Pencarian

Iblis Penghela Kereta 1

Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Bagian 1


IBLIS PENGHELA KERETA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Dewi malam baru saja menunaikan tugasnya,
menyongsong sang fajar yang mulai bekerja. Jalan se-
tapak yang penuh ilalang dan pepohonan itu redup
oleh kabut ukup tebal. Dan rasanya tak pernah ada
orang melalui jalan itu. Karena, hutan di sebelah jalan ini begitu lebat.
Sehingga, sedikit pun tidak pernah dibayangkan untuk mencoba pergi ke sana.
Rumah penduduk pun letaknya sekitar dua hari berjalan kaki
dari tempat itu.
Begitu sepinya, semua bagai terlelap dalam pera-
duan indah menggetarkan.
Tetapi belum lagi sang fajar membedah pagi, be-
lum lagi kabut pergi, sudah terdengar derap langkah
kuda dan gebahan penunggangnya mengacaukan sua-
sana kesunyian. Nyaris menerbangkan burung-burung
yang hinggap. Malah, membuat kelinci kembali masuk
ke sarangnya kembali. Derapnya begitu menggetarkan
tanah di sekitarnya.
Tak lama, tampak dua sosok tubuh menunggang
dua ekor kuda berwarna hitam. Mereka menghentikan
laju kuda di tanah terbuka. Ringkikan dan dengusan
kuda terdengar, mengisyaratkan kelelahan yang san-
gat. "Paman Kamanda.... Apakah kita sudah memasu-ki wilayah Lembah Ular, tempat
kediaman Iblis Peng-
hela Kereta?" tanya penunggang kuda berusia delapan belas tahun.
Pemuda itu agaknya masih menggunakan nafsu
amarahnya dalam memutuskan sesuatu. Pakaiannya
berwarna putih. Sebuah selendang berwarna merah
melilit pinggangnya, di mana sebilah keris di situ ter-selip pula. Matanya
memperhatikan sekitar. Sungguh,
sebenarnya dia tak suka dengan perjalanan ini. Tetapi jiwa mudanya tidak akan
membiarkan sosok manusia
berjuluk Iblis Penghela Kereta yang telah menghan-
curkan saudara-saudara seperguruannya. Bahkan
menghancurkan pula penduduk di sekitar tempat
tinggalnya di kaki Gunung Kabut.
"Belum, Jaka. Kita masih harus menempuh seki-
tar enam hari berkuda untuk segera tiba di sana," sahut penunggang kuda satunya,
seorang laki-laki beru-
sia lima puluh lima tahun.
Dari raut wajahnya terlihat jelas kalau laki-laki
setengah baya itu bernama Kamanda tampak arif dan
bijaksana. Pakaiannya berwarna hitam. Sikapnya begi-
tu hormat sekali pada pemuda bernama Jaka. Dalam
sekejap saja sudah kentara kalau laki-laki itu memiliki ilmu kedigdayaan tinggi.
Itu terlihat dari gerakannya, saat turun dari kudanya.
Begitu ringan dan tak terasa, betapa mereka su-
dah berkuda selama tiga hari tiga malam!
"Satu setengah hari lagi kita berkuda?" dengus Jaka dengan mata terbelalak
sambil mendengus.
"Hhh! Rasanya aku sudah tak sabar menghancurkan
gerombolan Iblis Penghela Kereta itu!"
"Benar," sahut Ki Kamanda itu sambil menatap Jaka yang memperlihatkan wajah
kesal. Sebenarnya, Ki Kamanda pun diliputi amarah
menggelegak untuk membalas perbuatan Iblis Penghe-
la Kereta yang telah menghancurkan perguruannya
pula. "Apakah kau sudah merasa lelah, Jaka?" tanya Ki Kamanda, dengan suara
tetap tenang. \
"Ya...," sahut Jaka pendek, walau masih diliputi hawa amarah.
"Kalau begitu, kita beristirahat saja dulu." Jaka pun melompat ringan dari
kudanya. Matanya langsung
memperhatikan sekelilingnya. Sungguh tidak menye-
nangkan berada di tempat sepi dengan pepohonan le-
bat seperti ini. Tetapi kegeramannya semakin menjadi-
jadi, ketika mengingat-ingat gerombolan Iblis Penghela Kereta yang telah
memporak-porandakan perguruan
dan penduduk di sekitar perguruannya berdiri.
Jaka menyesali mengapa datang terlambat. Saat
itu, dia memang sedang bepergian bersama Kamanda
yang dipanggilnya paman ini. Memang, lelaki itu ada-
lah wakil Ki Buwana gurunya yang kini terbujur kaku
dengan nyawa melayang.
Si pemuda melangkah mendekati Ki Kamanda
yang sedang menjumput tanah. Dibauinya tanah itu
dan dibuangnya lagi.
"Belum lama ada yang telah melewati tempat ini,
Jaka," cetusnya.
Mata laki-laki setengah baya ini menerawang,
mencoba menembus hutan yang gelap. Padahal di atas
sana matahari menyorot garang. Hanya saja, sinarnya
tidak bisa menembus kelebatan pepohonan di bawah-
nya. Jaka mendengus. Biar bagaimanapun juga, sebe-
narnya Ki Kamanda sangat dihormatinya. Sejak beru-
sia sepuluh tahun, di samping digembleng Ki Buwana
yang merupakan Ketua Perguruan Cakar Maut, dia
pun digembleng bermacam ilmu oleh Ki Kamanda. Bo-
lehlah dikatakan kalau Ki Kamanda adalah gurunya
yang kedua. "Siapa gerangan yang telah melalui jalan ini, Paman?" tanya Jaka penuh
kekaguman. Memang, begitu banyak yang membuat si pemuda
kagum terhadap Ki Kamanda. Selain ketenangannya
yang luar biasa, kepandaiannya pun juga tak kalah
hebatnya dengan Ki Buwana.
Akan tetapi, kini Ki Buwana telah terbujur kaku.
Dari sini bisa diduga kalau Iblis Penghela Kereta ber-kepandaian tinggi. Jaka
dan Ki Kamanda tahu kalau
tokoh sesat itulah yang menebar petaka selama ini.
Karena, salah seorang dari murid Perguruan Cakar
Maut sebelum meninggal sempat mengatakannya.
"Itulah yang harus kita ketahui...."
Ki Kamanda kembali melompat ke punggung ku-
danya dengan gerakan ringan pula. Bahkan terlihat
kalau kudanya tidak terhenyak sedikit pun. Ini me-
nandakan kalau ilmu meringankan tubuh laki-laki itu
sangat tinggi. Jaka mendengus sekali lagi, sebelum melompat
pula ke punggung kudanya. Dia tidak heran dengan
jawaban yang diberikan Ki Kamanda. Karena, paman
gurunya memang lebih suka berdiam diri daripada
membicarakan hal yang tak perlu. Dan bila Ki Kaman-
da sudah menaiki kudanya kembali, berarti perjalanan
memang harus dilanjutkan.
Istirahat yang belum beberapa kejapan pun harus
terputus. Namun, tiba-tiba saja....
Pak! "Heh"!"
Jaka tersentak merasakan tepukan di punggung-
nya, menyusul desir angin kuat. Sehingga mau tidak
mau dia kembali turun dari kudanya dengan gerakan
salto yang manis. Setelah berputaran, dia hinggap di
tanah dengan kedua kaki terbuka.
"Siapa yang mencoba ingin bermain-main den-
ganku, harap keluar!" teriak pemuda itu dengan wajah in rah padam.
Tatapannya mengedar dengan kemuakan luar bi-
asa. Bila mau jujur, dia yakin bila kepalanya yang ke-na tepuk, maka seketika
akan terbelah retak. Buk-
tinya tepukan di punggungnya menimbulkan rasa nye-
ri yang langsung ditutupnya dengan melonggarkan ja-
lan darah. Tak ada siapa-siapa yang muncul. Justru Jaka
melihat Ki Kamanda melompat kembali dari kudanya,
langsung berlutut dengan sebelah kaki menyanggah
tubuhnya. Sementara, sebelah lagi menyentuh tanah.
Kepalanya tertunduk. Gerakan demikian membuat
Jaka kebingungan.
Tiba-tiba pula si pemuda merasakan tepakan pa-
da kakinya. Sehingga, tubuhnya pun ambruk dengan
sikap sama seperti Ki Kamanda.
