Pencarian

Darah Darah Laknat 3

Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Bagian 3


mukannya orang lain di sana, gusar ditariknya
leher baju Rawung Menggolo yang mengikutinya
setengah terhuyung. Kembali diedarkan mata ta-
jamnya mengelilingi bukit itu.
Gonggo Sirat dan Jombrang pun berbuat
yang sama. Mereka berdiri di dekat Ronggo Kos-
woro yang sedang menendang Rawung Menggolo
hingga tersungkur.
"Di mana manusia itu"!"
Rawung Menggolo mengusap wajahnya
yang terkena debu-debu kapur. Tatapannya me-
micing nyalang. Perlahan-lahan dia berdiri den-
gan kegusaran yang kentara.
"Manusia keparat!" dengusnya dengan kedua tangan terkepal. "Bukankah sudah
kukatakan tadi, aku tidak menjanjikan akan menemu-
kan Gamang Markuto di sini! Tetapi kau lancang
memaksaku untuk datang!"
"Setan! Berani bicara kurang ajar pada
tuan besarmu ini, hah"! Mau mencari mampus!"
Ronggo Kosworo mengibaskan tangan kanannya.
Serangkum angin dingin mendesir keras ke arah
Rawung Menggolo.
Akan tetapi, rupanya lelaki tua itu tak se-
lemah dugaan Ronggo Kosworo. Gerakan yang
sangat cepat diperlihatkan dan dia berdiri tegak berjarak lima tombak dengan
tatapan gusar. Sementara tanah di mana tadi Rawung Menggolo
terjatuh, kini membentuk sebuah lubang yang
cukup besar, akibat hantaman pukulan jarak
jauh Ronggo Kosworo. Debu-debu kapur muncrat
sejenak dan luruh kembali ke bumi.
Tertawa Ronggo Kosworo membedah sean-
tero tempat. Namun nada gusar dalam suaranya
tak bisa disembunyikan.
"Hebat! Sangat hebat sekali yang kau perli-
hatkan itu, Setan! Rupanya kau memiliki kepan-
daian yang cukup lumayan! Hhh! Sayangnya, ke-
pandaian semacam itu hanya pantas dipakai un-
tuk menakut-nakuti tikus! Kalaupun tak kujum-
pai Gamang Markuto, nyawa tuamulah sebagai
penggantinya! Gonggo Sirat habisi lelaki tua itu!"
Usai mendengar perintah, Gonggo Sirat
melompat tiga tindak dengan gerakan ringan. Ma-
tanya yang picak sebelah menatap dingin pada
Rawung Menggolo.
"Tak tahu diuntung! Nyawa tua di badan
siap dilempar ke neraka!"
"Manusia-manusia keparat yang membu-
nuh Sumirah dan Dali Gunarso, tak akan pernah
diampuni! Yang Kuasa pun setuju bila nyawa bu-
suk kalian kucabut!" balas Rawung Menggolo
dengan suara tak kalah angker.
"Anjing tua geladak! Siapa kau sebenar-
nya"!" membentak Gonggo Sirat dengan kedua tangan terkepal.
"Peduli setan siapa pun aku! Kecuali da-
tang untuk menghabisi nyawa busuk kahan!!"
"Geladak!" menjerit murka Gonggo Sirat.
Dengan pencalan satu kaki, tubuhnya sudah me-
lesat ke arah Rawung Menggolo dengan dua joto-
san yang siap dilepaskan.
Akan tetapi, jotosan penuh tenaga yang di-
arahkan pada kepala dan dada lelaki tua itu, berhasil dielakkan dengan hanya
melompat ke samp-
ing kanan. Bahkan sambil mengelak, Rawung
Menggolo mengirimkan satu tendangan balasan
melalui gerakan memutar yang sangat cepat.
Wusss! Bila saja Gonggo Sirat tidak cepat menarik
kepalanya beberapa centi, bisa diduga kalau ke-
palanya akan terkepruk tendangan penuh tenaga
itu. Apa yang dilakukan oleh Rawung Menggolo
tadi membuat kemarahan lelaki picak itu menjadi
bertambah membludak.
Dengan gerengan keras seperti serigala lu-
ka, dia kirimkan serangan beruntun. Serangan
yang mengandalkan kecepatan tangan itu, seje-
nak membuat Rawung Menggolo gelagapan. Sebi-
sanya dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya, lelaki tua itu menghindar. Namun tak
urung satu tendangan menghantam dadanya
dengan telak. Mendapati lawan telah tergedor tendangan
kaki kanannya, Gonggo Sirat tak mau membuang
tempo. Gebrakannya dilanjutkan kembali. Satu
jotosan tangan kanannya siap menghantam dada
lawan kembali. Tetapi kali ini, Rawung Menggolo tak mau
mendapati kesialan macam tadi. Bergegas dia
membuang tubuhnya ke kanan, menghindari ser-
gapan jotosan lawan. Akan tetapi, karena keseim-
bangannya belum sempurna, tubuhnya jadi agak
sempoyongan dan jatuh berguling. Namun kem-
bali dia bergerak cepat, menghindari serangan lawan yang menyusul. Tak
menghiraukan betapa
sekujur tubuh dan wajahnya dipenuhi debu-debu
kapur. Bila saja saat ini siang hari, tak mustahil Rawung Menggolo merasakan
debu-debu kapur
itu bagai batu bara!
Bukan buatan gusarnya Gonggo Sirat. Ka-
rena dalam keadaan hilang keseimbangan, lawan
masih bisa menghindar. Dia berdiri tegak dalam
jarak tiga tombak di hadapan Rawung Menggolo
yang sedang bangkit.
"Tak kuampuni nyawa busukmu!" geram
Gonggo Sirat. Dan dia telah bergerak cepat den-
gan melipatgandakan tenaga dalamnya. Gebra-
kannya kali ini lebih berbahaya dari semula.
Akan tetapi, Rawung Menggolo yang mera-
sa tak mampu menghadapi lawannya, mengan-
dalkan taktik lama yang saat ini berguna sekali.
Begitu tubuh lawan menderu ke arahnya,
cepat-cepat dia membungkuk. Diambilnya dua
genggam debu kapur dengan kedua tangannya,
bersamaan dengan itu dia tegak kembali dan me-
nebarkan debu-debu kapur itu ke arah Gonggo
Sirat. Bukan buatan terkejutnya Gonggo Sirat
melihat lawan menyerangnya dengan debu-debu
kapur. Cepat dia menutupi mata kanannya den-
gan tangan dan memutar tubuh menghindari de-
bu-debu kapur itu.
Justru Rawung Menggolo melihat satu se-
rangan kosong sekarang. Di saat lawannya tengah
berusaha menghindari debu-debu kapur itu, dia
meluruk masuk dengan satu jotosan ke dada
Gonggo Sirat. "Heaaa!"
Akan tetapi.....
Plak! Des! Ronggo Kosworo sudah menderu maju,
memotong serangan Rawung Menggolo pada
kambratnya. Jotosan Rawung Menggolo dipapas-
nya dengan tendangan kaki kanan, dan kaki ki-
rinya dengan gerak yang luar biasa cepat meng-
hantam dada Rawung Menggolo, hingga terguling
ke belakang lima tombak.
Berdiri dengan wajah semakin dingin
Ronggo Kosworo.
"Kelicikanmu boleh juga! Tetapi, nyawamu
sudah ada dalam genggamanku!"
Dalam keadaan terdesak dan maut yang
siap menjemput, Rawung Menggolo masih berani
membuka mulut, "Manusia-manusia iblis! Biar-pun kau cabut nyawaku saat ini juga,
masih ba- nyak orang lain yang menghendaki kalian binasa!"
"Berarti, hanya mencari penyakit! Bersiap-
lah untuk kujemput bersama maut!"
Habis berkata begitu, Ronggo Kosworo
menggeram. Tubuhnya mencelat ke arah Rawung
Menggolo yang merasakan dadanya sakit luar bi-
asa. Dia berusaha untuk bangkit. Tetapi, tulang
dadanya bagai remuk dan membuat dia tak
mampu menyangga bobot tubuhnya sendiri.
