Iblis Penghela Kereta 3
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Bagian 3
Des! des! Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke bela-
kang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat men-
gibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan
segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenan-
kan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarun-
gan lagi!"
Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan
mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya
tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.
*** Suasana di sekitar Lembah Ular memang menge-
rikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis yang hidup di sana. Namun
bagi kedua tokoh kepercayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang me-
nyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan
ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro mem-
banting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor
berada, hah"!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Se-
mentara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil
memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku"!"
Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi" Bunuh gadis
keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah"! Yang ditugaskan untuk
membunuhnya adalah aku!"
"Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!"
sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku,
hah"!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak
"Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu,
kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis
jelita yang bersamanya" Dengan berlagak terserang se-
lendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempa-
tan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah
kau sebenarnya!"
"Bangsat!" maki Bramantoro. "Apakah kau pikir ada orang lain yang menyamar
sebagai aku, hah"! Tek
Jien Jangan menjual lagak di sini!"
"Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui
kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor"
Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara
darimu saja"!"
Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya
nampak sekali. "Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur.
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan na-
ma Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya
tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Ke-
reta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!"
cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!"
"Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang
membunuhnya!"
Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Ri-
nai yang masih menangis.
*** 10 Plak! Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramanto-
ro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pan-
dangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya"!"
bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba mem-
bunuhnya?" balas Bramantoro. "Ingat, Tek Jien! Aku-lah yang ditugaskan Kawan
Sunsang!" "Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor,
kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan
di mana pendekar sialan itu berada!"
Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan
kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon
besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati Rinai yang masih menangis.
"Gadis keparat! Di manakah Pendekar Slebor berada"!"
Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien
menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bra-
mantoro. Plak! "Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram.
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang
berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro ga-
rang. "Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta, aku lah yang berkenan
membunuhnya! Tetapi, rupanya saat ini kawan telah menjadi lawan!"
"Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku
sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan
Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku
pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!"
Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan
serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bra-
mantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta tidak salah memilih orang!"
kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung ke-
kuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan se-
kali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjum-
lah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bra-
mantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan ke-
pandaian memainkan kipas yang dijadikan senja-
tanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepan-
daiannya. Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja
melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan
serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, me-
nimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt.... Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas
panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa le-
laki setengah baya yang berwajah tampan itu mau
membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali ber-
temu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya.
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau
membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal
menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini sa-
ja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang
kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan
hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayan-
gan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelema-
han sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien
sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat
tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus
kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu'
milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berba-
haya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk den-
gan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba men-
galihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia
berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta
itu. Buk! "Ughhh...!"
Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas
Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke bela-
kang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wa-
jahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro.
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!"
Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang me-
lompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek
Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki
dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih he-
bat daripada Bramantoro.
Plak! Plak! Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang
terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri
sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-tiba saja tenaga dalam
Bramantoro mendadak menjadi
lebih hebat. "Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pengkhianat!"
Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali
dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemam-
puannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar
dikerahkan. Justru kesempatan seperti itu dipergunakan
Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan me-
luruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan
seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atas-
nya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet! "Aaakh...!"
Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga ter-
gores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki dari Tiongkok itu semakin
beringas. Serangannya semakin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi
mengendalikan nafsu membunuhnya!
Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan
tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya su-
dah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Braman-
toro. Dan serangan penutup yang dilakukan Braman-
toro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh dikibaskan ke leher Tek
Jien. Breeettt! Pluk! Pluk! Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya,
terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung
menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu berge-
tar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!"
Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit
menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirang-
kulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik,
cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja.
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan
semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air
matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk bercakap-cakap. Kau bebas. Aku
yang akan mempertang-
gung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!"
Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia men-
gucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil men-
gangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat
Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerom-
bolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."
*** Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika
terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja
dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu
melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti
kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru
muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada
sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk
melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam.
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma men-
jadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau"!" tanya Bramantoro dengan suara tenang, namun terkesan
lembut. "Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksi-
kan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu
akan terjadi."
"Hei"! Jangan berlagak seperti penyair India! Sebutkan namamu!"
"Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sahut lelaki itu sambil tersenyum.
"Rupanya, aku berhadapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang
telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun
ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Ka-
rena, kau akan mampus hari ini juga!"
"Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengen-
al dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-ja pertarungan kita kali
ini!" seru Bramantoro, menolak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah.
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbua-
tanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya ter-
lambat! Karena bila kita... heaaa!"
Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipas-
nya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap
orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali,
Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang
dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja.
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja
bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...! Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang
sedang berlari kencang mendadak saja membuang tu-
buhnya ke samping.
Blarrr.... Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar
memiliki ilmu yang sangat tinggi!"
Dengan cepat Bramantoro menambah larinya.
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya me-
langkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.
*** Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpe-
kur seperti menikmati malam yang semakin merambat
perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, ber-
sahutan. "Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah Ular," kata sosok yang lebih
muda dengan suara sengit. Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan
main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. Ingin rasanya dia mengadu jiwa
saat itu. Tak peduli ka-
lau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih
tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung se-
murni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Ti-
wi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan
yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat
Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas den-
dam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan te-
tapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang
lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percu-
ma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi,"
sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijak-
sana. "Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!"
"Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi!
Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lu-
rus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu
adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai
Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro
memang hendak menolongnya. Meskipun, disamar-
kan. Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kere-
ta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih
diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan
dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti
Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung
Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki
itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak
tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan
maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud
Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek
Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya"
Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa me-
nolongnya"
"Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah kesunyian karena sejak tadi dia pun
berdiam diri. "Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus
kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya ber-
dua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mere-
ka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena
kami pun akan menuju ke sana...."
Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul
dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat
siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jingga-
ku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang langsung melompat dari
kudanya. "Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulingan menghindari serangan Tiwi
yang beruntun. "Pemuda hidung belang! Kembalikan selendang-
ku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-sayangannya melilit di
pinggang Jaka. Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang
itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kemba-
li, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!"
Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan
biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka.
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri
tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terden-
gar menderu. Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera
disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di
tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu
tempo hari!"
Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke
arah Jaka. Ctaaarrr! Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos di-
rinya. "Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main se-
rang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus
mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia
membenci Jaka. Karena kalau saja selendang ke-
sayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek
Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari ku-
danya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di
sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan
Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis
Penghela Kereta?"
"Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya
tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa
kudanya yang dikendalikan tenaga dalam."
"Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?"
tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya bertanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat
"Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa
hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan datang ke Hutan Witis bila
sudah tiba di sana. Akan
tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak
muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia
tertangkap atau tewas di sana?"
Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Tak ada kalimat dari siapa pun dari orang-orang di
sana yang mengatakan
tentang Pendekar Slebor."
Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia me-
mang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena den-
gan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis
Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta dibantu tiga orang antek-
anteknya yang tangguh."
Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Se-
dikit banyaknya dia memang telah memperkirakan-
nya. Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang masih menyerang Jaka
dengan garang. Sementara,
Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil
berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Ti-
ba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyu-
man. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga mem-
perhatikan pertarungan. "Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari
kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kaman-
da. "Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas
mempunyai suami. Kau sendiri?"
"Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang memutuskan. Karena
sesungguhnya dia adalah murid
kakak seperguruanku, Ki Buwana."
"He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak
memutuskan."
"Aku akan memutuskannya, Nyai."
"Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!"
Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum. "Nyai
Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka."
Nyai Harum terkekeh-kekeh. "Kuterima lama-
ranmu itu, Kamanda!"
Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya
pada dua remaja yang sedang bertarung.
Wusss! Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang.
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat
itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...."
Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir
cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya me-
noleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tem-
patnya. "Ada apa sih"! Pemuda sialan itu harus dihajar!"
Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang
dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah mela-
mar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu."
"Apa?"
Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja
gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu
harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah
jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis,
dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang ber-
campur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan
ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi
justru gelagapan!
"Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan saja. Dan bila setuju,
katakan pula yang sesungguhnya...."
"Aku...."
"Nah, kenapa?"
"Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar
ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?"
"Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk
ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus
mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!"
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang
kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda
untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil tersenyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu
harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah
jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagai-
mana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya
agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis
ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah
memerah. Gelagapan lagi!
"Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku
ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana"
Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?"
Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka.
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku menginginkan kau dan Tiwi
menjadi suami istri abadi
yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju
Jaka?" Meskipun secara tidak langsung sudah menden-
gar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah
Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata
apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakan-
ku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Kamanda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Ka-
manda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari
meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang terta-
wa-tawa. "Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!"
ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...."
"Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi
waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut"
Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah ja-
tuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, ba-
wa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.."
Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemu-
dian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai
Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sa-
ma-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan,
Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, ba-
gaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kere-
ta. "Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor,"
sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua rema-
ja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian,
muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang
menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan me-
lihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum sa-
ja. "Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasangan yang cocok?" ujar Nyai
Harum. "Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka!
Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Ti-
wi?" Jaka menganggukkan kepalanya. "Ya, Paman.."
"Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum.
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi
justru merajuk dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangan-
nya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun
segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke
Lembah Ular. *** 10 Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, uda-
ra berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang.
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melen-
gos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhati-
kan. "Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tempat sepi sana!" ledek
perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi.
Benar bukan, Kamanda?"
Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu
melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia
bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi
mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, ka-
rena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan
dada berdebar. "Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi
bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang
masih terulur padanya.
"Lho" Mengapa diacuhkan" Tiwi, genggam tangan
kekasihmu itu."
"Nyai ini! Menggoda melulu!"
Justru Jaka yang meraih tangannya dan meng-
genggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi
meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melang-
kah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun ber-
gemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya meman-
dang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia
mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini
membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...."
"Apakah..., apakah kau benar-benar setuju den-
gan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?"
Wajah Tiwi memerah. "Aku..., ah! Kau sendiri, bagaimana?" Tiwi malah balik
bertanya. Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada
gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku....
