Malaikat Peti Mati 3
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Bagian 3
*** "Telah lama kudengar nama besarmu, Pendekar Slebor. Aku beruntung masih sempat
bertemu denganmu. Terima kasih," ucap si Golok Maut, ketika kesehatannya telah pulih.
Andika tersenyum.
"Ya, beruntung kau bertemu denganku. Coba kalau
bertemu dengan macan lapar.... Apa tak jadi runyam?"
"Andika...," desis Ki Pangsawada. "Tahukah kau siapa manusia rambut emas itu
sebenarnya?"
Andika menggelengkan kepalanya.
"Yang sebenarnya, aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, dia manusia yang jarang
mandi, hingga rambutnya jadi kuning begitu. Sukanya membuat onar, membunuhi
siapa saja yang bersahabat atau
mengenalku, Ki,!" sahut Pendekar Slebor seenaknya.
"Andika. Menurut kabar..., Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati
ukiran naga yang
dikhususkan untuk mayatmu. Tetapi, mengapa aku tadi tidak melihatnya?" tanya Ki
Pangsawada kemudian.
"Aku tidak tahu. Mungkin dia takut petinya kutukar dengan peti sampah. Karena
bisa jadi dirinya sendiri yang bersemayam di peti sampah...."
Ki Pangsawada tersenyum melihat sikap Pendekar Slebor yang tetap urakan.
Sikapnya benar benar tenang tidak mencerminkan ketakutan. Padahal, maut sedang -menanti.
Si Golok Maut pun diam diam mengagumi ketabahan
-Pendekar Slebor yang namanya telah lama dikenal. Dan baru kali ini dia
menyaksikan sendiri, siapa Pendekar Slebor sesungguhnya. Ternyata sosok pendekar
itu masih muda sekali. Tiba tiba....
-"Busyet! Mana muridku yang jelita itu, Bor! Gila!
Kenapa kau tinggal, hah"!"
Terdengar makian keras. Andika menoleh, dan langsung mendengus melihat
kedatangan sosok yang tak lain Kaliki Lorot. Bisa runyam urusan ini. Tetapi
bukan Andika kalau tidak bisa membalas.
"Aku tidak meninggalkannya. Hanya kami sedang menyesuaikan diri," kilah Pendekar
Slebor. "Mana bisa begitu" Menyesuaikan diri, kok harus berpisah seperti ini" Kalian
harus bersama sama! Selalu dan selalu bersama sama! Kalau terjadi apa apa
- - -terhadap Menur, kau akan kubunuh!" dengus Kaliki Lorot. "Eh, kau Pangsawada!
Busyet.... Kenapa kau nongol lagi, hah"! Dan, kalau melihat bentuk golok yang
berukir di ujungnya, pasti dia si Golok Maut!"
Kaliki Lorot seperti baru menyadari kalau di sana ada Ki Pangsawada dan si Golok
Maut. Namun si Golok Maut hanya mengangguk. Dia juga telah mendengar tentang tokoh
hebat bertubuh gempal ini.
Ki Pangsawada tersenyum. Dia tahu bagaimana sifat sahabatnya yang satu ini.
"Kaliki Lorot.... Kenapa kau sendiri muncul dari kediamanmu itu?"
"Ini gara gara muridku yang mengajarkan aku naik kuda! Padahal sudah kubilang
-berkali kali, kalau aku tak bisa naik kuda! Eh tidak tahunya aku ketemu manusia
-bangsat berambut emas itu! Sialan! Juga sialan untuk pemuda baju hijau pupus
ini. Enak enaknya calon istrinya ditinggalkan begitu saja" Nah, Pangsawada!
-Apakah menurutmu aku harus menurunkan tangan padanya?"
Bukannya menjawab, Ki Pangsawada malah
mengkerutkan keningnya.
"Siapa calon istri Pendekar Slebor?"
"Siapa lagi kalau bukan muridku yang jelita itu. Hhh!
Kalau dia menolak, kupecah kepalanya!"
"Waadddooouuuwww!" seru Pendekar Slebor sambil memegangi kepalanya seolah olah -sudah dihantam Kaliki Lorot.
"Bagaimana aku bisa menerimamu sebagai mertua kalau kau sudah mengancam begitu?"
"Peduli setan! Pokoknya kau harus menjadi suami muridku! Hei, Pangsawada! Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi?"
Ki Pangsawada tersenyum arif, meskipun sangat paham dengan sifat sahabatnya.
"Aku tak bisa memberikan tanggapan. Karena, satu perjodohan tidak bisa
dipaksakan. Bila kedua belah pihak menyetujui, maka perjodohan bisa dilakukan."
Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
"Sudah, sudah! Hei, Pemuda Lembah Kutukan!"
serunya pada Andika. "Sehabis menghadapi manusia busuk itu, kau harus menikah
dengan muridku!"
"Wah, wah.... Kasihan muridmu itu, Ki. Dia cantik.
Tubuhnya menggairahkan...."
"Nah, nah," potong Kaliki Lorot. "Bukankah itu yang kausukai?"
"Betul. Tetapi, apakah kau tidak kasihan bila muridmu menikah denganku nanti
harus mengikuti aku yang terus menerus bertualang?" tukas Andika.
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus menikahi dia!"
Pendekar Slebor menggaruk garuk
-kepalanya. Kepalanya benar benar pusing menghadapi perjodohan yang dihadapinya sekarang
-ini, Enak saja Kaliki Lorot main menjodoh jodohkan begitu saja. Tetapi kalau
-menolak sekarang, bisa dipastikan Kaliki Lorot akan semakin nyap nyap.
-"Kaliki Lorot, bagaimana...."
"Busyet! Kukemplang kepalamu berani beraninya memanggil namaku begitu saja tanpa
-embel embel penghormatan!" bentak Kaliki Lorot melotot.
-Sementara Ki Pangsawada hanya tersenyum saja.
Sedangkan si Golok Maut tertawa dalam hati.
Andika terbahak bahak.
-"Iya, iya! Heran.... Kok ada orang tua sableng begini ya" Hei, sudah, sudah!
Pokoknya, sekarang ini ditunda saja dulu masalah perjodohan itu."
"Tidak bisa!"
"Lho" Bukankah kau tahu sendiri, Ki. Aku akan bertarung dengan manusia sesat itu
purnama mendatang di Bukit Sigura gura?" tukas Andika.-"Kau tidak usah datang. Biar aku yang bikin mampus manusia busuk itu! Rupanya,
dia takut dengan ajian
'Kala Hitam' milikku! Kali ini.., hei" Kenapa kau tertawa?"
Andika menekap mulutnya.
"Tidak, tidak.... Teruskan saja...," ujar Andika, geli.
Meskipun tak mengerti mengapa tiba tiba Pendekar Slebor terbahak bahak seperti
- -itu, Kaliki Lorot meneruskan kata katanya.
-"Manusia busuk itu harus mampus di tanganku! Kau tak usah bertarung dengannya!
Jaga muridku yang manis itu! Nikahi dia! Ayo, kau cari sana muridku itu!
Dia pasti sangat merindukanmu sekarang ini.... Kau juga merindukannya, bukan?"
Andika mendengus. Tetapi karena tatapan melotot dari Kaliki Lorot itu, kepalanya
pun mengangguk.
"Iya, iya! Nanti aku akan mencarinya!"
"Sekarang!"
"Kaliki Lorot," timpal Imam Arif Penguasa Gunu Bontang. "Kita ketahui, kalau
saat ini ada manusia sesat yang sedang unjuk gigi. Dan satu satunya yang
-dikehendaki manusia keparat itu hanyalah Pendekar Slebor. Kita tidak boleh
berbuat curang, selaku orang golongan lurus. Meskipun hati kita geram, tetapi
Pendekar Slebor telah menerima tantangan dari Malaikat Peti Mati di Bukit
Sigura gura. Jadi, kita pendam seluruh amarah pada manusia sesat itu. Dan...,
-kau pendamlah dulu apa yang diinginkan terhadap Pendekar Slebor. Kau paham
maksudku?"
Kaliki Lorot terdiam beberapa saat, lalu menganguk-angguk. Bisa dimengerti kata
-kata sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu. Kita sudahi dulu pembicaraan tentang perjodohan. Tetapi,
di mana muridku sekarang berada, hah"!"
"Dia kutinggalkan di hutan sebelah tenggara sana!"'
Kaliki Lorot melotot.
"Gila kau, Bor! Kalau muridku kenapa kenapa, kau harus bertanggung jawab!"
-Andika nyengir.
"Belum juga aku apa apakan. Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya?"
-"Busyet! Otakmu ngaco juga!" bentak Kaliki Lorot.
Dalam hati orang tua itu yakin kalau muridnya mampu menjaga diri. Asalkan saja
tidak bertemu Malaikat Peti Mati.
"Hei, Bor! Dua pekan lagi, purnama yang kau janjikan pada Malaikat Peti Mati
akan tiba! Kau harus berhasil mengalahkan manusia monyet itu! Kalau kau mampus,
muridku tidak akan menikah! Bahkan, bisa bisa ia menjadi perawan tua!"-Andika tertawa. Dia teringat ketika Kaliki Lorot mengatakan muridnya bisa
menjadi janda, sekarang malah berkata bisa menjadi perawan tua.
"Sebisanya aku akan mengalahkan Malaikat Peti Mati. Baiknya, kalian menerangkan
saja bagaimana kehebatan dari pemuda yang suka mengadu ilmu itu."
Lalu mereka pun kini duduk bersila. Masing masing menceritakan kehebatan
-Malaikat Peti Mati.
"Lebih baik kita berpisah dulu di sini," usul Pendekar Slebor, setelah merasa
cukup mendapat keterangan.
"Hei" Mana bisa kau lakukan itu!" bentak Kaliki Lorot.
Andika mendengus gemas.
"He! Tadi kau sudah mengatakan, kalau urusan perjodohan itu ditunda dulu! Yang
hendak bertarung menghadapi Malaikat Peti Mati adalah aku!"
"Baik, baik!" sungut Kaliki Lorot. "Kau mau ke mana?"
"Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan seluruh pikiranku," sahut Andika.
"Juga, memikirkan cara bagaimana untuk melumpuhkan Malaikat Peti Mati. Karena
menurut kalian, kehebatannya sangat luar biasa. Tetapi, menurut Ki Pangsawada
dan Kaliki Lorot ternyata dia tidak membawa peti mati ukiran naganya.
Juga seperti yang kau katakan, Ki Kaliki Lorot. Ternyata kau pun kemudian
bertarung kembali dengan manusia itu yang ngacir karena ajian 'Kala Hitam'
milikmu. Pertanyaannya sekarang, di manakah Peti Mati Ukiran Naga itu yang sedianya akan
dijadikan tempat mayatku"
Nah, Ki Kaliki Lorot! Apakah kau akan menahanku juga.
Karena, aku tidak ingin kita sebagai orang orang golongan putih dicap curang dan
-pengecut. Sekuat tenaga aku akan mengalahkannya. Bukan dengan jalan mengempurnya
bersama sama, karena aku yakin
-Malaikat Peti Mati menginginkan satu pertandingan jujur."
Kaliki Lorot mengangguk, membenarkan alasan
Andika. "Baiklah kalau begitu. Kami akan tetap datang Bukit Sigura gura untuk
-menyaksikan pertarungan."
"Aku terima kedatangan kalian. Karena, siapa tahu akan membuatku bertambah
semangat. Dan yang perlu kalian ketahui, aku mendengar kabar, kalau Partai
Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning akan membuat torehan darah di rimba
persilatan."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Pangsawada yang telah lama mendengar tentang Partai
Tumbal Iblis. "Mereka akan melebarkan sayap kekuasaan dan menginginkan para tokoh rimba
persilatan baik dari golongan putih maupun hitam bergabung."
"Cuiihhh!"
Si Golok Maut membuang ludah mendengarnya.
"Sombong sekali Dewi Kemuning itu! Kalaupun hendak melebarkan sayap kekuasaan,
dia harus melangkahi mayat mayat kami yang akan menjadi pecundang baginya!" -lanjutnya, mendesis.
"Bagus! Aku pamit!"
"Hei!" seru Kaliki Lorot ketika Andika hendak melangkah. "Kau harus membuat
kejutan, Bor!"
Andika menghentikan langkahnya. Di bibirnya
menyungging senyum.
"Aku akan membuat kejutan. Dan kalian pun pernah merasakan kejutan yang luar
biasa akibat perbuatanku."
Kaliki Lorot hendak berkata lagi, tetapi tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat
cepat. Tempat itu sunyi. Tinggal ketiga manusia itu yang terdiam, tercekam pikiran
masing masing. -*** 9 Tiga pemuda dan satu sosok tubuh berpakaian merah tua melangkah tertatih
berjalan dalam satu rombongan.
Meski terlihat sangat susah melangkah, tetapi sosok berpakaian merah tua itu
tetap tersenyum. Dia tak lain dari si Naga Gunung yang sedang mencari Pendekar
Slebor bersama tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Selama melakukan perjalanan, belum ada bayangan Pendekar Slebor ditemukan. Di
hati Naga Gunung, tersimpan bara dendam terhadap Malaikat Peti Mati yang
mengakibatkan dirinya menderita seperti ini.
