Pencarian

Pengadilan Perut Bumi 2

Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Bagian 2


menyambarnya demikian liar.
Raja Penyamar tetap tak peduli.
Seberkas kilatan cahaya tiba-tiba menerjang Raja Penyamar. Tubuhnya langsung
terlempar ke sisi lorong, dan langsung disambut pusaran kabut. Tanpa bisa
menguasai keseimbangan, tubuhnya terombang-ambing di sisi lorong. Lalu kekuatan
pusaran itu hendak melemparnya keluar dari lorong.
Karena Raja Penyamar begitu bertekad untuk berhasil tiba di ujung lorong,
kekuatan meng-hempasnya tadi dilawannya. Dia berteriak sekuat-kuatnya, berjuang
melawan pusaran yang hendak menggagalkan usahanya. Ketika lengkingannya kian
meninggi dan meninggi, keseimbangan tubuhnya pun dapat dikuasai. Dia terus
melayang kembali dalam lorong menuju ujungnya, setelah lepas dari cengkeraman
pusaran tadi. Akhirnya tiba pula Raja Penyamar di ujung lorong.
Di sana terbentang ruang tanpa batas. Dalam ruang itu, menggema suara panggilan-
panggilan Andika.
"Raja Penyamar! Raja Penyamar"
Andika! Di mana kau"!" tanya Raja Penyamar, bingung.
"Aku di sini!"
Raja Penyamar mengikuti arah suara Andika.
Dengan tuntunan gaung suara itu, Andika bisa ditemukan pada satu bagian ruang
tanpa batas. Sosok pemuda itu sedang terkurung dalam sebuah sangkar yang selalu berubah
bentuk, namun memiliki warna tetap. Yakni, warna merah bara neraka.
Di dalam sangkar, Raja Penyamar melihat Andika meronta-ronta mengerahkan seluruh
tenaga. Setiap kali tubuhnya bersentuhan dengan jeruji sangkar, terperciklah
bunga-bunga api panas luar biasa.
Sehingga membuat tenggorokan Andika tercekat hendak melepas lolongan.
"Bagaimana aku harus keluar dari sini"!" tanya Andika kacau.
"Kerahkan seluruh kehendak sucimu!" perintah Raja Penyamar, di sisi sangkar yang
melayang dalam ruang tanpa batas.
"Sudah kucoba. Tapi, tak berhasil!"
"Coba lagi, dan terus coba!"
"Aku tak bisa!"
"Kau harus bisa, Andika!"
"Aku tak kuat' lagi! Sangkar ini terlalu kokoh. Dan pijarnya begitu menyiksa
untuk dilawan!"
"Tidak, Andika! Kau akan kuat untuk menentang-nya! Ayo, kerahkan lagi kehendak
sucimu! Jangan menyerah! Ingat! Kau adalah pribadi yang tak ingin dikalahkan
keangkaramurkaan!"
"Aku letih!"
"Jangan pernah letih! Kau belum tiba pada batas hidup! Ayo, berusahalah! Jeruji
merah bara itu tak sekuat kehendak sucimu, Andika! Tataplah ruang tanpa batas
ini! Mestinya, kehendak sucimu menempati rongga ruang ini! Karena, itu yang
sesungguhnya disediakan sang Penguasa Alam untukmu! Ayo! Kau sanggup melawan
sangkar laknat itu, Andika! Ayo!" seru Raja Penyamar tanpa kenal menyerah.
"Aku...."
"Jangan pernah berkata-kata lagi! Hanya dirimu yang mampu menolong! Hanya
dirimu!" sambung Raja Penyamar, makin mendesak.
Beberapa lama tubuh Andika bergetar dalam kungkungan sangkar. Seluruh bagian
tubuhnya mengejang. Mimik wajahnya sangat menggambarkan suatu perjuangan hidup
dan mati. Sedangkan sepuluh jari tangannya mengeras di depan dada.
Andika terus berjuang... berjuang....
Pada satu batas perjuangannya, jeruji sangkar merah bara terlihat meredup dan
menguat. Seolah, sedang bertahan dari perlawanan kekuatan kehendak suci Andika.
Dan pada saatnya....
"Aaa!"
*** Andika mendadak tersadar dari pingsannya yang berhari-hari. Kelopak matanya
membuka tersentak.
Sinar matanya nanar, mencari-cari liar. Ketika cahaya matahari ditemukannya,
barulah otot-ototnya yang menegang demikian rupa dilemaskan. Dadanya mulai
menarik udara ke paru-paru. Lega.
"Andika...," panggil sebuah suara dari sisi.
Andika menoleh. Dilihatnya Purwasih duduk di dekatnya dengan wajah letih dan
mata basah. "Sukurlah, kau sudah sadar Andika. Aku begitu khawatir melihat keadaanmu," kata
Purwasih lirih seraya menghambur ke dada bidang Andika. Dara
jelita itu terisak di sana.
"Apa yang terjadi, Purwasih" Di mana aku?" tanya Andika lemah.
Purwasih menegakkan tubuhnya. "Kau berada dkempat yang aman Andika," jawab gadis
itu. "Apa yang terjadi denganku?" ulang Andika.
Pendekar Slebor mencoba bangkit. Dan Purwasih pun membantunya, menegakkan
punggung dan duduk di sisi pemuda itu.
Lalu, gadis itu pun menceritakan kejadian yang menimpa Andika sepanjang
pengetahuannya.
Termasuk, tentang dua lelaki aneh yang kemudian dikenalnya sebagai Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Juga tentang kedatangan dua lelaki asing lain
yang dikenalnya sebagai Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi dari
desas-desus santer belakangan ini.
"Sewaktu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi bertempur dengan dua lelaki aneh yang membantuku
malam itu, tiba-tiba saja ada bisikan di telingaku untuk membawamu secepatnya
keluar dari tempat itu. Aku tak tahu, siapa yang berbisik. Seolah, suara itu
langsung terdengar meski tak melalui telingaku. Tanpa banyak pikir, aku segera
menuruti-nya dan sampailah di tempat ini," papar Purwasih menyelesaikan
ceritanya. Mata gadis itu langsung merayapi tempat ini.
Sebuah ruang gubuk yang tak begitu terawat baik.
Terletak di sebuah dataran lembah.
"Mana Raja Penyamar?" tanya Andika.
"Raja Penyamar?" Purwasih tak paham maksud Andika.
"Ah! Aku lupa, kau belum mengenal dia," gumam Andika.
"Apa yang kau katakan, Andika?"
"Tidak," hindar Andika cepat. Dia mencoba bangkit, tapi segera ditahan Purwasih.
"Mau ke mana, kau?" tanya gadis itu.
"Aku harus mencari seseorang. Semua kejadian yang menimpaku harus
dijelaskannya," kata Pendekar Slebor.
Sekali lagi dicobanya untuk berdiri kembali. Tapi, kembali Purwasih menahannya.
"Bisikan yang datang padaku waktu itu menitipkan pesan untukmu juga, Andika...."
"Apa?" tanya Andika cepat.
"Katanya, kau tak perlu mendatangi tempatnya.
Dia sendiri nanti yang akan menemuimu...."
*** Tengah malam, ketika Purwasih benar-benar
terpulas membayar kekurangan tidurnya, Andika menyelinap keluar gubuk diam-diam.
Memang, ada bisikan yang dikenalnya sebagai suara Raja Penyamar.
Di tengah lembah dalam siraman cahaya redup benda-benda langit, lelaki yang
telah lama mati itu berdiri menanti Andika.
"Maukah kau menjelaskan padaku, apa yang sesungguhnya telah terjadi?" tanya
Andika, setibanya di dekat jasad halus Raja Penyamar.
"Mestinya kau yang lebih dahulu menjelaskan padaku, kenapa tiba-tiba tergolek
tak sadarkan diri di danau pinggiran Rimba Slaksa Mambang?" balik tanya Raja
Penyamar. "Kau belum tahu kejadian yang menimpaku"
Bukankah kau jasad halus yang tak dibatasi ruang
dan waktu?"
"Ya, benar. Aku memang jasad halus. Tapi, bukan berarti bisa seenaknya menembus
batas ruang dan waktu. Tetap ada ruang-ruang dan waktu-waktu tertentu yang tak
bisa kutembus. Sebab, aku bukan Tuhan. Hanya Tuhan-lah yang memiliki secara
mutlak ruang dan waktu...," papar Raja Penyamar. "Sekarang kau mau menjelaskan
padaku, apa yang kau alami?"
"Baik...."
Andika mengalah. Maka diceritakannya bagaimana telah ditipu mentah-mentah oleh
siluman yang menyerupai Raja Penyamar, sampai akhirnya dia sadar telah
dimanfaatkan untuk menyampaikan senjata milik Manusia Dari Pusat Bumi.
"Aku telah begitu bodoh!" rutuk Andika pada diri sendiri. "Mestinya aku ingat
kalau kau selalu meninggalkan aroma bunga sedap malam setiap kali pergi...."
"Semuanya telah terjadi. Selaku manusia biasa, kau bisa berbuat kesalahan,"
hibur Raja Penyamar, arif.
"Kau tak menyalahkanku?" ujar Andika heran.
"Aku tetap menyalahkanmu. Tapi, bisa kumaklumi.
Untuk itu, kau harus melakukan sesuatu agar kesalahanmu dapat ditebus." Raja
Penyamar diam sesaat. "Beberapa hal harus kau lakukan. Pertama, kau harus
memanfaatkan kesaktian Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Sebelum terjun
kembali ke dalam dunia persilatan, mereka telah kukecoh dengan memberi wangsit
palsu yang mengatakan bahwa masalah diri mereka bisa ditolong olehmu.
Dengan begitu, setiap perkataanmu akan dituruti mereka. Nah! Usahakan, agar
mereka berdiri di pihakmu untuk menentang kezaliman Hakim Tanpa
Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi...."
"Selanjutnya?"
