Pencarian

Dewi Ular Hitam 1

Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam Bagian 1


DEWI ULAR HITAM
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Dewi Ular Hitam
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Edited by mybeno
1 Siang meranggas, membakar
pepohonan, tanah kering dan tandus.
Angin seperti helaan dari neraka,
membuat dedaunan berguguran dan
mengering. Bumi berada dalam satu
penderitaan yang sangat hebat. Matahari begitu garang menyengat hingga saking
panasnya dari ubun-ubun bagai
mengeluarkan asap.
Dari panas yang membakar, nampak dua
bayangan berkelebat, melewati belantara tandus. Baju warna jingga, dengan ikat
pinggang berwarna merah yang mereka
kenakan, berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Diikat pinggang masing-masing
terselip sebatang clurit. Yang berambut acak-acakan berwajah tirus, dengan mata
melengkung ke bawah. Alisnya hanya
merupakan jajaran tipis saja. Sedangkan yang berambut pendek itu berwajah bulat,
matanya bergelambir. Alisnya tebal.
Meskipun wajahnya bulat, tetapi tubuhnya langsing. Kedua sosok itu berasal dari
Madura. Dan keduanya berusia sekitar
tiga puluh tahun.
"Radanara, sudah lima hari kita
berada di tanah Jawa ini, namun sampai hari ini kita belum mendapat-kan
keterangan yang berarti tentang Dewi
Ular Hitam," kata yang berambut pendek sambil terus berkelebat. Keringat
mengaliri wajahnya. Tetapi ia letap
kelihatan tegar.
Laki-laki yang disebut Radanara
mengalami hal yang sama. Kalau bukan
orang-orang yang memiliki ilmu cukup
tinggi, bisa jadi kedua belah kaki mereka akan segera melepuh begitu
menginjakkan kaki di daerah tandus dan panas yang
menyengat ini. "Aku sudah tak sabar ingin membunuh manusia keparat itu!" sahut Radanara dengan
suaranya menggeram, menandakan
amarah dan dendam menggelegak di
dadanya. "Biar bagaimana susahnya, sampai
dunia kiamat sekali pun, manusia keparat itu harus mampus! Ia harus menerima
balasan atas kematian Guru! Kita harus secepatnya menemukan manusia keparat
itu, Ardinara!"
Keduanya terus berkelebat dengan
pikiran yang berkecamuk dan dada
bergelora penuh dendam membara. Sejauh mata memandang, hanya daerah tandus itu
yang ada di matanya.
Jarak seratus tombak ketika mereka
akan meng-akhiri kelebatan tubuh dari
tanah tandus dan tiba di sebuah hutan
yang sudah terpampang, tiba-tiba saja keduanya merasakan angin kencang
berkesiur ke arahnya. Kalau sejak tadi keduanya merasakan angin itu berhembus
panas, kali ini dirasakan angin dingin yang meluncur. Derasnya angin itu lain
dengan yang sejak tadi mereka rasakan.
Menyadari perubahan angin yang
datang itu, keduanya serentak melompat ke kanan dan ke kiri. Angin yang menderu
kencang itu melewati tempat di mana
keduanya tadi berlari.
Menghantam tanah yang segera
menghamburkan debu-debu panas. Ketika
debu yang beterbangan itu menghilang, di tempat yang mereka pijak tadi sudah
terbentuk sebuah lubang besar menganga.
"Hhhh! Orang iseng mana yang nekat mencari mampus?" seru Radanara dengan
bersiaga. Begitu pula Ardinara yang
tegak dengan tatapan waspada.
"Hik.. hik.. hik:.. hebat-hebat
sekali. Kalau gurunya telah mampus,
rupanya muridnya ingin mampus pula!"
terdengar suara mengikik penuh ejekan
dari satu tempat.
Keduanya menoleh ke arah asal suara
itu. Yang mengejutkan, tak ada seorang pun di sana, kecuali sebuah batu besar.
Radanara menggerakkan tangannya
dengan geram. Serangkum angin laksana
topan menderu ke arah batu besar itu.
Bummm!! Batu sebesar kerbau itu berantakan
menjadi kerikil. Tetapi tak satu sosok tubuh pun yang muncul atau mencelat dari
balik batu besar itu. Hanya suara wanita, serak, kembali terdengar,
"Hik... hik... hik.. boleh juga
pukulan jarak jauhmu itu, Radanara...."
"Keparat busuk! Kalau kau memang
punya wajah, silakan tampil! Jangan
bisanya cuma membokong dari belakang!!"
bentak Radanara. Pandangannya tajam dan sengit.
"Kalau itu permintaanmu, baik,
baik!!" Setelah kata-kata itu habis, dikawal suara mengikik muncullah satu
sosok tubuh dari satu tempat yang tak
terlihat. Ketika hinggap dengan
ringannya di depan keduanya, sosok itu kembali mengikik, lebih kencang.
"Nah, apakah kalau sudah melihat rupaku yang cantik ini kalian akan segera
bersujud" Atau, jatuh cinta?"
Dua lelaki itu mengeluarkan suara
mendengus bersamaan, memperhatikan satu sosok tubuh mengenakan pakaian berwarna
hitam pekat. Kain batik butut dikenakan oleh wanita tua itu untuk menutupi
bagian bawah tubuhnya.
"Apakah kau yang berjuluk Dewi Ular Hitam?" bentak Ardinara dengan tatapan
menyipit. Orang yang hadir dengan cara seperti itu, bisa dipastikan ia adalah
orang jahat. Dan karena yang sedang
dicarinya adalah Dewi Ular Hitam, maka pertanyaan yang terlontar dari mulut
Radanara seperti itu.
Sosok itu terkikik-kikik.
"Kau tak salah, Radanara."
Mendengar jawaban itu, Radanara
menggeram berat. Kedua tangannya
terkepal. "Wanita tua hina dina! Kematian
sudah tiba untukmu!"
Dewi Ular Hitam kembali
mengeluarkan suara terkikik. Parasnya
boleh dikatakan tidak cantik sama
sekali. Malah mengerikan. Kerutan nampak menghiasi wajah dan seluruh tubuhnya.
Hidungnya bagaikan melesat ke dalam.
Matanya turun dengan bola mata berwarna kelabu. Yang unik lagi, seluruh giginya
sudah ompong. Tubuhnya agak membungkuk sedikit. Usianya sekitar tujuh puluh
tahun. Di lehernya melilit seekor ular hitam yang mendesis-desis mengerikan.
"Bagus, bagus.. kalau kau berkata terus terang. Sayangnya, kalian hanya
membuang nyawa percuma!"
"Keparat!!" Sehabis membentak begitu, tubuh Radanara melesat cepat ke arah Dewi
Ular Hitam yang masih
terkikik-kikik. Serangkum tenaga hebat telah terjalin di kedua tangannya.
Wuuuttt! Radanara terperangah, karena
serangannya hanya mengenai angin.
Sejenak ia celingukan. Ketika ia
menoleh, dilihatnya Dewi Ular Hitam
tengah terkikik-kikik di belakangnya.
Murkalah Radanara. Ia mengempos
lagi tubuhnya sambil melancarkan
serangan. Lagi-lagi sosok wanita tua
berbaju hitam itu tak ada di tempatnya.
Hal ini semakin membuat amarah Radanara menjadi naik meskipun sadar kalau lawan
bukanlah orang sembarangan. Membunuh
guru mereka, Dewa Muka Singa, bukanlah hal yang mudah.
Ardinara langsung menderu begitu
dilihatnya Dewi Ular Hitam berada di
belakang Radanara.
"Bangsat busuk! Aku pun ingin
merasakan kehebatanmu!!" geramnya membahana.
Wuusss!! Kembali tubuh Dewi Ular Hitam lenyap
dari pandangan, serangan Ardinara hanya mengenai angin.
Radanara segera
mendekatinya. "Kita tak boleh lengah! Guru saja bisa dipercundanginya!" serunya
berhati-hati "Sayangnya, kalian pun akan
mampus!" tiba-tiba terdengar suara dingin itu dari belakang mereka, yang
membuat keduanya segera bergulingan
ketika merasa angin menderu ke arah
mereka. "Bagus, bagus sekali! Tetapi ingat, kalian hanya kuberi bernapas dalam satu
jurus!" Wajah keduanya memerah. Di samping
sengatan matahari, juga karena mendengar ejekan Dewi Ular Hitam. Serempak mereka
bergerak kembali.
