Pencarian

Malaikat Bukit Pasir 3

Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Bagian 3


Imas menghentakkan tangannya ke tanah dengan
wajah memerah. Tetapi, entah mengapa ia justru senang
ketika menyadari hal itu. Hanya saja, sudah tentu tak
diperlihatkannya. Lalu dengan bersungut-sungut Imas
merebahkan tubuhnya kembali.
"Brengsek! Kau jahat!"
"Tidak apa-apa. Kau beruntung lho, aku yang melihat
tubuhmu!" Imas melotot, lalu sejurus kemudian ia menghujani
Andika dengan cubitannya.
"Bandel! Urakan! Brengsek!"
Andika hanya terkekeh kegelian, sementara gadis itu
terus mencubiti sekujur tubuhnya.
Tinggal suara cekikikan saja yang terdengar.
*** 10 Dua sosok tubuh itu berhenti di sebuah tempat yang
lapang. Keduanya adalah Grido Kencono dan Jalak Codet
Merah yang masih mencari Pendekar Slebor. Lenyapnya
Malaikat Bukit Pasir masih diyakini oleh keduanya kalau
semua ini berhubungan dengan Pendekar Slebor.
"Akan kupatah-patahkan seluruh tulangnya bila
kudapati Pendekar Slebor!" geram Grido Kencono dengan
wajah memerah. Terutama bila mengingat bagaimana
empat orang anak buahnya mati mendadak tanpa
diketahui siapa yang menyerangnya. "Manusia bangsat itu
pun harus mampus, siapa pun dia adanya!"
Tiba-tiba saja hawa panas menderu ke arah mereka
yang serentak bergulingan dan bersamaan datangnya
hawa panas itu satu sosok berwajah menyeramkan telah
berdiri di hadapan keduanya.
Jalak Codet Merah bersiaga, sementara Grido Kencono
langsung menjatuhkan tubuhnya mengetahui siapa yang
datang. "Guru!"
"Aku yakin, kau belum menemukan keparat itu!" suara
Datuk Pincang Gunung Neraka mengerikan sekali. Dari
napasnya hawa yang panas menguar. Jalak Codet Merah
sendiri membuyarkan sikap waspadanya mengetahui kalau
guru dari Grido Kencono yang datang.
"Maafkan saya, Guru."
"Kau tak akan pernah menemuinya, Grido."
"Mengapa, Guru" Apakah Guru sudah membikinnya
mampus?" Datuk Pincang Gunung Neraka mengeluarkan suara
dingin. "Tidak! Tetapi sebentar lagi ia akan mampus!"
"Ia sendiri sudah akan mampus Guru, bila Pendekar
Slebor tak menyelamatkannya."
Datuk Pincang terbahak-bahak. "Meskipun kau sudah
menceritakan bagaimana terlukanya Malaikat Bukit Pasir,
tetapi tetap saja aku tak bisa mempercayainya."
Grido Kencono terbelalak, matanya seperti melompat
keluar, suaranya bagai tercekik, "Guru!"
"Tak mudah untuk menaklukkan Malaikat Bukit Pasir.
Menghadapi Pendekar Slebor saja kau tak mampu. Aku
yakin, kesaktian yang dimiliki oleh Malaikat Bukit Pasir
berada di atas Pendekar Slebor."
"Tetapi, Guru... aku melihatnya sendiri bagaimana ia
sudah kepayahan menghadapi gempuran-gempuranku.
Hhh! Kalau saja tak ada Pendekar Slebor...."
"Tidak, ia pasti mempunyai rencana lain dengan sikap
mengalahnya itu!" potong Datuk Pincang Gunung Neraka.
"Hanya aku yang mengetahui kelemahannya, begitu pula
dengannya. Hanya ia yang mengetahui kelemahanku. Itu
sebabnya, aku meninggalkan Gunung Neraka untuk
mencarinya, karena aku yakin.... Malaikat Bukit Pasir
sengaja mengalah ketika kau dan teman-temanmu
menggempurnya. Hanya satu jawaban yang bisa
kudapatkan, ia menginginkan aku keluar dari Gunung
Neraka. Dan sekarang, aku sudah keluar untuk
mendapatkannya."
Sadarlah Grido Kencono sekarang, kalau ternyata
Malaikat Bukit Pasir hanya berlagak mengalah. Tetapi, ia
jelas-jelas melihat Malaikat Bukit Pasir dalam keadaan
luka dilarikan oleh Pendekar Slebor.
Hal ini semakin membuatnya geram.
"Kalau begitu, di manakah saat ini ia berada, Guru?"
Datuk Pincang Gunung Neraka menggelengkan
kepalanya. "Aku akan membuktikan ucapanku ini! Tugasmu itu
kuambil alih sekarang. Ilmu yang sedang kupelajari tuntas
sudah. Tugasmu, membunuh Pendekar Slebor!"
Wuuuttt! Seperti datangnya yang menebarkan hawa panas,
menghilangnya Datuk Pincang Gunung Neraka pun
mengeluarkan hawa yang tak kalah panasnya. Tinggal
Grido Kencono yang terdiam. Pikiran-pikiran aneh
berkecamuk di benaknya.
Wajahnya mengeras menahan gejolak tak menentu di
dadanya. Tidak, Guru pasti salah menduga. Sudah jelas kalau
Malaikat Bukit Pasir akan mampus, katanya geram dalam
hati. Hhh! Kalau memang yang dikatakannya benar, sudah
bisa dipastikan hanya Pendekar Slebor yang mampu
menolongnya! Dan ia pula yang telah menyembunyikannya.
Sementara Jalak Codet Merah yang sejak tadi terdiam
berkata, "Bukan aku mengecilkan kemampuanmu, Kawan
Grido. Tetapi, ucapan gurumu itu patut kita pikirkan."
Grido Kencono takbersuara. Ia tak bisa menerima
kenyataan kalau memang ternyata Malaikat Bukit Pasir
hanya berlagak mengalah. Tidak mungkin hal itu terjadi.
Sudah jelas Malaikat Bukit Pasir akan mampus terkena
ajiannya yang hebat.
Kalau memang begini, dendam pribadi dan den?dam
kedua oraugtuanya belum tuntas. Meskipun de-mikian,
Grido Kencono masih meragukan kemungkinan Malaikat
Bukit Pasir mengalah.
Ia lalu berkata pada Jalak Codet Merah, "Kita harus
secepatnya untuk menemukan Pendekar Slebor! Satu-
satunya orang yang tahu tentang Malaikat Bukit Pasir,
hanya dia! Hhh! Akan kupatah-patahkan tulang pendekar
keparat itu!"
Wuuut! Wuuuuttt! Dua tubuh itu pun berkelebat dengan cepatnya.
Rumah kayu yang condong ke belakang itu diselimuti
kegelapan. Berada di tempat yang terlindung dari sinar
matahari, dan berada di balik rimbunnya semak-semak.
Meskipun saat ini baru memasuki rembang petang, namun
kengerian di tempat itu tak ubahnya bagai malam belaka.
Satu sosok tubuh berkelebat masuk ke sana. Begitu
masuk, ia langsung bersila dan bersemadi, mengatur
pernapasannya dengan baik. Gerakannya sangat lincah
luar biasa. Setelah beberapa saat, terdengar desahannya
yang cukup panjang.
"Hhh! Datuk Pincang Gunung Neraka sudah muncul
sekarang. Ini memang yang aku tunggu, karena dialah
pangkal dari semua petaka yang terjadi dua puluh tahun
yang lalu," desisnya. "Orang-orang seperti Sepasang Iblis
dan keturunannya itu memang harus dimusnahkan dari
muka bumi. Juga manusia-manusia sesat lainnya yang
masih mendendam kepadaku. Ini memang tak boleh
dibiarkan. Dan masalah Imas, nampaknya aku sudah aman
sekarang. Biarlah ia bersama Pendekar Slebor.
