Pencarian

Cermin Alam Gaib 2

Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib Bagian 2


wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai seraya
memperdengarkan gemelutuk gigi.
"Si Perut Gendang minta dibunuh!" geram si buta. Meski
tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki pendatang baru
tadi. "Menurutmu, apa dia orangnya yang mengun- dang kita?"
tanya si kutung.
"Mana aku tahu!"
"Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita. . "
"Kita pecahkan perut buncitnya itu!" terabas si buta.
Lagi-lagi keduanya terkikik.
"Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek!" tegur si Perut
Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya sama sekali tak
ramah. "Berani-beraninya kalian mengundangku!"
"Heeeh! Berani-beraninya dia membentak-bentak!" balas si
kutung sewot. "Makan, nih!" sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran
pasir di sela-sela jari kaki yang takberalas.
Wes wes! Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat,
mengancam udel si lelaki buncit yang meng- intip malu-malu dari permukaan
perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir
demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas,
kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan
menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun!
Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku
bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer kekuatan, si Perut
Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk deras. Bleng!
Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke
atas, seperti permukaan tikar yangdigebah. Hasilnya, berupa tenaga sedotan luar
biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir berkekuatan hebat itu
dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun tak begitu lama kemudian perutnya
meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan
berbahaya, benda-benda halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas
tubuh si Perut Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara!
"Permainan anak-anak kalian pamerkan!" maki si kutung
gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi.
"Chuih!"
Psss.. . Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup,
meninggalkan asap tipis yang terpenggal di uda- ra. Sedangkan
terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya menerima beban
air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di dada si kutung.
"Jawab pertaryaanku, Buncit! Kau yang meng- undang
kami ke tempat ini"!" tanya si kutung, mem- bentak.
"Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian!" balik
si Perut Gendang tak mau kalah.
"Kau mengundang kami atau tidak"!" si buta ikut campur.
"Kalian mengundang aku atau tidak"!"
Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari
kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang menyakitkan
telinga. Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak me- noleh ke
asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula.
Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak
mengenalnya. Kalau dalam jarak jauh saja senandung meme- kakkan si
pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah tiba di dekat
ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya meringis-ringis. Ingin
rasanya mereka segera menutup telinga dengan tangan. Nama besar yang tersandang,
membuat mereka malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa
menyalurkan havva murni agar gendang telinga tak pecah.
"Nyanyian gagak buduk apa pula ini"!" gerutu si buta.
Orang yang baru datang tak mempedulikan ge- rutuan itu.
Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah.
"Aaa! Sudah ada yang kumpull !" seru si penda- tang baru
dengan wajah riang bukan main.
Ternyata dia adalah seorang lelaki muda ber- kepala
botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India.
Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak menonjol keluar.
Dengan baju panjang putih serta selendang di leher, kulit hitamnya jadi tampak
makin kelam. "Aaa, sudah ada yang kumpull !" sapa orang itu kembali,
sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering yang
mengelupas dari ke- palanya.
Kau yang mengundang kami"!" sambut Rase Tua Kembar
bersamaan. "Kau yang mengundang aku"!"
Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas
pertanyaan serupa.
Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa ditu duh
demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat perlakuan kasar
begitu tiba di tempat yang menyiksa ini.
Nampaknya, si pemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang
semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan kepala. Sikapnya
benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang.
"Chuah! Tingkahmu memuakkan!" semprot si kutung.
"Apa yang diperbuatnya?" Wanita buta di bawah nya ingin
pula tahu. "Nanti kau jadi ikut muak!"
"Aku dengar suara orang menggaruk, tadi," kata si buta
penasaran. "Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul
dan beruntusan itu!" si Perut Gendang memberitahu.
Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gen dang
untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam kebaikan, mungkin
itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang hidup. "Idih! Aku suka kepala gundul.
Mengingatkanku pada..."
"Jangan berpikiran kotor!" potong si kutung pada ucapan
saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada
pemuda gundul itu. "Sekarang jawab pertanyaanku pemuda 'keling'!
Apa keperluanmu datang ke tempat ini"!"
"Aku diundang seseorang," sahut si pemuda hitam disertai
sebaris senyum.
"Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau
juga diundang, lantas siapa yang mengundang"!" tanya perempuan berkaki kutung.
Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan pemuda ber- kulit hitam ini.
"Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?"
ucap si pemuda gundul.
"Sebaiknya begitu!" serobot si buta cepat.
"Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang
mengundangku?" tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri.
"Hey"! Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua!"
bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka.
"Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang yang mengundang
kita. Menunggu.. . Huh! Menyebalkan!"
Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kia- mat, kalau
saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat Bumi, yang telah
mengundang mereka semua.
"O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.'" sambut
si perempuan kutung.
"Kau yakin dia orangnya?" tanya saudara kem- barnya.
"Peduli apa" Aku yakin kek, tidak kek! Pokoknya, aku
sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu!"
Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang
kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung
mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan.
"Suka tidak suka, kalian akan diam dan mende- ngarkan
perkataanku!" seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat.
Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut.
Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya itu. Mereka juga
tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula yang terjadi pada si Perut Gendang
dan pemuda hitam.
"Dengar! Akulah orangyang mengundang kalian untuk
datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap oleh orang-
orang sakti yang bejat! Di tempat ini, kalian harus bertarung denganku dalam
sepeminuman teh. Siapa yang selamat, harus bergabung di bawah panjiku!"
Inilah ujian yangdiberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi
bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau scmbarangan
mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak
banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh!
Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut
Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam
masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi.
Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus, menghadapi
sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan dari pengaruh sihir.
"Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek"! Baru sekali ini
ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang!" mulai si lelaki buncit. "Tak
perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau berusia panjang. Yang perlu
kau lakukan hanyalah mengerahkan seluruh kesaktian yang kau miliki untuk
menghadapiku. Jika berhasil bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka
bersenanglah. Karena, kau akan bergabung dengan 'Raja Diraja Kejahatari'!"
Si Perut Gendang tertawa mengejek.
"Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek! Tampangmu
pun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur untuk
menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji
kesaktianku.. .'"
Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki
sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan calon lawan.
Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya sebuah jurus.
"Kau sungguh-sungguh, rupanya" Ya, sungguh- sungguh
mencari mampus!" hardik si Perut Gendang mulai gusar.