Begitu pula tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Terbayang bagaimana maut yang ditebarkan Malaikat Peti Mati di mata. Pekik
kematian terdengar diselingi tawa keras yang meluruhkan dedaunan. Lalu sosok
guru mereka ambruk bergelimpangan darah. Semuanya bagaikan menikam dari
belakang. Terasa menyayat-nyayat hingga ke relung hati.
Tiba tiba saja si Naga Gunung menghentikan-langkahnya. Meskipun ilmunya telah lumpuh, tetapi pendengarannya sangat
terlatih. "Hentikan langkah! Aku mendengar suara berlari ke arah sini!" ujar si Naga
Gunung. Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling
berpandangan. Mereka diam diam mengagumi ilmu yang dimiliki si Naga Gunung.
-Terbukti betapa tajamnya pendengarannya. Hanya saja, kini mereka tahu kalau
wanita perkasa ini sebenarnya dalam keadaan tak
berdaya. Dan tanpa diperintahkan ketiga pemuda itu bersiaga.
"Bila mendengar cara berlarinya, bisa dipastikan ilmu meringankan tubuhnya
lumayan. Dan jelas jelas dia seorang gadis."
-Semakin bertambah kekaguman ketiga pemuda itu mendengar penjelasan si Naga
Gunung. Selang beberapa saat, di tempat itu tiba satu sosok jelita.
Sosok yang memang seorang gadis ini mengerutkan keningnya. Dalam sekali lihat,
dia tahu kalau wanita berbaju merah tua itu dalam keadaan terluka. Masih dalam
taraf penyembuhan. Tanpa sadar gadis ini bersiaga. Karena belum mengetahui,
apakah yang berdiri di hadapannya ini lawan atau kawan.
"Anak manis, hendak ke mana seorang diri?" sapa si Naga Gunung.
Sosok jelita itu tersenyum mendengar sapaan ramah.
Sikapnya tidak setegang tadi.
"Maafkan aku. Bibik. Aku hendak ke Bukit Sigura-gura," sahut gadis itu.
"Oh, jauh sekali Bukit Sigura gura itu jaraknya dari sini. Hendak apakah di
-sana?" kejar si Naga Gunung.
Bila melihat pakaian ringkas yang dikenakan dan sebilah pedang yang tersandang
di punggung sudah jelas kalau gadis itu bukanlah orang sembarangan.
Sosok jelita itu nampak kelihatan bimbang. Si Naga Gunung tertawa pelan.
"Kalau kau bimbang, tidak usah dikatakan. Lanjutkan saja perjalananmu. O, ya.
Sebagai perkenalan, namaku Nyai Selastri. Orang orang menjulukiku si Naga
-Gunung. Dan ketiga pemuda ini yang sejak tadi melotot terpana
melihat kecantikanmu adalah murid murid perguruan Garuda Mas," jelas si Naga -Gunung.
Sosok jelita yang tak lain Menur itu terdiam sejenak.
Samar samar julukan itu pernah didengarnya.
-"Baiklah, Bibik. Namaku Menur. Dan maafkan karena tidak bisa melanjutkan
percakapan ini," ucap Menur.
"Oh, silakan, silakan, Menur. Tetapi, sudikah menjawab pertanyaanku?"
"Silakan, Bibik."
"Apakah kau pernah berjumpa Pendekar Slebor?"
Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Menur tiba tiba memerah. Mendadak saja
-dia teringat, bagaimana pemuda itu merangkul, mengecupnya. Dan juga
meninggalkannya.
Sementara itu, si Naga Gunung dalam sekali lihat saja merasa yakin kalau gadis
ini ada sesuatu dengan Pendekar Slebor.
"Kalau kau tahu, sudikah kau memberitahukan padaku?" lanjut Nyai Selastri.
Menur berusaha menenangkan gemuruh hatinya.
"Bibik..., maksudku pergi ke Bukit Sigura gura, adalah untuk melihat pertarungan
-Pendekar Slebor dengan Malaikat Peti Mati," sahut Menur, hati hati.
-Wajah si Naga Gunung mendadak memerah. Begitu pula ketiga murid Perguruan Garuda
Mas yang sejak tadi mendengarkan percakapan sambil mengagumi kecantikan paras
Menur. "Menur.... Benarkah yang kaukatakan itu?" tanya si Naga Gunung.
"Aku mengatakan apa adanya, Bibik."
Si Naga Gunung terdiam. Matanya memandang
kejauhan. "Menur..., siapakah sebenarnya kau ini?"
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menur benar benar mengurungkan niatnya untuk melanjutkan langkah kembali. Dia
-segera menjura penuh hormat.
"Bibik.... Aku adalah murid Kaliki Lorot yang mendiami Lembah Perkasa. Mengenai
Pendekar Slebor, aku dan guruku, sempat bertemu dengannya. Bahkan sebelum
berjumpa, kami bertarung menghadapi
angkara murka yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati.
Terus terang, saat itu kami tak mampu menandingi kehebatannya. Sehingga, kami
dibuat pingsan. Baru kemudian, muncul Pendekar Slebor yang segera mengobati
luka luka kami."
-"Gusti!" sentak si Naga Gunung terbelalak terkejut.
"Apakah yang akan terjadi di Bukit Sigura gura adalah pertarungan kedua antara
- Pendekar Slebor dan Malaikat Peti Mati?"
"Tidak, Bibik. Rupanya Malaikat Peti Mati belum mengenal Pendekar Slebor. Dan
orang keparat itu berhasil dikelabuinya dengan secara tak langsung menerima
tantangannya di Bukit Sigura gura. Aku yakin, yang dilakukan Pendekar Slebor -semata ingin menyelamatkan kami. Maksudku, aku dan guruku, Bibik."
Si Naga Gunung mengangguk angguk. Memang lebih
-baik menyelamatkan nyawa seseorang lebih dulu.
"Menur, keberatankah kau bila kita bersama sama menuju Bukit Sigura gura?"
- -Menur terdiam beberapa saat. "Baiklah, Bibik. Sama sekali aku tidak keberatan,"
kata Menur, akhirnya.
"Terima kasih. Menur. Dan kami memang ingin mencari
Pendekar Slebor, sekaligus meminta bantuannya untuk memusnahkan seorang tokoh sakti yang menjuluki dirinya sebagai
Malaikat Peti Mati."
Si Naga Gunung pun segera melangkah perlahan-lahan. Sementara ketiga murid
Perguruan Garuda geram sekali mendengar cerita Menur tentang Malaikat Peti Mati.
Hhh! Mereka berharap, Pendekar Slebor akan mampu membunuh manusia setan itu!
Dan dalam perjalanan itu, pemuda yang bernama Sumadi lebih banyak melirik Menur
yang melangkah sambil bercakap cakap.
-*** Siang hari di Partai Tumbal Iblis.
Brakkk...! Dewi Kemuning menggebrak meja di hadapannya dengan keras. Meja kuat yang terbuat
dari kayu jati itu kontan hancur berantakan. Hidangan yang ada di atasnya
berhamburan. Wajahnya mendadak saja
berubah menjadi ungu, memperlihatkan betapa
marahnya mendengar laporan Kenanga Kuning. Apalagi mengingat kata kata yang
-bernada melecehkan dari Malaikat Peti Mati.
"Keparat busuk! Manusia itu harus mampus!"
serunya geram. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih hanya
menunduk. Dia tahu, bagaimana akibatnya bila tugas yang diberikan gagal
dijalankan. Tetapi rupanya, kali ini
Dewi kemuning tidak sedang berniat menurunkan tangan
mautnya. Hatinya benar benar-murka
mendengar Malaikat Peti Mati meremehkannya.
Namun, dari kemarahan itu mendadak saja Dewi Kemuning terbahak bahak.
-"Bodohnya aku! Bodoh!" serunya berkali kali.
-Melihat kelakuan Dewi Kemuning. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih jadi
berpandangan secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mengerti kata kata Dewi
-Kemuning. Sementara tawa Dewi Kemuning semakin keras terdengar.
"Hhh! Lebih baik kita tunda saja dulu keinginan untuk melebarkan sayap
kekuasaan. Manusia seperti Malaikat Peti
Mati ternyata memang sulit ditentukan golongannya. Tetapi, Pendekar Slebor sudah jelas akan menentang keinginannya.
Dan kemungkinan, dialah yang akan menjadi momok utama bagiku! Bagus! Kalau
begitu, biarkan saja kedua manusia itu bentrok di Bukit Sigura gura! Tidak perlu
-menyaksikannya, kita cukup mendengar beritanya! Lebih bagus lagi, bila Pendekar
Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati! Ha ha ha...!"
Kali ini Kenanga Kuning dan Kenanga Putih mengerti arti tawa ketua mereka. Dan
yang terpenting, mereka tidak mendapatkan hukuman.
Sementara itu, mayat Kenanga Hijau dan Kenanga Merah sudah dikuburkan di
belakang pendopo Partai Tumbal Iblis.
"Aku baru ingat kata katamu tadi, Kenanga Kuning,"
-kata Dewi Kemuning, tiba tiba.
-"Oh! Tentang apa, Ketua?"
"Tadi kau bilang, pemuda rambut emas itu tidak membawa Peti Mati Ukiran Naga?"
"Benar, Ketua. Dia tidak membawa peti mati itu."
Dewi Kemuning terdiam. Otaknya mencerna Iaporan
Kenanga Kuning.
"Aku tahu sekarang. Sudah jelas dia telah meletakkan Peti Mati Ukiran Naga di
Bukit Sigura gura.-Karena, di sanalah Pendekar Slebor akan menemukan ajalnya. Ha ha ha...!"
Terdengarlah tawa wanita itu yang sangat keras.
*** Tiga hari pun berlalu kembali.
Seluruh rimba persilatan kini ramai membicarakan tentang pertarungan dahsyat
antara Malaikat Peti Mati melawan Pendekar Slebor. Mereka sudah jauh jauh hari
-berbondong bondong mendatangi Bukit Sigura gura.
- -Tokoh tokoh dari Banyuwangi, Blambangan, Madura, Ponorogo, bahkan dari Pulau
-Bali pun berdatangan ke sana.
Mereka sudah mendengar sepak terjang berhawa maut yang dilakukan Malaikat Peti
Mati. Mereka pun telah lama mengetahui tentang nama besar Pendekar Slebor.
Kalaupun mereka datang untuk menyaksikan
pertarungan, sudah tentu dengan tujuan masing-masing. Dari golongan putih,
kebanyakan ingin menyaksikan bagaimana Pendekar Slebor menghajar adat Malaikat
Peti Mati yang telah banyak membuat onar dan pertumpahan darah.
Sedangkan dari pihak golongan hitam, berharap sekali menyaksikan Pendekar Slebor
mampus di tangan Malaikat Peti Mati. Bahkan di antaranya ada yang ingin nencuri
kesempatan untuk mengabdi pada Malaikat Peti Mati. Tetapi, itu hanya sedikit
saja. Yang terbanyak, mereka mengharapkan kalau
Malaikat Peti Mati berhasil membunuh Pendekar Slebor, dan meletakkan mayatnya di
Peti Mati Ukiran Naga. Sehingga, mereka akan bebas melakukan apa saja sekehendak
hati tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun. Terutama dari Pendekar Slebor.
Tokoh urakan yang berilmu tinggi.
*** 10 Purnama pun tiba pula akhirnya. Bukit Sigura gura kali ini benar benar ramai. - -Kalau dulu semasa masih ditinggali Ki Langlang Jagat yang menguasai Bukit
Sigura gura, tempat itu selalu sepi.
-Para tokoh persilatan yang hendak menyaksikan pertarungan Pendekar Slebor
melawan Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura gura ramai bersuara, bagai suara
-gerombolan tawon waja. Dari pihak golongan hitam, dengan menggebu gebu berharap
-Pendekar SIebor akan mampus. Sementara dari pihak golongan putih hanya
memperhatikan saja dengan hati cukup tegang.
Di puncak bukit, belum nampak dua petarung yang akan menentukan orang yang
paling unggul. Namun selama beberapa saat kemudian, melayang sebuah benda
berbentuk persegi panjang menderu deru dengan kencang. Di atas benda itu,
-berdiri satu sosok tubuh sambil melipat kedua tangan di dada. Wajahnya begitu
dingin dan angker. Rambutnya yang keemasan berkibaran di tiup angin. Sosok itu
adalah Malaikat Peti Mati yang langsung bersalto sebelum 'tunggangannya'
peti mati ukiran naga hinggap di tanah.
Dari pihak golongan hitam terdengar suara tepuk tangan bergemuruh, mengumandang
ke seluruh bukit.
Wajah dingin Malaikat Peti Mati memancarkan senyum kesombongan. Dia puas
ternyata banyak sekali yang akan menonton pertarungannya dengan Pendekar Slebor.
Dia bertekad, dalam lima gebrakan, Pendekar
Slebor akan ambruk bergelimang darah. Akan disiksanya pemuda itu perlahan lahan,
-lalu dibunuhnya dengan cara paling mengenaskan.
Tangan Malaikat Peti Mati bergerak pelan ke arah peti mati berukir naga. Dan
seketika, peti itu terbuka.
Menguarlah bau harum ke seantero Bukit Sigura gura.
