Pencarian

Dewi Ular Hitam 2

Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam Bagian 2


dengan asap saja tubuh mereka bisa
terpental ke belakang. Serentak mereka bangkit, menghimpun seluruh kekuatan,
dan kembali menderu.
Namun lagi-lagi dengan asap yang
dihembuskan oleh Setan Asap Batu Karang, keduanya kembali terpental. Bahkan kali
ini harus terguling-guling dengan dada yang terasa nyeri.
Melihat hal itu, Naga Wulung
melompat ke depan. Lalu dengan gerengan keras ia membentak,
"Nama besar Setan Asap Batu Karang sudah lama kudengar! Aku ingin melihat
kehebatanmu! Harimau dan Elang Wulung!
Susun pormasi 'Tiga Pangeran Menguasai Gunung'!"
Yang dipanggil tadi, masih menahan
sakit, serentak melompat ke sisi kanan dan kiri Naga Wulung. Lalu keduanya
membuka jurus masing-masing. Sementara Naga Wulung menyilangkan tangan di
de-pan dada. Satu kekuatan dipadukan.
"Permainan apa lagi yang kalian
perlihatkan?" seru Setan Asap Batu Karang sambil tertawa-tawa.
"Jangan banyak bacot! Ucapkan salam terakhirmu untuk Dewi Ular Hitam, karena
ajal sudah tiba di hadapanmu!! Heaaaat"
seru Naga Wulung keras dan bentakan itu merupakan sebuah komando tanda
penyerangan segera dimulai.
Tiga sosok tubuh berkelebat
sekaligus, sementara lawan masih
tenang-tenang saja di tempatnya. Ketika tubuh Tiga Pangeran dari Selatan itu
hampir mendekat, tiba-tiba saja orang
tua kerdil berkepala botak, mencabut
pipa besar yang masih mengepulkan asap di mulutnya. Lalu mengebut-ngebutnya
hingga asap busuk yang keluar semakin
menguar keras. Anehnya, asap itu membentuk kepalan
tangan raksasa yang bergerak ke arah Tiga Pangeran dari Selatan, cepat, dahsyat
sekaligus mengerikan.
Terkejut ketiganya membuang tubuh.
Satu gerakan salto ke belakang yang
dilakukan oleh Naga Wulung dan ke kanan kiri dilakukan Harimau dan Elang Wulung.
Masih merupakan rangkaian dari jurus
'Tiga Pengeran Menguasai Gunung'.
Bersamaan dengan itu, melalui pencalan satu kaki, ketiganya siap mengirimkan
serangan balasan.
Kepalan tangan raksasa dari asap itu
menderu, menggemuruh dan merentang
dengan kibasan hebat.
Des! Des! Des! Luar biasa! Tubuh'Tiga Pangeran
dari Selatan yang sedang melakukan
gempuran, terpental secara bersamaan.
Hantaman kepalan tinju yang tercipta
dari asap, benar-benar luar biasa.
Menyusul kibasan dikawal angin bak topan prahara. Ketiganya memang berhasil
meloloskan diri, tetapi akibatnya lain bagi pohon-pohon yang tumbuh di sana.
Pohon-pohon itu bagai dicabut paksa dan terpental sejauh sepuluh tombak.
"Hehehe... kalian yang masih bau kencur begini mau menghalangi keinginan
sahabatku" Sayang sekali! Kalian tak
pernah tahu betapa tingginya langit!"
"Manusia anjing!"
"Menghadapiku saja kalian tidak
mampu, bagaimana mungkin bisa
mengalahkan Dewi Ular Hitam?" ejekan itu makin menyusup di telinga Tiga Pangeran
dari Selatan. Wajah mereka seketika
memerah, meskipun mereka membenarkan
kata-kata lawan.
"Jangan kau anggap karena kau
berhasil menjatuhkan kami sekarang ini, kau sudah merasa besar hati!" bentak
Naga Wulung. "Kau belum melihat kelihaian kami berikutnya!"
"Manusia-manusia besar mulut!
Mencabut nyawa kalian semudah
membalikkan telapak tanganku!
Menyingkir dari tempat ini sekarang
juga! Urungkan niat kalian untuk mencari sahabatku! Biarkan ia melakukan apa
yang diinginkannya. Kalian tak perlu ikut
campur karena kalian hanya membuang
nyawa percuma! Nyawa kalian kuampuni
saat ini, dengan maksud, agar kalian bisa berpikir dengan jernih! Ikut bergabung
denganku, atau kalian akan mampus dengan cara yang sangat mengerikan! Ini
peringatan pertama dan terakhir dariku!"
Dikawal tawa yang keras, Setan Asap
Batu Karang berkelebat meninggalkan
tempat itu. Tinggal Tiga Pangeran dari Selatan itu menggeram marah.
"Keparat! Ke mana pun kau pergi akan kami cari!!" seru Naga Wulung geram. Ia
melompat ke kudanya. Namun sejurus
kemudian ia memaki-maki penuh kegeraman, karena kudanya tak bergerak sama
sekali. "Kakang... waktu kita sangat mepet!
Setan Asap Batu Karang pasti sedang
mengarah pada Dewi Ular Hitam!" seru Harimau Wulung.
Naga Wulung cuma mendengus saja. Ia
berusaha mencari di urat mana kudanya
ditotok. Setelah ditemukan, dikerahkan tenaga dalamnya, ia berhasil membebaskan
totokan pada kudanya.
Harimau Wulung dan Naga Wulung pun
berbuat yang sama. Setelah itu ketiganya melompat ke kuda masing-masing.
Menggebrak, dengan kemarahan
menjadi-jadi. * * * 5 Andika mendesah panjang sambil
merebahkan tubuhnya di rerumputan. Di
sekelilingnya, berdiri pohon-pohon
besar. Diliriknya Brajaseta yang sudah terlelap. Lelaki itu lebih cepat tidur
karena tenaganya belum pulih benar.
Malam semakin merambat. Hewan malam
unjuk gigi, bersuara nyaring,
bersahutan. Masih dipikirkan tentang kejadian
yang dialami. Begitu banyak manusia yang tak pernah puas dengan dirinya sendiri.
Banyak yang tak menyadari, betapa di atas langit masih ada langit. Seperti
halnya Dewi Ular Hitam yang termakan dendam tiga puluh tahun lalu, dan bercita-
cita menguasai rimba persilatan dengan
menurunkan tangan telengas.
"Kesaktian Dewi Ular Hitam ternyata lebih dahsyat dari yang diceritakan oleh
Pendekar Jari Delapan," desisnya pelan.
"Aku tak boleh membuang waktu. Sebaiknya kubangunkan saja Brajaseta sekarang
untuk melanjutkan perjalanan mencari
wanita keparat itu" Atau... kutinggal
saja dia di sini?"
Belum lagi Andika memutuskan,
didengarnya suara berkelebat cepat.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu langsung berdiri sigap.
Memperhatikan sekelilingnya. Malam
semakin membentang. Rembulan tersaput
awan hitam. Di kejauhan berjajar
bukit-bukit bagaikan raksasa yang tengah tertidur.
"Manusia iseng mana yang keluyuran seperti hantu malam"!" dengusnya.
Tiba-tiba pendengaran Andika yang
terlatih menangkap tiga buah desingan
halus ke arahnya. Pemuda pewaris ilmu
Lembah Kutukan itu mendengus keras
sambil melenting menghindari serangan
gelap. Begitu hinggap kembali di tanah, ia mendengus ketika melihat apa yang
menyerangnya tadi. Tiga lembar daun!
Seketika rasa kesal menjalari hatinya,
"Kurang ajar! Manusia pengecut yang takpunya nyali! Keluar kau biar
kupatah-patahkan seluruh
tulang-belulang tubuhmu!!"
Hening. Andika melompat ke sebuah
pohon. Dari atas dipicingkan matanya.
"Manusia ini pasti berilmu tinggi. Aku tak bisa menduga di mana ia bersembunyi."
Ia membentak, "Hoi! Manusia setan! Ini aku! Kalau kau jantan atau betina, muncul di
hadapanku!!"
Sebagai jawaban atas bentakan
Pendekar Slebor, suatu benda berwarna
kuning keemasan melesat ke arahnya dari sebelah kiri.
*** "Kodok bau! Buaya mabuk!" Andika cepat melompat sambil memaki-maki.
Sreeett! Prak!! Benda yang melayang menancap tepat
di dahan di mana Andika berdiri tadi.
