Pencarian

Cincin Berlumur Darah 2

Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah Bagian 2


"Memang.... Sepertinya pertarungan di an-
tara kita tak akan bisa dielakkan lagi. Tetapi, ada suatu cara yang menurutku
sangat menarik, sehingga kita tidak perlu bertarung."
"Apa?" terabas Camar Hitam
"Bagaimana bila kau dan aku tidak ada
yang memiliki cincin pusaka itu?" usul Ki Abdi Kanwa.
"Maksudmu?" Camar Hitam mengerutkan
keningnya. "Mudah saja. Cincin itu kita buang di satu tempat yang tak akan mungkin bisa
didapatkan orang lain. Jadi, di antara kita tak ada yang me-milikinya. Dan kita tidak perlu
repot-repot mem-perebutkannya. Dengan kata lain, kita akan aman dan selamat
tanpa memikirkan cincin itu," jelas Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam!" bentak Sudongdong tiba-tiba. "Jangan mau dihasut olehnya! Itu
hanya bujukan belaka!"
"Diam!" dengus Camar Hitam. "Jangan
campuri urusanku ini, Sudongdong! Ingat! Kau
seharusnya sudah mati! Begitu pula kau, Layan!
Sekarang, ini urusanku dengan Ki Abdi Kanwa!
Membunuh kalian, sangat mudah sekali! Teramat
mudah!" Lalu Camar Hitam berbalik pada Ki Abdi
Kanwa yang masih berdiri tegak dengan wajah
arif. "Maaf, aku sangat menginginkan cincin pusaka itu! Dengan izinmu atau
tidak, aku tidak peduli! Yang pasti, siapa yang menginginkan cincin bermata biru
yang sakti itu, harus melewatiku dulu!" Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng sambil
menghela napas masygul. Ia memang sudah menebak sebelumnya, kalau semuanya ini
akan menjadi seperti ini. Paling tidak, kekacauan akan semakin timbul karena nafsu
orang-orang serakah. "Apa pun akan kulakukan untuk mem-
buang cincin sakti itu. Camar Hitam!"
Mata Camar Hitam menyipit.
"Berarti, kau memang menantangku. Abdi
Kanwa!" ujar Camar Hitam sambil memutar tongkatnya. "Bagus! Sudah lama
sebenarnya aku pun ingin merasakan kehebatanmu, Penguasa Alas
Roban! Rupanya, pagi ini kita memang ditakdir-
kan untuk bertarung!"
"Sebenarnya, aku enggan untuk mengge-
rakkan seluruh tubuhku hanya untuk membela
diri dan menyakiti lawan," kata Ki Abdi Kanwa pe-
lan. "Sombong! Apa kau pikir kau akan mampu menyakitiku, hah"!" bentak Camar
Hitam. Saat itu juga tubuh Camar Hitam sudah
melenting ringan ke arah Ki Abdi Kanwa. Tong-
katnya berputar tak ubahnya baling-baling bela-
ka, menimbulkan angin menderu.
Sementara Ki Abdi Kanwa kelihatan hanya
menunggu serangan hingga dekat. Benar saja.
Begitu dekat, bukannya menghindar, dia malah
langsung menyongsong serangan Camar Hitam.
"Nekat!" desis si Kera Sakti yang mengama-ti jalannya pertarungan.
Yah! Siapa pun yang melihat akan menga-
takan kalau Ki Abdi Kanwa sedang berada dalam
kenekatan. Karena, gerakannya hanya mampu di-
lakukan orang yang kesaktiannya sangat tinggi.
Memapak serangan yang mengandung tenaga da-
lam tinggi dari jarak dekat dengan hanya satu
lompatan saja, sudah tentu dapat menguras tena-
ga. Karena jarak yang dekat itu bisa ditahan
hanya oleh orang yang bertenaga dalam besar.
Begitulah pikiran Sudongdong.
Sementara, Layan hanya tertegun saja me-
nyaksikan kenekatan Ki Abdi Kanwa yang me-
nyongsong serangan Camar Hitam.
Tetapi yang dipikirkan Sudongdong ternya-
ta jauh sekali dari kenyataannya. Karena, Ki Abdi Kanwa tidak bermaksud memapaki
serangan Camar Hitam. Dia hanya mencoba menguras tenaga
Camar Hitam dalam sekali gebrak.
Ki Abdi Kanwa yakin sekali, kalau Camar
Hitam akan terkejut melihat dirinya yang berge-
rak bagaikan hendak menyongsong serangan.
Maka secara tidak langsung, Camar Hitam akan
berpikiran kalau gebrakan yang dilakukan lelaki tua ini hanyalah suatu kenekatan
belaka. Maka mau tak mau dia akan menambah kekuatannya.
Maksudnya, dengan hanya sekali gebrak saja Ki
Abdi Kanwa akan tersungkur.
Namun dugaan perempuan sakti itu lain
sekali. Karena sebelum tangannya yang telah di-
tambahi tenaga dalam tinggi menyentuh sasaran,
mendadak saja sosok Ki Abdi Kanwa bagaikan le-
nyap. Plas! Dengan kecepatan sukar diikuti mata, tu-
buh Ki Abdi Kanwa sudah berada di belakang
Camar Hitam. Sementara, perempuan tua sakti
itu terus meluncur ke arah sebuah pohon. Penga-
ruh tenaga dalamnya yang dilipatgandakan,
membuat tubuh Camar Hitam terus meluncur.
Brakkk! Begitu menyentuh pohon besar, bukan
hanya tumbang seketika. Begitu rebah di tanah
dengan suara debuman keras, perlahan-lahan ba-
tang pohon itu berubah menghitam.
5 Setelah puas menghajar Pendekar Slebor
hingga pingsan, Tridarma segera mengikuti Ma-
nusia Pemuja Bulan untuk langsung mencari ma-
kam Ki Seta. Karena menurutnya saat inilah yang paling tepat. Sudah tentu
Tridarma dengan senang hati mengikutinya. Karena, kini tibalah gilirannya untuk
mendapatkan sesuatu yang telah
lama dinantikannya. Cincin pusaka yang mampu
menyerap seluruh tenaga milik siapa pun!
"Kang Andika.... Kang, sadarlah...."
Seruan yang terdengar penuh isak, telah
dilakukan berkali-kali. Suaranya mengiba penuh
rasa kasihan. Tetapi Pendekar Slebor yang baru
saja menerima hantaman Tridarma yang bertubi-
tubi masih terkulai tak berdaya.
"Kang Andika..., sadarlah, Kang, sadar...,"
panggil Mayang lagi. Setelah merasa yakin kedua tokoh sesat itu tidak ada di
tempatnya. Mayang mengusap air matanya. Gadis ini
berusaha menyadarkan Andika yang terkulai
dengan kedua tangan dan kaki terentang terikat.
Mayang memegang tonggak-tonggak besi yang
membuatnya tak bisa keluar dari sana, sehingga
hanya bisa berseru-seru memanggil Andika tanpa
bisa melihat bagaimana keadaan Pendekar Slebor
yang diyakini tentunya dalam keadaan menderita
sekali. Mayang tahu, dirinya adalah calon korban
untuk Dewa Bulan yang berhasil digagalkan Pen-
dekar Slebor. Bisa jadi bila Manusia Pemuja Bu-
lan itu tahu dirinya berada di sini, maka dia pun akan langsung menjadi
korbannya. Kini Mayang
tahu, untuk apa dirinya dan gadis-gadis itu di-
korbankan. Ternyata tumbal gadis-gadis itu bukan un-
tuk Dewa Bulan, melainkan untuk kepentingan
Manusia Pemuja Bulan sendiri, demi menyem-
purnakan ajian dahsyat yang sedang dipelaja-
rinya. Mayang mendesah lega mengingat kalau
kini sedikit bebas, meskipun tak heran bila akan tetap menjadi korban
berikutnya. Hanya saja,
yang membuatnya sedikit heran, ternyata Tridar-
ma tidak mengatakan kalau dirinya berada di sini kepada Manusia Pemuja Bulan.
Padahal, laki-laki berjubah hitam itu sudah mengatakan, kalau masih kurang satu
gadis lagi, sebagai syarat pe-
nyempurnaan ilmunya.
Entah kenapa Tridarma tidak mengatakan
tentang dirinya pada Manusia Pemuja Bulan.
"Kang Andika.... Jangan pingsan terus,
Kang.... Jangan.... Ingat, Kang. Keselamatan kita terancam...," ujar Mayang
dengan wajah penuh air mata, memikirkan keadaan Andika dan dirinya sendiri yang
berada di ujung tanduk.
Tetapi sosok Andika tetap terkulai. Ru-
panya pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang
dilakukan Tridarma tadi menyebabkan Pendekar
Slebor pingsan kembali. Seharusnya Andika bisa
mengeluarkan tenaga 'inti petir'nya. Akan tetapi ketika hendak melakukan tadi.
