Pencarian

Peta Rahasia Lembah Kutukan 2

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan Bagian 2


sudah punya suami"
Kuharap belum, ya?" cerocos Andika, mulai ngelantur.
"Maaf, Saudara. Kita tidak ada waktu untuk bergu-rau," tepis Kemuning tegas.
"Wah! Bisa galak juga rupanya!" gumam Andika di hati. "Akulah yang telah
mengundang Saudara ke tempat ini," aku Kemuning.
"Mmm.... Kukira dua manusia slompret tadi. Apa
maksudmu mengundangku?" Andika mulai bersungguh-sungguh.
"Berkaitan dengan Lembah Kutukan."
"Itu lagi...," sungut Andika. "Sial! Kenapa dengan tempat itu sebenarnya?"
"Sebelum kuberitahu, sebaiknya aku memperkenal-
kan diri."
"Sudah tadi."
"Maksudku asal-usulku."
"Aku tak begitu berminat. Bagaimana kalau soal
tempat tinggalmu?"
Kemuning menarik napas. Benar juga desas-desus
yang didengarnya dari banyak sumber. Pendekar satu
ini memang urakan. Saking urakannya. Hatinya jadi dibuat mangkel.
"Saudara Pendekar, Nona ini ingin bicara sungguh-sungguh," sela Raja Arak,
memohon. "Silakan. Apa aku melarangnya?" tukas Andika, cengar-cengir.
"Aku sebenarnya masih mempunyai ikatan persau-
daraan denganmu," lanjut Kemuning.
"Apa"!" Andika terlonjak. Matanya berbinar. Rezeki besar menimpanya! Tak
disangka kalau dirinya masih
mempunyai saudara seelok Kemuning.
"Ayahku adalah cucu kemenakan Ki Saptacakra,
Pendekar Lembah Kutukan."
Andika terus mengamati wajah halus Kemuning.
Dia masih belum percaya.
"Kenapa orang tua sableng itu tak mengatakan kalau memiliki cicit kemenakan
sebagus ini," gumam Pendekar Slebor menyumpahi Ki Saptacakra, buyutnya
sendiri. "Saudara Andika...," tegur Kemuning ketika Andika terus saja mendeliki wajahnya.
"Ya. Itu namaku," gumam Andika.
"Ehem!"
Raja Arak terpaksa berdehem kencang-kencang.
Kalau tidak dibegitukan, Andika bisa terus terbengong-bengong.
"Oh, iya. Apa kau bilang tadi?"
"Aku cicit kemenakan Ki Saptacakra."
"Yang itu aku sudah dengar. Soal Lembah Kutukan
tadi. Apa maksudmu" Kau tak ingin aku mengantar
memasuki tempat itu juga, bukan?"
Kemuning menggeleng.
"Bagus!" Andika lega. Memang, hatinya selalu ngeri membayangkan keadaan di
Lembah Kutukan.
"Aku tak ingin kau mengantarku ke Lembah Kutu-
kan. Aku ingin, kau ikut denganku ke dalam sana,"
tambah Kemuning, memberi tekanan.
Andika mendeliki Kemuning lagi. Kenapa mulai
banyak orang yang bosan hidup" Sayang kalau perem-
puan sebagus dia mau cari mati di sana. Andika jadi
berkasak-kusuk dalam hati.
"Saudara Andika. Cerita ku belum selesai. Kemuning meneruskan penuturan. Kakek
Kemuning, kemena-
kan langsung Ki Saptacakra, menerima amanat dari to-
koh yang sudah menjadi cerita rakyat itu berupa peti tua terkunci. Peti itu
hanya boleh dibuka, jika sudah ada salah seorang dari keturunan Ki Saptacakra
mewarisi kesaktiannya.
Sewaktu Ki Lantanggeni yang merupakan kakek
Andika mewarisi kesaktian tersebut, peti itu urung dibuka. Letusan gunung merapi
telah mengubur kotak
itu. Sampai akhirnya, kakek Kemuning memerintah mu-
rid-muridnya untuk mencari.
Menjelang masa pencarian ke empat puluh tahun,
kotak itu baru bisa ditemukan kembali. Namun kakek
Kemuning sudah tak ada umur. Seperti juga Ki Lan-
tanggeni, dari sang kakek peti kecil tua itu di wariskan kepada sang anak.
Sampai akhirnya Kemuning pun me-nerimanya.
Beberapa waktu lalu sesuai pesan mendiang ayah-
nya, Kemuning memberanikan diri untuk membuka peti
tersebut. Ternyata di dalamnya hanya ditemukan se-
lembar kulit binatang bergambar peta.
Semula, Kemuning tak mengerti. Namun setelah
beberapa lama meneliti, didapat jawaban kalau peta itu adalah petunjuk menuju
tempat penyimpanan benda-benda berharga milik Ki Saptacakra. Dari sandi berupa
gambar dalam peta, bisa diketahui kalau di samping
harta berlimpah, di Lembah Kutukan juga tersimpan
senjata-senjata pusaka hasil rampasan Ki Saptacakra, dari musuh-musuh yang
dikalahkannya. Setelah mengasingkan diri sekian lama, Kemuning
memutuskan untuk menjumpai Andika, sebagai salah
seorang pewaris kesaktian keluarga Pendekar Lembah
Kutukan. Dengan mengutus seorang utusan, Kemuning
mencoba menemui Andika. Pemuda itu hendak diajak-
nya untuk mengambil seluruh benda berharga yang kini menjadi milik keturunan Ki
Saptacakra. "Aku sudah tahu kalau di sana ada harta berlim-
pah. Berpeti-peti. Aku memang pernah ke sana," ucap Andika, menanggapi cerita
Kemuning. "Karena itu aku ingin meminta tolong padamu un-
tuk menyertaiku ke sana."
"Aku tidak mau. Dan tidak akan mau!" tegas Andika. Bukan masalah kepala batu
Pendekar Slebor saja yang membuatnya bersikeras. Yang jelas, dia tak sudi
dihujani lidah petir. Tak sudi berhari-hari mencari jalan keluar. Tak sudi hanya
makan buah aneh yang hanya
tumbuh di sana. Dan tak ketidaksudian lain berjejer di kepalanya.
"Bukannya aku takut." tukas Andika ngibul. "Lagi pula apa hidup harus dengan
harta berlimpah" Jalan
hidupku adalah jalan ksatria. Hidup seadanya sudah lebih dari cukup. Banyak
harta, tak selalu membuat se-
seorang lebih baik...."
Kemuning melirik Raja Arak. Di dunia persilatan,
Raja Arak adalah raja kebijakan kalau pikirannya se-
dang benar. Tapi mendengar kalimat arif yang begitu enteng mengalir dari mulut
pemuda itu, mau tak mau Raja Arak jadi memuji dalam hati.
"Ini bukan masalah harta, Andika," Kemuning mencoba menjelaskan. "Sudah kubilang, ini soal senjata-senjata pusaka yang
berbahaya bila jatuh di tangan orang keliru."
"Aku tetap tidak mau," tandas Andika. Dasar kepala batu!
*** Hari makin beranjak. Siang makin kehilangan ke-
kuatan. Sore turun sebentar lagi. Di sapuan warna langit yang sedikit menguning,
dua sosok tubuh mengha-
dang jalan Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya.
"Berhenti kalian!" bentak salah satu sosok.
Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya ber-
henti. Bukan hendak menuruti bentakan suara kasar
tadi, melainkan hanya ingin tahu siapa orang yang lancang terhadap mereka.
Di depan mereka berdiri seorang lelaki berwajah tikus dan perempuan berambut
pendek yang terlihat pula sebelumnya di muka kedai. Agaknya lelaki dan perempuan
itu telah sepakat untuk bekerja sama merebut peta harta Lembah Kutukan dari
tangan dua orang yang diha-
dang. "Serahkan peta harta Lembah Kutukan itu pada
kami!" Dua lelaki yang dihadang mendengus.
"Kalian kira siapa diri kalian'"! Berani benar kalian menghadang perjalananku?"
geram lelaki seperti Bima.
Wajahnya cepat terbakar. Merah penat.
"Nama besarmu tak akan membuat nyali ku men-
ciut, Dewa Pencuri Ilmu!" tegas lelaki berwajah tikus,
seperti menantang. "Aku Kera Bukit Tengkorak tak akan mundur menghadapimu!"
"Rupanya kau yang berjuluk Kera Bukit Tengkorak itu?" kata lelaki tinggi besar
yang ternyata dikenal sebagai Dewa Pencuri Ilmu, meremehkan.
Di dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu dikenal da-
ri golongan hitam. Julukan yang disematkan, karena kebiasaannya mencuri ilmu
dari satu perguruan besar
ke perguruan besar lain, dari satu orang ke orang lain.
Sementara, pemuda yang mengaku Tendangan
Bayangan Seribu tak lebih dari muridnya. Pemuda itu
mencoba mengaku-aku sebagai salah seorang tokoh dis-
egani yang berjuluk Tendangan Bayangan Seribu, kare-
na telah berhasil mencuri jurus inti 'Tendangan Bayangan'. "Dan kau perempuan
buruk. Aku kenal kau. Si Hantu Tongkat Pendek, bukan" Hm.... Aku tau, kalian
hendak bersekongkol merebut peta harta Lembah Kutu-
kan dari tanganku?"
Dewa Pencuri Ilmu terbahak pendek. Sebentar ke-
mudian, wajahnya tegang kembali. "Kalian hanya mimpi!" dengusnya, lantang.
"Kalau begitu, kami akan memaksamu menyerah-
kannya pada kami! Heaaa...!"
*** 7 Hari terpuruk makin lelah. Dalam kepayahan ma-
tahari senja yang melempar sinarnya dari hadangan pelipis bumi barat,
pertarungan antara Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya melawan Kera Bukit Tengkorak
dan Han- tu Tongkat Pendek mulai mendekati puncak.
Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek
jelas-jelas bukan tandingan kedua lawannya. Jangan-
kan menghadapi guru dan murid itu sekaligus, meng-
hadapi Dewa Pencuri Ilmu sendiri saja, mungkin mereka masih sulit menang.
Di gelanggang dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu
memang berada beberapa tingkat di atas Kera Bukit
Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek. Menyadari hal
itu, maka Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat
Pendek mengadakan kesepakatan di kedai untuk berse-
kongkol. Apalagi ketika mereka menyaksikan, bagaimana
Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak dapat dilukai
begitu saja oleh Dewa Pencuri Ilmu dalam sekali gebrak!
Satu hal yang terlupakan, bahwa Dewa Pencuri Il-
mu bukan hanya unggul dalam kedigdayaan, tapi juga
unggul dalam pengalaman. Dewa Pencuri Ilmu lebih tua satu angkatan ketimbang
mereka. Memang, wajah dan
penampilannya tak mengundang dugaan orang kalau
usianya sudah cukup lanjut.
Hanya karena nafsu keserakahan, memungkinkan
Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek men-
jadi mata gelap. Ada ibarat yang tepat untuk itu. Semut di seberang lautan
terlihat, gajah di pelupuk mata tak disadari. Dan kealpaan mereka membawa akibat
yang harus diterima.
Weshhh! Degh! "Aaa...!"
Satu sambaran berkecepatan angin melabrak Han-
tu Tongkat Pendek. Senjatanya kalah cepat dibanding
tandukan bahu Dewa Pencuri Ilmu ke bagian buah da-
danya. Tubuh perempuan berambut cepak itu terlempar
disertai jeritan kesakitan. Buah dadanya mungkin hancur, sekaligus bagian tubuh
dalamnya. Dewa Pencuri
Ilmu memang mempergunakan sebisa-bisanya seluruh
anggota tubuh, untuk dijadikan senjata. Gerakannya
memang mengagumkan. Dengan kemampuan seperti
itu, dia mampu menggunakannya untuk mencuri jurus-
jurus sakti. Maka tak heran bila jurus-jurusnya jadi campur
aduk. Hantu Tongkat Pendek tergeletak berlumur darah.
Wanita buruk itu mati seketika, selang sekejap dari jeritan menyayatnya.
Kini tinggallah Kera Bukit Tengkorak seorang diri.
Meski masih dibakar nafsu menguasai peta harta Lem-
bah Kutukan, otaknya masih bisa menyadari kalau kea-
daan sudah tak menguntungkan lagi. Menghadapi Dewa
Pencuri Ilmu sendiri saja sudah sulit. Apalagi harus menghadapi guru dan murid
itu. Maka pikir punya pikir, begitu melihat Hantu
Tongkat Pendek terkapar, lelaki berwajah tikus itu berbalik dan langsung
melarikan diri. Lain hari, lain kesempatan, dia bisa membuat rencana lagi untuk
mere- but benda berharga itu secepatnya. Kalau pun tidak, dia toh masih cukup waras
untuk lebih mengutamakan
nyawanya yang tak bisa dicari di kedai mana pun. se-
perti mencari kerupuk!
Tuntas satu masalah lagi, membuat Dewa Pencuri Ilmu
dan muridnya lega. Mereka bisa secepatnya menyingkir sementara. Akan mereka cari
tempat tersembunyi yang
mungkin tak akan ditemukan seorang pun. Kalau nanti
sudah mendapat rencana baru, mereka bisa langsung
bergerak. Semula untuk mempercepat mendapatkan seluruh
benda berharga di Lembah Kutukan, mereka mencoba
memaksa Pendekar Slebor untuk menjadi petunjuk ja-
lan. Dari mencuri berita di beberapa tempat, murid Tendangan Bayangan Seribu
mengetahui Andika diundang
seseorang ke suatu tempat.
Karenanya, guru dan murid itu segera mendatangi
Andika di tempat gubuk perjudian reot berdiri. Sesungguhnya, bukan hal main-main
jika seorang dari dunia
persilatan mencoba menantang Pendekar Slebor. Seti-
daknya, orang itu harus memiliki bekal kesaktian tingkat tinggi. Hanya dengan
itu bisa di-dapat kesempatan untuk mengalahkan kesaktian si anak muda pewaris
il-mu Pendekar Lembah Kutukan. Dan Dewa Pencuri Ilmu
merasa memiliki syarat untuk itu.
Namun, karena kini Pendekar Slebor tak sendiri la-
gi, mereka akhirnya memutuskan untuk menyusun ren-
cana lain. Jika seluruh rencana terlaksana, mungkin pencu-
rian kali ini akan menjadi pencurian paling besar sepanjang hidup mereka.
Bagaimana tidak" Di samping nanti akan mendapatkan limpahan emas permata, mereka
pun akan memiliki sekian senjata pusaka. Bahkan tak
mustahil pula kitab-kitab kuno sakti! Mereka sudah
membangun seluruh mimpi dalam benak.
"Ayo kita segera pergi dari tempat ini!" ujar Dewa Pencuri Ilmu pada sang murid.
*** "Tak semudah itu mereka lari dari tuntutan ku! Mereka telah menganiaya muridku.
Tendangan Bayangan
Seribu. Bahkan mencuri pula jurus-jurus inti


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tendangan Bayangan' ku. Padahal muridku saja, belum pernah kuajarkan! Sekarang,
pemuda itu telah berani
pula memakainya untuk kepentingan perut sendiri!" desis Ki Mahesa menggertak
gigi. Orang tua yang tergolong sesepuh persilatan itu ba-
ru saja selesai menuturkan maksudnya turun gunung.
"Jadi kau bukan eyang guru dari pemuda yang
mengaku-aku sebagai Tendangan Bayangan Seribu?"
Raja Arak melengak. Sama sekali dugaannya meleset.
"Bagaimana dengan nasib muridmu, Tendangan
Bayangan Seribu yang asli?" susul Raja Arak.
"Mali sepekan lalu, setelah cukup lama menderita dalam sekaratnya...."
Wajah Raja Arak menjadi mendung. Dia ikut priha-
tin mengingat nasib Tendangan Bayangan Seribu yang
dikenalnya adalah ksatria sejati.
"Bukan salah Tuhan mengatur kehidupan," kata Raja Arak lirih. "Banyak orang baik
harus pulang ke pangkuan-Nya lebih dahulu. Itu semata, Dia menga-sihi mereka.
Mungkin Dia tak ingin mereka lebih lama hidup tersiksa di dunia yang begitu
kotor ini. Bukankah dunia semata penjara bagi orang-orang baik seperti mereka?"
Andika yang mendengar ucapan mendalam lelaki
buncit itu menjadi tersentuh. Bahkan untuk seorang
tua seperti Ki Mahesa sekalipun. Pantas saja Raja Arak mendapat sebutan
terhormat sebagai raja kebijakan.
Walau dia sendiri sampai mati tak akan mengakuinya.
"Ah! Aku jadi malu padamu, Raja Arak...," kata Ki Mahesa. Ledakan-ledakan
ucapannya tak ada lagi. Suaranya kini melandai.
"Kenapa, Ki?"
"Kau jadi menyadarkan aku. Mestinya aku tahu
kalau semua ini kehendak Gusti.... Aku yang sudah
hampir masuk liang kubur mestinya tak mengikuti den-
dam ku." "Tak mengapa, Ki. Setua-tuanya manusia, tak
menjamin luput dari kekhilafan," hibur Raja Arak.
Kalau tak sedang mabuk. lelaki buncit ini bisa
berpikir seperti seorang paderi.
"Kalau begitu, sebaiknya aku kembali ke tempat
pengasingan ku," putus Ki Mahesa.
"Lalu, bagaimana dengan tanggungjawab mereka
terhadap kejahatan pada muridmu, Orang Tua?" sela Andika.
Sebagai anak muda yang darahnya masih penuh
gejolak, Pendekar Slebor tak setuju dengan pengundu-
ran diri Ki Mahesa.
Ki Mahesa tertawa kecil.
"Bagaimana kalau aku minta tolong padamu untuk
menuntut tanggungjawab mereka"!"
Andika melengak. Bibirnya memancung.
"Terima kasih..., terima kasih, Orang Tua. Urusan perempuan satu ini saja belum
lagi terurus," tampik Andika, seraya menuding Kemuning seenaknya.
"Ah! Aku sering mendengar sifatmu dari banyak
orang. Aku tahu kau pasti akan menerima!" tandas Ki Mahesa.
Wajah Andika semrawut.
"Aku pamit dulu, kalau begitu," ucap Ki Mahesa seraya beranjak.
"Orang Tua, tunggu dulu!" cegah Andika.
Tapi lelaki tua itu sudah menghilang di balik le-
batnya pepohonan.
"Sialan...," gerutu Andika.
"Jadi, bagaimana tindakan kita selanjutnya, Andi-ka" Peta itu telah berada di
tangan Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya," Kemuning mulai angkat bicara lagi.
"Apa kau bilang"! Apa aku tak salah dengar" Jadi peta itu telah direbut dua
kecoa busuk itu?" sembur Andika.
Memang baru sekarang Kemuning mengatakan ka-
lau peta amanat Ki Saptacakra telah tak ada lagi di tangannya.
"Itu sebabnya...."
"Itu sebabnya apa"!" Andika sewot. "Benda itu bukan hanya berharga. Tapi, juga
bisa sangat berbahaya jika dimanfaatkan manusia busuk semacam mereka!"
"Maafkan aku, Andika!" "Ah!"
Andika berbalik. Pandangannya dibuang jauh-
jauh. Entah bagaimana parasnya saat sedang dilanda
kegusaran memuncak seperti itu.
Kemuning tertunduk. Amat dalam. Matanya agak
digenangi garis bening.
*** Malam mulai menyelimuti. Kegelapan merayap la-
mat. Dingin sekali udara saat ini. Karena hari gelap, Andika, Raja Arak, dan
Bidadari Cakram Terbang memu-
tuskan untuk meneruskan pengejaran esok hari nya.
