitan. Tahu-tahu keduanya menjerit keras dan pingsan.
Bocah itu tertawa. "Salah sendiri" Batang kayu kok
digeluti?"
"Kalau bukan bocah 'palsu' yang bernama Walet, siapa
lagi yang bisa melakukan hal itu?"
Walet menoleh begitu mendengar suara seorang pemuda
dari belakangnya. Seketika ia nyengir sambil garuk-garuk
kepalanya begitu melihat pemuda tampan berbaju hijau
pupus dengan kain bercorak catur di bahunya yang sedang
berdiri dengan tangan bersandar ke palang pintu.
"Wah! Aku jadi heran, mengapa bisa bertemu lagi
denganmu, Kang Andika?" seloroh bocah yang disebut
Walet. Pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan itu
tertawa, lalu membalas selorohan Walet, "Bukan hanya kau
saja yang heran, aku sendiri tak pernah mengerti. Padahal
aku sama sekali tidak mengharapkannya, lho. Memang
benar orang pintar berkata, dunia ini bulat."
Walet tertawa dan berlari merangkul si pemuda yang tak
lain Andika alias Pendekar Slebor.
"Bagaimana kabar Kang Andika?" tanyanya kemudian.
"Baik-baik saja. 0 ya, di mana suami-istri itu kau
sembunyikan?"
"Lho" Kang Andika melihat semuanya, ya! Curang! Aku
kok tidak tahu sih" Tetapi dasar bodoh, cuma Kang
Andikalah yang bisa melihat kekuatan batin yang
kukerahkan," sahut Walet dan dengan gaya soknya yang
membuat Andika ingin tertawa ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu menyahuti pertanyaan Andika tadi tentang
suami-istri atau kedua orangtua Ayu. "Aman. Mereka
aman. Hampir saja aku terlambat menolong mereka tadi,
Kang." "Aku pun tadi ingin menolong mereka. Tetapi ketika
kulihat kau masuk tadi dan kuyakini yang muncul seorang
pangeran, aku membiarkan saja."
"Brengsek!" maki Walet. (Untuk mengetahui siapa Walet
adanya, silakan baca : "Mustika Putri Terkutuk", "Cermin Alam Gaib", dan
"Bayang-Bayang Gaib").
Memang, ketika dua orang anggota Serikat Baju Merah
Itu muncul dan hendak menjalankan maksud jahatnya pada
Rokayah, Walet sebenarnya sudah melihat dia bisa meraba
kejadian selanjutnya. Saat Gandul mengayunkan parangnya
pada Rahmat yang tak berdaya, cepat ia mempergunakan
kekuatan batinnya untuk mengubah sosok Rahmat menjadi
batang pisang. Dalam pandangan Gandul dan Marta,
tetaplah tubuh Rahmat. Jadi yang dibacok oleh Gandul itu
tak lain batang pisang belaka.
Begitu pula ketika keduanya menjalankan niat jahat pada
Rokayah. Lagi-lagi Walet mengubah Rokayah menjadi
batang kayu. Akibatnya, kini keduanya pingsan dan
lumpuh kejantanannya selama-lamanya.
Saat Walet mengubah Rahmat menjadi batang pisang
itulah Andika muncul dan hanya tersenyum saja
memperhatikannya. Andika alias Pendekar Slebor memang
mampu menembus ilmu batin yang dimiliki Walet atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Bocah Ajaib.
Walet keluar dan muncul lagi dengan dua sosok tubuh
yang dipanggul demikian ringannya. dibantu Andika, ia
meletakkan Rahmat dan Rokayah yang pingsan ke
pembaringan. Andika memeriksa tubuh keduanya. Lalu
memijat di beberapa bagian tubuh keduanya.
"Mereka akan siuman beberapa menit lagi. Hmm...
ceritakan siapa kedua manusia yang pingsan itu."
"Aku hanya tahu mereka anggota Serikat Baju Merah,
Kang Andika. Tetapi... ada hal yang penting yang hendak
kukatakan padamu," kata Walet.
Andika mengerutkan keningnya.
"Apakah itu"'
"Seekor merpati akan pulang kandang. Ia akan dibunuh
oleh seekor harimau. Hanya pendekar ugal-ugalan yang
mampu menghalang, " kata Walet seperti berpantun.
Andika tertawa mendengarnya. "Sok benar kata-katamu
itu!" Meskipun ia berkata demikian, tetapi hati Andika
bertanya-tanya. Apa maksud Walet sebenarnya" Tetapi
seperti yang pernah dialaminya lalu-lalu. Walet alias titisan
seorang pangeran yang meninggal dengan membawa benih
cinta paling dalam pada kekasihnya, tak akan pernah mau
memecahkan apa yang dimaksudnya. Jadi, Andika harus
memeras otaknya memikirkan kemungkinan jawaban dari
kata-kata Walet.
"Kang... aku permisi dulu," kata Walet tiba-tiba.
Andika melongo.
"Kau mau ke mana"'"
"Ada urusan yang harus kukerjakan."
"Busyet! Lagakmu sok kayak orang penting!"
Walet membusungkan dadanya. "Waleeeettt!" desisnya
sambil menepuk dadanya sendiri.
Andika cuma tertawa-tawa saja. Padahal lagi-lagi ia
penasaran untuk mengetahui apa yang akan dilakukan
Walet sebenarnya. Sesungguhnya, ia juga tak menyangka
akan berjumpa dengan Walet kembali.
Walet melangkah dengan kepala mendongak. Andika
menjadi gemas. Ia ingin menjitak kepala bocah itu.
Sesaat, diperhatikannya dua anggota Serikat Baju,Merah
yang pingsan. "Kini giliranku untuk memberi pelajaran pada anggota
yang lainnya," lalu dipanggulnya Gandul dan Marta yang
masih pingsan. -0o-dw-ray-o0- 3 Pagi beranjak pergi, matahari siap menjalankan tugasnya
seperti sediakala dan siap menaungi seluruh persada. Di
bawah naungan sinar matahari yang memancarkan sinar
keemasan itu, di Kadipaten Karang Sutra, Adipati Ganda
Manikam sedang mendapat laporan dari seorang anak
buahnya tentang kejahatan yang dilakukan oleh Serikat
Baju Merah. Adipati Ganda Manikam berwajah tampan dengan
kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kecerdikan.
Pakaiannya begitu indah berlapis sutera. Ia memiliki dua
orang istri, tetapi tak seorang pun dari istrinya yang
melahirkan anak-anaknya.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya menyahuti laporan
seorang anak buahnya.
"Siapa sebenarnya mereka?"
"Hamba kurang jelas mengenai mereka, Gusti Yang
Agung. Tetapi, saat hamba berpatroli bersama Hardigala,
hamba bisa melihat keadaan Desa Sawo Luwih yang porak-
poranda. Lalu bersama Hardigala hamba menyamar
sebagai pekerja kasar yang sedang membangun sebuah
bangunan besar yang diperuntukkan sebagai markas Serikat
Baju Merah."
"Kau melihat ketua gerombolan itu?"
"Maafkan hamba, Gusti Yang Agung. Hamba dan
Hardigala tidak melihatnya. Karena, hamba pun memikirkan cara keluar dari sana. Ketika malam larut dan
anggota serikat Baju Merah sedang lengah, hamba dan
Hardigala berhasil meloloskan diri dengan kuda yang kami
tinggalkan di sebelah barat sana."
Adipati Ganda Manikam mengangguk-anggukkan
kepalanya kembali.
"Ini tidak boleh dibiarkan. Desa Sawo Luwih berada
dalam pengamanan kita pula. Kerahkan dua puluh prajurit
untuk mengusir Serikat Baju Merah," katanya penuh
wibawa. "Baik, Tuanku."
Sepeninggal anak buahnya, Adipati Ganda Manikam
mengusap wajahnya perlahan. Nampak ada sesuatu yang
menjadi bahan pikirannya.
