Pencarian

Darah Darah Laknat 1

Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Bagian 1


DARAH-DARAH LAKNAT Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi masih muda. Angin berhembus semi-
lir, seperti mengabarkan berita baik bagi siapa sa-ja yang merasakan belaiannya.
Matahari belum begitu menyengat. Mengkristalkan panah merah-
nya bersama hembusan angin.
Bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan rin-
dang itu terletak di sebelah utara Gunung Kerinci.
Berjarak ribuan tombak dari sana. Tempat yang
nyaman dan permai itu ternyata berpenghuni dan
disebut Bukit Teduh. Ada sebuah bangunan yang
tak begitu besar di sisi sebelah kirinya. Di belakang rumah itu terdapat ladang
jagung yang cu-
kup subur. Di ladang jagung itu, seorang lelaki berusia
kira-kira empat puluh lima tahun, sedang asyik
memanen jagung. Yang sedianya dijual di pasar
yang cukup jauh jaraknya dari sana. Tetapi lelaki yang berwajah cukup cakap
dengan tubuh kekar
bertelanjang dada itu, tak menghiraukan berapa
jauhnya jarak pasar dari tempat tinggalnya.
Baginya, bertempat tinggal di bukit itu,
sangat menyenangkan sekali. Jauh dari segala
masalah yang membisingkan. Dia teringat bebe-
rapa kali istrinya yang berusia dua puluh tujuh
tahun itu mengajak untuk pindah. Tetapi dengan
sikap yang bijak si lelaki yang bernama Gamang
Markuto selalu memberikan jawaban yang bisa
menyenangkan istrinya. Padahal sesungguhnya,
ada sesuatu di balik semua ini. Dan Gamang
Markuto tak ingin hal itu diketahui istrinya.
Di tepi ladang jagung yang diberi pagar dari
kayu-kayu itu, nampak seorang anak yang beru-
sia sepuluh tahun sedang asyik bermain. Ru-
panya dia tengah membuat perahu-perahuan dari
pelepah daun jagung.
Bocah itu bernama Dali Gunarso. Putra da-
ri Gamang Markuto dan istrinya.
Selagi Gamang Markuto asyik memanen ja-
gung sementara anaknya terus sibuk dengan ke-
giatannya, tiba-tiba terdengar seruan bocah itu.
"Ayah! Ada orang datang!"
Gamang Markuto menghentikan kegiatan-
nya sejenak. Dia berdiri tegak. Butir-butir keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Di kejauhan, dilihatnya tiga ekor kuda sedang menuruni bukit
di sebelah selatan. Kegembiraannya memanen ja-
gung itu mendadak sirna. Hatinya berdebar keras
tak menentu. Sesuatu yang selama ini dipendam
dan dirahasiakannya, mendadak bergejolak. Sua-
sana yang nyaman itu terasa oleh Gamang Mar-
kuto sangat mencekam sekali.
"Merekakah yang datang?" desisnya panik.
Dipicingkan matanya kembali. Sesaat perasaan-
nya makin tak menentu. "Kalau benar manusia-manusia dajal itu yang datang, bisa
berabe!" Bergegas dia menghampiri putranya dan bermaksud
mengajaknya masuk.
Tetapi sebelum dia melakukannya, tiga
ekor kuda yang ditunggangi oleh tiga lelaki berjubah hitam panjang dan tergerai
dipermainkan an-
gin, telah tiba di hadapannya. Berhenti pada jarak
sepuluh tindak.
Masing-masing penunggang kuda itu me-
natap tak berkedip pada Gamang Markuto yang
mendadak menjadi tegak.
"Lama kami mengarungi tempat, menjela-
jah penjuru, tidak tahunya yang dicari bersem-
bunyi di sini," salah seorang dari ketiga laki-laki itu berkata sambil terbahak-
bahak. Wajahnya penuh codetan. Rambutnya tergerai panjang dengan
mata tajam yang membersitkan kelicikan. "Apa kabarmu, Gamang Markuto?"
Untuk sejenak Gamang Markuto menge-
rutkan kening. Dicobanya untuk mengenali wajah
laki-laki yang berseru tadi, "Ronggo Kosworo!" serunya tersentak.
Orang bercodet yang dipanggil Ronggo
Kosworo terbahak-bahak, keras hingga menggema
ke seluruh bukit. Sumirah, istri Gamang Markuto
yang sedang menanak di dapur rumah, bergegas
keluar karena suara tawa itu sangat asing sekali.
Begitu melihat istrinya keluar, Gamang
Markuto mendesah panjang. Tak mungkin seka-
rang ia bisa menahan istrinya. Sumirah mendeka-
ti anak dan suaminya. Dipegangnya tangan Dali
Gunarso dengan erat. Wanita cantik yang memili-
ki otak cerdik itu bisa meraba apa yang terjadi.
Karena, tak biasanya suaminya bersikap tegang
seperti itu. Apalagi, ketika ia melihat wajah ketiga penunggang kuda berjubah
hitam itu. Rata-rata
menyeramkan. Dan tatapan mereka melebar begi-
tu melihat dirinya.
Ronggo Kosworo kembali terbahak-bahak.
"Kulihat hidupmu begitu nyaman, Gamang. Istri yang cantik dan anak yang cakap.
Hmmm... tetapi sikapmu tadi tak mengenakanku, Gamang. Apa-
kah kau sudah tidak mengenali kami lagi, hah?"
Gamang Markuto terdiam. Pandangannya
tak berkedip menatap Ronggo Kosworo yang ma-
sih terbahak-bahak. Perasaan Gamang Markuto
tidak tenang lagi. Tetapi sikapnya yang jantan
membuatnya berusaha untuk tenang.
"Sekarang, kita tak lagi mempunyai uru-
san. Semua sudah selesai. Lebih baik, pergi dari sini!" suaranya gagah,
mengandung tekanan.
"Kakang Ronggo...," kata yang menunggang kuda di sebelah kiri lelaki bercodet
itu. Matanya sebelah picak. Ada daging yang tercacah di sana, namun sudah lama
mengering. "Manusia ini ternyata masih punya nyali, tak pengecut seperti du-lu.
Dia mengusir kita. Apakah pantas kedatangan
kita yang sudah tiga bulan mencari manusia ke-
parat itu harus menerima perlakuan buruk sema-
cam ini?" Ronggo Kosworo mengalihkan pandangan-
nya lagi pada Gamang Markuto.
"Kau dengar itu, Gamang" Kami datang se-
bagai tamu, tak layaknya kau sebagai tuan ru-
mah memperlakukan kami seperti ini, bukan?"
"Lima belas tahun yang lalu, semua masih
jadi urusanku! Tetapi sekarang, hidupku sudah
tenang! Jangan ganggu kehidupan yang kuban-
gun dengan susah payah ini!" seru Gamang Markuto. Ronggo Kosworo meradang.
"Manusia ke-
parat! Bila kau tidak mengatakan di mana per-
sembunyian kita waktu itu, tak mungkin hidup
kami harus berakhir di penjara kadipaten! Apa-
kah kau pikir selama lima belas tahun hidup ka-
mi enak dan penuh kelayakan" Codet di wajahku
ini, picak di mata Gonggo Sirat dan pincangnya
kaki kiri Jombrang, ini adalah hasil siksaan ma-
nusia-manusia laknat di kadipaten! Sementara
kami terkena siksaan yang sangat pedih, kau
enak-enakan hidup bahagia! Menggeluti istrimu
yang cantik dan mempunyai anak yang cakap!
Memiliki rumah yang bagus, dan lading jagung
yang subur! Apakah kami akan diam saja untuk
tidak membalas perlakuan busukmu itu, hah"!"
Gamang Markuto terdiam. Ingatannya
kembali pada peristiwa lima belas tahun yang la-
lu. Dulu, ketiga orang berjubah hitam itu adalah konco-konconya. Rencana
perampokan di rumah
seorang saudagar kaya datang dari Ronggo Kos-
woro. Gamang Markuto saat itu menolak untuk
ikut serta. Meskipun ketiganya adalah sahabat-
nya, namun ia tak mau melakukan perbuatan
makar. Tetapi ketiga temannya justru mengancam
akan membunuhnya bila ia tak mau ikut serta.
Dengan terpaksa, Gamang Markuto ikut serta da-
lam aksi perampokan itu. Tiga korban melayang
jiwanya. Saudagar kaya itu luka parah, sementara istrinya diperkosa beramai-
ramai. Gamang Markuto yang tidak mau ikut saat memperkosa istri
saudagar kaya itu, dengan berat hati mau tak
mau melakukannya karena golok di tangan Rong-
go Kosworo sudah menempel di lehernya.
