Pencarian

Geger Ratu Racun 2

Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Bagian 2


bambu di depan gubuk milik orang tua itu. Sinar lampu
minyak menerpa wajah keduanya. Dari gurat-gurat yang
tergambar di wajah, tampaknya dua manusia berbeda usia itu
sedang membicarakan sesuatu yang sungguh-sungguh.
"Lalu bagaimana caranya kau bisa mengalahkan Iblis
Petaka Racun, Ki?" tanya Andika.
Beberapa tarikan napas, Ki Patigeni hanya memandang
wajah anak muda itu.
"Aku makin kenal watakmu, Andika," desah orang tua itu
seraya tersenyum kecil.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Andika tak mengerti.
Ki Patigeni mendorong kepala Andika dengan tinjunya.
"Aku mulai tahu, kalau kau mendadak bisa konyol! Bisa
urakan seperti orang pasar. Kau ingin mengolok-olok aku lagi
dengan pertanyaan tadi, ya?" kata orang tua ini, setengah
meledek. "Ah...!" Alis legam Andika bertaut rapat. "Aku bertanya
seperti itu, karena harus menghadapi lawan yang memiliki
ilmu yang sama dengan Guntara."
"Huh! Kenapa kau jadi besar adat seperti itu...," gurau Ki
Patigeni. "Aku hanya bergurau...."
Sekali lagi didorongnya kepala Andika dengan tinjunya.
Perlakuannya tampak seperti seorang ayah yang sedang
bersenda-gurau dengan anaknya. Mungkin lebih pantas kalau
disebut seorang kakek yang berbagi rasa dengan cucunya.
Mengingat, usia mereka bertaut cukup jauh.
"Kapan kau mau menjawab pertanyaanku, Ki" Tahun
depan...?" usik Andika ketika mata Ki Patigeni tampak
menerawang jauh merambah kegelapan malam.
"Oh.... Maaf, Andika. Aku melamunkan masa mudaku
dulu," ucap Ki Patigeni setengah mendesah.
"Jadi, bagaimana?"
"Apanya?"
"Ah! Kini kau yang akan mengolok-olokku, Ki! Kau akan
membiarkan pendekar budiman seperti aku mati terpanggang
racun milik Ratu Racun" Apa kau senang melihat aku matang
seperti sambal terasi?"
"Iya, iya.... Kenapa kau begitu nafsu untuk mengetahui
rahasia kemenanganku terhadap Guntara" Tapi, baiklah.
Begini, Andika. Ada dua jenis racun yang paling ampuh milik
Guntara. Pertama, Racun Perontok Raga. Sedang yang kedua
adalah racun yang telah melukaimu dulu. Racun Bara Neraka.
Tapi seganas-ganasnya kedua racun itu, tetap saja memiliki
kelemahan."
"Apa itu, Ki?" desak Andika.
"Untuk racun...."
Belum lagi lelaki tua itu melanjutkan ucapannya, tiba-tiba
mata tuanya menangkap sesuatu di langit lepas.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika ketika melihat mata keriput Ki
Patigeni menajam.
Tanpa berkata, lelaki tua berwibawa itu menunjukkan jari
telunjuknya ke angkasa. Pendekar Slebor pun menoleh ke
arah yang ditunjuk orang tua itu. Maka terlihatlah seberkas
cahaya merah yang meluncur naik ke angkasa. Setelah
mencapai ketinggian tertentu, cahaya itu menukik deras.
"Itu tanda bahaya yang biasa digunakan para pengikut
Begal Ireng untuk memberitahukan rekan-rekannya," jelas Ki
Patigeni datar.
"Jadi sisa-sisa gerombolan Begal Ireng masih banyak yang
berkeliaran?"
"Ya," sahut Ki Patigeni.
-0o0oa-zo0o0- 5 Pendekar Slebor dan Ki Patigeni memutuskan untuk
mencari tahu, apa yang terjadi sesungguhnya. Maka seketika
mereka bersamaan menggenjot tubuh dari balai-balai bambu
yang diduduki, lalu segera melesat ke arah cahaya yang
tampaknya adalah panah berapi.
Jarak yang harus ditempuh ternyata cukup jauh. Untunglah
tubuh Andika sudah pulih benar, hingga tidak ada kesulitan
untuk mengiringi ilmu lari cepat Ki Patigeni. Biarpun sudah
tua, ternyata Ki Patigeni masih segesit burung camar.
Tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, seakan tanpa
bobot sama sekali.
Tapi dalam hal kecepatan serta ilmu meringankan tubuh,
Andika tampaknya berada dua tingkat di atas lelaki tua itu. Itu
pun berkat kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan yang
memang diakui oleh banyak tokoh kelas atas dunia persilatan
sebagai kecepatan dan kekuatan yang sulit ditandingi. Namun
karena menghormati Ki Patigeni, Andika tidak ingin lancang
mendahuluinya. Padahal, dalam hati ilmu lari cepatnya ingin
segera dikerahkan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi
malam itu. Dan ketika hampir sampai, telinga mereka sayup-sayup
menangkap jeritan seseorang.
"Aaa...!"
Dan jeritan itu terus berlangsung, berkumandang di
angkasa. "Rupanya ada pembantaian gila lagi, Ki," kata Andika pada
Ki Patigeni, seraya menghentikan larinya sesaat untuk
memperjelas pendengarannya.
"Tampaknya begitu," balas Ki Patigeni. "Apa kau menduga
sama seperti aku,
tentang orang yang melakukan
pembantaian?"
"Ratu Racun?"
Ki Patigeni tidak bisa memastikannya. Yang pasti, mereka
harus segera membuktikan dugaan itu secepatnya.
Kembali kedua orang berbeda usia itu menerabas
kegelapan hutan. Tak ada enam tarikan napas, mereka sudah
tiba di tengah hutan. Daerah itu tidak begitu dipadati pohon
jati besar yang berdiri angkuh menentang malam Tidak seperti
bagian lain dari Hutan Watuagung itu, bagian tengah hutan
tampak tidak begitu rimbun. Itu sebabnya sinar bulan masih
mampu sampai pada tanah berumput di bawah pepohonan.
Kini Pendekar Slebor dan Ki Patigeni menemukan tempat
persembunyian. Dari segerombolan semak, Andika dan Ki
Patigeni melihat seorang wanita berpakaian hitam sedang
mengamuk. Di bawah terpaan sinar bulan, mayat-mayat
tampak berserakan mengerikan Dari sembilan belas orang
yang ada, hanya tinggal lima orang masih kelimpungan
menghadapi amukan wanita berpakaian hitam-hitam. Selebihnya, telah kehilangan nyawa.
"Racun Perontok Raga...," bisik Ki Patigeni tak sadar,
manakala mata kelabunya melihat mayat yang berserakan.
"Kenapa, Ki?" tanya Andika berbisik pula. "Perhatikanlah
mayat-mayat itu. Tubuh mereka yang cerai-berai menggidikkan itu akibat Racun Perontok Raga," jawab Ki
Patigeni menjelaskan.
"Astaga...," desis Andika bergidik.
Kalau Ki Patigeni tidak memberi tahu, mungkin Pendekar
Slebor tidak akan memperhatikan keadaan mayat-mayat
korban wanita berpakaian hitam itu. Yang menarik
perhatiannya, justru wanita itu. Andika merasa ada sesuatu
yang ganjil. Entah apa, belum bisa dipastikan. Yang pasti,
Andika hanya mengenal wanita kejam itu sebagai Ratu Racun.
"Jadi bagaimana, Ki" Apa kita harus turun tangan atau
membiarkan perempuan gila itu menghabisi lawannya?" tanya
Andika, meminta pertimbangan Ki Patigeni.
"Biarkan saja mereka saling bunuh," jawab Ki Patigeni,
dingin. "Apa" Bagaimana kau bisa berkata seperti itu, Ki" Wanita
itu memperlakukan manusia tak lebih daripada binatang! Kita
harus segera menghentikan perbuatan biadabnya!" Andika
agak terkejut juga.
'Yang dibantai wanita itu memang binatang. Kau lupa,
mereka adalah sisa-sisa gerombolan Begal Ireng?"
"Tapi mereka tetap manusia, Ki!" sergah Andika.
"Jangan dilupakan perbuatan mereka selama ini, Andika.
Tidak ada manusia yang sebiadab mereka. Mereka lebih buas
daripada binatang. Mereka tak lain hewan berwujud manusia,
jadi pantas saja kalau mendapat perlakuan seperti itu...," urai
Ki Patigeni datar.
Andika terdiam. Setelah dipikir-pikir, ucapan lelaki tua itu
memang ada benarnya.
Sementara itu pertarungan antara Ratu Racun melawan
sisa-sisa gerombolan Begal Ireng hampir selesa i.
