Pencarian

Sengketa Di Gunung Merbabu 1

Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Bagian 1


SENGKETA DI GUNUNG MERBABU Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Sengketa Di Gunung Merbabu
128 hal. 1 Kabut seperti biasa, uap air itu selalu ber-
gerak bagai tirai di Gunung Anjasmoro. Dinginnya menyengat tubuh. Malah sampai
menggigit tulang
bila tidak terbiasa berada di sekitar gunung itu.
Pagi ini tidak seperti biasanya. Ramai sekali. Murid-murid Partai Gunung
Anjasmoro yang bi-
asanya setiap pagi berlatih ini tampak berjejer da-ri mulai lereng jalan
setapak, hingga ke bangunan besar tempat mereka tinggal.
Jumlah murid di Partai Gunung Anjasmoro
yang sekitar lima puluh orang, rata-rata berpa-
kaian putih dengan senjata sebilah pedang tipis
tersampir di punggung. Semua berada dalam
keadaan tegap seperti patung. Beberapa orang
menunggu di bangunan berbentuk semacam pen-
dopo, yang bertonggak dari kayu untuk menahan
atap. Untuk tiba di sana, harus menaiki undakan
yang berjumlah lima buah.
Umbul-umbul lambang kebesaran Partai
Gunung Anjasmoro telah menari-nari dihembus
angin pagi. Meskipun kabut masih tebal dan din-
gin yang sangat terasa, tetap tak mengurangi ke-
giatan itu. Memang pagi ini, Ki Lingkih Manuk Ketua
Partai Gunung Anjasmoro akan menerima keda-
tangan empat ketua dari partai gunung lainnya.
Walau telah berusia kira-kira enam puluh tahun,
namun tubuh Ki Lingkih Manuk masih tegap.
Dengan pakaian hitam yang di pinggangnya meli-
lit sebuah ikat pinggang berwarna putih, dia ma-
sih cukup terlihat gagah. Rambutnya tergerai
panjang. Wajahnya memang mulai berkeriput,
namun tak mengurangi kewibawaannya. Sudah
dua puluh tahun dia memimpin Partai Gunung
Anjasmoro. Suasana di perguruan itu begitu ten-
teram. Sehingga murid-murid yang berlatih di sa-
na, begitu menghormati Ki Lingkih Manuk selaku
guru dan ketua mereka. Memang, dalam melatih
murid-muridnya, Ki Lingkih Manuk tidak pernah
membeda-bedakan.
Ki Lingkih Manuk pun mempunyai murid-
murid utama yang terkadang menggantikannya
untuk melatih, bila dia tengah bersemadi. Tidak
sembarangan untuk menjadi murid utama, kare-
na sebelumnya diadakan ujian yang ketat. Bukan
main asal comot saja.
Setelah matahari sepenggalah, datang
rombongan yang berjumlah kira-kira lima belas
orang yang hampir semua bersenjata tombak ber-
pakaian biru. Hanya seorang yang mengenakan
pakaian warna hitam dengan ikat pinggang warna
biru. Dan dia nampak berjalan gagah di depan.
Usianya kira-kira setara dengan Ki Lingkih Ma-
nuk. Rambutnya rapi dengan wajah kelimis. Ka-
kinya melangkah dengan kedua tangan berada di
belakang. Namanya, Ki Danang Gumilar. Dialah
Ketua Partai Gunung Semeru. Mereka datang un-
tuk memenuhi undangan Ki Lingkih Manuk.
Rombongan dari Partai Gunung Semeru
disambut oleh Ki Lingkih Manuk yang berdiri di
atas pendopo dengan hangat.
"Selamat dalang, Saudaraku...," sambut Ki Lingkih Manuk seraya bergegas turun.
Langsung dirangkulnya Ki Danang Gumilar.
Ki Lingkih Manuk segera memerintahkan
dua orang muridnya untuk mengantar Ki Danang
Gumilar ke belakang pendopo, ke sebelah ruan-
gan tertutup yang lelah dihiasi umbul-umbul in-
dah. Makanan dan minuman pun sudah disedia-
kan di atas meja yang berbentuk lingkaran.
Dalam tempo sepeminum teh, muncul se-
rombongan orang berpakaian merah. Di tangan
mereka terlingkar senjata sepasang cakra. Di de-
pan rombongan itu, melangkah seorang laki-laki
gagah bertampang dingin. Pakaian hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah. Wajahnya dipe-
nuhi kumis dan jenggot. Badannya lebih besar
dari Ki Lingkih Manuk dan Ki Danang Gumilar.
Namanya Ki Samundang, Ketua Partai Gunung
Arjuno. Ki Lingkih Manuk pun segera menyambut
dan merangkulnya. Lalu diperintahkannya dua
murid untuk mengantarkan Ki Samundang ke
tempat Ki Danang Gumilar berada.
Kemudian kembali, muncul rombongan
berpakaian hijau. Senjata mereka berupa golok di pinggang masing-masing. Paling
depan melangkah seorang gagah berpakaian hitam dengan ikat
pinggang berwarna hijau. Bibirnya selalu men-
gumbar. Wajahnya nampak ramah dan tenang.
Namanya Ki Kalungkung, Ketua Partai Gunung
Merapi. Seperti yang sudah-sudah, Ki Lingkih Ma-
nuk pun menyambut kedatangan rombongan itu
dengan gembira. Ki Kalungkung pun dibawa ke
tempat Ki Danang Gumilar dan Ki Samundang
berada. Selanjutnya muncul rombongan berpa-
kaian kuning. Di pinggang masing-masing terselip sebuah parang yang bersarung.
Di depan melangkah seorang laki-laki gagah penuh wibawa. Pa-
kaiannya berwarna hitam dengan ikat pinggang
kuning. Kalau rekan-rekannya yang lain ditum-
buhi rambut, orang yang baru datang ini sama
sekali kelimis. Licin tandas alias botak tuntas!
Namanya Ki Redamo Rusa, yang menguasai Partai
Gunung Slamet. Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk menyambutnya
dengan gembira. Kalau tiga tamunya tadi diantar
dua orang muridnya, kini Ki Redamo Rusa sendiri
yang melangkah ke ruang tertutup di belakang
pendopo. Sudah hadir semua tamu yang diundang Ki
Lingkih Manuk. Dan nampaknya, acara yang
memang diadakan akan segera berlangsung.
Sementara di halaman pendopo Partai Gu-
nung Anjasmoro, terlihat lima kelompok murid
dari masing-masing Partai Gunung yang menge-
nakan pakaian berlainan. Semua berdiri tegap,
tanpa ada yang berbicara satu sama lain.
*** Memang pada dua puluh lima tahun yang
lalu, kelima ketua partai itu adalah kakak adik
dalam satu perguruan bernama Partai Gunung
Merbabu. Ketuanya waktu itu Ki Panca Giri. Yang
tertua dalam hal ini adalah Ki Lingkih Manuk,
kemudian disusul Ki Danang Gumilar, Ki Samun-
dang, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa. Mas-
ing-masing diberi keahlian yang berbeda oleh Ki
Panca Giri. Sebelum Ki Panca Giri wafat, telah berpe-
san agar kelima muridnya itu saling bahu-
membahu dalam kebenaran. Dan dia menghen-
daki masing-masing berdiam di lima gunung ber-
lainan, yang berpedoman pada nama Panca Giri.
Artinya lima gunung.
Masing-masing murid itu pun memenuhi
amanat Ki Panca Giri. Mereka membentuk Partai
Gunung dan banyak mengambil murid. Mereka
pun menurunkan keahlian yang berlainan, sesuai
keahlian yang didapatkan masing-masing dari Ki
Panca Giri. Sehingga perbedaan satu sama lain
bisa dilihat dari senjata yang dimiliki anak murid lima Partai Gunung itu.
Setiap lima tahun sekali, mereka selalu
bertemu di Puncak Gunung Merbabu. Banyak
yang dibicarakan, dan banyak pula yang direm-
bukkan. Kalau dalam pertemuan ini diadakan di
kediaman Ki Lingkih Manuk, sudah bisa dipasti-
kan ada suatu hal penting yang bakal dibicara-
kan. Ki Lingkih Manuk mengedarkan pandan-
gan pada adik-adik seperguruannya. Mereka du-
duk membentuk lima tempat, dengan terhalang
sebuah meja besar berbentuk lingkaran yang di
atasnya terdapat makanan dan minuman.
"Hmmm... Terima kasih atas kedatangan
kalian memenuhi undanganku untuk berkumpul
di sini," ucap Ketua Partai Gunung Anjasmoro dengan nada berwibawa.