Sebuah pisau. Hebatnya, pisau berwarna keemasan itu langsung meluncur deras
setelah menembus dahan yang dipijak
Andika, menandakan tenaga dalam yang
dimiliki si pelempar gelap sangat
tinggi. "Gila! Kutu busuk mana yang sedang memamerkan tenaga dalamnya!" dengus Andika
lagi. Rasa, jengkel karena
dipermainkan seperti itu, membuatnya
membentak kembali, "Pembokong busuk! Apa kau memang hanya seorang pengecut yang
tak berani memperlihatkan diri"!!"
Baru saja Andika berteriak begitu,
tiba-tiba saja....
Srrrtt! Srrrtt! Dua buah pisau berwarna keemasan
kembali melesat dalam gelapnya malam,
dan kembali menembus dahan di mana Andika berdiri tadi Dan hampir saja lesatan
pisau yang kedua memakan kaki Andika.
Meskipun penasaran dengan orang
yang membokong, tak urung Andika menjadi meremang pula bulu kuduknya. Jelas yang
melakukan serangan itu bukanlah orang
sembarangan. Meskipun ia dapat menangkap desiran angin ketika pisau-pisau itu
melesat, namun sulit baginya untuk
menentukan dari mana arah datangnya
pisau-pisau keemasan itu.
Tiba-tiba saja pisau-pisau berwarna
keemasan itu menderu lagi ke arahnya.
Kali ini tidak tanggung, sebanyak
sepuluh buah. Sambil menggertakkan
giginya, Andika melompat ke kanan dan ke kiri menghindari serbuan pisau-pisau
tajam itu. Andika jengkel. Masih melayang di
udara Andika membuat gerakan jungkir
balik. Kedua tangannya segera dikibaskan dan keluarlah desiran angin yang sangat
deras. Menghantam pisau-pisau itu.
"Manusia setan itu rupanya benar-benar menginginkan nyawaku. Sialan! Siapa
sebenarnya dia" Kaki tangan Dewi Ular
Hitam, ataukah Dewi Ular Hitam sendiri"
Tetapi, mengapa dia mempergunakan
pisau-pisau emas ini?"
Tiba-tiba saja Andika kembali
mengibaskan tangannya ke kanan dan ke
kiri. Desiran angin bak topan
menderu-deru, menghantam beberapa
tempat. Perbuatannya membangunkan
Brajaseta yang menjadi bersiaga dan
melihat Andika seperti mengamuk, apalagi menyadari tak ada yang keluar dari
sana. "Kutu kupret! Di mana manusia
slompret ini bersembunyi?" bentak Andika keras sambil melompat ke tanah.
Pikirnya, bila ia berada di bawah, ini akan lebih memudahkan baginya untuk
menghindari setiap serangan gelap yang datang.
Begitu kakinya hinggap di tanah,
tiga buah pisau keemasan itu meluncur
deras dari atas. Menuju ke ubun-ubunnya.
Kembali Pendekar Slebor membuat gerakan jungkir balik, disambarnya tiga buah
kerikil, dan dilemparnya dengan
kecepatan dan kekuatan tinggi.
Prak! Prak! Prak!
Tiga pisau yang meluncur itu patah
terhantam luncuran kerikil yang dilempar Andika. Namun tidak sampai di sana saja
keterkejutan Andika, karena tiba-tiba
saja sebuah pisau meluncur ke arahnya.
"Kutu monyet! Anjing gila! Orang
udik!" makinya
"Benar-benar bisa mati kutu aku!!
Tidak boleh dibiarkan!" makinya dan membuat gerakan yang menakjubkan.
Disongsongnya pisau yang menderu ke
arahnya. Namun anehnya, begitu tangan
Andika siap menangkap, tiba-tiba saja pisau-pisau itu bagai memiliki mata.
Berkelit. "Busyet! Pamer tenaga dalam di depanku!!" makinya dan menambah emposan
tubuhnya untuk mencoba kembali menangkap pisau yang melayang-layang itu
mengancam beberapa bagian tubuhnya.
Tetapi pisau itu tetap tak bisa
ditangkap. Selagi Andika menggeram hebat dengan kemarahan tinggi, tiba-tiba saja
pisau itu jatuh bagaikan tak bertenaga.
Dengan jengkel Andika mengangkat
sebelah kakinya untuk menginjak hancur pisau yang tergeletak di tanah. Tetapi ia
urung untuk melakukannya ketika
terdengar suara, "Kuakui kau memiliki ilmu yang tinggi, Pendekar Slebor!
Tetapi untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam yang kini dibantu oleh Setan Asap Batu
Karang, kau akan menjadi bulan-bulanan mereka!"
Suara perempuan. "Hei, Kuntilanak Kesiangan! Kenapa kau memberitahukan
soal itu, hah" Ini urusanku! Urus saja dirimu sendiri!" bentaknya sambil
memasang mata dan telinganya untuk
mengetahui dari mana suara itu berasal.
Namun suara itu berpindah-pindah.
"Kusarankan kepadamu, untuk tidak bertindak gegabah! Karena, saat ini Dewi Ular
Hitam dan Setan Asap Batu Karang, sedang melakukan tindakan ke-kerasan di dusun
sebelah barat!"
"Kalau kau memang orang dari
golongan lurus, mengapa kau
meninggalkannya, hah" Mengapa kau tak
menghentikan mereka?" bentak Andika dan berusaha mencari tahu di mana manusia
itu berada. "Bodoh! Aku pun tak sanggup untuk mengalahkan keduanya! Makanya, aku
datang untuk meminta bantuanmu?"


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan cara membokongku seperti
itu, hah?"
"Aku harus mengetahui kehebatan
orang yang ingin kuminta bantuannya."
"Bantuan apa yang kau maksud" Untuk menciummu?" seloroh Andika.
"Pemuda kurang ajar! Kutampar
mencong mulutmu!"
"Belum tentu aku mau menciummu! Kau selalu bersembunyi, apakah wajahmu
buruk, hah?" balas Andika yang memancing ingin tahunya supaya orang di balik
kegelapan itu menampakkan diri. Sadar
Andika sekarang, kalau sejak tadi
pisau-pisau emas itu mengarah padanya.
Tak satu pun yang mengarah pada
Brajaseta. Kemungkinannya, jelas yang
datang itu bukanlah orang yang
menghendaki nyawanya, tetapi ingin
melihat kepandaiannya. "Aku yakin, wajahmu tak lebih dari kucing yang sedang
buang hajat! Rugi kalau memang kau
ternyata memintaku untuk menciummu!"
"Dengar kata-kataku! Bila kita
bersatu, lebih mudah kita mengalahkan
Dewi Ular Hitam dan Setan Asap Batu
Karang. Kau ingat, bukan" Pendekar Jari Delapan harus bahu membahu dengan Dewa
Muka Singa dan Manusia Muka Putih tiga puluh tahun lalu."
"Mana sudi aku bahu membahu dengan orang jelek sepertimu!" seru Andika yang
mengulur waktu untuk mengetahui siapa
orang yang berada dalam kegelapan.
"Kau tak akan mampu mengalahkan
mereka!" "Persetan dengan saranmu!" Lalu Andika melangkah acuh tak acuh.
Brajaseta masih berdiri tegang dengan
kedua mata yang masih agak mengantuk.
Tiba-tiba melesat tiga buah pisau
keemasan bagai lesatan meteor ke arah
Andika. Dalam sekali tangkap, telinga
Andika bisa mendengar desingan itu. Ia berbalik dan dikibaskan tangannya.
Tenaga 'inti petir' tingkat kesepuiuh
menderu dan mematahkan pisau-pisau yang menderu ke arahnya itu.
"Pemuda sok tahu! Apakah kau tak
pernah mendengar kata-kata orang lain?"
"Dan apakah aku harus menerima saran konyolmu itu yang disampaikan dengan
cara busuk seperti itu?" balas Andika jengkel dan masih mereka-reka di mana
gadis itu berada.
"Sudah kukatakan tadi, aku harus
melihat kehebatan orang yang hendak
kuminta bantuan!"
"Cari saja yang lain!"
"Kesombonganmu, akan kau bayar
mahal, Pendekar Slebor!"