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengan
kau?" Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan ki-
dung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena se-
kian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?"
Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini Tiwi menoleh. Matanya menatap
malu-malu. "Kakang..., aku, aku..., setuju."
"Oh! Benarkah, Adikku?"
Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan
Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan. "Kau ti-
dak merasa terpaksa?"
Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," desis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat
pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia meli-
hat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?"
"Kau..., kau cantik, Tiwi...."
"Ah...."
Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertun-
duk. Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip
gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggeng-
gam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masing-
masing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi ge-
lagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepa-
lanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang
bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar sema-
kin keras. Akankah Kang Jaka menciumku" Ya, ya...!
Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!"
Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Semen-
tara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda
hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju
Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan
kalian. Ayo, Kamanda!"
Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, la-
lu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul ke-
dua guru masing-masing.
*** Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar
kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis
bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah
Tek Jien" Mengapa dia tidak muncul bersamamu?"
tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si
Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap
Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat ga-
dis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan mun-
cul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang
penuh tanggung jawab seperti itu."
"Bramantoro...."
Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin.
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama
Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bi-
sa mengetahuinya?"
"Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku
yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Pur-
nama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat
bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persila-
tan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai
orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penya-
mar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Ha-
kim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat
ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih kudengar. Maksudku, Raja
Penyamar, Pendekar Dungu,
dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok,
karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi,
berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terak-
hir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya.
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan
dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu di-
kenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, ke-
luarlah kau!"
Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela
Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah se-
luruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman
pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang
Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan
sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela
Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya ke-
hebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuh-
kan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara
sedikit pun! "Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin ber-
tambah." "Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin
tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin
menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh
yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persila-
tan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk
seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau
berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk membela orang lemah?"
"Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berk-
hotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar-
nya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah
panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang
banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung
denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Mun-
titi," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak tertarik dengan harta dan kedudukan
seperti yang kau ta-
warkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta
oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatan-
ganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!"
Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar
kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras
pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi
Eyang Purnama. Maka seketika puluhan anak buahnya dengan
senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua pu-
luh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, na-
mun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan
garang. Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpe-
lanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit
dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah
diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama, mengingatkan sambil
mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Ib-
lis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan
ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau
yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" desis Ni Muntiti sambil
mengebutkan tongkatnya.
Wuuut! Wuuuttt! Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti
yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan
cepat pula. Tak! Tak! Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing
beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam
mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu
sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekua-
tan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali
tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderu-
deru tajam. Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. "Kau akan
mampus di sini, Eyang Purnama!"
"Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis
Busuk!" Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak
lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari
satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela
Kereta. Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin
mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun ha-
dir di sini! Bagus, bagus sekali!"
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang
telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat.
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipa-
kainya. "Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!"
seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan ju-
rus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan den-
gan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara
itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya,
meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manu-
sia keparat ini!"
Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta
segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru me-
luruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis itu...!"
Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak
saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti Ki Kamanda dan Nyai Harum
yang menyerang Iblis
Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak
buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak
Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru terse-
nyum. "Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas
Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek
Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!"
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya"!" maki Iblis Penghela Kereta sambil mencecar
Nyai Harum dan Ki
Kamanda. Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta
bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak
menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang terse-
nyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang
jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan
kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga
dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari
Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka pakaiannya setelah bisa
menghindari terjangan kereta
tanpa kuda. Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih
melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah
sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu menda-
rat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang ada di wajahnya. Kali ini
terlihatlah seraut wajah tampan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang me-
nukik. Wajah Pendekar Slebor!
Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama
ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro as-
li, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai
Bramantoro! Memang, setelah berhasil membunuh Bramanto-
ro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat
itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk
beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk
ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat
Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu mem-
buat topeng memang salah satu keahlian Pendekar
Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sam-
pai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa
waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro
palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga le-
laki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah
dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak
lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda
diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin
kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu me-
mang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis
Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka.
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Ha-
rum yang sedang mengibaskan selendang warna-
warninya. Buk! "Akh...!"
Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu
menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki
Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela
Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum.
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar
biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Ha-
rum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki se-
rangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan
serangan padanya.
Buk! Des! Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta meng-
hantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur.
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk
menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Ka-
manda! Heaaa!"
Ki Kamanda berusaha berguling menghindari se-
rangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias
karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari
ini, juga. Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh te-
lah menderu, langsung memapak serangan Iblis Peng-
hela Kereta. Plak! Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke be-
lakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali
di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat sia-
pa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Ka-
manda. "Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan selu-
ruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk
memancing kemunculanmu, karena kau berhasil
mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-ri Lembah Ular!" desis
Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!"
sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan
tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diam-
diam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga da-
lam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang
terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika perta-
rungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta benar-benar marah karena
dibodohi Pendekar Slebor.
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien
sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pu-
pus itu! "Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pen-
dekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil meluruk dengan serangan
dahsyat. Setiap kali tubuhnya
bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tena-
ga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu
sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka
samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk
pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss! Buk! Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang
menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan
menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan
tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau
bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku
ini!" "Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau harus mampus!"