Kewibawaan yang ditunjukkan bukan se-
bagai kakak seperguruan, melainkan karena se-
bagai tuan rumah. Dalam suasana seperti ini, Ki
Lingkih Manuk merasa tak ada lagi kesan antara
kakak dan adik seperguruan. Kini semua sama.
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Berada
dalam naungan Panca Giri.
"Mungkin, kalian merasa heran menda-
patkan undangan dariku, yang begitu mendadak
meminta kesediaan kalian untuk hadir di sini.
Apalagi, tidak seperti biasanya, pertemuan dila-
kukan di kediamanku. Bagusnya, kalian jadi me-
menuhi undanganku," lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Lingkih Manuk! Sejak dulu kau tahu
bukan, aku tidak suka bertele-tele." cetus Ki Samundang, terus-terang. "Kupikir,
sudah cukup kau memberikan sambutan. Dan lebih baik, segera katakan saja, apa
maksud undanganmu... Aku
yakin, yang hadir di sini pun tidak sabar untuk
mengetahuinya, bukan?"
Ki Lingkih Manuk mengangguk-angguk.
Hatinya tidak merasa tersinggung mendengar ka-
ta-kata Ki Samundang yang merupakan adik se-
perguruannya. Karena, dia memang tahu sifat
adik seperguruannya.
"Baiklah.... Seperti yang dikatakan Ki Sa-
mundang, memang pertemuan kita ini segera di-
buka saja. Karena, hanya membuang waktu bila
memberi sambutan terus-menerus. Nah, sebaik-
nya kumulai cerita ini. Terus terang saja..., sebelum Guru meninggal, aku telah
dititipkan sesua-
tu. Saat itu. Guru memanggilku. Sementara, ka-
lian sedang berlatih di tempat di sekitar lereng Gunung Merbabu. Sesuatu yang
diberikan Guru,
pasti membuat kalian bertanya-tanya. Sebelum
Guru meninggal aku pun sempat menanyakan,
mengapa benda itu dititipkan kepadaku" Apa ja-
wab Guru" Karena sebagai murid tertua di Pergu-
ruan Partai Gunung Merbabu, sehingga menurut-
nya aku akan bisa membawa diri dan menyam-
paikan apa hendak dikatakannya. Memang, ada
satu amanat Guru yang harus kujalankan. Dia
meminta kepadaku, untuk memperlihatkan benda
itu kepada kalian setelah masing-masing mempu-
nyai murid dan mendirikan Partai Gunung. Kebe-
tulan, kita semua dalam waktu dua puluh tahun
telah berkibar tegar dalam aliran lurus."
Ki Lingkih Manuk sebentar menghentikan
ceritanya seraya mengedarkan pandangan. Bisa
dilihatnya keingintahuan yang jelas dari saudara seperguruannya yang hadir.
"Rasanya tak perlu berlama-lama lagi," lanjut Ki Lingkih Manuk.
Tiba-tiba saja Ketua Partai Anjasmoro
mengibaskan tangan ke atas.
Wusss! Serangkum angin seketika terlontar dari
tangan Ki Lingkih Manuk. Lalu satu benda men-
dadak saja meluncur deras ke arahnya, bagai
menyerangnya! Dengan ringan Ki Lingkih Manuk mengge-
rakkan tangannya kembali. Ditepaknya benda itu
dan jatuh tepat di tengah-tengah meja.
Semua yang hadir menajamkan pandan-
gan, melihat benda yang ada di atas meja. Ternya-ta sebuah bokor yang terbuat
dari emas! "Ki Lingkih Manuk! Apa yang aneh dan
menariknya dari bokor itu?" tanya Ki Danang Gumilar, agak meremehkan. Baginya,
tindakan Ki Lingkih Manuk hanya buang-buang waktu saja.
Ki Lingkih Manuk tertawa. "Ya, memang.
Dalam sepintas tak ada suatu kesan yang mena-
rik dari bokor itu, kecuali terbuat dari emas yang tentu harganya sangat mahal.
Tetapi aku tahu, di antara kita semua tak ada yang tertarik dengan
emas. Karena, itu adalah milik Guru. Tetapi, aku pun tahu dan sangat yakin,
kalau kalian semua
pasti akan tertarik setelah mengetahui isinya..."
Semua terdiam, mencoba menebak isi bo-
kor yang sebesar dua kepalan tangan orang dewa-
sa. Tetapi tak ada yang bersuara untuk mengata-


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kannya. "Ki Lingkih Manuk, silakan untuk menga-
takan apa isinya," ujar Ki Kalungkung, memecah kesunyian.
"Baiklah, aku akan mengatakannya," desah Ki Lingkih Manuk sambil menghela napas
panjang. Jelas sekali kalau sikapnya kelihatan sedikit ragu-ragu "Isi bokor itu
adalah Air Swargaloka yang didapatkan Guru di Gurun Gobi, ketika ber-kelana ke
sana selagi muda. Cairan Swargaloka
hanya berisi sedikit. Hanya seteguk saja. Tetapi yang sangat penting, khasiat
dari air itu."
Tak ada yang bersuara. Kelihatan kalau
semua menunggu penjelasan-penjelasannya.
Meskipun jelas sekali kalau Ki Samundang yang
sedikit penasaran. Dia memang tidak suka ber-
tele-tele dan ingin tahu segala sesuatunya.
"Menurut Guru, barang siapa yang memi-
num Air Swargaloka akan memiliki tenaga sakti.
Namun dia sendiri tidak tahu, kapan tenaga itu
bisa muncul. Tetapi menurut Guru pula, bila su-
dah dalam keadaan terdesak, maka tenaga sakti
yang tak akan terkalahkan bisa muncul begitu sa-
ja. Dan kalau dipaksakan, tidak akan mungkin
tenaga sakti itu dapat muncul."
Terdengar suara decakan kagum "Ki Ling-
kih Manuk! Kini aku bisa menebak, apa amanat
Guru berikutnya. Pasti, Guru menginginkan salah
seorang di antara kita yang meminum air itu, bu-
kan?" duga Ki Samundang.
"Kau benar," sahut Ki Lingkih Manuk.
"Hanya saja.... aku tidak diberitahu siapa yang
berhak meminumnya."
Kali ini terdengar gumaman bernada sedi-
kit kesal. "Lalu, siapa yang berhak meminumnya?"
tanya Ki Redamo Rusa. yang sejak tadi diam saja
Ki Lingkih Manuk menghela napas. Berat
untuk mengatakan amanat terakhir yang disam-
paikan Ki Panca Giri.
"Guru mengatakan, bila di antara kita ada
yang berjodoh dengan bokor emas ini, maka di-
alah yang berhak meminum Air Swargaloka...."
Seketika terdengar gumaman ramai bagai
kerumunan lebah. Dan masing-masing menatap
satu sama lain dengan sinar mata tajam. Ki Ling-
kih Manuk segera menenangkan. Sebagai murid
tertua di Partai Gunung Merbabu, sebenarnya dia
tidak mengerti tentang amanat Ki Panca Giri ini.
Bukankah dengan begitu, justru akan membuat
keributan dan perpecahan saja di antara Panca
Giri yang sudah terbentuk" Namun, amanat te-
taplah amanat. Maka amanat itu harus dijalan-
kan meskipun sangat susah.
"Inilah yang susahnya," kata Ki Lingkih Manuk kemudian. "Tetapi, amanat jelas
amanat. Apalagi ya memberikan Guru kita sendiri. Dan ki-
ta tidak boleh mengabaikannya."
"Jadi..., dengan kata lain, kita akan berada dalam satu lingkaran pertarungan?"
tanya Ki Samundang sambil mendengus. "Hhh! Boleh, aku
terima usul itu!"
"Sebenarnya, aku tidak bermaksud demi-
kian," tukas Ki Lingkih Manuk. "Aku tidak ingin di antara kita terjadi
perpecahan. Perlu diingat, kita telah berada dalam naungan Panca Giri yang
berada di jalan lurus."
"Tetapi seperti katamu tadi, amanat tetap-
lah amanat," serobot Ki Samundang.
"Benar. Baiklah. Sekarang kutanyakan saja
pada kalian, apakah kalian suka terhadap ama-
nat Guru yang satu ini?"
Tak ada yang menjawab. Tetapi di air wa-
jah Ki Samundang tergambar jelas kalau sangat
menginginkan sekali untuk meminum Air Swarga-
loka yang terdapat di bokor emas itu.
