Jodoh Sang Pendekar 1
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Bagian 1
JODOH SANG PENDEKAR Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Malam pekat menyapa alam. Sunyi! Binatang ma-
lam seperti enggan bernyanyi. Entah kenapa. Mungkin
terganggu oleh satu sosok tubuh berpakaian kuning-
kuning yang terus berkelebat cepat bagai dikejar sesuatu. Berkali-kali tubuhnya
terpuruk mencium tanah.
Karena kakinya terantuk akar-akar pohon. Namun di-
paksakannya untuk terus berlari. Larinya pun sem-
poyongan. Keringat sudah banyak mengalir di sekujur
tubuhnya. Kelelahan benar-benar menyiksanya.
Empat puluh tombak di belakang sosok itu, tiga
lelaki berwajah menyeramkan mengejar dengan kuda.
Berkali-kali mereka berteriak-teriak memanggil nama
sosok yang dikejar, diiringi nada marah. Tentu saja sosok ramping berpakaian
serba kuning yang ternyata
seorang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Wajah
cantiknya menjadi pias. Dia merasa harus bersem-
bunyi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, di mana harus bersembunyi"
Kalau tidak sedang dikejar, sudah tentu gadis
berpakaian serba kuning tak akan berani memasuki
hutan lebat seperti ini. Membayangkannya saja tak
pernah. Apalagi sampai memasuki tempat mengerikan
ini. Namun gadis itu tetap memaksakan diri dengan
mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk melepaskan diri
dari kejaran. Gadis ini tidak mau sampai ditangkap ketiga pengejarnya. Dia harus
menyelamatkan diri den-
gan cara apa pun. Karena bila ditangkap, ia tahu apa
yang akan dialaminya. Sudah tentu sesuatu yang san-
gat menakutkan!
Tiga lelaki di atas kuda yang semua berpakaian
warna merah itu terus memburu. Kuda-kuda mereka
berlari tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Kegelapan hutan itu membuat
mereka harus berhati-hati.
Sesekali mereka berhenti memperhatikan sekeliling.
Jika merasa pasti tak melihat, atau mendengar sosok
yang diburu, mereka melanjutkan pencarian.
Di sebuah tempat yang agak terbuka, ketiganya
kembali menghentikan laju kuda. Kini pakaian warna
merah yang dikenakan semakin nyata, Di pinggang
masing-masing terdapat sebilah parang besar.
"Savitri! Ayolah keluar, Manis.... Dewa Api menunggumu! Kau harus mau dijadikan
istrinya! Ayolah,
Savitri! Jangan sampai membuat kemarahanku men-
jadi-jadi! Ku bakar nanti hutan ini!" teriak salah seorang penunggang kuda.
Sementara gadis berpakaian serba kuning yang
bernama Savitri itu sebenarnya sedang bersembunyi di
balik sebuah pohon besar. Dia merasa tak sanggup lagi melanjutkan larinya.
Dadanya semakin berdebar kencang. Gemuruh jantungnya disertai napas tersengal
te- rus mencecarnya. Savitri berusaha untuk tidak menge-
luarkan suara. Maka dengan susah payah mulutnya
sesekali ditutup.
"Jangan sampai aku memaksamu untuk keluar,
Savitri! Ayo. keluar! Atau, benar-benar akan ku bakar hutan ini!" ancam orang
berkuda itu, menggebah ke-sunyian alam. Saking kerasnya, membuat seekor tupai
yang tengah mencari makan di atas ranting pohon pun
terjatuh. Savitri semakin ketakutan. Dia berusaha mera-
patkan tubuhnya. Sementara angin malam yang dingin
membelai-belai sekujur tubuhnya. Tidak! Dia tidak
mau dijadikan istri Dewa Api. Terbayang bagaimana
ayah, ibu dan kedua adiknya tadi dibantai ketiga ma-
nusia durjana itu gara-gara dia menolak diminta men-
jadi istri Dewa Api. Dan sekarang, hanya ialah satu-
satunya yang tersisa dari keluarganya. Maka tak heran kalau Savitri berusaha
sekuat tenaga agar tidak sampai ditemukan ketiga manusia laknat itu.
"Ayolah, Manis,... Dimana kau bersembunyi?" Suara menyebalkan itu terdengar
kembali. Dan sosok tu-
buhnya sudah melompat dari kudanya, diikuti kedua
penunggang kuda yang lain.
Savitri berusaha untuk menahan semburan na-
fasnya yang memburu. Dia harus tetap bertahan di si-
ni. Namun apa yang diharapkan tak pernah terjadi.
Karena.... "Auuuwww...!"
Tiba-tiba saja gadis cantik itu menjerit setinggi
langit saking kagetnya. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri salah seorang dari
ketiga sosok berpakaian merah-merah. Dengan seringai buas dan sinar mata keji,
dia perlahan-lahan menghampiri Savitri.
Dengan ketakutan luar biasa, serentak Savitri me-
lompat untuk berlari. Dan malang benar nasibnya. Ka-
rena, tangan orang itu sudah berhasil menangkap tu-
buhnya. Gadis ini langsung meronta-ronta, berusaha mele-
paskan diri. Namun, orang bercambang bauk yang
menangkapnya justru semakin erat merangkulnya.
Bahkan membawanya ke tempat kedua temannya me-
nunggu. "Bagus, Jaradeta! Naikkan dia ke kudamu! Kita
harus segera kembali!" seru lelaki lain sambil melompat kembali ke punggung
kudanya. "Tentu saja, Gumila! Tentu ketua akan senang me-
lihat kerja kita..."
Sambil terbahak-bahak lelaki bercambang bauk
yang bernama Jaradeta memaksa Savitri untuk naik
ke kudanya. Sementara gadis manis itu berusaha berontak se-
kuat tenaga. Teriakan-teriakannya menggema ke selu-
ruh hutan yang lebat ini Dan ini membuat Jaradeta
menjadi jengkel. Dengan sekali mengayunkan tangan,
Savitri terkulai pingsan.
"Hhh! Begini lebih baik!" desisnya. Langsung di-lemparnya tubuh molek Savitri ke
atas punggung ku-
danya. Lalu, dia sendiri naik di belakang tubuh Savitri yang terkulai pingsan.
Ini adalah kesempatan pertama kita yang baik se-
kali untuk seterusnya mengabdi pada Dewa Api! Kita
kembali ke Bukit Harimau!" ujar lelaki teman Jaradeta, yang dipanggil Gumila.
Akan tetapi, begitu ketiganya mencoba membalik-
kan arah kuda, tiba-tiba saja ketiganya tersentak. Karena kuda-kuda mereka tak
bergerak sedikit pun!
"Bangsat! Ada apa lagi ini"!" maki Gumila.
Kembali lelaki ini mencoba menyentakkan tali ke-
kang kudanya. Namun, kudanya tetap berdiri tegar
tanpa bergeser sedikit pun. Dengan penuh kegeraman
Gumila melompat memeriksa kudanya.
"Manusia edan mana yang berani mati"!" dengus Gumila keras, mengandung kegeraman
yang meledak-ledak di ubun-ubun.
Begitu mendengar seruan Gumila, Jaradeta dan
teman satunya segera melompat dari kuda. Pandangan
ketiganya tajam, mencoba menembus kegelapan hutan
dan malam yang semakin menyeret waktu.
"Manusia busuk! Keluar kau!" seru Gumila geram.
Lelaki ini benar-benar tersentak menyadari kalau
kuda-kuda mereka telah ditotok, sehingga tak bisa
bergerak. Untuk menemukan di mana letaknya toto-
kan itu sangat sulit.
Dan sebelum ketiganya berteriak keras...
"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa" Kuda kalian
mau buang hajat kali..." Atau, kalian tak begitu pandai menunggangnya" Nah, ini
kesempatan baik untuk ber-latih!"
Mendadak terdengar seruan mengejek dari atas
pohon, membuat ketiga lelaki berpakaian serba merah
ini tersentak. *** Seketika ketiganya mengangkat wajah. Dan tam-
paklah sosok tubuh tengah duduk santai di sebuah
ranting pohon besar dengan kedua kaki menjuntai-
juntai. "Keparat! Rupanya kau ingin mampus! Cepat tu-
run, Anak Kemarin Sore! Biar ku sunat burung mu!"
maki Gumila, sewot.
"Wah, wah.... Biar anak kemarin sore, tapi kalau sunat-menyunat, pasti daging
burung mu lebih alot,
kan?" Gumila menggeram. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melenting ke atas dengan parang di tangan di-
kekebut. Crasss! Ranting yang tadi diduduki sosok tubuh itu pecah
berantakan. Sementara Gumila sendiri sudah hinggap
kembali di antara teman-temannya. Tetapi yang mem-
buatnya terkejut, ternyata sosok tubuh tadi tak terlihat lagi. "Gila! Anak
kemarin sore dari mana berani menantang Tiga Parang Penunggang Kuda"!" makinya
murka. "Tentu saja anak kemarin sore dari kayangan yang berani menantang sapi-sapi
busuk bau apek!"
Tiba-tiba terdengar sahutan dari belakang. Seren-
tak ketiganya berbalik dengan tatapan geram. Kali ini mereka bisa melihat jelas,
siapa gerangan sosok tubuh itu. Wajahnya tampan dengan sepasang alis mirip
kepakan sayap elang. Rambutnya yang gondrong dan tak
rapi dipermainkan angin malam. Begitu pula pakaian-
nya yang berwarna hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur di bahu.
"Kenalkan nama sebelum nyawamu ku cabut!"
sentak Gumila dengan kegeraman membludak.
"Wah.. Namaku terlalu mahal untuk diperkenal-
kan ke telinga kalian yang congekan itu. Dan asal tahu saja aku ingin agar gadis
itu dilepaskan...," sahut si pemuda.
"Sok jadi pahlawan! Mampuslah kau!" Gumila sudah melompat dengan kibasan
parangnya. Begitu pula
yang dilakukan kedua kawannya.
Pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-
tawa saja. Dia tak bergerak sedikit pun dari berdirinya.
Namun begitu ketiga penyerangnya mendekat, tiba-tiba
saja kedua kakinya diangkat dan tangannya diayun-
kan. Duk! Duk! Duk!
"Aaakft!!!"
Tiga tubuh lelaki berjuluk Tiga Parang Penung-
gang Kuda terbanting ke belakang. Namun serentak
mereka bangkit dengan kegeraman menjadi-jadi.
Sementara Gumila merasakan asin di mulutnya.
Dan wajahnya langsung kelam menyadari hanya sekali
gebrak saja telah dibuat berantakan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, Tiga Parang
Penunggang Kuda menderu kencang ke arah si pemu-
da yang masih tegak berdiri di tempatnya.
"Monyet buduk! Bukannya pergi dari sini, malah
memaksaku berbuat lebih!" maki pemuda itu. Kembali kaki dan tangannya bergerak.
Kecepatannya sangat
sulit ditangkap dengan mata.
Kembali pula seperti halnya yang pertama tadi,
ketiga lelaki Seram bergulingan ke belakang. Gumila
merasa tulang hidungnya patah. Jaradeta tiba-tiba
merasakan nafasnya menjadi sesak. Sementara yang
seorang lagi meraung keras karena tangannya yang
menggenggam parang tadi patah. Sedangkan parang-
nya sendiri jatuh entah ke mana.
Orang ini sering dipanggil dengan nama Marsusa.
"Itu upah kalian yang mengganggu keasyikkan ti-
durku!" rutuk si pemuda dengan tersenyum. "Ayo, pergi dari sini sebelum ku sunat
burung kalian. Hus...!
Hus...! Hus...!"
Kegarangan Tiga Parang Penunggang Kuda pun
meluntur sudah, meskipun mata mereka memancar-
kan dendam yang besar. Apalagi diusir macam ayam
kampung. "Orang muda..., siapa kau sebenarnya, hah"!"
tanya Gumila. "Mau apa sih, tanya-tanya segala"! Baik supaya
kalian tak penasaran, namaku Andika! Orang-orang
rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor! He he
he...! Julukan yang bagus, bukan?"
Terbukalah mata Tiga Parang Penunggang Kuda,
Terutama sepasang mata besar dari Gumila. Pantas bi-
la mereka tak berhasil merobohkan pemuda ini. Na-
mun meskipun kegarangannya telah luntur, kegera-
man di hatinya semakin mengeras!
"Pendekar Slebor..., kau tunggu pembalasan ka-
mi!" ancam Gumila.
"Lho, kok" Ngancam, nih" Sudah, sudah! Pergi
sana. Aku bosan melihat tampang kalian!"
Gumila masih sempat melemparkan pandangan
sengitnya, sebelum bergegas meninggalkan hutan itu
dengan menahan rasa sakit di bagian tubuh. Tinda-
kannya diikuti dua temannya.
Pemuda berbaju hijau pupus yang ternyata Andi-
ka menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampi-
rinya sosok Savitri yang masih terkulai di atas punggung kuda yang tak bisa
bergerak. Diangkatnya tubuh
ramping berbau harum itu. Lalu direbahkannya di atas
rumput yang mulai basah oleh embun.
"Cantik," gumam Pendekar Slebor setelah memperhatikan wajah Savitri yang kedua
matanya terka- tup. Dalam sekali lihat saja Andika tahu di mana letak totokan yang membuat
Savitri pingsan. Dibukanya totokan itu dengan sekali menekan ibu jarinya.
Sejenak tubuh Savitri terlonjak kaget, terdengar keluhan lem-
butnya dengan mata tetap terpejam.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor menunggu gadis itu membuka
matanya. Namun nampaknya Savitri benar-benar kele-
lahan. Hingga meskipun sudah terbebas dari totokan
itu, gadis ini segera tertidur.
Andika pun merebahkan tubuh di sisi Savitri.
Ditatapnya pohon-pohon besar itu sambil telen-
tang. Sinar rembulan hanya sedikit sekali yang bisa
menerobos rimbunnya pepohonan.
*** 2 "Pokoknya, kau harus mencari Pendekar Slebor,
Menur! Aku menghendaki dia berjodoh denganmu!"
Mungkin suara orang habis buang hajat kalah ke-
ras dibanding suara bentakan yang barusan terdengar.
Penuh semangat. Sepertinya perintah itu adalah sabda
yang harus dilaksanakan gadis yang dipanggil Menur.
"Tetapi, Guru.... Bukankah Guru sudah menden-
gar sendiri kalau Kang Andika menginginkan perjodo-
han itu ditunda?" sanggah si gadis dengan alis sudah hampir bertaut.
"Hhh! Setan alas dengan pemuda urakan itu! Apa
kau tidak tahu kalau dia sengaja menunda-
nundanya?" tukas si lelaki tua yang dipanggil Guru.
Dia tak lain adalah Kaliki Lorot.
"Itu berarti keinginan guru, agar dia berjodoh denganku tidak disetujuinya."
"Pokoknya aku tidak mau tahu! Hari ini juga, kau harus berangkat mencarinya!"
tandas Kaliki Lorot.
"Guru!"
"Jangan membantah, Menur! Berangkatlah! Cari
calon suamimu itu...," ujar Kaliki Lorot, tak ingin di-bantah lagi.
Memang, dua orang itu adalah guru dan murid. Si
murid yang bernama Menur duduk di lantai pendopo
sebuah bangunan kecil. Wajahnya bulat telur dengan
rambut tergerai. Pakaiannya ringkas berwarna biru,
mencetak bentuk tubuhnya. Di punggungnya terdapat
sebilah pedang berwarna hitam.
Berkali-kali Menur menghela napas, mendengar
perintah gurunya yang memang sangat sukar diban-
tah. Dan teringat pada Pendekar Slebor yang dikata-
kan gurunya, membuat Menur teringat kembali pada
peristiwa beberapa bulan yang lalu.
"Guru..., apakah masalah perjodohan ini tidak bi-sa ditunda lagi?" tanya Menur
seraya mengangkat kepalanya.
Kaliki Lorot yang juga berwajah bulat menggeleng-
kan kepalanya. Dia mengenakan pakaian warna hitam.
"Tidak! Aku hanya ingin melihat kau berjodoh
dengan Pendekar Slebor!" sahut Kaliki Lorot tegas.
"Tetapi, Guru..."
Sepasang mata hitam Kaliki Lorot kontan melotot.
Mungkin mata orang yang sekarat kalah besar dengan
mata melotot lelaki tua ini.
"Mengapa kau selalu membantah, hah"! Apakah
kau sebenarnya tidak mencintainya?"
Menur terdiam. Gadis cantik dengan hidung ban-
gir dan bibir memerah tipis itu menundukkan kepa-
lanya. Bayang-bayang beberapa bulan lalu kembali
menari-nari di benaknya. Mengejeknya, agar cintanya
terbangkit kembali. Ah! Sudah jelas dia jatuh hati pada Pendekar Slebor. Hanya
saja,' malu menunjukkannya
pada siapapun juga. Terutama mengingat Pendekar
Slebor yang menginginkan masalah perjodohan itu di-
tunda lebih dulu.
Akan tetapi, Menur yakin kalau sesungguhnya
Pendekar Slebor menolak secara halus. Mungkin hal
itu dilakukan Pendekar Slebor karena merasa didesak
terus-menerus oleh gurunya (Untuk lebih jelas menge-
tahui siapa Menur dan Kaliki Lorot, silakan baca epi-
sode : "Malaikat Peti Mati").
"Hei, kenapa kau terdiam lagi, hah"! Kasmaran,
ya?" ledek Kaliki Lorot.
Menur mengangkat kepalanya. Memperhatikan
wajah bulat gurunya. Dia mendesah panjang.
"Baiklah Guru... Aku akan mencarinya...," kata Menur, menyetujui.
Seketika terdengar tawa keras Kaliki Lorot. Perut-
nya sampai terguncang-guncang.
"Itu baru muridku! Kalau kau sudah bertemu
dengannya, seret dia ke sini! Mengerti?"
Menur kembali hanya menganggukkan kepalanya
saja. Tak tahu harus berbuat apa. Karena dia yakin,
bila menolak perintah, gurunya akan marah besar.
*** Dengan seekor kuda, Menur meninggalkan pon-
dok kecil di lembah tempat tinggalnya selama ini. Da-
lam hal menunggang kuda, Menur termasuk salah seo-
rang jagonya. Dia tak melihat gurunya melepas keper-
giannya. Berarti, Kaliki Lorot akan muncul di hada-
pannya bila gadis itu sudah membawa Pendekar Sle-
bor. Di punggung kudanya yang berjalan tak begitu
kencang, berjuta pikiran bermain di benak Menur. Ber-
juta kegalauan simpang siur dalam perasaannya.
Duh..., mencari seorang pemuda" Apakah ini pantas
dilakukan seorang gadis"
Namun Menur akan lebih gelisah lagi bila mem-
bayangkan bagaimana kemarahan gurunya bila meno-
lak perintah. Rasanya memang sakit. Namun mau di-
apakan lagi"
Meskipun tak tahu ke mana harus mencari Pen-
dekar Slebor, Menur terus mengarahkan kudanya ke
arah selatan. Dia pun tak yakin bisa menemukan pe-
muda pewaris ilmu Lembah Kutukan yang mempunyai
berjuta langkah.
Kalaupun bisa menemukannya, apakah Menur
akan mengatakan, Kang Andika..., ingatkah kau pada
perjodohan kita" Aku ingin segera menjadi istrimu.
Oh, tidak! Tidak mungkin dia mengatakan seperti
itu. Rasanya terlalu bodoh dan memalukan! Benar-
benar tak menentu perasaan gadis itu sekarang ini.
Tepat matahari di tengah kepala, Menur tiba di
sebuah desa. Kini kudanya digebah cepat. Kelincahan-
nya benar-benar nampak sekali saat menunggang ku-
da. Namun kegalauan di hatinya benar-benar mem-
buatnya tak tenang.
Namun, tiba-tiba saja laju kuda Menur terhenti.
Sepasang kaki depan kudanya langsung terangkat dis-
ertai ringkikan keras. Menur tersentak dan segera be-
rusaha mengatasi keseimbangan kudanya. Akibatnya,
dia harus terlempar ke tanah. Kalau saja tidak sigap, tubuhnya bisa terbanting
di tanah. Selagi kudanya mengamuk tak menentu, Menur
cepat menyergap dan menenangkannya. Sesaat bisa
terlihat kalau kudanya begitu gelisah. Pasti ada sesua-tu yang mengganggunya.
Ini bukan omong kosong, ka-
rena Menur sangat mengetahui sifat kudanya.
"Tenang Manis.. tenang...," bujuk Menur.
"Auummm...!
Mendadak saja terdengar auman yang sangat ke-
ras, seperti hendak menggetarkan isi alam ini. Tak la-ma, melompat seekor hewan
besar dengan kulit be-
lang. Si Manis kembali meringkik. Sementara Menur
sendiri bergidik sejenak melihat binatang yang ternyata seekor harimau besar.
Belum lagi Menur bisa menguasai keterkejutan-
nya.... "Busyet! Ke mana lagi si Belang?"
Terdengar bentakan keras yang disusul muncul-
nya satu sosok tubuh ramping berwajah cantik dengan
rambut tergerai panjang. Pakaiannya terbuat dari Kulit harimau. Bagian bahu
sebelah kanan terbuka. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang.
Gadis cantik ini mengomel-ngomel ketika melihat
harimau yang ternyata peliharaannya sudah merebah-
kan tubuhnya. "Bandel! Kau harus dikurung saja, Belang".
Lalu bagaikan seorang ibu, gadis berpakaian ha-
rimau ini menepuk kepala harimau yang kelihatan
sangat menurut padanya.
Menur menarik napas lega melihat kalau gadis
berpakaian kulit harimau adalah majikan dari harimau
itu. Gadis berpakaian harimau itupun berdiri.
"Maaf ya" Memang bandel si Belang ini! Tahu-tahu dia sudah menghilang tadi!"
ucap gadis itu pada Menur. Menur hanya tersenyum saja. Bila melihat wajah-
nya, sudah tentu gadis ini tidak berbeda jauh usia
dengannya. "Tidak apa-apa, meskipun cukup mengejutkan ta-
di," sahut Menur.
"Tetapi si Belang baik, Asalkan jangan dijahati. Oh ya.... Namaku Sari"
"Namaku Menur".
Kedua gadis ini saling melepas senyum. Gadis
bersama harimau yang mengaku bernama Sari itu
memang putri Ki Wirayuda, si Penguasa Harimau (Un-
tuk lebih mengenal Sari, silakan baca serial Pendekar Slebor dalam episode :
"Raja Akherat", "Neraka di Kera-ton Barat" dan "Sengketa di Gunung Merbabu")
"Hendak kemanakah kau Menur" "tanya Sari
sambil memperhatikan wajah cantik dihadapannya.