Kelihatannya pemuda itu memang berhati suci. Tetapi, aku
mencium gelagat yang tak menguntungkan bagi Imas.
Jelas sekali Imas mencintai pemuda itu, namun
kebalikannya" Ah, sangat sulit diharapkan."
Orang itu mendesah sekali lagi. Dan tiba-tiba saja
kepalanya menegak. Sepasang matanya yang buta tertuju
pada lain tempat, namun telinganya yang tajam mengarah
pada sasaran yang mengganggu pendengarannya.
Tiba-tiba saja, bagaikan tersentak ia melompat keluar
dari rumah kayunya, bagaikan seekor walet yang memiliki
gerakan yang cepat bersalto dengan lincah.
Wrrr! Rumah kayu itu seketika hangus dimakah api yang
besar. Puing-puing berderakkan. Suara gemericik api
sangat mengerikan. Kalau saja orang itu tidak siaga, sudah
pasti ia akan menjadi manusia panggang. Seketika tempat
itu jadi terang benderang.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara halus
di kejauhan. "Datuk Pincang Gunung Neraka!" dengusnya.
"Aku tidak perlu menghadapinya lebih dulu. Di tempat yang
penuh dengan pepohonan ini, justru sangat sulit bagiku
menghindari setiap sambaran apinya. Karena, ruang
gerakku bisa terkurung oleh api-api setannya. Lebih baik
aku pergi saja dulu!"
Wuuuttt! Orang itu pun berkelebat cepat, laksana hantu belaka.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Neraka yang
tadi melepaskan apinya berteriak keras, "Orang tua
pengecut! Jangan hanya jadi kambing congek saja kau di
rumah kayu yang sudah terbakar hangus! Kau bisa menipu
murid-muridku dengan melemahkan dirimu dan berlagak
mengalah, tetapi... kau tak akan bisa menipu diriku! Keluar
kau, Monyet Keparat!"
Tak ada sahutan apa-apa, kecuali bangunan kayu itu
yang runtuh berderak.
Datuk Pincang Gunung Neraka kelebatkan tubuh cepat
ke arah bangunan kayu itu. Saat melewati api yang
menyala itu ia mengibaskan kaki kanan dan kirinya.
Wuusss! Wrrr! Serangkum angin laksana topan menderu ke arah api
itu. Bukan hanya segera memadamkan, melainkan juga
membuat puing-puingnya yang hangus beterbangan.
Lalu dengan gusarnya lelaki pincang itu mengobrak-
abrik tempat itu. Setelah beberapa saat ia mendengus,
"Setan alas! Aku yakin, manusia itu pasti tadi berada di
sini! Aku masih mencium baunya! Kau tak akan bisa
melarikan diri Malaikat Bukit Pasir keparat!"
Lalu dengan penuh kegeraman, Datuk Pincang Gunung
Neraka berkelebat meninggalkan tempat itu.
*** Setelah lima kali penanakan nasi, di tempat itu
Pendekar Slebor dan Imas tiba. Keduanya mengerutkan
kening ketika melihat kayu-kayu yang sudah menjadi arang
dan debu hitam.
"Ada kebakaran rupanya," desis Imas. "Apakah ada
yang mati, Kang Andika?"
'Tidak," sahut Andika yang tadi melihat-lihat. "Tetapi,
bagaimana cara munculnya api ini?" tanyanya tiba-tiba
bagaikan bergumam.
Imas jadi tertarik mendengarnya.
"Maksud Kakang?"
"Tak ada kompor di sini. Maksudku, alat memasak. Tak
ada bekas panggangan apa pun di sini. Lalu, bagaimana
api itu bisa muncul?"
"Jadi, ada yang membakar tempat ini?"
"Kemungkinannya begitu. Bisa jadi pemiliknya yang tak
ingin tempat ini diketahui orang lain. Bisa jadi pula orang
lain yang membakarnya. Imas, kupikir lebih baik kita
segera tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin... awwwaaasss!"
Andika berkelebat cepat menubruk tubuh Imas hingga
keduanya bergulingan.
Angin besar yang datang tiba-tiba itu menderu kencang
menerbangkan sisa puing-puing yang terbakar!
Andika yang sudah berdiri kembali dengan sigap
segera bersiaga penuh. Matanya yang setajam elang
mengedar, memperhatikan segala sesuatunya. Malam
mulai merambat perlahan, menambah ketegangan.
Begitu pula dengan Imas. Ia bisa membayangkan,
kalau saja Andika tidak sigap, sudah tentu tubuh keduanya
akan terlempar jauh, bergulingan muntah darah, pingsan,
atau juga bisa langsung mati.
"Manusia hina! Siapa kau, hah?" bentak Imas sambil
meloloskan pedangnya. Hatinya benar-benar kesal
menerima bokongan seperti itu.
Tak ada sahutan apa pun juga. Bahkan setelah
menunggu beberapa saat, tak ada serangan maut
mendadak seperti tadi. Andika menyuruh Imas untuk
bersiaga di sana, sementara ia berkelebat untuk me-
meriksa beberapa tempat.
Namun ia tak menjumpai siapa pun juga. "Siapa
sebenarnya orang itu" Kalau ia bermaksud jahat, sudah
bisa dipastikan akan sangat mudah untuk melakukannya.
Ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkannya, tak akan
mudah dimiliki oleh orang sembarangan. Serangannya juga
mengandung kekuatan yang hebat luar biasa. Aku jadi
penasaran."
Setelah menunggu dan memperhatikan beberapa saat,
dan tak terjadi apa pun juga, Andika segera kembali ke
tempat Imas. "Bagaimana, Kakang?"
"Nihil! Aku tak menemukan siapa-siapa. Bahkan,
gerakannya pun aku tak bisa menebak. Hanya saja,
serangan tadi datang dari arah pohon besar itu. Orang yang
menyerang kita, pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi."
Keduanya tetap bersiaga penuh. Tiba-tiba Andika
melompat cepat ketika matanya yang setajam elang
menangkap kelebatan satu sosok tubuh yang bergerak
bagai setan. "Tunggu! Siapa kau sebenarnya"!"
Namun seperti halnya tadi, ia tak menemukan siapa
pun juga. Bahkan lagi-lagi ia heran karena gerakan orang
itu sama sekali tak tertangkap oleh pendengarannya.
"Siapa dia, Kakang?" terdengar suara Imas, rupanya ia
menyusul. Andika menggelengkan kepalanya dengan kening


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerut. "Aku tidak tahu. Hanya saja, apakah orang itu yang
telah menolong gurumu?"
"Oh!"
"Sayang, nampaknya ia tak ingin kita mengetahui siapa
dirinya. Bila memang yang kuduga barusan itu benar, aku
ingin sekali tahu apa yang dialami oleh gurumu saat ini."
Imas juga memiliki perasaan yang sama dengan
Andika. Tetapi mau bagaimana lagi, karena orang itu
benar-benar bagaikan setan yang bisa datang dan lenyap
laksana kilat. Andika menoleh dengan kening berkerut ketika Imas
berkata pelan, "Tetapi, mengapa ia menyerang kita tadi,
Kakang?" *** 11 Malam terus merambat perlahan. Kekuatan dan
hukum alam memang tak satu pun manusia yang mampu
mengalahkannya. Kebesaran dan kedahsyatan kekuatan
milik Yang Maha Kuasa tak akan pernah ada yang
menandingi. Pendekar Slebor dan Imas yang sudah mening-galkan
tempat di mana mereka menemukan gubuk terbakar,
menghentikan larinya di sebuah tempat agak terbuka.
