Pencarian

Cincin Berlumur Darah 3

Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah Bagian 3


Pertarungan Pendekar Slebor melawan enam
orang berpakaian hitam yang menyerang gadis itu pun berlangsung seru. Kalau tadi
Andika sengaja memperlambat serangannya sampai terdesak, karena ingin
mempermainkan Gagak Seto yang ter-
lihat tersenyum puas.
Namun kini, Pendekar Slebor tampak tiba-
tiba saja bergerak laksana kilat.
Des! Buk! Des! Brak! Tiga tubuh anak buah Gagak Seto lang-
sung terpental ke belakang, muntah darah. Yang
satu menabrak pohon yang tumbuh di situ.
"He he he.... Mengapa kau tidak langsung
turun saja, Gagak Bego?" leceh Andika. "Tetapi tidak heran ya, kalau orang
pengecut itu hanya bi-sa bersembunyi di balik kegarangan semua!"
"Bangsat busuk!" geram Gagak Seto.
Saat itu juga lelaki kekar ini meluruk den-
gan kedua tangan berbentuk paruh gagak.
Andika melompat menghindari serangan.
Sementara Subekti, Giri, dan Sawedo telah men-
gambil alih ketiga sisa lawan Andika tadi.
Andika terus menghindari gempuran-
gempuran hebat Gagak Seto yang menggunakan
jurus 'Gagak Membubung ke Langit'. Sebuah ju-
rus yang sangat hebat dan cepat.
Tetapi menghadapi jurus ini Andika justru
tertawa-tawa. Sambil menghindar dan membalas
mulutnya tak henti-hentinya mengoceh.
"Lumayan! Lumayan juga kau, Gagak Bego!
Tetapi, kesaktianmu hanya pantas untuk jadi tu-
kang pukul di pasar kotapraja!"
Sambil mengejek Andika bergerak cepat.
Kakinya bagai seribu, seolah sangat hafal dengan bagian-bagian tanah yang
diinjak. Dan kali ini. Gagak Seto yang menjadi ke-
limpungan menghadapi gerakan kilat Andika. Se-
bisanya tubuhnya melenting berkali-kali ke atas.
Untuk menghindari sambaran kaki Pendekar Sle-
bor yang cepat. Belum lagi, kedua tangan Andika yang terkadang memukul secara
beruntun. "Hei, hei! Kenapa kau tidak mengepakkan
kedua sayapmu untuk terbang?" seloroh Andika memanas-manasi. "Mungkin keberatan
dosa ya, sehingga takut jatuh!"
Pendekar Slebor terus bergerak cepat,
membuat Gagak Seto benar-benar kelimpungan.
Diam-diam kini disadari, kalau nama besar Pen-
dekar Slebor bukan hanya omong kosong saja.
Namun pendekar muda yang bijaksana namun
urakannya tidak ketulungan itu memang sangat
santer di seluruh tanah Jawa. Sangat dikenal
baik oleh golongan sesat maupun golongan lurus.
Bahkan, namanya pun dikenal para pendekar da-
ri negeri seberang.
Namun Gagak Seto yang sudah cukup la-
ma malang melintang sebagai salah satu begun-
dal yang ditakuti, tidak mau menyerah begitu sa-ja.
Selagi Andika menyerang dengan cara me-
matahkan setiap langkahnya, mendadak saja Ga-
gak Seto bergerak ke atas. Lalu dia hinggap di tanah, bukan dengan kedua kaki.
Tapi dengan ke-
dua tangannya. Sementara kedua kakinya lurus
ke atas. "Hei" Sedang apa, sih?" seru Andika sambil memperhatikan gerakan Gagak Seto.
"Apa mata-
mu mendadak juling, sehingga melihatku mesti
pakai jungkir balik seperti itu?"
"Anak muda...! Sekarang kau akan menga-
kui kebebatan Gagak Seto!" desis Gagak Seto.
Bagai baru sadar, Pendekar Slebor men-
ganggukkan kepala.
"O..., itu sebuah jurus, toh" Boleh, boleh!
Aku juga ingin melihat seperti apa sih, jurusmu itu!" Tiba-tiba saja Gagak Seto
bergerak. Luar biasa! Kedua tangannya yang dijadikan sebagai
kaki bergerak begitu cepat. Bahkan mampu me-
lompat-lompat, tak ubahnya kaki.
Andika sampai terkejut bercampur kagum
melihatnya. "Hebat!" puji Pendekar Slebor, tulus.
"Dan kau akan merasakan yang lebih hebat
lagi. Pendekar Slebor!" dengus Gagak Seto. Kedua kakinya yang mengangkat ke atas
menderu-deru, bagaikan sebuah kepalan tangan yang mampu
mematikan langkah lawan.
Andika sendiri beberapa kali cukup terke-
jut menyaksikan serangan aneh itu.
Sementara itu, Sawedo, Giri, dan Subekti
harus mendapatkan lawan yang tangguh. Bahkan
terlihat lebih tinggi ilmunya dari mereka. Giri sendiri berkali-kali harus
bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari sambaran
pedang. Begitu pula Subekti. Serangannya seolah
mati saja. Berkali-kali pula tubuhnya terkena
sambaran ujung pedang yang tajam. Walau tidak
mematikan, namun membuatnya pedih. Mungkin
hanya Sawedo saja yang kelihatan bisa mengim-
bangi lawannya, meskipun tak urung harus san-
gat berhati-hati.
Jalu yang menyaksikan ketiga sahabatnya
bertarung mati-matian, hanya bisa menghela na-
pas saja. Dia tidak kuasa untuk bangun, karena
perutnya yang ditendang Gagak Seto tadi masih
sakit sekali. "Habisi mereka semua! Kita harus cepat ke
lereng Gunung Pengging!" seru Mayang, memberi semangat.
Kata-kata itu masuk ke telinga Andika,
yang menjadi ingat tujuan utama mereka. Me-
mang sulit untuk masuk ke dalam serangan Ga-
gak Seto yang mempergunakan ilmu anehnya.
Namun kali ini Andika tidak mau bertindak tang-
gung lagi. Tubuhnya segera melesat cepat, setelah mengalirkan tenaga 'inti
petir' tingkat ketiga puluh di kedua tangannya.
Des! Des! Dua pukulan Pendekar Slebor berbenturan
dengan dua sepakan kaki Gagak Seto yang men-
juntai ke atas. Tak ada pengaruh apa-apa. Bah-
kan Gagak Seto terus mencecar.
"He he he.... Sudah cukup belum kau ber-
diri dengan kedua tanganmu?" ledek Andika.
Sambil bertarung, Pendekar Slebor memi-
kirkan pula kemungkinan Manusia Pemuja Bulan
dan Tridarma yang pergi ke lereng Gunung Pengg-
ing untuk mencari cincin pusaka di perut Ki Seta.
Kalau mereka sudah berhasil mendapatkannya,
maka akan sulit sekali untuk menghancurkan
dua manusia sesat itu.
Sementara Gagak Seto menyerang, tetap
dengan serangan-serangan aneh! Saat itulah An-
dika menderu maju dengan tubuh berguling. Lalu
kedua kakinya tiba-tiba menyepak kedua tangan
Gagak Seto yang dijadikan sebagai tumpuan.
Tetapi sungguh luar biasa. Gagak Seto ter-
nyata mampu mengangkat tubuhnya dengan lon-
taran kedua tangannya.
Sebenarnya, itulah yang memang diperhi-
tungkan Andika. Begitu tubuh Gagak Seto te-
rangkat, mendadak saja kaki Pendekar Slebor
menyambar. Des! "Aaakh...!"
Tubuh Gagak Seto terhuyung, lalu ambruk.
Belum lagi dia bangkit, kaki Andika kembali
menghantam perutnya.
Desss...! Dan seketika kaki kanan Pendekar Slebor
menyambar kepala Gagak Seto.
Prak! "Aaa...!"
Kepala itu pecah. Tamatlah riwayat Gagak
Seto! Andika telah berdiri berkacak pinggang.
