Pencarian

Dagelan Setan 2

Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan Bagian 2


Itulah kedahsyatan racun dari Padang Mega Racun, tempat Pendagel Setan
menyempurnakan ilmunya, sekaligus tempat nanti Pendekar Slebor akan ditantang
mengadu jiwa! Itu berarti, sebentuk tantangan amat berat akan dihadapi pendekar
muda dari tanah Jawa itu. Sebab, di samping kesaktian lawan yang belum lagi
dapat diukur, racun di padang tersembunyi itu pun akan menyambutnya....
Sementara itu, sesosok tubuh tak dikenal memasuki wilayah desa maut tadi.
Langkahnya lambat.
Dan amat ringan. Bahkan gerak kabut pun masih kalah ringan. Cahaya senja yang
sekarat dan tebalnya kabut, membuat perawakan orang itu jadi tidak begitu jelas.
Yang pasti, dia bukanlah Pendagel Setan.
Sosok itu terus berjalan lurus. Sekilas ekor jubah panjang hitamnya melambai
lamban mengikuti irama lagkahnya. Rambutnya sepanjang bahu. Sulit untuk
menentukan, apa warnanya.
Tiba di tengah-tengah desa, sosok itu menghentikan langkah. Ditatapnya bangkai-
bangkai binatang tanpa gerak. Lama dia begitu, sampai akhirnya memutuskan untuk
melanjutkan langkah.
Siapa orang itu"
Lalu, ke mana Andika" Bukankah anak muda itu sebelumnya berniat akan menghadang
gerak gumpalan kabut" Ternyata, dia tak berhasil. Jadi, apa yang telah terjadi"
Senja makin tua digerogoti waktu. Hari mulai meredup. Matahari kian terpuruk.
"Tuan Penolong! Hoi, Tuan Penolong! Kemana kau"!"
Lelaki Berbulu Hitam memangil-manggil Andika.
Manusia berdarah setengah serigala itu tampak berjalan celingukan di tempat
Andika dan Macan Hitam Betina sebelumnya.
Mulas di perutnya sudah dapat dienyahkan. Di samping karena 'persediaan'nya
sudah terkuras, juga karena keberangannya menguap. Padahal, kepalanya masih
benjut sebesar telur angsa.
"Ah! Ke mana dia" Kenapa aku ditinggal begitu rupa!"
Taring Lelaki Berbulu Hitam menyembul. Sifat berangasannya pasti bakal mencelat
lagi, kalau bukan Andika yang sedang dicarinya.
"Tuan Penolong! Di mana kau" Beritahu aku! Apa kau dongkol padaku"! Aku janji
tak akan buang hajat lagi sepanjang hayat, supaya Tuan tidak dongkol lagi
padaku!" Alis lembut Lelaki Berbulu Hitam terungkit.
Sambil memegangi pantatnya, mulutnya meringis kecut. Laki-laki kekar berbulu ini
berpikir, bila tidak buang hajat sepanjang hayat, apa nanti tidak
sengsara" "Eh! Maksudku bukan itu, Tuan Penolong!
Maksudku, aku janji tak akan pernah lagi buang hajat di sungai!" ralat Lelaki
Berbulu Hitam terburu-buru, seolah takut sumpah sebelumnya jadi telanjur.
"Maaf, Kisanak!"
Mendadak terdengar teguran dari belakang. Lelaki Berbulu Hitam menoleh. Tampak
di depannya lelaki tua telah berdiri di belakangnya. Usianya tujuh puluhan.
Berjubah hitam pudar yang tampaknya tak kalah tua dengan pemiliknya. Tubuhnya
tak terbilang renta, jika dibanding usianya. Kumisnya putih tipis tak terawat,
seputih rambutnya yang memanjang hingga bahu. Orang tua itulah yang tampak di
desa korban keganasan racun di Padang Mega Racun.
Tahu kalau bukan Andika yang menegurnya, acuh saja Lelaki Berbulu Hitam
meneruskan langkahnya.
"Maaf, Kisanak. Bisakah kau berhenti sejenak"
Aku ingin sedikit bertanya padamu," tegur orang tua itu kembali.
"Aku sedang mencari seseorang!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, ketus dan sambil
lalu. "Tapi, bukankah tak rugi bila sedikit menolongku, Kisanak," usik orang tua itu
kembali. Nada ramah ucapannya masih terjaga.
"Aku tak peduli," tandas Lelaki Berbulu Hitam.
Orang tua itu menyusul. Langkah Lelaki Berbulu Hitam dijajarinya dengan ringan.
"Maaf sekali lagi, Kisanak. Aku ingin bertanya untuk keadaan yang begitu
mendesak. Ini menyangkut keadaan genting yang bisa merenggut korban nyawa," lanjut orang tua
itu tak menyerah.
Lelaki Berbulu Hitam menggeram. Dipenggalnya langkah kakinya. Dengan mata
membesar, ditatapnya
orang tua tadi.
"Apa kau tak dengar perkataanku tadi. Aku bilang, aku tak peduli. Yang aku
peduli, aku mesti menemukan Tuan Penolongku!" tegas Lelaki Berbulu Hitam.
Orang tua berjubah hitam itu mengangkat tangan.
Bibirnya tersenyum ramah, sekaligus sejuk.
"Baik..., baik.... Begini saja, Kisanak. Kalau kau sudi menjawab pertanyaanku,
maka aku akan membantu mencarikan orang yang kau cari. Bagaimana?"
Lelaki menyeramkan berdarah serigala yang di-tawari malah menatap tajam.
Parasnya seperti seekor serigala lapar hendak menelan mangsa hidup-hidup.
Memang susah berurusan dengan orang semacam dia. Kalau maunya hitam, ya mesti
hitam. Tak bisa putih. Apalagi loreng!
"Kau pikir aku butuh pertolonganmu"! Grrr!"
Geraman Lelaki Berbulu Hitam pun meluncur.
Orang tua berjubah hitam tetap tenang. Dia hanya mengangkat bahu.
"Baiklah. Aku akan bertanya pada orang lain saja kalau begitu."
"Bagus, grrr...."
"Aku mohon pamit," hatur si orang tua.
"Tidak bagus!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, memaksa orang tua tadi mengurungkan
niatnya. "Apa maksudmu?"
"Kepalamu harus kukepruk dulu!"
Bibir keriput orang tua berjubah hitam memperlihatkan senyum samar.
"Kenapa kau hendak mengeprukku" Bukankah aku tak berbuat salah?"
"Siapa bilang"! Kau telah memancing ke-beranganku! Kau tahu, apa artinya itu?"
Si orang tua mengangkat bahu.
"Kalau kau tak kuhajar, itu artinya bakal membuat perutku mulas lagi."
Sekali lagi kening orang tua berjubah hitam dipaksa berkernyit. Apa hubungannya
perut mulas dengan semua ini"
"Dan kalau perutku mulas, aku harus buang hajat lagi," susul Lelaki Berbulu
Hitam. Si orang tua mulai merasa orang berpenampilan seram ini sudah tak waras.
Ucapannya makin ngalor ngidul tak karuan.
"Kalau aku buang hajat lagi, berarti Tuan Penolong akan makin dongkol padaku.
Dan kalau Tua Penolong dongkol padaku, aku tak akan diizinkan bertemu lagi
dengannya. Dan kalau tak diizinkan bertemu lagi dengannya, aku bakal tak sembuh.
Dan kalau aku tak sembuh...."
"Baik..., baik!"
Cerocos yang tak sempat diselingi tarikan napas itu cepat-cepat dihentikan si
orang tua. Masalahnya dia merasa jadi ikut sinting kalau terus menyimak ucapan
ngelantur yang tak dimengerti itu.
"Kalau aku punya salah, aku minta maaf," lanjut orang tua itu.
"Grrr! Tak bisa begitu!"
Wukh! Tahu-tahu saja, tangan setebal badan ular sanca hutan Lelaki Berbulu Hitam
ngeloyor deras ke kepala si orang tua. Jaraknya cukup jauh. Namun, orang tua
berjubah hitam dibuat terkesiap mendapati angin pukulan berkekuatan hebat
dihasilkan gerakan tangan Lelaki Berbulu Hitam.
Si orang tua cepat menangkis. Dia tahu, apa akibatnya kalau pelipisnya sampai
terhajar tinju besar
Lelaki Berbulu Hitam.
Plak! Tangan mereka berbenturan. Si orang tua terdorong beberapa tindak ke belakang.
Sungguh tak dikira kalau tenaga lawan jauh lebih kuat dari perkiraannya.
Pergelangan tangannya pun terasa berdenyut-denyut.
"Kau tak boleh menangkis! Jangan buat aku berang!" dengus Lelaki Berbulu Hitam.
"Bagaimana aku tak menangkis kalau pelipisku bakal remuk oleh kepalanmu?"
sanggah si orang tua.
"Kalau begitu, kita berkelahi! Berkelahi!"
Memangnya tadi itu apa" Rutuk orang tua berjubah hitam dalam hati.
Wesss! Satu terjangan seekor serigala dilakukan Lelaki Berbulu Hitam. Wajar saja
gerakan itu sering dilakukan tanpa sadar kalau sedang marah, mengingat dia
dibesarkan oleh sepasang serigala hutan besar. Dan kuku panjang hitamnya pun
menebas udara, menuju dada.
Si orang tua tak mau membuat kesalahan kedua.
Dia masih belum yakin telah dapat mengukur tingkat kekuatan lawan. Karena itu,
tak dipapakinya sambaran tangan, namun hanya menyampingkan badan.
Sambaran yang berhasil dimentahkan makin menyuburkan keberangan Lelaki Berbulu
Hitam. Kakinya segera membuat tendangan kasar melingkar.
Orang tua berjubah hitam memanfaatkan ruang kosong di bawah kaki lawan. Tubuhnya
cepat merunduk. Merasa dirinya terancam, dia pun merasa harus melakukan serangan
balasan. Punggung tangannya dikibaskan ke selangkangan Lelaki
Berbulu Hitam amat cepat.