Yang dilakukannya kemudian, hanya me-
rentangkan kedua matanya lebar-lebar, siap me-
nyambut kematian yang akan dikirimkan melalui
jotosan Ronggo Kosworo.
Namun belum lagi dirasakan hebatnya jo-
tosan itu, tiba-tiba saja satu bayangan hijau berkelebat dari arah kiri. Menarik
tubuhnya dan kaki kanannya menyepak jotosan Ronggo Kosworo
yang memekik terkejut. Bukan karena kecepatan
bayangan hijau itu yang menolong Rawung Meng-
golo, melainkan sambaran kaki si bayangan hijau
yang menghantam tangannya.
Dia cepat mundur tiga langkah dengan wa-
jah pucat. Tangan kanannya dirasakan ngilu bu-
kan main tersambar kaki si bayangan hijau. Ke-
marahannya makin membesar dengan dada turun
naik menandakan kegusaran yang membludak.
Bentakannya seketika menggema keras,
"Manusia lancang! Berani menghalangi keinginan Tiga Iblis Golok Setan, berarti
mampuslah jawabannya!"
"Ah, masa' sih" Mampus itu anak mana
ya" Kok kucari di gang senggol tidak ada tuh
anak!" selorohan itu terdengar bersamaan si bayangan hijau menurunkan tubuh
Rawung Menggolo ke tanah. Memijat dada lelaki tua itu
sebentar. Setelah itu, "Tidak apa-apa. Cuma remuk sedikit. Paling-paling juga
bertambah sakit,"
katanya santai.
Rawung Menggolo melotot pada si peno-
longnya. Dia sudah mengenal pemuda tampan
berbaju hijau pupus itu. Siapa lagi orangnya yang suka berucap asal saja selain
Andika alias Pendekar Slebor"
Andika nyengir kuda. Rawung Menggolo
duduk di tanah. Dia tahu kalau dirinya sebenar-
nya tak terlalu parah. Karena bila dadanya remuk seperti yang diselorohkan
Andika, masa' iya pemuda sakti itu tidak menolongnya"
Kegusaran Ronggo Kosworo merayap naik.
Kedua matanya membuka lebar menatap pemuda
di hadapannya yang sedang cengar-cengir. Jom-
brang yang telah menolong Gonggo Sirat pun tak
berkesip menatap pemuda yang baru saja menye-
lamatkan Rawung Menggolo dari kematian. Ke-
sempatan itu dipergunakan oleh Gonggo Sirat un-
tuk membuang debu-debu yang dilemparkan oleh
Rawung Menggolo di matanya. Hebat apa yang di-
perlihatkan Gonggo Sirat. Mengalirkan tenaga da-
lamnya pada urat di bagian bawah matanya, de-
bu-debu itu meluncur keluar. Matanya memerah
mengeluarkan air.
Geram lelaki bermata picak itu menatap ke
arah Rawung Menggolo yang membalas dengan
mengangkat kedua alisnya, menambah kegusaran
lelaki picak itu.
Tetapi, ketika dia hendak langsung menye-
rang. Ronggo Kosworo merentangkan tangan ka-
nannya, yang secara tidak langsung mengisya-
ratkan pada Gonggo Sirat untuk tidak menyerang.
Gonggo Sirat menelan kegusarannya bulat-
bulat. Helaan napasnya bagai suara dari dalam
liang kubur. "Anak muda!" membentak Ronggo Kosworo.
"Siapakah kau adanya, hah" Kau telah lancang menghalangi maksud kami!
Berarti...."
"Mampuslah jawabannya...," potong Andika sambil menyeringai jelek bukan main
mengulangi kata-kata Ronggo Kosworo tadi. "Huh! Kalimat yang sering diucapkan oleh badut-
badut kayak kalian sih aku sudah tahu!"
"Setan alas! Kau memang mencari mam-
pus!" "Sudah kukatakan tadi, si Mampus itu
anak mana sih" Kok, kau getol amat menye-
butkannya" Dia anakmu, ya?"
"Orang muda, kau berani-berani bercakap
kurang ajar! Apakah kau sudah siap dijemput aj-
al?" Sebelum Andika berkata-kata, terdengar satu suara dari sebuah pohon, "Kang
Andika... mengapa masih berlama-lama" Apakah kau akan
membiarkan manusia itu lebih lama hidup" Ba-
gaimana nasib adikku?"
Andika mendongak, "Hehehe... ingat Wen-
ing, bukankah tadi kita berjanji, kalau tiga manusia jelek ini bagianku" Apakah
kau sudi tangan-
mu yang mulus berbenturan dengan tangan-
tangan kasar penuh penyakit"!"
Kalau tadi kemarahan Ronggo Kosworo
siap meledak, kali ini begitu melihat siapa yang berucap tadi, dia terbahak-
bahak. "Cah Ayu... kau tahu saja kakangmu bera-
da di sini. Ayo, turunlah... kita bisa bersenang-senang sekarang...."
Bila menuruti kata hatinya, Wening sudah
tak bisa mengendalikan diri lagi untuk menabok
hancur mulut kurang ajar itu. Tetapi dia ingat
akan janjinya pada Andika tadi sebelum Andika
memutuskan menolong Rawung Menggolo.
Diam-diam gadis berbaju jingga itu kagum
pada kecerdikan Pendekar Slebor. Kalaupun me-
reka bisa berada di tempat ini sekarang, itu se-


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mua karena keenceran otak Pendekar Slebor. Se-
telah bertemu dengan Rawung Menggolo, Pende-
kar Slebor yang masih mempunyai sebuah teka-
teki di benaknya, memutuskan untuk mengikuti
Rawung Menggolo. Semula Wening menolak usul
Andika itu, tetapi dia teringat pula akan kecerdikan Pendekar Slebor yang bisa
menebak kalau ti-
ga orang berjubah hitam yang bertarung sebe-
lumnya dengannya adalah Tiga Iblis Golok Setan.
Akhirnya, dia pun turun serta dengan Pendekar
Slebor. Dan semuanya terbukti sekarang. Rawung
Menggolo berhasil bertemu dengan Tiga Iblis Go-
lok Setan. Saat itu, kemarahan Wening naik ke
ubun-ubun mengingat kalau ketiga manusia itu-
lah yang telah melarikan adiknya, tetapi Andika
melarangnya untuk menurunkan tangan. Bahkan
Andika memaksanya berjanji untuk tidak ikut
campur dalam urusan ini. Bila Wening tidak mau
menurut, Andika akan menahannya dan mem-
biarkan ketiga lelaki berjubah hitam itu lolos.
Semua itu dilakukan Andika, sehubungan
sebuah teka-teki yang belum terpecahkan di
otaknya. Bahkan dia menangkap sesuatu yang
mulai tergambar sebenarnya, mengingat bagai te-
lah direncanakan pertemuan antara Rawung
Menggolo dengan Tiga Iblis Golok Setan. Ini me-
rupakan salah sebuah teka-teki baru yang mun-
cul di benak Andika, dan menguatkan pikiran se-
belumnya. Melihat wajah Wening membesi, Andika
maju satu langkah, kini berjarak tiga tombak
dengan tiga lelaki berjubah hitam itu.
"Wah, wah... mana mau dia dengan kau
yang jelek begitu, Ronggo! Denganku yang lebih
tampan kayak pangeran saja dia tidak mau! Pikir
dong pakai otak, jangan pakai pantat!"
Ronggo Kosworo alihkan pandangannya
pada Andika kembali.
"Kurobek mulutmu, Orang Muda!"
"Yeee... kurobek nanti jubah jelekmu itu!"
Tak kuasa menahan kemarahannya lebih lama,
dikawal dengan teriakan dan angin menderu ke-
ras, tubuh Ronggo Kosworo sudah mencelat ke
arah Andika. Tenaga dalamnya langsung dilipat-
gandakan. Dia ingin sekali jotos saja lawan sudah dibuat tak berdaya.