Dengan membawa hasil jarahan yang me-
limpah, mereka melarikan diri ke Gua Arca. Sebu-
lan lamanya mereka di sana dan sesekali keluar
untuk melihat keadaan. Aksi perampokan yang
disertai dengan kekerasan itu, sangat santer se-
kali pada waktu itu. Hingga Adipati Gaung Surya
yang menguasai Kadipaten Harum Raksa pun tu-
run tangan, karena saudagar itu juga termasuk
familinya. Pencarian besar-besaran pun dilaku-
kan. Gamang Markuto yang pada dasarnya me-
nolak aksi kejahatan itu, memutuskan untuk ke-
luar dan menyerah. Ia tak sanggup berdiam diri
lebih lama di Gua Arca dengan membayangkan
bagaimana pedih dan sakitnya hati orang-orang
yang telah terbunuh dan istri saudagar kaya itu
yang mereka perkosa.
Sudah tentu Ronggo Kosworo marah besar
dengan usulnya. Ia ditempeleng habis-habisan
disertai cacian yang menyakitkan. Namun agak-
nya, pelarian mereka memang harus berakhir.
Prajurit kadipaten berhasil menemukan jejak me-
reka dan laporan seorang tua pemancing yang
merasa heran karena Gua Arca kini dihuni.
Para prajurit kadipaten pun melacak ke
sana. Bertepatan saat itu, Gamang Markuto se-
dang mandi di sungai. Alangkah terkejutnya ia
ketika kembali ke Gua Arca, dilihatnya ketiga temannya dalam keadaan terikat
diseret oleh tiga
ekor kuda. Padahal yang diketahuinya, ketiga te-
mannya itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Namun keadaan itu tidak begitu menghe-
rankan, karena di samping jumlah prajurit Kadi-
paten yang sangat banyak, juga penangkapan itu
dipimpin oleh Panglima Darta Sena, tangan kanan
Adipati Gaung Surya yang memiliki ilmu tinggi.
Tetapi, andaikata Panglima Darta Sena seorang
diri, dia pun tak akan mampu menangkap keti-
ganya. Jangankan menangkap, mengalahkannya
saja belum tentu.
Masih didengarnya makian Ronggo Koswo-
ro, "Ini ulah Gamang Markuto! Ia yang melapor-kan kita berada di sini! Aku
bersumpah, akan me-
lakukan pembalasan pada pengkhianat itu!!"
Gamang Markuto menjadi ketakutan luar
biasa. Di samping khawatir, ia akan ditangkap
pula, juga ketakutan karena ancaman Ronggo
Kosworo yang sebenarnya salah paham. Gamang
Markuto tak pernah melakukan hal itu. Meskipun
ia tak mau melakukan semua ini sebelumnya,
namun ia tak memiliki jiwa pengkhianat!
Ia bersembunyi di dalam sungai ketika pa-
ra prajurit kadipaten mencari-carinya. Dari keterangan Ronggo Kosworo yang
sangat geram pada
Gamang Markuto, para prajurit itu tahu kalau
masih ada seorang lagi buronan yang belum ter-
tangkap. Menyelami sungai Gamang Markuto me-
nyeberang dan berlari sejauh mungkin. Tiba di
satu tempat ia menarik napas panjang. Tiba-tiba
ia teringat akan harta hasil jarahan mereka. Tak dilihatnya sebelumnya para
prajurit kadipaten
membawa hasil jarahan itu. Sudah tentu mereka
tak akan menemukannya. Karena hasil jarahan
itu diletakkan di bawah batu yang cukup besar
setelah dibuat lubang di dalamnya.
Setelah seminggu menunggu keadaan
aman, barulah Gamang Markuto mendatangi lagi
Gua Arca. Sekuat tenaga ia mendorong batu itu
dengan bantuan sebatang kayu besar sebagai
pengungkit. Digalinya lubang di bawah batu itu
dan ia pun kabur dengan hasil jarahan mereka.
Namun, tak sekali pun Gamang Markuto
mempergunakan hasil jarahan itu. Ia memu-
tuskan untuk bekerja di pasar yang terdapat di
kotapraja. Di sanalah ia bertemu dengan istrinya yang rela meninggalkan rumah
dan menghuni tanah di sekitar Bukit Teduh itu.
Dan sekarang, manusia-manusia itu mun-
cul kembali. Gamang Markuto menghela napas
panjang. "Ronggo... yang kau katakan itu salah be-
sar. Aku tak pernah mengkhianati kalian. Tak
pernah memberitahukan di mana kita bersem-
bunyi!" "Setan keparat! Sejak dulu kau pandai ber-silat lidah!"
"Dengar Ronggo, bila yang kau inginkan
adalah hasil jarahan kita waktu itu... aku masih menyimpannya," kata Gamang
Markuto merasa hal itu lebih baik. Ia melirik istrinya yang terkesiap dan seketika menoleh
padanya dengan ken-


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing berkerut dan pandangan yang menyipit. Ga-
mang Markuto tak mempedulikan soal itu terlalu
lama. Istrinya harus tahu rahasia apa yang di-
pendanmnya selama ini.
"Di mana harta itu?"
"Berjanjilah... setelah kalian mendapatkan
hasil jarahan itu... segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kehidupanku
lagi!" Jawaban dari Ronggo Kosworo hanya ter-
bahak-bahak saja. Gamang Markuto berpaling
pada istrinya, "Maafkan aku, Sumirah...."
"Kang Gamang... mengapa semua ini terja-
di?" tanya Sumirah dengan rasa penasaran dan sedih yang makin meraja.
Gamang Markuto memegang bahu istrinya
sambil menarik napas panjang.
"Setelah kuberikan hasil jarahan itu, aku
akan menceritakan semuanya padamu." Lalu
dengan sikap gagah, ia menoleh pada Ronggo
Kosworo. "Kita berangkat sekarang!"
"Naik di belakangku!"
Gamang Markuto melangkah dan melom-
pat naik ke punggung kuda Ronggo Kosworo.
Ronggo Kosworo menggebrak kudanya. Menyusul
Gonggo Sirat dan Jombrang.
Sementara itu Sumirah mendekap erat-erat
Dali Gunarso. Perasaannya tidak tenang seka-
rang. Ia berdoa banyak-banyak agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkannya
pada suaminya. Sementara bocah kecil dalam dekapannya, hanya
memandang terbengong pada kepergian ayahnya.
Ia heran, karena biasanya ayahnya selalu menga-
jaknya serta bila bepergian. Tetapi sekarang mengapa tidak"
*** Matahari sudah sampai di tengah luasnya
cakrawala. Sinarnya menyengat cukup panas ke-
tika mereka tiba di sebuah hutan kecil yang cu-
kup jauh dari bukit di mana Sumirah dan pu-
tranya menunggu harap-harap cemas kepulangan
suaminya. "Berhenti di sana!" seru Gamang Markuto sambil menunjuk dua buah pohon yang
berjarak satu meter. Ronggo Kosworo mengarahkan kudanya ke
sana, begitu pula dengan dua temannya. Di tem-
pat yang ditunjuk Gamang Markuto mereka
menghentikan langkah kuda.
Gamang Markuto melompat turun. Tanpa
mempedulikan mereka, ia berjalan lurus ke arah
timur. Ketiganya segera menambatkan kuda dan
mengikuti langkah Gamang Markuto.
Sambil melangkah, Jombrang yang pincang
kaki kirinya berbisik, "Apakah setelah mendapatkan harta itu kita bunuh manusia
keparat ini, Kakang?"
Ronggo Kosworo menggelengkan kepalanya
sambil tersenyum licik.
"Tidak, Aku mempunyai rencana lain un-
tuknya. Penderitaan jasad yang cacat hanya
membuat sakit hati seberapa. Namun penderitaan
batin yang dalam, tak akan pernah terlupakan.
Seperti yang kita alami. Dan manusia keparat itu harus menerima hal yang sama.
Bahkan lebih menyakitkan."
Jombrang hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara Gonggo Sirat menyeringai
lebar. Ia seolah menangkap apa rencana yang ada
di benak Ronggo Kosworo.
Di hadapan mereka, Gamang Markuto te-
rus melangkah. Hingga akhirnya terbentang se-
buah sungai yang mengalirkan air cukup deras.
