Pencarian

Geger Ratu Racun 3

Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Bagian 3


menolak. Maka terpaksa kami melakukan kekerasan, seperti
yang Kisanak lihat," lanjut Bayu.
"Benar begitu, Nisanak?" Andika mengalihkan pertanyaan
pada wanita yang mengaku Ratu Racun.
"Hm....Aku memang Ratu Racun. Tapi sungguh mati, aku
tak melakukan perbuatan apa-apa seperti cerita mereka
barusan," sahut wanita itu datar.
"Nah, kini masalahnya jelas, bukan" Kalian mungkin hanya
salah paham...," ujar Andika.
"Bagaimana bisa salah paham, kalau pembunuh warga
desa kami mengaku bernama Ratu Racun!" sergah Soka,
membentak. "Bagaimana aku bisa mengakui perbuatan keji itu kalau aku
tidak pernah melakukannya"!" timpal wanita berpakaian serba
hitam itu, tak kalah gusar dengan nada membentak.
Soka mulai dibakar amarahnya kembali. Kakinya maju
setindak untuk menghajar Ratu Racun Untung Andika segera
mencegahnya. "Ah! Sabar, Kisanak.... Sabar...," bujuk Andika sambil
mengangkat kedua tangan. "Aku merasa ada sesuatu yang
ganjil dalam masalah ini."
Telah dua kali Andika berkata seperti itu. Pertama,
diucapkan pada Ki Patigani. Dan kini, pada tiga pendekar Tri
Cemeti Puspa. Namun sampai saat ini, Andika sendiri belum
mendapat jawaban pasti tentang keganjilan yang dimaksud.
"Sebelum melanjutkan ucapanmu, sudilah kiranya kau
memberitahukan kami, siapa Kisanak sesungguhnya?" tanya
Bayu di sela ucapan Andika.
"Aku hanya seorang pengembara yang ingin berbuat baik
bagi orang-orang lemah dengan kemampuanku yang tidak
seberapa," jawab Andika, merendahkan diri. "Begini saja. Kita
akan membereskan masalah ini dengan satu kepastian!
Hilangkan kecurigaan, lalu kita mencari bukti-bukti nyata yang
bisa memberatkan wanita ini, atau malah membebaskannya.
Untuk itu, pikiran harus tetap jernih dan hati harus tetap
dingin. Bagaimana" Bukankah kita ini pendekar-pendekar
terhormat yang menjunjung harga diri masing-masing?"
Bayu yang cukup bijaksana langsung mengangguki usul
Andika, meski masih sedikit ragu dengan Andika sebenarnya.
Sementara, kedua adik seperguruannya tak bisa membantah
ketika Bayu selaku kakak seperguruan menyetujui.
"Bagaimana denganmu, Nisanak?" tanya Andika pada
wanita di sisi kirinya.
Sesaat wanita ayu berhidung bangir serta bermata bulat
menawan itu hanya menatap Andika lekat-lekat. Sedangkan
Andika balas menatap. Kesempurnaan lekuk wajah Ratu
Racun tiba-tiba saja menelusup ke relung hatinya yang
terdalam. Dan pemuda itu hanya mendesah dalam hati. Siapa
sebenarnya wanita ini" Rambutnya panjang tergerai, kulitnya
yang seputih lapisan salju, sinar matanya yang bening....
Semua itu seakan pernah ada di dalam dasar ingatannya. Tapi
siapa" "Bagaimana aku bisa mempercayai kalian kalau kalian
bukan orang jahat?" ungkit wanita itu, mengeluarkan rasa
curiganya pada Andika.
Pendekar Slebor membuang napas. Sulit untuk meyakinkan
wanita itu kalau dirinya bukan orang jahat. Apalagi
membuktikan ketiga pemuda yang membawa wanita itu untuk
diadili. Di dunia ini, mana mudah mempercayai seseorang
yang baru saja bertemu" Dunia memang sering kali
memunculkan tipu daya yang berselimut kebenaran. Tanpa
bukti nyata, kepalsuan tidak akan terungkap.
"Aku tidak tahu, bagaimana harus membuktikan kalau aku
bukan orang jahat," tutur Andika menyerah. "Bagaimana
dengan kalian bertiga, Kisanak?"
"Sulit membuktikan kata-kataku sekarang ini, kalau aku
orang baik-baik," kata Bayu mewakili adik seperguruannya.
"Ucapan itu pertanda kalau kalian adalah orang baik-baik,"
ujar Ratu Racun.
Ucapan itu membuat Andika, Bayu, dan kedua adik
seperguruannya sama-sama mengernyitkan alis tak mengerti.
"Ah! Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Menurut
penilaianku, biasanya orang yang ingin meyakinkan orang lain
dengan kata-katanya bahwa dirinya baik adalah orang jahat.
Begitu pula sebaliknya," urai wanita berpakaian serba hitam
itu bijak. Mendengar ucapan berkesan falsafah hidup barusan,
Andika tersenyum sabar. Dalam hati, dipujinya wanita itu
dalam menilai seseorang. Biarpun, tak selalu harus begitu.
"Kalau begitu, kita tunggu apa lagi?" tanya wanita itu
bernada mengajak. Sebaris senyum tipis tampak ketika
menyaksikan keempat lelaki di dekatnya masih menatap
penuh rasa penasaran.
-0o0oa-zo0o0- 8 Sejak peristiwa di Bukit Batujajar, Andika mengajak tiga
pendekar muda serta wanita yang mengaku sebagai Ratu
Racun untuk tinggal di sebuah penginapan di Desa Teratai.
Sebuah perkampungan yang cukup ramai, karena terletak di
persimpangan jalur perdagangan antar kota kadipaten.
Mereka telah tiga hari berma lam di penginapan sederhana
ini. Selama itu, Soka selalu bertanya dengan wajah curiga,
bagaimana cara Andika membuktikan kalau wanita yang ikut
ini bukan Ratu Racun yang membunuh warga desa tempat
tinggal para pendekar Tri Cemeti Puspa.
Mulanya Andika tidak mau memberitahukan rencananya
pada pendekar muda itu. T api karena terus didesak, akhirnya
Andika menyerah.
"Kita tunggu saja beberapa hari ini. Kalau selama wanita itu
berada bersama kita, namun tetap terjadi pembunuhan oleh
Ratu Racun, berarti dia bukan orang yang dimaksud. Mungkin
hanya mengaku-aku saja. Entah dengan maksud apa," urai
Andika pada Soka. Sementara dua saudara seperguruannya
menjaga wanita yang mereka curigai.
"Bagaimana kalau dia pergi diam-diam, lalu membuat
kerusuhan di desa lain dan kembali ke sini secara diam-diam
pula?" kejar Soka.
"Karena itu kita harus ketat menjaganya. Dia harus tetap di
kamarnya selama beberapa hari ini," jawab Andika mantap.
Selama itu pula, Andika tak habis-habisnya memikirkan
keganjilan-keganjilan yang berkaitan dengan sepak terjang
Ratu Racun. Lama Andika berpikir di dalam kamarnya untuk
memecahkan teka-teki yang harus dipecahkannya. Sewaktu
Pendekar Slebor mengintai Ratu Racun bersama Ki Patigeni di
Hutan Watuabang, memang ada perbedaan antara dua orang
yang mengaku Ratu Racun ini. Apa perbedaan itu" Dia
berusaha mengingat-ingat. Sampai akhirnya....
"Aku ingat!" bisik Andika setengah terlonjak bicara sendiri.
"Saat itu, aku melihat senjata berbentuk tongkat yang
tersembul di balik baju hitam Ratu Racun yang kuintai di
Hutan Watuabang bersama Ki Patigeni."
Beberapa saat Andika mengangguk-anggukkan kepala
perlahan. "Hm.... Tampaknya ada dua orang Ratu Racun yang
membuat heboh dunia persilatan," gumam Andika. "Yang
pertama tentu wanita dari Desa Wadaswetan. Seorang wanita
yang memiliki dendam kepada Kranggaek dan kawanannya,
karena telah membunuh orang-tuanya delapan belas tahun
lalu." Kali ini Andika malah mengernyitkan kening dalam-dalam.