Tetapi dengan masih sempat-sempatnya
berseloroh, Andika menghindar, "Wah! Benar-
benar mau kujitak kepalamu, ya" Ayo sinikan ke-
palamu yang benjol itu!"
Wusss! Serangan mematikan dari Ronggo Kosworo
lewat di sisi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan itu. Namun tak urung dirasakan
Andika, hawa panas yang menguar dari sisi tu-
buhnya. Luput serangan pertama, Ronggo Koswo-
ro menyusulkan serangan kedua.
Kali ini Andika tak mau menghindar lagi.
Dia memutar tubuh dan memapaki serangan itu
dengan pergelangan tangannya.
Plak! Benturan, kuat itu terjadi. Ronggo Kosworo
langsung menarik pulang tangannya yang terasa
mau patah, sementara Andika sendiri terlongoh-
longoh merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.
"Luar biasa! Hanya dua tingkat di bawah-
ku! Kalau dua temannya membantu bisa berabe!"
Dan dugaan Andika jadi kenyataan. Jom-
brang yang sejak tadi hanya memperhatikan,
langsung menderu. Menyusul Gonggo Sirat yang
sudah pulih pandangannya.
"Yeee... main keroyok, nih?"
Andika cepat membuang tubuh seraya
mengirimkan serangan balasan melalui tangan
kanan dan kiri.
Des! Des! Benturan itu kembali terjadi. Karena dua
tenaga lawan menjadi satu, mau tak mau tubuh
Andika terhuyung ke belakang menerima gempu-
ran hebat itu. Ronggo Kosworo yang sudah me-
mulihkan getaran pada tangannya, menderu pula.
Tiga gempuran dahsyat mengarah pada
Andika. Lima jurus pun berlalu dan Andika hanya
bisa menghindar tanpa mendapatkan celah untuk
menyerang. Setiap kali dia bergerak, masing-
masing lawannya yang datang, dari tiga penjuru
langsung mengurung. Begitu terus menerus hing-
ga sekarang Andika bagai anak ayam yang terpe-
rangkap terkaman musang.
Tetapi bukan Andika yang memiliki sejuta
kecerdikan masih tak mampu meloloskan diri dari
tiga sergapan beruntun itu. Mendadak saja dia
menggebah dengan mengalirkan tenaga dalam
pada suaranya. Gebahannya itu tak ubahnya sa-
lakan halilintar. Cukup membuat tiga lawannya
terkejut, hingga pormasi mereka jadi merenggang.
Lalu dengan enaknya Andika bergulingan
keluar dari kepungan itu.
"Nah! Kenapa kalian jadi pias begitu" Ka-
gum dengan suaraku, ya?" selorohnya yang membuat ketiga lawannya berpandangan
dan bagai dikomando langsung mengurung kembali.
Kali ini Andika tak mau lagi terperangkap
pada tiga serangan susul menyusul itu. Begitu
Ronggo Kosworo menyerang disusul dengan
Gonggo Sirat dan Jombrang, Andika justru meng-
hantam pada Jombrang yang menjadi terkejut
melihatnya. Cepat lelaki pincang itu berguling dan ber-
tepatan dengan itu, Andika menderu ke arah
Ronggo Kosworo yang siap melancarkan serangan
berikut. Lawannya terkejut pula dan menghindar,
bersamaan dengan itu Gonggo Sirat yang mende-
ru ke arah Andika pun mau tak mau bergulingan
pula. Serangan yang dilakukan Andika merupa-
kan rangkaian gerak susul-hindar yang dilakukan
asal saja. Merupakan rangkaian kecerdikan yang
dimiliki yang dapat melihat kelemahan serangan
tiga lawannya. Dan begitulah yang dilakukannya terus
menerus. Akan tetapi, tenaga 'inti petir' sekarang telah dirangkum di tangannya.
Hingga setiap kali dia menjotos, memukul, dan menghantam, suara
bagai salakan petir terdengar.
Tiga lawannya kali ini menjadi kebingun-
gan. Karena setiap kali mereka menyerang, Andi-
ka tak menghindar, justru menghantam serangan
itu secara acak. Ini memusingkan sebenarnya.
"Bingung, kan" Bingung, kan" Bunuh diri
saja kalau bingung!" seru Andika tertawa.
Ronggo Kosworo menggeram gusar.
"Merapat! Jangan beri kelonggaran lagi!"
serunya dan seketika dua kambratnya mendeka-
tinya. Bersamaan, dipadu, ketiganya menyerang.
Andika melenting, melompati ketiganya dan
kakinya menendang keras.
Prak! "Waduh! Maaf nih!" serunya sambil melenting ke belakang.
Tulang iga bagian kanan Gonggo Sirat pa-
tah menyusul tubuhnya ambruk dengan lolongan
tinggi. Bukan buatan gusarnya Ronggo Kosworo.
Dia berbalik dan siap menyerang, tetapi suara
Jombrang menghentikan niatnya,
"Tahan, Kakang!"
"Apa-apaan kau ini, hah?" bentak Ronggo Kosworo dengan mata melebar.
"Kakang... bukankah sebaiknya kita henti-
kan saja semua ini...."
"Demi iblis gentayangan! Apa maksudmu,
Jombrang" Mengapa kau menjadi pengecut seper-
ti itu, hah?"
"Tidak, Kakang... aku sama sekali tidak be-
rubah. Hanya saja, perbuatan kita telah banyak
menimbulkan dosa... kita...."
"Keparat! Kucabut nyawamu, Jombrang!"
Tetapi Jombrang tetap berdiri, tak memper-
lihatkan ketakutannya. Sesuatu yang telah dis-
adarinya semenjak dia jatuh hati pada Harti, te-
lah melentingkan kesadarannya. Pada dasarnya
Jombrang memang melakukan semua itu karena
pelampiasan sedih atas meninggalnya Swasti, di
samping itu dia juga merasa ngeri pada Ronggo
Kosworo. Hanya saja sekarang, kesadarannya
makin melambung dan menindih kengeriannya.
"Kakang... banyak sudah kita menurunkan
tangan kejam. Tidak sadarkah Kakang kalau cu-
kup lama kita mendekam di penjara" Apakah kita
akan menghabiskan sisa hidup kita di...."
"Setan alas!!" Ronggo Kosworo sudah melepaskan tendangan kaki kanannya pada
kepala Jombrang. Di luar dugaannya, Jombrang berkelit
mundur. "Kau"!" dengusnya terbelalak.
"Maafkan aku, Kakang... selama ini aku tak
pernah membantah perintah Kakang. Tetapi kali
ini... kita sudahilah semua perbuatan kita. Harta yang telah dikumpulkan, sangat
banyak jumlahnya, Kakang. Apakah kita masih harus menurun-
kan tangan telengas dan membunuh orang?"
"Wah, wah! Jangan pada bertengkar sendiri
dong! Aku masih sanggup bikin kepala kalian
benjol, kok!" seru Andika yang membuat kemarahan Ronggo Kosworo pada Jombrang
makin men- jadi-jadi. "Bangsat berotak kerdil! Aku tahu, gara-
gara perempuan sialan itu kau berubah, hah"
Akan kubunuh perempuan itu!"
"Tidak!" seru Jombrang keras. "Jangan Kakang lakukan hal itu pada Harti! Aku
mencin- tainya!" Mendengar nama adiknya disebutkan,
Wening menegakkan kepala. Seketika dia melom-
pat turun, "Lelaki pincang hati busuk! Siapa yang kau
maksudkan dengan Harti?"
Jombrang menoleh pada Wening yang
membuka kedua kaki agak lebar, tanda bersiaga.
"Gadis itu kuculik dari dusun Karimata
bersama dua orang gadis lainnya. Dia...."
"Setan pincang! Kucabik-cabik tubuhmu!"
geram Wening dan dengan kecepatan penuh dia
menerjang ke arah Jombrang.
Tetapi sambaran tangan Andika membuat
gadis itu mau tak mau menghentikan serangan-
nya. Sekarang melolot gusar pada Andika.
"Apa-apaan ini" Lepaskan tanganku, Kang
Andika!" "Tenang, Wening...," kata Andika lembut.