Dua orang lagi telah terbunuh dengan tubuh cerai-berai.
Kini tinggal tiga orang lagi yang tersuruk-suruk ketakutan,
tanpa berani melakukan serangan.
"Mana bantuan dari kawan-kawan kita"!" teriak seorang
lelaki pada kawannya.
"Aku sudah melepas isyarat panah api sejak tadi, tapi
mereka belum juga datang," jawab orang yang ditanya,
dengan suara tercekat.
"Kalaupun mereka datang juga, kita sudah akan jadi mayat
di tangan perempuan keparat ini. Lebih baik, lari saja!" usul
lelaki lain. Maka mereka saling bertatapan sesaat, dengan tubuh terus
beringsut ke belakang. Jelas, mereka tak ingin mati konyol.
Apalagi, mata secara mengenaskan seperti kawan mereka
yang lain akibat racun lawan.
Ketiga orang itu semakin memperlebar jarak dengan wanita
berpakaian hitam-hitam ini. Memang, wanita ini berdiri
mematung bagai singa betina gurun yang mengintai mangsa.
Dan seketika, ketiga lelaki tadi langsung berbalik, lalu lari
tergesa-gesa. "Kalian pikir, akan diselamatkan iblis hutan ini"!' seru Ratu
Racun dari belakang.
Belum lagi mereka sempat menghilang di kegelapan
malam, Ratu Racun tiba-tiba mengibaskan rambutnya yang
panjang terurai.
Zing! Zing! Beberapa helai rambut Ratu Racun seketika terlepas, lalu
meluncur cepat dalam keadaan meregang kuat ke arah tiga
lelaki tadi. Naas bagi dua lelaki yang berlari ke arah utara.
Kepala mereka langsung tertembus helai rambut Ratu Racun.
Keduanya tak sempat menjerit, karena rambut Ratu Racun
langsung menembus pusat wicara di otak. Beberapa saat
mereka jatuh menggelepar-gelepar di tanah, setelah itu mati
dengan seluruh otot di tubuh meregang kejang.
Nasib mujur masih dimiliki lelaki yang berlari ke arah
selatan. Ketika rambut beracun hampir menembus batok
kepalanya, kakinya terantuk akar pohon yang tersembul
hingga jatuh tersuruk.
Srak! Dukl Jep! Sementara rambut beracun milik Ratu Racun menancap
pada batang pohon di depannya. Sedangkan orang itu sendiri
luput dari maut, meski harus jungkir balik di tanah. Sambil
mendelik dengan wajah tanpa darah, dia segera bangkit
kembali. Lalu secepat kilat dia buron tanpa ingin menoleh ke
belakang. Hutan Watuagung mendadak disergap kesunyian. Tak ada
lagi jeritan kematian atau teriakan haus darah. Bahkan
binatang melata pun seolah enggan memperdengarkan
suaranya. Mungkin karena terkejut dengan keriuhan barusan.
Ratu Racun masih berdiri tegak di tempatnya. Tak ada
sedikit pun gerak yang dilakukan. Hanya sepasang bola
matanya yang mengawasi puas pada mayat-mayat korbannya.
Tak jauh di belakang wanita itu, Andika dan Ki Patigeni
masih mengawasi gerak-geriknya. Mereka ingin tahu, apa lagi
yang hendak diperbuat wanita itu. Ternyata orang yang
diawasi hanya bersiap untuk pergi dari tempat itu.
"Kita cegah, Andika. T ampaknya dia akan pergi...," bisik Ki
Patigeni seraya hendak bangkit dari semak-semak
"Tunggu, Ki," tahan Andika. Dipegangnya bahu kurus Ki
Patigeni. Tentu saja tindakan Andika membuat lelaki tua itu heran.
Belum lama tadi, justru Andika yang ingin segera turun
tangan. Kini, setelah Ki Patigeni memutuskan untuk segera
mengambil tindakan, anak muda itu malah menahannya.
"Kenapa?" tanya Ki Patigeni ingin mengetahui alasan
Andika. "Aku merasa ada suatu yang ganjil, Ki," ungkap Andika.
"Di dunia ini memang banyak manusia yang ganjil...."
"Bukan itu, Ki"
"Lalu apa?"
"Entahlah. Aku juga belum bisa memastikannya...."
"Siapa itu"!"
Tiba-tiba Ratu Racun berseru lantang. Rupanya telinganya
menangkap kasak-kusuk di balik semak-semak di belakangnya. Kalau tadi perhatiannya terpusat pada lawan
sehingga tak memperhatikan keadaan sekitar, kini pendengarannya bisa lebih dipusatkan pada suara-suara yang
mencurigakan. Ki Patigeni memandang Andika dengan senyum kecil.
Bahunya dinaikkan sedikit, mengisyaratkan kalau akhirnya
mereka mesti keluar juga. Tapi, Andika tak mau mengambil
langkah pertama, kalau langkah kedua masih bisa diusahakan.


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka kembali K i Patigeni ditahannya.
Sementara Ki Patigeni bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Apa lagi yang ingin diperbuat anak muda ini"
Andika memberi isyarat pada Ki Patigeni dengan
telunjuknya ke belakang. Orang tua itu pun menoleh ke arah
yang ditunjuk Andika. Sekitar tiga tombak di belakangnya
tampak seekor ular sanca belang sedang melilit di sebuah
lubang pohon. Dengan cara yang cerdik, Andika menggosok-gosok kedua
telapak tangannya di dekat ular sanca itu. Pengerahan tenaga
dalam pada kedua telapak tangannya, membuat hawa di
sekitar lubang menjadi panas. Beberapa saat kemudian, ular
itu beringsut keluar sambil mendesis-desis. Masih dengan
hawa panas di kedua telapak tangannya, ular itu digiring
sedikit demi sedikit ke arah Ratu Racun.
Tak lama kemudian, ular itu telah terlihat oleh Ratu Racun
yang masih memasang telinga, karena mendengar suara
mencurigakan tadi. Namun melihat seekor ular sanca besar
keluar dari semak-semak dekat persembunyian Andika dan Ki
Patigeni, kecurigaan Ratu Racun lenyap begitu saja. Akhirnya
disimpulkan, bisik-bisik yang didengarnya ternyata hanya
desisan ular. Dan seraya menghela napas panjang, Ratu Racun akhirnya
melesat cepat bagai kilat pergi dari situ. Tubuhnya seketika
ditelan kegelapan malam.
"Fhuih...!" Andika menghempas napas lega.
"Kau menghindari Ratu Racun bukan karena kapok dengan
racunnya, kan?" ledek Ki Patigeni, bercanda.
"Aku memang kapok, Ki...," jawab Andika acuh sambil
melangkah keluar dari kerimbunan semak.
"Dasar kecoak pengecut!" goda Ki Patigeni lagi.
"Kecoak pengecut..., tapi ganteng tentunya. Ha ha ha...!"
balas Andika tanpa merasa harga dirinya direndahkan.
Tentu saja Andika mengerti kalau Ki Patigeni hanya
berkelakar saja. Dan lelaki tua itu sendiri tentu mengerti, pasti
ada alasan yang tepat bagi Andika untuk menghindari Ratu
Racun tadi. Sementara Pendekar Slebor menghampiri tempat pertempuran yang dipenuhi mayat, Ki Patigeni mengawasinya
dari kejauhan. Ingin diketahuinya, hasil apa yang didapat anak
muda itu. Dari berita yang didengarnya, seringkah disebutkan
kalau pendekar muda itu memiliki kecerdikan luar biasa.
Tak lama kemudian....
"Ki, cepat ke sini!" panggil Andika.
Ki Patigeni cepat menghampiri.
"Ada apa?" tanya orang tua itu singkat.
Andika menunjukkan sesuatu di tangannya.
"Kau tahu, benda apa ini, Ki?" tanya Andika.
Ki Patigeni mengambil benda itu dari tangan Andika.
Diamatinya benda sebesar anak kunci, berbentuk ukiran
Bunga Wijayakusuma.
"Ini hanya kerajinan khas dari Desa Wadaswetan," jelas Ki
Patigeni. "Biasanya warga desa itu mengenakan benda ini
untuk kalung anak-anaknya...."
"Nah itu satu petunjuk, Ki..."
"Petunjuk apa" Aku belum menangkap maksud-mu...."
Andika tak segera menjelaskan pertanyaan Ki Patigeni.
Malah lelaki tua itu diajaknya untuk memperhatikan mayat-
mayat korban Ratu Racun.
"Apakah ada di antara mereka yang kau kenal, Ki?" tanya
anak muda itu kemudian.
Beberapa saat Ki Patigeni mengamati mayat-mayat
"Ya! Aku kenal orang ini," ujar Ki Patigeni, akhirnya.