"Lalu, siapa Ratu Racun yang kedua" Apa maksudnya
melakukan pembantaian terhadap orang-orang tak berdosa"
Lalu, apa pula maksudnya mengenakan cadar" Apa karena
ingin tak dikenali?"
Beberapa lama, Andika memeras otak kembali. Seluruh
ingatan yang tersimpan di benak diaduk-aduknya. Sampai
akhirnya, dia teringat ucapan Ki Patigeni kalau salah seorang
yang menjadi sasaran dendam Ratu Racun adalah wanita,
yaitu Nyi Rorokweni.
Mendadak Andika terlonjak, lantas bangkit dari bangku
kayu yang didudukinya.
"Jadi kalau begitu, wanita yang mengaku sebagai Ratu
Racun memang benar-benar Ratu Racun!" desis Andika
dengan mata setengah membelalak. "Tentu dia yang telah
membunuh Kranggaek, Rawegenggong, dan para anak
buahnya. Kini, dia sedang mencari sisa-sisa kawanan yang
telah membunuh orangtuanya. Sementara, ada juga orang
yang mengaku-aku sebagai Ratul Racun, dengan membunuhi
orang-orang tak berdosa...."
Untuk memastikan hal itu, Andika segera menggenjot
tubuh, meninggalkan kamar. Tubuhnya melesat cepat ke
kamar wanita berpakaian serba hitam yang sedang dijaga Tri
Cemeti Puspa. Dia bermaksud menanyakan kebenaran semua
dugaannya pada wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun
itu.Sesampainya di tempat yang dituju, mata Andika jadi
menyipit. Tiga pendekar muda yang sedang menunggu kamar
wanita itu ternyata tergolek pingsan. Ketika hidungnya
menangkap bebauan tak sedap, Andika langsung berkesimpulan kalau mereka telah ditebari semacam racun
ringan, sehingga membuat pingsan.
"Sialan!" gerutu Andika. "Bagaimana aku harus mengatakan
pada para pendekar ini kalau Ratu Racun yang hendak dibawa
telah pergi...."
Pikir punya pikir, Andika memutuskan untuk pergi saja
sebelum ketiganya siuman. Mereka tentu tak akan mau
mengerti mendapati kejadian itu. Bahkan bisa saja mereka
menganggap Andika bersekongkol dengan Ratu Racun.
Tak ada satu tarikan napas, Andika sudah menghilang di
balik jendela penginapan.
-0o0oa-zo0o0- Di suatu tempat yang berjarak sekitar lima puluh tombak
dari penginapan, tampak seseorang sedang berlari cepat
dalam kegelapan malam. Tak jauh di belakangnya, puluhan
orang mengejar. Ketika sinar bulan yang bersinar penuh
menerangi, wajah dan pakaian mereka pun terlihat cukup
jelas. Orang yang berlari di depan adalah wanita berpakaian
serba hitam. Rambutnya panjang terurai sebatas pinggang.
Sapuan sinar bulan yang lembut memperlihatkan keayuan
wajahnya. Dia adalah Ratu Racun. Sedangkan para
pengejarnya terdiri dari para pendekar yang berpakaian
seragam. Pakaian mereka rompi kuning, berlapisan dalam
berwarna merah. Celana mereka berbentuk pangsi warna
merah pula. Dari pakaian itu, rupanya kelima belas orang itu
berasal dari perguruan yang sama. Perguruan Elang Merah!
Rupanya sejak meninggalkan penginapan, Ratu Racun
sudah dikuntit terus oleh orang-orang Perguruan Elang Merah.
Bagi Ratu Racun yang bernama asli Mayangsari, kelima belas
lelaki itu rasanya tidak pernah memiliki persoalan dengannya.
Maka yang dipilihnya adalah melarikan diri. Di samping itu, dia
memiliki urusan lain yang lebih penting. Yakni, mendatangi
seseorang yang pernah berhutang nyawa dengannya.
Karangga, seorang rekan Kranggaek.
Para pendengar dari Perguruan Elang Merah tentu saja tak
sudi membiarkan buruannya pergi begitu saja.
Ada alasan yang membuat mereka harus menangkap
Mayangsari yang berjuluk si Ratu Racun, hidup atau mati.
Sekitar tiga pekan lalu, seorang wanita berpakaian serba
hitam serta berambut panjang seperti Mayangsari, datang ke
perguruan mereka Bedanya, wanita yang mengaku Ratu
Racun itu mengenakan cadar berwarna merah darah. Di
perguruan itulah orang yang mengaku Ratu Racun membantai
beberapa murid muda dengan telengas.
Kejar-mengejar terus terjadi, sampai melewati lereng-
lereng bukit berliku yang curam, bagai liukan ular liar. Mereka
terus menerabas semak belukar dan kelebatan ilalang.
Di dunia persilatan, kesaktian Ratu Racun memang mampu
menggetarkan setiap orang. Terlebih, kehebatannya dalam hal
racun Namun untuk ilmu lari cepat, Mayangsari tampaknya
tidak jauh berbeda dengan para pendekar dari Perguruan
Elang Merah. Terbukti hingga saat itu, dia belum juga mampu
meloloskan diri dari kejaran.
"Berhenti kau, Perempuan Jahanam!"
"Berhenti!
Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu!"
Telinga Mayangsari menangkap teriakan-teriakan murka
itu. Ditilik dari kekuatan suaranya, tampaknya para pengejar
semakin dekat. Tentu saja hal itu membuatnya menjadi
tegang. Peluh dingin mulai membasahi keningnya yang halus.
Dia sendiri sebenarnya tidak takut kalau terpaksa harus
bertempur. Biar bagaimanapun, hatinya tak perlu gentar
karena merasa tak pernah berbuat salah sedikit pun. Tapi
selaku wanita, perasaannya yang rapuh dan peka tidak bisa
dibohongi Tanpa pernah dikehendaki sama sekali, timbul rasa
gentar pula di hatinya.
Dalam kekalutan yang mulai menggerayangi dirinya, napas
wanita itu menjadi tak teratur. Dadanya tera sa hendak pecah
akibat mengerahkan seluruh kemampuan lari cepat. Apalagi,
jika telinganya makin sering dilabrak teriakan murka para
pengejar. "Hei, Keparat! Ke mana pun kau lari, kami tak akan
berhenti mengejar!" ancam seorang pengejar, penuh
kegeraman. "Ini pasti fitnah yang sengaja dilakukan seseorang pada
diriku," bisik Mayangsari dengan napas memburu.
Untuk beberapa saat dia berhenti di balik bongkahan batu
sebesar kerbau yang bisa untuk menyembunyikan tubuhnya.
"Tapi, manusia keparat mana yang ingin memfitnahku?"
lanjut wanita itu, bertanya pada diri sendiri.
Mayangsari menanti tegang di tempat persembunyiannya.
Untuk menarik napas saja, rasanya amat sulit baginya. Dia


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu khawatir persembunyiannya akan tercium para
pendekar dari Perguruan Elang Merah yang tentunya
berhasrat merencahnya hidup-hidup.
Tiba-tiba.... Tep! "Mmmph...!"
Jeritan tertahan terlepas dari mulut Mayangsari. Benar-
benar amat tertahan, karena mulutnya dibekap seseorang.
Menyadari ada seseorang yang menyergapnya, Mayangsari
berusaha berontak. Nalurinya langsung memerintah untuk
mengerahkan tenaga dalam agar sergapan seseorang di
belakangnya dapat dimentahkan.
Sayang, tangan kekar yang kini mendekap mulut serta
merengkuh kuat pinggangnya ternyata memiliki tenaga jauh
lebih besar. Akibatnya, dia hanya bisa merasakan sakit pada
bagian tubuh yang dijepit.
Untunglah kedua tangan Mayangsari luput dari jepitan
tangan kekar itu. Dengan begitu, dia masih punya kesempatan
untuk menyikut disertai tenaga dalam penuh. Baru saja
niatnya hendak dilaksanakan, lagi-lagi si penyergap mendahuluinya. Dari mulut Mayangsari, tangan kekar itu
bergerak lincah ke belakang leher melepaskan totokan.