"Cukup sudah, ya" Daripada kau capek"
Eh, Sawedo! Minggir kalian semua! Heaaat!"
Sawedo, Giri, dan Subekti langsung ming-
gir begitu mendengar teriakan Andika. Tetapi
yang sangat lucu, ketiga laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan pedang di
tangan itu justru
menjadi kelabakan. Apalagi begitu melihat Gagak Seto yang merupakan ketua mereka
sudah menjadi mayat.
Lebih baik melarikan diri saja daripada ma-
ti konyol. Maka serentak ketiganya serabutan melarikan diri.
Andika cepat menghentikan serangannya.
Dan kedua tangannya memukul-mukul pahanya
sendiri. "Ayo! Kejar! Pegang, pegang!" Ketiga orang itu terus ngibrit
terkencing-kencing. Sikap Andika yang kocak membuat Mayang tersenyum simpul.
"Ah, Andika.... Sikapmu yang semaunya itu
justru menjadi ciri khasmu. Orang bukannya ma-
rah bila melihat sikapmu yang sedikit tengil dan urakan. Tapi malah akan tertawa
bila tahu sifat-mu yang doyan bercanda...," gumam gadis ini dalam hati.
Tetapi, lain lagi bila yang dihadapi Andika
adalah tokoh sesat. Mereka yang kegiatannya me-
rasa dihalangi, akan dibuat bertekuk lutut sam-
pai benar-benar tobat.
"Sudahlah, Kang Andika.... Kita harus pergi menyelamatkan mayat Aki," kata
Mayang kemudian. Andika berbalik. Segera disalaminya Sawe-do, Giri, Subekti dan
Jalu. Seolah, saat itulah mereka baru bertemu. Sawedo menceritakan para
penduduk yang mengungsi ke Lembah Bunga di
bawah pimpinan Paman Longgom.
Sawedo juga menceritakan tentang Gagak
Seto yang mengatakan kalau di tubuh Ki Seta
terdapat sebuah cincin pusaka. Dan hal itu sege-ra ditanyakan pada Andika. Di
luar dugaan Pen-
dekar Slebor mengangguk.
"Yah! Semuanya memang benar. Ki Seta,
kakeknya Mayang, dulunya seorang pendekar.
Dia telah menelan sebuah cincin sakti, sehingga punahlah seluruh kesaktiannya.
Sudahlah.... Kita harus cepat sekarang! Karena aku yakin, sudah
banyak para tokoh sakti yang memburu cincin
pusaka itu!" ujar Pendekar Slebor.
Setelah mengobati Jalu, mereka pun segera
berangkat menuju lereng Gunung Pengging, tem-
pat mayat Ki Seta dimakamkan.
8 Malam semakin tinggi. Kesunyian mulai
menyergap alam sekitarnya. Angin dingin ber-
hembus. Terasa lain dari yang lain, seolah mengi-syaratkan kalau akan ada suatu
kejadian yang menggiriskan. Di malam seperti ini Sudongdong alias si
Kera Sakti telah siap dengan pekerjaannya, men-
cari cincin pusaka di dalam tubuh mayat Ki Seta.
Mayat itu sudah direbahkan di balik semak. Keti-ka merasa sudah cukup aman, akan
dilakukan- nya pembedahan. Akan dicarinya cincin pusaka
yang akan menjadikannya sebagai orang nomor
satu di dunia persilatan.
Sejenak si Kera Sakti memperhatikan seke-
lilingnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Mungkin saat ini Ki Abdi Kanwa dan si Camar Hi-
tam dalam keadaan sekarat.
Kini Sudongdong pun memulai maksud-
nya. Diketuk-ketuknya mayat Ki Seta. Entah apa
yang dilakukan, seolah mencari di mana cincin
pusaka itu. Tahu-tahu lelaki berwajah kera itu terse-
nyum. "Hmmm.... Rupanya terselip di antara tulang ekor," gumam si Kera Sakti
puas. Lalu, diba-liknya mayat Ki Seta.
Kini tibalah saatnya bagi Sudongdong un-
tuk memiliki apa yang diimpi-impikannya. Tan-
gannya pun terangkat, siap mengepruk tulang
ekor Ki Seta. Namun belum lagi sempat menu-
runkan tangannya, mendadak saja....
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Saat itu juga si Kera Sakti merasakan tu-
buhnya menegak kaku. Seseorang telah meno-
toknya hingga tak bisa bergerak seperti ini.
"Keparat! Keluar kau"!" bentak si Kera Sakti marah.
Sudongdong tidak perlu berteriak sampai
dua kali. Karena tak lama kemudian dua sosok
tubuh berloncatan ke arahnya. Yang seorang
mengenakan jubah hitam. Sedang yang seorang
lagi berambut putih acak-acakan tanpa memakai
baju. Mereka tak lain memang Manusia Pemuja
Bulan dan Tridarma. Setelah puas menyiksa Pen-
dekar Slebor, Tridarma pun segera mengajak Ma-
nusia Pemuja Bulan untuk mendatangi mayat Ki
Seta. Karena, kini gilirannya untuk mendapatkan cincin pusaka itu.
Namun karena Manusia Pemuja Bulan
ngotot untuk menculik seorang dara perempuan
guna menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa',
maka perjalanan menuju Gunung Pengging jadi
terhambat. Tridarma hanya mendengus saja ketika
Manusia Pemuja Bulan membawa seorang pera-
wan dalam keadaan pingsan, yang diculiknya ke-
tika sedang mandi. Dan malam itu juga, seluruh
ajian 'Unggulan Dewa' disempurnakannya.
Kini lengkaplah sudah Manusia Pemuja
Bulan dalam mempelajari ajian 'Unggulan Dewa'
tersebut.

Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, rupanya keterhambatan itu mem-
bawa keuntungan. Karena selagi Manusia Pemuja
Bulan baru saja selesai menyempurnakan il-
munya, Tridarma mendengar sesuatu yang mena-
rik perhatiannya. Dia pun berkelebat cepat men-
gikuti satu sosok tubuh bertampang monyet se-
dang berlari sambil membopong satu sosok tubuh
yang lunglai. Mata kelabu Tridarma yang awas itu bisa
melihat jelas, kalau yang dibopong manusia ber-
tampang monyet itu tak lain adalah Ki Seta.
Setelah secara singkat menceritakan pada
Manusia Pemuja Bulan, Tridarma segera menge-
jar. Tentu saja diikuti pula oleh Manusia Pemuja Bulan. Ketika manusia
bertampang monyet itu telah berhenti dan tengah menerka-nerka di mana
gerangan cincin pusaka berada. Tridarma dan
Manusia Pemuja Bulan bersembunyi. Baru ketika
Sudongdong hendak memukul tulang ekor Ki Se-
ta, barulah Manusia Pemuja Bulan yang bertin-
dak. Dengan sebuah daun, Ki Wedokmurko me-
notok urat di bawah pangkal lengan kanan Su-
dongdong. Lalu keduanya mendekati Sudongdong
yang kaku dengan tangan kanan terangkat.
"Gembel Tua.... Rupanya nasib kita sangat
beruntung. Tidak perlu bertindak seperti maling yang membawa-bawa lari mayat Ki
Seta!" kata Manusia Pemuja Bulan, setelah meyakini sosok
yang rebah itu memang mayat Ki Seta.
Tridarma pun tertawa.
"Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba.
Orang lain yang bersusah payah, kita yang mu-
dah mendapatkannya. Dengan ajian 'Unggulan
Dewa' yang telah sempurna kau kuasai serta cin-
cin pusaka yang akan berada di tanganku, kita
akan menjadi dua malaikat pencabut nyawa di
rimba persilatan ini!" tambah Tridarma. Keduanya terbahak-bahak.
Sudongdong yang sejak tadi menyipitkan
matanya jadi jengkel.
"Lepaskan totokan ini! Kita akan bertarung seribu jurus!" dengus si Kera Sakti
Manusia Pemuja Bulan berpandangan den-
gan Tridarma, lalu keduanya tertawa.