Jaka menjadi penasaran karena sekian lama di-
tunggu, tak ada sesuatu yang terjadi. Tidak ada suara yang terdengar. Tidak ada
sesuatu yang terlihat, kecu-ali ilalang yang dihembus angin dan gemerisik dedau-
nan. Hal inilah yang membuat pemuda itu menjadi gu-
sar. Bila ada yang berani menghina paman gurunya,
sudah tentu hatinya merasa terusik. Apalagi sekarang, hatinya dibaluri kemarahan
yang tinggi terhadap Iblis Penghela Kereta.
Jaka pun mengerahkan sedikit tenaga dalamnya,
menutup aliran tenaga dalam yang dilakukan Ki Ka-
manda melalui tekanan lututnya pada tanah. Sehingga
dia bisa berdiri.
"Hei, Orang Sombong! Apakah kau terlalu jelek untuk keluar dari persembunyian"
Ataukah kau memang tukang membokong yang pengecut!" teriak Jaka, jengkel.
Ki Kamanda menghela napas masygul mendengar-
nya. Tenaga dalamnya memang hanya sepersepuluh
dialirkan melalui bumi, sebagai perantara. Sehingga
aliran tenaga dalamnya dapat ditutup Jaka. Dan yang
membuatnya sedikit kesal, sikap Jaka yang beranga-
san itu. Namun hal itu pun dimakluminya, karena te-
pukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memanc-
ing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti
bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan
kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar
sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tu-
buh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Ram-
butnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa
yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak seje-
nak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal se-
hatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak
terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak.
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang
menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya
tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu se-
batang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya
itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu
ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak
hanya asal saja, menampakkan dadanya yang mem-
perlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bu-
lat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan
ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru sema-
kin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangan-
nya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki Kamanda yang sudah langsung
mengenali laki-laki tua
di hadapannya. "Aku, Kamanda, berniat akan mendatangi Iblis Penghela Kereta...."
Orang tua bongkok itu tetap tersenyum.
"Kehormatan itu tak lagi kumiliki, sejak aku tertidur dalam dunia kegelapan.
Dunia fana ini tak lagi
menarik perhatianku, Kamanda," kata si orang tua bernama Eyang Purnama.
"Apakah yang menyebabkan Eyang keluar dari
dunia kegelapan?" tanya Ki Kamanda dengan suara
semakin menghormat.
"Selentingan kabar berbunyi, di mana kau berpi-
jak, darah akan mengalir. Itulah yang menyebabkan
ku keluar...."
Dada Ki Kamanda berdetak lebih hebat lagi. Laki-
laki setengah baya ini telah lama mengenal Eyang
Purnama. Dia adalah seorang tokoh yang nyaris setiap
hari dibicarakan orang banyak. Namun kemudian to-
koh tua ini lenyap tanpa seorang pun yang tahu, ke
mana perginya. Banyak yang mengatakan kalau Eyang
Purnama telah meninggal. Tetapi Ki Kamanda tidak
pernah mempercayai hal itu. Ketidapercayaannya itu
pun terbukti sekarang.
Bila bertahun-tahun Ki Kamanda tidak pernah la-
gi mendengar nama Eyang Purnama disebutkan, kali
ini sungguh lain. Dia bisa menangkap sesuatu yang
terjadi, sehingga menyebabkan Eyang Purnama harus
keluar dari tempat pertapanya.
"Tolong jelaskan padaku yang hina ini, apa mak-
sud dari kata-kata Eyang," pinta Ki Kamanda, penuh rasa hormat.
"Hmmm Rasanya memang tidak perlu dijelaskan
lagi. Langkah kalian yang mencari Iblis Penghela Kere-ta, akan membawa
pertumpahan darah yang banyak.
Darah akan bersimbah di bumi ini, Kamanda. Karena,
aku pun telah mendengar tentang sepak terjang Iblis
Penghela Kereta dan para gerombolannya yang sangat
kejam itu," jelas Eyang Purnama, perlahan.
Jaka yang sejak tadi merasa tidak dilirik barang
sekejap pun juga menjadi jengkel. Hatinya benar-
benar muak melihat sikap orang tua bongkok itu. Dia
masih tetap tidak mengerti, mengapa Paman Kamanda
begitu menghormatinya. Apa yang patut dihormati pa-
da orang bongkok keriput itu" Bahkan tidak ada yang
istimewa. Hm.... Apakah paman gurunya menghormati
karena kebetulan saja kakek itu lebih tua" Jaka lebih cenderung pada kemungkinan
kedua.

Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, Orang Tua! Kalau bicara jangan terbelit-
belit!" sentak si pemuda dengan wajah geram.
Eyang Purnama tersenyum.
"Bila kau tak mampu memadamkan api dalam ji-
wamu, lebih baik kembali ke Gunung Kabut. Karena,
api itu akan membakar tubuhmu perlahan-lahan. Dan
kau bisa hangus karenanya. Bukan karena alam se-
mesta, bukan karena ulah manusia lain, justru dima-
kan oleh amarah yang bersemayam dalam tubuh-
mu...," sahut orang tua bongkok ini, bijaksana.
Jaka menggeram jengkel. Dia tahu, kata-kata itu
mengejeknya. Dan diperlakukan semacam ini tak per-
nah diterima sebelumnya. Apalagi oleh orang tua yang
kelihatan tidak memiliki apa-apa. Bahkan Jaka yakin
kalau tepukan tanpa diketahui dari mana datangnya
itu yang memang orang tua itulah pelakunya, kalau
tadi hanya kebetulan saja bisa mengenainya. Karena,
dia memang tidak sedang siaga. Bahkan dilakukan
dengan cara membokong. Tetapi sungguh Jaka tidak
memungkiri, kalau memang tidak pernah tahu seran-
gan gelap itu akan datang.
Hal itulah yang membuatnya geram.
Sekarang Jaka ingin melihat kalau serangan itu
dilakukan dari depan. Secara wajar.
"Hiaaah...!"
Sambil berseru pendek, Jaka mengegos tubuhnya
dengan gerakan luar biasa cepat dan ringan. Kedua
tangannya mengepal dan lurus, siap menghantam wa-
jah Eyang Purnama. Sengaja langsung dikeluarkannya
setengah dari tenaga dalamnya. Tidak sabar rasanya
Jaka ingin melihat hasil gebrakannya yang pertama.
Eyang Purnama tetap tenang dengan bibir terse-
nyum. Begitu arif.
"Jaka! Tahan!"
Justru Ki Kamanda yang berseru keras.
*** 2 Sayang, gebrakan Jaka sudah demikian cepat.
Hingga rasanya tidak bisa ditahan lagi. Paling tidak, Ki Kamanda memang bisa
memotongnya. Dengan kata
lain, dia harus merelakan tubuhnya terhantam gera-
kan yang begitu cepat sekali. Namun rasanya itu pun
sulit, karena gerakan Jaka begitu cepat.
Sementara itu, Eyang Purnama tetap berdiri di
tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Bibirnya tetap
tersenyum, mencerminkan kebijaksanaannya.
Tubuh Jaka memburu. Saat tubuhnya mengegos
tadi, dia yakin paling tidak orang tua bongkok keriput itu akan menggeser
tubuhnya. Tetapi sekarang, tidak
sedikit pun terlihat gerakan si orang tua, selain tetap tersenyum. Hal ini
membuatnya semakin murka. Dengan kata lain, Eyang Purnama menganggap remeh se-
rangannya. Padahal jurus yang dipakai sangat dibang-
gakan. Jurus 'Cakar Maut Menelan Mangsa'!
Melihat hal ini, Jaka berniat akan berjumpalitan,
membelokkan serangannya. Sehingga dia semakin
menambah tenaganya di kedua betisnya.
Batang kelapa yang masih kukuh saja akan lang-
sung tumbang setelah beberapa kejap bergoyang bila
terkena sambaran tangan Jaka. Apalagi bila mengenai
orang tua keriput bongkok dan kelihatan tidak memi-
liki apa-apa ini.
Wuttt.... "Uts...!"
Sekejapan saja, Jaka siap mendaratkan kedua
pukulannya ke dada yang tipis itu. Tetapi mendadak
pukulannya berbelok. Karena dengan gerakan yang
disertai senyum, Eyang Purnama mengayunkan tong-
katnya ke muka. Jaka mau tak mau bergerak ke
samping. Seketika terasa hawa panas menyambar da-
danya. Bisa dibayangkan, bagaimana bila serangannya
tidak dibelokkan. Mungkin dadanya akan bolong ter-
tusuk tongkat. "Bangsat!" maki Jaka, begitu berhasil mengambil jarak kembali.