"Sudah kuduga. Siapa dia, Ki?"
"Rawegenggong, seorang kaki tangan Begal Ireng yang
cukup diandalkan," sahut Ki Patigeni lagi.
Andika melangkah mondar-mandir seraya mengacung-
acungkan jari telunjuknya di depan dada. Lagaknya sudah
seperti kakek jompo sedang menghitung jumlah anak
cucunya. "Sekarang aku ada pertanyaan untukmu, Ki," kata Pendekar
Slebor kembali.
Sedang Ki Patigeni menunggu dengan sabar. "Pernahkah
Kranggaek dan Rawegenggong melakukan kejahatan di Desa
Wadaswetan?" tanya Andika penuh keyakinan.
Baru saja Ki Patigeni hendak menggerakkan bibir, Andika
sudah menggerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan di depan
dada. "A... a. Tak usah dijawab, Ki. Karena aku yakin, kau akan
menjawab, iya," cegah Andika, sok tahu.
Ki Patigeni hanya menggeleng-gelengkan kepala. Anak
muda satu ini memang sering membuatnya gemas. Ingin
rasanya kepala anak muda sok tahu itu ditinjunya. Tapi,
kenyataannya memang benar. Dia memang ingin menjawab,
iya. "Sekarang aku ingin bertanya lagi padamu, Ki. Dengan
siapa lagi kedua orang itu melakukan kejahatan di Desa
Wadaswetan?"
Ki Patigeni tak segera menjawab. Dia berpikir, pasti Andika
akan menyelaknya lagi.
"Ki?" tegur Andika. "Apa kau sudah mengantuk?"
"Anak brengsek! T entu saja tidak. Aku hanya mengira kalau
jawabannya sudah kau ketahui...," sangkal Ki Patigeni agak
dongkol bercampur gemas.
Pendekar Konyol jadi tersenyum bodoh pada lelaki tua itu.
Digerak-gerakkan sepasang alis yang melengkung bagai
kepakan elang itu.
"Makanya jangan sok tahu!" gerutu Ki Patigeni. "Mereka
melakukan pembegalan di desa itu, bersama enam orang lain.
Selain Kranggaek dan Rawegenggong, ada Bagaswara,
Karangga, Nyi Rorokweni, Baturwedi, Sonagupta, dan
Linggaraksa."
"Terima kasih banyak, Ki," ucap Andika seraya menjura
konyol. "Jadi kau ingin mengatakan, kalau mereka adalah sasaran
dendam Ratu Racun?" tanya Ki Patigeni tanpa mempeduhkan
tingkah Andika.
"Tepat! Pada saat mereka membegal, mungkin keluarga
atau orang yang dicintai Ratu Racun telah dibunuh di Desa
Wadaswetan. Kini, wanita itu kembali untuk menuntut balas,"
urai Andika, memaparkan dugaannya. "Dan kalung itu sebagai
tanda kalau Ratu Racun adalah seorang penduduk desa itu."
Ki Patigeni mengangguk-angguk pelan. Jadi, berarti kalung
itu milik Ratu Racun yang terjatuh sewaktu bertarung tadi. Kini
baru dipahami maksud Andika, sekaligus memuji kecerdasan
otaknya. Namun saat Andika baru hendakmeneruskan ucapannya,
tiba-tiba.... Zes! Zes! Zes...!
"Andika, awas!"seru Ki Patigeni, manakala matanya
menangkap serangkum angin pukulan jarak jauh yang
mengarah ke tubuh anak muda itu.
Andika terkesiap. Saat itu dirinya benar-benar dalam
keadaan tidak waspada penuh. Padahal, Ki Patigeni amat
mengenali angin pukulan jarak jauh seperti itu. Itu adalah
lontaran Racun Bara Neraka yang nyaris membunuh Andika
beberapa waktu lalu!
-o0o0-a-z-0o0o-
6 Naluri kependekaran Andika memerintah untuk segera
melompat. Maka tanpa diperintah otaknya lagi, tubuh Andika
pun melenting ke belakang dengan putaran beberapa kali.
Namun pada saat yang bersamaan, Ki Patigeni berusaha
menyelamatkan Andika. Sebisa-bisa-nya tubuhnya digenjot
untuk menyambar tubuh Andika. Dan akibatnya, kaki Andika
malah menimpa dada Ki Patigeni tanpa disengaja.
Begkh! Rasa sakit yang diderita lelaki tua itu akibat tendangan tak
sengaja Andika memang tidak terlalu parah. Tapi perakan
tubuhnya malah jadi terhenti saat itu juga, di tempat Andika
berdiri sebelumnya. Sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Ki Patigeni memekik tertahan. Tanpa diduga sama sekali,
pukulan beracun Bara Neraka langsung menghajar telak
rusuknya. Tubuhnya kontan terseret tenaga dorongan pukulan
itu sepuluh tombak ke samping kiri. Dan luncuran tubuhnya
baru terhenti, saat sebuah pohon tertumbuk bahu kirinya.
"Ki Pati...!" teriak Andika dilanda kekhawatiran, begitu
mendaratkan kakinya. Terlebih, ketika melihat pohon besar
yang ditimpa tubuh Ki Patigeni menjadi menghitam dalam
sekejap. Tanpa mempedulikan serangan gelap yang mungkin akan
menyusul, Andika segera memburu ke arah Ki Patigeni
tergeletak tak berdaya.
Andika membalik tubuh lelaki tua yang tertelungkup itu.
Orang tua yang terasa sudah seperti kakeknya sendiri, meski
belum begitu lama mengenalnya. Tampak mulut Ki Patigeni
mengeluarkan darah kental kehitam-hitaman. Demikian pula
kedua telinga dan hidungnya. T ubuhnya terasa begitu panas,
saat Andika menyentuhnya. Tapi sekali-kali tidak membuat
Andika segera menjauh. Dialirinya tenaga sakti pada kedua
telapak tangan, agar dapat menguasai hawa panas yang
hendak menghanguskannya.
"Andika.... Jangan sentuh aku terlalu lama," desak Ki
Patigeni, terbata.
Andika menggeleng-gelengkan kepala tanpa tahu harus
berucap apa. "Aku telah terkena Racun Bara Neraka. Tubuhmu masih
belum s iap menerima serangan racun itu kembali. Menjauhlah
cepat! Jangan sampai racun itu terserap ke dalam tubuhmu!
Cepat!" bentak Ki Patigeni, setengah mendesis.
"Tapi..., bagaimana keadaanmu, Ki?"
"Cepat menjauh! Jangan pedulikan aku!"
"Aku tidak peduli, Ki! Kau harus diselamatkan!"
"Dengan apa kau akan menyelamatkanku" Aku pun belum
sempat memberitahukan tentang kelemahan Racun Bara
Neraka padamu. Cepat pergi! Kalau kita berdua mati, siapa
yang akan membela kepentingan orang-orang lemah"!"
Dengan berat hati, Andika melepas juga tubuh Ki Patigeni.
"Baik aku lepaskan. Tapi, kau harus memberitahukan cara
menundukkan racun ganas itu padaku agar aku bisa segera
menyembuhkanmu, Ki...," ujar Andika nyaris tercekat karena
kesedihan yang tiba-tiba datang.
Namun tak ada jawaban dari Ki Patigeni.
"Ki...," panggil Andika kembali.
Tetap tak ada jawaban. Malah gerakan Ki Patigeni pun tak
terlihat lagi, bahkan naik-turun dadanya sekalipun.
"Kiii...!" Andika menjerit sejadi-jadinya.
Semua kenangan Andika dengan Ki Sanca di Perguruan
Trisula Kembar dahulu terbayang kembali. Sama seperti Ki
Patigeni, Ki Sanca pun meninggal dalam keadaan
menyedihkan di sisi Andika. Padahal, mereka sudah begitu
dekat di hati anak muda ini. Keduanya sudah dianggap
sebagai keluarga sendiri (Untuk mengetahui tentang K i Sanca,
silakan ikuti serial Pendekar Slebor dalam episode perdana,
"Lembah Kutukan").
Andika terduduk lemah di sisi mayat Ki Patigeni yang
perlahan-lahan mengering bagai batang kayu yang terjemur
berbulan-bulan. Itulah akibat kedahsyatan Racun Bara Neraka!
Setelah itu tubuh orang tua ini mulai retak-retak, seakan tanah
tandus! "Oh, Tuhan...!" desah Andika lirih.
Pendekar Konyol merundukkan kepala dalam-dalam.
Rasanya, saat itu seluruh air mata dikurasnya. Namun
tempaan kependekaran selama ini, membuatnya tidak jadi
cengeng. T ak ada setetes air mata pun yang menggenang di
bawah kelopak matanya. Hanya desahan napas tersekat-sekat
yang terdengar.