"Mau mahal kek, murah kek, aku tak peduli! Malah aku yakin, justru wajahmu yang
obralan!" "Konyol!" Dua buah pisau emas berkelebat deras ke arah Andika yang
lagi-lagi dengan lincahnya menghindar
dan menyepak dua pisau emas itu dengan kaki kanannya hingga tembus ke batang
pohon. "Monyet pitak! Siapa sih kau ini"
Kau bisa membunuhku dengan
lemparan-lemparan sialanmu ini!"
"Ingat pesanku itu!"
"Hei, siapa kau adanya?"
"Panggil aku dengan sebutan
Bidadari Pisau Emas!" Selebihnya sunyi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya
tak mengerti. "Siapa gadis ilu
sebenarnya" Cara ia melem-par
pisau-pisau emasnya sangat terlatih
sekali. Hmm, Bidadari Pisau Emas... baru kali ini kudengar julukan seperti itu."
Brajaseta mengham pirinya.
"Siapa dia, Andika?" tanyanya yang agak tegang tadi.
"Aku tidak tahu. Dan kalau kau tidak tuli, pasti kau mendengar julukannya."
Brajaseta mendengus mendengar
kata-kata Andika.
"Lalu apa yang akan kita lakukan
sekarang, Andika?" tanyanya, biar bagaimanapun sikap Andika padanya,
Brajaseta tetap menghormatinya.
Andika terdiam sesaat. "Wanita yang mengaku berjuluk Bidadari Pisau Emas
mengatakan, kalau Dewi Ular Hitam telah bergabung dengan kambratnya yang
berjuluk Setan Asap Batu Karang kekuatan yang mereka miliki semakin bertambah
dahsyat! Aku pernah pula mendengar
julukan Setan Asap Batu Karang yang
berasal dari Bukit Batu Karang! Orang
kejam dari golongan hitam!"
"Lalu?"
"Kita tinggalkan tempat ini! Kita menuju ke barat!"
*** Udara berhembus, menyeret senja
yang mulai datang, agak dingin. Sang
surya mulai mengalah menghadapi Raja
Waktu. Siap masuk ke peraduan dan
digantikan Dewi Malam.
Pendekar Jari Delapan tiba di sebuah
tempat yang cukup sunyi. Tempat itu tak banyak ditumbuhi pohon-pohon besar,
namun ilalang yang tumbuh di sana cukup lebat.
Belum lagi diteruskan langkah,
tiba-tiba terdengar derap langkah kuda dan berhenti di depannya. Salah seorang
dari penunggang kuda itu langsung
melompat dan bergerak bagai menyembah.
"Salam untuk, Pendekar Jari
Delapan...."
"Aha, Tiga Pangeran dari Selatan
nampaknya. Bagaimana kabar Mamak Ajengan Surya Purnama?" sahut Pendekar Jari
Delapan setelah mengenali ketiganya,
sementara Harimau Wulung dan Elang Wu-
lung pun melakukan sembah yang dilakukan oleh Naga Wulung.
"Beliau selalu sehat, Ki, meskipun dua tahun yang lalu kami menyambangi Guru di
Goa Maut."
"Bila kalian datang, sampaikan
salam hormatku padanya."
"Kami akan melakukannya, Ki."
"Sudahlah, bersikaplah seperti
orang biasa. Tak perlu melakukan sembah seperti itu, Naga Wulung."
Tiga Pangeran dari Selatan yang
sedang mengejar ke mana perginya Setan Asap Batu Karang mengubah sikap mereka.
Naga Wulung menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar cerita itu, Pendekar
Jari Delapan cuma mengangkat bahunya
saja. "Keadaan bisa bertambah kacau bila keduanya sudah bersatu. Hhh! Semakin
sulit untuk mengalahkan Dewi Ular
Hitam." "Kami pun menduga seperti itu, Ki,"
kata Naga Wulung.
"Aku sudah tua," tahu-tahu Pendekar Jari Delapan berkata begitu. "Usiaku makin
menggerogoti jasadku. Rupanya,
ketenangan yang kuinginkan tak pernah
bisa kudapatkan. Urusan duniawi rupanya masih harus kujajaki."
"Hendak ke manakah kau sebenarnya, Ki?"
"Sudah tentu hendak mencari Dewi
Ular Hitam! Wanita keparat itu pasti akan semakin mengacau di rimba persilatan,
Sebaiknya, kita berpisah di sini."
Sebelum Tiga Pangeran dari Selatan
ada yang menyahut, tubuh Pendekar Jari Delapan sudah menghilang dari pandangan
mereka. Ketiganya mendesah melihat
kehebatan dan ketinggian ilmu yang
diperlihatkan oleh Pendekar Jari
Delapan. Ketiganya segera menggebrak
kuda masing-masingdan meneruskan
perjalanan untuk mencari Setan Asap Batu Karang, yang mereka duga akan membawa
mereka pada Dewi Ular Hitam.
Tiga jam kemudian, Pendekar Jari
Delapan tiba di sebuah tempat yang cukup tandus. Saat ini senja sudah mulai
menurun, namun suasana di tempat itu
masih panas menyengat. Mata tuanya
memandang kejauhan. Alam sangat Suas
sekali. Perjalanan waktu usia seorang
manusia tak akan mampu menjelajahi alam semesta.
Tiba-tiba saja ia melompat ketika
menyadari satu dorongan angin dingin
menderu ke arahnya.
"Datang tak permisi, langsung
menyerang tindakan pengecut. Namun diri tetap berisi, tak pantang menjadi
kecut!" seru Pendekar Jari Delapan.
Dua sosok tubuh tiba-tiba saja sudah
berada di madapannya. Keduanya bertubuh tambun dengan baju warna merah yang tak
sanggup menutupi perut mereka. Kepala
keduanya lonjong, dengan rambut sedikit, ditengah. Di tangan mereka terdapat
senjata berbentuk lingkaran bergerigi.
"Orang tua kerempeng yang sudah bau kuburan, hebat sekali lompatan yang kau
perlihatkan tadi!" seru salah seorang sambil tertavva. Wajah keduanya serupa
sekali. "Hanya sedikit yang kuperlihatkan,"
sahut Pendekar Jari Delapan sambil
tersenyum. Wajah yang berbicara tadi memerah
karena bagai ditembak oleh kata-kata Ki Abdi Kartwa. "Aku tak suka basa-basi!
Apakah kau mengetahui di mana seorang
pemuda urakan yang berjuluk Pendekar
Slebor?" "Aku telah sering mendengar nama
pemuda gagah yang menjadi momok bagi
orang-orang golongan hitam! Mengapa
kalian mencarinya?"
"Pendekar Slebor harus mampus!"
"Luar biasa! Kata-kata itu sangat menyengat sekali! Hanya sayangnya,
diucapkan tidak dihadapan Pendekar
Slebor sendiri! Apakah keberanian kalian hanya berada di belakangnya?"
"Setan tua keparat! Kau tak tahu berhadapan dengan siapa"!" Orang itu semakin
sengit sementara yang satu lagi sudah gatal tangannya untuk menghajar
Pendekar Jari Delapan.
"Bila kalian punya nama, mengapa
tidak segera dikatakan" Bukannya
mengancam hanya dengan gelar yang
sebenarnya cuma pepesan kosong!"
"Setan alas! Kusobek mulutmu!!"
Orang itu sudah menerjang dengan
ganasnya. Tubuhnya yang tambun ternyata tak mengurangi kehebatannya saat
menyerang. Begitu ringan sekali, seolah tak merasa terganggu dengan bobot
tubuhnya. Bahkan saat tubuhnya melesat, hawa panas terasa menderu.
Dalam sekali lihat saja, Pendekar
Jari Delapan yakin kalau serangan itu
sangat berbahaya. Ia tidak mau memapaki sebelum mengetahui benar jenis serangan
itu. Maka dengan gerakan yang tak kalah hebatnya, lelaki tua compang-camping itu
membuang tubuhnya ke kiri dan
melancarkan satu tendangan.
Buk! Tendangannya dihalau pukulan yang
cukup hebat. Pendekar Jari Delapan
merasa tangannya bergetar, sementara
lawannya surut tiga tindak. Ketika ia
melihat, tangannya telah membiru.
"Setan! Katakan siapa kau, hah"!"
Pendekar Jari Delapan tersenyum.
