Pencarian

Cermin Alam Gaib 1

Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib Bagian 1


1 Tak seorang pun tahu kalau di bawah naungan sebuah
pohon bcsar yang lebat telah duduk bersila sebuah sosok gaib selama berhari-
hari. Tubuh laki-laki kasat mata yang duduk terpejam itu sedikil pun tak
bergerak. Jenggotnya yang putih lebat, menguncup di ujungnya. Kepalanya ditutup
kain batik seperti belangkon Sunda. Seluruh tubuhnya diselubungi se- rat-serat
cahaya berwarna putih.
Dialah si Raja Penyamar. Tokoh golongan atas yang
sudah berupa roh itu mati beberapa puluh tabun lalu. Sejak kepergian Pendekar
Slebor menelusup Pengadilan Perut Bumi, roh Raja Penyamar berusaha masuk pula ke
sana. Namun, niatnya
gagal. Karena Pengadilan Perut bumi ternyata telah dilindungi benteng gaib yang
dibuat Manusia Dari Pusat Bumi. Sebab itu, Raja Penyamar pun mencoba menjebolnya
dengan melakukan tapa batin (Untuk mengetahui tentang Raja Penyamar, baca serial
Pendekar Slebor dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi")
Sejauh itu, usaha tokoh gaib ini nihil. Hanya karena
tekadnya dalam membantu Andikalah yang membuat dia tetap
bertahan untuk melakukannya. Padahal usahanya menjebol dinding gaib Pengadilan
Perut Bumi, tak beda dengan beratnya seseorang yang bertarung mati-matian selama
berhari-hari. Semakin keras usaha Raja Penyamar dalam me- nembus
dinding gaib itu, maka semakin terang semburat sinar putih di sekujur tubuhnya.
Padahal hari kesembilan, serat-serat cahaya itu mulai tampak bergelombang dalam
gerak melingkar. Warna di
tepinya mulai berubah kemerahan.
Hari kesebelas, gelombang cahaya itu makin menghebat.
Tubuh halus Raja Penyamar seperti timbul tenggelam dalam
amukannya. Percik-percik kecil pun mulai tercipta, pertanda kalau usahanya sudah
mencapai titik paling berbahaya.
Sraaat! Pada puncaknya, sehimpun percikan cahaya biru menyatu
membentuk lidah api. Gempuran kekuatan Raja Penyamar pada
benteng gaib Pengadilan Perut Bumi mulai berbalik ke arahnya.
Sedikit demi sedikit, Raja Penyamar tertelan cahaya biru yang membesar.
Keadaan menjadi genting. Artinya, nyawa Raja Penyamar
seperti telur di ujung tanduk. Dia memang telah mati. Namun jika gempurannya
kalah, bukan tidak mungkin jasad halusnya terlempar ke alam lain yang sama
sekali tidak dikehendaki. Itu artinya, nyawanya akan terpenjara sampai malaikat
menjemput. Hal itu tak boleh terjadi. Tugasnya di dunia per- silatan
belum lagi selesai. Apalagi, Pendekar Slebor masih amat
membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan angkara murka
yang dibawa Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan segenap kemampuan, Raja Penyamar
mengerahkan kembali perlawanannya. Tubuhnya memang tetap tak bergeming. Wajahnya
memang tetap setenang permukaan telaga.
Sebaliknya, serat-serat cahaya di sekujur tubuhnya kian hebat bergelombang.
Sampai akhirnya.. .
Plap! Tumbukan cahaya putih, merah, dan biru itu pupus
seketika, bagai ditelan kelengangan pagi buta.
"Aneh.. ," bisik Raja Penyamar. "Semestinya aku harus
mati-matian melakukan gempuran. Dan tak akan semudah ini aku menghancurkan
benteng gaib itu. Hm. . Apa yang sesungguhnya terjadi di Pengadilan Perut Bumi
sana" Kenapa benteng gaibnya tiba-tiba menghilang?"
Mata lelaki yang hanya berbentuk roh halus itu terbuka.
Bola matanya bergerak-gerak, memperlihatkan rasa keheranan
dalam hati. Tak ada lagi gempuran balik dirasakan. Semuanya tiba-tiba terasa
begitu lega. Badannya pun kini sudah terlihat
mengenakan baju coklat berkerah pendek dengan celana pangsi hitam, seperti
dikenakan jasadnya yang terkaku bisu di Kampung Kelelawar nun jauh di sana.
Raja Penyamar bangkit dari bersilanya.
"Aku yakin telah terjadi sesuatu di Pengadilan Perut Bumi
sana," bisik orang tua itu lagi.
Sementara itu, jauh di bawah perut bumi sana, memang
telah terjadi sesuatu, tepat seperti dugaan Raja Penyamar.
Pertarungan besar telah meletus antara Manusia Dari Pusat Bumi disatu pihak,
melawan Hakim Tanpa Wajah di lain pihak.
Dengan berseterunya antara guru dan murid itu, maka
benteng gaib yang dibangun Manusia Dari Pusat Bumi pun tak
berguna lagi. Setelah mendapat titah langsung dari Siluman Berperut Buncit
melalui Cermin Alam Gaib, Manusia Dari Pusat Bumi
langsung menarik kembali kekuatan miliknya yang membentengi Pengadilan Perut
Bumi. Di ruang utama Pengadilan Perut Bumi sendiri, saat itu
digetarkan erangan tinggi mendirikan bulu roma. Si manusia jelmaan siluman ini
telah terang-terangan hendak melenyapkan gurunya sendiri. Bahkan dia telah
membuka jurus yang begitu asing di mata Hakim Tanpa Wajah. Padahal, gerakan itu
tak pernah diajarkan sama sekali.
Tangan Manusia Dari Pusat Bumi tampak ber- kejaran satu
sama lain dalam putaran tak teratur. Ke- cepatannya begitu tinggi, menyebabkan
tangannya terlihat begitu banyak, seperti belalai gurita Iaut.
Tak lama berikutnya, tangan manusia jelmaan si luman itu
mulai memendarkan cahaya kemerahan, yang kemudian berubah
menjadi kobaran api melalap sekujur tangannya. Dalam kecepatan gerak tangan,
jilatan api itu kini mengelilingi tubuhnya.
Wrrr! Wrrr! Menyaksikan semua itu, tak ayal lagi Hakim Tan pa Wajah
mengerahkan ilmu andalan yang sempat disembunyikan. 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi
Pengoyak Langit'! Ilmu olah kanuragan sakti hasil pengembangan 'Tenaga Sakti
Pembelah Bumi' itu memang
sengaja tidak diturunkan pada muridnya.
Dan memang sudah menjadi aturan tak tertulis para tokoh
golongan hitam, untuk tidak menurunkan seluruh ilmu pada seorang murid. Dalam
dunia kaum sesat, pengkhianatan setiap saat bisa saja terjadi. Itu sebabnya,
harus ada ilmu simpanan yang tak diwariskan.
Jika suatu saat sang murid berkhianat, maka si guru bisa
mempergunakan ilmu simpanan tersebut untuk menghadapinya.
"Hiaaa.. !"
Mulut Hakim Tanpa Wajah mengumandangkan teriakan
mengguncang, seiring jejakan-jejakan kakinya yang jauh lebih mengguncang.
Ruangan besar itu sampai bergetar hebat, seolah terjadi tumbukan dua kekuatan
raksasa. Tangan si tua bangka itu sudah pula menghentak-hentak ke depan. Kini,
kain kafan yang semula mengikat kakinya, sudah tak karuan lagi bentuknya.
Tak lebih dari dua kerdipan mata, murid murtad Hakim
Tanpa Wajah ini menerjang gurunya sendiri dalam kecepatan penuh.
Diterkamnya laki-laki tua itu seperti seekor macan lapar menerkam mangsa.
Sepasang tangannya yang berselimut jilatan api menegang ke depan, siap melalap
wajah sang guru.
"Arrrgh!"
Karena begitu yakin kehandalan ilmu 'Tenaga Sakti
Pembelah Bumi Pengoyak Langit' yang sanggup menahan panas api di tangan Manusia
Dari Pusat Bumi, Hakim Tanpa Wajah tak ragu-ragu lagi menyambut terkaman itu.