Kali ini dengan suara gerengan
seekor singa luka dan kedua tangan
membentuk cakar yang mengebut ke sana
kemari, namun lagi-lagi tubuh lawan
lenyap begitu saja. Bahkan...
Des!! Tubuh Radanara terjajar ke
belakang. Dadanya bagai dihantam oleh
godam yang sangat besar. Melihat hal itu, Ardinara menggeram keras. Celingukan
ia mencari Dewi Ular Hitam. Begitu nampak di matanya, dicabutnya cluritnya yang
berkilat-kilat.
Dihantamkannya berkali-kali,
tetapi yang termakan hanyalah angin
belaka. Selebihnya, ia merasakan
punggungnya terhantam pukulan yang
sangat keras sekali.
Seketika ia tersuruk ke tanah. Debu
panas segera menyengat wajahnya,
membuatnya menjerit-jerit. Radanara
yang melihat bahaya mengancam saudara
seperguruannya melakukan gerakan yang
sangat luar biasa beraninya. Karena, ia memotong serangan yang sedang
dilancarkan oleh wanita kejam itu pada Ardinara.
Akan tetapi, sudah jelas kalau Dewi
Ular Hitam memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari keduanya. Masih berusaha
untuk menginjak kepala Ardinara, ia
mengibaskan tangan kirinya menggebuk
tubuh Radanara.
Des! Radanara terjajar ke belakang
dengan perut yang terasa mulas. Dari
mulutnya terdengar keluhan pendek. Saat itulah Dewi Ular Hitam melakukan
keinginannya. Ardinara memekik dengan
wajah pias. "Hik... hik... hik... kupilih kau untuk mampus!" kikiknya dan dengan bengisnya
ia mengangkat kaki kirinya,
siap menginjak kepala Ardinara
Menyadari maut akan datang,
Ardinara bergulingan. Panasnya debu dan kerikil sungguh menyiksa. Tetapi, maut
di depan mata harus dihindari.
Dewi Ular Hitam perlihatkan
kelasnya. Selagi Ardinara bergulingan
dan coba untuk bangkit, ia menerjang
cepat. Kaki kirinya menghantam kaki
kanan Ardinara. Keluhan pendek terdengar bersama suara tulang patah. Menyusul
tendangan berikutnya, telak menghantam dadanya.
Prak! Ardinara ambruk. Tulang iganya
patah. Sakit bukan alang kepalang. Ia
mengeluh tertahan dengan aliran darah
kacau. Pusing melanda dirinya, hingga
penglihatannya nanar.
Melihat hal itu, Radanara yang
sedang berusaha untuk bangkit, menggeram marah dengan teriakan keras setinggi
langit. "Monyet tua hina dina! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!!"
Tubuhnya melesat dengan gerakan
menerkam seekor singa yang melihat
mangsa. Dewi Ular Hitam hanya terkikik melihatnya. Begitu serangan yang
dilakukan oleh Radanara mendekat,
tangannya mengibas.
Des! Pukulan Radanara dipapaki, menyusul
satu gedoran kencang dari bawah.
Tanpa ampun lagi tubuh Radanara
terlontar lima tombak ke belakang. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah
segar. Dipegang dada dengan mata melotot gusar.
"Hik... hik... hik... kau kubiarkan hidup, karena aku masih bermurah hati!
Kasihan melihat kau yang datang dari jauh tetapi tak mampu membunuhku!"
Tiba-tiba saja Dewi Ular Hitam,
memegang ular hitam yang selalu mendesis dari lehernya. Dilepaskannya ular itu
ke arah Ardinara.
"Kau mendapatkan jatah yang lumayan enak, Manis!"
Ular itu meluncur deras dan....
Crass! Menembus jantung Ardinara yang
melolong setinggi langit Di detik Iain, ular itu telah mencelat keluar dengan


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut penuh darah. Melilit kembali ke
leher Dewi Ular Hitam yang terkikik
keras. Melihat maut datang mengerikan pada
Ardinara, Radanara menggeram dahsyat.
Mengempos tubuhnya dengan sisa
tenaganya. Namun tubuh Dewi Ular Hitam telah lenyap dari pandangan.
Plass! Hanya tawanya yang mengumandang ke
sekitar lembah tandus. Keras, menggema, dan bertalu-talu. Radanara menggeram dan
berteriak murka.
"Dewi Ular Hitam!! Sampai kapan pun juga kau akan kukejar!!"
Radanara masih berteriak-teriak
keras. Untuk melampiaskan rasa kesalnya, ia melepaskan pukulan jarak jauhnya
beberapa kali. Debu-debu panas
beterbangan. Setelah itu ia menjadi kelelahan
sendiri. Dihampirinya mayat Ardinara
dengan kepiluan dalam. Dilihatnya mayat yang ditemukan itu tak beda dengan mayat
gurunya. Rubuh, penuh darah, dan tanpa jantung lagi.
"Maafkan aku... tetapi percayalah, akan kubalas sakit hatimu ini.... Juga sakit
hati Guru."
Disingsingkan lengan bajunya. Tanpa
mempedulikan betapa panasnya debu-debu itu, digalinya tanah di sana dengan kedua
tangannya. Setelah dirasakan cukup, dikuburnya
mayat Ardinara.
Selesai menguburkan mayat Ardinara,
Radanara berdiri. Wajahnya memancarkan kegeraman.
"Akan kubuat perhitungan nanti
untukmu, Ardinara!!" desisnya.
Tiba-tiba ia menjerit keras.
"Dewi Ular Hitaaaammm! Kau akan
mampusss!!"
Tangannya mengibas ke sana kemari.
Tempat itu tiba-tiba bagai diserang oleh puluhan gajah yang mengamuk. Pohon-
pohon bertumbangan setelah terhantam oleh
pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Radanara.
*** 2 Lain suasana panas di daerah tandus
itu, lain pula dengan sebuah lembah yang berjarak ribuan tombak dari sana.
Lembah yang dibentengi perbukitan teduh itu,
bagai sebuah permata yang ada di tangan para da-yang.
Angin semilir berhembus. Di ufuk
timur sana, bias-bias sang Fajar mulai nampak. Di lembah yang permai itu, di
sisi sebelah utara, terdapat sebuah
sungai yang mengalir jernih. Alirannya bagai melewati sebuah lorong yang entah
bagaimana terbentuknya di perbukitan
sebelah kiri. Mendadak dari dalam sungai
terdengar satu suara....
"Huaaaahhh!" bersamaan itu muncul satu kepala berambut gondrong. Air
sungai memenuhi kepala hingga tubuhnya.
Sebagian tubuhnya masih beren-dam di
air. "Hiiii! Dingin! Tetapi asyik ah!"
Lalu dengan konyolnya wajah tampan
dengan rambut gondrong yang basah itu menyelam lagi. Cukup lama dan menyembul
dengan satu teriakan lagi.
"Asyiiiikkkk!"
Seperti orang yang sudah sebulan
tidak bertemu air, pemuda konyol itu
berenang-renang ke sana ke-mari. Pagi
baru saja datang. Sang Fajar semakin
menampakkan ujung jarinya, dan membulat memperlihatkan sekujur tubuhnya.
Pemuda yang asyik berenang itu
menghentikan mandinya. Ia celingukan
sejenak. Kabut masih cukup tebal
menyelimuti alam. Lalu setengah
berjingkat dia keluar dan berlari ke
balik batu besar di mana diletakkan
pakaiannya tadi.
Buru-buru dikenakan pakaian hijau
pupus. Lalu disampirkannya sehelai kain bercorak catur di lehernya. Rambutnya
digoyang-goyangkan. Air yang masih
menempel di rambutnya berlompatan.
"Nyaman sekali tubuhku ini!"
desisnya sambil mencoba menembus kabut tebal.
"Hrara... kalau kabut sudah agak
menghilang, aku akan keluar dari lembah ini. Sayang sebenarnya. Ih! Kalau aku
punya anak dan istri... pasti tempat ini akan kujadikan tempat tinggal. Tetapi,
apa iya ada yang mau denganku" Masa
bodoh, ah! Yang penting, aku harus
mengisi perut dulu!"