-Rupanya pemuda berwajah penuh luka itu memang menyembunyikan Peti Mati Ukiran
Naga. Begitu yang ada dalam pikiran Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Perasaan yang sama pun ada di hati si Golok Maut dan Kaliki Lorot yang hadir
pula di sana. Melihat sikap jumawa dari Malaikat Peti Mati, hampir hampir saja Kaliki Lorot
-tak sanggup menahan amarahnya. Tetapi niatnya urung, karena yang sekarang berhak
bertarung adalah Pendekar Slebor.
"Sebentar lagi kalian akan melihat, Pendekar Slebor yang diagungkan setinggi
langit terkapar mampus di dalam Peti Mati Ukiran Naga!"
Malaikat Peti Mati mengeluarkan suaranya yang bagaikan meledak ledak, memenuhi
- Bukit Sigura gura.-"Horeee.... Hidup Malaikat Peti Mati...!"
Suara sorakan terdengar dari pihak golongan hitam.
Sementara pihak golongan putih hanya menahan napas saja, dan berusaha bersabar.
Dan suasana pun menjadi sunyi, ketika dengan sombongnya Malaikat Peti Mati
melipat kedua tangannya di dada. Rambut dan pakaiannya bergerak-gerak dimainkan
angin. Sekian lama ditunggu tunggu, para hadirin bertanyatanya akhirnya. Karena sosok
-Pendekar Slebor belum muncul juga. Wajah dingin Malaikat Peti Mati pun
berubah memerah.
Saat purnama berada tepat di atas kepala, sosok Pendekar Slebor belum muncul
juga. "Keparat busuk! Mana manusia itu, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati keras bukan
main. Tak ada yang bersuara. Mereka hanya meyaksikan.
Namun, mendadak saja satu sosok tubuh melenting dengan cara bersalto. Gerakannya
sangat ringan dan cepat, lalu hinggap di hadapan Malaikat Peti Mati.
Hadirin serentak menahan napas dan terlongo-longoh. Begitu pula Malaikat Peti
Mati. Karena, sosok yang baru datang itu dari pakaian, bentuk tubuh, dan wajah
serupa dengannya!
"Apa apaan ini?" desis Malaikat Peti Mati terkejut.
-"Hhh! Rupanya kau yang selama ini diperbincangkan orang orang rimba persilatan.
-Seta Lelono!"
Malaikat Peti Mati terhenyak. Dia heran, mengapa orang ini seperti mengenalnya
begitu dekat"
"Bangsat busuk! Siapakah kau sebenarnya" Mengapa kau berani cari mampus dengan
menyamar sebagai aku, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati yang bernama asli Seta
Lelono. "Seta Lelono! Justru aku yang terkejut karena kehadiranmu di sini! Beberapa kali
aku bentrok dengan orang orang yang mendendam padamu! Rupanya, kau telah membuat
-onar!" kilah sosok yang serupa dengan Malaikat Peti Mati. Suaranya tak kalah
angker. "Keparat! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti Mati lagi.
"Hhh! Apakah Guru tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara kembar?" tukas
Malaikat Peti Mati
satunya. Wajah Malaikat Peti Mati berkerut.
"Jangan dusta! Sekalipun Guru tak pernah mengatakan hal itu!"
"Karena Guru tak ingin kau menjadi gundah ataupun merindukan saudara kembarmu
ini, bila hal ini dikatakannya!"
"Jangan banyak oceh! Kalau begitu, kau pun berguru dengan Eyang Srimpil atau
yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu!" seru Malaikat Peti Mati keras.
Sementara itu, gumaman terdengar keras. Penghulu Segala Ilmu yang menjadi Guru
dari Malaikat Peti Mati"
Gila! Pantas saja ilmunya sangat tinggi. Karena, seluruh tokoh rimba persilatan
tahu, siapa Penghulu Segala Ilmu. Kesaktiannya, hanya bisa ditandingi oleh Ki
Langlang Jagat.
Tak seorang pun yang tahu, di manakah Penghulu Segala Ilmu tinggal. Karena dia
berdiam dalam kegelapan. Dan kali ini, muridnya yang penuh sesumbar telah
membuat onar dan menantang Pendekar Slebor.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati yang datang tanpa Peti Mati Ukiran Naga,
mengangguk. "Justru aku diperintahkan Guru untuk menjemputmu pulang! Karena, Guru akan
menghukummu!"
"Tidak mungkin!" sambar Malaikat Peti Mati. "Guru sangat baik padaku!"
"Dan dia kecewa karena ilmu yang diturunkan dipergunakan hanya untuk pamer
kesombongan!"
"Karena aku tak suka mendengar Pendekar Slebor dipuji setinggi langit! Akan
kutunjukkan, bahwa aku yang paling hebat di rimba persilatan ini!"
"Bodoh! Dengan kata lain, kau sudah mengangkangi Guru! Apakah kau merasa lebih
hebat dari Guru, hah"!"
bentak kembaran Malaikat Peti Mati. "Tak pernah kuduga, kalau kau telah
mempermalukan Guru!"
Kata kata sosok kembarannya itu membuat Malaikat Peti Mati terdiam. Ada sesuatu -yang bergejolak hatinya.
Sungguh, baru kali ini diketahui kalau ternyata dirinya memiliki saudara kembar.
Tetapi tiba tiba....
-"Hhh! Lebih baik kau minggir dari sini! Akan kubunuh dulu Pendekar Slebor, lalu
membuat perhitungan denganmu!"
"Kesombonganmu
sudah melewati takaran! Seseorang dipuja karena tingkah lakunya yang baik dan sopan. Bukan dengan cara
dungu seperti yang kau lakukan!"
"Setaaan alas! Dengan kata lain, kau mengatakan ilmuku lebih rendah daripada
Pendekar Slebor, hah" "
"Kau yang menarik kesimpulan seperti itu!"
"Keparat! Kau lihat sendiri, hah"! Mana Pendekar Slebor itu" Mana" Dia tak lebih
dari seorang pengecut belaka. Dia tak berani muncul karena takut mampus!"
"Sebelum aku tiba di sini, aku bertemu dengannya.
Kukatakan padanya, kalau antara dia dan kau hanya terjadi salah paham belaka.
Kusarankan padanya agar jangan menurunkan tangan telengas padamu. Dan rupanya,
pendekar urakan itu bijaksana. Dia setuju dengan usulku. Perlu kau ketahui, dia
tidak akan menurunkan tangan hanya untuk menghentikan
kesombonganmu. Tetapi, tangan saktinya akan
diturunkan karena kau telah membunuh dan melukai
para sahabatnya. Juga beberapa tokoh lainnya."
"Peduli setan dengan ucapanmu! Lebih baik minggat dari sini! Karena, aku muak
melihat tampangmu!"
bentak Malaikat Peti Mati.
"Berarti, kau muak melihat tampangmu sendiri!
Karena, wajahmu dan wajahku tak ada bedanya!" kilah kembaran Malaikat Peti Mati.
Kali ini Seta Lelono tak bersuara lagi. Justru tubuhnya menderu cepat.
Gerakannya laksana angin ke arah sosok yang mirip dengannya.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati hanya tersenyum saja. Dan ketika serangan
Malaikat Peti Mati hampir mengenai tubuhnya, dengan satu serangan aneh yang tak
terlihat tubuhnya berkelit sekaligus membalas.
Malaikat Peti Mati terhenyak melihatnya. Hatinya penasaran. Maka diserangnya
kembarannya lagi dengan hebat. Tubuhnya bergerak laksana angin. Dan mendadak
saja Bukit Sigura gura bagaikan bergetar.-Yang hadir di sana menahan napas. Mereka tak menyangka kalau Malaikat Peti Mati
memiliki saudara kembar. Kesaktian kedua duanya begitu tinggi. Ketika tubuh
keduanya bertarung, hanya terlihat bagai kelebatan belaka, diiringi deru angin
kencang dan suara bagai ledakan petir!
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang semakin sadar
kalau yang dihadapinya bersama si Golok Maut pastilah kembaran Malaikat Peti
Mati. Karena, dia tak membawa Peti Mati Ukiran Naga. Bahkan tak menurunkan
tangan telengasnya. Tetapi, bila memang kembaran dari Malaikat Peti Mati,
mengapa berniat pula membunuh Pendekar Slebor seperti yang dikatakannya"
Begitu pula yang dirasakan Kaliki Lorot. Dia jadi malu sendiri karena merasa
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yakin ajian 'Kala Hitam'
kebanggaannya telah membuat Malaikat Peti Mati kocar kacir. Padahal yang -dihadapi hanyalah saudara kembar dari Malaikat Peti Mati yang masih memberi
kesempatan hidup baginya. Kalau yang dihadapinya Malaikat Peti Mati asli, bisa
dipastikan dia akan mampus!
Pertarungan di Bukit Sigura gura semakin seru. Suara angin menderu deru keras.
- -Beberapa kali terdengar ledakan keras ketika dua sosok tubuh berpakaian dan
berambut emas itu berbenturan.
Tetapi yang membuat mereka terheran heran,
-karena sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul juga. Bila memang sebelumnya
sempat bertemu kembaran Malaikat Peti Mati yang memintanya agar jangan hadir,
seharusnya sebagai seorang pendekar yang dijunjung tinggi di rimba persilatan
tetap menonjolkan diri. Paling tidak, mencari jalan keluar dari masalah yang
dihadapi. "Seta Lelono! Kembalilah ke jalan yang benar! Tidak ada gunanya sesumbar untuk
menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini! Karena secara tidak langsung
kau sudah menghina Guru!"
"Setelah kubungkam mulutmu yang panas itu dan membunuh Pendekar Slebor, barulah
aku kembali pada Guru untuk mohon ampun!" seru Malaikat Peti Mati sambil meluruk
menderu deru laksana topan.
-"Kau akan kena batunya, Seta Lelono! Kau telah mengangkangi kepala Guru!" sergah
kembaran Malaikat Peti Mati sambil meluruk pula tak kalah hebat.
Pertarungan tak ubahnya bagaikan dua ekor naga yang sedang marah. Terutama yang
dilakukan Malaikat Peti Mati. Di dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya dia
merasa malu dengan kata kata sosok yang mirip dengannya. Apa yang dikatakan
-kembarannya memang benar. Dia telah melupakan gurunya sendiri. Bukankah bila
menganggap dirinya nomor satu, berarti mengangkangi
gurunya sendiri" Berarti pula, menganggap ilmu gurunya lebih rendah dibandingkannya.
Tetapi Malaikat Peti Mati sudah merasa panas sekali.
Dia telah dibuat malu oleh kembarannya yang masih sangat disangsikan.
Wuuttt...! Tiba tiba saja tangan Malaikat Peti Mati bergerak.-Maka Peti Mati Ukiran Naga yang sejak tadi ada di tengah melayang ke arah
kembarannya dengan
kecepatan tinggi.
"Uts...!"
Kembaran Malaikat Peti Mati dengan lincah berkelit dengan memiringkan tubuhnya.
Bahkan mendadak ditendangnya Peti Mati Ukiran Naga itu.
Duk! Peti itu terpental kembali ke arah pemiliknya.
Bahkan lebih cepat dari serangannya sendiri.
Malaikat Peti Mati terpekik keras. Tubuhnya melenting ke atas dengan kecepatan
tinggi. Wajahnya menjadi pias. Bila melihat kehebatan sosok yang mirip
dengannya, bisa ditarik kesimpulan kalau sosok itu memang berguru pada gurunya.
Tetapi, untuk menerima sebagai kakak kembarnya, hatinya masih
sangsi. "Hup...!"
Tiba tiba saja Malaikat Peti Mati melompat dan hinggap di atas Peti Mati Ukiran
-Naga yang mengapung di udara.
"Manusia busuk! Sekali lagi katakan, siapakah sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti
Mati. "Hhh! Bila seseorang dalam keadaan gila dan marah, maka bisa melupakan kakak
kembarnya sendiri.
"Jangan mempermainkan kata kata!"
-"Justru kau yang mempermainkan kata kata!
-Malaikat Peti Mati! Sebagai kakak kembarmu, hatiku pedih
menyaksikan perbuatanmu yang penuh sesumbar. Seharusnya kau paham, kalau di dunia ini tak ada yang melebihi
kekuasaan Gusti Allah. Kalaupun ada orang yang merasakan hal itu. Dia tergolong
manusia laknat."
Kata kata itu semakin membekas di hati Malaikat Peti Mati. Disadari, kalau
-selama ini hatinya hanya dibaluri kesombongan belaka. Di dasar hati kecilnya
yang paling dalam, dia sadar kalau kemunculannya membuat onar dan dendam dari
tokoh tokoh rimba persilatan.-Sementara, Malaikat Peti Mati jadi seperti terpekur.
"Seta Lelono..., sadarlah. Jalan yang berada di hadapanmu masih panjang. Bila
kau mau mengabdikan ilmumu bagi keselamatan umat manusia, niscaya akan menjelma
menjadi orang yang dipuja. Sama seperti yang dialami Pendekar Slebor. Tetapi,
ketahuilah. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu bukanlah orang yang ingin
dipuja. Dia melakukan semua
itu demi membela kaum lemah dan kebenaran.