Sedikit banyaknya, Sari bisa melihat kedukaan di
mata yang bening itu. Oh.... Kedukaan apakah yang
tengah dialami kawan barunya ini"
"Aku...,sedang mencari seseorang"
"Siapakah dia"!"
"Maafkan aku, Sari, Bukannya aku tak ingin men-
gatakannya kepadamu. Tetapi, kau kan tahu, sekali
waktu, orang pasti mempunyai rahasia," desah Menur.
Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggang-
gu hati Sari, tetapi dia maklumi juga.
"Kau sendiri?" tanya Menur kemudian.
"Oh! Aku sedang mencari si pemuda urakan! Huh!
Sebel! Katanya ingin mengunjungi ku. Tetapi sudah
beberapa purnama, dia tak pernah datang! Jadinya
aku mencarinya!"
Justru kebalikan dari sikapnya, Sari langsung
menggerutu dan berkata terus terang.
"Siapa dia, Sari?" tanya Menur tersenyum. Hatinya yakin, kalau yang sedang
dicari adalah kekasih Sari
sendiri. Ah! Alangkah bahagianya mencari seorang
yang disayangi dengan penuh rindu bercampur pena-
saran. "Kang Andika!" sebut Sari, terus terang.
Kalau tadi Menur tersenyum, kali ini mengerutkan
keningnya. "Kang Andika?" ulang Menur.
"Ya. Pemuda brengsek itu!" mulut Sari membentuk kerucut. "Tetapi biarpun begitu,
aku menyukainya, lho!" Kali ini Menur terdiam. Ada sesuatu yang asing di
hatinya, sesuatu yang tak bisa dimengerti mengapa bi-sa muncul secara tiba-tiba.
Apakah Andika yang di-
maksud Sari adalah....
"Hei, kenapa diam?" celetuk Sari membuyarkan lamunan Menur.
Menur mencoba tersenyum. Ditatapnya dara jelita
di hadapannya. Sekali bertemu Sari, Menur bisa me-
nebak sifatnya yang polos, terbuka dan jujur. Bahkan
ada terkesan manja. Kalau sifat yang terakhir itu, dia pun mempunyainya.
"Bolehkah aku tahu, siapa dia?" tanya Menur.
Kali ini wajah Sari memerah. Hatinya kelihatan
ragu untuk mengatakannya.
"Sebenarnya sih..., dia bukan apa-apa ku. Tetapi ya tadi, aku menyukainya,"
tutur Sari, agak manja.
Bukan.... Bukan itu yang dimaksudkan Menur.
Karena dia ingin tahu siapakah yang dimaksudkan
dengan 'Andika' oleh Sari.
"Tetapi selain menyukainya, kau juga mencin-
tainya, kan?" tanya Menur, halus.
Sari tersipu-sipu.
"Ah, kau ini.. Rupanya senang menggoda, ya?" desah Sari pelan. Tetapi kemudian
Menur bisa melihat
wajah Sari yang menjadi mendung. "Meskipun aku
mencintainya, tetapi belum tentu pemuda urakan ber-
juluk Pendekar Slebor itu membalas cintaku...."
Kalau ada berita yang lebih mengejutkan lagi, su-
dah tentu Menur tak seterkejut sekarang. Jadi, benar dugaannya. Kang Andika yang
dimaksud gadis berkulit
kuning langsat dan mengenakan pakaian kulit hari-
mau itu tak lain dari Pendekar Slebor.
Dan ini membuat perasaan Menur jadi tidak enak.
"Oh, Kang Andika.... Ternyata bukan hanya aku
yang mencintaimu. Dan yang berdiri di hadapanku ini
pun sangat mencintaimu. Mungkin pula, masih ba-
nyak gadis cantik yang jatuh cinta padamu, Kang An-
dika...," desis Menur dalam hati.
Sesungguhnya, meskipun belum tau harus berkata
apa jika bertemu Andika, tetapi Menur sebenarnya
sangat senang mencari pemuda yang dicintainya. Te-
tapi sekarang, apakah dia harus bersaing dengan gadis bernama Sari ini"
Sari melihat perubahan wajah Menur. Dipandan-
ginya gadis itu dengan kening berkerut.
"Kenapa, Menur" Sepertinya, kau tengah memi-
kirkan sesuatu yang sangat merisaukan!" usik Sari.
Menur mengangkat wajahnya. Lalu perlahan-
lahan menggeleng.
"Tidak apa-apa. Sari, mudah-mudahan kau bisa
bertemu pemuda yang kau kasihi itu," desah Menur.
"Huh! Mencari pemuda urakan semacam dia sih,
bukan soal gampang!" dengus Sari. Bibir merahnya yang indah itu kembali
membentuk kerucut.
"Tetapi, kau akan tetap mencarinya, bukan?"
"Ya, sudah pasti! Kalau bertemu dengannya, huh!
Akan kulabrak dia! Berani-beraninya membatalkan
janjinya untuk mengunjungi ku! Padahal, aku me-
nunggunya sangat lama!".
Menur tersenyum. Bisa dirasakannya betapa be-
sarnya cinta kasih yang tertanam di dada Sari pada
Pendekar Slebor. Lalu bagaimana dengan dirinya"
Tetapi Menur tetap tersenyum, meskipun bingung
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaimana menghadapi gurunya nanti. Yang secara ti-
dak langsung sudah berpesan kalau tidak berjumpa
Pendekar Slebor, maka dia tidak akan pernah mene-
muinya. Dan masalah yang dihadapinya ini ternyata
melebar menjadi pelik. Membentuk satu kesatuan yang
membingungkan. "Menunggu sebentar lagi kan tidak apa-apa, ya?"
usik Menur. Sari tersenyum.
"Memang tidak apa-apa. Tetapi kan, aku sudah ti-
dak sabar berjumpa dengannya."
"Itu wajar, Sari. Kalau kita merindukan seseorang atau sesuatu, maka perasaan
tidak sabar akan mende-ra hati kita. Yah..., seperti yang sedang kau alami"
desah Menur mencoba memberikan ketenangan pada di-
rinya sendiri. "Iya, tetapi kan... awaaass...!"
*** Api besar tiba-tiba menyambar ke arah Menur.
Sebelum diperingatkan Sari, Menur sendiri sudah me-
nangkap desir panas yang menderu ke arahnya.
Seketika gadis itu bergulingan ke samping. Se-
mentara kudanya meringkik keras, dan berlari me-
ninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Manis!"
Tetapi kuda milik Menur terus berlari kencang.
Sementara Sari bersiaga setelah mencabut pe-
dangnya. Si Belang sudah berdiri tegak dengan raun-
gan keras, menatap pada api yang membakar rumput
yang diinjak Menur tadi.
"Bangsat busuk!! Perlihatkan diri sebelum kucincang tubuhmu!" bentak Sari keras.
Sementara, Menur masih berusaha tenang, meskipun berdiri dengan ke-siagaan
penuh. "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, terdengar satu suara tawa yang sangat
keras, sampai menggugurkan dedaunan. Bahkan si
Belang sampai mengaum keras.
"Inilah yang paling cocok menjadi istriku! Cantik, pandai, dan benar-benar bisa
memuaskan ku!"
Belum juga gema tawa itu lenyap, terdengar suara
bernada keras. Bahkan disusul oleh satu sosok tubuh
tinggi besar yang melenting dari balik sebuah pohon.
Kedua dara jelita itu pun semakin bersiaga, mena-
tap satu sosok tinggi besar berpakaian merah menyala.
Celananya berwarna hitam dengan selembar kain ber-
warna keemasan melingkar di pinggangnya.
Wajah sosok tinggi besar itu boleh dibilang sangat
menyeramkan. Rambutnya pirang acak-acakan, den-
gan hidung bengkok mirip paruh betet. Telinga kanan-
nya tidak ada. Sementara di telinga kirinya yang cap-
lang bergantung sebuah anting panjang berbentuk li-
dah api. Dan yang paling mengerikan, dari sekujur tu-
buhnya memancarkan hawa panas luar biasa.
"Manusia jelek! Siapa kau, hah"!" bentak Sari penuh amarah.
Amarah gadis ini semakin menggelora setelah melihat
betapa buruknya wajah yang baru muncul itu. Lebih-
lebih bila mengingat andai kata saja sahabat barunya ini tidak sigap, bisa-bisa
menjadi manusia panggang.
Sosok mengerikan yang mengeluarkan hawa pa-
nas itu terbahak-bahak.
"Dua kelinci manis yang akan menghibur ku se-
tiap saat," desisnya sambil menyeringai, menjijikkan.
Kedua gadis manis itu sadar kalau merekalah
yang dimaksudkan 'dua kelinci manis'. Dan secara
bersamaan, kegusaran keduanya menjadi naik. Menur
sendiri sudah mencabut pedangnya.
Tetapi melihat sikap kedua dara jelita yang marah,
tawa sosok tinggi besar itu bertambah keras.
"Kalian beruntung, karena ku pilih menjadi pen-damping ku! Ha ha ha...! Kalian
akan melahirkan
anak-anakku, anak-anak Dewa Api!" lanjut sosok berhawa panas ini.
Sari dan Menur berpandangan. Dewa Api" Siapa
dia" Nampaknya baru kali ini keduanya mendengar ju-
lukan yang angker seperti itu.
"Lebih baik pergi dari sini, sebelum tubuhmu ku-
cincang!" bentak Sari dalam kemarahan menggelegak.
"Itu lebih baik, Manis. Ingin sekali ku rasakan betapa lembutnya pedangmu!"
sahut lelaki berjuluk De-wa Api.
"Hiaaa...!"
Sebagai jawabannya Sari langsung menerjang
dengan kejengkelan membara. Pedangnya siap me-
nyambar tubuh Dewa Api yang berdiri di hadapannya
dengan tawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ber-
guncang. Melihat lawannya hanya diam saja, Sari menam-
bah tenaga dalam pada serangannya. Namun sesuatu
yang mengejutkan terjadi. Karena, belum lagi pedang-
nya menebas batang leher Dewa Api, tiba-tiba saja....
"Aaawww...!"
Pedang yang dipegangnya cepat dilepaskan, Seke-
tika dia merasakan pedangnya berubah menjadi bara!
"Gila!" dengusnya sambil bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, Sari melihat pedangnya telah
lumer menjadi cairan berwarna merah yang panas!
"Ha ha ha...!"
Dewa Api terbahak-bahak
"Mengapa tidak kau teruskan, Manis"!" ejeknya, sombong.
Menur yang berniat menyerangpun mengurung-
kan niatnya. Diperhatikannya pedang Sari dengan ma-
ta terbelalak. Bisa dibayangkan bagaimana bila tangan atau kakinya yang mampir
ke tubuh Dewa Api. Sudah
dapat dipastikan kalau dirinya pun akan terbakar be-
gitu saja! Maka bergegas didekatinya Sari.
"Manusia ini sangat sukar dihadapi, Sari. Lebih
baik kita menghindar saja," usul Menur berbisik. Dia menduga bila nekat
menyerang, maka tak ampun tu-
buh mereka akan lumat.
Meskipun kekeraskepalaan sangat menampak di
wajah Sari, tetapi akal sehatnya pun bisa diperguna-
kan untuk menyetujui usul Menur. Tetapi, sebelum
mereka bergerak, Dewa Api sudah mengibaskan kedua
tangannya. Wrrr! Api yang besar itu berkelebat ke arah kedua gadis
ini. Namun Menur dan Sari langsung bergulingan. Saat
itu juga, tempat tadi mereka berpijak sudah terbakar.
"Ayolah manis.. Bila kalian berdua bersedia menjadi istriku..., kalian akan
kuperlakukan dengan baik!"
"Cih, Tidak tahu malu! Anjing pun menolak untuk
kau gauli!" ejek Sari.
Sementara itu si Belang sudah tidak sabar me-
nunggu perintah majikannya untuk menyerang manu-
sia berhawa panas itu.
Mendengar kata-kata Sari yang pedas Dewa Api
justru terbahak semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja dari mulutnya yang terbuka
keluar angin yang menderu kencang, memadamkan api yang bisa menjalar
menghanguskan seluruh hutan.
"Itu tandanya aku masih mengasihani kalian," desis Dewa Api, seusai menggelar
totokannya. Kembali dua gadis jelita itu berpandangan.
"Sari.... Aku yakin..., manusia api ini tak akan pernah melepaskan kita" bisik
Menur. "Lalu apa maksudmu, Menur?"
"Aku akan menyerangnya. Sementara manusia
busuk itu kuserang, cepatlah tinggalkan tempat ini."
"Tidak! Kita telah menjadi sahabat. Dan kita harus bersama-sama menghadapi
manusia busuk itu!" sahut Sari, membantah
Menur pun sebenarnya menginginkan hal itu. Te-
tapi, entah mengapa di dasar hatinya yang terdalam
merasa kasihan pada Sari, yang sama-sama merindu-
kan Pendekar Slebor. Baginya, Pendekar Slebor me-
mang lebih cocok bersanding dengan Sari.
"Sari..., saat ini tak perlu berdebat. Cepatlah tinggalkan tempat ini selagi
kuserang manusia keparat
itu!" bisik Menur lagi.
"Tidak! Kalaupun harus mati, kita harus mati bersama!" tandas Sari, tetap
menggeleng. Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja Sari melom-
pat menyerang Dewa Api yang masih terbahak-bahak
dengan sebuah hantaman berisi tenaga dalam tinggi.
Namun sebelum tangan yang mengandung kekuatan
penuh itu menerpa tubuh Dewa Api....
"Aaakh...!"
Sari sudah melompat ke belakang. Hawa panas
yang keluar dari tubuh Dewa Api sangat sulit ditahan-
nya. "Sariii!" seru Menur.
Gadis ini melihat pakaian Sari berubah menjadi
hitam di bagian lengan kirinya. Dan mendadak saja,
Menur mengempos tubuhnya. Satu kekuatan angin
bak topan prahara mengiringi serangannya. Paling ti-
dak barang sejenak bisa membuatnya tahan terhadap
rasa panas yang menjilat-jilat.
"Uhh...!"
Namun dalam jarak dua tindak saja, Menur sudah
tak mampu lagi meneruskan serangannya.
Dewa Api terbahak-bahak.
"Batas kesabaranku sudah habis! Kalian berdua
harus menjadi milikku!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Dewa Api pun
menderu ke arah keduanya. Maka Sari dan Menur se-
gera langsung berloncatan menghindar. Hawa panas
benar-benar dirasakan, menjilat-jilat sekujur tubuh-
nya. Si Belang yang sejak tadi menunggu perintah, tak bisa lagi menahan diri
melihat majikannya dibuat
tunggang-langgang seperti itu. Dengan auman keras
diterjangnya Dewa Api.
"Belaaang! Jangaaannn...!" teriak Sari.
Tetapi si Belang sudah menderu ke arah Dewa
Api. Sejurus kemudian, terdengarlah raungannya yang
sangat keras. Ekornya terbakar akibat kibasan tangan
Dewa Api yang melakukannya sambil terbahak-bahak.
Sari cepat melompat mendekati peliharaannya, se-
telah meraup debu yang banyak terdapat di sana.
Dengan debu, dipadamkannya api yang membakar
ekor si Belang. Binatang buas ini terduduk dengan wa-
jah penuh geraman dan rintihan bercampur raungan.
"Tinggalkan tempat ini, Sari! Satu yang tertangkap lebih baik daripada kedua-
duanya!" teriak Menur, keras. Sehabis berkata begitu, Menur menginjak ekor si
Belang. Akibatnya, binatang buas ini langsung melom-
pat bagaikan tersentak. Sari yang masih memegang
leher si Belang kontan terbawa. Dan mau tak mau, ce-
pat ditungganginya si Belang yang sedang kesakitan.
Masih sempat dilihatnya Menur yang berusaha
menghindari setiap serangan Dewa Api. Dan sebelum
pemandangan itu menghilang karena si Belang sudah
menyusup ke bagian hutan lebih dalam, Menur sudah
jatuh pingsan. Bahkan masih didengarnya suara tawa
Dewa Api. Hati Sari menjadi sedih. Namun untuk menghen-
tikan si Belang saat ini, tidak semudah yang biasanya dia lakukan. Jadi, mau tak
mau pegangannya pada si
Belang justru diperketat agar tidak terjatuh.
3 "Mereka memaksaku untuk dijadikan istri Dewa
Api, Kang Andika" desah Savitri mengakhiri ceritanya mengapa sampai dikejar
orang-orang yang tadi mengejarnya.
Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya saja. Walaupun sifatnya urakan,
namun bila melihat nasib malang gadis yang duduk
tertunduk di hadapannya, hatinya trenyuh juga.
"Savitri, siapakah sesungguhnya Dewa Api itu?"
tanya Pendekar Slebor, hati-hati.
Savitri menggelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah tahu, siapa dia, Kang Andika. Tetapi yang pernah kudengar...,
dia selalu menculik ga-
dis-gadis untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya.
Konon kabarnya, ilmunya sangat tinggi."
Andika mendesah.
"Kalau begitu, aku akan segera mencari Dewa Api.
Biar ku kawinkan dia nanti dengan kambing seka-
lian..!" desis Pendekar Slebor, tak menghilangkan ba-nyolannya.
"Tetapi, Kang Andika!.. Ilmu Dewa Api sukar dicari tandingannya," kata Savitri
yang memang belum tahu siapa sesungguhnya pemuda tampan yang duduk di
hadapannya. Andika tersenyum.
"Meskipun demikian, aku yakin.... Dewa Api pasti takut dengan Dewa Air. Kan
kedua benda itu tak pernah akur.... Betul, kan" Nah, jadi setiap manusia pasti
ada kelemahannya. Hm..., kalau begitu, kita berpisah
di sini," "Kang Andika, aku ikut," kata gadis itu tiba-tiba.
Andika menggeleng. Bisa repot kalau gadis ini juga
ikut. "Tidak usah, Savitri. Biar aku yang pergi mencarinya," ujar Andika.
"Tetapi, aku ingin sekali membunuh manusia ke-
parat itu."
"Dengar, Savitri! Kesulitan yang akan ku alami.
Dan aku tak mau kau ikut dalam kesulitan itu," tandas Andika, menekan suaranya.
"Masa bodoh! Pokoknya aku ikut! Lagi pula, aku
hendak ke mana" Rumahku sudah hancur terbakar.
Kalaupun aku kembali, tak ada yang kutemui. Pokok-
nya, aku ikut!"
Gadis yang keras kepala. Andika masih mencoba
menghalangi keinginan Savitri, tetapi gadis itu tetap saja pada keinginannya.
"Ya, sudah! Kalau mau ikut, tapi jangan bandel,
ya"!" kata Andika mendengus. "Aku tak mau kau re-potkan! Kita berangkat sekarang
untuk mencari tahu
di mana Dewa Api tinggal."
Savitri tersenyum senang. Dia yakin, pemuda
tampan yang baru dikenalnya ini adalah orang baik-
baik. Dan suatu saat, Savitri ingin sekali mengabdi pa-da Andika, menyandarkan
hidupnya pada ketulusan
sikap Andika.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Ada sesuatu yang memaksa Savitri untuk ikut
bersama Andika. Yakni, dia seperti tak ingin kehilan-
gan pemuda itu. Namun yang mengejutkannya, perja-
lanannya bersama Andika bukanlah perjalanan nya-
man. Karena berulangkali Andika terlihat bertarung
dengan beberapa tokoh persilatan golongan hitam.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang memang ingin
membunuh Andika. Maka, dari sanalah dia tahu, ka-
lau pemuda yang berjalan di sisinya tak lain dari Pendekar Slebor.
"He he he...! Tidak usah takut. Memang begitulah hidupku. Selalu diintai maut,"
kata Andika di suatu malam.
Tangan Pendekar Slebor sedang sibuk mengipasi
kelinci panggang. Aroma wangi daging panggang me-
nyusup ke hidung, membuat perut siapa pun yang
mencium menjadi lapar.
"Kang Andika..., mengapa mereka menginginkan
nyawa Kang Andika?"
Savitri yang penasaran ingin mengetahui siapa se-
sungguhnya Andika bertanya lagi.
Sementara Andika hanya mengangkat alisnya
yang hitam bagaikan kepakan sayap elang.
"Tidak tahu, ya" Barangkali mereka iri karena aku lebih tampan..., ha ha ha...!"
Savitri tersenyum kecut. Mulai lagi kesleboran
Andika. "Nah! Sudah matang sekarang! Ayo, kita sikat
sampai habis!"
Andika yang melihat kalau Savitri masih ingin ber-
tanya, memutuskan gerak bibir gadis itu.
Kelinci besar yang dipanggang itu dibagi dua. An-
dika makan dengan lahapnya. Sementara Savitri sam-
bil makan masih sesekali memperhatikan Andika.
"Nah, kenapa lagi?" sentak Andika tiba-tiba. "Apakah kau juga ingin mengatakan,
betapa tampannya
aku ini?" Savitri yang merasa terpergoki buru-buru menun-
dukkan kepalanya. "Aku penasaran."
Andika menggaruk-garukkan kepalanya. "Kenapa
sih?" "Sebenarnya, siapakah Kang Andika ini?"
"Aku" Ya, namaku Andika. Kalau kau mau tahu
orangnya, ya ini.... Yang berada di hadapanmu dengan
perut kelaparan," sahut Andika nyengir.
Savitri tidak banyak bertanya lagi, karena tiba-
tiba saja perutnya terasa lapar kembali.
Setelah selesai makan, Andika memadamkan api.
Karena, di tempat sunyi seperti ini bahaya akan selalu mengancam.
"Bisakah kau tidur di atas pohon, Savitri?" tanya Andika beberapa saat kemudian.
Gadis itu terbelalak.
"Oh"! Bagaimana kalau aku jatuh?"
"Ya ke bawah!" sahut Andika enteng.
Savitri yang melotot jadi tertawa mendengar jawa-
ban itu. Kepalanya menggeleng.
"Kalau begitu, kita tidur saja di sini. Besok pagi, barulah meneruskan
perjalanan lagi," ujar Andika sambil merebahkan tubuhnya.
Savitri bukanlah gadis manja. Maka, baginya lebih
baik tidur di tanah saja daripada di atas pohon. Maka tubuhnya pun direbahkan di
samping Andika.
Malam semakin membentang. Terbayang lagi, ba-
gaimana rumahnya tiba-tiba terbakar dan tiga orang
berparang besar menerobos masuk. Memaksanya agar
ikut menghadap Dewa Api. Ayahnya yang berusia em-
pat puluh lima tahun mencoba menghalangi tindakan
ketiga manusia bengis itu. Tetapi, ajal segera menjem-putnya ketika salah
seorang dari mereka mengibaskan
parang. Begitu pula nasib ibu dan adik-adiknya. Un-
tungnya dia masih bisa meloloskan diri.