Cletat! "Whiaaauuu!"
Tak alang kepalang, Lelaki Berbulu Hitam memekik nyaring. Dua bola rahasia di
balik celananya kontan perih berdenyut-denyut. Perutnya sampai dibuat mual.
Sikap meremehkan lawan yang tampil renta di matanya membuatnya ceroboh.
Tubuh bongsor Lelaki Berbulu Hitam melintir-lintir serabutan. Tangannya mendekap
'mesra-mesra' miliknya yang paling berharga di seantero jagi raya!
"Akan kumamah dagingmu, Jompo Keparat!" maki Lelaki Berbulu Hitam di antara
erangan dan geraman.
"Ada apa ini"!"
Suasana panas pemicu pertarungan besar mendadak dipadamkan oleh sebuah teguran.
Lelaki bulu Hitam mengurungkan niat hendak menerkam
tengkuk orang tua berjubah hitam dengan taringnya, meski 'kelereng'
kesayangannya masih sakit sampai ulu hati, meski keberangannya sudah naik sampai
ubun-ubun, bahkan meski dunia sedang kiamat, dia memang harus menghentikan
serangan. Soalnya, yang telah berdiri tidak jauh dari situ bukan orang
sembarangan baginya. Dia ternyata Andika, anak muda yang dikira bisa
mengenyahkan sifat pemberangnya.
"Ke mana saja kau, Pak Tua Bulu" Aku kelimpungan mencarimu kian kemari! Apa kau
tak tahu aku membutuhkan pertolonganmu"!" sembur Andika sewot.
Sewaktu mengatakan pada petani tua hendak menahan gerak burung-burung penggiring
kabut beracun, Pendekar Slebor berpikir untuk meminta bantuan Lelaki Berbulu
Hitam. Sesepuh sakti seperti
dia, biarpun kurang waras, agaknya masih bisa diandalkan bantuannya. Tapi
sewaktu kembali ke tepian sungai, Lelaki Berbulu Hitam sudah raib. Yang
menjengkelkan, Andika malah hanya menemukan bau busuk sekawanan dedemit!
"Tuan Penolong dari mana saja"!" sambut Lelaki Berbulu Hitam.
Semestinya wajah penuh bulu itu memperlihatkan raut gembira. Karena suasana
sedang panas. Wajahnya malah seperti hendak memusuhi Andika.
"Sudah kubilang tadi, aku mencari-carimu, Pak Tua Bulu. Aku butuh
pertolonganmu!" sahut Andika.
"Tidak usah, Tuan Penolong...."
"Tak usah apa"!" sentak Andika, naik darah. "Ini persoalan nyawa banyak penduduk
desa!" "Bukan itu, Tuan Penolong."
"Jadi apa"!"
"Tak usah memanggilku 'Pak Tua Bulu'.
Kedengarannya terlalu jelek. Kedengarannya mirip-mirip 'ulat bulu', atau
mirip...."
"Ah! Siapa yang peduli," gerutu Andika. "Ayo, sebaiknya cepat ikut aku!"
"Tak usah tergesa, Andika," sapa orang tua berjubah hitam. Mengherankan!
Ternyata dia mengenali pendekar muda dari Lembah Kutukan!
Andika menoleh. Sejak tiba tadi, dia kurang memperhatikan siapa lawan Lelaki
Berbulu Hitam. Pendekar Slebor terlalu digerecoki kedongkolan pada manusia kelebihan bulu itu.
Di samping itu, hari memang sudah semakin senja. Kegelapan mulai merambah.
"Apa aku tak salah lihat?" gumam Andika.
Dengan terpana, Andika menatap orang tua tadi.
Wajah itu pernah dikenalnya. Bukan hanya kenal.
Bahkan Andika pernah begitu dekat. Seperti dekatnya seorang cucu pada sang
eyang. "Ki Patigeni?" bisik Andika tak yakin.
Orang tua yang dipanggil Ki Patigeni membuka lebar-lebar kedua tangannya.
"Kau kira siapa" Apa aku mirip hantu salah jalan?"
gurau orang tua ini enteng.
Kontan saja Andika memburu. Didekapnya orang tua itu padat kerinduan. Dia
seperti bertemu orang yang dianggapnya sudah tak akan pernah lagi dijumpai.
Sementara Ki Patigeni menyambutnya dengan pelukan tak kalah hangat. Sesaat
mereka saling mengguncang-guncangkan badan seraya terbahak-bahak ramai.
Ki Patigeni adalah salah seorang rekan seper-juangan Andika. Dia yang membantu
Andika dalam kejadian beberapa tahun silam, ketika dunia persilatan digegerkan
oleh kemunculan Ratu Racun.
(Baca kisahnya dalam episode: "Geger Ratu Racun").
"Ceritakan tentang kabarmu, Ki!" pinta Andika meletup-letup.
Sesaat Pendekar Slebor jadi terlupa dengan kejadian di desa. Bagaimana dia tidak
begitu" Sebab selama ini Andika tahu kalau Ki Patigeni telah mati terkena salah
satu racun ganas Ratu Racun. Kalau sekarang bertemu, betapa mengejutkan baginya.
"Tuan Penolong," sela Lelaki Berbulu Hitam.
Andika mengira manusia langka satu itu ingin diperkenalkan dengan Ki Patigeni.
"O, iya, Ki. Perkenalkan ini..."
"Bukan itu, Tuan Penolong," potong Lelaki Berbulu Hitam. "Aku hanya mau tanya,
bolehkah aku pergi ke sungai lagi?" pinta Lelaki Berbulu Hitam memelas.
Gara-gara tak jadi mengepruk batok kepala Ki Patigeni, perutnya jadi ngadat
lagi! *** 8 Malam tak lagi gulita. Api unggun membubung, membentuk tarian aneh membunuh
gelap di tempat Andika bertemu Ki Patigeni. Kedua orang itu kini sedang hangat
bercakap-cakap. Sementara Lelaki Berbulu Hitam sudah sejak lepas senja tadi
bersemadi di semak-semak.
Di balik batu besar sekitar tujuh delapan tombak ke selatan, seorang wanita
mengintip. Dia adalah Macan Hitam Betina. Sewaktu di pinggir desa siang tadi.
Andika meninggalkannya pergi begitu saja.
Pendekar wanita ketus itu berusaha menguntit. Tapi, jangan harap Andika bisa
dikejar dengan mudah.
Tentu saja, karena di dunia persilatan ilmu meringankan tubuh Pendekar Slebor
masih berada dalam jajaran atas. Sementara, Macan Hitam Betina cuma seorang
pendekar wanita tergolong bau kencur.
Di samping kedigdayaannya masih tanggung.
Pengalamannya pun masih seujung kuku.
Andai tahu siapa yang dikejarnya saat itu, tidak akan mau Macan Hitam Betina
melakukan pekerjaan bodoh itu. Setelah kehilangan jejak dan be-putar-putar tak
menentu hingga malam hari. Pendekar Slebor baru bisa ditemukannya lagi. Dan api
unggun telah menolongnya sampai di tempat itu.
Macan Hitam Betina segera menguping per-
cakapan Andika dan Ki Patigeni. Dua lelaki bertaut usia itu sedang membincangkan
kenangan lama mereka, saat berurusan dengan Ratu Racun.
Mereka membicarakan segalanya. Termasuk, tipu
muslihat Ki Patigeni. Andika pernah dikecohnya dengan berpura-pura mati. Seperti
Pendekar Lembah Kutukan buyut Andika pernah pula mengecoh anak muda itu di
Lembah Kutukan (Baca episode:
"Dendam dan Asmara") Orang tua itu melakukannya, karena berharap Andika kian
memendam tekad untuk menumpas Ratu Racun. Tipuannya demikian
sempurna. Bahkan Andika sendiri yang mengubur-kannya waktu itu.
"Ah! Tanpa kau berpura-pura mati pun, aku tetap memiliki tekat sebulat telur
monyet dalam menumpas setiap kebatilan! Ha-ha-ha!" tukas Andika, bergurau pada
Ki Patigeni. "Tapi aku jadi tak habis pikir, kenapa Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan
berotak seencer bubur bayi, masih bisa kutipu. Bukankah kau tahu, aku pernah
mengalahkan guru Ratu Racun" Kalau begitu, mestinya kau berpikir aku tak akan
begitu mudah ditamatkan oleh racun muridnya?" cemooh Ki Patigeni. Seperti dulu,


Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia suka mencemooh Andika sambil bergurau.
"Apa"! Jadi kau ini Pendekar Slebor yang menggemparkan itu"!"
Mendadak saja terdengar seruan kaget dari balik batu. Ketika Pendekar Slebor dan
Ki Patigeni menoleh, tampak Macan Hitam Betina keluar dari persembunyiannya.
Sejak Andika berkumpul dengan Ki Patigeni dan Lelaki Berbulu Hitam, dia terus
menguntit. Wanita sok tahu itu curiga dengan mereka.
"Kau lagi...," gerutu Andika. "Kenapa tak enyah saja jauh-jauh dari tempat ini?"
Wanita ayu itu mendekati Andika dengan sinar mata berbinar-binar. Bertolak-
belakang sekali dengan
sebelumnya. Wajahnya pun kini berhias senyum malu-malu. Mekar seperti bunga.
"Aku rasanya harus minta maaf padamu...," kata Macan Hitam Betina di depan
Andika. Sikapnya serba salah. Telapak tangannya terus digosok-gosokkan.
Sewaktu bicara, pandangannya tak berani bertemu dengan pandangan Andika.
"Aku tak mengerti maksudmu?" tukas Andika.
"Maksudku, aku minta maaf. Kemarin aku telah begitu lancang," ucap Macan Hitam
Betina, menjelaskan.
"Siapa bilang kau lancang" Kau cuma brengsek, ketus, angkuh, dan sok tahu!"
"Ah! Jangan begitu..., Pendekar Slebor. Kemarin kita cuma salah paham. Kalau
tahu kau ternyata pendekar besar, tak akan aku berbicara
sembarangan..."