Selagi si pemuda masih berada dalam
rangkulan kabut, mendadak terdengar satu suara,
"Ada orang sinting yang mandi di
tengah dingin membuta ini"
Cepat si pemuda itu menoleh. Matanya
mencari dari mana asal suara itu. Samar dilihatnya satu sosok tubuh di
belakangnya. Duduk mencangkung di batu besar di mana dia mengenakan pakaian
tadi. "Busyet!" si pemuda menggaruk-garuk kepalanya. "Rupanya ada monyet nangkring di
situ! Hebat sekali hingga aku tidak tahu dia berada di batu besar itu."
Si pemuda menatap lelaki berbaju
compang-camping dengan rambut dan
jenggot putih. Di sisinya terletak
sebatang tongkat putih yang mengkilat
"Hei, Kek! Nekat juga kau ya,
mengintip laki-laki mandi!"
"Siapa yang menyuruhmu mandi" Sejak semalam aku sudah berada di sini. Kau
tidak menyapa, aku pun tidak menyapa."
Andika kembali menggaruk-garuk
kepalanya. "Siapa sebenarnya laki-laki tua
ini" Sejak semalam aku berada di sini, tetapi tak mengetahui kehadirannya.
Apakah dia lebih dulu datang ataukah aku yang lebih dulu datang?" pikir si
pemuda dengan kening berkerut. Lalu dia
berkata, "Hebat juga kau, Kek! Aku tidak tahu kehadiranmu itu!"
"Hhhh! Siapa yang hebat, hah" Siapa yang tidak mengenal pemuda konyol dari
Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar
Slebor?" balas si kakek. Matanya tak sekali pun melihat ke arah si pemuda yang
lagi-lagi terkejut.
"Kakek itu tahu siapa aku. Siapa dia sebenarnya" Dan mau apa berada di sini?"
pikir si pemuda yang tak lain adalah
Andika alias Pendekar Slebor.
"Berada di sini saja aku tidak
sengaja. Apakah dia memang ingin
mendatangi tempat ini, ataukah dia
memang tidak sengaja tiba di sini seperti aku?" Masih memperhatikan si kakek
yang menatap kejauhan, Andika berkata lagi,
"Kau sudah tahu siapa aku tanpa kuberi tahu. Lancangkah bila aku mengetahui
siapa kau, Kek?"
"Untuk apa?"
"Untuk apa?" ulang Andika bingung.
"Ya... barangkali saja nanti kau
meminta-minta dan kebetulan aku lewat.
Masa iya sih aku tega tidak memberimu
sedekah?" Bukannya marah mendengar selorohan
Andika, si kakek yang masih mencangkung di batu itu perdengarkan tawanya.
Sungguh bukan buatan kerasnya. Menggema dan memantul di dinding perbukitan.
"Akhir-akhir ini memang kudengar
sepak terjang pendekar urakan dari
Lembah Kutukan. Hampir tak percaya bila aku tak mendengarnya sendiri."
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kek."
"Hhmm... namaku sendiri aku tidak ingat lagi. Mungkin aku lahir tanpa nama.
Tetapi, orang-orang menjulukiku
Pendekar Jari Delapan. Karena, jari
kelingking kedua tanganku putus. Aku
lupa apa penyebab putusnya kedua
kelingkingku ini."
Andika melihat si kakek membuka
kedua tangannya. Lalu dia bergumam,
"Pendekar Jari Delapan. Rasa-rasanya aku pernah mendengar julukan itu." Andika
menatap si kakek yang mengaku berjuluk Pendekar Tangan Delapan yang kini
menatapnya. "Lalu, mau apa kau singgah di tempat ini, Kek?"
"Tempat ini puluhan tahun yang lalu selalu kujadikan tempat merenung. Dan
semalam pun aku datang ke sini untuk
merenung."
Andika tertawa.
"Merenung mengapa usiamu
bertambah?"
"Omonganmu seenak pantatmu saja!
Tetapi, kehadiranmu di sini justru
membuang segala kepenatan yang ada di
otakku." "Apakah Pendekar Jari Delapan
sedang mengalami satu masalah?" desis Andika dalam hati. "Kek... bisakah kutahu
apa yang menjadi kepenatan otakmu itu?"
"Apa perlumu?"
"Barangkali, dengan membagi cerita kau tak lagi mengalami kepusingan."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak. "Rupanya kau tergolong orang usilan juga. Persis seperti yang
kulakukan ketika aku seusiamu."
Andika nyengir. Teringat masa
kecilnya di mana dia menjadi pencuri di kotapraja. Tetapi, yang selalu dicuri
adalah uang orang-orang kaya yang rakus (Untuk mengetahui asal usul Pendekar
Slebor, silakan baca episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
"Ceritakanlah apa yang ingin kau
ceritakan, Kek."
"Apakah kau akan berdiri terus
menerus di situ?"
"Bila kau bersedia aku duduk di
sampingmu, sudah kulakukan sejak tadi."
"Duduklah."
Andika melompat. Tetapi, anehnya
tubuhnya tak bisa digerakkan. Kedua
kakinya bagai terpantek di tanah. Dia
mendengus. "Hhh! Siapa lagi yang usil kalau bukan manusia keropos ini?"
Dilihatnya Pendekar Jari Delapan
masih bersikap tak acuh. Bahkan seolah tak tahu apa kesulitan Andika sekarang.
Ngotot, Andika mengerahkan tenaga
dalamnya. Tetapi, makin dia mengerahkan, makin kuat kakinya melekat di tanah.
"Kura-kura buduk! Aku tak
sungkan-sungkan lagi sekarang!" gerutu Andika dan mengerahkan sedikit tenaga
'inti petir' pada kedua kakinya. Lalu
menghentak dan... hup! Dia telah duduk di hadapan si kakek. Seolah tak ada
masalah yang mengganggunya dia berkata, "Aku sudah siap untuk mendengarkan
ceritamu itu. Asal jangan cerita ngawur saja."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak. "Ash. Ash manusia jelek yang ada di hadapanku ini berasal dari
Lembah Kutukan. Tenaga 'inti petir' yang kau perlihatkan memang berasal dari
buah legenda buah 'inti petir'."
"Sudahlah, Kek. Tidak usah
basa-basi. Nanti jadi basi beneran."
Pendekar Jari Delapan menarik napas
panjang. Sementara kabut mulai menipis.
Matahari sudah sepenggalah. Dua anak
manusia berbeda usia itu duduk
berhadapan. Lalu meluncurlah kata-kata dari Pendekar Tangan Delapan.
Andika terdiam mendengarkan cerita
itu sampai usai.
"Apakah Dewi Ular Hitam sudah mati saat itu, Kek?"
"Tidak. Meskipun saat itu kami
bertiga memburunya untuk menghabisinya, tetapi ia lebih cepat bergerak.
Gerakannya tak lebih dari hantu belaka.
Begitu cepat sekali, apalagi saat itu
kami juga dalam ke-adaan terluka. Di saat kami masih mencari-carinya, tiba-tiba
terdengar ancamannya yang merontokkan
jantung. Ia mengancam akan muncul lagi tiga puluh tahun kemudian. Dugaanku,
sekaranglah Dewi Ular Hitam akan muncul memenuhi ancamannya."
"Sampai sekarang, apakah engkau
pernah berjumpa dengannya, Kek?"
Si orang tua menggelengkan
kepalanya. "Tidak, aku tidak pernah berjumpa dengannya lagi."
"Di manakah wanita yang berjuluk
Dewi Ular Hitam itu tinggal?" tanya Andika yang semakin tertarik untuk
menelusuri masa lalu Pendekar Jari Delapan.
"Aku tidak tahu. Setelah peristiwa itu, aku kemudian menyepi di Bukit
Lingkar sekaligus menyembuhkan
luka-lukaku. Sementara Dewa Muka Singa berdiam di Madura dan Manusia Muka Putih
berada di ujung Pelabuhan Ratu. Ah,
kuharap mereka tak melupakan peristiwa lalu itu. Karena, Dewi Ular Hitam pasti
akan melakukan ancamannya."