"Aku menangkap sesuatu yang akan terjadi di antara mereka. Sekali-sekali jadi
penonton kan tidak apa-apa" Lebih baik menunggu apa yang terjadi."
Tetapi, mereka tak terlalu lama menunggu. Kare-
na Ronggo Kosworo sudah meloloskan goloknya
siap memenggal leher Jombrang. Bila saja si kaki pincang itu tak berkelit,
kepalanya akan pisah selama-lamanya dari badan. Dan dengan gerakan
yang tak kalah gesitnya, dia juga meloloskan go-
loknya. Pertarungan dua lelaki yang menjadi sahabat sebelumnya itu sangat
sengit. Benturan golok yang terjadi menimbulkan suara keras dan me-mercikkan
bunga api. Tetapi tiga jurus kemudian, Ronggo Koswo-
ro berhasil memapas lengan kanan Jombrang
hingga putus. Jeritan tak ubahnya lolongan seri-
gala terdengar. Darah menyiprat, membasahi
bumi. "Itulah upah atas kepengecutanmu, Jombrang!" Gonggo Sirat yang berseru.
Dia tak mampu menggerakkan tubuhnya karena tulang iganya
remuk. "Kau...," desis Jombrang pada Ronggo Kosworo yang menyipitkan mata dengan
tatapan dingin. Sakit tak tertahankan rasanya. "Seluruh setan penghuni jagat ini... akan
mengutuk perbuatan busukmu, Ronggo!"
"Manusia sundal bernyali tikus! Kau tak
lebih dari seonggok sampah di selokan! Tanpamu,
semuanya masih bisa kulakukan, Jombrang! Ku-
bunuh gadis itu!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Ronggo
Kosworo melesat meninggalkan tempat itu. Yang
hadir disana tercekat, termasuk Pendekar Slebor.
Namun, Pendekar Slebor tak bermaksud mengejar
karena menurutnya Jombrang membutuhkan
pertolongan. Dengan cepat ditotoknya urat saraf pada
bagian bawah lengan kanan Jombrang. Darah se-
ketika berhenti mengalir. Lalu dibebatnya lengan yang buntung itu dengan jubah
Jombrang yang disobeknya. Lalu dibaringkannya tubuh lelaki
pincang itu hingga menatap ke atas.
"Jombrang... aku terpaksa tak menghenti-
kan pertarungan itu tadi, karena kau harus men-
dapatkan ganjaran dari perbuatanmu selama ini,"
kata Andika. Jombrang mendesis pelan. Senyu-
mannya pedih. "Aku mengerti. Tolong... selamatkan gadis yang kucintai...,"
suaranya lirih, terputus-putus.
"Di mana gadis itu berada?"
"Lembah.... Tirai...," habis berkata begitu, lelaki pincang itu jatuh pingsan.
Andika mendesah. Lalu katanya pada Wen-
ing, "Tunggui lelaki ini! Jangan membantah! Urusan adikmu biar aku yang


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan! Dan
kau Rawung... hei!"
Andika terperanjat karena tak melihat Ra-
wung Menggolo di sana. "Busyet! Ke mana orang tua jelek itu?"
Tetapi sesaat kemudian tak dihiraukannya.
Andika mendekati Gonggo Sirat yang kini diketa-
hui telah tewas.
"Lelaki celaka ini memilih jalan membunuh
diri dengan menggigit bibirnya sendiri. Hhh! Ma-
nusia-manusia tak punya otak!" geramnya jengkel. Lalu ditolehkan kepala pada
Wening yang tengah menatapnya. "Wening... aku harus secepatnya ke Lembah Tirai! Ingat
pesanku itu!"
Lalu tanpa menunggu jawaban Wening,
Andika berkelebat cepat. Tinggal Wening yang
mendumal panjang pendek. Dia ingin sekali men-
jumpai adiknya. Tetapi dia yakin, Andika pasti
akan menyelamatkan adiknya.
*** 10 Siang sudah menanjak ketika Ronggo Kos-
woro tiba di Lembah Tirai. Dengan kegeraman
luar biasa mendapati tingkah konyol dari Jom-
brang, dia langsung menuju ke kamar di mana
gadis yang diculik dan dicintai Jombrang berada.
Dia yakin, gara-gara gadis itulah Jombrang beru-
bah pikiran. Disesalinya mengapa dia tidak memaksa
Jombrang untuk membunuh gadis itu. Atau, dia
sendiri yang melakukannya mengingat sekarang,
Jombrang bersikap menghalangi sepak terjang-
nya. Akan dilampiaskan seluruh kekesalannya
pada gadis itu.
Bagi Ronggo Kosworo, membunuh kawan
sendiri bukanlah suatu hal yang menakutkan.
Malah, dia akan tertawa-tawa melakukannya.
Hanya saja, dalam keadaan kritis Jombrang be-
rubah arah. Apalagi mengingat keadaan Gonggo
Sirat sekarang. Hatinya makin lebur dalam kema-
rahan. Brak! Pintu langsung jebol ditendang keras.
Harti yang tengah terkulai dengan tubuh
lemas hanya menatap tak bergairah pada lelaki
yang tengah gusar itu. Sepanjang malam dia me-
nangis. Dan kini, gadis malang itu merasa tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Ronggo Kosworo langsung menjambak
rambut gadis itu mencengkeramnya kuat-kuat.
Tak ada suara kesakitan, tak ada wajah ketaku-
tan. Yang terlihat di wajah Harti hanya sebuah
kebekuan belaka. Bahkan gadis itu seperti tak
merasakan apa yang dialaminya ini.
Plak! Kasar Ronggo Kosworo menamparnya. Ke-
pala Harti bergoyang. Bibirnya pecah, mengelua-
rkan darah. Tubuhnya ambruk di tempat tidur.
"Gadis busuk! Gara-gara kaulah lelaki pin-
cang celaka itu membelot dariku!" makinya gusar dan kembali menamparnya. Tetapi
Harti jelas-jelas sudah kehilangan jati dirinya. Penderitaan yang dialaminya tak
kuat ditahannya. Membuat
seluruh pikiran sehat di otak gadis itu menguap
entah ke mana. Menyadari gadis itu sudah berubah menja-
di dungu, keberingasan Ronggo Kosworo makin
menjadi-jadi. Dengan gusarnya dipukulinya seku-
jur tubuh gadis itu. Tetapi lagi-lagi Harti bagai tak merasakannya sama sekali.
Kecuali tubuhnya sesekali menggeliat setiap kali pukulan lelaki bercodet itu
mampir di tubuhnya.
"Gadis keparat!" geram Ronggo Kosworo.
Dia ingin sekali mendengar jeritan kesakitan dan lolongan minta ampun dari mulut
gadis itu. Apa yang dilihatnya sekarang, justru mem-
buatnya bertambah gusar. Dicabut goloknya dan
diacung-acungkannya di depan Harti.
"Kau lihat ini, Gadis Pelacur"! Kepalamu
akan kupenggal dan tubuhmu akan kucacah!"
suaranya keras, seolah hendak meruntuhkan
atap di kamar itu.
Gadis itu tetap terdiam dalam keadaan le-
mah dan terkulai. Tatapannya makin kosong. Ka-
laupun terdengar suaranya, hanya tawa kecil
yang seakan mengejek.
Gusar Ronggo Kosworo siap mengayunkan
goloknya. "Heaaa!" Akan tetapi...
Trak! Sebatang ranting meluncur menghalangi
goloknya yang siap membelah kepala Harti. Ge-
ram lelaki berwajah codet itu menoleh. Dilihatnya Rawung Menggolo telah berdiri
di ambang pintu
dengan tatapan menyipit!
"Orang tua mau cari mampus" Berani be-
nar kau memberikan nyawamu ke sini!" bentak Ronggo Kosworo dengan kegeraman
berantai. Rawung Menggolo menyeringai dingin.