Di tepi sungai di mana sejak tadi Gamang
Markuto melangkah lurus dari dua batang pohon
yang berdekatan, laki-laki itu membungkuk. Di-
ambilnya sebatang kayu yang tergeletak di si-
sinya. Ditancapkannya kayu itu pada tanah gem-
bur di tepi sungai. Setelah terdiam dan menelengkan kepalanya seolah menentukan
di mana harta jarahan mereka lima belas tahun lalu disembu-
nyikan, mulailah Gamang Markuto melangkah tu-
run ke sungai. Tak menggulung celananya. Setelah bebe-
rapa langkah dan air sungai sudah membasahi
pinggangnya, ia menyelam.
Cukup lama juga Gamang Markuto berada
di dalam sungai itu, hingga membuat ketiga ma-
nusia berjubah hitam menjadi tak sabar. Tetapi
mereka tak sempat bertindak apa-apa, karena
Gamang Markuto sudah muncul kembali dengan
tubuh basah kuyup. Melangkah terseret dan tan-
gannya menarik sesuatu dari dalam sungai itu.
Ronggo Kosworo menyeringai ketika dili-
hatnya apa yang ditarik oleh Gamang Markuto.
Sebuah kain kusam.
"Di dalam kain itu ada sebuah peti kecil! Di peti itulah hasil jarahan itu
kusimpan!"
Ronggo Kosworo memberikan isyarat pada
Gonggo Sirat dengan menggerakkan dagunya.
Yang diberikan isyarat tahu kalau ia harus meme-
riksa hasil jarahan mereka. Segera lelaki itu
membungkuk. Membuka kain itu dan mencongkel
paksa peti di dalamnya dengan golok besar yang
tersampir di pinggangnya.
Trak! Peti itu terbuka. Seketika terdengar suara
Gonggo Sirat sambil terbahak-bahak, "Inilah kekayaan kita, Kakang! Kita kaya,
Kakang!!" Ronggo Kosworo membungkuk.
"Hmm... tak kurang satu pun juga. Aku in-
gat hasil jarahan itu," katanya setelah memeriksa.
Gamang Markuto yang sejak tadi mengge-
ram, berkata dingin, "Kalian sudah mendapatkan apa yang kalian cari. Kuminta,
kalian memenuhi
janji untuk tidak lagi mengganggu kehidupanku!"
Bagai bersahabat Ronggo Kosworo mene-
puk-nepuk punggung Gamang Markuto yang ter-
diam sambil menahan gejolak kemarahan di da-
danya. "Sudah tentu kami tidak akan mengingkari janji, Gamang," katanya bernada
kepuasan. "Kau ternyata memang kawan yang baik. Tidak memakan hasil jarahan ini.
O ya, berapa banyak yang
kau minta?"
Gamang Markuto menggelengkan kepa-
lanya. "Sedikit pun tidak! Aku hanya ingin kete-nangan dan mendapatkan janji
kalian!" Sambil terbahak-bahak penuh kelicikan
dan kemenangan, Ronggo Kosworo berkata, "Sudah tentu! Gonggo, bawa harta itu!"
Lalu ia berka- ta lagi pada Gamang Markuto, "Kerja sama ini sangat kuhargai! Sampai jumpa!"
Ketiga orang berjubah hitam dengan golok
besar di pinggang itu melangkah meninggalkan
Gamang Markuto yang menghela napas panjang
sambil terbahak-bahak.
Laki-laki yang masih bertelanjang dada itu
mendesis, "Kuharap... peristiwa ini tidak panjang lagi dan hidupku lebih tenang
bersama anak dan
istriku...."
Dialihkan kepalanya ke atas. Matahari mu-
lai melangkah pada tiga perempat perjalanannya.
Sebentar lagi senja. Gamang Markuto bergegas
melangkah ketika didengarnya suara derap lang-
kah kuda di kejauhan.
Gamang Markuto tak mau anak dan is-
trinya terlalu lama menunggu dalam kecemasan.
Ia pun tak mau sampai di rumah saat malam su-
dah berjalan. Ditinggalkannya hutan kecil itu dengan ha-
ti agak lapang, karena menurutnya, segala per-
soalan yang selama lima belas tahun dipendam-
nya, kini telah berakhir. *** 2
Tepat matahari terbenam dan sinar rembu-
lan mulai merambah perlahan, Gamang Markuto
tiba di sisi bukit sebelah kiri. Dia tersenyum me-
nyadari kebebasan yang telah didapatkannya. Di-
bayangkannya kehidupan yang lebih layak, aman,
dan terjamin bersama istri dan anaknya.
Terbayang pula dia akan mendapatkan
rangkulan hangat dari istri dan anaknya karena
kembali tanpa kurang suatu apa. Lalu dengan ra-
sa ingin segera bertemu pada anak dan istrinya,
bergegas Gamang Markuto berlari menuruni bukit
untuk tiba di lereng bukit itu, di mana rumahnya berdiri dan istri serta anaknya
yang diyakinnya
telah menunggu.
Tetapi, langkahnya mendadak terhenti da-
lam jarak lima tombak dengan rumahnya. Ke-
ningnya berkerut melihat keadaan rumah yang
gelap. Baru disadarinya di kejauhan tadi dia tidak melihat adanya tanda-tanda
kehidupan. Mengapa istrinya belum menghidupkan
lampu sentir" Batinnya. Perasaannya makin geli-
sah ketika ia menangkap satu gelagat yang tidak
menguntungkan. Tetapi ditahannya perasaan itu
saat ia berlari mendekati rumahnya.
"Sumirah! Sumirah!" dari jarak dua tombak ia sudah berseru-seru.
Tak ada sahutan apa-apa, Tak ada yang
keluar dari rumah itu. Hati Gamang Markuto tadi
sudah gembira karena kehidupan yang baik akan
berlangsung di depan matanya, berubah menjadi
galau dan semakin tak menentu.
Kegelisahan mulai menjalari perasaannya
hingga membuatnya tegang sekaligus cemas bu-
kan main. Diketuknya pintu berkali-kali disertai
panggilan pada anak dan istrinya. Tetapi tak ada sahutan yang bisa membuatnya
merasa lega. Ada
apakah ini" Pikirnya bertambah galau.
Lebih mengejutkan lagi ketika ia tahu ter-
nyata pintu tidak terkunci. Sejak kapan istrinya melupakan hal ini" Batinnya
galau. Bergegas ia
masuk dengan hati risau dan bertanya-tanya. Ia
memanggil kembali.
"Sumirah! Dali! Di mana kahan?" serunya dan dihidupkannya lampu sentir di dalam
rumah. Dengan membawa lampu sentir itu, dia berjalan
ke kamar. Dibukanya pintu kamarnya dengan seruan
memanggil, "Sumirah! Dali!"
Kamar yang gelap tadi kini menjadi agak
terang. Dan dia tak perlu menunggu terlalu lama
untuk mengetahui apa yang terjadi. Di atas dipan di mana ia biasa tidur bersama
istrinya, istrinya tergolek dengan leher putus. Pakaiannya acak-acakan. Terutama
baju di bagian dada dan kain
yang menutupi bagian bawah. Dilihatnya ada ber-
cak darah yang telah mengering di kedua paha is-
trinya. "Sumiraaahhh!!" jeritnya menggelegar.
Lampu sentir cepat diletakkan di atas meja kecil yang kusam. Lalu ditubruknya
tubuh istrinya yang telah menjadi mayat dengan hati hancur di
balai-balai. Dibelainya wajah yang telah kaku dan lemah itu dengan tangan
gemetar. "Sumirah...
maafkan aku.... Oh, Tuhan... inikah hukuman
atas kesalahanku lima belas tahun yang lalu....
Tetapi mengapa harus istriku" Mengapa?" Tiba-
tiba, bagai disentak setan, Gamang Markuto ber-
diri tegak dan berseru dengan kalap seraya keluar dari kamar itu, "Dali! Di mana
kau Dali!"
Dicarinya putranya itu dengan hati ber-
tambah tak karuan. Diperiksanya setiap sudut
kamar. Tetapi bocah itu tak ditemukannya. Ketika matanya melihat pintu belakang
terbuka, hatinya
bertambah kacau.
Bergegas Gamang Markuto melesat keluar
melalui pintu belakang. Dan seketika terdengar
jeritannya yang sangat keras, melolong bagai serigala lapar ketika pandangannya
tertumbuk pada sesuatu yang tergantung di pohon.
Putranya! Dali Gunarso yang tergantung di
pohon itu! Dengan hati hancur, Gamang Markuto ber-
gegas naik ke pohon itu dan menurunkan pu-
tranya yang telah menjadi mayat. Didekapnya pu-
tranya dengan kepedihan yang teramat sangat.