"Maaf, tongkat kayu ku ini tidak bisa diajak berdiam!" ucap Eyang Purnama,
seenaknya. Saat itu juga, Jaka meluruk kembali. Dia tidak
percaya kalau 'Cakar Maut Menelan Mangsa' begitu
mudah dipatahkan Eyang Purnama. Bahkan tanpa
bergeser dari tempatnya! Paling tidak, seharusnya
tongkat kayu miliknya bisa patah hanya terkena geta-
rannya. Kembali si pemuda menyerang dengan han-
taman tangannya disertai tenaga penuh pada jurus
kesebelas. "Jaka! Kau mencelakakan dirimu sendiri!" seru Ki Kamanda, keras.
Tetapi Jaka tidak mungkin menghentikan seran-
gannya. Harga dirinya tidak terima diperlakukan se-
perti itu. Dipecundangi dengan sekali gebrak saja.
Bahkan saat menggunakan jurus yang teramat di-
banggakan kehebatannya.
"Anak muda.... Tongkatku ini hanya kugunakan
untuk memukul anjing bila menggangguku. Apakah
kau ingin kuanggap sebagai anjing?" kata Eyang Purnama, tetap diam di tempatnya.
Kata-kata itu membuat Jaka menjadi merah pa-
dam. Akal sehatnya benar-benar tertutup amarahnya
terhadap Iblis Penghela Kereta. Dan kini dia diejek seperti itu. Maka
kemarahannya pun hendak dilam-
piaskan. Lelaki tua bongkok ini harus dijatuhkannya.
Bahkan kali ini sudah memperhitungkan, kalau tong-
kat itu pasti akan bergerak lagi. Makanya, kini tangan kanannya mencoba menutup
ke dada. Benar dugaannya. Tongkat Eyang Purnama kem-
bali sejajar mengarah pada dadanya. Tetapi kali ini
Jaka tidak berkelit. Tidak menghindar atau pun me-
lencengkan tubuhnya. Segera ditangkisnya tongkat itu
dengan tangannya.
Plak! Tangan kanan Jaka meluncur terus ke muka si
orang tua. Namun sungguh, tidak disangka sama se-
kali. Dengan gerakan beruntun, Eyang Purnama
mampu membuat tongkat itu kembali mengayun me-
mapak luncuran tangan si pemuda.
Plak! Kali ini, Jaka langsung berjumpalitan mundur, la-
lu jatuh berlutut bagaikan menghormat di sebelah Ki
Kamanda. Gerakannya bagai ada yang memaksa. Ke-
tika melirik kedua tangannya, dia terkejut. Karena,
kedua tangannya menjadi hitam legam!
"Sudah kukatakan jangan gegabah!" dengus Ki Kamanda jengkel. Langsung tenaga
dalamnya dialirkan melalui ujung ibu jari Jaka.
Sementara, Jaka sendiri berusaha menahan de-
sakan sesuatu yang maha dahsyat. Tubuhnya sampai
berkeringat dan perlahan-lahan, hitam di tangannya
lenyap. "Berlututlah kau! Dan, memohon ampun!" desis Ki Kamanda.
Ki Kamanda langsung berlutut lagi di hadapan
Eyang Purnama yang tetap tersenyum. Sementara
dengan tenaga yang tak terlihat, dia menekan Jaka
untuk bersikap hormat.
"Maafkan, Eyang. Aku yang sudah tua ini tidak
bisa mendidik murid," ucap Ki Kamanda.
"Aku menyukai jiwa muda dengan darah panas.
Dengan taring menyengat dan gigitan kuat. Tetapi, bila darah panas tak pernah
dikendalikan, akan mengalahkan pemiliknya!"
"Maafkan aku, Eyang."
"Hmmm.... Kau seharusnya sudah memperhi-
tungkan keadaan ini sebelumnya, bukan" Kamanda,
ketahuilah. Lawan yang sedang kau cari ini adalah
manusia keji yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Kekejamannya melebihi iblis dari mana pun! Bukan-
nya aku tidak mempercayai kemampuanmu bersama
anak muda ini. Tetapi, ingatkah kalau Perguruan Ca-
kar Maut mu itu telah porak-poranda. Bahkan juga te-
lah menewaskan si Buwana?"
Rupanya, kabar tentang hancurnya Perguruan
Cakar Maut telah sampai pula di telinga Eyang Pur-
nama. "Tetapi, Eyang! Kami tetap akan mendatangi Iblis Penghela Kereta!" tukas Ki
Kamanda dengan suara tetap penuh hormat.
"Baiklah. Tetapi kusarankan, lebih baik menung-
gu waktu yang tepat, Kamanda. Dan, pernahkah kau
mendengar sepak terjang seorang anak muda yang
konon berasal dari Lembah Kutukan?"
"Pernah, Eyang."
"Hmmm.... Sampai saat ini, aku memang belum
pernah mengetahui orangnya. Namun julukannya te-
lah sampai di telingaku. Pemuda sakti buyut dari Ki
Saptacakra itu memiliki ajian-ajian dari Lembah Ku-
tukan yang sangat tangguh. Ada baiknya bila kau
mencari pemuda itu untuk meminta bantuannya."
"Baik, Eyang. Tetapi tahukah Eyang jalan menu-
ju Lembah Ular?" tanya Ki Kamanda kemudian.
Eyang Purnama tersenyum.
"Berjalanlah lurus. Hati harus bersih. Jaga sepak terjang mu. Terutama, anak
muda ini," ujarnya.
Ki Kamanda tahu, Eyang Purnama tidak ingin
memberitahukan di mana Lembah Ular itu berada.
Mungkin memang ada pertimbangan lain.
"Terima kasih atas nasihat Eyang."
"Jangan berterima kasih kepadaku. Kepada Pen-
guasa Jagat inilah kau harus bersyukur...."
Sebelum Ki Kamanda berkata lagi, tubuh Eyang
Purnama sudah lenyap, tak tertangkap oleh matanya.
Ki Kamanda langsung berlutut dengan wajah menun-
duk. Suasana kembali sunyi.
"Paman.... Siapa sebenarnya orang bongkok itu?"
tanya Jaka yang sejak tadi diam saja menahan jeng-
kel. Pemuda ini sebenarnya sudah siap maju dengan
kerisnya! Dan ia yakin, paling tidak bisa mengimbangi kakek bongkok itu tadi.
Tapi entah mengapa, gerakannya seperti tertahan.
Ki Kamanda berdiri seraya menengadah.
"Jaka.... Kau memang masih terlalu muda untuk
mengetahui betapa anehnya dunia ini. Eyang Purnama
tetap bijaksana seperti dulu," ucap Ki Kamanda.
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka semakin penasa-
ran. "Dulu..., begitu banyak yang menyeganinya. Dulu, begitu banyak yang
menghormatinya. Tetapi setelah
tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, tak seo-
rang pun yang pernah mengenalnya. Apalagi menye-
but namanya. Sungguh, Penguasa Jagat ini telah
mempertemukan kita dengannya."
"Paman..., mengapa ajian kebanggaan Perguruan
Cakar Maut tak ada gunanya saat berhadapan dengan
dia?" "Kau tidak pernah tahu, betapa tingginya langit.
Kau juga tidak pernah tahu, betapa dalamnya lautan.
Itulah yang disebut di atas langit masih ada langit."
Memang, yang ada dalam pikiran Jaka hanyalah
mencari orang yang telah menebarkan maut mengeri-
kan. "Paman..., siapa pula pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu?" tanya Jaka,
kemudian. "Namanya Andika. Julukannya Pendekar Slebor.
Telah lama aku mendengar sepak terjangnya sebagai
orang dari golongan lurus. Dia telah memberantas be-
berapa tokoh jahat yang telah lama malang melintang
di muka bumi ini. Bahkan, aku sempat mendengar ka-
lau dia telah menghancurkan gerombolan iblis yang
bersatu dalam kelompok Sembilan Iblis, yang ditung-
gangi Raja Akhirat," jelas Ki Kamanda sambil mere-nung. (Untuk mengetahui
siapakah Gerombolan Sem-
bilan Iblis itu silakan baca episode: 'Istana Sembilan Iblis').
Diam-diam Ki Kamanda yakin, kalau Pendekar
Slebor akan menjadi orang nomor satu di rimba persi-
latan ini. Hanya sayangnya, kedudukan itu tidak diin-
ginkan. "Jaka, sudah seharusnya kau mulai belajar
menghadapi kehidupan ini. Sekarang, kita hanya ting-
gal berdua. Kitalah yang sudah seharusnya membalas
sakit hati saudara-saudara kita yang telah tewas di-
bunuh Iblis Penghela Kereta," lanjut Ki Kamanda.
