Pencarian

Pedang Buntung 2

Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung Bagian 2


Api.... Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ke
sana...," desisnya lagi, lalu menyambung, "Tak
seharusnya kutinggalkan pemuda bernama Andika
itu. Bila dia memang termasuk orang yang
menginginkan potongan pedang ini, untuk apa dia
menyelamatkanku" Bukankah seharusnya dengan
mudah dia akan mengambil potongan pedang di
pinggangku ini" Ah... tak tahulah... apakah aku
memang telah salah menduga atau tidak. Tetapi
semuanya semakin bertambah kacau tangga aku tak
bisa berpikir lebih jernih. Bila memang pemuda itu
bukan orang jahat, tentunya dia akan mencari dan
membantuku menyelesaikan masalah ini. Tetapi...
apakah dia tahu masalah yang kuhadapi?"
Dan gadis itu terus berlari dengan membawa
segenap persoalan yang menggumpal di dadanya.
Namun karena dia memang tidak tahu lagi ke mana
arah yang dituju, gadis ini menghentikan langkahnya di sebuah lembah yang dipenuhi
pepohonan dan bebatuan. Saat itu malam sudah
melangkah memasuki ruang kerjanya.
Dan mendadak saja Gadis Kayangan terjatuh
dengan kedua lutut menekuk menjadi bantalan
pinggul. Napasnya terengah-engah. Butiran keringat
terus membanjiri sekujur tubuhnya yang mendadak
menjadi lengket. Baru dirasakan betapa lelah dan
sudah jauh dia berlari.
Dalam keadaan seperti ini Gadis Kayangan
teringat akan semua kegembiraannya bersama
Pemimpin Agung. Lelaki berusia sekitar enam puluh
tahun yang bijaksana itu sudah dianggap sebagai
orangtuanya sendiri. Dan dia selalu mematuhi setiap
ucapan yang dikatakan gurunya.
"Guru... mengapa semua ini terjadi" Mengapa
harus kau tinggalkan aku dalam kesendirian seperti
ini. Mengapa?" keluhnya pelan namun berusaha
untuk tidak sampai meneteskan air mata.
Berulang kali Gadis Kayangan menarik dan
menghela napas panjang, mencoba membuang dan
menindih sebagian kepedihan hatinya.
Cukup lama gadis jelita berpakaian ringkas warna
biru ini berlutut dengan kedua tangan menekan
tanah dan kepala agak tertunduk. Setelah lamat-
lamat dirasakan lelahnya agak menghilang, perlahan-lahan dia bangkit.
Pandangannya diedarkan pada Seantero tempat
yang lelah menghitam dinaungi malam. Rembulan
di alas sana, tak sanggup menembus halangan dan
rangkaian saling taut awan hitam.
Kejap kemudian terdengar helaan napasnya
lembut, "Aku harus mencari Pesanggrahan Bayu
Api. Seperti pesan Guru tiga bulan lalu. bila terjadi
apa-apa, aku harus menyerahkan potongan pedang
ini pada Panembahan Agung...."
Habis kata-katanya, gadis ini segera menghempos
tubuh menembus kegelapan malam dan jalan di
lembah yang cukup sulit.
*** Pada saat yang bersamaan di sebuah jalan setapak,
satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam hentikan
langkahnya. Saat kepalanya dipalingkan ke kanan ke
kiri, rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda
berlompatan. Sesaat lelaki berwajah tirus yang mulai dihiasi
kerut merut ini tak buka mulut. Namun kejap
berikutnya, terdengar dengusannya yang bernada
jengkel, "Terkutuk! Ke mana perginya pemuda
berpakaian hijau pupus yang membawa Winarsih"!!
Jahanam sial! Padahal aku tinggal selangkah lagi
untuk mendapatkan potongan pedang itu" Benar-
benar keparat!!"
Lelaki yang di pergelangan tangan kanan kirinya
melingkar gelang penuh duri dan tak lain Sangga
Rantek adanya mendengus gusar.
"Semula tak kupercaya kalau potongan pedang itu
berada pada pemuda yang di lehernya melilit kain
bercorak catur! Tetapi setelah dia muncul menyelamatkan murid Pemimpin Agung itu, aku
yakin kalau potongan pedang itu ada padanya!
Jahanam sial! Tak kusangka kalau pemuda itu
memiliki kepandaian yang tinggi!!"
Habis makiannya, Sangga Rantek meneruskan
larinya. Sambil berlari dia terus memaki-maki gusar.
Hingga di satu tempat yang agak lapang, lelaki
berpakaian serba hitam ini hentikan larinya.
Pandangannya tak berkedip menatap satu sosok
tubuh berjubah dan berkerudung merah. Sekilas
dilihatnya rambut perempuan yang tertutup
kerudung merah itu agak berkilat.
Kejap kemudian terdengar desisannya gusar,
"Terkutuk!! Iblis Rambut Emas!!"
Perempuan yang menghadang langkahnya dan
memang Iblis Rambut Emas menyeringai.
"Sangga Rantek! Nampaknya kau begitu tergesa-
gesa sekali! Ada urusan apa, hah"!"
"Setan alas! Mengapa harus berjumpa dengan
perempuan ini" Sejak dulu aku tahu kalau dia
memiliki kelicikan dan ilmu yang cukup tinggi!
Apakah kehadirannya sekarang dikarenakan dia
telah mendengar tentang dua potongan pedang
yang dimiliki Pemimpin Agung" Jahanam keparat!!"
Tak mau membuang waktu lebih lama, Sangga
Rantek sudah membentak, "Menyingkir dari
hadapanku bila tidak ingin nyawamu lepas dari
badan!!" Iblis Rambut Emas yang memang memutuskan
untuk mencari Sangga Rantek, sungguh tak
menyangka kalau dia akan berjumpa dengan orang
itu secepat ini. Perempuan berkerudung merah yang
kejam dan licik ini cuma tersenyum mendengar
ucapan orang. Melihat sikapnya Sangga Rantek makin bertambah gusar.
"Menyingkir kataku!!"
"Sangga Rantek... aku tidak menghalangi langkahmu! Mengapa harus sedemikian gusarnya"
Bukankah tak ada urusan antara kita" Kalaupun
berjumpa sekarang, hanya kebetulan saja!"
Sepasang mata Sangga Rantek menyipit. Diam-
diam dia berkata dalam hati, "Kelicikan perempuan
ini sangat terkenal. Namun dari sikapnya jelas kalau
dia nampaknya memang tak menghendaki apa-apa
dariku. Lagi pula kupikir, dia tak tahu menahu soal
Pedang Buntung yang ada padaku. Tetapi aku tak
boleh mengambil kesimpulan seperti itu. Perempuan
ini dapat bersikap sangat sopan dan manis melebihi
seorang bidadari."
Seraya maju satu langkah ke depan, Sangga
Rantek berkata dengan nada suara diturunkan, "Bila
memang tak ada urusan, silakan kau berlalu dan
sini." "Aku sudah berdiri di sini. Dan rasanya... lebih
baik kau yang menyingkir," sahut Iblis Rambut
Emas sambil tersenyum.
'Terkutuk! Aku bertambah yakin kalau dia
memang menghendaki sesuatu dariku. Dan apa lagi
yang diinginkannya bila bukan Pedang Buntung
ini?" kata Sangga Rantek dalam hati, lalu berseru,
"Baik! Kalau begitu, aku yang menyingkir!"
Sebelum Sangga Rantek bergerak. Iblis Rambut
Emas sudah berkata, "Apakah kau tidak pernah
mendengar tentang sebilah pedang yang terpotong
menjadi dua dan berisi titik-titik gambar" Yang bila
kedua pedang buntung itu disatukan, merupakan
petunjuk lengkap menuju ke sebuah tempat?"
Menegak kepala lelaki berkuncir kuda ini.
Kembali pandangannya lurus ke depan tanpa kedip.
Lalu dengan suara dibuat bodoh dia ajukan tanya,
"Apa maksudmu?"
Iblis Rambut Emas tersenyum tetapi mendengus
dalam hati, "Hebat juga permainanmu, Sangga
Rantek!" Kemudian katanya, "Berita tentang sebilah
pedang yang menjadi dua potong itu sudah
terdengar ramai di rimba persilatan ini! Dua
potongan pedang yang dimiliki oleh Pemimpin
Agung! Tetapi sayangnya, tak seorang pun yang
tahu siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung.
Bahkan satu masalah yang terpenting, dua pedang
buntung itu sudah tak ada lagi di tempatnya."
Iblis Rambut Emas yang sengaja berkata dusta
menghentikan kata-katanya dulu untuk melihat
perubahan wajah Sangga Rantek. Dan dia makin
tersenyum dalam hati begitu melihat Sangga Rantek
tersenyum. "Bodoh! Dia mulai terpancing ucapanku!"
desisnya dalam hati lalu berkata, "Dan berita yang
kudengar... kalau orang yang telah membunuh
Pemimpin Agung adalah seorang pemuda berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain
bercorak catur."
"Hei! Dari ucapan pertamanya jelas dia tidak tahu
siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung!
Tetapi ucapannya barusan, dia seperti mengetahui
sesuatu tentang pemuda berpakaian hijau pupus itu.
Ada apa ini" Apa yang hendak dimainkannya?"
membatin Sangga Rantek dengan kening dikernyitkan. Lalu dengan pandangan curiga dia berseru, "Dari
mana kau tahu soal itu, hah"!"
Iblis Rambut Emas makin kembangkan senyum,
"Siapa pun orangnya yang punya telinga sudah
tentu akan mendengar semua itu! Dan siapa lagi
orangnya yang mempunyai ciri-ciri seperti yang
kukatakan tadi kalau bukan Pendekar Slebor!!"
Sampai surut satu langkah ke belakang Sangga
Rantek mendengar ucapan orang. Nampak kepalanya melegak dengan kedua mata membuka
lebih lebar. "Pendekar Slebor! Setan neraka! Jadi pemuda itu
adalah Pendekar Slebor" Anjing kurap! Pantas kalau
pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi!!" desis
Sangga Rantek terkejut dalam hati.
Kemudian katanya, "Lantas apa maksudmu
menceritakan semua ini?"