Andika mencibir. Jelek sekali.
*** Siang terik. Empat orang memasuki desa siang itu. Sepi mengungkung. Tak seorang penduduk pun
yang berani pulang. Mereka masih cemas dengan kabut beracun maut yang masih
mengepung desa.
Tak seperti kemarin senja, kabut kelabu sudah tak bergentayangan lagi.
Panggangan panas matahari telah menyebabkan bobot kabut menjadi ringan.
Semuanya perlahan-lahan menguap ke angkasa, berkumpul kembali membentuk
gumpalan-gumpalan mirip awan mendung. Dan jika hari menjadi senja, ancaman maut
kabut tersebut siap turun kembali mengepung setiap sudut desa.
Kemari sore, ketika Andika hendak mengajak menyelidik desa, Ki Patigeni
mencegahnya. Pada Andika dikatakan, bahwa sampai saat itu tak ada korban
manusia. Dan pemuda ini tak perlu khawatir.
Di samping itu, Ki Patigeni punya rencana lain. Sebab itu, mereka pun
menghabiskan malam dengan membuat api unggun di tempat yang sama, untuk menunggu
siang tiba. Pendekar Slebor, Lelaki Berbulu Hitam, Ki Patigeni, serta Macan Hitam Betina
yang belakangan mengaku bernama asli Cempaka, memutuskan untuk memasuki desa. Ki
Patigeni yang banyak tahu tentang racun, mengatakan bahwa pada siang terik
seperti saat itu, mereka bisa memasuki desa.
Sesuai petunjuk Ki Patigeni pula, mereka mulai menyingkirkan seluruh gulungan-
gulungan tanah hitam sebesar kepalan tangan yang memenuhi beberapa wilayah desa.
Tak mudah mereka melakukan pekerjaan seperti itu. Karena, mereka harus
memindahkan seluruh benda penyebab mengambangnya kabut racun di atas desa ke
tempat yang dianggap aman. Satu-satunya tempat sementara yang jarang diinjak
penduduk desa hanya hutan lebat di sebelah tenggara desa. Namun jaraknya hampir
seperempat hari untuk sampai ke sana.
Dengan sedikit memutar otak encernya, Andika mendapat jalan yang dapat
mempermudah mem-percpat pekerjaan itu. Dengan peti-peti kayu bekas tempat telur
yang didapat dari sebuah gudang milik penduduk, mereka menghanyutkan seluruh
gulungan tanah langka itu. Kebetulan, sungai yang sempat dicemari 'limbah' milik
Lelaki Berbulu Hitam memotong hutan sebelah tenggara. Agar tak terus
terbawa arus, Andika meminta Macan Hitam Betina untuk menunggu seluruh peti di
dalam hutan. Wanita itu pula yang akan mengumpulkan seluruh gulungan tanah ke
tempat teraman.
Ketika sebagian demi sebagian gulungan tanah dihanyutkan, maka sebagian demi
sebagian kabut kelabu di angkasa pun bergerak mengikuti arah arus sungai.
Dengan disingkirkannya seluruh gulungan tanah ke dalam hutan, maka desa pun
menjadi terbebas dari ancaman kabut racun.
*** Cempaka alias si Macan Hitam Betina menghempas napas keras-keras. Disapunya
peluh yang membanjiri dahi. Letih pun menggelayuti sekujur tubuhnya. Dia pun
terduduk di rerumputan hutan.
Tugas dari Andika baru saja diselesaikan. Gumpalan-gumpalan tanah dari Padang
Mega Racun telah terkumpul di sebuah lubang bekas jebakan binatang.
Kalau dipikir-pikir, sampai semua monyet jadi botak pun Cempaka tak akan sudi
diperintah seenaknya seperti itu. Selaku seorang yang menganggap dirinya
pendekar, harga dirinya seperti di-guyur lumpur hitam. Masa' dirinya diperintah
melakukan pekerjaan kasar seperti kuli batu"
Memindahkan peti-peti dari sungai, mengangkutnya, lalu mengumpulkannya pada
lubang. Berhubung yang memintanya Andika, anak muda yang namanya melambung sebagai
Pendekar Slebor, Cempaka malah merasa mendapat kehormatan.
Bagi wanita itu, Pendekar Slebor seperti sosok seorang pahlawan pujaan. Sebelum
turun ke dunia persilatan, Cempaka memang sudah banyak dengar bagaimana sepak terjang pemuda
itu. Bagaimana kekuatan kharismanya. Termasuk, ketampanannya, tentu. Karena
begitu sering mendengar berita-berita luar biasa tentang Pendekar Slebor, lama
kelamaan hatinya jadi kesemsem. Dia sering berkhayal bisa bertemu pemuda sakti
itu. Atau lebih keterlaluan lagi, dia membayangkan dirinya berjalan bergandengan
mesra dengan Andika. Atau bahkan, memimpikan menjadi kekasihnya.
Kalau sekarang seluruh impian Macan Hitam Betina terwujud, apa itu bukan
kejutan" Apa itu tidak membuatnya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dianggap tak pantas bagi seorang pendekar wanita seperti dia"
Cempaka membayangkan wajah Andika. Ketampanan anak muda itu benar-benar
menggetarkan perasaan. Kekaguman wanita ini bertambah bila melihat mata setajam
elang milik Andika.
"Andai aku benar-benar menjadi kekasihnya...,"
bisik wanita ini lamat.
Tanpa sadar, perempuan ayu itu memainkan ujung-ujung rambutnya. Tak bedanya
tingkah gadis desa yang sedang dilanda kasmaran. Sewaktu matanya tertumbuk pada
luka di jari-jari tangan kirinya, dia jadi menyesal kenapa kemarin malah menolak
pertolongan pemuda tampan itu. Bukankah sungguh membirukan perasaannya jika
Andika memegang jemarinya yang terluka, lalu mengobatinya penuh kelembutan"
Khayalan dalam benaknya makin liar saja. Sampai....
"Kita bertemu lagi, Nona Ayu!"
Cempaka terlonjak ketika tiba-tiba terdengar teguran kasar. Sejurus kepalanya
menoleh ke arah
suara. Tampak seseorang yang telah menyebabkan jari-jemari lentiknya menjadi
rusak. Pendagel Setan!
"Kau rupanya, Manusia Keparat! Aku memang berharap dapat bertemu kembali
denganmu dan mencopot kepala jelekmu dari badan!" desis Macan Hitam Betina.
Sifat wanita ini memang sok hebat. Biarpun kemarin sudah hampir mampus di tangan
Pendagel Setan, tetap saja seolah-olah bisa mengalahkan lelaki sesat itu.
Pendagel Setan terkekeh. Lama-kelamaan dia terpingkal-pingkal. Sampai kedua
tangannya mendekap perut. Tak ada yang bisa ditertawakan siapapun pada saat itu.
Tapi baginya, tetap ada sesuatu yang lucu.
"Sinting!" maki Macan Hitam Betina dengan wajah mematang.
"Kau mengira akan bisa mengenyahkanku.
Sementara, kemarin saja kau sudah nyaris mampus di tanganku. Untung saja
Pendekar Slebor segera menolongmu!" ejek Pendagel Setan.
"Kau ingin membuktikannya sekarang?"
"Membuktikan apa, Nona Ayu yang kehilangan kuku?"
"Bahwa aku dapat menumpasmu! Manusia macam kau memang semestinya cepat-cepat
mati!" Pendagel Setan terkekeh lagi. Terbahak lagi. Juga mendekap perutnya lagi. Jelas
saja sikapnya lebih cepat memancing kegusaran Macan Hitam Betina yang merasa
dilecehkan. "Manusia keparat! Haiii!"
Cempaka pun seketika menerjang Pendagel Setan.
Dari jarak enam tombak, dia melompat tinggi dengan sebelah kaki siap menghantam
dada Pendagel Setan di depan.
Wukh! Hanya angin yang menjadi sasaran tendangan terbang Macan Hitam Betina, karena
tubuh Pendagel Setan lebih cepat berjumpalitan ke belakang.
Tangannya dijadikan tumpuan untuk membalikkan badan kembali.
Dengan kalap, Cempaka melanjutkan serangan.
Begitu kakinya tiba kembali di tanah, punggung tangan kanannya dibabatkan ke
kepala. Seperti serangan sebelumnya, usahanya kali ini pun penuh tenaga.
Tampaknya, perempuan itu benar-benar bernafsu hendak menghabisi Pendagel Setan
secepatnya. Mungkin baginya lebih cepat melenyapkan tokoh aneh dari muka bumi,
akan lebih baik.
Seperti sedang bermain kucing-kucingan, Pendagel Setan sekali lagi berjumpalitan
ke belakang. Tahu kalau tokoh aneh ini butuh tempat berpijak belakang.
Macan Hitam Betina melompat lebih jauh mencoba lebih dahulu tiba di tempat
Pendagel Setan akan berpijak. Kalau tiba lebih dahulu kesempatannya akan lebih
besar untuk bisa menyarangkan serangan pada lawan yang belum siap. Begitu
pikirnya. Tep! Memang, Macan Hitam Betina bisa menyusul jumpalitan lawan. Kakinya menjejak
lebih dahulu, setelah melenting dan berputar di udara. Apakah itu berarti pula
dia bisa memanfaatkan kelemahan lawan"
Ternyata, tidak juga, Cempaka terlalu percaya pada kemampuan dirinya. Sementara
sejauh itu, dia tak sungguh-sungguh tahu orang macam apa yang dihadapi.
Sewaktu Macan Hitam Betina mencoba mencabik wajah lawan dengan jari kanan dari
arah bawah, dengan lincah Pendagel Setan membuat pijakan cepat. Dan dengan cepat pula
tubuhnya terlempar kembali ke tempat sebelumnya.
Tindakan itu bukan sekadar untuk menyelamatkan wajahnya dari sambaran cakar
Cempaka. Namun sekaligus juga mengirimkan tendangan dengan dua kaki ke rusuk.
Desss...! "Aaakh...!"