"Untuk mencegah perpecahan, aku menya-
rankan agar kita membuang bokor itu saja," usul Ki Lingkih Manuk. Dia berharap
semua yang hadir di situ menyetujui usulnya.
"Tidak!" sergah Ki Samundang. "Amanat tetaplah amanat! Kita harus
menjalankannya. Den-
gan kata lain kita akan melihat, siapakah di anta-ra kita yang paling tangguh.
Itulah satu-satunya cara untuk menentukan, siapa yang berjodoh
dengan bokor emas itu. Karena, tidak ada cara
lain untuk menentukan siapakah yang berjodoh
dengan bokor emas itu."
"Ki Samundang..., bukankah dengan demi-
kian kita justru berada di ambang kehancuran?"
tukas Ki Kalungkung, menatap tajam Ki Samun-
dang. "Habis, mau bagaimana lagi, hah"! Guru sudah menetapkan amanat seperti
itu. Dan sudah tentu, sebagai muridnya kita tidak boleh melang-
gar setiap amanat Guru," sahut Ki Samundang, memberikan alasan kuat.
"Memang, meskipun rasanya sangat berat
sekali, tetapi kita harus menjalankan amanat
Guru," timpal Ki Danang Gumilar.
"Tidak!" seru Ki Redamo Rusa. "Amanat Guru memang harus dijalankan, tetapi bukan
dalam arti harus berada dalam suatu perpecahan"
Telah lama kita saling mengikat persaudaraan,
semasa masih menuntut ilmu di Partai Gunung
Merbabu, hingga kita membentuk kelompok yang
dinamakan Panca Giri. Kalau kita harus pecah,
untuk apa selama ini menjadi persaudaraan?"
"Jadi, bagaimana usulmu?" tanya Ki Sa-
mundang agak ditekan suaranya.
"Aku setuju usul Ki Lingkih Manuk. Kita
akan membuang saja bokor itu."
"Tidak!"
Ki Samundang kontan berdiri. Tatapannya
mengedar. Tajam!
"Sebagai murid yang berbakti dan meng-
hormati Guru, kita harus tetap menjalankan
amanat Guru. Walaupun, apa yang terjadi." tandas Ketua Partai Gunung Arjuno.
Kali ini tak ada yang bersuara. Memang
sangat sulit untuk menentukan sikap di saat se-
perti ini. Di satu segi perpecahan nampak sudah
di ambang mata. Di segi lain, mereka harus men-
jalankan amanat Ki Panca Giri.
Suatu kerikil kehidupan mulai menusuk.
Ki Lingkih Manuk mendesah panjang.
"Baiklah.... Kita akan menjalankan amanat
Guru. Tiga bulan lagi, kita akan bertemu di Gu-
nung Merbabu. Kita selesaikan semua masalah
ini...." "Dan kita akan melihat, siapa yang berhak untuk meminum Air Swargaloka
itu...," sambung Ki Samundang, bernada angkuh, "Aku mohon
pamit. Kita bertemu lagi tiga bulan di Gunung
Merbabu!" Lalu Ketua Perguruan Partai Gunung Arju-
no ini pun keluar.
Tiba di luar murid-murid Ki Samundang
segera menghampirinya. Dan tak banyak ber-
tanya, mereka sudah ikut melangkah mengikuti
ketua mereka. Satu persatu, para Ketua Partai Gunung
itu keluar, meninggalkan Partai Gunung Anjas-
moro. Di ruang tadi, Ki Lingkih Manuk mendesah
masygul. Memang tak ada jalan lain lagi. Sesuatu akan terjadi. Dan nampaknya,
itu sudah di ambang mata. Waktu tiga bulan bukankah waktu
yang panjang. Bahkan terasa sangat sempit!
Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk tidak mengerti,
mengapa Guru memberi amanat yang sangat me-
resahkan. Memang Guru menitipkan bokor emas
yang berisi Air Swargaloka, kalau ternyata bakal terjadi perpercahan di antara
Panca Giri" Sudah
lama soal itu dipikirkannya. Tetapi hingga hari
pertemuan diadakan, dia belum berhasil meme-
cahkannya. Yang pasti hanya satu, kalau amanat
Guru itu memang diperuntukkan bagi mereka
berlima. Dan, sudah tentu harus dijalankan!
Sungguh! Ki Lingkih Manuk amat teramat
tidak mengerti. Namun kesepakatan tadi sudah
didapat. Mereka akan membuktikan, siapa yang
tertangguh dan berhak meminum Air Swargaloka.
Usulnya untuk membuang bokor itu sudah tak
ada gunanya lagi. Memang, dengan begitu dia te-
lah membatalkan amanat Ki Panca Giri. Namun,
itu adalah jalan yang terbaik menurutnya, agar
perpecahan tidak akan terjadi.
Tetapi sekarang jalan satu-satunya yang
harus ditempuh adalah bertarung. Dan Ki Sa-
mundang yang begitu ingin untuk meminum Air
Swargaloka tidak bisa disalahkan. Sedikit ba-
nyaknya, Ki Samundang benar. Karena, mereka
memang harus menjalankan amanat Ki Panca Gi-
ri. Ki Lingkih Manuk merasa begitu berat, ba-
gaikan ada sebuah beban luar biasa yang menin-
dih dadanya. Dan yang sangat dikhawatirkannya,
bila segolongan orang sesat mendengar berita ini.
Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan.
Karena, sepak terjang mereka tak akan pernah
lagi dihalangi Panca Giri yang sekarang berada
dalam suatu kemelut menyedihkan.
Lalu perlahan-lahan Ketua Partai Gunung
Anjasmoro menghembuskan napas.
"Akankah berakhir kelompok Panca Giri?"
gumam orang tua ini, lirih.
2 Tiga hari menjelang pertarungan antara se-
sama anggota Panca Giri, seorang pemuda berpa-
kaian hijau muda dengan selembar kain bercorak
catur tersampir di bahu berhenti di lereng Gu-
nung Merbabu. Rambutnya yang gondrong di-
permainkan angin kencang. Sepasang matanya
yang tajam dengan sepasang alis yang menukik
bagaikan kepakan elang, memperhatikan sekitar-
nya. Pepohonan bagai pasukan siap tempur
yang berjajar rapi. Seolah, siap menunggu perin-
tah untuk menyerang. Juga, ada beberapa beba-
tuan besar. Pemuda yang tak lain Andika alias Pende-
kar Slebor menepuk keningnya.
"Edan! Kenapa aku sampai di sini, sih"
Hiii... Tempat ini sepi sekali!" desis Andika sambil memperhatikan sekitarnya.
Pendekar Slebor lantas menaikkan ram-
butnya yang gondrong ke belakang, karena un-
taian rambutnya sesekali menutupi mata ketika
angin berhembus.
"Andika..., Andika.... Kenapa sih, begitu to-lol datang ke sini" Bukankah di
kotaraja atau di dusun-dusun banyak gadis-gadis cantik" Kalau di
sini, waaahhh! Paling-paling kuntilanak yang me-
nyamar jadi gadis cantik!"
Pendekar Slebor menjatuhkan pantatnya di
tanah berpasir. Dijumputnya sehelai rumput dan
dihisap-hisap ujungnya. Terasa manis.
"Mengembara, ya mengembara. Tetapi jan-
gan ke tempat seperti ini, dong?" rutuk pemuda itu lagi.
Pendekar Slebor memang tiba tak sengaja
di lereng Gunung Merbabu.
"Kalau sendirian begini, aku jadi teringat
Sari. Gadis penunggang harimau yang jelita tetapi menjengkelkan itu. Tetapi
lumayan juga sih, kalau ada dia. Meskipun kadang-kadang menjeng-
kelkan, tetapi tetaplah salah seorang gadis cantik yang pernah kutemui...."
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tersenyum sendirian. Mulai sinting kali!
"Ah," desahan panjang keluar dari mulut Andika. "Kalau memang ada Sari di sini,
asyik sekali! Tetapi..., mbok ya, jangan harimaunya yang besar dan galak itu!
Bisa runyam! Kok ada ya,
seorang gadis cantik seperti Sari bersahabat dengan harimau jelek itu. Lebih
baik kau bersahabat denganku. Jelek-jelek begini, tapi aku kan tampan, ganteng,
bijaksana, manis.... Wah, wah....
Mana ada tukang loak menjelek-jelekkan barang-
nya sendiri! Tapi yang penting lebih ganteng daripada harimau jelek itu?"