"Bagus, bagus sekali.... Aku memang ingin
mencoba kehebatan ajian 'Unggulan Dewa'. Dan
tak disangka, aku menemukan lawan yang seper-
tinya memang layak untuk menyambut ajian
'Unggulan Dewa*," kata Manusia Pemuja Bulan.
Manusia Pemuja Bulan menendang sebutir
kerikil yang langsung meluncur ke arah si Kera
Sakti. Tuk! Totokan yang dialami Sudongdong pun ter-
lepas. Si Kera Sakti langsung menggeram.
"Hhh! Tak akan pernah kubiarkan kalian
mendapatkan cincin pusaka itu!" geram Sudongdong sambil membuka jurusnya 'Kera
Sakti Men- gurung Mangsa'.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
Sementara Tridarma menyingkir.
"Benar tidak yang kukatakan, Gembel Tua"
Dia memang pantas untuk mencoba ajian
'Unggulan Dewa' yang telah sempurna ini!" leceh Manusia Pemuja Bulan.
Dalam kesempurnaan, ajian 'Unggulan
Dewa' yang dipelajari Manusia Pemuja Bulan secara tidak langsung sudah mengikat
dan menyatu pada tubuhnya. Sehingga ketika merapalkannya,
tidak menampakkan perubahan warna pada tu-
buhnya. Kalau dulu selagi berhadapan dengan
Pendekar Slebor, seluruh tubuhnya memancar-
kan warna merah. Kecuali di salah satu bagian
bahu kanannya. Saat itu, ajian 'Unggulan Dewa'
yang dipelajarinya memang belum sempurna.
"Hhh! Aku ingin tahu kehebatan ajian ca-
cingmu itu!" tantang Sudongdong.
Saat itu juga, si Kera Sakti meluruk maju
dengan kekuatan penuh, ia ingin unjuk gigi, da-
lam sekali gebrak saja lawan akan blingsatan.
Namun, tiba-tiba tangan kanan Manusia
Pemuja Bulan telah memancarkan sinar merah.
Begitu mengibas meluncur sinar merah ke arah
Sudongdong yang kontan blingsatan.
Sudongdong yang merasa kalau ada se-
buah tenaga raksasa mengarah kepadanya, beru-
saha menghindar. Namun yang membuatnya he-
ran, tubuhnya bagai diikat oleh tenaga raksasa.
Sehingga dia tak bisa bergerak sedikit pun. Aki-batnya.....
Brak! "Aaakh...!"
Tubuh Sudongdong kontan melayang, me-
nabrak pohon hingga tumbang. Dan dadanya te-
rasa sangat sakit.
"Edan! Ajian apa ini"!" sentak si Kera Sakti dalam hati.
Namun Sudongdong bukanlah orang pena-
kut. Begitu bangkit dipersiapkannya bulatan hi-
tam yang mengandung racun. Begitu menyerang,
dilemparkannya lima buah sekaligus bulatan hi-
tamnya. Akan tetapi, semuanya sia-sia saja. Karena
ketika laki-laki berjubah hitam itu kembali mengibaskan tangannya tanpa
berpindah dari berdi-
rinya, kembali tenaga raksasa menghantamnya.
Seperti tadi, Sudongdong tidak bisa men-
gendalikan keseimbangannya. Bahkan tidak
mampu lagi menahan gempuran tenaga raksasa
yang kuat. Tubuhnya bukan hanya terlontar,
bahkan terlempar beberapa tombak. Lalu dia am-
bruk dengan hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah, tanpa dapat bangkit lagi.
Sudongdong telah tewas hanya dalam se-
kali gebrak! Manusia Pemuja Bulan terbahak-
bahak. "Gila! Sungguh di luar dugaan! Dia ternyata tidak layak untuk mencoba
ajian 'Unggulan
Dewa'!" kata Manusia Pemuja Bulan penuh semangat.
"Kuakui, ajian 'Unggulan Dewa' itu sangat
hebat. Bagus! Sebentar lagi, kita akan menguasai dunia persilatan!" sahut
Tridarma. Tridarma lantas melangkah, mendekati
mayat Ki Seta. Kalau tadi Sudongdong yang men-
galami keterkejutan karena tiba-tiba tubuhnya
menjadi kaku, kali ini Tridarma. Karena, begitu tangannya terulur siap
mengangkat mayat Ki Se-ta, mendadak saja....
Ctarrr! Terdengar suara keras seperti suara lecu-
tan yang memekakkan telinga.
Tridarma langsung menarik pulang tan-
gannya. Segera dia bergeser dua tindak.
"Bangsat buduk! Siapa yang iseng begini,
hah"!" maki Tridarma.
Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu-
lan pun segera memasang kedua matanya penuh
waspada. *** "Curang! Sangat curang sekali!"
Terdengar suara halus yang disertai lang-
kah gemulai dari sosok ramping berpakaian serba kuning.
Yang muncul memang seorang gadis manis
dengan betis mulus, karena celananya hanya se-
batas lutut. Di dadanya terdapat hiasan bergam-
bar kalajengking dengan sepasang capit terang-
kat. Wajahnya memang sangat cantik, tak ubah-
nya dewi yang baru turun dari kahyangan. Hi-
dungnya bangir menawan dengan sepasang bibir
mungil memerah. Sepasang alisnya hitam legam
bak semut beriring. Pipinya montok. Kalau saja
saat ini siang hari, jelas sekali terlihat kedua pipi itu kemerahan. Matanya
jernih dengan bulatan
indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Di tangannya terdapat sebuah cambuk.
Untuk sesaat Tridarma dan Manusia Pe-
muja Bulan ternganga melihat kecantikan dara
yang baru muncul. Namun hanya sesaat.
"Hhh! Seekor ayam bulat menjual lagak di
sini!" bentak Tridarma.
Dara itu tersenyum.
"Dan dua ekor kambing tua yang mau
mampus masih juga berbuat curang pada manu-
sia bertampang monyet yang sudah mampus!" balas gadis ini tenang.
Manusia Pemuja Bulan masih bisa men-
gendalikan amarahnya.
"Nona manis..., siapa kau?" tegur Ki Wedokmurko.
"Hhh!"
Dara itu mengangkat dagunya. "Apakah
kau belum mendengar tentang seorang dara jelita yang berasal dari Ngarai Sejuta
Madu?" gadis ini malah balik bertanya.
Manusia Pemuja Bulan diam-diam men-
dengus. Rupanya gadis ini adalah Penguasa Nga-
rai Sejuta Madu yang terletak tak jauh dari Pesisir Pantai Utara.
"Tak kusangka! Cemeti Melati Kala pun
hadir di sini," kata Manusia Pemuja Bulan kemudian. "Ada perlu apa kau
sebenarnya, Ranjani?"
Dara bernama Ranjani yang berjuluk Ce-
mati Melati Kala tertawa.
"Wah, wah...! Rupanya saat ini aku berte-
mu orang yang pandai bersandiwara" Perbua-
tanmu yang menipu para penduduk di sekitar le-
reng Gunung Pengging sudah kudengar. Sayang-
nya, aku terlambat menyelamatkan mereka dari
tangan sesatmu. Tetapi sekarang, hi hi hi.... Tak kusangka di balik tanganmu
yang sesat kau juga
menginginkan satu kenyataan pahit yang harus
kau dapatkan!" kata Ranjani dengan tawa tergelak-gelak
Wajah Manusia Pemuja Bulan memerah.
Dia tahu, Ranjani alias Cemati Melati Kala adalah salah seorang tokoh lurus,
yang menjadi Penguasa Ngarai Sejuta Madu. Berarti malam ini, keinginan Tridarma
untuk membedah mayat Ki Seta
guna mendapatkan cincin pusaka harus terham-
bat. Karena, Manusia Pemuja Bulan yakin, gadis
ini akan menjadi penghalang. Tetapi Ki Wedok-
murko masih mencoba menggunakan otaknya.
"Kalau cuma ingin menumpasku saja, kau
tidak perlu capai-capai mencariku. Ranjani. Ka-
rena, ketahuilah. Aku sudah insyaf," ujar Manusia Pemuja Bulan yang tidak mau
mencari ribut dengan Ranjani. Karena dia tahu, saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk
membedah mayat Ki Seta. Ranjani tertawa.