"Bukankah tadi kau yang hendak
memperkenalkan diri" Mengapa sekarang
jadi berbalik" Apakah kalian kini
menjadi malu dengan yang kukatakan tadi, kalau julukan yang akan kalian katakan
cuma pepesan kosong belaka?" serunya mengejek diiringi dengan senyum yang tak
putus. Wajah orang itu bertambah memerah.
Lalu ia berkata dengan nada keres,
"Namaku Dojo! Dan ia kakak kembarku yang bernama Mojo! Dan kau akan lari
terkencing-kencing bila mengetahui
julukan kami! Dua Iblis Gerigi Maut!!"
Bukannya ketakutan, Pendekar Jari
Delapan malah terbahak-bahak. "Kau benar, aku jadi terkencing-kencing
karena merasa lucu mendengar julukan
itu! Aku jadi 'takut' mendengarnya!"
"Monyet tua! Kau akan merasakan
akibatnya dari ejekanmu itu! Katakan, di mana Pendekar Slebor berada! Ia harus
mampus karena telah mempermalukan
saudara seperguruan kami, Manusia
Jenggot Merah!!" bentak Dojo dengan mulut yang menggembung. Gembungan itu
terjadi bukan hanya karena ia menjadi
marah melihat sikap Pendekar Jari
Delapan yang mengejeknya, namun karena pipi keduanya yang sebulat bakpau.
Lelaki tua compang-camping itu
terdiam. Manusia Jenggot Merah. Dia
tahu, ketika Pendekar Slebor terdampar di dunia gaib yang disebut Gerbang
Neraka. Dengan sebuah kelicikan, Manusia Jenggot Merah hadir pula di sana untuk
merebut Bunga Neraka. Bahkan, menurut
cerita Pendekar Slebor, Manusia Jenggot Merah telah tewas di sana (Untuk
mengetahui hal itu, silakan baca: "Bunga Neraka").
"Sinting! Justru kalian mencari
penyakit untuk membunuh Pendekar Slebor!
Dengan kemampuan yang seperti kacang
goreng itu, kalian hanya bisa
melaksanakan keinginan kosong!"
"Setan tua keparat! Mampuslah
kau!!" bentak Dojo dan bersama kakak kembarnya ia menyerang Pendekar Jari
Delapan yang masih terbahak-bahak
Serentak kedua laki-laki bertubuh
tambun baju merah, menerjang dengan
serangan serempak Gerakan mereka sungguh sukar dibayangkan bila sebelumnya
melihat tubuh tambun masing-masing.
Tubuh sebesar tong itu bukanlah suatu
hambatan saat masing-masing
memperlihatkan kelincahan mereka.
Bagaikan desingan angin yang datang
berkali-kali. Pendekar Jari Delapan mengeluarkan
suara mendengus. Lalu berkelebat


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi serangan-serangan ganas yang datang. Tubuhnya tiba-tiba menukik
ketika kaki Dojo menyambar dengan mengeluarkan angin yang menggebubu tinggi.
Bersamaan dengan menukiknya tubuh
Pendekar Jari Delapan, tangan kanannya menghantam kaki Dojo yang mengarah pada
perutnya, disusul dengan tendangan kaki kiri dan kanan.
Buk! Buk! Buk! Tendangan yang dilakukan secara
beruntun itu mampir dengan telak di dada Dojo yang terpekik dan terpental ke
belakang. Untuk sesaat dirasakan sakit yang cukup hebat di dadanya, namun
kemarahannya telah membuatnya ia
bangkit. Melihat hal itu, Mojo menggeram
murka dan menyerang membabi-buta dengan senjata lingkaran berbentuk gerigi.
Setiap kali ia melakukannya, angin
dingin menyambar, Bulu kuduk Pendekar
Jari Delapan meremang, apalagi ketika
Dojo membantu dengan gerakan yang tak
kalah cepatnya.
Dua Iblis Gerigi Maut menginginkan
kematian Pendekar Jari Delapan
secepatnya. Terutama serangan yang
dilakukan Dojo yang ingin membalas
tendangan yang dilakukan oleh Pendekar Jari Delapan tadi. Sangat berbahaya dan
datang bertubi-tubi.
Lelaki tua compang-camping itu
mendengus lagi. Gerakan kedua lawan
bagai setan. Dia berkelebat ke sana
kemari mencari sela. Namun
serangan-serangan itu bagai mengurung
setiap langkahnya. Belum lagi ketika
keduanya melemparkan senjata berbentuk gerigi yang bagai bumerang berkelebat
menyambar leher Pendekar Jari Delapan
dengan suara desingan menggidikkan.
Hal ini jadi merepotkan Pendekar
Jari Delapan. Namun tiba-tiba saja ia
mmbentak keras, "Kalian akan menyesali diri berbuat lancang seperti ini!"
Tiba-tiba saja tongkat putihnya
diputar. Sekali putar saja, gemuruh
angin raksasa keluar dan semakin lama
putaran tongkat itu semakin mengencang, semakin kencang pula angin yang terjadi.
Pohon-pohon di sekitar sana tumbang
ilalang beterbangan.
Dua Iblis Gerigi Maut tercekat
melihatnya. Mereka yang semula sudah
menyerang dengan dahsyat dan tak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Jari
Delapan, menjadi melompat mundur dan
berdiri tegak dengan mengalirkan tenaga dalamnya ke dada kalau tidak ingin
diterbangkan oleh angin ciptaan lawan.
Namun dahsyatnya angin yang
ditimbulkan akibat putaran tongkat
Pendekar Jari Delapan, membuatnya
terpental ke belakang dan berdiri tegak dengan tubuh bergetar dan darah mengalir
dari mulut, hidung, dan telinga.
Kedua senjata mereka yang sejak tadi
bagai mempunyai mata, telah menancap ke batang pohon begitu tersambar pusaran
angin yang dilakukan oleh lawan.
Melihat hal itu, Pendekar Jari
Delapan yang masih memutar-mutar
tongkatnya berpikir, lebih baik
meninggalkan mereka. Karena dianggapnya Dewi Ular Hitam lebih berharga daripada
mereka. "Aku tahu, kalau saat ini nyawa
Pendekar Slebor dalam intaian bahaya.
Tetapi, mengapa perasaanku mengatakan
akan terjadi sesuatu di Bukit Lingkar.
Sebaiknya, aku menuju ke sana saja.
Barangkali Dewi Ular Hitam memang sudah mengarah ke sana," desisnya lalu
berkelebat secepat angin meninggalkan
tempat itu. Ketika angin dahsyat itu berhenti,
Dua Iblis Gerigi Maut tercekat ketika tak lagi melihat tubuh Pendekar Jari
Delapan. "Keparat!" maki Mojo. "Tak akan kubiarkan manusia itu hidup!"
"Aku yakin, ia mengenai Pendekar
Slebor! Meskipun kita tak tahu siapa nama atau julukannya, sebaiknya kita
buntuti saja dia! Siapa tahu akan membawa kita pada Pendekar Slebor!!" sahut
Dojo dengan kegeraman yang besar.
Lalu keduanya melesat meninggalkan
tempat itu yang sudah porak-poranda.
* * * 6 Apa yang dikatakan si gadis
misterius yang berjuluk Bidadari Pisau Emas itu memang benar. Ketika Andika dan
Brajaseta tiba di sebuah dusun di lereng Gunung Halimun, keadaan di sana sudah
porak-poranda. Lima sosok tubuh telah
menjadi mayat. Sepi menggigit. Tak ada tanda manusia lain di sana.
Andika mendesah panjang. "Aku
menyesali tindakan Bidadari Pisau Emas yang meninggalkan mereka, meskipun aku
bisa menerima alasannya karena bila ia berada di sini seorang diri, tak mustahil
justru nyawanya yang akan terenggut,"
"Siapa dia sebenarnya?"
"Bego! Mana aku tahu" Kudengar
julukannya saja juga baru sekarang ini!
Kau sendiri kan tahu kalau ia tidak mau menampakkan diri?"
Brajaseta cuma tersenyum saja
dibentak seperti itu. Namun diperlakukan seperti itu pun ia merasa senang saja.
"Apa yang akan kita lakukan
sekarang?"
"Sebaiknya kita kuburkan
mayat-mayat ini. Agar burung-burung
bangkai tak melahap mayat-mayat yang tak berdosa."
Keduanya pun segera menguburkan
mayat-mayat itu. Hanya dalam waktu
singkat, pekerjaan itu pun selesai.