Semuanya karena semata ketulusan hatinya...," lanjut kembaran Malaikat Peti
Mati. Kepala Malaikat Peti Mati jadi tertunduk. Akal sehatnya semakin sadar. Diam diam
-dia yang tadi menganggap kalau Pendekar Slebor tidak berani muncul karena
kepengecutannya, justru menghargai kebesaran jiwa Pendekar Slebor. Karena, bila
saja pendekar urakan itu muncul, niscaya akan terjadi pertarungan darah yang
memungkinkan akan merenggut salah satu nyawa di antaranya.
"Aku akan menuruti kata katamu itu. Tetapi, ceritakanlah tentang dirimu. Karena
-selama ini, aku belum pernah tahu kalau ternyata mempunyai saudara kembar," ujar
Malaikat Peti Mati.
"Kau pikirkanlah sendiri jawabannya. Niscaya satu saat, kau akan menemukannya."
Sementara itu, beberapa orang dari golongan hitam diam diam menjadi marah karena
-ternyata Malaikat Peti Mati mengurungkan niatnya.
"Heaaa...!"
Tiba tiba saja tiga orang melayang ke atas disertai teriakan membahana. Gerakan
-mereka sangat ringan.
Begitu mendarat di depan, tampak wajah mereka yang mengerikan. Pakaian hitam
yang dikenakan terbuka di dada, memperlihatkan kekekaran tubuh mereka. Di tangan
mereka tergenggam sebatang clurit tajam. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Clurit
Sambar Nyawa. Di daerah utara, ketiga tokoh ini cukup terkenal.
Sementara Malaikat Peti Mati memicingkan
matanya. "Mau apa kalian?" tegur Malaikat Peti Mati.
"Pemuda berhati kelinci! Ternyata kau memang tidak pantas menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan ini!" bentak laki laki berwajah tirus, satu dari Tiga
-Clurit Sambar Nyawa.
Sepasang mata Malaikat Peti Mati terbuka. Lebar memancarkan kemarahan. Tetapi
amarahnya ditahan karena kini disadari kalau kemarahan dan kesombong hanya akan
mengundang petaka saja.
"Apa urusannya dengan kalian?"
"Selama ini, kami berkeyakinan dan siap mengabdi diri padamu bila kau berhasil
membunuh Pendekar SIebor! Tetapi sebelum kau bertindak lebih jauh, hatimu sudah
ciut! Tak sudi kami mempunyai pimpinan seperti mu!"
"Siapa pula yang sudi mempunyai anak buah seperti kalian ini"! Tak akan pernah
aku mengangkat anak buah! Kalaupun aku ingin membunuh Pendekar Slebor, itu hanya
urusan pribadi saja!"
"Huh! Terimalah kematianmu!"
Seperti mendapat kata sepakat, Tiga Clurit Samb Nyawa menerjang, ke arah
Malaikat Peti Mati dengan hebat. Tiga buah clurit berkelebat mengurung bagaikan
cahaya, menimbulkan suara berdesingan.
Malaikat Peti Mati mendengus hebat. Amarahnya seketika bangkit. Dia tidak pernah
mau dianggap sebagai pemimpin. Dan dia pun tak mau diperbudak seseorang
atau satu golongan. Yang ingin dibuktikannya, bahwa dia memang patut dipuja orang-orang rimba persilatan!
Tubuh Malaikat Peti Mati pun telah digulung serbuan
clurit itu dengan hebatnya. Namun, mendadak saja tubuh pemuda itu berputaran
dengan tangan mengibas.
Wuuuttt...! Crasss! "Aaakh...!"
Tiga Clurit Sambar Nyawa kontan berpentalan.
Begitu ambruk nyawa mereka telah putus.
"Hhh! Ilmu kalian masih cetek!" dengus Malaikat Peti Mati sambil meludah. "Ayo,
siapa yang berani menantang aku" Maju! Maju kalian ke sini! Siapa yang tak sudi
melihatku mengurungkan niatku untuk membunuh Pendekar Slebor yang bijaksana itu"
Biar aku rencah tubuh kalian!"
Tak ada yang bersuara. Dari pihak golongan putih terdengar desahan napas lega,
meskipun masih tidak mengerti, mengapa Pendekar Slebor belum juga muncul.
Sedangkan dari golongan hitam, meskipun kesal pada sikap Malaikat Peti Mati,
mereka merasa lebih baik diam saja daripada nyawa melayang. Karena mereka tahu,
betapa tingginya ilmu Malaikat Peti Mati.
Terbukti dengan begitu mudahnya membunuh Tiga Clurit Sambar Nyawa.
Karena tak ada yang mengeluarkan pendapat,
Malaikat Peti Mati berpaling pada kembarannya.
"Kakak kembarku.... Terima kasih atas penjelasanmu.
Mungkin, selama ini aku memang dibutakan oleh ilmu yang kupelajari dari Guru.
Sehingga, kesombonganku muncul. Juga keirianku terhadap Pendekar Slebor,
Kakang.... Aku akan mencari jawaban atas siapa dirimu.
Terima kasih atas kemunculanmu. Sehingga aku tahu, ternyata aku memiliki saudara
di dunia ini."
Kembaran Malaikat Peti Mati tersenyum.
"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya kembaran Malaikat Peti Mati.
"Aku akan kembali menghadap Guru. Aku akan meminta maaf dan mohon ampun
padanya." "Bagus!"
Untuk pertama kalinya, Malaikat Peti Mati
tersenyum. "Terima kasih, Kakang. Bila kau bertemu Pendek Slebor, katakan aku minta maaf
padanya." "Akan kusampaikan."
Tiba tiba-Malaikat
Peti Mati menggerakkan tangannya. Wuuttt...! Brakkk! Peti Mati Ukiran Naga itu pun pecah seketika.
"Hhh! Tak ada lagi Peti Mati Ukiran Naga! Selamat berpisah, Kakang! Kutunggu kau
di hadapan Guru!"
Seketika tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat. Dalam sekejap saja, dia sudah tidak nampak di mata.
Kembaran Malaikat Peti Mati terlihat menghela napas panjang. Matanya melihat
beberapa sosok tubuh yang baru datang. Tampak pula gadis jelita yang mendekati
Kaliki Lorot. "Guru! Apakah pertarungan itu sudah berlangsung?"
seru gadis yang ternyata Menur.
Sementara si Naga Gunung menyalami sahabatnya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Sedangkan tiga murid Perguruan Garuda Mas memperhatikan sosok yang berdiri tegar
di atas Bukit Sigura gura dengan hati-mendendam.
Kaliki Lorot tersenyum.
"Belum, Menur."
"Oh, apakah Kang Andika belum datang?"
"Dia memang belum datang."
"Guru.... Kalau begitu..., lebih baik kita bunuh saja manusia keparat yang
berdiri di atas Bukit Sigura gura itu!"
-"Kau salah, Menur.... Pemuda rambut emas itu bukanlah Malaikat Peti Mati." sahut
Kaliki Lorot, lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalau begitu, di manakah Kang Andika sekarang ini, Guru?" kejar Menur,
penasaran. "Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya.
Inilah akhir dari semua peristiwa yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati. Lebih
baik, memang kita berdamai saja. Maafkanlah Malaikat Peti Mati!"
Kata kata kembaran Malaikat Peti Mati mengundang dengusan dari pihak golongan
-hitam. Dan satu satu mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun Pendekar Slebor
dianggap pengecut karena tidak muncul, akan tetapi mereka menganggap pula akan
kebijaksanaan pendekar itu yang mau menuruti nasihat kakak kembar Malaikat Peti
Mati. Hanya yang disayangkan, kalau Pendekar Slebor belum mampus juga!
Malam semakin melangkah. Di Bukit Sigura gura hanya tinggal orang orang dari
- -golongan putih saja.
Tiba tiba, sosok rambut emas itu melenting ke arah mereka dan berdiri di tengah
- -tengah. Bibirnya mengulum senyum.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Kuminta,
kalian memaafkan Malaikat Peti Mati. Karena sesungguhnya, hatinya begitu suci.
Tidak ada keinginannya yang busuk selain ingin dipuja dan diakui sebagai orang
nomor satu," ujar kembaran Malaikat Peti Mati.
"Terima kasih atas kemunculanmu, sehingga pertumpahan darah antara Pendekar
Slebor dan Malailat Peti Mati tidak terjadi. Kalau saja yang menghadapinya bukan
kau, dalam pertarungan singkat itu, pasti penyerangnya akan mati," kata Imam
Arif Penguasa Gunu Bontang.
"Kau benar, Ki..., ilmunya sangat tinggi. Sulit menghadapinya bila bertarung
secara kasar. Dan ternyata akal pun bisa dipergunakan, asal dengan keyakinan
kalau kita mampu menghadapinya. Berarti, tidak membuang nyawa percuma."
Semua yang hadir di sana mengakui kebenaran kata-kata kembaran dari Malaikat
Peti Mati. "Hei, Rambut Emas!" seru Kaliki Lorot. "Di mana kau bertemu Pendekar Slebor?"
"Oh! Memangnya kenapa?"
"Mana dia! Dia harus menikahi muridku ini!" tuntut Kaliki Lorot, membuat Menur
menundukkan kepalanya.
Sementara si Naga Gunung tersenyum. Kini dia yakin, mengapa wajah gadis itu
memerah ketika menyebutkan nama Pendekar Slebor. Rupanya, Menur memang mencintai
pendekar muda itu.
"Ki Kaliki Lorot.... Kalaupun kau menginginkan muridmu menikah dengannya, kau
harus menunggu beberapa saat."
"Hei" Apa urusannya denganmu?"
"Dia juga menceritakan soal itu padaku. Karena, untuk saat ini dia belum ingin
menikah." "Busyet! Kurang ajar sekali! Di mana dia"!"
"Ki Kaliki Lorot.... Bila kau memang menyetujui usulnya, aku akan mengatakan dia
di mana saat ini."
"Brengsek! Ayo, katakan!"
"Aku sudah berjanji padanya. Janji seorang rimba persilatan, adalah jantungnya
sendiri. Bila dia mengingkarinya, berarti secara tidak langsung bunuh diri."
Kaliki Lorot mendengus.
"Baik! Katakan, di mana dia berada?"
"Bila kau menyetujui usulku itu, kau harus berjanji tidak akan memaksanya untuk
menikah sekarang juga...."
"Banyak omong!"
"Berjanjilah!"
"Iya, aku berjanji!"
"Janjimu didengar orang orang berilmu di sini,"-tekan kembaran Malaikat Peti Mati sambil tersenyum.
"Busyet! Kau ini bangsa perempuan juga rupanya?"
rutuk Kaliki Lorot. Tetapi kemudian mulutnya nyengir ketika melihat si Naga
Gunung melotot.
"Kupegang janjimu, Ki. Sesungguhnya, Pendekar Slebor tidak jauh berada di
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekitar kita," kata kembaran Malaikat Peti Mati.
"Di mana" Di mana?" kejar Kaliki Lorot.
Bukan hanya Kaliki Lorot yang menolehkan
kepalanya mencari cari Pendekar Slebor, tetapi juga para tokoh yang berada di -sana.
"Dia berada di hadapan kalian."
11 Semua yang ada di sini melotot, ketika perlahan lahan kembaran Malaikat Peti
-Mati mencabut rambut emasnya. Membuka pakaian keemasannya, dan
mengupas topeng karet yang berada di wajahnya.
Selebihnya, tampak seraut wajah tampan dengan alis hitam seperti kepak elang
berpakaian hijau pupus dan selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.
"Kang Andika!" seru Menur keras. Kalau saja tidak malu, gadis ini sudah berlari
menubruk orang yang sangat dirindukannya.
Semua tercengang melihatnya. Rupanya, kembaran Malaikat Peti Mati adalah
Pendekar Slebor yang sedang menyamar! Tak heran kalau samarannya begitu
sempurna, karena dia memang memiliki ilmu
menyamar yang didapat dari Raja Penyamar!
Andika hanya nyengir saja.
"Gelo! Edan! Sinting! Apa apaan kau ini, hah"!" maki Kaliki Lorot.
-Lelaki tua ini benar benar terkejut melihat siapa sosok di balik rambut emas
-yang telah membuat Malaikat Peti Mati menyadari kesombongannya dan sempat
bentrok dengannya. Dia memang membuat kejutan seperti yang dijanjikannya.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang hanya
menggeleng gelengkan kepala.
-"Tak kusangka, kalau sosok rambut emas itu adalah kau sendiri, Andika."
"Maafkan aku, Ki Pangsawada.... Sebenarnya, aku tidak menginginkan menyamar
seperti ini. Tetapi, setelah aku bertemu Eyang Srimpil, aku baru tahu tentang
Malaikat Peti Mati yang sesungguhnya. Aku yakin, dia bukanlah dari golongan
sesat. Dia pemuda yang memiliki darah muda yang cepat bringas. Dia hanya ingin
diakui sebagai orang nomor satu dan dipuja orang orang rimba persilatan. Lalu -kupikirkan cara bagaimana agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Setelah aku bertemu Eyang Srimpil, maka kuputuskan untuk menyamar sebagai
kembarannya. Secara
kebetulan, ketika aku meninggalkan Menur, aku bertemu lelaki tua yang mengaku
bernama Eyang Srimpil. Dia saat itu memang hendak mencari muridnya yang bernama
Seta Lelono yang mengaku berjuluk Malaikat Peti Mati. Firasat Eyang Srimpil
mengatakan kalau pemuda itu memiliki sifat ingin dipuja, walaupun sebenarnya
baik hati. Maka ketika mendengar kabar kalau Malaikat Peti Mati berniat
menantang Pendekar Slebor, Eyang Srimpil keluar dari pengasingannya. Ketika
bertemu aku, dia minta pendapatku, bagaimana menyadarkan Malaikat Peti Mati.
