Pencarian

Darah Darah Laknat 2

Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Bagian 2


trinya telah mampus. Hhh! Sayangnya, kesempa-
tan itu tak pernah ada! Tetapi aku bisa mem-
bayangkannya."
"Membayangkannya pun telah menyenang-
kan, bukan" Lagi pula, kutaksir manusia sialan
itu sudah mampus termakan api bila dia bermak-
sud menyelamatkan mayat istrinya. Bila pun dia
masih hidup sekarang, tentunya berada dalam
keterombang-ambingan yang sangat dalam. Tak
ubahnya bagai orang dungu belaka. Jombrang...
kau lakukan tugasmu.... Sudah semalaman
mayat-mayat itu ada di belakang rumah belum
dikuburkan."
Jombrang melakukannya sambil tertawa-
tawa. Dia melangkah ke belakang rumah, berja-
rak dua puluh tombak dari sana, dia menghenti-
kan langkahnya. Tiga mayat wanita dalam kea-
daan telanjang tergolek mulai membusuk. Me-
mang, setelah mempermainkan wanita-wanita itu,
mereka tak segan-segannya membunuh. Diba-
wanya mayat-mayat itu satu persatu ke tempat
yang agak terbuka di sekitar Lembah Tirai.
Di sana sudah terdapat dua gundukan ta-
nah. Kini menjadi lima buah. Setelah menyelesai-
kan tugasnya, Jombrang kembali ke bangunan
besar itu. Tak lagi dilihatnya Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat di tempatnya.
Jombrang yakin, keduanya mempermainkan dua gadis yang mereka
culik semalam di kamar masing-masing.
Karena merasa tak enak sendiri, Jombrang
memasuki kamarnya. Di kamar itu, Harti yang
tak lain adalah adiknya Wening langsung bering-
sut agak menjauh begitu melihat kemunculan
Jombrang. Sungguh mati, Jombrang sebenarnya san-
gat sedih melihat sikap Harti yang ketakutan se-
tiap kali mendekat. Pertama kali mendapatkan
Harti, Jombrang memang memaksakan kehen-
daknya. Tetapi ketika dilihatnya baik-baik wajah Harti, Jombrang jadi teringat
akan kekasihnya
dulu, Swasti. Wajah Harti tak jauh berbeda dari
Swasti yang kini telah tenang di sisi Sang Pencip-ta.
Sebelum mengenal Ronggo Kosworo dan
Gonggo Sirat, Jombrang memang mempunyai ke-
kasih. Tetapi, wabah kolera yang menyerang du-
sunnya, tak mau peduli siapakah Swasti. Swasti
meninggal direnggut wabah kolera. Sementara
dengan hati pedih, Jombrang meninggalkan du-
sunnya. Mencoba melupakan kenangan atas
Swasti dan menghindari wabah kolera.
Dalam perjalanan meninggalkan dusunnya,
bertemulah dia dengan Ronggo Kosworo dan
Gonggo Sirat, dua pemuda begundal dari sebuah
desa yang memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Bahkan, mereka pun memiliki ilmu tenaga dalam
dan meringankan tubuh. Jombrang tidak pernah
bertanya dari siapa keduanya mempelajari ilmu
yang sangat dahsyat. Bahkan Ronggo Kosworo
dapat menghancurkan batu sebesar kambing
dengan sekali pukul. Dari keduanyalah, Jom-
brang yang semasa tinggal di desanya memiliki
dasar-dasar ilmu silat, diajarkan ilmu yang kedu-
anya miliki. Bersahabat dengan keduanya, mem-
buat Jombrang seolah bisa melupakan semua ke-
pedihannya. Tak pernah diceritakannya soal
Swasti, yang dikatakan tentang dirinya, dia pergi dari desa karena wabah kolera
menyerang. Lama kelamaan, keduanya tak ubahnya
bagai saudara belaka. Apa pun yang dilakukan
mereka, pasti diikutinya. Sampai kemudian dia
dikenalkan dengan pemuda yang bernama Ga-
mang Markuto. Kenakalan yang mereka lakukan
mulai menjalar menjadi kejahatan. Pencurian. Pe-
rampasan dan bentuk-bentuk yang masih kecil
kadarnya. Hingga Ronggo Kosworo mengusulkan
untuk melakukan aksi perampokan. Kalau sela-
ma ini mereka sering melukai orang lain tanpa
membunuh, Ronggo Kosworo berpikiran lain. Sia-
pa yang menghalangi sepak terjangnya, akan di-
bunuh. Lalu gadis yang di hadapannya ini, yang
menatapnya penuh kepucatan dan ketakutan tak
jauh berbeda wajahnya dengan Swasti. Itulah
yang menyebabkan Jombrang bersikeras memper-
tahankan Harti agar jangan dibunuh, seperti dua
gadis lainnya yang sama-sama mereka culik dari
dusun Karimata.
"Harti...," desisnya pelan, malah berkesan lembut. Jombrang memang sudah tahu
nama gadis itu, karena dia memaksa agar gadis itu me-
nyebutkan namanya. Dan sebenarnya, apa yang
diduga oleh Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat ka-
lau dia habis mempermainkan gadis itu tadi, sa-
lah besar. Karena, Jombrang tak akan mau me-
maksakan kehendaknya lagi. Di hadapannya, ga-
dis ini tak lebih dari Swasti yang pernah dan masih dicintainya.
"Pergi! Pergi!" seru Harti dengan wajah semakin memucat. Ketakutan mencekam dan
men- cengkeram jantungnya. Di hadapannya, meski-
pun lelaki pincang ini bersikap laksana seorang
dewa, dia tetap tak akan pernah tertarik. Teruta-ma bila mengingat harga dirinya
telah direnggut
lelaki pincang ini.
Jombrang merasa sedih. Dalam bayangan-
nya, Swastilah yang tengah mengusirnya.
"Jangan berkata seperti itu, Harti...."
"Keparat! Pergi jauh-jauh dari sini! Pergi!"
seru gadis itu sambil mengibas-ngibaskan tan-
gannya dengan kalap.
"Dengarlah, berulangkali aku minta maaf
atas perbuatanku itu... aku...."
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi! Pergiii!" se-ru Harti dengan kemuakan yang
menjadi-jadi. Sebelum Jombrang berkata untuk mene-
nangkan Harti, terdengar teriakan Ronggo Koswo-
ro di luar kamar.
"Jombrang! Sekali lagi gadis itu berteriak
dan memusingkan kepalaku, akan kubunuh dia!
Peduli kau mencintainya atau tidak!"
Jombrang menyahut, "Akan kutenangkan
dia, Kakang."
Ronggo Kosworo masuk lagi ke kamarnya.
Jombrang berkata pada Harti, "Kau dengar
itu, Harti.... Kakangku tak akan segan-segan
membunuh.... Dan aku yakin itu bukan ucapan
di mulut saja...."
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduliii! Pergi kau dari sini! Pergi!"
Kali ini Jombrang kelihatan terdiam. Dita-
riknya napas berkali-kali. Dia merasa Ronggo
Kosworo akan muncul lagi dan menjalankan niat-
nya. Makanya diputuskan untuk meninggalkan
Harti seorang diri di kamarnya.
"Baik... aku berada di luar dan kau...."
"Pergiii!"
Terburu-buru karena tak mau Ronggo
Kosworo menurunkan tangan telengasnya pada
Harti, Jombrang buru-buru keluar. Dia melang-
kah terpincang ke halaman depan bangunan itu.
Dipandanginya seantero Lembah Tirai yang men-
gerikan. Entah mengapa, suatu yang baru disada-
rinya datang, kalau dia telah melangkah terlalu
jauh mengikuti kemauan Ronggo Kosworo. Dita-
riknya napas berkali-kali dan ditatapnya kejau-
han tanpa tahu apa yang ditatapnya.
Sementara itu, sepeninggal Jombrang, Har-
ti menangis tersedu-sedu. Dia teringat akan ke-
dua orang-tua, Wening, dan teman-temannya.
Disesali mengapa dirinya yang menjadi sasaran
kebiadaban manusia-manusia itu. Pikiran nekat
sudah tiba di benaknya.
Harti merasa dua temannya lebih berun-
tung karena tak lagi terus menerus berada dalam
cengkeraman manusia-manusia biadab itu. Mere-
ka telah terkubur dengan sejuta kepedihan yang
tak dirasakan kembali.
Sedangkan dirinya" Harti tak bisa mem-
bayangkan apa yang akan menimpanya lagi, ke-
cuali kenistaan demi kenistaan yang akan berlan-
jut.... Harti terus menangis menyesali keadaan
yang menimpanya.