Rupanya dalam kekesalannya mengapa ta-
hu-tahu berada di tempat sepi semacam ini, An-
dika jadi ngoceh sendirian. Tetapi memang men-
gasyikkan mengenang Sari. Hanya yaitu ya, hari-
maunya! "Huh! Hewan jelek!" desis Andika tiba-tiba.
Mata Pendekar Slebor yang tajam kembali mem-
perhatikan sekelilingnya. Tak seorang pun yang
berada di tempat, kecuali dirinya. Lagi-lagi Andika menepuk keningnya.
"Busyet! Kenapa sih, aku tahu-tahu berada
di sini?" dengus Andika lagi.
Pendekar Slebor lantas mengambil sebutir
kerikil dan melemparkannya. Hanya sekali sentak
saja, kerikil itu sudah tidak terlihat lagi. Bukan karena terhalang semak
belukar maupun batu
besar, tapi karena kerikil itu bagai dilontarkan sebuah tali busur. Bahkan
kecepatannya lebih
kencang daripada lesatan sebuah anak panah.
Tahu-tahu pemuda urakan ini tersenyum-
senyum sendirian.
"Sari..., Sari.... Kok aku jadi ingin bertemu denganmu, ya?" desis Andika lagi.
Pemuda ini membayangkan ketika secara
tak sengaja melihat tubuh Sari tanpa busana.
Saat itu, Sari berada dalam kekuasaan Raja Ak-
herat. "Edan benar Eyang Sasongko Murti itu!
Masa' aku dipaksa untuk melihat tubuh Sari, sih"
Tetapi..., he he he... Lumayan juga. Toh, dia tidak melihatku, kan" Mengasyikkan
juga ilmu yang dimiliki Eyang Sasongko Murti! Tetapi..., huh! Dasar murid siluman!" dengus
Andika (Baca: "Neraka di Keraton Barat").
Andika mengambil lagi sebutir kerikil. Un-
tuk menghilangkan kejenuhan dilontarkannya


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali. Kali ini lebih cepat bagaikan sebutir pe-luru! "He he he.... Heran,
aku! Mengapa gadis secantik Sari memiliki sahabat si Belang, ya" Harimau jelek
itu! Huh! Mendingan bersahabat den-
ganku! Kan lebih ganteng daripada harimau jelek
yang galak itu!"
"Auuuummm!"
Baru saja Andika berkata demikian, tiba-
tiba terdengar auman harimau yang berkepanjan-
gan. Seketika Pendekar Slebor terkejut.
"Diamput! Rupanya di sini ada harimaunya
juga! Gara-gara ngomong tentang Sari saja, kok
ada suara harimau sih!" maki Pendekar Slebor sambil berdiri dengan mata waspada.
Geraman harimau itu terdengar lagi. Kali
ini semakin dekat. Pendekar Slebor segera bangkit dari duduknya sambil
memperhatikan sekitarnya.
Mendadak saja kedua mata Andika melo-
tot, ketika muncul seekor harimau besar dari ba-
lik semak di depannya. Kedua mata hewan berka-
ki empat yang ganas itu memerah tertuju kepa-
danya. "Eiiittt! Benar juga, ada harimau di sini!"
desis Andika sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
"Bagus, Belang! Hajar pemuda urakan itu!"
Sebuah seruan keras bernada perintah ter-
dengar. Dan harimau besar yang dipanggil si Be-
lang itu melompat ke arah Pendekar Slebor.
Wuttt! "Uts!"
Cepat pendekar dari Lembah Kutukan itu
memiringkan tubuhnya, membuat terkaman itu
pun luput. Tetapi harimau itu sudah berbalik lagi kepadanya dan menggeram marah.
Lalu diter-jangnya Andika lagi dengan aumannya yang san-
gat keras. Andika lagi-lagi menghindari terjangan ha-
rimau. Namun bagaikan memiliki akal, harimau
itu berbalik kembali secepat kilat.
"Busyet! Apakah hewan ini peliharaan Sa-
ri"!" rutuk Andika sambil melompat-lompat. "Tidak, tidak mungkin. Masa iya sih,
gadis itu sudah berada di sini" Padahal baru saja kubayangkan"!
Mau apa dia di sini" He he he.... Jangan-jangan
dia kangen dan ingin bertemu denganku...."
Si Belang menerjang terus menerus, mem-
buat Andika jadi kelabakan juga. Ingin dihantam-
nya harimau itu, tetapi kok tidak tega. Bukankah hewan itu sesama ciptaan Tuhan,
meskipun begitu buas sekali"
Jadinya, Pendekar Slebor hanya melompat-
lompat seperti monyet terbakar ekornya. Dan
anehnya harimau itu terus saja menyerang den-
gan ganas. Keempat kuku-kukunya mengembang
dalam sebuah cakar yang siap mencabik-cabik.
Bahkan yang luar biasa, harimau itu sepertinya
pandai menirukan gerakan-gerakan silat Dia se-
perti bisa mengelak, menghindar, dan melakukan
gerak tipu dalam menyerang.
"Busyet!" seru Andika.
Dan kali ini. Pendekar Slebor yakin tentang
hewan itu. Tak ada seekor harimau pun yang
pernah dijumpainya sepandai ini.
"Sariii!" teriak Pendekar Slebor tiba-tiba.
"Keluar dong! Jangan bikin aku kesal!"
"Hi hi hi.... Pendekar bego, coba hentikan
serangan peliharaanku itu!" terdengar suara dari satu tempat.
Andika yang memiliki pendengaran tajam
bisa segera menebak, kalau suara itu berasal dari sebuah pohon yang terletak
lima langkah di depannya, tersembunyi di balik rimbunnya dedau-
nan pohon. "Sari! Kalau kau kangen padaku, bukan
begini caranya! Datang saja kepadaku. Lalu, pe-
luk dan..., cup! Nah, kan beres?" seru Andika sambil bergulingan menghindari
terjangan si Belang yang ganas.
"Brengsek!" sembur suara di balik dedaunan yang memang Sari. "Belang! Bikin dia
kapok!" Begitu mendengar aba-aba yang dilontar-
kan Sari, si Belang bergerak makin kesetanan.
Dia menerjang dengan aumannya yang ganas.
"Sari! Apakah kau tidak sayang kalau he-
wan jelek ini kuberi pelajaran!"
Bukannya marah, Sari malah terkikik-
kikik. "Coba saja kalau bisa!"
"Baik! Untuk pertama..., kau dulu yang ha-
rus keluar dari tempat persembunyianmu! Karena
terus terang, aku ingin sekali melihat wajahmu!
Apakah makin cantik, ataukah seperti nenek-
nenek sekarang!"
Pendekar Slebor seketika menggerakkan
tangannya ke sebuah pohon, tempat Sari me-
nyembunyikan diri di sana.
Wuuusss! Crak! Dari balik rimbunnya dedaunan tampak
satu sosok tubuh melenting keluar. Dia bersalto
tiga kali di atas, lalu hingga di tanah dengan ringannya. Kini gadis itu telah
menampakkan diri.
Sepasang matanya yang jernih melotot.
"Brengsek! Belang! Hajar dia! Hajar!" seru gadis berpakaian kulit harimau dengan
bagian atas sebelah kanan terbuka. Rambutnya tergerai
indah dan menawan. Wajahnya, teramat jelita. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang tipis, na-
mun tajam (Untuk mengetahui bagaimana perta-
ma kali Pendekar Slebor berjumpa Sari, gadis pe-
nunggang harimau silakan baca : "Raja Akherat"
dan "Neraka di Keraton Barat").
Kali ini Andika benar-benar ingin menggo-
da Sari. Heran! Kok tahu-tahu gadis itu berada di sini" Apakah diam-diam dia
membuntuti" Begitu
kata hati Andika, lagi-lagi sok kecakepan.
"Wah, wah...! Tak kusangka, Diajeng Sari
yang berada di sini" Apakah dikau merindukan
Kakangmasmu yang ganteng ini, Diajeng?" goda Andika, sambil terus menghindari
terjangan si Belang yang semakin ganas.
Sari mendengus.
"Pemuda urakan! Enaknya ya, kau menu-
duhku seperti itu" Apa bukannya kau sendiri
yang mengikuti aku, hah"!" bentak Sari
"Aku?" tukas Andika melotot. "Enaknya!
Mana sudi aku mengikuti gadis galak sepertimu?"
"Mana sudi aku mengikuti pemuda bego
sepertimu?" semprot Sari seketika.
"Kebetulan! Aku sendiri memang tidak mau
ditemani! Nah, panggil si Jelek ini! Suruh dia berhenti menyerangku yang ganteng
seperti ini! La-
ma-lama tampangku yang ganteng ini jadi ketula-
ran jelek!" ujar Andika.