"Dali... Dali... mengapa harus engkau dan
ibumu yang mengalami semua ini.... Maafkan
Ayah, Dali... maafkan Ayah...," desisnya pilu. Ia menjerit lagi. Lebih keras
dari yang pertama. Ia tahu, siapa yang melakukan semua ini. Siapa lagi kalau
bukan bekas teman-temannya yang membawa sejuta dendam padanya. "Manusia-manusia
keparat! Kalian harus menerima balasan dari semua ini!"
Gamang Markuto menangis lemah dengan
tubuh yang bagai kehilangan tenaga. Dibayang-
kannya bagaimana manusia-manusia durjana itu
setelah meninggalkannya kembali ke rumahnya.
Sudah tentu istri dan anaknya menjadi ketaku-
tan. Namun apalah daya istrinya yang lemah dan
anaknya yang masih bocah.
Gamang Markuto tak sanggup mem-
bayangkan penderitaan istrinya, yang sudah ten-
tu diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Dan ia
tak sanggup membayangkan bagaimana jerit ke-
sakitan dari putranya yang digantung sedemikian
kejam. Selagi ia berada dalam kesedihan yang da-
lam, mendadak di kejauhan terdengar suara tawa


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat keras sekali. Bertalu-talu.
Sambil membopong putranya yang telah
menjadi mayat, Gamang Markuto berlari ke de-
pan. "Manusia-manusia biadab! Kalian akan
menerima balasan dari semua ini!!"
"Begitulah penderitaan yang kami alami,
Gamang! Dan kau pun harus merasakannya!"
terdengar seruan yang sangat keras.
Gamang Markuto tahu kalau Ronggo Kos-
woro yang berteriak.
"Ronggooo! Akan kuhancurkan kepalamu!"
"Hahaha... terima kasih, Gamang. Kuu-
capkan terima kasih! Kau mau menunjukkan di
mana harta hasil jarahan kita lima belas tahun
lalu! Dan kau mau berbagi kenikmatan pada kami
untuk menikmati tubuh indah milik istrimu!"
"Keparaaattt! Hayo! Keluar kalian semua!
Kita bertarung sampai mampus!"
"Tantangan yang menyenangkan! Tetapi,
kami tak ingin membuatmu lebih berduka lagi!"
Gamang Markuto masih berteriak-teriak
keras. Tiba-tiba teriakannya terhenti. Berubah
menjadi jeritan. Dua buah anak panah menancap
di bahu dan kakinya. Tubuhnya menjadi limbung
dan ia ambruk ke tanah. Mayat putranya menin-
dihnya. "Keparaaattt!" makinya sambil menahan
sakit. Dengan susah payah dan menahan pende-
ritaan yang dialaminya, Gamang Markuto menca-
but anak panah dibahunya.
"Aaakkkh!" seruan kesakitan terdengar ketika ia berhasil mencabut anak panah
itu. Darah segera menyembur. Menyusul ia mencabut anak
panah yang menancap di kakinya. Darah semakin
banyak yang keluar.
Dalam waktu yang singkat, wajah Gamang
Markuto menjadi pucat pasi. Namun belum lagi ia
tahu apa yang terjadi, pandangannya yang mulai
nanar melihat lima buah bola api menderu ke
arah rumahnya. Rupanya anak panah yang
ujungnya telah diberi buntalan kain dan dibakar.
Kelimanya menancap tepat di atas rumahnya.
Atap yang terbuat dari rumbia itu seketika
terbakar. Api menyala dengan cepat dan membuat
tempat itu menjadi sedikit terang.
Hati Gamang Markuto menjadi kalap. Den-
gan menahan rasa sakit dan tubuh limbung den-
gan langkah terpincang, dikerahkan sisa-sisa te-
naganya untuk masuk ke dalam rumah yang ter-
bakar dengan cepat itu.
Susah payah ia menyambar tubuh istrinya
yang telah menjadi mayat. Lalu ia bermaksud un-
tuk segera keluar. Tetapi sebuah balok di bagian atas yang mulai terbakar,
mendadak runtuh.
Hampir saja menimpa tubuhnya.
Panas dari api yang menguar itu sangat
menyengat sekali. Dirasakan bagai telah memba-
kar sekujur tubuhnya. Dan penderitaan ini san-
gat menyiksanya apalagi dengan darah yang terus
mengucur dan tubuh yang semakin melemah.
Dengan panik ia berusaha menerobos api.
Tetapi kakinya tersandung balok yang jatuh tadi.
Tubuhnya tersungkur ke depan. Kepalanya
menghantam sebuah meja. Sangat keras dan
membuatnya pusing bukan main.
Masih dicobanya untuk bangkit. Akan te-
tapi, tenaganya sudah sangat lemah sekali dan
tak mampu ia untuk bangkit menyelamatkan diri.
Sayup-sayup didengarnya suara tawa yang berta-
lu-talu. Keras dan mengerikan.
Ia hanya sempat berdoa sekali mohon kese-
lamatan Yang Maha Kuasa, sebelum di detik lain
ia sudah tergolek pingsan.
Agaknya kematian sudah sangat dekat se-
kali dengan laki-laki malang itu....
*** 3 Namun agaknya Yang Maha Kuasa meng-
hendaki lain. Di saat api tengah mengurung Ga-
mang Markuto yang dalam keadaan tak sadarkan
diri, mendadak terdengar dengungan bagai suara
ribuan tawon yang sedang marah. Menyusul satu
angin deras bergemuruh ke arah rumah yang ter-
bakar itu. Dengungan seperti ribuan tawon marah
dan dahsyatnya angin yang meluncur itu ternyata
berasal dari sebuah kain bercorak catur yang di-
kibaskan oleh satu bayangan hijau, menghampar
ke arah rumah. Brrr! Atap rumbia pada rumah yang terbakar itu
terbang terseret angin deras tadi. Api di bagian atas rumah itu seketika padam.
Sesaat bayangan
hijau yang mengibaskan kain bercorak catur dan
menimbulkan suara keras itu menerobos masuk
ke dalam rumah yang terbakar. Gerakannya
sungguh sangat luar biasa cepatnya, bagai kilat
yang menyambar. Kain bercorak catur yang jelas
merupakan sebuah senjata dahsyat, telah disam-
pirkan di bahunya, di mana memang di sanalah
bayangan hijau itu meletakkan senjatanya yang
berupa kain bercorak catur.
Sosok bayangan hijau itu tersentak ketika
melihat dua sosok tubuh yang tergolek di lantai
dan di atasnya balok-balok yang terbakar tengah
siap menimpa keduanya. Menimbulkan suara ke-
retek yang mencekam.
Tanpa mengurangi kecepatannya, bayan-
gan hijau itu menyambar dua sosok yang tergo-
lek. Sangat cepat dan terlatih, hingga dalam seka-li sambar saja, tubuh kedua
sosok itu telah dibopongnya. Lalu dengan gerakan yang sama, dia
mencelat melalui pintu belakang rumah. Bersa-
maan dengan itu rumah yang terbakar tadi am-
bruk. Menimbulkan suara berkeretek, berderak,
dan bergemuruh. Asap keluar dari sana, cukup
tebal. Bayangan hijau tadi, yang sudah mengam-
bil jarak lima tombak dari rumah yang terbakar
itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ru-
mah yang terbakar itu ambruk.
"Gila! Manusia mana yang tega membakar
rumah itu beserta isinya! Untungnya dari atas
bukit sebelah tenggara aku sempat melihat api
yang menjilat-jilat. Kalau kambing yang dibakar
masih enak! Orang yang dibakar apa enaknya" O
ya, tadi sempat kulihat seorang anak kecil yang
terkapar. Lebih baik aku membawa dua manusia
ini ke sana. Tetapi, aku yakin, sosok yang perempuan ini telah menjadi mayat.
Agaknya bukan ka-
rena terbakar. Entah karena apa. Kutu monyet!"
Memikir sampai di sana, pemuda berbaju
hijau pupus itu mencelat ke depan. Diletakkan-
nya kedua manusia dalam bopongannya tadi di
hadapan bocah kecil yang terkapar.
Lalu ia membungkuk.
"Sadis! Bocah ini pun telah tewas. Di le-
hernya terdapat guratan yang cukup dalam me-
nembus daging. Seperti habis digantung. Keparat!
Siapa yang melakukan perbuatan hina ini!" si pemuda memaki-maki dengan hati
panas dan tangan terkepal. Lalu ia membalikkan tubuh pada
tubuh Sumirah. "Wanita ini mengalami siksaan yang lebih sadis. Jelas ia dihina
dan dipermain- kan lebih dulu sebelum dibunuh." Kemudian si pemuda beralih pada Gamang Markuto.