Savitri menghela napas masygul. Apa yang bisa di-
lakukannya sekarang ini"
Tiba-tiba saja gadis ini terbangun, ketika terden-
gar suara ranting patah dan langkah mendekat. Ketika
menoleh ke samping, tampak Andika sudah terbujur
kaku dengan dada berdarah.
Savitri menjerit keras, ketika melihat seorang laki-
laki tinggi besar dengan tubuh mengeluarkan hawa
panas terbahak-bahak mendekatinya.
Sebisanya gadis ini bangkit dan berlari. Namun,
sosok tinggi besar itu terus mengejarnya. Jatuh ban-
gun Savitri dibuatnya. Hingga satu saat, dia tak mam-
pu lagi berlari. Sementara sosok tinggi besar itu me-
nyeringai di hadapannya.
"Sudah kukatakan, kau harus menjadi istriku!"
"Tidak, jangan! Oh..., tidak!" seru Savitri sambil beringsut.
Sosok tinggi besar itu semakin menyeringai sambil
mendekatinya. "Kau harus menjadi istriku!"
Lalu dengan buasnya, lelaki menyeramkan itu
menyobek pakaian Savitri. Dirasakannya tubuh besar
itu menindihnya sambil menciumi wajahnya dengan
ganas. "Tidak! Tidak! Tolooong.'" teriak Savitri keras.
*** "Savitri! Sadar! Sadar, Savitri!" Mendadak satu suara menerpa telinga Savitri,
disertai guncangan tubuhnya. Savitri membuka matanya. Lalu dilihatnya Pende-
kar Slebor sedang menatapnya.
"Oh, Kang Andika!" desis gadis ini sambil merangkul Andika. Dan Pendekar Slebor
pun balas merang-
kul. "Tidak apa-apa. Kau aman, Savitri...."
Savitri menangis di dada bidang Andika.
"Kau bermimpi buruk?"
Savitri mengangguk.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Hanya mimpi saja. Le-
bih baik tidur kembali...."
Lalu hati-hati sekali Andika merebahkan tubuh
gadis itu kembali. Diselimutinya dengan kain bercorak catur miliknya, kain
pusaka warisan Ki Saptacakra.
"Tidurlah.... Aku akan menjaga mu sampai kau
terbangun esok pagi...," ujar pemuda ini lembut.
Savitri berusaha memejamkan matanya. Namun,
gagal. Karena, bayang-bayang mimpi yang mengerikan
tadi masih melintas di benaknya. Begitu menakutkan!
"Kang Andika...," desah gadis ini, memanggil.
Andika yang belum tidur membuka matanya.
"Kenapa, Savitri?"
"Aku takut, Kang...."
Andika membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wajah
cantik yang berkeringat. Mata lembut itu mengerjap
berkali-kali. "Aku akan menjaga mu...," tandas Andika, lirih.
"Kang Andika...."
"Ya?"
"Maukah..., maukah..., kau...."
Andika langsung merangkul gadis itu dengan lem-
but. "Kalau kau memang ingin ku rangkul agar tenang, aku sudah melakukannya,
bukan?" "Bukan, bukan itu, Kang...," sahut gadis itu tiba-tiba. Andika langsung
melepaskan rangkulannya den-
gan muka merah menahan malu.
"Lalu apa?"
"Maukah Kang Andika mengantarku buang air ke-
cil?" Andika tertawa pelan sambil menepuk jidatnya.
Busyet! Ku pikir merangkulnya. Daripada malu, Andi-
ka pun mengiyakan.
*** 4 Menur tersadar dari pingsannya. Yang pertama
kali dirasakan adalah pusing yang benar-benar me-
nyiksa. Tiba-tiba rasa dingin menyusup ke seluruh tu-
buhnya. Dan alangkah terkejutnya dara jelita itu, keti-ka menyadari kalau
pakaian yang biasa dikenakan su-
dah berganti sehelai gaun tipis menerawang.
"Oh!"
Gadis itu mendesah sambil menekuk lutut dengan
kedua tangan. Matanya membelalak begitu mencium
aroma wangi yang menebar ke seluruh ruangan yang
berdinding kain warna merah muda. Ranjang yang di-
tempatinya pun beralaskan kain berwarna sama.
Di sisi ranjang, Menur melihat tiga orang gadis je-
lita berpakaian tipis menerawang berwarna biru lang-
sung berdiri dan mengatupkan kedua tangan di dada,
melihat Menur bangun.
"Dewi sudah bangun?" sapa salah seorang gadis.
Menur menoleh pada ketiga gadis yang baru dili-
hatnya. Wajah ketiganya begitu cantik dengan rambut
tergerai panjang hingga punggung.
"Siapa kalian" Kenapa dengan pakaianku?" tanya Menur dengan wajah makin tak
mengerti. "Maafkan kami, Dewi.... Pakaian yang Dewi kena-
kan tak pantas dipakai lagi," ucap gadis itu.
"Namaku Menur! Bukan Dewi!" dengus Menur
jengkel. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau dirinya berada di bawah kekuasaan
Dewa Api. "Kami diperintah Dewa Api untuk menyebut mu
dengan panggilan Dewi.... Mari, Dewi... kami akan se-
gera memandikan Dewi...."
"Tidak! Aku ingin keluar dari sini!" dengus Menur dengan mata memperhatikan
sekelilingnya. "Maafkan kami, Dewi. Lebih baik, turuti saja kata-kata kami. Karena, semua ini
perintah Dewa Api."
Membayangkan betapa tingginya ilmu Dewa Api,
Menur kini hanya menurut saja.
Apa yang diduga Menur memang benar. Karena
sesungguhnya Dewa Api telah menutupi bangunan be-
sarnya dengan ajian 'Bayangan Dalam Kabut'. Sehing-
ga dari luar, bangunan itu tidak nampak.
Kini dengan hati-hati, ketiga gadis itu menuntun
Menur yang rasanya tak sabar ingin memberontak sa-
ja. Diperlakukan seperti ini, Menur lagi-lagi hanya menurut saja. Dia dibawa ke
sebuah tempat yang benar-
benar mengeluarkan aroma harum semerbak.
"Maafkan, kami harus membuka seluruh pakaian
Dewi." "Aku tidak perlu mandi. Lebih baik, tunjukkan jalan keluar dari sini," kata
Menur. "Dewi., Dewa Api tentunya akan murka pada De-
wi...." Kembali kesadaran Menur timbul. Saat ini dia
memang harus menurut saja. Oh.... Kalau saja keingi-
nan gurunya untuk mencari Pendekar Slebor tidak di-
penuhi, sudah tentu dia tak akan mengalami nasib
mengenaskan seperti ini.
Berada di bawah kekuasaan Dewa Api, berarti te-
lah mencelupkan sebelah kakinya ke neraka. Bila
memberontak, berarti pula mencelupkan kedua ka-
kinya ke neraka.
Makanya, akhirnya Menur menurut saja semua
aturan yang dibuat Dewa Api. Dan memang, dia men-
dapat layanan bagai seorang putri raja.
*** Baru saja Menur selesai makan, pintu ruang ma-
kan yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka. Satu
sosok tinggi besar masuk sambil terbahak-bahak. Keti-
ga gadis berbaju biru tipis langsung duduk bersimpuh.
"Bagus, bagus sekali! Tak salah memang pilihan
ku ini!" kata sosok tinggi besar yang tak lain Dewa Api.
Menur berdiri dengan wajah garang.
"Manusia keparat! Lepaskan aku dari tempatmu
yang busuk ini!" sentak gadis itu.
Bukannya marah mendengar makian Menur, De-
wa Api justru terbahak-bahak.
"Aku menginginkan mu hari ini juga, Manis..,."
Menur membuang ludahnya ke lantai. Justru ke-
tiga gadis berpakaian biru tipis itu yang menjadi ciut.
Mereka tahu, bagaimana bila Dewa Api sudah marah.
"Langkahi dulu mayatku, Manusia Biadab!" maki Menur.
Dewa Api menyeringai.
"Kau benar-benar memuaskan seleraku, Manis,"
kata Dewa Api, menyebalkan.
"Justru aku bertambah muak melihat tampang
anjingmu itu! Aku tahu, aku tak akan mampu meng-
hadapimu! Tetapi, sampai darahku yang penghabisan
pun, akan kuhadapi kau!"
"Ha ha ha...! Ini sangat menyenangkan!"
"Hhh! Bila kekasihku datang, lehermu akan dipa-
tahkannya!"
Kali ini wajah Dewa Api memerah.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Dewa Api dengan suara menggelegar.
"Pendekar Slebor!"
Wajah Dewa Api semakin memerah. Tangannya ti-
ba-tiba bergerak. Seketika api yang panas menjilat-jilat menyambar makanan dan
minuman yang ada di meja.
Bukan hanya makanan atau minuman saja yang han-
gus, tetapi kursi dan meja itu langsung jadi arang!
"Manusia keparat itu! Hhh! Tak kusangka kalau
kau kekasih Pendekar Slebor! Ini kesempatan bagiku
untuk memancingnya datang. Karena dia telah mem-
pecundangi ketiga anak buahku yang setia!"
Betapa murkanya Dewa Api begitu menyadari ka-
lau gadis yang berada di hadapannya ternyata kekasih
Pendekar Slebor. Ketika Tiga Parang Penunggang Kuda
melaporkan kegagalan mereka membawa Savitri kare-
na ulah Pendekar Slebor, Dewa Api menggeram seting-
gi langit. Tubuhnya bagai bergetar. Merasa harga di-
rinya terinjak-injak kenekatan Pendekar Slebor.
Akan dibumi hanguskannya tubuh pendekar sialan
itu. Itulah sebabnya, Dewa Api sengaja keluar dari sa-rangnya untuk mencari
Pendekar Slebor. Dan yang
pertama ditemuinya justru Menur dan Sari yang saat
ini entah berada di mana. Kalau memang gadis yang
berada di hadapannya ini kekasih Pendekar Slebor,
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungguh suatu kebetulan!
Sementara itu, nyali Menur menjadi ciut seketika
mendengar kata-kata Dewa Api. Rupanya, saat ini De-
wa Api sedang mendendam pada Pendekar Slebor. En-
tah, masalah apa. Tetapi karena sudah memperguna-
kan nama Pendekar Slebor, mau tak mau gadis ini ha-
rus lebih kelihatan berani, meskipun tahu betapa
murkanya lelaki berwajah mengerikan itu.
"Jangan sesumbar kau, Manusia Busuk! Apakah
kau tidak pernah mendengar nama kekasihku itu,
hah"! Tubuhmu akan hancur berantakan dipatah-
patahkan!" pancing Menur.
Dewa Api mengibaskan tangannya.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Menur langsung terjajar ke belakang dan
pingsan. Lalu dengan kegeraman sangat, Dewa Api ke-
luar dari ruangan itu. Sementara ketiga gadis berbaju biru bergegas menolong
Menur dan mencoba membuatnya sadar.
"Tak kusangka, kalau Dewi senekat ini," desis salah seorang dengan wajah muram.
Biar bagaimanapun
juga, kewanitaannya terusik melihat Menur dianiaya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalau di-
dengar Dewa Api, kita bisa luluh menjadi debu," sahut yang seorang lagi.
"Kencana benar, Harum," kata yang berbadan paling tinggi. "Lebih baik kita diam
saja bila masih sayang dengan nyawa masing-masing."
Gadis yang dipanggil Harum menganggukkan ke-
palanya. Memang, salah sedikit saja bicara, bisa putus nyawa mereka selama-
lamanya. Dan dia baru sadar
kalau setiap dinding di bangunan besar ini memiliki telinga yang tajam.
Lalu dengan hati-hati, Harum mengajak dua gadis
yang masing-masing bernama Kencana dan Tari,
membawa Menur ke pembaringan semula.
*** Begitu keluar dari ruang makan tadi, Dewa Api
langsung mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Saat
itu juga kematian Pendekar Slebor sangat diinginkan-
nya. Maka, lima orang pengikutnya termasuk Tiga Pa-
rang Penunggang Kuda pun segera meninggalkan tem-
pat. Dua orang lainnya, adalah seorang lelaki tua yang selalu membawa sebuah
batu giok berwarna hijau cemerlang. Kepala si tua yang berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun itu kelimis. Pakaiannya berwarna me-
rah semacam rahib. Ada sehelai kain berselempang
mulai dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kumisnya pu-
tih menjuntai, dengan kedua alis putih mendongak ke
atas. Dari kedua matanya yang merah, memancarkan
sinar kekejaman. Dia dijuluki si Giok Selatan.
Sementara yang seorang lagi, wanita berparas bi-
dadari. Bila melihat wajahnya, bisa diperkirakan
usianya berkisar tiga puluh tahun. Namun sesung-
guhnya, wanita berbaju putih tipis yang menampakkan
lekuk tubuh dan pakaian dalamnya berusia sekitar tu-
juh puluh tahun. Dia memang memiliki ilmu awet mu-
da yang membuatnya sesegar gadis belia. Rambutnya
yang berwarna hitam mengkilat digelung ke atas. Di-
hiasi sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar.
Dia dijuluki Bidadari Bunga Mawar. Selalu mengguna-
kan sebuah senjata semacam cambuk berlidah lima.
Tiga Parang Penunggang Kuda bergerak ke arah
utara. Sementara Bidadari Bunga Mawar dan si Giok
Selatan bergerak ke arah timur.
Dengan menyimpan dendam membara di hati
masing-masing, Tiga Parang Penunggang Kuda berte-
kad untuk membalas kekalahan mereka pada Pende-
kar Slebor. Mereka pun menginginkan Savitri berhasil
direbut. Tepat senja hari, Tiga Parang Penunggang Kuda
tiba di sebuah lembah yang cukup tandus. Namun ka-
rena matahari sebentar lagi hendak kembali ke pera-
duannya, sinarnya tidak terlalu menyengat.
"Hhh! Gara-gara Pendekar Slebor, tugas kita jadi berantakan! Dia memang harus
mampus!" geram Gumila. Terbayang lagi, bagaimana mereka dipecundangi
Pendekar Slebor.
Jaradeta mengangguk dengan sorot mata meman-
carkan kemarahan teramat sangat. Begitu pula Marsu-
sa yang kini lengan kirinya tak bisa digunakan lagi.
Dengan menggebah kuda masing-masing, mereka
melintasi lembah tandus itu. Debu mengepul, namun
tak begitu terasa panas di wajah.
Namun tiba-tiba saja, ketiga kuda mereka mering-
kik keras ketika.....
"Auuummm...!"
Mendadak terdengar suara auman yang mengge-
ma ke seluruh lembah. Bila saja ketiganya tidak tang-
kas mengendalikan kuda, sudah pasti akan terbanting!
"Bangsat! Hewan mana yang berani unjuk gigi!"
bentak Gumila sambil melompat ringan ke tanah. De-
bu yang dipijaknya mengepul.
Begitu pula Jaradeta dan Marsusa. Suara auman
yang keras itu terdengar lagi di telinga mereka.
Dan belum lagi mereka bergerak, seekor hewan
berkaki empat yang besar muncul dari salah sebuah
semak. Matanya yang liar menatap ketiga tokoh sesat
ini. Langkahnya bagaikan menebarkan maut saja.
"Gila! Aku baru tahu kalau di Lembah Nista ini
ada seekor harimau yang begitu besar!" seru Jaradeta, tercekat.
"Dan harimau ini akan menerkam kalian satu per-
satu!" Tiba-tiba terdengar satu suara disusul munculnya
satu sosok tubuh ramping jelita yang hinggap ringan di samping harimau besar
tadi. *** 5 Mata buas Tiga Parang Penunggang Kuda melotot
melihat betapa jelitanya sosok ramping yang baru
muncul. Seketika terdengar tawa menggema dari bibir
menyebalkan ketiga lelaki itu.
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" seru Gumila. "Hei, Manis.,.. Apakah harimau itu
perliharaanmu?"
"Ya!" sahut Sari ketus. "Dan dia akan menerkam kalian bila bersikap macam-
macam!" Gumila tertawa-tawa lagi. Di matanya, Sari tak
ubahnya bagaikan seekor kelinci montok. Ini adalah
saat-saat mengasyikkan. Karena menurut Gumila, apa
yang diinginkan bisa didapatkan tanpa harus memba-
wa gadis ini ke hadapan Dewa Api.
"Yang kuinginkan hanya satu macam. Kau layani
kami di hari yang menjelang malam ini!"
Wajah Sari seketika memerah. Sejak tadi gadis ini
memang sudah melihat ketiganya yang menunggang
kuda dari kejauhan. Dari sikap yang diperlihatkan,
sudah jelas kalau ketiganya bukanlah orang baik-baik.
Apalagi tadi mendengar lelaki yang berbicara barusan
menggeramkan nama Pendekar Slebor!
"Manusia busuk! Lebih baik kalian bunuh diri saja dengan parang di pinggang
kalian, daripada mampus
digigit harimau ku ini!"
Bukannya marah, Gumila terbahak-bahak. Tetapi
hanya sesaat, karena di kejap lain tubuhnya sudah di-
kempos menyerang Sari.
"Hajar manusia keparat itu, Belang!" perintah Sari pada harimaunya.
Gumila pun membuang tubuhnya ketika si Belang
dengan sigap melompat menerkam. Kalau saja tidak
bertindak sigap, bisa dipastikan tubuhnya akan robek-
robek terkena kuku tajam si Belang.
Sementara itu, Marsusa dan Jaradeta pun berge-
rak menangkap Sari. Tetapi mereka terkecoh, karena
dengan ringannya Sari berkelit. Bahkan mengirimkan
satu serangan cepat.
Menyadari kalau gadis berbaju dari kulit harimau
ini bukan lawan sembarangan, dua dari Tiga Parang
Penunggang Kuda pun meningkatkan serangan. Untuk
sejenak, Sari menjadi gelagapan juga menerima dua
serangan yang datang secara beruntun. Apalagi ketika
keduanya sudah mencabut pedang masing-masing.
Kalau saja pedangnya tidak dihanguskan Dewa
Api, dengan mudahnya Sari bisa mengimbangi. Dan
kali ini, gadis itu memang tak bisa membalas. Dia
hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya saja
untuk menghindari serangan yang datang bertubi-tubi
disertai tawa keras dari kedua penyerangnya.
"Hiaaah...!"
Tiba-tiba saja Sari membuat gerakan aneh. Tu-
buhnya tiba-tiba bergulingan. Lalu bagaikan seekor
harimau, dia menerkam ke arah Jaradeta.
Jaradeta yang tadi merasa sudah berada di atas
angin, terbelalak melihat serangan aneh itu. Parangnya berusaha dikibaskan.
Wuuttt...! Namun serangan Sari adalah satu gerak tipu be-
laka. Bukan tangannya yang menyerang, melainkan
kakinya yang menyambar telak.
Desss...! "Aaakh...!"
Jaradeta terpekik dengan tubuh terjungkal. Da-
danya kontan terasa jebol. Ada darah yang mengalir di bibirnya.
Melihat Jaradeta dibuat terpelanting, Marsusa
menggeram. Seketika parangnya dikibaskan secara ka-
sar dan beruntun. Namun Sari yang sudah menemu-
kan cara untuk mengatasi justru membuat Marsusa
kerepotan sendiri.
Sementara itu, Gumila pun sudah mencabut pa-
rangnya pula. Dia benar-benar tak menyangka kalau
seekor harimau mampu melakukan gerakan menye-
rang dan menghindar, mirip gerakan silat. Bahkan
mampu membuatnya kelabakan sesaat.
Namun dengan parang di tangan, kali ini Gumila
merasa benar-benar berada di atas angin. Si Belang
pun dibuat pontang-panting.
Melihat hal itu, perhatian Sari menjadi terpecah.
Biar bagaimanapun juga, gadis ini teramat menyayangi
si Belang. Sambil menghindari serangan Jaradeta dan
Marsusa, tubuhnya bergerak ke arah Gumila. Dan....
Des! Tangan Sari mendarat telak di pinggang Gumila
yang terhuyung dengan pinggang terasa mau patah.
"Belang! Kau tidak apa-apa?" tanya Sari sambil merangkul peliharaannya. Si
Belang mengeluarkan suara auman pelan.
"Heiii! Awas, Belang!"
Melihat Sari lengah, kesempatan ini dipergunakan
Jaradeta dan Marsusa untuk menyerang kembali. Me-
reka tahu, kelemahan gadis ini justru terletak pada ra-
sa kasih sayangnya terhadap hewan peliharaannya.
Bahkan kali ini bersama Gumila yang sudah menderu
lagi, sesekali mereka juga menyerang si Belang. Hal ini tentu saja membuat Sari
menjadi kerepotan. Malah
hampir-hampir dirinya sendiri tidak terpikirkan.
Bahkan nasib Sari benar-benar sudah berada di
ujung tanduk. Tak mungkin lagi bisa dihindari kurun-
gan dari dua buah parang tajam yang cepat menye-
rangnya. Namun ketika gadis manis itu hampir saja berha-
sil ditangkap, tiba-tiba saja melesat dua bayangan kecil. Tak! Tak!
Tahu-tahu dua buah parang terpental. Sementara
dua bayangan kecil yang tak lain dua buah kerikil te-
lah bergulir di tanah.
*** "Wah, wah! Masih belum kapok juga rupanya!"
Tak lama, terdengar suara bersama munculnya
satu sosok pemuda berpakaian hijau pupus. Si pemu-
da berwajah tampan menggeleng-geleng. Sementara
Jaradeta dan Marsusa bergegas mengambil kembali
parangnya. "Kang Andika!" panggil Sari, bernada gembira.
Si pemuda memang Andika alias Pendekar Slebor.
Di sisi Andika berdiri seorang gadis berwajah lembut.
Sari yang hendak melangkah cepat mengurungkan
niatnya. Hatinya bergetar. Siapakah gadis jelita yang berada di samping Andika
itu" Melihat pendekar urakan yang dicarinya menda-
dak muncul, Gumila pun menghentikan serangannya
pada si Belang. Binatang buas itu pun bergegas men-
dekati majikannya. Sementara Gumila sendiri berdiri
di tengah-tengah Marsusa dan Jaradeta. Mereka me-
mandang geram ke arah Pendekar Slebor yang masih
tersenyum-senyum.