-0o-dw-ray-o0- Seorang gadis berpakaian merah muda berhenti di ujung
Desa Sawo Luwih. Sejenak gejolak rindu di hatinya
berderai-derai. Matanya yang bening mengalirkan air mata
keharuan. "Kini aku telah tiba di tanah kelahiranku sendiri Nenek
Beruang Gunung Karimun... sebentar lagi aku akan
bertemu dengan kedua orangtuaku. Salammu akan
kusampaikan pada mereka," desisnya dalam hati.
Lalu dengan langkah ringan sementara kerinduan
semakin menyesakkan dada, Ayu mulai melangkah
memasuki desanya. Namun semakin ia melangkah, di


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya bertalu keheranan yang membuatnya harus
mengerutkan kening. Ia melihat perubahan yang sangat
jelas sekali pada desanya. Bukan perubahan ke arah yang
lebih baik, tetapi perubahan pada kemunduran. .
"Ada apa ini" Apakah para penduduk desaku ini sudah
malas semua" Mengapa jalan menjadi kotor" Semuanya
kusam. Duh, selokan itu begitu berbau busuk. Mengapa jadi
seperti ini?"
Selagi gadis itu masih memikirkan perubahan yang
nampak di depan matanya, mendadak saja terdengar suara
tawa dari belakang. Seketika Ayu menoleh. Keningnya
makin berkerut menyadari karena ia tak pernah mengenal
ketiga laki-laki ini. Tetapi, pada dasarnya Ayu adalah gadis
yang sopan, ia hanya menganggukkan kepalanya dan
meneruskan langkah. Justru sikapnya yang sopan itu
diartikan sebuah undangan oleh ketiga laki-laki yang tak
lain anggota Serikat Baju Merah, jelas dengan tanda baju
merah yang dikenakan dan rajutan warna hitam di dada
sebelah kiri bermotifkan wajah setan dengan taring panjang
dan kuping lebar.
Mereka mengejar dan menahan langkah Ayu.
"Tunggu, Adik Manis!"
Ayu menghentikan langkahnya lagi. Kali ini ia tak perlu
menoleh, karena ketiga laki-laki itu telah melewatinya dan
berdiri di hadapannya dengan seringaian busuk.
Sejenak pertanyaan melintas lagi di benak Ayu. "Mau
apa mereka" Bila melihat gelagat, mereka tentunya
bermaksud tidak baik. Tetapi aku tidak ingin mencari
masalah. Aku ingin menemui kedua orang tuaku."
Salah seorang dari ketiga anggota Serikat Baju Merah
berkata sambil memilin kumisnya yang baplang. Tangan
kirinya dengan sikap gagah diletakkan di pangkal
parangnya. "Rasanya, baru kali ini aku melihat ada sekuntum mawar
yang terbang dipermainkan angin dan jatuh di tempat
tandus semacam ini," katanya yang disambut tawa oleh
kedua temannya.
Ayu membatin lagi, "Benar dugaanku."
"Adik manis... siapakah kau gerangan?"
Pada mulanya, Ayu enggan untuk menanggapi sikap
ketiga laki-laki tengik ini. Tetapi menyadari kalau sejak
awal tadi saat ia tiba di desa ini begitu terasa asing bahkan
tak ada tanda-tanda yang membuatnya masih merasa akrab
dengan tanah kelahirannya ia jadi ingin mengetahui apa
yang terjadi. Terutama, siapakah ketiga laki-laki berbaju
merah ini"
Lalu dengan sopan Ayu menyahut, "Namaku Ayu. Aku
datang dari jauh."
Mendapat sahutan seperti itu, sudah tentu si kumis
baplang yang bernama Jagalolo seperti mendapat lotre.
Keceriwisannya semakin menjadi-jadi, kali ini ditunjukkan
dengan tatapan mata kurang ajar.
"Tentunya kau lelah, bukan" Bagaimana bila kau kami
ajak bersenang-senang" Sekaligus menghibur diri dari
kepenatan."
Ayu masih berusaha menahan diri dari kemarahan yang
mulai membersit. "Maafkan aku.... Kakiku untuk saat ini
belum mau diajak berhenti. Lain kali, kita bisa
membicarakannya."
Tetapi, sebelum murid Beruang Gunung Karimun itu
meneruskan langkah mendadak saja terdengar teriakan
keras dari belakang ketiga laki-laki berbaju merah. Seorang
laki-laki setengah baya bertelanjang baju berlari dengan
golok di tangan, Manusia-manusia biadab! Kalian telah
menghancurkan kehidupan desa ini! Pergilah kalian ke
neraka!!" Wuuuttt! Golok itu mengarah pada Jagalolo yang dengan sigapnya
memiringkan tubuhnya. Lalu menggerakkan tangannya
dengan gerakan cepat.
Des! Pukulan keras itu menghantam punggung laki-laki
setengah baya yang kalap, hingga jatuh tersungkur. Lalu
dengan kejamnya Jagalolo menginjak kepala laki-laki itu
hingga pecah. Prak! Ayu terperangah melihatnya. Sungguh, kejadian itu
begitu cepat sehingga ia terlambat turun tangan. Hal itu
lebih banyak disebabkan karena ia masih memikirkan siapa
ketiga laki-laki ini dan mengapa terjadi perubahan pada
desanya. "Kau"!" Ia mendesis dengan tubuh menggigil.
Jagalolo memperlihatkan seringaiannya.
"Itulah upah bagi yang menentang kami!"
"Siapa kalian sebenarnya?" bentak Ayu dengan mata
memicing. "Kami?" Jagalolo tertawa mengejek. "Sebaiknya, kau
ikut dengan kami, Adik Manis! Setelah kau hibur kami,
maka kami akan menjelaskan siapa kami sebenarnya!"
Ayu menggeram dalam hati. Rasa marahnya mulai naik.
Ia memutuskan untuk tidak banyak bicara lagi. Dengan hati
masih geram karena tindakan keji di depan matanya ia
terlambat menahan, ia melangkah lagi. Tetapi si kumis
baplang justru menangkap tangan Ayu sambil tertawa-tawa.
"Maaf, lepaskan tanganku," kali ini Ayu mulai bersuara
dingin. Ia tak menatap Jagalolo. Justru menatap ke depan.
Jagalolo terbahak-bahak mendengar kata-kata itu. "Kau
pikir, kami begitu bodoh untuk melepaskan kau, Adik
Manis" Setelah kau menghibur kami, kau akan kami
lepaskan ke mana kau suka."
Ayu menggeram dalam hati. Ia semakin yakin kalau
perubahan desanya yang menjadi kotor dan asing ini salah
satunya disebabkan oleh ketiga laki-laki berbaju merah ini.
Masih adakah anggotanya yang lain" desisnya dalam hati.
Ayu menoleh. Tatapannya nyalang setajam serigala.
Tahu-tahu ia menggerakkan tangannya. Gerakannya sangat
aneh sekali dan begitu cepat. Jagalolo sendiri sampai
terkejut, ketika merasakan tangannya bergetar.
Dan ia baru sadar ketika gadis itu sudah menjauh dalam
jarak sepuluh tombak. Kekesalannya beralih pada kedua
temannya yang tak menyangka hal itu akan terjadi.
"Bodoh! Tangkap gadis sialan itu!!"
Serentak Sentiko dan Kalimonto berlari seraya meloloskan parangnya mengejar Ayu. Tanpa melihat pun
pendengaran Ayu yang terlatih bisa menangkap kalau ada
yang mengejarnya.
Ia berhenti melangkah dan berbalik dengan tatapan
nyalang. "Jangan membuat kemarahanku bertambah naik!
Perbuatan kalian membunuh laki-laki malang itu sebenarnya tak bisa kuampuni! Cukup dengan mengatakan
siapa kalian, maka nyawa kalian masih menempel di jasad!"