Andika terdiam, memperhatikan wajah
kurus di hadapannya. Terpekur seperti
membayangkan masa lalunya yang mungkin menari-nari di benaknya. Dilihatnya pula
laki-laki itu menghela napas
berkali-kali. "Aku tidak tahu siapakah yang
pertama akan didatangi oleh Dewi Ular
Hitam. Karena, ia bisa saja berada di
hadapanku terlebih dahulu, mungkin pula muncul di depan Dewa Muka Singa, atau
Manusia Muka Putih. Yang pasti, aku
yakin... ia akan muncul, untuk
membalaskan sakit hatinya."
"Tanganku menjadi gatal bila
mendengar ada manusia-manusia mempunyai niat busuk yang selalu mengorbankan
orang lain. Bahkan rela mencabut nyawa orang lain demi ambisinya."
Pendekar Jari Delapan tersenyum.
"Tidak usah. Ini urusan kami bertiga. Tak ada sangkut pautnya denganmu, Pendekar
Slebor." "Pada kenyataannya, aku jadi
penasaran ingin mengetahui siapakah
gerangan Dewi Ular Hitam".
Bukan aku merasa kepandaianku sudah
cukup untuk menghalangi perbuatannya.


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun biar bagaimanapun saatnya,
keinginan busuk dari Dewi Ular Hitam
harus dihentikan. Dan aku yakin, siapa pun yang berada dalam golongan lurus,
pasti akan melakukan hal itu. Bukan untuk mencari nama, bukan untuk mendapat
pujian, tetapi memang itulah kenyataan yang ada di setiap hati orang-orang dari
golongan lurus."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak.
"Kau benar. Memang sudah selayaknya kita bersikap seperti itu. Dan sepak
terjangmu yang menghalangi keangkara
murkaan dan mengkandaskan keinginan
manusia-manusia busuk seperti Dewi Ular Hitam, sudah menjadi sebuah ukuran pada
dirimu. Kuhargai tawaran bantuanmu itu, Andika. Bila kau memang ingin
membantuku, tolong kabarkan berita ini pada Manusia Muka Putih di Pelabuhan
Ratu." "Bagaimana dengan Dewa Muka Singa?"
tanya Andika sambil menatap wajah di
hadapannya. "Kepergianku dari Bukit Lingkar
ini, adalah untuk menemuinya."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan
segera melakukannya. Akan ku jumpai
Manusia Muka Putih secepatnya."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak lagi. Wajah kurusnya jadi mengerikan.
"Ingat, aku tak bisa memberikanmu apa-apa sebagai upah. Kalau kau mau
kentutku, akan kuberikan?"
"Justru aku ingin memberikannya
lebih dulu padamu, Kek," balas Andika.
Tak heran baginya, bila tokoh rimba
persilatan bersikap aneh dan rada-rada gila seperti itu.
"Satu hal yang perlu kau ingat,
kesaktian Dewi Ular Hitam pada saat tiga puluh tahun yang lalu sangat sukar
dicari tandingannya. Karena kami bersatu padu, sehingga wanita keparat itu bisa
dikalahkan. Dan aku yakin, selama tiga puluh tahun itu ia sudah melatih dirinya
dengan ilmu-ilmu yang sangat dahsyat.
Aku tak bisa memperkirakan kesaktiannya untuk masa-masa sekarang ini. Yang perlu
kau ingat, ular hitam yang selalu melilit di lehernya itu sangat berbahaya. Aku
tidak tahu apakah ular itu sudah mati, atau panjang umur seperti majikannya."
"Akan kuingat nasihatmu itu, Kek.
Seperti apa sih Dewi Ular Hitam itu" Hhh!
Ingin kujitak kepalanya!"
Makin keras tawa Pendekar Jari
Delapan mendengar selorohan Andika.
Sungguh, dia tak menyangka akan berjumpa dengan pendekar yang namanya akhir-
akhir ini terdengar, perlahan dan makin
menjulang. "Kalau saja kau belum mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan, aku mau
menurunkan ilmuku yang tak seberapa ini padamu. Tetapi, aku tak mau melancangi
pendekar legendaris Saptacakra. Nah,
Andika... kita berpisah di sini."
Habis berkata begitu, tubuh
Pendekar Jari Delapan bagai lenyap
ditelan bumi. Tak ada angin yang
berkesiur. Tak ada angin yang
menghembus. Tubuh itu tahu-tahu lenyap.
Yang ada, sebuah goresan menembus tiga senti di batu besar di bagian di mana
Pendekar Jari Delapan duduk.
"Terima kasih atas bantuanmu".
Andika mendesah pendek. Kesaktian
yang dimiliki Pendekar Jari Delapan
demikian tinggi, tetapi dia harus bahu membahu bersama Dewa Muka Singa dan
Manusia Muka putih untuk mengalahkan
Dewi Ular Hitam.
Kalau begitu, seperti apa kehebatan
Dewi Ular Hitam"
Andika menengadah. Matahari mulai
menyengat. Angin semilir menghembus
rambutnya. "Aku ingin tahu siapa Dewi Ular Hitam itu."
*** Pelabuhan Ratu, bukanlah tempat
yang berjarak dekat. Kalau ingin tiba di sana dengan segera, Andika memang harus
mengeluarkan ilmu larinya yang tersohor.
Dini hari telah tiba, saat Andika
menghentikan larinya, Meski tak terasa penat, namun perjalanan memang harus
dihentikan. Memulihkan tenaga dengan
cara tidur, suatu cara yang sangat
berguna sekali.
Andika memutuskan untuk tidur dan
melanjutkan perjalanan ketika terdengar ayam jantan berkokok panjang.
Bersahutan, memberitakan pagi sebentar lagi akan tiba.
Dalam hari yang masih gelap dan
matahari belum beranjak dari sudut
timur, Andika berkelebat kembali.
Sungguh, hatinya dibuat penasaran oleh cerita Pendekar Jari Delapan.
Dewi Ular Hitam, tokoh semacam
apakah dia" Hingga seorang tokoh seperti Pendekar Jari Delapan meskipun
memperlihatkan ketenangannya, namun
Andika bisa menangkap getar kecemasan
dari raut wajahnya.
Dari julukan yang berkesan angker
itu, Andika sebenarnya bisa menangkap
kesaktian macam apa yang dimiliki Dewi Ular Hitam. Bukan penasaran ingin
menjajaki kesaktian Dewi Ular Hitam,
melainkan semua ini dikarenakan
panggilan hati nuraninya yang tak senang keangkaramurkaan terjadi.
"Setinggi apa pun kesaktian si Dewi Ular Hitam, aku akan berusaha
menghentikan sepak terjangnya," desis Andika tanpa menghentikan larinya.
* * * 3 "Aku tak pernah akan kembali ke
Pelabuhan Ratu bila belum membunuh
wanita kejam yang berjuluk Dewi Ular
Hitam," geraman itu berasal dari mulut seorang laki-laki gagah berwajah tampan.
Tangan yang terdapat gelang-gelang
berjajar dari pangkal tangan hingga ke siku, terkepal penuh amarah. Rahangnya
mengatup, dengusannya terdengar
berkali-kali. Di punggungnya terdapat
sebilah pedang yang tajam. Ia mengenakan pakaian berwarna putih. Di belakangnya,
tiga orang pemuda yang sebaya dengannya menyetujui hal itu. Di punggung
masing-masing terdapat sebilah pedang.
"Tetapi, Kakang... sampai saat ini kita belum tahu di mana wanita iblis itu
berada." "Kau benar, Gumilar,"
sahut laki-laki yang ber-nama Brajaseta itu.
"Tetapi biar bagaimana juga, ia tak akan pernah kulepaskan. Paling tidak, kita
jalankan dulu amanat Guru yang ditujukan pada Pendekar Jari Delapan. Hhh!
Rasanya masih jauh Bukit Lingkar dari tempat kita sekarang ini."
Tak ada yang bersuara saat
meneruskan langkah. Terbayang di mata
Brajaseta bagaimana guru mereka yang
berjuluk Manusia Muka Putih luka parah di tangan Dewi Ular Hitam. Dan ini
semakin membuatnya murka. Apalagi bila mengingat sekitar lima orang saudara
seperguruan mereka tewas dengan dada bolong dan
jantung tak ada di tempatnya. Disesali dirinya mengapa saat itu dia bersama
ketiga temannya pergi ke kotapraja untuk berbelanja.
Memang, karena untuk keperluan
sehari-hari, mereka secara bergiliran
berbelanja. Dan saat itu, tiba giliran Brajaseta dan ketiga temannya. Penuh
sakit hati, ia berhasil mengobati
keadaan gurunya.
