Pencarian

Tongkat Delapan Naga 2

Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga Bagian 2


ketika aku menyebutkan nama eyang guruku."
Dewi Kematian mengakhiri ceritanya, kemudian
menghela napas. Wajahnya menoleh ke arah Panji
yang duduk di sampingnya.
"Hm..., pantas saja Tongkat Delapan Naga kelihatan
demikian takut terhadap gurumu. Berarti beliau memiliki ilmu kepandaian yang
sangat tinggi. Tongkat Delapan Naga lebih memilih menghindar ketimbang harus
menerima hukuman dari gurumu itu. Satu hal yang
masih membuatku tak mengerti. Mengapa tadi kau
melontarkan kata-kata yang demikian tajam" Seolah
Tongkat Delapan Naga telah berbuat dosa besar dan
menyeleweng dari jalan kebenaran. Dapatkah kau
menjelaskannya padaku?" tanya Panji lagi, tanpa
menghilangkan sikap sopannya terhadap wanita cantik di sampingnya.
"Hm..., jadi kau belum mendengar tentang terbu-
nuhnya beberapa orang tokoh persilatan?" Dewi Kema-
tian balik bertanya.
'Tentu saja sudah. Justru aku sedang berusaha un-
tuk menyelidikinya," sahut Panji cepat
"Nah, menurut keterangan yang kudengar selama
perjalananku, Tongkat Delapan Naga-lah yang mela-
kukannya. Tapi, tentu saja aku belum percaya sepe-
nuhnya. Sebab, aku belum menyaksikannya sendiri.
Lagi pula, Tongkat Delapan Naga selama ini terhitung tokoh besar yang dihormati
banyak orang. Jadi, kupi-kir kemungkinan besar ada orang ketiga yang memfit-
nahnya. Tapi sekarang aku mulai ragu, dan memper-
cayai kabar-kabar itu. Kau lihat tadi, bukan" Bagaimana Tongkat Delapan Naga
lari terbirit-birit ketika aku menyebut nama guruku.
Padahal aku hanya sekadar hendak mengujinya.
Sebab, kalau orang tua tadi merupakan samaran dari
Tongkat Delapan Naga, tentu tak akan setakut itu terhadap guruku. Kenyataannya
ia benar-benar Tongkat
Delapan Naga tulen. Kini aku mulai yakin kalau tokoh-tokoh yang terbunuh itu
adalah hasil perbuatannya.
Apa yang menjadi sebabnya, aku sendiri belum ta-
hu...!" jelas Dewi Kematian yang membuat Panji men-
jadi heran. Tentu saja ia pun belum bisa percaya kalau Tongkat Delapan Naga akan
bertindak sejauh itu.
"Hm..., kalau kabar itu sudah tersiar secara luas,
berarti Perguruan Bukit Dewa tengah terancam kehan-
curan! Sebab, bukan tak mungkin kalau tokoh-tokoh
persilatan yang merasa yakin kalau semua itu perbuatan Tongkat Delapan Naga,
akan datang ke Bukit Dewa untuk meminta keadilan. Jika sudah demikian,
pertempuran pasti sulit untuk dihindarkan. Apalagi bagi kelompok yang memang
menaruh rasa tak suka kepada Perguruan Bukit Dewa, mereka tentu akan memba-
kar hati tokoh-tokoh persilatan. Dan ini bencana besar bagi tokoh-tokoh golongan
putih. Sebab jika mereka
saling bunuh, tokoh-tokoh golongan hitam akan berso-rak kegirangan," Panji
menghentikan ucapannya, dan
menoleh ke wajah Dewi Kematian. "Aku harus mence-
gah jangan sampai peristiwa berdarah itu terjadi, Dewi Kematian! Apakah kau tak
ada keinginan untuk itu?"
"Hm..., urusanku belum selesai, Pendekar Naga Pu-
tih. Pantang bagi Dewi Kematian meninggalkan urusan yang belum tuntas!" sahut
gadis cantik itu dengan suara ditekan. Seolah ada dendam di dalam hatinya.
"Maksudmu, kau hendak kembali ke tempat Jura-
gan Labang itu?" tanya Panji yang sudah dapat mene-
bak ke mana tujuan ucapan gadis cantik berpakaian
serba putih itu.
"Kira-kira begitulah...,"
"Hm..., jangan menurutkan nafsu yang hanya akan
membuatmu celaka, Dewi Kematian!" tukas Panji me-
nasihati dengan nada penuh persahabatan, "Bukan
maksudku meremehkan kepandaianmu. Tapi, sikapmu
yang ceroboh itulah yang harus kau ubah. Selain jumlah mereka belum jelas,
mereka pun sangat licik dan tak segan-segan melakukan kecurangan."
"Hm..., jadi kau merasa bangga telah dapat meno-
long dan menyelamatkan nyawaku" Dan merasa ber-
hak untuk memberi nasihat kepadaku, begitu?" dingin tetapi tajam sekali ucapan
yang dilontarkan Dewi Kematian, membuat Panji tersentak kaget Karena dirinya
sama sekali tak menyangka kalau Dewi Kematian akan
berkata seperti itu.
"Bukan itu maksudku...," sanggah Panji dengan su-
ara lemah. "Jadi...?" tukas Dewi Kematian menyunggingkan
senyum sinis yang membuat Panji semakin tak enak.
"Aku hanya mengingatkan bukan berbicara soal
hak. Soal saling mengingatkan itu kurasa tak ada
anehnya. Sebab, sudah kewajiban bagi setiap manusia untuk saling mengingatkan
sesamanya. Nah, apa aku
salah kalau mengingatkan mu agar jangan sampai ce-
laka?" Dewi Kematian tak menyahut Ditatapnya wajah
Panji dengan sorot mata tajam, seolah ingin menjenguk ke dalam hati pendekar
muda berwajah tampan itu.
Terdengar pertanyaannya yang bernada menuntut.
"Katakanlah secara jujur, mengapa kau mengkha-
watirkan keselamatanku, Pendekar Naga Putih" Se-
dangkan kita baru saling mengenal dan belum menge-
tahui sifat masing-masing."
Pendekar Naga Putih sempat terkejut ketika men-
dengar pertanyaan yang tentu saja ia tahu benar maksudnya itu. Memang diakuinya
bahwa Dewi Kematian
memiliki wajah cantik dan tubuh langsing padat
menggiurkan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dirinya pun merasa tertarik
dengan gadis Itu. Namun, bukan berarti akan mengkhianati Kenanga yang sangat
dicin-tainya. Boleh jadi hatinya kagum dan suka kepada
Dewi Kematian. Tapi, untuk mengkhianati kekasihnya, Panji harus berpikir seribu
kali. "Aku merasa kagum dan suka kepadamu, Dewi Ke-
matian. Itu sebabnya aku merasa khawatir mendengar
kau berniat untuk mendatangi tempat Juragan Labang
kembali...," jawab Panji sejujurnya.
"Hm..., jadi bukan karena kau cinta kepadaku.. ?"
desak gadis cantik itu menyerang langsung tanpa me-
rasa jengah. Hal itu tentu saja tak aneh, mengingat siapa adanya gadis
berpakaian putih ini. Dewi Kematian merupakan tokoh persilatan yang telah cukup
la-ma malang melintang. Dan sepertinya wanita itu pun
terjangkit penyakit seperti kebanyakan tokoh persilatan yang bersifat aneh.
Tanpa tedeng aling-aling, atau merasa malu mengungkapkan keinginan hatinya.
Mendengar pertanyaan itu, Panji menarik napas
panjang. Matanya menerawang menatap langit senja
hari yang redup. Baru kemudian menoleh kepada Dewi
Kematian, setelah cukup lama terdiam.
'Tidak sulit bagi seorang lelaki untuk jatuh cinta
kepadamu, Dewi Kematian. Kau memiliki segala syarat untuk jadi idaman setiap
lelaki. Aku sendiri merasa kagum dan suka kepadamu. Tapi, rasanya aku yakin
kalau hal itu bukanlah apa yang dinamakan cinta,"
jawab Panji yang malah membuat Dewi Kematian ter-
senyum manis. Panji yang tahu benar kalau gadis itu jarang tersenyum, terpaksa
harus mengakui betapa
jauh lebih cantik dan menariknya wajah Dewi Kema-
tian saat tersenyum seperti itu. Seolah alam pun ikut tersenyum dan menjadi
cerah seketika.
"Itulah awal dari cinta, Pendekar Naga Putih...," ujar Dewi Kematian yang
kelihatannya merasa sangat yakin kalau Pendekar Naga Putih yang sejak lama
dikagu-minya itu telah jatuh cinta terhadapnya.
"Hhh..., sudahlah! Bukankah kau hendak menya-
troni tempat kediaman Juragan Labang" Marilah ku-
temani! Setelah persoalan ini selesai, baru aku akan pergi ke Bukit Dewa untuk
mencegah kemungkinan
terjadinya pertumpahan darah...," tukas Panji mengalihkan pembicaraan. Dirinya
tidak ingin gadis itu menjadi kecewa apabila disebutkan bahwa ia telah mem-
punyai seorang pujaan hati, dan tak mungkin akan
berkhianat Dewi Kematian tertawa kecil. Kemudian bergegas
bangkit dan melangkah meninggalkan pondok. Panji
mengikuti dan menjajari langkah gadis cantik berwa-
jah dingin, yang mulai banyak tersenyum.
"Sebaiknya kita mempercepat langkah agar tak ke-
malaman...!" usul Panji yang langsung disetujui oleh Dewi Kematian. Sebentar
kemudian, keduanya melesat
menggunakan ilmu lari cepat masing-masing.
*** "Hei, Labang, Manusia Serakah, keluar kau! Kami
datang mewakili penduduk desa yang kau cekik leher-
nya!" Begitu tiba di depan gerbang rumah besar tempat
kediaman Juragan Labang, Dewi Kematian langsung
berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehing-
ga, suaranya bergaung jauh, menembus dinding ru-
mah juragan tanah itu. Dewi Kematian yakin kalau
orang yang bernama Juragan Labang maupun kaki
tangannya akan mendengar teriakan itu.
Namun, Dewi Kematian tampaknya tak bisa bersa-
bar menunggu kemunculan Juragan Labang ataupun
kaki tangannya. Kakinya segera melangkah lebar di-
ikuti Panji memasuki halaman rumah besar itu.