Berbareng bunyi sambaran tangannya. Cempaka merasa uluhatinya bagai dihantam
gelondongan pohon. Mual teramat sangat. Bahkan untuk beberapa saat, dia tak bisa
menarik napas. Begitu jaringan pernapasannya bisa menarik udara, pandangannya
langsung berkunang-kunang.
Pendagel Setan rupanya benar-benar mau bermain kucing-kucingan dahulu. Buktinya,
serangannya tak segera dilancarkan pada saat dia bisa melakukannya.
Sengaja dibiarkan Macan Hitam Betina menikmati rasa mualnya.
"Bagaimana" Apakah kau tadi belum sarapan"
Mestinya kau sudah memuntahkan semua isi perut.
Apa pendekar muda tampan itu terlalu kikir untuk membelikanmu sarapan" He-he-
he!" cemooh Pendagel Setan memuakkan.
Cempaka menggoyang-goyangkan kepala be-
berapa kali. Rambutnya jadi kacau. Sebagian menutupi wajahnya yang berkeringat.
Pucat. Perutnya masih terasa mual. Dia ingin muntah. Sewaktu mendengar perkataan
tokoh menyebalkan ini, keinginan itu sekuatnya ditahan.
Dengan tubuh agak membungkuk memegangi
perut, pendekar wanita beradat keras itu meludah tanah.
"Kurasa, kau adalah lelaki yang semasa kecilnya tak pernah mendapatkan perhatian
orang lain! Tingkahmu terlalu tengik! Kau pikir, orang akan tertawa menyaksikan dagelan
busukmu"!" desis Cempaka.
"Setidaknya, aku bisa tertawa. Aku bisa menertawai kesaktian mereka, aku bisa
menertawai hilangnya nyawa mereka!" sahut Pendagel Setan, menggidikkan.
"Ya! Kau memang sudah tak waras!"
"Ya! Yang penting, aku bisa tertawa! Ha-ha-ha!"
"Kubunuh kau!"
Dengan gejolak semangat tarung yang semakin payah, perempuan ayu yang menjuluki
diri Macan Hitam Betina itu menerkam Pendagel Setan.
Dorongan kemurkaan yang sejak awal menguasai membuat gerakannya tak terarah.
Kalau gerakannya yang semula teratur saja belum tentu bisa sekadar membuat lawan
kelimpungan, apalagi dengan keadaan begitu"
Namun apa memang wanita itu benar-benar
sedang dikuasai kemurkaannya" Ternyata, tidak begitu. Cempaka tergolong dara
berotak jernih. Dia sering mengagumi kecerdikan Andika karena memang memiliki
kelebihan dalam hal itu. Dan salah satu impiannya bila berjumpa Andika adalah
mengadu kecerdikan!
Dengan begitu, tentu Cempaka tahu kalau lawan bukan tanding ilmu kedigdayaannya.
Jalan satu-satunya yang terbaik adalah meloloskan diri. Setelah itu,
memberitahukan Andika. Berhadapan dengan pemuda itu, Pendagel Setan pasti akan
ketemu batunya.
Jadi, apa rencana yang ada di benak Macan Hitam
Betina saat itu"
Saat mendekap perut tadi, diam-diam Cempaka mengeluarkan serbuk pupur yang
digunakan untuk merawat kulit wajah ayunya. Di depan muka Pendagel Setan,
seketika ditaburkannya serbuk pupur itu sekuat tenaga.
Wrrr! Saat itu juga, mata Pendagel Setan terlabrak
'senjata rahasia' si perempuan yang rupanya senantiasa berusaha menjaga
keayuannya. Perih dirasa. Tangannya serabutan mendekap kedua mata.
Saat itulah Cempaka langsung mempergunakan kesempatan untuk melepas tendangan
putarnya. Wuk! Tendangan pertama berhasil dihindari Pendagel Setan hanya dengan mendengar
bunyinya. Namu tendangan kedua yang menyusul cepat di belakang tak bisa lagi
dihindari tanpa melihat. Dan....
Begkh! "Ugkh...!"
Sekarang uluhati Pendagel Setan bisa menikmati rasa mual tak terkira. Paling
tidak, sebagai bayaran atas tendangannya pada perut Macan Hitam Betina barusan.
Saat Pandagel Setan bergulingan di tanah menahan pedih di mata serta mual di
perutnya, Macan Hitam Betina langsung menggenjot tubuh.
Ditinggalkannya tempat itu dengan senyum cukup puas.
"Kau pun boleh memuntahkan seluruh isi perutmu sekarang manusia busuk!" ejek
Cempaka di kejauhan.
Sesaat setelah Macan Hitam Betina pergi, Pendagel Setan bangkit dengan segenap
kemurkaan. Tubuhnya pun digenjot pula, mengejar perempuan tadi.
"Kau akan merasakan akibat dari perbuatanmu tadi. Nona Ayu! Kau akan tahu
nanti!" ancam lelaki ini.
*** 9 "Ke mana Cempaka" Kenapa dia belum juga tiba?"
Andika mulai khawatir pada keadaan perempuan itu. Hari sudah menjelang senja,
namun Cempaka belum juga tiba.
Seluruh desa telah bersih dari tanah pembawa kabut maut. Sebetulnya, akan sangat
menyulitkan mencari gulungan-gulungan sebesar kepalan yang tersebar di beberapa
sudut desa. Untunglah ada seseorang yang bisa diandalkan untuk itu.... Lelaki
Berbulu Hitam. Manusia setengah serigala itu memang memiliki kelebihan dalam penciumannya.
Seperti seekor anjing pelacak, dia dapat mengendusi tempat-tempat jatuhnya tanah
itu. Meskipun, ada di lubang tikus!
Kebetulan pula, tanah dari Padang Mega Racun itu menghasilkan bau yang khas.
Anyir seperti bangkai binatang laut.
Sudah hampir sepertiga hari mereka menunggu kedatangan Cempaka di balai desa.
Sementara orang yang ditunggu belum juga muncul.
"Mungkin sebentar lagi," hibur Ki Patigeni, mencoba menenangkan Andika.
Lelaki tua itu duduk mengangkat kaki di salah satu kursi bambu di pinggiran
balai desa. Sementara Lelaki Berbulu Hitam seperti kemarin malam, melakukan
semadinya di sebelah gapura.
Sebenarnya, Ki Patigeni pun khawatir terhadap keselamatan dara itu. Yang
diketahuinya dari Andika, Cempaka belum lama memasuki keganasan dunia
persilatan. Tapi, akan lebih bijaksana jika segala sesuatu dilakukan dengan
tenang. Begitu pertimbangan Ki Patigeni.
Andika berjalan mondar-mandir. Wajahnya ketat, menampakkan kekhawatiran.
"Mestinya dia telah sampai dan melaporkan semuanya pada kita," kata pemuda itu
lagi. "Ya, mestinya begitu," timpal Ki Patigeni.


Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika menghentikan langkahnya tiba-tiba. Di-lepaskannya pandangan jauh ke atas
sana, ke arah hutan tempat pembuangan gulungan-gulungan tanah hitam. Wajahnya
berubah cepat. Sinar matanya terlihat begitu tegang.
"Ada apa, Andika?" tanya Ki Patigeni.
"Cepat ikut aku, Ki!" ajak Andika.
Tanpa ingin menanyakan tujuan mereka, Ki Patigeni mengikuti Andika. Orang tua
itu percaya penuh pada Andika, karena memang sudah kenal baik. Seluruh
pertimbangannya terkadang tak bisa diremehkan begitu saja.
Mereka berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak begitu lama, mereka
tiba di bukit batas desa. Dari bukit itu, Andika menunjukkan sesuatu pada Ki
Patigeni. "Lihatlah, Ki...," ujar pemuda ini seraya menunjuk jauh-jauh ke ubun-ubun hutan
sebelah tenggara.
"Tuhan...! Tampaknya kita telah salah perhitungan, Andika," desah Ki Patigeni.
Orang tua ini melihat gumpalan-gumpalan kabut beracun kini menggelantung di atas
hutan sebelah tenggara desa.
"Gumpalan-gumpalan kabut itu amat dikenali oleh pemiliknya, bukan" Dan dari
kejauhan itu bisa dilihat mudah. Artinya...."
"Artinya, kecurigaan Pendagel Setan dapat terpancing," sela Ki Patigeni.
"Kemungkinan besar dia akan mendatangi tempat itu. Dan...."
"Dan Cempaka pasti dalam bahaya. Dia tak akan sanggup menghadapi kesaktian
manusia laknat itu!"
rutuk Andika ikut-ikutan menyelak, "Sebaiknya kita cepat ke sana, Ki!"
Mereka beranjak lagi. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki.
*** Cempaka tiba di desa yang saat ini masih sepi.
Biarpun sudah cukup aman dari kabut beracun, penduduk masih belum berani
kembali. Setelah mencari-cari beberapa lama, barulah dia menemukan Lelaki
Berbulu Hitam di balai desa.
"Mana Kang Andika, Orang Tua?" tanya wanita itu pada Lelaki Berbulu Hitam yang
masih khusuk bersemadi.
Tak ada sahutan. Lelaki Berbulu Hitam tetap tak bergeming. Kepalanya menopang ke
tanah. Sedangkan kakinya menjulur lurus ke atas. Sementara, kedua tangannya
menyangga di kedua sisi untuk menjaga keseimbangan.
"Kang Andika di mana?" ulang Cempaka, lebih keras.
"Aku sedang bersemadi. Aku tak mendengar ucapanmu," jawab Lelaki Berbulu Hitam,
akhirnya. Matanya tetap terpejam, tanpa merubah sikap tubuhnya.
"Aku tahu kau sedang bersemadi, Orang Tua. Tapi aku harus bertemu Kang Andika
secepatnya," tegas
Cempaka. Lelaki Berbulu Hitam tak menyahuti lagi. Keadaannya seperti mayat. Tentu saja
hal ini membuat Macan Hitam Betina jadi demikian dongkol. Padahal, keadaannya
sedang dalam bahaya besar, karena Pendagel Setan masih memburunya. Sebentar
lagi, tentu manusia sesat itu akan sampai juga. Tapi, manusia jelek satu ini
malah menganggapnya nyamuk pengganggu semadi.