Sentiko dan Kalimonto berpandangan. Seperti dikomando keduanya menggerakkan tangan dengan posisi
membacok. Wuttt! Wuuut! Dua parang tajam itu berkelebat ke arah Ayu yang
dengan memiringkan tubuhnya berhasil menghindari
serangan. Kaki kirinya yang ditekuk tadi melurus kembali,
kaki kanannya maju satu tindak dan bersamaan dengan
gerakan itu tangannya bergerak.
Tap! Tap! Pergelangan tangan kedua lawannya ditangkap. Bagai
sebuah capitan tang yang sangat keras, Ayu memuntir
tangan kedua lawannya yang menjerit keras dan parang
yang mereka pegang terlepas.
Kaki kanan Ayu bergerak begitu cepat. Membuat dua
gerakan sekaligus.
Des! Des! Tubuh Sentiko dan Kalimonto terlempar tiga tombak ke
belakang. Sementara itu, Jagalolo yang melihatnya
terbengong-bengong. la sama sekali tak menyangka gadis
jelita itu memiliki ilmu yang tinggi.
Namun laki-laki yang hanya mengandalkan tenaganya
saja tanpa banyak mempergunakan otaknya, segera
mencabut parangnya kembali yang tadi dipergunakan untuk
membunuh laki-laki setengah baya yang malang.
Ia menggerakkan tangannya yang memegang parang
berkali-kali. Wutt! Wuuut! Angin yang keluar dari kibasan parang itu cukup kuat.
Tetapi Ayu hanya menatap dingin. "Untukmu terpaksa aku
memberi pelajaran sebagai ganjaran dari perbuatanmu
barusan!!"
"Setan! Kucabik-cabik tubuhmu!!"
Lalu dengan gerakan yang cepat Jagalolo menyerang.
Parangnya ditusukkan turus. Begitu Ayu menghindar
dengan hanya mengubah posisi kaki kanannya yang tadi
berada di depan dan ditarik ke belakang, Jagalolo
meneruskan serangannya. Dari gerakan menusuk tadi, kini
membacok. Wuuut! Angin cukup keras melewati wajah Ayu yang menjadi
bertambah geram. Mengingat ia tak sempat menolong laki-
laki setengah baya yang malang, mendadak saja sambil
memiringkan tubuhnya tadi, Ayu membuat satu gerakan
memutar. Kakinya menendang.
Des! Tepat menghantam dada Jagalolo. Menyusul satu
tendangan keras menghantam wajah Jagalolo. Giginya
tanggal tiga buah. Hidungnya mengalirkan darah. Dan ia
ambruk dengan kerasnya.
"Kau?" desisnya sambil menahan sakit.
"Seharusnya nyawamu kucabut!" geram Ayu sambil
mendekat. "Tetapi, aku masih bermurah hati! Siapa kalian
sebenarnya?"
Laki-laki yang hanya mempergunakan tenaganya saja
menyeringai. "Kami adalah anggota Serikat Baju Merah,"
katanya dan dalam sangkanya Ayu akan jeri mendengar
nama gerombolannya disebutkan, tetapi gadis itu justru
mengerutkan keningnya.
"Apa kerja kalian di sini?"
"Hhh! Kau akan menyesal, Gadis Manis! Desa ini sudah
berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah! Ingat, teman-
temanku tak akan pernah melepaskanmu!"
"Pantas keadaan begitu kacau sekali dan asing," pikir
Ayu. "Rupanya, gerombolan ini sudah menguasai desa. Oh,
Tuhan... sudah berapa lamakah mereka melakukan hal itu?"
Tiba-tiba Ayu teringat pada kedua orangtuanya. "Bagaimanakah keadaan mereka?"
Melihat gadis itu terdiam, Jagalolo yang menyangka
kalau gadis itu menjadi ketakutan berkata lagi dengan
pongah, "Tak akan lama lagi kau akan menjadi hiburan
kami, Gadis Manis!"
Tanpa menoleh pada Jagalolo, tangan Ayu bergerak
cepat. Menangkap tangan kanan Jagalolo. Lalu meremas
jemarinya hingga remuk. Jagalolo yang tak menyangka hal
itu menjadi pias saat jemarinya dipegang dan melolong
seperti serigala lapar ketika jemarinya diremas hingga
remuk. Ayu tak mempedulikannya lagi. Pikirannya dipenuhi
dengan kecemasan terhadap kedua orangtuanya. Ia
memutuskan untuk segera tiba di rumahnya.
Lalu tubuh gadis itu pun berkelebat cepat.
-0o-dw-ray-o0- Tanpa sepengetahuan Ayu, hal itu rupanya diperhatikan
sejak tadi oleh sepasang mata yang duduk santai di sebuah
batang pohon. Selain tubuhnya tertutup oleh rimbunnya
dedaunan, ilmu meringankan tubuh yang dikerahkannya
tak akan membuat orang lain mendengar. Itu menandakan
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Si pengintip berbaju
hijau pupus tinggi sekali.
"Hmmm... siapa gadis itu sebenarnya" Kemunculannya
sejak di batas desa tadi aku sudah melihat. Bila melihat
gerakannya, ia bukanlah gadis sembarangan. Bahkan aku
yakin, ia memiliki ilmu yang tinggi. Sepak terjangnya
barusan memang menakjubkan. Bila melihat sikapnya sejak
pertama muncul tadi, ia nampak seperti keheranan. Apakah
gadis itu pernah tinggal di desa ini sebelumnya dan
sekarang datang kembali" Ataukah ia memang hanya
seorang pengembara yang tak sengaja tiba di sini?"
Sosok berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak
catur di punggungnya itu tak lain adalah Pendekar Slebor.
Setelah pertemuannya dengan Walet di rumah Rahmat,
Andika memang hendak menyelidiki siapa dua orang laki-
laki berbaju merah yang dipermainkan Walet.
Walet mengatakan mereka adalah anggota serikat Baju
Merah. Makanya, Andika segera membawa dua laki-laki
yang pingsan dan hancur kejantanan mereka akibat
'kenakalan' Walet. Andika bermaksud untuk mencari di
mana anggota gerombolan yang lainnya berdiam.
Ia memang telah menemukannya dan melihat para


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penduduk bekerja bakti membuat sebuah bangunan yang
cukup besar di sebelah timur dari desa itu. Di sana Andika
melihat para laki-laki yang berpakaian merah pula.
Andika berkeyakinan kalau tempat yang dibangun itu
adalah tempat yang hendak dijadikan markas. Tetapi di
mana mereka berdiam sebelumnya"
Andika pun kembali lagi untuk membawa dua laki-laki
yang pingsan. Ia akan membuat kejutan di sana. Makanya,
ia menunggu sampai besok pagi. Ketika menjelang
matahari terbit Andika membawa dua laki-laki anggota
Serikat Baju Merah yang masih pingsan, ia melihat seorang
gadis datang. Sejenak dikaguminya kecantikan gadis itu.
Dan diperhatikannya bagaimana gadis itu seperti terheran-
heran melihat keadaan sekitarnya. Tetapi kemudian ia tak
mempedulikannya,
karena ia hendak menjalankan rencananya.. Hanya saja, ketika dilihatnya tiga orang laki-laki berbaju
merah muncul, Andika memutuskan untuk bersembunyi di
sebuah batang pohon. Ia akan menolong bila gadis itu
diperlakukan tidak senonoh. Tetapi kenyataannya, gadis itu
justru membuat ketiga laki-laki berbaju merah itu tunggang-
langgang dan sekarang gadis itu sudah lenyap dari
pandangannya. "Siapa sebenarnya dia?" desisnya sambil berpikir.
Kata-kata aneh yang dikemukakan Walet masih
membuatnya bingung. Andika melirik dua anggota Serikat
Baju Merah yang masih pingsan yang tergolek di cabang
pohon di mana ia bersembunyi.
"Hmmm... tak lama lagi pasti keduanya ini akan mati.