"Aku mempunyai dendam pada Pendekar Slebor,"
kata Iblis Rambut Emas terus memainkan peranannya. "Pemuda itu telah membunuh kekasih
yang sangat kucintai!"
"Iblis Rambut Emas! Setahuku kau tak mempunyai kekasih" Karena... mana ada lelaki yang


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau dengan perempuan keji sepertimu, hah"!"
Iblis Rambut Emas mengikik. "Kau memang tidak
tahu kalau aku mempunyai seorang kekasih, tak
seorang pun yang tahu...." Lalu dalam hati dia
melanjutkan, "Jahanam sial! Rasanya tak sabar untuk
merobek mulut si Keparat ini!!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau
tidak langsung mencari pemuda itu"!" seru Sangga
Rantek sambil berpikir keras apa tujuan perempuan
berkerudung merah itu sebenarnya.
"Sudah tentu aku akan mencarinya bila kumiliki
ilmu yang dapat menandingi kesaktiannya! Hanya
saja.., aku sadar, kalau aku akan membuang nyawa
percuma bila tetap nekat mencari pemuda itu.
Sangga Rantek... apakah kau tidak memikirkan
sesuatu dari ceritaku itu?"
Sangga Rantek terdiam dulu sebelum berkata,
"Katakan lebih jelas! Karena waktuku tidak
banyak!!" "Mengapa Pendekar Slebor membunuh Pemimpin
Agung" Itulah yang seharusnya kau tanyakan!
Sudah tentu karena dia menginginkan dua potongan
pedang yang berisi titik gambar dan bila dijadikan
satu, merupakan petunjuk lengkap menuju sebuah
pulau! Apakah kau mendadak menjadi dungu,
hah"!"
Mengkelap wajah Sangga Rantek mendengar
ejekan si perempuan. Dengan kedua tinju mengepal
namun berusaha tindih kegusarannya dia berseru,
"Jelaskan!!"
"Hmmrn... dia masih berlagak bodoh," kata Iblis
Rambut Emas dalam hati sebelum berkata,
"Bukankah tujuan Pendekar Slebor membunuh
Pemimpin Agung untuk mendapatkan dua potongan pedang itu?"
Sangga Rantek hanya menatap tajam sementara
diam-diam berkata dalam hati, "Aku benar-benar tak
habis pikir, apa yang sebenarnya diinginkan
perempuan ini. Masih belum dapat kuduga kalau
dia mengetahui salah satu potongan pedang itu,
yang merupakan Pedang Buntung berada di
tanganku. Dan urusan ini nampaknya memang akan
berkembang menjadi panjang. Sebaiknya, kuikuti
saja apa maunya perempuan ini. Mudah-mudahan
dia memang tidak tahu kalau Pedang Buntung itu
ada padaku."
Kemudian katanya, "Jadi dengan kata lain... kau
mengajakku untuk bergabung membunuh Pendekar
Slebor"!"
"Benar sekali! Ternyata kau memang berotak
cerdik! Aku tak menginginkan dua potongan
pedang yang diambilnya! Tetapi aku menginginkan
nyawanya!!"
Sangga Rantek keluarkan dengusan. Jelas dia tak
bisa mempercayai ucapan Iblis Rambut Emas.
Sementara si perempuan sendiri tertawa dan
berusaha meyakinkan kata-katanya. Padahal dalam
hati, dia memang mencoba mengajak Sangga Rantek
untuk bergabung membunuh Pendekar Slebor. Bila
pemuda itu telah tewas, dan Sangga Rantek berhasil
mendapatkan potongan pedang itu, maka dia akan
merebutnya. Juga bila dia yang berhasil mendapatkannya, maka potongan pedang lainnya,
yang berupa Pedang Buntung dan berada pada
Sangga Rantek. juga akan direbutnya.
Dengan kata lain, dia akan mengail di air keruh!
"Bila memang itu maumu, bagus! Aku juga punya
urusan dengan pemuda itu!"
"Bisa kutebak! Urusanmu tentunya berhubungan
dengan potongan pedang itu, bukan?" sambar Iblis
Rambut Emas sambil tertawa dalam hati. Dan
sebelum Sangga Rantek menyahut dia sudah
melanjutkan, "Kau harus berhati-hati menghadapinya! Karena dia berhasil membunuh
Pemimpin Agung!"
Mendengar ucapan itu Sangga Rantek yang
semula hendak tumpahkan amarahnya, pentangkan
senyum. "Perempuan ini jelas-jelas tidak tahu kalau akulah
pembunuh Pemimpin Agung dan Pedang Buntung
itu berada di tanganku! Bagus! Kudengar ilmunya
lumayan tinggi! Berarti membunuh Pendekar Slebor
akan lebih mudah ketimbang kulakukan sendiri!!"
Sementara itu Iblis Rambut Emas sedang
membatin, "Dia telah masuk perangkap yang
kubuat. Urusan sudah tentu akan berada di
tanganku. Bila saja aku belum bentrok dengan
Pendekar Slebor, sudah kubunuh dan kurebut
Pedang Buntung itu dari tangan lelaki jahanam ini!
Tetapi ilmunya lumayan tinggi dan tentunya dapat
kumanfaatkan dengan mudah! Setelah itu, giliranku
untuk membunuhnya!"
Lalu sambil pasang senyumnya, perempuan licik
ini berkata dengan suara menggoda, "Hari semakin
larut, bagaimana bila kita memulai sekarang?"
Sangga Rantek tak keluarkan kata kecuali segera
berkelebat ke arah timur.
Senyuman di bibir Iblis Rambut Emas semakin
menjadi-jadi dengan kedua bola mata cerah
berbinar. "Semuanya... ada di tanganku...," desisnya dan
kejap itu pula dia segera berkelebat menyusul
perginya Sangga Rantek.
*** 7 Sinar surya kembali menerangi segenap persada.
Udara pagi berhembus sejuk. Sisa-sisa kabut masih
mengawang-ngawang di udara yang nampaknya tak
lama lagi akan sirna.
Pendekar Slebor yang sengaja meninggalkan
pertarungan dengan Dua Manusia Goa Setan,
menghentikan langkahnya di bawah sebatang
pohon. Di kejauhan nampak sebuah gunung
menjulang. Sejarak seratus tombak dari tempatnya
agak ke kanan, pematang-pematang sawah jadi
pemandangan dengan lenggokan padi menguning
yang dihembus angin.
"Ah, tak seharusnya kuturunkan tangan pada
lelaki bernama Pancen Dadap itu. Tetapi bila tidak
kulakukan, justru nyawaku yang akan putus...,"
desisnya sambil menarik napas pendek. "Huh,
urusan ini memang bikin pusing saja!"
Lalu diarahkan pandangannya ke depan.
"Pesanggrahan Bayu Api.... Itulah satu-satunya
tempat yang dapat kujadikan patokan untuk
menemukan Gadis Kayangan. Kendati aku mulai
dapat menebak secara pasti urusan ini, namun
belum dapat kuketahui tentang apa yang tergambar
pada kedua potongan pedang itu, yang tentunya
menunjukkan sebuah tempat. Namun apakah nama
tempat itu dan di mana" Apa yang ada di tempat
itu" Monyet pitak!! Rasa penasaranku makin
menjadi-jadi!!"
Kembali anak muda urakan ini terdiam. Tahu-
tahu keningnya berkerut.
"Gadis Kayangan...," desisnya pelan. "Begitu
banyak rahasia yang dipendamnya. Bahkan sampai
sekarang aku belum mengetahui nama gadis itu
sebenarnya. Yang kuketahui kalau dia murid dari
seorang lelaki yang berjuluk Pemimpin Agung,
tetapi siapa pula Pemimpin Agung yang tinggal di
Pesanggrahan Bayu Air" Apakah... hei!! Pesanggrahan Bayu Air... Pesanggrahan Bayu Api....
Dua nama yang berdekatan sekali, dan seolah
bertolak belakang. Atau malah sesungguhnya
bersatu?" Nampak sekali kalau Pendekar Slebor berusaha
berpikir keras. Menyusul terdengar desisannya,
"Jangan-jangan...
orang yang berada di Pesanggrahan Bayu Api, ada hubungan langsung
dengan Pemimpin Agung. Bisa kupastikan sekarang... kalau gadis itu hendak menyerahkan
potongan pedang yang berada padanya pada orang
yang berada di Pesanggrahan Bayu Api. Bila
memang demikian... kadal buntung! Sudah tentu
gadis itu telah siuman sebelumnya! Tak ada orang
yang datang membawanya atau membuatnya
menghindar dari orang itu! Setelah dia siuman, dia
langsung berlalu menuju ke Pesanggrahan Bayu Api
yang rasanya belum diketahui di mana tempatnya.
Tetapi mengapa dia melakukan hal itu" Monyet
Pitak!" Andika terdiam lagi sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Kejap berikutnya
terdengar makiannya, "Monyet buduk! Sudah tentu
hal itu dilakukan karena dia tidak mempercayaiku!
Orang utan bau! Berarti dia menduga kalau aku
termasuk orang yang menginginkan potongan
pedang yang berada padanya" Benar-benar kutu
landak! Masa sih pemuda tampan sekeren dan
segagah aku ini disamakan dengan orang-orang
seperti Sangga Rantek dan Dua Manusia Goa Setan"
Wah! Rupanya gadis itu tidak bisa membedakan
mana wajah yang tampan dan mana wajah yang
jelek!" Pemuda berambut gondrong menggeleng- gelengkan kepalanya, separo gemas dan mangkel.
"Huh! Lebih baik ku teruskan langkah untuk
mencari tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu
Api." Kejap kemudian, Pendekar Slebor sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Dengan
pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor,
anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini tiba di sebuah dusun yang cukup ramai.
Di dusun itu dia mengisi perut sebelum
melanjutkan perjalanan kembali. Tatkala kakinya
menginjak ujung jalan dari desa itu, mendadak saja
dilihatnya tiga sosok tubuh berpakaian hitam
gombrang muncul dari arah sebelah kiri. Terus
melangkah menjauh dari dusun itu.