"Mengapa kita berhehti di sini, Kang?" tanya Imas.
Bukannya menjawab, Andika justru mengedarkan
pandangannya. Imas bisa mengerti mengapa Andika tunjukkan sikap
demikian. Mungkin Andika mencium gelagat yang tidak
menguntungkan. Belum lagi ia berkata apa-apa, tiba-tiba
Andika sudah meraih tubuhnya, bersalto dua kali dan
hinggap di tanah dengan posisi siaga.
Angin yang berdesir kencang itu menghantam ke tanah
di mana keduanya berpijak tadi. Duaaar!
Seketika tanah yang mereka pijak tadi membentuk
sebuah lubang yang cukup besar.
Wajah cantik itu menjadi pias. Lagi-lagi ia
diselamatkan oleh Andika. Dan kedua matanya seakan
keluar dari tempatnya ketika melihat dua sosok tubuh
telah berdiri di hadapan mereka dengan wajah garang.
"Anjing-anjing geladak! Mampuslah kau! Heaaa!" Imas
sudah menerjang denganmengibaskan pedangnya dengan
cepat. Gadis panasan itu memang tak pernah membiarkan
dirinya dihina, apalagi dihantam dengan cara pengecut
seperti itu. Jalak Codet Merah segera mengempos tubuhnya untuk
mengimbangi serangan Imas.
"Gadis ini bisa jinak di tanganku, Kawan Grido! Aku
yakin ia ingin menjadi kawan hidupku! Kau lihat sendiri, ia
menyerang atau ingin memelukku!" serunya dan mencoba
menerjang dengan mematahkan serangan Imas melalui
cecaran pada kedua kaki Imas.
Namun Jalak Codet Merah kecele, karena pedang di
tangan Imas bagaikan memiliki mata. Dan sekejap saja
pedang di tangan gadis yang sedang marah itu sudah
mengurung Jalak Codet Merah yang mendadak menjadi
pias, karena ia tak menyangka kalau gadis itu memiliki
ilmu pedang yang tinggi. Kini yang nampak hanyalah
kilatan-kilatan pedang di tangan Imas, dan sosok seperti
bayangan berwarna merah yang berkelebat sambil
mendengus dan mengeluarkan suara bagaikan tertekan.
Jalak Codet Merah sebisanya meloloskan diri dengan
membalas menggempur dengan jurus 'Si Merah Tebarkan
Darah'. Namun Imas yang telah memadukan jurus pedang
'Sambar Langit Tumbangkan Bumi' dengan jurus tangan
kosong tangan kirinya 'Kibasan Ular Sanca', membuat Jalak
Codet Merah tercekat dengan wajah tertarik ke belakang.
Namun Jalak Codet Merah masih terus berusaha
melakukannya. Tiba-tiba saja ia menggerakkan kepalanya.
Puluhan rambutnya bagaikan copot dan mendesing ke
arah Imas tak ubahnya jarum-jarum berbisa. Imas
mendengus sambil memutar pedangnya.
Rambut-rambut yang mendesing itu bukannya putus,
melainkan justru terpental dan menimbulkan suara.
Ting! Tang! Tring!
Melihat lawan nampak sedang sibuk mematahkan
serangan rambutnya, Jalak Codet Merah menderu kembali
sambil mengibaskan rambutnya kembali. Kali ini berjumlah
dua kali lipat. Imas benar-benar mendengus hebat dan
menggerakkan pedangnya tak ubahnya baling-baling,
menimbulkan suara yang keras.
"Keparat! Ini tak boleh dibiarkan terus menerus!"
dengus Imas dalam hati. Dan dengan satu gerakan yang
benar-benar aneh, sambil memutar pedangnya bagaikan
baling-baling, Imas melompat ke depan, melewati puluhan
rambut yang siap mencabut nyawanya. Dan....
Seeettt! Pedang itu kembali mengibas ke arah Jalak Codet
Merah. Kali ini yang menjadi sasaran Imas adalah rambut
manusia codet berkalung taring serigala itu. Hanya tiga kali
menggerakkan pedangnya, rambut di kepala Jalak Codet
Merah seluruhnya telah lenyap. Saat itulah Imas menderu
lagi untuk menghabisi Jalak Codet Merah yang berkali-kali
darahnya seakan membeku dengan wajah memerah pasi.
Melihat Jalak Codet Merah benar-benar sudah mati
kutu, Grido Kencono yang sejak tadi memperhatikan,
mencoba untuk memotong serangan Imas. Namun ia harus
mendengus ketika tangannya dipapaki oleh Pendekar
Slebor yang sejak tadi memang sudah menunggu. Andika
akan bergerak bila Grido Kencono turun tangan. Karena
sampai sejauh ini dilihatnya Imas masih mampu
mengimbangi serangan dari Jalak Codet Merah. Inilah saat
yang tepat. Duk!
"Keparat!" maki Grido Kencono sambil melompat ke
belakang. Tangannya dirasakan nyeri sekali.
"Wah, marah ya?" ledek Andika, padahal hatinya
marah bukan main.
Grido Kencono perdengarkan dengusan dingin. "Kau
akan mampus, Pendekar Slebor!"
Dua pertarungan yang sangat dahsyat, yang tak
ubahnya bagaikan puluhan gajah liar mengamuk, benar-
benar terjadi di tempat itu. Saling desak dan serang diiringi
dengan teriakan yang keras kerap terjadi. Imas sendiri saat
ini benar-benar berhasil mengurung Jalak Codet Merah
dengan jurus-jurus pedangnya yang sangat ampuh. Dalam
tiga jurus berikutnya, tubuh Jalak Codet Merah sudah
penuh dengan luka-luka. Bahkan menyambar putus tangan
kiri Jalak Codet Merah. Disusul dengan satu tendangan
memutar yang membuat Jalak Codet Merah bergulingan ke
belakang. Raungannya begitu keras sekali. Namun lelaki
itu masih mampu menggerakkan kakinya untuk
menendang dada Imas hingga gadis itu terguling ke
belakang. Sakitnya tak terkira. Tulang iganya bagai terasa
patah. Imas menggeram. Sambil menahan sakit ia menyerang
lagi. Jalak Codet Merah yang sedang berusaha untuk
bangkit merasa bulu kuduknya meremang. Menyadari ia
tak akan mampu menghadapi gadis ini, sifat pengecutnya
timbul. Menghadapi gadis ini saja ia sudah tunggang-
langgang dibuatnya, apalagi menghadapi Pendekar Slebor.
Dan sebelum gadis itu mengibaskan pedangnya, ia
bergulingan bagai menyongsong serangan Imas.
Gerak semacam itu justru mengejutkan Imas. Namun
ia tetap menggerakkan tangannya sambil melompat. Tubuh
Jalak Codet Merah lolos dari terkamannya dan tiba-tiba
saja tubuh manusia bercodet itu lenyap. Ia merasa lebih
baik menghindar dulu untuk sementara, karena dalam
keadaan seperti ini jangankan untuk membunuh Pendekar
Slebor, mengalahkan gadis itu saja ia belum tentu mampu.
Dan Jalak Codet Merah berjanji, suatu saat ia akan
menuntaskan dendamnya pada Pendekar Slebor atas
kematian Jalak Mata Merah.
Imas mendengus menyadari serangan itu hanya
pancingan belaka. Ketika ia mencoba mengejar, tubuh
Jalak Codet Merah sudah hilang dari pandangan.
Dengan geram ia menoleh dan melihat pertarungan
antara Pendekar Slebor dengan Grido Kencono yang terus
berjalan dengan serunya. Andika cukup terkejut menyadari
kalau lawan menjadi lebih tinggi ilmunya dari pertarungan
pertama tempo hari.