"Berhenti...!"
Terdengar suara bentakan yang disusul dengan
munculnya belasan sosok tubuh berpakaian serba hi-
tam. Mereka langsung menyebar, mengurung Panji dan
Dewi Kematian. "Heh heh heh...! Rupanya kau kembali datang un-
tuk mengantarkan nyawa, Dewi Kematian...!" ujar lela-ki jangkung yang tak lain
si Golok Tanpa Bayangan.
Lelaki ini menyembunyikan rasa terkejutnya ketika
melihat Dewi Kematian sudah segar bugar tanpa
adanya tanda-tanda keracunan. Hingga, ia mengalih-
kan pandang menatap sosok pemuda tampan berjubah
putih yang berdiri di samping gadis cantik itu.
"Aku tak tahu bagaimana caranya kau menyem-
buhkan perempuan liar ini, Kisanak. Yang jelas aku
merasa kagum terhadapmu. Sebab, jarang sekali orang yang dapat bertahan setelah
'Racun Kelabang Hijau'
terisap ke dalam tubuhnya," ujar Golok Tanpa Bayan-
gan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
"Jangan lupa, Golok Tanpa Bayangan! Setiap pe-
nyakit sudah pasti ada obatnya. Jadi, percuma saja
kalau sekarang kau masih hendak menggunakan ra-
cun keji itu," sahut Panji tersenyum tipis, membuat wajah Golok Tanpa Bayangan
mengetam. "Hhh...!"
Golok Tanpa Bayangan menggeram gusar. Kemu-
dian dikibaskan kedua tangannya sebagai isyarat bagi kawan-kawannya agar mulai
menyerang. Namun langkah mereka tertunda ketika mendengar sebuah benta-
kan yang menggetarkan dada.
"Siapa yang barusan berteriak-teriak mencari Jura-
gan Labang?"
Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian pun tak
luput dari keterkejutan. Keduanya langsung menoleh-
kan wajah memandang sesosok lelaki bertubuh kecil
yang berdiri di ambang pintu didampingi sosok lainnya yang berperawakan gemuk
Dalam sepintas saja Panji dapat mengetahui kalau
kedua orang lelaki itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Golok
Tanpa Bayangan. Selain suara bentakannya mengandung tenaga dalam tinggi, Golok
Tanpa Bayangan terlihat tak berani bergerak untuk
menyerang. Jelas bahwa lelaki jangkung itu menunggu perintah.
"Hm..., mereka adalah Kerbau Mata Satu dan Setan
Cebol. Keduanya merupakan tokoh-tokoh golongan se-
sat berkepandaian tinggi. Entah ada hubungan apa
mereka dengan Juragan Labang?" bisik Dewi Kematian
yang langsung mengenali kedua orang lelaki itu. Diam-diam dirinya membenarkan
apa yang pernah dikata-
kan Panji sebelum mendatangi tempat itu. Untung saja
Pendekar Naga Putih mendampinginya. Kalau tidak,
sudah pasti ia akan celaka menghadapi lawan-lawan
yang diketahui sangat tangguh itu.
"Hm..., sejak mula aku sudah curiga dengan orang
yang bernama Juragan Labang itu. Tak mungkin ia se-
demikian berani memeras penduduk desa ini kalau tak punya andalan. Sekarang
terbukti kalau juragan tanah itu mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh
sesat Hhh..., kurasa Juragan Labang menyisihkan seba-
gian hartanya untuk tokoh-tokoh sesat demi untuk
melindungi keselamatannya," ujar Panji yang memang
telah menduganya semenjak semula. Jadi dirinya tak
merasa heran melihat adanya dua orang tokoh sesat di tempat kediaman Juragan
Labang itu. "Kalau begitu, kita mempunyai alasan yang lebih
kuat untuk membekuk Juragan Labang itu...!" timpal
Dewi Kematian yang kini sudah menghunus pedang-
nya. Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol yang tak men-
dapat jawaban, langsung saja menggenjotkan kaki. Seketika itu juga tubuhnya
melesat ke tengah arena. Keduanya mendarat ringan dua tombak lebih di hadapan
Panji dan Dewi Kematian. Sikap kedua tokoh sesat itu terlihat angkuh dan sangat
memandang rendah.
"Hm..., jangan banyak jual lagak di hadapan Dewi
Kematian dan Pendekar Naga Putih, Badut-badut Ko-
tor...!" ujar Dewi Kematian sengaja memperkenalkan
julukannya dan menyebut Pendekar Naga Putih, ketika melihat kesombongan sikap
kedua tokoh sesat itu.
Gertakan Dewi Kematian ternyata membuat Kerbau
Mata Satu, Setan Cebol, juga Golok Tanpa Bayangan
tersentak kaget bukan main! Kalau nama Dewi Kema-
tian saja sudah sempat membuat mereka terkejut,
apalagi nama Pendekar Naga Putih yang sangat ter-
kenal itu. Wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah pucat untuk sesaat Namun, mereka
cepat menyembunyikan
dan mencoba bersikap untuk tetap tenang. Seolah ke-
dua nama itu sama sekali tak ada artinya bagi mereka.
"Hm..., jadi tokoh yang berjuluk Dewi Kematian itu
ternyata seorang gadis muda" Hhh... menggiurkan lagi!
Sungguh sangat tak sesuai dengan sepak terjangnya
yang kudengar selama ini! Tapi, petualanganmu akan
segera berakhir di sini, Nisanak!" ujar Kerbau Mata Sa-tu setelah dapat menekan
rasa terkejut dan gentar di hatinya.
"Hm..., jangan kira aku tidak tahu kalau hati kalian sudah menjadi gentar ketika
mendengar nama kami


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua. Dan aku yakin kalau di hati kalian telah ada rencana untuk melarikan
diri mencari selamat..!" .
Dewi Kematian memperdengarkan suara tawa ber-
nada mengejek, yang membuat wajah tokoh-tokoh se-
sat itu berubah kelam. Apalagi ketika gadis cantik itu mengeluarkan ucapannya,
yang bernada menghina.
'Perempuan Keparat..! Kurobek mulutmu...!"
Setan Cebol tampaknya sudah tak mampu mena-
han kemarahannya setelah mendengar hinaan Dewi
Kematian. Seketika tubuhnya langsung melesat den-
gan tamparan tangan kanannya yang siap meremuk-
kan mulut Dewi Kematian.
"Hih...!"
Wutt! "Haits...!"
Dewi Kematian tentu saja tak mudah untuk dis-
erang secara demikian. Sekali bergerak saja, serangan itu luput dan hanya
mengenai angin kosong. Bahkan
gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan dengan sebuah tendangan
kilat yang mengejutkan!
"Hih...!"
Plakkk! Setan Cebol memutar tamparannya yang gagal dan
menangkis tendangan itu. Hingga tubuhnya mencelat
mundur dengan telapak tangan terasa ngilu. Tahulah
tokoh cebol ini kalau tenaga dalam Dewi Kematian masih berada di atasnya.
"Hi hi hi...!"
Dewi Kematian yang melihat lawannya terdorong ke
belakang, langsung tertawa-tawa cekikikan mengejek.
Hal itu membuat wajah Setan Cebol berubah merah
padam. Lelaki bertubuh gemuk pendek itu tentu saja
tahu bahwa Dewi Kematian memang sengaja menghi-
nanya dengan suara tawa itu.
"Hm..., mari kita bekuk perempuan liar itu, Setan
Cebol! Tapi, jangan dibunuh dulu! Aku ingin menikma-ti kehangatan tubuhnya...."
Kerbau Mata Satu yang sejak tadi sudah berkali-
kali menelan air liur karena tergiur kecantikan dan keindahan tubuh Dewi
Kematian, langsung menawar-kan bantuan untuk mengeroyok wanita cantik berwa-
jah dingin itu.
Setan Cebol tentu saja sadar, dirinya tak mungkin
mampu mengalahkan Dewi Kematian kalau seorang di-
ri. Maka lelaki pendek itu mengangguk, dan bergerak ke kanan. Sementara Kerbau
Mata Satu sudah bergerak ke kiri. Keduanya mengapit Dewi Kematian dan
siap menyerang perempuan cantik itu.
Dewi Kematian sama sekali tak memperlihatkan ra-
sa gentar. Bahkan gadis itu tampak mulai mengatur
kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan kedua
orang tokoh sesat andalan Juragan Labang itu.
*** 6 "Hyaattt..!"
"Heaaa...!"
Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol menerjang maju
secara bersamaan. Tampaknya kedua tokoh sesat itu
ingin membuat Dewi Kematian kebingungan dalam
menghadapi serangan yang sekaligus dilakukan dari
dua arah itu. Namun Dewi Kematian bukan tokoh wanita yang
dapat dianggap remeh, sehingga dengan mudah dapat
roboh seperti yang mereka bayangkan. Meskipun
usianya masih terbilang muda, gadis cantik itu sudah memiliki pengalaman
bertempur yang cukup banyak.
Sehingga, dalam menghadapi dua serangan sekaligus
itu, sama sekali tak tampak gugup. Tubuhnya melent-
ing ke udara dengan gerakan indah. Dan dari atas pedangnya menyambar secepat
kilat mengancam Kerbau
Mata Satu yang menyerang dari sebelah kirinya itu.
"Heaaa...!"
Bweet! Kerbau Mata Satu yang gagal menyarangkan seran-
gannya, bahkan terancam bahaya maut itu, tentu saja tersentak kaget bukan main!
Dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke belakang guna menyelamatkan diri.
Sehingga, serangan pedang Dewi Kematian pun me-
nemui kegagalan.
Namun ilmu pedang yang dimiliki gadis cantik itu
benar-benar di luar dugaan. Begitu cepat dan dahsyat Ketika serangannya kepada
Kerbau Mata Satu gagal,
pedang di tangannya berputar setengah lingkaran. Dan langsung menusuk ubun-ubun
Setan Cebol. Semua itu
dilakukan Dewi Kematian dengan posisi tubuh terbalik
dengan kaki berada di atas. Gerakan yang sangat cepat itu membuat semua yang
berada di halaman rumah
Juragan Labang tergeleng-geleng kagum. Benar-benar
mengagumkan ilmu pedang gadis cantik ini!
Wuutt! "Hea...!"