Bukan kemunculan ketiga orang itu yang
membuat Andika tertarik, melainkan tatkala
mendengar salah seorang dari mereka yang
bercambang bawuk berkata, Tak lama lagi kita akan
tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Menurut perkiraanku, bila kita terus berlari tanpa henti, tepat
matahari masuk ke peraduannya kita sudah tiba di
sana." "Kasma Matur! Apakah kau yakin kalau-
Panembahan Agung saat ini tidak berada di
tempatnya?" tanya yang melangkah di sebelah
kanan sambil arahkan pandangan pada si Bawuk
yang bernama Kasma Matur, sementara dia sendiri
bernama Dirgo Kantas.
Orang yang bicara pertama tadi menganggukkan
kepalanya. "Ya! Hari ini hari Kamis Legi. Seperti
kebiasannya, Panembahan Agung selalu berjalan-
jalan di padang rumput yang ada di belakang
pesanggrahan miliknya pada malam hari. Ini
kesempatan kita untuk menguras seluruh harta yang
dimilikinya."
"Tetapi rasanya... aku tak begitu yakin kalau
Panembahan Agung memiliki harta seperti yang kau


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duga," kata lelaki yang melangkah di sebelah kiri.
Dia bernama Suronto Kakak.
"Masa bodoh! Lelaki tua bertubuh kerempeng
yang mengenakan sorban kuning di kepalanya itu
telah mengupah kita untuk menjarah harta
Panembahan Agung. Bukankah ini keuntungan dua
kali lipat" Bila kita tidak berhasil menguras harta
milik orang itu, toh kita sudah mendapatkan upah
yang banyak?"
Kedua temannya mengangguk-anggukkan kepala
mendengar kata-kata Kasma Matur. Mendadak
masing-masing orang terbahak-bahak dan kejap itu
pula mulai berlari.
Sementara itu. Pendekar Slebor yang terus
melangkah dengan memasang pendengarannya
lebih lebar berkata dalam hati, "Ketiga orang itu
sebangsa cecunguk-cecunguk lapar yang diupah
seseorang yang mengenakan sorban kuning di
kepala. Hmmm... ada apa lagi" Urasan apa yang
akan terjadi" Mengapa orang bersorban kuning itu
justru menyuruh mereka menjarah harta milik
Panembahan Agung yang ternyata tinggal di
Pesanggrahan Bayu Api" Kutu monyet! Urusan jadi
kapiran!! Hhh! Aku ingin tahu ada apa iagi. Mudah-
mudahan Gadis Kayangan memang menuju atau
sudah berada di Pesanggrahan Bayu Api."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor pun
segera berkelebat dan menjaga jarak dari ketiga
orang berpakaian hitam gombrang yang terus
berlari. *** Tepat malam mulai menyelimuti alam, ketiga
lelaki berpakaian hitam gombrang itu tiba di sebuah
jalan setapak yang di kanan kiri dipenuhi
pepohonan. Masing-masing orang yang sekarang
berada di balik ranggasan semak belukar, memandang ke depan.
Sejarak dua puluh tombak, nampak sebuah
bangunan besar berdiri kokoh. Beberapa ekor
burung malam melintas di atasnya.
"Kasma Matur... apakah bangunan itu yang
disebut Pesanggrahan Bayu Api?" tanya Dirgo
Kantas dengan kedua mata tak berkedip. Sedikit
banyaknya lelaki ini merasa kecut.
Kasma Matur yang sudah dimabuk bayangan
harta yang dapat dikurasnya mengangguk mantap.
"Ya! Menurut orang bersorban kuning, jelas itulah
Pesanggrahan Bayu Api! Ayo, kita segera ke sana
untuk menguras seluruh harta Panembahan Agung!"
"Kasma Matur...," berkata Suronto Kakak tanpa
palingkan kepala dari bangunan besar itu. Lalu
sambungnya dengan suara agak tersendat, "Aku...
aku...." "Apa aku-aku, hah"!" bentak Kasma Matur gusar.
Suronto Kakak menelan ludahnya. "Tempat itu...
begitu menyeramkan. Lebih baik kita urungkan saja
niat untuk menguras hartanya...."
"Bodoh! Keuntungan kita dua kali lipat!"
"Tetapi... tempat itu seperti tempat jin buang anak!
Aku sangsi kalau memang ada orang yang
meninggali-nya!"
"Jangan berlaku bodoh. Suronto! Coba kau
bayangkan! Untuk pekerjaan yang memang selalu
kita kerjakan setiap malam, kita mendapat upah
sepuluh keping uang perak! Nah! Bukankah ini
suatu yang menyenangkan" Lebih menyenangkan
lagi karena kita diberi tahu sasaran empuk yang kita
tuju...." "Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, kita segera ke sana!"
"Kasma Matur... apa yang dikatakan Suronto
memang benar," kata Dirgo Kantas yang juga merasa
tidak enak. Dalam pandangannya bangunan yang
terkesan angker itu laksana seorang raksasa yang
sedang tertidur dan akan murka bila diusik.
Menggeram Kasma Matur mendengar ucapan
Dirgo Kantas. "Dasar kalian orang-orang dungu!
Sudah seharusnya kalian senang dengan apa yang
telah ada di hadapan kalian! Ayo, kerjakan sekarang
juga! Aku yakin, Panembahan Agung sudah mulai
berjalan-jalan di padang rumput di belakang
pesanggrahannya!!"
Dirgo Kantas dan Suronto
Kakak saling berpandangan. Wajah masing-masing orang nampak
pucat. Sesungguhnya, kedua orang itu memang
bukanlah orang pemberani dan kejam. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki hati pengecut,
namun karena desakan perut dan dorongan Kasma
Matur, mereka terpaksa menjadi pencuri.
Tetapi sekarang, kepengecutan mereka sudah
nampak. Keduanya sama-sama palingkan kepala
pada Kasma Matur yang telah berdiri dan
menunggu tak sabar.
"Ayo! Kita kerjakan sekarang!!"
"Kasma... aku... aku tidak ikut sajalah," kata
Suronto Kakak takut-takut.
"Bodoh!!"
"Aku juga...," sambung Dirgo Kantas.
"Dasar orang-orang dungu! Apa yang kalian
takutkan, hah" Kita bebas menjarah harta milik
Panembahan Agung! Lagi pula... apakah kalian
tidak berpikir kalau orang bersorban kuning itu
akan membunuh kita bila kita tidak menjarah harta
milik Panembahan Agung?"
"Tetapi... kakek itu... tidak berkata apa-apa.... Dia
cuma tersenyum-senyum saja...," kata Dirgo Kantas
dengan kening dikernyitkan. "Lagi pula... kita kan
tidak mengenal sama sekali siapa dia. Ini patut
dicurigai, Kasma Matur."
"Goblok! Sekarang kau ngomong begini! Sebelumnya, waktu kakek itu memberi kita uang,
kau tak ngomong apa-apa! Malah petantang-
petenteng kayak jagoan!!"
Dirgo Kantas cuma terdiam namun dia berusaha
keras untuk tidak mencapai bangunan yang
nampaknya angker itu.
"Itu kan... itu kan...."
"Dasar bodoh!" potong Kasma Matur dengan
kemarahan membuncah. "Kalian boleh pergi dari
sini! Tetapi ingat, kalian tak akan mendapatkan apa
yang akan kudapatkan!!"
"Aku tidak apa-apa," sahut Suronto Kakak sambil
menghela napas lega.
"Aku juga.... Tetapi, tentunya kau masih mau
memberikan sekeping uang perak itu, bukan" Hanya
sekepiiiing saja...."
"Tidak!!" melotot mata Kasma Matur. "Kalian tak
mendapatkan apa-apa! Cepat pergi dari sini sebelum
golokku membelah kepala kalian!!"
Terbirit-birit dua pencuri pengecut itu mendengar
ancaman Kasma Matur. Sepeninggal keduanya,
lelaki bercambang bawuk ini mendengus, "Dasar
bodoh! Sasaran sudah ada di depan mata, bahkan
tak perlu susah payah untuk mencari sasaran yang
bermutu. Tinggal membawanya saja tidak mau!!
Huh! Apa sih yang ditakutkan" Tak ada setan
gentayangan di sini!"
Kasma Matur masih ngoceh melampiaskan
jengkelnya, lalu berkata, "Akan kukerjakan sekarang!!"
Memutuskan demikian, lelaki bercambang bawuk
ini segera keluar dari balik ranggasan semak
belukar. Pandangannya ditujukan ke arah bangunan
besar itu. Sejenak ada perasaan ngeri melihat
bangunan yang dibayang-bayangi malam itu.
Namun apa yang ada di benaknya adalah
memiliki harta dengan cara mudah. Dan mendadak
bibirnya mengembang senyuman.
"Aku akan kaya... aku akan kaya...."
Sambil menyiapkan goloknya, Kasma Matur
melangkah mengendap mendekati bangunan itu.
Namun baru lima langkah dia bergerak, mendadak
saja langkahnya terhenti. Karena sejarak tiga tombak
dari hadapannya nampak satu sosok tubuh berdiri
tegak dibalut kegelapan.
Untuk sejenak Kasma Matur termangu dengan
kengerian yang perlahan mulai merangkulnya. Dia
mencoba mengira-ngira siapa sosok hitam itu
sebenarnya. Di lain kejap dia sudah keluarkan bentakan.
"Keparat!! Siapa kau, hah"!!"
Sosok hitam-hitam itu tak menyahut, bahkan tak
keluarkan suara sedikit pun. Kasma Matur menjadi
gusar. Dengan golok terangkat dia segera memburu.
Namun mendadak pula kembali dihentikan
langkahnya, karena tiba-tibasaja sosok tubuh
berbalut kegelapan malam itu telah lenyap dari
pandangannya. "Heiii!!" melengak lelaki bercambang bawuk ini
dengan kepala menegak. Kedua matanya melotot
lebar. "Gila! Siapa orang itu" Gerakannya seperti
setan! Huh! Aku tak peduli apakah dia orang
atau...." Memutus kata-katanya sendiri, Kasma Matur
langsung celingukan. Dan mendadak saja dia surut
dua tindak ke belakang, karena di samping
kanannya sosok tubuh tadi telah berdiri. Tetap tak
bergerak dan tak keluarkan suara.