Berbareng jejakan kakinya ke bumi, sepasang tangannya menadah tinggi ke atas.
Maka, tangan keduanya pun berbenturan.
Blammm.. ! Seketika tercipta ledakan keras disertai semburat pancaran
api yang menjilati angkasa.
pada saat tubuh pemuda siluman itu masih di udara,
tangan Hakim Tanpa Wajah menyodok dalam-dalam ke dua sisi
dadanya. Derrr!
Dengan telak, dada Manusia Dari Pusat Bumi terhajar
telapak tangan bekas gurunya. Tubuhnya kontan meluncur balik ke belakang.
Sebelum tiba di dinding ruangan, tubuh manusia siluman itu jatuh berdebam.
Seandainya tubuh Manusia Dari Pusat Bumi adalah
lempengan baja setebal satu depa, tentu akan jatuh dalam keadaan ringsek, karena
tak sanggup menahan kekuatan dahsyat pukulan Hakim Tanpa Wajah tadi.
Tapi kenyataannya, terlalu jauh dari gambaran itu. Tubuh
Manusia Dari Pusat Bumi tak mengalami pcngaruh apa-apa. Entah bagaimana,
tubuhnya ternyata jauh lebih kuat daripada lempengan baja setebal satu depa.
Sehingga, kedahsyatan ilmu bekas gurunya pun tak berarti apa-apa!
"Makan kesombonganmu, Tua Bangka Jelek!" cjek Lelaki
Berbulu Hitam yang terus memantau jalannya pertarungan. Betapa girangnya laki-
laki berbulu lebat itu melihat guru dan murid sesat itu saling baku hantam
(Untuk mengetahui tentang Lelaki Berbulu Hitam baca serial Pendekar Slebor dalam
episode : "Pengadilan Perut Bumi") "Hitam! Bukankah mereka mestinya menunggu
giliran untuk bertarung di panggung itu?" tanya Pendekar Dungu, amat lugu. Sepertinya
dia tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Lelaki Berbulu Hitam mendelik.
"Kau mau pertandingan antara Tuan Penolong dengan
kawan wanitanya itu segera berakhir dengan matinya salah seorang di antara
mereka"!" bentak laki-laki berbulu hitam seraya menunjuk Andika dan Purwasih
yang masih bertarung di panggung batu
kematian (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Pengadilan Perut Bumi"). "Kau
bicara padaku" Atau masih berbicara dengan si tua bangka jelek itu?"
"Ah, sudahlah!"
Sementara itu di lain arena, Andika berada di atas angin
dalam pertempuran melawan Purwasih. Jurus-jurus tangguh dari Lembah Kutukan
gencar sekali dalam mendesak wanita itu. Dari segala arah, gerakan Pendekar
Slebor yang sering terlihat ngawur, mengurung seluruh tubuh pendekar wanita yang
terkenal berjuluk Naga Wanita.
Suatu ketika, kaki Andika oleng ke samping di luar
sasaran. Sedangkan kaki yang lain masih berada di atas. Dan kini Naga Wanita
merasa mendapat peluang besar. Maka, secepatnya, Andika yang hendak berpijak
dengan satu babatan pedang
dihadangnya. Bet! Saat itulah terlihat, bagaimana ketangguhan jurus
Pendekar Slebor. Keseimbangannya yang demikian sempurna,
mampu membuat kakinya menjejak di atas pedang lawan. Padahal, kecepatan babatan
pedang Naga Wanita begitu tinggi. Bahkan yang terlihat hanya bentuk kelebatan
bayangan saja! Tetapi jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan
memang begitu mengandalkan pengerahan keseimbangan. Malah
pada waktu diciptakan, Pendekar Slebor harus meniti patok-patok batu dalam
hujanan petir. Sedikit saja keseimbangannya tak terjaga, maka tubuhnya pasti
lantak dipapas puluhan lidah petir.
Maka tak heran bila dalam menguasai keseimbangan
membuat Pendekar Slebor mampu pula mengikuti kecepatan
pedang saat hinggap di atasnya! ketika sekejap saja pedang Purwasih tiba di sisi
tubuhnya sendiri yang kosongdari pertahanan, Pendekar Slebor langsung mengirim
sepakan dengan kaki vang tak ikut dijejakan di gagang pedang. Dan.. .
Dug! Tak ayal lagi, pelipis Naga Wanita menjadi sasaran empuk
punggung kaki Pendekar Slebor.
Purwasih atau si Naga Wanita kontan melintir di udara
seperti gasing raksasa. Kalau beruntung, gadis itu tak akan mengalami patah
leher yang begitu parah. Lalu, apakah
keberuntungan lain mengikuti" Karena di bawah, telah siap
menyambut permukaan panggung yang dipasangi pisau-pisau tajam.
Pada saat tubuh Purwasih nyaris dimangsa permukaan
panggung, Pendekar Slebor yang gelap mata mcmburunya kembali penuh nafsu.
"Heaaa!"
Namun, pada saat yang bersamaan, satu pukulan jarak
jauh milik Hakim Tanpa Wajah tersasar kearah Pendekar Slebor.
Des! Pukulan nyasar itu membentur tinju Pendekar Slebor.
Akibatnya. tinju itu luput dari tubuh Purwasih. Namun karena sudah telanjur
menerjang, tubuh Andika tetap meluncur dan menabrak Purwasih. Sehingga dua anak
muda itu akhirnya terlempar keluar panggung. Dengan begitu, selamatlah Purwasih
dari hujam- an permukaan panggung yang bergerigi mengerikan tadi.
Tubuh kedua pendekar muda itu jatuh tepat di antara kaki
para tawanan pada barisan kanan. Pendekar Slebor dan Purwasih langsung
kehilangan kesadaran.
"Kalian ini macam-macam! Kalau bertarung, ya bertarung
sajalah. Jangan pakai acara mesra-mesraan segala!" oceh Pendekar Dungu ketika
menyaksikan Pendekar Slebor dan Purwasih terjatuh saling tindih.
Setelah itu, Pendekar Dungu menguap lebar-le- bar.
Rupanya sejak tadi dia sedang tertidur dalam ke- adaan berdiri.
Andai kata tubuh kedua anak muda itu tak jatuh di dekat kakinya, tentu kepalanya
masih tertunduk-tunduk dengan mata terpejam.
Ketika mata sayu Pendekar Slebor sudah mulai
menguncup kembali, Lelaki Berbulu Hitam menyikutnya dengan kasar. "Hey! Jangan
tidur saja! Kau yang paling dekat, cepat bantu dua anak muda itu!" perintah
Lelaki Berbulu Hitam.
Dengan bersungut-sungut, tua bangka berotak kcrbau itu
berjongkok untuk meneliti keadaan Andika dan Purwasih.
"Bagaimana?" tanya Lelaki Berbulu Hitam. Dia agak
khawatir dengan keadaan Andika dan Purwasih.
"Huaaah! Aku masih ngantuk." jawab Pendekar dungu
ngaco. Aku tidak menanyakan kau. Dungu! Maksudku, bagaimana keadaan dua anak
muda itu"!" dengus Lelaki Berbulu Hitam.
"Ooo," Pendekar Dungu memancungkan bibir. "Mereka
hanya pingsan," sahutnya sambil mengusap- usap mata yang penuh tahi mata.
"Sebentar lagi tentu ikan siuman."
"Sok tahu! Kalau tak segera disadarkan, bagaimana
mungkin mereka cepat siuman"!" ujar Lelaki Berbulu Hitam keras, tepat di depan
telinga Pendekar Dungu.
Pendekar Dungu hanya menarik napas. Lain halnya si
Lelaki Berbulu Hitam. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah malang kehijau-hijauan.
Matanya tak berkedip. Hidungnya bergerak-gerak, seperti mencium bau sesuatu.
Setelah itu, tangannya cepat menutup lobang hidung.
"Sial! Kau kentut sembarangan, ya!" bentak Lelaki Berbulu
Hitam pada Pendekar Dungu.
Ajaibnya, Andika dan Purwasih langsung siuman setelah
mengisap udara busuk itu. Tubuh mereka bergeming, dan kepala terangkat. "Nah,
kan! Kubilang juga apa!" seru Pendekar
Dungu, penuh kemenangan.