Melihat dari luka yang mereka derita pada bagian yang
fatal, sangat sulit untuk hidup lebih lama." Andika
tersenyum. "Walet memang nakal. Tetapi sebaiknya, biar
aku kejutkan Serikat Baju Merah lebih dulu. Sementara
setelah itu akan kucari gadis berbaju merah muda itu. Siapa
dia sebenarnya?"
Memikir sampai di situ, Andika pun mengangkat tubuh
kedua laki-laki yang pingsan. Ia bersiap untuk melompat.
Tetapi gerakannya menjadi urung, ketika mendengar suara
kuda digebah dari kejauhan.
-0o-dw-ray-o0- 4 Suara kuda menggebah yang didengar Andika semakin
lama semakin dekat, berisik dan menarik perhatian. Dari
tempatnya bersembunyi, Andika bisa melihat kalau para
penunggang kuda rata-rata mengenakan pakaian orang-
orang kadipaten. Kuda yang mereka tunggangi rata-rata
berwarna hitam, di punggung kuda ada sehelai kain yang di
setiap sisinya berajut benang emas.
Melihat dari cara berpakaian para penunggang kuda itu,
dalam hanya sekali lihat Andika bisa menebak siapa mereka
dan apa maksud kedatangan mereka ke Desa Sawo Luwih
ini. . "Hmm... kiranya berita tentang Serikat Baju Merah
sudah masuk ke kadipaten. Bagus kalau begitu. Aku tak
perlu lagi mengurus soal ini untuk sementara. Biar kutinggal
saja dua anggota serikat Baju Merah ini dan sekarang aku
mencari tahu siapa' gadis berbaju merah muda tadi."
Andika melihat rombongan berkuda itu semakin dekat
dengan pohon di mana ia bersembunyi. Ia melihat salah
seorang di antara mereka mengangkat tangannya, seketika
gerakan kuda-kuda itu terhenti.
Pandangan mata yang mengangkat tangan tadi,
menjurus pada tiga anggota Serikat Baju Merah yang
pingsan dihajar Ayu.
"Angkat ketiga manusia celaka dan seorang laki-laki tua
yang malang itu! Amankan mereka! Kita terus bergerak
untuk membasmi yang lain!!"
Empat orang anak buahnya bergerak sigap. Lalu
membopong dan meletakkan orang-orang itu ke punggung
kuda masing-masing. Mereka langsung menggebah kuda ke
arah dari mana mereka datang. Bermaksud meletakkan
empat sosok laki-laki yang tergolek tak berdaya di
punggung kuda masing-masing di tempat yang aman.
"Berpencar!" seru yang pertama tadi memberi komando.
Seketika mereka berpencar. Andika yang memperhatikan
kesibukan para prajurit kadipaten berkata sendiri, "Menilik
dari keadaan ini, nampaknya Serikat Baju Merah tidak
mengetahui kedatangan mereka. Aku yakin, mereka masih
berada pada bangunan yang sedang dibuat. Hmm, letaknya
cukup lumayan dari tempat ini. Sebaiknya sekarang saja
aku mencari gadis itu sebelum kehilangan jejak."
Setelah para prajurit Kadipetan berpencar, dengan
mempergunakan ilmu larinya Andika berkelebat ke arah di
mana Ayu bergerak tadi.
-0o-dw-ray-o0- Di depan sebuah rumah yang menurut Ayu tak pernah
berubah, murid Beruang Gunung Karimun itu berdiri.
Matanya tak berkesip menatap rumahnya. Memang tak ada
perubahan pada rumah itu, seperti ketika la meninggalkannya dulu. Tetapi kekotorannya sangat
menjijikkan. Ayu juga melihat pintu rumahnya melompong. Ia
menjadi cemas sekarang. Cepat ia berkelebat ke rumahnya.
"Bapak! Ibu!!"
Dalam sekali berkelebat saja Ayu sudah tiba di dalam
rumahnya. Ia berteriak lagi. Tetapi sebuah batuk di sebuah
kamar, membuatnya cepat ke sana.
Disingkapnya gorden kamar. Dilihatnya seorang wanita
yang lebih tua dan usia yang sebenarnya sedang tergolek tak
berdaya dan seorang laki-laki yang nampak mengantuk.
Batuk itu berasal dari wanita lemah itu.
Batin Ayu bergetar. "Inikah kedua orangtuaku" Oh,
Tuhan... Serikat Baju Merah pasti yang melakukan semua
ini. Lalu ia memanggil perlahan "Bapak... Ibu...."
Rahmat yang sedang mengantuk dengan perut lapar
mengangkat kepalanya. Sejenak ia mengerutkan keningnya
melihat seorang gadis jelita berada di depannya.
Batin Ayu makin bergetar. "Bapak... ini aku, Ayu..."
"Oh, Tuhan!" Bagai memiliki tenaga kembali, Rahmat
berdiri. Ayu... kau Ayu?" desisnya gembira.
Ayu menganggukkan kepalanya dengan keharuan yang
menjadi-jadi. "Oh Tuhan! Ayu, kau memang Ayu!"
Rahmat berlari merangkul anaknya dengan penuh
sukacita. Ayu membenamkan kepalanya dalam-dalam.
Ditahannya keharuan yang muncul. Ditahannya kegeraman
yang menjadi-jadi pada Serikat Baju Merah.
Rahmat berlari mendapati istrinya sambil menarik
tangan putrinya. Ia berkata penuh kegembiraan. "Bu... ini
Ayu, Bu. Ayu...."
Perempuan lemah yang kini jarang bicara itu, bagai
melihat sebuah cahaya di depan matanya. Perlahan-lahan ia
menoleh. Kembali Ayu harus menahan semua perasaannya
melihat keadaan yang mengibakan ini.
"Ayu...," suara Rokayah bergetar.
Ayu menganggukkan kepalanya. Mencium kening
ibunya. "Aku kembali, Bu...." . .
"Terima kasih, Tuhan Kau cantik sekali, Ayu..."
Ayu tersenyum. "Ibu sedang sakit?"
Rokayah menganggukkan kepalanya sambil terbatuk.
"Duduklah, Ayu... kau pasti lelah."
Ayu menoleh pada ayahnya, "Bapak... apakah semua ini
perbuatan dari Serikat Baju Merah?"
Kegembiraan Rahmat menjadi surut kembali ketika
mendengar gerombolan itu disebutkan. Ia menganggukkan
kepalanya seraya duduk kembali.
"Kau benar! Manusia-manusia biadab itu datang
membawa petaka di desa kita, Ayu.... Kau jangan sampai
berjumpa dengannya."
"Aku sudah berjumpa dengan tiga orang dari mereka,
Bapak." "Oh! Lalu apa yang terjadi?"
"Berkat ilmu yang diajarkan oleh Nenek Beruang
Gunung Karimun, aku berhasil menghajar mereka, Bapak."
Kali ini kegembiraan Rahmat nampak kembali.
"Bagus! Mereka memang perlu dihajar, Ayu!"
"Benar, Bapak... aku akan memberi pelajaran pada
mereka. Sebaiknya, aku mencari mereka sekarang."
"Untuk saat ini, hal itu tidak usah dilakukan. Orang-
orang Kadipaten Karang Sutra sedang menumpas
gerombolan itu," terdengar seorang dari belakang mereka.
Ayu seketika berdiri. Ia melihat seorang pemuda tampan
berbaju hijau pupus sedang berdiri diambang pintu.
"Siapakah kau. Orang Muda?" tanya Ayu tanpa
meninggalkan kesopanannya.
Pemuda yang muncul yang tak lain Pendekar Slebor
tersenyum. Andika membatin, "Dari jarak sedekat ini,
kecantikan gadis ini semakin nyata sekali."