Tidak seperti Kerbau Mata Satu yang agak gugup
dalam mengatasi serangan lawan, Setan Cebol terlihat tenang. Kendati ia tahu
nyawanya terancam, lelaki
pendek itu sama sekali tak merasa gugup. Dengan se-
buah gerakan yang manis, tubuhnya meliuk dalam po-
sisi kuda-kuda rendah.
Tusukan pedang Dewi Kematian pun lewat setengah
jengkal di belakang lehernya. Bahkan Setan Cebol yang memiliki gerakan cepat
seperti setan itu, masih sempat mengirimkan sebuah tendangan yang mengarah
kepala Dewi Kematian! Sayang serangan itu pun menemui ke-
gagalan, karena tubuh Dewi Kematian sudah berjung-
kir balik dengan menotolkan ujung pedangnya ke ta-
nah. Lalu meluncur turun dengan manis.
Pertarungan sengit pun berlanjut Kendati kedua to-
koh sesat itu berusaha keras untuk merobohkan la-
wannya, tetap saja mereka belum mampu melakukan-
nya. Pertarungan cepat itu telah menginjak jurus yang ketiga puluh. Namun Dewi
Kematian yang tak mudah
untuk ditundukkan, terus melompat ke kanan dan kiri mengelakkan serangan lawan,
sambil sesekali menangkis dan membalas serangan.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih pun tampak
menghadapi keroyokan Golok Tanpa Bayangan yang
dibantu delapan belas orang kawannya. Namun ke-
royokan itu tentu saja tak berarti banyak baginya.
Meskipun hanya mengandalkan tangan kosong, setiap
senjata lawan yang datang mengancam, selalu saja
terpental balik dan pemiliknya jatuh terjungkal. Karena kedua tangan Panji yang
terlapisi kabut bersinar putih keperakan, sama sekali tak dapat dilukai pedang
dan golok lawan. Kenyataan itu membuat para pengeroyoknya menjadi gentar.
Apalagi jika teringat bahwa pemuda itu seorang tokoh besar yang berjuluk
Pendekar Naga Putih. Sehingga, para tukang pukul Juragan Labang itu lebih banyak
melompat menghindar ketimbang melancarkan serangan. Karena sepasang tangan
Panji merupakan senjata yang ampuh untuk memukul
roboh setiap lawan yang berani mendekat
Golok Tanpa Bayangan tentu saja merasa penasa-
ran bukan main. Ilmu andalan yang telah membuat
namanya ditakuti, ternyata sama sekali tak berarti
menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Se-
bab, serangan goloknya selalu kalah cepat dengan gerakan lawan. Selama kurang
lebih sepuluh jurus ia
menyerang dengan seluruh kemampuannya, tetapi te-
tap saja sia-sia. Bahkan dirinya nyaris terkena tamparan pemuda itu, yang
membuat tubuhnya terhuyung-
huyung dalam upaya menyelamatkan diri.
"Haattt..!"
Kali ini Golok Tanpa Bayangan kembali menerjang
maju, setelah terdiam sejenak memikirkan cara untuk melumpuhkan Pendekar Naga
Putih. Begitu teringat
akan Racun Kelabang Hijau-nya, timbul harapan baru
dalam hati tokoh sesat bertubuh jangkung itu. Dirinya merasa yakin kalau kali
ini lawan akan dapat dirobohkan.
Sedangkan para pengepung yang melihat sang Pe-
mimpin kembali menyerang pemuda itu, beberapa di
antaranya ikut melompat maju sambil membabatkan
senjata masing-masing. Namun semua itu dapat diha-
lau dengan mudah oleh Pendekar Naga Putih. Kibasan
tangannya yang mengeluarkan angin keras, membuat
enam penyerang terpental balik dengan senjata berpatahan. Panji kembali
berpaling menghadapi Golok Tan-pa Bayangan.
Betapapun cepatnya gerakan tangan Golok Tanpa
Bayangan saat mengeluarkan sapu tangan berwarna
hijau dari balik pakaiannya, tetap saja tertangkap ma-ta Panji. Pemuda itu
langsung dapat menebak kalau
lawannya hendak menggunakan Racun Kelabang Hijau
untuk merobohkannya.
"Heaa!"
Beettt! Sambaran golok yang merupakan tipuan itu sama
sekali tak dipedulikan Panji. Karena matanya melihat gerakan yang tak
bersungguh-sungguh sewaktu golok
datang menyambar. Dugaannya tidak meleset Karena
sebelum senjata itu tiba, Golok Tanpa Bayangan segera menarik pulang senjatanya,
sambil mengibaskan tangan kiri yang memegang sapu tangan berisi bubuk Ra-
cun Kelabang Hijau.
Namun Pendekar Naga Putih telah lebih dulu was-
pada. Begitu melihat adanya serbuk berbau harum
memabukkan menyebar ke wajahnya, dengan cepat
tangan kanannya dihentakkan ke depan. Begitu kuat-
nya angin pukulan yang diciptakan dorongan tangan
Panji. Serbuk berwarna kehijauan itu tersapu balik
dan mengenai wajah majikannya sendiri. Bahkan Panji masih menyusulnya dengan
sebuah tendangan kilat...,
"Hih...!"
Bukkk! "Huakkhh!"
Blukk! Golok Tanpa Bayangan yang gelagapan karena bu-
buk Racun Kelabang Hijau berbalik dan mengenai wa-
jahnya, langsung terjungkal muntah darah akibat tendangan keras itu. Tubuhnya
terbanting ke tanah den-
gan suara berdebuk. Tokoh sesat bertubuh jangkung
itu bergulingan di tanah, karena bubuk racun itu pun telah mengenai kedua
matanya. "Aaaa...!"
Terdengar suara seperti api yang diceburkan ke da-
lam air. Dan dari sepasang mata Golok Tanpa Bayan-
gan yang terpejam, tampak mengepul asap tipis berbau busuk. Rupanya bubuk
beracun itu telah membutakan
kedua mata majikannya. Hal itu membuat Golok Tan-
pa Bayangan langsung sekarat Dirinya tak sempat
mengingat untuk mengambil obat penangkal racun
yang ada di dalam pakaiannya. Sehingga, dalam waktu yang tak terlalu lama, tubuh
lelaki jangkung itu pun menggelepar lalu tewas termakan racunnya sendiri.
Karena hampir semua racun yang ditebarkan terisap
ke dalam tubuhnya.
Menyaksikan pimpinannya tewas, wajah para pen-
geroyok yang lain pucat ketakutan. Mereka yang masih tersisa kurang lebih enam
orang, langsung saja mengambil langkah seribu mencari selamat masing-
masing. Pendekar Naga Putih berusaha untuk melakukan
pengejaran. Dirinya merasa lebih penting mencari Juragan Labang, yang menjadi
biang keladi dari semua
kesengsaraan penduduk Desa Kranggan. Maka, lang-
sung saja tubuhnya melesat ke dalam bangunan.
Bagian dalam bangunan itu ternyata berisi barang-
barang mahal yang kebanyakan berupa benda lukisan
berbentuk indah. Pendekar Naga Putih menggeleng-
geleng kepala melihat kemewahan hidup juragan tanah itu. Diperiksanya kamar-
kamar yang cukup banyak
terdapat di dalam bangunan. Sampai akhirnya dia me-
nemukan seorang lelaki setengah baya berkepala se-
tengah botak dan berperut buncit Lelaki itu tengah
bersembunyi di balik lemari pakaian, di salah satu
kamar yang dihuni gundiknya.
"Ampun..., ampunkan aku, Tuan Pendekar...! Am-
billah semua hartaku asalkan aku tak dibunuh...!" ra-tap Juragan Labang ketika
Panji mencengkeram leher
bajunya. Lalu diseretnya dari dalam kamar, tanpa
mempedulikan perempuan setengah telanjang yang
tampak ketakutan di sudut pembaringan.
"Aku bukan sebangsa perampok sepertimu, Juragan
Labang! Tapi semua ini buah dari perbuatan serakah
mu sendiri yang berbuat sewenang-wenang mengan-
dalkan tukang-tukang pukulmu yang galak dan kejam
itu!" bentak Panji sambil terus menyeret tubuh Juragan Labang keluar dari
rumahnya. Baru saja Panji tiba di ambang pintu, tampak Dewi
Kematian berlari menyongsongnya. Rupanya gadis itu
telah berhasil mengatasi kedua orang lawan.
"Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol berhasil mela-
rikan diri dengan cara yang sangat licik!" tanpa dimin-ta, Dewi Kematian
langsung saja menjelaskan tentang kedua orang lawannya. Kemudian mengalihkan
pandang kepada lelaki setengah baya berkepala setengah botak itu. "Hm..., inikah
orang yang bernama Juragan Labang...?" tanyanya seraya menatap tajam penuh
kebencian. Panji tak perlu memberikan jawaban. Sebab, lelaki
setengah baya yang dilepaskannya itu, langsung men-
jatuhkan diri berlutut di hadapan Dewi Kematian. Rupanya ia sudah mendengar dari
para pembantu siapa
sebenarnya wanita muda berwajah cantik itu.
"Hm..., manusia sepertimu tak pantas dibiarkan hi-
dup lebih lama! Terimalah kematianmu, Jahanam!"
begitu ucapannya selesai, Dewi Kematian langsung
mengayunkan tangan siap mematahkan batang leher
Juragan Labang. Namun, serangan itu tak sampai pa-
da sasarannya, karena Panji lebih dulu menangkap
lengan gadis cantik itu.
'Tunggu! Masih ada sedikit persoalan yang hendak
kutanyakan kepadanya...!" cegah Panji ketika melihat sinar mata menentang dari
Dewi Kematian. Dengan helaan napas berat, Dewi Kematian mau ju-
ga menuruti keinginan Panji. Matanya menatap tajam
wajah lelaki setengah baya berperut buncit itu dengan penuh ancaman.


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jelaskan, kau punya hubungan apa dengan Ker-
bau Mata Satu dan Setan Cebol?" tanya Panji setengah membentak, membuat tubuh
Juragan Labang semakin
gemetar ketakutan.