Tridarma sudah menotok dua urat di bagian lengan kanan dan kiri di bawah ketiak Urat yang bisa
menyebabkan seseorang akan merasa lumpuh dalam beberapa
waktu. Mayang masih berusaha menyadarkannya.
Gadis ini tahu, keadaan sangat berbahaya. Sete-
lah mencuri dengar tadi, diam-diam kini Mayang
mengerti, harta apa yang sebenarnya diinginkan
Manusia Pemuja Bulan dari kakeknya. Rupanya,
ada sebuah cincin sakti di perut Ki Seta. Bahkan Mayang pun tahu. kalau dulu
kakeknya seorang
pendekar yang tangguh.
Mayang teringat bagaimana setelah diting-
gal Andika yang bermaksud menolong para pen-
duduk dari serangan ribuan tawon ganas, Tri-
darma mengajaknya pergi dari sana. Padahal se-
mula dia menolaknya. Namun alasan yang diberi-
kan Tridarma sangat masuk akal. Barangkali sa-
ja, tawon-tawon ganas itu akan menyerang mere-
ka pula. Hingga akhirnya Mayang pun terpengaruh,
hingga langsung dibawa ke tempat ini dan dima-
sukkan ke dalam sebuah ruangan mirip penjara
secara paksa. Di sanalah dia tahu, siapa Tridarma sebenarnya. Lelaki itu tak
lain adalah sahabat
Manusia Pemuja Bulan.
Ketika Tridarma tahu kalau pemuda itu
yang berjuluk Pendekar Slebor, dia pun memain-
kan peranan barunya untuk menipu Andika.
Hati Mayang sangat sedih karena harus
terkurung di sini dan berpisah dengan Andika.
Namun sekarang, dia semakin bertambah sedih
ketika melihat Andika justru berada dalam derita seperti itu.
"Kang.... Sadarlah, Kang.... Ini aku,
Mayang.... Bangunlah..., Kang Andika...," kata Mayang dengan suara semakin
melemah. Tubuh gadis itu pun merosot turun dengan
kedua tangan masih berpegangan pada tonggak-
tonggak besi itu. Meskipun tidak bisa melihat,
namun bisa dibayangkan derita yang dialami pe-
muda urakan itu. Karena pukulan demi pukulan
yang dilakukan Tridarma mampu didengarnya.
"Kang Andika.... Sadarlah, Kang.... Sadar-
lah...." Tak ada sahutan. Mayang mendesah putus asa. Bila saja bisa melihat di
mana Andika berada, sudah tentu akan membangunkannya dengan
melempar sesuatu. Misalnya, batu-batu kecil
yang banyak di sana. Tetapi dia hanya bisa mem-
bayangkannya saja. Dan Mayang yakin, kalau
Andika sebenarnya berada tak jauh dari tempat-
nya ditawan. Kini Mayang sudah putus asa. Hanya pa-
srah saja. "Ah, Kang Andika.... Kenyataan ini sangat pahit. Sungguh! Aku tidak
pernah menyangka
kalau akan mengalami kejadian seperti ini...!"
Kebodohan memang pernah dirasakannya
ketika Mayang hanya pasrah dan bersedia dijadi-
kan sesajen untuk Dewa Bulan, sebagai penebus
dosa-dosa kakeknya. Hingga ketika Medi datang
dan menggodanya, dia hanya pasrah aja. Dan itu
justru membuat Medi semakin merasa bebas. Ke-
tika hampir saja merenggut miliknya yang paling berharga, mendadak saja Medi
kelojotan dan menjadi mayat. Saat itu, Mayang melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng
merah keluar den-
gan cepatnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja
Bulan"). Sekarang, setelah yakin dengan kata-kata
Andika bahwa Manusia Pemuja Bulan adalah to-
koh sesat, justru Mayang berada dalam gengga-
man Tridarma. Dan ternyata, Tridarma adalah
teman dari Wedokmurko, alias Manusia Pemuja
Bulan. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mu-
lut buaya. Diam-diam, sejak kebersamaannya dengan
Andika meskipun terasa sesaat, benih-benih cinta perlahan tumbuh di hatinya.
Bahkan semakin lama semakin subur itu kian mengembang. Yah!
Dia memang telah jatuh hati pada pemuda itu.
"Oh, Kang Andika.... Apakah kau tahu ten-
tang....Hei"!"
Mayang tiba-tiba menajamkan telinganya.
Dia mendengar suara bagai keluhan datang dari
ruang sebelah. Dengan penuh semangat gadis itu
berdiri. "Kang Andika! Kang! Sadarkah kau, Kang?"
seru Mayang kembali.
"Ohh..., aagh...," keluhan yang jelas dari mulut Andika terdengar lagi.
Wajah Mayang semakin gembira. Air ma-
tanya diusap. "Kang..., Kang Andika...," panggil gadis itu dengan suara bergetar, bercampur
kegembiraan. "Oh! Ma..., Mayang?"
Memang, Andika sudah siuman dari ping-
sannya. Dua kali dia jatuh pingsan dalam waktu
tak terlalu lama. Namun kali ini lebih menya-
kitkan, karena dipukuli tanpa bisa membalas.
"Kang Andika! Ya! Aku Mayang, Kang! Aku
Mayang!" seru Mayang gembira.
"Mayang.... Hei, di mana kau ini"!"
"Aku di sebelah ruanganmu. Kang!"
"Di balik dinding batu itu?"
"Ya!"


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, ke sini saja! Aku tidak bisa ke sana! Bukannya tidak mau, tetapi
kedua kaki dan tanganku terikat!" ujar Pendekar Slebor, sok tahu. "Tidak bisa. Kang...,"
sahut Mayang. "Lho. kok tidak bisa" He he he..., apa kau tidak kangen denganku yang ganteng
ini. Mayang?" kata Pendekar Slebor, seenaknya.
Mayang menundukkan kepalanya sebelum
menjawab. "Aku kangen sekali, Kang Andika. Kangen
sekali." Gadis ini hanya menelan semua ucapannya dalam hati. Karena dia tahu,
Andika hanya bergu-rau saja. Jelas dari nadanya yang bercanda.
"Hei" Kenapa diam, Mayang?" tanya Andika yang sejak tadi menunggu sahutan
Mayang. "Oh! Tidak, Kang.... Tidak.... Aku tidak bisa ke sana, Kang..., karena aku
berada di sebuah
dinding yang ditutup tonggak-tonggak besi. Aku
dipenjara. Kang!" jelas gadis itu.
Andika terdiam.
"Ya, sudah!" kata Pendekar Slebor. "Kita hanya berdiam diri saja di balik
dinding masing-masing! Aku juga dalam keadaan terikat."
"Kang Andika...," panggil Mayang.
"Sudah, sudah! Tidak usah ngomong lagi!
Hei" Tahukah kau, di mana dua monyet belang
itu?" tanya Pendekar Slebor.
"Kedengarannya mereka keluar, Kang!"
"Ke mana?"
"Mencari harta Aki!"
"Hei! Kau tahu dari mana?"
"Mendengar percakapan mereka tadi.
Kang." "Mayang..., di mana harta Aki itu berada?"
"Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi aku
mendengar kata-kata Tridarma, kalau harta itu
berada di tubuh Aki."
"Di tubuh Aki" Hei! Kau yang benar saja,
Mayang! Mana mungkin perut Akimu mampu
menampung harta yang mungkin sangat banyak!
Bahkan mulutnya saja sangat kecil!" sergah Andika sambil tertawa. "Jangan-
jangan, harta Akimu itu hanya sebuah cincin saja...!"
"Kau benar, Kang Andika. Hanya sebuah
cincin." "Hah"!"
Andika melotot sampai lehernya terangkat.
Lalu... "Hoieek!"
"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang.
"Leherku tercekik! Sekarang tidak apa-apa, Mayang! Benarkah harta itu hanya
sebuah cincin?" sahut Pendekar Slebor.
"Benar, Kang. Aku mendengar kata-kata
Tridarma, kalau cincin itu bukan sembarangan.
Kang Andika..., ternyata Aki dulunya seorang
pendekar. Dia mendapatkan cincin pusaka itu da-
ri gurunya. Dan karena suatu sebab, dia menelan cincin itu yang justru
melumpuhkan seluruh kesaktiannya...."
Andika terdiam. Rupanya, itulah rahasia
harta Ki Seta. Sebuah cincin pusaka! Seketika sa-ja otak Andika yang cerdik bisa
membayangkan, bagaimana banyaknya tokoh sakti yang sudah
tentu akan memperebutkan cincin itu dalam tu-
buh Ki Seta. Mayang sendiri terdiam. Otaknya pun
membayangkan, bagaimana kakeknya yang su-
dah meninggal masih saja dicari orang-orang sak-ti. Bisa dibayangkan pula
bagaimana tubuh ka-
keknya nanti akan dibedah oleh orang-orang itu
untuk mencari cincin pusaka yang ditelannya.