Maka atas persetujuannya, aku menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati.
Dan sekaligus, aku diajarkan jurus-jurus dasar milik Eyang Srimpil. Jadi, aku
bisa menahan gempuran Malaikat Peti Mati.... Hebat, ya...!" tutur Andika panjang
lebar. Imam Arif Penguasa Gunung Bontang tersenyum melihat kecerdikan Andika.
"Kalau begitu, kau telah mempermainkan kami, Andika! Apakah kau yang bertarung
denganku dan si
Golok Maut?"
Andika terbahak bahak.
-"Siapa lagi yang tidak segera mengirim kalian ke akherat, kalau bukan aku" Bila
yang dihadapi Malaikat Peti Mati sudah tentu kalian tak akan diberi ampun."
Si Golok Maut mendengus.
"Kurang ajar! Kau menghantamku dengan keras!"
"Bukankah kemudian aku muncul dengan wajahku yang tampan ini dan mengobatimu?"
desis Andika tersenyum.
"Kurang ajar! Kau pasti yang juga bertarung denganku, setelah aku kau obati"!"
maki Kaliki Lorot.
Lagi lagi Andika nyengir saja.
-"Sudah kuduga!"
"Andika.... Mengapa kau kelihatan begitu marah pada dirimu sendiri saat menyamar
sebagai Malaikat Peti Mati?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kalau tidak begitu, gagallah rencanaku bila kau atau siapa pun tahu kalau aku
sedang menyamar. Eh! Tidak tahunya aku bertemu Kaliki Lorot yang langsung
menyerangku. Saat itu, dia sengaja kuhadapi karena sekaligus aku ingin
membuktikan kalau samaranku sempurna. Dan ternyata, memang sempurna. Dalam
penyamaranku sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati, aku pun bertarung dengan
murid murid Partai Tumbal Iblis yang menginginkan Malaikat Peti Mati untuk
-bergabung. Saat itulah aku yakin, Partai Tumbal Iblis akan membangun kekuasaan
yang berguna baginya untuk melebarkan kekuatan."
"Pantas kau memberitahukan soal itu kepada kami, "
desis Imam Arfi Penguasa Gunung Bontang.
"Tidak bisa! Tidak bisa!"
Tiba tiba Kaliki Lorot memaki maki sendiri.- -"Kenapa, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kau harus menikah dengan muridku!"
"Ki.... Bukankah kau sudah berjanji untuk mengurungkan dulu masalah perjodohan ini?" tukas Andika.
"Itu karena kau menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati."
"Kalau begitu, aku akan menyamar kembali. Dan itu berarti kau akan mengurungkan
dulu niatmu, bukan?"
Kaliki Lorot mendengus. Dia menjadi malu sendiri.
"Baik! Kita tunda dulu masalah perjodohan ini. Tetapi awas, aku akan mencarimu
bila tidak menikahi muridku yang jelita ini! Ayo, Menur! Kita kembali!"
Menur belum melangkah. Matanya yang bening
menatap Andika. Penuh sorot kecewa berbalur cinta.
"Kang Andika...."
Andika mendekat. Dipegangnya kedua lengan yang mulus itu, lalu tersenyum.
"Menur.... Tidak usah berkecil hati. Bila Yang Maha Kuasa menghendaki kita
bersatu, pasti akan terlaksana.
Tetapi, he he he.... Aku belum berjanji, ya?"
Menur terdiam. Tetapi, matanya berkaca kaca
-memperlihatkan kekecewaan di hatinya.
"Baiklah, Kakang. Aku akan menunggumu."
"Terima kasih."
Menur pun berbalik mengikuti Kaliki Lorot yang sudah melangkah. Andika merasakan
sesuatu yang hangat menerpa tangannya. Air mata Menur.
Diam diam Pendekar Slebor mendesah panjang. Lalu
- tubuhnya berbalik ke arah yang lain.
"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?" tanya Andika.
Tak ada yang bersuara.
"Nyai.... Latihlah tangan dan kedua kakimu dengan mengalirkan tenaga dalam yang
kini bisa kau pusatkan di dada. Dalam kesinambungan dan ketekunan, mudah-mudahan
seluruhnya akan kau peroleh kembali," ujar Pendekar Slebor, memecah keheningan.
"Terima kasih, Andika."
Andika memandang kejauhan, menatap Bukit Sigura-gura yang kini sudah membiaskan sinar matahari. Fajar sudah datang. Tiba tiba
-saja pemuda ini tersentak.
"Oh!"
Seketika yang lainnya mengikuti arah pandangan Andika.
"Apa yang kau lihat tadi, Andika?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Ki.... Apakah aku tidak salah lihat" Aku.... melihat satu sosok tubuh
berpakaian putih bersih menjurai dengan rambut bergerai panjang berdiri di sana
tadi. Dia memegang sebuah tongkat berwarna hitam," desis Andika masih memperhatikan
puncak Bukit Sigura gura.
-Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah.
"Rupanya, dia masih mendatangi tempat kediamannya ini."
"Siapa dia, Ki?"
"Dia adalah Ki Langlang Jagat. Andika.... Kau beruntung masih sempat melihatnya.
Karena sudah puluhan tahun lelaki sakti itu tak pernah kelihatan."
Andika hanya terdiam saja. Lalu tanpa pamit lagi, kakinya melangkah meninggalkan
tempat itu dengan otak berpikir keras. Ki Langlang Jagat, Penguasa Bukit Sigura
-gura. Oh! Andika berharap sekali satu saat akan berjumpa tokoh agung itu.
Dan perlahan lahan, yang lain pun meninggalkan tempat ini. Tak ada yang
-tersinggung melihat sikap Andika yang berlalu tanpa pamit.
*** Partai Tumbal Iblis. Pagi hari. Dewi Kemuning menggeram marah luar biasa. Dia
sudah mendengar kalau pertarungan antara Malaikat Peti Mati melawan Pendekar
Slebor gagal berlangsung.
"Bangsat! Manusia manusia hina itu harus kubunuh!-Hhh! Satu saat, mereka akan terkejut melihat kehadiran dan kekuatan Partai
Tumbal Iblis di rimba per silatan ini!"
SELESAI Segera terbit: JODOH SANG PENDEKAR
Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Golok Kumala Hijau 1 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Mustika Serat Iblis 1
*** "Telah lama kudengar nama besarmu, Pendekar Slebor. Aku beruntung masih sempat
bertemu denganmu. Terima kasih," ucap si Golok Maut, ketika kesehatannya telah pulih.
Andika tersenyum.
"Ya, beruntung kau bertemu denganku. Coba kalau
bertemu dengan macan lapar.... Apa tak jadi runyam?"
"Andika...," desis Ki Pangsawada. "Tahukah kau siapa manusia rambut emas itu
sebenarnya?"
Andika menggelengkan kepalanya.
"Yang sebenarnya, aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, dia manusia yang jarang
mandi, hingga rambutnya jadi kuning begitu. Sukanya membuat onar, membunuhi
siapa saja yang bersahabat atau
mengenalku, Ki,!" sahut Pendekar Slebor seenaknya.
"Andika. Menurut kabar..., Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati
ukiran naga yang
dikhususkan untuk mayatmu. Tetapi, mengapa aku tadi tidak melihatnya?" tanya Ki
Pangsawada kemudian.
"Aku tidak tahu. Mungkin dia takut petinya kutukar dengan peti sampah. Karena
bisa jadi dirinya sendiri yang bersemayam di peti sampah...."
Ki Pangsawada tersenyum melihat sikap Pendekar Slebor yang tetap urakan.
Sikapnya benar benar tenang tidak mencerminkan ketakutan. Padahal, maut sedang -menanti.
Si Golok Maut pun diam diam mengagumi ketabahan
-Pendekar Slebor yang namanya telah lama dikenal. Dan baru kali ini dia
menyaksikan sendiri, siapa Pendekar Slebor sesungguhnya. Ternyata sosok pendekar
itu masih muda sekali. Tiba tiba....
-"Busyet! Mana muridku yang jelita itu, Bor! Gila!
Kenapa kau tinggal, hah"!"
Terdengar makian keras. Andika menoleh, dan langsung mendengus melihat
kedatangan sosok yang tak lain Kaliki Lorot. Bisa runyam urusan ini. Tetapi
bukan Andika kalau tidak bisa membalas.
"Aku tidak meninggalkannya. Hanya kami sedang menyesuaikan diri," kilah Pendekar
Slebor. "Mana bisa begitu" Menyesuaikan diri, kok harus berpisah seperti ini" Kalian
harus bersama sama! Selalu dan selalu bersama sama! Kalau terjadi apa apa
- - -terhadap Menur, kau akan kubunuh!" dengus Kaliki Lorot. "Eh, kau Pangsawada!
Busyet.... Kenapa kau nongol lagi, hah"! Dan, kalau melihat bentuk golok yang
berukir di ujungnya, pasti dia si Golok Maut!"
Kaliki Lorot seperti baru menyadari kalau di sana ada Ki Pangsawada dan si Golok
Maut. Namun si Golok Maut hanya mengangguk. Dia juga telah mendengar tentang tokoh
hebat bertubuh gempal ini.
Ki Pangsawada tersenyum. Dia tahu bagaimana sifat sahabatnya yang satu ini.
"Kaliki Lorot.... Kenapa kau sendiri muncul dari kediamanmu itu?"
"Ini gara gara muridku yang mengajarkan aku naik kuda! Padahal sudah kubilang
-berkali kali, kalau aku tak bisa naik kuda! Eh tidak tahunya aku ketemu manusia
-bangsat berambut emas itu! Sialan! Juga sialan untuk pemuda baju hijau pupus
ini. Enak enaknya calon istrinya ditinggalkan begitu saja" Nah, Pangsawada!
-Apakah menurutmu aku harus menurunkan tangan padanya?"
Bukannya menjawab, Ki Pangsawada malah
mengkerutkan keningnya.
"Siapa calon istri Pendekar Slebor?"
"Siapa lagi kalau bukan muridku yang jelita itu. Hhh!
Kalau dia menolak, kupecah kepalanya!"
"Waadddooouuuwww!" seru Pendekar Slebor sambil memegangi kepalanya seolah olah -sudah dihantam Kaliki Lorot.
"Bagaimana aku bisa menerimamu sebagai mertua kalau kau sudah mengancam begitu?"
"Peduli setan! Pokoknya kau harus menjadi suami muridku! Hei, Pangsawada! Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi?"
Ki Pangsawada tersenyum arif, meskipun sangat paham dengan sifat sahabatnya.
"Aku tak bisa memberikan tanggapan. Karena, satu perjodohan tidak bisa
dipaksakan. Bila kedua belah pihak menyetujui, maka perjodohan bisa dilakukan."
Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
"Sudah, sudah! Hei, Pemuda Lembah Kutukan!"
serunya pada Andika. "Sehabis menghadapi manusia busuk itu, kau harus menikah
dengan muridku!"
"Wah, wah.... Kasihan muridmu itu, Ki. Dia cantik.
Tubuhnya menggairahkan...."
"Nah, nah," potong Kaliki Lorot. "Bukankah itu yang kausukai?"
"Betul. Tetapi, apakah kau tidak kasihan bila muridmu menikah denganku nanti
harus mengikuti aku yang terus menerus bertualang?" tukas Andika.
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus menikahi dia!"
Pendekar Slebor menggaruk garuk
-kepalanya. Kepalanya benar benar pusing menghadapi perjodohan yang dihadapinya sekarang
-ini, Enak saja Kaliki Lorot main menjodoh jodohkan begitu saja. Tetapi kalau
-menolak sekarang, bisa dipastikan Kaliki Lorot akan semakin nyap nyap.
-"Kaliki Lorot, bagaimana...."
"Busyet! Kukemplang kepalamu berani beraninya memanggil namaku begitu saja tanpa
-embel embel penghormatan!" bentak Kaliki Lorot melotot.
-Sementara Ki Pangsawada hanya tersenyum saja.
Sedangkan si Golok Maut tertawa dalam hati.
Andika terbahak bahak.
-"Iya, iya! Heran.... Kok ada orang tua sableng begini ya" Hei, sudah, sudah!
Pokoknya, sekarang ini ditunda saja dulu masalah perjodohan itu."
"Tidak bisa!"
"Lho" Bukankah kau tahu sendiri, Ki. Aku akan bertarung dengan manusia sesat itu
purnama mendatang di Bukit Sigura gura?" tukas Andika.-"Kau tidak usah datang. Biar aku yang bikin mampus manusia busuk itu! Rupanya,
dia takut dengan ajian
'Kala Hitam' milikku! Kali ini.., hei" Kenapa kau tertawa?"
Andika menekap mulutnya.
"Tidak, tidak.... Teruskan saja...," ujar Andika, geli.
Meskipun tak mengerti mengapa tiba tiba Pendekar Slebor terbahak bahak seperti
- -itu, Kaliki Lorot meneruskan kata katanya.