Tuk! "Akh...!"
Mayangsari hanya sempat memekik kecil, lalu tubuhnya
seperti kehilangan seluruh tulang-belulang. Tubuhnya lunglai
tanpa tenaga sama sekali. Yang dapat dilakukannya saat itu
hanya menggerakkan sepasang kelopak matanya dalam
kekhawatiran memuncak.
Sesaat kemudian, tubuhnya terasa dibawa lari dalam
kecepatan tinggi Sementara, telinganya sayup-sayup mendengar siulan orang yang membopongnya yang terdengar
aneh, karena iramanya seperti lagu anak-anak kecil yang biasa
dinyanyikan pada malam bulan purnama.
Mayangsari tidak habis pikir dengan keganjilan tingkah
orang yang menyergapnya. Kalau menilai dari cara
menyergapnya tadi, bisa dipastikan orang itu tidak bisa
dianggap sembarangan. Bahkan bisa jadi adalah tokoh kelas
atas dunia persilatan. Tapi kalau mendengar siulannya yang
terdengar riang dan lucu, perempuan itu jadi menimbang
seribu kali untuk menyebutnya sebagai tokoh yang disegani.
Tentu saja Mayangsari dibuat bingung melihat keganjilan
tingkah orang yang menyergapnya. Memang, orang itu tak
lain Pendekar Slebor, pendekar muda yang akan sakit gigi
kalau tidak bertingkah sedikit gila.
"Kau jangan ketiduran, ya. Mentang-mentang keenakan
sedang kubopong! Bukan apa-apa, aku hanya takut kalau kau
ngompoli aku...."
Telinga Mayangsari kembali menangkap keganjilan.
Ngompol katanya" Orang ini begal apa pemain ludruk"
"Hm.... Aku pernah mendengar suaranya. Di mana, ya?"
tanya perempuan itu dalam hati.
Di tengah padang ilalang yang tumbuh tinggi, Pendekar
Slebor menghentikan larinya untuk bersembunyi dari kejaran
orang-orang Perguruan Elang Merah. Andika hanya ingin
menjaga kemungkinan kalau para pengejar Mayangsari
sampai di tempat itu. Meski, sebenarnya mereka telah jauh
tertinggal di belakang sana. Memang tidak mungkin bagi
mereka untuk bisa mengejar Pendekar Slebor yang ilmu lari
cepatnya hanya bisa ditandingi beberapa gelintir tokoh
persilatan kelas atas.
"Nah, sekarang kau bisa sedikit lega," gumam Pendekar
Slebor seraya menurunkan tubuh wanita itu dari bahunya.
Di bawah siraman sinar bulan, Mayangsari dapat melihat
wajah orang yang telah menyergapnya. Ternyata, hanya
seorang pemuda tampan berambut gondrong tak teratur yang
berpakaian hijau pupus, dengan kain bercorak papan catur
tersampir di pundaknya. Bibirnya memperlihatkan senyum
yang berkesan ketolol-lololan.
"Kau...," ujar Mayangsari singkat, setelah mengenali
Andika. "Ya, aku. Kau terkejut?" tanya Andika santai. Mayangsari
menghempas napas. Dadanya yang sejak tadi terasa ingin
pecah karena tegang, mendadak lega. Rasanya dia baru saja
terbebas dari himpitan dua gunung raksasa.
"Kenapa menghentak napas seperti itu" Lega karena bisa
lepas dari kejaran orang-orang yang sudah mata gelap?"
sambung Andika sambil menempatkan tubuh di sisi
Mayangsari yang masih lunglai.
Sementara wanita itu hanya diam saja, seraya mengucapkan syukur dalam hati.
"Makanya jangan suka mempermainkan orang. Aku sudah
berusaha menolongmu dari hukuman tiga pendekar yang
mungkin masih pingsan di penginapan itu, tapi kau malah
melarikan diri begitu saja," lanjut Andika, seperti tidak peduli
dengan keadaan Mayangsari.
"Buat apa menunggu lebih lama" T oh, aku tidak melakukan
kesalahan apa-apa"!" sahut Mayangsari dengan nada jengkel.
"Dan, buat apa pula kau menunggu lebih lama"!"
"Aku" Menunggu apa?" tanya Andika tak mengerti
"Bebaskan aku! Ada jangkrik yang masuk ke dalam
pakaianku!" bentak Mayangsari kalap.
"Oh, maaf. Aku lupa kalau kau masih tertotok," sesal
Andika dengan wajah sungguh-sungguh.
Tapi selanjutnya Andika malah kelihatan bingung, yang
membuat kepala Mayangsari nyaris pecah karena jengkel.
"Di bagian mana jangkrik kurang ajar itu masuk" Biar aku
bantu mengusirnya...," lanjut Pendekar Slebor.
"Kubilang bebaskan aku! Aku tak perlu pertolonganmu yang
lain! Apa kau tuli"!" hardik Mayangsari kembali. Matanya
membesar akibat kedongkolan yang mencapai ubun-ubun.
"Baik..., baik. Akan kubebaskan," ujar Andika. Kemudian
tangannya bergegas bergerak ke bagian belakang kepala
Mayangsari. Tuk! Satu totokan jari telunjuk Andika membebaskan wanita
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu dari pengaruh
totokannya. Setelah merasa otot-ototnya dapat digerakkan
kembali, Mayangsari segera bangkit.
"Kau tak mengucapkan terima kasih padaku?" usik Andika
tatkala melihat wanita ayu itu menepuk-nepuk pakaiannya
yang dikotori ilalang kering, sekaligus mengenyahkan seekor
jangkrik iseng yang masuk ke balik bajunya.
Mayangsari tak menanggapi ucapan Andika barusan. Malah,
kakinya melangkah pergi dengan wajah cemberut.
"Mau ke mana kau?" seru Andika. Pemuda itu segera
bangkit menyusul Mayangsari.
"Bukan urusanmu!" jawab Mayangsari, acuh.
"Tapi aku punya urusan denganmu!" sergah Andika.
Sementara Pendekar Slebor berusaha menjajarkan langkah
di sisi Mayangsari yang terus berjalan dengan langkah
terbanting. "Aku tak peduli," jawab Mayangsari kembali, tetap dingin.
"Sungguh" Ini soal seseorang yang hendak memfitnahmu.
Tentang seorang wanita yang mengaku-aku sebagai dirimu.
Tentang Nyi Rorokweni...," tutur Andika lagi
Mendadak Mayangsari menghentikan langkah.
"Kau tadi menyebut Nyi Rorokweni?" tanya wanita itu
dengan alis berkerut, tanda perhatiannya timbul tiba-tiba.
Nama yang baru saja disebutkan Andika memang amat
berkaitan erat dengan dirinya.
"Apa iya begitu?" tanya Andika, pura-pura.
Timbul kenakalan Pendekar Slebor sebagai seorang yang
pernah besar sebagai gelandangan brengsek kotapraja.
Mayangsari menaikkan pangkal hidungnya. Hatinya mulai
gusar dengan sikap Andika yang terasa terlalu meremehkan
dirinya. "Kau jangan coba main-main denganku, ya!" rutuk
Mayangsari seraya menyipitkan mata.
"Tadi katanya kau tidak peduli," ucap Andika tenang.
"Sekarang aku peduli!"
"Sekarang aku yang tidak peduli! He he he...!"
Mata bulat Mayangsari berkilat gusar. Dipertemukannya
sepasang bola matanya dengan mata Andika, tepat ke manik-
maniknya. Pandangannya seakan hendak melalap bulat-bulat
tubuh Andika. "Sebenarnya kau berdiri di pihak mana" Aku, atau Nyi
Rorokweni?" tanya Mayangsari seperti mendesis.
"Apa maksudmu?" balik Andika, masih tetap acuh. Satu alis
mata hitamnya terangkat tinggi-tinggi.
"Aku curiga, kau justru kaki tangan Rorokweni si keparat
itu. Itu artinya, aku bisa saja melumatmu dengan racunku
sekarang juga...," ancam Mayangsari, tidak main-main.