Kalau pada saat itu pukulan jarak jauh kedua diarahkan
padanya, tak dapat disangkal Andika akan langsung terhajar.
Bagaimana dia bisa mengelak, kalau jiwanya sendiri seperti
melayang dari raga akibat rasa kehilangan yang demikian
dalam. Lama Andika menunggu dalam sepi malam yang kian
terpulas. Namun, serangan gelap itu tak juga muncul.
-o0a-z0o- Malam di Desa Wadaswetan, namun keramaian masih
menyemaraki sekitarnya. Andika saat ini baru tiba di desa itu.
Saat itu di alun-alun desa memang sedang diadakan upacara
adat untuk pengangkatan seorang kepala desa baru. Pantas
saja, malam ini jadi ramai oleh warga desa yang berkumpul di
alun-alun. Di salah satu sudut alun-alun, Andika melihat
seorang wanita desa berpakaian sederhana. Dihampirinya
wanita itu, disertai senyum manis di bibir.
"Nyi, apa bisa menolongku, menunjukkan sesepuh desa
ini?" tanya Andika.
Wanita berwajah ayu itu me lirik malu-malu. Tampak
bibirnya yang merah merekah melepas senyum manis.
"Mari, Kang. Kuantarkan...."
"Ah! Rejeki nomplok!" seru Andika, dalam hati. "Kalau
semua wanita cantik seramah dia, bisa-bisa aku berhenti jadi
pendekar!"
"Mari, Kang. Kok jadi melamun?" tegur wanita itu
"Eh, iya... iya," Andika kelimpungan.
Wanita itu lalu mengajak Pendekar Slebor kesebu-ah balai
pertemuan di bagian barat alun-alun untuk menemui sesepuh
desa yang dimaksud Andika. Kata wanita itu, namanya Ki
Manik Angkeran. Dialah kepala desa lama yang kedudukannya
kini digantikan kepala desa baru. Umurnya sekitar tujuh puluh
tahun. Sebentar saja, mereka telah tiba di balai pertemuan itu.
Sebentar wanita itu mengarahkan telunjuknya pada laki-laki
yang menjadi sesepuh desa ini. Sedangkan Andika manggut-
manggut, tanda mengerti.


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih atas bantuanmu, Nyi," ucap Andika seraya
tersenyum. "Sama-sama.... Mari...," balas wanita itu, lalu berbalik
pergi. Setelah wanita itu hilang ditelan banyaknya orang-orang
yang lalu lalang, Andika menghampiri laki-laki bernama Ki
Manik Angkeran, yang ditunjuk wanita tadi.
"Selamat malam, Ki..," ujar Andika santun, seraya menjura
hormat. "Oh, selamat malam.... Ada perlu apa, Kisanak?" sambut Ki
Manik Angkeran tak kalah santun.
Walaupun garis ketuaan tampak di wajahnya, namun orang
tua itu terlihat berwibawa. Rambutnya yang hampir putih,
merata ditutup blangkon lurik. Perawakannya tidak gemuk,
tapi juga tidak kurus. Dari bentuk tubuhnya, akan terlihat
kalau selagi muda dia adalah lelaki gagah. Apalagi dengan
pakaian kembang-kembang yang dipadu oleh kain lurik
sebatas betis. "Aku ingin menanyakan sesuatu yang berkenaan dengan
desa ini, Ki," jawab Andika.
"Kalau begitu, silakan duduk dulu...," ucap lelaki itu,
mempersilakan Andika.
Pemuda itu pun duduk pada satu kursi kayu yang disusun
berjajar memanjang di bawah tenda besar yang disanggah
tonggak bambu tinggi. Di depan jajaran kursi, dibangun
sebuah panggung kecil sederhana yang tampaknya digunakan
untuk pemilihan kepala desa baru.
Saat itu, suasana balai tampak sepi. Tampaknya pemilihan
kepala desa baru telah selesai beberapa waktu lalu. Tadi
ketika Andika sampai, Ki Manik Angkeran sedang berbincang-
bincang dengan seorang warga. Namun warga itu segera
mohon diri ketika tahu ada seseorang yang hendak menemui
Ki Manik Angkeran. Maka kini tinggal Andika dan sesepuh desa
itu di tempat ini.
"Apa yang bisa saya bantu, Kisanak" Oh, iya. Nama Kisanak
siapa, ya?" tanya Ki Ki Manik Angkeran, setelah Andika duduk
di salah satu kursi.
"Namaku Andika, Ki. Aku ingin menanyakan suatu hal yang
mungkin diketahui olehmu, sebagai sesepuh desa," tutur
Andika. "Hm.. Aku Manik Angkeran. Dan kau boleh memanggilku, Ki
Manik. Ayo, silakan dimulai lagi," ujar orang tua itu.
"Mungkin kau tahu tentang peristiwa perampokan beberapa
tahun lalu yang dilakukan Kranggaek dan kawan-kawannya,
Ki?" Ki Manik Angkeran terdiam beberapa saat. Benaknya
seketika berusaha menggali peristiwa perampokan yang
dimaksud Andika. Cukup lama dia terdiam Sampai akhirnya dia
menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya penuh
beban. "Ya! Memang pernah terjadi perampokan oleh kawanan
Kranggaek beberapa tahun lalu. Tepatnya, delapan belas
tahun lalu," ucap Ki Manik Angkeran bersama satu desahan.
"Bisa diceritakan kejadiannya padaku, Ki?"
Ki Manik Angkeran menatap Andika dengan sinar mata
penuh tanda tanya.
"Aku tahu, pertanyaanku memang tampak mencurigakan.
Tapi aku butuh keterangan itu, Ki," kata Andika, seperti tahu
isi pikiran K i Manik Angkeran.
"Apa kau ada alasan khusus sampai menanyakan hal itu,
Andika?" tanya sesepuh desa itu, belum puas dengan jawaban
Andika yang tampak mengambang di telinganya.
"Ya," jawab Andika singkat.
"Apa itu?" tanya Ki Manik Angkeran lagi, setengah
mendesak. Andika menarik napas, dan membuangnya perlahan. Kalau
alasan menanyakan tentang peristiwa itu diceritakannya, maka
mau tak mau harus pula diceritakan tentang tindakan Ratu
Racun yang menghebohkan belakangan ini. Hal itu tentu akan
memancing rasa ingin tahu Ki Manik Angkeran lebih dalam.
Sesepuh desa itu pasti akan menanyakan, siapa diri Andika
sebenarnya. Bahkan bisa jadi akan ikut campur dalam
persoalan yang mengundang maut itu. Padahal, Andika tak
mau jati diri sesungguhnya diketahui lelaki itu. Dia tak mau
kedatangannya malah mengusik kegembiraan penduduk desa,
kalau mereka tahu Pendekar Slebor yang menghebohkan
belakangan ini ada di sini.
"Apa itu perlu, Ki?" tanya Andika kembali..
"Tampaknya begitu, Andika. Sebab aku tak mau lancang
memberi keterangan kalau tidak benar-benar yakin tujuan baik
orang yang bertanya," lanjut Ki Manik Angkeran, tegas
berwibawa. Sekali lagi Andika menghela napas.
"Baiklah, Ki.... Kalau itu memang syarat yang harus
kulaksanakan untuk dapat keterangan darimu," desah Andika.
Andika pun mulai bercerita, kenapa dia menginginkan
keterangan itu. Termasuk, bercerita singkat bagaimana
keterlibatannya dalam perselisihan dengan Ratu Racun.
"Kalau begitu, kau tentu seorang pendekar?" tanya Ki
Manik Angkeran, yakin. Belum juga Andika menjawab.....
"Kalau boleh kutahu, siapa julukanmu?"
Akhirnya yang dikhawatirkan Andika pun terjadi.
"Ah, hanya julukan kosong, Ki. Orang-orang sering
meledekku dengan memanggil Pendekar Slebor...," tutur
Andika terpaksa merendah. Suaranya sengaja dibuat selemah
mungkin, agar tidak ada orang lain yang mendengar.
Mendengar ucapan Andika, lelaki berwibawa itu tampak
mengangkat alis putihnya tinggi-tinggi. Matanya seketika agak
membesar, tanda keterkejutannya.
"Astaga! Jadi, kau ini yang berjuluk Pendekar Slebor!" seru
laki-laki tua itu, agak keras. "Sungguh suatu kehormatan bagi
desa ini, karena dikunjungi pendekar besar macam kau."
Andika hanya bisa menunduk mendengar pujian sesepuh
desa itu. "Kalau begitu, biar kami membuat acara penyambutan
untuk T uan Pendekar," kata Ki Manik Angkeran seraya berdiri.
"Tunggu, Ki!" cegah Andika. "Tak perlu acara seperti itu.