Kali ini Sari semakin sewot. Harimau itu
adalah hewan peliharaan yang paling disayan-
ginya. Dan dia tak akan pernah membiarkan
orang lain mengejek hewan itu.
"Belang! Kau ini kenapa bodoh, sih" Hajar
pemuda jelek itu!" seru Sari setengah jengkel.
"He he he... Sudah tentu si Belang tidak
mau melakukannya. Soalnya dia tahu, yang diha-
dapinya ini majikan laki-lakinya. Iya, kan" Iya, kan" Iya, kan?"
"Brengsek!"
Tiba-tiba saja gadis itu melenting ke arah
Andika. Di udara pedangnya dicabut
Sraaat! Wuuut! Wuuut!
Dua kali pedang itu dikibaskan ke arah
Andika yang kali ini harus diserang dua jurusan.
Pertama oleh si Belang yang bertambah ganas,
kedua oleh Sari yang sudah kesal terhadapnya.
Andika menghindari dua serangan dengan
melompat ke sana ke mari. Tidak disangka kalau
gadis yang baru saja dipikirkannya benar-benar
berada di sini. Dan yang membuatnya harus ge-
leng-geleng kepala, sikapnya masih galak juga!
Pendekar Slebor kini membiarkan Sari
yang menyerangnya beberapa jurus. Sementara
dalam menghindarinya, Andika berjoget-joget me-
ledek. "Payah! Kupikir sekian waktu kita tak bertemu, kemajuan ilmu pedangmu
semakin pesat! Tidak tahunya, cukup untuk memotong tahu sa-
ja!" ledek Andika.
Sari semakin geram. Maka diserangnya
Andika dengan cepat. Sementara mulutnya sese-
kali berseru pada si Belang untuk segera menca-
bik-cabik tubuh Pendekar Slebor. Dan kalau bu-
kan Andika, sudah bisa dipastikan akan terkapar
karena dua serangan yang sangat berbahaya.
Setelah merasa cukup mempermainkan
Sari, tiba-tiba Pendekar Slebor berkelebat. Dan
dengan gerakan manis sekali, ditepaknya tangan
Sari. Sehingga, pedangnya terlepas. Dan dalam
sekali egosan saja, tubuhnya sudah berada di be-
lakang Sari. Seketika dirangkul dan dikuncinya
gerakan gadis itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Sari ka-lap. Tubuhnya yang dikunci Andika
berusaha di- gerak-gerakkan.
Andika hanya terkekeh-kekeh saja.
"Jangan terlalu banyak bergerak.... Soal-
nya..., hehe he.... Bila terjadi pergesekan antara dua buah benda, maka akan..."
"Jorok!"
Andika nyengir.
Justru si Belang yang kelihatan bingung.
Hewan buas ini hanya berdiri saja sambil celin-
gukkan untuk mencari kesempatan menyerang.
Dia melihat majikannya nampak sedang berusaha
melepaskan diri. Tetapi, bagaimana caranya agar
bisa menyerang, karena majikannya berada di de-
pan" Selagi gadis itu masih meronta-ronta...
"Sari...! Suruh Belang bersembunyi! Ada
orang yang datang ke sini!" bisik Pendekar Slebor.
Andika seketika mengempos tubuhnya ke
atas. "Hup!"
Sambil menggendong Sari, Pendekar Slebor
hinggap di atas sebuah pohon. Sementara, Sari
langsung mengisyaratkan pada Belang untuk ber-
sembunyi. Dari atas, gadis ini melihat apa yang
dikatakan Andika. Tampak lima orang berpakaian
merah dengan sepasang cakra di pergelangan
tangan tengah melangkah mengendap-endap ke
arah lereng Gunung Merbabu.
Tidak jelas, mengapa mereka bersikap se-
perti itu. Sangat berhati-hati dan seolah khawatir kedatangan mereka diketahui
orang. Mereka tak
ada yang bersuara. Sungguh, sikap mereka me-
mang sangat mencurigakan.
Sari sendiri tidak mengerti mengapa justru
ikut-ikutan bersikap seperti Pendekar Slebor. Di-am-diam matanya melirik
pendekar urakan nan
tampan yang sedang memperhatikan kelima
orang berpakaian merah. Hebat! Pemuda itu bisa
mendengar langkah mereka tadi. Ah! Sungguh,
sebenarnya hati Sari berdebar-debar tak menen-
tu. Sudah lama Sari sebenarnya merindukan
pemuda gondrong ini. Dan karena rindunya itulah
kediamannya ditinggalkan. Sekaligus meninggal-
kan ayahnya yang bernama Ki Wirayuda.
Namun di balik semua itu, gadis ini sebe-
narnya bermaksud mencari Andika, pemuda sakti
yang telah mencuri hatinya. Dan tak disang-
kanya, pemuda itu terlihat sedang duduk di atas
tanah berpasir di lereng Gunung Merbabu.
Sari sendiri heran, mengapa bisa tiba di
tempat itu. Sungguh mati, dia tidak punya tujuan apa-apa di lereng Gunung
Merbabu. Tetapi yang
benar-benar tak disangka, ternyata pemuda yang
dirindukannya berada di sana
Kalaupun Sari menyuruh si Belang menye-
rang Andika tadi, semata ingin menutupi kegem-
biraannya. Begitu pula mengapa sikapnya terlihat marah. Kan tidak lucu, kalau
seorang dara lebih
dulu menyatakan sukanya" Apalagi, sampai
memperlihatkan rasa senangnya pada pemuda
yang dirindukan.
Ah! Sari menghela napas panjang dalam
hati. Apakah pemuda itu merindukannya juga"
Tadi pun telinganya mendengar kata-kata pemu-
da itu, meskipun sempat membuatnya memerah.
*** Sementara, kelima orang berpakaian me-
rah-merah itu berhenti melangkah. Mereka mem-
perhatikan sekitarnya. Lalu yang berambut tebal
dengan muka tirus dan sepasang mata tajam me-
noleh ke arah rekannya.
"Hmmm... Kira-kira, di manakah pertarun-
gan antara Ketua dengan saudara-saudaranya di-
laksanakan?" gumam lelaki bermuka tebal, bertanya. Tak ada yang menyahuti
pertanyaan itu.
Karena mereka pun seperti berpikir.
"Mungkinkah di sebelah kiri lereng Gunung
Merbabu ini. Bukankah setiap lima tahun Ketua
selalu mengadakan pertemuan di sana?" tanya si wajah tirus, seperti berkata-kata
sendiri. "Ya! Bisa jadi memang di sana, Linggar!"
Kali ini terdengar sahutan serempak. "Kalau begitu, kita segera bekerja cepat,"
ujar si wajah tirus yang dipanggil Linggar.
Mereka pun bergerak ke sisi kiri lereng


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gunung Merbabu. Tampaknya tak ada yang me-
narik di sana. Tak ada bangunan, tak ada rumah.
Yang ada hanya sebuah dataran rata dengan re-
rumputan basah.
Andika yang memperhatikan dari balik
rimbunnya pohon menggaruk-garukkan kepala.
"Siapa sih, mereka" Sepertinya, mereka
akan melakukan sesuatu yang menarik."
Sari yang merasa pertanyaan itu tidak di-
peruntukkan baginya, diam saja. Justru ia terke-
jut ketika.... "Hei! Nyahut dong kalau ditanya!" bentak Andika, namun dengan suara berbisik.
"Oh!"
Sari gelagapan. Tetapi jadi sebal karena di-
bentak seperti itu.
"Memangnya aku tahu kalau kau bertanya
padaku, hah"!" balas Sari, juga berbisik.
"Masa iya aku bertanya dengan pohon?"
tukas Andika, lalu nyengir. "Jangan-jangan, kau ini tuli, ya" Huh! Sayang,
cantik-cantik kok tuli."
"Enaknya ngomong!" seru Sari sambil
mendorong Andika.
Pendekar Slebor tersuruk jatuh. Untung-
nya tangannya yang kekar cepat menyambar da-
han pohon untuk berpegangan.
"Heitt! Hati-hati! Aku bisa jatuh nih! Cepat tangkap tanganku yang satu lagi!"
ujar Andika, pelan. Dengan cepat Sari menangkap tangan Andika. Langsung
disentakkannya ke belakang. Ka-
rena terlalu terburu-buru dan khawatir pemuda
itu benar-benar jatuh, tarikannya terlalu cepat.
Sehingga, kepala Andika membentur salah satu
dahan pohon. Duk! "Aduhhh...."