-"Manusia busuk itu harus mampus di tanganku! Kau tak usah bertarung dengannya!
Jaga muridku yang manis itu! Nikahi dia! Ayo, kau cari sana muridku itu!
Dia pasti sangat merindukanmu sekarang ini.... Kau juga merindukannya, bukan?"
Andika mendengus. Tetapi karena tatapan melotot dari Kaliki Lorot itu, kepalanya
pun mengangguk.
"Iya, iya! Nanti aku akan mencarinya!"
"Sekarang!"
"Kaliki Lorot," timpal Imam Arif Penguasa Gunu Bontang. "Kita ketahui, kalau
saat ini ada manusia sesat yang sedang unjuk gigi. Dan satu satunya yang
-dikehendaki manusia keparat itu hanyalah Pendekar Slebor. Kita tidak boleh
berbuat curang, selaku orang golongan lurus. Meskipun hati kita geram, tetapi
Pendekar Slebor telah menerima tantangan dari Malaikat Peti Mati di Bukit
Sigura gura. Jadi, kita pendam seluruh amarah pada manusia sesat itu. Dan...,
-kau pendamlah dulu apa yang diinginkan terhadap Pendekar Slebor. Kau paham
maksudku?"
Kaliki Lorot terdiam beberapa saat, lalu menganguk-angguk. Bisa dimengerti kata
-kata sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu. Kita sudahi dulu pembicaraan tentang perjodohan. Tetapi,
di mana muridku sekarang berada, hah"!"
"Dia kutinggalkan di hutan sebelah tenggara sana!"'
Kaliki Lorot melotot.
"Gila kau, Bor! Kalau muridku kenapa kenapa, kau harus bertanggung jawab!"
-Andika nyengir.
"Belum juga aku apa apakan. Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya?"
-"Busyet! Otakmu ngaco juga!" bentak Kaliki Lorot.
Dalam hati orang tua itu yakin kalau muridnya mampu menjaga diri. Asalkan saja
tidak bertemu Malaikat Peti Mati.
"Hei, Bor! Dua pekan lagi, purnama yang kau janjikan pada Malaikat Peti Mati
akan tiba! Kau harus berhasil mengalahkan manusia monyet itu! Kalau kau mampus,
muridku tidak akan menikah! Bahkan, bisa bisa ia menjadi perawan tua!"-Andika tertawa. Dia teringat ketika Kaliki Lorot mengatakan muridnya bisa
menjadi janda, sekarang malah berkata bisa menjadi perawan tua.
"Sebisanya aku akan mengalahkan Malaikat Peti Mati. Baiknya, kalian menerangkan
saja bagaimana kehebatan dari pemuda yang suka mengadu ilmu itu."
Lalu mereka pun kini duduk bersila. Masing masing menceritakan kehebatan
-Malaikat Peti Mati.
"Lebih baik kita berpisah dulu di sini," usul Pendekar Slebor, setelah merasa
cukup mendapat keterangan.
"Hei" Mana bisa kau lakukan itu!" bentak Kaliki Lorot.
Andika mendengus gemas.
"He! Tadi kau sudah mengatakan, kalau urusan perjodohan itu ditunda dulu! Yang
hendak bertarung menghadapi Malaikat Peti Mati adalah aku!"
"Baik, baik!" sungut Kaliki Lorot. "Kau mau ke mana?"
"Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan seluruh pikiranku," sahut Andika.
"Juga, memikirkan cara bagaimana untuk melumpuhkan Malaikat Peti Mati. Karena
menurut kalian, kehebatannya sangat luar biasa. Tetapi, menurut Ki Pangsawada
dan Kaliki Lorot ternyata dia tidak membawa peti mati ukiran naganya.
Juga seperti yang kau katakan, Ki Kaliki Lorot. Ternyata kau pun kemudian
bertarung kembali dengan manusia itu yang ngacir karena ajian 'Kala Hitam'
milikmu. Pertanyaannya sekarang, di manakah Peti Mati Ukiran Naga itu yang sedianya akan
dijadikan tempat mayatku"
Nah, Ki Kaliki Lorot! Apakah kau akan menahanku juga.
Karena, aku tidak ingin kita sebagai orang orang golongan putih dicap curang dan
-pengecut. Sekuat tenaga aku akan mengalahkannya. Bukan dengan jalan mengempurnya
bersama sama, karena aku yakin
-Malaikat Peti Mati menginginkan satu pertandingan jujur."
Kaliki Lorot mengangguk, membenarkan alasan
Andika. "Baiklah kalau begitu. Kami akan tetap datang Bukit Sigura gura untuk
-menyaksikan pertarungan."
"Aku terima kedatangan kalian. Karena, siapa tahu akan membuatku bertambah
semangat. Dan yang perlu kalian ketahui, aku mendengar kabar, kalau Partai
Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning akan membuat torehan darah di rimba
persilatan."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Pangsawada yang telah lama mendengar tentang Partai
Tumbal Iblis. "Mereka akan melebarkan sayap kekuasaan dan menginginkan para tokoh rimba
persilatan baik dari golongan putih maupun hitam bergabung."
"Cuiihhh!"
Si Golok Maut membuang ludah mendengarnya.
"Sombong sekali Dewi Kemuning itu! Kalaupun hendak melebarkan sayap kekuasaan,
dia harus melangkahi mayat mayat kami yang akan menjadi pecundang baginya!" -lanjutnya, mendesis.
"Bagus! Aku pamit!"
"Hei!" seru Kaliki Lorot ketika Andika hendak melangkah. "Kau harus membuat
kejutan, Bor!"
Andika menghentikan langkahnya. Di bibirnya
menyungging senyum.
"Aku akan membuat kejutan. Dan kalian pun pernah merasakan kejutan yang luar
biasa akibat perbuatanku."
Kaliki Lorot hendak berkata lagi, tetapi tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat
cepat. Tempat itu sunyi. Tinggal ketiga manusia itu yang terdiam, tercekam pikiran
masing masing. -*** 9 Tiga pemuda dan satu sosok tubuh berpakaian merah tua melangkah tertatih
berjalan dalam satu rombongan.
Meski terlihat sangat susah melangkah, tetapi sosok berpakaian merah tua itu
tetap tersenyum. Dia tak lain dari si Naga Gunung yang sedang mencari Pendekar
Slebor bersama tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Selama melakukan perjalanan, belum ada bayangan Pendekar Slebor ditemukan. Di
hati Naga Gunung, tersimpan bara dendam terhadap Malaikat Peti Mati yang
mengakibatkan dirinya menderita seperti ini.
Begitu pula tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Terbayang bagaimana maut yang ditebarkan Malaikat Peti Mati di mata. Pekik
kematian terdengar diselingi tawa keras yang meluruhkan dedaunan. Lalu sosok
guru mereka ambruk bergelimpangan darah. Semuanya bagaikan menikam dari
belakang. Terasa menyayat-nyayat hingga ke relung hati.
Tiba tiba saja si Naga Gunung menghentikan-langkahnya. Meskipun ilmunya telah lumpuh, tetapi pendengarannya sangat
terlatih. "Hentikan langkah! Aku mendengar suara berlari ke arah sini!" ujar si Naga
Gunung. Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling
berpandangan. Mereka diam diam mengagumi ilmu yang dimiliki si Naga Gunung.
-Terbukti betapa tajamnya pendengarannya. Hanya saja, kini mereka tahu kalau
wanita perkasa ini sebenarnya dalam keadaan tak
berdaya. Dan tanpa diperintahkan ketiga pemuda itu bersiaga.
"Bila mendengar cara berlarinya, bisa dipastikan ilmu meringankan tubuhnya
lumayan. Dan jelas jelas dia seorang gadis."
-Semakin bertambah kekaguman ketiga pemuda itu mendengar penjelasan si Naga
Gunung. Selang beberapa saat, di tempat itu tiba satu sosok jelita.
Sosok yang memang seorang gadis ini mengerutkan keningnya. Dalam sekali lihat,
dia tahu kalau wanita berbaju merah tua itu dalam keadaan terluka. Masih dalam
taraf penyembuhan. Tanpa sadar gadis ini bersiaga. Karena belum mengetahui,
apakah yang berdiri di hadapannya ini lawan atau kawan.
"Anak manis, hendak ke mana seorang diri?" sapa si Naga Gunung.
Sosok jelita itu tersenyum mendengar sapaan ramah.
Sikapnya tidak setegang tadi.
"Maafkan aku. Bibik. Aku hendak ke Bukit Sigura-gura," sahut gadis itu.
"Oh, jauh sekali Bukit Sigura gura itu jaraknya dari sini. Hendak apakah di
-sana?" kejar si Naga Gunung.
Bila melihat pakaian ringkas yang dikenakan dan sebilah pedang yang tersandang
di punggung sudah jelas kalau gadis itu bukanlah orang sembarangan.
Sosok jelita itu nampak kelihatan bimbang. Si Naga Gunung tertawa pelan.
"Kalau kau bimbang, tidak usah dikatakan. Lanjutkan saja perjalananmu. O, ya.
Sebagai perkenalan, namaku Nyai Selastri. Orang orang menjulukiku si Naga
-Gunung. Dan ketiga pemuda ini yang sejak tadi melotot terpana
melihat kecantikanmu adalah murid murid perguruan Garuda Mas," jelas si Naga -Gunung.
Sosok jelita yang tak lain Menur itu terdiam sejenak.
Samar samar julukan itu pernah didengarnya.
-"Baiklah, Bibik. Namaku Menur. Dan maafkan karena tidak bisa melanjutkan
percakapan ini," ucap Menur.
"Oh, silakan, silakan, Menur. Tetapi, sudikah menjawab pertanyaanku?"
"Silakan, Bibik."
"Apakah kau pernah berjumpa Pendekar Slebor?"
Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Menur tiba tiba memerah. Mendadak saja
-dia teringat, bagaimana pemuda itu merangkul, mengecupnya. Dan juga
meninggalkannya.
Sementara itu, si Naga Gunung dalam sekali lihat saja merasa yakin kalau gadis
ini ada sesuatu dengan Pendekar Slebor.
"Kalau kau tahu, sudikah kau memberitahukan padaku?" lanjut Nyai Selastri.
Menur berusaha menenangkan gemuruh hatinya.
"Bibik..., maksudku pergi ke Bukit Sigura gura, adalah untuk melihat pertarungan
-Pendekar Slebor dengan Malaikat Peti Mati," sahut Menur, hati hati.
-Wajah si Naga Gunung mendadak memerah. Begitu pula ketiga murid Perguruan Garuda
Mas yang sejak tadi mendengarkan percakapan sambil mengagumi kecantikan paras
Menur. "Menur.... Benarkah yang kaukatakan itu?" tanya si Naga Gunung.
"Aku mengatakan apa adanya, Bibik."
Si Naga Gunung terdiam. Matanya memandang
kejauhan. "Menur..., siapakah sebenarnya kau ini?"
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menur benar benar mengurungkan niatnya untuk melanjutkan langkah kembali. Dia
-segera menjura penuh hormat.
"Bibik.... Aku adalah murid Kaliki Lorot yang mendiami Lembah Perkasa. Mengenai
Pendekar Slebor, aku dan guruku, sempat bertemu dengannya. Bahkan sebelum
berjumpa, kami bertarung menghadapi
angkara murka yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati.
Terus terang, saat itu kami tak mampu menandingi kehebatannya. Sehingga, kami
dibuat pingsan. Baru kemudian, muncul Pendekar Slebor yang segera mengobati
luka luka kami."
-"Gusti!" sentak si Naga Gunung terbelalak terkejut.
"Apakah yang akan terjadi di Bukit Sigura gura adalah pertarungan kedua antara
- Pendekar Slebor dan Malaikat Peti Mati?"
"Tidak, Bibik. Rupanya Malaikat Peti Mati belum mengenal Pendekar Slebor. Dan
orang keparat itu berhasil dikelabuinya dengan secara tak langsung menerima
tantangannya di Bukit Sigura gura. Aku yakin, yang dilakukan Pendekar Slebor -semata ingin menyelamatkan kami. Maksudku, aku dan guruku, Bibik."
Si Naga Gunung mengangguk angguk. Memang lebih
-baik menyelamatkan nyawa seseorang lebih dulu.
"Menur, keberatankah kau bila kita bersama sama menuju Bukit Sigura gura?"
- -Menur terdiam beberapa saat. "Baiklah, Bibik. Sama sekali aku tidak keberatan,"
kata Menur, akhirnya.
"Terima kasih. Menur. Dan kami memang ingin mencari
Pendekar Slebor, sekaligus meminta bantuannya untuk memusnahkan seorang tokoh sakti yang menjuluki dirinya sebagai
Malaikat Peti Mati."
Si Naga Gunung pun segera melangkah perlahan-lahan. Sementara ketiga murid
Perguruan Garuda geram sekali mendengar cerita Menur tentang Malaikat Peti Mati.
Hhh! Mereka berharap, Pendekar Slebor akan mampu membunuh manusia setan itu!
Dan dalam perjalanan itu, pemuda yang bernama Sumadi lebih banyak melirik Menur
yang melangkah sambil bercakap cakap.
-*** Siang hari di Partai Tumbal Iblis.