Deb! Deb! Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas,
Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan patukan tangan
secepat kilal. Agak aneh. Karena, tangannya sama sekali tak mematuk langsung ke
tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya sungguh sempat memukau si Perut Gendang.
Tangan pemuda bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang langsung menyambar
deras ke kening.
"Gila! Ini sihir!" seru si Perut Gendang, setelah menghindar sebisa-bisanya.
Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang
bisa merasakan angin pukulan maut dari se- rangan yang luput.
Seolah-olah, bayangan itu lebih kuat berlipat ganda dari tangan
sesungguhnya. Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh
lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan
sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus.
Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempcrsiapkan satu
rencana serangan balasan.
Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang.
Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut besarnya meliuk-
liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang, tercipta bunyi yang mememakkan
telinga. Dung! Dung.. ! Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian me- muncak,
berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya.
Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh gajah jantan
sekali pun! Deb, deb, deb,!
Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan
bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular kini meluruk
ganas. Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat
Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut si Perut Gendang.
Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat, bayangan tangan itu
kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan memang, benteng angin lawan yang
tangguh berhasil ditembus!
Wesss! "Bangsat!" maki si Perut Gendang, gusar bukan main.
Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat di- lempar
jauh-jauh dari jarak jangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Setelah
berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar kalau harus melepas serangan
balasan. Terlalu berbahaya baginya jika hanya bertahan mengandalkan benteng
angin perutnya,
sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan.
"Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek!"
Di ringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk-
nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara
kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan cepat. Prak,
prak, prak..! Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut
Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar
pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal didunia
persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa.
Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut Gendang.
"Hiaaa!"
Whuuusss! Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun
raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar membentuk kincir
tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya Manusia Dari Pusat Bumi.
Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang
berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu membentuk
angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya.
Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak
tampak rasa ngeri di wajahnya.
Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari
tcngah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat Bumi
membentangtinggi ke atas.
Plakk! Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu
terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah ditahan oleh
patok kuatyang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari Pusat Bumi.
'Cukup! Kau telah lolos dari ujianku!" seru Manusia Dari
Pusat Bumi. Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga
dirinya sudah telanjur di njak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia merasa
terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah.
Siap mengibas kepala lawan di depan.
Plak! Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu
tanpa kesulitan.
"Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti!" bentak
Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali.
Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi
tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin petaka itu diarahkan
ke sasaran. si lelaki berperut buncit langsung mengejang.
***

Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

7 Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi
telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat bertahan dalam
sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka
dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan siluman. Meski
merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau kencur yang baru dikenal, tiga tokoh
sesat kawakan itu tak bisa menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh,
harus mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan
kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak
keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah
perintahnya. Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding.
Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak dikenal. Namun
begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit hitam itu. Sebelum waktu
yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi habis saat uji tanding, dia sempat
memasukkan sebuah hantaman telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun
si Perut Gendang belum bisa melakukannya.
Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak
terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri masing-masing.
Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu"
Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang
membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing- masing.
"Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan.
Bahkan harta yang melimpah," kata Manusia Dari Pusat Bumi,
sesuai uji tanding. "Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu dekat, semua
itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku!"
Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari
Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang di- ucapkannya bagai tertenung. Ada
semacam daya cengkeramyang kuat dalam ucapan si manusia jelmaan siluman itu.
merasuk langsung ke dalam nafsu masing-masing.
Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka
satu persatu, menusuk dan bengis.
"Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekua?saan dan
harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati
mempertahankan harga diri!" tandas Manusia Dari Pusat Bumi
seperti ingin memastikan ke- hendak orang-orang taklukannya. Bisa jadi, juga
hanya. karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa ditentang. Rase Tua
Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam tak bicara apa-apa. Sudah jelas
bagi mereka, apa yang lebih penting dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim
seperti mereka, harga diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika
mereka punya kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan
mudah di injak-injak.
Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita
tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan.
"Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri. Sebab. Jika
kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan dunia
hitam!" Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah
tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak muncul Cermin
Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian dari dirinya.
Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu
terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan Manusia Dari Pusat
Bumi. "Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian
kuangkat menjadi pengikutku! Kalianlah kaki tangan Sang Angkara!"
teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur.
Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak me- nyalak di
angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan
hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau para makhluk
durjana sedang berseru gembira.
"Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan.. ?" tanya si
Perut Gendang. "Panggil aku Sang Angkara!" hardik Manusia Dari Pusat
Bumi. "Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?" ulang si
lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan.
Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan
kembali. "Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka yang mengaku
dirinya sebagai abdi Sang Ke- benaran, selalu berdiri menghadang gerak kita.. ,"
sahut Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat.
"Di antara mereka, ada satu orang yang benar- benar akan
menjadi penghalang besar!" lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang Angkara
berapi-api. "Seorang pemuda yang memiliki 'bakat suci'
dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan.. ."
Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat
tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang
dibicarakan manusia jelmaan siluman itu.
"Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang
Angkara," selak si perempuan berkaki kutung.
"Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa
orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat.
Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita.. .
Pendekar Slebor!" sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat
kegeraman. Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut
Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing-masing seperti
langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar yang menggemparkan selama ini.
"Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang
Angkara Murka?" tanya si pemuda hitam, memecah keheningan
mereka. Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah
hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat permukaan pasir
seperti dilapisi lelehan lilin bening.
"Percayalah.. tak akan mudah menaklukkan dia dengan
kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan untuk menjadi
musuh besar kaum sesat. .," urai Manusia Dari Pusat Bumi kembali. "Untuk itu,
kita harus menjalankan semua cara untuk
menghancurkannya!"
"Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?" si buta yang
sejak tadi bungkam, ikut berbicara. "Tapi sepanjang pengetahuanku, dia belum
pernah mem- perlihatkan kelemahan.. ."
"Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki
kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kele- mahannya, maka kita bisa
memanfaatkan orang- orang yang dekat dengannya.
Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang
terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?" tutur si Perut Gendang, seolah
seorang penasihat raja sedang memberi saran.
Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi
menyeringai. Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun
mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang-orang yang dekat
dengan Pendekar Slebor."
"Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang
wanita," ujar kutung bersemangat.
"Ya! Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia ber- juluk
Naga Wanita. .," Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan.
Dikembangkannya dada sarat keangkuhan. "Rencana pertama kita adalah.. ."
*** "Andika! Andika.. !"
Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor.
Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu muncul dari
rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah siapa dia. Purwa?sih.
"Dasar pemuda brengsek!" maki sang dara. Wajah
cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel.
Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga
wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian kesal" Sewaktu
bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah
barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana.
Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang didapat Andika
waktu itu. Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena
tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada hal penting
yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu.
Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih.
"Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan,
Andika," ancam Purwasih menggerutu.
Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar"
Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena totokan Andika.
Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda slebor itu ternyata terlalu
hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya sampai totokan itu terbebas sendiri.
Dia tahu, totokan itu hanya untuk sementara waktu. Karena, sebelum pergi
meninggalkannya, Andika sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu
akan terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek!
"Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak.
Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh! Apa aku mau dijadikan umpan
binatang buas oleh pemuda konyol itu"!" gerutuan Purwasih tersambung.
Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena
tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala naga yang masih
tergeletak di tanah.
"Mana sarung pedangku dibawanya lagi! Apa maunya
pemuda itu" Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam sarung pedang,"
gumam Purwasih.
Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan.
"Ah! Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya! Bisa
sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak," kata Purwasih
berbicara sendiri.
Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang
berguruh menahannya.
"Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak"!"
Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak
kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu, dengan serta
merta pedangnya diacungkan.
"Siapa kau"!" tanya Purwasih manakala menyak- sikan
dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh yang lain di
bahu. "Sepertinya aku pernah mendengar tentang kalian." Sambil berkata, kelopak
mata lentik Purwasih menyempit.
Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi.
"Kalian Rase Tua Kembar?" tanya Purwasih. hendak
meyakinkan diri.
"Hee.. he he! Anak cantik yang pintar!" sergah si
perempuan buta.
"Dari mana kau tahu dia cantik?" Masih sempat-
sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya.
"Sial! Kenapa kau tak urus gadis itu saja!" bentak si
perempuan tua buta gusar.
"Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu,
Nisanak yang cantik. .," ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan ucapan pada
Purwasih. Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian," ucap
Purwasih. "O, ada! Tentu saja ada. Bukan begitu?" terabas si buta.
"Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara
bertemu pun baru kali ini," sangkal Purwasih.
"Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus
tercipta setelah pertemuan, Nisanak," tutur si kutung, sok berkata bijak. "Kau
tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain, padahal baru pertama
kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena satu alasan, Nisanak. . "
"Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit-
belit." Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele, Nisanak. Dia ingin
memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua.
Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi.
Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak ter elakkan..."
"Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit!" sergah
Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli.
"Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama
sekali tak pernah bertemu sebelumnya. . "
"Apa maksudmu sebenarnya!" bentak Purwasih, mulai tak
sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi
dipermainkan. "Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga
kau harus berurusan dengan kami. . ," timpal si buta, kembarnya.
"Kenapa kau tak cepat katakan!" sentak Purwasih.
"Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap
Pendekar Slebor. Jelas?"
Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti.
Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik.
"Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada
kalian?" kata Purwasih penuh tekanan.
"Nama besar kalian tak cukup membuatku menge- mis-
ngemis minta dikasihani!"
"Bagus! Kalau begitu, kami bisa sedikit mengen- durkan
urat-urat. He he he! Mari kita serang dia, Kutung!" ujar si tua buta
bersemangat. "Ya! Tunggu apa lagi"!" timpal saudara kembar di
bahunya. "Bersiaplah, Nisanak yang cantik!" geram si buta.
"Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk
macam kalian!" tantang Purwasih.
Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua
Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat kompak. Tangan si
kutung bergerak, membuat persiapan serangan di bagian atas. Sedangkan si buta
membuat persiapan serangan khusus bagian bawah.
Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di tangannya
terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya
berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya.
"Maju empat langkah, Buta!" seru si kutung memberi
perintah. Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka, memperpendek jarak
dengan lawan. "Hiaaa!"
Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek berkaki
kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal serangan. Tapi yang
dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak menunjukkan hendak melakukan
serangan. Mereka tetap di tempat, meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya
menanti terjangan.
Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan
cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka sengaja hendak
menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti,
Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot secara paksa,
saat teriakan lawan berkumandang.
Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepa- sang
telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya.
Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah
keduanya mengirim terjangan dahsyat.
Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak
segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerah- kannya hawa murni ke gendang telinga.
Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak berwujud tersebut, disalurkannya
tenaga dalam pada ayunan
pe?dang. Wuk, wuk, wuk!
Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat
dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar pun dapat


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit teredam.
Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga
dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau sebelumnya hanya
kerongkongan si nenek berkaki kutung yang
mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama
melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat sekitarnya, bagai
ribuan gagak yang berteriak serempak.
"Hiaaakkk!"
Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang
Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat
itu juga. Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian berusaha memutar
terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang.
Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang.
Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan.
Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat
tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela lowong menuju
tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang
sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi.
makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih mcrasakan semacam
sayatan sembilu mengge rayangi kulitnya.
"Aaa.!" pekik Purwasih, didera pedih luar biasa.
Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu
ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon tinggi menjadi
berguguran, seakan dihujam keraarau panjang!
Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam
jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun.
Semuanya telah telanjang dalam sekejap!
Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih me?mang
tergolong hijau dibanding kedua tokoh bang- kotan itu. Itu sebabnya, kian lama
pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan kekukuhan. Dara cantik itu
mulai melorot, tapi masih berusaha tegak pada kedua lututnya.
Usaha untuk bertahan makin tak banyak mem?beri
harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan.
Dung, dung, dung!
Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh
benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu tenaga dalam. Dari
perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh keluar. Purwasih makin payah.
Suara perut yang ganjil itu ternyata ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase
Tua Kembar. Tak lama berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi
dipertahankan. Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur darah
kental kehitaman.
Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk.
8 Sebuah tempat terpencil dikungkung kegelapan malam. Di
sana, ada candi kuno terbengkalai yang berdiri kaku dan bisu.
Bangunannya tak begitu besar, terbuat dari susunan batu yang seluruhnya nyaris
diselimuti lumut. Sebagin batu sudah gompal di sana sini. Tepat di bawah anak
tangga gapura masuk, terdapat dua patung 'kala'') memanggul 'gada'*). Karena
sudah begitu tua, satu patung telah kehilangan kepala.
Empat sosok kini tiba di tempat itu.