"Mereka... mempunyai sebuah perkumpulan yang
memerlukan biaya. Dengan janji akan memberikan
perlindungan kepada sekeluarga ku, mereka datang
menagih uang setiap minggu. Karena mereka jagoan-
jagoan yang hebat, aku berikan apa saja yang mereka minta. Dan apabila
diperlukan, mereka siap memban-tuku," tutur Juragan Labang, yang tampaknya tak
be- rani berbohong, karena nyawanya tergantung dari ja-
waban itu. Mendengar jawaban itu, Pendekar Naga Putih dan
Dewi Kematian saling bertukar pandang sejenak. Me-
reka tentu saja dapat menduga perkumpulan yang di-
maksud tentu merupakan perkumpulan kaum sesat
Dan ada kemungkinan mempunyai kaitan dengan ke-
kacauan yang belakangan ini meresahkan kalangan
persilatan. "Sekarang biar kuhabisi nyawa bandot tua ini...!"
ujar Dewi Kematian yang siap mengirim pukulan maut
ke kepala Juragan Labang. Namun niatnya tak disetu-
jui Panji. Tentu saja gadis itu merasa penasaran.
"Labang!" panggil Panji tanpa mempedulikan sinar
mata menentang dari Dewi Kematian. "Apakah kau
sanggup bersumpah untuk merubah semua kela-
kuanmu apabila dibebaskan dari hukuman mati?"
tanya Panji seraya mengangkat bangkit lelaki tua itu.
Sejenak Juragan Labang seperti tak percaya. Ma-
tanya menatap wajah pemuda tampan yang menjanji-
kan kehidupan kepadanya. Kemudian ganti menatap
wajah Dewi Kematian. Namun buru-buru ia menun-
dukkan wajahnya, karena sepasang mata gadis cantik
berpakaian serba putih itu terasa seperti ujung pisau yang menikam jantungnya.
"Aku berjanji, Tuan Pendekar...," jawab Juragan La-
bang dengan suara tersendat, namun kelihatan ber-
sungguh-sungguh.
"Hm..., bagaimana kalau kemudian kau mengingka-
rinya...?" Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin. Tubuh lelaki
berperut buncit itu kembali menggigil ketakutan.
"Nyawaku sebagai taruhannya...," jawab Juragan
Labang tanpa berpikir lagi. Sebab hatinya sudah mera-sa lega mendengar tawaran
kebebasan dari kedua
orang itu. "Hm..., kau yang berjanji, Labang! Dan jika kuden-
gar kau mengingkari janjimu, aku akan datang untuk
mengambil kepalamu!" ujar Panji yang membuat lelaki tua itu bergidik
membayangkan kepalanya akan di-penggal dari tubuhnya.
"Aku berjanji... aku berjanji...!" jawab Juragan Labang sambil manggut-manggut
seperti burung pelatuk
Panji percaya melihat kesungguhan Juragan La-
bang. Dia pun yakin kalau juragan tanah itu akan me-
rubah semua kelakuan buruknya. Dengan isyarat ge-
rakan kepala, diajaknya Dewi Kematian untuk me-
ninggalkan tempat itu.
Gerakan keduanya yang nyaris tanpa suara, mem-
buat lelaki setengah baya itu tak sadar dan masih tetap menunduk. Padahal
Pendekar Naga Putih dan De-
wi Kematian telah lenyap dari tempat itu.
"Hm..., kau terlalu lemah, Pendekar Naga Putih!"
ujar Dewi Kematian saat keduanya menerobos kere-
mangan dengan langkah tidak terburu- buru.
"Dewi Kematian," ujar Panji tersenyum, "Kita harus
melihat mana yang patut untuk dibunuh, dan mana
yang harus dibiarkan hidup! Aku percaya kalau Jura-
gan Labang akan merubah semua kelakuannya. Tadi
kulihat kesungguhan dalam ucapan dan sikapnya. La-
gi pula kalaupun ia mengingkari, apa susahnya untuk datang dan mengambil
kepalanya seperti yang aku katakan" Jelasnya, tidak semua penjahat harus dibu-
nuh!" tegas Panji sekaligus memberi nasihat terselubung. Karena dirinya juga
bermaksud agar Dewi Kema-
tian tak lagi selalu membunuh setiap penjahat yang di-jumpai.
"Jangan menggurui aku, Pendekar Naga Putih! Aku
tahu apa yang harus kulakukan terhadap manusia-
manusia busuk yang kerjanya menyusahkan orang
lain!" Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin
dan penuh tekanan. Panji menghela napas berat, ka-
rena tahu kalau gadis itu memiliki watak yang keras dan tak mudah diluruskan.
'Tentu saja aku tak menggurui mu, hanya sekadar
memberikan pandangan. Aku tak akan memintamu
untuk merubah sikap yang selama ini kau yakini itu,"
ujar Panji dengan nada perlahan. Kemudian dilempar-
kan pandangannya ke langit yang mulai terselimut ke-gelapan. "Sebaiknya kita
mencari tempat menginap.
Esok, pagi-pagi sekali aku harus segera meninggalkan desa ini."
"Kau hendak pergi ke Bukit Dewa...?" tanya Dewi
Kematian. Wajahnya tampak berubah ketika menden-
gar ucapan Panji yang seolah mengatakan ingin pergi sendiri tanpa perlu ditemani
olehnya. Panji mengangguk tipis, dan tidak berkata apa-apa
lagi. Dewi Kematian pun diam seribu bahasa. Keliha-
tannya gadis itu merasa malu untuk mengatakan
bahwa ia ingin menyertainya. Ucapan itu hanya disimpan di dalam hati. Dirinya
tak ingin Pendekar Naga Putih menuduhnya tak tahu malu, karena ingin menyer-
tai pemuda itu, yang berarti ingin selalu berdekatan.
Malam mulai menyelimuti bumi. Rembulan muncul
setengah, menggantung di langit kelabu. Panji dan
Dewi Kematian memasuki sebuah rumah penginapan
yang cuma ada satu-satunya di Desa Kranggan. Be-
runtung masih ada tiga kamar yang tersisa. Sehingga, mereka tidak perlu mencari
rumah penduduk untuk
melewatkan malam itu.
*** 7 "Berhenti...!"
Sepuluh orang lelaki gagah serentak berhenti ketika mendengar suara bentakan
keras menggelegar. Untuk
sesaat, mereka saling bertukar pandang satu sama
lain. Wajah mereka mencerminkan keheranan. Kendati
demikian, kesepuluh lelaki muda itu tetap bersikap tenang. Seolah sama sekali
tak merasa khawatir oleh
suara bentakan yang jelas mengandung tenaga dalam
kuat itu. Sekitar lima tombak di hadapan sepuluh lelaki ga-
gah itu, tampak belasan sosok tubuh berdiri mengha-
dang jalan. Dengan wajah bengis para penghadang itu seakan mengancam. Tentu saja
sikap yang jelas tidak menampilkan itikad baik itu membuat sepuluh lelaki
gagah bersikap waspada. Bahkan beberapa di anta-
ranya tampak meraba gagang pedang di pinggang.
"Hendak ke mana, kalian" Kelihatannya begitu ter-
gesa-gesa?" tegur seorang lelaki berwajah keras, dengan kumis lebat sambil
berkacak pinggang dengan la-
gak sombong. Seolah-olah ia tengah bertanya kepada
anak buahnya, sedikit pun tak memandang sebelah
mata kepada rombongan lelaki yang rata-rata bersikap gagah itu.
Seorang anggota rombongan yang berada paling de-
pan, melangkah maju beberapa tindak, mewakili ka-
wan-kawannya. Wajahnya yang dihiasi cambang dan
kumis tipis tampak memancarkan kewibawaan. Tata-
pan matanya demikian tenang, menandakan bahwa le-
laki berpakaian kuning itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia memang
sengaja mendahului kawan-kawannya demi untuk menghindari hal-hal yang tak
diinginkan. "Maaf, Kisanak sekalian! Kami tengah menghadapi
sebuah persoalan yang sifatnya sangat mendesak se-
kali. Harap Kisanak sekalian suka memberi jalan ke-
pada kami!" ucap lelaki berewok itu dengan sikap sopan namun terdengar tegas.
"Hm..., kau kira kami tak tahu ke mana tujuanmu,
Pendekar Cambuk Halilintar" Jangan heran kalau aku
mengenal julukanmu! Dan, hutan ini merupakan satu-
satunya jalan untuk menuju kaki Bukit Dewa. Nah,
apa dugaanku salah?"
Lelaki berkumis lebat itu tersenyum sinis, membuat
lelaki berewok yang berjuluk Pendekar Cambuk Hali-
lintar merasa terkejut, dan sadar bahwa orang-orang itu memang sengaja hendak
mencari perkara.
"Siapa kalian sebenarnya" Dan apa maksud kalian
menghadang perjalanan kami?" salah seorang anggota
rombongan yang merasa tersinggung mendengar per-
kataan itu, langsung melangkah maju. Ditentangnya
pandang mata lelaki berkumis lebat itu tanpa rasa
gentar sedikit pun.
"Benarkah kau ingin tahu, Kisanak" Nah, dengarlah
baik-baik! Kami murid-murid Perguruan Bukit Dewa
yang akan menghalangi siapa saja yang hendak naik
ke bukit Bagi siapa yang membantah. Hm..., aku akan mengantarkannya ke...
akherat! Hah hah hah...!" lelaki berkumis tebal dan berpakaian merah itu tertawa
terbahak-bahak, diikuti pula kawan-kawan di belakang-
nya. "Setan...!" geram lelaki muda berusia sekitar dua
puluh delapan tahun yang marah mendengar perka-
taan itu. Sepasang matanya memancarkan api seperti
hendak membakar hangus lelaki berkumis lebat yang
masih terbahak-bahak itu.
Bukan hanya pemuda tinggi tegap itu yang tak bisa
menahan kemarahan. Hampir semua anggota rombon-
gan tampak sudah siap untuk bertarung mati-matian.
Namun, Pendekar Cambuk Halilintar mencegah ka-
wan-kawannya dengan melintangkan lengan.
"Hm..., aku tak percaya kalau kalian murid- murid
Ki Sela Panda! Sebaiknya berterus-terang saja, atau menyingkir dan membiarkan
kami melanjutkan perjalanan!"
Pendekar Cambuk Halilintar berkata dengan lan-
tang dan tegas. Bahkan jari-jari tangan kanannya sudah meraba gagang cambuk yang
melingkar di ping-
gangnya. Jelas ia siap bertindak apabila para penghadang tetap berkeras.