"Aku yakin, Cermin Alam Gaib akan sangat menyulitkanmu. Karena itu, kau harus
meng-hancurkannya...."
"Bagaimana caranya?"
Raja Penyamar menggeleng. "Sampai saat ini, belum bisa kuketahui. Perlu waktu
dan usaha untuk mencoba menerobos benteng gaib rahasia
kelemahan cermin itu...," kata Raja Penyamar. "Oh, ya. Ada satu hal yang ingin
kutanyakan. Apa kau sudah menyelesaikan seluruh kitab penyamaran yang kuberi?"
"Belum. Ada satu bagian akhir yang tak ku-selesaikan. Sebab, bagian itu kupikir
tidak begitu penting," jawab Andika.
"Kau keliru. Justru bagian itu adalah bagian terpenting yang akan menyempurnakan
ilmu menyamarmu...."
*** Dua lelaki tengah berjalan tertatih-tatih di hamparan dataran tandus. Matahari
bersinar terik tepat menyengat ubun-ubun keduanya. Seorang berusia muda.
Rambutnya kaku, hingga sebagian berdiri seperti landak dengan warna kusam
kemerahan. Wajahnya terlihat amat dungu, matanya sering terjuling-juling.
Berjidat besar dan berhidung besar pula. Jalannya terpincang-pincang. Kerap kali
mulutnya meringis-ringis menahan sakit sewaktu sebelah kakinya yang bengkak
karena borok, terantuk batu jalan. Pakaiannya tidak sedap dipandang sama sekali.
Bahkan tak pantas bagi lelaki seperti dia,
mengenakan gaun rombeng perempuan berwarna kelabu.
Sedangkan seorang lagi berusia setengah baya.
Entah banyak pikiran atau kenapa, wajahnya tampak lebih tua daripada usia
sebenarnya. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban dan dikepang. Sama kusamnya
dengan rambut lelaki pertama. Wajahnya kurus, sekurus tubuhnya. Hidungnya lancip
dan matanya besar tanpa alis. Tak henti-henti mulutnya yang bergigi ompong,
menggerutu sepanjang jalan.
Setiap beberapa langkah, ditepuk-tepuknya pakaian bertambal sulam yang
dikenakan. Seolah dia takut banyak debu menempel. Kalau pemuda yang berjalan
bersamanya tertatih-tatih karena borok, lelaki ini tertatih-tatih karena sandal
kayu kebesarannya.
Sewaktu berjalan, akan terdengar bunyi mengganggu telinga, akibat benturan
sandal dengan kerikil. Di dunia persilatan, dia dikenal sebagai Ketua Partai
Pengemis Timur. Julukannya, si Penggerutu Berkepang.
"Sialan... ugh-ugh! Ke mana lagi kita mesti mencari Lima Gembel Busuk?" tanya si
Penggerutu Berkepang membuka percakapan. "Apa kau punya sedikit usul, Borok?"
"Aku tak tahu," jawab pemuda yang dipanggil Borok.
"Ugh-ugh sialan! Kalau begitu, buat apa kita terus mengukur jalan seperti ini
tanpa tujuan jelas"
Debuh... nggg... nggg... was... wis... wus!" gerutu si Penggerutu Berkepang..
"Biar kita kenal jalan. Ha... ha... ha!" si Borok tertawa dengan mata menjuling-
juling dan bibir tertarik-tarik.
"Tak lucu!"
Si Borok langsung bungkam.
"Kau sendiri, kira-kira ke mana harus mencari mereka?" aju si Borok.
Jawaban si Penggerutu Berkepang hanya gerutuan panjang.
"Nah! Kalau begitu kita sama-sama tak tahu. Kan, ada baiknya kita terus
berjalan. Siapa tahu, kalau beruntung kita bertemu tabib yang bisa
menyembuhkan borok dan julingku. Dan kau bisa disembuhkan dari kebiasaan
menggerutumu! Ha...
ha... ha!"
"Tak lucu!"
Sementara itu di atas mereka, tepatnya di udara terbuka nan luas, seekor gagak
hitam berkeliling-keliling liar. Sejak dari tadi, binatang itu terus mengawasi
mereka. Matanya yang kemerahan merekam terus ciri-ciri mereka. Suara jerit
memekakkannya berkali-kali merobek angkasa.
Sejauh itu, kehadirannya tak pernah dipedulikan oleh dua lelaki tadi.
Angkasa sepi ketika binatang berwarna hitam malam itu melayang pergi. Selang
sekian lama, kehadirannya digantikan dua sosok yang
menghadang di depan.
"Kau kenal dua lelaki itu, Borok?" tanya si Penggerutu Berkepang, menyaksikan
ada dua orang menghadang mereka jauh di depan.
"Yang pasti bukan anggota Lima Gembel Busuk!"
tukas Borok. Matanya melirik susah-payah ke arah penghadang.
"Kira-kira kau tahu, apa yang mereka mau?" tanya Penggerutu Berkepang sambil
tetap melangkah.
"Yah.... Yang pasti, mereka tak ingin merampok kita. Mau mengambil apa mereka
dari kita" Gaun
rombeng ini" Atau terompah kayu jelekmu" Ha-ha-ha!"
Setibanya tak jauh dari para penghadang, Penggerutu Berkepang berbasa-basi.
"Hey, kalian berdua! Apa kabar" Kenapa siang terik begini berdiri di tempat
panas"!"
Sahutan yang didapat cukup mengejutkan mereka.
"Pengadilan menanti!"
*** 6 Tak ada niat lain bagi Hakim Tanpa Wajah dan muridnya menghadang Ketua Partai
Pengemis Timur dan si Borok, kecuali membawa mereka berdua ke Pengadilan Perut
Bumi. Dengan begitu, tak ada lain hal yang bisa terjadi. Pertempuran!
"Gebuk mereka, Kepang!" seru Borok, menye-mangati kawannya untuk segera
menyerang. Merasa panas, Penggerutu Berkepang segera membuka jurusnya. Langkahnya diseret-
seret sambil menggerak-gerakkan tangan, mengitari Hakim Tanpa Wajah dan Manusia
Dari Pusat Bumi. Sementara dua lawannya masih tampak sedingin es. Tanpa gerak,
mata mereka mengawasi Penggerutu Berkepang. Di bibir mereka tersembul seringai.
Entah meremehkan, entah geram.
Set! Tiba-tiba saja, Penggerutu Berkepang menghentakkan tangannya, menebas udara di
depan Hakim Tanpa Wajah. Tapi, serangannya sama sekali tak langsung diarahkan ke
tubuh lawan. Mungkin maksudnya sekadar menggertak. Seperti tak mempan dikecoh,
Hakim Tanpa Wajah tak terkejut.
Dia tetap tenang, seperti batu karang.
"Tunggu apa lagi"! Ayo, hantam saja!" teriak Borok tak sabar melihat kawannya
masih menunggu-nunggu.
"Diam kau, Sialan! Yang mau bertempur kau atau aku"!" hardik Penggerutu
Berkepang, diikuti gerutuannya.
"Alah! Jujur aja! Apa kau takut"! Bukankah mereka yang bikin gentar nyali tokoh
persilatan belakangan ini?" cemooh Borok, memanas-manasi.
"Biar nama mereka bikin ngacir setan belang sekali pun, aku tak akan mundur! Mau
ditaruh di mana mukaku, selaku Ketua Partai Pengemis Timur"!" dengus Penggerutu
Berkepang, masih tetap mencak sana mencak sini.
"Kalau begitu, ayo terjang mereka!"
"Tunggu dulu, Sialan! Aku sedang mencari-cari kelemahan mereka," dalih
Penggerutu Berkepang.
"Ya, kawanmu benar! Tunggu apa lagi?" timpal hakim palsu berwajah tembok, tanpa
menoleh pada lawan di belakangnya.
Barulah kesungguhan Penggerutu Berkepang ter-sulut mendengar ucapan Hakim Tanpa
Wajah barusan. Setelah berpindah ke depan karena tak ingin membokong, segera
dikirimnya dua tendangan susun tiga. Sasarannya kepala, dada dan


Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selangkangan. Begitu cepat gerakannya dari atas ke bawah. Deb! Deb! Deb!
Tapi enteng saja Hakim Tanpa Wajah menangkis-nya satu demi satu dengan
pergelangan tangannya tanpa bergerak sama sekali. Pada saat yang sama, bola mata
sempitnya digerakkan untuk memberi isyarat pada muridnya untuk menjauh.
Manusia Dari Pusat Bumi langsung mengambil jarak tujuh tombak ke belakang. Kini
tersedia arena bagi Hakim Tanpa Wajah dan Penggerutu Berkepang untuk bertukar
jurus-jurus berat.
Serangan susulan dilancarkan Penggerutu
Berkepang. Dengan tangan terbentang, tubuhnya berputar. Sepasang tangannya
menyambar lurus ke kepala Hakim Tanpa Wajah.
Wut! Wut! Dua sambaran tangan Ketua Partai Pengemis Timur mampu dihindari Hakim Tanpa
Wajah dengan amat mudah. Lelaki bangkotan itu hanya merunduk dua kali, maka
putaran tangan pengemis itu pun memakan angin. Selanjutnya, Hakim Tanpa Wajah
melancarkan serangan balasan yang tak kalah berbahaya. Didahului hentakan suara
tertahan, tangan yang berjari menegang lurus menuju ulu hati disodokkan.
Jep! Untuk mematahkannya, Penggerutu Berkepang menurunkan kedua tangan dengan
memutarnya lebih dahulu ke atas. Setelah bersilangan sekepakan, kedua tangannya
segera menghadang tusukan jari Hakim Tanpa Wajah.
Tak! Hakim Tanpa Wajah tak puas dengan serangan awal. Dan dia menyusuli tangan lawan
dengan sapuan dua kaki yang terikat tali kafan.