Mulailah rasa takut melingkupi lelaki bercambang
bawuk ini. Bahkan tanpa disadarinya keringat
dingin mulai keluar. Dan ketakutannya kian
menjadi-jadi tatkala sosok tubuh itu lenyap begitu
saja. Kemudian muncul lagi di belakangnya.
Kontan melonjak lelaki ini. Kejap berikutnya dia
sudah berlari lintang pukang menuju jalan semula.
Jeritannya cukup menggema di malam sepi.
Sepeninggal Kasma Matur, sosok tubuh yang tadi
dilihat lelaki itu keluarkan dengusan.
"Huh! Sok berani! Tidak tahunya sebangsa tikus!!"
Lalu perlahan-lahan orang yang tadi menakut-
nakuti Kasma Matur dan tak lain Pendekar Slebor
adanya, putar tubuh dan memperhatikan bangunan
besar di hadapannya.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desisnya tanpa kedip.
"Tak salah lagi kalau memang inilah tempat itu.
Apakah saat ini Gadis Kayangan berada di sini?"
Kembali anak muda urakan ini terdiam sebelum
mendesis lagi, "Selain dua potongan pedang yang
bila disatukan akan menjadi petunjuk tergambar ke
satu tempat yang masih jadi masalah, aku yakin
masih ada masalah lain yang akan mengembang.
Siapakah orang bersorban kuning yang menyuruh
ketiga lelaki itu menjarah harta milik Panembahan
Agung" Dan apa maksudnya menyuruh ketiga
bangsa tikus yang sesungguhnya tidak mempunyai
nyali untuk melakukannya?"
Andika garuk-garuk kepala sambil mencoba
memikirkannya. "Apakah urusan ini merupakan satu kesatuan
dengan urusan si Gadis Kayangan" Atau memang
ada urusan yartg harus diselesaikan?"
Selagi anak muda urakan ini berpikir, mendadak
saja terdengar bentakan sengit, "Sejak semula... aku
sudah yakin kau bukanlah orang baik-baik! Terbukti
akhirnya kau tiba di Pesanggrahan Bayu Api!"
*** 8 Seketika Andika putar tubuh ke samping kiri.
Dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di
hadapannya. Bila saja Andika tidak mengenali suara
itu, dapat dipastikan dia akan membutuhkan waktu
beberapa kejap untuk mengenali orang yang
bersuara tadi. Kejap kemudian anak muda ini tertawa.
"Gadis Kayangan.... Tak salah aku berpikir, kalau
kau memang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api."
Orang yang keluarkan bentakan yang tak lain
Winarsih alias Gadis Kayangan, hanya terdiam.
Gadis berpakaian biru muda ini memang masih
belum sepenuhnya dapat memutuskan apakah
pemuda di hadapannya ini sebangsa kawan atau
lawan. Hingga sikapnya agak berhati-hati. Terlebih
lagi pemuda itu telah mendahuluinya tiba di
Pesanggrahan Bayu Api.
Karena

Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak terdengar jawaban gadis di hadapannya, Andika berkata, "Aku datang ke sini...
ya, karena teringat kalau kau sedang menuju ke
tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api.
Terus terang, aku cukup bingung tatkala menyadari
kau menghilang. Bingung ya... bukan karena takut
kau kenapa-napa. Tapi kapan lagi sih aku bisa
menikmati wajah cantik yang sedang terpejam...."
Bila saja malam tidak begitu pekat, sudah tentu
Andika dapat melihat wajah Winarsih yang
memerah. Akan tetapi kejap berikutnya si gadis
sudah berkata, "Aku tahu kau telah menolongku! Ya!
Kuucapkan terima kasih! Sekarang, tinggalkan
tempat ini!!"
Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.
"Memangnya kenapa sih" Akukan tidak melakukan
apa-apa. Kok bawaannya curigaan melulu?"
Sejenak Winarsih agak tergugu sebelum terdengar
suaranya, "Andika! Aku hanya tahu namamu saja,
aku tidak tahu siapa kau adanya! Tetapi sebaliknya,
tentunya kau telah tahu siapa aku, bukan" Sangga
Rantek sudah jelas akan membuka mulut."
"Tidak salah! Dia menginginkan potongan pedang
yang ada padamu! Terus terang, semula aku tak
begitu memahami persoalan yang ada. Tetapi karena
aku punya otak dan mau kugunakan untuk berpikir,
lambat laun sedikit banyaknya dapat kuketahui apa
yang telah terjadi. Hanya saja, aku tak tahu tempat
apa yang menjadi tujuan dari rangkaian titik-titik
yang tertera bila dua potongan pedang satu sama
lain disatukan."
"Sikap pemuda ini begitu tulus. Sepasang matanya
selalu berkilat-kilat Jenaka. Ah, bila saja aku tidak
berada dalam suasana seperti ini, sudah tentu aku
bersedia menjadi sahabatnya. Namun, di rimba
persilatan ini sangat sukar mengetahui kesungguhan
hati seseorang," kata Winarsih dalam hati.
Dan sebelum dia buka mulut, Andika sudah
mendahului, "Mengapa kau mengatakannya ada
padaku" Nah, nah... kau mau memfitnah, ya"
Busyet! Fitnah itu lebih kejam daripada tidak
memfitnah, lho!"
Agak malu juga Winarsih mendengar kata-kata
itu. Tetapi dia tidak peduli.
"Potongan pedang itu memang ada padaku! Dari
ucapanmu tadi, kau telah tahu apa yang telah
terjadi. Mengapa kau tak segera merebutnya dariku,
Andika?" "Busyet! Kok merebutnya" Buat apa" Mendingan
aku membeli yang utuh di Kotapraja!"
"Ah, perasaanku mulai bertambah bingung
sekarang. Aku harus mengambil keputusan.
Pesanggrahan Bayu Api sudah berada di hadapan,
selekasnya aku harus menyerahkan potongan
pedang ini pada Panembahan Agung. Pemuda ini
harus kusingkirkan."
Memutuskan demikian, dengan pandangan mata
masih waspada, Winarsih berkata, "Bila kau tak
menghendakinya... silakan menyingkir atau kita
akan bertarung!"
"Monyet pitak! Aku memang tak bisa menyalahkan sikapnya!" kata Andika dalam hati.
Lalu sambil nyengir dia berkata, "Kalau memang
begitu... ya tidak apa-apa. Tapi... apakah kau tidak
berpikir, bila aku menginginkan potongan pedang
itu, sejak kau pingsan aku sudah mengambilnya.
Bahkan dengan mudah aku dapat membunuhmu
atau melakukan sesuatu yang tidak sopan padamu.
Tetapi kan... semuanya tidak kulakukan. Itu
bertanda aku ini orang baik-baik. Iya, nggak" Iya,
nggak?" "Yang kupikirkan waktu itu memang demikian
adanya. Tetapi aku tak peduli. Aku ingin bertemu
dengan Panembahan Agung tanpa ada yang
mengganggu!"
Habis berpikir demikian, Winarsih berkata,
"Tinggalkan tempat ini, Andika! Sekali lagi
kukatakan padamu, aku berterima kasih karena kau
telah menyelamatkanku
dari tangan Sangga Rantek!!" "Sama-sama...,"
sahut Andika sambil membungkuk. Lalu segera berbalik dan melangkah
seraya mendengus dalam hati, "Busyet! Sudah
capek-capek sampai di sini, eh, cuma diusir doang!
Dasar nasib lagi apes!!"
Sementara itu Gadis Kayangan masih tegak di
tempatnya. Dia masih hendak meyakinkan kalau
pemuda berbaju hijau pupus itu telah berlalu.
Setelah sosok Andika lenyap dari pandangannya,
barulah murid mendiang Pemimpin Agung ini
balikkan tubuh kembali mengarah pada Pesanggrahan Bayu Api.
Sejenak gadis ini tak lakukan apa-apa sebelum
akhirnya berkata, "Akhirnya aku berhasil juga
menemukan Pesanggrahan Bayu Api. Beruntung
karena petani yang kutanya tahu di mana
pesanggarahan ini berada. Ya, ya... aku tak boleh
buang waktu lagi. Potongan pedang ini harus
kuserahkan pada Panembahan Agung dan mudah-
mudahan aku dapat mengetahui ada apa di balik
semua ini...."
Memutuskan demikian, Gadis Kayangan segera
berkelebat cepat mendekati Pesanggrahan Bayu Api.
Tiba di muka halaman tempat itu, dia terkagum-
kagum sendiri. Karena tiang-tiang penyangga
pesanggrahan ini lebih besar dari pesanggrahan di
mana dia sebelumnya tinggal bersama Pemimpin
Agung. Halamannya luas dikelilingi dinding yang
cukup tinggi. Namun pintu gerbang halaman itu tak
tertutup, dibiarkan terbuka seolah menyambut
kedatangan siapa saja.
Habis kagumi apa yang ada di sekitarnya,
Winarsih berkelebat masuk. Sebuah pintu besar
bergambar ukiran angin dan api berdiri kokoh di
hadapannya. Dan yang mengejutkan, sebelum Winarsih
mengetuknya, pintu itu sudah terbuka diiringi suara
lembut, "Silakan masuk, Anakku..."
Tercengang Winarsih mendengar suara itu."
"Oh! Suara itu tentunya suara Panembahan
Agung. Dia telah tahu aku tiba di sini," katanya
dalam hati dan perlahan-lahan melangkah.
Kembali terdengar suara bijaksana itu, "Berbelok
ke kiri. Ada tiga buah pintu di sana. Masuklah
melalui pintu yang tengah. Setelah itu berbelok ke
kanan. Kau akan menjumpaiku di ruangan itu,
Anakku." Sambil memandang sekelilingnya dengan penuh
rasa takjub, Winarsih mengikuti petunjuk suara itu.
Akhirnya dia pun tiba di sebuah tempat yang cukup
luas. Tiang-tiang penyangga ruang itu berukir angin
dan api. Atapnya cukup tinggi.
Namun Winarsih tak melihat siapa pun yang
berada di sana.
Tetapi hanya sekejap karena di kejap berikutnya,
satu sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri di
hadapannya. Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis,
dan jenggot yang memutih itu pentangkan senyum.