Mendadak Andika melihat lawan membuang tubuh ke
kiri, bukan menghindari serangan dari Andika. Melainkan
memang sengaja dilakukannya. Andika semula menyangka
lawan melakukan itu hanya untuk mengatur napas,
padahal lelaki berkumis lebat itu tengah mempersiapkan
diri dengan ajian 'Rembulan Matahari'.
Ketika ia mengatupkan kedua tangannya, terdengar
suara bagaikan membelah bumi. Sangat keras sekali
dengan kekuatan dahsyat. Daun-daun seketika rontok dari
pangkalnya. Satwa hutan yang sejak pertarungan itu
dimulai merasa lebih aman berada di kediamannya,
berlarian pontang-panting dengan suara-suara aneh yang
ramai. Andika tercekat mendengar suara yang mengerikan
itu. Begitu pula dengan Imas yang kini telah berkelebat ke
sisi Andika dengan tatapan marah. Bila saja keduanya tak
memiliki tenaga dalam yang tinggi, bisa dipastikan
keduanya akan mengalirkan darah.
Tiba-tiba Grido Kencono menepuk kedua tangannya.
Satu serangan aneh yang datang menderu bagaikan
gunung yang dihempaskan, meluncur ke arah Imas.
Suaranya lebih dahsyat dari guntur, menggebubu dengan
hempasan sinar hitam menggidikkan bagai menyala.
Andika sadar kalau jurus yang dilepaskan oleh Grido
Kencono adalah jurus yang sangat dahsyat. Sambil
berkelebat menarik tangan Imas dan membawanya
bergulingan, ia berseru, "Tinggalkan tempat ini, Imas!
Cepat!" Bummm! Lima buah pohon besar yang berada di belakang
mereka tadi, meledak dan seketika menjadi serpihan.
Grido Kencono terbahak-bahak melihat hasil serangannya.
Lalu dengan tawa yang semakin menggema, ia mengumbar
serangan ajian 'Rembulan Matahari'nya. Kali ini bukan
hanya Imas yang menjadi berlompatan menyelamatkan
diri, Andika sendiri dibuat tunggang-langgang. Sementara di
sekitar tempat itu sudah tak terhitung pohon besar yang
menjadi serpihan dan tanah yang membentuk lubang.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal yang
mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba bergerak,
setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu. Sekarang
yang terjadi, hanyalah dua sosok manusia yang terus
berlompatan bagaikan monyet terbakar ekornya.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?" maki
Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan cepat dan
aliran darah yang kacau. "Serangan yang dilakukan oleh
Grido Kencono mirip sekali dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Hanya bedanya lebih kejam dan mengerikan. Huh! Apakah
aku harus terus menerus melompat-lompat seperti monyet
liar begini!?"
Berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja Andika melompat
ke depan saat Grido Kencono tengah menghujaninya
dengan ajian 'Rembulan Matahari'. Bertepatan dengan
terdengarnya ledakan menuju ke arahnya, Andika
melepaskan kain bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Dengan mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas,
ia mengibaskannya ke arah datangnya serangan Grido
Kencono. Crrrppp! Sungguh keanehan terjadi, karena kain pusaka itu
seakan mampu menangkap lontaran serangan dari Grido
Kencono dan setelah menyadari hal itu, Andika
melepaskan nya ke arah Grido Kencono yang sudah
mengirimkan lagi serangan dahsyatnya.
Akibatnya serangan yang pertama dilepaskannya tadi,
berbenturan dengan serangan keduanya menimbulkan
ledakan yang bukan alang kepalang. Menyadari hal itu,
Andika tidak menurunkan serangannya. Justru ia melurup
maju sambil mengibaskan kain pusakanya, berputar dan
menimbulkan angin prahara.
Grido Kencono memekik ketika wajahnya terasa
bagaikan ditampar oleh ribuan tangan, padahal kain
pusaka itu masih berjarak satu tombak dengannya. Tetapi,
angin keras yang ditimbulkannya seakan telah menderu ke
wajahnya. Menyusul satu kibasan tangan keras di dadanya.
Tubuh Grido Kencono terpelanting keras di tanah.
Imas yang melihat kesempatan itu menukik dengan
suara keras dan siap menusukkan pedangnya ke dada
lawan. Namun itu adalah kesalahan. Karena, meskipun
sudah terdesak, Grido Kencono masih sempat
mengirimkan ajian 'Rembulan Matahari'nya yang dahsyat.
Bersamaan dengan itu, Andika yang melihat bahaya
mengancam Imas, bergulingan cepat. Kakinya menyepak
tubuh Imas yang masih melayang di udara hingga tubuh
gadis itu terhuyung ke belakang dengan deras. Detik itu
pula Andika membuang tubuhnya kembali.
Buummm! Serangan itu gagal mengenai sasarannya. Namun
kesempatan dimiliki oleh Grido Kencono kembali, karena
dengan cepat ia berdiri dan menghujani Andika dengan
serangan-serangan mematikan. Kali ini diiringi dengan
tubuhnya yang berkelebat ke sana kemari.
Suara ledakan terdengar beberapa kali. Andika benar-
benar sudah berada di ambang maut. Ia harus bergulingan
terus menerus. Matanya beberapa kali harus dipejamkan
karena tanah yang terhantam serangan Grido Kencono
berpentalan. Tubuh dan wajahnya sudah kotor terkena
debu yang banyak
Di saat seperti ini, memang sangat sulit sekali untuk


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas. Jangankan membalas, menyelamatkan diri saja
bukanlah hal yang mudah. Namun kekerasan dan
kebulatan hati Andika sudah terpatri sejak lama di dirinya.
Karena, mendadak saja ia melenting dan membuat
gerakan bagaikan menyongsong. Kalau tadi ia mengibaskan kain pusakanya ke arah serangan Grido
Kencono, kali ini ia melemparkannya.
Kain pusaka itu meluncur deras bagaikan meriam yang
melesat dari porosnya.
Wuuusss!" Lawannya tercekat, dan dengan cepat mengirimkan
kembali ajian 'Rembulan Matahari'.
Bagai dihempas oleh tangan raksasa kain pusaka itu
meluncur deras entah ke mana. Sementara Andika sudah
menyerbu cepat. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah terangkum
di kedua tangannya.
Grido Kencono yang terkejut melihat Andika sudah
melesat bagai anak panah, mencoba menghindar. Namun
ia kalah cepat.
Des! Bezzz! Dua kali tepat mengenai sasarannya. Satu meng-
hantam dadanya dan satu lagi menghantam wajah nya,
hingga tubuh tinggi besar itu terlontar ke belakang dengan
derasnya. Menabrak sebuah pohon besar yang langsung
ambruk. Grido Kencono mengerang kesakitan. Dadanya
bagaikan jebol. Sementara lima buah giginya langsung
tanggal. Andika menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
Tubuh lawannya masih tetap utuh meskipun di sana-sini
nampak menghangus. Itu terjadi karena Grido Kencono
sendiri sudah mengaliri tubuhnya dengan ajian 'Rembulan
Matahari'. Tetapi, ia tak mau memberi kesempatan lagi
pada Grido Kencono, segera menyerbu dengan teriakan
keras, "Heaaaa!"
Dalam sekali hajar, Grido Kencono yang sudah sulit
untuk menghindar bisa mampus seketika. Namun
mendadak saja Andika membuang tubuhnya ke belakang,
karena api panas yang menjilat-jilat menderu ke arahnya.