Mengetahui kakinya terancam, Penggerutu
Berkepang melompat di tempat. Baru saja kakinya menjejak, sepasang kaki Hakim
Tanpa Wajah sudah menyapu kembali. Kali ini, Penggerutu Berkepang yang begitu
disegani di wilayah timur tak ingin terus didekte dengan melompat seperti orang
bodoh. Maka dengan modal jejakkan sesaat tadi, tubuhnya dilempar ke belakang.
"Hup!"
"Bagus! Bagus! Itu baru Ketua Partai Pengemis Timur!" sorak Borok bersemangat.
"Diam kau!" hardik Penggerutu Berkepang seraya menangkis tinju yang menyusul
tubuhnya. "Nih, makan jurus 'Ekor Naga Menyapu Gunung' milikku!"
Langsung Penggerutu Berkepang membuat
beberapa babatan kaki ke beberapa bagian tubuh Hakim Tanpa Wajah. Pergantian
gerak kakinya begitu cepat. Dalam sekerdip mata, lima kali pergantian gerak bisa
dibuatnya. Tentu saja hal itu dapat dilakukan, mengingat Penggerutu Berkepang
adalah tokoh jajaran atas wilayah timur yang kesohor dengan permainan jurus-
jurus kakinya. Apalagi, sekarang dia sudah mencoba memainkan jurus-jurus berat.
"Bodoh! Kau tidak bisa mengalahkanku dengan jurus anak kecil macam ini! Bahkan
hanya untuk membuat aku kewalahan, he-he-he!" ledek Hakim Tanpa Wajah kian
keterlaluan. Sambil melempar kata-kata meremehkan, tubuh Hakim Tanpa Wajah meliuk ke sana
kemari seperti seekor ular nangka. Lincah dan cepat tak terkejar.
Jenggot putihnya yang panjang terayun kian kemari, mengikuti liukan tubuh
rentanya. Bet! Bet! Bet! Penggerutu Berkepang mencoba melepas kembali beberapa tendangan kunci mematikan.
Namun, itu pun bisa dihindari Hakim Tanpa Wajah dengan amat mudah.
"Ayo, balas seranganku! Jangan hanya
menghindar!" hardik Penggerutu Berkepang makin kalap.
"Tenang..., tenang.... Apa kau tak senang kalau aku ingin sedikit menghiburmu?"
sahut Hakim Tanpa Wajah seperti tidak menggerakkan bibir.
Makin kalap saja Penggerutu Berkepang. Tiga jurus 'Ekor Naga Menyapu Gunung'
yang digabung menjadi satu, secara serentak dihamburkan ke arah Hakim Tanpa
Wajah. Untuk serangannya kali ini, laki-laki tua berkain kafan itu tak bisa lagi
mengandalkan kelincahan tubuh semata. Beberapa sodokan kaki lawan disambutnya dengan jentikan
jari kurus, terbungkus kulit keriputnya.
Tik! Meski terdengar lembut, bagi Penggerutu
Berkepang jentikan jari kurus Hakim Tanpa Wajah malah terasa menyengat ke tulang
sum-sum. Setiap kali terkena, mulutnya yang tak henti-henti membeber gerutuan
dan meringis kesakitan.
Di luar arena, si Borok mencak-mencak sendiri.
Seperti bertarung dengan setan kesiangan, dia memukul dan menendang tak karuan.
Bibirnya yang oleng ke samping dengan lancar melempar teriakan-teriakan seru nan
menggebu. "Yak! Hiaaat! Set! Hait! Tendangan ke kiri! Balas ke kanan! Ah, Goblok! Jangan
ditangkis! Gigit saja jarinya! Iyak, begitu!"
Sementara itu di arena, Hakim Tanpa Wajah sudah mulai bosan dengan permainannya.
Segera dia menjauh beberapa langkah dari lawan yang mendengus-dengus bernafsu.
"Sekarang, bersiaplah untuk kujadikan bulan-bulanan!" kata Hakim Tanpa Wajah.
Penggerutu Berkepang sudah tak bisa
membedakan lagi, apakah lawan masih mengolok-oloknya atau berkata sungguh-
sungguh. Dia terlalu kalap untuk memikirkannya. Padahal kalau bisa tenang
sedikit, tentu dia tak mau melanjutkan pertarungan dengan mata gelap seperti
itu. Sebab, kecerobohannya kali ini bisa menjadi kunci kekalahan paling
menyebalkan yang bisa segera membawanya ke pintu Pengadilan Perut Bumi!
"Apa pun katamu, semuanya tai kucing!" umpat Penggerutu Berkepang sambil maju
merangsek dengan tendangan berputar bagai kincir liar.
Bet! Bet! Bet! Bunyi tendangan Penggerutu Berkepang mendekat cepat, menerbangkan debu tinggi-
tinggi. Rupanya, tenaga pamungkas telah pula disalurkan pada kedua senjata
mautnya. Andai saat itu ada sebongkah batu karang sebesar banteng terkena
sepakannya, tak bisa disangkal lagi tentu akan lebur berhamburan ke segenap
penjuru! Ketika kaki Penggerutu Berkepang menebas leher, Hakim Tanpa Wajah segera
menyambutnya dengan papakan telapak tangan kiri. Tangan kanannya yang lowong
mendorong ke depan disertai tenaga dalam tinggi. Apa yang sedang dilakukan
manusia berotak tak waras itu, seperti tak berbahaya. Namun jika melihat kakinya
menjejak bumi beriring hentakan tadi, maka menjadi jelas kalau Hakim Tanpa Wajah
sedang mengerahkan satu ilmu andalan yang bernama 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Kesaktiannya yang disertai pemusatan tenaga, sanggup membuat lubang sedalam
beberapa jengkal pada karang. Sementara, satu depa di sekitarnya sebuah batu
sebesar banteng kontan menjadi butiran debu.
Dak! Seketika dua telapak tangan berbenturan. Dalam keadaan terdesak, Penggerutu
Berkepang masih sempat memapak hentakan telapak tangan Hakim Tanpa Wajah. Namun
begitu, 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' terlalu tangguh untuk dihadapi tenaga
dalamnya. Sekejap tubuhnya bergetar. Sekejap berikutnya, Penggerutu Berkepang
sudah terlempar jauh ke belakang.
"Wuaaa!"
Jeritannya terpenggal manakala Penggerutu Berkepang jatuh meninju permukaan bumi
dengan keras. Seluruh kesadarannya kontan terbang.
Kalaupun tak langsung tewas saat itu juga, itu karena Hakim Tanpa Wajah hanya
menyalurkan kurang dari seperempat tenaga saktinya. Lawannya akan terluka dalam,
sekaligus kehilangan kesadaran. Tak lebih dari itu.
Menyaksikan kawannya ambruk, Borok cemberut.
Matanya makin terjuling-juling menunggu Penggerutu Berkepang bangkit kembali.
Tapi, itu tak bakal terjadi.
"Kok, hanya sebegitu?" gumam Borok terpatah-patah.
Bagai pendekar tak terkalahkan, Borok maju.
Wajahnya dibuat sejumawa mungkin, meski dipaksa-kan. Langkahnya terbanting-
banting, meski harus menderita kesakitan akibat borok di kakinya.
"Mungkin saja kau bisa berbuat itu pada dia!"
bentak Borok garang pada Hakim Tanpa Wajah.
"Ta...Pi...."
Laki-laki itu langsung memukul dadanya keras-keras hingga terbatuk-batuk.
"Tapi, kau tidak bisa melakukan itu padaku sama sekali. Kuulangi, sama sekali!"
lanjut Borok. Lalu Borok maju lagi hingga jaraknya tinggal enam langkah dari Hakim Tanpa
Wajah. "Kau tahu sebabnya kenapa?" sambung Borok.
"Sebab, he... he... he.... Aku tak mau bertempur denganmu, rasanya. Bagaimana
kalau kita damai saja?"
Hakim Tanpa Wajah terkekeh. Namun Manusia Dari Pusat Bumi yang berdiri tak jauh
darinya malah menggeram. Si Borok mendelik. Jangan ditanya, bagaimana bola
matanya yang selalu salah alamat
itu. Jangan ditanya pula, bagaimana bibirnya yang tak mau bersahabat itu.
Pokoknya, dia terlihat jelek sekali!
"Wua... haaa-haaa!" jerit Borok kalang kabut seraya mengerahkan seluruh kekuatan
untuk lari. Tapi.... Tuk! Manusia Dari Pusat Bumi cepat menotoknya dari jarak jauh.
*** 7 Pengadilan Perut Bumi. Sebuah tempat tersembunyi, tak terjangkau manusia lain.
Seperti namanya, terletak jauh di bawah permukaan bumi. Untuk tiba di sana,
harus melalui rawa-rawa dalam yang penuh binatang buas melata dari buaya hingga
ular. Di dasar rawa, ada lorong air berliku yang sesungguhnya adalah aliran
sungai di perut bumi. Setibanya di ujung lorong panjang, akan ditemui sebuah
dunia lain yang biasa dipakai si Hakim Tanpa Wajah....
Sebuah kolam besar dalam ruang di dasar bumi, menjadi gerbang masuk yang
menghubungkan lorong aliran sungai bawah tanah dengan tempat ini.
Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi telah tiba di sana. Mereka muncul
di permukaan kolam dengan membopong tubuh dua lelaki pada bahu masing-masing.
Dari tepi kolam, mereka memasuki salah satu mulut lorong yang banyak terdapat di
sekeliling tepian kolam. Setelah berjalan menempuh lorong yang tak begitu
panjang, mereka akhirnya tiba di ruang lain. Ruang amat luas yang memiliki
banyak kamar. Setiap kamar ditutup pintu besi berjeruji baja.
Dalam kamar-kamar itulah, orang-orang yang diculik dari dunia persilatan
ditawan. Dan mereka berasal dari beberapa wilayah dan dari golongan berbeda.