Pakaiannya putih panjang dengan sulaman angin
dan api berwarna biru dan merah. Pancaran
matanya begitu teduh sekali. Winarsih seolah
melihat gurunya yang berada di hadapannya.
"Selamat datang di Pesanggrahan Bayu Api,
Anakku...," kata orang tua itu dengan suara
lembutnya. Segera Winarsih rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. "Kakek... terimalah hormatku...."
"Duduklah...."
Lalu masing-masing orang duduk bersila sejarak
lima langkah satu sama lain.
Winarsih memandangi lelaki tua di hadapannya
dengan sorot mata kagum Jadi inilah Panembahan
Agung, kakak seperguruan gurunya yang sering
diceritakan gurunya. Sikap lelaki ini benar-benar
sangat bijaksana.
"Anakku... aku tahu apa maksud kedatanganmu
ke sini. Kau hendak menyerahkan potongan pedang
itu, bukan?"
Winarsih menganggukkan kepalanya. Dilihatnya
Panembahan Agung mengusap jenggot putihnya.
"Berarti... dia telah tewas, bukan?"
Kembali Winarsih menganggukkan kepalanya.
Dia bisa menduga, bila suatu saat dia akan muncul
di Pesanggrahan Bayu Api, berarti secara tidak
langsung mengabarkan gurunya yang telah tewas.
Dan tentunya semua itu telah disusun rapi antara
gurunya dengan Panembahan Agung.
"Dunia memang kejam, Anakku.... Selama dunia
masih berputar maka darah akan bersimbah.
Kekejaman akan terjadi terus menerus. Baik di
dalam diri maupun di dalam diri orang lain.
Anakku... siapa yang telah membunuh Pemimpin
Agung?" "Orang yang bernama Sangga Rantek, Kakek."
"Ternyata memang masih ada orang yang
menghendaki kedua potongan pedang itu, Anakku...
mana kedua potongan pedang itu?"
Dengan hati-hati Winarsih mengambil potongan
pedang yang dibungkus kain pulih. Lalu diserahkannya pada lelaki tua di hadapannya.
Panembahan Agung memandang dulu sebelum
berkata, "Rasa beratnya berkurang. Apakah hanya
sebuah potongan saja yang berada di dalamnya,
Anakku?" "Betul, Kek. Karena potongan pedang yang lain
telah berhasil direbut Sangga Rantek."
"Mengapa yang ini tidak direbutnya?"
"Kakek... nampaknya Guru memang telah
menduga, lambat laun akan datang orang yang
menginginkan potongan pedang ini. Maka tiga
bulan lalu, dia menyerahkan potongan pedang ini
padaku sementara potongan pedang lainnya yang
berupa Pedang Buntung, tetap berada padanya.
Guru tak pernah menceritakan tempat apa yang
tergambar pada kedua potongan Pedang Buntung
itu bila disatukan. Bahkan hingga saat ini, aku belum
pernah melihatnya, Kakek...."
Panembahan Agung mengangguk-anggukkan
kepala. Lalu pelan-pelan dia mulai membuka kain
putih pembungkus potongan pedang itu. Dengan
pergunakan tangan kanannya diambilnya potongan
pedang yang merupakan bagian atas dari potongan
pedang lainnya yang sekarang berada di tangan
Sangga Rantek. Cukup lama lelaki bijaksana ini memperhatikan
potongan pedang yang ternyata terbuat dari perak,
sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Anakku...," katanya kemudian. "Memang sulit
menentukan di mana tempat yang tergambar pada
potongan pedang ini bila belum disatukan dengan
potongan lainnya. Bahkan kita tak bisa mengira-
ngira sedikit pun juga"
"Lantas... apa yang harus kita lakukan, Kakek?"
"Jalan satu-satunya...
mengambil kembali potongan pedang satunya lagi yang berada di
tangan Sangga Rantek."
Entah mengapa Winarsih merasa tidak enak
mendengar ucapan itu. "Hhh! Sudah capek-capek
datang ke sini, eh ternyata justru tak mendapatkan
hasil apa-apa. Kalau tahu begitu, aku langsung saja


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merebut potongan pedang satunya lagi, yang berupa
Pedang Buntung dan sekarang berada di tangan
Sangga Rantek," kata gadis itu dalam hati. Di kejap
lain dia segera menyambung, "Ah, aku paham apa
maksud Guru sebenarnya. Tentunya Guru mencoba
untuk menyelamatkan jiwaku. Karena bila potongan
pedang ini terus menerus berada di tanganku, sudah
tentu orang-orang serakah itu akan terus memburuku. Tetapi, mengapa tidak sejak dulu Guru
menyerahkan saja potongan pedang itu pada
Panembahan Agung?"
Di depan, Panembahan Agung sedang usap-usap
jenggot putihnya. Potongan pedang perak itu telah
terbungkus rapi kembali.
"Anakku... dua potongan pedang perak ini
sebenarnya sudah berpuluh tahun berada di
tanganku. Warisan dari seorang guruku dan juga
Guru dari gurumu yang bernama Eyang Mega
Tantra. Entah apa yang tersembunyi pada tempat
yang tergambar pada rangkaian titik yang ada pada
dua potongan pedang perak ini. Saat itu, aku berusia
sekitar tujuh belas tahun sementara gurumu berusia
sekitar lima belas tahun. Kendati hati kami
penasaran ingin mengetahui, tetapi kami tak ingin
menunjukkannya. Apalagi Eyang Mega Tantra tak
mengizinkan kami untuk bertanya kecuali menyimpannya."
Penembahan Agung terdiam. Pandangannya
memandang jauh ke depan. Lalu melanjutkan, "Pada
Suatu malam, entah bagaimana mulanya, kami tak
melihat lagi Eyang Mega Tantra di tempat
bersemadinya. Saat itu kami berpikir, kalau Eyang
Mega Tantra sedang melakukan satu perjalanan.
Namun sampai lima tahun berlalu, Eyang Mega
Tantra tak pernah muncul. Dan dalam waktu lima
tahun itu, telah banyak para tokoh sesat yang
menghendaki dua potongan pedang perak ini.
Sudah tentu karena amanat, aku dan gurumu tak
memberikan. Berulangkali kami harus bertarung
mempertahankan dua potongan pedang itu. Hingga
kemudian, karena Eyang Mega Tantra tak kembali
lagi, kami memutuskan untuk meninggalkan
perguruan."
"Lalu apa yang Kakek dan Guru lakukan?"
Panembahan Agung tersenyum. "Kau seharusnya
memanggilku dengan sebutan Guru juga. Tetapi aku
menyukai kau memanggilku Kakek." Lalu dilanjutkan lagi ceritanya, "Kami terus melangkah
dengan menghadapi segala macam halang rintang
terutama dari orang-orang yang menginginkan dua
potongan pedang ini. Kami memang selalu berhasil
mengatasi setiap masalah kendati aku atau gurumu
harus menerimanya dengan tubuh penuh luka. Lima
tahun pun berlalu dan kami tetap tak menemukan di
mana Eyang Mega Tantra berada. Akhirnya
kuputuskan untuk berpisah. Masing-masing orang
memegang satu potong pedang. Dengan cara
berpisah seperti itu, memang akan sulit bagi orang
untuk mendapatkan dua potongan pedang secara
bersamaan. Setelah tiga puluh tahun kemudian, aku
dan gurumu bertemu kembali. Kami pun berpikir
untuk mengetahui apa sesungguhnya yang tertera
pada kedua potongan pedang itu. Dan yang
tergambar kemudian, adalah sebuah pulau yang
bernama Pulau Hitam...."
"Pulau Hitam?" ulang Winarsih agak tercekat.
"Ya! Pulau Hitam! Sebuah tempat yang nampaknya cukup jauh bila mengikuti alur
perjalanan dalam titik-titik gambar yang merupakan
petunjuk pada kedua pedang buntung itu."
"Apakah yang ada di Pulau Hitam itu, Kek?"
Panembahan Agung menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu sama sekali. Begitu pula dengan
gurumu. Sebenarnya, kami telah melanggar amanat
dari guru kami, untuk tidak menyatukan potongan
pedang itu. Tetapi sekian puluh tahun kami tak
pernah berjumpa dengan Eyang Mega Tantra.
Sampai kemudian aku berdiam di Pesanggrahan
Bayu Api, sementara gurumu berada di Pesanggrahan Bayu Air. Dan dia beruntung karena
mendapatkan murid jelita sepertimu. Anakku...."
Winarsih cuma tersenyum saja.
"Bukankah tadi Kakek mengatakan kalau aku se-
arusnya memanggil Guru pada Kakek" Dengan kata
lain, aku juga muridmu, bukan?"
Ganti Panembahan Agung tersenyum.
"Terima kasih bila kau bersedia seperti itu."
"Kek... apakah Kakek masih ingat sambungan dari
titik-titik gabar pada potongan pedang yang dimiliki
Sangga Rontek?"
"Anakku... hal itu sudah berlangsung cukup lama.
Hanya sedikit yang masih kuingat."
"Berarti... bila kedua potongan pedang itu tak
disatukan, kita tak akan mendapatkan petunjuk
yang pasti" Dengan kata lain, kita tak akan pernah
tahu ada rahasia apa di Pulau Hitam, bukan?"
"Begitulah keadaannya. Tetapi kupikir, itu juga
jalan yang terbaik hingga darah tak akan tumpah
dan nyawa tak akan melayang lagi."
Winarsih yang setelah mendengar penuturan
Panembahan Agung dan menjadi penasaran, tak
berani menunjukkan rasa penasarannya. Sebelum
dia membuka mulut, mendadak dia kerutkan kening
tatkala mendengar suara Panembahan Agung, "Sejak
tadi aku sudah tahu kau mencuri dengar percakapan
kami, Anak Muda. Tetapi apakah kau tidak lebih
baik segera masuk secara sopan di tempatku ini?"
Belum lagi Winarsih mengerti apa yang dimaksud
Panembahan Agung, tiba-tiba dilihatnya lelaki tua
bijaksana itu mengangkat tangannya.
Dan entah bagaimana terjadinya, mendadak atap
di sebelah kiri di mana dia duduk bersila, terbuka.