"Hei, Pemuda Urakan! Kalau waktu itu kau bisa
mengalahkan kami, kali ini jangan berharap bisa me-
lakukannya lagi!" bentak Gumila sengit.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Sikapnya norak sekali. Sedangkan Savitri mendeka-
ti Sari yang menurutnya juga mengenal Pendekar Sle-
bor. Menghadapi Savitri, entah kenapa perasaan Sari
menjadi tak menentu.
"Aduhh..., jangan dong.... Waktu itu kan aku pu-
ra-pura menang...," ledek Andika, sambil memasang wajah takut. Jelek sekali.
"Sekarang begini saja. Bagaimana kalau kalian yang pura-pura kalah" Ha ha
ha...." Gumila begitu geram mendengar pelecehan Andika.
Dan dia tak mau membuang waktu lagi. Kegeraman-
nya sudah sampai ke ubun-ubun. Kebenciannya pada
Pendekar Slebor sudah menggunung dan siap mele-
dak. "Hiaaat...!"
Dengan ayunan ganas Gumila menderu mengi-
baskan parangnya. Begitu pula Jaradeta dan Marsusa.
Pendekar Slebor cepat menghindar dengan me-
lenting ke belakang. Namun belum lagi hinggap di ta-
nah dengan sempurna, ketiga parang itu sudah men-
gejarnya. Apa yang dikatakan Gumila memang benar. Kali
ini mereka benar-benar tak memberi kesempatan sedi-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kit pun pada Pendekar Slebor. Jurus-jurus parang
yang berbahaya diperlihatkan. Andika sempat dibuat
kerepotan sesaat. Namun berkat kecerdikan dan ke-
tangkasannya, Andika berhasil menyusup masuk dan
mencerai beraikan serangan yang beruntun itu.
Bahkan sambil berkelebat, Pendekar Slebor men-
dadak melepaskan bogem mentah ke iga Marsusa.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Marsusa langsung ambruk tak mampu bangun la-
gi. Tiga buah tulang iganya patah.
Hanya beda waktu lima kejapan saja, Andika telah
berkelebat kembali sambil mengibaskan tangan ke ke-
pala Jaradeta. Prak! "Aaa...!"
Lelaki itu kontan ambruk dengan kepala pecah.
Darah langsung menggenangi tanah.
"Wah, nekat...!" seru Andika.
Kini tinggal Gumila yang kelihatan celingukan
bingung. Namun kesombongannya mematikan segala
ketakutannya. Dengan gagah tubuhnya meluruk me-
nyerang. "Sapi bunting! Mestinya kau melihat kawan-
kawanmu itu!" seru Andika, langsung menyongsong
serangan itu. Dengan satu kelitan dan sambil memutar tubuh-
nya, Pendekar Slebor melepas tendangan menggeledek.
Diegkh! "Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan Andika mendarat di wajah
buruk Gumila. Hidungnya terasa pecah mengeluarkan
darah. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa lang-
kah. "Apa kubilang"!!' kata Andika, seperti orang ter-paksa sekali melepaskan
serangan. Dengan langkah ringan Andika mendekati Gumila
yang masih menjerit-jerit kesakitan.
"Sakit, ya?" ejeknya. "Kasihan. Hmm.... Kau bisa hidup lebih lama lagi kalau
memberitahukan tempat
tinggal Dewa Api jelek itu!"
"Phuih...!"
Bukannya menjawab, Gumila malah meludahi wa-
jah Andika. "Busyet! Bau ludahmu busuk banget! Pasti kau
tak pernah gosok gigi, ya"!" ,
Tiba-tiba Pendekar Slebor menyentil rusuk Gumila
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak! "Aaakh...!"
Gumila kontan roboh tak mampu bergerak lagi.
Urat geraknya hancur, terhantam sentilan Pendekar
Slebor. Walaupun dia hidup, toh tak akan mampu ber-
gerak lagi, alias lumpuh secara keseluruhan. Untuk
saat ini Gumila tak sadarkan diri.
Pendekar Slebor lantas mendekati Sari dan Savitri.
Andika mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.
"Apa kabarmu, Penunggang Harimau?" sapa Pendekar Slebor.
"Apa kabar, apa kabar"! Hei, Pemuda Urakan!
Mana janjimu, hah"! Aku tunggu lama, kok tidak
muncul-muncul juga! Brengsek! Brengsek! Aku jadi
malu sendiri pada ayahku, karena mengharapkan ke-
hadiranmu!" Sari langsung nyerocos.
Andika hanya tertawa saja.
"Maafkan aku, Sari.... Tapi jangan terus nyerocos begitu dong. Seperti mercon
saja," sahut Andika, enteng. "Brengsek! Kau ini memang tidak...."
Tiba-tiba Sari menghentikan makiannya, begitu
menyadari kalau di sisinya masih ada Savitri.
Savitri yang merasa kata-kata Sari terhenti kare-
nanya, langsung tersenyum.
"Tidak apa-apa."
"Aku..., ah! Tidak, tidak.... Aku...."
Andika tertawa.
"Kenapa jadi gelagapan" Makanya jangan sewot
dulu. Apa kau mau kalau kau kubilang habis makan
kroto, sehingga terus mengoceh persis seperti burung
cucak rawa" Pokoknya, aku mengaku salah...."
"Iya, kau memang salah!" Andika tertawa lagi.
"Kalau sudah puas berkicau, ceritakan mengapa
kau sampai bentrok dengan ketiga manusia itu?" ujar Andika.
Tiba-tiba saja Sari teringat akan sahabat barunya.
Ah! Bagaimana nasib Menur sekarang ini" Des9snya
gelisah. Dan Andika menangkap kegelisahan itu.
"Ada apa, Sari" Kenapa gelisah seperti itu" Kurang sesajen, ya?" tanya Andika.
Sementara, si Belang sudah kembali merebahkan
diri di sisi kaki majikannya, seolah tak ada masalah
yang dihadapinya tadi.
"Ayolah, Sari. Ceritakan apa yang terjadi...," ujar Pendekar Slebor, penasaran.
Sambil menghela napas Sari menceritakan selu-
ruh peristiwa yang dialaminya. Dan Pendekar Slebor
mendengarkan penuh perhatian.
Andika mengerutkan keningnya setelah Sari me-
nyelesaikan ceritanya.
"Menur" Apakah..., dia mengenakan pakaian ber-
warna biru, dengan pedang berwarangka hitam, Sari?"
tanya Andika. Kini Sari yang mengerutkan keningnya. Dia jadi
heran juga, kok Andika bisa tahu ciri-ciri Menur.
"Bagaimana Kang Andika bisa tahu?" tanya Sari,
penasaran. "Ah! Kalau begitu dia pasti murid Kaliki Lorot Sari!
Kau yakin yang menghadang kalian waktu itu Dewa
Api?" Sari mengangguk, meskipun heran bagaimana
Andika bisa mengenal Menur. Tetapi kemudian, dia
yakin kalau sebelumnya Andika memang pernah ber-
jumpa. Gadis itu melihat wajah Andika yang tiba-tiba
memerah. Dilihatnya pula bibir pemuda tampan itu
tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa, Kang Andika?" usik Sari.
Andika mengangkat wajahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," kilah si pemuda berbo-hong.
Padahal, Andika teringat kembali bagaimana Kali-
ki Lorot bersikeras agar Menur berjodoh dengannya.
Ah! Apakah kehadiran Menur kembali karena masalah
perjodohan itu"
Sari sendiri tidak mau meneruskan pertanyaan-
nya, meskipun ada sesuatu yang lain di hatinya. Dia
mengartikan kalau senyum-senyum dan wajah meme-
rah Andika ada hubungannya dengan Menur. Dalam
hubungan apa, Sari belum bisa menebaknya
Andika sendiri masih menyadari arti tatapan Sari.
"Sari..., apakah kau juga hendak mencari Menur?"
tanya Pendekar Slebor. Sari mengangguk.
Andika pun menceritakan kalau sebenarnya juga
tengah mencari Dewa Api. Bila saat ini Menur berada
dalam kekuasaan Dewa Api, Andika pun bermaksud
menyelamatkannya pula.
Sari melirik Savitri yang hanya mengangguk saja
berkali-kali, saat Andika menceritakan kesulitan yang menimpa.
Ah! Bila melihat tatapan mata penuh kasih milik
Savitri pada Andika, perasaan tak menentu di hati Sari semakin menjadi-jadi.
Terus terang, hatinya iri melihat kemesraan yang diberikan Savitri pada Andika.
Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih"
Pertanyaan itu bergayut dalam hati Sari. Kalau me-
mang iya, rasanya dia tak berhak mendekati Andika
lagi. Tetapi, apakah dia bisa mendustai perasaannya
sendiri yang semakin berkembang pada Andika" Apa-
kah akan dibiarkannya bunga asmara yang telah ber-
tunas dan semakin membesar ini layu kembali"
Andika yang sejak tadi berkata-kata dan memper-
hatikan, bisa melihat kalau sinar cinta kasih di mata Sari begitu membara dan
menghanyutkan. Ah! Apakah
itu memang cinta"
Tetapi saat ini, memang bukan saat yang tepat
untuk membicarakan masalah cinta. Meskipun Andika
tahu, cinta kasih gadis berbaju dari kulit harimau itu memang tulus.
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat men-
cari Dewa Api sekaligus menyelamatkan Menur," cetus Pendekar Slebor.
Sari tak bersuara. Ingat Menur, dia jadi teringat
bahwa Menur pun tengah mencari seseorang pula. An-
dika-kah yang dicari sahabat barunya itu" Diam-diam
keyakinan itu mulai merayapi hatinya. Yah.... Untuk
apa Menur tidak menjawab pertanyaannya waktu itu"
Apakah Menur enggan mengungkapkannya karena Sa-
ri sendiri pun mencari Pendekar Slebor" Oh.... Apakah di hati Menur ada rasa
cinta yang sama seperti dirinya"
"Sari... Kau setuju?" tanya Andika, membuyarkan lamunan Sari.
"Oh, bagaimana" Apa..., apa yang kau tanyakan
itu, Kang?" Sari gelagapan.
"Maksudku begini, Sari...," kata Andika, masih melirik Savitri. "Kita akan
segera berangkat untuk mencari Dewa Api, sekaligus menyelamatkan murid
Kaliki Lorot."
"Oh, ya, ya! Tetapi, ah...! Biar aku pergi bersama si Belang saja."
"Wah, kalau gitu aku bersama Savitri saja. Kau
tahu saja, Sari. Aku memang paling bersemangat ber-
jalan dengan seorang gadis. Apalagi tanpa gangguan si Belang...," kata Andika,
seenaknya. "Aku..., ah! Rasanya..., aku harus segera pergi...,"
desah Sari seraya berkelebat pergi bersama si Belang.
Dasar tak berperasaan! Andika yang menyangka
Sari akan tertawa karena canda, kini malah melongo.
Sementara Sari ingin sekali Andika menahannya.
Tapi lagi-lagi Andika tak menyadari kesalahannya.
"Apakah aku salah ngomong?" tanya Andika pada diri sendiri. "Hei, Sari...!
Jangan bertindak gegabah."
Kata-kata Andika dirasakan Sari bagaikan satu
pukulan. Karena, selama ini Pendekar Slebor memang
selalu bertindak semaunya saja, sesuai sifatnya. Apa-
kah ini berarti sudah jelas kalau Andika tidak menyu-
kainya" Dan hanya menganggapnya hanya adik bela-
ka, seperti yang dilakukannya waktu itu" (Silakan baca serial Pendekar Slebor
dalam episode "Sengketa di Gunung Merbabu").
Kalau memang nyatanya seperti ini, keputusan
Sari pun bulat. Dia memang tak perlu lagi bersama-
sama Andika, meskipun sangat mengharapkan sekali.
Apalagi, bila melihat tatapan mesra Savitri pada Andi-ka.
*** "Kang Andika.... Sudah lamakah kau bersahabat
dengan Sari?" tanya Savitri.
"Oh, lama sekali."
"Dia cantik."
"Betul. Aku memang selalu pilih-pilih, Hanya gadis cantik saja yang pantas jadi
temanku," kata Andika, mengobral kesombongan walaupun dengan maksud
berseloroh. "Dia juga seorang gadis berkepandaian tinggi, Kakang."
"Ya.... Tapi, sikapnya itu, lho! Dia terkadang
membuatku kesal. Tindakannya tanpa perhitungan
yang matang."
"Karena..., dia ingin diperhatikan, Kakang...," sahut Savitri.
Andika hanya tersenyum saja.
"Sudahlah.... Kita tak perlu lagi membicarakan
soal Sari. Aku yakin, dia bisa menjaga dirinya. Sari telah lama ditempa oleh
alam yang keras," ujar Pendekar Slebor akhirnya.
"Tapi, tidak seperti diriku, bukan?" tukas Savitri.
"Wah.... Kenapa jadi begini" Savitri..., aku tetap akan membantumu untuk
membalas kematian kedua
orang tua dan adik-adikmu. Di samping itu juga, aku
ingin menghentikan sepak terjang Dewa Api. Ayolah,
jangan bersikap cengeng seperti itu."
"Tetapi, Kakang...."
Andika merangkulnya. Si pemuda benar-benar ti-
dak paham kalau sesungguhnya gadis itu ingin men-
dengar pernyataan lain darinya selama dalam perjala-
nan. Tetapi yang disangka Andika, gadis itu sedang sedih karena teringat kembali
nasib kedua orangtua dan
adik-adiknya. "Sudahlah.... Aku akan membantumu Savitri. Ayo,
kita segera meneruskan perjalanan ini sebelum malam
semakin larut."
Savitri hanya menangguk saja.
"Kang Andika, tahukah kau kalau aku mulai men-
cintaimu?" gumam Savitri dalam hati.
*** 6 Hujan turun deras menghantam bumi bertubi-
tubi. Kegelapan malam menyambut dengan kelembu-
tannya. Andika mendekap Savitri yang nampak kedin-
ginan. Mereka kini berteduh di sebuah pohon rindang.
Meskipun tak sepenuhnya bisa menghindari dari ba-
sah, tetapi masih lumayan dijadikan tempat berteduh.
Saat merangkul Savitri, tak ada perasaan apa-apa
di hati Andika. Tetapi lain halnya gadis itu. Malah kepalanya semakin dibenamkan
ke dada bidang Andika.
Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya.
Sementara benak Andika diam-diam memikirkan
Sari dan Menur. Teringat Sari, teringat pula bagaimana perjumpaannya dulu dengan
dara jelita penunggang
harimau itu (Baca serial Pendekar Slebor dalam epi-
sode: "Raja Akherat").
Dan mengenai Menur, Pendekar Slebor teringat
bagaimana guru Menur yang bernama Kaliki Lorot
memaksanya untuk menikah dengan muridnya. Dan
dengan satu kecerdikannya, Andika bisa menghindari
dari paksaan perjodohan.
Memang persoalan macam inilah yang lebih me-
musingkan Andika. Pendekar Slebor merasa lebih baik
menghadapi seorang lawan berkepandaian tinggi dari-
pada masalah perjodohan.
Belum lagi Savitri yang semakin membenamkan
kepalanya di dadanya. Bahkan tangan kanan gadis itu
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkar di pinggang Andika, seolah takut dile-
paskan. Apakah akan ada masalah lain dengan gadis
ini" Tiba-tiba saja kepala Andika menegak. Telinganya yang tajam mendengar suara
orang berdendang. Suaranya bernada gembira, meskipun tak ketahuan jun-
trungannya lagu apa yang dinyanyikan.
Merasakan tubuh Pendekar Slebor bergerak, Savi-
tri yang sedang menikmati rangkulannya mengangkat
kepalanya. "Ada apa, Kakang?" tanya gadis ini dengan sinar mesra.
Sejak tadi gadis ini menunggu Andika mencum-
bunya. Atau paling tidak, mengecupnya. Tetapi justru
gadis itu menjadi malu, karena Andika tidak melaku-
kan apa-apa. "Jangan bersuara," ujar Pendekar Slebor mende-sis. "Ada yang datang."
"Siapa yang datang, Kakang?" tanya Savitri, yang tak mendengar suara apa-apa.
"Aku tidak tahu."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa."
"Lebih baik kau tetap di sini, Savitri. Aku tak ingin, ada kejadian yang akan
menimpa kita," ujar Andika sambil berdiri. Hujan semakin deras saja.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang...," pinta Savitri takut. Andika menatap sekilas.
"Aku tidak lama. Jangan ke mana-mana."
Sebelum Savitri berkata lagi, Andika sudah berke-
lebat menerobos hujan yang deras dan pekatnya ma-
lam. Suara senandung itu semakin lama semakin ke-
ras di telinga.
Di sebuah tempat yang agak lapang, Pendekar
Slebor melihat seorang lelaki berusia kira-kira sekitar seratus dua puluh tahun.
Laki-laki ini melangkah
sambil bersenandung tak karuan. Wajahnya penuh ke-
riput. Rambutnya yang panjang, basah oleh air hujan.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat kecil dari bam-
bu. Tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti melangkah, tetapi mulutnya tetap
bersenandung. Bila ingin melihat, mengapa tak keluar"
Bila ingin mengenal, mengapa tak menjabat"
Bila ingin jadi pengecut, silakan
Bila ingin mampus, keluar saja.
Senandung aneh bernada tak karuan itu menye-lusup telinga Andika bagai
menggelitik. Dan Pendekar
Slebor menjadi malu hati ketika menyadari kalau ka-
kek aneh berpakaian compang-camping berdada ke-
rempeng itu menyindirnya. Berarti dia tahu kalau An-
dika sedang mengintip.
Sambil menggerutu Pendekar Slebor keluar dari
tempat persembunyiannya. Sementara kakek itu ter-
kekeh-kekeh melihatnya.
"Tadi kupikir sebangsa cecurut yang mengintip.
Tidak tahunya, monyet!" ledek kakek ini.
Dalam gelap itu wajah Andika memerah menden-
gar ejekan si Kakek.
"Tepat! Tepat sekali. Tadi pun kupikir yang mun-
cul monyet tua. Tak tahunya memang monyet tua be-
neran." Kakek itu semakin keras kekehannya, mengalah-
kan deru hujan yang semakin deras. Tubuh mereka
basah. Andika merasa angin yang bertiup semakin
dingin dan keras. Apalagi ketika si Kakek terkekeh-
kekeh. "Kutu kupret! Ada monyet kecil berani melawan
monyet tua"!"
Wesss...! Tiba-tiba saja angin yang keras berkesiur ke arah
Andika. Pendekar Slebor jadi tercekat melihatnya, ka-
rena tak melihat serangan yang dilakukan si Kakek.
Dan tahu-tahu tubuhnya bagai terbawa angin yang de-
ras. Buk! Cukup keras tubuh Andika menabrak pohon di
belakangnya, sehingga ngilu dan pegal sekali.
"Mau nambah lagi, Monyet Kecil"!" kata si Kakek dengan nada bersenandung,
Andika melotot gusar.
"Biang panu! Ayo, sini maju! Huh! Beraninya main angin-anginan. Kenapa kita
tidak bertarung barang
beberapa jurus, hah"!" maki Andika, sewot. Bukan karena serangan tadi. Tapi,
bisul dipantatnya yang mau
sembuh terluka lagi. Sakitnya nyut-nyutan.
"Eh! Melawan aku, hah"!"
Wuusss...! Tiba-tiba Andika kembali merasakan satu tenaga
halus keras menderu ke arahnya. Kali ini Pendekar
Slebor yang sudah menduga serangan bisa menghin-
dar dengan melompat ke samping. Namun mendadak
kakinya terasa bagai dihantam pukulan keras sekali.
Bruk...! Pendekar Slebor terjatuh keras di tanah. Mulutnya
meringis menahan sakit.
"Busyet! Siapa sih kau ini, Kek"!" tanya Pendekar Slebor, sambil bangkit
berdiri. "Huuu.... Katanya mau bertarung beberapa ju-
rus.... Tapi sekarang, malah mau kenalan. Genit juga
kau, ya?" sahut si Kakek.
"Sialan!" Andika menggerutu.
"Orang-orang menjulukiku Dewa Senandung. Nah!
Dengarlah senandungku yang merdu ini."
Lalu tanpa disuruh, si Kakek bersenandung. Se-
pertinya dilakukan dengan sangat pelan. Tetapi bagi
Andika, suara itu sangat keras dan sember. Mungkin
suara orang telat buang air kalah jelek dibanding sua-ra si Kakek.
"Wah! Bisa mulas perutku ini!" desis Andika. "Sudah, Kek! Jangan habiskan
suaramu! Nanti saja bila
kau sekarat. Bersuaralah sepuas-puasmu...!"
Lelaki tua berjuluk Dewa Senandung terkekeh-
kekeh. "Benar juga kau. Sudah, minggir sana! Aku harus
mencari si Murid Murtad itu!" ujar Dewa Senandung.
Lalu tanpa mempedulikan Andika, Dewa Senan-
dung melangkah sambil bersenandung pula. Dilewa-
tinya Andika yang sedang menggaruk-garuk kepa-
lanya. Kini dia yakin, kalau di dunia ini begitu ba-
nyaknya orang aneh yang memiliki ilmu tak kalah
anehnya. Bahkan begitu mengerikan.
Tiba-tiba Andika mengejar.
"Kek! Siapa murid murtad yang kau cari itu?"
tanya Pendekar Slebor, keras.
Lelaki tua itu berhenti. Dan Andika berdiri di de-
pannya. Bibir Dewa Senandung berbentuk kerucut.
"Apa maumu, hah"! Lagi pula, kau tak mengenal-
nya! Orang seperti kau ini, bisa apa?"
Wajah Andika memerah mendengar ejekan seperti
itu, tetapi tak dipedulikan.
"Barangkali saja aku bisa membantu mencari mu-
rid murtad mu itu".
Dewa Senandung menatap Andika sejenak, lalu
terkekeh-kekeh.
"Kalau melihat kenekatan mu ini, aku yakin kau
punya ilmu lumayan. Yah, barangkali buat mengusir
kambing. Heh, Pemuda! Kalau kau memang tahu di
mana muridku, kau akan kuberi hadiah seekor kamb-
ing. Lumayan, buat teman perjalananmu. He he he...!"
"Busyet! Banyak omong juga ini orang! Siapa na-
ma muridmu?"
"Namanya Galang Nirka! Tetapi dia menjuluki di-
rinya Dewa Api!"
Mendengar julukan itu disebutkan, Andika tersen-
tak. Tapi dia cepat menguasai diri agar keterkejutan-
nya tak diketahui.
"Dewa Api?" ulang Andika.
"Iya! Budek!"