Andika kembali menderu dengan menambah te-
naga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti tingkat pamungkas. Namun
yang kembali membuatnya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat
pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan.
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahak-
bahak saja. "Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela
Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali
ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menye-
rang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berke-
lit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu
tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis
Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian semua mampus!" seru Iblis
Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...!
Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak
dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tu-
buhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu.
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golongan lurus ini tak membawa
hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau
begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar itu telah dialiri sebuah
ajian yang sukar ditembus. Malah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang.
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan
karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Se-
laksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di
tangannya. "Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika, menggetarkan.
*** Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama
dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya
sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah.
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti
sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi
ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya
puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi,
yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk
mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah"! Apakah kau
sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?"
balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu.
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghi-
lang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan
Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa sia-
sia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam
ilmunya. Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenar-
nya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung
dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mende-
sis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi saja. Sementara itu,
Pendekar Slebor kembali terheran-heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu
pula menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Ke-
reta. "Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?"
dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari
serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali
ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis
Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan
Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama.
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andi-
ka tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan
pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada
di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!"
"Hayo, serang aku lagi" Kenapa kau jadi bego be-
gitu, sih" Atau kau sebenarnya memang bego?"
Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela
Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya
terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk
maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'.
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya
tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Ib-
lis Penghela Kereta.
Blarrr.... Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui
keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan ter-
jadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pu-
kulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk! "Ughhh...!"
Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya
dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tena-
ganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak ka-
lau Andika tak akan mampu menghindari serangan.
Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan se-
mua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terja-
di. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan
hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang
membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa
yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas
luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berben-
turan. Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget.
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" desis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor
memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tan-
gannya telah terangkum pukulan aneh mengandung
panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah
ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti!
(Baca: 'Siluman Hutan Warin-gin'). Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
terkejut. Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan
rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar
Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta
yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak me-
reka menghentikan serangan, lalu berlarian menyela-
matkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang di-
pancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedang-
kan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka erat-
erat. Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi
telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki
ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya
melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi, menahan setiap
serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng
Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari
tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melang-
kah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah"!" seru Andika. "Mana ajian busukmu yang kau banggakan
itu?" Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke
sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi
Andika terus memburu dengan menampilkan kecepa-
tannya. Wuuut.... Prakk! Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Ib-
lis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian
'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, luruh menjadi abu!
Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat
kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar
Slebor. "He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya
jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta
masih berusaha mencoba melepas serangan dengan
mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera seran-
gannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas
mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias
menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa
menghindar pontang-panting dengan wajah semakin
pucat. "Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah"!"
geram Andika. Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain
bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Wuttt...! Angin laksana topan yang keluar dari kebutan
kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan
pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah.
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika menge-
luarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi
menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun
goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya ter-
hentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor meng-
hentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa
Geni' Dess...! "Aaa...!"
Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar,
begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di da-
danya. Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat un-
tuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka me-
nemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terka-
par penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan
'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini.
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis. "Cih!
Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali ke tempat semula. Tempat
Andika sedang mengatur
pernafasannya. "Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya. "Hebat! Hebat
sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mem-
pergunakannya untuk kejahatan...."
"Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Na-
ga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati
Andika. Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar
Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak ter-
jang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan
aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku masih diperkenankan
bertemu denganmu," puji Eyang Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda. "Kembalilah
ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar
Maut, semata untuk mengenang Buwana."
"Baik, Eyang."
"Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu de-
kat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan
dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudahlah.... Aku harus kembali
ke peristirahatan ku.... Luka dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek
Tongkat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak se-
gera diobati."
Wuuutt! Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah ber-
kelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Sua-
sana hening. "Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu..
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta
bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah ke-
heningan. "Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika merendah. Padahal hatinya berbunga-
bunga. "Kalau memang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita ber-
pisah saja."
"Kang Andika," panggil Jaka. "Terima kasih atas bantuanmu...."
"Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan
menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat ga-
dis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa
mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!"
"Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka, tak mempedulikan gurauan
Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa men-
jawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat tinggalku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat ce-
pat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan.
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya,
merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya ber-
paling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Bran-
tas?" "Ya.. Kau sendiri?"
"Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku
akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di
Gunung Kabul."
"Paman. bagaimana denganku" " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!"
Wuuut! Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan se-
bentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum
jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan
tangannya. "Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya
apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan
hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak
Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan
Lembah Ular. Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-sa menentukan jalan kita
berdua. Suatu saat, aku
mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di
Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas."
Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata ba-
sah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tem-
pat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyian-
nya. Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah
Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki
Kamanda dan Nyai Harum"
Ketika malam membentang. dan suasana sunyi
membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terban-
gun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya
mengandung amarah!
"Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang kumiliki!" desis Iblis Penghela
Kereta. Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus
di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema ke seluruh pelosok Lembah
Ular... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Gajahmada 10 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Darah Dan Cinta Di Kota Medang 10
Des! des! Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke bela-
kang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat men-
gibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan
segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenan-
kan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarun-
gan lagi!"
Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan
mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya
tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.
*** Suasana di sekitar Lembah Ular memang menge-
rikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis yang hidup di sana. Namun
bagi kedua tokoh kepercayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang me-
nyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan
ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro mem-
banting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor
berada, hah"!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Se-
mentara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil
memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku"!"
Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi" Bunuh gadis
keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah"! Yang ditugaskan untuk
membunuhnya adalah aku!"
"Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!"
sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku,
hah"!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak
"Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu,
kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis
jelita yang bersamanya" Dengan berlagak terserang se-
lendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempa-
tan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah
kau sebenarnya!"
"Bangsat!" maki Bramantoro. "Apakah kau pikir ada orang lain yang menyamar
sebagai aku, hah"! Tek
Jien Jangan menjual lagak di sini!"
"Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui
kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor"
Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara
darimu saja"!"
Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya
nampak sekali. "Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur.
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan na-
ma Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya
tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Ke-
reta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!"
cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!"
"Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang
membunuhnya!"
Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Ri-
nai yang masih menangis.
*** 10 Plak! Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramanto-
ro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pan-
dangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya"!"
bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba mem-
bunuhnya?" balas Bramantoro. "Ingat, Tek Jien! Aku-lah yang ditugaskan Kawan
Sunsang!" "Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor,
kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan
di mana pendekar sialan itu berada!"
Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan
kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon
besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati Rinai yang masih menangis.
"Gadis keparat! Di manakah Pendekar Slebor berada"!"
Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien
menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bra-
mantoro. Plak! "Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram.
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang
berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro ga-
rang. "Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta, aku lah yang berkenan
membunuhnya! Tetapi, rupanya saat ini kawan telah menjadi lawan!"
"Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku
sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan
Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku
pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!"
Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan
serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bra-
mantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta tidak salah memilih orang!"
kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung ke-
kuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan se-
kali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjum-
lah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bra-
mantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan ke-
pandaian memainkan kipas yang dijadikan senja-
tanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepan-
daiannya. Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja
melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan
serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, me-
nimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt.... Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas
panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa le-
laki setengah baya yang berwajah tampan itu mau
membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali ber-
temu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya.
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau
membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal
menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini sa-
ja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang
kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan
hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayan-
gan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelema-
han sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien
sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat
tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus
kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu'
milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berba-
haya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk den-
gan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba men-
galihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia
berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta
itu. Buk! "Ughhh...!"
Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas
Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke bela-
kang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wa-
jahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro.
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!"
Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang me-
lompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek
Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki
dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih he-
bat daripada Bramantoro.
Plak! Plak! Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang
terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri
sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-tiba saja tenaga dalam
Bramantoro mendadak menjadi
lebih hebat. "Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pengkhianat!"
Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali
dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemam-
puannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar
dikerahkan. Justru kesempatan seperti itu dipergunakan
Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan me-
luruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan
seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atas-
nya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet! "Aaakh...!"
Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga ter-
gores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki dari Tiongkok itu semakin
beringas. Serangannya semakin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi
mengendalikan nafsu membunuhnya!
Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan
tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya su-
dah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Braman-
toro. Dan serangan penutup yang dilakukan Braman-
toro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh dikibaskan ke leher Tek
Jien. Breeettt! Pluk! Pluk! Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya,
terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung
menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu berge-
tar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!"
Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit
menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirang-
kulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik,
cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja.
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan
semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air
matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk bercakap-cakap. Kau bebas. Aku
yang akan mempertang-
gung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!"
Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia men-
gucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil men-
gangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat
Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerom-
bolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."
*** Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika
terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja
dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu
melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti
kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru
muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada
sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk
melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam.
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma men-
jadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau"!" tanya Bramantoro dengan suara tenang, namun terkesan
lembut. "Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksi-
kan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu
akan terjadi."
"Hei"! Jangan berlagak seperti penyair India! Sebutkan namamu!"
"Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sahut lelaki itu sambil tersenyum.
"Rupanya, aku berhadapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang
telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun
ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Ka-
rena, kau akan mampus hari ini juga!"
"Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengen-
al dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-ja pertarungan kita kali
ini!" seru Bramantoro, menolak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah.
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbua-
tanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya ter-
lambat! Karena bila kita... heaaa!"
Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipas-
nya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap
orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali,
Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang
dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja.
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja
bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...! Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang
sedang berlari kencang mendadak saja membuang tu-
buhnya ke samping.
Blarrr.... Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar
memiliki ilmu yang sangat tinggi!"
Dengan cepat Bramantoro menambah larinya.
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya me-
langkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.
*** Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpe-
kur seperti menikmati malam yang semakin merambat
perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, ber-
sahutan. "Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah Ular," kata sosok yang lebih
muda dengan suara sengit. Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan
main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. Ingin rasanya dia mengadu jiwa
saat itu. Tak peduli ka-
lau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih
tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung se-
murni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Ti-
wi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan
yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat
Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas den-
dam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan te-
tapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang
lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percu-
ma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi,"
sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijak-
sana. "Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!"
"Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi!
Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lu-
rus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu
adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai
Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro
memang hendak menolongnya. Meskipun, disamar-
kan. Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kere-
ta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih
diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan
dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti
Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung
Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki
itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak
tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan
maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud
Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek
Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya"
Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa me-
nolongnya"
"Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah kesunyian karena sejak tadi dia pun
berdiam diri. "Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus
kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya ber-
dua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mere-
ka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena
kami pun akan menuju ke sana...."
Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul
dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat
siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jingga-
ku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang langsung melompat dari
kudanya. "Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulingan menghindari serangan Tiwi
yang beruntun. "Pemuda hidung belang! Kembalikan selendang-
ku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-sayangannya melilit di
pinggang Jaka. Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang
itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kemba-
li, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!"
Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan
biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka.
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri
tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terden-
gar menderu. Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera
disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di
tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu
tempo hari!"
Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke
arah Jaka. Ctaaarrr! Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos di-
rinya. "Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main se-
rang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus
mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia
membenci Jaka. Karena kalau saja selendang ke-
sayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek
Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari ku-
danya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di
sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan
Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis
Penghela Kereta?"
"Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya
tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa
kudanya yang dikendalikan tenaga dalam."
"Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?"
tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya bertanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat
"Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa
hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan datang ke Hutan Witis bila
sudah tiba di sana. Akan
tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak
muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia
tertangkap atau tewas di sana?"
Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Tak ada kalimat dari siapa pun dari orang-orang di
sana yang mengatakan
tentang Pendekar Slebor."
Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia me-
mang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena den-
gan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis
Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta dibantu tiga orang antek-
anteknya yang tangguh."
Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Se-
dikit banyaknya dia memang telah memperkirakan-
nya. Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang masih menyerang Jaka
dengan garang. Sementara,
Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil
berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Ti-
ba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyu-
man. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga mem-
perhatikan pertarungan. "Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari
kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kaman-
da. "Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas
mempunyai suami. Kau sendiri?"
"Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang memutuskan. Karena
sesungguhnya dia adalah murid
kakak seperguruanku, Ki Buwana."
"He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak
memutuskan."
"Aku akan memutuskannya, Nyai."
"Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!"
Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum. "Nyai
Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka."
Nyai Harum terkekeh-kekeh. "Kuterima lama-
ranmu itu, Kamanda!"
Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya
pada dua remaja yang sedang bertarung.
Wusss! Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang.
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat
itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...."
Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir
cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya me-
noleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tem-
patnya. "Ada apa sih"! Pemuda sialan itu harus dihajar!"
Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang
dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah mela-
mar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu."
"Apa?"
Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja
gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu
harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah
jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis,
dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang ber-
campur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan
ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi
justru gelagapan!
"Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan saja. Dan bila setuju,
katakan pula yang sesungguhnya...."
"Aku...."
"Nah, kenapa?"
"Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar
ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?"
"Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk
ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus
mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!"
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang
kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda
untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil tersenyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu
harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah
jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagai-
mana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya
agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis
ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah
memerah. Gelagapan lagi!
"Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku
ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana"
Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?"
Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka.
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku menginginkan kau dan Tiwi
menjadi suami istri abadi
yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju
Jaka?" Meskipun secara tidak langsung sudah menden-
gar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah
Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata
apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakan-
ku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Kamanda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Ka-
manda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari
meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang terta-
wa-tawa. "Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!"
ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...."
"Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi
waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut"
Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah ja-
tuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, ba-
wa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.."
Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemu-
dian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai
Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sa-
ma-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan,
Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, ba-
gaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kere-
ta. "Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor,"
sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua rema-
ja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian,
muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang
menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan me-
lihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum sa-
ja. "Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasangan yang cocok?" ujar Nyai
Harum. "Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka!
Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Ti-
wi?" Jaka menganggukkan kepalanya. "Ya, Paman.."
"Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum.
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi
justru merajuk dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangan-
nya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun
segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke
Lembah Ular. *** 10 Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, uda-
ra berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang.
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melen-
gos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhati-
kan. "Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tempat sepi sana!" ledek
perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi.
Benar bukan, Kamanda?"
Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu
melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia
bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi
mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, ka-
rena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan
dada berdebar. "Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi
bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang
masih terulur padanya.
"Lho" Mengapa diacuhkan" Tiwi, genggam tangan
kekasihmu itu."
"Nyai ini! Menggoda melulu!"
Justru Jaka yang meraih tangannya dan meng-
genggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi
meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melang-
kah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun ber-
gemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya meman-
dang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia
mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini
membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...."
"Apakah..., apakah kau benar-benar setuju den-
gan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?"
Wajah Tiwi memerah. "Aku..., ah! Kau sendiri, bagaimana?" Tiwi malah balik
bertanya. Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada
gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku....