*** "Jombrang!" panggilan keras itu terdengar dari ambang pintu. Jombrang berdiri,
tubuhnya agak miring ke kiri. Dilihatnya Ronggo Kosworo
menyeringai di ambang pintu.
"Ada apa, Kakang?"
"Yakinkah kau tak ingin menikmati...."
"Tidak, Kakang!" potong Jombrang yakin.
Justru kalimat yang diucapkannya lebih cepat da-
ri biasanya itu membuat kening Ronggo Kosworo
berkerut. Tetapi sejurus kemudian dia terbahak-
bahak. "Kalau kau tidak mau, bunuh gadis itu!
Dan kuburkan seperti biasa! Gadis itu sedang
pingsan sekarang! Kurasa, Gonggo Sirat pun telah selesai!"
Tanpa banyak cakap, Jombrang berjalan ke
kamar Ronggo Kosworo. Untuk pertama kali se-
lama mengikuti aksi kejahatan Ronggo Kosworo
hati Jombrang trenyuh melihat keadaan gadis
malang yang tergolek lemah dengan tubuh tak
berdaya dan pakaian acak-acakan.
Dengan menahan kepedihan yang menda-
dak muncul itu, Jombrang merapikan pakaian si
gadis. Lalu dibopongnya keluar, bertepatan den-
gan Gonggo Sirat keluar dari kamarnya.
"Hahaha... bagus, bagus! Gadis di dalam
kamarku sudah tidak kubutuhkan!"
Untuk kedua kalinya Jombrang merasakan
kepedihan itu. Kini, dua gadis malang yang baru
saja dipermainkan kedua temannya berada dalam
bopongannya. Pingsan, dan Jombrang diharuskan
untuk membunuh keduanya dan menguburkan-
nya di tempat biasa.
Tubuh kedua gadis yang pingsan itu pun
dibawa ke tempat biasa dia menguburkan mayat-
mayat gadis lainnya. Diletakkannya kedua gadis
itu di tanah. Sejenak keraguan membaluri ha-
tinya. Apakah dia akan melakukan lagi tugas
yang diberikan Ronggo Kosworo, atau menolak-
nya" Punyakah dia keberanian untuk menolak
perintah Ronggo Kosworo"
Kegalauan menyelimuti hati lelaki pincang
itu hingga untuk beberapa jenak dia masih berdiri kaku. Tidak mencabut goloknya
dan menebas kepala dua gadis pingsan itu. Lalu menguburkan-
nya seperti biasa.
Dan tiba-tiba saja, Jombrang menolehkan
kepalanya ke arah bangunan besar. Satu pikiran
baru muncul di benaknya. Dengan gerakan yang
terlatih, digalinya tanah seukuran dua gadis yang pingsan itu.
Mengandalkan ilmu meringankan tubuh-
nya, Jombrang berkelebat dan kembali lagi den-
gan membawa potongan kayu yang banyak berse-
rakan di sana. Dimasukkannya ranting, dahan,
dan kayu kering ke dalam tanah yang digalinya.
Setelah itu ditimbun lagi tanah ke dalam dua lu-
bang itu, hingga membentuk sebuah makam.
Setelah selesai, Jombrang membopong dua
gadis itu. Berkelebat cepat ke arah timur. Berada di atas Lembah Tirai, Jombrang
terus berkelebat
cepat. Jauh sudah dia berada sekarang, dan dile-
takkannya dua gadis yang pingsan itu di sebuah
hutan kecil. Setelah itu Jombrang kembali ke tempat
semula. Baginya, inilah yang terbaik. Sungguh,
hatinya trenyuh karena perasaan cintanya tiba-
tiba saja tumbuh pada Harti yang masih diang-
gapnya sebagai jelmaan dari kekasihnya yang te-
lah meninggal. Ketika dia tiba di bangunan besar itu,
Ronggo Kosworo menyambutnya dengan benta-
kan, "Gila! Mengapa begitu lama kau melakukannya, hah?"
Untuk sesaat Jombrang gelagapan ditem-
bak' langsung seperti itu. Tetapi, dia sudah mem-persiapkan jawabannya, "Maafkan
aku, Kakang... sehabis membunuh dan menguburkan dua mayat
gadis itu, aku duduk-duduk di sana."
"Apa yang kau perbuat, hah?"
"Membayangkan kata-kata Gonggo Sirat
tadi. Aku juga ingin melihat apa yang dialami oleh Gamang Markuto setelah anak
dan istrinya kita
bunuh. Hhhh! Mungkin lebih menyedihkan dari-
pada nasib kita yang masuk penjara selama lima
belas tahun!"
Jawaban itu memang masuk akal, hingga
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Manusia itu pasti telah mampus membu-
nuh diri!"
Gonggo Sirat menimpali, "Kini, tinggal kita yang menikmati seluruh apa yang kita
cita-citakan dulu."
Ketiganya terbahak-bahak. Dan untuk per-


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tama kalinya, Jombrang merasakan tawanya
sumbang. "Kita bersiap sekarang," kata Ronggo Kosworo di sela-sela tawa mereka. "Kita
akan melakukan lagi aksi perampokan! Hahaha... akan kita
dapatkan lagi gadis-gadis jelita yang mengasyik-
kan, dan harta kekayaan yang kita miliki akan
semakin banyak."
Lalu diiringi tawa Gonggo Sirat dan Jom-
brang, ketiganya terbahak-bahak. Menggema ke-
ras di seantero Lembah Tirai.
Tak lama kemudian, tiga ekor kuda yang
ditambatkan di belakang bangunan besar itu di-
gebrak kencang oleh tiga penunggangnya yang
mengenakan jubah hitam.
6 Pada masa itu, kejayaan Kadipaten Harum
Raksa, tengah berada di puncaknya. Dipimpin
oleh Adipati Gaung Surya yang membawahi ber-
puluh dusun terdekat maupun terjauh. Kebijak-
sanaan Adipati Gaung Surya sangat dirasakan
oleh masyarakat sekitarnya. Dia selalu adil dalam bersikap, lembut dalam
bertutur. Yang salah, siapa pun orangnya, akan mendapat hukuman. Be-
gitu pula sebaliknya.
Dan di pagi yang cerah ini, dia kedatangan
tamu seorang pemuda berbaju hijau pupus. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Slebor" Di lantai di
mana pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu
duduk bersila, duduk pula Panglima Darta Sena.
Seorang panglima yang menjadi tangan kanan da-
ri Sang Adipati.
Setelah mengatakan maksud kedatangan-
nya, Pendekar Slebor menjura sekali lagi, "Maafkan atas kelancangan saya datang
ke sini dan in-
gin tahu tentang tiga tawanan kadipaten lima be-
las tahun yang lalu."
Adipati Gaung Surya yang juga sudah
mendengar nama besar Pendekar Slebor, terse-
nyum. Meskipun usianya sudah memasuki kepala
lima, wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa ke-
tampanannya. Adipati Gaung Surya mengenakan
pakaian kebesaran berwarna biru, penuh dengan
pernik yang menakjubkan.
"Kalau kau ingin mendapatkan keterangan
lebih jelas lagi, kau bisa menanyakan pada Darta Sena. Bukan begitu, Darta?"
kata Adipati masih tersenyum.
Darta Sena menganggukkan kepalanya.
"Daulat, Adipati."
"Agar kalian bisa berbicara lebih akrab lagi, aku akan meninggalkan ruang
pertemuan ini."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Adipati,"
kata Pendekar Slebor, namun dia menangkap ka-
lau Adipati Gaung Surya dalam rundung duka.
Lalu Adipati Gaung Surya segera bangkit
dari tempat duduknya, diantar oleh dua penga-
walnya yang sejak tadi berdiri di sisi kanan dan kirinya.
Setelah Adipati Gaung Surya meninggalkan
tempat itu, Panglima Darta Sena membalikkan
tubuh pada Andika. Andika pun berbuat yang
sama, hingga kini keduanya saling berhadapan.
"Lebih baik, segera kujelaskan siapa orang-
orang yang kau maksud itu, Andika," kata Darta Sena yang mengenakan pakaian
berwarna hitam menyala. Di ikat pinggangnya yang berwarna me-
rah keemasan, terdapat sebilah keris berlekuk
sembilan. Matanya yang jernih dengan hidung
yang mancung, menatap Andika.
Andika menganggukkan kepalanya.
Setelah Darta Sena menjelaskan siapakah
orang-orang yang ingin diketahui oleh Andika, pemuda sakti bersenjata kain
bercorak catur men-
gangguk-anggukkan kepalanya. Sampai sejauh
itu, Andika merasa cerita yang disampaikan oleh
Darta Sena, tak banyak berbeda dengan yang di-
jelaskan Gamang Markuto.