Setengah membujuk, Brajaseta
akhirnya berhasil mengetahui siapa yang melakukan semua itu. Bahkan gurunya,
menyuruhnya untuk mengabarkan
kedatangan Dewi Ular Hitam pada Pendekar Jari Delapan yang berdiam di Bukit
Lingkar. Di sebuah hutan kecil Brajaseta
meminta mereka untuk beristirahat.
Mereka menikmati daging ayam hutan
panggang yang dicari oleh Gumilar. Belum lagi daging panggang yang mereka makan
habis, terdengar bentakan diiringi suara cekikikanyang sangat keras.
Menggugurkan dedaunan di sekitar mereka, menandakan yang berkata itu memiliki
tenaga dalam tinggi.
"Rupanya ada pesta yang
mengasyikkan di sini. Perutku jadi
terasa lapar mencium aroma yang sedap!
Sayangnya, aku tak berniat untuk
menikmati daging ayam panggang itu!
Justru kalian yang akan menjadi penyedap kesenanganku ini!"
*** Mendengar hal itu, keempatnya
menjadi bersiaga dengan mata tajam
berkeliling. Tak menghiraukan lagi sisa daging panggang yang masih cukup banyak.
"Jangan menjadi pengecut! Silakan keluar!" bentak Brajaseta sambil
celingukan. "Keberanian yang dilontarkan secara dipaksakan, akan membawa akibat yang
buruk!" seruan itu terdengar kembali.
Kali ini terasa sangat menyakitkan
telinga. Bila saja keempatnya tidak
memiliki tenaga dalam yang lumayan, bisa dipastikan mereka akan ambruk seketika.
"Kakang... manusia yang berseru itu pasti bermaksud tidak baik," bisik Gumilar.
"Kau benar. Dan kita harus
bersiaga," balas Brajaseta dalam
bisikan. Lalu ia membentak lagi, "Rupanya wajahmu sedemikian buruk hingga
kau takut untuk muncul! Aku yakin,
keburukanmu lebih mengerikan daripada
setan neraka!"
"Hik... hik... hik.. aku yakin,
kalian akan jatuh cinta bila melihat
wajahku!" Bersamaan angin yang berkesiur
kencang, muncul di hadapan mereka satu sosok tubuh berpakaian warna hitam
pekat. Sikapnya begitu dingin dan masih cekikikan.
Brajaseta tak berkedip menatap
wanita berwajah mengerikan yang berdiri tiga tombak di hadapannya. Ada seekor
ular hitam mendesis-desis di leher kurus wanita itu.
"Hmmm, kalau memang ingin ikut serta dalam pesta kelinci panggang ini,
silakan datang," katanya dengan suara ditekan.
"Tak pernah kusangka, murid-murid Manusia Muka Putih memiliki sopan-santun yang
tinggi." Brajaseta tersentak.
"Siapakah kau sebenarnya, Orang
Tua?" bentaknya yang heran mengapa wanita tua itu mengenali mereka sebagai
murid-murid Manusia Muka Putih.
"Setan belang! Kau menyebutku orang tua"! Heh! Brajaseta, apakah kau
menyangsikan kalau aku masih mampu
membuatmu bergairah?" seru wanita itu dengan tatapan memicing. Ia paling tidak
suka dikatakan kalau ia sudah tua.
Mendengar kata-katanya, Brajaseta
terbahak-bahak.
"Jangan kata kami, kambing pun tak akan mau mendekatimu!!" seru Longgoro yang
bertubuh tinggi besar.
Kata-katanya itu disambut tawa oleh
teman-temannya.
Dari picingan matanya, sinar mata
wanita itu memancarkan kemarahan.
Tiba-tiba saja, tanpa diketahui
bagaimana ia bergerak, tubuh Longgom
telah ambruk dengan sebilah pedang
menancap di keningnya. Pedangnya
sendiri!! "Bangsat!!" geram Brajaseta
tercekat, sambil meloloskan pedangnya ia meluncur ke arah wanita itu yang
tiba-tiba saja menghilang. Dan
membuatnya celingukan. Masih tidak
mengerti bagaimana tahu-tahu Longgom
sudah menemui ajal.
"Gurunya saja dapat kukalahkan,
apalagi kalian!!" terdengar satu suara dari atas pohon.
Brajaseta mengangkat kepalanya
dengan tatapan marah. Dilihatnya wanita itu tengah uncang-uncang kaki di sebuah
ranting kecil. Bisa dipastikan kalau
ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi.
Gerakannya tak lebih dari bayangan
belaka! "Anjing buduk! Aku yakin, kaulah
yang berjuluk Dewi Ular Hitam!"
bentaknya semakin sengit begitu
menyadari siapa wanita setan itu.
"Kalau kau sudah mengenaliku,
mengapa tidak segera bersujud, hah?"
ejek wanita tua yang tak lain memang Dewi Ular Hitam
"Wanita peot bau tanah! Kau harus mampus!!"
Siing! Siingg! Siingg!!
Tiga buah gelangnya lolos dan
menderu ke arah Dewi Ular Hitam. Namun hanya menggerakkan telunjuknya saja,
ketiga gelang itu mencelat kembali ke
pemiliknya. Membuat Brajaseta melompat sambil mendengus.
Dan serangan berikutnya datang ke
arah Dewi Ular Hitam. Gumilar dan Kartolo mencelat dengan dua serangan ganas.
Namun yang mereka hadapi ini adalah
Dewi Ular Hitam yang telah mencelakakan guru mereka, Gempuran kedua murid
Manusia Muka Putih dihindari sambil
tertawa. Bahkan dengan enaknya Dewi Ular Hitam, duduk kembali di dahan pohon
yang tadi didudukinya.
Melihat hal itu, keduanya langsung
meloloskan pedang di punggung
masing-masing. Dipadukan dengan jurus
tangan kosong mereka menyerang kembali.
Begitu pedang diayunkan menimbulkan
angin dingin yang cukup kencang.
CraklCrak!! Dua pedang itu menghantam ranting
yang tadi diduduki oleh Dewi Ular Hitam.
Namun yang membuat mereka terkejut,
karena ketika hinggap di bumi dilihatnya Dewi Ular Hitam tengah menggempur
Brajaseta. Panas, mereka mengurung Dewi Ular
Hitam dan melancarkan serangan secara


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serempak. Namun tanpa terlihat bagaimana cara
lawan menghindar, tubuhnya tahu-tahu
lenyap. Mendadak saja ketiganya
merasakan bumi yang dipijaknya bergetar.
Rupanya Dewi Ular Hitam tengah
menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya
dengan sekali meng-hentakkan kaki pada bumi.
Ketiganya segera mengalirkan tenaga
dalam mereka ke kedua kaki, untuk
menguasai keseimbangan mereka agar tidak hilang. Belum lagi mereka menyadari apa
yang terjadi, dikawal angin kencang Dewi Ular Hitam telah menderu dengan cepat.
Gumilar dan Kartolo langsung
tersuruk ke belakang dengan nyawa putus.
Melihat hal itu Brajaseta menggeram
marah. "Kunyuk! Biar kau memiliki kesaktian setinggi langit, aku tak akan
mundur!" Terkikik Dewi Ular Hitam mengempos
tubuhnya menghindari serangan
Brajaseta. Lalu dengan gerakan yang tak terlihat, tangannya mengibas. Mengenai
dada Brajaseta. Tubuhnya terpental ke
belakang, muntah darah.
Tulang-tulangnya seperti patah.
"Dengan ilmu seperti itu, kalian
ingin membalas dendam?" ejek wanita tua kejain itu sambil menggeleng-gelengkan
kepala dengan sikap meremehkan.
"Sayang sekali, kalian hanya
membuang nyawa sia-sia!"
"Persetan dengan ucapanmu!!"
Mendadak saja ia kehilangan
keseimbangannya karena bumi yang
dipijaknya bergetar. Kaki kanan Dewi
Ular Hitam sudah menghentak kuat.
"Hik... hik... lebih baik kau pulang saja menetek pada ibumu, Brajaseta!!"
ejek Dewi Ular Hitam yang menggeduk
kakinya tadi. "Atau". kau memang sudah tidak tahan ingin berjumpa dengan gurumu
di alam baka?"