"Aku datang justru ingin mencabut nya-
wamu, Manusia Laknat! Kini tiba saatnya kau
mampus!" "Setan!" dengan bengis Ronggo Kosworo
melompat, mengalihkan serangannya pada lelaki
tua yang berdiri di hadapannya. Goloknya sudah
diayunkan. Sebelum golok lawan mengenai sasaran-
nya, Rawung Menggolo cepat melompat keluar.
"Tempat ini terlalu kecil untuk bersenang-
senang! Kulayani kau di luar!"
"Keparaaattt!" Ronggo Kosworo langsung melenting ke muka dengan kegeraman yang
makin menjadi-jadi. Berdiri tegak dengan sepasang
mata terbuka lebar tak berkedip menatap Rawung
Menggolo yang berdiri dalam jarak dua tombak di
hadapannya. "Kucincang tubuhmu, Orang Tua!"
"Nyawamu yang akan kukirim ke neraka
sebagai pengganti nyawa Sumirah dan Dali Gu-
narso!" seru Rawung Menggolo gagah. Tatapannya pun tak kalah sengit dalam
kesiagaan besar. Namun tak urung dadanya berdebar pula. Ada sesu-
atu yang membuatnya menjadi kecut, namun di-
usahakan agar tak diperlihatkan.
"Ingin kulihat apa kau bisa membuktikan
bacotmu itu!" tak mau membuang tempo, Ronggo Kosworo sudah menderu laksana
angin. Goloknya
mengibas dengan kecepatan tinggi.
Wuuut! Wuttt! Rawung Menggolo kelihatan tersentak
mendapati serangan golok yang bersambungan,
bagai mematikan ruang geraknya. Tetapi orang
tua yang sarat dengan kemarahan di dada, cepat
menyambar sebatang kayu di dekatnya. Dengan
kayu sebagai alat pertahanan, dia berhasil men-
gimbangi cecaran golok Ronggo Kosworo.
Hanya sesaat, karena golok di tangan la-
wan sudah memapas buntung batang kayu yang
dipegangnya. Crak! Bila lelaki tua itu tidak buru-buru mundur,
tak mustahil kepalanya akan tercacak pula.
"Gila! Dengan tangan kosong saja aku be-
lum tentu berhasil mengalahkannya, apalagi se-
karang manusia laknat itu mempergunakan go-
lok!" dengus Rawung Menggolo dengan wajah
pias. Dan kembali harus menghindari cecaran go-
lok yang datang beruntun itu. Baju putih kusam-
nya tercacak, menyerempet kulitnya yang terasa
perih. Melihat goresan di bagian dada lawan,
Ronggo Kosworo semakin beringas.
Bertubi-tubi goloknya diayunkan.
Wuuut! Wuuuttt!
Dan semakin tunggang-langgang lelaki tua
itu dibuatnya. Celana di bagian paha kanannya
kembali tergores, kali ini bukan hanya menggores kulitnya pula, bahkan daging di
pahanya tercacah. "Aaakhhh!!"
Lelaki tua itu jatuh terduduk. Darah men-
galir dari pahanya yang terluka.
"Mampuslah kau, Orang Tua hinaaa!" te-
riakan mengguntur mengudara, menyusul kilatan
golok terterpa sinar matahari mengarah pada ke-
pala Rawung Menggolo.
Rawung Menggolo seakan tak mampu lagi
menahan gempuran mematikan itu. Namun, satu
bentakan keras mengurungkan niat Ronggo Kos-
woro. "Tahaaannn!"
Satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam
dengan wajah diselubungi kain hitam muncul di
sana. Di punggung lelaki yang tak kelihatan wa-
jahnya terdapat sebilah pedang.
"Tuan!" seruan Ronggo Kosworo terdengar dan orangnya sudah menjatuhkan diri.
Sementara Rawung Menggolo menoleh dengan kening ber-
kerut menatap sosok hitam-hitam yang baru da-
tang yang berdiri tegak dengan melipat kedua
tangannya. "Mana keris pusaka Gagak Biru, Ronggo?"
suara berat dan dingin terdengar.
"Oh! Ada, Tuan... ada...."
"Ambil cepat!"
Kalau tadi Ronggo Kosworo berada dalam
kemarahan dan kekejamannya, nampak sekali
sekarang dia ketakutan menghadapi lelaki yang
baru datang ini. Terburu-buru dia masuk kembali
ke dalam bangunan besar itu menuju ke kamar-
nya. Salah satu tegel yang ada di kamar itu di bagian sudut kiri, dibukanya.
Diambilnya satu
bungkusan kain kusam di bawahnya. Bergegas
dia kembali lagi ke depan.
Membungkuk dia memberikan bungkusan
itu pada lelaki bertopeng hitam yang mengambil-
nya. Sementara Ronggo Kosworo mundur lima
tindak, lelaki bertopeng hitam itu membuka
bungkusan. Dan terdengar tawanya yang keras.
Di tangannya terdapat sebuah keris yang luar bi-
asa bagusnya. Ketika ditarik, cahaya biru berpendar menyilaukan mata.
"Hahaha... dengan keris pusaka ini, aku
akan menuju ke kerajaan. Dan tentunya, tak la-
ma lagi aku akan menguasai Kadipaten Harum
Raksa!" Lelaki bertopeng hitam memasukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke
warangkanya. Lalu
berkata pada Ronggo, "Di mana Gonggo Sirat dan Jombrang?"
"Maaf, Tuan.... Gonggo Sirat terluka, se-
mentara Jombrang telah mampus."
"Gila! Apa yang terjadi?" bentak lelaki ber-
topeng hitam. Dari balik topengnya, kedua ma-
tanya memancarkan kegusaran tinggi.
Ronggo Kosworo bagai menemukan satu
tempat mengadu. Diceritakan apa yang terjadi.
"Setan alas! Pendekar Slebor! Ingin kuke-
tahui apakah dia mampu menghadapi kesaktian
keris pusaka ini!" geram lelaki bertopeng hitam.
Tiba-tiba dia meloncat dan keris Gagak Biru di
tangannya ditusukkan pada sebatang pohon.
Clep! Pohon yang tertusuk oleh keris Gagak Biru,
mendadak saja bergetar. Ketika dicabut keris itu, mendadak pohon yang tadinya
segar kini melayu.
Daun-daunnya berguguran. Dalam waktu singkat
rontok seluruhnya.
Bukan hanya Ronggo Kosworo yang terpe-
ranjat, Rawung Menggolo pun menjadi pucat. Se-
suatu yang makin dirasakan mengerikan, sema-
kin kuat mengikat tubuhnya.
Sementara lelaki bertopeng hitam itu me-
masukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke wa-
rangkanya kembali. Tawanya mengumandang ke-
ras. "Luar biasa! Sekian lama aku mendambakan keris pusaka ini dan sekarang
telah berada di tanganku! Kau menjaganya dengan baik, Ronggo!"
Ronggo Kosworo tersenyum.
"Karena, Tuanlah yang membebaskan aku
dan kedua temanku dari penjara kadipaten!"
"Rasa terima kasihmu kuterima. Masa hu-
kumanmu seharusnya masih lima tahun lagi,
Ronggo!" "Aku mengerti, Tuan."
"Mata jeliku tak sia-sia melihat kau dan
kedua temanmu akan menjadi kaki tanganku un-
tuk mencapai apa yang selama ini kucita-citakan!
Sudahkah kau mengumpulkan harta yang kumin-
ta?" "Ya, ya... Tuan, jumlahnya sangat banyak sekali." "Bagus! Dengan harta itu
aku akan mengumpulkan para pemuda untuk menjadi para
prajurit. Bila Raja tidak menerima keinginanku
untuk menjadi adipati di Kadipaten Harum Rak-
sa, dengan pemuda-pemuda yang kubujuk men-
jadi prajurit itu akan kubawa untuk melakukan
aksi pemberontakan."
"Rencana yang sempurna, Tuan...," kata Ronggo Kosworo semakin menjilat, Sementara
Rawung Menggolo makin merasa getaran kema-
tian yang mengikat dirinya.
Dan dia melangkah ketika mendengar ben-
takan keras dari lelaki bertopeng hitam itu pada Ronggo Kosworo, "Habisi lelaki
tua hina itu!"