"Rupanya kau yang berjuluk Pendekar Slebor! Bagus,
kau harus mampus hari ini juga!" terdengar satu suara
yang dingin dan hawa panas yang menebar hebat
*** 12 Andika melompat ke belakang, ke sisi Imas dengan
wajah tegang. Keduanya melihat satu sosok tubuh
mengerikan dengan sepasang mata kelabu sedang
terbahak-bahak. Tawanya bukan tawa sembarangan,
melainkan menebarkan hawa panas yang menyengat.
Keringat tiba-tiba mengalir di sekujur tubuh Andika dan
Imas. Sesaat mereka bergetar. Sementara Grido Kencono
sedang bangkit dengan susah payah, dari mulutnya
terdengar suara, "Guru!"
"Hhh! Hanya menghadapi pemuda yang masih bau air
tetek ini kau tak mampu menaklukkannya!" dengus sosok
berpakaian hitam itu dingin. Mulutnya menyeringai
mengerikan. Andika mendengus mendengar sebutan Grido Kencono
pada laki-laki bertampang setan itu. "Aku harus berhati-
hati," gumamnya.
"Anak muda, kudengar kau memiliki ajian 'Guntur
Selaksa'! Ada hubungan apa kau dengan Eyang
Saptacakra, hah?" bentak sosok mengerikan itu yang
memang tak lain Datuk Pincang Gunung Neraka. Suaranya
sangat keras sekali, hingga daun-daun ber-guguran.
Dasar urakan, Andika masih sempatnya mengejek,
"Wah, kau takut ya" Kalau kau takut, kau bunuh diri saja!
Atau mogok makan saja biar tubuhmu tak lebih dari seekor
cacing!" Imas meliriknya dengan tegang. Hampir ia tak bisa
mempercayai sikap Andika itu. Di saat petaka siap
menghampiri, pemuda itu masih bisa bersikap santai.
Bahkan kata-kata usilnya seakan tak lepas dari mulutnya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka memerah
"Pemuda keparat! Enteng banget bacotmu!" Lalu tiba-tiba
dengan kecepatan luar biasa, tangannya bergerak.
Beberapa larik sinar warna merah menggebubu diiringi
dengan suara bak air bah tumpah. Tempat itu jadi lebih
terang. Andika tercekat, ketika dirasakannya hawa panas yang
menyelingkupi dirinya. Ia coba bergulingan. Tetapi rupanya,
lima buah sinar merah bagaikan anak panah itu
membentuk satu pormasi yang sukar dipercaya. Karena
mendadak saja lima buah api itu mengarah pada Andika,
menusuk bagian dada, kepala, perut, tangan bahkan
kemaluan Andika.
Clep! Clep! Tangan kiri Andika tertusuk api bagaikan mata panah
itu. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
mengeluarkan teriakan kaget, panas yang menyengat
dirasakannya di tangan kirinya. Dan tubuhnya mencelat
dua tombak ke belakang.
"Astaga!" rutuk Andika sambil muntah darah. Entah
kenapa ia merasa tengkuknya mulai dingin, padahal panas
itu sangat menyiksanya.
"Hanya begini saja kehebatan Pendekar Slebor!"
Dalam kondisi yang bagaimanapun juga, Pendekar
Slebor tetaplah Pendekar Slebor. Sifat urakannya masih
ada, meskipun dirasakan detak jantungnya lebih cepat dan
aliran darahnya kacau. "Kau belum melihatnya sih" Baru
berhasil begitu saja sudah bangga! Aku sebenarnya
khawatir, kalau nanti sebelah kakimu akan kubuat pincang
lagi! Dan aku yakin kau akan berterima kasih kepadaku,
karena jalanmu jadi rata, kan?"
Datuk Pincang Gunung Neraka mengeluarkan suara
bagai kemaluannya dicatek ular. Tangannya bergerak
membabi-buta. Kembali beberapa larik sinar merah
menderu-deru, membuat Andika harus mengeluarkan
segenap kemampuannya untuk menghindari serangan itu.
Imas sendiri tak luput dari sasaran serangan yang
mengerikan. Tempat itu tak ubahnya bagai neraka.
Imas sendiri menjadi pias melihat serangan aneh itu.
Sesaat ia ingin menolong Andika, tetapi ia sadar kalau
maut pun akan segera menjemputnya pula.
Tiba-tiba matanya melihat kain pusaka milik Andika
tersangkut di dahan sebuah pohon. Setelah melihat
keampuhan kain bercorak catur itu yang berhasil menahan
serangan Grido Kencono, Imas segera mengempos
tubuhnya menyambar kain pusaka itu dan melemparkannya pada Andika.
"Kang Andika! Tangkap!"
Wuuuttt! Andika cepat berputar menyambar kain bercorak
caturnya yang dilempar oleh Imas, sembari menghindari
lurupan sinar merah sebesar mata panah dan dengan
gerakan menakjubkan membuang tubuhnya ke kiri. Begitu
menjejak tanah, langsung mengemposnya ke arah Datuk
Pincang Gunung Neraka, yang lagi-lagi melepaskan sinar-
sinar merah bagaikan mata anak panah. Kali ini jumlahnya
dua kali lipal dari yang pertama. Andika mengebutkan kain
pusakanya, hingga menimbulkan suara gemuruh yang
hebat. Namun lagi-lagi sinar merah itu mengurungnya,
sangat sulit dihalau oleh kain pusakanya.
Datuk Pincang Gunung Neraka perdengarkan tawanya.
"Kini kau mampuslah, Pendekar Slebor!" Tangannya
menepuk berkali-kali. Kalau tadi beberapa larik sinar
merah mematikan yang menderu-deru ke arah Andika, kali
ini kobaran api raksasa bergulung-gulung ke arah Andika
dengan cepatnya, menyambar ke sana kemari diiringi
suara yang dahsyat mengerikan, membuat Andika kembali
bergulingan cepat.
"Kau tak akan mampu menghadapi manusia keparat
itu, Pendekar Slebor, sebelum kau menemukan kunci mati
dari rahasia jurusnya!" terdengar satu suara bersamaan
berkelebatnya bayangan yang menepuk-nepuk api raksasa
itu dengan enaknya. Seketika api-api itu padam.
"Guru!" terdengar teriakan Imas keras.
*** Yang hadir di sana dan mematahkan serangan
mematikan dari Datuk Pincang Gunung Neraka pada
Andika, satu sosok tubuh berjubah putih. Ia tak lain adalah
Maiaikat Bukit Pasir.
Luar biasa! Bagaimana ceritanya tahu-tahu lelaki buta
yang dicari-cari oleh orang-orang yang mendendam
padanya bisa muncul" Sebenarnya, ketika menghadapi
Lima Iblis Kepala Kuning, Maiaikat Bukit Pasir dengan
sekali gebrak saja mampu menjatuhkan mereka. Tetapi
saat itu ia mengerti akan amarah yang ada di hati Grido
Kencono. Bahkan Malaikat Bukit Pasir ingin sekali
menyadarkan lelaki tinggi besar yang mendendam
padanya. Dan lawan yang dikehendaki sebenarnya adalah
Datuk Pincang Gunung Neraka.
Selama dua puluh lima tahun secara sembunyi-
sembunyi Maiaikat Bukit Pasir selalu meninggalkan Bukit
Pasir untuk mencari kediaman Datuk Pincang Gunung
Neraka. Karena, lelaki pincang itulah yang menjadi pangkal
petaka ini. Sepasang Iblis adalah murid Datuk Pincang
Gunung Neraka, dan Datuk Pincang Gunung Neraka yang
melarikan Grido Kencono sudah tentu mendidiknya dan
menanamkan dendam yang sangat pada diri Maiaikat
Bukit Pasir. Di saat Maiaikat Bukit Pasir memungut Imas menjadi
muridnya, tanpa sepengetahuan Imas ia masih mencari
jejak Datuk Pincang Gunung Neraka. Selama itu pula ia
gagal menemukannya, sampai Grido Kencono muncul.