Lalu ia berkata menyahuti pertanyaan Ayu, "Maafkan
kelancanganku masuk ke rumah ini tanpa permisi. Tetapi,
aku penasaran ingin mengetahui siapa kau adanya, Nona. 0
ya, namaku Andika... orang- orang menjulukiku Pendekar
Slebor." Ayu menatap Andika dari ujung kaki sampai kepala.
Andika jadi risih sebenarnya ditatap sedemikian rupa oleh
seorang gadis cantik seperti Ayu.
"Kau" Kaukah yang berjuluk Pendekar Slebor?" kata
gadis itu pelan. Matanya tak berkesip menatap pendekar
muda pewaris ilmu pendekar Lembah Kutukan yang berdiri
di hadapannya. Andika cuma mengangkat alisnya. "begitulah orang-
orang rimba persilatan menjulukiku. Sebuah julukan
yang..." "Yang sangat luar biasa," sambung Ayu. Ia teringat
sebelum turun gunung kembali ke rumahnya, gurunya
pernah menceritakan seorang pendekar muda yang berasal
dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor.
Nenek Beruang Gunung Karimu memang belum pernah
bersua dengan Pendekar Slebor, hingga ia tak bisa
menggambarkan sosok Pendekar Slebor. Dan yang tak
disangka Ayu, kalau pendekar Slebor masih muda seperti
ini. paling tidak lebih tua beberapa tahun dari umurnya.
"guruku pernah menceritakan tentang dirimu."
"O ya" Mudah-mudahan cerita yang baik. Boleh kutahu
gurumu?" "Beliau berjuluk Beruang Gunung karimu."
Andika tersenyum. "Aku pernah pula mendengar
julukan itu. Tetapi sayangnya, aku belum pernah berjumpa
dengannya."
Rahmat mempersilakan Andika duduk di ruang dalam
ketika mendengar istrinya terbatuk. Sementara Ayu
menemani Andika, ia sendiri kembali menemani istrinya
yang kini mulai tersenyum. Ia bahagia sekali melihat
keadaan istrinya yang mendadak lebih baik setelah bertemu
dengan Ayu. Ia tak ingin menceritakan kejadian buruk yang
menimpa istrinya pada putrinya.
Sementara di ruang dalam Ayu sedang bertanya, "Kang
Andika... apa maksudmu agar aku tak perlu menumpas
Serikat Baju Merah?"
"Kenyataannya memang seperti itu. Dua puluh prajurit
kadipaten sedang menumpas mereka. Aku yakin, mereka
akan berhasil melakukannya karena tentunya, para prajurit
yang dikirim bukanlah prajurit sembarangan!"
"Baguslah kalau begitu. Kupikir, gerombolan itu
memang sangat kejam, Kang Andika."
Sambil meneruskan percakapan, sebenarnya Andika
berusaha memecahkan pula kata-kata Walet. Ia penasaran
di mana sekarang bocah yang dititisi oleh seorang pangeran
itu berada. Ia pun menyesal mengapa tidak menahannya
kemarin. Ia bertanya pada Ayu, "Berapa lama kau berguru pada
Nenek Beruang Gunung Karimun, Ayu?"
"Lima tahun, Kang Andika."
"Lima tahun," Andika bergumam pelan. Ia teringat akan
kata-kata perlama dari Walet. Seekor merpati akan pulang
kandang. Ayu - kali yang dimaksud oleh Walet sebagai
seekor merpati" Dan merpati itu berada dalam ancaman
maut seekor harimau, seperti kiasan yang dilakukan Walet.
Hanya pendekar ugal-ugalan yang mampu menghalang.
Andika mendengus ketika tiba pada kesimpulan kalau
pendekar ugal-ugalan yang dimaksud Walet adalah dirinya.
Kalau memang benar itulah jawaban dan pernyataan
Walet, berarti Ayu dalam bahaya.
Ayu yang melihat Andika terdiam berkata sambil lurus
menatapnya, "Mengapa kan seperti tertegun Kang Andika"
Adakah sesuatu yang pikirkan?"
Andika tersenyum. "Hanya sedikit."
"Soal apa?"
"Sebaiknya Ayu tidak perlu mengetahui hal itu dulu"
kata Andika dalam hati. "Biar kupendam dulu, sampai
kuketahui siapa yang berniat untuk membunuh gadis jelita
ini." Lalu ia berkata sambil tersenyum, "Tidakkah kau ingin
kita melihat hasil kerja para pasukan kadipaten, Ayu?"
Andika melihat wajah Ayu menggeram. "Ayolah!
Manusia-manusia dajal itu memang sudah seharusnya
meninggalkan desa yang dulu nyaman ini!"
Sebelum mereka berangkat, Andika mengusulkan untuk
memindahkan kedua orangtua Ayu ke tempat yang lebih
aman. "Bukannya aku khawatir ada anggota Serikat Baju
Merah yang masih hidup, melainkan kupikir lebih baik bila


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita melakukannya. Sebelum aku tiba di desa ini, di sebelah
selatan desa ini ada sebuah lembah kecil. Di sana pula
kutemui sebuah bangunan yang masih bisa dipergunakan
untuk tempat tinggal kedua orangtuamu sementara."
Ayu menimbang-nimbang usul itu. Lalu ia mengangguk.
"Baik! Kupikir itu pun yang terbaik!"
Ayu mengatakan semua itu pada ayahnya yang hanya
menganggukkan kepala. Sambil mengucapkan 'maaf'
Andika memegang tangan Rahmat dan tubuhnya berkelebat
hingga Rahmat menjerit lirih karena bagai diterbangkan
oleh angin. Sementara Ayu membopong ibunya. Dengan
gerakan yang cepat pula ia membawa ibunya menyusul
Andika. -0o-dw-ray-o0- Kedatangan para pasukan kadipaten ternyata membawa
petaka bagi orang-orang Serikat Baju Merah. Dalam waktu
hanya lima kali penanakan nasi, seluruh anggota manusia
dajal itu berhasil ditumpas.
Wisnusesa yang memimpin gerakan itu tersenyum puas,
melihat teman-temannya mengumpulkan mayat-mayat
yang rata-rata berbaju merah dengan sulaman sebuah wajah
yang mengerikan pada dada kanan mereka.
Sementara ia melihat para penduduk desa yang ketika
mereka datang sedang mengerjakan sebuah bangunan besar,
duduk berlutut. Anehnya, tak seorang pun yang
menunjukkan wajah gembira. Keanehan itu pun tak luput
dari pandangan Pendekar Slebor yang kini mengintip dari
sebatang pohon besar bersama Ayu.
Hati Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
"Mengapa mereka bukannya gembira melihat pasukan
kadipaten memusnahkan para gerombolan" Mengapa
mereka begitu muram. Bahkan tak terdengar suara apa-
apa." Ayu yang ingin segera turun menjumpai orang-orang itu
ditahannya. ' Ia menoleh pada Andika tak mengerti. "Mengapa,
Kang?" "Tunggu dulu, Ayu. Kita tahan rasa ingin tahu kita
untuk melihat ke bawah."
"Ada apa?" tanya Ayu mendapati Andika menjawab
tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Tidakkah kau perhatikan wajah para penduduk, Ayu?"
Andika berkata sambil mengerutkan keningnya.
Ayu menoleh ke bawah. "Apa maksud, Kang Andika?" .
"Apa yang akan kau lakukan bila kau melihat kezaliman
berhasil diatasi?"
"Aku akan gembira."
"Begitu pula denganku. Tetapi, tidakkah kau melihat
kalau para penduduk justru kelihatan tegang?"
Ayu memperhatikan sekali lagi kata-kata Andika. Ia pun
kini merasa keheranan mendapati apa yang dikatakan
Andika benar adanya.
"Mengapa mereka bersikap seperti itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ada sesuatu yang janggal
kurasakan. Ayu, dapatkah kau mengenali seluruh warga
desamu ini?"