"Kau benar, Paman. Kita memang harus memba-
laskan sakit hati saudara-saudara kita!" tandas Jaka, mengepalkan tangannya.
Tiba-tiba tangannya mengibas penuh amarah.
Werr...! Seketika serangkum angin keras menderu ke
arah sebuah pohon besar.
Duuuaaarrr! Terdengar ledakan keras bersama robeknya po-
hon besar itu. "Kutu monyet! Sinting! Sinting! Siapa yang berani menggangguku yang lagi asyik
'buang hajat ini, hah"!"
Tiba-tiba terdengar makian bernada jengkel.
*** 3 Ki Kamanda dan Jaka memandang tajam pada sa-
tu sosok tubuh yang muncul sambil memaki-maki.
Dia adalah seorang pemuda berambut gondrong. Ma-
tanya setajam elang dengan kedua alis menukik ba-
gaikan kepakan elang yang marah. Pakaiannya ber-
warna hijau pupus, dengan kain bercorak catur di ba-
hunya. "Hayo! Ngaku saja, siapa yang iseng mengganggu
keasyikan ku, hah"!" seru pemuda ini sambil melotot dan menuding ke arah Ki
Kamanda dan Jaka.
Ki Kamanda menjadi terheran-heran. Terutama
Jaka. Dia tadi tidak menyangka kalau ada orang yang
hampir saja termakan pukulan mautnya. Tetapi ia pun
tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Mendadak saja tubuhnya melompat tiga
tindak ke depan.
"Pemuda bodoh! Apa urusannya kau dengan ka-
mi, hah"! Lebih baik pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!" bentak Jaka,


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengit. "Enak saja! Habis mencelakai orang disuruh pergi!
Hayo, ngaku! Siapa yang mengganggu keasyikan ku
tadi, hah"!" rutuk si pemuda berbaju hijau pupus, melotot. Jaka yang
dipecundangi Eyang Purnama dalam
sekali gebrak tadi, menjadi jengkel. Apalagi bila mengingat bagaimana
perguruannya kini hancur akibat
perbuatan Iblis Penghela Kereta. Dan marahnya kian
menggelegak saja. Lalu...
"Heaaa!"
Mendadak saja tanpa banyak cakap, Jaka berke-
lebat ke arah pemuda berbaju hijau pupus itu.
Pemuda berbaju hijau jadi garuk-garuk kepala
sambil menggeleng-geleng.
"Busyet! Bukannya mengaku malah menyerang!"
serunya sambil memiringkan tubuhnya sedikit meng-
hindari serangan Jaka dengan manisnya. Bahkan se-
cepat kilat tangannya bergerak mengibas.
Wuuuttt! Jaka terkejut mendapatkan serangan mendadak
itu. Segera serangannya sendiri ditarik langsung dipapaknya pukulan itu.
Plak! Tiba-tiba saja Jaka merasa tangannya kesemutan.
Namun hal itu bukannya membuatnya mundur. Ma-
lah diserangnya pemuda berbaju hijau semakin men-
jadi-jadi. "Edan! Bukannya minta maaf, malah nekat! Kalau
tidak mau minta maaf, ya sudah. Toh buang hajat ku
sudah selesai!" kata pemuda berbaju hijau pupus, sambil menggeleng-geleng.
Dan seketika pemuda dengan kain corak catur itu
kembali memiringkan tubuhnya, menghindari setiap
sambaran tangan Jaka yang berbentuk cakar. Suara
keras terdengar, setiap kali Jaka mengibaskan tan-
gannya. "Jangan hanya bisa menghindari! Balaslah aku
kalau mampu!" dengus Jaka, melihat sejak tadi serangannya tak satu pun yang
masuk. Sementara itu, Ki Kamanda hanya memperhati-
kan dengan kening berkerut. Otaknya mengingat se-
suatu, namun tak mampu. Makanya dia hanya ber-
diam sambil mengingat-ingat, apa yang ada di otak-
nya. "O, jadi itu maumu" Baik, baik! Nah! Cobalah hadapi seranganku ini!" seru
pemuda berbaju hijau pupus sambil melenting ke belakang.
Begitu kedua kakinya hinggap ringan di tanah,
dengan pencalan satu kaki pemuda itu tiba-tiba men-
deru maju. Jaka pun berbuat yang sama, setelah menambah
tenaganya. Memang ketika lengannya berbenturan ta-
di bisa merasakan kalau tenaga si pemuda berbaju hi-
jau pupus sangat tinggi. Maka setelah menambah te-
naganya, dicobanya memapak serangan itu dengan
cakar mautnya. Plak! Pukulan pemuda berbaju hijau itu bisa diatasi
Jaka. Namun Jaka jadi sangat terkejut. Karena den-
gan gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu pe-
muda berbaju hijau pupus telah berbalik sambil men-
gibaskan tangannya. Lalu....
Desss...! "Aaakh...!"
Mantap sekali dada Jaka terhantam. Dan akibat-
nya tubuhnya terhuyung ke belakang. Tanpa sadar
tangan kanannya memegangi dada.
"Bangsat!"
"He he he... Salah kau sendiri! Bukankah kau yang
menyuruhku untuk membalas" Ah, sudahlah! Lebih
baik aku pergi saja!" tukas pemuda berbaju hijau pupus.
"Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari pertarungan ini!" seru Jaka segera
memasang kuda-kuda kembali. Tapi sebelum Jaka mengumbar amarahnya kemba-
li, Ki Kamanda sudah melompat ke tengah dengan me-
rentangkan tangannya. Dalam sekali lihat saja, dia ta-hu kalau ilmu yang
dimiliki Jaka tidak akan mampu
menandingi si pemuda berbaju hijau yang cuma cen-
gar-cengir saja.
"Anak muda, maafkan kelancangan muridku...."
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersenyum. Se-
jak tadi dia pun sebenarnya tidak menginginkan per-
tarungan. Tetapi pemuda berbaju putih itu yang telah
mendahuluinya. "Paman, tak ada yang perlu dimaafkan," sahutnya sambil menjura.
Diam-diam Ki Kamanda tersenyum melihat sikap
si pemuda. "Sudahlah.... Kita tak pernah punya silang seng-
keta. Tak perlu meneruskan amarah di dada. Anak
muda, siapakah namamu?" tanya Ki Kamanda, sambil memperhatikan.
"Namaku Andika, Paman...."
"Andika," ulang Ki Kamanda seperti bergumam.
Tahu-tahu kepalanya mengangguk-angguk sambil ter-
senyum. "Tak pernah kusangka, kalau hari ini aku, Kamanda bertemu pemuda sakti
dari Lembah Kutu-
kan." Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Slebor itu hanya tersenyum
saja. "Jangan memujiku setinggi langit, Paman. Aku ja-
di risih-mendengarnya...."
"Maafkan atas kelancangan muridku yang berna-
ma Jaka itu. Baru pertama kali keluar dari perguruan, sudah mengalami peristiwa
yang cukup menggetar-kannya. Karena selama ini, dia belum pernah berta-
rung dengan tokoh-tokoh rimba persilatan," jelas Ki Kamanda.
Andika hanya tersenyum saja.
"Tidak ada masalah yang besar, Paman."
Sementara itu, Jaka yang mendengarkan perca-
kapan diam-diam mendesah. Jadi, pemuda inikah
yang tadi dikatakan Eyang Purnama sebagai pemuda
sakti yang telah menggemparkan rimba persilatan"
Pantas saja 'Cakar Maut Menelan Mangsa' tak ada gu-
nanya menghadapi dia tadi. Lalu dengan jiwa ksatria,
Jaka mendekati Andika.
"Pendekar..., maafkan atas kelancanganku...,"
ucap laka sambil menjura hormat.
Andika terbahak-bahak.
"Pendekar" Ha ha ha.... Siapa yang jadi pendekar"
Jangan terlalu terpengaruh omongan orang lain. Malu
rasanya dipanggil Pendekar," sahut Pendekar Slebor merendahkan diri. "Sudahlah,
coba kulihat lukamu."
Jaka membuka pakaiannya Seketika terlihat len-
gan kanannya membiru. Sementara Pendekar Slebor
mengobatinya dengan jalan mengurut. Perlahan-lahan
dirasakannya sesuatu yang mengaliri lengannya.
"Sebentar lagi, kau akan merasakan tenagamu
sudah pulih seperti sediakala. Dan rasa sakitnya per-
lahan-lahan akan menghilang dengan sendirinya," jelas Andika setelah mengobati.