"Benar bukan apa yang kukatakan"
Sebaiknya kita bekerja sama untuk
membasmi Dewi Ular Hitam dan Setan Asap Batu Karang!" suara yang mulai dikenal
Andika itu terdengar kembali, sangat
keras. Dan susah ditentukan dari mana
asalnya. "Siapa sih sebenarnya kau ini"
Julukanmu memang bagus, Bidadari Pisau Emas! Apakah wajahmu secantik bidadari?"
dengus Andika kesal. Ia kesal k-rena
terlambat mengetahui kejadian ini. Dan kekesalannya itu beralih pada Bidadari
Pisau Emas yang sudah mengetahui
kejadian ini namun tidak segera
bertindak. "Terlalu banyak omong! Katakan, kau mau bekerja sama denganku untuk membasmi
monyet-monyet busuk itu atau tidak?"
bentakan itu terdengar lebih keras.
"Para penduduk yang lainnya kini aman di sebuah tempat!"
"Dari ucapanmu yang keren itu, aku menangkap seolah-olah kau memiliki
kesaktian yang tinggi!" bentak Andika dengan mata menyipit. Berusaha menemukan
di mana wanita yang bersuara itu berada.
Namun, sampai sejauh itu ia belum bisa menebaknya. "Tong kosong memang selalu
nyaring bunyinya, bukan" Dueeeng!!"
"Kalau aku merasa seperti itu, tak akan pernah kuminta bantuanmu!"
"Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!"
"Meskipun aku hadir di sini untuk menolong para penduduk dari perbuatan
dajal kedua manusia keparat itu, justru aku hanya menjadi korban di sini! Dan
sudah tentu aku pun tak akan mungkin
menyelamatkan mereka!"
"Dan aku tak terlalu sulit untuk
melempar mayatmu yang pengecut itu
menjadi satu dengan mayat-mayat yang tak berdosa itu!" bentak Pendekar Slebor
yang sudah kesal sekali.
"Kurobek mulutmu!!"
Tiba-tiba saja entah bagaimana cara
melakukannya, tiga buah pisau emas dari arah yang berlainan menderu ke arah
Andika. Desingannya sangat cepat sekali.
Bersamaan dengan itu, Andika melompat ke kiri dan langsung mengibaskan tangannya
dua kali! Dua buah pisau terpental entah ke mana dan yang sebuah lagi langsung
ditangkapnya dengan tangan kirinya!
"Apakah kau merasa lebih hebat
dariku?" bentaknya jengkel dengan mata berkeliling.
"Karena kuketahui kehebatanmu
itulah maka aku minta bantuanmu untuk
menghabisi manusia-manusia keparat itu!
Dan bodohnya, kau tak mau juga mengiyakan kesediaanmu untuk bersama-sama
membasmi kedua manusia terkutuk itu!"
"Aku tak pernah suka bekerja sama dengan orang yang selalu bersembunyi!"
"Akan kuperlihatkan wujudku bila
kau sudah menyetujui usulku!"
"Persetan dengan usulmu itu!"
bentak Andika. Ia mendengar suara
dengusan jengkel namun tak
dipedulikannya. Ia berkata pada
Brajaseta, "Ayo, Brajaseta! Kita
tinggalkan gadis konyol itu!!"
"Tetapi, Andika...." Brajaseta yang merasa lebih baik Andika menerima
tawaran kerja sama itu menjadi
ragu-ragu. "Kenapa kau, hah?" bentak Andika keras. "Apakah kau sudah melupakan janjimu
untuk tidak menyulitkan aku"!
Atau kau memang ingin kusepak pantatmu, hah"!"
"Bukan itu maksudku, tetapi...."
"Keparat!" Andika sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan cepatnya.
Brajaseta memanggilnya, namun
sosoknya telah lenyap. Ia merasa tidak enak sekarang. Di satu segi, ia ingat
akan janjinya pada Andika untuk tidak
menyulitkan pendekar pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu. Namun di
segi lain, diharapkannya Andika menerima tawaran kerja sama dari gadis misterius
yang berjuluk Bidadari Pisau Emas.
Lalu ia berkata, "Bidadari Pisau
Emas! Siapa pun adanya kau ini, aku yakin kau adalah orang baik-baik! Aku
bersedia bekerja sama denganmu!"
Terdengar suara dengusan yang sukar
sekali di-tebak dari mana asalnya.
"Yang kubutuhkan adalah tenaga
Pendekar Slebor! Bukan tenagamu!"
Brajaseta menggeram pelan. "Aku pun mempunyai urusan pada wanita iblisyang
berjuluk Dewi Ular Hitam! Ia telah
melukai guruku!"
"Siapa gurumu?"
"Manusia Muka Putih!"
Terdengar suara tertahan. "Katakan, siapa gurumu itu?"
Brajaseta mengulanginya, kali ini
dengan agak keheranan mendengar suara
tertahan Bidadari Pisau Emas yang tidak diketahui berada di mana.
"Manusia Muka Putih!"
"Pemuda sinting! Berani-beraninya kau mengakui Manusia Muka Putih adalah
gurumu!" "Itulah yang sebenarnya!" balas Brajaseta yang mulai jengkel. Ia
membenarkan sikap Andika yang menolak
bekerja sama dengan gadis yang menjuluki dirinya Bidadari Pisau Emas. "Mengapa
kau berkata begitu, hah?"
"Manusia Muka Putih adalah sahabat guruku! Dan gurukulah yang menyuruhku
untuk menghentikan sepak terjang laknat wanita iblis yang berjuluk Dewi Ular
Hitam! Karena, Guru tahu akan peristiwa tiga puluh tahun yang lalu!"
"Siapakah gurumu itu?"
"Mulut kurang ajar yang tak tahu
sopan santun! Begitu enaknya kau
bertanya dengan nada mere-dahkan!"
Brajaseta yang menjadi jengkel
dengan seruan-seruan Bidadari Pisau Emas yang selalu diiringi makian, mencoba
tak mempedulikan bentakannya itu.
"Kalau begitu, kita pun bersahabat!
Dan kita bisa bekerja sama, bukan?"'
Tak terdengar sahutan untuk
beberapa saat. "Apakah kau mendadak jadi tuli?"
"Sekali lagi kau lancang bicara,
kusobek mulutmu!"
Brajaseta semakin jengkel. Namun ia
tak mau mengambil tindakan seperti yang dilakukan Pendekar Slebor. Karena
menurutnya, bila bahu membahu,
kemungkinan untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam yang telah bersatu dengan Setan
Asap Batu Karang akan semakin ringan.
Ia mengulangi lagi kata-katanya.
Kembali kesunyian melanda, hanya
terdengar gesek dedaunan ditiup angin.
Lalu terdengar kembali suara Bidadari
Pisau Emas, "Baiklah. Aku setuju untuk bekerja sama denganmu! Kita biarkan saja
Pendekar Slebor yang sombong itu!"
"Dan apakah kerja sama kita ini
harus seperti ini" Maksudku kau berada di balik kegelapan yang aku tidak tahu di
mana dan membuatku bertanya-tanya siapa kau sebenarnya" Atau, kau memang senang
bersikap seperti itu" Dan pada akhirnya, engkaulah yang sombong, bukan Pendekar
Slebor seperti yang kau katakan tadi!"
"Banyak omong! Kau tak bedanya
dengan Pendekar Slebor!" bentakan itu terdengar keras. Lalu tiba-tiba saja
Brajaseta mendengar suara deru dari
timur, namun kemudian dari barat,
danberulang-ulang hal itu terjadi. Ia masih celingukan berkali-kali ketika
terdengar suara di belakangnya, "Kau mencari apa, pemuda bodoh?"
Secepat kilat Brajaseta berbalik
dan ia mengeluarkan desisan terperangah dengan mata terbelalak, "Kau... kaukah
yang berjuluk Bidadari Pisau Emas?"
"Jangan konyol!" bentak gadis di hadapannya itu. Wajahnya luar biasa
jelitanya dengan kulit yang halus dan
sepasang mata hitam yang jernih.
Mulutnya tipis membasah dengan hidung
bangir. Rambutnya tergerai hingga ke
bahu. Pakaiannya berwarna biru dengan
celana hitam. Di ikat pinggangnya
terdapat sehelai selendang berwarna
keemasan. Dari tubuhnya mengeluar bau
harum yang sangat terasa. Tetapi di mana pisau-pisau emasnya itu" "Hei, apakah


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau jadi sapi ompong sekarang?"