Oh, Mayang menutup wajahnya dengan kedua
tangannya. Hatinya tak kuasa membayangkan
semua itu. Tiba-tiba saja Mayang mengangkat kepa-
lanya dengan cepat. Telinganya menangkap suara
berderak yang angat keras sekali.
"Oh, Tuhan"! Ada apa lagi ini?" desis gadis itu ketakutan seraya melangkah
mundur sampai ke dinding. "He he he...! Kenapa takut kau, Mayang?"
tegur satu sosok tubuh di depan tonggak-tonggak besi. Mayang membelalakkan
matanya, lalu berlari ke depan.
"Kang Andika!" seru gadis itu gembira.
Tampak wajah Andika memar. Mungkin
akibat pukulan yang dilakukan Tridarma.
"Katanya kau terikat" Bagaimana bisa me-
lepaskan diri?" tanya Mayang, bingung.
Andika mengangkat bahunya saja.
"Tidak tahu, ya" Tahu-tahu putus!" kata Pendekar Slebor sambil mengedipkan
matanya. Mayang tersipu. Hatinya senang bukan
main melihat pemuda yang dirindukan kini berdi-
ri di hadapannya.
Apa yang diucapkan Andika tadi tentu saja
main-main. Mana mungkin rantai besar dan tali
yang sudah dialirkan tenaga dalam oleh Manusia
Pemuja Bulan putus begitu saja"
Semula Andika memang tidak mampu me-
mutuskannya, karena dalam keadaan tertotok.
Tetapi ketika tubuhnya saat bercakap-cakap den-
gan Mayang tadi dialiri tenaga dalam dengan
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', totokan
yang dilakukan Tridarma pun terlepas.
Menyadari hal itu, Andika lalu menaikkan
tenaga 'inti petir'nya tingkat kedua puluh empat.
Hingga perlahan-lahan tepat ketika menggabung-
kan ajian 'Guntur Selaksa', dia berhasil memu-
tuskan rantai di kedua tangan dan kakinya. Lalu dengan cepat dibukanya ikatan
tali pada lehernya. Pendekar Slebor sangat tertarik dengan cerita Mayang tadi.
Makanya, dia segera mencari
Mayang. Rupanya, ada rongga yang menghu-
bungkan tempatnya ke tempat Mayang.
"Sekarang kau mundur, Mayang...," ujar Andika.
"Mau apa kau, Kang Andika?"
"Lho" Apa kau tidak ingin kubebaskan, ya"
Wah, wah.... Rupanya kau sudah jatuh cinta pada Tridarma, ya" Gawat. Bisa patah
hati, nih!" seloroh pemuda urakan ini.
"Bukan, bukan itu maksudku, Kang," tukas Mayang buru-buru. "Tetapi..., ah!
Sudahlah.... Silakan, Kang...." Andika nyengir.
"Agak menjauh, Mayang."
Lalu Pendekar Slebor mengusap-usap ke-
dua tangannya perlahan-lahan. Dan semakin la-
ma terlihat kalau kedua tangan itu mengeluarkan cahaya kemerahan. Mayang yang
sudah merapat di dinding gua hanya memperhatikan saja penuh
kekaguman. Tampak Andika menempelkan kedua tan-
gannya pada tonggak-tonggak besi. Bersamaan
dengan itu terlihat cahaya kemerahan semakin
lama semakin terang, menjalari dua tonggak besi
yang dipegang Andika. Rupanya kekuatan tenaga
petir yang mengalir di tubuh pemuda itu telah di-pergunakan kembali.
Lalu terlihatlah tonggak besi itu putus di
tengahnya sehingga membuat sebuah rongga
yang bisa dilolosi tubuh Mayang yang kecil.
"Cepat!" ujar Andika.
Mayang segera berlari keluar. Hatinya
gembira sekali ketika memegang tangan Andika.
Andika sendiri merasa berdesir darahnya,
ketika merasakan betapa eratnya genggaman tan-
gan gadis itu. Genggaman penuh rindu dan kasih
sayang yang tulus. Diam-diam Andika menghela
napas panjang. Pemuda ini jadi teringat Ningrum, seorang gadis yang lebih tua
darinya. Beberapa
tahun yang lalu, gadis itu pernah dicintainya secara diam-diam. Cinta pertama
yang dirasakan Andika. (Untuk mengetahui tentang Ningrum, si-
lakan baca episode : "Lembah Kutukan" serta
"Dendam Dan Asmara'").
Kini Pendekar Slebor bisa merasakan suatu
getaran cinta yang terpancar melalui genggaman
Mayang. Ah, entahlah.... Apa yang bisa dilaku-
kannya tentang cinta.
"Mayang.... Kau sudah aman sekarang. Ti-
dak usah memegang lenganku terlalu erat," ujar Andika tanpa sadar.
Dan Andika harus melihat wajah gadis itu
yang tiba-tiba menunduk, serba salah. "Oh! Maksudku..., aku...."
Gadis itu tampak gugup sambil memaling-
kan wajahnya, membelakangi Andika.
Andika menghela napas panjang. Sama se-
kali pemuda ini tidak bermaksud untuk membuat
Mayang malu. Sungguh, ia sangat buta dalam
masalah cinta. Lalu, perlahan-lahan dipegangnya kedua bahu Mayang.
"Maafkan aku, Mayang...," ucap Pendekar Slebor, perlahan.
"Aku..., aku yang meminta maaf pada, Ka-
kang.... Tidak sepantasnya aku berbuat seperti
itu...," tukas Mayang.
Andika membalikkan tubuh gadis itu un-
tuk menghadapnya. Lalu diangkatnya dagu
Mayang untuk menatapnya. Dan bisa terlihat ge-
lepar cinta yang tak terbalas.
"Oh, Tuhan.... Seperti inikah yang kualami dulu?" desah Andika dalam hati,
mengingat tentang Ningrum.
Karena tak tahan melihat sepasang mata
bening yang mengerjap-ngerjap penuh gelora cin-
ta itu, perlahan-lahan Andika menarik kepala
Mayang dan mendekapnya.
Mayang menyusupkan kepalanya. Seolah
dia menemukan apa yang telah lama dicarinya.
Kejadian itu hanya berselang beberapa
saat, dengan dua perasaan berbeda. Yang dirasa-
kan Mayang, dia semakin yakin kalau pemuda in-
ilah yang akan menjadi kekasihnya. Sementara
yang dirasakan Andika, dia berharap suatu saat
Mayang bisa menemukan jodohnya. Pemuda yang
menyayanginya setulus hati.
"Mayang,.., ini adalah kesempatan kita un-
tuk meloloskan diri, sebelum Manusia Pemuja
Bulan dan Tridarma datang," kata Pendekar Slebor. Mayang menganggukkan kepala.
Padahal, dia masih sangat menginginkan berada dalam
rangkulan Andika.
"Akan ke manakah kita, Kakang?" tanya Mayang pelan.
Kali ini Andika bisa menangkap getaran
lain dari panggilan itu. Kalau dulu yang dirasakan hanyalah ucapan sebagai rasa
hormat belaka, sementara kali ini terdengar nada-nada cinta kasih tulus yang tercurah dari
panggilan itu. Andika menghela napas panjang, tidak ta-
hu harus berbuat apa. Sungguh mati, menghada-
pi masalah begini, Andika mati kutu!
"Kita kembali ke desamu," ajak Pendekar Slebor kemudian. "Juga, kita akan
mencari makam kakekmu. Aku yakin, kalau saat itu keadaan
sudah teramat kacau. Pasti, para tokoh sakti sudah bermunculan, untuk
memperebutkan cincin
pusaka milik kakekmu itu...."
Mayang mengangguk.
"Kakang! Aku tidak peduli siapa yang akan
mendapatkan cincin pusaka itu. Tetapi yang tidak kuinginkan, kalau mereka
membedah dan mencabik-cabik tubuh Aki. Aku tidak bisa mem-
bayangkannya, Kakang...," ungkap gadis ini.
Andika mengangguk.
"Barangkali, kita masih bisa menyela-
matkannya, Mayang. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Pendekar Slebor lagi.
Belum lagi gadis itu menganggukkan kepa-
la, Andika sudah menariknya dan siap memba-
wanya lari. Tetapi karena keadaan gadis itu tidak siap, justru malah terjengkang
ke arahnya. "Hup!"
Dengan sigap Andika merangkul.
"Wah, wah.... Masih banyak orang nih!" seloroh Pendekar Slebor tiba-tiba
sehingga mem- buat wajah Mayang memerah.
"Kang Andika sih, main tarik saja," cibir Mayang cemberut.