"Hebat, hebat! Dagelan pepesan kosong
yang pernah kudengar! Baiklah, Wedokmurko!
Kau boleh pergi dari sini bersama temanmu. Te-
tapi, tinggalkan mayat Ki Seta!"
Lagi wajah Ki Wedokmurko memerah. Ru-
panya Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun
mengetahui tentang mayat Ki Seta yang menyim-
pan harta tak ternilai.
"Hhh! Kau hanya mencari penyakit saja,
Dara Manis!" dengus Tridarma sebelum Manusia Pemuja Bulan buka suara.
Ranjani tersenyum.
"Atau kau yang sebenarnya mencari pe-
nyakit?" tukas Ranjani.
Tridarma menggeram marah. Lalu dengan
cepat tubuhnya menerjang Ranjani. Namun tanpa
bergeser dari tempatnya, Cemeti Melati Kala
menggerakkan tangannya yang memegang cemeti.
Ctarrr! "Jangan sampai kau tersentuh ujung ceme-
ti itu, Tridarma! Cemetinya mengandung racun
ular bludak yang banyak hidup di Ngarai Sejuta
Madu!" ingat Ki Wedokmurko pada Tridarma.
"Ternyata kau sangat pandai, Wedokmur-
ko!" seru Ranjani. "Coba sekarang kulihat gaya menarimu!"
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu men-
gebutkan cemetinya ke arah Manusia Pemuja Bu-
lan. "Bangsat!" rutuk Manusia Pemuja Bulan seraya melenting menghindar.
"Hi hi hi...! Lumayan juga untuk menghi-
burku!" Tridarma cepat meluruk, coba membokong.
Namun Ranjani telah berbalik seraya menge-
butkan cemetinya.
Ctar! "Monyet!" seru Tridarma jengkel, cepat menahan serangannya.
Ranjani hanya tertawa-tawa saja. "Aku su-
ka sekali. Sangat suka sekali dihibur tahan seperti monyet dungu menggaruk
pantat!" ejek gadis
itu. Ki Wedokmurko menggeram marah. Lalu
segera dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa' yang
baru saja memakan korban.
Agaknya Tridarma mengetahui gelagat itu.
Langsung tubuhnya melenting ke belakang,
membiarkan Ki Wedokmurko melepas ajian
'Unggulan Dewa'
"Hhh! Cemeti Melati Kala! Coba lihat ju-
rusku yang satu ini!" dengus Manusia Pemuja Bulan. "Silakan, silakan!" tantang
Ranjani sambil mengibaskan kembali cemetinya.
Bersamaan dengan itu, Manusia Pemuja
Bulan mengibaskan kedua tangannya. Seketika
angin dahsyat bergulung-gulung menderu ke arah
Ranjani. Cemeti Melati Kala terkejut melihatnya. Se-
gera tubuhnya melenting ke atas. Namun, ada
keanehan yang dirasakannya. Karena, angin yang
bergulung-gulung itu bagai mengejarnya. Maka
tubuhnya pun melenting kembali dengan kalang
kabut. "Gila!" maki gadis itu.


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Aku ingin melihat, sampai di mana kesabaranmu untuk menghindar
terus menerus. Ranjani!" ejek Ki Wedokmurko sambil mengibaskan terus menerus
kedua tangannya.
Dan selagi Ranjani kerepotan menghindar
ke sana kemari, Manusia Pemuja Bulan menderu
maju dengan kedua tangan sudah terangkum
ajian "Unggulan Dewa'!
Sebisanya Ranjani mengibaskan cemetinya.
Kalau tadi hanya memecut biasa, kali ini bergerak bagaikan ular yang meliuk-liuk
mencari sasaran.
Namun Ki Wedokmurko yang sangat yakin
dengan ajian 'Unggulan Dewa'nya terus mener-
jang. Dan kini, justru Ranjani yang kali ini terkejut melihatnya.
Ctar! Ujung cemeti gadis itu menyambar dada Ki
Wedokmurko. Di luar dugaan, tubuh itu tidak
bergeming sama sekali! Bahkan terus menderu ke
arahnya. Pucatlah wajah Penguasa Ngarai Seribu
Madu. Dari sini dia yakin, ilmu yang diperli-
hatkan Manusia Pemuja Bulan sangat dahsyat.
Jalan satu-satunya memang hanya beru-
saha menghindar. Namun itu pun sudah sulit.
Karena selain angin yang bergulung-gulung itu terus menderu ke arahnya, dia juga
harus meng- hindari serangan Ki Wedokmurko yang menderu
maju. "Ha ha ha...! Rupanya nama besar Penguasa Ngarai Seribu Madu ternyata
hanya omong ko-
song belaka!" ejek Manusia Pemuja Bulan.
Panas sekali telinga Ranjani mendengar
ejekan itu. Namun, dia tak berani memapak serangan
yang dirasakan semakin menjadi-jadi.
Beberapa buah pohon yang tumbuh di sa-
na pun bertumbangan terbawa angin kencang.
Pohon yang berjarak dua puluh tombak dari tem-
pat itu harus gugur dedaunannya. Ini menanda-
kan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja
Bulan begitu dahsyat dan sudah sempurna sekali.
Sementara itu, Tridarma yang mundur dari
pertarungan sudah membalikkan mayat Ki Seta.
Tangannya pun siap mengepruk pinggul Ki Seta.
Dia pun yakin, cincin pusaka itu berada di antara tulang ekor Ki Seta.
9 "Si Kera Sakti...!"
Satu sosok berpakaian putih yang kini su-
dah dikotori debu tampak bergerak mulai siuman
dari pingsannya. Yang dipikirkannya pertama kali ketika sadar adalah Sudongdong
yang berjuluk si Kera Sakti. Makanya ketika sadar mulutnya langsung menyebut
nama itu. Dengan cepat tubuhnya
diangkat dan bersiaga.
Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali mayat
Layan yang terbujur kaku dan sosok Camar Hi-
tam yang mulai bergerak, siuman pula.
Camar Hitam sendiri juga segera bersiaga
begitu sadar. Yang dilihatnya hanyalah sosok Ki Abdi Kanwa yang nampak pucat dan
sempoyongan. Perempuan sakti ini sendiri merasakan tu-
buhnya bergetar. Rupanya racun yang dilempar-
kan Sudongdong tadi sudah meresap ke seluruh
tubuh mereka. "Ki...," desis Camar Hitam parau.
Ki Abdi Kanwa memegang dadanya yang te-
rasa sakit. Jantungnya terasa berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Kita terkena racun," kata Penguasa Alas Roban. "Bangsat si Sudongdong itu!
Hkkhhh! Dia telah berlaku licik untuk membunuh kita!" maki perempuan sakti itu.
"Camar Hitam...! Apakah silang sengketa di antara kita ini harus diteruskan?"
tanya Ki Abdi Kanwa. "Manusia bertampang monyet itu sudah melarikan diri dari
sini, dengan membawa mayat
Ki Seta!" Camar Hitam mengeluh menahan sakit
Tangannya mengibas.
"Tidak! Kita sudahi saja. Aku harus hidup
untuk membalas perbuatan Sudongdong!" sahut Camar Hitam, tegas.
"Aku pun demikian!"
"Hhh!"
Sepasang mata Camar Hitam menyipit me-
natap Ki Abdi Kanwa.
"Namun bukan berarti berhenti sampai di
sini! Bila kau sudah sembuh dari racun keparat
ini, kita akan bertemu lagi!"
Ki Abdi Kanwa hanya mengangguk. Rasa
sakit di dadanya semakin terasa. Meskipun hawa
murninya sudah dikerahkan untuk mengusir ra-
cun itu, tetap saja masih merasakan sakit yang
menyengat. Ketika tubuh Camar Hitam berkelebat Ki
Abdi Kanwa hanya menghela napas panjang. Ru-
panya, kehadirannya di dunia ramai kembali ha-
nyalah untuk menjemput maut. Tidak! Dia tidak
boleh mati dulu. Dia harus mengobati rasa sakit ini.