Brajaseta gelagapan dibentak
seperti itu. "Aku...."
"Sialan! Aku justru berhadapan
dengan pemuda tolol yang mirip sapi
ompong! Apakah aku harus bekerja sama
dengan sapi ompong semacammu?"
"Ya, ya... kau menjadi sapi ompong sekarang hanya gara-gara wajahnya memang
cantik jelita" Ya, kuakui, ia memang
cantik sekali!" terdengar seruan itu diiiingi tawa mengekeh.
*** Gadis yang berjuluk Bidadari Pisau
Emas itu mendongak dan melihat Pendekar Slebor sedang duduk-duduk di sebuah
dahan pohon sambil menguncang-guncang
kakinya. "Konyol! Apa-apaan kau datang lagi, hah?" bentaknya jengkel dengan sepasang mata
yang bagus bergerak-gerak lebih
cepat. "Siapa yang datang lagi?" sahut Andika santai. Ia menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum yang
menurutnya sangat manis sekali pada
Bidadari Pisau Emas yang menggeram,
"Sejak tadi aku berada di sini!"
"Kurang ajar!"
"Hei, kau mempermainkan aku
berkali-kali! Mengapa selagi kubalas kau menjadi marah" Kalau memang begitu,
siapakah yang patut dikatakan kurang
ajar?" seru Andika melotot.
Bidadari Pisau Emas menggeram,
namun membenarkan kata-kata Andika.
Rupanya kemarahan yang diperlihatkan
Pendekar Slebor tadi hanya berpura-pura, semata untuk mencari di mana Bidadari
Pisau Emas bersembunyi. Namun tidak
tahunya, kata-kata Brajaseta itu justru yang memancingnya keluar.
"Apakah kau tidak melanjutkan lagi tawaran kerja samamu tadi?"
"Untuk apa aku melakukan tindakan bodoh itu?"
Andika tertawa, lalu melompat
dengan ringannya di tanah sambil
mengangkat kedua alis matanya yang
seperti kepakan sayap elang dengan sikap lucu.
"Sebenarnya, aku tak mau bekerja
sama denganmu. Tetapi setelah kulihat
siapa dirimu, ya terpaksalah. Rugi
sedikit tidak apa-apa kan?" katanya yang disusul dengan tawanya.
Bidadari Pisau Emas menghentakkan
kakinya jengkel, sementara Brajaseta
yang sudah pulih dari ketersimaannya
melihat wajah Bidadari Pisau Emas, kini tertawa melihat sikap yang diperlihatkan
oleh Pendekar Slebor. Rupanya ia hanya berpura-pura meninggalkan tempat itu,
dan justru melakukan sesuatu yang tak
terduga. "Kau mempermainkan aku, hah!"
"Kalau ada manusia yang senang
mempermainkan orang dan tidak senang
dipermainkan orang, ya kau ini orangnya!
Apakah kau tidak sadar akan hal itu,
hah?" kata Andika santai.
"Masa bodoh dengan ucapanmu!"
bentak Bidadari Pisau Emas yang menjadi marah bukan karena merasa dipermainkan,
namun justru ia sendiri yang membuka
rahasia siapa dirinya. Lalu tanpa
mempedulikan Andika dan Brajaseta lagi, ia meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana?"
Tetapi ia tidak menjawab. Justru
Andika yang tertawa. Ia tahu meskipun gadis cantik itu menekuk wajahnya, namun
ia senang karena Andika menyetujui
usulnya. Lalu dengan lagak yang sengak Andika berkata pada Brajaseta yang masih
tersenyum-senyum, Tuh, kau lihat sendiri sifat perempuan, Brajaseta! Perempuan
itu memusingkan! Tetapi... hehehe...
juga mengasyikkan!"
Brajaseta cuma tertawa saja.
* * * 7 Radanara menghentikan langkahnya
dengan menajamkan pendengaran. Dari
kejauhan terdengar suara gemuruh sungai yang cukup keras. Di sisi kanan kirinya
terdapat ilalang yang tumbuh lebat.
Jalan setapak yang dilaluinya sunyi.
"Hhh! Hanya dua ekor kelinci yang menimbulkan suara!" dengusnya sementara dua
kelinci yang muncul dari rimbunnya semak, terus berlarian. Radanara
memperhatikan sekelilingnya. Dia
memutuskan untuk melangkah lagi, namun urung. Kali ini meno-leh ke belakangnya.
Tak ada apa-apa yang nampak kecuali jalan yang dilaluinya tadi. "Apakah hanya
perasaanku saja" Tetapi, hatiku jadi
berdebar tak menentu sekarang."
Belum Radanara bisa menebak apa yang
membuatnya berdebar, mendadak dia
bergulingan ketika dirasakan angin panas menderu ke arahnya. Saat dia bangkit
kembali, dilihatnya dua orang laki-laki bertu-buh tambun dengan kepala lonjong
dan sedikit rambut di tengah.
"Gila! Siang-siang begini aku
melihat setan gentayangan!" pikirnya terbelalak. Perut keduanya seperti tong
dengan pipi tembem. Dan kepala mereka, ajaib! Seperti badut kemalaman di
kotapraja!"
Yang hadir itu adalah Dua Iblis
Gerigi Maut yang sedang mencari Pendekar Slebor. Mereka gagal mengikuti jejak
Pendekar Jari Delapan. Seperti yang
mereka lakukan pada Pendekar Jari
Delapan sebelumnya, Dojo berseru,
"Manusia jelek! Apakah kau tahu di mana Pendekar Slebor berada?"
Radanara pernah mendengar julukan
yang menggegerkan hati golongan hitam
itu. Kalau orang bertanya dengan nada
membentak seperti itu, bisa dipastikan dia bukan orang baik-baik. Radanara
tidak pernah berjumpa dengan Pendekar
Slebor, namun dia tidak suka
diperlakukan dengan cara kurang ajar
seperti itu. "Setan-setan tubuh tong! Bertanya mempunyai adat! Menjawab melalui adat!
Bertanya yang kau lakukan menunjukkan
sikap kurang ajar, hingga tangan gatal untuk menghajar!"
Setan keparat!" Dojo menderu dengan kepalan penuh tenaga dalam. Radanara
mengeluarkan suara tertahan, karena
dirasakan angin panas yang cukup
menyesakkan dada.
Sigap dia bergulingan dan langsung
melompat mengirim serangan balasan
melalui satu tendangan.
Buk! Tendangannya ditangkis pukulan
Dojo, dan membuat kaki Radanara,
bergetar. Apa yang dilakukannya, membuat Dojo menjadi murka.
"Orang-orang sepeiti kau yang
justru membuang waktuku! Mampuslah
kau!!" Dengan kemarahan tinggi, Dojo
menderu kembali. Radanara menjadi pias.
Tak disangkanya kalau manusia-manusia
bertubuh tambun ini memiliki kemampuan yang hebat. Geram, segera dicabut
cluritnya. Namun dengan satu sontekan
saja, cluritnya terlepas dari tangannya.
Dan senjata gerigi di tangan Dojo menderu mencecar leher Radanara yang semakin
pias. "Mampuslah kau!'" . Namun belum lagi senjata Dojo mencacah lehernya,
satu sosok tubuh berkelebat dan
menendang salah seorang dari Dua Iblis Gerigi Maut itu.
Buk! *** Tubuh Dojo terhuyung ke belakang.
Dadanya terasa melesak ke dalam menerima hantaman keras itu. Gusar dilihatnya
satu sosok tubuh berbaju hijau pupus
dengan kain bercorak catur tersampir di leher-nya sedang menolong Radanara untuk
bangkit. Dilihatnya juga dua sosok tubuh muncul dari balik ilalang.
"Monyet hijau keparat! Kau mencari mampus!!" bentak Mojo yang melihat bagaimana
saudara kem-barnya
dipercundangi dengan sekali tendang.
Andika berbalik dan tertawa.
"Heran, siang begini ada tuyul!
Tetapi setahuku, tuyul itu kecil,
mengapa sekarang yang kutemui kayak tong sampah" Jangan-jangan, kalian ini
rajanya tuyul, ya?"'
"Keparat!" Mojo menggeram. Dari geramannya mendadak dia terbahak-bahak, demikian
kerasnya hingga dauu-daun
berguguran. "Rupanya yang muncul manusia yang telah berbulan-bulan kami cari!"