Andika terkekeh-kekeh. Lumayan, tubuh
yang empuk dan sintal itu, meskipun sejenak te-
rasa hangat di tubuhnya.
"Sudah, sudah. Sekarang apakah kau su-
dah siap kubawa lari?" tanya Pendekar Slebor.
Mayang mengangguk dengan tersipu. Da-
lam keadaan genting semacam itu, bila bersama-
sama Andika rasanya begitu menyenangkan seka-
li. Tetapi Andika justru tertawa sambil meng-
garuk-garuk kepalanya.
"Coba kau bilang belum. Kan aku bisa me-
narikmu lagi secara tiba-tiba, sementara kau dalam keadaan tidak siap. Kan asyik
kalau tubuh- mu nempel lagi!" seloroh Pendekar Slebor yang semakin membuat wajah gadis itu
bersemu merah dadu.
"Kang Andika menggoda terus!" sungut
Mayang merajuk. Padahal, dadanya berdebar tak
karuan. 6 Camar Hitam langsung berbalik pada Ki
Abdi Kanwa sambil menggeram marah.
"Mahligai Permata Bidadari!" dengus Camar Hitam, menyebut jurus yang dikeluarkan
Penguasa Alas Roban.
Memang, jurus yang diperlihatkan Ki Abdi
Kanwa tadi adalah jurus 'Mahligai Permata Bida-
dari'. Suatu jurus menghindar yang hanya mem-
pergunakan tenaga lemah saja, namun mampu
menguras tenaga lawan. Karena lewat jurus ini,
lawan akan mudah terpancing.
"Karena aku tidak ingin bertarung den-


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganmu, Camar Hitam," kata Ki Abdi Kanwa pula.
"Sekarang ini, lebih baik kita selesaikan saja secara damai. Kita lemparkan
cincin sakti itu ke
kawah gunung, biar ditelan lahar panas. Dan kita kembali ke jalan masing-masing,
tanpa membawa silang sengketa. Bukankah ini usul yang sangat
menarik daripada kita yang sudah sama-sama tua
harus adu kesaktian?"
"Hhh! Orang banyak boleh mengagumimu
karena kebijaksanaan, Ki Abdi Kanwa! Tetapi se-
karang, ternyata semua ucapan dan sikapmu
hanya omong kosong! Karena, kau tak lebih dari
seorang penipu belaka! Makan seranganku ini!"
Bukannya Camar Hitam yang menyahuti
kata-kata Ki Abdi Kanwa, justru Sudongdong
yang berteriak garang sambil menerjang.
Tubuh si Kera Sakti meluncur dengan satu
gerakan seperti monyet berayun. Gerakannya
sangat lincah. Terkadang dilakukan dengan ber-
gulingan dan melompat. Sementara tangan dan
kakinya akan mencapai sasaran yang dituju. Itu-
lah jurus 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'. Suatu
jurus yang mengandalkan kecepatan cukup ting-
gi. Setiap serangannya mengandung ancaman
berbahaya. Bahkan mampu membuat lawan ke-
walahan. Namun yang dihadapi si Kera Sakti adalah
Penguasa Alas Roban yang memiliki kesaktian
tinggi. Tak heran kalau dengan mudahnya, seran-
gan ganas yang dilakukan Sudongdong mampu
dihindari. Rupanya jurus yang diperlihatkan si Kera
Sakti merupakan sebuah rangkaian gerak cepat
dan mematikan. Gerakan-gerakan sangat aneh.
Mencakari dari atas, mencabik dari bawah, me-
nampar dari samping, bahkan memukul dari be-
lakang. Benar-benar mengurung lawan.
Dan perlahan-lahan bila semula Penguasa
Alas Roban hanya menggerakkan tubuhnya tanpa
bergerak dari tempatnya berdiri, kali ini mulai menggeser untuk menghindari
serangan gencar.
Sudongdong bertindak demikian, bukan-
nya berniat untuk menjatuhkan Ki Abdi Kanwa.
Karena dia yakin, kesaktian sosok berpakaian pu-
tih itu hanya bisa ditandingi Camar Hitam. Yang jelas dia bertindak demikian
agar Camar Hitam
tidak curiga. Seolah-olah dia berpihak pada pe-
rempuan gadis itu. Maka secara tak langsung, lelaki berwajah kera itu bisa
mendompleng Camar
Hitam. Setan Kaki Besi berpikiran sama. Dia pun langsung meluruk menggebrak
Penguasa Alas Roban. Serangannya pun tak kalah hebatnya. Te-
rutama, setiap kali kaki kanannya yang terbuat
dari besi itu berkelebat.
Wuuut! Wuuut! Berdesir angin kencang yang membuat Ki
Abdi Kanwa harus bekerja keras juga. Namun
sampai saat ini, setelah sekian jurus terkuras, terlihatlah satu kenyataan.
Ternyata Ki Abdi
Kanwa belum juga menyerang. Bahkan masih sa-
ja menghindari serangan-serangan yang sampai
sejauh ini belum juga mengenai sasaran.
Melihat hal itu, Sudongdong menggeram.
"Ki Abdi Kanwa! Apakah selama ini kau lu-
pa bagaimana harus menyerang?" seru si Kera Sakti mengejek.
Ki Abdi Kanwa melompat mundur dengan
ringan menghindari sapuan kaki Sudongdong dan
sambaran kaki besi Layan.
"Aku tidak perlu melupakannya," sahut Penguasa Alas Roban, kalem.
"Bangsat! Apakah kau hanya besar lagak
saja, padahal tidak akan mampu untuk menja-
tuhkan kami?" dengus Sudongdong lagi.
Si Kera Sakti semakin geram saja. Lebih
geram lagi ketika melihat Camar Hitam hanya
berdiri terpaku saja menyaksikan pertarungan.
Sedikit pun tak terlihat kalau berkeinginan untuk membantu.
"Ayo, Ki Abdi Kanwa! Perlihatkan keheba-
tanmu!" teriak Sudongdong.
Lalu si Kera Sakti kembali merangsek dari
depan. Sementara Layan sudah menggebrak dari
belakang. Namun dengan cepat Ki Abdi Kanwa
melenting sekali lagi ke atas.
"Sudongdong! Aku tidak pernah lupa ilmu
yang kupelajari! Bahkan aku sangat ingat, bagaimana orang sepertimu dan Layan
harus diajar adat!" desis Penguasa Alas Roban.
Tiba-tiba tubuh Ki Abdi Kanwa bergerak
berputar, lalu meluruk ke arah Sudongdong.
Sudongdong yang cukup terkejut mencoba
menghindar. Sementara, Layan mencoba membo-
kong, dengan maksud agar Sudongdong tidak ter-
kena serangannya. Namun yang terjadi justru di
luar dugaannya. Karena tanpa terlihat lagi, kaki Ki Abdi Kanwa tahu-tahu
menyepak ke belakang.
Begkh! "Ukh...!"
Layan terhuyung ke belakang dengan mu-
lut meringis kesakitan. Sementara Ki Abdi Kanwa terus menyerang Sudongdong yang
dalam keadaan gawat segera mempergunakan jurus 'Kera
Sakti Hindari Kabut'. Jurus itu memang jurus
andalan si Kera Sakti untuk menghindari. Dan ti-
ba-tiba saja tubuhnya melompat ke dahan pohon.
"Nguik..., nguik...!"
Si Kera Sakti bersuara mengejek, membuat
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Namun
mendadak saja tangannya mengibas. Saat itu ju-
ga serangkum angin keras menderu ke arah Su-
dongdong. Cepat si Kera Sakti melompat ke dahan
lain yang kontan berantakan.
"Nenek busuk! Apakah kau akan membiar-
kan tua putih itu membunuh kami"!" seru Layan yang masih menahan sakit sambil
melotot garang pada Camar Hitam.
Camar Hitam terkikik.
"Kalaupun dia tidak mampu membunuh
kalian, akulah yang akan membunuh kalian!" sahut Camar Hitam enteng.
"Bangsat! Kau melupakan janjimu!" bentak Layan. "Hik hik hik! Apakah kau pikir
semua manusia dari golongan hitam bisa dipercaya" Dari
golongan putih saja banyak yang berdusta. Apala-gi dari golongan hitam"
Sudahlah, Layan. Kalau
kau memang ingin memiliki cincin pusaka itu, ki-ta tentukan saja di sini
sekarang! Siapa yang bisa hidup di antara kita berempat, maka dialah yang berhak
mendapatkan cincin pusaka itu!" sahut Camar Hitam sambil terkikik.
Layan mendengus, marah pada Ki Abdi
Kanwa. Padahal seharusnya dia dan Sudongdong
sudah berhasil menipu Camar Hitam. Namun se-
karang, keadaannya justru menjadi gawat.