Mereka adalah Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan
Purwasih. Gadis itu kini terkulai tidak berdaya di bahu lelaki berperut buncit.
Mereka pun menaiki anak tangga candi satu persatu. Bulan sepotong di langit
menyiram cahayanya, sehingga tercipta bayangan samar mereka terlekuk di anak
tangga. Kehebatan ilmu meringankan tubuh, membuat para tokoh
sesat itu tidak menghasilkan suara ketika menaiki tangga batu yang merapuh.
Mereka berjalan ringan seperti melangkah di timbunan awan. Saat itu, malam hanya
dibelah oleh suara satwa. Jangkrik memainkan tembang tak teratur, ditingkahi
nyanyian katak-katak yang tak mau kalah. Ditambah satu suara yang begitu
mengusik malam, suara perut si lelaki buncit.
Dung, dung, dung!
"Buncit! Apa kau tak bisa sebentar saja meliburkan suara
perutmu yang menjengkelkan itu?" gerutu si buta, satu dari Rase Tua Kembar.
Dengan kebutaannya, si Buta telah melatih telinganya menjadi demikian tajam.
Suara yang dihasilkan perut si lelaki buncit tentu saja amat mengganggu
telinganya yang memang peka.
"Tentu saja aku bisa membuang suara ini, asal perutku
juga dibuang. Tapi, mana aku sudi membuang perutku, Buta," sahut si Perut
Gendang. "Kalau begitu, biar kubantu dengan senang hati membuang
perutmu!" kata si nenek buta gusar.
"Berhentilah kalian bertengkar!" sergah si nenek berkaki
kutung. "Kalian bukan anak kecil yang pantas ribut-ribut!"
Si Perut Gendang terbahak. Sedangkan si nenek buta
cemberut. Tepat di mulut pintu masuk candi, si pemuda hitam menyambut.
"Kenapa untuk membawa kelinci cantik seperti dia kalian
begitu lama?" sambut si pemuda hitam. Sedikit pun sambutannya tak menyenangkan
ketiga tokoh sesat yang baru tiba. Sambil berkata, mulutnya tak pernah lepas
dari senyum lebar. Barisan gigi putihnya tampak terjilat siraman bulan.
"Banyak manusia yang hanya bisa bicara, tanpa
melakukan apa-apa," sindir si nenek berkaki kutung.
Pemuda berkulit hitam hanya menanggapi sindiran itu
dengan senyum lebar khasnya.
"Kalian sudah ditunggu Sang Angkara di dalam," kata
pemuda gundul berkulit hitam kemudian. Mereka bersama-sama memasuki candi.
*** Manusia Dari Pusat Bumi tampak duduk menunggu di atas
undakan batu persegi yang sebenarnya digunakan untuk
meletakkan sesajian, sewaktu candi itu masih dimanfaatkan ratusan tahun lalu. Di
depannya, api unggun besar menjilat langit-langit ruangan. Panasnya menggapai ke
mana-mana. Dan cahayanya
menyapu dinding ruangan menjadi kemerahan terang.
"Kami sudah berhasil membawa gadis yang kau maksud,
Sang Angkara," lapor si Perut Gendang. Di kedikkannya bahu tempat Purwasih
terkulai, seolah ingin menunjukkan hasil kerja mereka.
Manusia Dari Pusat Bumi alias Sang Angkara
mengangguk. "Rantai wanita itu di ruang sayap kiri candi!" perintah Sang Angkara kemudian.
Si Perut Gendang melirik si pemuda hitam yang mengaku
pada mereka bernama Gulili. Nama yang asing bagi telinga para
tokoh sesat itu. Bagi mereka, nama itu seperti mirip-mirip nama asal tanah
India. Boleh jadi, Gulili memang berasal dari sana.
"Sekarang giliranmu, Gulili," ucap si Perut Gendang.
"Giliranku apa?" tanya si pemuda hitam, berpura-pura tak
mengerti. "Kau dengar tadi, Sang Angkara menyuruh merantai gadis ini di ruang
sayap kiri!" tandas lelaki buncit itu, agak membentak.
"Kau yang diperintah, bukan aku," tolak Gulili tegas,
mengetahui maksud si Perut Gendang di balik kalimatnya.
Si Perut Gendang mendelik pada pemuda berkulit hitam
itu. Dia sungguh tak senang diremehkan Gulili yang jauh lebih muda.
Apalagi, anak muda itu dianggap masih bau kencur karena di dunia persilatan
namanya tak pernah muncul.
Gulili tampaknya tak gentar dengan ancaman mata si Perut
Gendang. Dengan senyum lebarnya, lagi-lagi dia meremehkan tokoh kelas atas
golongan sesat itu.
"Sepertinya kau hendak menantangku, Pemuda Hitam"!"
ucap si Perut Gendang, mulai terusik sikap Gulili.
"Apa pun sebutannya, yang jelas aku tak suka kau perintah
seenaknya!" Gulili pun mulai terang-terangan menantang si Perut Gendang. Rase
Tua Kembar senang menyaksikan keduanya
bersitegang. Bibir kedua nenek kembar itu mulai memunculkan senyum tipis.
Barangkali, mereka berharap si Perut Gendang dan Gulili segera terseret dalam
pertarungan. Manusia Dari Pusat Bumi pun tampaknya tidak berniat
cepat-cepat meredam perselisihan itu. Matanya terus mengawasi kedua lelaki jauh
bertaut usia itu.
Tahu kalau Manusia Dari Pusat Bumi tak menggubris, si
Perut Gendang segera menurunkan tubuh Purwasih dari bahunya.
"Kau ingin menjajalku, ya"!" ucap si Perut Gendang padat
tekanan. "Kalau itu maumu, aku tak akan menghindar," balas Gulili mantap.
"Baik," tandas si Perut Gendang datar. "Akan kita lihat, apakah kau sudah pantas
bersekutu dengan kami, Pemuda Bau
Kencur!" Dengan senyum khasnya, Gulili seolah menyetujui. Dari balik bajunya, si
Perut Gendang mengeluarkan sabuk dari kulit ular yang selama ini hanya melilit
perutnya yang kasar.
"Aku punya sabuk kulit ular. Sabuk ini adalah benda
pusaka yang memiliki kekenyalan luar biasa. Tak akan terputus oleh tarikan
seribu ekor banteng!" papar si Perut Gendang.