Pada setiap pintu kamar, terdapat tulisan di atasnya. Satu kamar bertuliskan;
'Kamar Ular'. Yang lain diberi nama 'Kamar Buaya'. Ada juga 'Kamar Katak' dan
'Kamar Rajawali'. Serta, beberapa tulisan
lain. Di dalam sebuah kamar yang bertuliskan 'Kamar Rajawali', ada dua lelaki dari
kalangan tua yang pernah mengibarkan panji kejayaan masing-masing pada masa
delapan puluh tahun silam. Mereka tak lain, Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar
Dungu. Memang, setelah berhasil diperdayai dengan menguras kekuatan mereka melalui
tubuh Pendekar Slebor, Hakim Tanpa Wajah dan muridnya akhirnya bisa juga membawa
dua tokoh tak tertandingi itu ke Pengadilan Perut Bumi. Sebuah mimpi delapan
puluh tahun milik Hakim Tanpa Wajah, kini baru terwujud.
"Kau akan merasakan balasanku, Hakim Jelek!"
ancam Lelaki Berbulu Hitam manakala guru dan murid itu sedang melewati kamar
tahanannya. "Akan kurencah-rencah seluruh tubuhmu seperti makanan anjing
geladak!" Hakim Tanpa Wajah hanya terkekeh mendengar ungkapan kemurkaan Lelaki Berbulu
Hitam. Diliriknya lelaki tinggi besar yang berdiri mencengkeram jeruji baja itu
dengan mata mencemooh. Ketika tangan besar Lelaki Berbulu Hitam hendak
menggapainya, Hakim Tanpa Wajah hanya melompat sedikit lalu terkekeh lagi. Suara
tawa buruknya menghilang di sebuah tikungan lorong, bersama menghilangnya tubuh
bangkotan berkafan itu yang diiringi sang Murid.
"Siapa mereka, Hitam?" tegur Pendekar Dungu di belakang Lelaki Berbulu Hitam.
Lelaki keriput itu tampak tenang-tenang saja bersandar pada dinding batu dengan
mata terkantuk-kantuk.
"Kalau aku sudah berteriak mengkelap seperti tadi, pada siapa kau pikir aku
berteriak?" sahut Lelaki
Berbulu Hitam kasar, masih dibawa kegusaran pada Hakim Tanpa Wajah.
"Ah! Yang kutahu, selalu mengkelap pada siapa saja. Dan berbicara dengan
berteriak, bagimu sama saja!"
"Kau meledekku"!" bentak manusia berdarah serigala itu dengan wajah memerah.
Dihampirinya Pendekar Dungu bersungut-sungut. "Hey, apa kau tuli"! Aku tanya
tadi, apa kau meledekku?"
Tapi orang yang diajak berdebat menyahutinya dengan dengkuran panjang.
"Dasar tua bangka keropos!" maki Lelaki Berbulu Hitam kesal.
Sementara itu, dua lelaki di bahu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi
telah dilempar-kan ke dalam 'Kamar Kutu Busuk' bersama empat orang lain, yang
sudah lama berada di dalam sana.
Bruk! Bruk! "Tenang-tenanglah kalian menunggu saat
pengadilan nanti!" ujar Hakim Tanpa Wajah penuh kepuasan.
Setelah itu, dia memerintahkan Manusia Dari Pusat Bumi untuk mengunci pintu besi
kembali. Krang! Kini keduanya meninggalkan kamar itu.
Begitu mereka menghilang di satu tikungan, dua lelaki yang menjadi warga baru
'Kamar Kutu Busuk'
siuman. Mereka adalah si Pemimpin Partai Pengemis Timur bersama kawannya yang
dipanggil Borok.
"Heee, sialan! Di mana aku sekarang"!" tanya laki-laki berjuluk Penggerutu
Berkepang sambil mengurut-urut kening. Lalu disusul dengan kebiasaannya
menggerutu. "Uuuh...," keluh Borok, ikut menegakkan tubuh
dalam keadaan duduk. "Apa ini neraka" Kenapa neraka bau pesing, ya?"
Empat orang lain yang berada dalam ruang itu, lebih dulu segera menyambut. Wajah
mereka begitu terkejut ketika melihat siapa orang yang baru datang.
Tentu saja Penggerutu Berkepang sangat dikenal, karena mereka adalah empat
anggota dari Lima Gembel Busuk. Kamasetya, Guruhdadi, Kamajaya, dan Dartasa.
Sedangkan yang bernama Damarsuta, telah tewas sesaat setelah ditemukan Andika
beberapa waktu lalu (Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
"Sialan was-wis-wus ng-ng.... Rupanya kalian ada di sini! Aku sudah susah-payah
kian kemari mencari, kalian malah enak-enakan!" balas Penggerutu Berkepang,
menanggapi sambutan mereka.
"Kami bukan enak-enakan di sini, Ketua!" sangkal Kamajaya, lelaki yang paling
berpengaruh di antara mereka. "Kami diculik Hakim Tanpa Wajah seperti beberapa
tokoh persilatan lain!"
"Aku tahu...," tukas Penggerutu Berkepang.
Padahal, laki-laki itu juga yang tadi memancing perdebatan. Dia berdiri sambil
menepuk-nepuk pakaian yang masih basah dan kotor.
"Sekarang di mana kita?" tanya Penggerutu Berkepang kemudian.
"Bukankah kau sudah tahu, Ketua?" sahut
Kamajaya, tak bermaksud meledek atau menyindir.
"Aku memang bilang begitu tadi! Aku memang sudah tahu tempat ini, kok! Tapi, apa
salahnya kalian menjawab pertanyaanku selaku ketua kalian!" hardik Penggerutu
Berkepang bersungut-sungut. "Sialan...."
Kamajaya mengangkat bahu. Dia memang tak bisa menang berdebat dengan ketua
sendiri. "Kita ada di Pengadilan Perut Bumi," jawab Kamajaya kemudian.
"Aku tahu! Sudah kubilang bukan" Aku tahu!"
bentak Penggerutu Berkepang serba salah.
Selagi Penggerutu Berkepang melempar
pandangan keluar dari jeruji baja seperti seorang pengawas kurang kerjaan,
Kamajaya mengusiknya lagi.
"Ketua, boleh aku bertanya sedikit?"
"Ya.... Sedikit saja...," kata Penggerutu Berkepang.
"Siapa kiranya anak muda yang bersama Ketua ini" Kalau dia anggota kita, kenapa
aku belum mengenalnya?"
Mendadak Penggerutu Berkepang berbalik.
Wajahnya memberang.
"Goblok...! Eh, sialan!" umpat Ketua Partai Pengemis Timur sambil menghampiri
Kamajaya tergesa. "Kau harus memberi hormat pada dia! Ayo!"
Penggerutu Berkepang segera menekan punggung Kamajaya untuk menjura.
"Kalian juga!" sambung laki-laki pada tiga lelaki lain.
Meski tak mengerti-sama sekali, terpaksa keempat lelaki itu menjura juga.
"Nah, sialan...! Eh, bagus!" puji Penggerutu Berkepang berbareng anggukan puas.


Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamajaya dan tiga rekannya menatap, seolah hendak bertanya kembali. Siapa anak
muda itu sebenarnya"
"Jangan menatap begitu padaku! Apa kalian tidak kenal, siapa dia?" lanjut
Penggerutu Berkepang lagi.
Ditunjuknya pemuda berwajah tak karuan yang sedang tersenyum-senyum penuh arti
itu. "Dia itu pendekar yang amat disegani..., Pendekar Slebor!"
"Ah, masa'?" gumam keempat lelaki itu, serempak.
"Jangan masa'-masa'!"
Lalu Ketua Partai Pengemis Timur melirik anak muda yang selama ini dipanggil
Borok olehnya. "Bor! Coba kau buka topeng jelek itu!" ujarnya acuh, pada Borok.
Pemuda itu pun mempreteli perangkat
penyamarannya. Termasuk, kaki palsu yang bengkak.
Maka, tampaklah sekarang oleh semua orang yang ada dalam ruang itu. Wajah
seorang pemuda tampan yang berperawakan gagah. Memang benar! Dia adalah Pendekar
Slebor! "Nah, kan.... Kubilang juga apa...," gerutu Penggerutu Berkepang.
Pemuda yang kini mengenakan pakaian hijau-hijau dengan selembar kain bercorak
catur tersampir di bahu itu mendekati keempat lelaki yang masih menjura padanya.
Mereka disalami satu persatu.
"Ketuamu benar. Aku memang Pendekar Slebor.
Kalian bisa memanggilku Andika. Dan kurasa, tak perlu acara penghormatan seperti
ini.... Bukan begitu, Penggerutu Berkepang?" kata Andika.
"Bukan!" jawab Penggerutu Berkepang, tak mau tahu.
Andika tertawa. Juga empat dari Lima Gembel Busuk. Kecuali, si Penggerutu
Berkepang. Lelaki setengah baya itu masih menekuk wajah di dekat jeruji baja.
Sebenarnya, apa yang Andika rencanakan"
Memang, waktu itu, setelah mendapat pesan dari Raja Penyamar untuk menyelesaikan
bagian akhir kitab penyamaran yang diberikannya, maka Andika pun menjalankannya.
Dan tepat, apa kata Raja Penyamar. Bagian akhir
kitab itu berisi inti dari seluruh ilmu 'Menyamar'.
Dengan mempelajari bagian itu, Andika bukan saja mampu menipu mata seseorang.
Tapi juga mampu menipu penciuman seekor anjing pelacak sekali pun.
Dengan melakukan semadi beberapa lama dengan cara-cara tertentu, maka pemuda itu
bisa mengubah zat-zat dalam tubuhnya, sehingga mampu merubah pula bau tubuhnya.
Kalau dulu penyamarannya dapat dibongkar oleh penciuman serigala milik Lelaki
Berbulu Hitam di kaki Gunung Merapi menuju Kampung Kelelawar, maka sekarang tak
akan terjadi lagi (Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
Bukan hanya itu. Dengan semacam sugesti dalam semadi, Andika mampu mengubah
warna pribadinya.