Andika membuat api unggun untuk sekadar men-
genyahkan rasa dingin yang merasuk tulang. Sudah cu-
kup lama lidah api menari-nari menjilat kayu bakar
yang sebagian sudah menjadi arang.
Kemuning menyendiri di dekat sebatang pohon tua
tumbang. Tangannya terlipat di dada. Pakaian jingga tuanya tak cukup hangat.
Sejak Andika membentaknya
tadi siang, dia terus diam. Tak bicara sepatah pun. Wajahnya dikepung
kemurungan. Andika duduk dekat Raja Arak. Ditatapinya jilatan
api yang mencoba menggapai langit, tapi tak bakal
mampu. Pikirannya melanglang entah ke mana. Hatinya
begitu khawatir dengan peta rahasia di tangan Dewa
Pencuri Ilmu dan muridnya. Memang, salah satu yang
paling ditakuti seorang berjiwa ksatria adalah keterlam-batan untuk mencegah
sebentuk kezaliman.
Sementara lelaki buncit di dekat Pendekar Slebor tak suka diam seperti itu. Dia
lebih suka menenggak arak yang dibawanya dalam guci logam besar. Hampir seten-
gah isi guci telah masuk ke perutnya. Sampai sejauh
itu, tak kelihatan kalau dia mabuk.
Andika mengalihkan pandangan ke arah Kemun-
ing. Tampak perempuan itu duduk termenung. Lama
menatap kemurungannya, Andika jadi merasa kasihan.
Anak muda itu tahu, sikap Kemuning pasti berkaitan
dengan kemarahannya siang tadi. Dia jadi merasa ber-
salah. Maka didekatinya Kemuning. Lalu duduk di atas batang pohon tumbang tepat
di sampingnya. "Maafkan kekasaran ku tadi siang, Kemuning,"
ucap Andika perlahan.
Dengan mata terus mengamati gerak liar jilatan
api unggun, Kemuning mendesah
"Kau benar, Andika. Aku memang pantas diperlakukan seperti itu. Kalau mereka
berhasil sampai di Lembah
Kutukan dan mendapatkan seluruh pusaka keramat di
sana, tentu banyak orang akan terancam bahaya," tutur Kemuning.
"Tapi aku tetap menyesal telah berlaku kasar."
"Ya, aku mengerti."
"Kau mau memaafkan ku?" pinta Andika. Ditatapnya perempuan manis yang kian
memikat dalam per-
mainan cahaya redup api unggun.
Kemuning mengangguk lamat.
Andika tersenyum. Dilepasnya kain dari bahu.
Diselimutinya tubuh Kemuning dengan kainnya.
"Tidurlah," ujar Andika lagi. "Besok pagi-pagi sekali kita akan mencari Dewa
Pencuri Ilmu dan muridnya"
*** 8 Tengah malam. Andika sudah terkantuk-kantuk. Sementara Ke-
muning tertidur berselimut kain pusaka bercorak catur.
Sedangkan Raja Arak pun tak beda. Rupanya setelah
puas menenggak seluruh isi guci besarnya, barulah kepalanya memberat. Dia
tertidur dengan dengkurannya
yang melata ke mana-mana.
Pada saat sudah merasa tak sanggup lagi mengua-
sai serangan kantuk, Andika segera memperbaiki sikap duduknya. Dia bersila.
Matanya dipejamkan. Bukan untuk tidur, melainkan bersemadi. Dalam keadaan
seperti ini, Pendekar Slebor memang tak mau tertidur. Kalau itu sampai terjadi,
berarti akan ada kelengahan. Sebab, na-luri kependekaran pemuda itu merasa akan
ada sesuatu terjadi malam ini.
Udara kian dingin. Malam semakin matang. Tepat
ketika kabut mulai menyatroni tempat mereka, telinga Pendekar Slebor menangkap
gerakan mencurigakan dari
arah belukar lebat. Seketika kelopak matanya membuka siaga. Kantuknya
terberantas cepat. Mata yang semula berat bagai diganduli batu, kini berkeliaran
nyalang. Arah suara mencurigakan menjadi pusat perhatian
utamanya. Mendadak....
Srak! Suara baru tertangkap telinga Pendekar Slebor. Su-
ara yang tipis berdesing mengikuti bunyi semak baru-
san. Andika cukup hapal dengan bunyi semacam itu.
Seperti suara yang dihasilkan kelebatan logam tipis dan tajam.
Sekali bergerak saja, pendekar muda itu sudah
berdiri. Langsung disambarnya ranting pohon kering,
dan segera disapukan dalam gerakan kilat.
Wukh! Trang! Selanjutnya, terdengar makian jengkel seseorang
di balik semak yang dicurigai Pendekar Slebor.
Andika tak ingin membiarkan pembokong itu bu-
ron begitu saja. Tapi, tanpa harus mengejar pun orang itu keluar juga. Bukan
untuk menyerahkan diri. Malah lebih tepat jika disebut ingin melakukan serangan
susulan. "Heaaa!"
Sosok kekar menyeruak dari semak-semak. Tu-
buhnya melayang deras menuju Pendekar Slebor di uda-
ra. Kakinya mengejang lurus ke depan. Mata jeli pendekar urakan ini mengenal
tendangan semacam itu sebe-
lumnya. Bahaya mengancam seperti itu tak bisa didiamkan.
Andika cepat menangkis. Plak!
Tendangan pertama dapat dimentahkan Andika. Namun
secepatnya kaki penyerang gelap itu membangun satu
sentakan baru dengan selang waktu yang demikian ce-
pat. Dash! "Aaakh...!"
Keadaan yang tak menguntungkan di udara, juga
serangan tak terduga, membuat Andika kecolongan. Da-
danya telak terhantam telapak kaki si penyerang. Kalau melihat bagaimana
tubuhnya terpental deras ke belakang disertai keluhan tertahan, bisa dibayangkan
ba- gaimana sesaknya dada anak muda itu. Nafasnya seje-
nak seperti terhenti. Meski tubuhnya sudah jatuh ber-gulingan di tanah, rasa
sesak itu terus mengunci perna-pasannya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak muda kepala ba-
tu dan berhati baja tak mau menyerah begitu saja. Tak dipedulikannya rasa sesak
masih meruyak. Dia bersike-
ras bangkit. Diusahakannya menyentak tubuh, agar bi-
sa berdiri. Tak sampai tubuh Pendekar Slebor tegak, hanta-
man kaki tiba kembali di tubuhnya.
Degh! "Ughhh...!"
Tetap di tempat yang sama, tendangan lawan
menghajar dada anak muda itu kembali. Tentu saja se-
saknya kian menjadi. Rasanya, dadanya mau hancur
saat itu juga. Tulang rusuknya terasa terlepasan.
Untuk semua itu, Andika kembali dipaksa menge-
rang tertahan. Andika ambruk lagi. Tendangan susulan tadi sama kuatnya dengan
yang pertama. Itu pula sebabnya tubuh si pendekar muda dari Lembah Kutukan
ini terjengkang hebat lagi ke belakang.
Dengan bersandar pada sebatang pohon, Pendekar
Slebor berusaha bangkit. Untuk yang kedua kalinya.
"Heaaa!"
Sementara tendangan secepat bayangan hantu te-
rus memburu Andika. Cepat dan buas.
Dighh...! Rahang kekar Pendekar Slebor berderak terhajar.
Bagian itu sebenarnya bagian yang paling rawan untuk kesadaran si pemuda.
Persendian tulang rahang amat
dekat dengan pusat kesadaran di belakang kepala. Pendekar Slebor mungkin bisa
langsung tak sadarkan diri mendapat hantaman keras barusan.
Namun Pendekar Slebor tetap Pendekar Slebor. Dia
adalah sosok pribadi yang dibentuk oleh kerasnya kehidupan kotapraja. Selaku
bocah gelandangan dulu, rasa sakit adalah santapan kesehariannya. Dan kekerasan
itu justru kini membentuk kekerasan dalam kehendak-
nya. Semestinya, pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Na-
mun karena tekad untuk menyelamatkan nyawa begitu
membaja, Andika mati-matian bertahan. Matanya ber-
kunang-kunang. Perutnya seperti diaduk-aduk ratusan
tangan makhluk halus. Matanya hampir tak bisa meli-
hat sama sekali. Gelap. Yang ada di matanya hanya gelap. Tapi, dia tetap
berusaha bertahan untuk tidak kehilangan kesadaran.
"Hih!"
Dagh! Des! Beberapa kali hajaran susulan mengganyang tubuh
Pendekar Slebor. Benteng kesadarannya makin rapuh.
Kalau tokoh berkepandaian rendah, mungkin sudah tak
sadarkan diri sejak tadi. Tapi, sekali lagi, Andika tetap-lah Andika. Dia tetap
bertahan! Sampai suatu saat, meruyaklah kemarahan dari
dasar hati anak muda itu. Tubuhnya tak bisa dibiarkan terus dijadikan bulan-
bulanan. Lawan pun tak bisa dibiarkan seenaknya menggebuki. Andika bukan benda
mati. Dia harus melawan, dan harus bisa.
Kemurkaan pun meledak, menerabas deras ke
ubun-ubun Pendekar Slebor. Saat-saat seperti itu segenap kekuatan sakti warisan
buyutnya yang berjuluk
Pendekar Lembah Kutukan terbangkit serentak. Semua-
nya terpusat dalam amukan gelombang kemarahan tak
terhingga pemuda berpakaian hijau itu.
"Huaaa!"
Dari tenggorokan Pendekar Slebor, teriakan me-
lengking menerabas dinginnya udara malam. Urat-urat
lehernya menggelembung. Juga urat-urat di sekujur tubuhnya. Otot-ototnya
meregang tegang, setegang kawat baja terentang!
Saat-saat selanjutnya, pancaran cahaya putih kepe-
rakan telah menyelubungi tubuh Pendekar Slebor. Putih keperakan seakan ada kabut
berserat menjerat dirinya.