"Seorang buronan lagi yang bernama Ga-
mang Markuto, tak pernah kami temukan. Meski-
pun pencarian masih dilakukan, namun manusia
itu lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Pernah sekali waktu, beberapa orang
anak buahku menyirap kabar kalau Gamang Markuto bersem-
bunyi di sebuah bukit. Tetapi, ketika sampai di
sana, kami tak mendapatkan keterangan lebih
banyak tentang Gamang Markuto."
"Bukit apakah yang Panglima maksud?"
"Bukit Teduh. Oya Andika, jangan me-
manggilku dengan sebutan 'Panglima'. Rasanya,
bila yang menyebutkan sebutan itu dirimu, aku
merasa tidak enak. Karena, kaulah pendekar be-
sar yang banyak dipuji orang."
Andika tak menghiraukan kata-kata Pan-
glima Darta Sena. Justru mendengar nama bukit
itu disebutkan seketika dikerutkan kening.
"Bukit Teduh?" ulangnya tanpa dapat me-nyembunyikan keheranannya.
Panglima Darta Sena menangkap nada ke-
heranan dalam suara Andika.
"Mengapa kau seperti merasa aneh, Andi-
ka?" "Tidak, tidak," kata Andika menyembunyi-kan sesuatu dalam hatinya. "Lalu,
siapakah orang-orang yang dimaksudkan anak buahmu itu
yang mendiami Bukit Teduh?"
"Hanya ada seorang kakek tua."
"Seorang kakek tua?" desis Andika bertambah heran. Diingat-ingatnya tentang
keadaan Bu- kit Teduh, di mana Gamang Markuto dan istri
serta anaknya mendiami tempat itu. Seingatnya,
Andika tidak melihat ada rumah lain di sana
ataupun orang lain yang menghuni Bukit Teduh.
"Ya."
"Jadi... berita yang dikabarkan oleh anak
buahmu itu tidak terbukti?"
"Tidak. Bahkan siratan kabar yang ter-
tangkap oleh telingaku, buronan yang bernama
Gamang Markuto itu masih hidup, beserta anak
dan istrinya."
"Sudahkah kau mengecek ke sana sebe-
lumnya?" "Lima bulan yang lalu, aku sendiri yang da-
tang ke sana. Justru yang kutemukan, seorang
kakek yang bernama Rawung Menggolo."
Andika terdiam. Ini suatu kabar baru yang
bisa ditangkapnya. Mengapa Panglima Darta Sena
beserta anak buahnya, tak berhasil menemukan
di mana Gamang Markuto, istri, dan anaknya be-
rada di sana" Yang terlintas dalam pikiran Andika saat ini, kalau mereka
sebelumnya sudah bersembunyi dan seorang kakek tua kebetulan mau
menghuni rumah itu sementara, selagi orang-
orang kadipaten datang menyelidik. Lalu di mana
kakek yang bernama Rawung Menggolo itu seka-
rang" Andika mencoba tak menghiraukan lagi ja-
lan pikirannya karena dilihatnya tatapan Darta
Sena penuh kecurigaan. Guna mengatasi masalah
itu, dia berkata, "Kita kembali ke soal bekas tiga tawanan kadipaten. Setelah
mereka dilepaskan,
apakah tak ada yang mengikuti dari kadipaten?"
"Kalau para prajurit yang kau maksudkan,
sudah kami lakukan. Bahkan lima orang praju-
ritku tewas mengerikan, sementara ketiga bekas
tawanan itu menghilang entah ke mana. Itu se-
mua atas rencanaku. Karena, sampai sejauh ini,
harta hasil jarahan mereka di rumah saudagar
kaya yang masih famili dari Adipati, tak berhasil
ditemukan."
Andika terdiam. Ternyata apa yang didapa-
tinya ini begitu banyak perkembangannya. Bah-
kan ada terselip teka-teki yang nyasar ke otak
cerdiknya. Selagi Andika terdiam, Darta Sena berkata
lagi, "Andika... sekarang ini aku pun mengudap kabar, kalau ada tiga manusia
dajal yang menjuluki diri Tiga Iblis Golok Setan sedang melakukan aksi kejamnya.
Mereka tak segan-segan membunuh siapa saja yang menghalangi sepak terjang
mereka. Dan kekejaman mereka tak ada tandin-
gannya saat ini."
"Tahukah Panglima, siapakah mereka?"
"Kabar yang makin santer kudengar, mere-
ka hanyalah orang-orang yang kejam. Tetapi, fira-satku mengatakan kalau mereka
adalah tiga ma-
nusia keparat yang pernah menghuni penjara ba-
wah tanah kadipaten."
"Apa yang Panglima lakukan saat ini?"
"Aku sudah mengirim mata-mata untuk
melacak jejak mereka. Dan aku akan membawa
mereka kembali. Bahkan Andika, dua hari lagi,
setelah tak mendapatkan kabar dari mata-mata
yang kusebarkan, aku akan keluar dari kadipaten
ini untuk mencari manusia-manusia itu."
Andika cuma menganggukkan kepalanya.
Panglima Darta Sena bertanya, "Bersediakah kau ikut serta denganku, Andika?"
"Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan-
nya. Tetapi, aku masih mempunyai urusan yang
harus kuselesaikan," kata Andika yang kini mulai
menangkap keanehan dari peristiwa yang sedang
dihadapinya. Dan ketika dilihatnya tatapan pe-
nuh harap dari Panglima Darta Sena, Andika bisa
menangkap kalau sesungguhnya lelaki gagah itu
tengah memikirkan suatu masalah yang meng-
ganggunya. Andika yakin, ini sama sekali tidak
berhubungan dengan Tiga Iblis Golok Setan. Lalu
dia berkata dengan hati-hati, "Adakah sesuatu yang merisaukanmu, Panglima?"
Panglima Darta Sena terkejut mendengar
pertanyaan itu. Dan keterkejutannya tak luput
dari mata tajam Pendekar Slebor. Dilihatnya lelaki gagah itu menarik napas
berkali-kali "Yah... memang ada sesuatu yang merisau-
kanku, Andika. Sebenarnya, bukan hanya aku
yang merisaukan hal ini, juga Adipati Gaung
Surya." Andika memutuskan untuk tidak segera berlalu. Dia bertanya lagi,
"Bolehkah aku mengetahui hal apakah itu, Panglima?"
Panglima Darta Sena menatap lurus-lurus
pada dua bola mata Andika. Ada kerisauan yang
jelas di sana, batin Andika dan bisa merasakan
kegalauan di hati sang Panglima. Biar bagaima-
napun juga, kedudukannya sebagai kepala pasu-
kan dan sekaligus kepala keamanan di Kadipaten
Harum Raksa, peristiwa hilangnya keris Gagak
Biru itu dapat menjatuhkan namanya. Paling ti-
dak, membuatnya merasa tak berdaya mengha-
dapi kejadian itu.
"Andika... ini adalah berita yang memalu-
kan bagi Kadipaten Harum Raksa."
"Kalau begitu... tutup muka saja biar tidak malu." Panglima Darta Sena tersenyum
mendengar kata-kata Andika.
"Tiga hari yang lalu, aku dipanggil oleh
Yang Mulia Adipati. Kupikir, panggilannya itu hanyalah bersifat laporan rutin
yang biasa kulaku-
kan. Tetapi, ternyata jauh dari dugaanku semu-
la." Panglima Darta Sena membuang napas, seolah menyingkirkan kegalauan di
hatinya. "Sang Adipati... kehilangan keris pusaka Gagak Biru.
Sebuah keris bertuah warisan dari ayahnya yang
dulunya menguasai pula Kadipaten Harum Raksa
ini. Meskipun demikian, Adipati Gaung Surya ti-
dak mudah mendapatkan keris itu. Dia bertarung
mati-matian menghadapi para prajurit kerajaan
sebagai pengetesan. Juga, menghadapi orang-
orang kepercayaan Raja. Keris itu sebuah keris
yang lain jauh dari keris-keris biasa. Keris itu be-reluk tiga belas. Dan
merupakan senjata yang
tangguh. Ilmu kebal macam apa pun yang dimiliki
lawan, akan bisa ditembus oleh keris itu. Keris
bertuah Gagak Biru itulah yang menjadikan keri-
sauan ini, Andika."
"Bagaimana keris pusaka Gagak Biru itu
bisa hilang?" tanya Andika pelan. Mungkin ini sebab adipati kelihatan berduka.
"Menurut Sang Adipati... seperti biasa, ke-
ris itu disimpan di sebuah peti di ruang simpan, bersama senjata bertuah
lainnya. Dan ketika
Sang Adipati melihatnya, keris itu tidak ada di
tempat. Hanya keris itu saja yang hilang. Semen-
tara golok pusaka, tombak, dan panah pusaka,
masih tetap ada di tempatnya. Pencuri itu sangat hebat sekali, Andika. Dia bisa
masuk ke ruang simpan tanpa merusak kunci pintu maupun atap.