"Hmh!"
Lelaki berkumis lebat itu mendengus kasar. Dengan
cepat tangannya meloloskan pedang kembar yang ter-
gantung di punggung.
Sriingngng! Cepat dan kuat sekali gerakan lelaki ini ketika meloloskan pedangnya. Seolah ia
hendak memamerkan ke-
pandaiannya di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar
dan kawan-kawannya.
"Sepasang Pedang Darah..."!"
Pendekar Cambuk Halilintar tampak kaget ketika
melihat sepasang pedang berwarna merah darah itu.
Kilatan sinarnya terasa panas seperti api. Sehingga, ia bergeser mundur. Dirinya
pernah mendengar tentang
kehebatan tokoh sesat dari wilayah utara itu.
Sembilan orang lelaki gagah rombongan tokoh- to-
koh persilatan yang hendak menuntut keadilan kepada Ki Sela Panda itu pun tampak
kaget. Meski nama Setan Pedang Darah belum mereka dengar, tetapi kilatan sinar
sepasang pedang itu membuat sebagian semangat mereka terbang. Hingga wajah
mereka terlihat pucat Karena Sepasang Pedang Darah memang memiliki
pengaruh yang menggetarkan. Terlebih warnanya yang
seperti bara api itu.
Memandangnya saja seolah terasa panas sekujur
tubuh. Tokoh berkumis lebat yang berjuluk Setan Pedang
Darah ini tak banyak cakap lagi. Dengan suara dengusan kasar, ia memerintahkan
para pengikutnya agar
bergerak maju. "Habisi yang lainnya! Biar Pendekar Cambuk Hali-
lintar bagianku!" perintah Setan Pedang Darah, lalu melangkah lebar menghampiri
Pendekar Cambuk Halilintar.
Pendekar Cambuk Halilintar pun sadar bahwa la-
wannya seorang tokoh sesat ternama yang berhati ke-
jam. Namun hatinya tak mengerti mengapa tokoh itu
hendak membunuhnya. Senjata andalannya sudah
tergenggam erat
Whuukk! Whuukk!
Cambuk di tangan lelaki berwajah berewok itu dipu-
tar di atas kepala, menimbulkan suara men- deru-
deru. Sementara itu kawan-kawannya sudah berta-
rung dengan para pengikut Setan Pedang Darah. Dia
sendiri siap menghadapi tokoh sesat wilayah utara itu.
"Saaattt!"
Setan Pedang Darah membentak nyaring. Tubuhnya
bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang
aneh, tapi cepat bukan main. Sepasang pedangnya
tampak membentuk dua buah gundukan merah yang
menimbulkan hawa panas menyengat
"Heaaa...!"
Jtarrr! Glaarrr...! Wuut! Wuukk...!
Pendekar Cambuk Halilintar tak mau kalah gertak.
Senjatanya meledak-ledak menimbulkan suara meng-
gelegar yang memekakkan telinga. Kalau saja lawan-
nya bukan orang yang memiliki tenaga dalam kuat,
pasti sudah menggeloso ke tanah, tak sanggup mena-
han suara ledakan yang berdentum-dentum itu.
Dalam sekejap mata saja, kedua tokoh dari dua go-
longan berbeda ini sudah saling serang dengan ganasnya. Namun, setelah dua puluh
jurus kemudian, Pen-
dekar Cambuk Halilintar tampak mulai terdesak oleh sambaran sepasang pedang
lawan. Tubuhnya sudah
mulai dibasahi peluh yang terus membanjir. Hawa pa-
nas yang sangat mengganggu itu membuat pikirannya
terpecah. Hingga, gerakan cambuknya lebih sering kacau dan tak terarah. Hal
itulah yang membuat tubuh-
nya terdesak serangan gencar lawan. Sehingga terpak-sa bermain mundur sambil
memutar cambuk melin-
dungi tubuh. "Saaattt...!"
Setan Pedang Darah yang melihat lawan sudah


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak tak berdaya, semakin mempergencar serangan.
Sepasang pedangnya menyambar-nyambar mengelua-
rkan hawa panas menyengat
Beett! Wuuttt! Slats! "Aaahhh..."!"
Pendekar Cambuk Halilintar terpekik ketika melihat
dua bentuk cahaya merah meluncur ke tubuhnya.
Dengan cepat dilecutkan cambuknya guna menghalau
serangan maut itu. Tapi....
Tasss! Tasss! Seraut wajah Pendekar Cambuk Halilintar pucat ke-
tika senjatanya terbantai putus menjadi tiga. Sedangkan sepasang pedang lawan
terus meluncur datang
mengancam nyawanya.
'Pergilah ke neraka...!" ejek Setan Pedang Darah
yang merasa yakin bahwa kemenangan akan segera
diperolehnya. Tapi.... Whuuusss...! Saat kedua ujung senjata Setan Pedang Darah ting-
gal satu jengkal dari sasarannya, tiba-tiba terdengar suara angin menderu keras.
Dan sebelum ia sadar
akan suara itu, tahu-tahu kedua lengannya terpental menyeleweng dari sasaran.
Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung akibat lontaran pukulan jarak jauh
yang kuat itu. Belum lagi, Setan Pedang Darah sempat memper-
baiki kedudukan kuda-kudanya, sesosok bayangan
putih berkelebat laksana sambaran kilat Sosok bayangan itu turun di hadapan
Pendekar Cambuk Halilintar.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Pendekar Cambuk Halilintar berseru penuh kele-
gaan dan kegembiraan. Karena dirinya telah kenal benar sosok pemuda tampan
berjubah putih yang telah
menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut baru-
san. Mendengar nama Pendekar Naga Putih, Setan Pe-
dang Darah tersentak kaget. Diangkat wajahnya mena-
tap sosok yang memang Panji. Kemunculan pendekar
muda itu membuat Setan Pedang Darah kelihatan ce-
mas. Kedatangan pemuda itu jelas membuat pihak la-
wan menjadi jauh lebih kuat Dirinya sadar, untuk melanjutkan niatnya sama saja
dengan mencari penyakit Maka, mulutnya segera mengeluarkan suitan nyaring,
sebagai isyarat kepada para anak buah agar mening-
galkan tempat itu.
"Pendekar Naga Putih, jangan biarkan Setan Pedang
Darah meloloskan diri! Ia harus menjelaskan alasan-
nya menghadang kepergian kami ke Bukit Dewa...!" se-ru Pendekar Cambuk
Halilintar. Panji yang tak mengetahui duduk persoalannya, se-
jenak tertegun. Namun ketika teringat akan kekacauan yang belakangan ini telah
meresahkan kaum persilatan khususnya golongan putih, langsung melesat men-
gejar Setan Pedang Darah. Pendekar Cambuk Halilin-
tar tertegun menyaksikan kecepatan gerak Pendekar
Naga Putih. Matanya dirasakan silau karena hanya
sempat melihat kelebat bayangan putih. Tubuh Pende-
kar Naga Putih telah lenyap dari hadapannya.
"Luar biasa...! Pemuda itu dapat bergerak bagai ki-
lat! Seolah ia pandai menghilang saja! Rasanya sangat sulit mencari orang yang
setingkat dengannya. Padahal usianya masih terbilang sangat muda...!" gumam
Pendekar Cambuk Halilintar dengan mata terbelalak ka-
gum terhadap kecepatan gerak Pendekar Naga Putih.
"Setan Pedang Darah, berhentilah! Tak ada gunanya
kau melarikan diri...!" bentak Panji ketika jarak di antara mereka tinggal tiga
tombak lagi Namun tampaknya tokoh sesat tak menuruti seruan
Pendekar Naga Putih. Bahkan semakin menambah ke-
cepatannya. Sehingga, jarak di antara mereka kembali terpisah sejauh enam
tombak. "Haiiitt...!"
Melihat Setan Pedang Darah semakin mempercepat
larinya, Panji berseru nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melambung ke udara.
Dan setelah berjumpali-
tan beberapa kali di udara tubuhnya meluncur turun.
Begitu mendarat kakinya langsung menghentak, maka
tubuhnya kembali melenting. Kali ini lewat di atas kepala lawannya.
Jlegg! Setan Pedang Darah kaget bukan kepalang. Dirinya
hanya merasakan sambaran angin di atas kepalanya.
Namun tahu-tahu di depannya dalam jarak satu tom-
bak, telah berdiri sosok Pendekar Naga Putih. Tokoh sesat itu tampak tertegun
sesaat. Kemudian melesat menerjang maju dengan sepasang pedangnya yang
menyambar-nyambar membawa hawa panas menyen-
gat Merasakan adanya hawa panas yang terasa me-
nyengat kulit, Panji segera mengerahkan Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya.
Seketika itu pula tubuhnya terbungkus sinar putih keperakan yang menebarkan ha-
wa dingin menusuk tulang. Dengan demikian, hawa
panas yang keluar dari sepasang pedang lawan, tak la-gi mengganggunya.
"Hih...!"
Bweet! Bweett! "Hait!"
Ketika sepasang pedang yang berpijar seperti bara
itu berkelebat menyambar, Panji menggeser tubuhnya
ke kanan. Kemudian langsung mengirimkan sebuah
tendangan cepat ke perut lawan.
Zzeebbb! "Hait..!"
Setan Pedang Darah ternyata cukup tangkas. Meli-
hat adanya tendangan yang datang mengancam perut-
nya, dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke kiri. Ge-
rakan itu disertai kibasan pedang di tangan kanannya, maksudnya hendak membabat
kaki lawan. Sayang, la-gi-lagi serangan itu gagal! Karena Panji sudah menarik
pulang tendangan dengan menekuk lututnya. Dan begitu sambaran pedang lawan
lewat, kakinya langsung
dilepas kembali menghajar bahu kanan lawannya.
Buukkk! Kendati tak terlalu telak, tendangan itu cukup un-
tuk membuat tubuh Setan Pedang Darah terhuyung-
huyung. Namun tokoh sesat itu mampu menguasai ke-
seimbangan tubuhnya dengan baik. Dan kembali siap
menghadapi lawannya.
"Sebaiknya kau menyerahlah, Setan Pedang Darah!