Menghilangkan untuk sementara pribadi aslinya, lalu memunculkan pribadi baru.
Itu sebabnya, Manusia Dari Pusat Bumi yang memiliki indera siluman pun mampu
ditipunya mentah-mentah!
Tak heran kalau Raja Penyamar menyebut bagian akhir kitab itu sebagai bagian
terpenting dari seluruh kitab!
"Apa rencanamu selanjutnya, Bor?" tanya Penggerutu Berkepang pada Andika.
Andika berdiri. Didekatinya si Ketua Partai Pengemis Timur itu.
"Aku belum tahu," jawab Pendekar Slebor. "Kurasa aku harus mempelajari dulu
seluruh keadaan di sini...."
*** Dua hari sudah Pendekar Slebor dan Penggerutu Berkepang berada dalam ruang
tahanan di Pengadilan Perut Bumi. Selama itu, belum ada satu
tindakan pun yang bisa diperbuat. Andika masih tetap berpikir keras sambil
mempelajari keadaan di sana.
Sedangkan Penggerutu Berkepang masih tetap menggerutu tak bosan-bosannya.
Sebenarnya, kalau tidak terkena ilmu totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah,
dengan amat mudah mereka melantakkan jeruji baja yang mengungkung. Totokan itu
memang telah melumpuhkan kekuatan tenaga dalam mereka.
Sehingga seolah-olah mereka menjadi terkunci dalam tubuh masing-masing. Begitu
pula yang dialami Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Selaku tokoh kawakan
yang lama malang melintang, mereka sendiri tak pernah tahu secara pasti,
bagaimana lawan bisa menotok mereka sedemikian rupa.
Selama mengenal Hakim Tanpa Wajah, memang baru kali ini mereka tahu kalau lelaki
itu memiliki ilmu totokan simpanan.
Pada awalnya, ketika baru pertama kali masuk ruang tahanan, Andika agak heran
melihat mereka tak berusaha menghancurkan jeruji baja di pintu ruangan. Toh,
kebanyakan dari mereka adalah tokoh kelas atas yang tak akan begitu menemui
banyak kesulitan untuk melantakkan batang baja sekalipun.
Dan sewaktu Kamajaya menjelaskan, barulah Andika mengerti duduk persoalannya.
"Tampaknya kita mati kutu di sini, Tuan
Pendekar," ungkap Kamajaya putus asa. "Aku pernah mendengar Hakim Tanpa Wajah
berkata bahwa kita akan diadu seperti hewan, sampai mati pada purnama ketiga
nanti. Waktunya tinggal beberapa hari lagi, bukan?"
"Sialan.... Tak pantas kau berkata seperti itu!
Memalukan nama Partai Pengemis Timur saja...,"
gerutu Penggerutu Berkepang.
"Aku tak takut mati, Ketua," sebut Kamajaya. "Aku hanya khawatir akan membunuh
kawan seperjuangan saat diadu nanti."
"Kalau begitu, ya jangan mau diadu! Kau kan bukan ayam atau domba yang bisa
diatur-atur! Kenapa goblok sekali...."
"Tapi, bagaimana kalau Hakim Tanpa Wajah memiliki totokan rahasia lain yang
membuat kita gelap mata, sehingga tak bisa membedakan mana kawan atau lawan?"
susul Kamajaya lagi.
"Iya, juga ya...," gumam Penggerutu Berkepang.
Tapi setelah itu. "Ah, peduli amat! Pokoknya, kau harus tidak mau diadu. Titik!"
Andika hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kekerasan kepala Ketua Partai
Pengemis Timur itu. Untung saja Penggerutu Berkepang berada di pihak yang benar.
Kalau tidak, apa jadinya dunia persilatan nanti"
Keenam orang itu kembali diam. Ruang sunyi.
Bunyi napas mereka terpantul dinding batu. Mau tak mau, mereka hanya bisa
menikmati gema desah napas saja.
Pendekar Slebor sendiri terdiam. Dirinya mungkin begitu, tapi pikirannya tidak.
Otaknya terus berkutat untuk mencari pemecahan. Sambil berpikir, tangannya tanpa
sadar memainkan sebutir batu kecil yang dilemparnya berulang-ulang ke dinding
ruangan. Entah karena jengkel atau sebab lain, mendadak saja batu kecil itu dihempasnya
ke lantai keras-keras.
Tak! Yang lain tersentak. Bukan sekadar karena batu kecil itu menimbulkan suara yang
keras dalam ruangan. Tapi, juga karena terciptanya lubang yang
dalam, sekitar tiga-empat jengkal!
"Astaga! Apa Tuan Pendekar luput ditotok?" bisik Kamajaya, di dekat Andika.
Andika terdiam. Diingatnya sesuatu.
"Aku memang ditotok, ketika menyamar bersama Penggerutu Berkepang waktu itu.
Tapi yang menotok-ku bukan Hakim Tanpa Wajah...," jelas Pendekar Slebor.
"Manusia Dari Pusat Bumi?" selak Dartasa, lelaki lain dari Lima Gembel Busuk,
menduga. "Ya! Mungkin dia hanya menotok untuk
melumpuhkanku," tambah Andika.
"Tapi, kenapa Hakim Tanpa Wajah tak mengeluarkan totokan rahasianya pada Tuan?"
tanya Kamajaya.
"Mungkin karena dikira aku tak terlalu berbahaya.
Dan kalaupun dibawa ke sini, mungkin hanya untuk menutup jejak penculikan ketua
kalian," jelas Andika pada empat anggota Lima Gembel Busuk.
"Hey" Kau membicarakan aku, ya"!" penggal Penggerutu Berkepang.
Andika bangkit menuju jeruji baja.
"Kau tak menyahuti pertanyaanku"!" desak Penggerutu Berkepang.
Pendekar Slebor tak menggubrisnya. Malah kini siap mengerahkan tenaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan untuk menghancurkan pintu baja ruang tahanan
ini. Dengan sedikit pemusatan pikiran dan perasaan, Andika sudah bisa menghimpun
sepertiga kekuatan saktinya pada kedua belah tangan. Saat berikutnya....
"Heaaa!"
Brak! Pintu berjeruji baja kokoh kontan roboh dalam keadaan lantak. Benda itu tak akan
sanggup menahan terjangan tenaga sakti Pendekar Slebor, meskipun tebalnya tiga kali
lipat. "Yak! Sialan... eh, bagus!" puji Penggerutu Berkepang.
Andika mempersilakan tokoh setengah baya itu keluar lebih dahulu. Saat melewati
Andika, laki-laki berambut berkepang itu menoleh ke arah Andika.
"Biar begitu, pukulanmu tadi sebenarnya biasa-biasa saja...," kata Ketua Partai
Pengemis Timur.
Andika tertawa. Tapi sempat pula mendelik kesal di belakang lelaki setengah baya
itu. Kalau saja tak berniat untuk memasuki Pengadilan Perut Bumi, tentu Andika
tak akan pernah bertemu manusia yang begitu menjengkelkan ini.
Awal pertemuan Andika dengan tokoh itu bermula ketika Pendekar Slebor teringat
pada gelang perak berukir milik salah sedang anggota Lima Gembel Busuk yang
ditemukan sedang sekarat. Saat itu, dia baru saja menyelesaikan bagian terakhir
kitab penyamaran yang diberikan Raja Penyamar.
Bermodal gelang itu, Andika menyelidiki hingga sampai ke markas Partai Pengemis
Timur. Gelang itu rupanya menjadi lambang partai mereka. Di sana, dia pun
bertemu Penggerutu Berkepang. Pada lelaki itu, dijelaskannya semua perihal
tentang kehadiran Hakim Tanpa Wajah. Termasuk, keterlibatan Lima Gembel Busuk
dengan tokoh tersebut.
Dengan penjelasan Andika, kebingungan Partai Pengemis Timur terhadap hilangnya
para rekan mereka akhirnya terjawab. Sampai suatu saat, Andika menyinggung-
nyinggung soal gagak hitam yang menjadi tanda akan datangnya si Hakim Tanpa
Wajah. Secara tak terduga, Penggerutu Berkepang pun
mengatakan pada Andika kalau hari-hari belakangan selalu diikuti gagak hitam
seperti gambaran Andika.
Mengetahui hal itu, Andika segera menyusun rencana untuk bisa masuk ke
Pengadilan Perut Bumi.
Sekaligus, menyelamatkan anggota Lima Gembel Busuk lain.
*** Kini dengan hati-hati, keenam orang yang baru bebas tadi menelusuri lorong
berkamar. Yang pertama hendak dicari Andika adalah Pendekar Dungu dan Lelaki
Berbulu Hitam. Karena menurut Raja Penyamar, kedua tokoh aneh itu bisa
membantunya untuk menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi.
Kamar demi kamar diperiksa. Karena tidak ingin tertangkap basah oleh Hakim Tanpa
Wajah yang bisa saja kembali tiba-tiba, maka Andika tak mem-bebaskan dulu
beberapa tokoh lainnya. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor sampai di 'Kamar
Rajawali'. "Hey, Orang Tua!" panggil Andika dari balik jeruji.
Lelaki Berbulu Hitam yang sedang mondar-mandir gelisah dalam ruangan cepat
menoleh. Wajahnya yang semula berangasan, mendadak menjadi cerah demi melihat
wajah Andika. "Aoi, Tuan penolong ternyata ada di sini juga?"
sapa Lelaki Berbulu Hitam dibuat seramah mungkin.
Didekatinya pintu baja.
Andika memberi isyarat dengan tangan agar lelaki berdarah setengah serigala itu
menjauh. Seperti tadi, akan didobraknya pintu berjeruji baja 'Kamar Rajawali'.
Tapi sebelum niatnya terlaksana....