"Huh! Di mana aku harus mencari pemuda
berpakaian hijau pupus yang menyampirkan kain
bercorak catur di lehernya?" dengus Penguasa Alas Roban pelan.
Tetapi karena hawa racun yang memang
harus disembuhkannya. Ki Abdi Kanwa pun me-
ninggalkan tempat itu dengan penuh kesedihan.
Dia merasa gagal untuk menenteramkan dunia
ini. Semua terjadi gara-gara cincin pusaka yang membawa petaka!
*** "Anjing buduk! Siapa lagi yang ingin men-
cari mampus!" geram Tridarma sekali lagi.
Hati lelaki ini benar-benar geram. Kalau
tadi gagal karena kehadiran Ranjani, kini gagal lagi entah ulah siapa. Karena
tahu-tahu, gerakan tangannya yang hendak mengepruk Ki Seta me-lenceng.
"He he he...! Sudah tak sabar, ya?" sahut sebuah suara disertai munculnya satu
sosok tubuh berpakaian hijau pupus yang cengar-cengir.
"Pendekar Slebor!" seru Tridarma terkejut.
"Nah, nah! Papan penggilesan! Apakah kau
sudah mendapat wangsit dari Ki Saptacakra un-
tuk mengepruk pinggul Ki Seta, hah"!" kata sosok yang baru muncul.
Sosok itu tak lain dari Andika alias Pende-
kar Slebor. Pemuda inilah yang menggagalkan
rencana Tridarma dengan pukulan jarak jauhnya.
Andika memang sangat geram karena berhasil di-
kelabui Tridarma.
"Nih! Lebih baik kau makan saja dulu an-
gin dari pinggulku!" ujar Andika seraya menungg-ing. Dan....
Duuut! Tridarma bangkit sambil menggeram ma-
rah. "Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" desis Tridarma, sambil menyerang.
Lelaki kerempeng ini tidak menyangka ka-
lau Andika yang sudah dihajar sampai pingsan
ternyata bisa meloloskan diri. Kalau pemuda ini berhasil meloloskan diri, sudah
bisa dipastikan Mayang pun berhasil diselamatkan pula. Breng-sek! Jelas, dia
tidak punya sandera sekarang! Sebenarnya, itulah maksud Tridarma kenapa tidak
mengatakan tentang Mayang pada Manusia Pe-
muja Bulan. Terutama di saat laki-laki berjubah hitam itu membutuhkan darah
perawan guna pe-nyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'.
Andika melenting menghindari serangan.
Kali ini dia langsung menyerang, karena hatinya masih kesal. Yang jelas,
Tridarma diberi pelajaran. Maka dalam gebrakan pertama saja, Pende-
kar Slebor sudah menggunakan tenaga 'inti petir'
tingkat delapan. Ini menandakan kalau kegera-
mannya pada Tridarma sudah demikian memun-
cak Gebrakan pertama Pendekar Slebor sangat
menyulitkan Tridarma yang menyerang di bawah
pengaruh amarahnya. Apalagi, bila seorang tokoh berada dalam kemarahan saat
menyerang, maka
sudah bisa dipastikan tidak akan bisa memu-
satkan perhatiannya.
Makanya, Pendekar Slebor pun mampu
membuat Tridarma kalang kabut. Namun meski-
pun demikian, laki-laki bertubuh kurus itu bu-
kanlah tokoh sembarangan. Mendadak saja tu-
buhnya mampu bergerak lincah laksana seekor
kijang. "Heeeiiittt! Boleh juga, nih!" seru Andika sambil mempercepat
gerakannya. Dan setiap kali
tangannya bergerak, terdengar suara bagai petir menyalak.
Tridarma mendengus. Serangan itu belum
dibalasnya, karena Pendekar Slebor telah menu-
tup setiap langkahnya. Namun dia masih berusa-
ha menembus. "Heit! Mau ke mana, Kek" Jangan jauh-
jauh! Sini, sini, biar tubuhmu itu kupatah-
patahkan menjadi tulang bakar!"
Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan itu terus menyerang dahsyat dan
cepat sekali. Dan ini membuat Tridarma harus
kelabakan. Namun pada satu kesempatan, Tridarma
berhasil melepaskan diri dari lingkaran serangan Andika dengan cara melemparkan
pasir yang berada di dekatnya. Kemudian tubuhnya membuat
lompatan ke belakang.
Andika sendiri harus menghindari pasir
itu. Dalam jeda hanya beberapa kedipan saja,
Tridarma telah menggosok kedua tangannya yang
seketika memancarkan sinar berwarna keemasan.
Ketika Pendekar Slebor menyerang, tangannya di-
kibaskan ke depan.
Sing! Sing! Siiing!
Seketika tiga buah larik sinar keemasan
meluncur ke arah Pendekar Slebor! Kalau tadi
Tridarma yang kalang kabut, kali ini Andika yang kelihatan kewalahan menghindari
serangan dengan berlompatan ke sana kemari.
Tridarma bisa bernapas lega.
"Ha ha ha...! Rupanya Pendekar Slebor bisa menjadi monyet juga!"
"Kutu kupret! Monyet pitak! Awas kau, ya?"
maki Andika. Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor
meluruk ke arah Tridarma yang sudah kembali
melontarkan sinar keemasannya.
"Heh..."!"
Tridarma terkejut, karena sinar keemasan
itu berhasil ditepis Pendekar Slebor. Bahkan kini berbalik ke arahnya!
Tridarma cepat menjatuhkan diri, bergulin-
gan. Sehingga, sinar keemasan yang berbahaya
itu menghantam beberapa pohon yang langsung
tumbang. Rupanya, kali ini Andika tidak tang-
gung-tanggung lagi. Segera tenaga 'inti petir'nya dikerahkan pada tingkat
ketiga! Pada saat itu ju-ga, Pendekar Slebor terus menyerang.
"Kali ini, kau harus merelakan nyawamu
pergi ke akherat, Papan Penggilesan!" desis Pendekar Slebor.
Namun belum lagi maksud Andika terlak-
sana, serangkum angin besar yang bergulung-
gulung meluruk ke arahnya tanpa dapat dicegah
lagi. Brak! Tubuh Pendekar Slebor kontan terbawa
angin dan menabrak pohon hingga tumbang.
*** Rupanya, dalam saat yang gawat bagi Tri-
darma, Manusia Pemuja Bulan memberi ban-
tuannya dengan mengibaskan ajian 'Unggulan
Dewa' ke arah Pendekar Slebor.
Sementara itu lawan Manusia Pemuja Bu-
lan, Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang sudah te-
rombang-ambing dimainkan angin besar, kini
hinggap di tanah dalam keadaan berlutut. Da-
danya terasa nyeri karena berkali-kali terhantam angin besar. Kalau saja tenaga
dalamnya tidak tinggi, bisa dipastikan akan mengalami nasib seperti Sudongdong yang tenaga
dalamnya berada
dua tingkat di bawahnya.
"Ha ha ha...! Kita bertemu lagi, Pendekar
Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil terbahak-bahak. "Untunglah, kau tidak
dibunuh Tridarma waktu itu, sehingga bisa menyaksikan
ajian 'Unggulan Dewa'ku yang sangat dahsyat
ini!" Andika memegang dadanya yang terasa nyeri. Matanya sempat melirik ke arah
dara jelita yang sejak tadi bertarung dengan Manusia Pemuja Bulan. Rupanya,
gadis berpakaian kuning itu, sedang bersemadi. Gila! Bersemadi di tengah-tengah
manusia kejam itu hanyalah mengundang
maut! Tetapi, memang hanya itulah yang bisa di-
lakukan, kalau tidak ingin nyawanya langsung
putus. Andika pun berdiri dengan digagah-
gagahkan. Perhatiannya dialihkan pada Manusia
Pemuja Bulan atau Tridarma.