"Sialan...," maki Cempaka, menggerutu.
Sebal bukan main wanita ini. Dengan sedikit usil, hendak didepaknya satu tangan
penyanggah keseimbangan tubuh Lelaki Berbulu Hitam.
"Hih!"
Sapuan kaki pendekar wanita yang masih hijau di dunia persilatan itu tak
menghasilkan apa-apa.
Jangankan bisa menjatuhkan tubuh terbalik si manusia setengah serigala.
Menyentuh tangannya saja, tidak. Karena, Lelaki Berbulu Hitam cepat mengangkat
tangannya. Cempaka makin sebal. Dia masih punya
kesempatan mengusili Lelaki Berbulu Hitam cepat terjaga dari semadi anehnya.
Satu tangan lain yang masih menyangga tubuh Lelaki Berbulu Hitam akan disapunya
juga. Siapa tahu, kali ini berhasil.
Wukh! Macan Hitam Betina gagal lagi. Seperti tadi, Lelaki Berbulu Hitam lebih cepat
mengangkat tangannya.
Sekarang tubuhnya terbalik tanpa topangan tangan satu pun. Kedua tangannya sudah
bersidekap di depan dada. Hanya kepalanya saja yang jadi penyanggah ke lantai
balai desa. Keliru kalau Macan Hitam Betina menganggap remeh manusia satu itu. Sejauh ini,
Cempaka memang belum tahu secara jelas, siapa Lelaki Berbulu Hitam sesungguhnya.
Jangankan kedigayaan.
Usianya saja sudah bertaut terlalu jauh. Seperti jauhnya mata kaki dengan mata
kepala. Andika yang memiliki kesaktian tangguh saja, masih berpikir bolak-balik
untuk berurusan dengan manusia setengah serigala itu!
Dua kali gagal, menyebabkan Cempaka makin sebal saja melihat Lelaki Berbulu
Hitam. Tenaga dalamnya cepat dikerahkan. Akan dihentaknya tubuh terbalik itu
dengan sepenuh tenaga. Biar terjengkang sekalian. Demikian pikir Cempaka lagi.
Deb! Begitu tenaga dorongan wanita itu meluruk deras ke sepasang kaki, Lelaki Berbulu
Hitam tiba-tiba mencelat.
Duk! Duk! Duk! Sinting! Manusia kurang waras itu melompat-lompat dengan kepalanya!
"Ada apa ini! Kenapa kau berani-beraninya mengusik semadi Lelaki Berbulu Hitam"!
Apa sudah bosan hidup"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam meledak-ledak, sesudah
membalikkan tubuh.
"Maaf, Orang Tua. Aku terpaksa melakukannya.
Aku ingin bertanya padamu, di mana Kang Andika?"
ucap Cempaka, bergegas. Hatinya ngeri juga melihat wajah berang menakutkan
lelaki yang berdiri di depannya.
"Siapa Andika"!"
"Siapa Andika?" gumam Cempaka terheran-heran.
Masa' kawan sendiri dia tidak tahu"
"Andika," ulang Cempaka menegaskan. Barangkali saja laki-laki ini salah dengar.
"Aku dengar kau bilang Andika! Tapi, siapa
Andika"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam berkoar lagi.
Cara bicaranya seperti sedang terjadi gempa bumi di tempat itu.
"Andika.... Masa' kau tidak tahu, Orang Tua"
Pemuda yang sering kau panggil Tuan Penolong?"
"Ooo, Tuan Penolong?"
Nada bicara Lelaki Berbulu Hitam melandai. Kalau sudah dengar nama itu, dia jadi
mesti ngotot menahan keberangannya.
"Ya, betul! Ke mana dia"!" gegas Cempaka.
Waktunya makin mendesak.
"Aku tak tahu. Aku sedang bersemadi ketika dia di sini bersama si kerempeng
jelek itu."
Cempaka mendesah. Semakin tipis harapannya untuk bisa lolos dari tangan Pendagel
Setan. Dia percaya dan yakin, hanya Andika yang bisa menghadapi manusia sesat
itu. "Ah! Rupanya kau di sini, Nona Ayu!"
Kekhawatiran perempuan itu terbukti sudah.
Pendagel Setan kini benar-benar muncul di gerbang balai desa!"
"Jangan mengira kau bisa lolos dengan mudah dariku, Nona Ayu," kata Pendagel
Setan seraya melangkah perlahan, mendekati Macan Hitam Betina.
"Siapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam pada Cempaka, sambil melirik Pendagel Setan.
Perempuan cerdik ini cepat memutar otaknya. Dan secepat itu pula didapatnya.
"Dia musuh Tuan Penolong, Orang Tua!" tunjuk Cempaka penuh keyakinan, supaya
mendapat bantuan lelaki berperawakan menyeramkan di dekatnya.
"Bagus! Sejak kemarin aku memang ingin sekali meremukkan batok kepala seseorang.
Tapi, selalu gagal...," sambut Lelaki Berbulu Hitam, melegakan Macan Hitam Betina.
"He-he-he! Kau pikir dirimu siapa, Orang Jelek?"
leceh Pendagel Setan.
Sama seperti Macan Hitam Betina, lelaki itu pun tak begitu jelas mengenal Lelaki
Berbulu Hitam. Dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan besar.
Yakni telah mengusik naga tua yang lama tak membuat kegemparan semenjak masa
jayanya puluhan tahun silam!
Lelaki Berbulu Hitam maju dengan langkah yang menggetarkan balai desa. Kalau
taringnya sudah diperlihatkan, berarti siap mengepruk batok kepala seseorang
dengan kepalan sebesar kelapa!
"Sebaiknya kita menghadapi berdua, Orang Tua...,"
aju Macan Hitam Betina.
Cempaka menganggap Lelaki Berbulu Hitam
termasuk bukan tandingan Pendagel Setan. Kalau dihadapi berdua, mungkin mereka
masih punya sedikit kesempatan untuk mengalahkan.
Lelaki Berbulu Hitam melirik dengan bola mata mendeliki perempuan ayu itu.
"Kau hendak menghinaku anak perawan bau kencur"!" hardik lelaki keturunan
serigala ini menggelegar. "Kau pikir aku tak sanggup mengorek isi kepala si muka
arang ini dengan tanganku sendiri"! Grrr...."
Cempaka mengangkat bahu. Kalau maunya begitu, mau bilang apa"
"Kau tak menyesal kalau seluruh bulumu kubuat rontok"!" ledek Pendagel Setan,
pongah. Lelaki Berbulu Hitam sudah tak mau banyak bacot lagi. Dia juga tak mau berkelahi
seperti anak kemarin sore. Apalagi sampai bertukar jurus segala macam.
Kalau mau menentukan siapa yang unggul, mesti langsung adu kesaktian!
Dreg! Tanah balai desa kembali bergemuruh manakala Lelaki Berbulu Hitam membuat kuda-
kuda dengan menghentak kakinya. Kedua kakinya setengah mem-bentang, dan agak
tertekuk ke dalam. Tangannya membuka ke depan dengan telapak mengepal kuat-kuat.
Begitu membuat gerakan ke atas seraya memalangkan pergelangan tangan, tercipta
bunyi gemeretak tulangnya, disusul lolongan dari mulut Lelaki Berbulu Hitam yang
bagai serigala di tengah malam buta.
Debh! Sekelebat tangan Lelaki Berbulu Hitam menghentak ke depan. Saat itu juga menderu
angin pukulan tajam berdesing, mirip suara lempengan baja yang disabetkan ke
udara. "Swing!"
"Uts!"
Kalau saja Pendagel Setan tak cepat-cepat membuang tubuh jauh-jauh ke atas, tak
disangsikan lagi kepalanya akan terbelah dua. Dan otaknya akan benar-benar
terkuras dari tempurungnya!
Lompatan yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi membuat tubuh Pendagel Setan
meluncur deras.
Atap balai desa jebol seketika. Di atas wuwungan, lelaki sesat itu kini berdiri
dengan wajah pias.
Pendagel Setan benar-benar dibuat terkesiap oleh serangan Lelaki Berbulu Hitam
barusan. Belum lagi terkena angin serangan itu. Mendengar bunyinya saja,
telinganya sudah begitu pedih.
Namun, bukan itu yang membuat Pendagel Setan terkesiap. Masalahnya dia pernah
mendengar selentingan pukulan khas itu. Pukulan yang hanya dimiliki satu-satunya tokoh
kawakan kelas atas yang malang melintang puluhan tahun silam. Tokoh yang bisa
dibilang salah seorang sesepuh dunia persilatan.
"Tinju Raja Serigala!" desis Pendagel Setan. Lelaki sesat ini yakin sekali
dengan dugaannya. Dari cara Leaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda, suara
pukulannya, juga lolongan tadi, amat cocok dengan gambaran selentingan yang
didengarnya. Mata lelaki itu menyipit ketat. Wajahnya menegang.
"Keparat! Kalau begitu, aku telah berhadapan dengan Lelaki Berbulu Hitam!" rutuk
Pendagel Setan.
"Kenapa bangkotan itu belum mati juga" Kata Nyai Wangkil, dia berusia tua. Tapi
kenapa seperti baru berusia empat puluhan" Apa guru salah"
Seruntun pertanyaan bergeliat di benak Pendagel Setan.
Brask! Tanpa sempat mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya, Pendagel Setan
dipaksa bersiap kembali. Lawan bertubuh tinggi besar berbulu lebat itu telah
menyusulnya menerobos atap balai desa.
Wuwungan bertebaran ke mana-mana, mengiringi munculnya Lelaki Berbulu Hitam.
Mereka kini saling berhadapan. Lelaki Berbulu Hitam terus menggeram-geram. Kuda-
kudanya tak berubah seperti sebelumnya.
"Menurut guruku, kau pasti Lelaki Berbulu Hitam, tokoh tua yang menggemparkan
dunia persilatan puluhan tahun silam itu," duga Pendagel Setan.