Andika tak mempedulikan makian itu. "Kalau itu
Duri Bunga Ju 6 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Tongkat Rantai Kumala 10
JODOH SANG PENDEKAR Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Malam pekat menyapa alam. Sunyi! Binatang ma-
lam seperti enggan bernyanyi. Entah kenapa. Mungkin
terganggu oleh satu sosok tubuh berpakaian kuning-
kuning yang terus berkelebat cepat bagai dikejar sesuatu. Berkali-kali tubuhnya
terpuruk mencium tanah.
Karena kakinya terantuk akar-akar pohon. Namun di-
paksakannya untuk terus berlari. Larinya pun sem-
poyongan. Keringat sudah banyak mengalir di sekujur
tubuhnya. Kelelahan benar-benar menyiksanya.
Empat puluh tombak di belakang sosok itu, tiga
lelaki berwajah menyeramkan mengejar dengan kuda.
Berkali-kali mereka berteriak-teriak memanggil nama
sosok yang dikejar, diiringi nada marah. Tentu saja sosok ramping berpakaian
serba kuning yang ternyata
seorang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Wajah
cantiknya menjadi pias. Dia merasa harus bersem-
bunyi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, di mana harus bersembunyi"
Kalau tidak sedang dikejar, sudah tentu gadis
berpakaian serba kuning tak akan berani memasuki
hutan lebat seperti ini. Membayangkannya saja tak
pernah. Apalagi sampai memasuki tempat mengerikan
ini. Namun gadis itu tetap memaksakan diri dengan
mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk melepaskan diri
dari kejaran. Gadis ini tidak mau sampai ditangkap ketiga pengejarnya. Dia harus
menyelamatkan diri den-
gan cara apa pun. Karena bila ditangkap, ia tahu apa
yang akan dialaminya. Sudah tentu sesuatu yang san-
gat menakutkan!
Tiga lelaki di atas kuda yang semua berpakaian
warna merah itu terus memburu. Kuda-kuda mereka
berlari tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Kegelapan hutan itu membuat
mereka harus berhati-hati.
Sesekali mereka berhenti memperhatikan sekeliling.
Jika merasa pasti tak melihat, atau mendengar sosok
yang diburu, mereka melanjutkan pencarian.
Di sebuah tempat yang agak terbuka, ketiganya
kembali menghentikan laju kuda. Kini pakaian warna
merah yang dikenakan semakin nyata, Di pinggang
masing-masing terdapat sebilah parang besar.
"Savitri! Ayolah keluar, Manis.... Dewa Api menunggumu! Kau harus mau dijadikan
istrinya! Ayolah,
Savitri! Jangan sampai membuat kemarahanku men-
jadi-jadi! Ku bakar nanti hutan ini!" teriak salah seorang penunggang kuda.
Sementara gadis berpakaian serba kuning yang
bernama Savitri itu sebenarnya sedang bersembunyi di
balik sebuah pohon besar. Dia merasa tak sanggup lagi melanjutkan larinya.
Dadanya semakin berdebar kencang. Gemuruh jantungnya disertai napas tersengal
te- rus mencecarnya. Savitri berusaha untuk tidak menge-
luarkan suara. Maka dengan susah payah mulutnya
sesekali ditutup.
"Jangan sampai aku memaksamu untuk keluar,
Savitri! Ayo. keluar! Atau, benar-benar akan ku bakar hutan ini!" ancam orang
berkuda itu, menggebah ke-sunyian alam. Saking kerasnya, membuat seekor tupai
yang tengah mencari makan di atas ranting pohon pun
terjatuh. Savitri semakin ketakutan. Dia berusaha mera-
patkan tubuhnya. Sementara angin malam yang dingin
membelai-belai sekujur tubuhnya. Tidak! Dia tidak
mau dijadikan istri Dewa Api. Terbayang bagaimana
ayah, ibu dan kedua adiknya tadi dibantai ketiga ma-
nusia durjana itu gara-gara dia menolak diminta men-
jadi istri Dewa Api. Dan sekarang, hanya ialah satu-
satunya yang tersisa dari keluarganya. Maka tak heran kalau Savitri berusaha
sekuat tenaga agar tidak sampai ditemukan ketiga manusia laknat itu.
"Ayolah, Manis,... Dimana kau bersembunyi?" Suara menyebalkan itu terdengar
kembali. Dan sosok tu-
buhnya sudah melompat dari kudanya, diikuti kedua
penunggang kuda yang lain.
Savitri berusaha untuk menahan semburan na-
fasnya yang memburu. Dia harus tetap bertahan di si-
ni. Namun apa yang diharapkan tak pernah terjadi.
Karena.... "Auuuwww...!"
Tiba-tiba saja gadis cantik itu menjerit setinggi
langit saking kagetnya. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri salah seorang dari
ketiga sosok berpakaian merah-merah. Dengan seringai buas dan sinar mata keji,
dia perlahan-lahan menghampiri Savitri.
Dengan ketakutan luar biasa, serentak Savitri me-
lompat untuk berlari. Dan malang benar nasibnya. Ka-
rena, tangan orang itu sudah berhasil menangkap tu-
buhnya. Gadis ini langsung meronta-ronta, berusaha mele-
paskan diri. Namun, orang bercambang bauk yang
menangkapnya justru semakin erat merangkulnya.
Bahkan membawanya ke tempat kedua temannya me-
nunggu. "Bagus, Jaradeta! Naikkan dia ke kudamu! Kita
harus segera kembali!" seru lelaki lain sambil melompat kembali ke punggung
kudanya. "Tentu saja, Gumila! Tentu ketua akan senang me-
lihat kerja kita..."
Sambil terbahak-bahak lelaki bercambang bauk
yang bernama Jaradeta memaksa Savitri untuk naik
ke kudanya. Sementara gadis manis itu berusaha berontak se-
kuat tenaga. Teriakan-teriakannya menggema ke selu-
ruh hutan yang lebat ini Dan ini membuat Jaradeta
menjadi jengkel. Dengan sekali mengayunkan tangan,
Savitri terkulai pingsan.
"Hhh! Begini lebih baik!" desisnya. Langsung di-lemparnya tubuh molek Savitri ke
atas punggung ku-
danya. Lalu, dia sendiri naik di belakang tubuh Savitri yang terkulai pingsan.
Ini adalah kesempatan pertama kita yang baik se-
kali untuk seterusnya mengabdi pada Dewa Api! Kita
kembali ke Bukit Harimau!" ujar lelaki teman Jaradeta, yang dipanggil Gumila.
Akan tetapi, begitu ketiganya mencoba membalik-
kan arah kuda, tiba-tiba saja ketiganya tersentak. Karena kuda-kuda mereka tak
bergerak sedikit pun!
"Bangsat! Ada apa lagi ini"!" maki Gumila.
Kembali lelaki ini mencoba menyentakkan tali ke-
kang kudanya. Namun, kudanya tetap berdiri tegar
tanpa bergeser sedikit pun. Dengan penuh kegeraman
Gumila melompat memeriksa kudanya.
"Manusia edan mana yang berani mati"!" dengus Gumila keras, mengandung kegeraman
yang meledak-ledak di ubun-ubun.
Begitu mendengar seruan Gumila, Jaradeta dan
teman satunya segera melompat dari kuda. Pandangan
ketiganya tajam, mencoba menembus kegelapan hutan
dan malam yang semakin menyeret waktu.
"Manusia busuk! Keluar kau!" seru Gumila geram.
Lelaki ini benar-benar tersentak menyadari kalau
kuda-kuda mereka telah ditotok, sehingga tak bisa
bergerak. Untuk menemukan di mana letaknya toto-
kan itu sangat sulit.
Dan sebelum ketiganya berteriak keras...
"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa" Kuda kalian
mau buang hajat kali..." Atau, kalian tak begitu pandai menunggangnya" Nah, ini
kesempatan baik untuk ber-latih!"
Mendadak terdengar seruan mengejek dari atas
pohon, membuat ketiga lelaki berpakaian serba merah
ini tersentak. *** Seketika ketiganya mengangkat wajah. Dan tam-
paklah sosok tubuh tengah duduk santai di sebuah
ranting pohon besar dengan kedua kaki menjuntai-
juntai. "Keparat! Rupanya kau ingin mampus! Cepat tu-
run, Anak Kemarin Sore! Biar ku sunat burung mu!"
maki Gumila, sewot.
"Wah, wah.... Biar anak kemarin sore, tapi kalau sunat-menyunat, pasti daging
burung mu lebih alot,
kan?" Gumila menggeram. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melenting ke atas dengan parang di tangan di-
kekebut. Crasss! Ranting yang tadi diduduki sosok tubuh itu pecah
berantakan. Sementara Gumila sendiri sudah hinggap
kembali di antara teman-temannya. Tetapi yang mem-
buatnya terkejut, ternyata sosok tubuh tadi tak terlihat lagi. "Gila! Anak
kemarin sore dari mana berani menantang Tiga Parang Penunggang Kuda"!" makinya
murka. "Tentu saja anak kemarin sore dari kayangan yang berani menantang sapi-sapi
busuk bau apek!"
Tiba-tiba terdengar sahutan dari belakang. Seren-
tak ketiganya berbalik dengan tatapan geram. Kali ini mereka bisa melihat jelas,
siapa gerangan sosok tubuh itu. Wajahnya tampan dengan sepasang alis mirip
kepakan sayap elang. Rambutnya yang gondrong dan tak
rapi dipermainkan angin malam. Begitu pula pakaian-
nya yang berwarna hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur di bahu.
"Kenalkan nama sebelum nyawamu ku cabut!"
sentak Gumila dengan kegeraman membludak.
"Wah.. Namaku terlalu mahal untuk diperkenal-
kan ke telinga kalian yang congekan itu. Dan asal tahu saja aku ingin agar gadis
itu dilepaskan...," sahut si pemuda.
"Sok jadi pahlawan! Mampuslah kau!" Gumila sudah melompat dengan kibasan
parangnya. Begitu pula
yang dilakukan kedua kawannya.
Pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-
tawa saja. Dia tak bergerak sedikit pun dari berdirinya.
Namun begitu ketiga penyerangnya mendekat, tiba-tiba
saja kedua kakinya diangkat dan tangannya diayun-
kan. Duk! Duk! Duk!
"Aaakft!!!"
Tiga tubuh lelaki berjuluk Tiga Parang Penung-
gang Kuda terbanting ke belakang. Namun serentak
mereka bangkit dengan kegeraman menjadi-jadi.
Sementara Gumila merasakan asin di mulutnya.
Dan wajahnya langsung kelam menyadari hanya sekali
gebrak saja telah dibuat berantakan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, Tiga Parang
Penunggang Kuda menderu kencang ke arah si pemu-
da yang masih tegak berdiri di tempatnya.
"Monyet buduk! Bukannya pergi dari sini, malah
memaksaku berbuat lebih!" maki pemuda itu. Kembali kaki dan tangannya bergerak.
Kecepatannya sangat
sulit ditangkap dengan mata.
Kembali pula seperti halnya yang pertama tadi,
ketiga lelaki Seram bergulingan ke belakang. Gumila
merasa tulang hidungnya patah. Jaradeta tiba-tiba
merasakan nafasnya menjadi sesak. Sementara yang
seorang lagi meraung keras karena tangannya yang
menggenggam parang tadi patah. Sedangkan parang-
nya sendiri jatuh entah ke mana.
Orang ini sering dipanggil dengan nama Marsusa.
"Itu upah kalian yang mengganggu keasyikkan ti-
durku!" rutuk si pemuda dengan tersenyum. "Ayo, pergi dari sini sebelum ku sunat
burung kalian. Hus...!
Hus...! Hus...!"
Kegarangan Tiga Parang Penunggang Kuda pun
meluntur sudah, meskipun mata mereka memancar-
kan dendam yang besar. Apalagi diusir macam ayam
kampung. "Orang muda..., siapa kau sebenarnya, hah"!"
tanya Gumila. "Mau apa sih, tanya-tanya segala"! Baik supaya
kalian tak penasaran, namaku Andika! Orang-orang
rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor! He he
he...! Julukan yang bagus, bukan?"
Terbukalah mata Tiga Parang Penunggang Kuda,
Terutama sepasang mata besar dari Gumila. Pantas bi-
la mereka tak berhasil merobohkan pemuda ini. Na-
mun meskipun kegarangannya telah luntur, kegera-
man di hatinya semakin mengeras!
"Pendekar Slebor..., kau tunggu pembalasan ka-
mi!" ancam Gumila.
"Lho, kok" Ngancam, nih" Sudah, sudah! Pergi
sana. Aku bosan melihat tampang kalian!"
Gumila masih sempat melemparkan pandangan
sengitnya, sebelum bergegas meninggalkan hutan itu
dengan menahan rasa sakit di bagian tubuh. Tinda-
kannya diikuti dua temannya.
Pemuda berbaju hijau pupus yang ternyata Andi-
ka menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampi-
rinya sosok Savitri yang masih terkulai di atas punggung kuda yang tak bisa
bergerak. Diangkatnya tubuh
ramping berbau harum itu. Lalu direbahkannya di atas
rumput yang mulai basah oleh embun.
"Cantik," gumam Pendekar Slebor setelah memperhatikan wajah Savitri yang kedua
matanya terka- tup. Dalam sekali lihat saja Andika tahu di mana letak totokan yang membuat
Savitri pingsan. Dibukanya totokan itu dengan sekali menekan ibu jarinya.
Sejenak tubuh Savitri terlonjak kaget, terdengar keluhan lem-
butnya dengan mata tetap terpejam.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor menunggu gadis itu membuka
matanya. Namun nampaknya Savitri benar-benar kele-
lahan. Hingga meskipun sudah terbebas dari totokan
itu, gadis ini segera tertidur.
Andika pun merebahkan tubuh di sisi Savitri.
Ditatapnya pohon-pohon besar itu sambil telen-
tang. Sinar rembulan hanya sedikit sekali yang bisa
menerobos rimbunnya pepohonan.
*** 2 "Pokoknya, kau harus mencari Pendekar Slebor,
Menur! Aku menghendaki dia berjodoh denganmu!"
Mungkin suara orang habis buang hajat kalah ke-
ras dibanding suara bentakan yang barusan terdengar.
Penuh semangat. Sepertinya perintah itu adalah sabda
yang harus dilaksanakan gadis yang dipanggil Menur.
"Tetapi, Guru.... Bukankah Guru sudah menden-
gar sendiri kalau Kang Andika menginginkan perjodo-
han itu ditunda?" sanggah si gadis dengan alis sudah hampir bertaut.
"Hhh! Setan alas dengan pemuda urakan itu! Apa
kau tidak tahu kalau dia sengaja menunda-
nundanya?" tukas si lelaki tua yang dipanggil Guru.
Dia tak lain adalah Kaliki Lorot.
"Itu berarti keinginan guru, agar dia berjodoh denganku tidak disetujuinya."
"Pokoknya aku tidak mau tahu! Hari ini juga, kau harus berangkat mencarinya!"
tandas Kaliki Lorot.
"Guru!"
"Jangan membantah, Menur! Berangkatlah! Cari
calon suamimu itu...," ujar Kaliki Lorot, tak ingin di-bantah lagi.
Memang, dua orang itu adalah guru dan murid. Si
murid yang bernama Menur duduk di lantai pendopo
sebuah bangunan kecil. Wajahnya bulat telur dengan
rambut tergerai. Pakaiannya ringkas berwarna biru,
mencetak bentuk tubuhnya. Di punggungnya terdapat
sebilah pedang berwarna hitam.
Berkali-kali Menur menghela napas, mendengar
perintah gurunya yang memang sangat sukar diban-
tah. Dan teringat pada Pendekar Slebor yang dikata-
kan gurunya, membuat Menur teringat kembali pada
peristiwa beberapa bulan yang lalu.
"Guru..., apakah masalah perjodohan ini tidak bi-sa ditunda lagi?" tanya Menur
seraya mengangkat kepalanya.
Kaliki Lorot yang juga berwajah bulat menggeleng-
kan kepalanya. Dia mengenakan pakaian warna hitam.
"Tidak! Aku hanya ingin melihat kau berjodoh
dengan Pendekar Slebor!" sahut Kaliki Lorot tegas.
"Tetapi, Guru..."
Sepasang mata hitam Kaliki Lorot kontan melotot.
Mungkin mata orang yang sekarat kalah besar dengan
mata melotot lelaki tua ini.
"Mengapa kau selalu membantah, hah"! Apakah
kau sebenarnya tidak mencintainya?"
Menur terdiam. Gadis cantik dengan hidung ban-
gir dan bibir memerah tipis itu menundukkan kepa-
lanya. Bayang-bayang beberapa bulan lalu kembali
menari-nari di benaknya. Mengejeknya, agar cintanya
terbangkit kembali. Ah! Sudah jelas dia jatuh hati pada Pendekar Slebor. Hanya
saja,' malu menunjukkannya
pada siapapun juga. Terutama mengingat Pendekar
Slebor yang menginginkan masalah perjodohan itu di-
tunda lebih dulu.
Akan tetapi, Menur yakin kalau sesungguhnya
Pendekar Slebor menolak secara halus. Mungkin hal
itu dilakukan Pendekar Slebor karena merasa didesak
terus-menerus oleh gurunya (Untuk lebih jelas menge-
tahui siapa Menur dan Kaliki Lorot, silakan baca epi-
sode : "Malaikat Peti Mati").
"Hei, kenapa kau terdiam lagi, hah"! Kasmaran,
ya?" ledek Kaliki Lorot.
Menur mengangkat kepalanya. Memperhatikan
wajah bulat gurunya. Dia mendesah panjang.
"Baiklah Guru... Aku akan mencarinya...," kata Menur, menyetujui.
Seketika terdengar tawa keras Kaliki Lorot. Perut-
nya sampai terguncang-guncang.
"Itu baru muridku! Kalau kau sudah bertemu
dengannya, seret dia ke sini! Mengerti?"
Menur kembali hanya menganggukkan kepalanya
saja. Tak tahu harus berbuat apa. Karena dia yakin,
bila menolak perintah, gurunya akan marah besar.
*** Dengan seekor kuda, Menur meninggalkan pon-
dok kecil di lembah tempat tinggalnya selama ini. Da-
lam hal menunggang kuda, Menur termasuk salah seo-
rang jagonya. Dia tak melihat gurunya melepas keper-
giannya. Berarti, Kaliki Lorot akan muncul di hada-
pannya bila gadis itu sudah membawa Pendekar Sle-
bor. Di punggung kudanya yang berjalan tak begitu
kencang, berjuta pikiran bermain di benak Menur. Ber-
juta kegalauan simpang siur dalam perasaannya.
Duh..., mencari seorang pemuda" Apakah ini pantas
dilakukan seorang gadis"
Namun Menur akan lebih gelisah lagi bila mem-
bayangkan bagaimana kemarahan gurunya bila meno-
lak perintah. Rasanya memang sakit. Namun mau di-
apakan lagi"
Meskipun tak tahu ke mana harus mencari Pen-
dekar Slebor, Menur terus mengarahkan kudanya ke
arah selatan. Dia pun tak yakin bisa menemukan pe-
muda pewaris ilmu Lembah Kutukan yang mempunyai
berjuta langkah.
Kalaupun bisa menemukannya, apakah Menur
akan mengatakan, Kang Andika..., ingatkah kau pada
perjodohan kita" Aku ingin segera menjadi istrimu.
Oh, tidak! Tidak mungkin dia mengatakan seperti
itu. Rasanya terlalu bodoh dan memalukan! Benar-
benar tak menentu perasaan gadis itu sekarang ini.
Tepat matahari di tengah kepala, Menur tiba di
sebuah desa. Kini kudanya digebah cepat. Kelincahan-
nya benar-benar nampak sekali saat menunggang ku-
da. Namun kegalauan di hatinya benar-benar mem-
buatnya tak tenang.
Namun, tiba-tiba saja laju kuda Menur terhenti.
Sepasang kaki depan kudanya langsung terangkat dis-
ertai ringkikan keras. Menur tersentak dan segera be-
rusaha mengatasi keseimbangan kudanya. Akibatnya,
dia harus terlempar ke tanah. Kalau saja tidak sigap, tubuhnya bisa terbanting
di tanah. Selagi kudanya mengamuk tak menentu, Menur
cepat menyergap dan menenangkannya. Sesaat bisa
terlihat kalau kudanya begitu gelisah. Pasti ada sesua-tu yang mengganggunya.
Ini bukan omong kosong, ka-
rena Menur sangat mengetahui sifat kudanya.
"Tenang Manis.. tenang...," bujuk Menur.
"Auummm...!
Mendadak saja terdengar auman yang sangat ke-
ras, seperti hendak menggetarkan isi alam ini. Tak la-ma, melompat seekor hewan
besar dengan kulit be-
lang. Si Manis kembali meringkik. Sementara Menur
sendiri bergidik sejenak melihat binatang yang ternyata seekor harimau besar.
Belum lagi Menur bisa menguasai keterkejutan-
nya.... "Busyet! Ke mana lagi si Belang?"
Terdengar bentakan keras yang disusul muncul-
nya satu sosok tubuh ramping berwajah cantik dengan
rambut tergerai panjang. Pakaiannya terbuat dari Kulit harimau. Bagian bahu
sebelah kanan terbuka. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang.
Gadis cantik ini mengomel-ngomel ketika melihat
harimau yang ternyata peliharaannya sudah merebah-
kan tubuhnya. "Bandel! Kau harus dikurung saja, Belang".
Lalu bagaikan seorang ibu, gadis berpakaian ha-
rimau ini menepuk kepala harimau yang kelihatan
sangat menurut padanya.
Menur menarik napas lega melihat kalau gadis
berpakaian kulit harimau adalah majikan dari harimau
itu. Gadis berpakaian harimau itupun berdiri.
"Maaf ya" Memang bandel si Belang ini! Tahu-tahu dia sudah menghilang tadi!"
ucap gadis itu pada Menur. Menur hanya tersenyum saja. Bila melihat wajah-
nya, sudah tentu gadis ini tidak berbeda jauh usia
dengannya. "Tidak apa-apa, meskipun cukup mengejutkan ta-
di," sahut Menur.
"Tetapi si Belang baik, Asalkan jangan dijahati. Oh ya.... Namaku Sari"
"Namaku Menur".
Kedua gadis ini saling melepas senyum. Gadis
bersama harimau yang mengaku bernama Sari itu
memang putri Ki Wirayuda, si Penguasa Harimau (Un-
tuk lebih mengenal Sari, silakan baca serial Pendekar Slebor dalam episode :
"Raja Akherat", "Neraka di Kera-ton Barat" dan "Sengketa di Gunung Merbabu")
"Hendak kemanakah kau Menur" "tanya Sari
sambil memperhatikan wajah cantik dihadapannya.