Meluncur satu sosok tubuh disertai teriakan terkejut,
"Waddoouuuwww!!"
Lalu seperti nangka busuk sosok tubuh itu
terhempas ke lantai. Sementara atap yang tadi
terbuka, mendadak tertutup kembali tatkala
Panembahan Agung menurunkan tangannya yang
terangkat. Seketika terdengar suara Winarsih, "Lagi-lagi kau!!
Apa sih sebenarnya yang kau inginkan"!"
*** 9 Pada saat yang bersamaan di sebelah timur
Pesanggrahan Bayu Api, dua sosok tubuh hentikan
langkahnya. Masing-masing orang memandang tak
berkedip pada satu sosok tubuh yang berlari sambil
berteriak-teriak ketakutan, "Setaaann! Setaaannnn!!"
Lelaki berpakaian serba hitam yang rambutnya di-
kuncir kuda merandek dingin.
"Kau tahu apa yang dialami lelaki bercambang
itu?" desisnya pada perempuan berjubah dan
berkerudung merah yang berdiri di sebelah kirinya.
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas
adanya mendengus.
"Mengapa kau tak tanyakan sendiri, hah"!"
Lelaki berkuncir yang bukan lain Sangga Rantek
adanya menggeram dingin. Lalu dengan satu
lompatan ringan tangan kanannya telah mencengkeram bahu lelaki bercambang bawuk yang
ternyata Kasma Matur.
Kontan Kasma Matur berteriak-teriak makin
ketakutan. "Lepaskan! Lepaskan!! Ampuuuunnn! Jangan
makan saya! Jangan bunuh saya!!"
Menggeram Sangga Rantek, "Diaaamm! Jangan
berlaku bodoh di hadapanku!!"
Kasma Matur yang makin ciut hatinya semakin
menjadi-jadi berteriak. Hal itu membuat Sangga
Rantek menjadi geram. Hampir saja dia turunkan
tangan bila Iblis Rambut Emas tidak menahan.
Gusar bukan buatan lelaki kejam itu, "Apa
maksudmu, hah"!"
"Tahan sedikit amarahmu! Aku menangkap
sesuatu dari sikap lelaki itu! Usahakan agar dia
tenang!!" Dengan hati mangkel, Sangga Rantek melempar
tubuh Kasma Matur yang langsung terjerembab ke
tanah. Buukkk!! Wajahnya kontan mencium tanah. Dengan kaki
kanan Iblis Rambut Emas membalikkan tubuh
Kasma Matur yang terlentang tak berani membuka
mata. Napas lelaki bercambang bawuk itu naik
turun dengan cepat.
"Tenanglah sedikit! Kami orang baik-baik!
Katakan... apa yang telah terjadi...."
Kendati mendengar suara orang, Kasma Matur
belum berani membuka matanya. Bahkan mulutnya
semakin dirapatkan.
Sangga Rantek mendengus, "Tinggalkan dia bila
kau masih mau bergabung denganku untuk
membunuh Pendekar Slebor!!"
Iblis Rambut Emas langsung palingkan kepala.
Pandangan perempuan berjubah merah ini tajam
menusuk, tanda dia tak suka mendengar ucapan
orang. Dan sesungguhnya dia memang tidak
menyukai Sangga Rantek. Hanya karena dia tak mau
rencananya gagal, makanya dia terus mengikuti
Sangga Rantek. Tanpa sahuti ucapan Sangga Rantek, Iblis Rambut
Emas kembali menatap Kasma Matur yang tetap
memejamkan matanya. Lalu dengan suara dibuat
lembut, dia berkata, "Katakan pada kami, apa yang
telah terjadi?"
Lagi-lagi Kasma Matur tak berani membuka
mulut. Iblis Rambut Emas yang yakin kalau ada sesuatu
yang telah dialami oleh lelaki bercambang bawuk ini
mencoba untuk bersabar kendati hatinya sudah tak
dapat bersabar.
Sesungguhnya saat berlari bersama Sangga Rantek
dia juga sudah tak bisa menahan sabar untuk segera
membunuh lelaki berpakaian serba hitam itu. Paling
tidak, ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan Pedang Buntung yang ada pada
Sangga Rantek. Namun dia masih menahan diri karena dia
menginginkan sekali kayuh dua pulau terlampaui.
Setelah berhasil mendapatkan potongan pedang
yang diyakininya ada pada Pendekar Slebor, barulah
dia merebut Pedang Buntung lainnya sekaligus
membunuh lelaki berkuncir kuda ini.
Sementara itu, merasa tak mendengar lagi suara
orang, Kasma Matur perlahan-lahan membuka
matanya. Yang pertama kali dilihat adalah wajah
jelita Iblis Rambut Emas. Sejenak lelaki ini ternganga
dengan sorot mata tak berkedip. Namun begitu
melihat wajah Sangga Rantek, kontan dia menjerit
dan bangkit terbirit-birit,
"Setaaaannnn!!"
Tetapi Iblis Rambut Emas sudah menahan kerah
bajunya, sementara Kasma Matur masih terus berlari
sekuat tenaga. Tatkala disadarinya kalau dia hanya
lari di tempat, melengak lelaki bercambang bawuk
ini menoleh ke belakang. Dan....
Duukkk!! Tangan kanan Iblis Rambut Emas sudah
menghantam dadanya hingga lelaki itu tersuruk ke


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang. Bila saja Iblis Rambut Emas menghendaki,
saat itu juga Kasma Matur sudah terkapar menjadi
mayat. "Jangan bertingkah lagi di hadapan kami!!"
menggelegar suara perempuan berkerudung merah.
Kejelitaan wajahnya seketika lenyap. "Katakan! Apa
yang terjadi"!"
Tersentak mendengar kerasnya suara orang,
terburu-buru Kasma Matur menceritakan apa yang
terjadi. Saat bercerita, terkadang wajahnya begitu
serius, sombong, congkak, dan ketakutan.
Masing-masing orang yang mendengar secara tak
sengaja berpandangan.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desis Iblis Rambut
Emas. Lalu segera ajukan tanya, "Di mana tempat itu
berada?" "Oh! Jangan! Jangan kalian ke sana! Ada setan
gentayangan yang mengganggu!!" seru Kasma
Matur dengan wajah pias. Terkenang kembali
bagaimana setan hitam mempermainkannya. Dan
dia bersyukur karena setan itu tidak mencekik
lehernya. "Kami tak peduli! Di mana tempat itu?"
"Jangan! Jangan! Kalian akan menyesal! Kalian
akan menyesal!! Kalian akan...."
Plak! Kata-kata Kasma Matur terputus karena tangan
kiri Sangga Rantek sudah menamparnya.
"Jangan bertele-tele! Di mana tempat itu berada"!!"
Sadarlah Kasma Matur kalau dia seharusnya lebih
takut pada kedua orang ini ketimbang setan hitam
yang dilihatnya. Sambil menahan sakit pada pipi
kirinya, terbata-bata Kasma Matur berkata, "Kalian...
kalian... terus saja berjalan.... Jangan berbelok-belok
sedikit pun juga.."
"Bagus! Sekarang katakan, siapa yang telah
memerintahkanmu
untuk menjarah harta Panembahan Agung"!" seru Sangga Rantek dengan
sorot mata tajam.
Sementara itu Iblis Rambut Emas langsung
palingkan kepalanya pada lelaki berhidung bengkok
itu. "Apa yang dimaksudnya" Mengapa dia
menduga ada orang yang menyuruh lelaki dan
kedua temannya ini menjarah tempat Panembahan
Agung?" Kasma Matur sendiri merasa lebih baik menjawab,
"Aku... aku tidak tahu siapa namanya.... Orangnya
tinggi kurus... di kepalanya ada sorban warna
kuning...."
Sangga Rantek nampak terdiam dengan kening
dikernyitkan. Di lain pihak Iblis Rambut Emas
membatin, "Gila! Hebat juga lelaki keparat ini, bisa
tahu kalau Kasma Matur dan kedua rekannya yang
telah melarikan diri lebih dulu diperintah oleh
orang. Tetapi... siapa orang yang mempunyai ciri
mengenakan sorban di kepala?"
Terdengar suara Sangga Rantek pada Iblis Rambut
Emas, "Apa yang kau pikirkan?"
"Jalan satu-satunya... kita harus ke Pesanggrahan
Bayu Api. Barangkali saja Pendekar Slebor memang
berada di sana."
"Bagaimana dengan lelaki ini?"
"Untuk apa dia dibiarkan hidup?"
Habis kata-katanya, Iblis Rambut Emas langsung
menggerakkan tangan kanannya.
Praaakkk!! Kepala Kasma Matur langsung pecah dan
sosoknya ambruk setelah keluarkan desisan tertahan. "Jangan bertindak gegabah di sana. Ingat,
Pendekar Slebor telah membunuh Pemimpin
Agung," kata Iblis Rambut Emas dengan wajah
serius, padahal dia tertawa dalam hati.
Dilihatnya bagaimana Sangga Rantek mendengus.
Lalu dengan suara merendahkan dia berkata,
"Jangan terlalu percaya akan kepandaian orang
hanya karena julukannya saja. Kalaupun dia berhasil
membunuh Pemimpin Agung tentunya hanya
kebetulan saja. Lain halnya bila aku yang
membunuh."
Lalu sambungnya dalam hati, "Perempuan ini masih tidak tahu kalau akulah yang
telah membunuh Pemimpin Agung."
Kejap berikutnya dia sudah berlari ke arah yang
ditunjuk Kasma Matur.
Iblis Rambut Emas tersenyum penuh arti, lalu
segera menyusul.
*** Cukup jauh agak ke kanan dari tempat di mana
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas bertemu
dengan Kasma Matur, lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun yang di lehernya tergantung kalung
tengkorak itu, menarik napas pendek. Kejap
kemudian meludahi dua sosok mayat yang tak lain
Dirgo Kantas dan Suronto Kakak.
"Orang-orang tak berguna! Bila tak memiliki
kepandaian apa-apa, jangan menjual lagak!!" dengus
orang ini yang tak lain Ki Pasu Suruan.
Setelah menguburkan mayat Ki Pancen Dadap,
salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini tak
mau membuang waktu untuk berdiam lebih lama.