Pendekar Slebor mengusap-usap kepa-
lanya. "Pelan-pelan, dong! Kalau kepalaku benjut
mau kau ganti?"
Sari hanya tertawa tertahan. Apalagi sete-
lah tahu kalau tadi Andika mempermainkannya.
Biar tahu rasa!
Andika nyengir. Kembali dia memperhati-
kan lima sosok tubuh berpakaian merah itu yang
semakin menjauh.
"Kau bisa jawab pertanyaanku tadi," kata Andika tiba-tiba tanpa menoleh pada
Sari. Gadis itu mendengus. Benar-benar pemuda
tidak tahu aturan. Semau jidatnya saja kalau
ngomong! "Apa yang harus kujawab, hah"!" sentak gadis itu jengkel.
"Siapa mereka?"
"Mana kutahu?"
Andika menoleh.
"Lho, kok" Kamu tidak tahu?"
"Ya jelas aku tidak tahu!"
"Iya, sama kalau begitu. Bagaimana kalau
kita cari tahu siapa mereka?"
"Apa untungnya?"
"Tidak ada. Tetapi kalau kau tidak mau, ya
sudah! Aku ke sana dulu! Kau jangan ke mana-
mana, aku masih ingin melihat wajahmu yang
cantik tetapi..., galak!"
Wuuusss! Pendekar Slebor sudah bersalto dua kali,
lalu hinggap di tanah bagai sehelai kapas. Lalu
tubuhnya melesat menyusul lima orang berpa-
kaian merah tadi.
Tinggal Sari yang mendumal jengkel. Enak
saja kalau ngomong! Padahal tadi, dadanya sudah
berdebar ketika Andika mengatakan kalau dirinya
cantik. Tetapi buntutnya..., weee! Tidak enak!
Gadis itu lalu melompat pula. Gerakannya
tak kalah ringan seperti Andika. Dan tubuhnya
segera melesat menyusul Andika.
3 Lima orang berpakaian merah-merah yang
dibuntuti Pendekar Slebor tiba di sebuah dataran rata yang banyak ditumbuhi
pepohonan. Sehingga sinar matahari yang mulai menyengat tak begi-
tu dirasakan. Linggar menjejak-jejakkan kakinya.
"Kalau tidak salah, di sinilah tempat Ketua berada," tunjuk Linggar di satu
tempat, setelah menjejak selama lima belas langkah dalam bentuk lingkaran.
"Kalau begitu, kita harus bekerja cepat." Kemudian setiap lima belas jejak,
masing-masing berhenti. Sementara Linggar masih berdiri di tempatnya tadi. Dia
melihat keempat temannya
mengambil sesuatu dari pinggang. Ternyata se-
buah pundi kecil berwarna merah. Lalu, ditua-
ngkannya isi pundi itu di tempat yang mereka in-
jak tadi. Cairan berwarna merah pun jatuh ke ta-
nah. "Taburkan dengan pasir, biar tidak terlalu kentara!" perintah Linggar.
Keempat lelaki berpakaian merah itu sege-
ra melakukan perintah. Sementara, Linggar ter-
bahak-bahak. "Ketua pasti senang dengan apa yang kita
lakukan ini! Meskipun kita tidak diperintah, teta-pi sebagai murid-muridnya kita
harus melakukan
yang terbaik untuk Ketua," kata Linggar.
Keempat orang lainnya pun terhahak-
bahak. Suara mereka menggema di sekitar lereng
Gunung Merbabu. Memang, bila melihat pakaian
yang dikenakan dan senjata cakra yang melingkar
di tangan masing-masing, bisa dipastikan kalau
mereka adalah murid-murid Partai Gunung Arju-
no. Setelah meninggalkan pertemuan di Gu-
nung Anjasmoro, Ki Samundang mengajak murid-
muridnya meninggalkan tempat itu. Dia sebenar-
nya ingin sekali meminum Air Swargaloka yang
berkhasiat tinggi itu. Tak heran kalau dia bertekad ingin merebut bokor emas
yang berisi Air
Swargaloka Memang tidak salah. Karena seperti yang
dikatakan Ki Lingkih Manuk, amanat dari Ki Pan-
ca Giri memang seperti itu.
Ki Sumandang pun menceritakan tentang
pertarungan yang akan dilakukan menghadapi
saudara-saudara seperguruannya yang telah
menduduki Partai Gunung lainnya. Yang lebih
tangguh maka dialah yang berhak meminum Air
Swargaloka. Meskipun memiliki sifat yang sedikit pana-
san dan ingin tahu, Ki Samundang tetap meng-
hargai para saudara seperguruannya. Dia tidak
menghendaki adanya kecurangan. Namun di luar
sepengetahuannya, Linggar justru mengajak em-
pat murid Partai Gunung Arjuno untuk mencu-
rangi para Ketua Partai Gunung lainnya
Andika yang menyaksikan perbuatan me-
reka dari balik sebuah batu besar mengerutkan
keningnya. "Aneh! Untuk apa mereka membuang cai-
ran merah itu di empat tempat" Apakah mereka
sedang menyembah dedemit Gunung Merbabu
ini?" desis Andika
Dan selagi Andika asyik memperhatikan
orang-orang itu, satu sosok tubuh tiba di dekat-
nya. "Mau apa ke sini?" tanya Andika, agak sewot. "Mau lihat!" sahut yang baru
datang ketus. Dia tak lain dari Sari.
"Menyebalkan! Heran! Kenapa sih, aku ber-
temu denganmu lagi!" seru Andika.
"Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa
harus bertemu denganmu lagi!" balas Sari. Wajahnya ditekuk dengan mulut cemberut
"Sudah, jangan banyak omong!"
"Brengsek! Justru kau yang banyak
omong!" Andika melotot. Ingin rasanya menyumpal
mulut gadis ini. Tetapi tidak, ah! Soalnya, bentuk mulut dan sepasang bibir yang
merah basah gadis itu sangat menarik.
Lalu kedua anak muda ini memperhatikan
kembali orang-orang itu. Sari diam-diam menden-
gus dalam hati. Apa pemuda seperti ini yang ha-
rus dirindukan"
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan,
Kakang?" Suara itu datang dari salah seorang yang berwajah kelimis. hanya
dihiasi kumis tipis saja. "Kita tinggalkan tempat ini. Biar para ketua dari
Partai Gunung lain mampus terkena Bisa
Ular Welang yang telah kuramu dengan akar mi-
nyak kelawang. Dan yang terpenting lagi, Ketua
akan mendapatkan Air Swargaloka!" kata Linggar.
Lalu mereka pun bergegas meninggalkan
tempat itu. *** Begitu mereka pergi, Andika segera keluar
dari balik batu besar. Dia menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal.
"Siapa sih, mereka?" tanya Andika. Sari yang juga sudah keluar dari sana, hanya
mengangkat bahu saja.
"Aku tidak tanya padamu!" bentak Andika tiba-tiba.
"Brengsek! Serba salah!" dengus gadis itu sambil menghentakkan kakinya. "Ketika
aku tidak menjawab tadi, kau memaksaku juga untuk
menjawabnya! Ketika aku menjawab, justru kau
marah-marah sekarang!"
Sebagai jawaban dari dengusan Sari, bibir
Andika nyengir. Jelek sekali. Lalu kakinya me-
langkah ke tempat lima orang berpakaian merah
tadi berada. Sejenak Pendekar Slebor memperhatikan
tempat orang-orang itu berdiri. Berbentuk lingkaran, dan ada lima buah. Otaknya
yang cerdik se-
gera berputar. "Hmm, apakah lima tempat itu ada yang
akan menempatinya" Kalau memang ada, untuk
apa" Kalau tidak ada, mengapa mereka menua-
ngkan cairan merah yang dikatakan tadi bisa ular welang" Hmm..., mengapa yang
satu tidak dituangkan cairan itu?" gumam Andika.
Andika mengetuk-ngetuk keningnya. Sari
memperhatikannya. Heran.
"Kenapa jidatmu" Gatal?" usik Sari.
"Edan! Aku lagi berpikir!"
"Orang berpikir semestinya tidak seperti
itu!" "Masa bodoh!"
Andika lantas melangkah ke tempat Ling-
gar tadi berdiri.
"Hmm.... Kalau mendengar kata-kata orang
itu tadi, di sini tempat Ketua. Dan di tempat yang telah dituangkan cairan
merah, tempat para Ke-
tua Partai Gunung lainnya. Hmm.... Apakah ada
lima Partai Gunung?" gumam Andika lagi.