2 Pertama kali Andika membuka mata, yang dida- patinya
adalah wajah ketolol-tololan Pendekar Dungu. Laki-laki tua bangka itu memang
sedang memperhatikannya.
"Wah! Baru aku tahu kalau penjaga kubur wajah- nya mirip
si tua bangkotan Pendekar Dungu," gumam Andika, nyaris tak
kentara. "Hey! Aku memang Pendekar Dungu," sergah tua bangka bebal itu cepat,
tak sudi dianggap penjaga kubur oleh Andika.
"Jadi, aku belum mampus?" tanya Pendekar Slebor seraya
melepas senyum yang mirip ringisan. Ma- tanya beredar.
Tampak Lelaki Berbulu Hitam tengah berdiri menjulang.
Sementara beberapa orang lain, termasuk Lima Gembel Busuk dan Penggerutu
Berkepang, juga tengah memperhatikannya.
Tiba-tiba anak muda itu ingat sesuatu.
"Purwasih..- Mana Purwasih?" cetus Andika cepat
Jangan tanya betapa khawatirnya Andika terhadap keselamatan wanita berwajah
manis itu. Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor masih memiliki pertalian darah
dengan wanita yang lebih tua darinya beberapa tahun itu.


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tak apa-apa." kata Lelaki Berbulu Hitam. Ditunjuknya
Purwasih yang mulai bergerak pula di sisi Andika.
"Kau tak apa-apa?" tanya Andika, setelah me- noleh ke
arah Purwasih. Purwasih menggeleng dengan mata mengerjap-ngerjap.
Dan Andika pun menjadi lega mendapat ja- waban Purwasih. Dia takut telah
mencelakakan dara itu sclama terkena totokan rahasia Hakim Tanpa Wajah yang
membuatnya gelap mata.
"'Bor'! Kita harus bagaimana lagi ini"!" tukas Penggerutu
Berkepang yang sejak tadi bungkam memperhatikan pertempuran dua manusia sesat
yang makin menggila.
"Coba tengok ke belakang sana! Dua manusia sinting itu
sedang gontok-gontokan. Kekualan mereka bisa menghancurkan
tempat ini Siapa yang sudi terkubur di tempat bau ini," gerutu lelaki setengah
baya pemimpin para pengemis di wilayah timur.
Andika cukup terkejut sewaktu menoleh ke arah yang
ditunjuk Penggerutu Berkepang. Dari tadi dia memang mendengar gemuruh bagai
gempa. Tapi tak pernah disangka kalau itu akibat pertarungan Manusia Dari Pusat
Bumi dengan gurunya sendiri.
"Sedang apa mereka" Sedang latihan?" tanya Andika, tak
mempercayai penglihatannya sendiri.
Tepat ketika Andika hendak bangkit karena rasa
penasaran, sebongkah batu besar yang runcing runtuh dari langit-langit ruangan.
Arahnya tepat menuju punggung Purwasih yang masih tengkurap di l.intai.
Grrr.. ! Gemuruh yang dihasilkan reruntuhan batu, amat
mengejutkan mereka yang berada di dekatnya. TerIebih, pemuda dari Lembah Kutukan
yang memang begitu dekat dengan si Naga Wanita. "Purwasih, awas!" seru Andika
keras. Bersaman dengan itu tangan Pendekar Slebor berkelebat
cepat, mengirim tinju geledek ke arah batu sebesar kerbau yang meluncur tepat di
depannya. Gerakan itu dilakukan begitu saja karena begitu khawatir akan
keselamatan Purwasih. Hasilnya.. .
Blarrr! Batu besar seruncing mata tombak itu kontan lantak berkeping-keping. Serpihannya
berhamburan ke segala arah bagai pasir disapu angin ribut.
Lelaki Berbulu Hitam terheran-heran. Pendekar Dungu, Penggerutu Berkepang, dan
lelaki lain yang berada dalam barisan juga ikut terpana. Siapa yang tak heran"
Setahu mereka, Pendekar Slebor masih dalam pengaruh totokan rahasia milik Hakim
Tanpa Wajah yang menyebabkan seluruh kekuatannya hilang terkunci di dalam.
Pendekar Slebor pun tak kalah heran.
"Aneh! Kenapa aku sudah terbebas dari totokan rahasia si
Hakim Tanpa Wajah?" bisik Andika, bergumam sendiri.
Otak Pendekar Slebor yang terkenal encer, tak memberi
kescmpatan terjebak dalam kebingungan seperti orang bodoh.
Otaknya segera bekerja, membuat kesimpulan-kesimpulan cepat.
"Kenapa kau?" usik Purwasih, manakala me- nyaksikan
pemuda idamannya tersenyum-senyum sendiri. Dia pun telah
bangkit di sisi Andika.
"Yak, aku tahu!" sentak Andika, mendadak. Satu
tangannya meninju telapak tangan yang lain.
"Hey hey hey! Tahu apa kau?"
Pendekar Dungu ikut terheran-heran dengan mata mengerjap-
ngerjap menahan kantuk.
"Aku tahu, bagaimana membebaskan kalian dari totokan
rahasia Hakim Tanpa Wajah! Sesungguhnya dia menempatkan
semua totokan rahasianya pada jaringan saraf yang berhubungan dengan pusat
kesadaran dan keseimbangan kita. Dan bila kita kehilangan kesadaran lalu siuman,
maka secara tidak sengaja totokan itu ikut terbebas seiring kembalinya kesadaran
kita," papar Pendekar Slebor panjang lebar.
Andika memang cukup banyak tahu tentang jaringan tubuh
manusia, setelah membaca kitab pusaka menyamar yang diwariskan Raja Penyamar
kepadanya. "Haaah, aku bingung! Jangan harap aku bisa memahami
kalimat membingungkanmu itu!" sergah Pendekar Dungu sambil
mencium bekas liur di tangannya.
"Kalau begitu, kenapa kita tak cepat-cepat membebaskan
mereka?" usul Purwasih cepat.
"Usul bagus! Bagaimana, Pak Tua Bulu Hitam?" aju Andika
pada Lelaki Berbulu Hitam.
"Ya, cepatlah! Aku pada dasarnya sudah tak sabar ingin
meremukkan kepala tua bangka jelek bermuka rata itu!" timpal Lelaki Berbulu
Hitam tegas. Andika mengangguk.
"Kalau begitu, sebelumnya aku minta maaf ka- rena harus
kurang ajar padamu. . "
Lalu.. Dugkh! Mendadak saja, bogem mentah Andika mendarat telak di
dagu lelaki keturunan serigala itu. Sengaja Andika hanya
menggunakan tenaga luar. Karena bila disertai pengerahan tenaga dalam, dia takut
malah akan mencelakakan lelaki itu. Tapi, apa yang
terjadi" Lelaki Berbulu Hitam tetap berdiri kekar tanpa bergeming sedikit pun.
Hanya bibirnya saja yang meringis-ringis. Rupanya ada gigi gerahamnya yang patah
akibat tonjokan Andika.
"Kau ini ingin menolongku, apa hendak menyiksaku!"
hardik Lelaki Berbulu Hitam setelah mengeluarkan sebutir giginya dari mulut. "E-
eh..," Andika ikut meringis. "Maaf, Pak Tua Bulu Hitam.
Kupikir aku cukup menggunakan tenaga luar saja," ucap Andika serba salah.
Dugh! Sekali lagi Pendekar Slebor melepas hajaran. Kali ini tidak dengan bogem dan
tenaga luar, melainkan dengan tebasan
punggung tangan yang disertai penyaluran tenaga dalam. Maka. .
Gedubrak! Lagi-lagi nasib sial Lelaki Berbulu Hitam bukannya berkurang, malah bertambah.
Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Matanya mendelik dengan bola hitam ke
atas. Tak begitu lama kemudian, Andika sudah bisa menyadarkannya kembali.
"Lain kali, lebih baik aku tak kau bebaskan!" maki Lelaki
Berbulu Hitam, tepat di muka Andika.
Pendekar Slebor itu hanya bisa tersenyum-senyum
seadanya. "Biar aku yang membebaskan si bebal itu!" selak Lelaki Berbulu Hitam,
ketika Andika hendak mendekati Pendekar Dungu.