"Maafkan aku, Paman, karena tak ada lagi yang perlu dibicarakan, izinkan aku
untuk meninggalkan
tempat ini...."
"Andika...," panggil Ki Kamanda, menahan langkah Pendekar Slebor. "Ada persoalan
yang meminta ku untuk menahanmu di sini"
Andika berbalik. Ditatapnya Ki Kamanda yang
tengah memandangnya penuh harap.
"Hmmm.... Persoalan apakah gerangan, Paman?"
Lalu tanpa sungkan lagi, Ki Kamanda mencerita-
kan tentang seorang tokoh sesat berjuluk Iblis Penghe-la Kereta yang tengah
membuat keonaran di rimba
persilatan. Tanpa sungkan pula, dijelaskan kalau ban-
tuan Pendekar Slebor sangat diharapkan.
"Hmmm.... Siapakah sesungguhnya Iblis Penghela
Kereta itu, Paman?" tanya Andika. "Apakah semacam kusir delman" Ataukah... lebih
pantas disebut penarik gerobak?" selorohnya.
Ki Kamanda tersenyum mendengar gurauan itu.
"Aku tidak tahu, siapakah dia sesungguhnya. Ju-
lukannya pun baru kudengar saat ini."
"Jangan-jangan..., dia cuma pembajak sawah
yang kerjanya iseng mengganggu orang lain" Ha ha
ha.... Kalau cuma membajak sawah sih, biar saja kita
jadikan dia kerbaunya!"
Bukan hanya Ki Kamanda yang tersenyum. Jaka
yang diam-diam mengagumi kepandaian Pendekar
Slebor pun tersenyum mendengar selorohan itu.
"Bahkan kita akan meratakannya dengan bumi,
Andika." tambah Ki Kamanda. "Itulah sebabnya aku meminta bantuanmu, sesuai
petunjuk Eyang Purnama." "Nah, nah.... Siapa lagi dia" Kenapa namanya tidak
menjadi Eyang Matahari saja?"
"Eyang Purnama adalah tokoh sakti yang telah
lama menghilang dari rimba persilatan. Kalau kemun-
culannya kali ini terasa mendadak sudah jelas ada
masalah besar yang mengganggunya."
"Hmmm.... Aku jadi ingin berjumpa dengannya,
Paman. Tetapi, he he he.... Apakah Paman sudah ya-
kin untuk meminta bantuanku?" tanya Andika. "Aku tidak memiliki kemampuan apa-
apa yang seperti Paman duga..."
Lagi-lagi Ki Kamanda diam-diam memuji sikap
Pendekar Slebor. Dia tahu, bila saja pemuda ini memi-
liki jiwa sesat, bukan mustahil nyawa Jaka akan le-
nyap. "Andika.... Nama besarmu sudah terdengar sampai
ke telingaku ini."
Andika tersenyum.
"Baiklah, Paman. Aku akan membantumu. Aku
pun tak pernah suka melihat kejahatan terus-menerus
terjadi. Ki Kamanda, di manakah Iblis Penghela Kereta itu tinggal?"
Ki Kamanda mendesah lega.
"Menurut kabar, dia telah membangun pemukiman
di Lembah Ular."
"Oh! Aku pernah mendengar nama tempat itu.
lembah Ular sangat jauh dari sini."
"Kau benar, Andika. Kita membutuhkan waktu se-
kitar enam hari lagi untuk tiba di sana."
Andika terdiam.
"Dalam waktu selama ini, aku yakin Iblis Penghe-
la Kereta tentu telah membuat keonaran yang semakin
menjadi-jadi. Kalau begitu, Paman, lebih baik kita segera menuju ke Lembah
Ular," gumam Andika, akhirnya. Ki Kamanda mengangguk.
"Itu pula yang ku pikirkan. Andika, kau bisa bersama-sama berkuda dengan Jaka,"
ujar laki-laki se-
tengah baya itu.
Andika terkekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Aku ingin melemaskan otot-otot kakiku. Lebih
baik aku berlari saja mengikuti kalian."
*** 4 Lembah Ular membentang luas, dikelilingi pepoho-
nan lebat. Suasana begitu menyeramkan. Sesuai na-
manya, di tempat itu hidup berbagai macam ular ber-
bisa yang ribuan jumlahnya.
Di tengah-tengah Lembah Ular itulah terdapat se-
buah perkampungan yang tidak sebagaimana lazim-
nya. Di situ, berdiri sebuah perkampungan tempat Ib-
lis Penghela Kereta dan gerombolannya bermukim.
Di sana pula disekap gadis-gadis cantik yang dija-
dikan pemuas nafsu mereka. Juga, puluhan pemuda
yang sengaja dilatih untuk pengawal-pengawal Iblis
Penghela Kereta.
Di salah satu rumah yang paling besar, saat ini Ib-
lis Penghela Kereta tengah kedatangan beberapa tokoh
sesat. Mereka memang sengaja diundang untuk mem-
bantu mewujudkan cita-citanya menjadi orang tak
terkalahkan di rimba persilatan.
Sesungguhnya Iblis Penghela Kereta bernama
Sunsang. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut gon-
drong. Wajahnya dipenuhi bisul-bisul menahun yang
tak pernah pecah. Matanya memancarkan sinar keme-
rahan yang mengerikan. Hidungnya bengkok seperti
paruh burung betet. Pakaian kelabu, seperti warna
kulitnya yang konon terlalu banyak menganut ilmu. Di
pinggangnya melilit sebuah tali panjang berwarna ke-
labu pula. Ia duduk di sebuah kursi besar di belakang sebuah meja panjang yang
di atasnya terdapat buah-buahan dan minuman.
Para tokoh sesat duduk di hadapan Iblis Penghela
Kereta. Mereka berjumlah tiga orang. Yang berpakaian
putih bersih adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun. Wajahnya tampan.
Ikat kepalanya berwarna
putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas berwarna
merah yang sejak tadi dipergunakannya. Namanya
Bramantoro. Sejak muda, dia telah memakan ratusan
dara perawan. Maka tak heran kalau dijuluki Kipas
Dewa Hidung Belang.
Duduk di sebelah Bramantoro adalah laki-laki ber-
celana pangsi hitam, namun bertelanjang dada. Sepa-
sang matanya sipit. Kulitnya putih bersih agak keme-
rahan. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda. Otot
tubuhnya menyembul keluar. Namanya Tek Jien. Tapi
di kalangan persilatan dikenal sebagai si Tangan Seri-bu. Yang terakhir adalah
seorang wanita tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Wajahnya keriput, tak
ubahnya seperti nenek sihir. Pakaiannya kuning. Bi-
birnya selalu terbuka, menampakkan kegenitannya. Di
tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala naga.
Dia dikenal dengan nama Ni Muntiti atau berjuluk si
Pesolek Tongkat Naga.
Percakapan telah terjadi di antara mereka sekitar
penawaran Iblis Penghela Kereta yang meminta untuk
bergabung. Dan itu telah disetujui.
"Kawan Sunsang...," sebut Bramantoro. "Bila melihat kekuatanmu dan kesaktianmu
yang semakin ber-
tambah, namun ada kendala yang tak bisa didiam-
kan." "Hmmm.... Kendala apa itu?" tanya Sunsang dengan wajah memerah. Belum apa-apa
Bramantoro su- dah memperlihatkan sikap pengecut. Begitu kata ba-
tinnya.

Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentang seorang pemuda sakti dari Lembah Ku-
tukan," jelas Kipas Dewa Hidung Belang.
"Maksudmu Pendekar Slebor?" tukas Iblis Penghela Kereta sambil terbahak-bahak.
"Kau tidak perlu takut. Memang, pemuda dari Lembah Kutukan itulah
yang sudah lama ku pikirkan sebagai penghalang be-
rat. Akan tetapi, aku telah mempunyai cara untuk
mengatasinya."
"Bisakah kami mengetahuinya?" tanya Tek Jien, tokoh persilatan dari negeri
Tiongkok yang juga sudah mendengar nama besar Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...! Mengapa kita harus membicarakan
soal itu dulu" Itu tidak terlalu penting. Kalian bisa bersenang-senang dulu bila
mau. Gadis-gadis cantik
telah siap menghibur kalian," ujar Iblis Penghela Kereta. "Hhh!" dengus si
Pesolek Tongkat Naga. "Boleh saja kalian bersenang-senang dulu. Tetapi, aku
ingin tahu bagaimana cara mengatasi si Pendekar Sialan itu!"