"Hei" Kau ini mau apa, sih?" tegur Sari yang jadi jengkel karena didiamkan saja.
Andika nyengir. "Lagi berpikir!"
"Mengapa keningmu tidak diketuk-ketuk
lagi?" ledek Sari mendongkol. Gadis ini benar-benar tidak mengerti dengan sifat
angin-anginan Andika. Memang tidak heran kalau dijuluki Pen-
dekar Slebor. Andika tertawa.
"Bagaimana kalau kau yang ketuk?" Sepasang mata Sari terangkat. Tetapi kemudian
bibir- nya mengembangkan senyum.
"Boleh," sahut Sari, pendek. "He he he..., silakan... "
Sari mendekat dengan masih tersenyum.
Lalu tiba-tiba saja dipukulnya kening Andika
kuat-kuat. "Waaadddooowww!" jerit pemuda berbaju hijau itu sambil meringis kesakitan.
Sari tersenyum puas.
"Tahu rasa kau!"
Andika meringis sambil memegang kening-
nya. Ditatapnya Sari yang sekarang tertawa-tawa.
"Bandel! Kau harus kubalas!" seru Andika seraya mengejar.
Sari langsung berlari ke tempat orang-
orang berbaju merah tadi berada. Ketika kakinya
menginjak tempat cairan berwarna merah dituang
orang berpakaian merah-merah, tiba-tiba saja ga-
dis itu terjatuh terguling. Andika terkesiap melihatnya.
"Sariii!" seru Andika.
Secepat kilat Pendekar Slebor berkelebat,
menangkap tubuh gadis itu. Seketika dilihatnya
kaki Sari yang menginjak tempat tadi. Dan ter-
nyata berubah hitam.
"Gila! Gairah merah itu benar-benar racun
yang membunuh!" sentak Pendekar Slebor.
Dengan cepat Andika membaringkan tubuh
Sari. Kini pemuda itu harus berlomba dengan
waktu. Dengan cepat ditotoknya beberapa urat
syaraf yang ada di kaki Sari. Namun yang mem-
buatnya terbelalak, justru warna hitam itu perlahan-lahan namun pasti, semakin
naik ke atas. "Edan! Racun ini benar-benar ganas!"
Kembali Pendekar Slebor menotok seluruh
simpul syaraf di tubuh gadis yang terkulai lemah itu. Tampak keringat telah
membanjiri tubuhnya.
Lalu dialirkannya tenaga dalam melalui kedua
tangan gadis itu. Andika harus bertarung mela-
wan racun ganas itu.
Dan perlahan-lahan pula sekujur tubuh
Andika mengeluarkan keringat. Seluruh tena-
ganya berusaha dikerahkan untuk menyela-
matkan gadis itu. Aliran racun yang bisa dipastikan akan tiba di jantung Sari,
harus ditahannya.


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun mendadak saja Pendekar Slebor
merasakan panas menyengat. Ditahannya agar
tenaga dalamnya tidak dilepaskan. Akan tetapi,
panas itu semakin membara saja. Tak ubahnya
memegang besi yang telah berhari-hari ada di
atas api. "Aku tidak boleh menyerah! Gadis ini harus
hidup!" tekad Andika tegang.
Dan mendadak saja, Pendekar Slebor men-
gubah tenaga dalamnya. Tenaga 'inti petir' tingkat ketiga puluh segera
dialirkannya. Namun hasilnya nihil. Kini, warna hitam itu sudah sampai pada
batas dengkul Sari.
Andika menambah tenaga 'inti petir'nya,
menjadi tingkat kedua puluh tujuh. Dan perla-
han-lahan terus ditambahnya hingga berada pada
puncak tenaga 'inti petir'.
Rupanya, usaha Pendekar Slebor untuk
menyelamatkan gadis itu berhasil. Karena dengan
tenaga 'inti petir' tingkat pertama, racun itu berhasil berhenti. Bahkan
perlahan-lahan warna hi-
tam yang ada di kedua kaki gadis itu menghilang.
Andika menghela napas panjang seraya
menghapus keringatnya.
"Manusia keji!" dengus Andika. "Awasss...!
Rasakan akibatnya dari perbuatan kalian yang
hampir saja merenggut nyawa gadis ini...."
Pendekar Slebor melepas semua totokan-
nya di tubuh Sari. Dan perlahan-lahan, dialir-
kannya hawa murni ke tubuh gadis itu.
4 Suasana di Partai Gunung Anjasmoro tetap
berlangsung seperti biasa. Setiap pagi para murid berlatih ilmu pedang yang
diturunkan Ki Lingkih
Manuk. Ki Lingkih Manuk sendiri berada di kamar
pribadinya yang menghadap ke samping pendopo.
Di halaman samping, ditanami bunga-bunga be-
raneka warna. Hari demi hari pun dilalui Ki Lingkih Ma-
nuk dengan penuh ketegangan dan suasana tidak
tenang. Dia masih memikirkan tentang pertarun-
gan yang akan terjadi sesama saudara sepergu-
ruannya. Sampai saat ini, Ki Lingkih Manuk masih
belum mengerti mengapa Ki Panca Giri, meng-
hendaki amanat seperti itu" Memberikan bokor
emas yang berisi Air Swargaloka, yang akhirnya
harus diperebutkan antara saudara seperguruan
yang telah bergabung dalam Panca Giri"
Apalagi ketika disadari waktu yang diten-
tukan tinggal tiga hari lagi. Dapat dibayangkan
bagaimana nanti para saudara seperguruan yang
tergabung dalam Panca Giri, harus saling tempur
untuk membuktikan mana yang paling tangguh
dan sakti" Dan itu semata untuk mendapatkan
Air Swargaloka! Meskipun ini pemecahan pertama
dari amanat yang diberikan guru mereka. Yakni,
tentang salah seorang anggota Panca Giri yang
akan berjodoh dengan Air Swargaloka itu. Sebe-
narnya Ki Lingkih Manuk belum yakin dengan
pemecahan ini. Namun, kesepakatan sudah terja-
di. Kalau mereka mengartikan kata-kata perjodo-
han itu dengan bertarung, mau apa lagi"
Kalau mau menuruti kata hatinya, Ki Ling-
kih Manuk sendiri justru tidak menginginkan Air
Swargaloka. Biarlah salah seorang dari adik-adik seperguruannya yang
mendapatkannya. Tetapi
sulitnya, siapakah yang berhak meminum Air
Swargaloka"
Jelas, semuanya pasti menginginkan. Keti-
ka diusulkannya untuk membuang bokor emas
itu saja, sudah terjadi penolakan. Terutama, da-
tang dari Ki Samundang. Namun, Ki Lingkih Ma-
nuk sendiri tidak menyalahi sikap adik sepergu-
ruannya. Ki Samundang memang benar. Betapapun
pahitnya, mereka harus memenuhi amanat sang
Guru. Meskipun, Ki Lingkih Manuk bertanya-
tanya, apakah sebenarnya mereka telah meme-
cahkan amanat Ki Panca Giri"
Apalagi, kini Ki Lingkih Manuk mendengar
kalau beberapa orang dari golongan sesat telah
unjuk gigi kembali. Dan adanya kemelut di tubuh
Lima Partai Gunung itu rupanya sudah menye-
bar. Entah, siapa yang iseng membuka rahasia
ini. Ketika matahari sudah lewat sepenggalah.
"Ki Lingkih Manuk! Keluar kau dari tempatmu!"
Ki Lingkih Manuk menegakkan kepalanya
ketika tiba-tiba terdengar suara sangat keras dari luar. Ada apa ini" Ketika
telinganya kembali mendengar bentakan bernada menantang dan con-
gkak, kakinya pun melangkah keluar.
Di luar, tampak tiga orang laki-laki berke-
pala botak berpakaian hitam seperti sisik ikan.
Pakaian di bagian bahu sebelah kiri tampak ter-
buka. Mereka telah berdiri di halaman pendopo
Partai Gunung Anjasmoro. Di tangan masing-
masing terdapat rantai berujung besi bulat sebe-
sar kepala orang dewasa yang penuh duri. Mereka
dikelilingi para murid partai itu yang bersiaga
dengan pedang di tangan.
Para murid itu sendiri terkejut, ketika se-
dang berlatih tadi. Karena mendadak saja berke-
lebat tiga orang berkepala gundul, dan langsung
berdiri di halaman.
Ki Lingkih Manuk hanya tersenyum saja
sambil melangkah penuh wibawa.
"Rupanya Tiga Duri Setan yang hadir di si-
ni...." sapa Ketua Partai Gunung Anjosmoro itu.