Andika sendiri merasa beruntung. Karena
begitu melihat pertarungan sengit antara Manusia Pemuja Bulan dengan dara jelita
itu, sementara Tridarma sedang berusaha membedah mayat Ki
Seta, Sawedo disuruhnya untuk membawa yang
lainnya ke Lembah Bunga. Kalau tidak, sudah bi-
sa dipastikan, walaupun mereka bersembunyi,
akan terbawa angin dahsyat yang keluar dari pu-
kulan Manusia Pemuja Bulan.
Andika menatap Manusia Pemuja Bulan
sambil nyengir.
"He he he.... Lumayan, lumayan. Rupanya
itu ajian 'Monyet Nangkring' yang sedang kau pelajari. Boleh juga" sahut
Pendekar Slebor, enteng sambil mengusap-usap dadanya.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Jangan menyembunyikan ketakutanmu di
balik suaramu. Pendekar Slebor!" sentak Manusia Pemuja Bulan.
"He he he.... Aku tidak takut. Ini dadaku!
Nah, mana dadamu" Kalau Papan Penggilesan itu
sih tidak usah memperlihatkan dadanya" Sudah
krempeng seperti itu, eh, masih nekat juga jual tampang!" balas Andika, sok
kuat. "Bunuh dia, Wedokmurko!" seru Tridarma sambil membopong mayat Ki Seta.
"Tak perlu diperintah manusia ini pun
akan kubunuh, sebagai balasan dari perbuatan-


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang mengacaukan seluruh rencanaku! Se-
hingga, aku menjadi lebih lama untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari!"
desis Manusia Pemuja Bulan dengan mata nya-
lang. "O...! Jadi..., pendekar ganteng yang mem-buatmu mati kutu itu, aku ya?"
kata Andika sambil tertawa. "Kalau begitu, apakah kau masih takut juga?"
"Seettaaannn!"
Manusia Pemuja Bulan mengibaskan ke-
dua tangannya kembali, ke arah Pendekar Slebor.
Seketika angin besar meluruk bergulung-gulung
ke arah Andika Hawanya sangat panas.
Andika menghindar dengan jalan melom-
pat. Namun angin itu terus mengarah deras ke-
padanya. "Kadal buntet!" maki Pendekar Slebor sambil meloloskan kain pusaka bercorak
catur yang tersampir di bahunya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan
turun dengan derasnya. Benda cair bagaikan ri-
buan jarum bagaikan ditumpahkan dari atas
membasahi apa saja yang ada di bawah.
Wuuut! Brrr! Arah angin bergulung-gulung itu bisa dibe-
lokkan oleh Andika. Rupanya, kain pusaka wari-
san Ki Saptacakra lebih kuat dari pada ajian
'Unggulan Dewa' milik Ki Wedokmurko. Kini angin itu menderu ke arah Tridarma
yang sedang membopong mayat Ki Seta.
"Bangsat!" maki Tridarma sambil melompat menghindar. Dan....
Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan, ketika an-
gin itu menabrak sebuah pohon besar.
Melihat hal itu, Ki Wedokmurko menjadi
bertambah marah. Tidak disangka arah angin pa-
nas yang bergulung-gulung miliknya berhasil di-
belokkan oleh Pendekar Slebor. Dengan murka
kekuatan ajian 'Unggulan Dewa'nya ditambah.
Wrrr! Wrrr! Kembali angin panas bergulung-gulung ke
arah Andika. Dan lagi-lagi Pendekar Slebor men-
gibaskan kain pusakanya, mengarah pada Tri-
darma yang lagi-lagi harus menghindari angin balik itu. Bertepatan dengan itu,
Penguasa Ngarai Sejuta Madu membuka matanya. Tubuhnya dirasakan sudah lumayan,
tidak terlalu sakit seperti tadi. Dan begitu matanya menangkap sosok Tridarma
sedang melenting, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr! Tridarma terkejut. Namun dalam saat yang
gawat tubuhnya bisa bergulingan.
"Monyet!" Ranjani terkikik.
"Kau tak akan bisa membawa mayat Ki Se-
ta begitu saja!" kala Cemeti Melati Kala. "Hiaaat!"
Diiringi satu teriakan keras kembali gadis
itu mengibaskan cemetinya dengan tubuh melu-
ruk ke arah Tridarma.
Dengan sigap Tridarma melemparkan tu-
buh Ki Seta ke atas, dan nyangkut di rimbunnya
dedaunan sebuah pohon. Lalu lelaki kerempeng
ini cepat menghindari serangan dengan melompat
ke samping sambil mengayunkan kakinya.
Namun Ranjani sudah cepat berputar
sambil mengibaskan cemetinya ke arah kaki yang
terjulur itu. "Setttan!" rutuk Tridarma, seraya cepat menarik kakinya.
Menghadapi cemeti yang mampu menjaga
jarak itu membuat Tridarma mendengus-dengus.
Kemudian segera dilontarkannya pukulan jarak
jauh. Saat itu juga, meluruk sinar berwarna kee-
masan ke arah Ranjani.
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu
mendapatkan perlawanan seimbang. Jarak mere-
ka semakin membentang saja. Tridarma menjaga
jarak sambil melontarkan pukulan sinar keema-
sannya. Sementara, Ranjani menjaga dengan ce-
metinya yang mengandung racun pada ujungnya
*** Sementara itu, pertarungan antara Pende-
kar Slebor dengan Manusia Pemuja Bulan sema-
kin dahsyat dan seru. Ki Wedokmurko sudah me-
nutup rangkaian serangan dengan cara meluruk
maju. Kali ini langsung dikerahkannya aji
'Unggulan Dewa' pada kedua tangannya yang siap
mampir di tubuh Pendekar Slebor.
Sudah tentu pemuda sakti itu tidak ingin
tubuhnya dijadikan sasaran empuk. Maka segera
dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama.
Tingkat pamungkas.
Duarrr! Suara bagai ledakan dahsyat terdengar he-
bat begitu dua tenaga sakti berbenturan. Dan dua tubuh tampak terlontar ke
belakang. Sama-sama
telah terluka dalam, dan sama-sama ngotot.
Kembali mereka mengempos semangat se-
telah mempersiapkan diri dengan tenaga penuh.
Kemudian mereka sama-sama meluruk maju.
Blarrr...! Kembali benturan terjadi, disertai ledakan
menggelegar. Kembali pula dua tubuh terlontar ke bela-
kang. Kalau tadi keduanya langsung bangkit, kali ini hanya seorang. Dan sosok
yang mengenakan
jubah berwarna hitam tampak terbahak-bahak
keras. Sementara Pendekar Slebor harus merang-
kak untuk berdiri, karena dadanya terasa panas
sekali. "Kini, ajalmu akan tiba Andika!" desis Ki Wedokmurko keras, karena
suaranya mulai terte-lan suara derasnya hujan.
Saat itu juga tubuh Ki Wedokmurko pun
meluncur deras ke arah Andika.
Meskipun telah terluka dalam, namun
Pendekar Slebor tidak ingin ajal menjemputnya
sekarang. Dengan cepat kain pusakanya diki-
baskan. Ctarrr! Tubuh Ki Wedokmurko kontan tersampok
kain pusaka dan kontan terhuyung beberapa
tombak. Sementara Andika langsung melepas
kain pusakanya, karena terasakan hawa panas
menjalar. Dan ini semakin membuat dadanya te-
rasa sakit. Jelas sekali keunggulan ajian 'Unggulan
Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan. Bila Ki We-
dokmurko melontarkannya dari jarak jauh, masih
mampu ditandingi kain pusaka Pendekar Slebor.
Tetapi bila dialirkan pada kedua tangannya dan
menderu maju, kain pusaka Pendekar Slebor
mampu dipatahkan! Bahkan justru mengalirkan
panas menyengat!
Sementara itu, Tridarma mencoba mem-
perpendek jarak dengan meluruk maju sambil
melepaskan pukulan sinar keemasannya bertubi-
tubi. Ranjani pun berbuat sama. Karena bila
mundur, maka keadaannya yang akan terjepit.