Andika menggaruk-garuk kepala, meski tidak gatal
"Tampaknya kau mulai dongkol padaku, ya?" kata Andika
enteng. "Ya.... Daripada aku keracunan, lebih baik menjawab
pertanyaanmu. Apa yang ingin kau tanyakan tadi?"
"Apa hubungannya Nyi Rorokweni dengan orang yang
hendak memfitnahku?" tanya Mayangsari, bergegas.
"Kau tidak bisa sedikit menduga?"
"Jangan bertele-tele!"
"Baik..., baik. Nyi Rorokweni telah menyamar sebagai
dirimu. Dia membunuh puluhan orang tak bersalah, dengan
telengas. Lalu, dia mengaku sebagai Ratu Racun. Sebagai
dirimu. Bedanya, dia mengenakan cadar merah dalam setiap
pembantaian yang dilakukannya...,"
tutur Andika, menjelaskan. "Bagaimana kau bisa tidak terkecoh oleh Nyi Rorokweni,
sementara banyak pendekar aliran putih lain bisa tertipu?"
tanya Mayangsari, curiga.
"Aaah! Kau masih tetap mencurigai aku rupanya" Tapi
kalau kau ingin tahu juga, akan kujawab. Yang jelas, aku tahu
perempuan yang hendak memfitnahmu itu adalah Nyi
Rorokweni."
Kemudian Andika pun menceritakan seluruh kejadian yang
membawanya pada kesimpulan itu. Bagaimana dia pernah
bertarung melawan Ratu Racun yang bercadar merah. Juga
dijelaskan, bagaimana dia dapat melihat perbedaan antara
Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya itu dengan
Ratu Racun yang kini dikenalnya.
"Waktu kau menghabisi Rawegenggong dan anak buhanya
di Hutan Watuabang, aku tak sempat melihat wajahmu.
Kelebatan hutan itu tak memberi kesempatan untuk melihat
wajahmu. Tapi aku melihat sesuatu yang tak dimiliki Ratu
Racun bercadar merah...," tutur Andika penuh keyakinan.
"Apa itu?"
Mata Andika melirik ke bagian pinggang Mayangsari. Di
sana tersembul sebentuk tongkat pendek yang tersembunyi di
balik bajunya. "Aku melihat benda itu tidak dimiliki Ratu Racun telengas
itu...," kata Andika, pasti.
Tanpa sadar, tangan Mayangsari memegang benda yang
dimaksud Andika.
"Ini senjataku," aku wanita itu.
"Sudah kuduga."
"Lalu, bagaimana kau tahu kalau perempuan yang
mengaku Ratu Racun adalah Ny i Rorokweni?" desak
Mayangsari kembali.
Tanpa ingin bertele-tele lagi, Andika segera menceritakan
penyelidikannya selama ini. Dimulai dengan kalung kayu yang
ditemukannya di sekitar tempat pertarungan Mayangsari
dengan gerombolan Rawegenggong di Hutan Watuabang,
hingga kunjungannya ke Desa Wadaswetan untuk menanyai
sesepuhnya, Ki Manik Angkeran.
"Lalu aku teringat ucapan Ki Patigeni. Dia telah menjadi
korban keganasan pukulan Ny i Rorokweni. Dan ketika pukulan
itu kuperhatikan, ternyata mirip pada korban-korbannya yang
terdiri dari orang-orang tak berdosa. Dan ketika ciri-ciri
pukulan itu kutanyakan pada Ki Manik Angkeran, ternyata juga
sama dengan pukulan salah satu tokoh yang pernah
merampok di Desa Wadaswetan. Tak ada orang lain yanag
mempunyai pukulan seperti itu, selain Ny i Rorokweni.
Sementara melihat sepak terjangmu pada orang-orangnya
Begal Ireng, maka aku berkesimpulan..."
"Kalau aku sedang memburu mereka karena dendam?"
selak Mayangsari.
'Tepat!" ujar Andika dengan lagak seorang penjual obat.
Mayangsari mengangguk-angguk pelan. Rambutnya yang
panjang ikut terayun-ayun. Sinar matanya sendiri terlihat
kagum pada Andika, karena mampu mengungkap rahasia
dirinya dengan tepat.
"Sekarang kau harus jawab pertanyaanku," pinta Andika
lebih lanjut. "Kenapa kau dan Nyi Rorokweni memiliki racun
dahsyat yang juga dimiliki oleh seorang tokoh kalangan hitam
yang hidup puluhan tahun lalu?"
"Ki Guntara?"
"Dari mana kau tahu?"
Mayangsari menghela napas berat sesaat.
"Dia adalah guruku," kata wanita itu. "Ki Guntara pernah
menceritkan tentang

Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Patigeni yang pernah mengalahkannya. Sejak dikalahkan, guruku menjadi sadar
kalau di dunia ini tak ada orang yang paling tinggi. Sesakti apa
pun orang itu, suatu saat akan tetap jatuh dan tak mungkin
menghindari kematian. Ingat pada kematian, dia ingat pada
kekuasaan Tuhan. Sampai akhirnya, seluruh kesalahannya
disadari dan bertobat...."
Mayangsari menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak
dirundung keprihatinan dalam.
"Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi, kan?" usik
Andika. Mayangsari tersadar.
"Sejak saat itu, guruku menyepi sekaligus mengangkat
seorang murid bernama Rorokweni yang kala itu berusia enam
belas tahun. Sayang, Rorokweni ternyata memiliki watak
buruk. Dan guruku pun bisa mencium hal itu. Karena
wataknya itu pula, guruku hanya menurunkan sebagian ilmu
kesaktiannya padanya. Dan Rorokweni yang mengetahui hal
itu, menjadi mata gelap. Guru pun dikhianati. Dengan racun
yang pernah dipelajarinya, Ki Guntara diracuni hingga lumpuh.
Dia berpikir, dengan lumpuhnya guru, maka kitab ilmu racun
yang belum dipelajarinya dapat dicuri. Sayang, niat jahat itu
tidak berjalan mulus. Ternyata guru telah menyembunyikan
kitab itu di suatu tempat rahasia. Tentu saja Rorokweni jadi
murka. Guru lalu dipaksa untuk memberitahukan tempat
penyimpanan kitab itu. Namun, guru tetap tidak sudi
memberitahukannya. Tentu saja hal ini membuat Rorokweni
makin kalap. Akhirnya, guru yang lumpuh saat itu disiksa."
Kembali Mayangsari menghentikan ceritanya, seperti
berusaha menahan kesedihan.
"Ketika guru sekarat, namun tetap tak juga membuka
rahasia tempat penyimpanan kitab itu, akhirnya Rorokweni
pergi dengan rasa jengkel," lanjut Mayangsari. "Beberapa
tahun kemudian, Rorokweni membegal keluargaku. Mereka
membunuh kedua orangtuaku secara keji. Aku masih bisa
membayangkan, bagaimana kejinya Rorokweni beserta
kawanannya membunuh ayah dan ibuku. Untunglah aku dapat
meloloskan diri dari kekejaman mereka. Sementara, adikku
yang masih berumur delapan bulan, entah bagaimana
nasibnya. Dan dalam keputusaasanku karena kehilangan
selurh orang yang kucintai, aku berjalan mengikuti kata hati.
Sampai akhirnya, aku tiba di kediaman Ki Guntara.
Keadaannya, yang menyedihkan, membuat hatiku iba. Dan
hatiku pun tergerak untuk mengurusnya."
Keduanya kini sama-sama terdiam. Pikiran mereka sama-
sama dibawa kenangan masing-masing, tentang orang-orang
tercinta yang harus menjadi korban kebiadaban manusia-
manusia berhati iblis.
"Jadi menurutmu, apa alasan Nyi Rorokweni mengaku-aku
sebagai diriku?" tanya Mayangsari pada Andika, mulai
membuka percakapan kembali.
Andika mengusap-usap dagu. Benaknya langsung mereka-
reka jawaban pertanyaan Mayangsari barusan.
"Pertama, karena ingin agar kau dibunuh oleh pendekar-
pendekar aliran putih...," gumam Andika.