Sedikit banyaknya, Sari bisa melihat kedukaan di
mata yang bening itu. Oh.... Kedukaan apakah yang
tengah dialami kawan barunya ini"
"Aku...,sedang mencari seseorang"
"Siapakah dia"!"
"Maafkan aku, Sari, Bukannya aku tak ingin men-
gatakannya kepadamu. Tetapi, kau kan tahu, sekali
waktu, orang pasti mempunyai rahasia," desah Menur.
Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggang-
gu hati Sari, tetapi dia maklumi juga.
"Kau sendiri?" tanya Menur kemudian.
"Oh! Aku sedang mencari si pemuda urakan! Huh!
Sebel! Katanya ingin mengunjungi ku. Tetapi sudah
beberapa purnama, dia tak pernah datang! Jadinya
aku mencarinya!"
Justru kebalikan dari sikapnya, Sari langsung
menggerutu dan berkata terus terang.
"Siapa dia, Sari?" tanya Menur tersenyum. Hatinya yakin, kalau yang sedang
dicari adalah kekasih Sari
sendiri. Ah! Alangkah bahagianya mencari seorang
yang disayangi dengan penuh rindu bercampur pena-
saran. "Kang Andika!" sebut Sari, terus terang.
Kalau tadi Menur tersenyum, kali ini mengerutkan
keningnya. "Kang Andika?" ulang Menur.
"Ya. Pemuda brengsek itu!" mulut Sari membentuk kerucut. "Tetapi biarpun begitu,
aku menyukainya, lho!" Kali ini Menur terdiam. Ada sesuatu yang asing di
hatinya, sesuatu yang tak bisa dimengerti mengapa bi-sa muncul secara tiba-tiba.
Apakah Andika yang di-
maksud Sari adalah....
"Hei, kenapa diam?" celetuk Sari membuyarkan lamunan Menur.
Menur mencoba tersenyum. Ditatapnya dara jelita
di hadapannya. Sekali bertemu Sari, Menur bisa me-
nebak sifatnya yang polos, terbuka dan jujur. Bahkan
ada terkesan manja. Kalau sifat yang terakhir itu, dia pun mempunyainya.
"Bolehkah aku tahu, siapa dia?" tanya Menur.
Kali ini wajah Sari memerah. Hatinya kelihatan
ragu untuk mengatakannya.
"Sebenarnya sih..., dia bukan apa-apa ku. Tetapi ya tadi, aku menyukainya,"
tutur Sari, agak manja.
Bukan.... Bukan itu yang dimaksudkan Menur.
Karena dia ingin tahu siapakah yang dimaksudkan
dengan 'Andika' oleh Sari.
"Tetapi selain menyukainya, kau juga mencin-
tainya, kan?" tanya Menur, halus.
Sari tersipu-sipu.
"Ah, kau ini.. Rupanya senang menggoda, ya?" desah Sari pelan. Tetapi kemudian
Menur bisa melihat
wajah Sari yang menjadi mendung. "Meskipun aku
mencintainya, tetapi belum tentu pemuda urakan ber-
juluk Pendekar Slebor itu membalas cintaku...."
Kalau ada berita yang lebih mengejutkan lagi, su-
dah tentu Menur tak seterkejut sekarang. Jadi, benar dugaannya. Kang Andika yang
dimaksud gadis berkulit
kuning langsat dan mengenakan pakaian kulit hari-
mau itu tak lain dari Pendekar Slebor.
Dan ini membuat perasaan Menur jadi tidak enak.
"Oh, Kang Andika.... Ternyata bukan hanya aku
yang mencintaimu. Dan yang berdiri di hadapanku ini
pun sangat mencintaimu. Mungkin pula, masih ba-
nyak gadis cantik yang jatuh cinta padamu, Kang An-
dika...," desis Menur dalam hati.
Sesungguhnya, meskipun belum tau harus berkata
apa jika bertemu Andika, tetapi Menur sebenarnya
sangat senang mencari pemuda yang dicintainya. Te-
tapi sekarang, apakah dia harus bersaing dengan gadis bernama Sari ini"
Sari melihat perubahan wajah Menur. Dipandan-
ginya gadis itu dengan kening berkerut.
"Kenapa, Menur" Sepertinya, kau tengah memi-
kirkan sesuatu yang sangat merisaukan!" usik Sari.
Menur mengangkat wajahnya. Lalu perlahan-
lahan menggeleng.
"Tidak apa-apa. Sari, mudah-mudahan kau bisa
bertemu pemuda yang kau kasihi itu," desah Menur.
"Huh! Mencari pemuda urakan semacam dia sih,
bukan soal gampang!" dengus Sari. Bibir merahnya yang indah itu kembali
membentuk kerucut.
"Tetapi, kau akan tetap mencarinya, bukan?"
"Ya, sudah pasti! Kalau bertemu dengannya, huh!
Akan kulabrak dia! Berani-beraninya membatalkan
janjinya untuk mengunjungi ku! Padahal, aku me-
nunggunya sangat lama!".
Menur tersenyum. Bisa dirasakannya betapa be-
sarnya cinta kasih yang tertanam di dada Sari pada
Pendekar Slebor. Lalu bagaimana dengan dirinya"
Tetapi Menur tetap tersenyum, meskipun bingung
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaimana menghadapi gurunya nanti. Yang secara ti-
dak langsung sudah berpesan kalau tidak berjumpa
Pendekar Slebor, maka dia tidak akan pernah mene-
muinya. Dan masalah yang dihadapinya ini ternyata
melebar menjadi pelik. Membentuk satu kesatuan yang
membingungkan. "Menunggu sebentar lagi kan tidak apa-apa, ya?"
usik Menur. Sari tersenyum.
"Memang tidak apa-apa. Tetapi kan, aku sudah ti-
dak sabar berjumpa dengannya."
"Itu wajar, Sari. Kalau kita merindukan seseorang atau sesuatu, maka perasaan
tidak sabar akan mende-ra hati kita. Yah..., seperti yang sedang kau alami"
desah Menur mencoba memberikan ketenangan pada di-
rinya sendiri. "Iya, tetapi kan... awaaass...!"
*** Api besar tiba-tiba menyambar ke arah Menur.
Sebelum diperingatkan Sari, Menur sendiri sudah me-
nangkap desir panas yang menderu ke arahnya.
Seketika gadis itu bergulingan ke samping. Se-
mentara kudanya meringkik keras, dan berlari me-
ninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Manis!"
Tetapi kuda milik Menur terus berlari kencang.
Sementara Sari bersiaga setelah mencabut pe-
dangnya. Si Belang sudah berdiri tegak dengan raun-
gan keras, menatap pada api yang membakar rumput
yang diinjak Menur tadi.
"Bangsat busuk!! Perlihatkan diri sebelum kucincang tubuhmu!" bentak Sari keras.
Sementara, Menur masih berusaha tenang, meskipun berdiri dengan ke-siagaan
penuh. "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, terdengar satu suara tawa yang sangat
keras, sampai menggugurkan dedaunan. Bahkan si
Belang sampai mengaum keras.
"Inilah yang paling cocok menjadi istriku! Cantik, pandai, dan benar-benar bisa
memuaskan ku!"
Belum juga gema tawa itu lenyap, terdengar suara
bernada keras. Bahkan disusul oleh satu sosok tubuh
tinggi besar yang melenting dari balik sebuah pohon.
Kedua dara jelita itu pun semakin bersiaga, mena-
tap satu sosok tinggi besar berpakaian merah menyala.
Celananya berwarna hitam dengan selembar kain ber-
warna keemasan melingkar di pinggangnya.
Wajah sosok tinggi besar itu boleh dibilang sangat
menyeramkan. Rambutnya pirang acak-acakan, den-
gan hidung bengkok mirip paruh betet. Telinga kanan-
nya tidak ada. Sementara di telinga kirinya yang cap-
lang bergantung sebuah anting panjang berbentuk li-
dah api. Dan yang paling mengerikan, dari sekujur tu-
buhnya memancarkan hawa panas luar biasa.
"Manusia jelek! Siapa kau, hah"!" bentak Sari penuh amarah.
Amarah gadis ini semakin menggelora setelah melihat
betapa buruknya wajah yang baru muncul itu. Lebih-
lebih bila mengingat andai kata saja sahabat barunya ini tidak sigap, bisa-bisa
menjadi manusia panggang.
Sosok mengerikan yang mengeluarkan hawa pa-
nas itu terbahak-bahak.
"Dua kelinci manis yang akan menghibur ku se-
tiap saat," desisnya sambil menyeringai, menjijikkan.
Kedua gadis manis itu sadar kalau merekalah
yang dimaksudkan 'dua kelinci manis'. Dan secara
bersamaan, kegusaran keduanya menjadi naik. Menur
sendiri sudah mencabut pedangnya.
Tetapi melihat sikap kedua dara jelita yang marah,
tawa sosok tinggi besar itu bertambah keras.
"Kalian beruntung, karena ku pilih menjadi pen-damping ku! Ha ha ha...! Kalian
akan melahirkan
anak-anakku, anak-anak Dewa Api!" lanjut sosok berhawa panas ini.
Sari dan Menur berpandangan. Dewa Api" Siapa
dia" Nampaknya baru kali ini keduanya mendengar ju-
lukan yang angker seperti itu.
"Lebih baik pergi dari sini, sebelum tubuhmu ku-
cincang!" bentak Sari dalam kemarahan menggelegak.
"Itu lebih baik, Manis. Ingin sekali ku rasakan betapa lembutnya pedangmu!"
sahut lelaki berjuluk De-wa Api.
"Hiaaa...!"
Sebagai jawabannya Sari langsung menerjang
dengan kejengkelan membara. Pedangnya siap me-
nyambar tubuh Dewa Api yang berdiri di hadapannya
dengan tawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ber-
guncang. Melihat lawannya hanya diam saja, Sari menam-
bah tenaga dalam pada serangannya. Namun sesuatu
yang mengejutkan terjadi. Karena, belum lagi pedang-
nya menebas batang leher Dewa Api, tiba-tiba saja....
"Aaawww...!"
Pedang yang dipegangnya cepat dilepaskan, Seke-
tika dia merasakan pedangnya berubah menjadi bara!
"Gila!" dengusnya sambil bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, Sari melihat pedangnya telah
lumer menjadi cairan berwarna merah yang panas!
"Ha ha ha...!"
Dewa Api terbahak-bahak
"Mengapa tidak kau teruskan, Manis"!" ejeknya, sombong.
Menur yang berniat menyerangpun mengurung-
kan niatnya. Diperhatikannya pedang Sari dengan ma-
ta terbelalak. Bisa dibayangkan bagaimana bila tangan atau kakinya yang mampir
ke tubuh Dewa Api. Sudah
dapat dipastikan kalau dirinya pun akan terbakar be-
gitu saja! Maka bergegas didekatinya Sari.
"Manusia ini sangat sukar dihadapi, Sari. Lebih
baik kita menghindar saja," usul Menur berbisik. Dia menduga bila nekat
menyerang, maka tak ampun tu-
buh mereka akan lumat.
Meskipun kekeraskepalaan sangat menampak di
wajah Sari, tetapi akal sehatnya pun bisa diperguna-
kan untuk menyetujui usul Menur. Tetapi, sebelum
mereka bergerak, Dewa Api sudah mengibaskan kedua
tangannya. Wrrr! Api yang besar itu berkelebat ke arah kedua gadis
ini. Namun Menur dan Sari langsung bergulingan. Saat
itu juga, tempat tadi mereka berpijak sudah terbakar.
"Ayolah manis.. Bila kalian berdua bersedia menjadi istriku..., kalian akan
kuperlakukan dengan baik!"
"Cih, Tidak tahu malu! Anjing pun menolak untuk
kau gauli!" ejek Sari.
Sementara itu si Belang sudah tidak sabar me-
nunggu perintah majikannya untuk menyerang manu-
sia berhawa panas itu.
Mendengar kata-kata Sari yang pedas Dewa Api
justru terbahak semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja dari mulutnya yang terbuka
keluar angin yang menderu kencang, memadamkan api yang bisa menjalar
menghanguskan seluruh hutan.
"Itu tandanya aku masih mengasihani kalian," desis Dewa Api, seusai menggelar
totokannya. Kembali dua gadis jelita itu berpandangan.
"Sari.... Aku yakin..., manusia api ini tak akan pernah melepaskan kita" bisik
Menur. "Lalu apa maksudmu, Menur?"
"Aku akan menyerangnya. Sementara manusia
busuk itu kuserang, cepatlah tinggalkan tempat ini."
"Tidak! Kita telah menjadi sahabat. Dan kita harus bersama-sama menghadapi
manusia busuk itu!" sahut Sari, membantah
Menur pun sebenarnya menginginkan hal itu. Te-
tapi, entah mengapa di dasar hatinya yang terdalam
merasa kasihan pada Sari, yang sama-sama merindu-
kan Pendekar Slebor. Baginya, Pendekar Slebor me-
mang lebih cocok bersanding dengan Sari.
"Sari..., saat ini tak perlu berdebat. Cepatlah tinggalkan tempat ini selagi
kuserang manusia keparat
itu!" bisik Menur lagi.
"Tidak! Kalaupun harus mati, kita harus mati bersama!" tandas Sari, tetap
menggeleng. Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja Sari melom-
pat menyerang Dewa Api yang masih terbahak-bahak
dengan sebuah hantaman berisi tenaga dalam tinggi.
Namun sebelum tangan yang mengandung kekuatan
penuh itu menerpa tubuh Dewa Api....
"Aaakh...!"
Sari sudah melompat ke belakang. Hawa panas
yang keluar dari tubuh Dewa Api sangat sulit ditahan-
nya. "Sariii!" seru Menur.
Gadis ini melihat pakaian Sari berubah menjadi
hitam di bagian lengan kirinya. Dan mendadak saja,
Menur mengempos tubuhnya. Satu kekuatan angin
bak topan prahara mengiringi serangannya. Paling ti-
dak barang sejenak bisa membuatnya tahan terhadap
rasa panas yang menjilat-jilat.
"Uhh...!"
Namun dalam jarak dua tindak saja, Menur sudah
tak mampu lagi meneruskan serangannya.
Dewa Api terbahak-bahak.
"Batas kesabaranku sudah habis! Kalian berdua
harus menjadi milikku!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Dewa Api pun
menderu ke arah keduanya. Maka Sari dan Menur se-
gera langsung berloncatan menghindar. Hawa panas
benar-benar dirasakan, menjilat-jilat sekujur tubuh-
nya. Si Belang yang sejak tadi menunggu perintah, tak bisa lagi menahan diri
melihat majikannya dibuat
tunggang-langgang seperti itu. Dengan auman keras
diterjangnya Dewa Api.
"Belaaang! Jangaaannn...!" teriak Sari.
Tetapi si Belang sudah menderu ke arah Dewa
Api. Sejurus kemudian, terdengarlah raungannya yang
sangat keras. Ekornya terbakar akibat kibasan tangan
Dewa Api yang melakukannya sambil terbahak-bahak.
Sari cepat melompat mendekati peliharaannya, se-
telah meraup debu yang banyak terdapat di sana.
Dengan debu, dipadamkannya api yang membakar
ekor si Belang. Binatang buas ini terduduk dengan wa-
jah penuh geraman dan rintihan bercampur raungan.
"Tinggalkan tempat ini, Sari! Satu yang tertangkap lebih baik daripada kedua-
duanya!" teriak Menur, keras. Sehabis berkata begitu, Menur menginjak ekor si
Belang. Akibatnya, binatang buas ini langsung melom-
pat bagaikan tersentak. Sari yang masih memegang
leher si Belang kontan terbawa. Dan mau tak mau, ce-
pat ditungganginya si Belang yang sedang kesakitan.
Masih sempat dilihatnya Menur yang berusaha
menghindari setiap serangan Dewa Api. Dan sebelum
pemandangan itu menghilang karena si Belang sudah
menyusup ke bagian hutan lebih dalam, Menur sudah
jatuh pingsan. Bahkan masih didengarnya suara tawa
Dewa Api. Hati Sari menjadi sedih. Namun untuk menghen-
tikan si Belang saat ini, tidak semudah yang biasanya dia lakukan. Jadi, mau tak
mau pegangannya pada si
Belang justru diperketat agar tidak terjatuh.
3 "Mereka memaksaku untuk dijadikan istri Dewa
Api, Kang Andika" desah Savitri mengakhiri ceritanya mengapa sampai dikejar
orang-orang yang tadi mengejarnya.
Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya saja. Walaupun sifatnya urakan,
namun bila melihat nasib malang gadis yang duduk
tertunduk di hadapannya, hatinya trenyuh juga.
"Savitri, siapakah sesungguhnya Dewa Api itu?"
tanya Pendekar Slebor, hati-hati.
Savitri menggelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah tahu, siapa dia, Kang Andika. Tetapi yang pernah kudengar...,
dia selalu menculik ga-
dis-gadis untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya.
Konon kabarnya, ilmunya sangat tinggi."
Andika mendesah.
"Kalau begitu, aku akan segera mencari Dewa Api.
Biar ku kawinkan dia nanti dengan kambing seka-
lian..!" desis Pendekar Slebor, tak menghilangkan ba-nyolannya.
"Tetapi, Kang Andika!.. Ilmu Dewa Api sukar dicari tandingannya," kata Savitri
yang memang belum tahu siapa sesungguhnya pemuda tampan yang duduk di
hadapannya. Andika tersenyum.
"Meskipun demikian, aku yakin.... Dewa Api pasti takut dengan Dewa Air. Kan
kedua benda itu tak pernah akur.... Betul, kan" Nah, jadi setiap manusia pasti
ada kelemahannya. Hm..., kalau begitu, kita berpisah
di sini," "Kang Andika, aku ikut," kata gadis itu tiba-tiba.
Andika menggeleng. Bisa repot kalau gadis ini juga
ikut. "Tidak usah, Savitri. Biar aku yang pergi mencarinya," ujar Andika.
"Tetapi, aku ingin sekali membunuh manusia ke-
parat itu."
"Dengar, Savitri! Kesulitan yang akan ku alami.
Dan aku tak mau kau ikut dalam kesulitan itu," tandas Andika, menekan suaranya.
"Masa bodoh! Pokoknya aku ikut! Lagi pula, aku
hendak ke mana" Rumahku sudah hancur terbakar.
Kalaupun aku kembali, tak ada yang kutemui. Pokok-
nya, aku ikut!"
Gadis yang keras kepala. Andika masih mencoba
menghalangi keinginan Savitri, tetapi gadis itu tetap saja pada keinginannya.
"Ya, sudah! Kalau mau ikut, tapi jangan bandel,
ya"!" kata Andika mendengus. "Aku tak mau kau re-potkan! Kita berangkat sekarang
untuk mencari tahu
di mana Dewa Api tinggal."
Savitri tersenyum senang. Dia yakin, pemuda
tampan yang baru dikenalnya ini adalah orang baik-
baik. Dan suatu saat, Savitri ingin sekali mengabdi pa-da Andika, menyandarkan
hidupnya pada ketulusan
sikap Andika.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Ada sesuatu yang memaksa Savitri untuk ikut
bersama Andika. Yakni, dia seperti tak ingin kehilan-
gan pemuda itu. Namun yang mengejutkannya, perja-
lanannya bersama Andika bukanlah perjalanan nya-
man. Karena berulangkali Andika terlihat bertarung
dengan beberapa tokoh persilatan golongan hitam.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang memang ingin
membunuh Andika. Maka, dari sanalah dia tahu, ka-
lau pemuda yang berjalan di sisinya tak lain dari Pendekar Slebor.
"He he he...! Tidak usah takut. Memang begitulah hidupku. Selalu diintai maut,"
kata Andika di suatu malam.
Tangan Pendekar Slebor sedang sibuk mengipasi
kelinci panggang. Aroma wangi daging panggang me-
nyusup ke hidung, membuat perut siapa pun yang
mencium menjadi lapar.
"Kang Andika..., mengapa mereka menginginkan
nyawa Kang Andika?"
Savitri yang penasaran ingin mengetahui siapa se-
sungguhnya Andika bertanya lagi.
Sementara Andika hanya mengangkat alisnya
yang hitam bagaikan kepakan sayap elang.
"Tidak tahu, ya" Barangkali mereka iri karena aku lebih tampan..., ha ha ha...!"
Savitri tersenyum kecut. Mulai lagi kesleboran
Andika. "Nah! Sudah matang sekarang! Ayo, kita sikat
sampai habis!"
Andika yang melihat kalau Savitri masih ingin ber-
tanya, memutuskan gerak bibir gadis itu.
Kelinci besar yang dipanggang itu dibagi dua. An-
dika makan dengan lahapnya. Sementara Savitri sam-
bil makan masih sesekali memperhatikan Andika.
"Nah, kenapa lagi?" sentak Andika tiba-tiba. "Apakah kau juga ingin mengatakan,
betapa tampannya
aku ini?" Savitri yang merasa terpergoki buru-buru menun-
dukkan kepalanya. "Aku penasaran."
Andika menggaruk-garukkan kepalanya. "Kenapa
sih?" "Sebenarnya, siapakah Kang Andika ini?"
"Aku" Ya, namaku Andika. Kalau kau mau tahu
orangnya, ya ini.... Yang berada di hadapanmu dengan
perut kelaparan," sahut Andika nyengir.
Savitri tidak banyak bertanya lagi, karena tiba-
tiba saja perutnya terasa lapar kembali.
Setelah selesai makan, Andika memadamkan api.
Karena, di tempat sunyi seperti ini bahaya akan selalu mengancam.
"Bisakah kau tidur di atas pohon, Savitri?" tanya Andika beberapa saat kemudian.
Gadis itu terbelalak.
"Oh"! Bagaimana kalau aku jatuh?"
"Ya ke bawah!" sahut Andika enteng.
Savitri yang melotot jadi tertawa mendengar jawa-
ban itu. Kepalanya menggeleng.
"Kalau begitu, kita tidur saja di sini. Besok pagi, barulah meneruskan
perjalanan lagi," ujar Andika sambil merebahkan tubuhnya.
Savitri bukanlah gadis manja. Maka, baginya lebih
baik tidur di tanah saja daripada di atas pohon. Maka tubuhnya pun direbahkan di
samping Andika.
Malam semakin membentang. Terbayang lagi, ba-
gaimana rumahnya tiba-tiba terbakar dan tiga orang
berparang besar menerobos masuk. Memaksanya agar
ikut menghadap Dewa Api. Ayahnya yang berusia em-
pat puluh lima tahun mencoba menghalangi tindakan
ketiga manusia bengis itu. Tetapi, ajal segera menjem-putnya ketika salah
seorang dari mereka mengibaskan
parang. Begitu pula nasib ibu dan adik-adiknya. Un-
tungnya dia masih bisa meloloskan diri.