"Pencuri kurang ajar! Rupanya engkaulah
yang melakukan tindakan busuk di dalam kadi-
paten!" terdengar seruan itu sebelum Ronggo Kosworo melakukan perintah yang
sangat menye-nangkannya. Serentak yang berada di sana meno-
leh. Dan melihat satu sosok tubuh berbaju hijau


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang
melilit di lehernya, sedang duduk menguncang
kaki di sebuah ranting pohon, di bibirnya tergigit sebatang alang-alang. "Ayo
lepas selubung kepala
jelekmu itu! Aku ingin lihat tampang kayak mo-
nyetkah yang ada di balik selubung itu"! Atau,
genderuwo kesiangan yang lagi menyamar?"
Menggigil tubuh lelaki bertopeng hitam
mendengar kata-kata itu. Lebih menggigil lagi sarat dengan kemarahan ketika
melihat siapa yang
berada di ranting pohon itu.
"Sejak kemunculanmu ke Kadipaten Ha-
rum Raksa, aku tahu kau akan menjadi duri dari
segala cita-citaku ini, Pendekar Slebor!"
Andika menyeringai. Membuang alang-
alang yang diisapnya. "Pahit!" desisnya lalu meng-garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Lalu se-
perti berkata pada alang-alang yang barusan di-
buangnya dia berkata tak acuh, "Ada orang bodoh yang mengatakan aku ini duri!
Padahalkan rum-put ya... hahaha!"
Sikapnya yang tak acuh itu diartikan men-
gejek oleh lelaki bertopeng hitam. Di balik topeng, wajah lelaki itu memerah.
Darahnya mendidih.
"Setan keparat!" geramnya tinggi.
Andika mengangkat kepalanya. Lalu seperti
orang dungu pemuda urakan itu celingukan dan
seolah tak menemukan apa yang dicarinya, dia
kembali menatap pada lelaki bertopeng hitam
yang sedang menatapnya marah.
"Siapa sih yang kau maksudkan dengan se-
tan keparat" Jangan-jangan, kau memelihara se-
tan, ya" Pantas, perbuatan mencuri itu cuma di-
lakukan oleh setan belaka!"
Ronggo Kosworo yang merasa bisa men-
gambil perhatian lelaki bertopeng hitam itu, me-
lompat lima tindak ke muka. Tatapannya dingin
mengarah pada Andika yang masih bersikap san-
tai. "Pemuda yang selalu ingin mencampuri
urusan orang lain! Lembah Tirai akan menjadi
kuburanmu, Pendekar Slebor!"
"Nah! Bagus itu! Jadinya aku tidak mere-
potkan orang lain, bukan" Tetapi, aku masih
doyan makan nasi kebuli! Bagaimana bila kau du-
lu yang mampus" Dan nasi kebuli yang siap kau
makan buatku?"
Gerengan keras dan kemarahan yang siap
tumpah tak bisa dibendung lagi. Dengan mem-
pergunakan kekuatan kedua kakinya, lelaki ber-
codet itu menderu ke arah Pendekar Slebor.
Golok tajamnya diayunkan.
Wuuuttt! Crak! Ranting yang diduduki Andika terpapas
menjadi dua. Tetapi, pemuda yang mendudukinya
tak ada di tempat. Geram Ronggo Kosworo men-
ginjakkan kedua kakinya lagi di tanah. Dia celingukan seperti anak ayam
kehilangan induk men-
cari Andika. Tahu-tahu dirasakan bahunya ditepuk se-
seorang dari belakang. Cepat dia menoleh dan....
Tak! Jidatnya dijitak oleh orang yang menepuk
bahunya tadi, yang tak lain Pendekar Slebor.
"Kena deh!" seringai Pendekar Slebor.
Jitakan yang dilakukan itu bukan jitakan
sembarangan. Tetapi jitakan penuh tenaga. Maka
tak urung lelaki bercodet itu kelojotan dan jidatnya menonjol seperti telur
sambil memegang jidat nonongnya.
"Nah! Aku masih baik kan" Coba kalau aku
jahat! Telur di jidatmu ada tiga biji! Dan kalau aku jahat lagi, kantong
menyanmu yang akan ku-bikin jadi besar!"
Sementara Ronggo Kosworo menjerit kesa-
kitan dan Rawung Menggolo hanya memperhati-
kan dengan tegang, lelaki bertopeng hitam sudah
maju tiga tindak. Bola mata di balik topeng hi-
tamnya membesar.
"Kuperingatkan kepadamu, Pendekar Sle-
bor! Jangan campuri urusan ini bila tidak ingin
mampus!" suaranya dingin, penuh hawa kema-
tian. "Campur telur bebek atau telur ayam, nih?"
seloroh pemuda urakan masih bersikap santai.
Bahkan dengan santainya, dia menyatukan dua
tangannya ke belakang dan melangkah dua tin-
dak. Sikap berdirinya agak doyong.
"Kau membuka jalan kematianmu sendiri,
Pendekar Slebor!" bentak lelaki bertopeng hitam sengit. "Nah, lewat kanan atau
kiri" Atau... kau sendiri yang telah tahu jalan kematianmu itu" Lelaki jelek,
lebih baik ikut aku ke kadipaten untuk diadili karena perbuatan busukmu itu!
Mana pantas sih, lelaki busuk seperti kau menjadi adipati.
Ini kan lucu" Mengalahkan badut-badut di kota-
praja!" "Setan keparat! Terimalah kematianmu,
Pendekar Slebor!" dikawal angin keras, tubuh lelaki bertopeng hitam sudah
meluncur. Pedang di
punggungnya sudah diloloskan.
*** 11 Mendapati serangan berkekuatan tinggi,
pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu memi-
ringkan tubuhnya. Dan ketika dia hendak susul-
kan satu jotosan, pedang di tangan lawan mene-
kuk dan menusuk dari bawah.
"Wiiihhh!! Hebat juga kau, Jelek!" dengusnya sambil melenting ke belakang.
"Kenapa tidak jadi penggembala kambing saja, sih?"
Tetapi lawan tak mau menghentikan se-
rangannya. Lelaki bertopeng hitam itu pun sadar
kalau lawan bukanlah orang sembarangan. Jurus
'Pedang Membelah Langit' segera dipergunakan.
Mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Setiap kali pedang dikibaskan, suara angin ber-
gemuruh terdengar hebat.
Sesaat Andika pun kehilangan bentuk pe-
nyerangannya. Yang dilakukan hanyalah berusa-
ha menghindar dari setiap sabetan pedang. Sete-
lah beberapa kali hal itu terjadi, otaknya yang
encer bisa menangkap kelemahan jurus pedang
yang dimainkan lawan.
Berulang kali pedang lawan selalu menga-
rah pada bagian-bagian yang mematikan. Bahkan
tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan se-
bagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan me-
nyerang, Andika melihat bagian kanan di mana
lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian
terlemah. Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hi-
tam itu mengarahkan pedang ke arah tenggoro-
kan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi.
Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi
sasaran senjata lawan.
Hal itu membuat lawan makin bernafsu.
Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap
menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan
kepalanya ke kanan dan tangan kanannya berge-
rak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang ter-
buka, melainkan menghantam pangkal lengan la-
wan bagian kanan!
Buk! Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hi-
tam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengelua-
rkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang ter-
huyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera
menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pas-
ti sudah meregang nyawa.
Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meski-
pun hanya sebentar, telah menggugah satu piki-
ran lain di otaknya yang encer. Andika merasa
mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki
bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritan-
nya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan su-
ara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara aslinya!
Namun belum lagi Andika berhasil menge-
nali siapa pemilik suara itu, Ronggo Kosworo yang kini di jidatnya ada sebuah
benjolan, menyerang
dengan goloknya.
Wuuuttt! "Fuih!" dengus Andika dan sekali memutar tubuh, kakinya sudah mendarat telak di
kepala lelaki bercodet itu. Terhuyung dan hilang keseimbangan, lelaki bercodet itu
ambruk jatuh pingsan.
"Tuh akibatnya kalau berani membokong!"