"Hey, apa-apaan ini"! O-o! Tak usah, ya.. . Aku tak mau
dipukul-pukul!" tolak Pendekar Dungu, kelimpungan. Giginya yang ompong terlihat
manakala bibirnya terangkat-angkat karena ngeri.
"Aaah! Banyak mulut kau!" bentak Lelaki Ber?bulu Hitam.
Das! Tanpa permisi lagi, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam
langsung mendarat di wajah keriput Pendekar Dungu. Wajah
menjengkelkan milik tua bangkotan itu untuk beberapa saat
mengejang. Matanya terjuling-juling. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk. "Biar tahu
rasa kau!" dengus Lelaki Berbulu Hitam.
Sementara itu, Andika mendekati lelaki lain dalam barisan.
"Sekarang giliranmu, Ketua Pengemis!" ujar Pendekar
Slebor pada Penggerutu Berkepang.
"Kutu busuk sial! Siapa yang mau dibebaskan dengan cara
itu. Kau pikir aku ini siapa. Huh, ngngng.. ."
Penyakit lama Penggerutu Berkepang kambuh. Lelaki
compang-camping itu menggerutu panjang-panjang.
"Kalau itu maumu, ya terserah.. . Biar kau tetap tinggal di sini sampai ruangan
besar ini ambruk dan menguburmu hidup-hidup," kata Andika santai.
"Yayaya! Baiklah!"seru Penggerutu Berkepang bcrgegas
melihat Andika hendak meninggalkannya. "Tapi kau harus ingat,
'Bor'! Sedikit saja tubuhku memar, akan kusikat kau!"
Andika jadi sedikit jengkel.
Dugh! Tanpa sungkan-sungkan lagi, Andika menghajar pelipis
lelaki setengah baya yang mendongkolkan itu, dengan tenaga dalam lebih tinggi
dari sebelumnya.
"Wadouuu!" Penggerutu Berkepang sempat berteriak.
Pada saat yang sama, tubuhnya terpuntir ke belakang, dan
terjengkang. "Biar tahu rasa kau!" serapah Andika, mengikuti kalimat
Lelaki Berbulu Hitam barusan. Setelah itu, bibirnya tersenyum-senyum sendiri.
Di bagian lain ruang seluas alun-alun itu, Hakim Tanpa
Wajah dan murid murtadnya telah mencapai puncak pertarungan.
Keduanya sedang terlibat adu kesaktian. Di satu sisi, Manusia Dari Pusat Bumi
mengempos seluruh kesaktian siluman dalam dirinya, hingga tubuhnya berubah
menjadi seperti bola api besar. Sementara di lain sisi. Hakim Tanpa Wajah mati-
matian mempertahankan diri dari terjangan api sepanas bara neraka yang menjulur
panjang dari tubuh berkobar murid murtadnya, dengan ilmu Tenaga Sakti
Pembelah Bumi Pengoyak Langit'.
Waktu terus merangkak dalam erangan dan keringat darah
sepasang manusia terkutuk itu. Dan pada saatnya. .
Blarrr! Ledakan amat dahsyat seketika tercipta. Dinding ruangan
langsung runtuh berbongkah-bongkah. Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi terlempar ke
belakang laksana anak panah. Lalu, tubuhnya melesak di dinding ruang dari batu.
Demikian pula yang terjadi terhadap Hakim Tanpa Wajah. Tapi, tampaknya tua
bangka itu mengalami luka lebih parah.
Kiamat seakan terjadi dalam ruangan besar ke- banggaan
si Hakim Tanpa Wajah. Bongkahan-bongkahan batu dinding kian deras bcrguguran.
Tiang-tiang besar di sepanjang sisi ruangan mulai retak. Dan sesaat kemudian,
tiang-tiang itu ikut berguguran.
Sebagian malah runtuh begitu saja.
Andika, Purwasih, dan para tawanan lain yang scjak tadi
hanya menjadi pcnonton jadi kalang-kabut. Berbeda dengan para tawanan dari
golongan putih di barisan kanan ruang, para tawanan dari golongan sesat di
barisan kiri ruang begitu terkesiap setengah mati. Di samping belum terbebas
dari totokan, mereka juga masih terbelenggu rantai baja satu sama lain.
"Hey! Bebaskan kami! Kami tak ingin cepat-cepat mati!"
teriak salah seorang pada para tokoh golongan putih.
Orang-orang golongan putih yang sudah pula memutuskan
rantai baja pembelenggu kaki dan tangan, bukannya tidak mau menolong membebaskan
golongan sesat. Betapapun jahatnya,
mereka toh ber hak mendapat kesempatan hidup. Siapa tahu,
mereka akan sadar nantinya.
Sayangnya para tokoh golongan putih belum bisa
menolong membebaskan orang-orang itu. Pendekar Slebor dan yang lain sedang
disibuki oleh batu-batu sebesar kerbau yang berguguran di sekitarnya. Bahkan
terkadang harus berkelit ke sana kemari, tak jarang harus menghantam batu-batu
itu dengan tangan jika kepala tak ingin pecah tertimpa.
Pada saat-saat yang membahayakan jiwanya sendiri,
Andika sama sekali tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Ada yang harus
diperbuat untuk me- nolong para tawanan golongan sesat. "Pak Tua Bulu Hitam!
Lindungi aku dari hujanan batu! Aku akan mencoba membebaskan mereka!" seru
Andika, sepenuh
tenaga. Suaranya yang sudah dialiri tenaga dalam pun, masih timbul tenggelam
ditengah gemuruhnya ruangan besar yang mulai runtuh.
"Apa kau gila, Anak Muda! Biarkan saja mereka mati!
Dunia pun akan berterimakasih jika aku tak menolong mereka!"
bentak Lelaki Berbulu Hitam.
"Aku tak pernah memilih-milih, siapa orang yang harus
ditolong!" balas Pendekar Slebor tak peduli.
Lalu Andika mulai berkelebat gesit ke sana kemari.
berusaha menembus hujanan batu-batu besar yang menggila.
"Dasar keras kepala!" maki Lelaki Berbulu Hitam jengkel.
Mau tak mau, manusia keturunan serigala itu mengawasi
Pendekar Slebor juga. Sambil tetap berusaha menyelamatkan diri dari runtuhan
ruangan, tangannya sesekali melepas hantaman jarak jauh ke arah batu yang
mencoba menghambat gerakan Andika.
Dengan sungsang-sumbel, Pendekar Slebor akhirnya bisa
tiba di dekat orang-orang golongan hitam. Seketika itu pula hendak dilepaskannya
tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dari jarak jauh untuk melebur
rantai baja pembelenggu kaki dan tangan mereka. Namun, niatnya tak kesampaian.
Karena tiba-tiba saja, lengkung kubah ruangan di sayap kiri ambruk.
"Andika menyingkir! Ruangan ini akan segera runtuh!"
teriak Purwasih memperingatkan dari jauh.
Tanpa perlu diperingatkan pun, Pendekar Slebor terpaksa
akan menyingkir dari sana. Reruntuhan sayap kiri kubah terlalu berbahaya untuk
ditembus. Kalaupun mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menghantami reruntuhan itu, tetap akan sia-sia.
Sekejap setelah Andika menyingkir, orang- orang golongan
sesat yang hendak ditolongnya langsung tertelan timbunan bebatuan ruangan. Suara
mereka tak terdengar. Bisa saja karena tak sempat berteriak, atau mungkin
terlalu lemah dibanding kedahsyatan gemuruh reruntuhan.
Sementara itu, puncak kubah ruangan kian rapuh. Retakan
besar tampak dirembesi air. Lama kelamaan, rembesan itu berubah menjadi cucuran.
Bahkan akhirnya berhamburanlah air bah raksasa berbareng terkuaknya puncak kubah
bagai moncong naga bumi.
Seisi ruangan langsung dilahap air, membuat mereka yang
ada di sana terombang-ambing kian kemari tanpa daya.
Kekuatan dorongan air bah itu sekarang menghantam satu
sisi dinding yang paling rapuh. Maka, terciptalah lobang besar yang berhubungan
dengan lorong aliran sungai bawah tanah.
Bagi setiap orang yang masih hidup di sana, terkuaknya
dinding ruangan adalah awal dari kehilangan kesadaran. Semuanya liba-tiba gelap.