Lagi pula, aku tak ingin mengganggu kegembiraan penduduk.
Aku akan senang, kalau kau menceritakan tentang kejadian
delapan belas tahun lalu itu..."
Ki Manik Angkeran mengangguk-angguk, kagum pada
kerendahan hati pendekar muda di hadapannya.
"Baiklah kalau begitu," desah orang tua itu, lalu duduk
kembali di kursinya. "Delapan belas tahun lalu...."
Baru saja Ki Manik Angkeran memulai ceritanya, tiba-tiba....
"Aaa...!"
Terdengar pekikan panjang seperti hendak merobek
gendang telinga. Asalnya dari keramaian di tengah alun-alun.
Tentu saja jeritan itu mengejutkan Pendeekar Slebor dan Ki
Manik Angkeran. Maka keduanya saling pandang sesaat,
seakan tak yakin dengan pendengaran masing-masing.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar pekikan lebih menyayat.
Kali ini, Andika tak menunggu lebih lama. Seketika
tubuhnya digenjot secepat mungkin, lalu melesat ke arah
jeritan bagai anak panah lepas dari busur. Begitu pula Ki
Manik Angkeran. Dengan ringan, sesepuh desa itu berlari di
belakang Andika. Sebagai seorang yang dipercaya penduduk,
sudah tentu Ki Manik Angkeran memiliki kepandaian yang
dapat diandalkan.
Namun sebelum benar-benar sampai di tempat kejadian....
"Manik Angkeran! Kalau kau tak segera keluar, akan
kubunuh satu demi satu wargamu!"
Terdengar teriakan amarah dari seseorang, sehingga
membuat Ki Manik Angkeran terkejut. Tapi, hal itu tidak
membuatnya berhenti berlari. Disadari sepenuhnya kalau
tanggung jawabnya selaku seorang sesepuh Desa Wadaswetan akan diuji. Hal itu bisa dipastikan dari seruan
yang baru saja didengarnya.
Ancaman orang itu tampaknya bukan main-main. Dua
teriakan tadi mungkin sebagai peringatan awal bagi Ki Manik
Angkeran. Dia yakin, dua nyawa warganya telah terenggut.
Kalau tidak segera tiba di tempat kejadian, nyawa ketiga
mungkin akan segera melayang. Ma-kanya larinya kian
dipercepat. Begitu tiba di tempat kericuhan, Andika dan Ki
Manik Angkeran me lihat seorang wanita berpakaian hitam-
hitam sedang berdiri angkuh di tengah alun-alun. Sementara,
dua mayat warga desa tergeletak tepat di sisi kakinya. Dan
Andika mengenalnya sebagai Ratu Racun yang sempat
bentrok dengannya beberapa waktu lalu.
Sementara warga desa yang semula berkumpul gembira di
alun-alun kini telah pergi dalam keadaan kalang-kabut. Meski
begitu, masih banyak juga yang bernyali cukup besar. Mereka
berkerumun di sekitar pinggiran alun-alun untuk menyaksikan
kejadian selanjutnya.
"Ada apa ini"!" seru Ki Manik Angkeran lantang.
Sekitar lima belas tombak dari Ratu Racun, Ki Manik
Angkeran berdiri gagah. Sementara, Andika tidak terlihat di
dekatnya. Ke mana dia"
Di lain sudut, Kepala Desa Wadaswetan yang baru pun
telah tiba pula. Namanya, Anom Wijaya. Perawakannya agak
gemuk dan pendek. Usianya sekitar empat puluh delapan
tahun Matanya besar, berhidung mancung, dan bibirnya
dihiasi kumis tipis. Seperti juga K i Manik Angkeran, rambutnya
ditutupi blangkon lurik. Pakaiannya pun kembang-kembang
yang dipadu kain lurik sebatas betis.
Segera saja Ki Anom Wijaya menghampiri Ki Manik
Angkeran. "Ada apa, Ki Manik?" tanya kepala desa yang baru ini.
"Aku pun baru saja menanyakan hal itu padanya. Tapi,
tampaknya dia belum mau menjawab pertanyaanku," jawab Ki
Manik Angkeran seraya menoleh sesaat pada kepala desa ini.
Setelah itu mata laki-laki tua ini kembali tertuju pada
wanita berpakaian hitam-hitam serta bercadar merah tembus
panjang. "Apa kepentinganmu sebenarnya, sehingga begitu tega
membunuh warga kami, Nisanak?" tanya Ki Anom Wijaya
dengan suara dibuat seramah mungkin. Padahal dalam dada
amarahnya demikian meletup-letup.
"Kau tak ada urusan denganku, Kisanak!" sahut Ratu Racun
sinis. "Aku hanya ingin berurusan dengan Ki Manik
Angkeran...."
Ki Anom Wijaya menoleh pada Ki Manik Angkeran, seperti
ingin meminta pertimbangan sesepuh desa itu.
"Apa keperluanmu denganku, Nisanak?" tanya Ki Manik
Angkeran. "Tidak banyak.... Aku hanya ingin membunuhmu!"
Ki Anom Wijaya cukup terkesiap mendengar jawaban
lancang wanita yang mengacau desanya itu. Tapi lain lagi bagi
Ki Manik Angkeran. Seraya melangkah lebih dekat pada Ratu
Racun, dia terus menatap penuh ketenangan.
"Kenapa kau hendak membunuhku" Apa aku pernah
berbuat salah padamu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Tak perlu menanyakan kesalahanmu, Manik Angkeran.
Coba diingat-ingat lagi. Maka, kau akan tahu kalau kau punya
sangkutan dengan seseorang...," sahut Ratu Racun.
Ki Manik Angkeran mengernyitkan dahi. Sama sekali tak
dipahami maksud wanita di depannya.
"Apa kau bisa lebih jelas menerangkan padaku?" ungkit
sesepuh desa ini, meminta kejelasan.
"Tak perlu! Yang pasti, kau harus menyerahkan nyawamu
padaku malam ini juga!"
Tanpa perlu berucap lebih banyak lagi, Ratu Racun tiba-tiba
melabrak Ki Manik Angkeran yang berdiri sepuluh tombak di
depannya. "Hiaaa...!"
Tampaknya pertempuran tak bisa dihindari lagi....
-0o0oa-zo0o0- Tak ada seorang pun yang ingin mati cepat-cepat. Apalagi
sampai terkena pukulan beracun milik Ratu Racun. Seperti
juga Ki Manik Angkeran. Melihat serangan ganas wanita itu, Ki
Manik Angkeran dengan sigap segera memasang pertahanannya. Ketika telapak Ratu Racun hendak menghantam dada,
lelaki tua itu segera berkelit cepat ke samping kiri seraya
melakukan serangan balasan. Tangan kirinya cepat menebas
ke leher Ratu Racun dengan tak kalah cepat.
"Hih!"
Wut! Tebasan tangan Ki Manik Angkeran luput, ketika Ratu
Racun cepat merundukkan tubuhnya. Memang tak ada yang
mudah untuk menjatuhkan tokoh setingkat Ratu Racun.
Apalagi, jika melihat korban-korbannya yang rata-rata mati
dalam keadaan mengerikan.
Serangan susulan Ratu Racun mengarah pada kaki kanan
Ki Manik Angkeran yang menjejak dalama keadaan mantap.
Disapunya kaki orang tua itu dengan kaki kanannya.
Namun, Ki Manik Angkeran sudah menduga datangnya
serangan. Apalagi memang disadari kalau kaki kanannya
adalah kunci pertahanan dirinya. Maka dengan tangkas
pertahanannya dipindahkan ke kaki kiri. Sedangkan kaki
kanannya segera diangkat tinggi-tinggi.
"Hap!"
Wesss! Pasir alun-alun seketika bertebaran tersapu kaki kiri Ratu
Racun setelah luput menyapu kaki lawan Sementara, Ki Manik
Angkeran kembali memindahkan pertahanannya ke kaki yang
lain. Namun di saat itu, Ratu Racun mencoba kembali
mencecar tubuh sebelah kiri orang tua yang belum benar-
benar siap itu.


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bet! Bet! Bet! Tiga pukulan berantai mengarah pada leher, dada, dan
kening Ki Manik Angkeran. Untunglah sesepuh desa itu
memiliki pengalaman bertarung cukup matang. Sehingga,
cecaran seperti itu tidak membuatnya menjadi kelimpungan.
Maka dengan satu gerakan mantap, Ki Manik Angkeran
bersalto ke belakang. Sengaja tubuhnya dilempar agar seluruh
serangan lawan dapat kandas dalam satu gerakan
menghindar. "Hiaaa...!"
Ternyata, perhitungannya tepat. Seketika tiga pukulan
berantai lawan sanggup dimentahkan sekaligus.