Itulah pembentukan benteng tembus padang akibat
terpusatnya segenap kekuatan langka warisan Pendekar Lembah Kutukan! Benteng itu
tanpa disadari membentuk, siap melindungi tubuh pemiliknya dari terjangan


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seratus banteng, hantaman ombak setinggi gunung,
bahkan serempetan lidah petir sekalipun!
Adalah kesalahan besar bagi siapa pun lawannya
untuk melakukan serangan pada kala itu. Cahaya putih keperakan itu bukan sekadar
membangun benteng teramat kokoh, melainkan juga merupakan pusaran tena-
ga dalam tak terukur. Bahkan dapat mencederai dalam
sekedip mata manusia berotot kawat bertulang baja sekalipun.
Dan nyatanya, kesalahan itu dibuat oleh sosok pe-
nyerang. Nafsu terlalu menghasutnya untuk memper-
mak Pendekar Slebor. Tak dihiraukannya keganjilan
yang meliputi lawan, sosok itu pun menerjang.
"Hiahhh!"
Blappp! Letupan suara seperti mercon besar yang luput
meledak karena lembab terdengar meruyaki udara, tepat saat kaki penyerang gelap
menyentuh dinding cahaya
putih keperakan Pendekar Slebor.
"Akh!"
Hanya teriakan pendek yang terdengar dari mulut
si penyerang. Tubuhnya terlalu kencang terlempar ke
belakang untuk bisa berteriak panjang. Dan usianya
pun terlalu singkat untuk memperdengarkan keluhan.
Begitu jatuh tersangkut di satu batang pohon besar dia langsung mati dengan
tulang tubuh hancur. Beberapa
saat terlihat tangan dan kakinya menjuntai-juntai tanpa daya. Tak bedanya
potongan tubuh seekor ular pohon
besar. Ternyata lelaki itu adalah murid Dewa Pencuri Il-mu yang belum lama
mengaku-aku sebagai Tendangan
Bayangan Seribu. Pencuri yang telah membunuh Ten-
dangan Bayangan Seribu, dan melarikan jurus-jurus inti
'Tendangan Bayangan' bersama gurunya, kini telah me-
nemui ajal tak kalah mengenaskan dengan korbannya.
Di mana Dewa Pencuri Ilmu" Apakah si murid da-
tang sendiri" Ataukah serangan tiba-tiba itu memang
menjadi bagian dari rencana mereka"
*** "Andika.... Bangun, Andika...." Lamat-lamat kesadaran Andika beranjak kembali,
ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara seseorang yang coba menya-
darkannya. Dengan wajah terlipat dan tangan mendekap dada,
Pendekar Slebor bangkit terbatuk-batuk. Hari belum berubah. Masih tetap malam.
Masih tetap dingin. Kabut terus saja menggerayang.
Andika mengerjap-ngerjapkan matanya. Pandan-
gannya masih berkunang-kunang. Cukup berat pula ba-
ginya untuk memusatkan pandangan saat itu. Begitu
pandangannya cukup lumayan tak ditemuinya seorang
pun. Andika merasa semata karena penglihatannya be-
lum pulih benar. Maka dia pun berusaha memusatkan
pandangan kembali. Seluruh penjuru di liriknya. Namun orang yang menyadarkannya
tak terlihat juga. Siapa
dia" Bisik hati Andika penasaran. "Hei siapa kau"!" seru Andika. Tak ada
sahutan. "Slompret! Ini pasti hanya karena pengaruh rasa sakit yang ku derita," simpul
anak muda itu akhirnya.
Pendekar Slebor bergegas menggerakkan tubuh-
nya. Dia harus segera bangkit dan mencari tahu kea-
daan Kemuning serta Raja Arak.
Di sana, di tempat yang sama, si pendekar sakti
hanya menemukan tubuh murid Dewa Pencuri Ilmu
menggelantung di dahan pohon. Raja Arak maupun Bi-
dadari Cakram Terbang sudah tak ada di tempatnya
Api unggun masih terus menggeliat. Kayu bakar
belum lagi menjadi arang. Itu berarti, keduanya menghilang belum lama. Di
dekatnya, kain pusaka bercorak ca-turnya tergeletak. Tanpa Kemuning.
"Hai" Apa yang kau cari, Bocah Tolol!"
Kembali suara yang membangunkan Andika belum
lama, terdengar lagi. Andika bersiaga.
"Hei! Siapa kau"!" tanya Pendekar Slebor, membentak.
"Jangan pakai banyak tanya segala. Mulutmu ce-
rewet seperti banci. Kau tunggu apa lagi" Mau mengharapkan peri hutan
mengantarkan kopi buatmu"! Dasar
bocah gendeng! Ayo, cepat cari cah ayu itu!"
Andika terbengong-bengong. Sama sekali tak terlihat
seorang pun di sana. Seperti juga sebelumnya. Kalau
ucapan itu semacam suara yang dikirim dari jarak jauh dengan tenaga dalam,
Andika pasti mengetahuinya. Ta-pi, ini aneh. Dia merasa mendengarnya tak melalui
telinga lagi. Melainkan, langsung sampai di benaknya.
Andika mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan mambang penguasa wilayah
ini! Sampai.... Bletak!
Mendadak kepala Pendekar Slebor seperti ada
yang menjitaknya dari belakang. Andika sampai tersu-
ruk beberapa tindak ke depan seperti bocah dungu kehilangan keseimbangan. Begitu
menoleh, tak juga terlihat siapa pun.
"Apa kau minta yang lebih keras"! Kenapa masih
berdiri di situ"! Ayo cepat cari Kemuning, Bocah Gendeng!" Andika tak mau ambil
bahaya yang siap menjitaknya lagi. Dia cepat-cepat blingsatan dari tempat itu.
*** Mengejar seseorang tanpa jejak memang sama su-
litnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Andi-ka tak mau lagi, siapa yang
berbicara padanya secara membingungkan.
Yang dipikirkan hanya satu. Nasib Kemuning. Se-
hebat-hebatnya perempuan itu, sebesar-besarnya julu-
kan Bidadari Cakram Terbang, dia tetap wanita. Andika merasa harus
melindunginya. Soal Raja Arak, tak terlalu dipedulikannya. Kalau Kemuning
selamat, baru giliran lelaki buncit pemabuk itu dicari.
Andika yakin. Yakin sekali kalau Kemuning diIari-
kan Dewa Pencuri Ilmu. Raja Arak telah cerita padanya tentang luka yang
sebelumnya diderita akibat pukulan tak terduga Dewa Pencuri Ilmu. Dari situ,
diyakini kalau Kemuning yang besar dengan julukan Bidadari Cakram
Terbang bukan tandingan Dewa Pencuri Ilmu. Jadi, tak terlalu mustahil kalau
Kemuning diperdayai saat Andika kewalahan menghadapi muridnya. Lalu, perempuan
itu pun dilarikan.
Apa tujuannya" Niat busuk lama! Tentu saja perempuan itu akan dijadikan sebagai
jaminan agar Andika mau
mengantar ke Lembah Kutukan.
Masalahnya kini, ke arah mana Andika mencari Kemun-
ing" *** Di lain tempat pada waktu yang sama. Raja Arak
sedang mati-matian menghadapi gempuran Dewa Pen-
curi Ilmu. Sewaktu murid Dewa Pencuri Ilmu melaku-
kan gempuran gencar pada Pendekar Slebor, Dewa Pen-
curi Ilmu datang dengan gerakan tak terduga. Bidadari Cakram Terbang yang sedang
terlelap tanpa menemui
kesulitan ditotoknya.
Raja Arak tersentak mendengar teriakan. Nalu-
rinya masih sempat menyadari bahaya. Sewaktu melihat Dewa Pencuri Ilmu membopong
tubuh Kemuning, bergegas dia bangkit. Langsung diserangnya tokoh berpe-
rawakan seperti Bima itu.
Pertarungan terjadi.
Kebetulan sekali, saat itu pengaruh arak yang di-
minumnya masih begitu kuat. Saat mabuk berat seperti itu, tentu saja jurus-
jurusnya justru jadi lebih mantap.
Itu sebabnya untuk sekian lama Raja Arak mampu
mengimbangi permainan jurus Dewa Pencuri Ilmu.
Dengan adanya tubuh Bidadari Cakram Terbang di
bahu Dewa Pencuri Ilmu, Raja Arak memang bisa me-
metik keuntungan. Gerakan lawan jadi tak leluasa. Namun begitu, ada pula
kesulitannya. Raja Arak jadi tak bisa sembarangan melancarkan serangan. Bisa-
bisa malah Kemuning yang menjadi korban.
Pertarungan berjalan alot. Meskipun pada dasar-
nya kesaktian Raja Arak berada di bawah lawan, namun dengan keadaan seperti tadi
dia masih bisa bertahan.
Seluruh jurus mabuknya mengalir lancar. Bagaimana
tidak lancar, kalau semalaman itu saja satu guci besar arak telah di tenggaknya.
Dari tempat awal, pertarungan mereka merambat
dan terus merambat. Hingga memasuki jurus ke sembi-
lan puluh, keduanya sudah berada amat jauh dari tem-
pat sebelumnya.
Baik Raja Arak maupun Dewa Pencuri Ilmu sama-
sama sengit mengerahkan jurus masing-masing. Semen-
tara lelaki seperti Bima itu terus saja mengeluarkan jurus demi jurus hasil
curian. Gempurannya jadi begitu timpang tindih.
Di lain sisi, Raja Arak habis-habisan mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Semakin terlarut dalam me-
mainkan jurus, gerakannya akan semakin kacau balau.
Sebentar tubuhnya limbung ke sana, sebentar limbung
ke sini. Sebentar memukul, saat yang lain berguling.
Jadilah pertarungan itu seperti sabung jurus yang
semrawut! Namun tetap memperlihatkan keganasan,
kehebatan dan kekuatan keduanya.
Hingga suatu saat. Dewa Pencuri Ilmu merasa ha-
rus mengeluarkan satu jurus yang menurutnya bisa di-
andalkan, Jurus itu belum lama dipelajarinya dari kitab inti Tendangan Bayangan
milik Ki Mahesa yang berhasil dicurinya.