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dia tahu,
Pesolek Tongkat Naga memiliki sifat panasan dan tak
sabaran. "Mudah sekali. Pertama, aku akan mengundang
para tokoh baik dari golongan lurus maupun sesat,
untuk menghadiri pesta yang akan ku adakan."
"Gila! Untuk apa kau melakukan itu?" seru Pesolek Tongkat Naga.
"Ha ha ha.... Sudah tentu untuk membunuh mere-
ka. Ini cara yang termudah. Dalam setiap makanan
dan minuman yang dihidangkan, akan dibubuhi racun
yang sangat mematikan. Bukankah dengan cara se-
perti itu kita tidak perlu lagi turun tangan terlalu repot, hah"!"
Ketiga tokoh sesat undangan Sunsang tertawa
mendengar usul yang menakjubkan itu. Tetapi Pesolek
Tongkat Naga belum puas.
"Lalu, cara membunuh Pendekar Slebor?" ta-
nyanya. "Kita akan melakukan cara yang sama."
"Hhh! Tak mudah mengelabuinya seperti itu."
"Apakah dia akan bisa menolak bila dalam minu-
man atau makanannya dibubuhi obat perangsang le-
bih dulu" Bila sudah terjebak, maka beberapa gadis
pilihan ku akan siap menghiburnya. Sekaligus mem-
buatnya lemah. Saat itulah cara yang termudah untuk
menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dua tawa sekaligus terdengar dari mulut Braman-
toro dan Tek Jien. Sementara, Pesolek Tongkat Naga
terdiam. "Bagaimana bila hidangan yang disediakan tidak
diminum atau dimakannya?"
"Ada cara lain yang akan membuatmu terkejut
melihatnya nanti, Ni Muntiti," sahut Iblis Penghela Kereta sambil terbahak-bahak
keras. "Bila telah berhasil menghancurkan para tokoh rimba persilatan, kita
akan melebarkan sayap untuk menguasai beberapa
perguruan. Kita paksa mereka untuk bergabung. Cara
seperti ini akan mudah sekali kita lakukan. Karena,
beberapa tokoh sakti yang akan diundang nanti, juga
terdapat beberapa ketua dari perguruan silat."
Ketiga kawan Iblis Penghela Kereta terdiam. Me-
reka mengagumi siasat Iblis Penghela Kereta yang be-
gitu mudah. *** Lima hari kemudian.
Malam merambat perlahan. Meskipun sekarang
purnama terlihat membulat, namun sinarnya seakan
tak mampu. menembus Lembah Ular yang dipenuhi
pepohonan tinggi besar berdaun rimbun.
Di Lembah Ular suasana tampak ramai sekali. Ka-
lau biasanya hanya dimaraki oleh gerombolan Iblis
Penghela Kereta, kali ini didatangi lima belas orang da-ri rimba persilatan yang
memenuhi undangan tokoh
sesat itu. Obor besar telah menyala di setiap sudut, di ru-
mah besar tempat Iblis Penghela Kereta tinggal.
Dalam undangannya, Iblis Penghela Kereta menga-
takan kalau akan membuat perguruan di Lembah
Ular. Sudah tentu hal itu lazim di rimba persilatan.
Setiap peresmian perguruan yang baru muncul, me-
mang selalu mengundang para tokoh.
Jamuan pun disediakan. Pesta arak pun berlang-
sung meriah. Tokoh dari golongan sesat langsung saja
menikmati hidangan yang disuguhkan. Sementara pa-
ra tokoh dari golongan putih tidak menyentuh arak
sedikit pun. Namun untuk menghormati tuan rumah,
mereka mencicipi hidangan lainnya.
Puluhan gadis jelita berpakaian tipis tembus pan-
dang hingga memperlihatkan auratnya, pun menjadi
penghibur mereka. Seketika terlihat pemandangan
yang sesungguhnya menjijikkan bagi tokoh-tokoh go-
longan putih. Para tokoh dari golongan hitam seperti
anak kecil yang berebut mainan berburu-buru me-
rangkul gadis pilihannya.
Melihat hal ini, tokoh dari golongan putih hanya
mengerutkan keningnya saja. Pesta apa ini" Begitu
mereka bertanya dalam hati. Belum terjawab perta-
nyaan mereka, tiba-tiba saja sesuatu yang aneh di tu-
buh mereka terjadi. Perlahan-lahan rasa arak itu
membakar sekaligus menjilat-jilat birahi mereka.
Apalagi, gadis-gadis itu terus melenggak-lenggok
menari dengan suara mendesah-desah. Perlahan-
lahan tarian yang semula sopan kini berubah menjadi
brutal, diiringi suara gendang yang semakin merang-
sang. Dan perlahan-lahan, para penari membuka pa-
kaian satu persatu. Hingga akhirnya, mereka pun ber-
telanjang bulat. Bahkan bergerak semakin liar!
Di samping telah dibubuhi racun, makanan dan
minuman itu pun telah dibubuhi obat perangsang
yang kuat. Sehingga, lambat laun para tokoh golongan
putih mulai terpengaruh pula. Meskipun mereka ber-
tanya-tanya, namun pengaruh obat perangsang itu
sudah menjalari darah dan membakar semangat me-
reka. Dan seketika mereka kehilangan rasa malu.
Serentak mereka meraih gadis-gadis yang berada
paling dekat sambil terbahak-bahak. Sementara, ga-
dis-gadis yang diraih mendesis-desis penuh rangsan-
gan. Perbuatan tak senonoh pun terjadi.
Di lain tempat, Iblis Penghela Kereta tersenyum
puas melihat rencananya berhasil.
"Kalian lihat itu, hah"! Sekuat-kuatnya mereka,
apalagi ditambah obat perangsang yang telah merasuk
ke tubuh dan darah, sudah tentu mereka tak akan
kuat menahan gelora birahi yang ada di ji-
wa!.Apalagi..., ha ha ha...! Gadis-gadisku itu sangat menggairahkan.... Dengan
cara seperti inilah Pendekar Slebor akan kita habisi riwayatnya...," bisik
Sunsang pada tiga tokoh sesat kawan dekatnya.
Sementara itu tarian penuh rangsangan dan alu-
nan gendang semakin menghanyutkan suasana dan
gelora asmara menggelegak. Gerakan-gerakan liar te-
rus menerus menyemaraki pandangan, membangkit
rangsangan. ....
Kesadaran para tokoh dari golongan putih telah
hilang. Dan tanpa malu-malu lagi, mereka membawa
gadis-gadis yang dikehendaki ke kamar yang telah dis-
ediakan Iblis Penghela Kereta.
Mereka benar-benar tidak sadar kalau maut men-
gintai. Begitu sampai di kamar, mereka terburu-buru
membuka pakaian serta melompat ke tempat tidur di
mana gadis yang dibawa tadi telah merebahkan tubuh
tanpa busana. Langsung digelutinya gadis-gadis itu
dengan penuh nafsu!
Namun sesaat kemudian, mata mereka mendelik den-
gan suara tertahan. Sebuah pisau berkali-kali dihu-
jamkan di tubuh mereka oleh gadis-gadis itu. Hingga
akhirnya, para tokoh golongan putih menggelosor den-
gan nyawa melayang.
Sementara gadis-gadis itu segera bangkit dan
mengenakan pakaian kembali. Sikap mereka begitu
dingin. Tak heran, karena mereka telah dipengaruhi
jiwanya oleh Iblis Penghela Kereta, sehingga menjelma bagaikan boneka hidup yang
mengikuti kemauan pen-ciptanya.
Dalam semalam saja, lima belas nyawa para tokoh
telah melayang.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak, begitu
mendengar laporan dari para gadis yang menjadi pen-
gikutnya. "Ha ha ha.. Ini adalah cara terbaik bagi kita untuk menguasai rimba persilatan!
Tidak perlu membuang
tenaga seperti yang telah kulakukan pada Perguruan
Cakar Maut" teriak Iblis Penghela Kereta lantang.
Sunsang lantas memerintahkan anak buahnya
menguburkan mayat-mayat tokoh putih di belakang
perkampungan. *** 5 Berita kematian lima belas tokoh rimba persilatan
di tangan Iblis Penghela Kereta sampai juga di telinga Ki Kamanda, Jaka, dan
Pendekar Slebor.
"Gila! Rupanya Iblis Penghela Kereta memiliki cara yang sangat jitu untuk
menghancurkan rimba persilatan. Dengan mudahnya para tokoh rimba persilatan
itu dibunuhi," desis Ki Kamanda dengan gigi bergeme-letuk menahan amarah.