"Haaa, rupanya ada penyelundup yang berusaha meloloskan para tawananku"! He...
he... he!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sudah dikenal.
Tak hanya Andika yang langsung menoleh sigap ke arah seruan itu. Penggerutu
Berkepang serta empat anggotanya pun ikut menoleh.
Di ujung lorong, berdiri Hakim Tanpa Wajah dengan muridnya. Pada bahu Manusia
Dari Pusat Bumi, terkulai lemah tubuh seorang dara dengan baju koyak monyak.
Wajah gadis itu tersembunyi di balik punggung manusia jelmaan siluman ini. Tapi
bukan berarti Andika tak bisa mengenalinya. Cukup hanya melihat pedang bergagang
kepalan naga di punggung. Pendekar muda itu yakin kalau gadis yang terkulai di
bahu Manusia Dari Pusat Bumi adalah....
Purwasih! Bagaimana Andika bisa melakukan perlawanan kalau Purwasih berada di bawah
ancaman Manusia Dari Pusat Bumi" Andika tidak bisa berbuat lain, sewaktu Hakim
Tanpa Wajah memerintahnya untuk masuk ke dalam 'Kamar Rajawali' bersama Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Agar tidak terjadi pembobolan pintu baja
kembali, sekali itu Andika harus mendapat jatah totokan pelumpuh tenaga, tanpa
perlawanan sedikit pun. Purwasih sendiri dikurung dalam kamar terpisah. Untung
saja, dia tak disatukan dengan tokoh-tokoh sesat.
*** 8 Ketika pengadilan pada purnama ketiga akhirnya tiba, bulan bulat tepat
menggantung bebas di angkasa raya. Seluruh tawanan Pengadilan Perut Bumi
digiring ke sebuah ruang besar. Tangan mereka dibelenggu menjadi satu dengan
rantai-rantai baja.
Dari sebuah lorong gelap tak berpelita tak seperti tempat lain dalam Pengadilan
Perut Bumi, para tawanan tiba di ruang besar tersebut. Suara tumbukan rantai di
tangan mereka berpantulan pada dinding ruang, menciptakan bunyi menggema yang
mendirikan bulu roma.
Ruang itu seluas alun-alun keraton. Sisi dan atasnya berupa dinding batu
bergigi-gigi kasar, membentuk kubah raksasa. Di tengah ruangan, terdapat meja
besar berukir yang bentuknya melengkung setengah lingkaran. Di ujung depan meja,
terdapat sebuah tengkorak manusia untuk menempatkan lilin berwarna merah sebesar
lengan manusia. Api di atas lilin bergerak-gerak kecil.
Sinarnya menerangi ukiran bergambar para algojo berjubah sedang memancung,
menggantung, atau menyiksa korbannya.
Di sekeliling dinding ruangan, terdapat ratusan pelita kecil. Seolah, puluhan
pasang mata yang siap menyaksikan jalannya pengadilan si Hakim Gila.
Tepat di depan meja, terdapat tungku api besar menyala-nyala. Lidah apinya
bergerak menjilat-jilat bagai gapaian tangan-tangan dari neraka.
Di depan tungku api sekitar empat tombak, berdiri panggung besar dari batu
berbentuk persegi.
Permukaan panggung terlihat kasar, bahkan tajam.
Andai seseorang terjatuh di sana, tentu kulit tubuhnya akan langsung terkelupas.
Para tahanan dijajarkan di kedua sisi panggung dalam dua barisan. Ada sekitar
sepuluh orang setiap baris. Di sebelah kiri adalah tokoh-tokoh aliran sesat.
Sedangkan sebelah kanan aliran lurus.
Tak lama mereka menunggu, Hakim Tanpa Wajah memasuki ruangan dari sebuah pintu
kecil, tak jauh di belakang meja. Tubuhnya tidak dibungkus kain kafan lusuh
seperti biasa. Kini dia mengenakan jubah hitam panjang, sampai menutupi seluruh
kakinya. Dengan langkah-langkah angkuh, laki-laki itu menghampiri meja, lalu duduk di
sebuah bangku besar yang sandarannya lebih tinggi dari kepalanya.
"Pengadilan dimulai."
Hakim Tanpa Wajah membuka sidang dengan
suara berat. Tanpa hendak melaksanakan tuntutan dan pembelaan lagi, Hakim Tanpa
Wajah langsung menjatuhkan hukuman.
"Dengan ini, kalian semua dihukum mati dengan cara bertarung satu lawan satu,
hingga ada yang menemui ajal!" ujar Hakim Tanpa Wajah.
Bersamaan ketukan palu, beberapa orang
tawanan berseru. Ada yang memaki atau bergumam kaget. Sebagian di antara mereka
hanya diam tegang memandangi wajah buruk Hakim Tanpa Wajah.
Duk! Duk! Duk! Palu diketuk Hakim Tanpa Wajah berkali-kali.
"Diam!" bentak Hakim Tanpa Wajah kasar. Suara Hakim Tanpa Wajah bergema memadati
ruangan. "Sang Penuntut! Bawa dua terhukum ke depan!"
lanjut hakim gila ini.
Manusia Dari Pusat Bumi melepas dua lelaki di barisan kiri. Digiringnya mereka
ke atas panggung.
Lelaki pertama adalah seorang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Badannya
tinggi besar, dihiasi otot kenyal menonjol dan gambar rajahan di seluruh badan.
Kepalanya gundul penuh cacat bekas luka, serta berwajah seram dan kasar. Dia


Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya mengenakan celana pendek merah yang digabung selempang bersilang di dada
dari kulit ular. Di tangannya tergenggam dua golok besar. Di dunia persilatan,
lelaki itu dikenal sebagai Sepasang Golok Angin.
Lelaki kedua bertubuh lebih kecil. Di lain sisi, tingginya malah melebihi si
Gundul. Itu sebabnya, dia tampak kurus. Wajahnya cukup tampan, namun dingin dan
bermata tajam. Rambutnya yang pendek diikat kain berwarna merah. Pakaiannya pun
sewarna dengan ikat kepala. Bila diperhatikan, tangannya tampak lebih panjang
dari biasa. Kedua tangan itulah senjata maut si Lelaki jangkung yang berjuluk si
Tangan Ular. Keduanya kini berdiri berhadapan, di atas panggung batu. Masing-masing menatap
tajam pada calon lawan, seakan dua hewan buas. Tangan lelaki jangkung itu
mengepal keras, lalu meremas-remas.
Lawannya di depan, memainkan gagang golok dengan jari-jarinya.
Sesaat kemudian....
Tak! Tak! Dua totokan jarak jauh dilepas Hakim Tanpa Wajah. Dengan begitu, mereka
terbebaskan dari kuncian tenaga. Tapi kini keadaan mereka diganti dengan
penguncian pikiran. Ya! Tepat dugaan
Kamajaya waktu itu, Hakim Tanpa Wajah memang menotok jalan kesadaran orang-orang
yang hendak disabung. Pikiran mereka kini terkunci dalam nafsu membunuh yang
liar! "Hiaaakh!"
Kancah pertarungan maut pecah. Sepasang Golok Angin menerjang lebih dulu.
Sepasang golok besarnya berputar di kedua sisi tubuh bagai dua kincir setan.
Wuk! Wuk! Wuk! Setibanya di depan lawan, satu golok di tangan kanan Sepasang Golok Angin
menebas deras ke depan. Kepala lawan hendak dibelah menjadi dua bagian.
Tapi si Tangan Ular menyelamatkan kepalanya yang kecil dengan merunduk sigap
dengan tubuh tetap tegak. Gerakannya seperti tiang bambu runtuh.
Tubuh Sepasang Golok Angin disambut dengan sodokan dua tangan lurus ke depan.
Arahnya, tepat kedua sisi dada bidang lawan.
Bet! Mengetahui ada sepasang tangan hendak men-jebol dadanya, Sepasang Golok Angin
menghentikan putaran golok di tangan kiri dan dengan tangkas dihadangnya tohokan
si Tangan Ular dengan membentang sisi golok di depan dada.
Tang! Tang! Tangan sekeras baja milik si Tangan Ular bertumbukan dengan senjata Sepasang
Golok Angin. Kekuatan tenaga dalam mereka seketika menimbulkan percikan api meskipun yang
berbenturan hanya golok dengan tangan.
Luputnya serangan, mendorong Tangan Ular melepas satu serangan susulan yang
cepat. Dengan jari menegang lurus seperti kepala seekor ular
sendok disambarnya wajah Sepasang Golok Angin dalam pergantian arah serangan
secepat kilat. Bet! Tangan si Tangan Ular begitu cepat menyambar.
Tapi gerakan Sepasang Golok Angin rupanya tak kalah cepat. Dalam kecepatan,
kedua tokoh aliran sesat itu tampaknya cukup berimbang. Seperti mematahkan
leher, Sepasang Golok Angin menggeleng cepat, menyelamatkan wajahnya dari
patukan lawan. Namun Tangan Ular seperti tak memberi kesempatan pada Sepasang Golok Angin untuk
sekadar bernapas lega. Sekali lagi, tangan yang lain mematuk deras ke wajah
Sepasang Golok Angin.
Bet! Kembali si Lelaki Gundul itu melempar wajah ke lain arah. Usahanya kedua
berhasil, disusul satu tebasan dua golok berbarengan untuk menggunting leher si
Tangan Ular yang masih meluncur turun.
Set! Mana mau Tangan Ular menyerahkan lehernya untuk ditebas. Maka dengan cerdik otot
perut hingga badannya dikencangkan cepat ke depan. Secepat itu pula tubuhnya
berguling ke depan, menerobos benteng pertahanan lawan. Kakinya kini begitu
bebas, tidak di dekat perut si Lelaki Gundul.
Akibatnya.... Duk! Sepasang Golok Angin langsung terjengkang ke belakang. Tubuhnya yang besar
melayang menuju permukaan tajam panggung.