Diperiksanya tubuh lelaki malang itu. "Masih hidup.
Meskipun detak jantungnya lemah. Untungnya,
aku tadi mengecek ke dalam rumah yang terbakar
ini. Bila tidak, manusia ini akan jadi daging panggang." Dialirkannya tenaga
dalamnya sedikit, sekadar menjaga suhu tubuh Gamang Markuto.
Pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur di lehernya itu memutuskan untuk
segera menguburkan dua mayat di dekatnya.
Dengan mempergunakan tenaga dalamnya,
dalam waktu singkat kedua mayat itu telah diku-
burkan. "Hmmm... aku tak yakin bila kebakaran ini
terjadi karena keteledoran orang-orang ini yang
kuyakini sebagai penghuni rumah itu. Pasti ada
yang telah membakarnya dengan sengaja. Apalagi
bila melihat kondisi wanita yang kuyakini istri da-ri laki-laki yang pingsan ini
dan bocah kecil yang tentunya putra mereka, yang nampak habis menerima siksaan
pedih. Monyet pitak! Siapa manu-
sia-manusia yang tega melakukan semua ini"
Akan kujitak kepalanya sampai benjol tujuh biji!"
Si pemuda memutuskan untuk menunggu
sampai lelaki itu siuman dari pingsannya. Diba-
wanya tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon,
sekadar melindungi dari udara dingin.
*** Si pemuda langsung terbangun dari tidur-
nya begitu telinganya yang tajam dan terlatih
mendengar kokok ayam jantan di kejauhan. Pagi
masih sangat muda. Udara masih dingin dengan
butiran embun di dedaunan.
Diliriknya lelaki yang masih tergolek lemah
di sisinya. Digaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal dengan rasa penasaran yang mulai menggi-
git hatinya. Dia tak pernah suka menerima kenya-
taan pahit di depan matanya, bila ada manusia
yang menurunkan kekerasan pada manusia lain.
Si pemuda teringat sebelum dituruninya
bukit bagian tenggara semalam, dilihatnya ada
mata air di sana. Cepat dia berkelebat untuk se-
gera mandi. Dibersihkan tubuhnya yang terasa
lengket. Setelah itu, dia bergegas kembali ke tempat semula.
Namun alangkah terkejutnya dia, ketika
tak melihat sosok lelaki yang pingsan itu.
"Celaka! Ke mana orang itu" Sudah mau
mampus masih menghilang juga! Kujewer ku-
pingnya kalau ketemu! Tetapi, apakah dia...," si pemuda memutuskan selorohan
yang bercampur kejengkelannya, ketika didengarnya suara teria-
kan keras yang memilukan berasal dari dua ma-
kam yang baru saja dikuburkannya.
Cepat dia berkelebat ke sana dan melihat
lelaki malang itu sedang menangis di depan dua
makam yang baru saja dibuatnya semalam.
Ditahan keinginannya untuk segera me-
manggil. Menurutnya, biarlah lelaki itu mele-
paskan semua kegundahan dan kesedihan yang
meraja dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, lelaki itu berlutut
dan terpaku di hadapan dua makam. Tubuhnya
agak bergetar sedikit.
"Sumirah.... Dali Gunarso... siapa pun yang telah menolongku dan menguburkan
kalian... aku sangat berterima kasih. Maafkanlah diriku yang
telah membuat hidup kalian mengalami kejadian
tragis seperti ini...."
?"Hehehe... kalau mau tahu orangnya sih gampang saja! Maaf, ya... sebelumnya aku
tak meminta izin darimu. Akulah yang telah mengu-
burkan mayat istri dan anakmu...," suara di belakangnya, halus tetapi diiringi
ketawa membuyar-
kan kesedihannya dan membuat lelaki itu meno-
leh. Dilihatnya pandangan mata lelaki itu mele-
bar. Bukan dalam arti terkejut, namun keheranan
karena dia tak mendengar suara pemuda itu da-
tang tadi. Tetapi, Gamang Markuto yang telah merasa
bersyukur karena ada yang menyelamatkannya
tak mempedulikan lebih lama lagi soal kehera-
nannya tadi. Dia segera berdiri. Berkata pelan,
agak bergetar, dan suaranya tersekat di tenggorokan, "Kuaturkan banyak terima
kasih atas perto-longanmu Tuan...."
"Andika. Nama yang keren! Sekeren orang-
nya! Hmmm... siapakah namamu, Kakang?"
"Namaku Gamang Markuto."
"Maafkan kelancanganku, karena telah
menguburkan mayat istri dan putramu tanpa sei-
zinmu." "Justru aku sangat berterima kasih pada-
mu. Karena aku tahu, engkaulah yang tentunya
telah menyelamatkanku."
"Wah urusan terima kasih-terima kasihan
sudah lewat! Sekarang, bolehkah aku tahu apa
yang telah terjadi?"
Gamang Markuto membuang napas masy-
gul, seolah mencoba membuang segala kegelisa-
han, kemarahan, dan kesedihan di hatinya. Keti-
ka dia siuman dari pingsannya tadi, yang perta-
ma-tama diingatnya adalah keadaan istri dan pu-
tranya. Dengan kepala pening dan tubuh yang le-
lah luar biasa, dibawa langkahnya dengan terse-
ret-seret menuju rumahnya. Dilihatnya rumahnya
sudah ambruk, menjadi puing dan debu. Sisa-
sisa api masih nampak di sana-sini.
Hatinya galau bukan main menyadari
mayat istrinya yang masih berada di dalam ru-
mah itu. Tetapi, rasa galaunya berubah menjadi
keheranan yang dalam, ketika diingatnya kalau


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya berada cukup jauh dari rumah itu dalam
keadaan tak kurang suatu apa pun. Padahal yang
diingatnya sebelum dia jatuh pingsan, tubuhnya
tergolek tak berdaya di dalam rumah yang terba-
kar. Menyadari hal itu, Gamang Markuto men-
jadi yakin, kalau seseorang yang baik hati telah menyelamatkannya. Dengan kata
lain, berarti memindahkan pula mayat istrinya. Diingatnya
pula mayat Dali Gunarso.
Segera Gamang Markuto mencari mayat
putranya. Dan yang ditemukan justru dua buah
gundukan tanah. Yang satu agak panjang dan
yang lainnya lebih kecil. Keyakinan Gamang Mar-
kuto makin menjadi-jadi kalau ada seseorang
yang telah menolong mereka dan menguburkan
mayat kedua orang yang dikasihinya. Dan seka-
rang, si penolong yang mengaku bernama Andika
telah berdiri di hadapannya.
Dengan mencoba menahan kepedihan ha-
tinya, Gamang Markuto menceritakan apa yang
terjadi. Si pemuda yang memang Andika alias
Pendekar Slebor hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia maklum, kalau Gamang Markuto
masih terbawa arus kesedihan dan emosi dari
malapetaka yang menimpa diri dan keluarganya.
Ditunggunya sampai lelaki itu kelihatan
agak lebih tegar. Setelah itu barulah Andika berkata, "Gamang... apakah kau
mempunyai famili?"
Gamang Markuto mengangkat kepalanya,
menatap lurus pada Andika, "Bagaimana mak-
sudmu, Andika?"
"Bila kau mempunyai famili, lebih baik kau
tinggal bersama mereka untuk sementara. Kau
bisa tidur nyenyak dan makan enak! Kan sedap,
tuh!" "Tidak! Aku harus membalas semua perlakuan manusia-manusia biadab itu!"
seru Gamang Markuto dengan wajah membesi dan rahang ter-katup rapat.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
Keras kepala juga nih orang! Batinnya. Lalu dia
berkata sambil menatap lelaki yang tengah tegang itu, "Gamang... dari
penjelasanmu tadi, aku yakin sesungguhnya engkau bukanlah orang yang
memiliki jiwa sejalan dengan ketiga manusia dur-
jana itu. Pertama, sebelumnya kau menolak aja-
kan sesat manusia-manusia itu. Tetapi karena
ancaman mereka, kau terpaksa melakukannya
juga. Kedua, meskipun kau tidak mau ikut den-
gan mereka, tetapi kau masih memandang tinggi
persahabatan hingga tidak membocorkan rahasia
di mana kalian bersembunyi. Ketiga, kau tidak
menikmati hasil jarahan itu selama lima belas tahun. Bulat keyakinanku kalau kau
sebenarnya berada dalam jalur kebimbangan. Lebih baik, kau
urungkan niat manusia-manusia sesat itu. Biar-
lah aku yang mengurus mereka dan mengembali-
kan mereka pada kadipaten untuk menerima hu-
kuman kembali."