Andika mengangguk-angguk. Hatinya pun terasa
panas. Akan tetapi ada satu hambatan yang dirasa-
kannya. "Kurasa, para tokoh itulah yang tidak bisa mengatasi diri sendiri," gumam
Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu, Andika?" tanya Jaka, tak mengerti. Semenjak bersama-sama Pendekar
Slebor, pemu- da itu berusaha untuk mengatasi rasa marahnya. Ba-
ru kali ini dipahami kata-kata yang diucapkan Eyang
Purnama beberapa hari lalu.
"Maksudku..., sebagai seorang tokoh yang telah
mengenyam banyak asam garam, sudah seharusnya
mereka waspada terhadap undangan seorang tokoh
sesat macam Iblis Penghela Kereta. Lihat dulu. Apa itu undangan bahwa Iblis
Penghela Kereta mau sunat lagi,
atau mau kawin lagi" Masalahnya kalau undangan
tanpa juntrungan yang mengundang tokoh-tokoh baik
dari golongan sesat maupun golongan lurus, biasanya
hanya untuk hura-hura saja. Maka bisa jadi kalau
kematian lima belas tokoh itu adalah karena nafsu
mereka sendiri. Dalam hal ini mereka tidak siap. Me-
reka hanya menekankan pada nafsu!" duga Andika
panjang lebar. "Andika.... Bagaimana kau bisa menebak kalau
mereka termakan nafsu birahi mereka sendiri?" tanya Jaka heran. "Bukankah mereka
terjebak?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. "Mudah sa-
ja. Seperti kata-katamu tadi, mereka terjebak. Nah,
mengapa mudah sekali mereka bisa terjebak" Karena
di rimba persilatan ini ada hukum tak tertulis, bila sebuah perguruan silat
didirikan, maka banyak undan-
gan disebar untuk para tokoh persilatan. Dan kabar-
nya Iblis Penghela Kereta menyebar undangan untuk
mendirikan sebuah perguruan silat. Kalau itu benar,
maka dalam hal ini para tokoh yang terbunuh telah
bertindak teledor. Mereka tak melihat, siapa yang
mengundang. Biasanya kalau tokoh sesat mengun-
dang, pasti ada rencana busuk yang akan ditujukan
pada tokoh-tokoh golongan putih. Bisa saja mereka
dihidangkan makanan dan minuman yang sebenarnya
telah dibubuhi racun atau obat perangsang. Setelah
itu... hmmm... Pasti mereka disuguhi gadis-gadis can-
tik yang membuat lupa diri. Dan selanjutnya..., yah....
Mereka pasti masuk ke kamar, lalu dengan mudah di-
bunuh seperti membunuh kutu busuk saja. Sekali
pencet..., cess.... Karena, membunuh lima belas tokoh yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi bukanlah
hal yang mudah...," jelas Pendekar Slebor, sambil memperagakan gerakan memencet
kutu busuk. Jaka hanya mengangguk-angguk saja. Diam-diam
dikaguminya sikap Pendekar Slebor. Karena meskipun
urakan, namun memiliki hati bersih, dan ketenangan
dalam bersikap.
Begitu pula yang dirasakan Ki Kamanda. Lagi-lagi
kekagumannya pada Pendekar Slebor bertambah. Ru-
panya, pemuda itu tidak hanya memiliki sifat urakan,
melainkan juga memiliki jiwa dan pemikiran tinggi.
"Andika... Apa yang kita lakukan sekarang?"
tanya Ki Kamanda kemudian sambil menatap pemuda
dari Lembah Kutukan itu.
Andika cengar-cengir saja.
"Jadi tidak enak, nih, ditanya seperti itu. Alah, Paman.... Mestinya Paman dong,
yang memberikan jalan keluar. Kalau menurutku, lebih baik segera me-
nyerang saja ke Lembah Ular. Kita obrak-abrik pemu-
kiman Iblis Penghela Kereta. Hhh! Aku jadi tidak sabar untuk menghancurkan
manusia pembajak sawah itu!"
Ki Kamanda mengangguk.
"Aku pun menginginkan hal itu. Karena, bisa-
bisa Iblis Penghela Kereta akan semakin meluaskan
kekuasaannya secara keji. Kita harus segera menuju
ke Lembah Ular!"
Ki Kamanda segera menaiki lagi kudanya. Begitu
pula Jaka. Andika yang sejak pertemuannya dengan
keduanya, hanya terus berlari cepat saja mengikuti
mereka. Sebenarnya, Ki Kamanda ingin menguji kepan-
daian pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan itu.
Dan dia terkejut ketika melihat Andika berlari di sisi kudanya sambil bersiul-
siul! Padahal, kuda yang di-naikinya adalah kuda pilihan.
"Ayo, Andika. Kita harus segera menuju Lembah
Ular" serunya.
"Paman...! Dan kau, Jaka! Lebih baik kita berpi-
sah saja," cetus Andika.


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei" Apa maksudmu, Andika?" tanya Ki Ka-
manda dengan kening berkerut tak mengerti.
"Bila kita bersama-sama menyerang ke Lembah
Ular, bisa dipastikan akan terkurung. Sekaligus, nya-
wa kita akan terhempas di sana. Maksudku, bila aku
yang lebih dulu datang ke sana, untuk melihat kea-
daan, dan ternyata terjebak di sana, maka ada Paman
dan Jaka yang bisa meneruskan perjuangan untuk
menghancurkan Iblis Penghela Kereta."
"Hmmm, kalau begitu biar aku dan Paman Ka-
manda yang mendahului tiba di sana," sahut Jaka.
"He he he..., jangan. Kalian tetap tinggal di sini!
Tunggu kabar dariku! Bila dalam tiga hari aku tidak
kembali ke sini, maka kalian bisa langsung menuju
Lembah Ular," ujar Pendekar Slebor.
"Tetapi, Andika...."
"Paman, kepentingan kita sekarang sama. Tanpa
Paman suruh pun aku akan mencoba menghancurkan
Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya," potong Andika. "Baiklah, Andika....
Kami akan menunggumu di Hutan Witis."
"Itu lebih baik. He he he..., aku akan berangkat lebih dulu. Ingat, Paman....
Tiga hari aku tidak muncul di Hutan Witis, segeralah berangkat ke Lembah
Ular." Sebelum Ki Kamanda menganggukkan kepalanya,
tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat dari
pandangan. Wuuusss! Ki Kamanda berdecak kagum.
"Jaka.... Kau harus bisa menyamai pikiran Pen-
dekar Slebor yang menunjukkan tingkat kedewasaan-
nya," ujar Ki Kamanda pada Jaka.
Jaka hanya mengangguk saja.
Ki Kamanda pun mengajaknya untuk menuju Hu-
tan Witis yang letaknya sepenanak nasi dari hutan ke-
cil itu. Akan tetapi, belum lagi mereka berangkat...
"Nyai! Jangan-jangan kedua monyet itu gerombol dari Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar sebuah suara yang membuat mereka
tersentak. *** Ki Kamanda mengurungkan niatnya untuk meng-
gebah kudanya. Begitu pula Jaka. Serentak mereka
melompat dari kuda. Sesaat kemudian, muncul dua
sosok tubuh ramping ke tempat itu. Satu berusia mu-
da, dan satunya sudah cukup tua. Sudah tentu ke-
munculan mereka membuat Ki Kamanda terheran-
heran. Apalagi Jaka.
"Nyai.... Mereka seperti orang dungu melihat ke-
hadiran kita!" cetus seorang gadis jelita yang berada di sisi wanita tua berusia
sekitar enam puluh tahun. Da-ra jelita itu berpakaian jingga. Rambutnya dikuncir
ekor kuda. Di pinggangnya terdapat sebuah selendang
berwarna jingga pula.
"He he he.... Bisa dimaklumi, Manis. Itu sudah
pasti. Laki-laki kelaparan seperti mereka, akan bernaf-su sekali melihatmu yang
seperti bidadari!" sahut wanita tua berpakaian merah menyala itu. Rambutnya
yang panjang dibiarkan tergerai, dalam pengaturan
yang rapi. Wajahnya sedikit dihiasi kerut. Di ping-
gangnya juga terdapat sehelai selendang warna-warni.
"Cuh! Kurang ajar sekali! Siapakah di antara mereka yang paling kurang ajar,
Nyai?" dengus gadis itu sambil meludah. Dirinya tersinggung karena dipan-dangi
seperti itu. "Carilah sendiri!"