Tak dinyana lagi kepala Sepasang Golok Angin terjerembab lebih dahulu ke
permukaan panggung.
Tangannya yang sebelumnya sibuk menggerakkan senjata, tak sempat lagi menjadi
topangan. Seketika
wajah kasar lelaki itu terbentur....
Duk! Lolongan menyayat terdengar. Wajah Sepasang Golok Angin tercabik-cabik
bermandikan darah. Golok di tangannya sudah dilepas, lalu didekapnya wajah
sambil meraung-raung.
Saat itulah Tangan Ular menghadiahinya satu patukan maut, sebagai pengantar
menuju kematian.
Bet! Bles! Ulu hati si Gundul naas itu langsung jebol. Tangan kanan si Tangan Ular tembus
satu jengkal ke dalam.
Setelah mengaduk bagian dalam tubuh lawan, barulah tangan mautnya ditarik
keluar. Berbarengan dengan itu, tubuh Sepasang Golok Angin pun ambruk.
*** Panggung kematian sunyi kembali. Tangan Ular berdiri kaku bagai mayat hidup
pemakan bangkai. Di dekatnya, tubuh Sepasang Golok Angin tergeletak tanpa nyawa.
Darah pertama pada purnama ini, membasahi panggung. Seperti terjadi delapan
puluh tahun yang silam.
Purwasih yang berada di barisan kanan tak kuasa menyaksikan kejadian itu. Hanya
dia satu-satunya wanita dalam jajaran para korban. Selaku wanita, hatinya tetap
lembut, sehingga tak bisa menelan mentah-mentah peristiwa kejam itu. Tak seperti
para tawanan lain yang hanya menatap dengan mata menyipit.
"He... he... he! Sebuah pelaksanaan hukuman yang memuaskan!" puji Hakim Tanpa
Wajah. Bibir laki-laki tua itu tak kunjung henti melempar seringai haus darah.
Kegilaannya membuatnya
merasakan satu kepuasan tersendiri manakala menyaksikan orang lain saling
membunuh. "Sang Penuntut! Lemparkan mayat tak berguna itu ke lubang menuju rawa. Biar dia
jadi makanan buaya peliharaanku! He-he-he!" perintah Hakim Tanpa Wajah pada
Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia Dari Pusat Bumi menuruti apa kata sang Guru. Mayat Sepasang Golok Angin
segera dibawanya keluar ruangan. Dari pintu kecil tempat Hakim Tanpa Wajah masuk
tadi, dia keluar. Disusurihya lorong kecil yang lurus menuju sebuah lubang air
seperti sumur. Lubang itu bersambungan langsung dengan rawa-rawa di mana ratusan buaya setiap
purnama ketiga delapan puluh tahun silam, menanti-nanti mayat yang akan
diumpankan. Sementara itu di ruang Pengadilan Perut Bumi, acara dilanjutkan kembali. Hakim
Tanpa Wajah tak sabar menunggu muridnya kembali. Dia terlalu berselera untuk
melihat kembali satu adu nyawa yang akan menumpahkan darah di atas panggung, di
depan matanya. Dari kursi kebesarannya, Hakim Tanpa Wajah bangkit. Dihampirinya jajaran tawanan
di sebelah kanan. Bibirnya tetap menyeringai ketika kakinya melangkah angkuh
seraya memandangi para
tawanan satu demi satu.
Tiba di dekat Andika, mata pemuda itu ditatapnya tajam-tajam. Dan Andika
membalasnya tak kalah tajam.
"He-he-he! Pendekar muda kesohor yang bikin geger dunia persilatan belakangan
ini sungguh sayang, kau harus mengalami nasib sial di pengadilanku," ujar Hakim
Tanpa Wajah, memuakkan.
"He-he-he," Andika tertawa meledek dengan bibir mencibir. "Lelaki jelek
bangkotan yang hebat delapan puluh tahun lalu, sungguh disayangkan akan kubuat
terkencing-kencing di 'kandang'nya sendiri...."
Wajah si Bangkotan itu mendekat pada Andika.
Bibirnya tetap memamerkan seringai. Dari mimik wajahnya, tak tampak kalau dia
terpancing ucapan Andika barusan.
"Bagaimana cara kau membuktikan hal itu, Anak Muda Tolol?" desis Hakim Tanpa
Wajah. "Bagiku amat mudah, Orang Tua Jelek! Kita lihat saja nanti!" ancam Andika, tepat
di wajah buruk si Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah tergelak. Lalu langkahnya dilanjutkan.
"Mudah" He-he-he! Lihat saja nanti" He-he-heee-hek!" kata Hakim Tanpa Wajah
sambil mendekati Pendekar Dungu.
Kini laki-laki bangkotan itu tiba di depan Pendekar Dungu.
"Dungu.... Dungu.... Akhirnya kau harus menyerah juga di tanganku," kata Hakim
Tanpa Wajah penuh kemenangan.
"Apa"!"
Pendekar Dungu melotot. Mata sayu si Bangkotan Ompong itu seperti hendak keluar
mendadak. "Kau bilang apa" Mana tanganmu" Coba kulihat.
Apa iya aku ada di sana?" kata Pendekar Dungu dengan wajah terlolong-lolong
keheranan. "Kau masih tetap bodoh seperti dulu, Dungu!"
Selesai memaki, Hakim Tanpa Wajah melangkah ke samping Lelaki Berbulu Hitam kini
dihadapinya. "Kau... he-he-he! Kenapa dari tadi mulutmu bungkam" Sudah bosan membeberkan
makian- makian memuakkanmu itu"!" ledek Hakim Tanpa Wajah.
"Diam kau, Manusia Jelek Sejagad! Lepaskan belengguku. Dan bebaskan totokanku!
Ayo kita bertarung untuk membuktikan, siapa di antara kita yang lebih hebat!"
maki Lelaki Berbulu Hitam terus menerus.
"Tarik napas, Hitam.... Tarik napas," selak Pendekar Dungu. "Kalau kau tak tarik
napas, kau bisa mati karena terlalu panjang memaki...."
"Diam kau, Bangkotan Dungu! Aku tak perlu pendapatmu yang menjengkelkanku. Apa
kau pikir aku tak bisa menghadapi lelaki sok besar ini"! Aaah, sial-sial-sial!"
"Hey-hey! Kenapa kau jadi sewot padaku?" jawab Pendekar Dungu, tanpa rasa salah
sedikit pun. "Kalian benar-benar sinting!" hardik Hakim Tanpa Wajah, terpancing tingkah kedua
lelaki yang pernah menjadi saingan utamanya dulu.
Sebelum melanjutkan langkah, kembali Hakim Tanpa Wajah menatap Pendekar Dungu
dan Lelaki Berbulu Hitam.
"Setelah kalian berdua menemui ajal, akan kucari si Raja Penyamar Keparat!
Tinggal dia saingan beratku, setelah kalian berdua, Manusia Sinting!"
Sementara itu, tanpa diketahui siapa pun, seseorang memasuki salah satu ruangan
dalam Pengadilan Perut Bumi. Ruangan itu terletak di antara kamar-kamar tahanan.
Cara berjalannya amat ringan dan pasti.
Tatkala satu obor menerangi wajahnya, maka tampaklah mimik menyeramkan.
Bertaring, berambut merah bara bagai kayu bakar neraka dan bermata seekor macan
hutan. Dia memang si Manusia Dari
Pusat Bumi. Mestinya, setelah melempar mayat Sepasang Golok Angin tadi, dia
kembali ke ruang pengadilan. Tapi, itu tidak dilakukannya. Seakan, dia memiliki
rencana sendiri di luar rencana sang Guru.
Di dalam ruangan, matanya mencari-cari sebentar.
Di dinding batu, matanya tertumbuk pada lubang kecil yang langsung didekati.
Dari lubang itu, dikeluarkannya sebuah benda. Tepatnya, sebuah cermin bulat
berbingkai kayu hitam. Cermin Alam Gaib yang direbutnya dari tangan Andika.
Sebuah cermin yang dikhususkan untuknya, datang dari alam siluman sebagai bekal
dari para makhluk kegelapan, untuk mendukung tugasnya menjadi sang Pengacau
Dunia! Dengan menggenggam pegangan cermin, Manusia Dari Pusat Bumi duduk bersila.
Matanya terpejam dan bibirnya bergerak-gerak merapalkan mantera.
Bisikannya terdengar naik turun, seperti irama nyanyian upacara-upacara gaib.
Sewaktu bisikan mantera makin menurun dan menurun, timbul selubung cahaya
kemerahan di sekitar tubuhnya. Dalam kegelapan ruang, cahaya itu berpendar
memenuhi tempat ini. Sampai akhirnya, seluruh ruangan dipadati cahaya merah
berasal dari tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.
Tak lama, seberkas sinar lain keluar perlahan dari permukaan cermin. Bentuknya
memanjang, seperti serat berpendar. Warnanya lebih merah dari sinar yang keluar
dari tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.
Serat cahaya merah pekat itu membesar perlahan, membentuk suatu wujud
menyeramkan. Sesosok siluman tinggi besar! Kepalanya besar, bermata satu serta
berperut buncit. Mulut bertaring besar bergerak-gerak, menciptakan lendir-lendir
pucat kental yang
memanjang. "Ini purnama yang kau janjikan, Eyang. Saatnya aku menerima petunjuk darimu,"
desis Manusia Dari Pusat Bumi. Matanya tetap terpejam rapat.
Diawali denting panjang, siluman tadi menggeram!
"Benar! Ini purnama yang ditentukan bagimu.
Tugas besar dari seluruh makhluk alam kegelapan harus kau emban...," kata
makhluk yang dipanggil Eyang.
"Apa itu, Eyang?"
"Buat kekacauan di muka bumi! Tapi, kau tak akan bebas bergerak untuk melakukan
hal itu, selama masih ada seseorang...."
"Siapa dia?"