Dan jelaskan apa yang membuatmu hendak membu-
nuh Pendekar Cambuk Halilintar beserta rombongan-
nya!" pinta Panji menatap tajam wajah lawannya, yang
terpaksa menunduk. Sorot mata pemuda itu bersinar
dan terasa menggetarkan dada dan membuat bulu ku-
duknya meremang.
"Mata pemuda itu seperti mata iblis saja...!" desis Setan Pedang Darah dalam
hati. Dirinya tak mau menyerah begitu saja kepada Pendekar Naga Putih. Bah-
kan tanpa berkata sepatah kata pun dia menerjang
maju dengan ganasnya.
"Hm..., rupanya kau lebih suka menghadapi keke-
rasan...!" desis Panji geram.
Begitu pedang lawan tiba, tubuhnya langsung ber-
kelebat lenyap, menyelinap di antara sambaran sepa-
sang pedang maut itu. Kemudian sambil mengelak
tangannya melancarkan tamparan yang menghem-
buskan hawa dingin menusuk tulang.
"Aaahhh..."!"
Setan Pedang Darah terpekik kaget ketika kepa-
lanya nyaris terkena tamparan pemuda itu. Dengan
cepat dilemparkan tubuhnya lalu bergulingan sambil
memutar pedang melindungi diri.
"Heaahh...!"
Melihat tubuh lawannya bergulingan menjauh, Panji
cepat melompat lurus ke depan dengan menghentak
kedua tangannya, melancarkan pukulan jarak jauh.
Tepat pada saat itu tubuh Setan Pedang Darah melenting bangkit.
Breesshh...! "Uuuhh...!"
Setan Pedang Darah terpekik. Meskipun pukulan
jarak jauh Pendekar Naga Putih berhasil diredam dengan kibasan sepasang
pedangnya, tak urung tubuhnya
terdorong mundur. Mulutnya meringis. Dirasakan da-
danya begitu serak. Pendekar Naga Putih segera me-
lancarkan serangan susulan, menendang perut lawan.
Buugk...! "Huakkhh...!"
Tendangan keras mendarat telak pada sasarannya.
Akibatnya tubuh Setan Pedang Darah terpental ke
samping disertai semburan darah segar dari mulutnya.
Tubuhnya terbanting ke tanah tanpa ampun. Sedang-
kan sepasang senjatanya terpental lepas dari genggaman. Dan sebelum sempat
bangkit berdiri, Panji telah melepaskan totokan cepat yang membuat tokoh sesat
itu mengeluh. Tubuhnya terkulai tak mampu bergerak.
Hanya sinar matanya yang menatap Pendekar Naga
Putih dengan penuh dendam dan kebencian.
Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya
berlarian mendatangi Panji. Rombongan itu tinggal delapan orang karena dua di
antara mereka tewas terbunuh di tangan para pengikut Setan Pedang Darah,
yang rata-rata berkepandaian tinggi.
"Syukurlah, kau berhasil menawannya, Pendekar
Naga Putih...!" ujar Pendekar Cambuk Halilintar
menghela napas lega melihat Setan Pedang Darah da-
lam keadaan terkulai lumpuh.
"Bagaimana dengan para pengikutnya?" tanya Panji
kepada Pendekar Cambuk Halilintar.
"Mereka terpaksa kami bunuh! Karena sangat sulit
untuk menawan mereka hidup-hidup. Dua orang ka-
wan kami bernasib sial, tewas di tangan pengikut-
pengikut Setan Pedang Darah...," jelas Pendekar Cambuk Halilintar kepada Panji.
"Sebaiknya kita bawa saja Setan Pedang Darah ke
atas Bukit Dewa. Biar dia akan menjelaskan maksud
jahatnya di depan Ketua Perguruan Bukit Dewa," usul Panji yang disambut anggukan
kepala Pendekar Cambuk Halilintar dan kawan-kawannya.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Karena Setan Pedang
Darah ini semula telah mengaku sebagai murid Ki Sela Panda. Siapa tahu
perbuatannya ini ada kaitan dengan sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang telah
menewaskan banyak tokoh persilatan, termasuk dua orang
tokoh utama dari Perguruan Gunung Sumbing," timpal
Pendekar Cambuk Halilintar yang membuat Panji sem-
pat terkejut. Namun Pendekar Naga Putih menahan keinginan-
nya untuk bertanya. Sebab, penjelasan tentang semua itu pasti akan didengarnya
dari Setan Pedang Darah ataupun Ki Sela Panda, yang menjadi kakak seperguruan
Tongkat Delapan Naga. Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memondong tubuh
Setan Pedang Darah. Bersama Pendekar Cambuk Halilintar dan rom-
bongannya, mereka bergerak menuju Bukit Dewa.
*** 8 "Saudara-saudara sekalian, harap kalian dapat ber-
sabar dan menyerahkan persoalan ini kepadaku. Aku
sendiri akan membawa adik seperguruanku yang telah
berdosa itu ke hadapan kalian semua. Tapi, beri aku waktu untuk mencarinya...!"
Lelaki tua berusia sekitar tujuh lima tahun itu berkata dengan suara lantang. Di
belakangnya tampak
puluhan murid Perguruan Bukit Dewa berdiri dengan
wajah diliputi ketegangan. Saat itu perguruan mereka kedatangan tokoh-tokoh
persilatan yang menuntut
keadilan atas tindakan Tongkat Delapan Naga, mem-
bunuhi banyak tokoh persilatan.
"Hei, Ki Sela Panda! Kami bukan tak percaya den-
gan kegagahan mu! Tapi, apa tak mungkin kau sengaja
menyembunyikan adik seperguruanmu di dalam ban-
gunan perguruan yang luas ini" Kalau kau merasa tu-
duhan kami tak benar, mengapa mencegah kami yang
hendak menggeledah tempat ini" Sampai kapan kami
harus menunggu janjimu itu?"
Seorang lelaki tinggi besar yang memegang sebuah
kapak besar dan berat, berkata lantang, hingga didengar puluhan tokoh-tokoh
persilatan yang hadir di tempat itu. Dan ucapannya mendapat dukungan dari lebih
sebagian tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.
"Saudara Kunta Laga!" ujar Ki Sela Panda dengan
suara perlahan dan wajah membayangkan kedukaan
yang dalam. Ditatapnya lelaki tinggi kekar itu dengan sinar mata sedih. "Sebagai
seorang ketua perguruan, aku tentu tak akan mengingkari janji yang telah kuu-
capkan. Pantang bagiku berkata dusta! Harap kau beri kelonggaran kepada orang
tua seperti aku ini! Aku berjanji akan menyeretnya ke hadapan kalian. Paling
lambat sebelum purnama aku berusaha sudah menang-
kapnya...!"
'Tidak bisa! Kami minta agar kau menyerahkannya
sekarang juga kepada kami!" seorang lelaki bermata
sipit tampil ke depan. Wajahnya tampak menyiratkan
kebencian dan dendam, 'Tongkat Delapan Naga telah
membunuh dua orang tokoh Perguruan Gunung
Sumbing! Dan mereka adalah kakak-kakak seperguru-
anku! Tidakkah kau rasakan betapa sakit dan sedih-
nya hatiku ketika mengetahui bahwa pembunuh lak-
nat itu seorang tokoh ternama yang jadi adik seperguruanmu!" lanjut murid
Perguruan Gunung Sumbing
itu berapi-api. Suara itu disambut para tokoh lainnya yang mendukung " ucapan
lelaki bermata sipit ini.
Mendengar ucapan itu, Ki Sela Panda menghela na-
pas berat Wajahnya tertunduk lesu. Dirinya merasa
ikut berdosa atas perbuatan yang dilakukan adik se-
perguruannya. Meskipun belum menyaksikan sendiri,
Ketua Perguruan Bukit Dewa tak kuasa mengatakan
bahwa para tamunya berdusta dan hanya sekadar me-
lempar fitnah. 'Tunggu apa lagi, ayo kita geledah tempat ini...!" lelaki bermata sipit itu
berseru lantang, ketika melihat Ki Sela Panda tak bisa membantah ucapannya. Dan
ia sudah bergerak maju diikuti puluhan tokoh persilatan, termasuk Ki Kunta Laga.
Melihat para tokoh persilatan itu memaksa hendak
masuk, murid-murid Ki Sela Panda bergegas mencabut
senjata dan berloncatan menghadang. Kedua belah pi-
hak sudah sama-sama tegang dan siap saling serang.
Tapi..., "Hentikan semua ketololan ini...!"


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang mengan-
dung tenaga dalam yang luar biasa. Kedua belah pihak yang siap saling gempur,
sama terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menenangkan dada mereka yang
terguncang. Kemudian sebelum orang-orang itu sadar
dari keterkejutannya, tampak sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan
luar biasa. Sosok bayangan itu mendarat ringan di hadapan tokoh-tokoh persilatan
yang hendak menuntut keadilan.
"Pendekar Naga Putih...!"
Hampir setengah lebih dari tokoh-tokoh persilatan
yang hadir di tempat itu berseni kaget Karena sosok bayangan putih yang muncul
itu ternyata Panji atau
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Kehadiran tokoh muda yang banyak
mendatangkan keka-
guman di hati para tokoh persilatan itu sempat mem-
buat ketegangan mereda untuk sementara.
"Kita tak boleh mengikuti amarah yang hanya akan
mendatangkan penyesalan di kemudian hari! Aku ber-
diri di sini bukan untuk berpihak kepada siapa pun!
Tapi, aku berpijak kepada kebenaran dan keadilan!
Nah, marilah kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Dan mudah-mudahan
orang yang kubawa ini bisa
memberikan keterangan penting yang kiranya akan
dapat membawa titik terang bagi kita semua...!" ujar Panji dengan suara lantang,
membuat semua tokoh
yang hadir mau tak mau mendengarkan ucapan pen-
dekar muda itu.
Ketika melihat semua tokoh yang hadir tak memberi
tanggapan, Panji menoleh kepada Ki Sela Panda. Keti-ka itu matanya terbentur
pada seraut wajah jelita seorang dara berpakaian serba hijau. Panji tersenyum,
karena dara jelita itu tak lain Kenanga, kekasihnya. Dengan tersenyum, Kenanga
bergerak menghampiri Panji.
"Syukurlah, kau keburu datang, Kakang! Sedikit sa-
ja kau terlambat, tempat ini pasti sudah menjadi lau-tan darah...," ujar Kenanga
yang tak menyembunyikan kebanggaannya atas perbuatan sang Kekasih yang telah
mampu membuat suasana kembali tenang.