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengan
kau?" Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan ki-
dung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena se-
kian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?"
Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini Tiwi menoleh. Matanya menatap
malu-malu. "Kakang..., aku, aku..., setuju."
"Oh! Benarkah, Adikku?"
Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan
Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan. "Kau ti-
dak merasa terpaksa?"
Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," desis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat
pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia meli-
hat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?"
"Kau..., kau cantik, Tiwi...."
"Ah...."
Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertun-
duk. Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip
gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggeng-
gam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masing-
masing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi ge-
lagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepa-
lanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang
bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar sema-
kin keras. Akankah Kang Jaka menciumku" Ya, ya...!
Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!"
Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Semen-
tara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda
hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju
Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan
kalian. Ayo, Kamanda!"
Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, la-
lu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul ke-
dua guru masing-masing.
*** Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar
kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis
bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah
Tek Jien" Mengapa dia tidak muncul bersamamu?"
tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si
Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap
Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat ga-
dis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan mun-
cul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang
penuh tanggung jawab seperti itu."
"Bramantoro...."
Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin.
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama
Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bi-
sa mengetahuinya?"
"Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku
yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Pur-
nama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat
bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persila-
tan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai
orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penya-
mar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Ha-
kim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat
ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih kudengar. Maksudku, Raja
Penyamar, Pendekar Dungu,
dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok,
karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi,
berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terak-
hir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya.
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan
dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu di-
kenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, ke-
luarlah kau!"
Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela
Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah se-
luruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman
pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang
Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan
sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela
Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya ke-
hebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuh-
kan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara
sedikit pun! "Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin ber-
tambah." "Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin
tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin
menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh
yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persila-
tan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk
seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau
berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk membela orang lemah?"
"Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berk-
hotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar-
nya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah
panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang
banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung
denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Mun-
titi," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak tertarik dengan harta dan kedudukan
seperti yang kau ta-
warkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta
oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatan-
ganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!"
Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar
kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras
pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi
Eyang Purnama. Maka seketika puluhan anak buahnya dengan
senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua pu-
luh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, na-
mun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan
garang. Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpe-
lanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit
dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah
diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama, mengingatkan sambil
mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Ib-
lis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan
ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau
yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" desis Ni Muntiti sambil
mengebutkan tongkatnya.
Wuuut! Wuuuttt! Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti
yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan
cepat pula. Tak! Tak! Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing
beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam
mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu
sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekua-
tan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali
tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderu-
deru tajam. Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. "Kau akan
mampus di sini, Eyang Purnama!"
"Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis
Busuk!" Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak
lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari
satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela
Kereta. Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin
mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun ha-
dir di sini! Bagus, bagus sekali!"
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang
telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat.
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipa-
kainya. "Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!"
seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan ju-
rus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan den-
gan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara
itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya,
meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manu-
sia keparat ini!"
Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta
segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru me-
luruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis itu...!"
Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak
saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti Ki Kamanda dan Nyai Harum
yang menyerang Iblis
Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak
buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak
Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru terse-
nyum. "Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas
Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek
Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!"
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya"!" maki Iblis Penghela Kereta sambil mencecar
Nyai Harum dan Ki
Kamanda. Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta
bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak
menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang terse-
nyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang
jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan
kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga
dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari
Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka pakaiannya setelah bisa
menghindari terjangan kereta
tanpa kuda. Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih
melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah
sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu menda-
rat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang ada di wajahnya. Kali ini
terlihatlah seraut wajah tampan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang me-
nukik. Wajah Pendekar Slebor!
Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama
ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro as-
li, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai
Bramantoro! Memang, setelah berhasil membunuh Bramanto-
ro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat
itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk
beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk
ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat
Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu mem-
buat topeng memang salah satu keahlian Pendekar
Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sam-
pai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa
waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro
palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga le-
laki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah
dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak
lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda
diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin
kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu me-
mang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis
Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka.
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Ha-
rum yang sedang mengibaskan selendang warna-
warninya. Buk! "Akh...!"
Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu
menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki
Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela
Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum.
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar
biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Ha-
rum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki se-
rangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan
serangan padanya.
Buk! Des! Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta meng-
hantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur.
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk
menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Ka-
manda! Heaaa!"
Ki Kamanda berusaha berguling menghindari se-
rangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias
karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari
ini, juga. Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh te-
lah menderu, langsung memapak serangan Iblis Peng-
hela Kereta. Plak! Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke be-
lakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali
di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat sia-
pa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Ka-
manda. "Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan selu-
ruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk
memancing kemunculanmu, karena kau berhasil
mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-ri Lembah Ular!" desis
Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!"
sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan
tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diam-
diam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga da-
lam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang
terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika perta-
rungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta benar-benar marah karena
dibodohi Pendekar Slebor.
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien
sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pu-
pus itu! "Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pen-
dekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil meluruk dengan serangan
dahsyat. Setiap kali tubuhnya
bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tena-
ga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu
sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka
samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk
pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss! Buk! Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang
menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan
menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan
tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau
bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku
ini!" "Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau harus mampus!"