Ayu menggelengkan kepala. "Tidak semua. Mungkin
saja sepeninggalku dari desa ini, ada pendatang yang
bermukim di sini. Mungkin pula di antara para laki-laki itu,
ada penduduk seberang yang kebetulan menikah dengan
wanita dari desa ini."
Andika manggut-manggut. Ia masih memandang tak
berkesip ke bawah. Pikirannya dikerahkan untuk memecahkan masalah yang mengganggunya.
Tetapi sampai para prajurit kadipaten membawa mayat-
mayat itu yang diseret di belakang beberapa ekor kuda,
Andika belum juga berhasil memecahkan kebingungannya.
Ia tetap menahan Ayu agar tidak bergerak dari tempat
mereka. Setelah beberapa saat berlalu, dua orang dari para
penduduk yang duduk berlutut itu berdiri. Salah seorang
berteriak, "Kawan-kawan! Kita bebas sekarang! Manusia-
manusia itu telah kembali ke kadipaten dengan membawa
buruannya! Sang Ketua memang cerdik! Manusia-manusia
bodoh itu telah membuat kekeliruan!!"
Hanya beberapa orang saja yang kemudian berdiri dan
menyahuti kata-kata itu dengan sorak keras. Selebihnya
hanya terdiam sesaat.
Andika mendesah sambil menepuk keningnya.
"Aku tahu sekarang. Aku tahu. Pantas, aku tidak melihat
penjagaan ketat yang dilakukan oleh para gerombolan itu."
Ayu menoleh tak mengerti. "Maksud Kang Andika
bagaimana?"
"Rupanya, penyerangan yang dilakukan oleh para
prajurit kadipetan bocor."
"Aku tak mengerti."
"Dengar baik-baik, Ayu.... Mayat-mayat yang diseret
kuda oleh para prajurit Kadipaten Karang Sutra, bukanlah
mayat para Serikat Baju Merah."
"Oh Tuhan! Maksud mu..."
"Ya! Rencana penyerangan ini rupanya bocor. Sehingga
para anggota Serikat Baju Merah masih sempat
menukarkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian
beberapa penduduk. Lalu mereka pun bersikap seperti
layaknya para penduduk desa itu dan tentunya memaksa
para penduduk yang sudah mengenakan pakaian yang
mereka kenakan sebelumnya berdiri tegak mengawasi
layaknya mereka sendiri. Para prajurit kadipaten sudah
tentu tak akan bisa mengenali siapa lawan dan yang mana
kawan. Yang mereka jadikan patokan sudah tentu pakaian
warna merah yang dikenakan oleh orang-orang yang
mereka cari itu."
"Licik sekaligus kejam!" Ayu menggeram.
"Mereka sangat pintar. Hanya saja, bagaimana rencana
penyerangan itu berhasil diketahui mereka?"
Tak ada yang menjawab. Di bawah, lima orang laki-laki
yang bertampang kejam, telah mengambil parang mereka
yang tadi disembunyikan di balik semak. Mereka
mengenakan lagi sabuk parang itu. Dan dengan geramnya,
menendang-nendang dengan makian yang keras pada para
penduduk yang memperhatikan mereka dengan tatapan
marah. Namun mereka tadi tak ada yang berani
mengatakan siapa orang-orang yang dihajar oleh pasukan
kadipaten, karena ancaman kematian sudah ditebarkan oleh
anggota Serikat Baju Merah sebelum mengganti pakaian
yang mereka kenakan dengan pakaian lima orang teman
mereka. Bahkan lima orang lagi dipaksa untuk mengenakan
pakaian yang sama yang baru diambil dari tempat yang
tersembunyi oleh yang berhidung besar.
"Kerja kalian! Teruskan kerja lagi!"
"Apakah kalian ingin mampus, hah"!"
Hiruk-pikuk kembali mewarnai tempat itu. Sampai tiba-
tiba terdengar bentakan keras, "Bodoh kalian semua! Di
mana yang lainnya, hah"!"
Andika dan Ayu melihat seorang laki-laki tinggi besar
yang berdiri di wuwungan sebuah rumah. Mereka melihat
kelima orang yang tadi membentak-bentak para penduduk
langsung jatuhkan diri dengan sikap hormat.
"Cari kelima manusia itu! Mereka pantas dihukum
karena pergi tanpa memberi kabar!! Kalian harus
berkumpul besok sore! Karena, seorang kambratku, bila
tidak ada halangan yang terlalu mengganggu, akan tiba di
sini besok sore!"
Sehabis berkata begitu, orang yang berteriak keras yang
tak lain adalah Singgih Murka, mendadak saja menghilang.
Kelima orang yang diperintah itu berdiri kembali. Mereka
berpandangan, seolah baru menyadari kalau lima orang
anggota mereka lainnya, tidak ada di tempat.
Salah seorang berteriak, "Cari mereka sampai dapat!!
Jangan-jangan mereka teler di rumah para janda!"
Empat orang pun berkelebat cepat.
"Untungnya, kedua orangtuaku telah kita pindahkah,
Kang Andika," Kata Ayu, kali ini disertai dengan tatapan
kagum atas kecerdikan Andika. Andika pula yang bisa
menebak kalau keadaan justru berbalik dari yang
diharapkan. Kenyataan para gerombolan itu menukarkan
pakaian mereka dengan pakaian para penduduk, sebuah
jalan keluar yang sangat licik namun cerdik.
"Siapa yang dimaksud oleh laki-laki tinggi besar itu?"
gumam Andika. "Kupikir, desa ini memang akan dijadikan
sebuah tempat untuk bermukim, atau merencanakan sebuah
kejahatan. Apa yang hendak mereka lakukan sebenarnya?"
Kali ini Ayu tak banyak bertanya. Ia hanya
mendengarkan saja kata-kata Andika yang sebenarnya lebih
banyak ditujukan pada diri Andika sendiri.
"Ayu... sebaiknya, kita tunda keinginan kita untuk
menghancurkan manusia-manusia
dajal ini untuk sementara. Aku ingin mengetahui siapa kawan manusia
durjana itu yang akan datang ke sini dan apa yang sedang
direncanakan mereka."
Ayu hanya menganggukkan kepalanya, padahal ia sudah
tidak sabar untuk menurunkan tangan pada manusia-
manusia itu. Andika bertanya, "Kenalkah kau dengan seorang bocah
yang bernama Walet, Ayu?"
"Walet" Tidak. Namanya saja baru kudengar sekarang.
Mengapa, Kang Andika?"
"Tidak apa-apa. Sebaiknya, kita berjaga-jaga saja.
Hmmm... aku mempunyai sebuah rencana yang menarik
sambil menunggu kedatangan kambrat manusia keparat
itu." 0o-dw-ray-o0 5 Dua orang anggota Serikat Baju Merah yang mencari
lima temannya yang menghilang, bertemu di tengah desa.
Keduanya saling menggelengkan kepala. "Setan! Ke mana
mereka?" maki yang berambut panjang dan berhidung
besar. "Aku hanya tahu soal Gandul dari Marta," kata
kawannya yang bernama Jereng. "Mereka sedang menuju
ke rumah yang terletak di tepi desa sebelah yang istrinya
kita gilir waktu itu. Tetapi, ketika kudatangi rumah itu, tak
ada siapa pun di sana. Ku pikir Gandul dan Marta pasti
telah membunuhnya."
"Setan alas! Bagaimana dengan yang lain.
"Aku tidak tahu."
"Hhhh! Sebaiknya, kita menemui yang lainnya,
barangkali saja mereka sudah menemukan setan-setan itu!!"
"Sebaiknya, kalian berada di sini saja. Karena, ada yang
ingin kutanya kan," terdengar suara itu di belakang
keduanya yang seketika menoleh dan mengerutkan kening.
"Siapa kau?" bentak si hidung besar begitu melihat satu
sosok tubuh berbaju hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur yang tersampir di bahunya.
"Aku?" Orang yang baru muncul yang tak lain Andika
menunjuk dirinya sendiri. "0... kalau aku ya aku. Kalau
kalian sudah pasti monyet bukan?"