"Kedua?"
"Yang kedua karena ingin mempersiapkan sesuatu buat
dirimu. Karena dia tahu, kau luput dari tangan para pendekar
yang memburumu akibat fitnahnya. Dia tidak lahu, kau akan
tiba di tempatnya cepat atau lambat. Tentu saja untuk
menuntut balas atas kematian orang-tuamu...."
"Maksudmu, dia akan mempersiapkan sesuatu untuk
menyambut kedatanganku, sementara perjalananku dihambat
oleh para pendekar golongan putih yang murka?" tebak
Mayangsari. Andika mengangguk.
"Lalu, apa maksudmu dengan mempersiapkan sesuatu itu?"
tanya Mayangsari, ingin tahu lebih jelas.
"Aku pun tidak tahu. Mungkin sedang mempersiapkan
jebakan buatmu...."
Belum selesai ucapan Andika, tiba-tiba saja...
"Hi hi hi.... Semua perkiraanmu memang tepat, Pendekar
Slebor. Tak percuma orang-orang dunia persilatan meributkan
tentang kecemerlangan otakmu!"
Tiba-tiba terdengar tawa melengking yang mendirikan bulu
roma. Tubuh Andika menegang. Naluri kependekarannya yang
terlatih memperingatkan dirinya kalau bahaya akan segera
tiba. "Kau tahu, apa nama daerah ini?" bisik Andika pada
Mayangsari. "Ini Lembah Burangrang. Kenapa kau menanyakan hal itu?"
Andika tidak menjawab pertanyaan heran Mayangsari.
"Kau tahu tempat Nyi Rorokweni?" Andika malah bertanya
lagi. Mayangsari terkesiap. Wajahnya makin terlihat tegang.
"Dia tinggal di Lembah Burangrang, lembah ini," desis
wanita itu, menjawab pertanyaan Andika barusan.
Mata Andika menyipit. Sepasang bola matanya bergerak
kian kemari, memperlihatkan kewaspadaan.
"Itu artinya, kita telah masuk dalam perangkap Nyi
Rorokweni tanpa disadari...," jelas pemuda itu, nyaris
mendesis. -0o0oa-zo0o0- 9 Dugaan Andika ternyata tak meleset. Beberapa kerdipan
mata kemudian, bermunculan puluhan orang dari balik alang-
alang. Dengan panah di tangan, mereka mengepung Andika
dan Mayangsari. Pengepungan ini tampaknya memang benar-
benar telah dipersiapkan. Terbukti, barisan kepungan
demikian rapi, membentuk tiga lapisan.
Pada lapisan kepungan pertama, mereka menyiapkan
panah-panah berapi yang bagai kumpulan kunang-kunang
raksasa yang menerangi daerah sekitar.
Sedangkan pada lapisan kedua, para pengepung
mempersiapkan panah-panah beracun. Hal itu bisa diduga
Andika, karena mengingat Nyi Rorokweni amat ahli dalam hal
racun. Sedangkan di barisan ketiga, para pengepung membawa
kuali berukuran sebesar kepala manusia.
"Untuk apa kuali tanah itu?" tanya Mayangsari dengan
wajah menegang keras.
Andika melirik sekejap pada wanita itu.
"Tampaknya mereka mencoba membakar kita hidup-hidup
di tengah padang ilalang ini Aku yakin, kuali kuali itu berisi
minyak yang akan dilontarkan ke udara. Kemudian, barisan
pertama akan melepas panah-panah api ke kuali-kuali itu.
Dan, saat itulah minyak akan bertebaran di udara bersama api
yang siap membakar padang ilalang, sekaligus memanggang
tubuh kita," jelas Pendekar Slebor.
Mayangsari bergidik.
"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri dari kobaran api,
tentu saja mudah bagi kita. Tapi rasanya tidak mudah
menghindari jilatan api raksasa, sementara kita dihujani pula
oleh panah-panah beracun yang tak boleh menyentuh tubuh
sedikit pun," tambah Andika, tanpa maksud menakut-nakuti
Mayangsari. "Tapi racun anak panah itu tak berarti bagiku. Apa kau
lupa, kalau aku amat ahli dalam hal racun?" sergah
Mayangsari. ' "Tapi apa kau memiliki ilmu kebal, hingga mampu membuat
anak panah itu tidak bakal menembus kulitmu?"
Mayangsari tidak bisa menjawab pertanyaan Andika.
Kalaupun racun jahat pada anak panah musuh tidak bisa
membunuh, tentu saja dia akan tetap mati. Masalahnya, anak
panah yang setajam taring serigala itu akan menembus
tubuhnya. Dalam hal ini, Andika memang benar.
"Lalu apa akalmu untuk lolos dari perangkap mengerikan
ini?" tanya Mayangsari cemas. Sinar kekalutan mulai mengusik
wajah ayunya. Orang yang ditanya tak menyahut. Andika hanya diam
mematung dengan tubuh mengejang. Entah apa yang hendak
dilakukannya. Yang jelas, hatinya amat geram dengan
kelicikan semacam itu.
"Andika, apa yang mesti kita perbuat?" ulang Mayangsari
setengah menjerit.
"Tenang, Mayangsari...," sergah Andika singkat.
"Bagaimana bisa tenang, sementara kita tak punya
kesempatan lolos dari perangkap mengerikan ini"!"
"Diam! Bagaimana aku bisa berpikir jernih, kalau kau tetap
mengoceh seperti itu"!" hardik Andika.
Bagi Andika sendiri, perangkap semacam itu tak akan
menjadi masalah yang terlalu besar. Cukup mengandalkan
ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan, dia
mampu lolos dari jilatan api. Bahkan dari puluhan anak panah
sekalipun. Namun, urusan akan jadi lain kalau di sampingnya
berdiri seorang wanita. Tentu Pendekar Slebor akan kesulitan
mementahkan serangan anak panah beracun kalau harus
membopongnya. Sedangkan, ilmu peringan tubuh Mayangsari
belum cukup sempurna.
Ini betul-betul tantangan besar di depan matanya. Di satu
sisi, nyawanya sendiri harus diselamatkan. Dan di sisi lain,
Mayangsari tak bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam hal ini,
Andika merasa harus bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwanya. Bukankah dia yang membawa wanita itu
ke tempat ini"
"Seraaang...!"
Teriakan wanita dari sebelah selatan membuyarkan pikiran
Andika, sebelum sempat menemukan pemecahan masalah
yang mengancam jiwa mereka berdua.
Sesaat kemudian, mata Andika melihat barisan ketiga dari
para pengepung mulai me lontarkan kuali-kuali berisi minyak
pembakar. Dari berbagai penjuru, kuali-kuali tanah itu
melayang ke udara, disusul terlepasnya anak panah berapi
dari barisan pertama ke arah kuali-kuali tadi. Sekali lagi,
perkiraan Andika tidak meleset!
Apa yang mesti dilakukan Andika" Sedangkan puluhan anak
panah berapi itu tak mungkin ditangkapnya satu persatu. Pada
saat yang mencekam itu, mata Andika tertumbuk pada
kumpulan alang-alang yang nyaris setinggi manusia di
depannya. Maka dengan sigap, tangannya meraih alang-alang
itu. Sepasang tangannya yang kini dipenuhi alang-alang
kemudian bergerak bagai kilat, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Wes! Wes! Wes! Bagai puluhan anak panah, alang-alang itu meluncur deras
menuju anak-anak panah yang sedang melayang menembus
kepekatan malam dengan kobaran api.
Dan..... Tak, tak, tak...!
Terdengar bunyi kayu patah yang bersahutan. Rupanya
puluhan anak panah berapi yang sedang meluncur itu terpatah
menjadi dua, ketika alang-alang yang dilontarkan Pendekar
Slebor melabraknya. Karena kehilangan bagian ekor, puluhan
anak panah berapi itu jadi melayang kacau. Sementara kuali-
kuali tanah berisi minyak pembakar yang mestinya menjadi
sasaran, luput dari hunjaman anak panah berapi! Seluruh kuali
itu kemudian jatuh ke bawah, dalam keadaan utuh karena
tertahan gerombolan ilalang yang tumbuh lebat.