Dan dengan lincah sambil menghindari pukulan
sinar keemasan yang sedang mengincar nya-
wanya, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr! Suara cemeti itu terdengar keras, menga-
lahkan hujan yang menderu kencang. Namun, hal
ini membuat Tridarma terkejut. Karena tahu-tahu saja kakinya yang jadi sasaran
cemeti yang langsung melilit di pergelangan.
Bruk! Tubuh lelaki tua kerempeng itu jatuh ke
bumi. Ketika Cemeti Melati Kala menarik ceme-
tinya, wajah Tridarma terkena genangan becek
akibat hujan yang terus menerus. Setengah tanah tampak masuk ke mulutnya.
Saat itu juga, Ranjani menghabisi Tridar-
ma. Maka dengan kekuatan penuh tubuhnya me-
lenting maju, siap menjejakkan kakinya ke dada
Tridarma. Namun semua itu harus dibayar mahal.
Karena begitu kaki Ranjani berhasil menjejak tanah.... Jreggg!
"Hegkh.... Hih!"
Laki-laki tua berbadan kerempeng itu ma-
sih bisa menggerakkan tangannya.
Siiing! Crasss...!
"Aaakhhh...!"
Sinar warna keemasan yang meluncur dan
tangan Tridarma menghantam tangan kiri Ranja-
ni, yang langsung putus. Menimbulkan sakit bu-
kan kepalang. Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu
pun kontan menjerit sambil menjatuhkan diri dan bergulingan. Dia sudah tidak
malu lagi bersikap seperti anak kecil. Memang sakitnya sungguh luar biasa. Belum
lagi terkena curahan hujan, yang
membuatnya semakin bertambah nyeri.
Sedangkan Tridarma sendiri masih melo-
totkan matanya. Mulutnya yang terbuka menga-
lirkan darah. Rupanya, injakan kaki Ranjani tadi membuat dadanya serasa pecah.
Namun tenaga dalamnya segera dialirkan meskipun tidak ba-
nyak membawa hasil. Jalan satu-satunya bila in-
gin nyawanya masih tetap melekat, harus melari-
kan diri. Dengan sisa-sisa tenaganya, Tridarma
bangkit dan berlari agak sempoyongan. Tidak di-
pedulikannya hujan yang turun deras. Tidak di-
pedulikan lagi pertarungan antara Manusia Pe-
muja Bulan dengan Pendekar Slebor.
Tridarma bersumpah, suatu saat nanti.
Penguasa Ngarai Sejuta Madu akan mendapatkan
balasan dari perlakuannya hari ini. Begitu pula Pendekar Slebor!
10 Sementara Pendekar Slebor sendiri begitu
kewalahan menghadapi serangan-serangan Ma-
nusia Pemuja Bulan yang ganas dan bertubi-tubi.
Bahkan pada satu kesempatan, Andika tak sang-
gup menghindari pukulan Manusia Pemuja Bu-
lan. Bruk! Tubuh pemuda ini terlontar beberapa tom-
bak ke belakang dan langsung muntah darah. Ka-
lau saja bukan Andika yang telah mewarisi tenaga sakti Pendekar Lembah Kutukan,
sudah bisa dipastikan dadanya akan jebol dan mampus seketi-
ka. Tubuh Pendekar Slebor pun semakin le-
mah. Dan rasa sakit semakin menyiksanya.
"Sekarang, apakah kau akan mampu me-
nahan pukulanku lagi, hah"!" leceh Manusia Pemuja Bulan sambil melirik Ranjani
yang masih bergulingan sambil menahan sakit.
Bagi Ki Wedokmurko yang terpenting ada-
lah memusnahkan Pendekar Slebor lebih dulu.
Urusan Ranjani bisa dilakukan kemudian. Dia
pun tak mempedulikan kepengecutan Tridarma
yang melarikan diri.
Kini Manusia Pemuja Bulan menghimpun
kembali seluruh sisa tenaganya yang dirangkum-
nya dalam ajian 'Unggulan Dewa'. Diiringi seruan sangat keras, tubuhnya pun
berkelebat ke arah
Pendekar Slebor yang hanya berlutut menahan
rasa sakit. "Yeaaa!"
Sebelum Manusia Pemuja Bulan menurun-
kan tangan telengasnya....
Glarrr...! Tiba-tiba saja sebuah petir menyambar tu-
buh Andika yang langsung kelojotan, bagai disengat ribuan kala berbisa secara
bersamaan. Melihat hal itu, Manusia Pemuja Bulan
menghentikan serangannya. Bibirnya tersenyum
gembira, karena Pendekar Slebor pun akhirnya
harus mampus tanpa harus bersusah payah.
"Ha ha ha.... Akhirnya kau pun mampus
juga, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil menyaksikan tubuh
Andika yang ma-
sih kelojotan. Sambil tersenyum kemenangan, Ki We-
dokmurko bermaksud menghampiri Ranjani yang
masih kelojotan. Namun baru saja dua tindak me-
langkah.... "Kau tak akan bisa ke mana-mana, We-
dokmurko!"
Terdengar sebuah teguran dari belakang.
Dengan sigap dan penuh keterkejutan, Manusia
Pemuja Bulan membalikkan tubuhnya. Matanya
hampir saja melompat keluar, karena di hada-
pannya berdiri Pendekar Slebor dalam keadaan
segar bugar. Sepertinya, pemuda itu tak menga-
lami keluhan apa pun.
Manusia Pemuja Bulan tidak tahu, kalau
Pendekar Slebor yang telah memakan buah 'inti
petir' mampu mengendalikan petir yang menyam-
bar di tubuhnya. Bahkan bukan hanya itu saja,
Pendekar Slebor pun dapat menyerap kekuatan
petir yang membuat kekuatan tubuhnya bertam-
bah sepuluh kali lipat. Kalau saja tadi Andika tidak dalam keadaan lemah, tidak
akan sampai ke-
lojotan seperti itu.
"Bingung!" ejek Andika. "Kalau bingung, bunuh diri saja!"
Manusia Pemuja Bulan menggeram marah.
Kedua tangannya kembali terkepal.
"Nah! Pasti marah, kan" Bingung, kan" Ti-


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak usah bingung. Karena sebentar lagi kau akan mampus," ejek Andika enteng.
Manusia Pemuja Bulan tak ingin banyak
cakap lagi. Kembali dirangkumnya ajian
'Unggulan Dewa'nya pada kedua tangannya. Lalu
diiringi teriakan keras, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor sendiri segera mengempos
tubuhnya ke arah Manusia Pemuja Bulan, me-
mapaki dengan kekuatan berlipat ganda. Dan....
Duarrr! Terdengar lagi suara benturan bagai leda-
kan dahsyat. Kalau tadi tubuh keduanya terpen-
tal ke belakang, kali ini hanya tubuh Manusia
Pemuja Bulan saja. Sementara, Andika masih
berdiri kukuh di bawah siraman hujan. Akibat
sambaran petir tadi, di tubuhnya bergejolak kekuatan berlipat ganda.
Manusia Pemuja Bulan merasakan da-
danya jadi nyeri. Bahkan dari mulutnya menyem-
bur darah agak kehitaman. Lalu dengan penasa-
ran dan penuh nafsu membunuh, dia meluruk
kembali. Sedang Andika tetap berdiri di tempatnya
dengan mata tak berkedip. Begitu kedua tangan
Manusia Pemuja Bulan yang berkekuatan penuh
hampir menyentuh tubuhnya, mendadak sontak
Pendekar Slebor mengibaskan kedua tangannya
pula dengan tubuh sedikit condong ke depan.
Dan.... Duarrr!
Benturan kembali terjadi menimbulkan le-
dakan keras menggelegar. Tubuh Manusia Pemu-
ja Bulan kembali meluncur deras ke belakang.
Kali ini lebih jauh! Dan kepalanya langsung
menghantam sebuah pohon besar hingga pecah.
Andika menghela napas panjang. Entah
mengapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun
belum lagi beristirahat, terdengar erangan Ranja-ni.
"Hmmm.... Gadis ini membutuhkan perto-
longan," desis Andika dan langsung berkelebat.