"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa, kah"!
Dengan kutu busuk"!"
"Bagus! Dengan begitu, aku bisa membuktikan
pada dunia persilatan bahwa akulah yang pantas menjadi raja di raja dunia
persilatan! Aku akan mengenyahkanmu, Lelaki Berbulu Hitam! Seperti aku akan
menundukkan Pendekar Slebor! He-he-he!" kata Pendagel Setan, sesumbar.
"Siapa Pendekar Slebor"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, tak mengerti.
*** 10 Pendekar Slebor dan Ki Patigeni tak menemukan Cempaka di tempat yang dituju.
Padahal, di tempat inilah dara ayu itu bisa ditemukan. Tempat pembuangan tanah
langka dan aneh itu sepi-sepi saja.
Keadaannya kacau balau. Sewaktu mereka
memeriksa, Andika menemukan bekas serbuk pupur Cempaka.
"Sepertinya, baru saja terjadi pertarungan di tempat ini, Ki," nilai Andika.
"Benar. Aku pun berpendapat begitu," dukung Ki Patigeni. "Tapi, kenapa tak ada
darah" Hanya terlihat sedikit kacau di tempat ini...."
"Ya! Karena tak ada yang terluka dalam pertarungan itu."
"Maksudmu?"
Andika menyodorkan tangannya. Di ujung jari telunjuknya ada bekas serbuk pupur.
"Ini pupur wanita, Ki. Tertabur di sekitar tempat itu."
Andika pun lantas menunjuk tempat Pendagel Setan berdiri sebelumnya.
"Kalau pupur ini berhamburan tak disengaja, kenapa hanya tersebar di sekitar
situ saja?" sambur Andika.
"Artinya?"
"Aku yakin, Cempaka berhasil melarikan diri dengan siasat serbuk pupur ini,"
duga Andika yakin.
Ki Patigeni mengangguk-angguk. "Ya-ya. Aku mengerti sekarang," gumam orang ini
Sementara itu benak Ki Patigeni memuji ke-enceran otak si anak muda urakan ini.
Sejenak dia jadi teringat ketika bekerja sama dengan Pendekar Slebor dalam
memecahkan teka-teki Ratu Racun.
Andika pun dapat membuat dugaan yang cemerlang seperti sekarang.
"Masalahnya sekarang, ke mana Cempaka melarikan diri" Lalu, apakah dia bisa
meloloskan diri dari kejaran Pendagel Setan?" tanya Andika bimbang serta cemas.
"Apa tidak mungkin dia kembali ke desa, Andika?"
tanya Ki Patigeni.
"Kembali ke desa?"
"Mungkin dia merasa butuh pertolongan. Bukankah dia tahu kalau kau adalah
pendekar muda besar itu?"
Andika meringis. Sempat-sempatnya dia begitu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke sana, Ki!"
"Kau, bukan kita," tukas Ki Patigeni.
"Maksudmu, Ki?" tanya Andika heran.
"Aku harus berusaha mencari dia di sekitar hutan ini. Hanya untuk menjaga
kemungkinan kalau gadis itu belum kembali ke desa," tandas Ki Patigeni.
Sekarang giliran Andika memuji kecemerlangan otak Ki Patigeni dalam hati.
*** Sementara itu, sabung keunggulan antara
Pendagel Setan melawan Lelaki Berbulu Hitam memasuki keadaan panas. Menghadapi
lelaki keturunan serigala itu, Pendagel Setan baru kena batunya.
Tokoh bangkotan itu memang bukan sembarang lawan buatnya. Meskipun Pendagel
Setan memiliki kehebatan menggemparkan belakangan ini, namun masih tergolong orang baru dalam
dunia persilatan.
'Tinju Raja Serigala' milik Lelaki Berbulu Hitam tak henti-hentinya berdesing,
mengepung lelaki sesat tak berbelas itu dari segala sudut. Lesatan tenaga dalam
pukulan Lelaki Berbulu Hitam begitu cepat, membuat Pendagel Setan benar-benar
kelimpungan kian kemari.
Memang, pada masa jayanya dulu, Lelaki Berbulu Hitam amat kesohor dengan


Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecepatan geraknya yang selincah dan segesit serigala. Tokoh-tokoh seangkatan
yang menjadi saingannya seperti Pendengar Dungu (Pernah bertemu di episode :
"Manusia Dari Pusat Bumi") hanya memiliki kelebihan pada tenaga dalamnya. Bukan
kecepatannya. Swing! Masih melenting-lenting ringan dari wuwungan ke wuwungan lain. Lelaki Berbulu
Hitam terus bersemangat menggempur Pendagel Setan dengan seruntun tinju jarak
jauhnya. Setiap kali melesat dari sasaran, pasti ada yang jadi korban. Kalau
tidak pepohonan terbelah menjadi dua seperti baru saja dihantam kapak raksasa,
bisa juga ubun-ubun rumah oran lain. Untung saja, saat itu keadaan desa kosong
melompong. Kalau penduduk masih ada di sana, apa jadinya"
Dan setiap kali Pendagel Setan berhasil mengelak dari tinju berhawa maut, setiap
kali pula kulitnya terasa pedih. Padahal, jarak elakan yang diambilnya sudah
cukup jauh dari angin 'Tinju Raja Serigala'.
Kalau saja wajah lelaki tak berbelas itu tidak dicorengmorengkan, tentu paras
keterkejutannya sudah nampak jelas.
Di bawah mereka, Cempaka, si pendekar wanita
sok hebat ini tertegun-tegun menyaksikan pertarungan di atas. Dia dipaksa
berdecak berkali-kali.
Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini menyaksikan pertarungan yang
demikian memukau.
Sungguh tak disangka, manusia menyeramkan yang nampaknya hanya punya adat besar
itu ternyata memiliki kesaktian yang sanggup membuat Pendagel Setan kelimpungan.
Dan Cempaka semakin kagum dalam hati. Menyesal dia sudah mengusilinya. Kalau
tidak, bisa saja dia meminta orang tua bertampang dedemit itu mengajarinya
beberapa ilmu simpanan.
Deb-deb! "Grrhhh!"
Sadar dirinya berada dalam keadaan tidak menguntungkan kalau terus terdesak.
Pendagel Setan mulai berusaha mengimbangi serangan liar Lelaki Berbulu Hitam.
Sambil melenting indah ke atap lain, dia lepasnya pukulan jarak jauh di udara.
Bagi Lelaki Berbulu Hitam, serangan awal Pendagel Setan tidak berarti apa-apa.
Dia mudah sekali bisa mementahkannya. Bahkan dengan cara memapak telak-telak
dengan telapak tangan berkuku panjangnya!
Des! "Grhh.... Ha-ha!" Lelaki Berbulu Hitam tertawa menyaksikannya.
Pamer kekuatan dia!
Tapi apa dengan begitu, Pendagel Setan akan mudah dipecundangi" Benarkah"
Pertanyaan Lelaki Berbulu Hitam tak mendapatkan jawaban memuaskan. Sebaliknya.
Pendagel Setan justru tengah mempersiapkan serangan maut berbahaya. Ilmu
simpanan yang telah berhasil di-sempurnakan saat di Padang Mega Racun akan diuji
coba pada Pendekar Slebor.
Dalam beberapa tarikan napas, sepasang tanga lelaki sesat itu membuat gerakan
teratur, bertenaga dan cepat. Setiap perubahan tangannya, meninggalkan bentuk
bayangan seperti kepak sayap seekor burung raksasa.
Werrr...! Pada saatnya, pusaran angin besar tercipta pada ujung sepasang tangan Pendagel
Setan. Angin yang membentuk puting beliung, merangsak angkasa membabibuta.
Sebenarnya, ilmu itu kurang sempurna jika dikerahkan di luar Padang Naga Racun.
Inti racun yang semestinya bisa diserap melalui angin puting beliung, tak akan
terjadi di tempat lain. Namun bukan berarti bahaya pukulan andalan Pendagel
Setan ini akan berkurang.
Menyaksikan gerakan khas yang dilakukan
Pendagel Setan, wajah Cempaka di bawah sana mendadak berubah. Garis-garis
kekhawatiran men-jalar cepat. Di mulutnya mendesis tak kentara di antara gemuruh
amukan puting beliung ciptaan Pendagel Setan.
"Heaaa...!"
Manakala Pendagel Setan melontarkan segenap kekuatan tenaga pukulan
pamungkasnya, tanpa dapat dimengerti Cempaka melenting mendekati dua lelaki di
atas wuwungan. "Pak Tua, menyingkir!" seru Cempaka pada Lelaki Berbulu Hitam di udara.
Lelaki Berbulu Hitam terperangah. Pada saat yang sama, Pendagel Setan telah
melepas pukulannya.
Wush! Meskipun otak Lelaki Berbulu Hitam sering tak
sehat, tapi dalam keadaan seperti itu, nalurinya bisa merasakan bahaya yang siap
menelan bulat-bulat Cempaka.
Tanpa memikirkan akibatnya, Lelaki Berbulu Hitam menyergap tubuh Cempaka.
Dash! Namun usaha itu ternyata mesti dibayar dengan mahal. Punggung berotot Lelaki
Berbulu Hitam langsung menjadi santapan empuk pukulan
pamungkas lawan!
Cempaka selamat. Namun Lelaki Berbulu Hitam tidak. Dia terlempar amat jauh.
Begitu tiba di tanah, tubuhnya mengejang, lalu terkulai.
Mengapa Cempaka melakukan tindakan bodoh tadi"
*** Begitu matahari tenggelam sebagian, Andika sampai di Desa Wetan. Balai desa yang
semula ditinggalkan dalam keadaan utuh, kini sudah porak-poranda tak karuan.
Bangunan itu seolah baru saja disapu angin puting beliung. Potongan-potongan
atap rumbia berserakan di mana-mana. Kayu-kayu dinding bangunan pun sebagian
telah luruh. "Sialan! Dedemit buduk mana yang baru saja mengamuk!" rutuk Andika.