Gamang Markuto tetap menggeleng-
gelengkan kepala.
"Mereka telah menghancurkan hidupku.
Masa depanku. Dan membunuh dua orang yang
sangat kusayangi yang akhirnya hanya menjadi
tumbal dari segala kesalahanku lima belas tahun
yang lalu. Tak akan kubiarkan manusia-manusia
itu hidup lebih lama lagi. Meskipun aku yakin tak akan mampu menandingi mereka,
tetapi... aku akan mencobanya!"
Andika sadar, kekeraskepalaan lelaki ini
lebih banyak disebabkan karena rasa bersalah
pada anak dan istrinya yang menjadi korban atas
ulahnya lima belas tahun lalu. Tetapi dia men-
dumal juga dalam hati, "Ingin kujitak kepala orang ini! Apa benar-benar keras?"
Kembali dia berkata sambil tarik napas panjang,
"Dendam hanya akan membawa petaka...
lebih baik...."
"Lagi pula Andika," potong Gamang Marku-to, "Aku tak mempunyai famili lagi.
Hidupku seorang diri sekarang. Orang dekat pada belahan ji-
waku, hanyalah istri dan anakku. Mereka mati
mengenaskan karena ulahku dulu! Apakah aku
akan berpangku tangan saja, hah?"
Andika tersenyum. Mencoba mengerti akan
kemarahan dan rasa bersalah Gamang Markuto.
Tetapi, dia tetap tak menghendaki lelaki itu melakukan apa yang diinginkannya
sekarang. "Sudahlah... lebih baik pembicaraan ini ki-
ta sudahi dulu. Sekarang, pergilah mandi untuk
membersihkan tubuhmu. Barangkali air dingin
akan menyejukan jiwa dan ragamu. Sementara
kau mandi... aku akan mengambil jagung dari la-
dang yang tentunya kau punyai. Kita akan sara-
pan jagung bakar. Eh, berapa banyak yang bisa
kau makan" Lagi pula, kau marah tidak nih, ja-
gung-jagung itu kuambil?"
Gamang Markuto hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lalu tanpa berkata apa-
apa, lelaki itu melangkah menuju mata air.
Andika berseru, "Cepat kembali lagi ke sini!
Aku khawatir, kau tak akan kebagian! Soalnya,
aku juga sudah kelaparan nih!"
Memang pada akhirnya Gamang Markuto
tidak kebagian jagung bakar itu. Karena setelah
delapan jagung bakar telah matang dibakar Andi-
ka dan Andika tidak bermaksud untuk segera
memakannya, karena dia ingin menikmati jagung
itu bersama Gamang Markuto, lelaki itu tak per-
nah muncul. Andika mencoba menunggu. Tetapi karena
lelaki itu tak muncul juga, penasaran Andika berkelebat ke mata air. Tak
dilihatnya lelaki itu berada di sana.
Sadarlah Andika, kalau sebenarnya Ga-
mang Markuto tidak pernah mendatangi tempat
itu. Mungkin, dia telah pergi selagi Andika sibuk membakar jagung.
"Kampret! Manusia itu benar-benar keras
kepala! Aku jadi ingin menjitaknya sampai benjol!
Hhh! Aku harus menemukannya secepatnya! Bisa
berabe kalau begini. Jangan-jangan, justru lelaki itulah yang akan celaka!"
Andika hendak berkelebat tetapi urung. Jelas wajahnya kelihatan bim-
bang. Bukan karena apa, melainkan.... "Brengsek!
Aku belum sempat menikmati jagung bakar yang
lezat itu! Tetapi sudahlah, keselamatan Gamang
Markuto lebih penting sekarang! Karena, tak
mustahil ia justru termakan dendamnya sendiri."
Tetapi lain kalimat yang keluar, lain pula
perbuatannya. Terburu-buru pemuda urakan itu
mengambil dua buah jagung bakar. Sambil meng-
gigit dan memakan jagung bakar, Andika berkele-
bat ke arah tenggara, setelah mengira-ngira ke
mana perginya Gamang Markuto.
Ke manakah Gamang Markuto pergi" Yang
diperkirakan Andika tadi memang benar. Karena,
lelaki itu tak pernah mendatangi mata air. Ketika dilihatnya Andika mulai sibuk
memetik jagung dari ladangnya, Gamang Markuto melangkah ke
kanan, lalu bergegas memutar tubuh ke arah ti-
mur. Dia tak mau menunggu terlalu lama. Tak
dipedulikan keadaan dirinya yang sebenarnya pe-
nat, lapar, dan lelah bukan main. Yang terpenting sekarang, dia harus mencari
manusia-manusia
dajal yang telah membasmi kedua orang yang di-
cintainya dan melukai jiwanya yang paling dalam.
Sedikit banyaknya dia mengucapkan teri-
ma kasih atas pertolongan Andika, yang telah
menyelamatkan dirinya hingga tak menjadi kor-
ban karena ulah manusia-manusia dajal itu. Se-
benarnya, dia pun ingin sekali mengikuti saran
Andika, agar tidak perlu membalas dendamnya.
Namun, hal itu tak bisa dia tahan begitu
saja. Gamang Markuto merasa tak akan mampu
melakukan saran Andika. Yang terbaik, dia me-
mang harus mencari manusia-manusia keparat
yang telah menghina istrinya sebelum dibunuh
dan mengantung putranya dengan sadis.
Rasa bersalah pada anak dan istrinya telah
mengikat jiwanya. Baginya tak ada jalan lain lagi kecuali mencoba mencari
manusia-manusia keparat itu. Tak tahu apa yang akan terjadi, Gamang
Markuto terus mengikuti arah langkah dan pera-
saan bersalahnya....
4 Waktu terus berlalu. Tiga hari telah terle-
wati sejak Andika pertama kali mencari Gamang
Markuto. Matahari terus beranjak. Dan kini si-
narnya telah tiba pada perjalanan menuju senja,
ketika Andika alias Pendekar Slebor tiba di se-
buah dusun. Mencari Gamang Markuto, bukanlah hal
yang mudah. Karena sangat mustahil bila dia ta-
hu kata hati Gamang Markuto. Jalan yang terbaik
menurut Andika, sambil mencari jejak Gamang
Markuto, dia pun merasa harus mencari manu-
sia-manusia sesat itu. Yang terpenting lagi, dia harus mengetahui latar belakang
manusia-manusia itu. Apalagi, sampai sekarang dia belum
juga mendapati jejak yang berarti dari Gamang
Markuto. Andika memasuki sebuah kedai yang cu-
kup ramai di dusun Bojong Kenanga. Orang-
orang yang berada di sana, tak mempedulikan
kehadirannya. Karena, sebagai orang yang sedang
makan di kedai itu pun kebanyakan pendatang
yang kebetulan singgah untuk mengisi perut. Jadi menurut mereka, pemuda berbaju
hijau pupus dengan rambut gondrong dan wajah keren itu,
hanyalah seorang pendatang yang kebetulan ten-
gah kelaparan. Tanpa memikirkan kehadirannya membuat
orang-orang di sana menjadi keheranan atau ti-
dak, Andika duduk di sudut kedai setelah meme-
san nasi kebuli dan sekendi air putih. Diedarkan pandangannya ke sekeliling
kedai, barangkali saja dia melihat manusia-manusia berjubah hitam itu.
Atau kalau dia beruntung, bisa menemukan Ga-
mang Markuto berada di antara orang-orang yang
sedang sibuk mengisi perut.
Tetapi yang dicarinya tidak ada di sana.
Saat pesanannya dihidangkan Andika bertanya,
"Bapak... tahukah Bapak jalan mana yang harus kutempuh untuk menuju ke Kadipaten
Harum Raksa" Kalau tidak tahu ya sudah, aku tidak ma-
rah, kok!"
Pelayan setengah baya dengan blangkon
kusam dan kumis agak memutih menyahut sam-
bil tersenyum geli, "Masih jauh dari sini, Den.
Aden harus menuju ke arah barat. Dan itu mem-
butuhkan waktu sekitar lima hari perjalanan."
"Cukup jauh Gamang Markuto membawa
istri dan anaknya bersembunyi dari manusia-
manusia sesat itu," batin Andika. Lalu bertanya lagi, "Pernahkah Bapak melihat
tiga orang laki-laki berjubah hitam dengan menunggang kuda"
Dan aku yakin pasti tampang ketiga orang itu je-
lek-jelek!"