"Jelaskan saja, apa maumu dengan sabuk itu"!" selak
Gulili. "Aku akan mengikat satu ujung sabuk ini ke leherku. Ujung yang lain di
katkan ke lehermu. Dengan begitu, kita akan menguji ketangguhan. Kita akan tarik
menarik ke depan dengan arah
berlawanan. Siapa yang tak memiliki cukup kekuatan, akan mampus dengan leher
tercekik. Atau.. , terputus!" papar si Perut Gendang melanjutkan.
"Aaa! Permainan yang menarik!" seru Gulili, seolah
kehilangan nyawa bagi dirinya hanya soal sepele. "Ayo kita mulai!"
Tanding kesaktian pun siap berlangsung.
Gulili telah mengikat satu ujung sabuk ke lehernya. Begitu
juga si Perut Gendang. Kini, mereka berdiri saling membelakangi.
Keduanya dihubungkan sabuk sepanjang dua tombak pada leher
masing-masing. Tangan mereka pun sudah diturunkan ke belakang punggung. "Kau
sudah siap, Pemuda Bau Kencur?" tanya si Perut Gendang. "Aku telah lebih siap
darimu, Orang Tua Buncit," sahut Gulili. "Satu.., dua.., tiga, mulai!" kata si
Perut Gendang, memberi aba-aba. Srat!
Sabuk pun menegang sekejapan mata Rentangannya
bergetar halus sesaat, kemudian getaran menghilang. Baik Gulili maupun si Perut
Gendang sudah sama-sama mengerahkan tenaga
dalam masing-masing. Leher mereka sebagai daerah yang paling rawan, menjadi
pusat penyaluran tenaga dalam. Dengan cepat
wajah mereka memerah.
Sehebat-hebatnya seseorang, adu kekuatan tenaga dalam
dengan cara itu memang amat sulit dilakukan. Di samping
dipusatkan pada bagian tubuh yang berbahaya, juga karena jeratan pada leher akan
sangat mengganggu dalam memusatkan
pengerahan tenaga dalam.
Dengan begitu, sebenarnya mereka tak sekadar menguji
kekuatan, tapi sekaligus menguji kemampuan dalam memusatkan perhatian. Sedetik
saja perhatian mereka goyah, maka lawan akan punya kesempatan menarik sabuk.
Satu-satunya akibat adalah; mati!
Dengan keadaan tubuh condong ke depan, keduanya terus
berkutat. Seluruh urat di sekujur tubuh mengejang penuh. Sementara itu, tanpa
diketahui Gulili, Rase Tua Kembar diam-diam menyalurkan tenaga dalam membantu si
Perut Gendang. Pada dasarnya, mereka memang tak suka pada si pemuda hitam.
Selaku tokoh seangkatan, nenek kembar itu merasa dihina oleh sikap Gulili
terhadap si Perut Gendang. Terlebih, sewaktu Rase Tua Kembar teringat pada
keberhasilan Gulili mengirim serangan balasan pada Manusia Dari Pusat Bumi, saat
uji tanding waktu itu.
"Biar kau mampus, Pemuda Besar Kepala!" rutuk si nenek
buta dalam hati.
Pertarungan tak berimbang pun berlangsung. Gulili kini
tidak hanya menghadapi kekuatan si Perut Gendang, tapi juga menghadapi kekuatan
dua nenek yang segolongan dengan si Perut Gendang. Artinya, dia menghadapi tiga
tokoh sesat kelas atas sekaligus! Anehnya, tatkala tenaga Rase Tua Kembar mulai
tersalur pada sabuk, pemuda berkulit hitam itu malah melepas senyum lebar-lebar.
Sepertinya, dia tahu ada yang tak beres dengan terlipatnya tenaga tarikan
menjadi beberapa kali lebih kuat.
Di lain sisi, Rase Tua Kembar cukup terperanjat pada hasil
yang terjadi. Mereka mengira, Gulili akan langsung tercekik lalu terseret ke
belakang. Atau lebih parah lagi, kepalanya terputus dari badan. Kenyataan yang
terlihat malah sebaliknya. Perlahan-lahan sabuk milik si Perut Gendang bergeser
sedikit demi sedikit ke arah Gulili. Kuda-kuda pemuda itu pun sudah bergeser
satu tindak ke depan. Rase Tua Kembar kian terperanjat. Sedangkan si Perut
Gendang harus mati-matian mempertahankan tenaga yang terpusat di lehernya agar
tak tercekik. Wajahnya sudah demikian matang.
Bahkan otot- otot di wajahnya menonjol keluar.
"Gila! Tak pernah aku mendengar nama pemuda bau
kencur ini. Tapi, kekuatannya ternyata sanggup memperdayai tenaga dalam kami,"
ucap si nenek kutung membatin.
Kemudian dengan penuh rasa penasaran, Rase Tua
Kembar menambah penyaluran tenaga dalamnya. Sabuk memang
sempat berhenti bergeser beberapa saat. Tapi, selanjutnya
pergeseran itu terjadi kembali.
Lebih edan lagi, Gulili malah melontarkan sebaris ejekan
pada saat yang sudah tak mungkin lagi baginya untuk mengeluarkan sepatah kata
pun. "He he he! Apa kalian sejenis serigala-serigala ompong
yang sudah kehilangan tenaga"!"
Rase Tua Kembar tak bisa lagi menahan keterpanaan.
Mata mereka terbelalak, meski salah satu di antara mereka buta.
Kasihan si Perut Gendang. Matanya terbelalak bukan
karena terperanjat, tapi karena lehernya kini benar-benar tercekik rapat. Jalan
napasnya langsung terhambat. Lidahnya sudah menjulur keluar. "Heeek!" jeritnya
tertahan. Pada saat paling berbahaya bagi si lelaki buncit itu, tenaga tarikan lawan
mengendur, mengendur, dan akhirnya, sabuk itu tak lagi menegang.
Gulili tersenyum lebar. Dengan tenang, dilepasnya ikatan
sabuk di leher, lalu dicampakkannya begitu saja ke lantai candi.
"Kini, biar aku saja yang akan merantai gadis ini ke ruang
sayap kiri," kata Gulili seraya menghampiri tubuh lunglai Purwasih.
"Lagi pula, aku suka pada gadis cantik seperti dia."
Si Perut Gendang hanya bisa menatapnya dengan dada
terengah dan perut turun naik.
Gulili berlalu dari ruang itu, diikuti pandangan Manusia Dari Pusat Bumi penuh
selidik. *** Malam semakin larut. Kesunyian meniduri alam.