Begitu juga Andika dan Purwasih yang sempat berpegangan tangan erat-erat.
Andika sendiri, pada saat hampir kehilangan kesadaran,
sempat mendengar sebuah suara yang lamat-lamat berseru
langsung ke relung benaknya.. .
"Pendekar Slebor! Aku akan datang lain kali untuk
membunuhmu!"
3 Andika siuman, begitu rasa sejuk merambahi wajah hingga
ke bagian lehernya. Kelopak matanya ter- buka. Yang pertama dilihatnya adalah
hamparan langit-langit berbatu-batu menonjol tajam, seperti susunan gigi tak
beraturan. Pada setiap ujung runcing tonjolan batu, menetes butir-butir air.
Sebagian tetesan air itu jatuh di wajahnya. Itu sebabnya, Andika merasakan
kesejukan. "Di mana aku?" tanya Pendekar Slebor agak mengerang.
Seluruh tubuh pemuda itu serasa luluh lantak. Mungkin
akibat benturan berkali kali dengan dinding lorong sungai bawah tanah selama
diseret arus. Dari rebahnya, Andika beringsut tegak. Suasana baru,
menitah dia untuk mencari tahu ke sekeliling tempat. Pandangannya pun beredar
sesaat, dan baru berhenti ketika menemukan tubuh Purwasih tergeletak lunglai
tiga tombak dari tempatnya.
"Mana yang lain ?" gumam Andika lagi.
Pertanyaan itu wajar saja tersembul dari benak- nya.
Bukankah sewaktu di Pengadilan Perut Bumi mereka bersama-
sama" Tapi, kini yang ditemukan hanya tubuh Purwasih.
Sebelum menghampiri Purwasih, Andika memperhatikan
lagi suasana sekelilingnya. Dia berada di satu sisi lorong. Sepanjang sisi
lorong yang lain, terdapat aliran air jernih selebar dua kaki, dan sedalam
betis. Tempat dirinya dan Purwasih tergeletak, tampaknya adalah pinggiran sungai
bawah tanah yang sudah mengendap
selama ratusan tahun, sehingga mengeras kini.
Cukup memperhatikan semua itu, Andika segera


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri Purwasih. Wanita berjiwa ksatria itu juga hanya pingsan. Di beberapa
bagian tubuhnya, terdapat goresan yang mengeluarkan darah. Bagian yang paling
parah adalah kaki kirinya.
Bengkak dan membiru. Andika yakin, ada tulang yang remuk akibat benturan hebat
dengan sisi lorong.
Tak berpikir lama-lama lagi, segera ditotoknya jalan darah
di bagian kaki kiri Purwasih. Tindakan itu memang perlu dilakukan, agar Purwasih
tak begitu menderita jika siuman nanti.
Setelah itu, pendekar muda dari Lembah Kutukan ini
mengerahkan hawa murni melalui telapak tangan, ke bagian dada Purwasih. Agak
sungkan, memang. Tapi Andika tak punya pilihan lain. Dengan begitu, Purwasih
dapat cepat siuman dan sedikit menyegarkan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan
tenaga. Purwasih tersadar sekian saat kemudian.
"Uuuh."
Dara cantik itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan
kepala perlahan.
Di mana kita, Andika?" tanya Purwasih lirih, ketika
mendapati Pendekar Slebor di sisinya.
Purwasih berusaha duduk berselonjor. Kepalanya yang
masih begitu berat, disandarkan di bahu bidang pemuda yang
selama ini begitu menawan perasaannya.
"Tepatnya, aku tak tahu. Tapi aku yakin kita telah berada
jauh dari Pengadilan Perut Bumi," jawab Andika. "Kau tak apa-apa, Purwasih?"
"Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
Purwasih balik bertanya, seolah ingin membayar perhatian barusan.
Bibir Andika tersungging. Bahunya mengedik kecil.
"Hanya luka-luka kecil. Seperti kau juga. Aku hanya lecet di sana-sini," sahut
Andika, sambil memutar tangan kanan untuk memperlihatkan sikunya yang terkoyak
pada Purwasih. "Aku tak melihat luka di sikumu," kata Purwasih, memaksa
Andika tertegun sejenak.
"Apa maksudmu?" tanya Andika heran, kembali melihat
siku kanannya. Benar kata Purwasih. Tak ada lagi koyakan kulit di sana.
Hanya warna hitam yang melintang tipis.
"Aneh.. ," desis Andika.
"Aneh bagaimana?" tanya Purwasih seraya bangkit seperti
tak terlalu tertarik pada pertanyaan Andika tadi.
"Sumpah mampus, barusan aku menyaksikan sendiri
sikuku ini terkoyak. Kau lihat ini. .," Andika menunjukkan bercak-hercak darah
yang tersisa di bawah sikunya. "Bercak-bercak
darahnya pun masih ada.. ."
"Mungkin kau salah lihat tadi," sangkal Purwasih, seraya
mengedarkan pandangan ke sckeliling.
"Kau pikir aku sudah tidak waras" Aku jelas-jelas melihat
dengan mata kepalaku sendiri!" Andika ngotot. -
"Ah, sudahlah. Itu hanya persoalan "kecil, bukan?"
"Tunggu.. , tunggu dulu!" sergah Andika. "Sepertinya kita
mendapat persoalan yang tidak kecil. Ini tidak remeh, Purwasih!"
Langsung Pendekar Slebor menatap pinggul me- nantang
Purwasih yang begitu gempal berisi.
"Apa-apaan kau ini! Kenapa matamu jadi tak senonoh
begitu!" omel Purwasih. Wajahnya karuan menjadi merah matang.
"Sial! Aku bukannya sedang memperhatikan pinggulmu.
Meskipun kuakui memang indah, dan. . "
"Tutup mulut kotormu!" Purwasih makin ber- tingkah tak
karuan. Lebih-lebih, warna wajahnya.
"Maksudku.. . sewaktu kau belum siuman. kulihat ada luka
agak menganga di bagian itu!" tegas Andika.
"Ah, sudahlah! Lelaki memang punya seribu satu alasan
untuk berbuat kurang ajar!" penggal Purwasih, malu bukan main.
Dikira, Andika hanya sedang mengolok-oloknya.
Masalahnya, selama ini gadis itu tahu bagaimana urakannya
Pendekar Slebor. Dalam keadaan apa pun, bahkan dalam
kegentingan, pemuda brengsek itu tetap tak pernah sembuh dari sitat urakannya.
"Biar kulihat sebentar!" ujar Andika mendadak.
Dan mendadak pula Pendekar Slebor menarik tangan
Purwasih. Cepat dan tak terduga. Tahu-tahu, tubuh Purwasih sudah merapat ke
dadanya. Sedangkan tangannya mendekap pinggang
Purwasih dari belakang.
"Andika! Apa-apaan ini!"
Gadis berkulit kecoklatan nan manis itu meronta-ronta.
Antara risih dan rasa berbunga-bunga. Dadanya berdebar-debar cepat, bagai ada
badai hebat dalam dirinya.
"Nah, betul bukan"!" seru Andika.
Dari belakang tubuh Purwasih, mata jantan pemuda itu
sibuk mengamati bagian pinggul Purwasih. Di bagian itu, pakaian Purwasih tampak
terkoyak. Sehingga, memunculkan kemulusannya.
Purwasih menepak keras-keras tangan pemuda ini yang
hinggap semena-mena di pinggang rampingnya. Dia pun meronta sampai lepas. Hendak
ditinjunya perut pemuda urakan itu.
Tangannya siap melayangkan kepalan.
"Tunggu-tunggu!" tahan Andika mendelik-delik. Tubuhnya
tersurut-surut mundur di bawah ancaman kepalan Purwasih. "Kalau kau tak percaya
mulutku, coba lihat sendiri bagian tubuhmu yang aduhai i. . ugh!"
Pendekar yang begitu slebor ini tak sempat me-
nyelesaikan kalimatnya, karena tinju Purwasih lebih dulu bersarang telak di ulu
hatinya. Purwasih berjalan meninggalkan Andika di be- lakangnya.
Sedikit pun kepalanya tak berani menoleh. Takut wajahnya yang kian tak karuan
diketahui Andika.