Salah seorang dari tiga orang yang berjuluk
Tiga Duri Setan terbahak-bahak. Wajahnya yang
dihiasi kumis tebal namun menjuntai panjang itu
jadi terlihat lucu.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali, Ki Ling-
kih Manuk! Kau masih mengenali kami rupanya!"
kata laki-laki berkumis itu.
"Siapa yang bisa lupa pada tiga tokoh sesat yang pernah kuhajar sampai
terkencing-kencing
di Hutan Barangan!" sahut Ki Lingkih Manuk, sambil tersenyum dingin.
Memang, empat tahun yang lalu Tiga Duri
Setan selalu banyak membuat onar di dusun-
dusun sekitar lereng Gunung Anjasmoro. Untun-
glah Ki Lingkih Manuk muncul dan menghajar
mereka sampai babak belur. Setelah berhasil di-
kalahkan Ki Lingkih Manuk, Tiga Duri Setan pun
menghilang dari rimba persilatan. Kalaupun me-
reka muncul sekarang ini, tentunya di samping
untuk membalas dendam, pasti ada sesuatu yang
ingin didapatkan.
Mendengar kata-kata Ki Lingkih Manuk
itu, wajah Tiga Duri Setan memerah geram. Mere-
ka ingat, bagaimana dulu dihajar Ki Lingkih Ma-
nuk seorang diri.
Tetapi yang bicara tadi sudah kembali ter-
bahak-bahak. "Aku pun masih ingat tentang itu, Lingkih
Manuk. Sekarang, dengarkan! Nyawa tuamu hari
ini akan putus! Tetapi, kau akan selamat bila
memberikan kepada kami bokor emas itu!"
Meskipun sudah yakin kalau banyak yang
tahu tentang Air Swargaloka yang kini justru diri-butkan dengan saudara-saudara
seperguruannya sendiri, Ki Lingkih Manuk cukup terkejut juga.
Tetapi sebagai orang yang sudah makan asam ga-
rang dalam kehidupan ini, sikapnya tetap tenang
sekali. Tetapi berwibawa.
Sementara para murid Partai Gunung An-
jasmoro sudah tidak sabar untuk mengibaskan
pedang melihat kesombongan ketiga laki-laki
gundul itu. "Aku senang mendengar kata-katamu yang
berani itu, Sepuh Langit! Tetapi, apa kau yakin
mampu mendapatkannya dariku?" tukas Ki Ling-
kih Manuk. Laki-laki botak berkumis panjang yang di-
panggil Sepuh Langit terbahak-bahak.
"Jangan memandang ringan kami sekarang
ini, Lingkih Manuk! Kalau empat tahun yang lalu
kami mengakui kehebatanmu, kali ini kau harus
mengakui kehebatan kami!" sergah Sepuh Langit, sombong.
"Ya, ya. Kalau dulu aku mengampuni nya-
wa busuk kalian, tetapi sekarang ini.... Jangan
harap kuampuni lagi!" sahut Ki Lingkih Manuk sambil melangkah.
Dan kini Ki Lingkih Manuk berada delapan
tindak dari Tiga Duri Setan. Sementara para mu-
rid orang tua itu pun mundur tiga langkah.
"Kau akan yakin sekarang, kalau ucapan-
mu tak ada artinya!" dengus Sepuh Langit dengan wajah semakin memerah. "Kau tak
akan bisa meminta bantuan dari Panca Giri lainnya kalau
berhasil kami kalahkan, Ki Lingkih Manuk! Kare-
na, Panca Giri akan hancur dengan sendirinya!
Tidak lama lagi!"
Diam-diam Ki Lingkih Manuk mendesah
masygul. Rupanya perpecahan yang sebentar lagi
akan terjadi di tubuh Panca Giri, sudah terdengar ke mana-mana. Tetapi sikapnya
tetap tenang. "Untuk apa minta bantuan, kalau aku sen-
diri sanggup membungkam kalian bertiga!"
"Aku suka sekali mendengarnya! Panca Giri
sebentar lagi akan terkapar di tanah! Lingkih Manuk! Untuk apa kau
mempertahankan Air Swar-
galoka, kalau ternyata hanya terjadi perpecahan
di antara Panca Giri sendiri?" seru Sepuh Langit.
Dalam hati, Ki Lingkih Manuk membenar-
kan pula kata-kata Sepuh Langit. Yah! Untuk apa
kalau memang nanya membuat hancurnya Panca
Giri" Tetapi itu adalah amanat yang memang ha-
rus dijalankan. Lagi pula. Air Swargaloka tak
akan pernah diberikan begitu saja pada siapa
pun. Terlebih-lebih, pada tiga manusia gundul ini.
"Kalau memang demikian, mengingat jum-
lah kalian bertiga, siapakah yang berhak untuk
meminumnya?" tanya Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu aku!" sahut Sepuh Langit
sambil menepuk dadanya.
Ki Lingkih Manuk menggeleng-geleng.
"Tak kusangka, ternyata kau orang yang
tamak! Apakah kau tidak akan menyisakan untuk
kedua kawanmu?"
Wajah Sepuh Langit merah padam men-
dengar kata-kata ejekan Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu tidak! Karena, akulah Ketua
Tiga Setan Duri!"
"Sayang.... Karena jumlah kalian bertiga,
aku tidak jadi memberikannya."
Ki Lingkih Manuk tersenyum melihat wajah
Sepuh Langit memerah.
"Mengapa harus berlama-lama" Bukankah
kalian ingin unjuk gigi"!" tandas Ki Lingkih Manuk. Sebelum Sepuh Langit berkata
lagi, seseo- rang yang berada di sebelah kirinya sudah mele-
sat. Diputarnya rantai berujung besi berduri itu.
Wukkk! Wukkk...!
"Hhh! Akan kurobek-robek mulutmu itu,
Orang Tua!"
"Rupanya kau ingin mati lebih dulu. Sepuh
Bumi!" sambut Ki Lingkih Manuk sambil meng-
hindari besi berduri yang menderu-deru ke arah-
nya. Wuuusss! "Mampus!" dengus laki-laki yang dipanggil Sepuh Bumi.
"Jangan memandang ringan!" seru Ki Lingkih Manuk sambil melompat ke belakang,
sejauh beberapa tombak.
Melihat Sepuh Bumi sudah menyerang,
Sepuh Langit dan saudaranya yang dikenal ber-
nama Sepuh Bayu pun menerjang. Kini, tiga buah
rantai berujung besi berduri telah menderu-deru
mengurung Ki Lingkih Manuk.
*** Rupanya, kemampuan Tiga Duri Setan itu
telah meningkat, setelah menghilang dari dunia
persilatan. Buktinya dalam sepuluh jurus beri-
kutnya, Ki Lingkih Manuk pun mulai terdesak
menahan gempuran dan sambaran rantai beru-
jung besi berduri. Yang datang begitu cepat. Terkadang silih berganti, terkadang
secara bersa- maan. Mereka memang ingin benar-benar mem-
bungkam Ki Lingkih Manuk.
"Rupanya empat tahun tidak bertemu, te-
nagamu sudah loyo, Orang Tua!" ejek Sepuh Langit, sambil terus mencecar Ki
Lingkih Manuk den-
gan bandul besinya. Begitu pula dengan Sepuh
Bumi dan Sepuh Bayu.
"Ha ha ha...! Itu hanyalah pemanasan un-
tukku saja! Kalian jangan bangga dulu!" sahut Ki Lingkih Manuk sambil
berjumpalitan terus menerus. Sebenarnya Ketua Partai Gunung Anjosmo-
ro ini memang dalam keadaan terdesak hebat.
Bandul besi itu terus mencecar, membuatnya
menjadi kewalahan


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sebagai pendekar yang telah mene-
lan pahit manisnya kehidupan ini, dicobanya un-
tuk bertahan dan menghindari setiap serangan.
Sementara itu, para murid Partai Gunung
Anjosmoro sebenarnya sudah tidak sabar untuk
membantu. Tetapi karena belum ada perintah da-
ri Ki Lingkih Manuk, mereka mau tak mau hanya
bisa menahan geram dan amarah saja.
Kenapa tidak membokong" Padahal, itu ja-
lan yang paling baik untuk menyelamatkan guru
mereka dan gempuran-gempuran ketiga lawan-
nya. Tidak! Sekali lagi, tidak. Ki Lingkih Manuk memang telah mengajarkan sifat
Pedang Penakluk Iblis 1 Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan Pendekar Cacad 16
^