Kepekatan berkuasa, manakala arakan mega hitam menggumpal
menutupi angkasa.
Purwasih masih dalam keadaan taksadarkan diri. Gadis itu
dirantai dalam keadaan tegak di dinding. Kaki dan tangannya terbelenggu rantai
baja, membuatnya setengah tergelantung lunglai dengan ke- pala tergolek lemah ke
bahu kiri. Sesaat kemudian, gadis itu siuman.
"Hhh.. .," Ienguh Purwasih beriring bergeraknya kepala.
Kelopakmata indahnya mulai membuka perlahan." Di mana aku?"
Sesaat gadis itu memandang ruangan dengan mata
mengabur. Dan ketika tangannya bergerak tak disengaja, terdengar bunyi rantai
baja. Bunyi itu segera menyadarkannya bahwa suatu yangburuk telah terjadi pada
dirinya. Cepat tangannya dihentak.
Setelah itu, dia makin sadar keadaan dirinya benar-benar tak menyenangkan.
"Rupanya aku telah ditahan manusia-manusia keparat itu,"
bisik Purwasih manakala ingat kejadian terakhir, saat dikeroyok Rase Tua Kembar
dan si Perut Gendang.
"Apakah kau menikmati mimpimu, Kisanak?" sapa
seseorang dari pintu masuk di sebelah kiri Purwasih. Orang itu adalah Gulili.
Purwasih menoleh.
"Siapa kau?" tanya gadis itu. Sepanjang pengetahuannya,


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang menahannya adalah nenek tua kembar dan seorang
lelaki gemuk. Gulili tidak menyahut. Didekatinya Purwasih. Seperti biasa, senyum lebarnya
tetap terkembang.
"Kau memang belum pernah melihatku, Nisanak. Aku tidak
turut dalam usaha penculikanmu," kata Gulili.
"Aku tahu itu. Yang ingin kutahu, apa maumu ke sini"!"
tanya Purwasih kasar.
"Aku?" Gulili tertawa terkekeh.
Sambil tertawa, mata Gulili tak kunjung lepas
memperhatikan lekuk-Iekuk tubuh Purwasih. Bajunya yang sudah
koyak-moyak tak karuan memunculkan sebagian kulit halus di
baliknya. "Kau pikir, apa yang hendak diperbuat seorang pemuda dengan seorang
dara cantik menggoda sepertimu, Nisanak"!" ucap Gulili, nyaris berdesis seperti
ular sanca yang begitu berselera melihat seekor kelinci tak berdaya.
"Jangan coba berani-berani kurang ajar padaku!" ancam
Purwasih geram.
"Kalau aku berani kurang ajar, apa yang akan kau
lakukan" Bukankah untuk menggerakkan tangan ke bawah saja
sudah sulit?" cemooh Gulili, makin memuakkan Purwasih.
Pemuda berkulit hitam itu kian dekat. Selangkah demi
selangkah, terus dihampirinya Purwasih. Matanya berkilat-kilat kurang ajar.
"Berhenti kau, Keparat! Jangan coba dekati aku!" hardik
Purwasih, mulai kalap. Tubuhnya meronta-ronta liar. Tapi justru dengan begitu,
dia makin terlihat menggiurkan.
"He he he! Kau rupanya sudah tak sabar untuk
merangkulku, Cah Ayu," goda Gulili.
"Tutup bacot busukmu itu! Kau pikir aku sudi melayanimu"!
Chuih!" "Ah! Percayalah, Nisanak. Kau akan segera memelukku erat-erat setelah
tahu aku.. ." Gulili bertambah dekat. Jaraknya dengan Purwasih tinggal tiga
langkah lagi. Dan tiba-tiba..
Srat! Di depan Purwasih, pemuda berkulit hitam dan berkepala
gundul itu menguliti kulit kepalanya! Perbuatannya benar-benar membuat mata
Purwasih terbelalak lebar. Nyaris saja, dia menjerit karena begitu ngeri.
Selanjutnya, keterperangahan gadis itu bertambah. Kali ini
bukan karena ngeri, tapi karena luapan kegembiraan yang
membludak. Setelah kulit kepala dan wajah Gulili terlepas, muncul ah wajah
seorang pemuda yang amat dekat di hati Purwasih.. , wajah Andika! "Kau..," desis
Purwasih. "Ya, aku. Sekarang, kau benar-benar akan memelukku,
bukan?" goda Andika.
Pemuda dari Lembah Kutukan menghampiri Purwasih
lebih dekat. Sehingga, gadis itu bisa merebahkan kepala di dadanya.
"Sayang tanganmu dirantai, ya" Kalau tidak, tentu aku
akan bisa sedikit menikmati pelukan hangatmu," oceh Pendekar Slebor, tepat di
sisi telinga Purwasih.
"Kau.. ," ucap Purwasih, gemas.
"Adaouw!" teriak Andika tertahan dan tiba-tiba.
Rupanya, Purwasih menggigit keras-keras dada Andika. Gadis itu gemas mendengar
ucapan Andika barusan.
"Cepat bebaskan aku!" hardik Purwasih.
"Baik. Tapi, biasanya untuk perbuatan baik seperti ini,
orang selalu mengharapkan upah.. ."'
"Sudah tutup mulutmu, Andika!"
"He.. he.. he!'
Pendekar Slebor pun membebaskan Purwasih tanpa
kesulitan sama sekali. Dengan sekali tebasan tangan, rantai baja yang
membelenggu Purwasih terputus.
"Sekarang, bebaskan totokanku!" perintah Pur?wasih.
"Tentu saja. Aku toh, tak sudi membopong-bopongmu
keluar dari tempat ini. . Adouw!" Andika menjerit tertahan lagi.
Rupanya, Purwasih menjitak kepalanya keras-keras.
Tak berapa lama kemudian, Andika dan Purwasih sudah
terlihat mengendap-endap keluar dari candi tua. Dengan ilmu meringankan tubuh
mereka yang telah tinggi, usaha mereka pergi dari tempat itu bisa cukup lancar.
Benarkah semuanya lancar" Tanpa diketahui keduanya,
dua orang mengawasi di kejauhan. Di balik sebuah pohon besar, mereka mengintai
sejak tadi. Bahkan sempat tahu penyamaran yang dilakukan Pendekar Slebor.