Brajaseta memaksakan dirinya untuk
bangkit meskipun sangat sulit. Agak
bersyukur ia karena dengan perkataan
seperti itu, menunjukkan bahwa Dewi Ular Hitam tidak tahu kalau gurunya berhasil
diselamatkan. Amarah yang semakin
menjalari hatinya, seolah menambah
tenaganya untuk bangkit.
Melihat hal itu, tawa Dewi Ular
Hitam dikawal ejekan yang menyakitkan
telinga terdengar, "Kalau kau sudah tak mampu ya sudahlah. Kasihan kau yang
datang dari jauh tak pernah akan membalas dendam gurumu!!"
"Keparat hina!! Aku akan mengadu
jiwa denganmu!!" bentak Brajaseta, namun dirasakannya sekujur tubuhnya semakin
bergetar. Jantungnya dirasakan sesekali berdenyut dan sesekali berhenti Sangat
menyulitkannya untuk menyerang.
Jangankan melakukan satu serangan,
memulihkan keseimbangannya saja sudah
harus kalang kabut.
Dengan mencoba mengerahkan sisa
tenaganya, Brajaseta menyerang ke arah Dewi Ular Hitam yang terkikik keras.
Namun serangan itu kandas dengan
sendirinya, karena tenaga Brajaseta
memang sudah terkuras. Ia ambruk dengan keluhan panjang dan diiringi tawa keras
lawan. Lalu dengan langkah maut dan
seringaian lebar, Dewi Ular Hitam
mendekati Brajaseta. Tangannya
terangkat bersamaan kikikannya yang
keras sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Bergegaslah menyusul teman-teman dan gurumu itu ke neraka! Heaaaa!!"
Namun, sebelum ajal menjemput
Brajaseta, mendadak saja sosok yang
pingsan itu lenyap begitu saja. Dewi Ular Hitam terkejut bukan main. Ada orang
yang menyelamatkan Brajaseta dari maut, namun ia tak melihat sosok orang itu.
Bahkan gerakannya saja tidak. Ini benar-benar aneh, pikir wanita kejam itu
menggeram. *** Malah ditolehkan kepalanya ke kiri.
Mata kelabunya melotot melihat satu
sosok tubuh berpakaian hijau pupus dan kain bercorak catur yang tersampir di
bahunya sedang cengar-cengir di
hadapannya. Dan dengan santainya, si
pemuda tampan menurunkan Brajaseta yang pingsan dari pundaknya.
"Heran, sudah peot begitu masih
kejam juga!! Apa kau tidak sadar kalau tubuhmu yang renta itu sudah bau tanah?"
ejekan itu tcuimbar.
"Orang muda, kau lancang telah
menghalangi Aku datang untuk menyampaikan saiam
Pendekar Jari Delapan padamu!!"
Begitu nama itu disebutkan, tubuh
Dewi Ular Hitam bergerak laksana hantu.
Emposan tubuhnya menggetarkan bumi
hingga tubuh Andika bergetar.
Wuuuuttt! "Uts!"
Andika bergulingan, namun tubuh
lawan terus menderu ke arahnya.
Gelagapan Andika mendapat serangan aneh yang gencar itu.
Tubuhnya terjajar ke belakang
terkena tendangan keras Dewi Ular Hitam.
"Tahan!!" seru Andika sambil menahan sakit. Cukup tercekat melihat
serangan yang cepat itu. Bagaimana ia
bisa menenangkan Dewi Ular Hitam agar
tidak terjerat oleh dendamnya. Bila
melihat apa yang telah dilakukan oleh
wanita itu, bisa dipastikan ia hendak
mengulangi sejarah yang dulu. "Apakah kau tak ingin mendengar amanat yang
hendak kusampaikan" Aku orang baik biar kuberi tahu! Pendekar Jari Delapan ingin
kau mampus! Dan yang perlu kau ketahui, aku pun menghendaki seperti itu dan tak
akan membiarkanmu menurunkan tangan
telengas lebih lama lagi!"
"Sesumbarmu sudah kebanyakan,
Pendekar Slebor!" Dewi Ular Hitam menggeser kaki kiri dua tindak ke
belakang. Tubuhnya agak
menekuk pandangannya tajam, tak berkesip.
Menyadari lawan siap menyerang,
Andika justru masih berdiri tegak di
tempatnya. Sikapnya masih urakan seperti biasa. Sedangkan Dewi Ular Hitam, Mata
celong itu bagai melompat, dengan mulut yang membentuk kerucut.
Pemuda berbaju hijau pupus yang tak
lain Pendekar Slebor, terhenyak dengan kening berkerut. Selorohan yang siap
dilontarkan lagi, terkunci erat.
Diperhatikannya wanita yang sedang
memaki-makinya itu dengan saksama.
Diakah wanita yang berjuluk Dewi Ular
Hitam" batinnya bertanya sambil mencoba menjajaki tingkat kesaktian wanita tua
peot di hadapannya. Mengingat ciri yang dikatakan Pendekar Jari Delapan, Andika
yakin wanita tua ini lah yang memang
sedang dicarinya.
"Wah, wah... rupanya kau orang yang berjuluk Monyet Jelek Kaki Buduk! Bagus
sekali!" Wajah Dewi Ular Hitam memerah.
"Orang muda, kau terlalu lancang berkata seperti itu! Sebutkan siapa dirimu?"
"Aku?" Andika menunjuk dadanya sendiri dengan sikap lucu. "O... kalau kau ingin
tahu aku yang ganteng, tampan, keren, dan kesohor ini sudah tentu aku akan
memberitahukannya. Masa sih, aku
tega membiarkan wanita tua yang sudah mau mampus sepertimu itu, harus penasaran.
Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku Pendekar Slebor! Apakah kau sudah puas"
Atau, kau sudah siap untuk kuberikan tanda tangan?"
Dewi Ular Hitam menggeram. "Hhh!
Namamu memang telah kudengar beberapa
tahun belakangan ini! Dan berlagak
menjadi pahlawan kesiangan! Minggir
kalau kau tidak ingin mampus!"
"Sayangnya, aku tak akan menyingkir dari sini.
"Ingat-ingat, gayamu seperti itu
kayak orang terlambat buang hajat!"
seringainya lebar. Padahal hatinya
kebat-kebit tak karuan.
Dewi Ular Hitam tak mau buang tempo.
Dikawal gerengan setinggi langit,
tubuhnya berkelebat. Bukan buatan
cepatnya, hingga
Andika terkesiap
melihatnya. Dengan pencalan satu kaki
Andika buang tubuh ke kanan.
Wuuuss! Menyusul satu tendangan
yang diarahkan ke kepala Andika. Cepat pemuda urakan itu merunduk, dan kirim satu
jotosan sebagai balasan.
Des! Pukulan Andika dipapaki oleh Dewi
Ular Hitam, dengan cara menekuk siku. Dan membuat Pendekar Slebor tersentak ke
belakang dan hinggap hampir kehilangan keseimbangannya. Belum lagi ia bisa
menguasai keseimbangannya, ganti satu
serangan me- ke arah kepala Pendekar
Slebor. "Gila! Apa yang dikatakan Pendekar Jari Delapan tentang Dewi Ular Hitam
memang benar. Gerakannya seperti
bayangan belaka!!" dengusnya sambil kembali menghindari serangan itu. Kali ini
tenaga 'inti petir' tingkat
kesepuluh dipergunakan. Dia tahu lawan memiliki tenaga dalam kuat. Melihat
perubahan angin yang dilakukan oleh
Andika, sadarlah Dewi Ular Hitam kalau lawan telah meningkatkan tenaga
dalamnya. Dia pun menambah tenaga dalam dan
kecepatannya. Gempurannya semakin
berbahaya dan mengerikan. Angin panas
bagai mengejar Andika
Mengandalkan kecepatannya, Andika
mengirimkan serangan balasan dengan
tenaga 'inti petir' tingkat kedua.
Dewi Ular Hitam terkejut menerima
serangan seperti itu.
"Hhhh! Kini kuakui, sebagai pewaris ilmu Lembah Kutukan kau tidak sia-sia,
Andika!! Sayangnya, kau tak akan bisa berbuat banyak!"
"Hehehe... kalau kau ingin belajar, cium dulu kentutku!!" ledek Andika, padahal
hatinya kebat-kebit.