Dan sepertinya si pencuri tahu kalau keris itulah yang paling ampuh dari pusaka
lainnya yang ada
di ruang simpan."
"Siapakah yang memiliki kunci ruang sim-
pan Panglima?" tanya Andika lain.
"Hanya aku dan Sang Adipati," kata Panglima Darta Sena sambil menatap Andika.
"Apakah ada yang mengetahui tentang ke-
ris pusaka itu?"
Panglima Darta Sena menggelengkan kepa-
lanya. "Hanya aku dan Sang Adipati."
"Hmm... pencuri itu pasti memiliki kesak-
tian yang sangat tinggi. Sejauh ini, adakah berita tentang keris Gagak Biru
itu?" "Tidak. Rupanya si pencuri hendak ber-
sembunyi dulu. Itulah sebabnya Andika, mengapa
aku menginginkan kau untuk ikut bersamaku. Di
samping aku ingin mengembalikan Tiga Iblis Go-
lok Setan ke penjara bawah tanah, aku juga ingin menghajar pencuri keparat itu."
Andika terdiam. Persoalan ini ternyata ma-
kin bertambah. Diangkat kepalanya lagi, ditatap-


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya Panglima Darta Sena yang nampak murung
kali ini. "Panglima... bukankah lebih baik kita ber-
jalan masing-masing" Aku memang masih ada
urusan yang harus kuselesaikan, tetapi sambil la-
lu, akan kucari si pencuri itu."
"Maafkan aku karena telah merepotkan
mu." "Jangan bertindak sungkan seperti itu." La-lu perlahan-lahan pemuda sakti
dari Lembah Ku-
tukan itu berdiri, "Terima kasih atas jawaban yang diberikan Panglima."
"Kuminta, jangan mengatakan tentang hi-
langnya keris Gagak Biru pada siapa pun juga,
Andika. Karena, ini merupakan aib bagi Kadipa-
ten Harum Raksa. Dan kau perlu tahu satu raha-
sia yang sangat rahasia, Andika," kata Panglima Darta Sena sambil berdiri pula.
"Apa itu, Panglima?"
"Barang siapa yang memegang keris Gagak
Biru sebagai lambang kekuasaan Kadipaten Ha-
rum Raksa, maka secara tidak langsung, dialah
yang berkuasa di kadipaten ini. Peduli apa pun
dia mendapatkannya dengan cara mencuri, me-
nemukan atau diberikan sekalipun juga. Di mata
Raja, orang itulah yang berhak. Karena berarti dialah yang menguasai lambang
kekuasaan Kadipa-
ten Harum Raksa. Di samping itu, kekuasaan
Adipati yang sebelumnya dalam hal ini Yang Mu-
lia Adipati Gaung Surya akan meluntur. Karena,
dia tak mampu menjaga keris pusaka Gaung
Raksa itu."
"Persoalan keris Gagak Biru?"
"Bukan. Mengapa kau sangat tertarik un-
tuk mengetahui latar belakang manusia-manusia
itu, Andika?"
Bukan Andika kalau tidak bisa menjawab
cerdik, "Aku pun mengudap kabar tentang Tiga Iblis Golok Setan, yang kuyakini
sangat erat hu-bungannya dengan tiga orang bekas tawanan di
kadipaten. Dan tak akan kubiarkan manusia-
manusia itu lebih lama lagi merajalela melakukan aksi kejahatannya."
Panglima Darta Sena mengangguk puas.
Masih menyiratkan kepuasan, Panglima Darta
Sena mengantar Andika sampai ke pintu gerbang.
Sebelum Andika berlalu dia berkata, "Aku
bersyukur, karena pernah bertemu dengan pen-
dekar besar yang berjuluk Pendekar Slebor."
"Aku pun beruntung bertemu panglima be-
sar yang bernama Panglima Darta Sena," balas Andika yang membuat panglima itu
tertawa. Tidak menjadi semakin bangga atau menyombong-
kan kedudukannya. Andika berkata lagi, "Aku permisi. Sampaikan salam takzimku
untuk Adipati."
"Akan kusampaikan."
Lalu mulailah Andika melangkah mening-
galkan kadipaten, diiringi dengan pancaran mata
Panglima Darta Sena.
7 Pagi telah berlalu, siang menjelang. Tak
lama kemudian siang pun berganti senja. Sinar
matahari tak lagi panas menyengat. Langkah An-
dika yang perlahan itu kini membawanya ke se-
buah sungai yang terdapat pohon rindang. Di ba-
wah pohon itu Andika duduk bersandar. Ada satu
pikiran yang membuatnya merasa harus mere-
nungkannya lebih dulu.
"Keterangan dari Panglima Darta Sena san-
gat lengkap sekali. Dan aku yakin, lima prajurit yang ditemukan tewas itu adalah
ulah kejam dari
manusia-manusia dajal yang kini menjuluki diri
Tiga Iblis Golok Setan. Tetapi yang masih meng-
herankan aku, adalah keterangan tentang tak di-
temukannya Gamang Markuto beserta istri dan
anaknya di Bukit Teduh. Mungkin dia telah mem-
bawa anak dan istrinya pergi dari sana, dan
menggantikan kedudukannya dengan seorang ka-
kek yang bernama Rawung Menggolo. Kalau begi-
tu, di manakah si kakek berada sekarang" Atau...
ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua
ini?" Andika mencoba menemukan langkah yang terbaik dari pikirannya yang mulai
bercabang. "Apakah sebaiknya aku kembali ke Bukit
Teduh untuk mencari si orang tua yang bernama
Rawung Menggolo itu" Hmm... secara tidak lang-
sung, aku pun telah mengemban tugas dari Kadi-
paten Harum Raksa untuk mencari keris pusaka
Gagak Biru. Bila mendengar cerita dari Panglima
Darta Sena... aku yakin pencuri itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Hmm...
siapakah pencuri itu?"
Pikiran Andika kini bercabang. Persoalan
mencari Tiga Iblis Golok Setan dan mencari keris pusaka Gagak Biru.
"Biar bagaimanapun juga, kedua masalah
itu akan kutuntaskan. Lebih baik aku... heiiittt!"
Andika memutuskan kata-katanya dan mencelat
dengan satu lompatan indah dan ringan ke atas
pohon. Telinganya yang terlatih menangkap suara
sesuatu muncul dari dalam sungai.
Dari balik rimbunnya dedaunan, Andika
mengintip ke asal suara itu. Dan segera dipejam-
kan kedua matanya dengan tubuh yang menda-
dak gemetar. Pandangannya tadi sekilas melihat
satu sosok tubuh indah dalam keadaan polos se-
dang keluar dari dalam sungai. Dan sempat dili-
hatnya, tubuh yang tentunya milik seorang gadis
itu, begitu menakjubkan.
"Gila! Siapa gadis itu?" desisnya masih memejamkan matanya. "Tidak, aku tidak
boleh melihatnya," katanya melawan perasaannya yang mulai menggigit. Sejenak
tubuhnya makin bergetar. Apa yang dilihatnya itu memang merayapi
semua perasaan kelaki-lakiannya. Tetapi dasar
urakan dia berkata, "Ah, begitu bodohnya kalau aku tidak menikmatinya lagi.
Mumpung masih ada kesempatan." Lalu dengan hati-hati dibukanya kedua matanya lagi, disibakkan
rimbunnya dedaunan. Tetapi dia kecele, karena gadis itu sudah keluar dari sungai dan telah
mengenakan se- luruh pakaiannya. Gadis itu sedang duduk sambil
mengeringkan rambutnya dengan kedua tangan-
nya, membelakangi pohon di mana Andika bera-
da. "Ya... rugi deh. Tetapi baguslah, aku jadi tidak buat dosa," kata Andika
disusul tawanya sendiri,
"Kalau mengintip beginian kan, dosanya cuma sedikit... hehehe...."
Tetapi sebelum Andika melompat, terden-
gar teriakan ketakutan diiringi dengan gebahan
kuda dan teriak-teriakan keras berbalur tawa.
Dari atas pohon, dilihatnya si gadis berbaju
jingga dengan sebilah pedang di punggungnya
berdiri dan menoleh.
"Wening!" desis Andika pelan setelah melihat wajah gadis itu yang sedang
menghadap ke kiri. "Wah, jadi tubuh Wening yang kulihat tadi"
Kacau, kacau! Tetapi... siapakah yang berteriak
ketakutan itu" Seperti suara perempuan. Dan su-
ara kuda itu berjumlah tiga ekor!"