"Mampuslah kau, Pemabuk!" dengus Dewa Pencu-ri Ilmu seraya melepas kembangan
pembuka jurus inti
'Tendangan Bayangan'. "Belum ada satu tokoh pun se-macammu yang bisa selamat
dari jurus dan ajian inti
'Tendangan Bayangan'!"
Kalau saja Raja Arak dalam keadaan sadar, tentu
akan berpikir seratus kali untuk menghadapi jurus dan ajian yang disebutkan
lawan. Jurus inti 'Tendangan
Bayangan' hanya dimiliki oleh satu-satunya orang yang bisa dianggap sebagai
dedengkot persilatan, Ki Mahesa.
Memang, jurus inti Tendangan Bayangan' sangat mema-
tikan, sehingga tak dapat membiarkan lawan selamat
dari rejangan tangan maut!
Ancaman maut bisa disaksikan dari perubahan
kulit kaki Dewa Pencuri Ilmu yang menghitam kebiruan.
Dan ini mengawali kembangan pemuka jurus inti 'Ten-
dangan Bayangan'.
Hanya karena Raja Arak masih dalam pengaruh
arak, tak dipedulikannya semua itu. Dia terus mener-
jang, menyerang, menerkam....
"Huih!"
Pada satu kesempatan. Raja Arak meliuk ke muka.
Tangannya mematuk ke arah kening.
Cepat Dewa Pencuri Ilmu menggerakkan kakinya
tinggi-tinggi. Patukan penuh kekuatan Raja Arak dapat
ditangkisnya dengan tulang kering.
Tak! Dan begitu Raja Arak hendak menangkap kakinya,
Dewa Pencuri Ilmu membuat gerakan yang sesungguh-
nya amat sulit dilakukan pada saat sedang dibebani tubuh Kemuning. Sebelah
kakinya yang masih di udara
cepat ditarik. Sementara kaki yang lain menghentak dalam waktu bersamaan. Kalau
salah perhitungan, tu-
buhnya bisa kehilangan keseimbangan. Namun....
Dagh! "Aaakh...!"
Dagu Raja Arak mendadak terdongkel ujung kaki
Dewa Pencuri Ilmu. Lelaki buncit itu terdengak. Berba-rengan dengan itu, darah
segar tersembur. Sekali.
Hanya sekali ajian inti 'Tendangan Bayangan' mengenai Raja Arak, tapi hasilnya
sudah begitu hebat!
Dewa Pencuri Ilmu tak memberinya kesempatan.
Bersama satu kelebatan, kakinya mendaratkan tendan-
gan bertubi-tubi.
Desss! Desss! Tubuh Raja Arak tersentak-sentak mundur. sam-
pai tak kuasa lagi untuk bertahan.
*** Pucuk di cinta ulam tiba, sorak Pendekar Slebor
dalam hati. Selagi anak muda itu mandeg di tengah jalan tanpa arah pasti, Raja
Arak datang terhuyung-
huyung. Rasanya, Andika tahu bukan karena pengaruh
arak. Wajah tembam lelaki pemabuk itu memar-memar.
Bibirnya pecah berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan
darah. Luka dalam tampaknya.
Andika mencegah Raja Arak terpuruk. Di sang-
ganya tubuh seberat anak badak itu.
"Apa yang terjadi pada Kemuning?" tanya Andika
tergesa. Raja Arak tergagap. Dia hendak cepat bicara, tapi
dadanya demikian sakit.
"Kemuning dibawa lari Dewa Pencuri Ilmu," lapor lelaki buncit ini tersendat dan
lirih. Tergambar bagaimana penderitaannya dari suaranya. "Cepat tolong dia...."
Hati lelaki itu memang agung, memikat. Tak sama
dengan penampilannya yang membuat perawan kam-
pung lari terbirit-birit. Biar pun nyaris sekarat, dia tetap mengkhawatirkan
orang lain. "Ke arah mana kunyuk itu pergi?" tanya Pendekar Slebor.
Raja Arak menunjuk ke arah matahari mulai me-
nyembul. Warna jingganya mestinya bisa dinikmati saat itu, kalau saja keadaan
tak segenting sekarang.
"Kau tak apa-apa bila ditinggal?" tanya Andika.
Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor tak tega juga
pada keadaan Raja Arak.
"Pergi. Cepat kejar Dewa Pencuri Ilmu. Jangan pikirkan aku. Aku tak apa-apa."
Tak apa-apa katanya" Napas saja sudah Senin tak
ketemu Kamis! Tapi karena Raja Arak bersikeras dan
keselamatan Kemuning juga dikhawatirkan, pendekar
muda itu akhirnya beranjak juga.
Anak muda sakti itu melesat seperti menunggang
angin ribut ke arah matahari mulai menampakkan diri.
Segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang
amat dikagumi di seantero dunia persilatan dikerahkan.
Dewa Pencuri Ilmu harus didapatnya!
*** 9 Matahari menyembul pongah. Setengah wajah ta-
jamnya sudah muncul menyengat. Warna jingga tak ada
lagi, tersingkir oleh sinar terang menyilaukan mata. Dan bumi pun mulai memanas.
Sesaat lagi hari akan menjerang. Panasnya terus
menjangkit. Di satu tempat bertebing lurus dan curam seperti
dinding beton alam yang menjulang membentuk celah
selebar lima depa, Dewa Pencuri Ilmu terlihat berkelebat sambil membopong tubuh
seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Bidadari Cakram Terbang, wanita bernama


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemuning yang mengaku masih memiliki hubungan ke-
luarga dengan Pendekar Slebor.
"Pendekar Slebor! Dengan perempuan ini di tan-
ganku, kau tak bisa lagi menolak untuk membawaku ke
Lembah Kutukan. Dan aku akan menjadi penguasa du-
nia persilatan! Hm..hm..hm..!"
Mulut lelaki yang tergolong tampan di antara garis-
garis kebengisan wajahnya itu bergumam sendiri. Dia
begitu yakin kalau rencananya kali ini akan berjalan semulus permukaan cermin.
"Biar muridku mati saja," gumam Dewa Pencuri Ilmu lagi.
Tak ada betik penyesalan dalam kalimat lelaki ini barusan. Seolah-olah
kehilangan nyawa seorang yang dekat dengannya, tak pernah menjadi masalah. Asal,
matinya demi kepentingan Dewa Pencuri Ilmu.
Di salah satu ceruk dinding karang yang terlin-
dung dari gempuran sinar matahari atau pun pandan-
gan orang lain. Dewa Pencuri Ilmu meletakkan tubuh
molek Kemuning.
Sebentar lelaki menghempas napas puas. Di ta-
tapnya wajah Kemuning lekat-lekat. Wajah menawan itu begitu menggetarkan. Tapi
tunggu...! Hati lelaki ini teru-sik. Dia merasa pernah melihat garis dan lekuk
wajah itu. Tapi di mana" Dewa Pencuri Ilmu tak bisa mengin-gatnya. Sudah terlalu
dalam ingatan itu terkubur di dasar benaknya.
Pertanyaan-pertanyaan dalam hati Dewa Pencuri
Ilmu terpenggal ketika melihat tubuh berlekuk luar biasa milik Kemuning. Tanpa
sengaja belahan baju jingga tua perempuan elok itu tersingkap di bagian dada.
Ada benda halus menyembul, memanggil-manggil birahi setiap mata pria yang
menemukannya. Dua sembulan itu begitu padat. Di antara cahaya
pantulan lembut sinar matahari dari permukaan ka-
rang, kehalusannya menjadi demikian mempesona. Se-
kaligus, menyiramkan rasa panas menggejolak dalam
dada Dewa Pencuri Ilmu.
Setua apa pun dia, orang sesat itu tetap lelaki wa-
ras. Menyaksikan pemandangan luar biasa di depan,
naik pula keinginan-keinginan liar ke balik bubur otak warasnya.
Dewa Pencuri Ilmu membuka mulut. Bibirnya ber-
gerak-gerak, menelan air liur sendiri. Tingkahnya seperti seekor serigala lapar
mendapatkan mangsa empuk.
"Denok.... Sudah lama aku tak pernah mencicipi
perempuan sedenok mu...," desis lelaki ini seraya mendekat jalang.
Tangan Dewa Pencuri Ilmu mulai menelusuri per-
mukaan halus kulit paha padat Kemuning. Jalang, liar, dan meletup-letup. Matanya
terus melalapi sembulan
padat di celah baju perempuan yang tergolek tanpa daya itu. Hasrat si lelaki
sesat ini kian tak terkendali. Menanjak terus tak tertahan. Mendebur-debur,
menghan- tami keperkasaannya. Lalu, didekatkannya kepala ke
arah benda padat mengundang itu. Mulutnya menelan
ludah lagi. Dengan napas mendengus-dengus menerpa
kulit kekuningan kepadatan dada Kemuning, lidahnya
siap menjulur. Benar-benar seperti binatang lapar. Matanya pun terpejam, ingin
menikmatinya dengan selu-
ruh rasa yang bergejolak.
Begitu sampai, Dewa Pencuri Ilmu merasa ada sesuatu
yang ganjil. Kenapa dada padat sekal perempuan di depannya terasa kasar" Apa ada
yang salah"
Ketika mata lelaki ini membuka. setengah mampus
jadi terperangah. Yang di jamah lidahnya ternyata punggung kaki seseorang!
"He he he.... Geli, ah...!" kata orang yang baru hadir tempat di dekatnya.
Sementara perempuan berpakaian
jingga tua sudah tak ada lagi di tempatnya.
Tubuh Dewa Pencuri Ilmu terlonjak. Cepat dia me-
loncat ke belakang, menyiapkan kuda-kuda. Ditatapnya anak muda yang tak mungkin
di lupa. Pendekar Slebor!