Bergegas Andika berlari memasuki balai desa.
Sama seperti keadaan di luar bangunan, bagian dalamnya pun sudah tak karuan
lagi. Di dalam sana, tubuh Lelaki Berbulu Hitam ditemukan tengah ter-golek.
"Pak Tua Bulu! Kau tak apa-apa"!" tanya Pendekar Slebor, tercekat.
Andika mendekat. Lelaki Berbulu Hitam dilihatnya bergemik.
"Oh, Tuan Penolong.... Kukira siapa," sambut Lelaki Berbulu Hitam payah.
Sudut bibir lelaki keturunan serigala ini masih dialiri darah. Dia berusaha
bangkit. Karena masih lemah, dia terjatuh lagi. Andika pun membantu menopangnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Andika.
"Orang bermuka arang, Tuan Penolong. Dia datang ke sini tanpa izin. Lalu
menantangku berkelahi tanpa izin pula. Sial! Dasar manusia sial! Ukh-ukh!"
"Pendagel Setan?" gumam Andika. "Bagaimana bisa orang itu mengalahkan Lelaki
Berbulu Hitam yang kesaktiannya masih sulit dicari tandingan hingga sekarang?"
Andika kian dibuat penasaran. Kalau begitu, seberapa tinggi tingkat
kesaktiannya"
"Kenapa orang itu bisa ke sini?"
"Orang yang mana"!" Lelaki Berbulu Hitam malah balik bertanya.
"Yang mana lagi, Pak Tua Bulu. Bukankah kau tadi sedang membicarakan orang
bermuka arang"!" tukas Andika, agak jengkel juga.
"O, itu. Kukira Tuan Penolong menanyakan perempuan bau kencur itu...," tutur
Lelaki Berbulu Hitam terseok-seok.
"Siapa maksudmu?"
"Tuan Penolong ini bagaimana" Aku harus jawab yang mana dulu" Pertanyaan pertama
tadi atau yang kedua"!" tukas Lelaki Berbulu Hitam. Biar sudah payah, sifat
berangnya masih juga tak soak.
Andika maklum. "Ceritakan semuanya!" ujar Andika, mengambil jalan singkat. Biar jadi tak
bertele-tele lagi.
Lelaki Berbulu Hitam pun menceritakan sejelas-jelasnya tentang kejadian belum
lama. Juga tentang kedatangan Macan Hitam Betina yang disebutnya perawan bau
kencur. Kemudian tak ketinggalan laporan pertarungannya dengan Pendagel Setan.
"Sekarang ke mana wanita itu?" tanya Andika cepat sebelum Lelaki Berbulu Hitam
menamatkan cerita yang seperti tak mau tamat-tamat itu.
"Wanita yang mana?"
Lagi-lagi Lelaki Berbulu Hitam bertanya tanpa juntrungan.
"Perawan bau kencur itu," jelas Andika.
"O. Dia...."
"Ke mana dia"!" bentak Andika.
"Diboyong," jawab manusia setengah serigala itu, singkat.
"Oleh Pendagel Setan?"
"Siapa Pendagel Setan?"
"Biang kunyuk!" maki Andika dalam hati.
Manusia berbadan bongsor satu ini sepertinya hanya kenal orang dari sebutan yang
diberikan oleh bacotnya sendiri.
"Lelaki bermuka arang itu!" tegas Andika untuk kesekian kali menegaskan.
"O, iya!"
"Ke mana"!" '
Lelaki Berbulu Hitam menggeleng. Andika berang.
Dihantamnya lantai balai desa. "Kalau terjadi apa-apa pada perempuan itu, kau
akan kukuliti, manusia busuk keparat!" geram Andika digebah kemurkaan.
Betapa Andika tahu kalau Pendagel Setan tak akan mempersoalkan siapa yang
dibunuhnya, meski seorang pendekar wanita tak punya nama sekali pun.
Lebih dari itu, dia bahkan tega membunuh bocah tak
berdosa! "Siapa manusia busuk"!" sela Lelaki Berbulu Hitam.
Setelah itu laki-laki ini terjeringkang kembali, ketika Andika menotok jalan
darahnya. Mata Pendekar Slebor kini tertumbuk pada tulisan buruk di potongan dinding balai
desa. Tulisan itu rupanya berisi tantangan dari Pendagel Setan.
Andika mendekati. Lalu dibacanya tulisan itu.
O-hooo, Pendekar Slebor!
Tentu kau terkejut mendapati kenyataan yang baru saja kau saksikan, bukan"
Jangan terkejut.
Siapa tahu kau berpenyakit jantung dan mati karenanya. He-he-he!
O, iya. Aku pinjam dulu kawan barumu yang ayu ini. Kau boleh mengambilnya pada
akhir pekan ini.
Tempatnya di Padang Mega Racun. Kalau kau terlambat mengambilnya, jangan
salahkan kalau perempuan itu.... He-he-he!
Kau belum tahu tempat itu, bukan" Jangan bingung atau ragu. Kau bisa mengikuti
burung-burungku yang akan datang menjadi petunjuk jalanmu pada hari pertemuan
kita. Kuharap pertemuan itu berlangsung dengan mesra!
Pendagel Setan "Mesra, tai kucing!"
Andika menghajar dinding kayu yang bertuliskan pesan yang digurat oleh tangan
Pendagel Setan.
Kalau sebelumnya tantangan hanya bersifat desas-desus mulut ke mulut, kini
Andika mendapatkan
kepastian tantangan manusia sesat tak berhati itu.
"Bagus! Aku memang ingin sekali menghancurkan wajah jelekmu itu!" geram si anak
muda dari Lembah Kutukan, sambil menghantam telapak tangan dengan tinju sendiri.
*** Padang Mega Racun terus dikepung kabut kelabu pekat mengandung racun ganas. Di
tengah-tengah padang kering-kerontang itu, terlihat panggung ganjil di kejauhan
yang dibangun khusus untuk satu pertarungan maut antara Pendagel Setan dengan
Pendekar Slebor.
Ancaman besar akan dihadapi si anak muda sakti, Pendekar Slebor. Pertama, karena
racun yang menyelimuti seluruh kawasan Padang Mega Racun telah siap merejamnya
begitu Andika mulai mengirup udara di sana. Kedua, kesaktian penantanghya
ternyata berada pada tingkat tokoh kelas atas dunia persilatan. Sebagaimana
tingginya, berum pernah diketahui Andika. Karena selama ini Pendagel Setan tak
pernah sekali pun bertarung dengan Pendekar Slebor.
Yang hanya diketahui Andika, Pendagel Setan nyatanya sanggup mempecundahgi
Lelaki,Berbulu Hitam. Setidaknya, kedigdayaan sang penantang sekelas dengan
Lelaki Berbulu Hitam!
Di samping itu, Pendekar Slebor sama sekali tak mengenal seluk-beluk Padang Mega
Racun, daerah yang bagi lawannya adalah tempat tinggal dan tempatnya
menyempurnakan kesaktian.
Namun lepas dari semua itu, Andika adalah Andika. Kekuatan tekadnya sudah
menjadi sifat yang
tak bisa dihadang. Kalau dia merasa harus datang ke satu tempat untuk satu
kewajiban, maka bagaimana pun bahayanya, akan disatroninya juga.
Dan ketika burung-burung pemakan bangkai milik Pendagel Setan mulai terlihat di
awang-awang sebelah utara desa, Andika pun mengikutinya. Menjelang perjalanan
setengah hari, barulah anak muda itu sampai di gerbang Padang Mega Racun.
Dari gapura masuk yang tersusun dari batok-batok tengkorak manusia setinggi
sepuluh kaki, Andika merasa seperti hendak memasuki alam lain yang begitu asing.
Sepanjang mata memandang melalui gerbang itu yang terlihat berupa kabut kelabu
bergulung-gulung, hamparan tanah hitam kering, pepohonan kerontang merangas.
burung-burung pemakan bangkai, serta susunan tulang manusia yang membentuk
panggung kematian!
Beberapa puluh langkah dari gerbang, udara tempat ini sudah dikuasai racun dan
racun. Dan Andika amat menyadarinya. Lalu, bagaimana dia bisa masuk tanpa
menjadi santapan racun ganas Padang Mega Racun"
Sebelum berangkat ke tempat itu, Andika sempat bertemu Ki Patigeni. Dari orang
tua yang mengenal banyak racun, Pendekar Slebor dibekali sebutir obat pulung
pemusnah racun kabut Padang Mega Racun.
Hanya sebuah. Itu pun hanya bertahan sepertiga hari.
Jika Andika berada lebih lama dari waktu yang ditetapkan, maka akan mati!
Sayangnya, obat pulung itu pun tinggal satu-satunya milik Ki Patigeni setelah
dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun.
Di kejauhan sana, tepatnya di atas panggung tulang-belulang manusia, Pendagel
Setan telah berdiri dengan sikap menantang. Bibirnya tak lekang dari
senyum pongah. "Ayo, Pendekar Slebor! Masuklah ke tempatku!
Kudengar kau memiliki nyali yang begitu besar dalam menghadapi setiap tantangan
maut! Apa kau akan berdiri saja di situ sampai menjadi uzur"!" tantangan
Pendagel Setan membahana.
Andika berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Kemarahannya yang menggelegak-
gelegak dikendalikannya. Dia sudah cukup mengambil pelajaran dalam petualangan-
petualangan mautnya, untuk tidak mengundang maut dengan bertindak mata gelap.
Perlahan dikeluarkannya obat pulung dari Ki Patigeni. Digenggamnya kuat-kuat
sesaat, lalu ditelannya. Kini, dia siap menghadapi Pendagel Setan dengan taruhan
nyawa. Langkah-langkah mantap pun dibuat Andika.
Sedikit demi sedikit, jarak antara pemuda itu dengan sang lawan kian dekat.
Sampai akhirnya, Pendekar Slebor berdiri di sisi panggung ganjil milik Pendagel
Setan calon lawan tandingnya.
"Ayo naiklah! Kenapa kau masih menunggu"!"