Bukan hanya Andika yang memikirkan hal
itu, Wening pun memikirkan yang sama. Baik
Andika maupun Wening tak lagi terlalu lama me-
nunggu jawabannya, karena satu sosok tubuh
dengan tubuh lemah dan penuh keringat telah ti-
ba di sana. Berlari, jatuh bangun dan berusaha
bangkit untuk berlari lagi.
Melihat gelagat yang tidak menguntung-
kan, Wening bertindak cepat. Dihampirinya gadis
yang bukan main pias wajahnya.
"Ada apa?" tanya Wening, kebiasaannya
yang bersikap tegas membuatnya tak banyak ber-
basa-basi. Gadis itu terengah-engah, lalu dengan pe-
nuh ketegangan dia berkata terputus-putus,
"Aku... aku... dikejar manusia-manusia iblis itu....
Tolong aku, Nyi... tolong aku...."
Wening sendiri tidak perlu memikirkan sia-
pakah yang tengah mengejar gadis ini. Karena de-
rap langkah kuda yang semakin mendekat itu te-
lah berhenti di hadapan Wening, berjarak tiga
tombak. Tali kekang yang ditarik tadi membuat
kaki-kaki kuda itu terangkat dan meringkik ke-
ras. Tiga ekor kuda dengan masing-masing pe-
nunggangnya! Masing-masing mengenakan jubah
hitam panjang! Melihat keadaan itu, Andika yang sejak ta-
di bermaksud untuk melompat, tetapi ditahannya
dulu karena didengarnya Wening sudah memben-
tak, "Apakah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Golok Setan?"
Orang-orang itu berpandangan. Lalu terta-
wa satu sama lain seolah mengecilkan Wening.
"Kau benar, Cah Ayu! Nah, apakah kau
bersedia menemani kami bersenang-senang" Ke-
betulan sekali, kami hanya mengejar seorang ga-
dis. Dan bila kau bersedia, kita berlima akan lebih banyak mendapatkan
kesenangan, bukan?"
Wajah Wening membesi dengan tubuh ber-
getar karena marah. Di balik punggungnya, dira-
sakan pegangan tangan gemetar yang dilakukan
oleh gadis berwajah pucat dengan peluh yang ber-
tambah banyak mengalir.
"Setan alas! Di mana adikku kalian sem-
bunyikan?" bentak Wening seketika.
"Adikmu" Hahaha... kau tak perlu iri meli-
hat keberuntungan adikmu itu! Perlu kau keta-
hui, namaku Ronggo Kosworo. Yang picak itu
bernama Gonggo Sirat, dan yang pincang berna-
ma Jombrang! Siapakah di antara kami yang ber-
kenan di hatimu" Atau... kau bermaksud melaya-
ni kami sekaligus?"
Wajah Wening bertambah mengeras. Kejeli-
taannya sirna seketika berubah menjadi kekera-
san. Amarahnya tak bisa dibendung lagi. Dengan
gerak yang cepat diloloskan pedangnya dari wa-
rangkanya. Suara 'srak' terdengar.
Lalu dia berbisik pada gadis di belakang-
nya, "Selagi aku melabrak mereka, kau agak menyingkir. Cari batang kayu, untuk
mempertahan- kan diri." Setelah mendapati gadis itu menganggukkan kepala, Wening kembali
menatap manu- sia-manusia jubah hitam di hadapannya. "Manusia-manusia dajal! Kalian harus
mampus!" sehabis berkata begitu, Wening langsung menerjang.
Jurus 'Pedang Papas Kumbang' telah diperguna-
kannya. Satu rangkaian jurus pedang yang me-
nakjubkan sekaligus mengerikan.
Begitu pedangnya bergerak, yang dituju
adalah Ronggo Kosworo yang berkata melecehkan.
Tetapi pedang yang dikibaskannya itu lolos dari
sasaran, karena Ronggo Kosworo sudah melompat
dan mencabut golok besarnya.
Wening membabat ke kiri, bersamaan
Ronggo Kosworo menangkis.
Trang! Benturan antara pedang dan golok itu cu-
kup keras terdengar, menimbulkan percikan api
sejenak. Wening tak mau membuang waktu, dia te-
rus mencecar penuh amarah. Ronggo Kosworo be-
rusaha menghindar dan membalas. Dalam dua
jurus berikutnya dia bagai anak ayam kehilangan
induk. Untuk meloloskan diri dari kejaran pedang
Wening tak mungkin bisa dilakukan.
Di saat yang genting itu, dua kawannya da-
tang membantu. Langsung menyabetkan golok di
tangan masing-masing, membuat Wening mau
tak mau menghentikan serangannya pada Ronggo
Kosworo ketika merasakan angin menyambar di
belakangnya. Di atas pohon, Andika mendesis, "Keheba-
tan Wening patut dipuji. Meskipun dikeroyok se-
perti itu, Wening kelihatannya akan tetap berada di atas angin. Tetapi, hei!"
Andika tersentak. Matanya yang tajam dan terlatih menangkap satu
keanehan. Diperhatikannya dengan seksama ja-
lannya pertarungan itu. Tiba-tiba dia mendesis,
"Kurang ajar! Ternyata ada orang yang ingin mengambil keuntungan! Baiknya,
kulihat saja du-
lu...." Di bawah, pertarungan itu bertambah sengit. Apa yang diperkirakan Andika
memang benar, Wening berhasil mengatasi lawan-lawannya. Bah-
kan Jombrang sudah tergores lengan kanannya,
dan menyusul satu tendangan kaki kiri yang telah menghantam dadanya. Lelaki itu
tersuruk tiga tombak ke belakang dan jatuh pingsan.
Menyusul Gonggo Sirat yang terkena ten-
dangan telak di kepalanya. Keseimbangannya hi-
lang seketika dan dia pun ambruk jatuh pingsan.
Menghadapi Ronggo Kosworo yang diduga
Wening adalah pimpinan dari begundal-begundal
itu, agaknya Wening menurunkan tangan lebih
keras. Berkali-kali pedangnya berkelebat. Paha ki-ri Ronggo Kosworo telah
tersayat dan mengalirkan
darah. Sementara jubah hitamnya telah koyak-
moyak terkena sabetan pedang Wening. Darah
yang mengalir, membuat lelaki bercodet di wajah-
nya itu tak mampu menguasai keseimbangannya
lagi. Tetapi, pada dasarnya dia memang telah
berhasil dikuasai Wening.
Dalam satu jurus berikutnya, Ronggo Kos-
woro sudah terkapar di tanah. Dengan amarah
yang telah membludak, terutama mencemaskan


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan adiknya, Wening menginjak dada lelaki
yang terkapar itu dengan kaki kanannya, membe-
rikan tekanan hingga mata lelaki itu terbeliak.
Sementara ujung pedangnya ditempelkan pada
tenggorokan Ronggo Kosworo yang menjadi pias.
Kegarangannya yang jelas-jelas diperlihatkan tadi, kini lenyap bagai menggantung
antara langit dan
bumi. "Ampun... ampuni aku...." serunya mengiba.
Wening menyeringai.
"Apakah kau mengampuni orang-orang
yang hendak kau bunuh, hah?"
"Aku... aku...."
"Setan alas!" Kaki Wening menekan dada Ronggo Kosworo yang merasakan dadanya
bagai melesak ke dalam. Dia melengak dengan kedua
mata melebar. Ludah menyembur dari mulutnya
begitu dadanya ditekan. "Katakan, di mana adikku dan dua gadis dusunku yang kau
culik?" "Aku... aku...."
"Apakah kau hanya bisa menjawab 'aku...
aku...' saja, hah?" bentak Wening dengan hati panas. Apalagi bila membayangkan
bagaimana na- sib adiknya sekarang ini" Apakah dia dalam kea-
daan tak kurang suatu apa, apakah sudah berada
dalam titik kehancuran" Wening lebih percaya
pada pikirannya yang kedua, dan hal itu semakin
membuatnya bertambah gusar. "Bila kau tidak mengatakannya, ujung golokku ini
akan menem-bus hingga tulang lehermu bagian belakang."
"Aku... aku...."
"Keparat!" Wening siap menusukkan ujung pedangnya, tetapi satu suara di
belakangnya mengurungkan niatnya dan membuatnya meno-
leh tanpa hilang kewaspadaannya pada Ronggo
Kosworo yang sudah tidak berdaya.
"Dia tak tahu apa-apa, Wening. Dia hanya
mengambil kesempatan saja. Orang-orang jelek
yang usil!"
"Kang Andika!" seru Wening. Gadis itu
gembira sekali bisa bertemu lagi dengan Pendekar Slebor. Tetapi, kata-kata
Andika barusan membuat keningnya berkerut. Bernada keheranan dia
bertanya, "Apa maksud ucapan, Kang Andika?"