Pendekar Slebor mendapatkan sosok Ran-
jani telah jatuh pingsan. Diangkatnya tubuh itu dan didudukkannya. Lalu,
ditempelkannya kedua
telapak tangan ke punggung Rajani. Di bawah si-
raman hujan, Andika mengalirkan tenaga dalam-
nya. Hujan telah berhenti. Kini di sekitar tempat
itu becek tak menentu. Andika menghela napas
panjang. Tenaganya kini benar-benar terkuras.
Dia memang telah berhasil menghentikan darah
yang keluar dari tangan kiri Ranjani yang putus.
Penguasa Ngarai Sejuta Madu sendiri su-
dah sadar. Dan dia merasakan kepedihan yang
sangat di hatinya. Kini Ranjani telah menjadi gadis cacat.
"Pendekar Slebor...," panggil gadis itu sambil mengangkat wajahnya.
Andika tersenyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap Ranjani
"Lukamu telah sembuh, Ranjani...," sahut Andika tersenyum. "Tak pernah kusangka.
Penguasa Ngarai Sejuta Madu masih demikian muda
dan jelita...."
Ranjani menundukkan kepalanya. Seha-
rusnya, sebagai seorang dara hatinya merasa se-
nang dipuji dengan tulus tanpa mengandung naf-
su seperti itu. Namun kini, tangan kirinya telah buntung. Cacat!
Namun sebagai Penguasa Ngarai Sejuta
Madu. Ranjani memang tidak ingin bersikap cen-
geng. Maka perlahan-lahan kepalanya diangkat
dengan tegar. "Pendekar Slebor.... hendak diapakankah
mayat Ki Seta yang menyimpan cincin pusaka
itu?" tanya Ranjani.
Andika tersenyum.
"Aku akan menguburkannya," sahut Andi-
ka, pelan. "Di mana?"
Andika menggelengkan kepala sambil tetap
tersenyum. "Maafkan aku, Ranjani.... Bukannya aku
tidak percaya denganmu. Aku akan menguburkan
mayatnya di satu tempat. Dan, tak seorang pun
yang mengetahui di mana makamnya. Tak terke-
cuali, cucunya sendiri."
"Kau benar, Andika. Mayat Ki Seta memang
harus dimakamkan di tempat aman," dukung
Ranjani. "Kau percaya padaku?"
Ranjani mengangguk
"Yah.... Aku pun tak pernah menyangka,
Pendekar Slebor yang ramai dibicarakan orang
ternyata masih muda."
Senyum di bibir Andika mulai nakal. "Kita
sama-sama masih muda, bukan?"
Ranjani mengangkat kepalanya. "Iya. La-
lu?" Bukannya menjawab, Andika justru mengedipkan sebelah matanya. Kontan
Ranjani gela- gapan melihatnya.
"Genit!" seru gadis itu dalam hati. Tetapi entah mengapa, kok gadis ini suka
melihat kedipan penuh arti dari pendekar tampan itu.
Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ranjani
tidak berani lagi memikirkan kemungkinan yang
satu itu. "Cukup lama aku meninggalkan Ngarai Se-
juta Madu. Mungkin anak buahku sudah cemas
semuanya. Andika, sekali lagi kuucapkan terima
kasih," ucap Ranjani seraya menghela napas panjang. Andika justru mengedipkan
matanya. Ranjani jadi tersedak. Pemuda ini pasti
bercanda. Namun tak urung jantung gadis ini
dag-dig-dug juga.
"Bila kau ada waktu, mampirlah ke Ngarai
Sejuta Madu!" kata gadis itu, seraya berkelebat.
Weeettt! Tubuh dara jelita itu pun menghilang. An-
dika berdiri. "Ranjani...! Tunggu aku di sana! Kapan-
kapan aku akan datang ke sana!" teriak Pendekar Slebor. "Kutunggu kau. Pendekar
Slebor!" terdengar sahutan Ranjani di kejauhan, bernada gembi-
ra. Andika hanya tersenyum seorang diri. Be-
naknya membayangkan betapa cantiknya Ranja-
ni. Dan bajunya yang terkena siraman hujan itu
masih menampakkan cetakan bagian-bagian tu-
buhnya. Andika menepuk keningnya sendiri.
"Dasar mata keranjang!"
Lalu Pendekar Slebor menghampiri sebuah
pohon tempat mayat Ki Seta tersangkut. Dihen-
takkannya pohon itu hingga bergoyang. Dan
mayat Ki Seta pun meluncur turun.
Andika cepat mengangkat mayat Ki Seta.
Dibawanya mayat itu ke desa tempat Mayang
tinggal. Fajar sebentar lagi mulai menyingsing. Su-
ara kokok ayam jantan pun sudah terdengar.
Di belakang rumah Mayang, Pendekar Sle-
bor telah menguburkan mayat Ki Seta. Dia berpi-
kir, di situlah satu-satunya tempat aman untuk
menguburkannya. Agar tidak menimbulkan peta-
ka lagi, kuburan Ki Seta tidak berbentuk gundu-
kan. Tetapi rata dengan tanah.
Selesai dengan tugasnya, Pendekar Slebor
berkelebat menuju Lembah Bunga. Cepat saja dia
sampai di tempat itu, karena telah diberikan ancar-ancarnya oleh Sawedo.
Sawedo sendiri yang menunggu di Lembah
Bunga segera menyambut kedatangan Pendekar
Slebor. "Bagaimana, Andika?" tanya Sawedo.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Semuanya sudah berakhir. Sekarang, ka-
lian aman untuk kembali ke desa. Di mana yang
lain?" "Di balik air terjun."
"Oh! Apa ada jalan menuju ke sana?"
"Paman Longgom yang menunjukkannya."
Andika mengangguk-angguk
"Sawedo. Nampaknya..., aku harus mene-
ruskan perjalananku," kata Andika.
"Oh! Mengapa demikian" Tidakkah kau in-
gin singgah dulu di balik air terjun itu?" tanya Sawedo kaget.
Andika menggeleng. Ada satu hal. mengapa
Pendekar Slebor enggan pergi ke batik air terjun.
Dia tidak ingin melihat Mayang bersedih bila di-tinggalnya. Andika tahu, Mayang
menaruh hati padanya. Namun, diam-diam pun Andika tahu
kalau Sawedo menaruh hati pada gadis itu.
"Tidak! Sampaikan salamku pada semua-
nya. Katakan, kalian semua sudah aman untuk
kembali ke desa. O, ya, Sawedo.... Katakan pada Mayang, mayat kakeknya tak
kurang suatu apa.
Dia telah kumakamkan disatu tempat aman. Te-
tapi, maaf. Aku tak bisa mengatakannya tentang
tempat itu," kata Andika.
Sawedo pun mengangguk penuh penger-
tian. "Itu memang lebih baik, Andika. O, ya. Kini aku tahu, siapa yang membunuh
Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Dia tak lain adalah Manusia Pemuja Bulan sendiri. Soal
Medi, Mayang telah menceritakannya kepadaku. Laki-laki itu me-
mang patut mati, karena kehadirannya hanyalah
mengganggu gadis-gadis dan istri orang saja," ungkap Sawedo.
"Jangan menyukuri yang mati. O, ya. Satu
lagi yang perlu kukatakan padamu, sayangilah
Mayang...," ujar Andika.
"Apa" Oh!".
"Jangan berlagak!" sahut Andika sambil mendorong kening Sawedo yang tergelak
tersipu. "Aku mohon pamit!"
Wuuusss! Tubuh Andika cepat berkelebat. Dan tahu-
tahu dia sudah menghilang dari pandangan. Sa-
wedo menarik napas panjang. Hatinya bersyukur
pernah mengenal pemuda gagah itu. Tetapi berita yang terpenting sekali adalah
mengajak pulang
para penduduk yang mengungsi di balik air ter-
jun. Terutama, amanat dari Pendekar Slebor tadi.
Kalau dia harus menyayangi Maya. Tetapi tanpa
disuruh lagi, pemuda ini memang akan me-
nyayanginya. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jodoh Si Mata Keranjang 3 Dewi Ular 82 Rahasia Laskar Iblis Senja Jatuh Di Pajajaran 5
^