Gadis itu menggeram. "Akan kupatahkan leher-
nya!" Pandangan gadis itu tertuju pada Jaka yang memang sejak tadi begitu
terpana. Selama ini bila
mengikuti Ki Kumanda keluar dari Perguruan Cakar
Maut, sering kali melihat gadis-gadis cantik. Namun
dia belum pernah melihat gadis secantik ini.
"Nyai..., aku tahu siapa yang begitu kurang ajar melihatku!" seru gadis itu
tiba-tiba. "Nah! Untuk apa kau berdiam diri! Silakan beri
pelajaran kepadanya!"
Mendadak saja gadis itu melompat manis sekali.
Gerakannya terlihat begitu gemulai, laksana seorang
penari. Tetapi Ki Kamanda yang memperhatikannya,
tau kalau gerakan itu sebenarnya begitu dahsyat ka-
rena ditunjang tenaga dalam tinggi.
Serangan itu ditujukan pada Jaka, yang justru
masih dalam keadaan terpesona!
"Kau akan mati dengan sekali gebrak, Jaka!" Jaka terhenyak. Keterpesonaannya
lenyap ketika merasakan ada hawa panas mendekatinya. Dengan sigap tu-
buhnya dimiringkan, maka serangan itu luput.
"Hei, Nyai! Dia bisa menghindari" kata gadis itu, begitu berbalik.
"Langkahkan kakimu dua langkah ke muka, beri
dia sedikit napas! Putar tiga jejak, lalu hantam!"
Ki Kamanda tahu, gerakan itu sebenarnya tera-
mat sukar dilakukan. Berputar tiga jejak itu berarti lima belas derajat.
Sementara tempat Jaka begitu
jauh. Jelas itu suatu perbuatan sia-sia untuk menye-
rang. Tetapi bisa diduga kalau itu adalah siasat bela-ka. Apa arti hantam itu
sebenarnya"
"Jaka...! Maju dua langkah ke muka. Tetap berdiri di sana. 'Cakar Maut Mengurung
Mangsa' tingkat kesebelas bisa kau gunakan. Jangan memapaki tangan-
nya!" teriak Ki Kamanda.
"He he he.... Hebat, hebat! Kamanda! Telah lama kita tidak jumpa! Biarlah anak-
anak kita bermain-main sebentar! Aku yakin, di samping digembleng oleh
Buwana, pemuda itu pasti mendapatkan ilmu lang-
sung darimu! Putar tubuhmu, Manis! Serang bagian
bawah!" "Melompat ke muka, Jaka! Hantam dengan kaki-
mu! Wanita itu berdecak.
"Kau masih tetap hebat, Kamanda! Meskipun kita
tidak pernah bertempur, kau tahu jurus itu!"
"Bukankah Nyai Harum sendiri yang memberi pe-
tunjuk?" tukas Ki Kamanda.
"He he he... Kau tetap sopan, Kamanda! Sopan
sekali! Mungkin, tak seorang pun yang bisa menan-
dingi kesopanan mu. Kita lihat sekali lagi, apakah
anakmu bisa menandingi anakku?" sahut wanita bernama Nyai Harum sambil terkekeh-
kekeh. "Silakan, Nyai!"
Pertempuran antara Jaka melawan gadis berbaju
jingga itu bagai boneka hidup belaka sebenarnya. Per-
tarungan sepertinya dilakukan wanita berbaju merah
menyala dengan Ki Kamanda sendiri. Karena, dua pe-
rintah itu datang silih berganti yang cukup baik dilak-sanakan Jaka maupun gadis
itu. Setiap gerakan me-
mang begitu mematikan. Setiap perintah adalah kewa-
jiban! Setelah lima belas jurus masih berada dalam kea-
daan sama. "Cukup!" seru Nyai Harum.
Gadis itu melompat ke belakang, berdiri tepat di
sisi wanita berbaju merah itu. Kedua kakinya dihen-
takkan ke bumi dengan wajah cemberut.
"Kenapa Nyai menggangguku"! Aku bisa menga-
lahkannya, Nyai!" seru gadis itu jengkel.
"Aku tahu, Tiwi...."
"Dia begitu kurang ajar, Nyai! Dia harus dihu-
kum!" seru gadis bernama Tiwi. Wajahnya geram. Dan pandangannya tajam pada Jaka
yang seperti masih
terpesona. "Nanti setelah urusan kita selesai!"
Tiwi menghentakkan kakinya. Matanya nyalang
pada Jaka yang masih menatapnya. Ada getaran begi-
tu aneh yang merambati hati pemuda itu. Begitu as-
ing! Sebenarnya ini adalah hal wajar. Karena selama ini Jaka belum pernah
melihat dara secantik ini. Tetapi
sekarang, di alam terbuka ini, ada seorang gadis yang begitu cantik. Bahkan
mungkin mengalahkan bidadari. "Aku bosan dengan semua ini, Nyai!" cibir Tiwi.
"He he he.... Kau mendengar kata-kata murid ma-
nisku ini, Kamanda" Apakah kau sudah mulai memu-
tuskan tali persahabatan di antara kita?"
"Tidak, Nyai. Tidak sama sekali," sahut Ki Kamanda dengan suara tetap sopan.
Ki Kamanda mengenal betul siapa gerangan wanita
berbaju merah itu. Nyai Harum adalah tokoh mulia
yang datang dari Tepian Kali Brantas. Telah lama na-
manya dikenal orang. Bahkan ada yang bilang, kepan-
daiannya hampir menyamai Eyang Purnama.
Sejak gadis, Nyai Harum memang gemar mempe-
lajari ilmu silat dan bertualang. Orang hanya tahu, karena kegemarannya
bertualang itulah hingga sekarang
ini tidak pernah menikah. Dan julukannya tetap Pera-
wan Baju Merah. Sebuah julukan yang memang ham-
pir membuat lawan atau kawan menjadi ciut nyalinya.
Tetapi yang sungguh mengherankan, tiba-tiba Pe-
rawan Baju Merah muncul ke sini. Itu keheranan per-
tama. Keheranan kedua, kedatangannya bersama seo-
rang perawan jelita yang begitu akrab dengannya.
Dengan wajah bulat, kulit kuning langsat dihiasi sepasang bibir mungil memerah
basah. Alisnya hitam me-
lekat di atas matanya, ditambah lagi hidung bangir
yang semakin menambah kejelitaannya. Wajahnya
yang menggeletarkan, mampu membuat pesona asma-
ra yang tak bisa di tepiskan.
Siapakah tokoh jelita itu" Bila melihat gebrakan-
nya pada Jaka tadi, Ki Kamanda bisa mengetahui ka-
lau tenaga dalamnya hampir sebanding dengan yang
dimiliki. Luar biasa bila dugaannya benar. Dan dia yakin, Nyai Harum telah
mengambilnya sebagai murid.
"Kalau kau memang tidak memutuskan tali per-
sahabatan di antara kita, perkenalkan pemuda itu."
Ki Kamanda tersenyum.
"Dia bernama Jaka. Salah seorang murid Pergu-
ruan Cakar Maut."
"Hmmm.... Lumayan juga kepandaiannya. Kau
memang patut mendidiknya agar menjadi pemuda
tangguh." "Terima kasih atas saran Nyai."
"Nyai, biarkan aku bermain-main dengannya!" se-ru gadis berbaju jingga itu.
"He he he.... Jangan salahkan aku, Kamanda.
Anak Masku yang jelita ini tidak bisa menahan diri la-gi! Dia benar-benar ingin
menguji ilmu muridmu yang
bernama Jaka itu. He he he... silakan, Tiwi!"
Tiwi yang memang jengkel terhadap Jaka karena
gagal menyerangnya, kini beralih pada Ki Kamanda.
Paling tidak, karena laki-laki setengah baya itu telah membantunya.
Makanya, kali ini Tiwi langsung meloloskan se-
lendang yang melilit pinggangnya. Sambil melompat
bagai gerakan seorang penari belaka, diserangnya Ki
Kamanda dengan hentakan selendangnya yang terka-
dang bisa berubah keras lurus dan kaku. Bahkan bisa
berbengkok. Sebuah jurus selendang yang begitu he-
bat hasil ciptaan Nyai Harum.
Melihat hal itu, Jaka langsung melompat untuk
menapaki. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ingin
paman gurunya diserang siapa pun!
"Gadis manis.... Lebih baik bermain-main den-
ganku!" Tiwi langsung mengubah arah serangannya. Ha-
Kekaisaran Rajawali Emas 5 Candika Dewi Penyebar Maut I Senopati Pamungkas 29
^