Andika menyeringai
"Karena... mereka bukanlah Tiga Iblis Go-
lok Setan."
*** "Oh!" Wening terperanjat bukan main mendengar kata-kata yang diucapkan dengan
nada meyakinkan itu. Lain halnya dengan si gadis yang
bersembunyi di balik pohon. Siapa pun ketiga
orang itu, tetaplah orang-orang yang mengedar-
kan hatinya. Sementara Wening tengah menatap
lurus pada Andika balas menatap sambil men-
ganggukkan kepala.
Anggukan kepala Andika sebenarnya su-
dah menjelaskan apa yang dikatakannya itu me-
mang benar, tetapi Wening masih belum puas
dengan kata-kata Andika. Makanya dia bermak-
sud bertanya, "Bagaimana...."
"Ya, ya... pemuda itu benar! Kami bukan
Tiga Iblis Golok Setan!" kalimat Wening terpotong oleh orang yang sedang
diinjaknya. Suaranya
mengandung pengharapan sekali agar dibebaskan
dari injakan dan tusukan pedang Wening.
Wening tak mempedulikan seruan itu, dia
berkata lagi pada Andika, "Bagaimana ini bisa terjadi" Dan bagaimana Kang Andika
bisa menduga seperti itu?"
Bukannya menjawab, Andika menghampiri
Jombrang yang pingsan. Sambil berlutut dia ber-
kata, ?"Nih! Kau perhatikan Wening! Sejak perke-lahianmu tadi, aku sudah berada
di sini dan memperhatikan. Manusia inilah yang membuatku
yakin kalau, mereka bukanlah Tiga Iblis Golok
Setan. Kau lihat, Wening...." Andika meluruskan kaki kiri Jombrang. "Kau
lihatlah, tak ada bekas patah tulang atau cacat bawaan yang bisa membuatnya
pincang. Kakinya normal seperti kaki ki-
ta. Tetapi untuk melengkapi penyamarannya se-
bagai salah seorang Tiga Iblis Golok Setan, dia
membuat langkahnya terpincang. Manusia inilah
yang pertama kali membuatku yakin kalau dia ti-
dak pincang. Gerakan pertamanya saat meng-
gempur mu, memang masih memperlihatkan dia
pincang. Tetapi setelah itu, lenyap sama sekali.
Bahkan gerakannya lebih mirip kaki orang nor-
mal. Bukannya sombong nih! Aku terlatih dalam
hal begituan, dan aku bisa menduga kalau manu-
sia-manusia ini bukanlah Tiga Iblis Golok Setan."
Wening yang masih terheran-heran hanya
menatap Andika dengan mulut terbuka. Dilihat-
nya Andika tengah mendekati Gonggo Sirat yang
juga pingsan. "Gonggo Sirat si begundal itu menurut ka-
bar yang kuketahui, matanya sebelah kanan me-
mang picak. Tetapi, tidak ditutupi dengan kain hitam yang mengikat dari belakang
kepala. Kau li-
hat, Wening...." Andika membuka kain hitam kecil yang mirip bajak laut itu.
Wening terbelalak. Dilihatnya mata itu
normal, tak ada tanda-tanda rusak. Rasa kesal-
nya makin menjalar ketika tahu dipermainkan.
Dengan amarah membludak dia berbalik
pada Ronggo Kosworo, "Manusia kurang ajar! Kau berani-berani menipuku, hah?"
"Tidak... maaf, maafkan aku... aku dan ke-
dua temanku itu... memang sengaja menyamar
sebagai Tiga Iblis Golok Setan, karena aku tahu
kalau tiga manusia itu sangat ditakuti...."
"Apa maksudmu melakukan semua ini,
hah?" "Kami... kami butuh makan, sementara tak ada pekerjaan untuk kami....
Dengan menyamar
sebagai Tiga Iblis Golok Setan kami bisa menda-
patkan makan, uang, dan harta. Karena orang-
orang yang kami datangi sangat ketakutan...."
"Kurang ajar!" maki Wening sambil menyepak kepala Ronggo Kosworo palsu itu
hingga pingsan. Dadanya naik turun menahan geram
dan gemas. Andika mendiamkan saja gadis itu
berbuat seperti tadi. Karena, manusia semacam
Ronggo Kosworo palsu itu memang harus diberi
pelajaran. "Eit! Jangan galak begitu dong! Kau jelek
kalau galak-galak! Manusia-manusia itu sudah
mendapat ganjarannya, dan aku yakin mereka
tak akan berani lagi melakukan perbuatan itu
kembali! Apalagi kalau berhadapan denganmu
yang tahu-tahu jadi galak begitu!"
Wening berbalik pada Andika, "Justru aku
mencemaskan keadaan adikku, Kang Andika...."
Andika mengangkat sepasang alis legamnya. "Aku mengerti...."
Wening menatap lagi tiga sosok tubuh yang
pingsan itu. Bila dituruti kata hatinya, ingin dilampiaskan rasa kesal dan
marahnya karena me-
rasa dipermainkan oleh ketiga orang ini. Tetapi, seperti yang dikatakan Andika
tadi, ketiga orang itu jelas tidak akan berani lagi melakukan penyamaran sebagai
Tiga Iblis Golok Setan.
Diangkat lagi kepalanya, dan ditatapnya
Andika dengan perasaan tak menentu. Kesal, ma-
rah, sedih, galau, dan malu menjadi satu. Entah
bagaimana mulanya, tiba-tiba saja Wening me-
langkah menghampiri Andika. Tiba di hadapan
Andika, dia mendongak, menatap wajah tampan
di hadapannya yang sedang tersenyum. Lalu per-
lahan-lahan direbahkan kepalanya ke dada Andi-
ka, yang untuk sejenak melengak, karena tak
menyangka gadis itu akan berbuat seperti ini,
sangat di luar dugaannya.
Tetapi kemudian Andika sadar, biar bagai-
manapun juga, Wening hanyalah seorang gadis.
Meskipun ketegarannya sangat menakjubkan, dia
masih membutuhkan pula orang lain sebagai
tempat berbagi kekesalan dan kesedihannya.
Berpikir demikian, perlahan-lahan Andika
merangkul gadis itu. Lembut dan penuh penger-
tian. Tak ada nafsu birahi sedikit pun yang mem-
balut tubuh Andika. Rangkulan itu dilakukan
semata guna menenangkan si gadis berbaju jing-
ga itu. Perlahan-lahan dirasakan dadanya basah,
yang tentunya air itu berasal dari mata Wening.
"Aku cemas memikirkan adikku, Kang...."
"Sudahlah... kita akan mencari adikmu
itu...," kata Andika menenangkan padahal dalam hati dia berkata, "Hehehe... mau
nih seumur hidup begini terus!"
Tanpa disadari keduanya, gadis jelita yang
ditolong Wening tadi menarik napas panjang. Dia
teringat kekasihnya telah tewas di ujung golok
manusia-manusia itu karena menyelamatkannya.
Dan malam pun mulai turun, menyelimuti tanah
di sekitar sungai itu.
*** 8 Lelaki setengah baya dengan tubuh kurus
dan wajah penuh keriput itu keluar dari dusun
Karang Batu. Dibawa langkahnya satu-satu den-
gan tubuh yang sepertinya lelah sekali ke arah
timur. Pakaiannya yang berwarna putih kusam
tersibak dipermainkan angin, padahal sudah ter-
tutup rapat. Rambutnya panjang hingga bahu,
beriap-riap bagai berlomba mengikuti arus angin.
Mata tuanya nampak menyiratkan kedukaan.
Langkah perlahannya dihentikan di sebuah
hutan kecil di hadapannya. Diperhatikan sekelil-
ing tempat di mana dia berdiri. Dia tak mau men-
dapati satu musibah karena kurang berhati-hati.
Setelah dirasanya cukup aman, dia duduk di ba-
wah sebuah pohon rindang dan mulailah dibuka
nasi bungkus yang dibelinya di dusun yang dila-
luinya tadi. Dalam waktu yang singkat, nasi itu
telah habis dimakan.
Dan tanpa disadarinya, dua pasang mata
memperhatikannya dari atas pohon di mana laki-
laki tua itu duduk menikmati nasi bungkusnya.
Dua orang di atas pohon itu tak mengeluarkan
kata sama sekali, terus memperhatikan si lelaki
tua itu. Padahal, yang seorang, yang mengenakan
pakaian berwarna jingga berkeinginan untuk tu-
run karena pikirnya, lelaki tua itu tidak berba-
haya. Tetapi kawannya yang berambut gondrong
dan mengenakan pakaian warna hijau pupus
menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti ada sa-
tu pikiran di benaknya, yang harus dilepaskan.