Wajah si hidung besar kelam seketika. Ia menggeram,
"Sialan! Kau hanya mencari mampus!"
"Wadaowww!" jerit Andika konyol. "Jangan... jangan
kau bunuh aku! Aku masih doyan makan ubi!"
Si hidung besar rupanya memiliki sifat pemarah. Ia
langsung menarik parangnya dengan geram.
Sraaat! "Kapan kau terakhir makan ubi?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap
konyol. "Kapan ya" Aku tak ingat lagi."
"Kau tak akan pernah ingat lagi!" maki si hidung besar
sambil menyerang dengan parangnya. Si Jereng pun tak
mau ketinggalan. Ia pun menyerang dengan ganas pula.
Dua buah parang menderu mengeluarkan angin dahsyat.
Menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Tetapi, yang mereka hadapi bukanlah begundal banyak
omong. melainkan Pendekar Slebor yang disegani oleh
orang-orang rimba persilatan.
Hanya dalam dua gebrakan saja, Andika sudah merebut
parang dari kedua lawannya. Lalu seperti mematahkan
sebuah ranting, dua parang itu dipatahkan sekaligus, hanya
dengan mempergunakan ibu jari dan telunjuk.
Kedua lawannya terperangah melihatnya.
"Siapa kau sebenarnya?" .,
"Lho, jadi bertanya nih" Namaku Andika... Julukanku
Pendekar Slebor!!"
Mendengar julukan itu disebutkan, keduanya tanpa sadar
mundur satu langkah. Mereka teringat akan kata-kata
Singgih Murka, tentang seorang pendekar muda yang
berjuluk Pendekar Slebor yang kemungkinan besar bisa
menggagalkan rencana yang telah dijalankan sebagian.
Meskipun Singgih Murka mengatakan Pendekar Slebor
tidak akan pernah tiba di desa ini, sungguh terkejut bukan
buatan keduanya menyadari kalau hal itu merupakan
kekeliruan besar.
Memang, karena langkah Pendekar Slebor begitu
panjang. "Setan keparat! Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar
Slebor! Menyerahlah untuk kami bawa ke kaki pimpinan!"
maki si hidung besar.
Andika terbahak-bahak sampai perutnya bergoncang.
"Enak benar ngomong! Nyali tikus yang kalian miliki masih
kalian coba samarkan dengan menunjukkan nyali serigala!


Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah tentu aku jadi ketakutan, nih!"
Keduanya saling pandang. Dan bersamaan dengan
teriakan yang keras. keduanya menerjang kembali. Sungguh
keduanya berotak bebal, tidak mengetahui siapa yang
mereka hadapi. Hanya dengan menggerakkan tubuh sekali
saja dan menggerakkan tangan dua kali, keduanya telah
kaku tertotok. Andika menjitak kepala keduanya yang melotot tetapi
tak bisa bergerak.
"Kalian diam-diam saja dulu. Biar urusan yang lainnya
kalian terpaksa tidak ikut."
"Manu...."
Tuk! "Nah, kubilang diam kan" Terpaksa aku harus menotok
urat leher kalian" Yuk, kita cari tempat yang aman!" Seperti
bersikap dengan temannya, Andika membopong keduanya
dan membawanya ke tempat persembunyian yang
ditemukannya. "Kalian diam-diam saja di sini! Pokoknya,
kalian aman. Cuma ya... terhadap ular berbisa yang akan
menggerogoti kalian aku tidak berjanji, ya?" selorohnya
sambil ngeloyor pergi.
Tak dihiraukan kedua lawannya yang tak berdaya itu
melotot sengit.
Andika melangkahkan kakinya lagi menuju Desa Sawo
Luwih. Sebenarnya, ia masih memikirkan kebenaran
kemungkinan jawaban atas pernyataan Walet.
Kalau memang yang diduganya itu benar berarti
memang ia harus selalu berada di dekat Ayu.
"Sial!" rutuk Andika tiba-tiba. "Ke mana sih si Bocah
Ajaib itu?"
Andika berhenti melangkah. Membetulkan letak kain
pusakanya yang agak miring. Gerakan yang dilakukannya
itu sebenarnya tidak perlu. Karena posisi kain pusakanya
seperti biasa terletak pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu
yang menarik perhatian pendekar pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu.
Sambil berlagak menyampirkan kembali kain pusakanya,
Andika mendesis dalam hati. "Hmmm... ada anak monyet
yang sejak tadi mengintip dari pohon tiga tombak dari
hadapanku ini. Siapa manusia itu" Biar kucari tahu siapa
dia." Setelah berpikir begitu, dengan santai Andika melanjutkan langkah lagi. Nalurinya yang tajam mengatakan kalau sosok tubuh yang bersembunyi di balik
pohon itu sedang memperhatikannya.
"Akan kukecoh dia."
Tiba-tiba saja Andika berkelebat cepat.
Wuss! Tubuhnya melompat ke kiri, masuk ke balik semak. Dari
semak yang setinggi dada manusia itu ia melihat sosok
berpakaian hitam-hitam dengan dada terbuka celingukan
memperhatikannya. Begitu, si pengintip melompat turun,
Andika berkelebat menjauh. Ia ingin membuktikan apakah
manusia itu memang sengaja memperhatikannya atau
tidak. Pada kenyataannya, laki-laki berbaju hitam itu memang
mengikutinya. Andika terus bergerak laksana kilat.
Gerakannya memang sangat terlatih.
Di sebuah tempat terbuka yang agak jauh dari Desa
Sawo Luwih, laki-laki tinggi besar berbaju hitam-hitam itu
berhenti. Ia celingukan dengan gertakan keras.
"Setan! Aku yakin pemuda itu Pendekar Slebor, sesuai
dengan ciri yang selama ini kudengar! Aku jadi teringat
tentang sahabatku si Dewa Api, yang tewas di tangan
pendekar urakan itu! Hhh! Keinginanku untuk mencari
gadis berbaju merah muda, bisa kutunda dulu untuk
menyelesaikan masalah Dewa Api!" Orang yang tak lain
Maharaja Langit Hitam menggeram. Ia mencari di
beberapa tempat, tetapi sosok Pendekar Slebor tidak
ditemukan. Lalu ia pun bermaksud untuk meninggalkan
tempat itu. Tetapi.... "Busyet! Jadi bangga nih dengan diriku sendiri! Kalau
aku bermain petak umpet, selama sebulan penuh pasti kau
tak bisa menemukanku, ya?" suara itu terdengar dari
sebatang pohon.
Maharaja Langit Hitam mendongak. Sejenak ia
melengak kaget melihat Pendekar Slebor sedang duduk di
sebuah dahan pohon dengan kedua kaki menjuntai.
"Setan alas! Manusia semacam kau sudah selayaknya
mati!" makinya dengan wajah tertarik ke dalam. Bibirnya
yang turun di bagian bawah nampak mengerikan dan
bergoyang-goyang saat ia memaki tadi.
Andika cuma nyengir saja. "Dugaanku benar ia memang
sengaja mengikutiku. Hhh! Siapa dia sebenarnya" Kalau
mendengar geramannya tadi ia pasti sahabat si Dewa Api.
Tetapi apakah ia orang yang ditunggu Singgih Murka" Hhh!
Tadi pun akan menyelidiki tentang Singgih Murka, tetapi
tak kuketahui di mana ia berada?" Setelah mendesis dalam
hati Andika berkata konyol, "Mati itu sih gampang kalau
memang ajal sudah tiba. Tetapi apa tidak sebaliknya, justru
kau yang akan mati?"
Kelam wajah Maharaja Langit Hitam. Ia membentak
dengan tangan menuding, "Kau harus membayar nyawa
sahabatku si Dewa Api, Pendekar Slebor!"