"Heaaa!" seruan keras itu membahana,
bersamaan lelaki bertopeng hitam sudah menye-
rang lagi, memupuskan pikiran Andika kembali.
Namun kali ini, Andika yang telah berhasil
memecahkan kelemahan jurus lawan tanpa ba-
nyak kesulitan kembali menggedor tangan kanan
lawan. Kali ini rasa linu menjalari tubuh lelaki bertopeng hitam.
Dia segera mundur dan buru-buru menga-
lirkan tenaga dalamnya, menghentikan linu yang
tak terkira. "Kini terbuka mataku tentang siapa kau
sebenarnya, Pendekar Slebor! Tetapi, bersiaplah
menerima kematian!!" sehabis berkata begitu, lelaki bertopeng hitam membuang
pedangnya dan mencabut keris pusaka Gagak Biru yang tadi dis-
elipkan di pinggangnya.
Andika yang sebelumnya sempat melihat
cahaya biru menyilaukan keluar dari keris pusa-
ka itu, diam-diam mengaguminya. Sebenarnya
ketika Ronggo Kosworo tadi hendak menghabisi
Rawung Menggolo yang terduduk tak berdaya,
Andika sudah tiba di sana. Ketika dia hendak
menolong lelaki tua yang lemah itu, mendadak
sudut matanya menangkap kelebatan bayangan
hitam ke arah keduanya. Segera Andika mengu-
rungkan niatnya ketika mendengar orang yang
muncul itu berteriak menahan serangan Ronggo
Kosworo pada Rawung Menggolo. Dan kini di-
sadarinya kalau lenyapnya Rawung Menggolo di-
karenakan lelaki tua itu mengikuti ke mana per-
ginya Ronggo Kosworo. Di hati Andika, teka-teki
yang membentang di kepalanya makin membesar.
Hanya sekarang, siapakah lelaki bertopeng hitam
itu" "Tak pantas lelaki hina semacam kau memegang keris pusaka itu!" serunya
dengan tatapan menyipit. Kali ini kemarahan mulai menjalari hatinya. "Bukan
hanya manusia yang akan mengutuk perbuatan busuk itu, alam pun akan ma-
rah padamu!"
Lelaki bertopeng hitam terbahak-bahak.
"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau be-
runtung, Pendekar Slebor. Karena begitu pertama
kali melihat pusaka ini, kau sudah akan merasa-
kan kehebatannya."
"Omonganmu cukup mengedarkan sapi
ompong! Sayangnya aku bukan sapi dan tidak
ompong!" "Laknat! Lihat serangan!"
Usai berkata begitu, tubuh lelaki bertopeng
hitam sudah menderu. Dalam jarak tiga tombak,
Andika sudah merasakan hawa panas menderu
ke arahnya. Rasa panas yang menjalar itu, men-
dadak bagai membuat sekujur tubuhnya terbakar
ketika keris pusaka Gagak Biru mengibas ke
arahnya. Cepat dia bergulingan dan merasakan bulu
kuduknya meremang. Belum lagi dia tegak berdi-
ri, serangan berikutnya menyusul. Hawa panas
yang luar biasa menyambar-nyambar mengeri-
kan. Dirasakan oleh Andika kalau saat ini mata-
hari begitu dekat dengan ubun-ubunnya.
"Monyet pitak! Bagaimana caraku untuk
menerobos serangannya" Bila aku mencoba men-
dekat, panas yang menjalar itu terasa membakar
tubuhku. Sulit bagiku untuk menahannya. Bila
aku terus menerus berlompatan kayak monyet
kebakar buntutnya, bisa-bisa tenagaku yang ter-
kuras. Apakah bila kualirkan tenaga 'Inti Petir' di sekujur tubuhku, panas itu
bisa dikalahkan?"
Memikir sampai di situ, masih dalam kea-
daan bersalto, Andika mengalirkan tenaga 'Inti
Petir'. Tenaga yang mengalir setelah dia memakan buah 'Inti Petir'. (Untuk
mengetahui hal itu, silakan baca episode pertama dari serial Pendekar
Slebor: "Lembah Kutukan")
Bertepatan dengan itu lawan sedang melu-
ruk ke arahnya. Pancaran panas dari keris pusa-
ka Gagak Biru, membuat Andika tercekat. Lebih
kaget lagi menyadari aliran panas dalam tubuh-
nya menjadi kacau. Seketika Andika melompat
menjauh seraya menurunkan tenaga 'Inti Petir'.
"Kura-kura bau! Keris itu benar-benar sen-
jata yang ampuh! Panas pengaruh tenaga 'Inti Pe-
tir' justru merupakan satu paduan yang kontras!
Bisa-bisa aku yang terbakar!"
Kembali sambil menghindari serbuan be-
runtun itu, Andika memikirkan cara untuk melo-
loskan diri sekaligus membalas. Mendadak dia
berteriak keras dan memutar tubuh, bersamaan
dengan itu, suara dengungan laksana ribuan ta-
won marah menggemuruh.
Wusss! Lelaki bertopeng hitam tercekat. Cepat dia


Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat bila tak mau tersambar kain bercorak
catur yang telah dikebutkan Andika. Wajah di ba-
lik selubung hitam itu pias. Namun tak mengu-
rangi niatnya untuk menghabisi Pendekar Slebor.
Akan tetapi, dalam sekali gebrak saja, An-
dika tahu kalau kekuatan kain pusaka warisan Ki
Saptacakra yang merupakan sebuah senjata sakti
mengerikan, mampu mengimbangi keris pusaka
Gagak Biru. Makanya, ketika lawan menyerbunya kem-
bali, dengan pencalan satu kaki Andika pun me-
luruk seraya mengibaskan kain bercorak catur-
nya lagi. Ngngng!! Dengungan dahsyat membedah Lembah Ti-
rai, dedaunan berguguran. Tubuh lelaki berto-
peng hitam terdorong dua tombak terkena samba-
ran angin kain bercorak catur. Tubuhnya geme-
tar. Namun kemarahannya makin meninggi.
Andika yang sekarang menemukan bentuk
penyerangannya, tak mau bertindak ayal. Yang
terpenting sekarang, keris pusaka Gagak Biru ha-
rus berpindah tangan.
"Maaf, ya" Aku menyerang nih!"
Dengan satu sentakan kuat, dikibaskan
kembali kain bercorak catur di saat lawan tengah berdiri dengan gamang. Di saat
lawan menghindar, dengan satu totokan tajam, Andika menotok
pangkal lengan kanan lawan. Keris yang dipe-
gangnya jatuh. Cepat Andika menyambarnya dan
berdiri mundur tiga tombak.
Ditatap penuh kekaguman keris di tangan-
nya. "Bukan main! Senjata pusaka di tangan manusia biadab ini akan banyak
menimbulkan korban. Dan keris ini salah satu tanda seseorang menguasai Kadipaten Harum
Raksa," batinnya.
"Pemuda lancang! Kembalikan keris itu ke-
padaku!" bentakan itu terdengar, tidak lagi bersuara berat.
Andika mengerutkan keningnya. Kali ini
dia yakin, mengenali orang di balik topeng itu. Ketika lawan menyerang, dia
bergerak cepat. Mema-
paki dua jotosan sekaligus, melenting ke atas
tangan-tangannya menyambar selubung hitam di
wajah lawan. Sebelum dia hinggap di tanah, seruannya
terdengar, "Panglima Darta Sena keparat! Seluruh permainanmu telah usai!"
Orang dibalik selubung hitam itu tergagap,
menoleh dengan kemarahan tinggi.
Andika berbalik, "Tepat dugaanku."
"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" dalam keadaan kalap, orang di balik selubung
hitam yang ternyata Panglima Darta Sena menerjang
dengan kekuatan tinggi.
Namun kali ini Andika tak bertindak ayal.