Tep! Kini Ki Manik Angkeran mendaratkan kakinya mantap di
tanah dengan napas memburu, tujuh tombak di depan Ratu
Racun. Matanya mengawasi perempuan itu dengan sinar
penuh kesiagaan.
"Ternyata kau cukup punya simpanan, Angkeran. Tak
percuma kau dipercaya menjadi sesepuh desa ini. Tapi
sayang, tenaga tuamu tak akan mengizinkan kau bertarung
lebih dari lima puluh jurus. Cepat atau lambat, kau akan mati
di tanganku...," ujar Ratu Racun disertai ancaman.
"Benar katanya, Ki Manik. Kau memang sudah cukup tua
untuk bermain-main dengan wanita nakal ini! Kenapa tak
diserahkan saja pada orang yang lebih muda...?" ujar
seseorang di belakang Ratu Racun tenang.
Rupanya tahu-tahu Andika sudah berada di arena
pertarungan tanpa diketahui Ratu Racun. Bahkan oleh Ki
Manik Angkeran yang menghadap ke arahnya.
Tanpa menoleh, Ratu Racun menggeram angkuh.
"Sebutkan namamu agar aku bisa menguburmu bersama si
tua jompo dengan satu batu nisan."
Namun tak ada jaban yang terdengar. Bahkan desah napas
orang di belakangnya pun tak lagi tertangkap telinga Ratu
Racun. Tiba-tiba saja wanita itu merasa telah diperma inkan.
Dengan satu gerakan cepat, tubuhnya berbalik.
"Bangsat! Apa kau pikir kau...."
Bentakan Ratu Racun terputus ketika matanya tidak
menemukan orang yang meledeknya di belakang barusan.
Matanya bergerak liar ke sana kemari di balik cadar, mencari
orang yang dimaksud.
"Aku di sini, Mbok! Mau menyuruhku beli terasi"!" kata
Andika sembarangan. Kini, pemuda itu telah berdiri tepat di
sisi Ki Manik Angkeran.
Ratu Racun berbalik kembali dengan kemarahan memuncak. "Bedebah kau!" bentak wanita itu sambil berbalik
"Aha! Dia lagi...!" ledek Andika, saat matanya bertatapan
dengan mata Ratu Racun yang terlihat samar di balik cadar
merahnya. Kalau tak bersembunyi di balik cadar itu, mungkin Andika
dan Ki Manik Angkeran akan segera melihat bias keterkejutan
pada wajah wanita itu. Bagaimana tidak terperanjat" Selama
hari-hari belakangan ini, Ratu Racun begitu bangga pada
kesaktian dirinya yang telah mampu membunuh Pendekar
Slebor yang kesohor dengan racun andalannya. Dan dia yakin
sekali akan kesaktiannya.
Tapi, hari ini kenyataan mengatakan lain. Ternyata
pendekar yang selalu menyebalkan bagi tokoh aliran sesat itu
masih bisa tersenyum seperti cengiran kuda sableng!
"Tak usah terkejut.... Kalau orang sepertiku mati cepat-
cepat, siapa nanti yang akan membuat hidung manusia
sepertimu kembang-kempis karena jengkel. He he he...!"
cerocos Andika kembali.
"Kali ini kau akan mati sungguh-sungguh!" hardik Ratu
Racun jengkel. "Memangnya ada mati bohongan" Ih! Seperti di lakon
sandiwara saja...," tambah Andika, makin membuat lawannya
melotot geram. "Bangsaaat...!" bentak Ratu Racun di batas kegusarannya.
"Ada di kasuuur...," timpal Pendekar Slebor, semakin
konyol. "Hiaaat!"
Ratu Racun tak bisa menahan kemurkaannya lagi. Maka
satu hentakan berisi tenaga dalam membawa tubuhnya
meluncur deras ke arah Andika yang masih berdiri santai
dengan bibir mengulum senyum.
"Ki Manik, silakan menyingkir," ujar pemuda itu tenang
pada Ki Manik Angkeran seraya membungkuk. Padahal, jarak
antara dirinya dengan Ratu Racun nyaris habis.
Tapi, justru itulah akal Pendekar Slebor. Dengan
menundukkan kepala seperti itu, berarti sekaligus menghindari
cengkeraman jari beracun lawan yang mengarah ke
kepalanya. Wut! Cakaran jari Ratu Racun hanya membabat angin.
"Waduh! Untung aku sedang merunduk," ocah Andika
kebodoh-bodohan.
Sepasang tangan Pendekar Slebor lalu terangkat ke arah
dada Ratu Racun. Serangan balasan seperti itu terlihat kurang
ajar di mata siapa pun. Apalagi, bagi lawannya.
Dengan mata mendelik gusar, Ratu Racun menghindar
cepat ke belakang. Tapi tak dinyana sama sekali, serangan
Pendekar Slebor ternyata hanya ledekan saja. Tangan anak
muda itu ternyata hanya terangkat tanpa maksud
menjamahnya. "Wah! Tertipu, nih?"
Ratu Racun semakin marah tak terbendung. Diterjangnya
kembali Andika dengan kaki kanannya yang ganas menyapu
kepala. "Haiiit...!"
Deb! Dalam keadaan masih merunduk, sulit bagi Andika
mengelakkan serangan. Maka itu tak ada pilihan lain baginya,
kecuali menjatuhkan tubuh ke tanah. Pendekar Slebor
langsung melakukan putaran ke depan, maka tendangan
ganas Ratu Racun pun kandas.
Kali ini Pendekar Slebor tak main-ma in lagi dalam
melancarkan serangan balik. Dengan jurus 'Petir Selaksa',
serangannya diawali dengan satu terjangan sepasang
tangannya ke perut Ratu Racun yang memiliki pertahanan
paling lemah. "Haaat!"
Ratu Racun tentu saja tak membiarkan perutnya jadi
sasaran. Sengaja dicobanya untuk memapak tangan Andika.
Karena pertemuan tangannya dengan tangan Pendekar
Slebor, racun yang terpusat di seluruh lengannya secara
langsung akan merasuk ke dalam tubuh lawan.
Pendekar Slebor yang pernah bertemu Ratu Racun,
tentunya tak mau mengulangi kesalahannya. Segera disadari
kalau perempuan itu akan mengadu tangan. Maka secepatnya
Andika menarik kembali terjangan-nya.
"Hup!"
Pendekar Slebor cepat menarik pulang tangannya ke depan
dada. Lalu secepat kilat kedua tangannya dihempaskan ke
depan, bagai seorang yang hendak menyergap kilatan petir.
Kali ini, leher Ratu Racun yang terancam oleh sepuluh
jemari Pendekar Slebor yang merentang tegang hendak
menembus leher jenjangnya. Meski sempat terkesiap, Ratu
Racun masih dapat mengegoskan tubuhnya ke kanan sepenuh
tenaga. Meski begitu, satu jari Andika menggores kulit
lehernya. "Aih!" pekik Ratu Racun merasakan pedih yang tak terkira.
Sambil mendekap lehernya, Ratu Racun cepat melenting ke
belakang beberapa putaran.
Keadaannya yang tidak
menguntungkan memaksanya melakukan tindakan itu.
Pendekar Slebor tak ingin membiarkan Ratu Racun menarik
napas lega. Diburunya kembali perempuan itu dengan
jurusnya yang terlihat ganjil. Untuk serangan kali ini,
kepalanya menyeruduk liar ke perut Ratu Racun. Jurus-jurus
yang diciptakannya selama di Lembah Kutukan memang
terbentuk dari gerakan untuk menghindari sambaran petir.
Sehingga kalau dilihat, jurus-jurusnya hanya berupa gerakan
ngawur tak teratur. Namun bagi tokoh kelas atas seperti Ratu
Racun sendiri, jurus Pendekar Slebor tergolong sulit dihadapi.
Di samping aneh, jurusnya juga seringkah mengecohkan. Bila
Ratu Racun mengira serangan akan tertuju pada satu bagian
tubuh, maka yang akan dihajar justru bagian lain. Keganjilan
itulah yang membuat gerakan pendekar muda ini sulit diterka.
Seperti juga saat ini. Tatkala Ratu Racun hendak
meremukkan kepala Pendekar Slebor yang meluncur deras ke
perutnya, namun pendekar muda itu tiba-tiba malah berguling
di tanah. Saat berputar, sepasang kaki Pendekar Slebor
langsung merangsek kedua perut perempuan itu.
Duk! Duk! "Egh!"
Ratu Racun menjerit tertahan ketika sepasang tumit kaki
Pendekar Slebor mendera telak bahunya. Tak ayal lagi, tubuh
perempuan itu terhempas ke belakang, lalu berguling-guling di
atas tanah beberapa kali.