"Mau ke mana, kau"!" cegah Andika. "Sungguh mati, aku
tak main-main. Tampaknya ada suatu yang luar biasa di tempat ini."
Suara Andika terdengar penuh tekanan, agar Purwasih
tahu kalau dia bersungguh-sungguh.
Purwasih akhirnya mau juga menoleh, setelah terlebih
dahulu berdiri diam sekian lama.
"Baik. Sekarang, jelaskan padaku dengan singkat. Apa
maksudmu sebenarnya?" desak Purwasih.
"Kau perhatikan lagi bagian pinggulmu. Aku tak bohong.
Sebelumnya aku memang melihat luka di situ. Tapi kini, yang tinggal hanya
pakaianmu yang terkoyak di bagian itu, dan bercak-bercak darah di sekitarnya.
Sementara di bagian yang kulihat terluka, hanya ada bekas yang agak menghitam,"
papar Andika. Tak terlihat kesan bergurau di wajah pemuda itu. Scwaktu
bicara, bahkan matanya agak menyipit-nyipit, tanda benar-benar menaruh perhatian
penuh pada perkara itu.
Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian
pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat seperti uraian
Andika. "Lalu?" tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen- dapat
Andika tentang semua ini.
Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti
mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit-langit lorong
berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap ujung- nya.
"Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa."
"Bukan air biasa bagaimana" Kulihat warna dan rasanya
seperti air pada umumnya. . "
Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat-
lekat. "Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?" tantang
Pendekar Slebor.
"Kau mau bertaruh?" Purwasih balik menantang.
"Kalau kau benar, aku boleh menciummu," tutur Andika
setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah
lagi. "Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua. .
ha... ha!" Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa
mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan tangannya ke bawah
letesan air, tepat pada luka goresannva. Air dari langit-langit lo- rong itu
jatuh setetes demi setetes, sampai luka itu pun mulai basah.
Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka
memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek,
merapat dan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu terkelupas
sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih.
Hanya ada bekas menghitam.
Bibir Andika tersungging lebar.
"Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan
menghilang" kata Pendekar Slebor mantap.
Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat
berucap apa-apa.
"Dan.. . kita telah menemukan 'Air Kehidupan' Purwasih!"
sentaknya tiba-tiba, seraya melompat ke- girangan tak bedanya bocah kecil diberi
hadiah. Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir
ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat
tingkah pemuda idaman di depannya
"Purwasih! Cepat beri sarung pedangmu!" ujar Andika
Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan 'Air
Kehidupan'. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.
"Untuk apa sebenamya kau bawa air itu, Andika?" tanya
Purwasih, tidak mengerti.
"Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti," sahut
Pendekar Slebor santai.
"Untuk apa?"
"Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya
di dalam rongga mulut, bukan?"
"Ooe...."
Purwasih mengangguk. Diserahkannya sarung pedang dari
tanduk rusa liar itu.
Andika segera mengisi sarung pedang dengan 'Air
Kehidupan'. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.
"Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?" tanya
Purwasih. Mata Andika mengerling.
"Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti," sahut
Pendekar Slebor, santai.
"Satu pertanyaan lagi boleh?"
Andika mengangguk.
"Dari mana kau tahu kalau nama air itu 'Air Kehidupan'?"
Andika meringis kebodoh-bodohan.
"Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun,
baru kali ini. Tapi daripada aku sebut 'Air Anu kan lebih baik kukarang satu
nama. ., 'Air Kehidupan' Hua.. ha.. ha!"
*** Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk
termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah sungai berair
jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat, Pendekar Dungu tengah mandi.
Sekujur tubuhnya yang penuh
lumpur, digosok-gosoknya.
Mengapa mereka bisa sampai ada si sini" Rupanya, arus
bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke sungai
terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka
berada. "Hitam! Apa kau tak berniat membersihkan tu- huhmu"!"
sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai.
"Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup,
Dungu?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan Pendekar Dungu.
"Kalau dia mati, siapa yang akan membantu
menyelesaikan persoalan kita" Padahal aku begitu mengidam-
idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau
membuang kebodohanmu, Dungu?"
"Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi
kepingin 'membuang' juga, nih!" cetus si tua bergigi ompong.
Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama
kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga terdengar
bunyi kecil nan merdu.. .
Plung.. , piung!
"Hitam! Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu
semudah membuang 'ampas' ini, ya"!" oceh Pendekar Dungu.
Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak me- nyahut.
Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur Pendekar Dungu yang
menyinggung perasaannya. Mungkin dia
sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau mungkin sedang
memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai Tuan Penolongnya.
Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu
besar. "Hitam! Hitam!" panggil Pendekar Dungu, makin banyak mulut. "Hey, kau
masih memasang telingamu, bukan?"
Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak
dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu.
Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri
kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam perang mulut.
"Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?" kata
Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana.
Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dile- pasnya
pandangan ke mata kelabu tua bangka di de- pannya.
"Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu di
permukaan air sungai. .!," sambung Pendekar Dungu, memberitahu.
Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak. "Bodoh!" maki
laki-laki keturunan serigala itu. Lalu, Lelaki Berbulu Hitam mengedarkan
pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit ber- hatu-batu di kanan dan
kiri sungai. "Ada apa"!" tanya Pendekar Dungu tak mengerti.
Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras. "Mungkin tadi kau
tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita!"
bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam.
"Jadi, orang jelek itu masih hidup?"
*** 4 Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa
bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit nada-nada
yang mengusik buluh perindu itu.
Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh
tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan tahun.
Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu.
Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam.
Namanya Walet. Bocah tanggung itu kini berjalan santai meleng gak-lenggok
menembus lembah luas berhias bunga- bunga rumput liar. Beberapa waktu lalu,
bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama dengan Pendekar Slebor dalam
membongkar kepalsuan seorang
pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini, bacalah
episode: "Mustika Putri Terkutuk").
O, bunga rumpul liar
Kalau saja kalian dengar
Sehimpun mata hati basah dalam tangis
Kuluhi dunia bengis
Terkangkangi angkara
Dilindas jejak-jejak murka....
Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirik gelisah.
Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia di atas buana.


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat
Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja
memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan Perut Bumi,
setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubung-nya.
Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu
melintas cepat di depan Walet. Tak di- pedulikannya si bocah, mengingat hal
genting yang harus dikerjakan.
"Pak Tua! Kenapa begitu tergesa-gesa"! Meski aku hanya
bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di depanku," tegur
Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari
tangan satu ke tangan yang lain.
Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu,
Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh sebuah kejutan
baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya melintas di depannya.
Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah
Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali.
Seakan, dia hendak meyakinkan diri.
"Anak ini menegurku atau menegur orang lain?" pikir Raja
Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorang pun. Kecuali,
dirinya dan si bocah.
"Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?" tegur Walet lagi. "Kau..,
bisa melihatku?" tanya Raja Penyamar, digelitik rasa penasaran.
"Apa salahnya aku bisa melihatmu" Apa tindakanku adalah
dosa?" Walet balik bertanya dengan nada lugu.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah?" selidik Raja Penyamar.
"Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga
bukan kau, Pak Tua," jawab Walet berputar-putar.
Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu
menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah
naungannya. "Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua.
Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan" Udara siang benar-benar
membuatku penat. .," lanjut Walet.
Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah,
dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak.
Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan
matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu, Raja Penyamar agak
ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti
berusia begitu muda.
"Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan
penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada sesuatu yang kau
sembunyikan. Maukah menjeiaskan padaku?"
tanya Raja Penyamar.
"Eh! Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu"!"
kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa,
dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya.
"Maksudmu bukan telur-telur itu," sergah Raja Penyamar.
"Kalau bukan telur ini, aku memang masih
menyembunyikan telur yang lain. .," oceh Walet sekena- kenanya.
Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang
memancarkan pendaran cahaya, tampak memperlihatkan binar
bersahabat. "Kau mengingatkan aku pada seseoraftg, Bocah," kata
Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang membayangkan
seseorang. "Ah! Kalau dia orangnya, aku sudah kenal. .," te- rabas
Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang
dibayangkan Raja Penyamar.
Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut.
"Dia siapa maksudmu?" pancing orang tua itu, berpura-
pura. "Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan
yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he!"