Si pelayan terdiam sejenak seolah mengin-
gat-ingat. Andika menunggu dengan sabar. Tetapi
jawaban si pelayan itu membuatnya mendesah
pendek, "Tidak, Den... rasanya tidak pernah."
Andika mengejar lagi pertanyaannya, "Ka-
lau seseorang yang bernama Gamang Markuto?"
"Juga tidak. Den."
Karena si pelayan jelas tak bisa memberi-
kan keterangan yang dibutuhkannya kecuali Ka-
dipaten Harum Raksa, Andika merasa tak ada lagi
yang perlu ditanyakan.
"Terima kasih atas jawabannya, Bapak.
Nah, menyingkir deh! Aku sudah kelaparan nih!"
Pelayan itu hanya tersenyum geli. Baru kali
ini dia bertemu pemuda urakan seperti itu
Setelah pelayan itu berlalu, Andika menik-
mati pesanannya. Dasar kebluk! Cara makannya
seperti berhari-hari belum ketemu nasi! Seorang
gadis berbaju jingga dengan celana pangsi ber-
warna hitam yang duduk tak jauh darinya men-
dengarkan percakapan itu.
Wajah si gadis yang cantik dengan rambut
panjang dikuncir ekor kuda berkerut ketika men-
dengar pertanyaan-pertanyaan Andika tadi.
"Hmmm... siapa dia" Bila mendengar per-
tanyaan keduanya tentang manusia-manusia ber-
jubah hitam, apakah bukan Tiga Iblis Golok Setan yang akhir-akhir ini membuat
keonaran" Aku harus tahu darinya, karena ketiga manusia itu pun
tengah aku cari."
Ketika dilihatnya pemuda berbaju hijau
pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang
melilit di lehernya bangkit dan keluar dari kedai, si gadis pun mengikutinya.
Dilihatnya si pemuda dengan langkah san-
tai berjalan menuju ke arah barat. Si gadis teringat akan pertanyaan pertama
dari si pemuda pa-
da pelayan kedai tadi.
"Mau apa dia menuju Kadipaten Harum
Raksa" Dan lagi, kalau memang Tiga Iblis Golok
Setan yang dicarinya, ada hubungan apa dia den-
gan manusia-manusia durjana itu" Kambratnya
atau kaki tangannya?"
Masih dengan pikiran-pikiran yang ada di
benaknya, si gadis terus mengikuti langkah Andi-
ka yang sepertinya tak sadar kalau seseorang


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuntutinya. Hal ini membuat si gadis kelihatan senang,
karena tak terlalu sulit untuk mencari tahu dari pertanyaan-pertanyaan yang ada
di benaknya. Dia tahu, dalam jarak dua puluh tombak ke mu-
ka, membentang sebuah sungai dan sekelilingnya
ada tanah yang cukup lapang dengan beberapa
pepohonan besar. Si gadis memutuskan untuk
menghentikan langkah si pemuda dan bertanya
untuk memenuhi keingintahuannya.
Tetapi, justru gadis berbaju jingga dengan
sebilah pedang berwarangka hitam di punggung-
nya yang terperangah. Karena, entah bagaimana
mulanya, tubuh pemuda yang diikutinya lenyap
begitu saja. "Hei! Ke mana pemuda itu?" serunya sambil celingukan. Suara derasnya air sungai
yang ada di hadapannya berjarak tiga langkah, sangat
keras sekali. Si gadis masih memutar-mutar tu-
buhnya. "Tak mungkin pemuda itu bisa menghilang begitu saja dari pandanganku!"
desis si gadis antara percaya atau tidak. Tetapi sesuatu me-nyentil perasaannya,
"Kalau dia memang bisa lenyap begitu saja, menandakan betapa tinggi ilmu
meringankan tubuhnya. Siapa dia sebenarnya?"
Selagi si gadis celingukan penuh kehera-
nan, terdengar suara tawa yang keras, "Yang jelas sih, aku bukan tuyul! Masa'
sih ada tuyul yang
keren kayak begini!"
Si gadis memutar tubuhnya ke kiri dan
pandangannya lurus ke depan. Dilihatnya si pe-
muda yang tadi diikutinya berdiri tegak di seba-
tang ranting kecil!
"Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya!"
batin si gadis berkata. "Ranting kecil itu tak bergoyang menahan berat tubuhnya.
Bahkan dia berdiri dengan seenaknya saja tanpa berpegangan
apa pun dalam keseimbangan badan yang utuh!"
Si gadis berkata, "Maafkan sikapku yang
telah mengikutimu," katanya yang kini diyakini kalau si pemuda mengetahui kalau
dirinya dibuntuti. "Nah! Kalau begitu katakan, apa sebabnya kau membuntutiku"
Kalau mau kenalan boleh
saja! Memang, orang sekeren aku ini pasti banyak yang ingin mengenal!" kata
Andika masih tegak berdiri di ranting kecil itu sambil nyengir. Otak nakalnya
berdesis, "Cantik sekali gadis itu! Siapa sih dia sebenarnya" Untuk menjadi
pacarnya aku mau barang satu-dua hari... hahaha...."
Tak tahu apa yang dipikirkan Andika, si
gadis berkata, "Namaku Wening! Aku berasal dari dusun Karimata! Tak ada maksud
jahat membun-tutimu, kecuali ingin mengetahui siapakah orang-
orang yang kau tanyakan di kedai tadi?"
Andika yang sejak semula tahu kalau dia
dibuntuti gadis berbaju jingga yang sedang ma-
kan pula di kedai, melompat turun dengan rin-
gannya bagai segumpal kapas belaka.
"Apa urusannya denganmu itu" Jangan-
jangan, mereka kekasihmu, ya" Busyet!"
Tak menghiraukan selorohan Andika, gadis
yang bernama Wening itu menjawab,
"Karena... aku pun tengah mencari manu-
sia-manusia yang kau maksudkan," sikap si gadis kali ini agak berhati-hati.
Karena, bila pemuda
yang di hadapannya bermaksud jahat dan ternya-
ta kambrat atau kaki tangan dari Tiga Iblis Golok Setan yang dicarinya, dia bisa
bersiaga. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu tak segera menjawab pertanyaan
Wening. Dia justru bertanya, "Nah, kau sendiri, siapa yang kau maksudkan dengan
orang-orang yang kucari tadi dan sedang kau cari juga?"
Wening terdiam sesaat. Dia tak segera
menjawab. Otaknya berpikir keras menentukan
siapakah pemuda di hadapannya ini, yang bersi-
kap kocak"
Tetapi untuk mendapatkan kejelasan ak-
hirnya Wening berkata, "Di tempat tinggalku, dua hari yang lalu, kedatangan
manusia-manusia berjubah hitam yang mengaku berjuluk Tiga Iblis Go-
lok Setan. Kedatangan mereka dengan maksud
jahat. Mereka merampok dan membunuh. Bah-
kan para tiga perawan dari desaku dibawa serta
setelah selesai melakukan aksi kejahatannya. En-
tah dibawa ke mana. Setelah kejadian itu berlalu, aku baru tiba ke dusunku dari
mengunjungi gu-ruku di Gua Mata Air. Sudah tentu hatiku marah
mendapati desaku yang telah porak poranda. Se-
telah mendapatkan keterangan dari para pendu-
duk desa yang terluka, aku pun segera mening-
galkan desa, bermaksud mencari manusia-
manusia dajal itu. Hatiku sakit sekali melihat kedua orangtua ku terluka akibat
ulah mereka. Dan
perlu kau ketahui, salah seorang dari perawan
yang dibawa manusia-manusia keparat itu, ada-
lah Harti, adikku satu-satunya!"
Andika terdiam setelah mendengarkan ceri-
ta Wening. Hatinya menjadi marah bukan main.
Lagi-lagi keangkaramurkaan yang terjadi. Tetapi
dasar urakan, sifat slebornya tidak surut juga.
"Pasti kau tidak tahu siapa orang-orang
itu, kan?"
"Mereka menyebutkan diri Tiga Iblis Golok
Setan. Tetapi menurut ayahku, salah seorang di-
panggil dengan sebutan Gonggo Sirat, saat ayah-
ku tak berdaya dihajar oleh salah seorang yang
bercodet di wajahnya."
Andika terkesiap mendengar nama itu.
Gonggo Sirat, salah seorang yang disebutkan Ga-
mang Markuto! Kini sadarlah Andika siapa Tiga
Iblis Golok Setan yang dimaksudkan oleh Wening.