"Apa kabar" Kau pasti terlalu rindu padaku, sampai-sampai tak dapat menahan diri
untuk.... He he
he...." Andika terkekeh-kekeh tak karuan. Kemuning su-
dah berada di punggungnya. Mata Dewa Pencuri Ilmu dipaksa terbeliak. Tak pernah
diduga kalau si anak mu-da ksatria bisa mengejarnya sampai ke tempat terpencil
itu. Sepanjang pengetahuannya, Pendekar Slebor tak
sempat mengejar saat muridnya terus menghantami.
Jadi bagaimana mungkin" Dewa Pencuri Ilmu tetap
tak percaya. Memang sebelumnya tak disadarinya kalau Raja Arak yang dianggap
telah mati di tangannya, sesungguhnya tak benar-benar mati. Dengan satu keah-
lian tertentu yang jarang dimiliki, lelaki pemabuk itu mengecoh Dewa Pencuri
Ilmu. Dia pura-pura seperti benar-benar tewas. Padahal tidak.
"Kau masih ingin kuantar ke Lembah Kutukan?"
tukas Andika acuh tak acuh. "Kenapa harus pakai menculik perempuan ini jika
berurusan denganku"
Apa kau pikir aku tak menggairahkan dia?"
Dewa Pencuri Ilmu menggeram, mendengar celote-
han Pendekar Slebor yang terus memancing-mancing
amarahnya. "Jangan anggap dirimu sudah terlalu sakti, Anak Muda! Aku bukannya takut
menjajal kesaktianmu yang
terlalu digembar-gemborkan banyak orang! Aku hanya
ingin menghemat waktu dan tenaga dengan menculik
perempuan itu!" sembur Dewa Pencuri Ilmu.
Di samping gusar karena kedatangan Andika yang
tak terduga, lelaki ini juga gusar bukan main karena ha-sratnya mendadak
terpenggal. "Ah, masa'?" usik Andika.
"Kau...."
Dewa Pencuri Ilmu makin geram. Jakunnya turun
naik lagi. Kepalannya terbentuk.
"Aku tahu, kau memang segan berurusan den-
ganku. Jujur saja.... Siapa tahu kejujuranmu bisa sedikit merontokkan dosa."
"Kunyuk!"
"Ah! Apa benar begitu?" sergah Andika. Mata Pendekar Slebor membeliak. Wajahnya
makin dibuat-buat.
Begitu juga tingkahnya.
"Selama ini, aku tahu kau manusia. Kenapa seka-
rang mengaku-aku kunyuk?" tambah Andika, masih
dengan wajah memperlihatkan keterperangahan.
Darah Dewa Pencuri Ilmu mendidih karenanya.
Sudah sering didengarnya, bagaimana Pendekar Slebor
begitu lihai mempermainkan kemarahan lawan dengan
segala tetek-bengeknya yang tengik. Padahal, dia sudah merasa siap untuk itu.
Tapi ketika harus benar-benar menghadapinya kini, kemarahannya tak bisa dikuasai
juga. Bagaimana bisa"
Sementara Dewa Pencuri Ilmu sendiri tak pernah
menyadari. Ocehan Pendekar Slebor tak semata-mata
hendak memancing kemarahannya. Anak muda cerdik
itu juga sengaja mengulur-ulur waktu. Dengan begitu
hawa murni bisa disalurkan ke dalam tubuh Kemuning
di bahunya, supaya pengaruh totokan Dewa Pencuri Il-
mu perlahan terbebaskan. Cerdik bukan"
Hasilnya, tak begitu lama kemudian Kemuning
mulai tampak bergerak.
"Turunkan aku, Andika." pintanya pada Andika.
Andika menurunkan.
"Ah, kau sadar juga rupanya...." sambut Pendekar Slebor. Diturunkannya tubuh
perempuan itu. Dewa Pencuri Ilmu menyadari ketololannya. Wa-
jahnya menyeringai. Gusar luar biasa.
"Di mana aku?" tanya Kemuning. Perempuan berjuluk Bidadari Cakram Terbang
berdiri. Masih agak terhuyung limbung.
Andika melirik calon musuhnya di depan sana.
"Sepertinya kau berada di 'istana kebesaran' Tuan besar itu," sahut Andika
seenaknya sambil menuding Dewa Pencuri Ilmu dengan bibir. Menjengkelkan sekali!
"Kau tahu, hampir saja ada seseorang menjadi korban...."
Kemuning menatap Andika sungguh-sungguh.
"Apa orang itu baik-baik saja" Tak kehilangan nyawa?"
tanya perempuan itu ingin tahu. Bibir Andika membu-
lat. "Wooo.... Tepat pada saat menegangkan, ada
'benda ajaib' telah menyelamatkannya!" seru Pendekar Slebor urakan.
Siapa lelaki yang tak jadi beringas mendengar se-
mua ocehan itu" Telinga orang waras mana yang tak
merah" Hati manusia mana yang tak terbakar"
Di sana Dewa Pencuri Ilmu mengeraskan rahang.
Gigi-giginya bergemeletukan. Otot-otot tangannya men-
gejang, menandai puncak kemurkaan.
"Hari ini, kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor!" desis Dewa Pencuri
Ilmu, menggeram.
Andika cengengesan. Dia maju dengan langkah
mantap. "Kalau begitu, mari kita buktikan...."
*** Di lain tempat, Raja Arak masih berkutat dengan
luka dalamnya. Semenjak Pendekar Slebor pergi, lelaki buncit itu mencoba
bersemadi. Dicobanya menyembuh-kan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni.
Cukup lama Raja Arak berusaha. Hasilnya belum
juga didapat. Tubuhnya kian melemah. Darah kental
kehitaman terus saja mengalir dari mulutnya. Entah, pukulan apa yang telah
disarangkan Dewa Pencuri Ilmu.
Di tengah kepasrahannya, seorang lelaki tua mun-
cul dari kegelapan. Didekatinya Raja Arak. Langkahnya teramat ringan. Telinga
yang terlatih pun masih terlalu sulit menangkap jejak halus langkahnya.
Itu pula sebabnya Raja Arak tak menyadari sama
sekali ada orang mendatangi. Dia tetap bersila. Matanya terus terpejam.
Kalau saja saat itu, si orang tua berniat jahat, ten-tu Raja Arak akan sangat
mudah dilemparkan ke kerak
neraka. Nampaknya, niat orang tua itu tidak begitu. Perlahan tangannya menyentuh
bahu Raja Arak.
Sentuhan itu begitu sejuk. Ada rasa aneh yang me-
resap ke seluruh tubuh Raja Arak, manakala tangan itu menyentuhnya. Dirasakannya
suatu perlindungan, bukan ancaman. Karenanya, Raja Arak membuka mata
perlahan. Tak ada kesan kalau lelaki berperut buncit itu terkejut.
"Ki Mahesa?" tanya Raja Arak, menduga. Orang
tua di depan lelaki buncit ini menggeleng.
"Siapa kau?" susul Raja Arak.
"Sebaiknya jangan dulu banyak tanya," ucap orang tua di depannya, mantap dan
berwibawa. Getar suaranya seperti menebar kekuatan yang menenteramkan.
"Kau baru saja terkena jurus inti 'Tendangan
Bayangan'. Jurus dan ajian itu sangat berbahaya jika tidak segera mendapat
pertolongan. Semakin lukamu di-
lawan dengan hawa murni mu, semakin cepat tubuhmu
akan digerogoti...."
"O.... Jadi itu sebabnya Ki Mahesa tak mengajarkan pada siapa pun. bahkan pada
muridnya sendiri?"
ungkap Raja Arak teringat ucapan Ki Mahesa.
Pertanyaan lelaki buncit itu mendapat anggukan.
"Tapi bukan itu saja yang mengkhawatirkan Mahe-
sa." sergah orang tua itu lagi.
Dari caranya menyebut Ki Mahesa tanpa kata 'Ki',
kentara sekali kalau orang tua ini cukup dekat dengan guru besar Tendangan
Bayangan Seribu.
"Apa yang kau ketahui Orang Tua?" tanya Raja Arak. "Jurus inti "Tendangan
Bayangan' juga dapat membahayakan pemiliknya. Jika saat jurus dimainkan
dan ajian dikerahkan dalam keadaan penuh nafsu
membunuh, maka akan memakan si pemiliknya sendi-
ri...," jelas orang tua tak dikenal itu.
Raja Arak manggut-manggut tanda mengerti. "Itu
pula yang membuat Mahesa mempertimbangkan untuk
memberikan kitab sakti inti Tendangan bayangan kepa-
da muridnya, setelah dirasa sudah siap. Sayang, sebelum semuanya terlaksana,
Dewa Pencuri Ilmu berhasil
mencuri kitab sekaligus membunuh muridnya. Mahesa
malang...," lanjut si orang tua.
"Andai saja aku tak terluka, akan ku usahakan
untuk mengambil kitab itu dari tangan Dewa Pencuri
Ilmu dan mengembalikannya kepada Ki Mahesa," desah lelaki buncit yang tengah
terluka dalam ini.
Raja Arak kini menggeleng kepala perlahan. Dia
menyesal tak dapat berbuat banyak.
'Tak perlu," tepis orang tua tak dikenal.
"Kenapa begitu?"
"Nanti kau pun tahu. Sekarang, kosongkan piki-
ranmu," perintah orang tua tak dikenal tadi.
Segera orang tua itu ikut duduk bersila di depan
tubuh Raja Arak.
"Aku akan berusaha menyingkirkan jurus inti
'Tendangan Bayangan' yang bersarang di tubuhmu...."
Usai berkata, telapak tangan lelaki tua itu ditem-
pelkan pada sisi-sisi rusuk Raja Arak. Matanya lang-
sung terpejam. Tak lama kemudian. Raja Arak merasakan sesua-
tu yang sejuk mengaliri kembali seluruh tubuhnya seperti sebelumnya. Hanya saja,
kali ini lebih kuat. Kemudian tampak mengepul asap tipis mengambang dari se-
la-sela telapak tangan si orang tua.