Dengan membawa dendam tinggi dan kemarahan
yang alang kepalang, Ki Pasu Suruan segera
memburu Pendekar Slebor.
Namun hingga hari ini, dia belum berhasil
menemukan jejak Pendekar Slebor. Dan selagi dia
berhenti melangkah, dilihatnya dua sosok tubuh
sedang berlari. Dari mulut masing-masing orang
terdengar suara yang mengisyaratkan kalau mereka
sedang merasa lega dan beruntung karena telah
terhindar dari sesuatu yang menakutkan.
Karena berharap kedua orang itu dapat dijadikan
sebagai tempat bertanya tentang Pendekar Slebor,
lelaki bengis ini segera menghadang. Sudah tentu
Dirgo Kantas dan Suronto Kakak terkejut. Terlebih
lagi tatkala orang di hadapannya menanyakan
sesuatu yang tak bisa mereka jawab.
Dan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Karena begitu masing-masing orang mengatakan
tidak tahu, Ki Pasu Suruan sudah berkelebat cepat.
Tangan kanannya bergerak dua kali dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Menyusul ambruknya masing-masing orang
dengan kepala pecah.
"Hhh! Siapa pun orangnya yang tak bisa
memberikan jawaban di mana Pendekar Slebor
berada dia akan mampus di tanganku!" dengus Ki
Pasu Suruan geram.
Lalu diarahkan pandangannya ke kejauhan. Yang
nampak hanya kegelapan semata. Di langit awan-
awan hitam seolah tak mau bergerak dan terus
berupaya memadamkan sinar Ratu Malam. Sementara udara semakin bertambah dingin.
"Bermula urusan kedua potongan pedang yang
ingin kudapatkan. Aku telah tiba di Pesanggrahan
Bayu Air. Tetapi yang kutemukan hanyalah mayat
Pemimpin Agung. Entah siapa yang telah membunuhnya. Kurang ajar! Sudah tentu pembunuh itu telah mendapatkan dua potongan
pedang berisikan rangkaian titik gambar sebagai
patokan menuju Pulau Hitam."
Sesaat lelaki ini terdiam sebelum melanjutkan,
"Urusan masa lalu Guru yang berusaha untuk
mendapatkan dua potongan pedang itu selalu gagal.
Bahkan dia harus tewas di tangan Panembahan
Agung dan Pemimpin Agung. Dan aku harus
melanjutkan cita-cita Guru untuk mendapatkan dua
potongan pedang itu. Aku harus tahu apa yang
tersimpan di Pulau Hitam. Tetapi... justru nyawa
Pancen Dadap yang harus melayang di tangan
Pendekar Slebor! Jahanam terkutuk! Pemuda itu
harus mampus di tanganku!!"
Mendadak saja lelaki ini mendorong tangan
kanannya ke depan.
Wusss!! Menghampar satu gelombang angin yang timbulkan suara bergemuruh.
Blaaarrr!! Tanah yang terhantam langsung rengkah dan
bermuncratan di udara.
Di tempatnya Ki Pasu Suruan menggeram dengan
dada naik turun. Wajah kejamnya menekuk dengan
kemarahan yang telah menggunung.
"Pemuda keparat itu harus mampus! Dia harus
mampus! Peduli setan aku mendapatkan atau tidak
dua potongan pedang perak yang berada padanya!!"
Kembali lelaki berkalung tengkorak ini lampiaskan kemarahannya dengan melepaskan
pukulan jarak jauhnya berulang kali. Hingga
sambung menyambung suara letupan dan tanah
terbongkar terjadi.
Tubuh salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan
ini menggigil dengan kedua tangan bergetar.
"Pesanggrahan Bayu Air... ya, ya... di sanalah
Pemimpin Agung tinggal! Dan Pesanggarahan Bayu
Api... di sanalah Penambahan Agung menetap!
Lebih baik... aku menuju ke sana! Mudah-mudahan
Pendekar Slebor berada di sana! Jahanam sial!
Rupanya pendekar yang dipuja banyak orang
karena sepak terjangnya, justru tak jauh berbeda
denganku! Dengan orang-orang golongan sesat
lainnya! Hhh! Beruntung aku mendengar kabar
kalau pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang
memiliki dua potongan pedang perak!!"
Habis menggeram sekali lagi, dengan wajah yang
menyiratkan dendam setinggi gunung, lelaki
berpakaian kuning-kuning ini segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Bertepatan terdengar kokok ayam jantan di
kejauhan, tanda kehidupan awal hari dimulai
kembali. *** 10 Orang yang jatuh dari atap itu bangkit perlahan-
Iahan. Bukannya menunjukkan tanda kesakitan, dia
justru cengar-cengir saja. Bahkan mengangkat
tangan kanannya ke kening pada Winarsih yang
sebelumnya membentak tadi.
"Waduh! Maaf, nih! Caraku tidak sopan! Habisnya
aku penasaran! Lagi pula, siapa yang menyangka
kalau kehadiranku akan diketahui"!"
Winarsih yang belum bisa memutuskan apakah
pemuda berpakaian hijau pupus yang sedang
nyengir di hadapannya kawan atau lawan, sudah
keluarkan bentakan kembali, "Andika! Jangan
memaksaku untuk menurunkan tangan!"
"Wah! Kau masih menduga jelek saja kepadaku"
Kan tadi aku sudah berterus terang, aku penasaran.
Tak ada maksud jelek apa pun! Percaya deh!"
Sebelum Winarsih membuka mulut, Panembahan
Agung sudah berkata, "Selamat datang di tempatku
ini, Pendekar Slebor. Sungguh tak pernah kusangka
kalau pagi ini aku dikunjungi pendekar muda yang
banyak dibicarakan orang...."
Andika segera rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Lalu bersuara sopan, "Rasanya... aku
tidak enak mendengar pernyataanmu tadi, Orang
tua. Terimalah rasa hormatku kepadamu...."
Sementara Panembahan Agung mengusap-usap


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jenggotnya dengan kepala agak mengangguk-
angguk, Winarsih justru kerutkan kening. Pandangannya tak berkedip pada sosok pemuda
berpakaian hijau pupus yang masih rangkapkan
kedua tangan di depan dada.
"Pendekar Slebor" Oh! Benarkah dia Pendekar
Slebor... yang pernah beberapa kali diceritakan
Guru" Ya, ampun! Kalau begitu aku benar-benar
salah menduga!"
Merasa tidak enak dengan sikapnya sendiri
setelah mengetahui siapa adanya pemuda itu,
Winarsih buru-buru berkata, "Andika... mengapa
kau tak mengatakan kalau engkaulah Pendekar
Slebor?" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Bukannya aku tidak mau! Tetapi nanti kau malah
ketawa setelah mendengar julukanku! Eh! Percaya
deh! Aku tidak slebor lho! Cuma sedikit doang!"
Winarsih tak hiraukan selorohan anak muda
tampan itu, dia masih memandang tak berkedip
pada Andika. Kemudian katanya lagi, "Maafkan
segala sikapku selama ini...."
"Wah! Kok kau jadi serius begitu" Aku mengerti
mengapa kau bersikap demikian! Itu wajar! Karena
siapa pun berhak memiliki rasa curiga pada
seseorang! Apalagi dalam keadaan semrawut kayak
begini" Ngomong-ngomong... apa pembicaraan ini
sudah selesai?"
Panembahan Agung tersenyum.
Andika nyengir sambil duduk bersila, demikian
pula Winarsih. Sesungguhnya, Andika memang
sengaja tidak meninggalkan tempat itu setelah diusir
oleh Winarsih. Karena selain ingin mengetahui lebih
lanjut tentang dua potongan
pedang yang diperebutkan banyak orang, dia juga hendak
mengatakan tentang kehadiran orang bersorban
kuningyang telah memerintahkan tiga lelaki
berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta
Panembahan Agung.
Anak muda ini berkeyakinan kalau ada urusan
lain yang harus dihadapinya selain urusan dua
pedang buntung perak. Diam-diam anak muda ini
berguna akan kesaktian Penembahan Agung yang
mengetahuinya berada di atap. Padahal dia sudah
kerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Lalu dengan sopan dia berkata, "Panembahan
Agung.... Senang hatiku berjumpa denganmu
" Panembahan Agung tersenyum.
"Kupikir, orang yang berjuluk Pendekar Slebor
akan tetap slebor selamanya. Tetapi kau ternyata
bisa juga bersikap sopan."
Kendati cengirannya makin lebar, tetapi Andika
mendengus dalam hati. Sementara Winarsih masih
memandang separo tak percaya pada anak muda itu.
Lalu didengarnya kembali kata-kata Pendekar
Slebor, "Orang tua Agung... ada sedikit yang hendak
kuceritakan padamu."
"Tentang apa?"
Lalu Andika segera menceritakan tentang tiga
lelaki berpakaian hitam gombrang yang diperintah
oleh seorang lelaki tua bersorban kuning.
"Orang tua... bukan maksudku lancang untuk
campuri urusan yang ada. Tetapi aku sungguh
penasaran ingin mengetahui siapa orang bersorban
kuning itu...," kata Andika di akhir ceritanya.
Panembahan Agung kembali mengusap-usap
jenggotnya. Wajahnya tadi sedikit melengak tanda
dia terkejut mendengar cerita Andika. Sedangkan
Gadis Kayangan hanya mendengarkan saja.
Panembahan Agung berkata, "Dewa Lautan
Timur.... Hmm... nampaknya urusan masa lalu
memang tak bisa ditutupi lagi. Rupanya dia masih
mendendam padaku...."
Sejenak Andika terdiam sebelum berkata, "Kalau
boleh aku tahu, siapakah orang berjuluk Dewa
Lautan Timur itu, Orang Tua?"
Panembahan Agung mengangguk-angguk.
"Dia adalah orang kuat yang menguasai lautan
sebelah timur. Orang kejam yang sejak dulu
menginginkan nyawaku. Bukan karena persoalan
dua potongan pedang perak yang diwarisi oleh
Eyang Mega Tantra. Melainkan urusan... Laksmi
Harum...."