9 "Hendak ke mana kita?" tanya Purwasih pada Andika yang
sudah mengenakan topengnya kembali. Kalau memperhatikan wajah palsu yang
demikian sempurna itu, Purwasih jadi ingin meledak menahan tawa. Sulit
dibayangkan kalau Andika, pemuda tampan dan mempesona, memiliki wajah yang
mengge likan. "Lebih baik kau segera menyingkir jauh-jauh dari candi itu,"
kata Andika. "Apa maksudmu" Kenapa bukan kita berdua" Kenapa
hanya aku?" seruntun pertanyaan diajukan Purwasih.
"Karena aku masih mempunyai urusan yang belum
terselesaikan," jawab Andika.
"Lalu, kau pikir aku takut sehingga perlu disuruh
menyingkir?"
"Bukan begitu. Mmm. . Maksudku, kau bisa mengacaukan
penyamaranku." dalih Andika. Padahal sebenarnya hatinya khawatir terhadap
keselamatan gadis manis itu.
Purwasih baru hendak melontarkan sanggahan, ketika
tiba-tiba saja tangan pemuda di sisinya mendekap mulutnya.
"Ssst," bisik Andika. "Rasanya kita kedatangan tamu.
"Tepat! Kalian memang kedatangan tamu!" seru seseorang
yang tiba-tiba muncul menyeruak deda- unan pohon besar.
"O! Kau, Perut Gendang!" sambut Andika yang telah
berubah menjadi Gulili kembali.
"Tak usah berbasa-basi lagi, Gulili! Dari semula aku sudah
curiga padamu!" bentak si Perut Gendang.
Purwasih maupun Andika mulai was-was. Kalimat lelaki
buncit itu sepertinya hendak memojokkan Andika. Mungkinkah dia sudah mengetahui
penyamaran Andika"
"Apa maksud kata-katamu, Perut Gendang?" tanya Andika,
pura-pura tak paham.
"Kau pikir aku tak tahu kau berbicara sesuatu dengan
gadis itu" Secara kebetulan, aku melintasi daerah ini. Dan
kutemukan kau bersama gadis itu!" kata si Perut Gendang meledak-ledak. "Kau
pasti orang dari golongan putih! Bisa jadi juga, kau
adalah kawan Pendekar Slebor!"
"O, begitu. Biar kujelaskan. . "
"Tak perlu dijelaskan!" terabas seseorang, memenggal
ucapan Andika. Rase Tua Kembar muncul pula di sana.
"Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu,
Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus
memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan
membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu!"
semprot si nenek berkaki kutung.
"Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor
yang sedang menyamar?" selak si Perut Gendang.
"Ya! Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit"!
Masa' kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita, saat adu tenaga
dengan sabuk mu!" si nenek buta ikut ambil bagian.
"Jadi kalian waktu itu membantuku" Dan, kita dikalahkan?"
tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan.
"Ah, sudah! Jangan banyak tanya lagi, Buncit! Sekarang
kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar usaha kita!"
putus si kutung.
"Ya! Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor!"
Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan,
terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan
langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat Rase Tua Kembar,
pemuda bertaring itu menghentikan langkah.
Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika.
"Untuk apa lagi topeng busuk itu"!" sentak Manusia Dari
Pusat Bumi. Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka.
Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Gulili.
Srat! Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih
serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian menyapu tangan dan
lehernya yang dihitamkan dengan sejenis
getah. Dan kini, An?dika berdiri dengan penampilan aslinya.
"Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?"
seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para lawan. Keempat
tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka
terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat terpancing hanya
oleh perkataan seperti tadi.
Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata
Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka untuk segera
menghabisi Pendekar Slebor.
Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini
sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut
Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja
mengeluarkan ilmu andalan masing- masing.
Rase Tua Kembar mengerahkan ajian 'Rambut Liang
Lahat'. Yang akan mampu melepaskan ulat- ulat ganas dan rakus berukuran sangat
halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup menembus tubuh seseorang seperti
percikan bara api menembus lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka
semakin hancur tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan
jasad mayat dengan amat rakus!
Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian 'Hawa
Neraka'. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan gelombang panas
luar biasa yang tercipta dari perut besarnya.
Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang
kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim ke-marau.
"Hiiaaah!"
Wrrr! Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas
ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat.
Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang
kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang kecil yang
menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan purnama, ulat-ulat kecil
itu berkembang biak menjadi dua kali lipat.
Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase Tua Kembar
memberi makan dengan darah bayi yang baru saja
dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan bayi dari
rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya tentu saja si nenek
buta, saudara kembar nenek berkaki kutung.
Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara
kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang menghimpun tenaga.
Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga yang terpusat di bagian kepala akan
melontarkan ulat-ulat ganas yang lebih kuat menembus daripada belati!
Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut,
saudara kembarnya majuselangkah demi seIangkah. Telinganya
yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga
mampu menentukan letak lawan berada.
Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap
dengan 'Hawa Neraka'nya. Setelah mengatur napas, dan dia
menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan.
Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan jari-jari terkepal
kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit perutnya mulai mengepulkan
asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian sesatnya telah waktunya untuk
dihentakkan keluar, membentuk angin pukulan panas dari lobang pusatnya.
Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan
Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan kuda-kudanya
menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih menghadap si Perut Gendang.
Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat.
Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang
tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu langsung berdiri
di sisi Andika dan Purwasih.
Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang.
Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit dibedakan dengan
pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat
mirip Andika! Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase
Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun begitu. "Aku tak
mengerti," desis Purwasih, terheran- heran.
"Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih," kata
Andika yang baru datang. "Karena, kita harus menghadapi manusia-manusia busuk
ini." Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika
pertama. Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di antara dua
Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli.
Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli"
"Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat
Bumi?" usik Andika kedua, mengejek.
Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang
setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar
Slebor yang sesungguhnya.
"Baik! Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan,
siapa di antara kami yang asli," kata Andika pertama.
Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut
panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan.
Ternyata, dia adalah Raja Penyamar!
Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan
menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang
ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar memakai dua topeng
sekaligus. Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua
Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan
ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah
seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang.
Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja Penyamar sudah
lama malang melintang membabati tokoh-tokoh
atas golongan sesat.
Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari
mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan putih itu. Bisa
selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah terlalu bagus.
"Ada apa, Kutung" Kenapa kau tampak begitu bergetar?"
tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui
wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini.
"Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi
tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?" bisik si nenek kutung.