"Sudah kuduga, kau pun pasti ada di tempat ini,
Kenanga...," sambut Panji tersenyum menatap Kenan-
ga yang sudah di depannya.
Pendekar Naga Putih kemudian didampingi keka-
sihnya menghadap Ki Sela Panda. Dirinya mengajukan
usul untuk mengumpulkan tokoh-tokoh terkemuka
guna membicarakan persoalan itu. Tak lupa Panji me-
minta maaf atas sikapnya yang telah lancang, tanpa
izin dari Ki Sela Panda berbicara di depan tamu-tamu Perguruan Bukit Dewa.
Ki Sela Panda sendiri tersenyum penuh rasa syu-
kur. Lelaki tua itu menyetujui usul pendekar muda
yang semakin mendatangkan kekaguman di hatinya
itu. Maka, segera diajaknya beberapa orang tokoh terkemuka untuk bersama-sama
membahas masalah itu
di dalam ruang pertemuan perguruan. Sedangkan to-
koh-tokoh persilatan lain dipersilakan beristirahat menunggu keputusan yang akan
disepakati bersama.
*** Di bawah siraman sinar matahari yang terik, tam-
pak serombongan orang bergerak meninggalkan ban-
gunan Perguruan Bukit Dewa. Mereka adalah tokoh-
tokoh persilatan yang hendak menyerbu markas golon-
gan sesat, sekaligus mencari Tongkat Delapan Naga.
Tokoh tua yang telah menggegerkan rimba persilatan
dengan ulahnya.
Kehadiran Pendekar Naga Putih yang berhasil me-
redam ketegangan serta permusuhan orang- orang se-
golongan itu, juga telah membawa titik terang. Sebab, Setan Pedang Darah
menceritakan segala hal yang di-pertanyakan para tokoh persilatan di salah satu
ruang Perguruan Bukit Dewa. Sebagai seorang tokoh golongan sesat, tentu saja
Setan Pedang Darah lebih me-
mentingkan keselamatan diri sendiri. Melihat betapa tokoh-tokoh sakti
mengelilinginya dengan sinar mata penuh ancaman, tokoh sesat itu pun tak ragu-
ragu untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur.
Apa yang diceritakan Setan Pedang Darah, mem-
buat tokoh-tokoh persilatan menggeram marah. Tokoh
sesat wilayah utara itu mengatakan bahwa golongan
sesat segera bergabung setelah mendengar sepak ter-
jang Tongkat Delapan Naga yang membunuhi kawan
segolongan. Dengan licik, para tokoh sesat menemui
Tongkat Delapan Naga dan mengangkat tokoh sakti itu menjadi pemimpin dari
golongan sesat Tongkat Delapan Naga pun langsung menerima pengangkatan seba-
gai pemimpin itu. Padahal hal itu dilakukan golongan sesat dengan maksud untuk
mengadu domba sesama
golongan putih. Karena sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang menggegerkan itu,
tentu akan melibatkan
Perguruan Bukit Dewa. Sehingga sudah pasti pergu-
ruan besar yang terkenal itu akan menjadi tumpahan
kemarahan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
Sayang, Tongkat Delapan Naga yang kelihatan agak
kurang waras itu sama sekali tak menyadari kelicikan tokoh-tokoh sesat.
Setan Pedang Darah pun langsung memberikan pe-
tunjuk ketika Ki Sela Panda bertanya tentang letak
markas yang didirikan kaum golongan sesat itu. Begitu mendapat gambaran, tokoh-
tokoh persilatan yang dipimpin Ki Sela Panda, Pendekar Naga Putih, Pendekar
Cambuk Halilintar, Kenanga, Ki Kunta Laga, dan banyak lagi tokoh-tokoh terkemuka
lainnya, langsung
bergerak menuju ke markas yang ditunjukkan Setan
Pedang Darah. Tentu saja tokoh sesat itu dijadikan pe-nunjuk jalan. Sebab,
mereka belum yakin benar akan
keterangan Setan Pedang Darah.
Kira-kira menjelang senja, tibalah rombongan tokoh
persilatan itu di mulut sebuah hutan yang sangat lebat Pepohonan besar tumbuh
menjulang, membuat di dalam hutan itu hampir tak terkena cahaya matahari,
saking rapatnya pepohonan yang tumbuh.
"Di dalam Hutan Kidul inilah markas kami didiri-
kan...," ujar Pedang Setan Darah yang menghentikan
langkahnya di mulut hutan.
'Tunjukkan jalannya! Kami tentu belum percaya se-
penuhnya kepadamu, Pedang Setan Darah! Siapa tahu
hutan ini dipenuhi dengan jebakan maut!" ujar Panji sambil mendorong tokoh sesat
itu agar lebih dulu masuk ke dalam hutan.
Setan Pedang Darah berjalan di depan. Para tokoh
persilatan mengikutinya bergerak menerobos kelebatan pepohonan hutan. Ketika
cukup dalam rombongan itu
memasuki hutan, tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh
itu, Setan Pedang Darah sengaja menginjak sebuah jebakan yang memang banyak
dipasang di sekitar hutan
lebat itu. Srats! Whuuukkk...! "Haiittt..!"
Setan Pedang Darah sudah berseru dan melenting
ke udara setelah menginjak jebakan itu. Saat itu juga, sebuah benda bulat yang
besar dan dipenuhi benda-benda tajam, meluncur cepat ke arah rombongan.
"Awaaasss...!"
Panji yang sempat menangkap suara sambaran
benda maut itu, segera berseru memperingatkan ka-
wan-kawannya. Dan ketika melihat tubuh Setan Pe-
dang Darah melesat hendak melarikan diri, langsung
saja Panji mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk mengejar. Di udara ia melepaskan sebuah pu-
kulan jarak jauh dengan pengerahan Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'-nya.
Wutt! Breesshh! Pukulan jarak jauh yang sangat kuat itu menerjang
tubuh bagian belakang Setan Pedang Darah. Hingga
tubuh tokoh sesat yang licik itu terbanting ke tanah memuntahkan darah segar.
Panji meluncur turun.
Dengan telapak kaki, diinjaknya punggung Setan Pe-
dang Darah yang hanya bisa meringis dengan wajah
pucat Namun apa yang tadi dilakukan Setan Pedang Da-
rah ternyata telah membuat enam orang tokoh tewas.
Dua tersambar bola berduri karena tidak sempat
menghindar. Empat lainnya yang melesat mengelak
dari ancaman maut, telah menginjak jebakan lain saat mendarat di tanah. Dan
jebakan itu mendatangkan belasan tombak yang meluncur dengan kecepatan tinggi.
Sehingga, keempat tokoh itu tewas tertembus tombak.
"Setan Pedang Darah, tunjukkan jalan lain yang le-
bih aman! Jangan coba main gila jika masih ingin melihat matahari esok pagi!"
bentak Panji menambah tekanan pada telapak kakinya.
Setan Pedang Darah terpekik kesakitan. Berat kaki
Pendekar Naga Putih yang menekan punggungnya ba-
gaikan tindihan seekor gajah. Lelaki berpakaian merah dan berkumis tebal itu
mengangguk lemah. Melihat
kesungguhan dalam pandang mata pendekar muda
yang sakti itu, dirinya tak berani main-main lagi. Perlahan tubuhnya bangkit
lalu berjalan membawa rom-
bongan itu melalui tempat yang aman, hingga tiba di dekat sebuah bangunan tua
yang cukup besar.
Setelah menotok pingsan Setan Pedang Darah, Pen-
dekar Naga Putih menyusun penyerangan bersama to-
koh-tokoh terkemuka. Rombongan dipecah empat ke-
lompok. Masing-masing dipimpin oleh Ki Sela Panda,
Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, dan Ki Kunta
Laga. Pendekar Naga Putih bergerak sendiri, karena
mendapat tugas khusus dari Ki Sela Panda untuk
mencari adik seperguruannya. Memang kepada Panji
seoranglah Ki Sela Panda menjelaskan mengapa Tong-
kat Delapan Naga berlaku demikian keji terhadap ka-
wan segolongan.
Setelah keempat kelompok itu bergerak dari empat
jurusan, Panji langsung berkelebat dan bergerak ma-
suk dari bagian depan. Hal itu dilakukan setelah telinganya mendengar suara-
suara pertempuran, tanda
bahwa mereka telah menyerbu masuk.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tak sulit bagi
Panji untuk bergerak tanpa menemui kesulitan yang
berarti. Kakinya melangkah memasuki bagian dalam
bangunan tua itu untuk mencari Tongkat Delapan Na-
ga. Di arena pertempuran tadi Panji sempat melihat
adanya Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Namun,
hal itu sama sekali tak membuatnya terkejut Sejak
semula telah diduganya kalau kedua orang tokoh sesat itu pasti mempunyai kaitan
dengan kekacauan yang
terjadi di dunia persilatan.
"Heaattt...!"
"Yeaaa...!"
Ketika Panji memasuki bagian tengah bangunan,
dari balik dinding tiba-tiba muncul delapan orang lelaki berwajah bengis yang
langsung menerjang dengan
senjata terhunus. Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa gugup. Kendati
dilihat dari cara menyerang,
mereka rata-rata memiliki tenaga yang cukup kuat dan kelincahan yang
mengagumkan, semua itu dapat di-atasinya dengan baik. Sambil bergerak melompat
ke kanan dan ke kiri serta meliuk untuk mengelak dari
babatan senjata, Panji mengirimkan tamparan dan pu-
kulan. Serangan balasan itu membuat lawannya roboh
satu persatu. Hingga, dalam sepuluh jurus saja kedelapan lelaki berwajah bengis
telah tergeletak dengan tubuh luka parah.
"Hyaaattt..!"
Panji yang baru saja hendak kembali melangkah
untuk mencari Tongkat Delapan Naga, tersentak kaget ketika mendengar suara
bentakan mengguntur. Belum
lagi ia sempat melihat sosok penyerang itu, sebuah
sambaran angin kuat membuat Panji harus melempar-
kan tubuhnya ke belakang.
Whuukkk! Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, angin
keras kembali menyambar dengan kecepatan tinggi.
Karena untuk mengelak tak ada waktu lagi, Panji bergegas mengerahkan tenaga
saktinya dan mengangkat
tangan kiri untuk memapaki.