Si lelaki tua masih asyik bersandar. Perut-
nya telah kenyang. Lelahnya sedikit terbayar.
Tiba-tiba terdengar gumamannya,
"Hmmm... ke mana lagi harus kucari manusia-
manusia biadab itu. Tak akan pernah kubiarkan
mereka hidup lebih lama setelah membunuh Su-
mirah dan Dali Gunarso...."
Si pengintip yang berbaju hijau pupus
mengerutkan kening. Sumirah dan Dali Gunarso"
Bukankah itu nama istri dan anaknya Gamang
Markuto" Dugaannya semakin kuat saja, kalau
dia bisa menebak siapa lelaki tua ini.
Memikir sampai di sana, diberinya isyarat
melalui anggukan kepala pada gadis di sebelah-
nya. Melompat ke arah yang berlawanan, lalu
mendatangi lelaki tua itu seolah belum melihat
sebelumnya. Si gadis menganggukkan kepala. Tak lama
kemudian, keduanya melangkah mendekati si tua
yang masih duduk bersandar. Begitu melihat ada
yang datang si tua itu langsung berdiri. Keningnya berkerut memperhatikan
keduanya. "Siapa kalian?"
Si pemuda yang mengenakan pakaian hijau
pupus tersenyum. Tetapi pada dasarnya si pemu-
da memiliki sifat yang urakan dan kocak, se-
nyumnya jadi jelek bukan main.
"Maafkan, kalau kami mengganggu istira-
hatmu, Bapak. Namaku Andika dan gadis ini sa-
habatku, namanya Wening. Siapakah Bapak
adanya" Pasti Bapak punya nama, kan?"
Lelaki tua itu memperhatikan keduanya sa-
tu persatu. Lalu perlahan-lahan dia berujar, "Namaku Rawung Menggolo."
Andika menarik napas lega. Tak salah du-
gaanku, batinnya. Memang, sebelumnya Andika
dan Wening tiba pula di dusun Karang Batu sete-
lah mengantar gadis yang bernama Marni ke de-
sanya. Membantu penduduk di sana merapikan
keadaan yang agak porak poranda. Mereka sara-
pan di sebuah kedai. Saat sarapan itulah, si lelaki tua ini muncul. Didengarnya
lelaki itu menanyakan tentang Tiga Iblis Golok Setan pada pemilik
kedai, yang dijawab dengan menggelengkan kepa-
la. Setelah si tua keluar kembali dengan membeli nasi bungkus, Andika memberikan
isyarat pada Wening untuk menyelesaikan sarapannya lebih
cepat. Hatinya mengatakan ada sesuatu yang se-
lama ini mulai tergambar di benaknya. Dibuntu-
tinya lelaki tua itu dan dengan ilmu meringankan tubuh yang keduanya miliki,
mereka berhasil
dengan mudah melakukannya. Bahkan melompat
ringan ke pohon di mana si lelaki tua itu duduk


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati nasi yang baru dibelinya tadi.
Andika menatap lurus pada lelaki tua itu.
"Kalau memang Bapak bernama Rawung
Menggolo, tentunya Bapak mengenal Gamang
Markuto, bukan?"
Lelaki tua itu tak segera menjawab. Kalau
tadi tatapannya sudah membiaskan rasa persa-
habatan, kali ini tatapannya menyelidik.
"Siapa yang kau maksudkan, Anak Muda?"
Andika sadar, kalau Rawung Menggolo
agaknya mencurigainya. Lalu diceritakan siapa
dirinya dan bagaimana pertemuannya dengan
Gamang Markuto. Juga, bagaimana Gamang
Markuto melarikan diri darinya.
Setelah beberapa saat terdiam, Rawung
Menggolo barulah menjawab, "Yah... aku men-
genal lelaki yang kau maksudkan itu, Anak Mu-
da." Lagi-lagi Andika tersenyum yang jeleknya bukan main. Untuk melanjutkan
pembicaraan, diajaknya Rawung Menggolo dan Wening duduk.
Di bawah kerindangan pohon yang ditemani oleh
burung-burung bernyanyi, percakapan itu dilan-
jutkan. "Bapak Rawung... aku ingin tahu tentang Gamang Markuto," kata Andika
santai. "Ceritakan deh! Mumpung aku berada di sini!"
Lelaki tua itu menarik napas panjang. Pan-
caran matanya menyiratkan keengganan dan ke-
dukaan dalam. Dan yang diceritakan kemudian
oleh Rawung Menggolo, sama seperti yang diceri-
takan Gamang Markuto sendiri dan Panglima
Darta Sena. Andika bertanya lembut, "Aku menyirap
kabar, kalau prajurit Kadipaten Harum Raksa be-
berapa bulan lalu mencari Gamang Markuto yang
dinyatakan sebagai buronan karena dialah yang
belum tertangkap dari empat bajingan yang mela-
kukan tindak kejahatan pada seorang saudagar.
Bahkan berkali-kali mendatangi Bukit Teduh.
Hanya yang mengherankan, mengapa Gamang
Markuto tidak ditemukan oleh mereka?"
Rawung Menggolo menarik napas pendek.
"Yah... itu dikarenakan, setiap kali para
prajurit kadipaten datang, Gamang Markuto
mendatangiku bersama istri dan anaknya. Lalu,
aku menggantikan kedudukan mereka sebagai
pemilik rumah. Bila prajurit-prajurit itu bertanya, kujawab aku telah lama
mendiami tempat itu dan
tak mengenal orang lain di sana. Terutama, yang
mereka cari."
"Jauhkah tempat tinggal Bapak dari ke-
diaman Gamang Markuto?" tanya Andika pula.
"Lumayan. Membutuhkan waktu dua kali
penanakan nasi. Aku tinggal di sebelah timur dari Bukit Teduh, di sebuah hutan
kecil yang sunyi
namun nyaman. Tetapi, beberapa hari yang lalu,
ketika aku bertandang ke rumahnya, rumahnya
telah hangus dan rata dengan tanah. Kecemasan-
ku datang, terutama ketika kulihat ada dua buah
gundukan tanah yang masih baru. Melihat uku-
rannya, aku yakin itu adalah makam Dali Gunar-
so dan Sumirah. Lalu, di mana makam Gamang
Markuto" Setelah kucari beberapa saat, tak ku-
temukan di mana makamnya. Dugaanku hanya
satu, dia telah tewas di satu tempat, ataukah pa-ra prajurit itu berhasil
menemukannya. Tetapi,
keyakinanku kalau bukan para prajurit yang me-
lakukannya mulai timbul, ketika mempertim-
bangkan tak akan mungkin para prajurit kadipa-
ten membunuh anak dan istrinya. Dan kemudian
aku ingat, tentang teman-temannya yang pernah
mengancamnya dulu untuk melakukan tindak ke-
jahatan. Apakah tidak mungkin kalau mereka
yang melakukannya" Akhirnya kuputuskan un-
tuk mencari kebenaran dugaanku itu. Kusirap
kabar, kalau sekarang tengah terjadi tindak telengas dari Tiga Iblis Golok
Setan. Dugaanku, tiga
manusia itulah yang menjuluki diri Tiga Iblis Golok Setan, karena aku juga
mendengar kalau me-
reka telah keluar dari tahanan. Ah... malang nian nasib yang dialami Gamang
Markuto." Andika diam-diam memuji kecerdikan
orang tua ini, sekaligus rasa persaudaraan yang
ada di hatinya. Didengarnya lagi si orang tua berkata, "Anak muda... aku yakin,
Gamang Markuto tak bersalah sedikit pun. Berkali-kali sudah kukatakan, sebaiknya
menyerahkan diri saja pada
kadipaten. Tetapi ditolaknya, karena baginya ma-
sih ada yang lebih penting lagi. Soal anak dan istrinya. Sampai akhir hayatnya,
mungkin istri dan anaknya tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya."
"Adakah dugaan ke mana Gamang Markuto
pergi?" tanya Andika kemudian. "Karena, ketika kusuruh untuk membersihkan badan
dan aku menyiapkan jagung bakar untuk sarapan, dia su-
dah menghilang begitu saja."
Rawung Menggolo menggelengkan kepa-
lanya. "Tidak. Aku tidak punya dugaan dia pergi ke mana. Karena yang kutahu,
Gamang Markuto tak mempunyai sanak famili lagi. Kalaupun dia
pergi sekarang, mungkin dia tengah mencari ma-
nusia-manusia keji yang telah membunuh istri
dan anaknya. Ah, aku bersyukur sekarang dan
perasaanku jauh lebih tenang dari sebelumnya,
karena dari kata-katamu tadi, aku yakin Gamang
Markuto masih hidup."