Sampai akhirnya Raja Arak merasakan ada sesuatu
yang lain bergerak berlawanan dengan rasa sejuk. Sesuatu itu seperti tersedot
telapak tangan orang tua di depannya.
Sss! Desis kecil terdengar, diikuti rasa lega luar biasa dirasa Raja Arak. Rasa sakit
yang tak kepalang kini hilang. Dan orang tua tadi pun turut menghilang.
"Siapa dia?" tanya Raja Arak bergumam.
*** 10 "Jurus apa yang mesti kuhadiahkan terlebih dahu-lu padamu?" tantang Andika pada
Dewa Pencuri Ilmu.
Kedua tokoh itu berdiri berjauhan dalam jarak se-
kitar sebelas tombak. Celah dinding karang tegak lurus di sisi kiri dan kanan
mereka seperti membatasi, sekaligus menjadi saksi bisu sabung nyawa yang bakal
mele- dak. Dewa Pencuri Ilmu berdiri tegak di sebelah utara celah dinding karang.
Andika di sebelah selatan. Kemuning alias Bidadari Cakram Terbang berdiri di
tempat yang cukup aman dari medan laga, beberapa depa di belakang Pendekar
Slebor. "Kau kupersilahkan menguras seluruh kehebatan
yang terlalu besar digembar-gemborkan itu." balas Dewa Pencuri Ilmu, balik
menantang. "O...."
Andika memonyongkan mulutnya. Telapak tan-
gannya diusap-usapkan satu sama lain. Sikapnya seper-ti menganggap pertarungan
nanti hanya dolanan iseng.
"Tapi sebelum dimulai, sebaiknya kita membuat
kesepakatan. Ku tantang kau selaku ksatria sejati, Pendekar Slebor!' kata Dewa
Pencuri Ilmu, memberi pena-


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waran. "Kesepakatan macam apa lagi" Kalau kau kalah,
sudi mencium kaki bau ku tujuh kali setiap malam
Jum'at Kliwon?" oceh Pendekar Slebor.
Dewa Pencuri Ilmu tak menanggapi. Di benaknya
hanya ada satu pikiran untuk diutarakan pada calon
lawan. "Kau akan mengantarku ke Lembah Kutukan. dan
membantuku menemui tempat penyimpanan harta pe-
ninggalan Pendekar Lembah Kutukan, jika berhasil ku-kalahkan."
"Bicaramu seolah yakin akan menang! Bagaimana
bila keok?" tukas Pendekar Slebor.
"Akan kuserahkan kembali peta rahasia itu."
"Tak cukup adil!"
"Baik! Apa maumu?"
"Bagaimana kalau kau kembalikan juga Kitab Inti Tendangan Bayangan yang kau
curi!" Bukan. Bukan Andika yang menyahuti. Itu adalah
suara seseorang dari ubun-ubun dinding karang seting-gi seratus kaki yang
menyahuti. Andika mendongak. Terabasan sinar matahari menje-
lang tengah hari membuatnya tak begitu jelas mengenali orang yang bersuara
barusan. Tapi anak muda itu masih ingat betul jenis suaranya. Padat, wibawa, dan
dalam. "Kutu bengek!" serapah Andika dalam hati.
Andika baru ingat kalau itu suara yang menyu-
ruhnya menyelamatkan Kemuning! Jadi waktu itu bu-
kan ocehan dedemit" Andika jadi agak mangkel. Dia telah dikerjai.
"Siapa kau?" teriak Pendekar Slebor. Tangannya diangkat ke depan mata, mencoba
menahan terjangan
sinar matahari siang yang menyengat.
"Diam kau, Bocah Gendeng! Aku tak bicara den-
ganmu!" bentak suara itu.
Bocah katanya" Andika makin yakin memang
orang satu ini yang mengerjainya semalam. Bukankah
suara tanpa orang yang didengarnya waktu itu juga me-nyebutnya 'bocah gendeng'"
"Bagaimana?" ulang orang di atas dinding karang.
menawarkan sekali lagi pada Dewa Pencuri Ilmu.
"Hei, ini pertarungan ku! Bisa-bisanya kau me-
nentukan syarat seenak dengkul!" teriak Andika sewot.
"Kubilang diam, diam kau! Apa perlu mulut ceri-wis mu ku sumpal dengan batu
karang sebesar anak
monyet"!" hardik orang itu lagi.
Aneh. Saat itu juga Andika merasa jantungnya
berdebar keras. Suara itu begitu memiliki kekuatan. Tak ada tenaga dalam yang
dirasa Andika pada hardikan ta-di. Lalu, karena apa" Sulit dia menduga.
Biasanya kalau mulut serampangan Pendekar Sle-
bor sudah mulai mengoceh, siapa pun akan sulit untuk memerintah menghentikannya.
Tapi untuk orang satu
ini, Andika benar-benar tak ingin membuka mulut lagi.
Dia sungguh tak habis pikir.
"Aku tak punya urusan denganmu. Dan aku hanya
membuat kesepakatan dengan Pendekar Slebor!" jawab Dewa Pencuri Ilmu, lantang.
"Kalau begitu, aku akan mewakili pendekar muda
cerewet itu untuk membuat kesepakatan denganmu!"
Andika mulai sewot lagi. Orang ini makin lancang
saja, pikirnya. Manakala mulutnya baru hendak men-
ganga, tangan lelaki di atas sana menuding ke arahnya.
"Kubilang diam!"
Saat itu juga rahang Andika terkunci. Sungguh-
sungguh terkunci! Andika coba membebaskan dengan
mengerahkan tenaga dalam. Tak berhasil. Bahkan telah pula mengerahkan tenaga
dalam sampai beberapa tingkat. Slompret benar! Siapa orang itu sebenarnya" Rutuk
anak muda urakan itu dalam hati. Kalau melihat pera-wakannya, orang itu sudah
uzur. Tampak sekali dari
tubuhnya yang agak bungkuk. Tingginya hampir sama
dengan Ki Mahesa. Apa mungkin Ki Mahesa" Bukankah
barusan dia menyebut-nyebut soal Kitab Inti Tendangan Bayangan" Sepanjang
pengetahuannya, kitab itu memang milik Ki Mahesa. Tapi, warna suara Ki Mahesa
tak seperti itu.
Andai saja matahari agak condong sedikit, tentu
Andika bisa melihat lebih jelas wajah orang itu.
"Bagaimana"!"
Terdengar lagi pertanyaan diajukan si orang tak di-
kenal di atas dinding tebing.
"Baik! Tapi, bagaimana aku tahu kalau Pendekar
Slebor pun setuju dengan ketentuan yang kau berikan?"
"Dia akan setuju!" tandas orang itu lagi.
Hati Andika makin mangkel saja. Mau menyumpah-
nyumpah, sayangnya tak mampu. Sewaktu orang tua
semena-mena itu menanyakan persetujuannya, mau tak
mau Andika mengangguk.
"Bagus! Nah, Bocah Gendeng! Tugasmu adalah
meminta Kitab Inti Tendangan Bayangan padanya, jika
kau menang. Dan aku tak mau kau kalah! Itu akan
membuatku malu!"
Malu" Bagaimana dia bisa mengatakan begitu"
"Hm.... Apa hubungannya denganku?"
Hati Andika kasak-kusuk penasaran. Namun lamat-
lamat, di benaknya muncul juga bayangan seorang to-
koh yang sudah begitu lama ditemuinya. Ya, rasanya
kini Andika mulai bisa meraba siapa sesungguhnya
orang tua brengsek ini. Dia pasti....
Andika hendak berseru menyebut nama orang tua
itu ketika rahangnya terasa mengendur lagi. Tanpa
sempat terlempar satu kata pun dari mulutnya, orang
tua itu sudah tak terlihat lagi di ubun-ubun dinding karang. Entah ke mana.
Ajang sabung nyawa pun mulai digelar antara dua
tokoh beda usia. Dewa Pencuri Ilmu setingkat lebih tua dibanding Pendekar
Slebor. Kesaktian dan pengalamannya tidak diragukan.
Pendekar Slebor sendiri adalah salah satu dari to-
koh yang paling ditakuti kalangan sesat. Usianya me-
mang muda. Tapi tak berarti pengalamannya tak lebih
menggunung dibanding calon lawan.
Medan laga yang akan digelar bukan untuk perta-
rungan biasa. Keduanya telah mengambil kesepakatan
lagi, untuk melaksanakan adu kekuatan. Dalam hal ini, tak diperlukan satu jurus
pun. Mereka hanya mengan-dalkan tenaga dalam dan kemantapan ajian benteng
pertahanan. "Kau lihat kain ini," ujar Pendekar Slebor, memulai.
Pemuda berpakaian hijau pupus dan Dewa Pencuri
Ilmu kini berdiri lebih berdekatan.
"Kain ini memiliki kealotan luar biasa. Andai seratus banteng ditambah seratus
lagi dipaksa untuk mero-bek secara bersama, kain ini tetap utuh," lanjut Andika.
Tak ada kesan main-main lagi dalam setiap bilah
kata Pendekar Slebor. Parasnya membatu, dengan tata-
pan sembilu di mata elangnya.
"Kau tak usah berbelit-belit!" sentak Dewa Pencuri Ilmu tak sabar.
"Baik-baik!" sengit Andika. "Kita akan menjadi-kan kain pusakaku ini ajang adu
kekuatan."
"Aku belum mengerti."
"Otakmu pasti tak seencer bubur. Sekali-sekali, go-doklah lebih lama!"
Andika jadi muak. Berpanjang kata hanya akan
menimbun kemuakan lebih banyak dalam diri anak
muda itu. Karenanya langsung saja dia bertindak.
Pendekar Slebor kini membentangkan kain pusaka
bercorak catur ke tanah. Satu ujungnya diikatkan ke
sebelah kaki dengan ikatan dibuat kuat-kuat.
"Ikatkan ujung kain itu pada kakimu," perintah Andika pada calon lawan.