"Kau.. ," desis Raja Penyamar takjub.
Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak
mengatakan apa.
"Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?" lanjut
orang tua ini selang beberapa lama.
"Ha ha ha!"
Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai-
sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin takut ada yang
terlepas dari 'bawah'.
"Kenapa kau tertawa?" sela Raja Penyamar.
tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar
mendapat perlakuan seperti itu. Dia sendiri tak tahu, kenapa tak terbetik
ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang berlaku, sikap bocah ini
sudah keterlaluan. Seperti ada semacam pengaruh batin dari diri si bocah yang
membuatnya senang dan langsung merasa akrab dengan Walet.
"Pak Tua.. , Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau
mengakui aku sebagai anaknya" Ha ha ha! Kurasa, aku ini lebih jelek daripada
anak siluman mana pun!"
Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bu-. kankah
dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi"
"Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan
kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan menjelaskan
padaku tentang dirimu, bukan?" pamit Raja Penyamar.
"Hm, Pak Tua! Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang
kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa di kaki
bukit. .," kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu menghilang.
"Kenapa begitu?"
"Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa
Kang Andika, katakan padanya dia mem- butuhkan 'sesuatu yang bisa menandingi'
kekuatan sihir senjata lawan!"
Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga
dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian
menghilang. "Terimakasih banyak, Pak Tua!" seru Walet.
Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar
bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi
penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka
tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu itu.
Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih
muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur coklat di sana-
sini. Sementara Purwasih menenteng pedang
bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang warangkanya
dengan hati-hati. Andika hanya takut 'Air Kehidupan' di dalamnya tertumpah.
Padahal mereka sudah susah payah
membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang sungai bawah
tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau kebetulan langit-langii lorong
begitu pendek. Terkadang pula harus sungsang-sumbel menghindari gigi langit-
langit yang runtuh menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh
selama setengah harian yang melelahkan.
"Andika!" sambut Raja Penyamar di permukaan arus
sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela arus.
"Raja Penyamar?" gumam Pendekar Slebor sedikit ragu.
Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang
menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati.
Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai wangi bunga
sedap malam, hidung Andika segera mengendus-endus seperti seekor kucing lapar
mencari makan. Namun hawa dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga
tampaknya kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar sedap
malam itu bisa tercium juga.
"Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,"
kata Andika lega.
Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap
telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk pemuda pujaannya
yang entah berbicara pada siapa.
"Kau bicara padaku, Andika?" tanya Purwasih.
"Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku," sahut Andika.
Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri.
"Kau sinting, ya" Aku tak melihat siapa-siapa di sana!"
omel Purwasih. "Sini. kau! Biar matahari siang menghangatkan otakmu yang mulai
beku!" Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai.
"Hey, jangan menarikku seperti ini! Aku harus berbicara
dengan.. ." Andika cepat tersadar.
"Slompret! Aku saja yang tolol! Ya. jelas Purwasih tak
melihat Raja Penyamar. .," gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang seraya
menepuk kening keras- keras.
"Nah! Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku
bukan?" cemooh Purwasih tak tahu rae- menahu.
"Ah, iyalah!"
Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing
congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja
Penyamar tanpa membuat bi- ngung dara itu.
Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat
tingkah dua anak muda itu.
"Purwasih! Bagaimana kalau kau membuat api unggun di
dekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci" Kau tentu sudah lapar
dan mau me- nyantap daging kelinci hangat bukan?" usul Pendekar Slebor.
Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar
bisa pergi untuk sementara.
"Usul bagus! Kalau begitu, cepat!"
Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali
Raja Penyamar di tempat semula.
"Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua! Aku punya sesuatu
untukmu!" ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu.
"Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan
Pengadilan Perut Bumi?"
Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak
tangan membuka lebar-lebar.
"Blar!" seru Pendekar Slebor dengan mimik wa?jah seru
pula. "Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi penyebabnya.
Mereka jotos-jotosan.. . Nah sekarang, kau mau dengar berita gembira untukmu?"
"Apa?"
"Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?" sambung
Andika menggebu-gebu.
"Air ajaib apa?"
"Ah! Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu
nama 'Air Kehidupan'! Bagus, bukan" Nah! Yang jelas, air itu bisa membuat tubuh
yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib!"
Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung
berkerut. "Itu 'Air Sari Buana'..," desah Raja Penyamar.
"Jadi kau tahu soal air ini?"
Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng.
"Anak Muda.. . Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air mukjizat yang
begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu
berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun sekali. .,"
papar Raja Penyamar.
Mulut Andika menganga.
"Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk
mengambilnya?"
"Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu
sudah berpindah kembali, entah ke mana. .," tambah Raja
Penyamar. "Ah, sayang..," sesal si pemuda gondrong. Diliriknya gagang pedang
milik Purwasih. "Aku hanya dapat sedikit. . "
"Lalu, apa maksudmu dengan 'Air Sari Buana' itu?" tanya
Raja Penyamar. "O, iya! Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena
suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan" Kau mati. Sementara itu, jasadmu tak
kunjung membusuk di Kampung Kelelawar. . " (Untuk lebih jelasnya, bacalah
episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
"Jadi maksudmu"
"Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa di- sembuhkan.
Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun menemukan obat
untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan
mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan pulih
kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa menempatinya kembali.
. " Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng- geleng.
"Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak
Muda.. ." "Aaa! Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung membusuk"
Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali ke jasadmu" Jadi, ini hanya
masalah waktu. Kalau suatu saat kau berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu,
maka. . Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba- tiba sebuah
tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang.
"Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bi- cara!"
omel Purwasih disampingnya. "Yang pasti, kau harus menepati janjimu untuk
mencarikan kelinci!"
"Ya, ya, ya!
Kelinci i! "Yang gemuk!"
"Yang gemuuuk!"
*** 5 Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang ba- kal
terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri,
menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak dikehendaki manusia,
tetap berjalan seperti itu.
Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga.
Seperti halnya Andika.
Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui
Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui batin. Dia amat
tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan semadi, Pendekar Slebor yakin akan
berhasil menghubungi batin bocah tanggung itu.
Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me- layang
kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya terus melayang
dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang tak terbatas. Sepasang tangannya
terkembang ke depan, seolah hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat.
"Walet! Walet!" panggil Andika. Suaranya bergema tak
terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas.
Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya
putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar.
Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya itu atau
justru sebaliknya.
Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan
tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan seorang tampan
perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus
pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan tanpa kumis atau
cambang penghias. Lelaki pun akan sempat
terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu.
"Siapa kau?" sapa Andika. "Aku tak memanggilmu. Yang
kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet!"
Sang Pangeran tersenyum amat ramah.
"Akulah Walet!" sambut sosok tampan itu, lembut.
"Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia
seorang bocah kecil," sangkal Andika.
"Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika,
bukan" Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika Putri Terkutuk.
Tentang seorang pangeran dan putri yang saling mencintai, namun kedua orangtua
masing-masing tak menyetujui hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua
mereka pun mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk dan Sang
Pangeran menghilang bagai ditelan bumi. . " (Baca
Pendekar Slebor dalam episode: "Mustika Putri Ter- kutuk").
"Tunggu! Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu,
bukan?" sergah Andika.
"Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu.
Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal. . " Sang Pangeran mengakhiri
cerita. Mulut Andika membulat.
"Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan
batin yang luar biasa.. ," gumam Pendekar Slebor. "Jadi, apa pesan yang kau
maksudkan untukku?"
"Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus
memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah benda.. ." "Kekuatan
sihir sebuah benda" Benda apa yang kau maksud?" "Cermin Alam Gaib..."
"Tuhan.. . Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin Alam Gaib," desis
Andika. Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bo- la mata Sang Pangeran dengan
sinar mata berharap.
"Jadi, apa yang harus kumiliki?"
"Kalbumu.. ," sahut Sang Pangeran, singkat.
Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi.
"Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki," kelakar Pendekar Slebor. "Kau
memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki
kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui
pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari
keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha Besar yang
menduduki kursi semesta. . "
Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara
jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih.
Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan di
depannya langsung ditemukan Raja Penyamar.
"Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung- guhnya
anak kecil itu, Andika?" tanya Raja Penyamar.
Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja
Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran.