Savitri menghela napas masygul. Apa yang bisa di-
lakukannya sekarang ini"
Tiba-tiba saja gadis ini terbangun, ketika terden-
gar suara ranting patah dan langkah mendekat. Ketika
menoleh ke samping, tampak Andika sudah terbujur
kaku dengan dada berdarah.
Savitri menjerit keras, ketika melihat seorang laki-
laki tinggi besar dengan tubuh mengeluarkan hawa
panas terbahak-bahak mendekatinya.
Sebisanya gadis ini bangkit dan berlari. Namun,
sosok tinggi besar itu terus mengejarnya. Jatuh ban-
gun Savitri dibuatnya. Hingga satu saat, dia tak mam-
pu lagi berlari. Sementara sosok tinggi besar itu me-
nyeringai di hadapannya.
"Sudah kukatakan, kau harus menjadi istriku!"
"Tidak, jangan! Oh..., tidak!" seru Savitri sambil beringsut.
Sosok tinggi besar itu semakin menyeringai sambil
mendekatinya. "Kau harus menjadi istriku!"
Lalu dengan buasnya, lelaki menyeramkan itu
menyobek pakaian Savitri. Dirasakannya tubuh besar
itu menindihnya sambil menciumi wajahnya dengan
ganas. "Tidak! Tidak! Tolooong.'" teriak Savitri keras.
*** "Savitri! Sadar! Sadar, Savitri!" Mendadak satu suara menerpa telinga Savitri,
disertai guncangan tubuhnya. Savitri membuka matanya. Lalu dilihatnya Pende-
kar Slebor sedang menatapnya.
"Oh, Kang Andika!" desis gadis ini sambil merangkul Andika. Dan Pendekar Slebor
pun balas merang-
kul. "Tidak apa-apa. Kau aman, Savitri...."
Savitri menangis di dada bidang Andika.
"Kau bermimpi buruk?"
Savitri mengangguk.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Hanya mimpi saja. Le-
bih baik tidur kembali...."
Lalu hati-hati sekali Andika merebahkan tubuh
gadis itu kembali. Diselimutinya dengan kain bercorak catur miliknya, kain
pusaka warisan Ki Saptacakra.
"Tidurlah.... Aku akan menjaga mu sampai kau
terbangun esok pagi...," ujar pemuda ini lembut.
Savitri berusaha memejamkan matanya. Namun,
gagal. Karena, bayang-bayang mimpi yang mengerikan
tadi masih melintas di benaknya. Begitu menakutkan!
"Kang Andika...," desah gadis ini, memanggil.
Andika yang belum tidur membuka matanya.
"Kenapa, Savitri?"
"Aku takut, Kang...."
Andika membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wajah
cantik yang berkeringat. Mata lembut itu mengerjap
berkali-kali. "Aku akan menjaga mu...," tandas Andika, lirih.
"Kang Andika...."
"Ya?"
"Maukah..., maukah..., kau...."
Andika langsung merangkul gadis itu dengan lem-
but. "Kalau kau memang ingin ku rangkul agar tenang, aku sudah melakukannya,
bukan?" "Bukan, bukan itu, Kang...," sahut gadis itu tiba-tiba. Andika langsung
melepaskan rangkulannya den-
gan muka merah menahan malu.
"Lalu apa?"
"Maukah Kang Andika mengantarku buang air ke-
cil?" Andika tertawa pelan sambil menepuk jidatnya.
Busyet! Ku pikir merangkulnya. Daripada malu, Andi-
ka pun mengiyakan.
*** 4 Menur tersadar dari pingsannya. Yang pertama
kali dirasakan adalah pusing yang benar-benar me-
nyiksa. Tiba-tiba rasa dingin menyusup ke seluruh tu-
buhnya. Dan alangkah terkejutnya dara jelita itu, keti-ka menyadari kalau
pakaian yang biasa dikenakan su-
dah berganti sehelai gaun tipis menerawang.
"Oh!"
Gadis itu mendesah sambil menekuk lutut dengan
kedua tangan. Matanya membelalak begitu mencium
aroma wangi yang menebar ke seluruh ruangan yang
berdinding kain warna merah muda. Ranjang yang di-
tempatinya pun beralaskan kain berwarna sama.
Di sisi ranjang, Menur melihat tiga orang gadis je-
lita berpakaian tipis menerawang berwarna biru lang-
sung berdiri dan mengatupkan kedua tangan di dada,
melihat Menur bangun.
"Dewi sudah bangun?" sapa salah seorang gadis.
Menur menoleh pada ketiga gadis yang baru dili-
hatnya. Wajah ketiganya begitu cantik dengan rambut
tergerai panjang hingga punggung.
"Siapa kalian" Kenapa dengan pakaianku?" tanya Menur dengan wajah makin tak
mengerti. "Maafkan kami, Dewi.... Pakaian yang Dewi kena-
kan tak pantas dipakai lagi," ucap gadis itu.
"Namaku Menur! Bukan Dewi!" dengus Menur
jengkel. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau dirinya berada di bawah kekuasaan
Dewa Api. "Kami diperintah Dewa Api untuk menyebut mu
dengan panggilan Dewi.... Mari, Dewi... kami akan se-
gera memandikan Dewi...."
"Tidak! Aku ingin keluar dari sini!" dengus Menur dengan mata memperhatikan
sekelilingnya. "Maafkan kami, Dewi. Lebih baik, turuti saja kata-kata kami. Karena, semua ini
perintah Dewa Api."
Membayangkan betapa tingginya ilmu Dewa Api,
Menur kini hanya menurut saja.
Apa yang diduga Menur memang benar. Karena
sesungguhnya Dewa Api telah menutupi bangunan be-
sarnya dengan ajian 'Bayangan Dalam Kabut'. Sehing-
ga dari luar, bangunan itu tidak nampak.
Kini dengan hati-hati, ketiga gadis itu menuntun
Menur yang rasanya tak sabar ingin memberontak sa-
ja. Diperlakukan seperti ini, Menur lagi-lagi hanya menurut saja. Dia dibawa ke
sebuah tempat yang benar-
benar mengeluarkan aroma harum semerbak.
"Maafkan, kami harus membuka seluruh pakaian
Dewi." "Aku tidak perlu mandi. Lebih baik, tunjukkan jalan keluar dari sini," kata
Menur. "Dewi., Dewa Api tentunya akan murka pada De-
wi...." Kembali kesadaran Menur timbul. Saat ini dia
memang harus menurut saja. Oh.... Kalau saja keingi-
nan gurunya untuk mencari Pendekar Slebor tidak di-
penuhi, sudah tentu dia tak akan mengalami nasib
mengenaskan seperti ini.
Berada di bawah kekuasaan Dewa Api, berarti te-
lah mencelupkan sebelah kakinya ke neraka. Bila
memberontak, berarti pula mencelupkan kedua ka-
kinya ke neraka.
Makanya, akhirnya Menur menurut saja semua
aturan yang dibuat Dewa Api. Dan memang, dia men-
dapat layanan bagai seorang putri raja.
*** Baru saja Menur selesai makan, pintu ruang ma-
kan yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka. Satu
sosok tinggi besar masuk sambil terbahak-bahak. Keti-
ga gadis berbaju biru tipis langsung duduk bersimpuh.
"Bagus, bagus sekali! Tak salah memang pilihan
ku ini!" kata sosok tinggi besar yang tak lain Dewa Api.
Menur berdiri dengan wajah garang.
"Manusia keparat! Lepaskan aku dari tempatmu
yang busuk ini!" sentak gadis itu.
Bukannya marah mendengar makian Menur, De-
wa Api justru terbahak-bahak.
"Aku menginginkan mu hari ini juga, Manis..,."
Menur membuang ludahnya ke lantai. Justru ke-
tiga gadis berpakaian biru tipis itu yang menjadi ciut.
Mereka tahu, bagaimana bila Dewa Api sudah marah.
"Langkahi dulu mayatku, Manusia Biadab!" maki Menur.
Dewa Api menyeringai.
"Kau benar-benar memuaskan seleraku, Manis,"
kata Dewa Api, menyebalkan.
"Justru aku bertambah muak melihat tampang
anjingmu itu! Aku tahu, aku tak akan mampu meng-
hadapimu! Tetapi, sampai darahku yang penghabisan
pun, akan kuhadapi kau!"
"Ha ha ha...! Ini sangat menyenangkan!"
"Hhh! Bila kekasihku datang, lehermu akan dipa-
tahkannya!"
Kali ini wajah Dewa Api memerah.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Dewa Api dengan suara menggelegar.
"Pendekar Slebor!"
Wajah Dewa Api semakin memerah. Tangannya ti-
ba-tiba bergerak. Seketika api yang panas menjilat-jilat menyambar makanan dan
minuman yang ada di meja.
Bukan hanya makanan atau minuman saja yang han-
gus, tetapi kursi dan meja itu langsung jadi arang!
"Manusia keparat itu! Hhh! Tak kusangka kalau
kau kekasih Pendekar Slebor! Ini kesempatan bagiku
untuk memancingnya datang. Karena dia telah mem-
pecundangi ketiga anak buahku yang setia!"
Betapa murkanya Dewa Api begitu menyadari ka-
lau gadis yang berada di hadapannya ternyata kekasih
Pendekar Slebor. Ketika Tiga Parang Penunggang Kuda
melaporkan kegagalan mereka membawa Savitri kare-
na ulah Pendekar Slebor, Dewa Api menggeram seting-
gi langit. Tubuhnya bagai bergetar. Merasa harga di-
rinya terinjak-injak kenekatan Pendekar Slebor.
Akan dibumi hanguskannya tubuh pendekar sialan
itu. Itulah sebabnya, Dewa Api sengaja keluar dari sa-rangnya untuk mencari
Pendekar Slebor. Dan yang
pertama ditemuinya justru Menur dan Sari yang saat
ini entah berada di mana. Kalau memang gadis yang
berada di hadapannya ini kekasih Pendekar Slebor,
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungguh suatu kebetulan!
Sementara itu, nyali Menur menjadi ciut seketika
mendengar kata-kata Dewa Api. Rupanya, saat ini De-
wa Api sedang mendendam pada Pendekar Slebor. En-
tah, masalah apa. Tetapi karena sudah memperguna-
kan nama Pendekar Slebor, mau tak mau gadis ini ha-
rus lebih kelihatan berani, meskipun tahu betapa
murkanya lelaki berwajah mengerikan itu.
"Jangan sesumbar kau, Manusia Busuk! Apakah
kau tidak pernah mendengar nama kekasihku itu,
hah"! Tubuhmu akan hancur berantakan dipatah-
patahkan!" pancing Menur.
Dewa Api mengibaskan tangannya.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Menur langsung terjajar ke belakang dan
pingsan. Lalu dengan kegeraman sangat, Dewa Api ke-
luar dari ruangan itu. Sementara ketiga gadis berbaju biru bergegas menolong
Menur dan mencoba membuatnya sadar.
"Tak kusangka, kalau Dewi senekat ini," desis salah seorang dengan wajah muram.
Biar bagaimanapun
juga, kewanitaannya terusik melihat Menur dianiaya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalau di-
dengar Dewa Api, kita bisa luluh menjadi debu," sahut yang seorang lagi.
"Kencana benar, Harum," kata yang berbadan paling tinggi. "Lebih baik kita diam
saja bila masih sayang dengan nyawa masing-masing."
Gadis yang dipanggil Harum menganggukkan ke-
palanya. Memang, salah sedikit saja bicara, bisa putus nyawa mereka selama-
lamanya. Dan dia baru sadar
kalau setiap dinding di bangunan besar ini memiliki telinga yang tajam.
Lalu dengan hati-hati, Harum mengajak dua gadis
yang masing-masing bernama Kencana dan Tari,
membawa Menur ke pembaringan semula.
*** Begitu keluar dari ruang makan tadi, Dewa Api
langsung mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Saat
itu juga kematian Pendekar Slebor sangat diinginkan-
nya. Maka, lima orang pengikutnya termasuk Tiga Pa-
rang Penunggang Kuda pun segera meninggalkan tem-
pat. Dua orang lainnya, adalah seorang lelaki tua yang selalu membawa sebuah
batu giok berwarna hijau cemerlang. Kepala si tua yang berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun itu kelimis. Pakaiannya berwarna me-
rah semacam rahib. Ada sehelai kain berselempang
mulai dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kumisnya pu-
tih menjuntai, dengan kedua alis putih mendongak ke
atas. Dari kedua matanya yang merah, memancarkan
sinar kekejaman. Dia dijuluki si Giok Selatan.
Sementara yang seorang lagi, wanita berparas bi-
dadari. Bila melihat wajahnya, bisa diperkirakan
usianya berkisar tiga puluh tahun. Namun sesung-
guhnya, wanita berbaju putih tipis yang menampakkan
lekuk tubuh dan pakaian dalamnya berusia sekitar tu-
juh puluh tahun. Dia memang memiliki ilmu awet mu-
da yang membuatnya sesegar gadis belia. Rambutnya
yang berwarna hitam mengkilat digelung ke atas. Di-
hiasi sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar.
Dia dijuluki Bidadari Bunga Mawar. Selalu mengguna-
kan sebuah senjata semacam cambuk berlidah lima.
Tiga Parang Penunggang Kuda bergerak ke arah
utara. Sementara Bidadari Bunga Mawar dan si Giok
Selatan bergerak ke arah timur.
Dengan menyimpan dendam membara di hati
masing-masing, Tiga Parang Penunggang Kuda berte-
kad untuk membalas kekalahan mereka pada Pende-
kar Slebor. Mereka pun menginginkan Savitri berhasil
direbut. Tepat senja hari, Tiga Parang Penunggang Kuda
tiba di sebuah lembah yang cukup tandus. Namun ka-
rena matahari sebentar lagi hendak kembali ke pera-
duannya, sinarnya tidak terlalu menyengat.
"Hhh! Gara-gara Pendekar Slebor, tugas kita jadi berantakan! Dia memang harus
mampus!" geram Gumila. Terbayang lagi, bagaimana mereka dipecundangi
Pendekar Slebor.
Jaradeta mengangguk dengan sorot mata meman-
carkan kemarahan teramat sangat. Begitu pula Marsu-
sa yang kini lengan kirinya tak bisa digunakan lagi.
Dengan menggebah kuda masing-masing, mereka
melintasi lembah tandus itu. Debu mengepul, namun
tak begitu terasa panas di wajah.
Namun tiba-tiba saja, ketiga kuda mereka mering-
kik keras ketika.....
"Auuummm...!"
Mendadak terdengar suara auman yang mengge-
ma ke seluruh lembah. Bila saja ketiganya tidak tang-
kas mengendalikan kuda, sudah pasti akan terbanting!
"Bangsat! Hewan mana yang berani unjuk gigi!"
bentak Gumila sambil melompat ringan ke tanah. De-
bu yang dipijaknya mengepul.
Begitu pula Jaradeta dan Marsusa. Suara auman
yang keras itu terdengar lagi di telinga mereka.
Dan belum lagi mereka bergerak, seekor hewan
berkaki empat yang besar muncul dari salah sebuah
semak. Matanya yang liar menatap ketiga tokoh sesat
ini. Langkahnya bagaikan menebarkan maut saja.
"Gila! Aku baru tahu kalau di Lembah Nista ini
ada seekor harimau yang begitu besar!" seru Jaradeta, tercekat.
"Dan harimau ini akan menerkam kalian satu per-
satu!" Tiba-tiba terdengar satu suara disusul munculnya
satu sosok tubuh ramping jelita yang hinggap ringan di samping harimau besar
tadi. *** 5 Mata buas Tiga Parang Penunggang Kuda melotot
melihat betapa jelitanya sosok ramping yang baru
muncul. Seketika terdengar tawa menggema dari bibir
menyebalkan ketiga lelaki itu.
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" seru Gumila. "Hei, Manis.,.. Apakah harimau itu
perliharaanmu?"
"Ya!" sahut Sari ketus. "Dan dia akan menerkam kalian bila bersikap macam-
macam!" Gumila tertawa-tawa lagi. Di matanya, Sari tak
ubahnya bagaikan seekor kelinci montok. Ini adalah
saat-saat mengasyikkan. Karena menurut Gumila, apa
yang diinginkan bisa didapatkan tanpa harus memba-
wa gadis ini ke hadapan Dewa Api.
"Yang kuinginkan hanya satu macam. Kau layani
kami di hari yang menjelang malam ini!"
Wajah Sari seketika memerah. Sejak tadi gadis ini
memang sudah melihat ketiganya yang menunggang
kuda dari kejauhan. Dari sikap yang diperlihatkan,
sudah jelas kalau ketiganya bukanlah orang baik-baik.
Apalagi tadi mendengar lelaki yang berbicara barusan
menggeramkan nama Pendekar Slebor!
"Manusia busuk! Lebih baik kalian bunuh diri saja dengan parang di pinggang
kalian, daripada mampus
digigit harimau ku ini!"
Bukannya marah, Gumila terbahak-bahak. Tetapi
hanya sesaat, karena di kejap lain tubuhnya sudah di-
kempos menyerang Sari.
"Hajar manusia keparat itu, Belang!" perintah Sari pada harimaunya.
Gumila pun membuang tubuhnya ketika si Belang
dengan sigap melompat menerkam. Kalau saja tidak
bertindak sigap, bisa dipastikan tubuhnya akan robek-
robek terkena kuku tajam si Belang.
Sementara itu, Marsusa dan Jaradeta pun berge-
rak menangkap Sari. Tetapi mereka terkecoh, karena
dengan ringannya Sari berkelit. Bahkan mengirimkan
satu serangan cepat.
Menyadari kalau gadis berbaju dari kulit harimau
ini bukan lawan sembarangan, dua dari Tiga Parang
Penunggang Kuda pun meningkatkan serangan. Untuk
sejenak, Sari menjadi gelagapan juga menerima dua
serangan yang datang secara beruntun. Apalagi ketika
keduanya sudah mencabut pedang masing-masing.
Kalau saja pedangnya tidak dihanguskan Dewa
Api, dengan mudahnya Sari bisa mengimbangi. Dan
kali ini, gadis itu memang tak bisa membalas. Dia
hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya saja
untuk menghindari serangan yang datang bertubi-tubi
disertai tawa keras dari kedua penyerangnya.
"Hiaaah...!"
Tiba-tiba saja Sari membuat gerakan aneh. Tu-
buhnya tiba-tiba bergulingan. Lalu bagaikan seekor
harimau, dia menerkam ke arah Jaradeta.
Jaradeta yang tadi merasa sudah berada di atas
angin, terbelalak melihat serangan aneh itu. Parangnya berusaha dikibaskan.
Wuuttt...! Namun serangan Sari adalah satu gerak tipu be-
laka. Bukan tangannya yang menyerang, melainkan
kakinya yang menyambar telak.
Desss...! "Aaakh...!"
Jaradeta terpekik dengan tubuh terjungkal. Da-
danya kontan terasa jebol. Ada darah yang mengalir di bibirnya.
Melihat Jaradeta dibuat terpelanting, Marsusa
menggeram. Seketika parangnya dikibaskan secara ka-
sar dan beruntun. Namun Sari yang sudah menemu-
kan cara untuk mengatasi justru membuat Marsusa
kerepotan sendiri.
Sementara itu, Gumila pun sudah mencabut pa-
rangnya pula. Dia benar-benar tak menyangka kalau
seekor harimau mampu melakukan gerakan menye-
rang dan menghindar, mirip gerakan silat. Bahkan
mampu membuatnya kelabakan sesaat.
Namun dengan parang di tangan, kali ini Gumila
merasa benar-benar berada di atas angin. Si Belang
pun dibuat pontang-panting.
Melihat hal itu, perhatian Sari menjadi terpecah.
Biar bagaimanapun juga, gadis ini teramat menyayangi
si Belang. Sambil menghindari serangan Jaradeta dan
Marsusa, tubuhnya bergerak ke arah Gumila. Dan....
Des! Tangan Sari mendarat telak di pinggang Gumila
yang terhuyung dengan pinggang terasa mau patah.
"Belang! Kau tidak apa-apa?" tanya Sari sambil merangkul peliharaannya. Si
Belang mengeluarkan suara auman pelan.
"Heiii! Awas, Belang!"
Melihat Sari lengah, kesempatan ini dipergunakan
Jaradeta dan Marsusa untuk menyerang kembali. Me-
reka tahu, kelemahan gadis ini justru terletak pada ra-
sa kasih sayangnya terhadap hewan peliharaannya.
Bahkan kali ini bersama Gumila yang sudah menderu
lagi, sesekali mereka juga menyerang si Belang. Hal ini tentu saja membuat Sari
menjadi kerepotan. Malah
hampir-hampir dirinya sendiri tidak terpikirkan.
Bahkan nasib Sari benar-benar sudah berada di
ujung tanduk. Tak mungkin lagi bisa dihindari kurun-
gan dari dua buah parang tajam yang cepat menye-
rangnya. Namun ketika gadis manis itu hampir saja berha-
sil ditangkap, tiba-tiba saja melesat dua bayangan kecil. Tak! Tak!
Tahu-tahu dua buah parang terpental. Sementara
dua bayangan kecil yang tak lain dua buah kerikil te-
lah bergulir di tanah.
*** "Wah, wah! Masih belum kapok juga rupanya!"
Tak lama, terdengar suara bersama munculnya
satu sosok pemuda berpakaian hijau pupus. Si pemu-
da berwajah tampan menggeleng-geleng. Sementara
Jaradeta dan Marsusa bergegas mengambil kembali
parangnya. "Kang Andika!" panggil Sari, bernada gembira.
Si pemuda memang Andika alias Pendekar Slebor.
Di sisi Andika berdiri seorang gadis berwajah lembut.
Sari yang hendak melangkah cepat mengurungkan
niatnya. Hatinya bergetar. Siapakah gadis jelita yang berada di samping Andika
itu" Melihat pendekar urakan yang dicarinya menda-
dak muncul, Gumila pun menghentikan serangannya
pada si Belang. Binatang buas itu pun bergegas men-
dekati majikannya. Sementara Gumila sendiri berdiri
di tengah-tengah Marsusa dan Jaradeta. Mereka me-
mandang geram ke arah Pendekar Slebor yang masih
tersenyum-senyum.