Lalu dengan penuh kemarahan, Setan Kaki
Besi menyerang lagi. Kali ini bukan Ki Abdi Kan-wa sasarannya, tapi si Camar
Hitam! *** Sejenak Camar Hitam terkejut menerima
serangan Layan yang mendadak. Namun nalu-
rinya yang tajam dan kesaktiannya yang tinggi,
cepat memberi perlawanan cukup berarti.
Serangan yang dilakukan Layan menderu.
Berkali-kali nyaris kaki kanannya yang terbuat
dari besi memakan bagian-bagian tubuh perem-
puan tua itu. "Bagus! Bagus sekali!" kata Camar Hitam sambil terkikik-kikik. "Inilah yang
sangat kusukai darimu, Layan! Kau masih berlagak hebat, padahal hanyalah sapi
ompong belaka!"
"Diam kau, Nenek Peot!" maki Layan geram. Si Setan Kaki Besi terus menyerang
dengan gencarnya. Meskipun tahu tidak bisa menandingi
kesaktian Camar Hitam, namun hatinya geram
sekali pada nenek peot itu.
"Sejak semula kita sudah sepakat untuk
bersama-sama mencari cincin sakti itu! Tetapi,
ketika aku dan Sudongdong kewalahan mengha-
dapi Ki Abdi Kanwa, kau enak-enak saja menon-
ton, hah"!" rutuk Layan.
"Bahkan aku sangat bersyukur bila kalian
mampus!" sahut Camar Hitam, santai saja sambil mengayunkan tongkatnya. Lurus
dari atas ke bawah. Layan menghindar dengan jalan bersalto ke belakang.
Sementara itu, Sudongdong dengan jurus
"Kera Sakti Hindari Kabut" kembali menyerang Ki Abdi Kanwa. Serangannya sangat
lincah sekali, diiringi kelincahan tubuhnya saat menghindar.
Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang
melihat kekeraskepalaan Sudongdong. Kehadi-
rannya di dunia ramai ini bukanlah untuk men-
cari silang sengketa, melainkan untuk mencoba
mendamaikan kehidupan di muka bumi ini.
Yah! Sesuai mimpi Penguasa Alas Roban,
maka bisa dipastikan kalau tanah Jawa ini akan
bersimbah darah. Hari ini saja sudah muncul tiga orang tokoh yang cukup
disegani. Terutama, Camar Hitam. Ki Abdi Kanwa menghela napas pan-
jang. Entah siapa lagi yang akan muncul.
"Hei, Kakek Busuk! Ayo, hajar aku! Aku in-
gin lihat kecepatanmu saat menandingi jurusku
ini!" tantang Sudongdong dengan sikap pongah.
Tubuhnya lantas bergerak menyambar ke sana
kemari dengan gerakan bagai seekor kera.
Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang.
Yang menjadi pikirannya bukanlah Sudongdong
dan Layan, tetapi si Camar Hitam yang dirasa-
kannya setara dengan kesaktian yang dimilikinya.
Tetapi, dia harus memberi pelajaran dulu pada
Sudongdong. Biarlah Layan dihajar oleh Camar
Hitam. Mendadak saja Ki Abdi Kanwa memutar
tubuhnya setengah lingkaran. Gerakan itu dila-
kukan bersamaan dengan serangan Sudongdong
yang langsung luput. Masih dalam keadaan demi-
kian, tangan Penguasa Alas Roban bergerak.
Begkh! "Ugkh...!"
Hantaman itu tepat mengenai punggung
Sudongdong yang kontan tersuruk ke depan. Lalu
seketika tubuhnya berbalik dengan tatapan nya-
lang. "Bangsat kau, Orang Tua!" dengus si Kera Sakti. Ki Abdi Kanwa tersenyum.
"Sudongdong. Lebih baik urungkan niatmu
untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta! Biarkan
dia berada di perut Ki Seta selama-lamanya. Dan biarkan mayat Ki Seta tenang
sepanjang zaman
tanpa diganggu siapa pun...," ujar Ki Abdi Kanwa, halus. "Diam kau, Orang Tua!
Jangan berkhotbah di sini! Apakah kau pikir aku bodoh yang tidak
tahu akal bulusmu untuk menguasai cincin pu-
saka itu!" bentak Sudongdong lagi.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-gelengkan ke-
palanya. "Tak seorang pun di antara kita yang telah melihat cincin itu, bukan"
Mungkin memang benar masih berada di perut Ki Seta. Jadi, biarkan saja. Kalaupun sudah telanjur
dibedah dan ditemukan cincin itu, lebih baik dibuang saja ke
kawah Gunung Pengging. Dan, mayat Ki Seta kita
kuburkan kembali."
"Bangsat tua! Kau hendak mengangkangi
cincin pusaka itu seorang diri rupanya! Heaaa!"
Sudongdong sudah menyerang lagi. Kali ini
lebih ganas dan lebih cepat.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng. Dia be-
nar-benar sedih kalau sebentar lagi darah akan
bersimbah di sini. Apalagi Layan tampak sudah
menjadi bulan-bulanan tongkat si Camar Hitam.
Sudah jelas sekali, Setan Kaki Besi tak akan bisa menaklukkan Camar Hitam. Untuk
menandingi saja sudah sulit bukan main!
Akan tetapi, si Setan Kaki Besi nampak gi-
gih. Tidak dipedulikan kalau berkali-kali tubuhnya terkena hantaman tongkat
Camar Hitam yang
sudah dialirkan tenaga dalam tinggi.
Ki Abdi Kanwa sendiri segera mengelakkan
setiap serangan gencar ke arahnya. Lagi-lagi hatinya merasa sedih, bila
membayangkan apa yang
akan terjadi kelak. Yah! Kini, jumlah mereka saja sudah tiga orang. Sudah pasti
akan semakin banyak yang berdatangan menginginkan cincin pu-
saka itu. Sementara itu Camar Hitam saat ini sedang
menggerakkan tongkatnya ke arah Layan yang
mencoba menghindar, namun sudah kehabisan
tenaga. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan
yang sangat mematikan.
Hingga akhirnya....
Prakkk! "Aaakhhhggg!"
Sebuah hantaman tongkat di kepala, tak
bisa dihindari Setan Kaki Besi. Tubuhnya pun
kontan tersungkur dengan kepala pecah.
Begitu mendengar jeritan Layan sahabat-
nya yang memilukan dan telah menjadi mayat,
Sudongdong menggeram marah. Dari menyerang
Ki Abdi Kanwa, dia melompat ke arah Camar Hi-
tam dengan kekuatan penuh.
"Manusia bangsat! Kau harus membalas
nyawa Layan dengan nyawa busukmu!" bentak si Kera Sakti.
"Hik hik hik! Bagus, bagus! Keroco macam
kalian ini memang lebih baik mati saja! Daripada memusingkan kepala!" sambut si
Camar Hitam. Wuuut!

Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tongkat perempuan sakti itu berkelebat,
menyambar kaki Sudongdong yang langsung
menghindar. Lalu dikirimkannya satu pukulan
lurus sambil memutar tubuhnya.
"Hebat!" puji Camar Hitam sungguh-
sungguh. "Sayangnya, kau pun akan menyusul sahabatmu itu, Monyet Jelek!"
Gempuran-gempuran yang dilakukan Su-
dongdong semakin cepat dan gencar dengan tena-
ga dalam berlipat ganda. Ia sudah tidak sabar untuk melihat Camar Hitam
terkapar. Apalagi bila
melihat Setan Kaki Besi yang kini telah menjadi mayat. Sementara itu Ki Abdi
Kanwa hanya terdiam saja, memperhatikan jalannya pertarungan.
Lalu matanya melirik mayat Ki Seta yang terbujur kaku di atas tanah. Tubuh kaku
itu tak bergeming sedikit pun. Kedua matanya terpejam. Bibir-
nya tersenyum. Kedua tangannya terlipat di atas perut. Ki Abdi Kanwa mendesah
pendek. Seorang
pendekar tangguh di masa lalunya kini telah terbujur kaku, dalam keadaan menjadi
mayat pun masih diributkan. Apa arti senyuman di bibir itu"
Tanya Ki Abdi Kanwa dalam hati. Padahal, seben-
tar lagi mayat itu akan tercabik-cabik.
Tidak! Ki Abdi Kanwa mendesis dalam hati.
Tidak akan pernah mayat pendekar itu dibiar-
kannya akan dicabik-cabik manusia-manusia se-
rakah yang menginginkan cincin pusaka itu. Dia
bertekad akan mempertahankannya. Akan dibiar-
kannya saja cincin pusaka itu berada di perut Ki Seta. Pertarungan sengit antara
Camar Hitam lawan Sudongdong berlangsung seru. Rupanya
tanpa disangka, si Kera Sakti mampu mengim-
bangi serangan-serangan Camar Hitam. Jurus
'Kera Sakti Hindari Kabut' sangat berguna dalam menghindari setiap serangan.