"Lho, kenapa kalian mencariku"
Ala... kalau ingin berkenalan, kalian
kan bisa berkirim surat" Aku yakin, para kurir
surat bisa menyampaikannya
kepadaku! Cuma sayangnya, alamatku susah dicaril Nah, ke sinilah kalian! Ayo,
bersalaman denganku kalau ingin
berkenalan!"
Wajah Dua Iblis Gerigi Maut memerah,
sementara Brajaseta terbahak-bahak dan Bidadari Pisau Emas hanya tersenyum
kecil melihat sikap Andika.
"Kau harus membayar nyawa Manusia Jenggot Merah, Pendekar Slebor!"
"Manusia Jenggot Merah" Oh, aku
ingat! Bukankah dia manusia jelek yang mampus di Gerbang Neraka" Jadi kalian ini
kenal dengannya, ya" Menyenangkan, jadi aku tak terlalu keberatan untuk menjitak
kepala kalian! Atau... bila kalian
nekat, aku rela membikin kalian menyusul manusia keparat itu!"
Bagai disepakati, Dua Iblis Gerigi
Maut langsung menderu cepat. Mereka
langsung mempergunakan senjata
berbentuk gerigi yang sangat tajam.
Menyadari serangan yang dilakukan
keduanya sangat kejam, Pendekar Slebor berkelebat ke sana kemari dengan
gesitnya. Hingga yang terlihat hanya
bayangan hijau muda belaka. Selama lima jurus di-serang seperti itu dan dibalas
oleh Andika dengan gerakan yang sama,
pada jurus ketujuh tiba-tiba saja Andika menukik dengan teriakan yang cukup
keras dan tangannya mengibas.
Mojo yang berada di dekatnya memekik
keras dan langsung bergulingan ketika dirasakan angin raksasa menderu ke
arahnya. Dan serangan balasan yang
dilakukan Andika pun dilakukan secara
beruntun pada Mojo yang harus menghindar bila tak mau tubuhnya terhantam.
Dojo yang tidak diserang oleh Andika
dan merasa bebas, langsung membokong
untuk memapasi serangan Andika pada
saudara kembarnya. Terutama dilakukan
karena kemarahannya akibat serang-annya pada Radanara diputuskan Andika.
Namun diluar dugaannya, Andika
justru bergulingan ke arahnya dan
menghantamkan tangannya yang sudah
dialiri tenaga 'inti petir'.
Terdengar suara salakan yang cukup
keras, disusul dengan tubuh Dojo yang
terhuyung ke belakang dan bersamaan
dengan itu Andika berkelebat ke arah Mojo yang sedang berusaha bangkit.
Des! Dada Mojo pun terhantam pukulan yang
keras. Andika memutar tubuh ke belakang,
menghentikan serangan dan berdiri sambil tersenyum, "Jadi cuma begini saja
kehebatan sahabat Manusia Jenggot
Merah"! Sayangnya, aku melihat kalian
cuma mampu menjadi pengemis di
kotapraja!"
Sementara itu diam-diam Bidadari
Pisau Emas menarik-napas. Dia merasa
beruntung karena bisa berkenalan dengan Pendekar Slebor yang kesohor itu dan
secara tidak langsung membenarkan apa
yang digembar-gemborkan orang-orang
rimba persilatan akan kesaktian pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
"Bangsat sialan! Lihat serangan!!"
seru Dojo dan Mojo bersamaan, dan secara bersamaan pula senjata lingkaran
bergerigi itu berputar di tangan
keduanya, menimbulkan suara yang cukup keras. Lalu diiringi dengan gerengan
yang keras keduanya menderu ke arah
Andika. Kali ini Andika tercekat
melihatnya. Karena, serangan itu bukan hanya mengincar bagian-bagian dari
tubuhnya yang mematikan, namun juga
tiba-tiba menderu dahsyat dan kembali
dengan anehnya pada pemiliknya.
Berulang kali Andika harus
menyelamatkan diri dengan susah payah.
Berkali-kali pula tubuhnya hampir
menjadi sasaran empuk dari senjata
berbentuk gerigi. Dan bukan hanya sampai di sana saja serangan yang dilakukan
oleh Dua Iblis Gerigi Maut. Kaki dan tangan mereka pun menderu mencari sasaran.
Dua kali Andika terhantam tubuhnya secara
beruntun. "Apakah tak terbalik ucapan
sombongmu itu, Pendekar Slebor" Di
neraka sana, Manusia Jenggot Merah
terbahak-bahak melihat kematianmu!"
bentak Mojo dan menyerang bertambah
ganas. Suasana di tempat itu bagai
diguncang oleh kaki-kaki raksasa.
Brajaseta hanya menahan napas. Radanara yang baru kali ini bertemu dengan
Pendekar Slebor dan langsung
menolongnya, ,berdoa agar pemuda perkasa itu bisa memenangkan pertarungan.
Sementara Bidadari Pisau Emas nampak hanya
tenang-tenang saja.
"Bila Andika memiliki senjata
sebilah pedang, dalam satu jurus
berikutnya, Andika bisa mengalahkan


Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka." Namun tanpa perlu pedang pun Andika
berhasil mengubah taktiknya. Dari
menghindar dia langsung melakukan
penyerangan. Entah bagaimana caranya,
tahu-tahu kain bercorak catur yang
tersampir di bahunya sudah berada di
tangannya. Sekali dikibaskan, terdengar suara bagai ribuan tawon marah dan angin
laksana topan badai menggebubu dahsyat.
Mojo merasa wajahnya bagai ditampar
ketika angin sambaran kain bercorak
catur mengarah padanya. Keseimbangannya sedikit goyah karena dorong-an angin itu
cukup kuat. Andika langsung meluncur
dengan satu pukulan telak di dadanya.
Des! Bersamaan dengan tubuhnya terhantam
pukulan Andika, Mojo melemparkan
senjatanya. Wuuunggg! Wuss! Bret! Andika yang sudah memperhitungkan
soal itu, langsung mengibaskan
tangannya. Senjata gerigi tajam milik
Mojo terlilit oleh kain pusaka warisan Ki Saptacakra. Hebatnya, kain pusaka itu
tak koyak sedikit pun padahal tenaga
lemparan Mojo sangat kuat. Dan bersamaan dengan itu, Andika mengibaskan
tangannya lagi. Dojo yang sedang menyerang dari
samping terpekik karena tubuhnya bagai menyongsong serangan Andika.
Dia berasaha untuk menghindar,
namun sambaran kain pusaka yang sudah
melilit senjata Mojo lebih cepat
datangnya. Dan....
Cras! Sekali tarik saja, lengan kanan Dojo
putus memuncratkan darah. Senjatanya
terlepas dan seketika raungannya
terdengar setinggi langit.
Mojo yang meskipun masih merasakan
sakit di dadanya, tak mempedulikan lagi dirirya. Penuh dendam tinggi dia menderu
ke arah Andika melihat nasib yang dialami oleh saudara kembarnya. Akan tetapi,
kesalahanlah yang dibuatnya. Karena
begitu menyambar Dojo, Andika langsung mengibaskan tangannya dan menarik cepat
hingga senjata gerigi itu terlepas dari lilitan kain pusakanya dan meluncur ke
arah Mojo. Cras! Senjata gerigi itu tepat menghantam
dada si pemiliknya yang ambruk setelah menjerit keras.
"Luar biasa!" desis Bidadari Pisau Emas.
Andika saat ini sedang mendesah
pendek. Ia menghampiri Dojo yang bagai sakarat, "Tinggalkan tempat ini, sebelum
aku merubah pikiran!"
Laki-laki berkepala botak itu jadi
putus nyalinya. Susah payah dan
tertatih-tatih dia bangkit menghampiri mayat Mojo. Wajahnya begitu geram saat
memandang Andika.
"Semuanya masih akan berlanjut,
Pendekar Slebor."
"Aku masih menunggu," sahut Andika tenang yang sudah menyampirkan kembali kain
bercorak caturnya. "Hei, apakah kau tidak membawa mayat saudara kembarmu
itu" Atau, kau membiarkannya menjadi
santapan serigala lapar atau
burung-burung bangkai?"
Namun Dojo yang sudah tidak memiliki
sebelah lengan dan banyak mengeluarkan darah, tak
mempedulikannya. Dia
melontarkan ancaman sebelum me-
ninggalkan tempat itu, "Suatu saat, Pendekar Slebor! Suatu saat!!"