Wajah Dewi Ular Hitam memerah.
"Jangan kau pikir kau bisa
mengalahkan aku, Andika!!" serunya geram. Tiba-tiba saja ia menyatukan
telapak tangannya dan menggosoknya
berkali-kali. Terlihatlah asap tebal
yang mengepul dari sana. Lalu serunya,
"Nah, cobalah kau nikmati ajian 'Titik Hitam'-ku ini, yang kupersiapkan untuk
membunuh manusia-manusia keparat
seperti Pendekar Jari Delapan!!"
Menangkap isyarat bahaya, Andika
merangkum ajian 'Guntur Selaksa' salah satu ajian kebanggaannya dari Lembah
Kutukan. Tetapi sebelumnya ia berkata, "Dewi Ular Hitam.... Lebih baik kau
menyerahkan diri untuk diadili oleh para pendekar kenamaan."
"Hihihi... rupanya Pendekar Slebor pandai melihat gelagat. Kalau kau takut,
mengapa kau masih berada di sini, hah?"
ejek Dewi Ular Hitam.
Mendengar kata-kata itu Andika
mendengus. "Karena wajahmu yang jelek itu masih ada di sini!!" sentaknya.
Dewi Ular Hitam menggereng setinggi
langit. Dengan seruan keras ia menderu dengan ajian 'Titik Hitam'-nya. Andika
tercekat melihatnya. Karena serangan itu bagaikan sebuah pukulan jarak jauh.
Hanya bedanya, kalau pukulan jarak jauh terasa ada angin yang menderu kencang.
Sementara yang dilakukan oleh Dewi Ular Hitam tak terasa apa-apa. Bahkan angin
pun tak ada. Tetapi Andika yakin, serangan yang tak terasa itu justru sangat
berbahaya. Ia pun menghindar!
Duaaarrr! Tiba-tiba saja tanah tandus yang
berjarak dua puluh tombak dari tempat
pertarungan mereka terdengar ledakan.
Debu-debu beterbangan deras.Di tempat
yang terkena ledakan itu menjadi bolong dan di sekitarnya terdapat titik-titik
hitam berbentuk lingkaran.
Senja semakin menurun.
Sejak tadi yang dipikirkan Andika,
jalan satu-satunya untuk mengatasi
serangan Dewi Ular Hitam hanyalah
menembus serangan sekaligus
pertahanannya. Dan waktuyang tepat
adalah saat Dewi Ular Hitam menyerang.
Begitu ia melihat celah, Pendekar Slebor segera menderu.
Dewi Ular Hitam tak kalah dahsyat
bergerak. Dua benturan hebat terjadi.
Tubuh Andika terpental beberapa tombak dan dari mulut serta hidungnya mengalir
darah segar, sementara Dewi Ular Hitam masih berdiri tegak.
"Gila! Ajian 'Guntur Selaksa' tak mampu berbuat banyak! Bisa konyol!"
desis Andika dalam hati.
Pontang-panting Andika berusaha
menghindari serangan aneh yang dilakukan oleh Dewi Ular Hitam. Setiap kali dia
menghindar, setiap kali pula terdengar suara
ledakan yang menghancurkan
pepohonan. Bulu kuduk Andika meremang
membayangkan betapa dahsyatnya serangan lawan.
"Ku ampuni nyawamu, Pendekar
Slebor! Karena, aku ingin kau melihat
bagaimana si tua keparat itu mampus di tanganku!" Lalu diiringi dengan tawanya


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keras, Dewi Ular Hitam melesat dan lenyap hanya dalam sekejapan mata.
Andika mendesah pendek. Ia mengatur
pernapasannya kembali. la tak akan
berhenti sampai disini. Dari kata-kata Dewi Ular Hitam, dua tokoh muka dunia
persilatan telah tewas di tangannya, itu menandakan kekejamannya yang tak
mustahil akan mengincar lagi kedudukan sebagai orang nomor satu di rimba
persilatan. Lalu ia menghampiri Brajaseta yang
masih pingsan. Pendekar Slebor mendesah panjang melihat luka yang diderita
Brajaseta. "Sangat mengerikan sekali.
Lukanya begitu parah. Bisa kubayangkan betapa tingginya ilmu yang dimiJiki
wanita jelek bau tanah itu. Dewi Ular
Hitam, tak akan kubiarkan kau meraih
cita-cita busukmu itu."
Perlahan, mulailah Andika melakukan
pengobatan pada Brajaseta yang masih
tergolek pingsan.
* * * 4 Pagi mulai merayap sejak ayam jantan
hutan berkokok panjang. Sinar matahari memberikan penerangan yang benar-benar
nyaman. Di saat matahari sepenggalah,
rasanya orang ingin berlama-lama berada di bawah sinarnya. Tetapi bila sudah
seubun-ubun, orang-orang merasa lebih
baik menghindari-nya.
Sosok Brajaseta yang pingsan, mulai
bergerak. Sejenak dirasakan sekujur
tubuhnya linu. Dicobanya untuk membuka mata. Tetapi langsung dikatupkan kembali
ketika sinar matahari dirasakan
menyengat. Saat membuka matanya tadi,
masih sempat dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus sedang
terkantuk-kantuk dengan kedua lutut
ditekuk Otak Brajaseta mulai normal kembali. Dia ber-ikir siapakah gerangan sosok berbaju hijau pupus itu. Lawan
ataukah kawan" Namun tiba-tiba saja dia bangkit dan melancarkan satu serangan
keras ke arah sosok berambut gondrong
itu. Wusss! "Tahan!!" seru Pendekar Slebor yang menangkap desingan maut mengarah padanya
sambil menggerakkan tangannya. Meskipun matanya sudah mengantuk namun naluri
kependekarannya
selalu terjaga.
Serangan yang dilakukan oleh Brajaseta terhalang ketika dikibaskan tangannya,
sementara Brajaseta sendiri merasakan
tangannya bergerar. Dilihatnya
lengannya membiru. Dirasakannya tubuh
semakin linu. Dia sempoyongan.
Andika dengan cepat menyambar
tubuhnya. "Orang gagah, kau masih luka parah. Jangan terlalu banyak bergerak,"
katanya pelan. Brajaseta mendesah. Bila melihat
sikap pemuda ini, jelas sekali kalau dia tidak bermaksud jahat. Karena bila
pemuda berbaju hijau pupus ini orang
jahat, maka dengan mudahnya ia bisa
dihabisi. Justru sekarang yang dilihat dan didengarnya adalah sikap yang baik,
sopan, dan penuh persahabatan.
Diturutinya saja ketika pemuda itu
mendudukkannya bersandar di sebatang
pohon. Dia maklum, meskipun usianya tak jauh berbeda dengan pemuda yang memiliki
mata setajam elang ini, namun ilmu yang dimilikinya jauh berada di bawah si
pemuda. "Maafkan aku...," desisnya pelan.
"Ini hanya salah paham saja." Andika tersenyum. Tetapi dalam hatinya
menggerutu, enak saja main serang
begitu! Ia melihat laki-laki itu
tiba-tiba celinguk-an. "Kalau yang kau cari adalah mayat tiga orang itu, sudah
kukuburkan."
Brajaseta menarik napas panjang.
Kelu ia menundukkan kepala. Kepedihan
begitu terasa. Tetapi, sebagai seorang ksatria, Brajaseta tak mau terlalu lama
larut dalam kesedihannya.
"Orang muda... siapakah kau
adanya?" tanyanya pelan sambil
memejamkan mata. Bukan karena menahan
rasa linu kembali, melainkan lebih
banyak menutupi rasa malu pada dirinya sendiri. Amanat gurunya belum
disampaikan, namun ia telah
dipercundangi dengan mudah oleh Dewi
Ular Hitam. Ini sungguh menyakitkan!
"Namaku Andika...."
"Bolehkah aku mengetahui
julukanmu?"
Andika cengar-cengir sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Wah, kalau itu tidak usah saja,"
seringainya jelek. "Tetapi, kalau kau memaksa ya sudah. Orang-orang rimba
persilatan menjulukiku Pendekar Slebor.
Padahal aku tidak slebor Iho...," kata Andika sambil tertawa. Justru ia
menunjukkan sifat kesleborannya!