Andika menarik napas panjang. Masih ba-
nyak teka-teki yang ada di benaknya. Ke mana
Gamang Markuto pergi" Di mana Tiga Iblis Golok
Setan bersembunyi" Juga, beberapa pertanyaan
yang masih tersimpan di benaknya.
Karena tak ada lagi keterangan yang bisa
didapatinya, dia berdiri. Wening yang sejak tadi hanya mendengarkan, berbuat
yang sama. Rawung Menggolo pun berdiri pula.
"Bapak... terima kasih atas penjelasan Ba-
pak. Sekarang, Bapak hendak ke manakah?"
"Aku tak akan kembali ke tempat tinggalku
sebelum kujumpai Gamang Markuto."
Andika bisa merasakan kekerasan hati si
orang tua. "Kalau begitu, berhati-hatilah...."
"Aku bisa menjaga diri, Anak Muda. Lagi
pula, meskipun aku merasa terlibat dalam urusan
ini, Tiga Iblis Golok Setan tak mengenalku dan
tahu siapa aku."
Andika tersenyum.
"Berhati-hatilah...."
Andika mengajak Wening meninggalkan
Rawung Menggolo yang telah meneruskan lang-
kahnya. Diam-diam, ada sesuatu yang menggang-
gu Andika. Tetapi lagi-lagi untuk saat ini dia tak tahu pikiran apa yang
membingungkannya.
Namun di benaknya, ada sebuah rencana
yang akan dilakukannya.
*** Kedatangan tiga lelaki penunggang kuda
dan mengenakan jubah hitam ke tempat pelacu-
ran Mawar Hitam, disambut dengan sikap manja,
centil dan penuh rangsangan dari para pelacur
yang mendiami tempat itu. Kuda-kuda hitam me-
reka yang ditambatkan di depan pintu tempat pe-
lacuran itu, bagai mendapat perlakuan yang isti-
mewa. Beberapa pekerja di sana segera mengurus
kuda-kuda itu. Dengan cepat memandikan, mem-
beri makan dan minum.
Seorang germo bertubuh gemuk dengan
rambut disanggul mengajak ketiganya ke ruang
dalam. Germo yang bernama Nyai Idah Merah
memang sudah mengenal siapa yang datang, tiga
langganannya yang royal. Sebenarnya, sambutan
Nyai Idah Merah pada ketiga manusia yang tak
lain adalah Tiga Iblis Golok Setan, bukan dikarenakan keroyalan mereka, tetapi
karena dia per-
nah mendengar kabar tentang sepak terjang Tiga
Iblis Golok Setan yang selalu menurunkan tangan
telengas. Di samping itu, Nyai Idah Merah sendiri telah mengenal mereka sebelum
ketiganya dipen-jara. "Nah, kalau Kangmas menginginkan yang baru, kami memang
baru mendapatkannya. Ini
istimewa lho. Tak seorang pun langgananku yang
kusuguhkan gadis-gadis itu," kata Nyai Idah Me-
rah sambil mengerling genit. Dandanannya sangat
medok, penuh dengan pupur di sana-sini. Bibir-
nya dipoles sangat merah. Pakaiannya yang kun-
ing keemasan sebenarnya sangat indah sekali. Te-
tapi karena dikenakan oleh perempuan yang ber-
tubuh gemuk dengan buah dada besar dan wajah
penuh pupur, justru jadi jelek sekali. Penampilan Nyai Idah Merah sebenarnya tak
lebih dari badut-badut di kotapraja.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali, Nyai. Kau tahu saja
keinginan kami. Tetapi, bagaimana dengan perin-
tahku waktu itu" Sudahkah kau mendengar ka-
bar tentang Gamang Markuto?"
"Belum, Kangmas. Tak ada anak buahku
yang pernah mendengar namanya," kata Nyai
Idah Merah sambil mengerling genit. "Padahal, aku juga heran dulu biasanya
kalian berempat tetapi mengapa sekarang bertiga?"
"Kau tak perlu tahu soal itu!" bentak Ronggo Kosworo.
Lelaki setengah baya berbaju putih kusam
masuk ke ruangan itu. Nyai Idah Merah seketika
melotot gusar. Dia bangkit dari duduknya dan
berdiri berkacak pinggang di hadapan lelaki itu.
"Ruangan ini untuk tamu-tamu istimewa-
ku, Orang Tua!!"
Si orang tua hanya tersenyum saja. Menge-
luarkan kantong kecil dari balik pakaiannya. Di-
keluarkannya isinya ke telapak tangannya.
"Kau lihat, Nyai... aku mempunyai uang
perak yang cukup banyak, bukan" Lima belas ga-
dis-gadismu pun sanggup kubayar malam ini."
Wajah Nyai Idah Merah yang tadi sengit ki-
ni menjadi cerah. Tetapi ketika dia melirik Ronggo Kosworo yang menekuk wajah,
terburu-buru dia
berkata, "Apakah kau sudah mendapatkan salah seorang gadisku?"
Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, silakan kau bersenang-
senang." "Aku sudah melakukannya," kata si orang tua berbohong. "Selagi aku ingin
meninggalkan tempat ini, aku mendengar tentang nama seseorang disebutkan."
Nyai Idah Merah hendak membuka mulut,
tetapi Ronggo Kosworo sudah memotong, "Mak-
sudmu... Gamang Markuto?"
Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Benar. Gamang Markuto."
Ronggo Kosworo menatap tajam pada orang
tua yang nampaknya tenang-tenang saja.
"Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua?"
"Namaku Rawung Menggolo. Aku tinggal di
daerah pesisir barat," kata orang tua itu berbohong kembali.
"Apa yang kau ketahui tentang Gamang
Markuto?" "Perjumpaanku dengan lelaki yang berna-
ma Gamang Markuto terjadi tiga hari yang lalu, di hutan sebelah timur dari sini.
Lelaki itu bertanya padaku tentang Tiga Iblis Golok Setan. Dan melihat
penampilan kalian, aku yakin kalianlah yang
dimaksudkan olehnya."
Ronggo Kosworo mendesis dingin.
"Ya, kamilah yang berjuluk Tiga Iblis Golok Setan. Apa yang kau katakan
padanya?" "Dia mencari kalian karena kalian telah
membunuh anak dan istrinya."
Secara bersamaan, tiga lelaki berjubah hi-
tam itu terbahak-bahak. Begitu kerasnya hingga
dua orang tukang pukul di tempat pelacuran itu
masuk dan melongok. Tetapi setelah melihat isya-
rat dari Nyai Idah Merah melalui gerakan dagunya yang gemuk, keduanya keluar
kembali. Sementara Nyai Idah Merah diam-diam me-
rasa ngeri mendengar keterangan itu.
"Bagus! Bagus sekali! Sekarang... kau ikut
dengan kami untuk mencari manusia keparat
itu!" "Aku tidak tahu lagi di mana dia berada."
"Kita akan mengeceknya ke hutan yang
kau maksudkan. Karena kau yang mengetahui
tempat itu, kau harus menunjukkan tempat itu.
Ingat, jangan sekali-sekali berlaku dusta kepada kami bila kau masih sayang
dengan nyawa busukmu!"
Wajah Rawung Menggolo menyipit.
Lalu katanya dengan suara tegar, "Baik! Ki-
ta pergi sekarang!"
"Usul yang menyenangkan!" Ronggo Koswo-ro berkata pada Nyai Idah Merah. "Jaga
ketiga gadis yang kau katakan pada kami tadi. Setelah
manusia keparat yang bernama Gamang Markuto
itu mampus, kami akan kembali lagi!"
"Ronggo Kosworo...," kata Rawung Menggo-
lo. "Jangan salahkan aku bila kita tak menjumpai lelaki yang bernama Gamang
Markuto itu di sa-na." Sepasang mata Ronggo Kosworo menyipit.
"Berarti... lehermulah sebagai jaminannya!"
Wajah Rawung Menggolo tiba-tiba menjadi
pias. Tubuhnya agak bergetar dan dia tak bisa
melakukan apa-apa kecuali mengikuti ketiganya
ketika dengan enaknya dan seolah menganggap-
nya sebuah bungkusan, tubuhnya didorong oleh
Ronggo Kosworo keluar dari tempat pelacuran itu.


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 9 Bukit yang ditunjukkan Rawung Menggolo
ternyata sebuah bukit kapur yang dikelilingi oleh pegunungan karang. Lelaki tua
yang mempunyai maksud tertentu di benaknya itu tiba di sana bersama Tiga Iblis Golok Setan,
tepat ketika ratu malam bersinar terang di atas kepala.
"Mana manusia laknat itu?" bentak Ronggo Kosworo sambil melompat dari kudanya.
Mata liarnya memperhatikan sekitar. Ketika tak dite-
Pengelana Rimba Persilatan 1 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Naga Dari Selatan 18
^