Dan kesempatan itu dipergunakan untuk memancing
keluar Datuk Pincang Gunung Neraka.
Itulah sebabnya ia bagaikan tak mampu menghadapi
Lima Iblis Kepala Kuning, sampai kemudian muncul
Pendekar Slebor. Sandiwara yang dilakukannya pun
semakin baik. Karena ia diselamatkan oleh Pendekar
Slebor. Ketika dirasakan sudah cukup, di saat Pendekar
Slebor mencari buah-buahan ia pun menghilang. Namun ia
selalu memantau kejadian demi kejadian, sampai akhirnya
ia melihat Imas murid terkasihnya.
Malaikat Bukit Pasir yang menolong Pendekar Slebor
dari maut yang diturunkan oleh Grido Kencono saat dirinya
terjerat dari jala lentur. Ia pula yang menyerang Andika dan
Imas ketika keduanya berada di depan bangunan kayunya
yang habis dibakar oleh Datuk Pincang Gunung Neraka,
dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari tempat
itu. Karena menurutnya, keduanya tak ada sangkut paut
dengan masalah yang akan dihadapinya. Datuk Pincang
Gunung Neraka adalah bagiannya.
Dan ia memantau terus setiap kejadian demi kejadian,
sampai saat ini, dengan munculnya Datuk Pincang Gunung
Neraka. Terdengar suara terbahak-bahak Datuk Pincang
Gunung Neraka. Sementara Grido Kencono terbelalak
melihatnya. Kini sadarlah ia apa yang telah dikatakan
gurunya waktu itu. Tak mudah untuk mengalahkan
Malaikat Bukit Pasir. Terbukti sekarang ini, Malaikat Bukit
Pasir berdiri tegar dalam keadaan segar bugar.
Dari tawa yang keras taui, suara Datuk Pincang
Gunung Neraka merandek
"Budi dibalas budi. Darah dibayar darah. Nyawa
dituntaskan nyawa. Kematian muridku Sepasang Iblis tak
akan pernah kulupakan. Kini saatnya kau membayar
tuntas seluruh hutang nyawamu kepadanya!"
"Bila mencium bau busuk yang ada padamu, sudah
jelas kau adalah Datuk Pincang Gunung Neraka. Dendam
hanya membuat dosa. Dendam hanya menimbulkan
petaka. Namun, bila sudah berada dekat, mengapa harus
lari?" balas Malaikat Bukit Pasir.
Keadaan semakin bertambah tegang. Pendekar Slebor
mendesah pendek melihat Malaikat Bukit Pasir dalam
keadaan segar bugar. Imas yang hendak merangkul
gurunya tadi menjadi urung.
"Lari pun tak berguna. Tinggalkan nyawa lebih baik!"
balas Datuk Pincang Gunung Neraka dengan mata tak
berkesip. "Bermimpi di siang hari hanya selalu ada pada diri
orang bodoh. Kesombongan tinggi ada pada orang berjiwa
pengecut," sahut Malaikat Bukit Pasir tenang.
"Bangsat! Kalau dulu muridku membuat kau buta, kali
ini akan kubikin kau mampus! Heaaaa!"
Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu cepat ke
arah Malaikat Bukit Pasir yang masih berdiri sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Api-api yang dikeluarkan
oleh Datuk Pincang Gunung Neraka menderu hebat ke
arah lelaki berjubah putih yang buta itu yang masih belum
bergerak juga dari tempat-nya.
Ketika api-api itu sudah mendekat, tiba-tiba saja
Malaikat Bukit Pasir menghembuskan napasnya. Srrrttt!
Lima buah bola api itu mendadak saja berubah
menjadi bongkahan batu es ketika hembusan napas
Malaikat Bukit Pasir menerpanya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka memerah
melihatnya. "Oran buta kurang ajar! Lihat serangan!"
Tubuhnya berkelebat laksana setan. Tongkat di


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya bergerak menimbulkan angin yang menggebubu
besar. Bersamaan dengan itu, Malaikat Bukit Pasir pun
berkelebat pula. Tongkat di tangannya di gerakkan dengan
kecepatan luar biasa. Prak! Prak!
Dua buah tongkat yang dialiri oleh tenaga dalam yang
tinggi bertemu. Menimbulkan percikan api yang cukup
besar. Gebrakan demi gebrakan yang mengerikan
dilancarkan. Pertempuran dahsyat pun berkecamuk dengan
hebatnya. Saling gempur dan hindar yang manis namun
mengandung tenaga dahsyat. Dan yang terlihat kemudian,
hanyalah dua sosok tubuh yang satu kelebatan putih dan
yang satu kelebatan hitam di ringi dengan bentakan-
bentakan yang keras.
Sementara itu Grido Kencono kembali menyadari kalau
ketinggian ilmu Maiaikat Bukit Pasir yang jelas bukan
tandingannya. Ia menjadi malu sendiri, dan dari rasa
malunya ia menjadi marah. Tiba-tiba saja ia berteriak keras
sambil mengirimkan ajian' Rem?bulan Matahari' ke arah
Malaikat Bukit Pasir yang tengah mengimbangi desakan
hebat dari Datuk Pincang Gunung N&raka.
Melihat hal itu,Pendekar Slebor segera mengempos
tubuhnya seraya berseru, "Biarkan mereka menyelesaikan
urusan masa lalu! Kau hadapi aku!"
"Keparat!" sasaran serangan Grido Kencono berbalik
kepada Andika yang berkelit dengan mengirimkan pukulan
tenaga 'inti petir' yang digabungkan dengan ajian 'Guntur
Selaksa'. Sementara Imas hanya memperhatikan saja dengan
tegang. Ledakan demi ledakan terdengar sangat dahsyat
dan mengerikan. Tanah yang dipijaknya benar-benar
bergoyang sekarang.
Setelah dua jurus berikutnya lewat, Grido Kencono
yang memang sudah terluka dalam tadi, meluncur ke
belakang setelah terhantam pukulan Andika. Bukan hanya
sampai di sana saja Andika melancarkan serangannya. Ia
terus menderu dengan suara menggelegar keras. "Heaaa!"
Dalam keadaan kritis dengan luka dalam yang sangat
sakit, Grido Kencono berhasil menjatuhkan tubuhnya
sejajar dengan tanah. Bahkan kakinya masih sempat
dikibaskan. Des! Andika yang melayang di atasnya terjungkir terkena
hantaman tepat pada perutnya. Grido Kencono cepat
bangkit dan menerjang dengan teriakan yang keras,
"Mampuslah kau, Pendekar Keparat!"
Sebisanya Andika bergulingan menghindari serangan
Grido Kencono yang menghantam tanah di mana ia
tersungkur tadi. Tanah itu membentuk lubang seketika.
Bersamaan dengan itu pula Andika bagaikan
melompat menerjang. Grido Kencono tercekat. Gerakannya
sudah tidak selincah tadi karena luka dalam yang
dideritanya. Tak ayal lagi tubuhnya kembali terhantam jotosan
Andika yang keras. Tubuh itu terlempar ke belakang dan
ambruk setelah muntah darah.
Andika menarik napas panjang sambil mengusap
keringatnya. Ia menghampiri tubuh Grido Kencono. Setelah
ia yakin Grido Kencono hanya pingsan, segera ia
bersemadi untuk memulihkan tenaganya kembali.