"Berhasil! Ha ha ha...! Aku berhasil!" pekik Andika, seperti
anak kecil mendapat mainan.
Tentu saja hal itu membuat Nyi Rorokweni yang berdiri di
sebuah batu besar di sebelah selatan Lembah Burangrang
menjadi kalap. "Bangsat! Lepaskan anak panah beracun!" seru perempuan
itu pada barisan kedua.
Zing! Zing! Zing!
Anak panah dalam jumlah puluhan kembali memenuhi
udara. Kali ini, tidak lagi menampakkan kobaran-kobaran
merah di angkasa, karena yang dilepas anak buah Nyi
Rorokweni adalah anak panah beracun!
Sekali lagi, Andika dan Mayangsari terancam bahaya. Kalau
tidak segera mengambil tindakan tepat, maut akan segera
menjemput. Dan sekali lagi pula, mereka merasa bagai telur di
ujung tanduk. Pada saat-saat berbau maut itu, mata Andika kembali
tertumbuk sesuatu yang bisa memberi peluang untuk lolos
dari ancaman maut. Kain bercorak catur yang tersampir di
pundaknya tiba-tiba tertiup angin kencang, sehingga
menggelepar ke bagian depan tubuh Andika. Saat itulah, dia
ingat kalau kain ini adalah pusaka yang tahan terhadap
senjata setajam apa pun.
Maka cepat dilepasnya kain itu dalam waktu sekejap mata.
Setelah pindah ke tangan, kain itu digunakannya untuk
menyabet seluruh anak panah beracun yang menghunjam
mereka. Keduanya memang tak mungkin melompat untuk
menghindari, karena hujanan anak panah telah menutup
sekitarnya. Tapi dengan kain bercorak catur di tangan, Andika
mampu mementahkan hunjaman seluruh senjata berbahaya
itu. Tas! Tas! Tas...!
Wut! Wut! Wut...!
Bagai sebuah benteng aneh, kain bercorak catur milik
Andika berputar ke sekitarnya. Sementara, sebelah tangan
Pendekar Slebor yang lain memeluk tubuh Mayangsari.
"Ha ha ha...!"
Andika kembali memperdengarkan tawa kemenangan
setelah serangan kedua dapat digagalkan kembali.
"Nyi Rorokweni! Perangkapmu tampaknya hanya cocok
untuk tikus sawah!" ledek Andika dengan bibir mencibir.
Andika terpingkal-pingkal seperti anak kecil, meledek Ny i


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rorokweni. "Bukan begitu, Mayang?" tanya Andika pada Mayangsari
yang masih melekat di tubuhnya.
Tidak ada sahutan. Bahkan yang terdengar hanya suara
mendesis saja. "Mayang?" ulang Andika ketika tak ada tanggapan dari
wanita yang ditanya.
Dan Andika kini mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Tampaknya, memang begitu. Karena tak lama kemudian,
tubuh Mayangsari perlahan melorot turun bagai tanpa tenaga.
Tangan kanan Andika bergerak segera. Disanggah-nya
tubuh Mayangsari agar tak ambruk.
"Kenapa kau, Mayang?" tanya pemuda itu dalam kecamuk
kekhawatiran yang datang begitu cepat.
"Dadaku terkena panah...," desis Mayangsari lemah.
"Ya, Tuhan...," desis Andika. Sungguh tak disangkanya
kalau benteng pertahanan yang tadi dibuatnya ternyata masih
mampu kecolongan. Pendekar Slebor jadi mengutuk dan
menyumpahi diri sendiri. Entah mengapa, saat itu Andika
menjadi benci pada dirinya yang tak mampu menjaga
keselamatan seorang wanita.
"Maafkan aku, Mayang. Ini semua akibat ulahku. Aku
terlalu menganggap remeh serangan pasukan Nyi Rorokweni
tadi...," sesal Andika, terputus-putus.
"Kau telah berusaha, Andika. Tapi, Tuhan rupanya
berkehendak lain. Kalaupun kau tak membawaku ke tempat
ini, akhirnya aku sendiri juga yang akan datang ke sini. Justru,
akulah yang begitu tolol mengikuti arus dendam dalam diriku.
Padahal, ilmuku hanya mengandalkan racun serta sedikit
jurus-jurus tak berarti...."
Kali ini Andika yang menggeleng perlahan.
"Kau dan aku hanya manusia biasa, Mayang. Kalaupun aku
menjadi dirimu, tentu akan melakukan hal yang sama.
Manusia mana yang tidak akan dendam kalau orang-orang
tercinta dibunuh secara keji?" tutur Andika lemah.
"Tapi aku mulai berpikir, bukankah lebih baik dan lebih
bijaksana kalau memaafkan mereka?" ucap Mayangsari makin
lemah. Andika tak bisa berkata apa-apa. Perkataan wanita dalam
pelukannya memang benar, meski para bajingan yang telah
membunuh orangtuanya masih tetap sebagai bajingan yang
mesti dienyahkan. Kalaupun harus disingkirkan dari bumi ini,
itu karena mereka telah banyak menciptakan keangkaramurkaan. Bukan karena dorongan dendam.
"Tapi..., keputusanku untuk mengenyahkan dendam
tampaknya sudah terlambat...," kata Mayangsari kembali, lirih.
"Rasanya maut akan segera menjemputku...."
Sebentar kemudian, tubuh wanita itu mengejang. Lalu
matanya terkatup perlahan disertai hembusan napas perlahan.
Anak panah yang menembus paru-paru sebelah kanan, telah
mengakibatkan nyawanya melayang. Jadi bukan karena racun,
karena tubuh Mayangsari memang kebal racun.
"Mayang...," panggil Andika masgul.
Tak terdengar sahutan dari wanita itu. Nyawanya memang
telah dijemput malaikat maut. Paru-parunya yang tertembus
anak panah, membuatnya tak mampu lagi mempertahankan
lebih lama selembar nyawanya.
"Keparat kalian...," geram Andika.
Untuk yang kesekian kali, orang baik terbunuh di hadapan
pemuda ini. Bagaimana pendekar muda itu tidak menjadi
gusar" Kembali masa indah yang harusnya dapat dinikmati
Andika dirampas begitu saja oleh perbuatan orang-orang
berhati iblis. Perlahan tubuh Mayangsari diletakkan di tanah berumput.
Sementara itu, api kemarahan makin membesar dalam diri
Andika. Api yang mendorongnya untuk segera membasmi
bajingan-bajingan tengik yang telah merenggut nyawa wanita
ayu di hadapannya.
"Kau harus membayar nyawa wanita ini, sekaligus
membayar nyawa Ki Patigeni, Nyi Rorokweni!" desis Andika
penuh getaran kemurkaan.
Setelah itu....
"Hiaaa...!"
Dari rimbunnya ilalang tinggi, tubuh Pendekar Slebor
melenting ke udara. Bagai sebuah bola, tubuhnya berputaran
di udara beberapa kali dengan tubuh menekuk rapat.
Melihat lawannya melayang seperti itu, Nyi Rorokweni
merasa memiliki kesempatan untuk memanggang tubuh
Pendekar Slebor dengan puluhan anak panah beracun.
"Serang!" perintah wanita itu pada pasukan berpanah.
Zing! Zing! Zing...!
Puluhan anak panah kembali memenuhi udara. Di bawah
temaram cahaya bulan, senjata-senjata itu terlihat seperti
gerombolan hantu terbang. Seluruhnya kini terpusat pada diri
Pendekar Slebor yang masih berputar di udara. Sesaat lagi,
tubuhnya tentu akan direncah habis.
Tapi.... Wut! Wut...! Tas! Tas...! Kalau Nyi Rorokweni mengira akan mendapat kesempatan
emas, maka dugaan itu meleset sama sekali. Karena dengan
kain bercorak catur yang masih tergenggam di tangan kanan,
Pendekar Slebor memapak seluruh anak panah beracun tadi.