Dewa Pencuri Ilmu memang sudah tak sabar ingin
membuktikan keunggulan kesaktiannya. Tanpa banyak
tanya lagi, di turutinya perintah Pendekar Slebor tanpa kecurigaan. Baginya,
nama besar Pendekar Slebor sudah bisa dijadikan jaminan kalau tak akan
dicurangi. Kini sebelah kaki mereka telah dihubungkan dengan
kain pusaka bercorak catur.
"Kita akan mengadu tenaga dengan sebelah kaki
terikat satu sama lain. Kau tahu, apa artinya" Artinya, nyawa kita adalah
taruhannya. di samping kesepakatan yang telah dibuat. Jika tak ada kata menyerah
di antara kita, maka satu-satunya pilihan bagi yang kalah adalah..., terbelah
menjadi dua!"
Andika menatap lekat-lekat mata menantang Dewa Pen-
curi Ilmu. Untuk terakhir kalinya, Andika ingin mengejek lawan. Lidahnya masih
gatal. "Kau yakin hendak melakukannya?" kata Pendekar_
Slebor meremehkan. Bibirnya pun memperlihatkan cen-
giran jelek. "Kau banyak omong! Hiaaa!" Penuh teriakan nafsu, Dewa Pencuri Ilmu langsung
mengempos tenaga dalamnya. Bukan main-main tenaga dalam yang dikerahkan-
nya saat itu. Bisa saja tenaga dalam pada tingkat yang sanggup menghempas batu
gunung sebesar gajah!
Andika meskipun didahului. tidak menjadi gentar.
Disambutnya teriakan menggelegar lawan dengan sen-
takan napas mendadak.
"Hehhh!"
Tep! Telapak tangan keduanya bertemu. Maka, segenap
tenaga sakti dari dua sumber berbeda mengalir deras, lalu bertumbukan di satu
titik.... Telapak tangan mereka! Beberapa lama mereka berkutat. Sebentar tangan
salah seorang terdorong mundur. Kala yang lain, tangan mereka sama-sama
terangkat. Kian merangkak waktu,
kian bergeletaran tubuh masing-masing.
Keringat cepat membanjiri pakaian masing-masing.
Otot-otot dua lelaki perkasa itu bagai di regang paksa oleh tarikan sejuta
prajurit paling gagah!
Kejap demi kejap, benturan maha hebat dalam satu
ajang adu kesaktian terus mematangkan saat-saat
maut. Dari hidung Dewa Pencuri Ilmu mulai mengalir da-
rah segar yang mengepulkan uap tipis. Panas luar biasa yang menggelegak dalam
tubuhnya. telah pula mendi-dihkan darahnya. Lalu darah merambat keluar dari lu-
bang-lubang telinga. Bahkan buliran keringatnya pun
kini memerah. Di lain pihak, keadaan Pendekar Slebor tak kalah parah.
Hanya saja darah mengalir dari hidung dan telinganya lebih lambat daripada
lawan. Menanjak kian menanjak. Ketegangan pun menjadi-
jadi. Kemuning yang menyaksikan peristiwa itu menyipitkan
matanya. Dia bergidik jika membayangkan salah seo-
rang dari mereka tersentak amat kuat, dan tubuhnya
terbelah menjadi dua.
Sekarang, pori-pori kedua petarung tak lagi menge-
luarkan keringat, melainkan darah kental! Tampaknya
tangan-tangan maut kian mendekat ke arah keduanya.
Jangan ditanya, betapa tersiksanya mereka. Tubuh
seperti digodok dalam kuali pasir panas. Sendi-sendi dan otot pun bagai ditusuki
ratusan paku. Kepala mereka terasa hendak meledak saat itu juga.
Kejap-kejap paling rawan mulai mendekat, manaka-
la tubuh mereka sedikit demi sedikit menjauh satu dengan yang lain. Sementara
itu, udara di sekitar ajang adu kesaktian menjadi begitu membakar! Serangga naas
yang tak sengaja melewatinya, mendadak hangus ter-
panggang! Kuda-kuda dua tokoh berilmu tinggi itu perlahan tak la-gi menjejak di bumi.
Benturan teramat dahsyat men-
gungkit tubuh keduanya ke atas. Sedikit demi sedikit.
Sejengkal dari tanah, gerak naik mereka terhenti.
Darah tampak menetes-netes dari ujung jari kaki
keduanya. Darah yang terus mengepulkan asap tipis.
"Hiaaa...!"
Pada puncaknya, Andika berteriak! Pengurasan te-
naga sakti mengakibatkan daya mukjizat buah 'Inti Petir' menggelembung di
sekujur aliran darahnya. Sakit yang diderita menjadi berpuluh kali lipat. Dia
nyaris tak kuasa lagi bertahan.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang buah 'Inti Petir', bacalah episode:
'Dendam dan Asmara')
Sebaliknya, tenaga sakti Pendekar Slebor pun ber-
lipat mendadak menjadi puluhan kali.
Perubahan mendadak ini sungguh menghentak
nyali lawan. Dewa Pencuri Ilmu merasakan tubuhnya
makin menjauh dari pemuda itu. Tenaga dalamnya per-
lahan tertelan dan tertelan.
Pendekar Slebor terus memekik. Dia tersiksa, tapi
tak bisa berhenti hingga di situ. Untuk menyerah adalah hal yang paling
dipantang baginya! Akhirnya....
"Cukkkuuup! Aku tak kuat lagi! Aku menyerah!"
Teriakan Dewa Pencuri Ilmu melabrak angkasa di
antara jeritan tinggi Pendekar Slebor. Kaki lelaki sesat itu sudah hampir
terlepas dari pangkal pahanya!
Mendengar kalimat menyerah, Andika sebisanya
mengalihkan tenaga ke arah lain. Melipatnya tenaga
sakti, menyebabkan Andika sulit mengendalikan lagi.
Kalau terlambat sekedip mata saja, tenaga saktinya
akan mengoyak tubuh Dewa Pencuri Ilmu dalam seke-
jap! Dan seandainya Dewa Pencuri Ilmu selamat pun,
rasanya perlu sepuluh tahun untuk mengembalikan te-
naga dalamnya! "Akhu... mengaku khalahhh...," Dewa Pencuri Ilmu terengah-engah di bawah kaki
Pendekar Slebor.
Sementara anak muda itu masih sanggup berdiri di
atas kuda-kudanya meskipun tergetar.
Di saat yang lemah itu, telinga Andika menangkap
bahaya lain melesat menuju mereka. Andika kembali
menghidupkan sisa-sisa tenaga.
Sing! Trap! Satu pergelangan tangan halus dicengkeram Pende-
kar Slebor. "Kemuning" Apa-apaan ini" Apa yang hendak kau
lakukan?" tanya Andika gusar.
Perempuan itu rupanya mencoba menghabisi nyawa
Dewa Pencuri Ilmu saat itu juga. Andika jelas tak akan membiarkannya. Bagi
seorang ksatria seperti dia, pantang untuk membunuh lawan dalam keadaan lemah.
Kemuning terisak. Tangan yang masih menggeng-
gam cakram turun perlahan.
"Lelaki itu harus mati, Andika," desah perempuan ini memelas.
"Kenapa?"
"Manusia laknat inilah yang telah membuatku
hingga mengasingkan diri selama sepuluh tahun! Dia
tak hanya mempecundangi ku, tapi juga memperkosa-
ku! Laknat! Aku tahu, meski aku melatih diri sepuluh tahun lagi, tetap tak bisa


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menandingi kesaktiannya. Karena itu. aku...," tutur Kemuning di geletari isak
kecil. "Apa yang hendak kau katakan, Kemuning?"
Kemuning tak bisa menjawab. Malah tangisnya ma-
kin terseguk-seguk. Sesaat kemudian, dia berontak dari cekalan tangan Andika.
Lalu, ditinggalkannya tempat
itu. Isaknya masih terdengar sayup-sayup ketika tubuh sintalnya terus menjauh.
"Dendam memang selalu buta. Bukan begitu, Andi-
ka?" Andika menoleh begitu terdengar suara. Ternyata orang tua yang sebelumnya
berdiri di puncak dinding
karang telah berdiri di belakang.
Andika perlahan berbalik. Seluruh tubuhnya terlalu
lemas untuk berbalik cepat lagi. Bibir berlumur darahnya pun tersenyum
menyaksikan orang tua ini.
"Sudah kuduga, kaulah orangnya. Apa kabar Ki
Saptacakra?" sapa Pendekar Slebor.
Ya! Orang tua itu memang Ki Saptacakra alias Pen-
dekar Lembah Kutukan. Dia adalah buyut Andika yang
pernah dikira mati oleh anak muda itu.
Kemuning menurut Ki Saptacakra memang masih
keturunannya. Namun dia tak pernah memiliki peta ra-
hasia penyimpanan benda berharga di Lembah Kutu-
kan. Semua itu hanya rencana Kemuning untuk mem-
balas dendam terhadap Dewa Pencuri Ilmu. Dengan
mencoba memperalat Pendekar Slebor, Kemuning ber-
harap memiliki kesempatan untuk membunuh musuh-
nya. Rencana Kemuning berjalan mulus dalam memanc-
ing keluar Dewa Pencuri Ilmu. Disebarnya desas-desus tentang peta yang
dimilikinya. Dengan desas-desusnya, dia mengatakan akan datang di sebuah kedai
di pinggiran Kota Karisidenan Karawang. Maka tak heran kalau
murid Dewa Pencuri Ilmu ada pula di tempat itu. Sang murid memang ditugaskan
Dewa Pencuri Ilmu untuk
memantau gerak-gerik Kemuning. Sedang tokoh sesat
itu mengamati dari jarak jauh.
Dalam rencana Kemuning, dia pun mengundang
Andika ke tempat yang sama.
Sayang, sewaktu kesempatan itu terbuka, timbul
rasa bersalahnya pada diri Andika. Anak muda yang selama ini dikenalnya telah
mengunci hati terhadap wani-ta dengan perasaan yang sulit dijelaskan....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Pendekar Pengejar Nyawa 20 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bloon Cari Jodoh 7
^