Maka secara jelas dan singkat, Andika pun men- ceritakan
jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri.
"Pantas. .," bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh
cerita Andika tentang si bocah ajaib itu.
Dari silanya, pemuda tampan yang disegani da- lam dunia
persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja Penyamar di dalam
sebuah gubuk terbengkalai di Kampung
Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh tahun silam.
Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut
ruangan. Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau sudah
banyak sarang laba- laba menggerayangi sekitar jasadnya.
Pakaian coklat berkerah pendek serta penutup kepala seperti blangkon dari batik
pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar di sana-sini.
Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak
termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan kesejukan
dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah terjadi, layaknya
seorang yang tertidur pulas saat bersila.
Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja
Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi, Andika telah
menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya, akan banyak makan waktu jika
menjelaskan perihal Raja Penyamar pada Purwasih. Termasuk menceritakan
rencananya untuk
memberikan 'Air Sari Buana' pada jasad lelaki tua itu.
"Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyim- pan saja
air mukjizat itu, Anak Muda," cetus Raja Penyamar, membuka
percakapan kembali. "Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya."
Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan
kemantapan keputusannya.
"Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan
masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu
selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad."
"Kenapa begitu?"
"Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini ber- kaitan erat dengan usaha kita
memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau setuju me-
manfaatkan 'Air Sari Buana' bagi jasadmu. Kalau menolak, berarti kau menutup
kesempatan untuk memerangi kezaliman yang bakal disebar manusia siluman itu
dengan Cermin Alam Gaibnya.. ," jelas Pendekar Slebor.
"Tampaknya aku tak punya pilihan?" ujar Raja Penyamar,
masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya.
Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di du- nia
persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya
seseorang mendapatkan 'Air Sari Buana'. Usaha mencarinya saja, sama dengan
kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan
berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya.
Kalau 'Air Sari Buana' itu kini dimanfaatkan un?tuk dirinya, berarti sampai mati
nanti pun Andika tak akan punya kesempatan memilikinya kembali. Padahal, sebagai
ksatria penegak panji-panji kebenaran, 'Air Sari Buana' amat dibutuhkan dalam
perjuangannya. "Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua.
Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan begitu saja.
Jadi, sama saja bukan" Aku tetap tak akan memiliki air mukjizat ini,
dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak," papar pemuda dari Lembah Kutukan
keras kepala. setengah mengancam.
"Baiklah," putus Raja Penyamar akhirnya.
*** Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya
beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat Bumi belum mati.
Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati.
hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski. si tua itu adalah
gurunya sendiri.
Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika
sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia Dari Pusat Bumi
Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan
siluman itu"
Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan
Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara
timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat bebatuan raksasa
serta genangan yang menenggelamkannya,
seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama
sekali tak berarti apa-apa.
Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui
sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa kesulitan
berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.
Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah
menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung jalan rahasia,
kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Waktu itulah
Pendekar Dungu sempat melihat
pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.
Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari
yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.
Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi
tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung Kapur. Selama tiga
hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan tapa pemulih kekuatan setelah
tenaganya banyak terkuras dalam pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim
Tanpa Wajah. Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si
manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia bangkit.
Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui mulut goa yang menganga
lebar. Sinar siang menyapa wajah hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di
bola mata lelaki
itu, yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan
mengancamnya. "Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,"
desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan.
Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan
kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan itu satu dengan
yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung tumpul sebuah benda. Makin
nampak. sampai akhirnya tergenggam utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib.
"Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini," kata
manusia Dari Pusat Bumi.
Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari
Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata
pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup, melepas sehimpun
tenaga hitam hingga warnanya berubah merah.
Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu
mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak-gerak kecil!
Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar Manusia Dari Pusat Bumi.
Darah dari bola mata kiri dan kanan pun bertemu di ujung dagunya.
Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas mem- bawa
Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah yang
menggelantung di ujung dagu terhenti.
Tes! Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu me- netes ke
permukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar semerah darah yang
mem- basahinya, tepat pada saat keduanya menyatu. Ber- samaan dengan itu,
tetesan darah menghilang bagai terserap cermin.
"Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai
Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu.
Keinginanku, juga keinginanmu," ucap Manusia Dari Pusat Bumi seperti jalinan
mantera. Sebentar manusia siluman itu menghentikan ka- la-
katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam.
"Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,"
kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi. Berat dan pasti.
Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas
bibir goa. Dan. .
"Hancur!" seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang
membahana. Blarrr! Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan
menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru, seperti
hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata.
Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi meng- acungkan
kepala cermin ke atas bibir goa. Dan. .
"Hancur!" serunya lantang membahana.
Blarrr! Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan
menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin ke segenap
penjuru! Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan
seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang dilihatnya.
Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar
pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa.
"Kini, angkat batu itu ke arahku!" perintah Manusia Dari
Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib.
Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi
mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang
dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki bobot lebih dari
selembar bulu! Blam! Gr r.... Entah tenaga sesat dari mana. sehingga mampu
menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa.
Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil menerpa tubuh
Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan
mengutukinya. *** 6 Ada pepatah lama yang berbunyi, 'Lidi yang rapuh akan
memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu'. Untuk tujuan-tujuan tertentu,
menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan.
Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk
niat-niat terpuji. Para pembangun ke- jahatan pun tampaknya menyadari pentingnya
hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali Manusia Dari Pusat Bumi mengundang
tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi,
sebab dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan.
Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Di- namakan
begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu panas menyengat
bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih, Lembah Pasir Tungku lebih
pantas disebut gurun.
Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi
merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu panji angkara
murka! Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan
dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki kutung.
Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya.
Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak jauh berbeda.
Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah
memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka cekung ke dalam.
Dengan begitu dagu mereka tampak lebih
menjorok keluar.
Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua
perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang dikenakan, sama-sama
berbebat kain hitam sepanjang dada hingga lutut.
Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat,
sepertinya mereka tak bisa bergerak lin- cah. Padahal jika keduanya sudah
berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan renta itu selincah rase
muda betina. Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat
julukan Rase Tua Kembar.
Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan ada- lah
rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka bisa terlepas.
Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun yang sanggup me- manggang
daging siapa pun. Daya tembus
binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan, maka ulat-
ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung.
"Manusia bernyali sebesar apa yang nekat meng- undang
kita hingga harus menempuh gurun keparat ini," gerutu si buta.
Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka
memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat
manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir darah korban.
"Ah! Ini tak seberapa panas dibanding neraka!" sergah si
kutung, melecehkan gerutuan si buta.
"Ya! Kau bisa bilangbegitu! Terang saja, kau hanya mendompleng di bahuku. Coba
kalau kau merasakan panas pasir ini!"
"Kalau aku punya kaki, aku akan jalan!"
"Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini!"
"Tapi, aku toh takbakal punya kaki!"
"Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini!
Makanya, jangan bicara seenak dengkul!"


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heeeh! Apa kau lupa aku tak punya dengkul!"
Keduanya lalu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik,
mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya seakan tidak
pernah terjadi.
"Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu di
mana?" tanya si buta.
"Kau lupa?"
"Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua!" sentak si buta.
"Memang kau sendiri yang tua! Aku juga begitu!" sergah si
kutung tak mau kalah.
"Kau lupa apa tidak"!" tandas si buta.
'Tidak." "Kalau begitu, kau belum tua!"
Kembali mereka terkikik-kikik ramai.
Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki
sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang besar.
"Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda dalam mimpi kita," tandas
si kutung. Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika me- nemukan
duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk.
"Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini
tempatnya...."
Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang
lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki berperut
sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah lelaki buncit itu
sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu tua dipenuhi keriput. Alis di
belahan itu pun memutih, di atas sebelah matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian
wajah sebelah kiri tampak demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak
kemerahan, bagai kulit bayi. Perut yang demikian besar seperti tak menghen- daki
baju. Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan kain yang
hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan suka berpakaian, kalau
tubuhnya saja selalu dibasahi keringat.
Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu se-
bagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang besar, juga
karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan bunyi bertabuh-tabuh.
Persis bunyi gendang!
dung dung Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon
kaktus besar. Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan
Bentrok Para Pendekar 2 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Maut Dari Hutan Rangkong 3
^