Akibat yang terjadi sungguh memaksa mata Nyi Rorokweni
terbelalak lebar-lebar. Puluhan anak panah pasukannya
kontan tersapu kembali ke arah pemiliknya. Padahal, keadaan
Pendekar Slebor yang berada di udara termasuk sulit untuk
berkelit bagi tokoh kalangan atas dunia persilatan sekalipun!
Zing! Zing...! Jep! Jep...! "Aaakh...!"
Teriakan kematian berbaur menjadi satu tatkala anak
panah yang dilepas pasukan Nyi Rorokweni menghunjam
seluruh anak buahnya sendiri. Sedangkan Pendekar Slebor
telah berdiri enteng, di pucuk alang-alang. Seakan, tubuhnya
tak memiliki bobot saja.
Kini, Pendekar Konyol dan Ny i Rorokweni bisa berhadapan
langsung. Andika bisa melihat wanita yang berpakaian serba
hitam dan berwajah dihiasi keriput itu, meski rambutnya tetap
hitam dan panjang terurai. Sedangkan Ny i Rorokweni yang
masih berdiri di sebuah batu besar, dapat melihat jelas
bagaimana rupa Pendekar Slebor.
"Kau memilih waktu yang tepat untuk membuka cadarmu,
Wanita Biang Racun Tikus! Karena hari ini, aku bisa melihat
wajahmu yang tak beda dengan lipatan kain ompol untuk
yang pertama kali, dan yang terakhir!" seru Andika, dingin.
Bibir keriput Ny i Rorokweni bergeletar menahan luapan
kemurkaan. Ejekan Pendekar Slebor tadi benar-benar
menginjak harga dirinya.
"Jangan sesumbar, Bocah Bau Kencur! Kalau dulu kau
masih bisa selamat dari racunku, kini kau akan mampus dalam
keadaan menyedihkan. Aku tahu, lelaki tua itu belum sempat
memberitahukanmu tentang penangkal racun milikku!" balas
Nyi Rorokweni. "Apa kau pikir aku akan sebodoh itu membiarkan tubuhku
tersentuh tangan beracunmu" Kekalahanmu di Desa
Wadaswetan sebenarnya merupakan tanda kalau aku sudah
paham, bagaimana harus menghadapimu. Meski, aku tak
pernah tahu penangkal racunmu!" sergah Pendekar Slebor,
mantap. "Kau ingin membuktikan"!"
"Kunyuk buduk! Hiaaa...!"
Dari jarak sekitar dua puluh tombak, tubuh Ny i Rorokweni
meluncur deras ke arah Pendekar Slebor. Kedongkolannya
sudah tidak bisa lagi dibendung pada setiap ejekan Pendekar
Slebor. Wrrr! Saat mencapai tubuh Pendekar Slebor, Nyi Rorokweni
langsung melayangkan tebasan tangan ke leher. Sedangkan
Pendekar Slebor cepat merentangkan kain bercorak catur
dengan kedua tangannya untuk melindungi leher.
Bet! Tebasan tangan Nyi Rorokweni hanya menemui sasaran
angin kosong. Dengan geram, dia menyusuli dengan
tendangan tinggi, hendak menyapu kepala Pendekar Slebor.
Tapi, mudah sekali pemuda itu memen-tahkannya hanya
dengan menaikkan rentangan kain ke bagian kepala.
Tep! Masih tetap menjejakkan kakinya di pucuk ilalang, Andika
melakukan serangan balik. Jurus 'Menapak Petir Membabi-
Buta' segera dikerahkannya. Layaknya orang linglung, kepala
Pendekar Slebor berayun-ayun cepat.
Nyi Rorokweni yang melihat gerakan aneh itu menjadi
terpancing. Perhatiannya tertuju pada kepala Pendekar Slebor.
Maka saat itu pula tangan Andika menghunjam lurus ke ulu
hati, seperti hendak menyambar ujung lidah petir.
Dess! "Ugkh...!"
Tubuh Nyi Rorokweni kontan terpental. Rasa sakit luar
biasa yang menyerang ulu hati, membuat tubuhnya
kehilangan keseimbangan. Wanita keji itu langsung terpuruk di
sela-sela ilalang yang semula menjadi tempat berpijaknya.
Bruk! "Hey! Dilarang buang hajat di tempat itu!" ejek Pendekar
Slebor. Memang, Andika melihat wanita itu terjerembab dengan
pantat jatuh terlebih dahulu di lebatnya ilalang.
Dia sendiri masih tetap berdiri gagah, sambil bertolak
pinggang di pucuk ilalang.
"Bocah keparat! Kubunuh kau!" maki Nyi Rorokweni, kalap.
Wanita itu segera bangkit. Setelah kakinya mantap
menjejak tanah, tubuhnya digenjot ke belakang. Dengan
bersalto tiga putaran, kakinya mendarat kembali di pucuk
ilalang. Nyi Rorokweni membuka serangan berikutnya dengan
luncuran deras disertai putaran tubuh ke arah Pendekar
Slebor. Setiap satu putaran, tangannya mencabik ke depan
bagai seekor belalang. Seluruh jarinya mengejang keras,
seolah ada kawat baja yang menelusup otot-otot tangannya.
Ketika luncuran tubuh Nyi Rorokweni nyaris sampai,
Pendekar Slebor tiba-tiba melepas ilmu peringan tubuhnya.
Karena bobot tubuhnya terisi, maka membuat pendekar muda
itu menelusup cepat ke dalam lautan padang ilalang yang
setinggi manusia.
Srak! Wesss! Serangan Nyi Rorokweni yang dilakukan di atas ilalang
tentu saja jadi memakan angin, karena sasarannya telah
menelusup begitu cepat ke bawah. Hal itu membuat putaran
tubuhnya terus melaju dan sulit dihentikan, akibat tenaga
dorongan yang mestinya untuk melumat tubuh Pendekar
Slebor. Bagi Pendekar Slebor, keadaan seperti itu adalah peluang
bagus. Tak beda dengan seekor jangkrik liar, Pendekar Slebor
menyeruak rerimbunan ilalang untuk mengejar luncuran tak
terkendali dari tubuh Nyi Rorokweni.
Lalu.... Tak! Secara tiba-tiba, tangan Pendekar Slebor tersembul di atas
ilalang. Sepasang tangan yang saling terkait dan sengaja
dibentang bagai tiang kokoh itu, membentur kaki kanan
lawan. Akibatnya....
Bruk! Sekali lagi, Nyi Rorokweni terjerembab keras di lautan
ilalang, ketika kakinya terantuk tangan Pendekar Slebor.
Keseimbangan tubuhnya yang memang sudah tak terkendali,
tak bisa lagi dipertahankan. Suka tidak suka, Nyi Rorokweni
harus bercengkerama mesra dengan gerombolan ilalang!
"Kudekap engkau dengan mesra, o ilalang.... Tanda cinta
tak terhingga, wahai ilalang...," ledek Pendekar Slebor, seperti
orang yang sedang membacakan sebait puisi.
Sementara, kaki pemuda itu telah bertengger ringan
kembali di pucuk tanaman liar itu.
Dengan meringis menahan sakit tak kepalang di bagian
kakinya, Nyi Rorokweni me lompat kembali ke atas ilalang.
Sepasang bola matanya sudah terbakar merah. Pertarungannya kali ini memang benar-benar membuat ubun-
ubunnya nyaris meledak karena gusar. Ejekan-ejekan pemuda
itu terlalu keterlaluan baginya.
"Kini bersiaplah untuk kukirim ke neraka," desis Nyi
Rorokweni, penuh ancaman.
Kelihatan sekali kalau perempuan itu akan segera
mengeluarkan ilmu andalan, 'Pukulan Racun Bara Neraka'.
Seperti pernah dilihat Andika sebelumnya, tangan Nyi
Rorokweni terangkat tinggi-tinggi dengan seluruh jari terbuka.
Dari bawah, sepasang tangannya menegang kaku. Sedangkan
kedua matanya terpejam rapat, memusatkan seluruh kekuatan
racun dalam dirinya ke telapak tangan.