Brakkk...! Dewi Kemuning menggebrak meja di hadapannya dengan keras. Meja kuat yang terbuat
dari kayu jati itu kontan hancur berantakan. Hidangan yang ada di atasnya
berhamburan. Wajahnya mendadak saja
berubah menjadi ungu, memperlihatkan betapa
marahnya mendengar laporan Kenanga Kuning. Apalagi mengingat kata kata yang
-bernada melecehkan dari Malaikat Peti Mati.
"Keparat busuk! Manusia itu harus mampus!"
serunya geram. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih hanya
menunduk. Dia tahu, bagaimana akibatnya bila tugas yang diberikan gagal
dijalankan. Tetapi rupanya, kali ini
Dewi kemuning tidak sedang berniat menurunkan tangan
mautnya. Hatinya benar benar-murka
mendengar Malaikat Peti Mati meremehkannya.
Namun, dari kemarahan itu mendadak saja Dewi Kemuning terbahak bahak.
-"Bodohnya aku! Bodoh!" serunya berkali kali.
-Melihat kelakuan Dewi Kemuning. Kenanga Kuning dan Kenanga Putih jadi
berpandangan secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mengerti kata kata Dewi
-Kemuning. Sementara tawa Dewi Kemuning semakin keras terdengar.
"Hhh! Lebih baik kita tunda saja dulu keinginan untuk melebarkan sayap
kekuasaan. Manusia seperti Malaikat Peti
Mati ternyata memang sulit ditentukan golongannya. Tetapi, Pendekar Slebor sudah jelas akan menentang keinginannya.
Dan kemungkinan, dialah yang akan menjadi momok utama bagiku! Bagus! Kalau
begitu, biarkan saja kedua manusia itu bentrok di Bukit Sigura gura! Tidak perlu
-menyaksikannya, kita cukup mendengar beritanya! Lebih bagus lagi, bila Pendekar
Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati! Ha ha ha...!"
Kali ini Kenanga Kuning dan Kenanga Putih mengerti arti tawa ketua mereka. Dan
yang terpenting, mereka tidak mendapatkan hukuman.
Sementara itu, mayat Kenanga Hijau dan Kenanga Merah sudah dikuburkan di
belakang pendopo Partai Tumbal Iblis.
"Aku baru ingat kata katamu tadi, Kenanga Kuning,"
-kata Dewi Kemuning, tiba tiba.
-"Oh! Tentang apa, Ketua?"
"Tadi kau bilang, pemuda rambut emas itu tidak membawa Peti Mati Ukiran Naga?"
"Benar, Ketua. Dia tidak membawa peti mati itu."
Dewi Kemuning terdiam. Otaknya mencerna Iaporan
Kenanga Kuning.
"Aku tahu sekarang. Sudah jelas dia telah meletakkan Peti Mati Ukiran Naga di
Bukit Sigura gura.-Karena, di sanalah Pendekar Slebor akan menemukan ajalnya. Ha ha ha...!"
Terdengarlah tawa wanita itu yang sangat keras.
*** Tiga hari pun berlalu kembali.
Seluruh rimba persilatan kini ramai membicarakan tentang pertarungan dahsyat
antara Malaikat Peti Mati melawan Pendekar Slebor. Mereka sudah jauh jauh hari
-berbondong bondong mendatangi Bukit Sigura gura.
- -Tokoh tokoh dari Banyuwangi, Blambangan, Madura, Ponorogo, bahkan dari Pulau
-Bali pun berdatangan ke sana.
Mereka sudah mendengar sepak terjang berhawa maut yang dilakukan Malaikat Peti
Mati. Mereka pun telah lama mengetahui tentang nama besar Pendekar Slebor.
Kalaupun mereka datang untuk menyaksikan
pertarungan, sudah tentu dengan tujuan masing-masing. Dari golongan putih,
kebanyakan ingin menyaksikan bagaimana Pendekar Slebor menghajar adat Malaikat
Peti Mati yang telah banyak membuat onar dan pertumpahan darah.
Sedangkan dari pihak golongan hitam, berharap sekali menyaksikan Pendekar Slebor
mampus di tangan Malaikat Peti Mati. Bahkan di antaranya ada yang ingin nencuri
kesempatan untuk mengabdi pada Malaikat Peti Mati. Tetapi, itu hanya sedikit
saja. Yang terbanyak, mereka mengharapkan kalau
Malaikat Peti Mati berhasil membunuh Pendekar Slebor, dan meletakkan mayatnya di
Peti Mati Ukiran Naga. Sehingga, mereka akan bebas melakukan apa saja sekehendak
hati tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun. Terutama dari Pendekar Slebor.
Tokoh urakan yang berilmu tinggi.
*** 10 Purnama pun tiba pula akhirnya. Bukit Sigura gura kali ini benar benar ramai. - -Kalau dulu semasa masih ditinggali Ki Langlang Jagat yang menguasai Bukit
Sigura gura, tempat itu selalu sepi.
-Para tokoh persilatan yang hendak menyaksikan pertarungan Pendekar Slebor
melawan Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura gura ramai bersuara, bagai suara
-gerombolan tawon waja. Dari pihak golongan hitam, dengan menggebu gebu berharap
-Pendekar SIebor akan mampus. Sementara dari pihak golongan putih hanya
memperhatikan saja dengan hati cukup tegang.
Di puncak bukit, belum nampak dua petarung yang akan menentukan orang yang
paling unggul. Namun selama beberapa saat kemudian, melayang sebuah benda
berbentuk persegi panjang menderu deru dengan kencang. Di atas benda itu,
-berdiri satu sosok tubuh sambil melipat kedua tangan di dada. Wajahnya begitu
dingin dan angker. Rambutnya yang keemasan berkibaran di tiup angin. Sosok itu
adalah Malaikat Peti Mati yang langsung bersalto sebelum 'tunggangannya'
peti mati ukiran naga hinggap di tanah.
Dari pihak golongan hitam terdengar suara tepuk tangan bergemuruh, mengumandang
ke seluruh bukit.
Wajah dingin Malaikat Peti Mati memancarkan senyum kesombongan. Dia puas
ternyata banyak sekali yang akan menonton pertarungannya dengan Pendekar Slebor.
Dia bertekad, dalam lima gebrakan, Pendekar
Slebor akan ambruk bergelimang darah. Akan disiksanya pemuda itu perlahan lahan,
-lalu dibunuhnya dengan cara paling mengenaskan.
Tangan Malaikat Peti Mati bergerak pelan ke arah peti mati berukir naga. Dan
seketika, peti itu terbuka.
Menguarlah bau harum ke seantero Bukit Sigura gura.
-Rupanya pemuda berwajah penuh luka itu memang menyembunyikan Peti Mati Ukiran
Naga. Begitu yang ada dalam pikiran Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Perasaan yang sama pun ada di hati si Golok Maut dan Kaliki Lorot yang hadir
pula di sana. Melihat sikap jumawa dari Malaikat Peti Mati, hampir hampir saja Kaliki Lorot
-tak sanggup menahan amarahnya. Tetapi niatnya urung, karena yang sekarang berhak
bertarung adalah Pendekar Slebor.
"Sebentar lagi kalian akan melihat, Pendekar Slebor yang diagungkan setinggi
langit terkapar mampus di dalam Peti Mati Ukiran Naga!"
Malaikat Peti Mati mengeluarkan suaranya yang bagaikan meledak ledak, memenuhi
- Bukit Sigura gura.-"Horeee.... Hidup Malaikat Peti Mati...!"
Suara sorakan terdengar dari pihak golongan hitam.
Sementara pihak golongan putih hanya menahan napas saja, dan berusaha bersabar.
Dan suasana pun menjadi sunyi, ketika dengan sombongnya Malaikat Peti Mati
melipat kedua tangannya di dada. Rambut dan pakaiannya bergerak-gerak dimainkan
angin. Sekian lama ditunggu tunggu, para hadirin bertanyatanya akhirnya. Karena sosok
-Pendekar Slebor belum muncul juga. Wajah dingin Malaikat Peti Mati pun
berubah memerah.
Saat purnama berada tepat di atas kepala, sosok Pendekar Slebor belum muncul
juga. "Keparat busuk! Mana manusia itu, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati keras bukan
main. Tak ada yang bersuara. Mereka hanya meyaksikan.
Namun, mendadak saja satu sosok tubuh melenting dengan cara bersalto. Gerakannya
sangat ringan dan cepat, lalu hinggap di hadapan Malaikat Peti Mati.
Hadirin serentak menahan napas dan terlongo-longoh. Begitu pula Malaikat Peti
Mati. Karena, sosok yang baru datang itu dari pakaian, bentuk tubuh, dan wajah
serupa dengannya!
"Apa apaan ini?" desis Malaikat Peti Mati terkejut.
-"Hhh! Rupanya kau yang selama ini diperbincangkan orang orang rimba persilatan.
-Seta Lelono!"
Malaikat Peti Mati terhenyak. Dia heran, mengapa orang ini seperti mengenalnya
begitu dekat"
"Bangsat busuk! Siapakah kau sebenarnya" Mengapa kau berani cari mampus dengan
menyamar sebagai aku, hah"!" bentak Malaikat Peti Mati yang bernama asli Seta
Lelono. "Seta Lelono! Justru aku yang terkejut karena kehadiranmu di sini! Beberapa kali
aku bentrok dengan orang orang yang mendendam padamu! Rupanya, kau telah membuat
-onar!" kilah sosok yang serupa dengan Malaikat Peti Mati. Suaranya tak kalah
angker. "Keparat! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti Mati lagi.
"Hhh! Apakah Guru tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara kembar?" tukas
Malaikat Peti Mati
satunya. Wajah Malaikat Peti Mati berkerut.
"Jangan dusta! Sekalipun Guru tak pernah mengatakan hal itu!"
"Karena Guru tak ingin kau menjadi gundah ataupun merindukan saudara kembarmu
ini, bila hal ini dikatakannya!"
"Jangan banyak oceh! Kalau begitu, kau pun berguru dengan Eyang Srimpil atau
yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu!" seru Malaikat Peti Mati keras.
Sementara itu, gumaman terdengar keras. Penghulu Segala Ilmu yang menjadi Guru
dari Malaikat Peti Mati"
Gila! Pantas saja ilmunya sangat tinggi. Karena, seluruh tokoh rimba persilatan
tahu, siapa Penghulu Segala Ilmu. Kesaktiannya, hanya bisa ditandingi oleh Ki
Langlang Jagat.
Tak seorang pun yang tahu, di manakah Penghulu Segala Ilmu tinggal. Karena dia
berdiam dalam kegelapan. Dan kali ini, muridnya yang penuh sesumbar telah
membuat onar dan menantang Pendekar Slebor.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati yang datang tanpa Peti Mati Ukiran Naga,
mengangguk. "Justru aku diperintahkan Guru untuk menjemputmu pulang! Karena, Guru akan
menghukummu!"
"Tidak mungkin!" sambar Malaikat Peti Mati. "Guru sangat baik padaku!"
"Dan dia kecewa karena ilmu yang diturunkan dipergunakan hanya untuk pamer
kesombongan!"
"Karena aku tak suka mendengar Pendekar Slebor dipuji setinggi langit! Akan
kutunjukkan, bahwa aku yang paling hebat di rimba persilatan ini!"
"Bodoh! Dengan kata lain, kau sudah mengangkangi Guru! Apakah kau merasa lebih
hebat dari Guru, hah"!"
bentak kembaran Malaikat Peti Mati. "Tak pernah kuduga, kalau kau telah
mempermalukan Guru!"
Kata kata sosok kembarannya itu membuat Malaikat Peti Mati terdiam. Ada sesuatu -yang bergejolak hatinya.
Sungguh, baru kali ini diketahui kalau ternyata dirinya memiliki saudara kembar.
Tetapi tiba tiba....
-"Hhh! Lebih baik kau minggir dari sini! Akan kubunuh dulu Pendekar Slebor, lalu
membuat perhitungan denganmu!"
"Kesombonganmu
sudah melewati takaran! Seseorang dipuja karena tingkah lakunya yang baik dan sopan. Bukan dengan cara
dungu seperti yang kau lakukan!"
"Setaaan alas! Dengan kata lain, kau mengatakan ilmuku lebih rendah daripada
Pendekar Slebor, hah" "
"Kau yang menarik kesimpulan seperti itu!"
"Keparat! Kau lihat sendiri, hah"! Mana Pendekar Slebor itu" Mana" Dia tak lebih
dari seorang pengecut belaka. Dia tak berani muncul karena takut mampus!"
"Sebelum aku tiba di sini, aku bertemu dengannya.
Kukatakan padanya, kalau antara dia dan kau hanya terjadi salah paham belaka.
Kusarankan padanya agar jangan menurunkan tangan telengas padamu. Dan rupanya,
pendekar urakan itu bijaksana. Dia setuju dengan usulku. Perlu kau ketahui, dia
tidak akan menurunkan tangan hanya untuk menghentikan
kesombonganmu. Tetapi, tangan saktinya akan
diturunkan karena kau telah membunuh dan melukai
para sahabatnya. Juga beberapa tokoh lainnya."
"Peduli setan dengan ucapanmu! Lebih baik minggat dari sini! Karena, aku muak
melihat tampangmu!"
bentak Malaikat Peti Mati.
"Berarti, kau muak melihat tampangmu sendiri!