Bah! Mendengar julukan itu, Brajaseta
tersentak. Serius lelaki itu menatap
Andika. Masih lekat pandangannya pada
Andika, ia berkata, agak bergetar,
"Rupanya.... Pendekar Slebor yang menolongku dan menguburkan tiga temanku yang
telah menjadi mayat. Agak
terhormat, meskipun peristiwa
mengerikan telah menghampar."
"Aku cuma kebetulan lewat, dan
kebetulan pula, aku memang sedang
mencari wanita kejam yang berjuluk Dewi Ular Hitam."
"Mengapa kau mencarinya?"
"Tak sengaja aku bertemu dengan
Pendekar Jari Delapan. Darinyalah aku
mengetahui tentang kembalinya Dewi Ular Hitam di rimba persilatan ini...."
"Oh, Tuhan.... Pendekar Jari
Delapan?" "Kau mengenalnya?"
"Kemunculanku di sini, untuk
menunaikan amanat guruku, tentang
kedatangan Dewi Ular Hitam yang hendak kusampaikan pada Pendekar Jari Delapan."
"Siapa gurumu?"
"Beliau berjuluk Manusia Muka
Putih." Andika mendesah.
"Maaf... aku turut berbelasungkawa atas...."
"Pendekar Slebor... guruku belum
tewas, meskipun sewaktu kutemui ia
sedang sakarat."
Mata Andika lebih terbuka.
"Benarkah yang kau katakan itu?" *
Brajaseta menganggukkan kepala.
"Kini Guru mengasingkan diri di
Pesanggrahan Putih. Sebuah tempat
rahasia di mana Guru pernah melatihku."
Desahan napas Andika terdengar
lebih lega, "Berarti, hanya Dewa Muka Singa yang telah tewas. Dari kata-kata
Dewi Ular Hitam, manusia keparat itu
menyangka Manusia Muka Putih telah
tewas. Ku akui, kesaktian wanita itu
sangat tinggi. Tadi aku sempat bentrok dengannya!"
Brajaseta mengangguk-anggukkan
kepala. Didengarnya lagi suara Andika,
"Brajaseta, apakah kau sudah merasa kuat untuk berjalan?"
Brajaseta menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, jaga dirimu
baik-baik. Aku harus segera menyusul
Dewi Ular Hitam sebelum dia menurunkan tangan telengasnya lagi. O ya, amanat
gurumu, secara tidak langsung sudah sampai di telinga Pendekar Jari Delapan.
Karena, beliau menyuruhku untuk
menyampaikan berita tentang munculnya
Dewi Ular Hitam pada gurumu."
"Andika... aku juga mempunyai
kepentingan yang sama denganmu. Bisakah aku ikut denganmu?"
Andika cuma tersenyum.
"Kalau kau tak merepotkanku, aku
bersedia."
Brajaseta bangkit perlahan-lahan,
"Aku berjanji tidak akan menyulitkanmu."
"Bila kau justru menyulitkanku,
kusepak pantat mu."
Brajaseta cuma tersenyum tipis
mendengar ancaman yang diserukan oleh
Pendekar Slebor sambil terbahak-bahak.
*** Tiga orang penunggang kuda yang
memakai pakaian ala orang-orang keraton itu menghentikan laju kudanya. Tiga
pasang mata menatap tanah tandus di
hadapan mereka. Masing-masing
mengenakan blangkon berlurik dengan
sebuah keris di pinggang. Pada kala itu, mereka dikenal dengan julukan Tiga
Pangeran dari Selatan. Karena, mereka selalu mengenakan pakaian ala pangeran
dari sebuah keraton.
Bila melihat sekilas, wajah
ketiganya nampak mirip satu sama lain.
Mereka adalah kakak beradik yang cukup disegani di daerah selatan.
"Kakang Naga Wulung, di mana lagi kita harus mencari Dewi Ular Hitam yang telah
membuat onar dan mengatakan
dirinya adalah orang nomor satu dirimba persilatan ini?" tanya salah seorang
yang menunggang kuda berwarna coklat.
Naga Wulung yang menunggang kuda
berwarna putih terdiam. Lalu katanya,
"Sulit menentukan di mana wanita iblis itu berada. Tetapi, kita harus mencari
wanita keparat itu! Tak akan kubiarkan ia menguasai rimba persilatan ini selama
Tiga Pangeran dari Selatan masih hidup!"
Kembali ketiganya terdiam. Mata
mereka silau menatap luasnya tanah
tandus, panas, dan menebarkan udara
melesak ke tulang.
"Lebih baik kita beristirahat saja dulu!" usul Harimau Wulung yang
menunggang kuda hitam.
Usulnya itu disetujui, ketiganya
segera menggebrak kuda, memasuki hutan yang tak jauh dari sana. Panas yang
menyengat tak terlalu menggila lagi. Ketiganya duduk beristirahat sementara
kuda-kuda mereka asyik makan rumput yang banyak tumbuh di sana.
"Kakang Naga Wulung... apakah kau masih ingat peristiwa tiga puluh tahun yang
lalu itu?" tanya Elang Wulung.
"Ya, meskipun kita hanya mendengar ceritanya saja, karena saat itu kita
masih kecil. Hhh! Mudah-mudahan Tiga
Penghulu Kebenaran masih hidup dan bisa bersatu kembali untuk menghabisi nyawa
wanita busuk itu! Akan tetapi, kita tak perlu menunggu kehadiran mereka! Karena,
Dewi Ular Hitam akan mampus di tangan
kita!" Sehabis berkata begitu, Naga Wulung
tiba-tiba melompat dari duduknya, ketika dirasakan angin panas menderu dahsyat
ke arahnya, dengan seruan tertahan. Begitu ia hinggap di tanah, dilihatnya
tempat yang didudukinya tadi hangus seketika.
"Keparat! Keluar kau!!" bentaknya sementara Elang Wulung dan Harimau
Wulung bersiap pula.
"Tidak sabaran benar rupanya! Baik, baik aku akan keluar!!" terdengar suara itu
diiringi suara dengusan.
Tiga Pangeran dari Selatan memicing
mata melihat satu sosok tinggi besar
melangkah dengan santainya. Di mulutnya terdapat sebuah pipa yang sangat besar
Asap yang keluar dari sana mengeluarkan bau busuk yang menyengat dan tak
mengenakan penciuman.
Wajah sosok tinggi besar itu cukup
menyeramkan. Rambut kepalanya hanya
sejumput saja. Terletak di tengah dan
dikuncir ekor kuda. Selebihnya botak.
Mulut dan hidungnya besar.
Tiga Pangeran dari Selatan tahu
siapa yang hadir di sini.
"Sindung Ludiro, atau yang dikenal dengan julukan Setan Asap Batu Karang!
Hhhh! Kupikir kau sudah mampus di tangan Pendekar Jari Delapan, lima belas tahun
yang lalu!!" seru Naga Wulung.
"Ha! Kau benar itu! Aku memang
hendak mampus dibuatnya! Tetapi...
hehehe... buktinya aku masih hidup,
bukan" Memang kurang ajar sekali
Pendekar Jari Delapan! Dipikirnya dia saja yang benar! Hhhh! Hei, kenapa kalian
tidak segera menyerah atau membunuh diri saja! Kudengar tadi kalian
menyebut-nyebut sahabatku Dewi Ular
Hitam! Sebentar lagi ia akan menguasai rimba persilatan ini! Menyenangkan
sekali mendengar keberhasilan seorang
sahabat yang hendak memenuhi ambisinya!"
Mendengar kata-kata yang bernada
merendahkan itu, Elang Wulung dan
Harimau Wulung dengan serentak segera
menyerbu seraya meloloskan kerisnya.
Setan Asap Batu Karang cuma tertawa-tawa saja. Dan secara tiba-tiba ia menyedot
pipinya dalam-dalam, dalam detik
berikutnya, dihembuskan kuat-kuat
kepada Harimau Wulung dan Naga Wulung.
Asap warna putih yang
mengepul-ngepul itu menerpa keduanya
yang langsung terpental ke belakang.
"Kalian sia-sia menghadapiku! Cepat kalian membunuh diri! Biarkan sahabatku
melakukan keinginannya!!"
Harimau Wulung dan Naga Wulung
benar-benar tak menyangka kalau hanya
Pohon Kramat 7 Gento Guyon 17 Setan Sableng Kaki Tiga Menjangan 31
^