Jurus itulah yang
membuatnya seolah-olah mampu mengimbangi
Camar Hitam. Sedangkan perempuan tua itu
nampak semakin geram, karena sudah lewat lima
belas jurus belum juga berhasil menangani lelaki berwajah kera itu.
Kenyataan itu pun membuat Camar Hitam
secara mendadak memutar tongkatnya menjadi
seperti baling-baling di atas kepala. Angin yang berdesir sangat kencang, mampu
merontokkan jantung orang yang memiliki tenaga dalam ren-
dah. Sementara Sudongdong tersenyum mere-
mehkan. "Apakah kau hanya bisa bermain baling-
baling seperti anak kecil, hah?" ejek si Kera Sakti ini.
"Penutup Jalan Darah!" justru saat itu terdengar seruan Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam! Perlukah kau memperguna-
kan jurus yang sangat dahsyat itu hanya mem-
pertahankan mayat Ki Seta saja?" lanjut Penguasa Alas Roban.
Camar Hitam terkikik. Sementara desingan
yang ditimbulkan akibat suara putaran baling-
baling sangat keras.
"Siapa pun yang menghalangiku untuk
mendapatkan mayat Ki Seta, harus mampus!"
Sudongdong malah tertawa-tawa.
"Perlihatkanlah semua jurus rahasiamu,
Nek! Aku, akan melayanimu sampai seribu jurus!"
tantang Sudongdong sambil menggaruk-garuk
kepalanya bagai gerakan seekor monyet.
Wajah Camar Hitam memerah.
"Hhh! Manusia yang mau mampus, me-
mang bersikap seperti itu! Sudongdong! Lihat serangan!"
"Tahan!" seru Ki Abdi Kanwa sambil meng-hentakkan tangannya.
Tubuh Camar Hitam berhenti bergerak, ka-
lau tidak ingin disambar angin yang menderu.
Matanya mendelik.
"Kau ada gilirannya nanti, Tua Bangka!"
dengus Camar Hitam.
"Aku menanti giliran itu! Sekarang kita
tinggal bertiga. Lebih baik kita sepakati saja, tak ada yang mendapatkan cincin
pusaka itu! Mayat
Ki Seta kita kuburkan kembali! Dengan begitu,
tak ada perpecahan dan pertarungan yang me-
nimbulkan korban di antara kita!" Ki Abdi Kanwa.
Camar Hitam terkikik-kikik.
"Pintar! Pintar sekali otakmu. Penguasa
Alas Roban! Kau mampu menuturkan kata-kata
berbisamu. Setelah aku dan monyet itu setuju
mayat Ki Seta dikuburkan kembali, kau diam-
diam tentunya akan datang kembali ke sini.
Menggalinya dan mengangkangi cincin pusaka itu
seorang diri. Hik hik hik...! Usul yang bagus, tetapi bodoh!"
Wajah Ki Abdi Kanwa memerah. Namun
otaknya tetap berpikir keras.
"Baiklah.... Kita bedah tubuh Ki Seta! Setelah cincin itu didapatkan, kita
lemparkan ke kawah Gunung Pengging. Bagaimana?" lanjut Penguasa Alas Roban,
mengutarakan usulnya.
"Camar Hitam! Apakah kau akan mengu-
rungkan niatmu untuk menyerangku, hah"!
Tongkatmu yang berputar itu hanya membuatku
muak! Tak pantas kau memperlihatkan tenaga
dalam seperti anak kecil begitu!" bentak Sudong-
dong keras. Wajah Camar Hitam berpaling lagi pada
Sudongdong. Matanya melotot penuh amarah.
"Hhh! Rupanya kau memang ditakdirkan
sebagai orang keseratus yang akan mampus den-
gan jurus 'Penutup Jalan Darah'ku ini! Bagus!
Bagus sekali!" sahut perempuan sakti itu,
Sudongdong mengangkat kepalanya. "Aku
merasa tersanjung! Tetapi sayangnya, justru kaulah yang akan menjadi orang
keseratus yang akan mati pada jurusku ini!" balas Sudongdong pongah. Tiba-tiba
si Kera Sakti membuka kedua
tangannya ke muka, dengan tubuh ditarik ke be-
lakang agak condong. Kaki kanannya melangkah
satu tindak. Sedang kaki kirinya melipat ke dalam Sepertinya jurus itu memang
tak ada artinya.
"Hik hik hik.... Meskipun jurusmu penuh
tipuan, tetapi..., hanya pantas diperlihatkan oleh anak kecil saja!" ejek si
Camar Hitam sambil terkikik-kikik.
Begitu pula yang dipikirkan Ki Abdi Kanwa.
Dia tidak melihat keistimewaan pada jurus yang
diperlihatkan Sudongdong. Biarpun dikatakan
penuh gerak tipu, tetapi Ki Abdi Kanwa yang bisa menebak ke mana arah lawan
menyerang, sekali
lagi tidak melihat sesuatu yang aneh.
Jurus itu biasa-biasa saja. Apakah itu
hanya pembuka pancingan saja" Ataukah, ada
maksud tertentu dari si Kera Sakti dengan mem-
buka jurus yang nampak kosong"
Sudongdong tertawa.
"Nah! Kalau kau menyangka jurusku ini
tak berarti, silakan pergunakan 'Penutup Jalan
Darah'mu untuk menyerangku!" ejek si Kera Sakti sambil menggerak-gerakkan kedua
tangannya. Tongkat yang sejak tadi berputar di atas
kepala Camar Hitam, semakin kencang saja, me-
nimbulkan suara yang menderu-deru. Lalu tiba-
tiba saja tubuh Camar Hitam meluruk ke muka,
dengan gerakan cepat sekali
"Kau akan menyesal seumur hidup karena
berani menantangku, Sudongdong!"
Hebat! Karena dalam sekali gerak saja,
tongkat yang dipegang Camar Hitam sudah berge-
rak beberapa kali. Seolah-olah sudah tercium jalan darah yang akan dimusnahkan.
Dalam perkiraan Ki Abdi Kanwa, Sudong-
dong akan hancur dalam sekali serang. Karena
sama sekali tidak terlihat keistimewaan jurus
yang diperlihatkannya. Memang, menghadapi
'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam, harus-
lah mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi
yang ditunjang tenaga dalam serta hawa murni.
Namun yang membuat Penguasa Alas Ro-
ban terkejut, bukan karena Sudongdong mampu
menghindari serangan Camar Hitam. Bukan pula
dia bisa membalas serangan itu. Tapi ketika tu-
buh Camar Hitam sudah mendekat. Sudongdong
melemparkan tiga buah benda ke arah perem-
puan sakti itu. Sementara dua buah meluncur ke
arah Ki Abdi Kanwa sendiri!
Tanpa banyak pikir lagi, kedua tokoh sakti
yang berbeda golongan itu, menepis benda-benda
yang dilemparkan si Kera Sakti. Tidak ada leda-
kan. Tidak ada kejutan apa-apa. Yang ada hanya-
lah asap hitam yang sangat pekat! Dan..., men-
gandung racun! Kedua tokoh tua itu terlambat untuk me-
nutup jalan napas, karena hawa racun itu begitu kuat menyergap.
Saat itu juga, Sudongdong langsung berge-
rak menyambar mayat Ki Seta.
"Makanlah Racun 'Ludah Kera' yang sangat
keras itu. Dalam waktu dua hari, tubuh kalian
akan diserang rasa sakit luar biasa! Tak satu pun tenaga dalam yang akan mampu
menahan rasa sakit itu! Ha ha ha... Layan! Maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa,
karena kau sudah ma-
ti! Camar Hitam dan Ki Abdi Kanwa! Kini akulah
yang berhak memiliki cincin pusaka itu. Dan se-
bentar lagi, akan menguasai rimba persilatan ini!"
Lalu sambil terbahak-bahak, si Kera Sakti
berkelebat meninggalkan lereng Gunung Pengg-
ing, meninggalkan dua sosok tubuh yang tergolek pingsan. Juga, meninggalkan satu
sosok tubuh yang telah menjadi mayat.
7 "Berhenti!"
Satu bentakan terdengar cukup keras dis-
ertai berlompatannya sepuluh orang dari balik
semak dan langsung mengurung Sawedo dan ka-
wan-kawannya. Mereka semuanya memakai pa-
kaian hitam, dengan ikat kepala putih. Di pung-
gung masing-masing terdapat sebilah pedang ti-
pis, namun jelas sangat tajam.
Sawedo dan ketiga temannya secara tidak
langsung menjadi bersiaga. Bila melihat sikap pa-ra penghadangnya bisa
dipastikan kalau mereka
bukanlah orang baik-baik. Mereka tidak me-
nyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Hutan yang sekarang disinggahi
sangat lebat, penuh pepohonan besar.