"Kapan saja deh kalau kau mau!"
*** Bidadari Pisau Emas berkata, "Tak salah bila kuminta bantuanmu untuk
menghentikan sepak terjang manusia busuk yang berjuluk Dewi Ular Hitam dan Setan
Asap Batu Karang, Pendekar Slebor!"
Pujian itu justru dibalas Andika
dengan bentakan, "Enaknya kau ngomong!
Aku bisa mampus tadi!"
"Tetapi, kau berhasil mengalahkan mereka!"
"Kau ini sahabat macam apa sih" Kok melihat sahabatnya sudah kalang kabut
kau diamkan saja" Apa begini sikapmu
terhadap sahabat yang sudah di ujung
maut?" "Kau baru di ujungnya, belum paling ujung!"
"Enaknya kau ngomong! Percuma
bersahabat denganmu!"
"Brengsek! Main membentakku!" balas Bidadari Pisau Emas. "Karena aku tahu
kemampuanmu, makanya aku diam saja! Lagi pula. aku tak ada urusan dengan dua
manusia botak itu!" Ianjut Bidadari Pisau Emas enak saja. "Kau mau mampus atau
tidak ya urusanmu! Mengapa jadi
sewot padaku?"
Andika tak mempedulikannya.
Sebenarnya, sangat disesalinya mengapa dia harus menurunkan tangan pada
lawan-lawannya tadi. Semua dikarenakan, dia harus membela diri. Padahal bagi
Andika, sangat hina ilmu yang dimiliki seseorang bila dipergunakan untuk
membalas dendam.
Dikuburnya mayat Mojo. Yang
memperhatikan diam-diam trenyuh melihat welas asih Pendekar Slebor yang mau
menguburkan mayat bekas lawannya. Itu
menandakan betapa tinggi sifat mulia di hati Pendekar Slebor.
Selesai menguburkan mayat Mojo,
dihampirinya Radanara yang tersenyum
padanya. Diperiksanya tubuh Radanara.
Setelah itu dia bertanya, "Sobat... siapakah kau adanya?"
Radanara menceritakan yang
dialaminya. Diceritakan pula apa yang
sedang dilakukannya saat ini.
"Dan aku tak akan pernah puas
sebelum melihat Dewi Ular Hitam terkapar mampus! Karena aku yakin, arwah guruku,
Dewa Muka Singa dan saudara
seperguruanku Ardinara, tak akan pernah tenang."
"Dewa Muka Singa ternyata gurumu,"
kata Andika bagai mendesah. "Kita mempunyai niat yang sama untuk
menghancurkan manusia-manusia busuk
yang bergelar Dewi Ular Hitam dan kambrat nya yang berjuluk Setan Asap Batu
Karang. Namaku Andika. Ini Brajaseta, dan yang cantik jelita namun cerewet dan
kadang-kadang menjengkelkan itu
berjuluk Bidadari Pisau Emas! Kalau kau tanya namanya, aku tidak tahu! Tetapi
kukira untuk gadis secantik dia pantas memakai nama Tukiyem atau Sarinem!"
Andika terbahak-bahak melihat wajah
Bidadari Pisau Emas meradang.
"Kalau begitu... apakah aku
diperkenankan bersama-sama kalian untuk mencari Dewi Ular Hitam?" tanya Radanara
penuh harap. Dia sempat tersenyum kecil ketika mendengar selorohan Andika tadi.
"Boleh saja! Tetapi kalau kita
melanjutkan perjalanan dengan
menggerombol begini, bisa-bisa kita
disangka gerombolan perampok! Dan enak buatmu, Bidadari Pisau Emas!"
"Hah! Apa hubungannya denganku?"
sahut Bidadari Pisau Emas melengak
karena dibentak seperti itu.
"Ya, jangan-jangan orang-orang yang melihat kita akan menyangka kalau kita
bertiga ini sedang memperebutkanmu! Nah, kau jadi bangga, bukan?"
"Setan kurang ajar!"
"Jadi kupikir, biar kalian bertiga dan aku sendiri! Kita berpisah di sini!
lalu tanpa mempedulikan mereka,
Andika.sudah berkelebat secepat kilat.
"Andika!" seru Bidadari Pisau Emas dan mengibaskan tangannya. Empat buah
pisau emasnya meluncur ke arah ke mana Andika lari dengan lesatan mirip anak
panah yang dilepaskan dari busurnya.
Namun yang terdengar hanya suara trak
sebanyak empat kali.
Bidadari Pisau Emas mendengus
karena menyadari kalau Andika telah
mematahkan serangannya itu. Hanya dengan empat butir batu kecil!
Masih mendengus dia menoleh pada
Brajaseta dan Radanara.
"Kita tidak boleh berdiam di sini terus. Barangkali saja Pendekar Slebor
mempunyai rencana lain!"
"Lalu apa yang kita lakukan?" tanya Brajaseta.
"Bodoh! Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi" Tinggal Pendekar Jari
Delapan yang belum mendapatkan dendam
Dewi Ular Hitam. Berarti, kita harus
menuju Bukit Lingkar!"
* * * 8 Di dekat sebuah sungai kecil,
terdengar suara tawa dari sebuah gubuk yang ada di sana. Gubuk itu dikelilingi
semak yang cukup lebat. Tengah malam telah lenyap. Kokok ayam jantan bersahutan
di sebelah barat. Angin merayap dari satu pohon ke pohon lain. Berdesir di atas
gubuk itu. "Kau memang tak akan terkalahkan, Dewi," suara penuh rasa hormat itu terdengar
lagi dari dalam gubuk. "Kau patut dianggap sebagai orang nomor satu di rimba
persilatari ini! Hanya
orang-orang bodoh yang tak mau menerirna keberadaanmu ini, Dewi Ular Hitam!"
Dewi Ular Hitam hanya tersenyum
tipis mendengar pujian itu. Dia tahu,
pujian itu lebih mengarah pada menjilat.
Bentakannya yang keras cukup
menggegerkan hati Setan Asap Batu
Karang, "Aku tak akan pernah merasa menguasai rimba persilatan ini sebelum
Pendekar Jari Delapan salah seorang yang tinggal dari tiga pengeroyokku tiga
puluh tahun lalu tewas!"
"Sebentar lagi kau akan membuatnya meninggalkan dunia ini menyusul dua
sahabatnya! Tetapi aku yakin, dengan
kesaktianmu yang semakin bertambah, kau akan mampu mengatasinya!" Sosok tinggi
besar itu semakin menjilat sambil
mengepulkan asap yang keluar dari pipa besamya.
Dewi Ular Hitam mengangguk-anggukan
kepalanya. Nampak ada sesuatu yang
dipikirkannya. "Adakah yang kau pikirkan?" tanya Setan Asap Batu Karang dengan suara
hati-hati. "Ya. Setan keparat yang berjuluk
Pendekar Slebor! Aku yakin, dia akan
memperlambatkan keinginanku untuk
membunuh Pendekar Jati Delapan! Hhh!
Manusia urakan dari Lembah Kutukan itu rupanya memang sudah bosan hidup!"
"Pendekar Slebor, biar aku yang
urus!" kata Setan Asap Batu Karang yang merasa hal itu lebih baik. Dia menduga
kalau kesaktian yang dimiliki Pendekar Slebor jauh berada di bawah Pendekar Jari
Delapan, sehingga kemungkinan untuk
mengalahkannya akan jauh lebih mudah.
"Aku juga ingin tahu kehebatan pendekar muda yang banyak disebut-sebut orang!
Akan kubuat pepes tahu tubuhnya!"
Dewi Ular Hitam terbahak-bahak.
"Aku menyukai kata-katamu itu! Kuakui, meskipun kau cuma menjilat di depanku,
tetapi aku menyenangimu!"
Setan Asap Batu Karang cuma
mengangkat bahunya dengan wajah memerah.
Dalam hati ia menggerutu, "Kalau tidak kubutuhkan tenaganya untuk memusnahkan
musuh bebuyutanku pula, sudah
kutinggalkan wanita keparat ini."
Menahan kesalnya, Setan Asap Batu
Karang tersenyum. "Itulah kelebihanku."
"Tak kusangka kalau kita bisa
bertemu lagi."
"Nampaknya, kekuasaan nomor satu
Seruling Samber Nyawa 4 Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib Mustika Lidah Naga 7 1
^