"Ra.. . Raja Penyamar?" desis si nenek buta ter- gagap.
"Ya! Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar
Slebor! Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat membantu si
Perut Gendang mengadu kekuatan. . "
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya si nenek
buta, bimbang. "Kau pikir, kita harus menghadapinya"!" hardik si kutung
tertahan. "Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat menyingkir!"
"Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?"


Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan kehebatannya,
agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar!
Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja Penyamar"!"
"Jadi kita lari?"
"Ayo, tunggu apa lagi"!"
Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar
membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari Pusat Bumi yang
telah mengangkat mereka menjadi pengikut.
Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar.
Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang
kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut boros itu pun
ikut buron. Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat
tahu kehebatan Raja Penyamar.
"Kalian manusia bodoh!" maki Manusia Dari Pusat Bumi,
amat geram. Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja.
Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa banyak tindak
lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi-tinggi lebih cepat dari
gerak lari para pengikut pengkhianatnya.
Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya.
Slash! Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung
menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan gaib yang terkandung
di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu mematung seketika!
"He he he! Sang Angkara tidak mau ditinggal para
patihnya!" cemooh Andika.
Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah
Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan.
Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar
setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika.
Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat menghilang. Raja
Penyamar pun dapat kembali menempati raganya yang telah pulih. Dengan seizin
Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua itu bisa hidup kembali!
Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya
untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia Dari Pusat Bumi.
Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi
'penyempurnaan kalbu' sesuai petuah Sang Pangeran.
Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa
menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak menjadikan Purwasih
sandera! "Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan
kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun, aku belum lagi
tahu kelemahanmu!" ancam Manusia Dari Pusat
Bumi. "Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum
mengetahui kelemahanku," ledek Andika lagi.
"Tak usah banyak mulut. Hiaaa!"
Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari
Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabi buta ke arah Pendekar Slebor.
Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam
kegelapan dikerahkannya saat itu juga.
Deb! Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke
depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak ke samping,
Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi kekuatan warisan
Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke
selangkangan Manusia dari Pusat Bumi.
Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak
tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan.
Tagh! Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya
terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam dari alam
siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur
lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis tiap kali satu
pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya.
Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba
Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu serta
Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi
tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode :
"Pengadilan Perut Bumi").
Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi,
Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak tangan ke masing-
masing telinga.
Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi
telinga. Prak! Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang
diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan mereka kembali,
tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu jelas amat menguntungkan Manusia
Dari Pusat Bumi. Di samping kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan
tenaga. Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus
menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika segera mengubah
siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke belakang. Sekitar tujuh tombak
dari tempat semula, putaran
tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi.
Dan.. . "Heaaa!"
Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun
diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang tercipta di
Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan.
Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir!
Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar
Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan"
Disiapkannya jurus 'Mengubak Hujanan Petir'. Sebuah
jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus, kecepatannya bahkan
membuat tubuh Pendekar Slebor sudah
seperti bayangan yang berkelebat ngawur.
Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari
pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan
penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur akan
dipergunakan. Cletar! Wush! Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas,
Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan
yang amat disegani di seantero dunia persilatan.
Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan.
"Khiaaah!"
Cletar! Srel! Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di
satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran angin puting
beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan batu- batu sebesar kepalan
tangan. Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba- tiba
mencelat keluar berkawal erangan menggiris.
"Wuaaa!"
Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak
lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di tangannya
telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi, hingga terpaksa harus melompat
jauh-jauh ke belakang.
"Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor!" desis
Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat Andika. Usai
berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat tangan kanannya tinggi-linggi.
"Andika! Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya!"
seru Raja Penyamar, memperingati.
Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu- tunggu
Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas
membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat
Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia
bertekad menghancurkannya!
Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap,
tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin
bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib.
Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarakdelapan
tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh kecepatan puncak
warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum
sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehi-
langan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan. .
Wusss! Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian lawan, Pendekar
Slebor menggenjot puncak kecepatannya.
Tubuhnya melesat lebih cepat dari pada angin, menuju Manusia Dari Pusat Bumi.
"Andika! Jangan!" seru Raja Penyamar untuk kedua
kalinya. Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan Pendekar Slebor
mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri.
Lalu.. . Blarrr!
Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan
menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib.
Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber.
"Waaa!"
Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu
membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu
langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul bunyi ledakan.
Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja
Penyamar. "Andika! Kau salah langkah! Cermin itu tak bisa dikalahkan dengan
nafsu! Apa kau lupa petuah.. ," kata Raja Penyamar
menasihati tanpa mendekat.
"Petuah Sang Pangeran.. ," desis Pendekar Slebor,
menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar, telah melakukan
kesalahan. "Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa
langsung merebut cermin itu," kata Andika. "Tapi, rupanya aku salah paham.
Semadi itu justru untuk melatihbertahan menghadapi
serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan.. ."
Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya.
Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang keluar dari mulut
dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua telapak tangannya disatukan di
depan dada. Matanya terpejam.
Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai.
Pendekar Slebor telah mencapai taraf 'Menyucikan Kalbu'
dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya bahkan tak
menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang maha luas. Dirinya telah
menyatu dengan alam.
Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu
menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam dari cerminnya.
Siiing! Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika.
Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran cahaya warna-
warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan
Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya cahaya itu. Dari
serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah tangan-tangan besar berbulu.
Semuanya menghantami Andika dari berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap
perkasa pemuda itu terhempas kian kemari.
Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh
hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap dalam keadaan
semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara wajahnya tetap membersitkan
keteduhan dan kedamaian.
Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar
merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup mega mendung
yang pekat. Lalu. .
Slat... glar! Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran
serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit.
Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika.
Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti
tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang tangannya yang
semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan.
Dan.. . "Aaa...!"
Blasss! Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar Slebor, menyambar
langsung ke arah Cermin Alam Gaib yang
sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara.
Ctarrr! Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah sirna. Ratusan
tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan.
Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu, terdapat
setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis.
Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah
memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.
Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana.
Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya"
Di langit, seberkas cahaya merah darah mela- yang cepat
bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema yang timbul
tengg lam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor!
Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua
Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa wujud. Mereka
melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini jauh lebih terbirit-birit
manakala mereka menyaksikan tu?buh pemimpin baru mereka tinggal berwujud
setumpuk debu. SELESAI Kisah Si Bangau Putih 3 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Harpa Iblis Jari Sakti 18
^