Andika kembali menderu dengan menambah te-
naga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti tingkat pamungkas. Namun
yang kembali membuatnya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat
pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan.
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahak-
bahak saja. "Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela
Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali
ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menye-
rang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berke-
lit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu
tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis
Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian semua mampus!" seru Iblis
Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...!
Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak
dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tu-
buhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu.
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golongan lurus ini tak membawa
hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau
begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar itu telah dialiri sebuah
ajian yang sukar ditembus. Malah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang.
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan
karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Se-
laksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di
tangannya. "Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika, menggetarkan.
*** Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama
dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya
sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah.
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti
sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi
ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya
puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi,
yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk
mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah"! Apakah kau
sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?"
balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu.
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghi-
lang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan
Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa sia-
sia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam
ilmunya. Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenar-
nya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung
dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mende-
sis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi saja. Sementara itu,
Pendekar Slebor kembali terheran-heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu
pula menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Ke-
reta. "Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?"
dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari
serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali
ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis
Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan
Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama.
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andi-
ka tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan
pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada
di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!"
"Hayo, serang aku lagi" Kenapa kau jadi bego be-
gitu, sih" Atau kau sebenarnya memang bego?"
Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela
Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya
terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk
maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'.
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya
tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Ib-
lis Penghela Kereta.
Blarrr.... Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui
keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan ter-
jadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pu-
kulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk! "Ughhh...!"
Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya
dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tena-
ganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.
Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak ka-
lau Andika tak akan mampu menghindari serangan.
Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan se-
mua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terja-
di. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan
hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang
membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa
yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas
luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berben-
turan. Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget.
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" desis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor
memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tan-
gannya telah terangkum pukulan aneh mengandung
panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah
ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti!
(Baca: 'Siluman Hutan Warin-gin'). Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
terkejut. Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan
rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar
Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta
yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak me-
reka menghentikan serangan, lalu berlarian menyela-
matkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang di-
pancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedang-
kan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka erat-
erat. Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi
telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki
ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya
melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi, menahan setiap
serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng
Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari
tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melang-
kah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah"!" seru Andika. "Mana ajian busukmu yang kau banggakan
itu?" Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke
sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi
Andika terus memburu dengan menampilkan kecepa-
tannya. Wuuut.... Prakk! Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Ib-
lis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian
'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, luruh menjadi abu!
Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat
kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar
Slebor. "He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya
jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta
masih berusaha mencoba melepas serangan dengan
mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera seran-
gannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas
mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias
menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa
menghindar pontang-panting dengan wajah semakin
pucat. "Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah"!"
geram Andika. Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain
bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Wuttt...! Angin laksana topan yang keluar dari kebutan
kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan
pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah.
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika menge-
luarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi
menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun
goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya ter-
hentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor meng-
hentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa
Geni' Dess...! "Aaa...!"
Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar,
begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di da-
danya. Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat un-
tuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka me-
nemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terka-
par penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan
'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini.
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis. "Cih!
Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali ke tempat semula. Tempat
Andika sedang mengatur
pernafasannya. "Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya. "Hebat! Hebat
sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mem-
pergunakannya untuk kejahatan...."
"Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Na-
ga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati
Andika. Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar
Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak ter-
jang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan
aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku masih diperkenankan
bertemu denganmu," puji Eyang Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda. "Kembalilah
ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar
Maut, semata untuk mengenang Buwana."
"Baik, Eyang."
"Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu de-
kat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan
dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudahlah.... Aku harus kembali
ke peristirahatan ku.... Luka dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek
Tongkat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak se-
gera diobati."
Wuuutt! Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah ber-
kelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Sua-
sana hening. "Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu..
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta
bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah ke-
heningan. "Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika merendah. Padahal hatinya berbunga-
bunga. "Kalau memang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita ber-
pisah saja."
"Kang Andika," panggil Jaka. "Terima kasih atas bantuanmu...."
"Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan
menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat ga-
dis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa
mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!"
"Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka, tak mempedulikan gurauan
Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa men-
jawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat tinggalku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat ce-
pat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan.
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya,
merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya ber-
paling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Bran-
tas?" "Ya.. Kau sendiri?"
"Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku
akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di
Gunung Kabul."
"Paman. bagaimana denganku" " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!"
Wuuut! Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan se-
bentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum
jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan
tangannya. "Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya
apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan
hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak
Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan
Lembah Ular. Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-sa menentukan jalan kita
berdua. Suatu saat, aku
mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di
Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas."
Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata ba-
sah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tem-
pat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyian-
nya. Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah
Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki
Kamanda dan Nyai Harum"
Ketika malam membentang. dan suasana sunyi
membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terban-
gun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya
mengandung amarah!
"Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang kumiliki!" desis Iblis Penghela
Kereta. Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus
di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema ke seluruh pelosok Lembah
Ular... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Gajahmada 10 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Darah Dan Cinta Di Kota Medang 10