"Busyet, urusan ini jadi panjang, padahal aku harus
menemui Ayu," membatin Andika. Lalu, "O...Jadi kau ini
sahabatnya ya" Siapa sih kau ini?"
"Julukanku Maharaja Langit Hitam! Cepat kau bersujud
sebelum kucabut nyawamu!"
"Busyet! Hebat sekali gayamu itu, ya" seloroh Andika
kocak. "Sebenarnya, kau yang mau sujud, kan" Mau sujud
saja" Apa kau mau kukentuti?"
Maharaja Langit Hitam tak bisa menahan diri lagi.
Kegeramannya setelah mengingat Dewa Api mati di tangan
Pendekar Slebor, membuatnya segera mengibaskan tangan.
Wusss! Serangkum angin dingin menderu ke arah Andika yang
dengan sigapnya bersamaan tangan Maharaja Langit Hitam
bergerak, ia pun bergerak pula.
Serangan dahsyat itu meleset.
Akibatnya, bukan hanya dahan yang didudukinya saja
yang hancur, batang pohon bagian atas pun pecah dan
tumbang menimbulkan suara yang cukup keras.
Plok! Plok! Plok!
Andika bertepuk tangan. "Hebat, hebat sekali!"
Tetapi manusia dajal itu tak mau bertindak ayal.
Menyusul satu rangkaian serangan yang mengandung hawa
dingin luar biasa, menyerbu ke arah Andika. Pendekar
urakan yang siap untuk menghindari serangan itu menjadi
terkejut sendiri, ketika merasa sekujur tubuhnya bagai
membeku. "Busyet! Apa-apaan ini?" makinya kaget dan tak ada
jalan lain kecuali membanting tubuhnya sendiri menghindari serangan aneh itu.
Wusss! Serangan itu meleset kembali. Tetapi kaki kanan
Maharaja Langit Hitam sudah siap menjejak di dada
Andika. Siap bikin ambrol, tembus dan jantung Andika bisa
remuk seketika. Tetapi, rupanya di saat yang kritis itu,
dalam keadaan tubuh yang bagai membeku, Andika telah
mengalirkan sebagian hawa tenaga 'inti petir' hingga
tubuhnya menjadi normal kembali.
Bersamaan kaki Maharaja Langit Hitam menjejak, ia
menendang keras.
Buk! Benturan tenaga itu terjadi. Tubuh Maharaja Langit
Hitam bergetar, sementara Andika cepat berdiri meskipun
kakinya dirasakan sakit pula.
"Pukulannya mengingatkan aku pada Ratu Mesir yang
merasuki diri Nofret," pikir Andika sambil bersiaga. "Hanya
saja, pukulan yang dilakukan Maharaja Langit Hitam,
belum sedahsyat tenaga 'Inti Es' Ratu Mesir." (Untuk
mengetahui hal itu, silakan baca : "Warisan Ratu Mesir").
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam sudah dalam
keadaan sempurna kembali. Ia cukup digetarkan dengan
tenaga dalam yang dirasakan tadi. "Tak mustahil bila Dewa
Api bisa tewas di tangan Pendekar Slebor. Biar kucoba
sekali lagi!"
Dengan gerakan aneh, bagai melompat-lompat,
Maharaja Langit Hitam menyerang kembali. Andika
membalas dengan gempuran tak kalah hebat.
Tak terasa lima belas jurus sudah berlalu begitu cepat.
Tempat di mana mereka bertempur bagai diamuk puluhan
banteng liar. Mendadak satu ketika, setelah menyerang
namun gagal dengan kakinya, tubuh Maharaja Langit
Hitam berkelebat ke belakang, berdiri dalam jarak tiga
tombak. "Kau akan merasakan ilmu yang kumiliki ini, Pendekar
Siebor." Meskipun tahu lawan sedang kerakan ilmunya yang
paling hebat, Andika tetaplah Andika, yang memiliki sejuta
akal cerdik dan sifat urakan yang terkadang tidak
ketolongan. "Aku memang belum merasakan apa-apa, kok. Cuma
kayaknya seperti menghadapi anak kecil saja. Makanya dari
tadi aku belum memukul. Bukan tidak bisa, tetapi tidak
tega. Nah, ayo ucapkan terima kasihmu!"
Gusar bukan buatan Maharaja Langit Hitam. Ia
menggeram setinggi langit, membuncah keras bagai riak
yang meluncur dari dasar laut. Kedua tangannya menyilang
dahsyat. Gerakannya bagai tak beraturan, tetapi akibatnya,
Andika bisa merasakan perubahan udara di sekelilingnya.
Tiba-tiba bagai membengkak dalam dingin yang tinggi.
Andika lagi-lagi terkejut. Ia menambah aliran hawa
panas dalam tubuhnya. Maharaja Langit Hitam tak mau
membuang waktu lagi. ajian 'Menghampar Gunung Es'
sebuah jurus yang sangat dahsyat.
Tubuh Marahaja Langit Hitam berkelebat dengan
gerengan yang menjurus. Keras. Membahana. Sekaligus
mengerikan. Dingin berkebyar-kebyar.
Pendekar Slebor tak memapaki serangan itu. Ia coba
menjajaki kekuatan yang terpancar dari setiap serangan
Maharaja Langit Hitam.
Sambil menghindar ia mencoha menemukan titik lemah
dari ajian Maharaja Langit Hitam. Serangan susulan datang
kembali ke arahnya. Lebih ganas, lebih cepat dan lebih
mengerikan. Dingin bukan hanya berkebyar, tetapi juga
mendera tubuh Andika hingga gerakannya jadi sedikit
lambat. "Tak ubahnya dengan ajian 'Inti Es' milik Ratu Mesir!"
makinya keras. Tubuh Maharaja Langit Hitam bukan
hanya berkelebat, tetapi juga bergulingan sembari kirimkan
serangan. Begitu cepat, mengerikan sekaligus mematikan.
Des! Kaki kanan Andika terkena hantamannya. Andika
merasa aliran dingin begitu cepat naik ke sekujur tubuhnya
melalui kaki kanan.
"Kacau! Aku harus cepat memusnahkan tenaga celaka
ini kalau tidak ingin mati konyol!"
Tetapi terlambat, karena Maharaja Langit Hitam telah
menghantam tubuhnya empat kali. Tubuh Andika bukan
hanya terasa dingin, tetapi juga membeku. Dan ambruk tak
ubahnya batang kayu.
Maharajd Langit Hitam menghentikan serangannya Ia
meludah seraya berkata, "Tak perlu membunuhmu. Karena,
dalam waktu sepeminuman teh, kau akan mampus,
Pendekar Slebor. Dengan tubuh dan aliran darah yang
membeku! Hmm... sebaiknya, aku mendatangi Singgih
Murka sekarang. Ia pasti sedang menungguku!"
Tubuh Maharaja Langit Hitam pun menghilang dengan
membawa senyum puas karena berhasil membunuh
Pendekar Slebor.
Tamatkah riwayat Pendekar Slebor"
Tidak, karena satu sosok tubuh kecil muncul dari balik
pohon sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menoleh
pada Andika yang sedang bersemadi di balik rimbunnya
semak. Bocah itu tak lain adalah Walet, yang muncul di saat
keadaan menjadi kritis bagi Andika. Dengan ilmu batin
yang dimilikinya ia mengubah tubuh Andika menjadi
sebatang kayu, sekaligus membalikkan mata Maharaja
Langit Hitam yang begitu bangganya menghajar Andika
yang ternyata hanya sebatang kayu.
Dengan langkah pongah Walet mendekati Andika yang
sedang bersemadi.
"Kang Andika lengah!" katanya seperti seorang ayah
pada anaknya. "Seharusnya
Kang

Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika bisa mengalahkan manusia jelek itu!"
Andika cuma tersenyum. "Aku berhutang budi padamu."
"Tidak ada Budi! Yang ada Walet!"
Kaki Tiga Menjangan 11 Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar Pedang Medali Naga 20
^