Tak ada lima helaan napas, tangan Nyi Rorokweni berubah
merah. Pancaran warna seterang bara itu menyinari sebagian
wajah keriputnya, memperlihatkan garis-garis telengas yang
semula tersembunyi dalam hatinya.
Bersama satu jeritan membahana, Nyi Rorokweni
menerkam dada Pendekar Slebor.
"Hiaaah...!"
"Aaa...!"
Pada saat jemari tangan Nyi Rorokweni yang meregang
nyaris mencabik dada, Pendekar Slebor berteriak amat keras.
Suaranya langsung membelah malam yang sepi.
Dan.... Wusss!

Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja tubuh pendekar muda itu lenyap dari
pandangan mata Nyi Rorokweni. Tentu saja Ratu Racun
gadungan itu terkesiap. Pikirannya mulai menduga-duga,
mungkinkah pemuda itu memiliki ilmu 'Halimun'" Suatu ilmu
yang mampu menyirnakan raga seseorang"
Padahal Pendekar Slebor hanya ingin mengecoh lawan.
Pemuda ini memang tidak pernah memiliki ilmu langka yang
dahsyat seperti perkiraan Nyi Rorokweni. Selama ratusan
tahun belakangan, tak ada seorang pun memiliki ilmu langka
itu. Termasuk, Pendekar Slebor yang baru saja mengecap
asam garam dunia persilatan. Anak muda itu hanya
mengerahkan seluruh ilmu kecepatan warisan Pendekar
Lembah Kutukan pada titik tertinggi. Hasilnya, tubuhnya
bergerak menghindari cengkeraman jari lawan dalam
kecepatan yang sudah tidak bisa lagi ditangkap mata. Itu
sebabnya, dia terlihat seperti menghilang.
Sementara, Nyi Rorokweni berdiri tegang. Sedangkan
Andika sudah berada di belakangnya dengan senyum ketolol-
tololan. "Sudah kau temukan jangkrik yang kau cari?" tegur Andika,
setengah berbisik pada Nyi Rorokweni.
Menyadari lawan telah berdiri di belakangnya, Nyi
Rorokweni berbalik secepat kilat. Sepasang tangannya
menyapu dalam satu gerakan mencabik.
"Hih!"
Wsss! Untuk kesempatan ini, Pendekar Slebor tak berusaha
menghindar seperti sebelumnya. Dia hanya menanti. Dan
ketika tinggal sejengkal lagi tangan merah membara lawan
mendarat di lehernya, Pendekar Slebor melibatkan kain
pusakanya tepat di pergelangan kedua tangan Ny i Rorokweni
hingga kini merapat erat.
Sreset! Dan seketika Andika melenting ke belakang tubuh
perempuan itu seraya menghentak kain pusaka yang masih
tersangkut di pergelangan tangan Nyi Rorokweni.
Hentakan sepenuh tenaga Pendekar Konyol tentu saja
menyebabkan tangan Nyi Rorokweni tertarik deras ke
wajahnya sendiri. Hingga....
Cras! "Aaa...!"
Tak pelak lagi, tangan beracun Nyi Rorokweni memangsa
wajahnya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk dan menggelepar di antara ilalang yang ikut bergoyang liar. Dan
dalam sekejap mata, daun ilalang itu menghitam bersama
kepulan asap tipis.
Sementara tubuh Nyi Rorokweni sendiri perlahan tapi pasti
berubah menghitam, terpanggang keganasann racun miliknya
sendiri. Pada puncaknya, tubuhnya mulai retak-retak
mengerikan. Maka berakhir pula riwayat wanita te lengas yang
telah banyak melakukan kebiadaban terhadap manusia lain.
Lama Andika menatap mayat mengerikan lawannya.
Sementara, desahan malam menemani keterpakuan dirinya.
Angin dingin berhembus lembut menyibak asap tipis yang
mengepul dari tubuh Ny i Rorokweni. Sedangkan jangkrik
malam mulai berani memperdengarkan bunyinya yang lirih.
"Nak Andika...."
Andika pasti akan tetap terpaku hingga fajar menjelang,
kalau saja seseorang tak menegurnya.
Andika menoleh cepat, tersadar dari keterpakuannya.
"Ki Manik Angkeran?" sebut Andika pelan.
Tanpa diduga sesepuh Desa Wadaswetan itu akan
dijumpainya di tempat tersebut.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika, heran.
"Aku sengaja mencarimu...," jawab lelaki tua berwibawa
itu. "Ada sesuatu yang lupa kusampaikan kepadamu, Nak
Andika...."
"Apa itu, Ki?"
"Bukankah kau masih keturunan keluarga Pendekar
Lembah Kutukan?" Bukannya menjawab pertanyaan Andika,
dia malah balik bertanya.
"Memangnya
kenapa, Ki?" tanya Andika, setelah mengangguk. Ki Manik Angkeran bergumam sesaat
"Aku lupa memberitahukanmu, kalau keluarga yang
dirampok kawanan Ny i Rorokweni delapan belas tahun lalu
adalah anak Ki Panji Agung, seorang keturunan Pendekar
Lembah Kutukan. Jadi, mungkin mereka adalah keluargamu
juga...," jelas laki-laki tua itu.
Andika terhenyak. Apa yang mesti dikatakannya pada Ki
Manik Angkeran tentang kematian Mayangsari yang ternyata
masih berhubungan darah dengannya"
"Sayang sekali, waktu itu aku tak sempat menyelamatkan
gadis kecil anak keluarga pendekar itu...," desah Ki Manik
Angkeran. "Dia sudah menjadi gadis cantik, Ki. Tapi, kini sudah jadi
mayat," selak Andika seraya mengarahkan pandangan ke
tubuh Mayangsari.
"Jadi diakah gadis kecil itu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Sayang sekali, padahal aku berharap dia bisa tetap hidup dan
mencari adiknya...."
"Adiknya?"
"Ya. Kau tentu bertanya, kenapa Nyi Rorokweni
mendatangiku ke Desa Wadaswetan dengan menyamar
sebagai Ratu Racun" Dia ingin membunuhku, karena akulah
saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Mereka takut,
anak keluarga pendekar itu menuntut balas dendam, dengan
meminta keterangan padaku," tutur Ki Manik Angkeran, tidak
membuat Andika puas.
"Tapi kau tadi mengatakan tentang adik wanita itu?"
"Ya! Akulah yang membawa adik lelakinya yang berumur
delapan bulan. Lalu, anak itu kutinggal di pinggir Hutan
Watuabang...."
Andika mendadak dirasuki ingatan tentang masa kecilnya.
Dia pun ditemukan di tepi hutan oleh orangtua angkatnya
seorang ahli mencopet. Tiba-tiba pula, timbul keinginan untuk
menanyakannya lebih lanjut pada Ki Manik Angkeran.
"Kau masih ingat tanda anak lelaki kecil itu?" tanya Andika.
Ki Manik Angkeran mengangguki pertanyaan Andika.
"Ya! Ada tanda berbentuk bintang di tangan kanannya,
berwarna biru kehijau-hijauan."
Saat itulah seluruh persendian Andika seperti dilepas secara
paksa. Tanda yang disebutkan Ki Manik Angkeran memang
dimiliki pendekar muda ini pada tangan kanannya.
Jadi" Pendekar Konyol terhenyak lesu. Pencarian keluarganya
ternyata tiba pada satu kekecewaan. Wanita yang dikenal
sebagai Ratu Racun yang sebenarnya ternyata kakak
kandungnya. Tapi belum lagi mengenal lebih dekat,
Mayangsari telah pergi untuk selamanya.
"Siapa nama gadis kecil anak keluarga pendekar itu, Ki?"
tanya Andika samar.
"Mayangsari...."
"Ah! Kak Mayangsari. Kenapa kita mesti berjumpa saat kau
tidak bisa lagi berbagi kasih pada adikmu ini?" keluh hati
Andika yang paling dalam.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Ani KZ
Convert : Ani KZ
Editor : Ani KZ
Ebook pdf oleh : Ani KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kzanfo/
http://kangzusianfo/ http://cerita_silat.cc/
Perempuan Berbisa 1 Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Wanita Gagah Perkasa 2
^