"Hmmm..., ada apa sebenarnya ini" Men-
gapa kalian semua menghalangi langkah kami?"
tanya Sawedo yang mempunyai nyali cukup besar
dengan mata menyipit.
Salah seorang yang mengenakan ikat ping-
gang berwarna merah terbahak-bahak. Wajahnya
kasar, banyak ditumbuhi bulu. Hidungnya besar
dengan mulut besar pula. Usianya kira-kira em-
pat puluh lima tahun. Bila melihat ciri khas pakaiannya yang lain daripada yang
lain, sudah bisa dipastikan kalau dia bertindak sebagai pemimpin.
"Anak muda.... Lancang sekali kau bicara
seperti itu terhadap Gagak Seto...," kata lelaki
berwajah kasar ini dengan suara meremehkan.
"Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sawedo yakin, yang berdiri di hadapannya
bukan orang sembarangan. Nama Gagak Seto
memang belum pernah didengar. Namun yang bi-
sa dipastikan sekarang ini, sikap orang itu benar-benar menjengkelkan.
"Baiklah, Kakang Gagak Seto.... Maafkan
kelancanganku," ucap Sawedo sambil memutar otaknya yang cerdik.
Sawedo merasa harus bisa mengulur wak-
tu agar tidak terjadi bentrokan berdarah. Sementara ketika matanya melirik
teman-temannya, me-
reka sudah siap mencabut parang di pinggang.
"Bagus! Kau beruntung hari ini, Anak Mu-
da.... Aku tidak sedang ingin membunuh. Kau
cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku saja,
maka akan kuizinkan melanjutkan perjalanan.
Ingat yang kukatakan tadi. Aku sedang tidak in-
gin membunuh. Tetapi anak buahku..., ha ha
ha.... Mereka sudah tidak sabar untuk meman-
cung kalian...," kata Gagak Seto.
Sawedo mendengus dalam hati. Benar du-
gaannya, kalau mereka bukanlah orang baik-
baik. Sungguh sial sebenarnya nasib Sawedo dan
teman-temannya, karena harus berjumpa mereka.
"Hhh! Apa yang ingin kau tanyakan, Gagak
Seto?" tanya Sawedo dengan suara ditekan.
Gagak Seto tertawa meskipun sempat ter-
sentak sejenak. Karena, anak muda itu memang-
gilnya tanpa ada rasa hormat. Sedang semua ber-
nada menghormat dengan sebutan 'kakang'. Ru-
panya anak muda ini memang mempunyai nyali.
"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukai anak
muda yang penuh keberanian. Memiliki perhitun-
gan matang dan mampu membuat siapa saja ter-
pesona oleh keyakinannya. Tetapi, masalah itu
nanti saja kita bicarakan. Hmmm..., Anak Muda!
Kenalkah kau dengan seseorang yang bernama Ki
Seta?" kata Gagak Seto.
Mendengar pertanyaan itu bukan hanya
Sawedo yang mengerutkan keningnya. Tetapi, ke-
tiga temannya pun juga. Ki Seta" Ki Seta yang
mana" Apakah Ki Seta kakeknya Mayang yang te-
lah dibunuh Manusia Pemuja Bulan"
"Maaf, Ki Seta mana yang kau maksud-
kan?" tanya Sawedo.
"Hmmm.... Kalau tidak salah dengar, dia
seorang pendekar tangguh pada masa mudanya
dulu," sahut Gagak Seto.


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sawedo mengira, kalau orang yang dimak-
sud bukan Ki Seta, kakeknya Mayang. Demikian
pula ketiga kawannya. Karena sepengetahuan
mereka, kakeknya Mayang bukanlah seorang
pendekar di masa mudanya.
"Maaf, kalau itu kami tidak tahu," kata Sawedo. "Hmm.... Ki Seta yang mana yang
kalian tahu?" "Yang kami tahu selama ini, kami hanya mengenal seorang yang
bernama Ki Seta di lereng Gunung Pengging"
"Bagus, bagus sekali! Ki Seta itu yang kami maksud! Seorang laki-laki tua yang
tinggal di Gunung Pengging. Karena pengaruh cincin pusaka
yang ditelannya, seluruh kesaktiannya telah hi-
lang. Sehingga, dia tak ubahnya seperti orang bodoh. Bagus, Anak Muda. Bagus
sekali...."
Kening keempat pemuda dari lereng Gu-
nung Pengging itu berkerut. Sama sekali tidak
dimengerti, apa maksud Gagak Seto. Ki Seta du-
lunya seorang pendekar sakti" Lalu karena mene-
lan cincin pusaka, maka kesaktiannya lumpuh"
Dongeng dari mana lagi ini"
"Gagak Seto.... Kau sudah mendapatkan
jawaban kami, bukan" Lebih baik izinkan kami
untuk meneruskan perjalanan," ujar Sawedo.
Enggan dia memikirkan dongeng bodoh itu.
"Tunggu! Apakah Ki Seta ada di sekitar le-
reng Gunung Pengging?" cegah Gagak Seta, bertanya. Sawedo menganggukkan
kepalanya. "Bagus! Yang mana rumahnya?"
"Sebuah kuburan."
"Hei! Apa maks..., oh! Sebuah kuburan?"
"Ya! Karena, Ki Seta sudah mati."
Gagak Seto menjejak-jejakkan kakinya ke
tanah dengan sikap sebal.
"Bodoh! Gila kalau begini! Kita pasti sudah terlambat sekarang! Sudah bisa
dipastikan, banyak para tokoh sakti yang bermunculan untuk
merebut cincin pusaka yang berada di perutnya!
Hhh! Kita harus secepatnya tiba di lereng Gunung
Pengging dan mencari makamnya! Gila! Ayo, ki-
ta...." Kata-kata Gagak Seto terputus. Dan mendadak saja kepalanya menoleh pada
Sawedo dan yang lainnya. "Anak muda..., tahukah kau di mana ma-
kam Ki Seta itu?"
Sawedo yang cerdik dapat memperkirakan
apa yang diinginkan Gagak Seto. Maka kepalanya
menggeleng. "Aku tidak tahu," sahut Sawedo.
"Dusta!" sentak Gagak Seto.
"Kalau kau tidak percaya, aku tidak ada
masalah. Yang pasti, aku tidak tahu di mana dia dimakamkan. Karena, aku bukanlah
penduduk di sekitar lereng Gunung Pengging! Mendengar nama
Ki Seta saja, hanya selentingan," sahut Sawedo, berdusta.
Gagak Seto menyembur geram. Tangannya
yang besar dan penuh bulu mengepal-ngepal. Ra-
hangnya terkatup, seolah menahan semburan
panas yang siap terlontar.
Namun tiba-tiba saja tubuh Gagak Seto
berkelebat, menyambar Jalu yang tak menyang-
ka. Diseretnya pemuda itu dua tindak, dengan
tangan tertelingkung. Tangan Gagak Seto yang
kekar, melingkar di leher Jalu.
Kalau tadi Gagak Seto nampak menyimpan
kekesalan, sekarang justru terbahak-bahak.
"Anak muda..., apakah kau akan mungkir
dari jawabanmu terus" Ataukah, kau akan meli-
hat leher kepala temanmu ini patah?" kata Gagak
Seto, merasa menang.
"Lepaskan dia!" sengat Sawedo marah.
Sungguh Sawedo tak menyangka kalau la-
ki-laki besar penuh bulu itu akan menyambar Ja-
lu. Meminta Gagak Seto untuk melepaskan Jalu
bukanlah suatu hal yang mudah.
"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri, betapa pu-catnya temanmu ini karena tak bisa
bernapas. Ha ha ha.... Sebentar lagi, pasti dia akan kehabisan napas!" ujar
Gagak Seto, pongah.
"Gagak Seto! Tadi kau katakan tidak ingin
membunuh hari ini!" seru Sawedo geram.
"Benar!" sahut Gagak Seto, pendek.
"Mengapa sekarang kau mau membunuh-
nya, hah"!"
"Tidak, tidak.... Aku hanya memperkecil jalan pernapasannya saja. Urusan
membunuh, ha ha ha...! Sudah tentu urusan anak buahku. Jan-
gan khawatir! Gagak Seto tak akan pernah men-
gingkari janjinya...," kata laki-laki besar itu, terbahak-bahak.
"Lepaskan dia!" bentak Sawedo.
"Antarkan kami ke makam Ki Seta!" balas Gagak Seto.
Meskipun masih tidak mengerti mengapa
tahu-tahu ada orang yang mencari makam Ki Se-
ta, Sawedo menghela napas masygul bercampur
kesal. Apalagi melihat keadaan Jalu yang megap-
megap. Wajahnya tampak semakin bertambah
pucat. "Anak muda! Aku tidak suka banyak cin-
cong! Antarkan kami ke makam Ki Seta. Atau,
temanmu ini mampus?" ancam Gagak Seto.