Sementara, Andika cepat bangkit berdiri.
"Hey, Perawan Tolol! Apa kau tak pernah berguling-guling
di tanah sewaktu kecil dulu"!" ledek Andika enteng.
Godokan selama di Lembah Kutukan membuat napasnya
biasa-biasa saja. Kalau melihat begitu keras penyempurnaannya yang dijalani di tempat mengerikan itu,
mungkin pendekar muda ini bisa bertempur sehari semalam
tanpa henti! Diiringi erangan, Ratu Racun bangkit terhuyung-huyung.
"Bedebah kau, Pemuda Sialan!" maki perempuan itu.
"Biar...," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Kau pikir dirimu telah menang?"
"Biar...."
"Sontoloyo! Kali ini kau akan merasakan kembali Racun
Bara Neraka milikku!"
"Biar...," sahut Andika kembali, seakan tak ada kata lain
untuk menanggapi omelan dongkol Ratu Racun.
Seketika Ratu Racun mulai menengadahkan tangannya ke
atas dalam rentangan lebar. Sepuluh jemari yang terbuka,
menegang bersama getaran hebat. Ucapannya tampak bukan
ancaman kosong. Dia benar-benar akan mengeluarkan ajian
beracun dari Negeri Tibet yang dimilikinya. Tak ada lima
kerdipan mata, telapak tangannya mulai berpijar merah.
Seakan, bara api telah menelusup ke sepasang telapaknya itu.
Menyadari lawan telah mengerahkan jurus ampuh yang
pernah membuatnya sengsara, Andika mau tidak mau harus
bertindak hati-hati. Segera seluruh pikiran serta panca
inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. T enaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan ini akan dipusatkan pada
kedua telapak tangannya.
Wesss! Saat Andika memejamkan mata, Ratu Racun secara licik
melepas pukulan jarak jauh berisi Racun Bara Neraka. Maka
seketika segumpal s inar merah membara membersit di malam
gelap, menerangi kancah pertempuran bagai bola lampu
raksasa. Ki Manik Angkeran, Ki Anom Wijaya serta beberapa
penduduk yang bernyali cukup besar hingga tak meninggalkan
alun-alun, menjadi terperanjat menyaksikan Pendekar Slebor
akan segera dilabrak gumpalan sinar maut yang menderu
cepat ke arahnya.
Sebelum sinar itu benar-benar sampai, tiba-tiba Andika
menghempas tangan dan napasnya berbareng. Sepasang
telapaknya yang menghadap ke depan, saat itu pula
melontarkan tenaga berkekuatan lima puluh ekor gajah
jantan! Wusss! Blarrr! Bagai menimpa benda lentur, pukulan jarak jauh lawan
yang berisi racun mendadak berbalik arah,
ketika bertumbukan di udara dengan tenaga dorongan Pendekar
Konyol. Sinar merah bara itu meluncur balik berlawanan dari
sebelumnya. Bahkan mengarah ke tuannya sendiri.
"Sinting!" maki Ratu Racun kelabakan.
Biarpun pukulan itu miliknya sendiri, namun Ratu Racun
sama sekali tak mau menerimanya. Racun Bara Neraka adalah
racun dari segala racun. Keganasannya sudah tidak
disangsikan lagi. Pemiliknya sendiri pun bisa mati terbunuh,
bila terkena. Ratu Racun melenting serabutan ke udara, menghindari
hantaman pukulannya sendiri. Tak diperhatikannya lagi
Pendekar Slebor yang pada saat bersamaan turut melenting
ke udara. Lalu....
Wusss...! Pukulan kedua dilepas Pendekar Slebor. Sasarannya tentu
saja tubuh Ratu Racun yang masih mengambang di udara.
"Aaa...!"
Ratu Racun memekik ngeri, saat menyadari pukulan lawan
mengarah ke tubuhnya. Sedangkan dia sendiri sudah tidak
bisa menghindar dalam keadaan melayang di udara seperti ini.
Desss! "Aaakh...!"
Satu hantaman dahsyat, tiba di bahu kiri Ratu Racun
Akibatnya perempuan itu melolong tinggi, menembus
cakrawala malam yang senyap. Kemudian tubuhnya menukik
tajam ke bumi, dengan kepala di bawah. Batu-batu cadas
menonjol yang berserakan di sekitar alun-alun, tentu akan
meremukkan kepala wanita itu beberapa saat lagi.


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun.... Tep! Dengan gesit, Ratu Racun memutar tubuhnya. Dan tanpa
menemui kesulitan berarti, kakinya menjejak ringan di tanah.
Tak ada satu tarikan napas, wanita bercadar merah itu cepat
melarikan diri dalam lesatan yang cepat.
Bisa saja Andika memburunya. Tapi pendekar muda itu
berpikir lain. Rasanya memang berbahaya kalau pertarungan
dengan tokoh sakti aliran hitam itu diteruskan. Masalahnya,
setiap saat bisa saja ada pukulan jarak jauh yang tersasar.
"Kisanak! Kenapa tidak dikejar"!" tanya Ki Anom Wijaya
setengah berseru. Hatinya tidak puas kalau tidak menangkap
hidup-hidup bajingan yang telah membunuh warganya.
"Lain kali aku berjanji akan menghabisinya, sebagai
pembayaran atas dua nyawa penduduk desa ini, Ki," jawab
Andika dengan mata menatap lurus pada arah menghilangnya
lawan. "Lain kali?" sergah Ki Anom Wijaya. Laki-laki itu memang
belum tahu, siapa Andika sesungguhnya. Yang diketahuinya,
anak muda itu telah bertarung dengan orang keparat yang
membunuh dua warganya.
"Ki Anom...," panggil Ki Manik Angkeran berwibawa.
Pengaruh sesepuh desa itu tampaknya begitu dihargai Ki
Anom Wijaya. Kepalanya menoleh pada Ki Manik Angkeran
dengan tatapan hormat, mesti jabatannya boleh dibilang lebih
tinggi dari K i Manik Angkeran.
"Ada baiknya kalau aku perkenalkan pendekar muda ini
padamu," lanjut Ki Manik Angkeran lembut. "Dia adalah
pendekar yang membela orang-orang tertindas. Dia juga salah
seorang keturunan pendekar besar yang menjadi cerita rakyat,
Pendekar Lembah Kutukan. Dialah Pendekar Slebor"
Ki Anom Wijaya kontan terpana. Mulutnya terbuka tanpa
sadar. Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu. Bahkan tak
terdengar kata maaf, karena bersikap agak tidak sopan pada
Andika. Namun Andika hanya membalasnya dengan senyum ringan.
-0o0oa-zo0o0- 7 Bukit Batujajar berbatasan dengan bagian selatan Desa
Wadaswetan. Letaknya yang berada di sekitar pegunungan
kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kering
kerontang seperti sudah akrab bagi bukit ini. Dan kerap kali
angin kencang bertiup, debu kapur langsung bertebaran
menjelajah permukaan Bukit Batujajar.
Apalagi, di s iang hari yang sangat terik ini. Rasanya tak ada
orang yang mau menyinggahi Bukit Batujajar, kecuali orang
bodoh. Tapi, rupanya ada juga beberapa orang yang terlihat di
sana Mereka bukan orang bodoh, tapi justru beberapa
pendekar yang sedang terlibat pertarungan seru dengan
seorang wanita berpakaian serba hitam.
"Hiaaa...!"
Cletar! Bet! Hingar bingar pertarungan membahana dari bukit tandus
ini. Tak dapat dipastikan, sudah berapa jurus telah dikerahkan
untuk menjatuhkan lawan masing-masing. Yang pasti,
pertarungan telah berlangsung ketika matahari sudah
menusuk tepat di ubun-ubun. Sedangkan kini matahari sudah
tersuruk sepenggalan.
Para pengeroyok wanita berpakaian serba hitam terdiri dari
tiga orang lelaki. Ketiganya sama-sama gagah dan tampan.
Yang seorang adalah laki-laki muda berusia tiga puluhan.
Kumisnya lebat dengan rambut panjang terikat kain bercorak
batik. Matanya tajam dihiasi alis mata yang tebal. Dagunya
ditumbuhi brewok, halus kebiru-biruan. Dia bernama Bayu.
Seorang lainnya juga pendekar muda. Usianya setahun
lebih muda daripada Bayu. Sama seperti Bayu, laki-laki yang
bernama Soka pun memelihara kumis lebat. Bedanya, dia
berambut pendek yang tertata rapi tanpa ikat kepala.
Sementara orang yang terakhir berpenampilan menawan.