"Hei, Pemuda Urakan! Kalau waktu itu kau bisa
mengalahkan kami, kali ini jangan berharap bisa me-
lakukannya lagi!" bentak Gumila sengit.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Sikapnya norak sekali. Sedangkan Savitri mendeka-
ti Sari yang menurutnya juga mengenal Pendekar Sle-
bor. Menghadapi Savitri, entah kenapa perasaan Sari
menjadi tak menentu.
"Aduhh..., jangan dong.... Waktu itu kan aku pu-
ra-pura menang...," ledek Andika, sambil memasang wajah takut. Jelek sekali.
"Sekarang begini saja. Bagaimana kalau kalian yang pura-pura kalah" Ha ha
ha...." Gumila begitu geram mendengar pelecehan Andika.
Dan dia tak mau membuang waktu lagi. Kegeraman-
nya sudah sampai ke ubun-ubun. Kebenciannya pada
Pendekar Slebor sudah menggunung dan siap mele-
dak. "Hiaaat...!"
Dengan ayunan ganas Gumila menderu mengi-
baskan parangnya. Begitu pula Jaradeta dan Marsusa.
Pendekar Slebor cepat menghindar dengan me-
lenting ke belakang. Namun belum lagi hinggap di ta-
nah dengan sempurna, ketiga parang itu sudah men-
gejarnya. Apa yang dikatakan Gumila memang benar. Kali
ini mereka benar-benar tak memberi kesempatan sedi-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kit pun pada Pendekar Slebor. Jurus-jurus parang
yang berbahaya diperlihatkan. Andika sempat dibuat
kerepotan sesaat. Namun berkat kecerdikan dan ke-
tangkasannya, Andika berhasil menyusup masuk dan
mencerai beraikan serangan yang beruntun itu.
Bahkan sambil berkelebat, Pendekar Slebor men-
dadak melepaskan bogem mentah ke iga Marsusa.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Marsusa langsung ambruk tak mampu bangun la-
gi. Tiga buah tulang iganya patah.
Hanya beda waktu lima kejapan saja, Andika telah
berkelebat kembali sambil mengibaskan tangan ke ke-
pala Jaradeta. Prak! "Aaa...!"
Lelaki itu kontan ambruk dengan kepala pecah.
Darah langsung menggenangi tanah.
"Wah, nekat...!" seru Andika.
Kini tinggal Gumila yang kelihatan celingukan
bingung. Namun kesombongannya mematikan segala
ketakutannya. Dengan gagah tubuhnya meluruk me-
nyerang. "Sapi bunting! Mestinya kau melihat kawan-
kawanmu itu!" seru Andika, langsung menyongsong
serangan itu. Dengan satu kelitan dan sambil memutar tubuh-
nya, Pendekar Slebor melepas tendangan menggeledek.
Diegkh! "Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan Andika mendarat di wajah
buruk Gumila. Hidungnya terasa pecah mengeluarkan
darah. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa lang-
kah. "Apa kubilang"!!' kata Andika, seperti orang ter-paksa sekali melepaskan
serangan. Dengan langkah ringan Andika mendekati Gumila
yang masih menjerit-jerit kesakitan.
"Sakit, ya?" ejeknya. "Kasihan. Hmm.... Kau bisa hidup lebih lama lagi kalau
memberitahukan tempat
tinggal Dewa Api jelek itu!"
"Phuih...!"
Bukannya menjawab, Gumila malah meludahi wa-
jah Andika. "Busyet! Bau ludahmu busuk banget! Pasti kau
tak pernah gosok gigi, ya"!" ,
Tiba-tiba Pendekar Slebor menyentil rusuk Gumila
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak! "Aaakh...!"
Gumila kontan roboh tak mampu bergerak lagi.
Urat geraknya hancur, terhantam sentilan Pendekar
Slebor. Walaupun dia hidup, toh tak akan mampu ber-
gerak lagi, alias lumpuh secara keseluruhan. Untuk
saat ini Gumila tak sadarkan diri.
Pendekar Slebor lantas mendekati Sari dan Savitri.
Andika mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.
"Apa kabarmu, Penunggang Harimau?" sapa Pendekar Slebor.
"Apa kabar, apa kabar"! Hei, Pemuda Urakan!
Mana janjimu, hah"! Aku tunggu lama, kok tidak
muncul-muncul juga! Brengsek! Brengsek! Aku jadi
malu sendiri pada ayahku, karena mengharapkan ke-
hadiranmu!" Sari langsung nyerocos.
Andika hanya tertawa saja.
"Maafkan aku, Sari.... Tapi jangan terus nyerocos begitu dong. Seperti mercon
saja," sahut Andika, enteng. "Brengsek! Kau ini memang tidak...."
Tiba-tiba Sari menghentikan makiannya, begitu
menyadari kalau di sisinya masih ada Savitri.
Savitri yang merasa kata-kata Sari terhenti kare-
nanya, langsung tersenyum.
"Tidak apa-apa."
"Aku..., ah! Tidak, tidak.... Aku...."
Andika tertawa.
"Kenapa jadi gelagapan" Makanya jangan sewot
dulu. Apa kau mau kalau kau kubilang habis makan
kroto, sehingga terus mengoceh persis seperti burung
cucak rawa" Pokoknya, aku mengaku salah...."
"Iya, kau memang salah!" Andika tertawa lagi.
"Kalau sudah puas berkicau, ceritakan mengapa
kau sampai bentrok dengan ketiga manusia itu?" ujar Andika.
Tiba-tiba saja Sari teringat akan sahabat barunya.
Ah! Bagaimana nasib Menur sekarang ini" Des9snya
gelisah. Dan Andika menangkap kegelisahan itu.
"Ada apa, Sari" Kenapa gelisah seperti itu" Kurang sesajen, ya?" tanya Andika.
Sementara, si Belang sudah kembali merebahkan
diri di sisi kaki majikannya, seolah tak ada masalah
yang dihadapinya tadi.
"Ayolah, Sari. Ceritakan apa yang terjadi...," ujar Pendekar Slebor, penasaran.
Sambil menghela napas Sari menceritakan selu-
ruh peristiwa yang dialaminya. Dan Pendekar Slebor
mendengarkan penuh perhatian.
Andika mengerutkan keningnya setelah Sari me-
nyelesaikan ceritanya.
"Menur" Apakah..., dia mengenakan pakaian ber-
warna biru, dengan pedang berwarangka hitam, Sari?"
tanya Andika. Kini Sari yang mengerutkan keningnya. Dia jadi
heran juga, kok Andika bisa tahu ciri-ciri Menur.
"Bagaimana Kang Andika bisa tahu?" tanya Sari,
penasaran. "Ah! Kalau begitu dia pasti murid Kaliki Lorot Sari!
Kau yakin yang menghadang kalian waktu itu Dewa
Api?" Sari mengangguk, meskipun heran bagaimana
Andika bisa mengenal Menur. Tetapi kemudian, dia
yakin kalau sebelumnya Andika memang pernah ber-
jumpa. Gadis itu melihat wajah Andika yang tiba-tiba
memerah. Dilihatnya pula bibir pemuda tampan itu
tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa, Kang Andika?" usik Sari.
Andika mengangkat wajahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," kilah si pemuda berbo-hong.
Padahal, Andika teringat kembali bagaimana Kali-
ki Lorot bersikeras agar Menur berjodoh dengannya.
Ah! Apakah kehadiran Menur kembali karena masalah
perjodohan itu"
Sari sendiri tidak mau meneruskan pertanyaan-
nya, meskipun ada sesuatu yang lain di hatinya. Dia
mengartikan kalau senyum-senyum dan wajah meme-
rah Andika ada hubungannya dengan Menur. Dalam
hubungan apa, Sari belum bisa menebaknya
Andika sendiri masih menyadari arti tatapan Sari.
"Sari..., apakah kau juga hendak mencari Menur?"
tanya Pendekar Slebor. Sari mengangguk.
Andika pun menceritakan kalau sebenarnya juga
tengah mencari Dewa Api. Bila saat ini Menur berada
dalam kekuasaan Dewa Api, Andika pun bermaksud
menyelamatkannya pula.
Sari melirik Savitri yang hanya mengangguk saja
berkali-kali, saat Andika menceritakan kesulitan yang menimpa.
Ah! Bila melihat tatapan mata penuh kasih milik
Savitri pada Andika, perasaan tak menentu di hati Sari semakin menjadi-jadi.
Terus terang, hatinya iri melihat kemesraan yang diberikan Savitri pada Andika.
Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih"
Pertanyaan itu bergayut dalam hati Sari. Kalau me-
mang iya, rasanya dia tak berhak mendekati Andika
lagi. Tetapi, apakah dia bisa mendustai perasaannya
sendiri yang semakin berkembang pada Andika" Apa-
kah akan dibiarkannya bunga asmara yang telah ber-
tunas dan semakin membesar ini layu kembali"
Andika yang sejak tadi berkata-kata dan memper-
hatikan, bisa melihat kalau sinar cinta kasih di mata Sari begitu membara dan
menghanyutkan. Ah! Apakah
itu memang cinta"
Tetapi saat ini, memang bukan saat yang tepat
untuk membicarakan masalah cinta. Meskipun Andika
tahu, cinta kasih gadis berbaju dari kulit harimau itu memang tulus.
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat men-
cari Dewa Api sekaligus menyelamatkan Menur," cetus Pendekar Slebor.
Sari tak bersuara. Ingat Menur, dia jadi teringat
bahwa Menur pun tengah mencari seseorang pula. An-
dika-kah yang dicari sahabat barunya itu" Diam-diam
keyakinan itu mulai merayapi hatinya. Yah.... Untuk
apa Menur tidak menjawab pertanyaannya waktu itu"
Apakah Menur enggan mengungkapkannya karena Sa-
ri sendiri pun mencari Pendekar Slebor" Oh.... Apakah di hati Menur ada rasa
cinta yang sama seperti dirinya"
"Sari... Kau setuju?" tanya Andika, membuyarkan lamunan Sari.
"Oh, bagaimana" Apa..., apa yang kau tanyakan
itu, Kang?" Sari gelagapan.
"Maksudku begini, Sari...," kata Andika, masih melirik Savitri. "Kita akan
segera berangkat untuk mencari Dewa Api, sekaligus menyelamatkan murid
Kaliki Lorot."
"Oh, ya, ya! Tetapi, ah...! Biar aku pergi bersama si Belang saja."
"Wah, kalau gitu aku bersama Savitri saja. Kau
tahu saja, Sari. Aku memang paling bersemangat ber-
jalan dengan seorang gadis. Apalagi tanpa gangguan si Belang...," kata Andika,
seenaknya. "Aku..., ah! Rasanya..., aku harus segera pergi...,"
desah Sari seraya berkelebat pergi bersama si Belang.
Dasar tak berperasaan! Andika yang menyangka
Sari akan tertawa karena canda, kini malah melongo.
Sementara Sari ingin sekali Andika menahannya.
Tapi lagi-lagi Andika tak menyadari kesalahannya.
"Apakah aku salah ngomong?" tanya Andika pada diri sendiri. "Hei, Sari...!
Jangan bertindak gegabah."
Kata-kata Andika dirasakan Sari bagaikan satu
pukulan. Karena, selama ini Pendekar Slebor memang
selalu bertindak semaunya saja, sesuai sifatnya. Apa-
kah ini berarti sudah jelas kalau Andika tidak menyu-
kainya" Dan hanya menganggapnya hanya adik bela-
ka, seperti yang dilakukannya waktu itu" (Silakan baca serial Pendekar Slebor
dalam episode "Sengketa di Gunung Merbabu").
Kalau memang nyatanya seperti ini, keputusan
Sari pun bulat. Dia memang tak perlu lagi bersama-
sama Andika, meskipun sangat mengharapkan sekali.
Apalagi, bila melihat tatapan mesra Savitri pada Andi-ka.
*** "Kang Andika.... Sudah lamakah kau bersahabat
dengan Sari?" tanya Savitri.
"Oh, lama sekali."
"Dia cantik."
"Betul. Aku memang selalu pilih-pilih, Hanya gadis cantik saja yang pantas jadi
temanku," kata Andika, mengobral kesombongan walaupun dengan maksud
berseloroh. "Dia juga seorang gadis berkepandaian tinggi, Kakang."
"Ya.... Tapi, sikapnya itu, lho! Dia terkadang
membuatku kesal. Tindakannya tanpa perhitungan
yang matang."
"Karena..., dia ingin diperhatikan, Kakang...," sahut Savitri.
Andika hanya tersenyum saja.
"Sudahlah.... Kita tak perlu lagi membicarakan
soal Sari. Aku yakin, dia bisa menjaga dirinya. Sari telah lama ditempa oleh
alam yang keras," ujar Pendekar Slebor akhirnya.
"Tapi, tidak seperti diriku, bukan?" tukas Savitri.
"Wah.... Kenapa jadi begini" Savitri..., aku tetap akan membantumu untuk
membalas kematian kedua
orang tua dan adik-adikmu. Di samping itu juga, aku
ingin menghentikan sepak terjang Dewa Api. Ayolah,
jangan bersikap cengeng seperti itu."
"Tetapi, Kakang...."
Andika merangkulnya. Si pemuda benar-benar ti-
dak paham kalau sesungguhnya gadis itu ingin men-
dengar pernyataan lain darinya selama dalam perjala-
nan. Tetapi yang disangka Andika, gadis itu sedang sedih karena teringat kembali
nasib kedua orangtua dan
adik-adiknya. "Sudahlah.... Aku akan membantumu Savitri. Ayo,
kita segera meneruskan perjalanan ini sebelum malam
semakin larut."
Savitri hanya menangguk saja.
"Kang Andika, tahukah kau kalau aku mulai men-
cintaimu?" gumam Savitri dalam hati.
*** 6 Hujan turun deras menghantam bumi bertubi-
tubi. Kegelapan malam menyambut dengan kelembu-
tannya. Andika mendekap Savitri yang nampak kedin-
ginan. Mereka kini berteduh di sebuah pohon rindang.
Meskipun tak sepenuhnya bisa menghindari dari ba-
sah, tetapi masih lumayan dijadikan tempat berteduh.
Saat merangkul Savitri, tak ada perasaan apa-apa
di hati Andika. Tetapi lain halnya gadis itu. Malah kepalanya semakin dibenamkan
ke dada bidang Andika.
Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya.
Sementara benak Andika diam-diam memikirkan
Sari dan Menur. Teringat Sari, teringat pula bagaimana perjumpaannya dulu dengan
dara jelita penunggang
harimau itu (Baca serial Pendekar Slebor dalam epi-
sode: "Raja Akherat").
Dan mengenai Menur, Pendekar Slebor teringat
bagaimana guru Menur yang bernama Kaliki Lorot
memaksanya untuk menikah dengan muridnya. Dan
dengan satu kecerdikannya, Andika bisa menghindari
dari paksaan perjodohan.
Memang persoalan macam inilah yang lebih me-
musingkan Andika. Pendekar Slebor merasa lebih baik
menghadapi seorang lawan berkepandaian tinggi dari-
pada masalah perjodohan.
Belum lagi Savitri yang semakin membenamkan
kepalanya di dadanya. Bahkan tangan kanan gadis itu
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkar di pinggang Andika, seolah takut dile-
paskan. Apakah akan ada masalah lain dengan gadis
ini" Tiba-tiba saja kepala Andika menegak. Telinganya yang tajam mendengar suara
orang berdendang. Suaranya bernada gembira, meskipun tak ketahuan jun-
trungannya lagu apa yang dinyanyikan.
Merasakan tubuh Pendekar Slebor bergerak, Savi-
tri yang sedang menikmati rangkulannya mengangkat
kepalanya. "Ada apa, Kakang?" tanya gadis ini dengan sinar mesra.
Sejak tadi gadis ini menunggu Andika mencum-
bunya. Atau paling tidak, mengecupnya. Tetapi justru
gadis itu menjadi malu, karena Andika tidak melaku-
kan apa-apa. "Jangan bersuara," ujar Pendekar Slebor mende-sis. "Ada yang datang."
"Siapa yang datang, Kakang?" tanya Savitri, yang tak mendengar suara apa-apa.
"Aku tidak tahu."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa."
"Lebih baik kau tetap di sini, Savitri. Aku tak ingin, ada kejadian yang akan
menimpa kita," ujar Andika sambil berdiri. Hujan semakin deras saja.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang...," pinta Savitri takut. Andika menatap sekilas.
"Aku tidak lama. Jangan ke mana-mana."
Sebelum Savitri berkata lagi, Andika sudah berke-
lebat menerobos hujan yang deras dan pekatnya ma-
lam. Suara senandung itu semakin lama semakin ke-
ras di telinga.
Di sebuah tempat yang agak lapang, Pendekar
Slebor melihat seorang lelaki berusia kira-kira sekitar seratus dua puluh tahun.
Laki-laki ini melangkah
sambil bersenandung tak karuan. Wajahnya penuh ke-
riput. Rambutnya yang panjang, basah oleh air hujan.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat kecil dari bam-
bu. Tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti melangkah, tetapi mulutnya tetap
bersenandung. Bila ingin melihat, mengapa tak keluar"
Bila ingin mengenal, mengapa tak menjabat"
Bila ingin jadi pengecut, silakan
Bila ingin mampus, keluar saja.
Senandung aneh bernada tak karuan itu menye-lusup telinga Andika bagai
menggelitik. Dan Pendekar
Slebor menjadi malu hati ketika menyadari kalau ka-
kek aneh berpakaian compang-camping berdada ke-
rempeng itu menyindirnya. Berarti dia tahu kalau An-
dika sedang mengintip.
Sambil menggerutu Pendekar Slebor keluar dari
tempat persembunyiannya. Sementara kakek itu ter-
kekeh-kekeh melihatnya.
"Tadi kupikir sebangsa cecurut yang mengintip.
Tidak tahunya, monyet!" ledek kakek ini.
Dalam gelap itu wajah Andika memerah menden-
gar ejekan si Kakek.
"Tepat! Tepat sekali. Tadi pun kupikir yang mun-
cul monyet tua. Tak tahunya memang monyet tua be-
neran." Kakek itu semakin keras kekehannya, mengalah-
kan deru hujan yang semakin deras. Tubuh mereka
basah. Andika merasa angin yang bertiup semakin
dingin dan keras. Apalagi ketika si Kakek terkekeh-
kekeh. "Kutu kupret! Ada monyet kecil berani melawan
monyet tua"!"
Wesss...! Tiba-tiba saja angin yang keras berkesiur ke arah
Andika. Pendekar Slebor jadi tercekat melihatnya, ka-
rena tak melihat serangan yang dilakukan si Kakek.
Dan tahu-tahu tubuhnya bagai terbawa angin yang de-
ras. Buk! Cukup keras tubuh Andika menabrak pohon di
belakangnya, sehingga ngilu dan pegal sekali.
"Mau nambah lagi, Monyet Kecil"!" kata si Kakek dengan nada bersenandung,
Andika melotot gusar.
"Biang panu! Ayo, sini maju! Huh! Beraninya main angin-anginan. Kenapa kita
tidak bertarung barang
beberapa jurus, hah"!" maki Andika, sewot. Bukan karena serangan tadi. Tapi,
bisul dipantatnya yang mau
sembuh terluka lagi. Sakitnya nyut-nyutan.
"Eh! Melawan aku, hah"!"
Wuusss...! Tiba-tiba Andika kembali merasakan satu tenaga
halus keras menderu ke arahnya. Kali ini Pendekar
Slebor yang sudah menduga serangan bisa menghin-
dar dengan melompat ke samping. Namun mendadak
kakinya terasa bagai dihantam pukulan keras sekali.
Bruk...! Pendekar Slebor terjatuh keras di tanah. Mulutnya
meringis menahan sakit.
"Busyet! Siapa sih kau ini, Kek"!" tanya Pendekar Slebor, sambil bangkit
berdiri. "Huuu.... Katanya mau bertarung beberapa ju-
rus.... Tapi sekarang, malah mau kenalan. Genit juga
kau, ya?" sahut si Kakek.
"Sialan!" Andika menggerutu.
"Orang-orang menjulukiku Dewa Senandung. Nah!
Dengarlah senandungku yang merdu ini."
Lalu tanpa disuruh, si Kakek bersenandung. Se-
pertinya dilakukan dengan sangat pelan. Tetapi bagi
Andika, suara itu sangat keras dan sember. Mungkin
suara orang telat buang air kalah jelek dibanding sua-ra si Kakek.
"Wah! Bisa mulas perutku ini!" desis Andika. "Sudah, Kek! Jangan habiskan
suaramu! Nanti saja bila
kau sekarat. Bersuaralah sepuas-puasmu...!"
Lelaki tua berjuluk Dewa Senandung terkekeh-
kekeh. "Benar juga kau. Sudah, minggir sana! Aku harus
mencari si Murid Murtad itu!" ujar Dewa Senandung.
Lalu tanpa mempedulikan Andika, Dewa Senan-
dung melangkah sambil bersenandung pula. Dilewa-
tinya Andika yang sedang menggaruk-garuk kepa-
lanya. Kini dia yakin, kalau di dunia ini begitu ba-
nyaknya orang aneh yang memiliki ilmu tak kalah
anehnya. Bahkan begitu mengerikan.
Tiba-tiba Andika mengejar.
"Kek! Siapa murid murtad yang kau cari itu?"
tanya Pendekar Slebor, keras.
Lelaki tua itu berhenti. Dan Andika berdiri di de-
pannya. Bibir Dewa Senandung berbentuk kerucut.
"Apa maumu, hah"! Lagi pula, kau tak mengenal-
nya! Orang seperti kau ini, bisa apa?"
Wajah Andika memerah mendengar ejekan seperti
itu, tetapi tak dipedulikan.
"Barangkali saja aku bisa membantu mencari mu-
rid murtad mu itu".
Dewa Senandung menatap Andika sejenak, lalu
terkekeh-kekeh.
"Kalau melihat kenekatan mu ini, aku yakin kau
punya ilmu lumayan. Yah, barangkali buat mengusir
kambing. Heh, Pemuda! Kalau kau memang tahu di
mana muridku, kau akan kuberi hadiah seekor kamb-
ing. Lumayan, buat teman perjalananmu. He he he...!"
"Busyet! Banyak omong juga ini orang! Siapa na-
ma muridmu?"
"Namanya Galang Nirka! Tetapi dia menjuluki di-
rinya Dewa Api!"
Mendengar julukan itu disebutkan, Andika tersen-
tak. Tapi dia cepat menguasai diri agar keterkejutan-
nya tak diketahui.
"Dewa Api?" ulang Andika.
"Iya! Budek!"
Andika tak mempedulikan makian itu. "Kalau itu
Duri Bunga Ju 6 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Tongkat Rantai Kumala 10