Disongsongnya serangan itu dan dihantamnya
dada Panglima Darta Sena yang terhuyung ke be-
lakang. Muntah darah sambil mendekap dadanya
kuat-kuat. "Teka-teki telah terbuka sekarang," desis Andika. "Panglima... dari kata-katamu
sebelumnya pada Ronggo Kosworo tadi aku yakin, kalau
engkaulah yang telah membujuk Adipati untuk
membebaskan mereka. Dikarenakan kau mem-
punyai rencana lain di balik semua ini. Kau yang memiliki kunci ruang simpan
dalam Kadipaten
Harum Raksa, tak sulit untuk masuk ke sana.
Dan mengambil keris pusaka Gagak Biru yang
kemudian kau serahkan pada Tiga Iblis Golok Se-
tan yang tentunya menurut perintahmu karena
mereka berhutang budi padamu!"
Panglima Darta Sena meringis. Sesung-
guhnya, kedatangannya ke Lembah Tirai selain
untuk meminta keris pusaka Gagak Biru yang di-
titipkan pada Tiga Iblis Golok Setan, juga untuk mengambil harta jarahan tiga
manusia laknat itu.
Yang tak disangkanya, dia justru bertemu dengan
Pendekar Slebor.
"Andika... topeng telah terbuka, jalan ma-
kin membara. Kuakui, semua ini memang renca-
naku. Aku bosan menjadi panglima terus mene-
rus. Hingga kuputuskan untuk merencanakan
semua ini. Kubujuk Adipati untuk melepaskan ti-
ga bajingan tengik itu. Dengan kunci yang kumi-
liki, kucuri pusaka Gagak Biru. Rencanaku selan-
jutnya, membiarkan Tiga Iblis Golok Setan menja-
rah penduduk, sesuai dengan keinginanku. Harta
telah terkumpul, dan siap untuk menghadap Raja
dan melakukan pemberontakan pada Kadipaten
Harum Raksa."
"Dan aku yakin, engkaulah yang mengata-
kan kepada tiga begundal itu di mana Gamang
Markuto bersembunyi."
"Kau tak salah, Andika. Otakmu sangat
cerdik. Aku yakin, ketiganya sangat mendendam
pada Gamang Markuto. Biarlah mereka yang
membunuh lelaki itu. Sementara aku tetap bersi-
kap sebagai seorang panglima, yang memerintah-
kan untuk menjaga keselamatan kadipaten dan
menangkap kembali Tiga Iblis Golok Setan."
"Pantas tak ada yang berhasil menemukan
di mana manusia-manusia itu berada. Tentunya,
kau telah menyesatkan langkah anak buahmu
sendiri. Sekarang aku yakin, mengapa kau men-
gatakan tentang hilangnya keris pusaka Gagak
Biru kepadaku. Karena, kau ingin menutupi be-
langmu, sehingga sepak terjangmu tak akan ke-
tahuan siapa pun juga."
"Dan kau sangat cerdik berhasil memecah-
kan semua ini. Selamat tinggal, Pendekar Slebor!"
dengan gerak cepat, Panglima Darta Sena me-
nyambar pedangnya yang dibuangnya tadi. Lalu
ditusukkan ke dadanya.
Andika tercekat, tetapi dia telah terlambat.
"Sayang sekali... kau dibutakan oleh keku-
asaan, Panglima."
Keheningan melanda tempat itu. Burung-
burung elang meneriakkan suara mengerikan di
angkasa. Keheningan dipecahkan oleh suara Rawung
Menggolo, "Terima kasih atas bantuanmu, Andi-ka. Bila kau tidak muncul, nyawa
tuaku akan me- layang...."
Andika cuma tersenyum.
"Mengapa harus berpura-pura lagi, Ga-
mang Markuto?"
Lelaki tua itu melengak. Tetapi detik ke-
mudian dia menarik napas panjang dan men-
gangguk-angguk.
"Yah, kau sangat cerdik, Andika...," terdengar suara itu, lebih rendah dari
suara Rawung Menggolo. Lalu tangan kanan lelaki tua itu men-
gusap wajahnya. Ketika tangannya diturunkan,
nampaklah wajah Gamang Markuto!
"Banyak sekali teka-teki yang kuhadapi
saat ini," batin Andika. "Dendammu sudah terba-las, Gamang Markuto. Meskipun aku
tak menyu- kai dendammu itu, namun semuanya telah terja-
di." "Bagaimana kau bisa menebak semua ini,
Andika?" Andika tersenyum.
"Pertanyaan mudah. Pertama, aku men-
dengar satu keanehan dari cerita Panglima Darta
Sena ketika aku datang ke kadipaten dan masih
menyangkanya orang baik-baik. Menurut Pangli-
ma, setiap kali mereka mendatangi kediamanmu,
selalu tak menjumpai kau, istri, dan anakmu. Ke-
herananku makin berlanjut ketika kusadari tak
satu rumah pun berada di sana. Tak seorang pun
mendiami tempat itu kecuali kau, istri, dan
anakmu. Kedua, pertama kali bertemu denganmu
sebagai Rawung Menggolo kau mengatakan tem-
pat tinggalmu membutuhkan dua kali penanakan
nasi dari Bukit Teduh. Bagaimana bisa Gamang
Markuto mengatakan semua itu bila tiba-tiba di-
lihatnya prajurit kadipaten datang" Ketiga, kau
dengan mudahnya bisa tahu tempat pelacuran di
mana Tiga Iblis Golok Setan datang. Dan bagai direncanakan kau bisa bertemu
mereka. Kesimpu-
lanku, kau memang tahu tempat itu, karena kau
sendiri sering datang ke sana."
Gamang Markuto mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Heran aku jadinya! Apa yang menyebab-
kan kau menyamar seperti itu, sih" Tidak usah
menyamar wajahmu juga sudah jelek!"
"Karena aku tahu, kau pasti akan mengha-
langi niatku untuk membalas dendam."
"Dari mana kau pelajari cara menyamar
itu?" "Kebisaan yang kudapatkan begitu saja.
Karena, sebelum aku menikah aku menjadi seo-
rang buronan yang berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Lalu kucoba untuk menyamar dan
berhasil mengelabui orang-orang, hingga kebisaan ini pun melekat padaku."
"Di mana kau sembunyikan anak dan is-
trimu bila prajurit kadipaten datang dan kau me-
nyamar sebagai Rawung Menggolo" Tentunya kau
tidak menelan mereka dalam perutmu kemudian
kau muntahkan lagi, kan?"
"Di kamarku, telah kugali sebuah lubang
besar yang kututupi dengan kayu-kayu. Di sana-
lah kusembunyikan anak dan istriku yang seka-
rang telah tiada...."
Andika mendesah pendek.
"Gamang... semuanya sudah selesai. Lebih
baik, kau ikut aku ke kadipaten. Katakan, kaulah yang menangkap begundal-
begundal ini sekaligus
menemukan jejak siapa pencuri keris pusaka Ga-
gak Biru. Mudah-mudahan... Adipati mau men-
gampuni segala kesalahanmu...."
Gamang Markuto tak menjawab. Namun,
perasaannya membenarkan kata-kata Andika.
Perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.
Andika teringat akan adik Wening. Cepat
dia berkelebat ke dalam dan melihat seorang ga-
dis tengah pingsan. Rupanya, meskipun tak me-
rasakan sakit akibat pukulan Ronggo Kosworo,
Harti tak kuasa juga bertahan.
Diperiksanya tubuh gadis malang itu. Sete-
lah dialirkan tenaga dalam dan diberi pil penghilang rasa sakit, Andika
membopong tubuh Pan-
glima Darta Sena.
Bersama Gamang Markuto yang membo-
pong tubuh pingsan Ronggo Kosworo, Andika
berkelebat untuk menjumpai Wening. Untuk se-
lanjutnya menyerahkan begundal-begundal itu
pada Adipati Gaung Surya.
Hanya sesuatu yang pedih mengaliri pera-
saannya. Dibayangkan bagaimana sikap Wening
nanti bila mengetahui keadaan adiknya.
"Ah... mudah-mudahan gadis itu tabah
menerimanya."
SELESAI Segera terbit!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
GOA TERKUTUK Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Penghuni Lembah Malaikat 1 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Tujuh Pedang Tiga Ruyung 14
^