Lalu katanya, "Kalau begitu, kita pun
punya kepentingan yang sama. Manusia-manusia
itulah yang sedang kucari karena telah membuat
seorang kawan baruku mengalami musibah yang
tragis." Kali ini Wening mendesah lega. Kalau begitu, pemuda di hadapannya
bukanlah lawan.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu?"
Andika menyeringai. "Jelas saja boleh, siapa tahu
kita berjodoh! Dan aku yakin kau ingin mengeta-
hui namaku lebih banyak disebabkan kau tertarik
padaku, kan" Namaku Andika, orang-orang rimba
persilatan menjuluki Pendekar Slebor."
Kedua mata Wening melebar dengan mulut
terbuka. Bukan karena mendengar selorohan An-
dika tadi, melainkan terkejut karena mendengar
julukan yang disebutkan si pemuda. Dia jadi te-
ringat akan cerita gurunya tentang sepak terjang seorang pemuda dari Lembah
Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor yang selalu membela kebe-
naran dan akhir-akhir ini menjadi momok bagi
orang-orang golongan hitam. Sementara, menjadi
pujian bagi orang-orang golongan putih, terutama orang-orang yang pernah
mendapatkan pertolongan darinya. Dan sekarang, pemuda yang diceri-
takan gurunya itulah yang berdiri di hadapannya
dalam jarak dua tombak.
Masih dengan rasa terkejut Wening berka-
ta, dalam nada suaranya tersirat kekaguman dan
kebanggaan yang tak bisa ditutupi, "Tak kusangka, kalau aku bertemu dengan
seorang pendekar
besar sekarang ini."
"Hei! Aku bukan raksasa!" kata Andika tertawa. "Coba kau lihat, wujudku sama
dengan manusia kebanyakan, bukan" Cuma bedanya,
aku lebih keren!"
Mendengar selorohan itu, mau tak mau
Wening tersenyum.
"Sekarang, hendak ke manakah Kang An-
dika melangkah?"
"Aku hendak ke Kadipaten Harum Raksa.
Karena menurut kawanku itu, manusia-manusia
dajal yang kau sebutkan Tiga Iblis Golok Setan itu dulunya adalah tawanan
Kadipaten Harum Raksa. Kau sendiri hendak ke mana?"
Mendapati pertanyaan seperti itu, sebenar-
nya Wening ingin ikut serta. Tetapi dia malu men-gutarakannya. Karena, bila dia
berjalan bersama
seorang pemuda, berarti itu pengalaman baru ba-
ginya, karena selama ini dia tak pernah pergi berdua-duaan dengan seorang lawan
jenisnya. Lagi pula, dia pun bermaksud untuk segera mencari
manusia-manusia itu. Dikhawatirkannya, kalau
manusia-manusia keparat itu melakukan perbua-
tan makar lebih lanjut.
Dan yang terpenting sekarang, Pendekar
Slebor berada pada jalur yang sama dengannya.
Lalu katanya, "Aku akan meneruskan per-
jalanan mencari Tiga Iblis Golok Setan."
"Sudahkah kau menemukan di mana me-
reka berada?"
Wening menggelengkan kepalanya.
"Belum. Entah di mana mereka akan kuca-
ri. Tetapi, aku tak akan kembali sebelum mene-
mukan dan menangkap mereka!"
Diam-diam Andika memuji keberanian dan
sikap tegas yang dimiliki Wening.
"Kalau begitu... terpaksa kita berpisah di
sini. Soalnya... hehehe... kau tahu, kan... apa jadinya seorang pemuda dan
seorang gadis jalan
berduaan?" seloroh Andika sambil tersenyum
nakal Wening cuma tersenyum saja.
"Berhati-hati, kudengar manusia-manusia
itu memiliki ilmu yang tinggi."
Wening menganggukkan kepala. Dan keti-
ka diangkatnya lagi kepalanya, sosok Pendekar
Slebor sudah lenyap dari pandangannya. Tersen-
tak dan celingukan dia mencari. Yang didengar-
nya suara dari kejauhan, "Hati-hati, Wening! Dan perlu kau ingat, kau seorang
gadis yang cantik!"
Kali ini Wening tersipu dan dia segera
mengubah sikapnya menjadi biasa kembali. Kare-
na rasa malu mengapa dia menjadi tersipu. Lagi
pula, pujian itu diucapkan dari jauh. Namun en-
tah mengapa dalam pertemuannya yang pertama
dengan Pendekar Slebor dia merasa seakan telah
lama mengenalnya. Dan begitu dekat sekali den-
gan hatinya. Wening cepat-cepat membuang perasaan
yang tiba-tiba datang itu. Lalu berkelebat ke arah kiri untuk mencari Tiga Iblis
Golok Setan yang telah membawa Harti, adiknya.
Entah apa yang dialami adiknya sekarang
ini. Yang pasti, Wening merasa sesuatu yang tak
enak telah terjadi pada adiknya. Kalau begitu, dia harus secepatnya menemukan di
mana Tiga Iblis
Golok Setan berada.
5 Lembah Tirai, sebuah lembah yang sangat
menyeramkan sebenarnya. Lembah yang dipenuhi
dengan pepohonan besar. Konon, tak seorang pun
yang mendiami lembah itu. Karena, di samping
jalan yang sangat susah dan bisa membuat orang
tak berdaya bila sudah tergelincir, juga karena
banyaknya ular-ular yang hidup di sana. Dari
permukaan lembah sejauh mata memandang,
yang nampak di pelupuk mata hanya kengerian
belaka. Akan tetapi, di pagi ini, terdengar suara tawa keras yang bersahut-
sahutan dari Lembah
Tirai. Bila mata memandang dari atas sisi lembah itu, tak akan tertangkap oleh
mata karena ting-ginya pepohonan. Akan tetapi, di lembah itu ter-
nyata ada sebuah bangunan yang cukup besar,
meskipun sudah agak doyong ke kiri. Dari ban-
gunan itulah asal suara yang terjadi tadi. Entah bagaimana mulanya bangunan itu
berasal di sa-na. Orang-orang yang pernah mendiami Lembah
Tirai dulu, hanya mengatakan kalau tiga puluh
tahun yang lalu, di Lembah Tirai bagian tengah,
hidup sepasang suami istri yang sekarang tak di-
ketahui rimbanya.
Pagi yang cerah, penuh selubung kabut
yang mulai menipis, tetapi tawa yang keras itu
tak juga berhenti.
"Jombrang! Kau tak puas-puasnya mengge-
luti gadis itu, hah" Bukankah kita masih bisa
mendapatkan lebih banyak lagi?" terdengar satu suara yang keras begitu si
empunya suara melihat kawannya keluar dari salah satu kamar di
bangunan itu. "Kakang Ronggo... kau perlu tahu, kalau
aku sudah jatuh cinta dengan gadis ini...," sahu-
tan itu terdengar.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak menden-
gar sahutan temannya. Dituangnya tuak merah
dari kendi, langsung ke mulutnya. Terdengar sua-
ra menggelegak berkali-kali. Setelah puas, di-
usapnya bibirnya dengan punggung tangan kiri.
"Kalau kau memang menginginkan gadis
itu terus-menerus, tak mengapa. Tetapi, kau tak
boleh iri bila dua gadis yang kita culik baru-baru itu kami nikmati berdua."
"Tak jadi masalah, Kakang. Gadis yang
bernama Harti ini telah memikat hatiku," sahut Jombrang sambil melangkah
mendekati Ronggo
Kosworo dan Gonggo Sirat yang sedang menikma-
ti tuak merah. Dia duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Diraihnya kendi
tuak yang memang
untuknya. Diminumnya dengan cara yang sama
yang dilakukan Ronggo Kosworo tadi.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Kalau begitu, setelah kau habiskan tuak
dalam kendimu itu, seperti biasa kau lakukan tu-
gasmu." "Hahaha... soal itu beres, Kakang. Baru


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali ini, selama lima belas tahun lamanya mende-
kam dalam penjara, kudapati kebebasan yang le-
bih nikmat dan membahagiakan sebelumnya. Ter-
lebih lagi kau yang sejak lama mengatur hidupku, Kakang.... Hingga rasanya, aku
dan Gonggo Sirat
tak keberatan menyebutmu 'Kakang'."
"Bagus, bagus!"
Gonggo Sirat berkata, "Yang sebenarnya
ingin kunikmati apa" Melihat bagaimana sakit ha-
tinya Gamang Markuto mengetahui anak dan is-
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 12 Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet Pendekar Muka Buruk 16
^