Andika tak ingin banyak cakap. Tubuhnya cepat melenting ringan, lalu hinggap di
salah satu tonggak tulang.
"Kita mulai?" tanya Andika datar.
Pendagel Setan menyeringai.
"Kenapa tidak?"
Mereka pun bersiap. Sama-sama membuat kuda-kuda. Sama-sama menyiapkan jurus
pembuka. Pada jarak sekitar tiga tombak, dua lelaki jantan itu berhadapan penuh
ketegangan. Andika tak bisa lagi main-main dengan calon lawannya. Kalau Lelaki
Berbulu Hitam dikalahkan, berarti jurus-jurus atau
kekuatan tenaga dalam tingkat awal miliknya sudah tidak bisa lagi diharapkan.
Itu sebabnya Pendekar Slebor langsung mengerahkan tenaga sakti warisan buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan pada tingkat keenam dari sembilan tingkat yang
dimilikinya. Jurus-jurusnya pun adalah hasil ciptaannya yang dulu pernah diandalkan untuk
menyelamatkan diri dari terjangan hujan petir di Lembah Kutukan. Jurus yang
dapat membentuk benteng cahaya putih di sekujur tubuhnya, akibat pengerahan
tenaga dalam pada tingkat puncak.
"Hiaaa!"
Berbareng teriakan menggetarkan seluruh Padang Mega Racun, Pendekar Slebor
meluruk ke arah Pendagel Setan. Jurus mengubak hujanan petir memagari dirinya,
sekaligus mengancam lawan dari segenap penjuru.
Deb! Deb! Dua tinju beruntun hendak disarangkan pendekar muda dari tanah Jawa itu ke arah
kepala dan dada Pendagel Setan. Tinju beruntun mematikan, yang mungkin dapat
melumatkan karang paling keras yang pernah ada di bumi!
Namun Pendagel Setan memiliki ketajaman peng-lihatan untuk mengetahui arah
pukulan Pendekar Slebor. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah
memapakinya. Hanya saja dia harus tepat meng-empos tenaga dalam ke sepasang
tangannya. Sebab, kesalahan pernitungan bisa berakibat maut! Apalagi pukulan


Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertenaga dalam pendekar muda dari Lembah Kutukan sudah bukan cerita kosong
lagi. Bahkan sejak buyutnya sendiri, Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi cerita
rakyat, pukulan itu telah
begitu ditakuti.
Das! Das! Perhitungan Pendagel Setan kali ini tak jauh meleset. Pengerahan tenaga
tangkisan di kedua tangannya nyatanya cukup untuk menahan tinju Pendekar Slebor
agar tak meredamkan kepala serta dadanya. Namun begitu, bukanlah berarti luput
dari akibatnya.
Deras juga tubuh Pendagel Setan terdorong ke belakang. Runcingnya tonggak-
tonggak tulang-belulang pembentuk panggung akan merejamnya kalau sedikit saja
keseimbangannya hilang.
Beruntung, seluruh petak-petak tulang telah disusunnya demikian rupa. Seluruh
sela bangunan ganjil itu diketahuinya betul, hingga dia pun tahu di mana harus
berpijak. Tep! Ringan sekali kaki Pendagel Setan menjejak ujung paling barat tonggak tulang.
Sebentar tubuhnya limbung, selanjutnya bisa menguasai keseimbangan lagi.
"Hebat! Hebat!" puji Pendagel Setan, nampak lebih mirip sebagai ejekan.
Andika hanya mencibir. Jurus-jurus kembangan
'Mengubak Hujanan Petir' masih dikerahkannya.
Perlahan, tubuh kekar pemuda itu mulai diselubungi sinar putih keperakan,
seperti kabut bercahaya.
Dimulai dari sekujur tangannya yang terus bergerak hingga membentuk bayangan
ganda. Menyusul, sepasang kakinya. Hingga akhirnya, seluruh badan pemuda itu
benar-benar diselimuti kekuatan sakti tenaga warisan Pendekar Lembah Kutukan!
"Saatnya kau akan mampus, manusia tak berhati!"
desis Andika sarat ancaman.
"Hiaaa!"
Berikutnya, sosok pemuda sakti itu bagai menjelma menjadi bayangan liar. Tubuh
Pendekar Slebor terus meluruk secepat kilat menuju Pendagel Setan di ujung
panggung ganjil.
Sebelumnya, Pendagel Setan pun telah mempersiapkan ilmu pamungkasnya yang baru
saja di-sempurnakan. Pukulan yang sanggup menyerap inti racun dalam kabut kelabu
di atas sana. Saat sosok Pendekar Slebor berkelebat, tangan Pendagel Setan tak kalah cepat
mengepak bagai irama sayap burung pemakan bangkai. Angin raksasa dari kedua
tangannya menyeret segenap racun dahsyat gulungan kabut racun.
Dan.... Dash! Terjadi benturan. Amat keras! Sehingga mampu membuat seluruh batang pepohonan
kering menjadi retak terkena getarannya.
Seketika gerombolan burung pemakan bangkai berhamburan ke udara. Sebagian
terbang dengan limbung penuh luka. Namun lebih banyak mati seketika, dengan
tubuh hancur berserpih!
Usai adu tenaga itu, dua sosok tergeletak tanpa gerak. Satu tubuh Pendekar
Slebor, yang lain tubuh Pendagel Setan.
Siapa yang menemui ajal"
Sulit menentukan bila menilik keadaan mereka.
Pakaian keduanya terkoyak-koyak. Sebagian kulit pun begitu. Darah hitam kental
mengalir lamban dari seluruh pori-pori keduanya.
Lama keadaan itu berlangsung.
Menilik keadaan Pendagel Setan, ternyata lebih parah. Kedua tangannya hancur
dengan dada terkoyak. Sementara dada Pendekar Slebor masih turun naik, walaupun begitu lalu
Andika pingsan.
Padahal dia harus segera meninggalkan Padang Mega Racun secepatnya. Pengaruh
obat pulung penawar yang diberikan Ki Patigeni beberapa saat lagi akan punah.
Menjelang saat-saat segenap kekuatan racun menerobos tubuh Pendekar Slebor yang
hampir kehilangan pemunah, mendadak sepasang tangan halus meraih tubuhnya.
Diangkatnya tubuh Andika, lalu dipapahnya.
Orang itu adalah Cempaka.
Penuh teka-teki, perempuan yang tak terlihat seperti baru saja menjadi tawanan
itu berkata samar.
"Kakak seperguruanku itu memang lebih baik mati, Kang Andika. Dia terlalu
serakah dalam menyempurnakan ilmu, sehingga telah membuatnya kehilangan akal
sehat. Lupa segalanya.... Aku semula memang sudah yakin kalau Pendagel Setan
adalah kakak seperguruanku sendiri yang tak lain Kaladewa, walaupun wajahnya
dicoreng-moreng yang membuat aku sedikit pangling. Hm..., jadi dia memakai
julukan Pendagel Setan.
Siapa sesungguhnya Cempaka"
Pendekar berpengamatan jeli macam Pendekar Slebor sekalipun. akan terperangah
jika tahu kalau Cempaka ternyata adik seperguruan Pendagel Setan!
Sejak lelaki sesat itu berhasil menyempurnakan ilmunya, otaknya jadi tak waras.
Kalau sedang dilanda kegilaan, Pendagel Setan tak bisa lagi mem-bedakan apa-apa.
Tidak kebenaran. Tak pula kebatilan. Bahkan adik seperguruannya sendiri
terlupakan. Apalagi mengenali.
Cempaka waktu berusia sepuluh tahun juga murid
Nyai Wangkil selain Kaladewa yang berusia lima belas tahun. Nyai Wangkil sendiri
adalah tokoh hitam yang lima belas tahun lain menyebar petaka di Desa Wetan.
Perbuatannya, persis dengan apa yang dilakukan Pendagel Setan.
Begitu tumbuh menjadi seorang gadis, agaknya pikiran jernih Cempaka terbuka,
bahwa gurunya ternyata adalah tokoh sesat. Ini benar-benar bertolak belakang
dengan jiwanya.
Pada usia tujuh belas tahun, Cempaka melarikan diri dari Nyai Wangkil. Gadis itu
lantas berguru di Blambangan pada seorang tokoh alirah putih. Baru begitu
menginjak dewasa, dia turun ke dunia persilatan, sampai akhirnya tanpa diduga
bertemu Kaladewa yang berjuluk Pendagel Setan.
Dari gerak silat Kaladewa, Cempaka ingat betul itu adalah jurus-jurus yang
diturunkan Nyai Wangkil.
Sampai akhirnya Cempaka semakin yakin, setelah melihat sepak terjang Kaladewa
terhadap penduduk Desa Wetan. Suatu tindakan yang sama persis dengan apa yang
diperbuat Nyai Wangkil lima belas tahun yang lalu. Apalagi, kemudian Kaladewa
membawanya ke Padang Mega Racun, tempatnya waktu kecil.
Sejak kecil, Cempaka sudah meminum semacam ramuan yang membuatnya dengan leluasa
memasuki Padang Mega Racun. Itu sebabnya, ketika dia diculik Pendagel Setan,
keadaannya biasa-biasa saja.
Untungnya juga, Pendagel Setan lupa kalau yang diculik adalah adik
seperguruannya sendiri.
Nyai Wangkil pun pernah bercerita, kalau terlalu banyak ilmu yang diserap, akan
menyebabkan orang jadi edan. Cempaka ingat betul. Maka dia semakin takut berguru
pada Nyai Wangkil.
Cempaka terus melangkah, keluar dari Padang Mega Racun. Ada satu kebanggaan
dalam dirinya, bisa menyelamatkan Andika. Paling tidak pemuda urakan ini nanti
tak akan menganggap sok tahu lagi.
SELESAI Serial Pendekar Slebor selanjutnya :
SENGKETA DI GUNUNG MERBABU
Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Durjana Pemenggal Kepala 1 Joko Sableng Sekutu Iblis Gadis Penyebar Cinta 1
^