"Seseorang yang dimanfaatkan kaummu untuk menyampaikan Cermin Alam Gaib. Namanya
Andika yang berjuluk Pendekar Slebor. Salah seorang keturunan manusia ksatria
berjuluk Pendekar Lembah Kutukan...."
"Kenapa dia begitu berbahaya bagiku?" susul Manusia Dari Pusat Bumi, ingin tahu
lebih jelas. "Karena, dia adalah satu dari manusia yang memiliki bakat suci dalam dirinya
sepanjang satu abad terakhir. Orang seperti itu, akan menghambat usaha kita
menguasai dunia dan mengubahnya menjadi alam kegelapan...."
Sesaat sang Siluman menunjuk pada cermin di tangan Manusia Dari Pusat Bumi.
Tangannya bergetar kuat, seolah benda itu memiliki pengaruh hebat.
"Pergunakan benda itu! Hanya ada satu-satunya Cermin Alam Gaib di alam kami.
Benda itu adalah tiang Istana Kerajaan Siluman. Jika kau tak men-jaganya,
berarti membiarkan kaummu hancur...,"
tandas makhluk itu amat berat. Suaranya seolah
dibebani ratusan gunung.
"Lalu, apa manfaatnya yang hebat bagiku?"
"Nanti kau akan segera tahu. Yang jelas, kini kau harus melepaskan diri dari
keinginan Hakim Tanpa Wajah. Kau bukan berada di bawah pengaruhnya.
Kau berada di bawah pengaruh kami! Khianati dia!
Karena, pengkhianatan adalah salah satu kerja terbaik bagi kaum kita!"
*** Pertarungan maut kedua di ubun-ubun panggung kematian akan dimulai lagi. Dua
petarung telah dipilih dari barisan kanan. Purwasih harus berhadapan dengan
pemuda yang amat dicintainya. Andika!
Dua anak itu sudah berdiri diam di atas panggung.
Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Mereka terpaku bisu digerayangi
ketegangan hebat. Andika menatap mata berbulu legam milik wanita di depannya
dengan sinar mata kekhawatiran. Begitu juga Purwasih. Sedang sekitar dahi, mulai
berpeluh. Tak ada yang bisa diperbuat, kecuali menunggu Hakim Tanpa Wajah melepas totokan
rahasianya yang akan membuat keduanya kehilangan kesadaran sama sekali. Lalu,
mereka berubah seperti hewan buas tak kenal kasihan.
"Apa yang bisa kuperbuat?" tanya batin Andika.
Tak beda dengan para tawanan lain, kekuatan Pendekar Slebor sudah tidak bisa
lagi diandalkan.
Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan terkunci, tanpa daya dalam dirinya.
Begitupun ilmu peringan tubuhnya. Kalaupun ada yang bisa diandalkan, hanya
kecerdasan otaknya. Tapi apa lacur" Sampai saat gawat ini, dia pun tak
menemukan akal. Pikirannya buntu, akibat cekaman rasa tegang. Tak salah
perkataan siluman yang menyamar sebagai Raja Penyamar dulu. Setiap manusia
memang memiliki rasa takut. Kecuali, orang itu memang sudah tidak waras.
Apalagi, ini menyangkut kematian yang sudah begitu dekat.
Sebagai seorang lumpuh yang bertahan di ujung jurang. Dan Andika mau tak mau
kehilangan akal sehatnya juga.
"Tiba saatnya hukuman dijatuhkan," sentak Hakim Tanpa Wajah dari belakang meja
kebesarannya.

Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu!" tahan Andika, di antara kecamuk pikiran untuk mencegah pertarungan
membabi-buta dengan Purwasih.
Hakim Tanpa Wajah menunggu ucapan Andika, bibirnya terus menyeringai.
"Apa tak bisa aku meminta sesuatu, sebagai permintaan terakhir?" usul Pendekar
Slebor pada Hakim Tanpa Wajah, setelah berpikir keras sesaat.
Hanya itu yang sempat terbetik di benaknya. Sekadar mengulur waktu.
"Heee... he he heeek! Kau masih sempat juga bercanda saat menjelang kematianmu,
Anak Muda!"
kata Hakim Tanpa Wajah, sekaligus menertawai usulan calon korbannya.
Dari balik meja, tangan si Tua Bangka muncul lalu menggoyang-goyangkannya
sebagai isyarat pe-nolakan.
"Sudah tak ada waktu lagi bagimu, Anak Muda.
Terima saja nasibmu. Hih!"
Sekejap, tangan Hakim Tanpa Wajah berkelebat melepas totokan jarak jauh ke arah
Andika dan Purwasih.
Tuk! Tuk! Maka ini artinya acara sabung nyawa akan berlanjut lagi. Berarti pula, Andika
akan kehilangan seluruh kendali diri seperti halnya Purwasih. Keduanya pun
langsung tersulap, menjadi hewan-hewan buas haus darah.
"Heaaa!"
Teriakan menggelegar Andika membuncah
ruangan besar sebagai tanda pertarungan maut membabibuta dimulai. Kalau menilik
dari kemampuan Andika selaku pendekar muda yang malang melintang di jajaran atas
dunia persilatan, amat mudah diduga Purwasih akan cepat menemui ajal di
tangannya. Artinya, Pendekar Slebor akan menang mutlak. Namun begitu, kemenangan
di atas panggung kematian milik Hakim Tanpa Wajah bukan berarti keberuntungan.
Pemenang atau pecundang, sama-sama bakal mati. Seperti juga pertarungan
sebelumnya. Tangan Ular yang menang atas Sepasang Golok Angin, harus menerima
kematiannya akibat pukulan 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' yang terkenal ampuh
milik Hakim Tanpa Wajah. Deb!
Sapuan telapak tangan Pendekar Slebor mengancam leher Purwasih alias si Naga
Wanita. Sebentuk serangan amat cepat yang begitu disegani di dunia persilatan,
karena merupakan bagian jurus sulit tertandingi yang diciptakan di Lembah
Kutukan. "Haiiit!"
Naga Wanita agak susah payah berkelit ke sisi.
Sekedip setelah itu, pedang bergagang kepala naga di punggungnya sudah
diloloskan, lalu disabetkan deras ke tangan Pendekar Slebor.
Set! Tangan pendekar muda dari Lembah Kutukan seperti memiliki mata. Secepat tebasan
pedang Purwasih, tangan itu ditarik kembali ke belakang.
Dengan begitu, Pendekar Slebor yang tak lagi memiliki kesadaran, telah membayar
serangannya yang dimentahkan Naga Wanita yang sama-sama tak sadar.
"Kau akan kucincang-cincang hingga lumat, kalau satu di antara mereka celaka,
Manusia Jelek!" teriak Lelaki Berulu Hitam dari bawah panggung yang ditujukan
pada Hakim Tanpa Wajah.
Sahutan tua bangka sok benar sendiri itu hanya kekeh mengejek. Namun....
"Tak ada lagi satu manusia pun yang boleh mempengaruhiku atau mengaturku! Tidak
juga kau, Orang Tua Bermuka Rata! Untuk itu, aku harus membunuhmu!"
Tak lama berselang terdengar seruan lain memenuhi ruang Pengadilan Perut Bumi.
Lantang menggema dan sarat kekuatan. Dinding batu seolah hendak diruntuhkan oleh
suara itu! Hakim Tanpa Wajah dengan serta merta menoleh ke belakang, tempat asal suara
keras tadi. Betapa terperanjatnya si Tua Bangka melihat siapa orang yang berada
di sana. "Kau.... Apa-apaan kau ini" Apa aku tak salah dengar"!" ujar Hakim Tanpa Wajah
terheran-heran menyadari murid tunggalnya, Manusia Dari Pusat Bumi telah
menyatakan akan membunuhnya!
Dari mulut pintu kecil menuju ruang pembuangan mayat, Manusia Dari Pusat Bumi
melangkah perlahan menuju Hakim Tanpa Wajah. Matanya yang
menyeramkan menghujam tajam-tajam manik mata lelaki tua itu. Bibirnya pun
membentuk seringai mengancam, memperlihatkan dua taringnya.
Hakim Tanpa Wajah bergegas bangkit dari kursi.
Wajahnya sarat ketegangan berbaur rasa ketidak mengertian. Kini ditunggunya si
Murid sambil berdiri tanpa gerak.
"Siapa yang telah menghasutmu, sehingga mau memusuhiku"!" tanya Hakim Tanpa
Wajah kemudian.
Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Muridnya yang murtad memang jenis manusia
yang tak banyak omong. Sifatnya begitu dingin, seolah selalu siap mencabut nyawa
siapa pun. "Pasti ini akibat pengaruh Cermin Alam Gaib,"
desis Hakim Tanpa Wajah, menduga. "Sial! Kenapa aku tak berusaha mencari tahu
tentang benda laknat itu...."
Manusia Dari Pusat Bumi kian dekat. Dan ketika mencapai empat tombak dari Hakim
Tanpa Wajah, langkahnya dihentikan. Kini guru dan murid berhadap hadapan untuk
menjadi lawan. Sesaat kemudian, manusia jelmaan siluman itu mulai menggeram,
menyadarkan Hakim Tanpa Wajah bahwa semuanya telah terlambat.
*** Tampaknya pertarungan besar-besaran akan
segera terjadi di ruang Pengadilan Perut Bumi. Lalu, apakah Hakim Tanpa Wajah
akan terbunuh oleh muridnya sendiri" Bagaimana dengan para tawanan Hakim Tanpa
Wajah" Mampukah mereka keluar dari tempat tersebut"
Bagaimana pula dengan nasib Andika dan
Purwasih" Akankah mereka saling bunuh"
Dan apa sesungguhnya keampuhan Cermin
Pusaka Alam Gaib bagi si Pemiliknya" Sanggupkah
Andika menghancurkan cermin yang menjadi tiang istana para siluman itu"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : CERMIN ALAM GAIB
Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Tengkorak Maut 5 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Makam Bunga Mawar 23
^