"Busyet! Laksmi Harum" Nampaknya urusan
perempuan nih!" desis Andika dalam hati tanpa
membuka mulut. Lalu didengarnya cerita Panembahan Agung.
Setelah berpisah dengan Pemimpin Agung dan
masing-masing membawa sepotong potongan pedang perak. Panembahan Agung terus bergerak
ke arah timur. Dia yakin kalau orang-orang yang
menginginkan dua potong potongan perak itu akan
terus mengejarnya.
Beberapa hari melingkari daerah timur, Panembahan Agung tiba di sebuah dusun yang
permai. Dan dia merasa di dusun itulah tempat yang
dapat dijadikan sebagai persembunyiannya
Karena tindak-tanduknya yang sopan, akhirnya
Panembahan Agung tinggal bersama seorang duda
kaya sebagai tukang memandikan kuda. Orang kaya
yang dipanggil dengan sebutan hormat. Juragan
Malayang, memiliki seorang putri yang berparas
jelita dan bernama Laksmi Harum.
Panembahan Agung yang sebenarnya bernama
Purwacaraka, pun mau tak mau akhirnya akrab
dengan Laksmi Harum. Apalagi setiap senja, dia
selalu menemani Laksmi Harum berjalan-jalan
dengan menunggang kuda Namun Purwacaraka
tetap bertahan agar dia tidak jatuh tinta pada Laksmi
Harum. Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda
bernama Dandang Gumilar datang dan bermaksud
melamar Laksmi Harum sebagai istrinya. Juragan
Malayang yang mengenal sepak terjang jelek
pemuda itu menolak mentah-mentah lamarannya.
Namun Dandang Gumilar adalah orang yang
gigih, hampir setiap hari dia datang untuk melamar
Laksmi Harum. Sikapnya itu justru membuat
Juragan Malayang semakin membencinya. Bila saja
dia mengenal Dandan Gumilar sebagai pemuda
baik-baik. mungkin lamaran itu akan dipertimbangkan.
Selelah dua bulan datang terus menerus namun
hasil yang diharapkan tak tercapai, Dandang
Gumilar menjadi gusar. Dia segera menghimpun
teman-temannya untuk menculik Laksmi Harum.
Namun dengan bantuan Purwacaraka, sepuluh
orang termasuk Dandang Gumilar yang berniat
busuk dapat diporak-porandakan. Bahkan Dandang
Gumilar sendiri terluka parah.
Berkat bantuannya itulah akhirnya Juragan
Malayang menjodohkan putrinya dengan Purwacaraka. Di samping itu, Juragan Malayang
juga yakin akan sifat dan tabiat baik yang dimiliki
Purwacaraka. Laksmi Harum yang diam-diam
memang mencintai anak muda gagah itu, sudah
tentu tak menolak kendati saat itu dia malu-malu.
Akan tetapi, justru Purwacaraka yang menolak,
karena dia berpikir urusan dua potong pedang
perak masih belum terselesaikan. Apalagi hingga
saat ini, dia belum bertemu dengan Eyang Mega
Tantra. Namun Juragan Malayang terus mendesaknya,
apalagi dia tahu kalau putrinya mencintai
Purwacaraka dan akan menjadi nelangsa bila
pemuda itu menolaknya.
Hati Purwacaraka saat itu menjadi galau. Diam-
diam dia menyusun rencana untuk meninggalkan
tempat itu. Namun sedikit banyaknya dia mengkhawatirkan bila Dandang Gumilar akan
datang kembali untuk menuntaskan segala dendam
dan amarahnya. Setelah mempertimbangkan semuanya secara
rinci, Purwacaraka akhirnya menyetujui untuk
menikahi Laksmi Harum.
Pernikahan yang tak terlalu meriah pun
dilangsungkan. Kendati sudah menjadi menantu
orang kaya, Purwacaraka tetap rajin memandikan
kuda. Setelah lima tahun berlalu, sesuatu yang cukup
lama dikhawatirkannya pun terjadi. Suatu malam
mereka digemparkan dengan munculnya seorang
lelaki berpakaian kuning terang dengan mengenakan sorban kuning. Bila tak mengingat
wajah Dandang Gumilar, tak seorang pun yang akan
mengenal orang itu.
Dia adalah Dandang Gumilar atau yang sekarang
menjuluki dirinya Dewa Lautan Timur. Rupanya,
lelaki itu masih mendendam pada Purwacaraka.
Dan dia berhasil berguru pada seorang lelaki tua
sesat berjuluk Iblis Samudera.
Purwacaraka yang saat itu telah memiliki seorang
putra, harus berjuang mati-matian menghadapi
keganasan Dewa Lautan Timur. Berkat kegigihan
dan kepandaiannya, dia masih mampu menandingi
Dewa Lautan Timur.
Namun yang tak disangka, karena mendadak saja
sepuluh lelaki berpakaian kuning-kuning dengan
parang di tangan menyerbu masuk laksana air bah.
Bukan hanya para pengawal Juragan Malayang yang
tewas, beberapa orang penduduk yang membantu
pun tewas pula.
Melihat keadaan itu Purwacaraka menjadi cemas
tatkala memikirkan nasib istri dan putranya.
Ditinggalkannya
Dewa Lautan Timur yang sebenarnya saat itu dapat dihabisi. Dengan lepaskan
jotosan hingga dua orang lelaki berpakaian kuning-
kuning tewas dengan kepala pecah, Purwacaraka
berhasil mencapai kamar di mana istri dan anaknya
yang berusia tiga tahun berada. Dan saat itulah dia
tahu kalau Juragan Malayang telah tewas.
Terburu-buru Purwacaraka berusaha untuk menyelamatkan anak dan istrinya. Namun baru saja
mereka keluar dari kamar, lima orang berpakaian
kuning-kuning dengan ujung parang bersimbah
darah telah mengurung. Menyusul masuknya
Dandang Gumilar sambil tertawa-tawa.
Dalam ruangan yang terbatas di samping juga
harus menyelamatkan anak dan istrinya, Purwacaraka harus berkerja keras menghadapi
orang-orang ganas itu.
Namun malang tak dapat ditolak. Istrinya tewas
setelah kepalanya dihajar Dewa Lautan Timur.
Begitu pula dengan putranya yang langsung tewas
hanya sekali banting.
Meradang Purwacaraka. Lelaki itu telah berubah
menjadi ganas karena melihat nasib anak dan
istrinya. Lima orang lelaki berpakaian kuning-
kuning tewas dengan dada membiru. Sementara dia


Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri berhasil membuat Dandang Gumilar lari
kocar-kacir. Kendati demikian, yang sangat menyakitkannya adalah tawa mengejek Dewa
Lautan Timur yang telah berhasil membunuh anak
dan istrinya. Purwacaraka tak bermaksud mengejar orang itu.
Dengan hati hancur dia mendekati mayat anak dan
istrinya. Lalu dengan bantuan para penduduk, dia
menguburkan mayat-mayat itu.
Kemarahan dan dendamnya pada Dewa Lautan
Timur meraja dan membuatnya tak bisa tidur siang
dan malam. Yang dipikirkannya hanyalah membalas
kematian orang-orang yang disayanginya. Namun
Purwacaraka yang memiliki hati lembut dan
bijaksana, dengan cara terus menerus bersemadi,
akhirnya dia dapat melupakan dendamnya pada
Dewa Lautan Timur. Lalu diputuskan untuk
meneruskan perjalanannya mencari Eyang Mega
Tantra. Sampai beberapa tahun kemudian dia berjumpa
kembali dengan adik seperguruannya yang dijuluki
orang sebagai Pemimpin Agung, sementara dia
sendiri mendapat julukan Panembahan Agung.
Di ruangan yang besar itu, tak ada yang keluarkan
suara sampai Panembahan Agung benar-benar
mengakhiri ceritanya.
"Dan yang tak pernah kusangka... kalau Dewa
Lautan Timur masih mendendam dan mencariku"
Andika menarik napas pendek.
"Orang tua... lalu dengan maksud apa Dewa
Lautan Timur menyuruh tiga lelaki berpakaian
hitam gombrang menjarah harta milikmu?"
Panembahan Agung tersenyum.
"Tak ada harta yang kumiliki selain nyawaku saja.
Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti...."
Sementara Gadis Kayangan yang tak menyangka
masa lalu Panembahan Agung cukup menyedihkan,
nampak berpikir. Jelas terlihat dari keningnya yang
berkerut. Beberapa tarikan napas kemudian Andika berkata,
"Apakah tak mungkin dia bermaksud menyelidiki
dulu keadaanmu?"
"Aku tidak tahu."
Pertanyaan yang diajukannya justru dijawabnya
sendiri dalam hati, "Menilik cerita Panembahan
Agung tadi, nampaknya tak mungkin kalau Dewa
Lautan Timur menyelidik dulu atau mengirim ketiga
lelaki itu lebih dulu sebelum menyerang. Dia
mempunyai kebiasaan menyerang langsung. Lantas... ada apa ini" Atau jangan-jangan... dia
sengaja mengirim ketiga lelaki itu, karena ada
urusan lain yang harus dikerjakannya" Tetapi
urusan apa?"
Beberapa saat keadaan cukup hening. Tak seorang
pun yang membuka suara. Sinar matahari semakin
menerobos celah-celah atap Pesanggrahan Bayu Api.
Dalam keheningan seperti itu, mendadak terdengar suara, "Rupanya ada tamu yang datang ke
tempatku ini. Maaf bila aku terlambat menyambut
kalian...."
Serentak masing-masing orang arahkan pandangan ke ambang pintu. Kejap kemudian
terdengar seruan tertahan Winarsih,
"Oh!!"
Sementara Andika berulang kali memandang
bergantian pada orang yang baru datang dan
Panembahan Agung. Sepasang mata anak muda ini
terbeliak lebar tak percaya memandang pada orang
yang baru datang.
Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, dan
jenggot yang memutih. Mengenakan pakaian putih
panjang dengan sulaman angin dan api berwarna
biru dan merah. Pancaran matanya begitu teduh
sekali. Orang itu... berwajah mirip dengan Panembahan
Agung! SELESAI PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul:
DEWA LAUTAN TIMUR
Kisah Bangsa Petualang 3 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Racun Kelabang Merah 2
^