Dukkk! Pendekar Naga Putih terkejut ketika lengannya yang
dipakai menangkis, terasa panas dan nyeri. Bahkan
kuda-kudanya sempat tergempur dua langkah ke bela-
kang. Dan dalam keadaan tubuh belum seimbang Pan-
ji menyempatkan diri untuk melihat penyerangnya
yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi itu.
"Tongkat Delapan Naga...!" seru Panji terkejut dan
juga girang. Sebab, orang yang dicari-cari justru datang menghampirinya.
"Heh heh heh...! Selamat berjumpa lagi, Pendekar
Naga Putih! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari kematian...!" ujar lelaki tua yang tak lain si Tongkat Delapan Naga. Tawa
paraunya terdengar meningkahi
deruan putaran tongkat yang menimbulkan hawa din-
gin di tempat itu.
"Tongkat Delapan Naga, aku mendapat perintah da-
ri Ki Sela Panda untuk membawamu kembali ke pergu-
ruan. Kuharap kau tak menyalahkan apabila aku ter-
paksa bertindak lancang...!" ujar Panji yang segera menyiapkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti' nya. Kali ini disim-pannya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan mengerah-
kan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Karena sebagaimana yang dikatakan Ki Sela
Panda, Tongkat Delapan
Naga telah menderita keracunan pada jalan darah be-
sar di kepalanya. Semua itu akibat usaha keras berlatih sebuah ilmu yang sangat
sulit untuk dipelajari. Itulah yang menyebabkan Tongkat Delapan Naga tergang-
gu pikirannya. Dan ketika Panji berjanji untuk berusaha mengembalikan kewarasan
Tongkat Delapan Naga,
Ki Sela Panda langsung meminta pendekar muda itu
agar jangan sampai membunuh adik seperguruannya.
Karena pada dasarnya Tongkat Delapan Naga bukan
orang jahat. "Hyaattt..!"
Tongkat Delapan Naga yang kelihatan kaget begitu
mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, berubah
menjadi kemarahan yang meledak-ledak. Seketika to-
koh tua itu melancarkan serangan dahsyat dari jurus-jurus mukjizat yang telah
membuat otaknya terganggu.
Kali ini Panji tak mau lagi mengalah. Tugas dari Ki Sela Panda memang berat
Namun ia harus dapat melumpuhkan Tongkat Delapan Naga tanpa harus mem-


Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat kakek itu terluka berat
Ki Sela Panda sendiri sudah menguji kepandaian
Pendekar Naga Putih sebelum mengutarakan permin-
taannya. Dan ketika mendapati kenyataan bahwa ke-
pandaian Pendekar Naga Putih dapat diandalkan, Ke-
tua Perguruan Bukit Dewa itu yakin kalau tugas yang diberikannya dapat
dijalankan dengan baik. Lelaki tua itu juga meminta agar kalau bisa Pendekar
Naga Putih tidak sampai menewaskan adik seperguruannya.
Tugas itu memang tak mudah. Dengan kepandaian
Tongkat Delapan Naga yang sedemikian tinggi, sulit
bagi Panji untuk melumpuhkan kakek itu tanpa mem-
buatnya terluka.
Menghadapi gempuran-gempuran hebat yang men-
gandung hawa mukjizat, Pendekar Naga Putih tampak
terdesak dalam jurus-jurus awal. Pemuda itu hanya
bisa mengelak tanpa mendapat kesempatan untuk
membalas. Karena sebelum sempat melepaskan seran-
gan balasan, tongkat berkepala naga lawan selalu
mendahului, memotong geraknya. Sehingga, Panji ter-
paksa harus mengerahkan kelincahannya agar tidak
sampai celaka di tangan lawan.
"Heeaaa...!"
Wuutt! Wuutt! Tongkat Delapan Naga sendiri merasa penasaran
bukan main. Meskipun berhasil membuat lawan terde-
sak, sampai sejauh itu senjatanya belum juga berhasil mengenai sasaran. Dan ini
membuat serangannya semakin bertambah ganas!
"Haaaiiittt..! Heaa...!"
Sadar bahwa kalau dibiarkan lama-lama dirinya bi-
sa celaka, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk
mengerahkan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuhnya
melenting ke udara untuk kemudian meluncur turun
dengan kecepatan kilat Sepasang tangannya berputa-
ran cepat membentuk gulungan sinar yang menyilau-
kan mata, hingga lawan sulit menduga serangan itu.
Sebab sepasang tangan bahkan tubuh Panji sangat su-
lit untuk dilihat jelas.
"Hih...!"
Brretts! "Ehh...!"
Tapi, Tongkat Delapan Naga memang nyata bukan
tokoh sembarangan! Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Da-
lam Bumi' yang selama ini tak pernah gagal, dapat di-halau dengan baik oleh
sambaran tongkat kepala naga kakek itu. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan
lagi. Meski serangan itu gagal, tubuh Tongkat Delapan Naga tak urung tergetar
mundur sejauh satu tombak.
"Heeaattt..!"
Kesempatan baik itu tak dilewatkan begitu saja oleh Panji. Dengan cepat kedua
tangannya bergerak melakukan dorongan sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti In-
ti Panas Bumi' seluruhnya.
Brressh! "Aakh...!"
Blukk! Tongkat Delapan Naga yang sama sekali tak men-
duga serangan itu, terpekik ngeri. Pukulan dahsyat lawan menghantam telak
tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu pun terlempar ke belakang hingga menabrak
dinding, dan terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya terbung-
kus sinar kuning keemasan yang. memancarkan hawa
panas membakar.
Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih menghela na-
pas lega. Kakinya baru melangkah setelah sinar kun-
ing keemasan yang membungkus tubuh lelaki tua itu
lenyap, tanda bahwa tenaga mukjizat yang dilontarkan telah seluruhnya merasuk ke
dalam tubuh lawan. Hati Panji yakin kalau kekuatan mukjizat yang ajaib itu
akan dapat menyembuhkan kegilaan Tongkat Delapan
Naga. 'Pendekar Naga Putih...!"
"Kakang...!"
Dua sosok tubuh bergerak menghampiri Pendekar
Naga Putih tengah memondong tubuh Tongkat Dela-
pan Naga. Mereka Ki Sela Panda dan Kenanga. Yang
satu mengkhawatirkan adik seperguruannya, sedang
yang satunya lagi mengkhawatirkan keselamatan ke-
kasih pujaan hatinya.
"Syukurlah kau tidak apa-apa, Kakang,..!" Kenanga
menghela napas lega seraya: melingkarkan lengannya
ke lengan Panji.
"Tidak perlu cemas, Ki. Ia cuma pingsan untuk be-
berapa saat saja. Dan setelah sadar nanti, mudah-
mudahan ia akan sembuh seperti sediakala...!" jelas Panji ketika melihat
kecemasan membayang di wajah
Ki Sela Panda. Kemudian langsung menyerahkan tu-
buh Tongkat Delapan Naga kepada kakek itu. Tak lupa Panji menyerahkan beberapa
butir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga dalam.
Serta diberikan beberapa petunjuk cara pema-
kaian obat itu.
Tiba di luar bangunan, Pendekar Naga Putih melihat
pertempuran telah selesai. Mayat-mayat bergelimpan-
gan saling tumpang tindih. Sedangkan para tokoh persilatan tengah sibuk mengurus
kawan-kawannya yang
terluka ataupun tewas. Panji juga melihat adanya belasan orang tokoh sesat yang
menyerah. Hatinya ka-
gum terhadap sikap para tokoh persilatan itu karena ternyata masih mau
mengampuni lawan-lawan yang
menyerah kalah. Bahkan tokoh-tokoh sesat yang ter-
tawan dibebaskan setelah berjanji akan mengubah ja-
lan hidup yang selama ini dipenuhi dosa itu.
"Kurasa sudah waktunya kami mohon diri, Ki...."
Pendekar Naga Putih menoleh kepada Ki Sela Pan-
da, mohon pamit setelah merasakan bahwa Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi' telah merasuk kembali ke da-
lam tubuhnya. Tak seorang pun yang mengetahui, juga Kenanga! Karena memang hanya
dirinya yang tahu ke-pulangan tenaga mukjizat itu ke dalam tubuh. Dan itu pun
berarti bahwa Tenaga Inti Panas Bumi telah dapat memusnahkan keracunan yang
diderita tokoh ternama
Perguruan Bukit Dewa itu.
Ki Sela Panda baru saja hendak mengucapkan rasa
terima kasihnya kepada Pendekar Naga Putih, ketika
dilihatnya sosok pemuda perkasa itu telah berkelebat pergi membawa Kenanga,
kekasihnya. Panji dan Kenanga sama sekali tak tahu betapa se-
pasang mata bening yang basah mengiringi kepergian
mereka. Pemilik mata yang menggambarkan kekece-
waan itu tak lain Dewi Kematian, yang datang terlambat ke tempat itu. Saat ia
datang, pertempuran sudah usai, dan ketika melihat sosok Pendekar Naga Putih
berdiri di samping Ki Sela Panda serta dara jelita berpakaian serba hijau,
dirinya tak berani menghampiri.
Karena melihat betapa dara jelita berpakaian serba hijau itu memandang mesra dan
manja kepada pemuda
tampan berjubah putih yang diam-diam telah mena-
wan hatinya itu.
"Hhhh...."
Dewi Kematian menghela napas berat ketika bayan-
gan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandan-
gan. Kakinya melangkah gontai meninggalkan tempat
itu. Dirinya tak lagi mempedulikan tokoh-tokoh persilatan yang saat itu masih
sibuk menguburkan mayat-
mayat kawan maupun lawannya. Rasa kecewa melihat
Pendekar Naga Putih ternyata telah mempunyai gadis
pilihan yang cantik jelita bagaikan bidadari, membuat wajah Dewi Kematian
menjadi semakin membeku. Bibirnya terkatup rapat, tak lagi mengulas senyum se-
perti ketika tengah melakukan perjalanan bersama
Pendekar Naga Putih. Dan kini semua tinggal kenan-
gan manis yang tak mungkin dapat terulang lagi.
SELESAI Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** 5 *** *** 6 *** 7 *** 8 *** Pendekar Tangan Baja 2 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Kisah Membunuh Naga 42
^