Ketika ia membuka matanya, dilihatnya pertarungan
antara Malaikat Bukit Pasir yang memiliki kekuatan dingin
dengan Datuk Pincang Gunung Neraka yang memiliki
kekuatan panas semakin dahsyat saja. Serangan-serangan
aneh benar-benar nampak di matanya, Berkali-kali hampir
tiada putus-putusnya Datuk Pincang Gunung Neraka
menebarkan serangan-serangannya. Kali ini Malaikat Bukit
Pasir seakan tak mampu memunahkan serangan-serangan
itu, karena selalu mengarah pada mulutnya hingga ia tak
mampu meniup atau memusnahkan serangan Datuk
Pincang Gunung Neraka.
"Ha ha ha... sudah kukatakan, kau tak akan pernah
mampu mengalahkan aku!" sentak Datuk Pincang Gunung
Neraka dengan suara keras, dan hawa panas melingkar-
lingkar di seluruh tempat itu. Imas sudah hampir berteriak
kepanasan bila ia tidak cepat-cepat mengalirkan hawa
murninya. Malaikat Bukit Pasir mundur lima tindak. Ia mendesis,
"Sayangnya, kau hanya melihat sesaat."
"Anjing buduk! Manusia buta yang mencari mampus!"
geram Datuk Pincang Gunung Neraka dan bergerak lagi
secepat setan. Tongkat di tangan kanannya berputar. bagai
pusaran angin, sementara setiap kali tangan kirinya
bergerak, gulungan api kembali menderu dahsyat.
Malaikat Bukit Pasir benar-benar dibawah angin
sekarang. Ia berusaha menghalangi serbuan tongkat dari
Datuk Pincang Gunung Neraka.
Trak! Trak! Namun api yang mengeluarkan desingan dan sinar
dahsyat menyilaukan itu terus menggebubu. Andika yang
melihat keadaan genting dialami oleh Malaikat Bukit Pasir,
segera bergerak sambil mengebutkan kain pusakanya
dengan cepat. Api yang dilepaskan oleh Datuk Pincang
Gunung Neraka musnah seketika.
Sesaat Datuk Pincang Gunung Neraka menggeram.
"Kau hanya cari mampus!"
"Justru aku ingin melihat kau mampus!" maki Andika
yang mengalirkan tenaga 'inti petir' pada kain pusakanya.
Terdengar suara bagaikan ribuan tawon marah dan
kiblatan sinar-sinar yang menyilaukan.
Namun hanya sesaat serangan itu mampu dilakukan
Andika, selebjhnya, justru ia sendiri yang harus kalang
kabut dibuat oleh Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena,
dari mata lelaki pincang yang sedang murka itu melesat
api-api panas luar biasa. Itu adalah jujus andalan Datuk
Pincang Gunung Neraka, 'Sepasang Mata Api'.
Kepala Datuk Pincang Gunung Neraka bergoyang-
goyang. Larikan sinar merah yang panas tak putus-
putusnya arah Andika yang mengelak berkelebat cepat
kian kemari. Ke mana Pendekar Slebor berada, di sanalah
Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu.
"Iblis! Benar-benar iblis!" rutuk Andika mencoba pula
dengan mengibaskan kain pusakanya lagi. Namun
serangan itu semakin membabi-buta saja. Bahkan Imas
pun harus tunggang-langgang karena sesaat kemudian
justru ia yang menjadi sasaran serangan dari Datuk
Pincang Gunung Neraka. Pepohonan yang banyak tumbuh
di sana sudah terbakar, mengobarkan api yang besar.
"Ha ha ha... siapapun yang menghalangiku untuk
mencabut nyawa manusia buta itu, akan menjadi manusia
panggang!"
"Enaknya ngomong! Kenapa tidak kau kecilkan sih
apinya" Berapa pula setiap hari kau menelan kompor,
hah?" Ejekan yang dilakukan Andika di saat yang
membahayakan itu, membuat kemurkaan di hati Datuk
Pincang Gunung Neraka semakin memuncak. Serangannya
semakin berbahaya.
*** 13 "Andika! Apakah api-api itu keluar dari sepasang mata
busuknya?" terdengar suara Malaikat Bukit Pasir bagai
tertahan. Ia menelengkan telinganya untuk menangkap
desingan-desingan bertubi-tubi.
Masih berusaha menghindari serangan Datuk Pincang
Gunung Neraka, Andika berseru, "Kau benar, Ki! Api-api
sialan ini mencelat dari mata kelabunya!"
"'Sepasang Mata Api'! Rupanya, manusia itu sudah
berhasil menguasainya. Kalian lebih baik menyingkir!
Sangat sulit untuk menghadapi serangan 'Sepasang Mata
Api itu!" seru Malaikat Bukit Pasir sambil menggerakkan
kepalanya, lalu mengempos melayang dan mencoba
memusnahkan api-api itu. Tongkatnya diputar hingga
menimbulkan desingan yang sangat luar biasa. Angin yang
keluar dari sana bagai topan prahara. Namun ia sendiri
pun harus mengaduh keras ketika paha kirinya terkena
sambaran api, yang cepat dia padamkan.
"Sudah kukatakan tadi, kau akan mampus menyusul
kedua muridku!" dengus Datuk Pincang Gunung Neraka
dan kembali tak henti-hentinya menyerang ke arah lawan-
lawannya. Malaikat Bukit Pasir bergerak ke sana kemari dengan
cepat. Lalu mengibaskan tangannya, tiba-tiba saja di
depannya telah tercipta sebuah tembok yang terbuat dari
salju. Ketika api-api itu meluruk ke arah nya, langsung
punah ketika menghantam tembok salju itu.
Akan tetapi, di luar dugaannya, api-api yang melesat
dari sepasang mata Datuk Pincang Gunung Neraka terus
meluncur dahsyat. Membuat Malaikat Bukit Pasir harus
bergulingan menghindar. "Rupanya manusia keparat itu
memang sudah bersatu dengan Iblis Raja Api!"
Melihat hal itu, Datuk Pincang Gunung Neraka merasa
sudah berada di atas angin. Ia yakin dalam dua gebrakan
lagi, Malaikat Bukit Pasir akan menemui ajalnya.
Namun Pendekar Slebor tak membiarkan kesempatan
itu dimiliki oleh Datuk Pincang Gunung Neraka. Sambil
menggebah keras, ia meluruk masuk dengan bergulingan.
Kain pusakanya berhasil menghantam kedua kaki Datuk
Pincang Gunung Neraka d n segera membetotnya hingga
sempoyongan Saat itulah Andika menderu dengan
menghantamkan ajian 'Guntur Selaksa'!
"Jangan!" justru terdengar seruan Malaikat Bukit Pasir
bernada cemas dan menahan begitu merasakan hawa
panas yang luar biasa berkelebat ke arah Datuk Pincang
Gunung Neraka. Terlambat, karena ajian 'Guntur Selaksa' sudah
menerpa tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka.
Des! Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka terlontar tiga
tombak. Sesaat Andika merighela napas lega, namun
hanya sesaat. Karena di detik lain sepasang matanya
bagaikan terbelalak melihat tubuh Datuk Pincang Gunung
Neraka justru bertambah segar. Tawanya semakin
menggeledek. Andika sadar apa arti peringatan Maiaikat Bukit Pasir.
"Jangan kau serang dia dengan ajian 'Guntur Selaksa',
Andika. Karena hawa panas yang terpancar dari ajian
'Guntur Selaksa' akan membuat tenaganya semakin
membesar saja!" seru Malaikat Bukit Pasir semakin
memperkuat keyakinan Andika apa arti seruannya tadi.
"Andika, 'Sepasang Mata Api' hanya mampu dihadapi
dengan hawa panas yang tak nampak!"