Sawedo kali ini menyerah, tidak bisa ber-
buat apa-apa. Sementara Subekti dan Giri sudah
memperhitungkan semuanya. Bila saja Sawedo
nekat menyerang, maka keduanya tak mau ber-
tindak tanggung lagi. Mati bersama menjadi tu-
juan utama. Sebelumnya pun mereka telah sepa-
kat untuk terus mencari Pendekar Slebor, walau
nyawa taruhannya. Dan kini mereka juga tak
akan membiarkan begitu saja melihat Jalu yang
tampak menderita.
"Baik, kami akan mengantarmu ke makam
Ki Seta! Tetapi, mengapa kau begitu bernafsu sekali untuk ke sana?" kata Sawedo,
yang memang tak bisa berbuat apa-apa.
Gagak Seto terbahak-bahak. Tangannya
yang melingkar di leher Jalu berguncang. Sehing-ga membuat pemuda itu kembali
menahan rasa sakit. "Bodoh! Apakah kau tidak tahu kalau selama hidupnya Ki Seta merahasiakan
sebuah har- ta"!" dengus Gagak Seto.
Sawedo terdiam, membiarkan Gagak Seto
berkata-kata. Ia jadi teringat ketika Manusia Pemuja Bulan memaksakan
kehendaknya pada Ki
Seta, agar memberitahukan di mana hartanya
disimpan. Harta apa" Apakah Gagak Seto dan
sembilan anak buahnya mengetahui tentang har-
ta Ki Seta"
"Hei, Anak Muda! Kau tahu tidak?" bentak
Gagak Seto tiba-tiba.
Sawedo langsung menganggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar tentang itu. Teta-
pi, tidak pernah tahu harta apa," sahut Sawedo.
"Ha ha ha.... Bodoh, bodoh sekali! Kau ru-
panya memang buta, kalau di tempat tinggalmu
sebenarnya ada seorang pendekar besar yang ti-
dak bisa berbuat apa-apa, karena seluruh kesak-
tiannya telah hilang. Hhh! Dulunya Ki Seta ada-
lah pendekar tangguh yang sukar dicari tandin-
gannya, kecuali adik seperguruannya sendiri. Ala, sudahlah.... Yang pasti, di
perut Ki Seta terdapat sebuah cincin pusaka yang sangat hebat! Yang
tak ada tandingannya untuk masa-masa seka-
rang! Cincin itulah yang menyebabkannya lum-
puh bersama seluruh kesaktiannya!"
Sawedo dan yang lain mendengarkan den-
gan seksama. Tetapi, apakah yang dimaksud
orang penuh bulu ini adalah, Ki Seta kakeknya
Mayang" Gagak Seto mengibaskan tangannya.
"Sudahlah! Ayo kita segera berangkat! Jan-
gan-jangan di sana sudah ramai para tokoh dunia persilatan yang sedang sibuk
memperebutkan cincin pusaka itu!" ujar Gagak Seto.
"Lepaskan kawanku dulu, baru kita be-
rangkat!" seru Sawedo keras.
Gagak Seto terbalik padanya dengan tata-
pan geram. "Jangan menjual tampang di hadapanku,
Anak Muda! Penuhi permintaanku. Atau teman-
mu ini kukepruk kepalanya sampai hancur,
hah"!" gertak Gagak Seto.
Kali ini tak ada jalan lain yang bisa dilaku-
kan Sawedo. Begitu pula Subekti dan Giri yang
diam-diam menganggukkan kepala, tanda setuju.
Gagak Seto terbahak-bahak keras begitu
melihat kepala Sawedo mengangguk. Lalu dengan
bengis, didorongnya tubuh Jalu hingga terjajar ke depan, seraya menendang
perutnya. "Bagus! Kita berangkat sekarang!" ujar Gagak Seto, begitu Jalu menyusur tanah.
Sawedo tak bisa lagi menahan geramnya.
Namun, dia harus mundur karena tiga orang
anak buah Gagak Seto sudah mencabut pedang,
siap menyabet bagian-bagian tubuh Sawedo.
Namun sebelum anak buah Gagak Seto
melangkah... Des, des, des...!
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja tiga orang yang mengurung
Sawedo dengan pedang terhunus berpentalan dis-
ertai jeritan keras. Lalu mereka ambruk muntah
darah. Dua orang langsung melayang nyawanya.
Yang seorang lagi sekarat, siap menyusul nyawa
kedua temannya.
Gagak Seto melotot gusar.
"Manusia busuk! Keluar kau"!"
Dari balik sebuah semak, muncul satu so-
sok tubuh berpakaian hijau muda dengan kain
bercorak catur tersampir di pundak. Pemuda itu
melangkah sambil cengar-cengir seperti orang tak punya dosa.
"Pendekar Slebor...!"
Justru Sawedo yang berseru.
Sementara sosok yang memang Andika
alias Pendekar Slebor hanya mengangkat tangan-
nya saja. Sikapnya santai sekali.
Mendengar sebuah julukan yang barusan
diteriakkan Sawedo, Gagak Seto terbahak-bahak.
Kalau tadi marah, kini menyembunyikan kemara-
hannya di balik tawanya.
"Tak kusangka, rupanya yang muncul di
hadapanku Pendekar Slebor?" sambut Gagak Se-to, menunjukkan kepongahannya.
"Kau pikir seorang pangeran, ya" Aku me-
mang pantas jadi pangeran, bukan?" balas Andika sambil tertawa.
"Pangeran" Ha ha ha...," ulang Gagak Seto disertai tawa mengejek. Namun tiba-
tiba tawanya berhenti. "Pendekar Slebor! Lebih baik kau minggat dari sini,
sebelum merasakan kehebatan Ga-
gak Seto!"
"Apa?"
Andika memiringkan kepalanya.
"Gagak Bego" O, rupanya julukanmu Ga-
gak Bego?" ledek Andika sambil nyengir.
"Kalau begitu, namaku Gagak Pintar."
Wajah Gagak Seto memerah mendengar se-
lorohan itu. Apalagi melihat tiga anak buahnya telah menjadi mayat, karena yang
sekarat tadi kini sudah menyusul kedua temannya.
"Rupanya. Pendekar Slebor memang iseng!
Kerjanya hanya mengganggu orang lain saja! Ha-
jar dia!" perintah Gagak Seto.
Serentak enam orang anak buah Gagak Se-
to mencabut pedang masing-masing. Mereka
langsung mengurung Andika dengan wajah ang-
ker. Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau hanya begini saja sih, enteng! Kena-pa tidak kau sekalian saja, Gagak
Bego" Barang-
kali saja setelah bertarung denganku, kau sema-
kin sadar kalau kau memang bego...," kata Andika seenaknya.
"Bunuh dia!"
Serentak enam buah pedang menyerang
pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan itu. Enam buah mata pedang berkilat di-
timpa sinar mentari senja yang sudah menurun.
Sementara Andika masih saja meloncat ke sana
kemari dengan santainya.
Wuuut! Srrrt! Pedang-pedang itu terus berkelebatan me-
nyambar dengan cepat disusul seruan-seruan ke-
ras yang menambah semangat bagi para penye-
rang Andika. Sawedo yang tak pernah menyangka kalau
Pendekar Slebor yang sedang dicarinya akan
muncul di sini, diam-diam menghela napas pan-
jang. Buru-buru didekatinya Jalu yang sedang
memegangi perutnya. Sementara Giri dan Subekti
bersiap membantu Andika, bila terdesak. Namun
keduanya kini sudah tidak menyangsikan lagi ke-
saktian Andika yang berjuluk Pendekar Slebor.
"Kakang Sawedo...."
Sawedo mengangkat kepalanya, menoleh
pada satu tempat.
"Mayang!" seru Sawedo terkejut. Mayang yang muncul dari balik semak mendekat.
"Apa kabar, Kakang?" tanya Mayang, langsung. Tetapi pertanyaannya itu tidak
segera dijawab Sawedo. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia juga hendak mencari
Mayang. Karena sesung-guhnya, dia sangat mengasihi gadis itu. Dan begi-tu gadis
ini muncul, tiba-tiba saja dirangkulnya.
Hanya sejenak, karena sejurus kemudian dile-
paskannya dengan wajah tersipu.
"Maaf..., aku terlalu gembira melihat kau
selamat," ucap Sawedo memerah wajahnya.


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayang hanya tersenyum saja.
"Yah, berkat pertolongan Kang Andika."
Sawedo diam-diam menghela napas pendek. Lalu
Mayang pun menceritakan tentang dirinya yang
ditawan Tridarma, sampai dibebaskan oleh Pen-
dekar Slebor yang juga lolos dari tawanan.
"Syukurlah kalau begitu," desah Sawedo.
Darah Pemuas Ratu 1 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Naga Dari Selatan 15
^