Rambutnya ikal sebatas bawah telinga. Wajahnya klimis dan
terlihat bersih. Rahangnya yang berben-tuk agak persegi,
memperlihatkan kejantanannya. Dan dia sering dipanggil
Sena. Mereka bertiga berpakaian sama. Dari s ini bisa dinilai kalau
mereka berasal dari perguruan silat yang sama. Dengan baju
putih berlapis rompi kulit berwarna coklat, yang dipadu ce lana
berwarna hitam sepanjang lutut, mereka tampak kelihatan
gagah. Dalam rimba persilatan, mereka lebih dikenal dengan
julukan Tri Cemeti Puspa. Memang, cemeti bergagang dengan
bentuk bunga itu yang membuat mereka dijuluki demikian.
"Menyerahlah, Ratu Racun! Perbuatanmu di desa kami
harus dibayar dengan nyawamu. Rakyat desa meminta kami
untuk membawamu, agar kau dapat diadili karena telah
membunuh sepuluh warga desa!" seru Bayu setelah
mengambil jarak sekitar sepuluh tombak dari lawan.
"Kalian hanya mengada-ada, Kisanak! Bagaimana aku bisa
menuruti kemauan kalian, kalau mendengarnya saja baru kali
ini...," jawab wanita yang dipanggil Ratu Racun oleh Bayu.
"Nisanak! Jangan bersilat lidah di depan kami! Kami minta,
Nisanak sudi ikut dengan niat untuk membayar perbuatanmu!"
timpal Sena. Namun, wanita itu malah tertawa.
"Apa kalian hanya bersandiwara untuk memperdayaiku" !
Kalian ingin merampas kehormatanku di tempat yang diingini.
Bukan begitu"!"
"Wanita sundal! Apa kau pikir kami ini lelaki kotor seperti
dugaanmu"!" bentak Soka, tersinggung.
"Kang! Kenapa kita harus bertele-tele pada wanita busuk
ini" Ringkus saja dia, hidup atau mati!"
Dan tanpa menunggu persetujuan Bayu yang merupakan
kakak seperguruannya, Soka melabrak Ratu Racun.
"Hiaaat...!"
Cemeti di tangan Soka terayun-ayun di udara. Putarannya
memperdengarkan bunyi yang membuat ngilu perasaan.
Wut! Wut! Wut! Soka kian dekat pada lawan. Cemeti maut di tangannya
siap mencabik. Tapi....
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang menahannya.
Soka menoleh cepat. Begitu pula Bayu dan Sena. Mereka
ingin mengetahui orang yang hendak ikut campur urusan ini.
Mata ketiganya pun menangkap sosok pemuda berpakaian
serba hijau dengan kain bercorak kotak-kotak hitam dan putih
tersampir di pundaknya. Rambut pemuda itu sebatas bahu tak
teratur. Raut wajahnya tampan dengan mata tajam berhias
alis yang menukik bagai kepakan sayap elang perkasa. Hidung
pemuda tampan itu mancung dengan bibir tipis menawan.
Garis wajahnya yang gagah sesuai sekali dengan kekekaran
tubuhnya. Dia tak lain Andika, si Pendekar Slebor
Urusan Pendekar Slebor di Desa Wadaswetan memang
telah selesai. Dia telah mendengar seluruh kisah tentang
peristiwa perampokan yang terjadi delapan belas tahun lalu.
Menurut Ki Manik Angkeran, ada keluarga pendekar yang
terbantai ketika peristiwa itu terjadi. Suami istri pendekar itu
mati terbunuh dengan keadaan menyedihkan. Sedangkan dua
anaknya hilang tak tentu rimbanya. Anaknya yang perempuan
berumur sekitar tujuh tahun. Sementara yang laki-laki, masih
berupa bayi berusia sekitar tiga bulan.
Seperti dugaan Andika, perampokan itu memang dilakukan
Kranggaek dan kawanannya. Dan dugaannya semakin dekat
pada kebenaran ketika mendengar tentang anak perempuan
keluarga pendekar yang dibunuh kawanan itu. Dugaan Andika,
ini pasti masalah dendam kesumat
Sayang, Andika lupa menanyakan nama keluarga pendekar
itu. Saat teringat hal itulah, pemuda ini segera kembali ke
Desa Wadaswetan melalui Bukit Batujajar yang bisa menjadi
jalan singkat. Dan tanpa disangka-sangka, dia melihat
pertarungan keempat orang itu.
"Ada perlu apa, Kisanak" Kenapa kau ingin mencampuri
urusan kami?" tanya Bayu, sopan.
"Aku sempat mendengar kalian menyebut-nyebut tentang
Ratu Racun Apa kalian berurusan dengannya?" kata Andika.
"Ya, memang benar. Kami ada urusan dengan Ratu Racun,
kini wanita itu ada di sini. Apa Kisanak punya sangkutan pula
dengan dia" Kalau begitu, Kisanak datang pada saat yang
tepat...," tutur Sena, lelaki termuda dari T ri Cemeti Puspa.
"Oh! Tunggu..., tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa begitu,
Kisanak," sergah Andika seraya melepas senyum bersahabat.
"Aku memang ada sangkutan dengan wanita yang kau
sebutkan barusan. Tapi kurasa, aku tidak berurusan dengan
wanita berpakaian serba hitam ini...."
Seketika ketiga lelaki itu bersama-sama menyipit-kan mata
"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Bayu, mengungkapkan
ketidakmengertiannya.
"Ratu Racun memang berpakaian serba hitam seperti juga
wanita ini...," kata Andika kembali. Tapi....
"Aku memang Ratu Racun...," potong wanita itu.
Sekarang giliran Andika yang menyipitkan mata. Digaruk-
garuknya kepala meski tidak gatal.
"Apa ada yang salah, ya?" bisik pemuda itu membatin.
Memang, Pendekar Slebor sendiri sudah begitu yakin kalau
wanita itu bukan Ratu Racun yang pernah bertempur
dengannya. Ratu Racun yang dikenal Andika berpakaian serba
hitam, dan mengenakan cadar merah darah. Sedangkan
wanita ini, biarpun mengenakan pakaian yang sama tapi tidak
bercadar. Apa mungkin Ratu Racun telah melepas cadarnya"
Tapi kenapa tidak terkejut saat bertemu Andika yang jelas-
jelas dikenalnya sebagai Pendekar Slebor" Padahal Pendekar
Slebor adalah musuh yang menghalangi tindak-tanduk-nya
beberapa waktu lalu.
"Nah! Kau dengar sendiri, Kisanak. Dia telah mengakui
sendiri kalau dirinya adalah Ratu Racun," sambar Soka dalam
geletar kemarahan yang belum tuntas. "Sekarang, kita tunggu
apa lagi?"
"Tapi, tunggu...!" tahan Andika kembali.
Pendekar Slebor lalu melangkahkan kakinya lebih dekat
pada wanita berbaju serba hitam itu. Ditatapnya lamat-lamat
wanita berwajah ayu itu. Dari raut wajahnya, wanita itu tidak
mencerminkan seorang berhati iblis. Lalu, kenapa mengaku-
aku sebagai Ratu Racun" Pembunuh keji itu memang sulit
dimengerti sepak terjangnya. Karena di samping membunuh
tokoh-tokoh sesat, dia juga membunuh orang-orang tak
berdosa! Apa maunya orang ini dengan mengaku-aku sebagai
Ratu Racun" Kenapa persoalan ini jadi dem ikian pelik"
"Apa kesalahan yang kau perbuat terhadap mereka,
Nisanak?" tanya Andika sopan.
Wanita itu menatap Andika sejenak. Saat itu, sinar yang
sulit dijelaskan, terbias dari sepasang bola matanya yang
menawan Ya! Sulit dijabarkan. Seakan sebuah bayang kabur
yang begitu jauh di balik kebeningan tatapannya.
"Kau tanyakanlah sendiri pada mereka," jawab wanita itu
akhirnya. "Bagaimana, Kisanak?" lempar Andika, setelah tersadar dari
keterpanaan terhadap tatapan wanita di hadapannya.
"Apakah perlu kami ceritakan kesalahan yang dibuatnya?"
ujar Soka, mulai tak sabar.
"Aku rasa memang begitu. Sebab, kita harus menyelesaikan
masalah ini secara jernih," tutur Andika tenang.
"Baik..., baik. Akan kujelaskan," selak Bayu, lelaki tertua
dari ketiga orang itu.
Berbeda dengan Soka yang memiliki watak keras, Bayu
memiliki ketenangan yang dalam. Pantas saja kalau
penampilannya mencerminkan kewibawaan.
"Wanita ini telah melakukan pembunuhan atas sepuluh
orang warga desa kami beberapa pekan lalu. Kami lalu
mencarinya, dan bertemu di tempat ini. Mulanya kami
meminta agar dia bersedia ikut secara baik-baik. Tapi, dia
Duri Bunga Ju 11 Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa Pendekar Gunung Lawu 2
^