Sadarlah Andika, kalau sejak tadi ia tak mampu
menurunkan tangan pada Datuk Pincang Gunung Neraka,
bukan tidak mampu karena ajian yang dilepaskannya tak
ampuh, melainkan karena Datuk Pincang Gunung Neraka
memang bagaikan membiarkan tubuhnya terhantam
serangannya. Menyadari kekeliruannya, Andika justru bertambah
marah. Tiba-tiba saja ia menggulung seluruh tubuhnya
dengan kain bercorak catur. Hingga kini yang nampaknya
hanyalah tubuh yang terbalut saja.
Lalu mendadak tubuhnya berputar bagaikan pusara
angin, mengarah pada Datuk Pincang Gunung Neraka yang
terbahak-bahak bagaikan melihat sasaran yang sangat
empuk sekali. Dengan mengeluarkan gerengan yang keras
ia menerjang ke arah Andika.
Des! Tubuh Andika terlontar ke belakang dengan derasnya.
Meskipun ia merasakan tubuhnya bagaikan patah, namun
anehnya tak hangus. Bahkan justru tubuh Datuk Pincang
Gunung Neraka yang nampak kelojotan.
Malaikat Bukit Pasir yang hampir saja memotong
serangan Datuk Pincang Gunung Neraka karena sangat
berbahaya bagi Andika, mengerutkan keningnya tak
percaya melihat kenyataan itu. Lebih terkejut lagi ketika
Andika tiba-tiba saja memutar tubuhnya, kain pusaka yang
membalut tubuhnya terlepas dan langsung disampirkan ke
lehernya kembali.
Kali ini ia menerjang dengan cepatnya, sementara
tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka masih limbung
dengan jeritan yang keras. Malaikat Bukit Pasir dan Imas
hanya terbengong-bengong memperhatikan. Karena,
mereka tiba-tiba saja merasakan panas yang sangat luar
biasa. Bukan terpancar dari tubuh Datuk Pincang Gunung
Neraka, melainkan keluar dari tubuh Andika.
Dedaunan di sekitarnya seketika mengering, lalu
berguguran. Dalam keadaan terdesak semacam itu, dan
mendengar peringatan dari Malaikat Bukit Pasir, Andika
teringat akan ilmu ajaran dari Eyang Sasongko Murti, murid
dari Siluman Hutan Waringin yang pernah mengajarkan
ajian-ajian bangsa siluman (Baca serial Pendekar Slebor
dalam episode : "Siluman Hutan Waringin").
Saat ini yang dipergunakan oleh Andika adalah ajian
bangsa siluman, ajian 'Tapa Geni' yang memancarkan
panas bagaikan neraka namun panas itu tak akan nampak
bila Andika tidak menggerakkan bagian tubuhnya kepada
lawan yang dituju. Dengan ajian bangsa siluman itulah
Andika menderu kencang ke arah Datuk Pincang.
"Heaaa! Pergilah kau ke neraka, Manusia Iblis!"
Des! Bummm! Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka terlempar
beberapa tombak ke belakang dan bergulingan dengan
tubuh yang bagaikan terbakar. Terdengar lolongan
bagaikan serigala keras. Rambut lelaki berpakaian hitam
yang kejam itu seketika rontok. Pakaian yang
dikenakannya langsung lebur menjadi debu. Ia berteriak
keras setinggi langit dengan tubuh kelojotan. Tiba-tiba saja
kepalanya pecah! Nyawa manusia kejam itu putus
seketika.

Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika menghentikan serangannya dengan napas
terengah-engah. Tatapannya masih setajam elang, masih
berbalur kemarahan. Namun ia merasakan nafasnya
begitu sesak. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan
darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Benturan itu
rupanya juga menyiksanya.
Malaikat Bukit Pasir yang mengandalkan pendengarannya tahu apa yang telah terjadi. Namun ia
bertanya, "Andika... apakah kepala manusia itu pecah?"
"Kau benar,Ki."
Terdengar desisan Malaikat Bukit Pasir, "Andika...
apakah ada cairan warna hijau yang keluar dari
kepalanya?"
Andika sendiri terkejut mendengar pertanyaan
Malaikat Bukit Pasir. Dan hampir ia tak bisa mempercayai
dirinya, karena apa yang dikatakan oleh Malaikat Bukit
Pasir itu benar adanya. Cairan warna hijau pekat mengalir
perlahan dari kepala yang pecah.
"Kau benar, Ki."
"Cepat ambil tanah, tutup seluruh cairan warna hijau
itu." Tanpa banyak tanya lagi Andika menjalankan perintah
Malaikat Bukit Pasir yang bernada tergesa dan
memerintah. Setelah menimbun cairan hijau itu dengan tanah,
terlihatlah asap hitam yang mengepul.
"Mengeluarkan asap, Ki!" serunya kaget.
Malaikat Bukit Pasir menganggukkan kepalanya.
"Aku bisa mencium baunya. Hmmm, kesaktian
manusia sesat ini telah musnah."
"Tetapi, cairan apakah itu, Ki?"
"Cairan itulah sumber dari hawa panas yang ada dalam
tubuhnya. Masih mudanya, Datuk Pincang Gunung Neraka
selalu bersemadi. Rupanya setan telah menjadi sekutunya,
dengan memasukkan cairan warna hijau itu di kepalanya."
Andika terdiam dengan kepala berpendar. Sungguh, ia
tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.
"Ia telah memilih jalannya sendiri. Dan kematiannya,
hanyalah jalan keluar dari seluruh dosa-dosanya," kata
Maiaikat Bukit Pasir.
Andika mendesah pendek, lalu meminta agar Malaikat
Bukit Pasir menceritakan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Ia menganggukkan kepalanya ketika Malaikat Bukit
Pasir selesai menceritakan semua yang telah terjadi.
"Ternyata, dendam manusia itu lebih mengerikan dari
pada dendam setan."
Malaikat Bukit Pasir hanya tersenyum, lalu berkata,
"Andika... kulihat kelelahan sangat mendera kita.
Bagaimana bila untuk sejenak kita kembali ke Bukit Pasir
guna membangun kediamanku kembali" Mudah-mudahan,
segala dendam yang ada di tubuh lawan-lawanku, telah
sirna. Dan menurut penglihatan batinku, kau sedang
terluka dalam Bila dua hari kau tak diobati, maka nyawamu
tak akan tertolong lagi-"
Tiba-tiba saja Andika memang merasakan kelelahan. Ia
cuma menganggukkan kepalanya. Apalagi begitu melihat
sepasang mata Imas yang menatapnya penuh harap.
Lumayanlah, sambil membantu Malaikat Bukit Pasir ia bisa
bersama Imas lebih lama. Dan yang terpenting lagi, ia
harus mengatakan pada Imas, kalau sebenarnya ia hanya
menganggap Imas sebagai adiknya.
"Baiklah, Ki... mari kita segera berangkat. Kita
tinggalkan Grido Kencono yang pingsan dan sudah
kehilangan seluruh ilmu yang dimilikinya.
Malaikat Bukit Pasir cuma mendesah pendek.
Dan tanpa setahu siapa pun juga, satu titik cairan
berwarna hijau yang keluar dari.kepala Datuk Pincang
Gunung Neraka, tak tertutup oleh pasir yang dilakukan
Pendekar Slebor.
Cairan warna hijau itu bagaikan memiliki nyawa,
karena tiba-tiba bergerak pelan. Begitu angin mendesir,
cairan itu mendadak saja membesar dan membentuk
menjadi gumpalan.
Tiba-tiba saja cairan berwarna hijau itu melayang-
layang dengan cepatnya di angkasa. Ia akan memasuki
kepala siapa saja yang diinginkannya. Karena, dalam
cairan hijau itulah seluruh ilmu Datuk Pincang Gunung
Neraka masih terpendam....
SELESAI PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul!!! Serial Pendekar Slebor dalam episode:
BAYANGAN KEMATIAN
Mentari Senja 6 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13
^