Karena, wajahmu dan wajahku tak ada bedanya!" kilah kembaran Malaikat Peti Mati.
Kali ini Seta Lelono tak bersuara lagi. Justru tubuhnya menderu cepat.
Gerakannya laksana angin ke arah sosok yang mirip dengannya.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati hanya tersenyum saja. Dan ketika serangan
Malaikat Peti Mati hampir mengenai tubuhnya, dengan satu serangan aneh yang tak
terlihat tubuhnya berkelit sekaligus membalas.
Malaikat Peti Mati terhenyak melihatnya. Hatinya penasaran. Maka diserangnya
kembarannya lagi dengan hebat. Tubuhnya bergerak laksana angin. Dan mendadak
saja Bukit Sigura gura bagaikan bergetar.-Yang hadir di sana menahan napas. Mereka tak menyangka kalau Malaikat Peti Mati
memiliki saudara kembar. Kesaktian kedua duanya begitu tinggi. Ketika tubuh
keduanya bertarung, hanya terlihat bagai kelebatan belaka, diiringi deru angin
kencang dan suara bagai ledakan petir!
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang semakin sadar
kalau yang dihadapinya bersama si Golok Maut pastilah kembaran Malaikat Peti
Mati. Karena, dia tak membawa Peti Mati Ukiran Naga. Bahkan tak menurunkan
tangan telengasnya. Tetapi, bila memang kembaran dari Malaikat Peti Mati,
mengapa berniat pula membunuh Pendekar Slebor seperti yang dikatakannya"
Begitu pula yang dirasakan Kaliki Lorot. Dia jadi malu sendiri karena merasa
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yakin ajian 'Kala Hitam'
kebanggaannya telah membuat Malaikat Peti Mati kocar kacir. Padahal yang -dihadapi hanyalah saudara kembar dari Malaikat Peti Mati yang masih memberi
kesempatan hidup baginya. Kalau yang dihadapinya Malaikat Peti Mati asli, bisa
dipastikan dia akan mampus!
Pertarungan di Bukit Sigura gura semakin seru. Suara angin menderu deru keras.
- -Beberapa kali terdengar ledakan keras ketika dua sosok tubuh berpakaian dan
berambut emas itu berbenturan.
Tetapi yang membuat mereka terheran heran,
-karena sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul juga. Bila memang sebelumnya
sempat bertemu kembaran Malaikat Peti Mati yang memintanya agar jangan hadir,
seharusnya sebagai seorang pendekar yang dijunjung tinggi di rimba persilatan
tetap menonjolkan diri. Paling tidak, mencari jalan keluar dari masalah yang
dihadapi. "Seta Lelono! Kembalilah ke jalan yang benar! Tidak ada gunanya sesumbar untuk
menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini! Karena secara tidak langsung
kau sudah menghina Guru!"
"Setelah kubungkam mulutmu yang panas itu dan membunuh Pendekar Slebor, barulah
aku kembali pada Guru untuk mohon ampun!" seru Malaikat Peti Mati sambil meluruk
menderu deru laksana topan.
-"Kau akan kena batunya, Seta Lelono! Kau telah mengangkangi kepala Guru!" sergah
kembaran Malaikat Peti Mati sambil meluruk pula tak kalah hebat.
Pertarungan tak ubahnya bagaikan dua ekor naga yang sedang marah. Terutama yang
dilakukan Malaikat Peti Mati. Di dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya dia
merasa malu dengan kata kata sosok yang mirip dengannya. Apa yang dikatakan
-kembarannya memang benar. Dia telah melupakan gurunya sendiri. Bukankah bila
menganggap dirinya nomor satu, berarti mengangkangi
gurunya sendiri" Berarti pula, menganggap ilmu gurunya lebih rendah dibandingkannya.
Tetapi Malaikat Peti Mati sudah merasa panas sekali.
Dia telah dibuat malu oleh kembarannya yang masih sangat disangsikan.
Wuuttt...! Tiba tiba saja tangan Malaikat Peti Mati bergerak.-Maka Peti Mati Ukiran Naga yang sejak tadi ada di tengah melayang ke arah
kembarannya dengan
kecepatan tinggi.
"Uts...!"
Kembaran Malaikat Peti Mati dengan lincah berkelit dengan memiringkan tubuhnya.
Bahkan mendadak ditendangnya Peti Mati Ukiran Naga itu.
Duk! Peti itu terpental kembali ke arah pemiliknya.
Bahkan lebih cepat dari serangannya sendiri.
Malaikat Peti Mati terpekik keras. Tubuhnya melenting ke atas dengan kecepatan
tinggi. Wajahnya menjadi pias. Bila melihat kehebatan sosok yang mirip
dengannya, bisa ditarik kesimpulan kalau sosok itu memang berguru pada gurunya.
Tetapi, untuk menerima sebagai kakak kembarnya, hatinya masih
sangsi. "Hup...!"
Tiba tiba saja Malaikat Peti Mati melompat dan hinggap di atas Peti Mati Ukiran
-Naga yang mengapung di udara.
"Manusia busuk! Sekali lagi katakan, siapakah sebenarnya"!" bentak Malaikat Peti
Mati. "Hhh! Bila seseorang dalam keadaan gila dan marah, maka bisa melupakan kakak
kembarnya sendiri.
"Jangan mempermainkan kata kata!"
-"Justru kau yang mempermainkan kata kata!
-Malaikat Peti Mati! Sebagai kakak kembarmu, hatiku pedih
menyaksikan perbuatanmu yang penuh sesumbar. Seharusnya kau paham, kalau di dunia ini tak ada yang melebihi
kekuasaan Gusti Allah. Kalaupun ada orang yang merasakan hal itu. Dia tergolong
manusia laknat."
Kata kata itu semakin membekas di hati Malaikat Peti Mati. Disadari, kalau
-selama ini hatinya hanya dibaluri kesombongan belaka. Di dasar hati kecilnya
yang paling dalam, dia sadar kalau kemunculannya membuat onar dan dendam dari
tokoh tokoh rimba persilatan.-Sementara, Malaikat Peti Mati jadi seperti terpekur.
"Seta Lelono..., sadarlah. Jalan yang berada di hadapanmu masih panjang. Bila
kau mau mengabdikan ilmumu bagi keselamatan umat manusia, niscaya akan menjelma
menjadi orang yang dipuja. Sama seperti yang dialami Pendekar Slebor. Tetapi,
ketahuilah. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu bukanlah orang yang ingin
dipuja. Dia melakukan semua
itu demi membela kaum lemah dan kebenaran.
Semuanya karena semata ketulusan hatinya...," lanjut kembaran Malaikat Peti
Mati. Kepala Malaikat Peti Mati jadi tertunduk. Akal sehatnya semakin sadar. Diam diam
-dia yang tadi menganggap kalau Pendekar Slebor tidak berani muncul karena
kepengecutannya, justru menghargai kebesaran jiwa Pendekar Slebor. Karena, bila
saja pendekar urakan itu muncul, niscaya akan terjadi pertarungan darah yang
memungkinkan akan merenggut salah satu nyawa di antaranya.
"Aku akan menuruti kata katamu itu. Tetapi, ceritakanlah tentang dirimu. Karena
-selama ini, aku belum pernah tahu kalau ternyata mempunyai saudara kembar," ujar
Malaikat Peti Mati.
"Kau pikirkanlah sendiri jawabannya. Niscaya satu saat, kau akan menemukannya."
Sementara itu, beberapa orang dari golongan hitam diam diam menjadi marah karena
-ternyata Malaikat Peti Mati mengurungkan niatnya.
"Heaaa...!"
Tiba tiba saja tiga orang melayang ke atas disertai teriakan membahana. Gerakan
-mereka sangat ringan.
Begitu mendarat di depan, tampak wajah mereka yang mengerikan. Pakaian hitam
yang dikenakan terbuka di dada, memperlihatkan kekekaran tubuh mereka. Di tangan
mereka tergenggam sebatang clurit tajam. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Clurit
Sambar Nyawa. Di daerah utara, ketiga tokoh ini cukup terkenal.
Sementara Malaikat Peti Mati memicingkan
matanya. "Mau apa kalian?" tegur Malaikat Peti Mati.
"Pemuda berhati kelinci! Ternyata kau memang tidak pantas menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan ini!" bentak laki laki berwajah tirus, satu dari Tiga
-Clurit Sambar Nyawa.
Sepasang mata Malaikat Peti Mati terbuka. Lebar memancarkan kemarahan. Tetapi
amarahnya ditahan karena kini disadari kalau kemarahan dan kesombong hanya akan
mengundang petaka saja.
"Apa urusannya dengan kalian?"
"Selama ini, kami berkeyakinan dan siap mengabdi diri padamu bila kau berhasil
membunuh Pendekar SIebor! Tetapi sebelum kau bertindak lebih jauh, hatimu sudah
ciut! Tak sudi kami mempunyai pimpinan seperti mu!"
"Siapa pula yang sudi mempunyai anak buah seperti kalian ini"! Tak akan pernah
aku mengangkat anak buah! Kalaupun aku ingin membunuh Pendekar Slebor, itu hanya
urusan pribadi saja!"
"Huh! Terimalah kematianmu!"
Seperti mendapat kata sepakat, Tiga Clurit Samb Nyawa menerjang, ke arah
Malaikat Peti Mati dengan hebat. Tiga buah clurit berkelebat mengurung bagaikan
cahaya, menimbulkan suara berdesingan.
Malaikat Peti Mati mendengus hebat. Amarahnya seketika bangkit. Dia tidak pernah
mau dianggap sebagai pemimpin. Dan dia pun tak mau diperbudak seseorang
atau satu golongan. Yang ingin dibuktikannya, bahwa dia memang patut dipuja orang-orang rimba persilatan!
Tubuh Malaikat Peti Mati pun telah digulung serbuan
clurit itu dengan hebatnya. Namun, mendadak saja tubuh pemuda itu berputaran
dengan tangan mengibas.
Wuuuttt...! Crasss! "Aaakh...!"
Tiga Clurit Sambar Nyawa kontan berpentalan.
Begitu ambruk nyawa mereka telah putus.
"Hhh! Ilmu kalian masih cetek!" dengus Malaikat Peti Mati sambil meludah. "Ayo,
siapa yang berani menantang aku" Maju! Maju kalian ke sini! Siapa yang tak sudi
melihatku mengurungkan niatku untuk membunuh Pendekar Slebor yang bijaksana itu"
Biar aku rencah tubuh kalian!"
Tak ada yang bersuara. Dari pihak golongan putih terdengar desahan napas lega,
meskipun masih tidak mengerti, mengapa Pendekar Slebor belum juga muncul.
Sedangkan dari golongan hitam, meskipun kesal pada sikap Malaikat Peti Mati,
mereka merasa lebih baik diam saja daripada nyawa melayang. Karena mereka tahu,
betapa tingginya ilmu Malaikat Peti Mati.
Terbukti dengan begitu mudahnya membunuh Tiga Clurit Sambar Nyawa.
Karena tak ada yang mengeluarkan pendapat,
Malaikat Peti Mati berpaling pada kembarannya.
"Kakak kembarku.... Terima kasih atas penjelasanmu.
Mungkin, selama ini aku memang dibutakan oleh ilmu yang kupelajari dari Guru.
Sehingga, kesombonganku muncul. Juga keirianku terhadap Pendekar Slebor,
Kakang.... Aku akan mencari jawaban atas siapa dirimu.
Terima kasih atas kemunculanmu. Sehingga aku tahu, ternyata aku memiliki saudara
di dunia ini."
Kembaran Malaikat Peti Mati tersenyum.
"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya kembaran Malaikat Peti Mati.
"Aku akan kembali menghadap Guru. Aku akan meminta maaf dan mohon ampun
padanya." "Bagus!"
Untuk pertama kalinya, Malaikat Peti Mati
tersenyum. "Terima kasih, Kakang. Bila kau bertemu Pendek Slebor, katakan aku minta maaf
padanya." "Akan kusampaikan."
Tiba tiba-Malaikat
Peti Mati menggerakkan tangannya. Wuuttt...! Brakkk! Peti Mati Ukiran Naga itu pun pecah seketika.
"Hhh! Tak ada lagi Peti Mati Ukiran Naga! Selamat berpisah, Kakang! Kutunggu kau
di hadapan Guru!"
Seketika tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat. Dalam sekejap saja, dia sudah tidak nampak di mata.
Kembaran Malaikat Peti Mati terlihat menghela napas panjang. Matanya melihat
beberapa sosok tubuh yang baru datang. Tampak pula gadis jelita yang mendekati
Kaliki Lorot. "Guru! Apakah pertarungan itu sudah berlangsung?"
seru gadis yang ternyata Menur.
Sementara si Naga Gunung menyalami sahabatnya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Sedangkan tiga murid Perguruan Garuda Mas memperhatikan sosok yang berdiri tegar
di atas Bukit Sigura gura dengan hati-mendendam.
Kaliki Lorot tersenyum.
"Belum, Menur."
"Oh, apakah Kang Andika belum datang?"
"Dia memang belum datang."
"Guru.... Kalau begitu..., lebih baik kita bunuh saja manusia keparat yang
berdiri di atas Bukit Sigura gura itu!"
-"Kau salah, Menur.... Pemuda rambut emas itu bukanlah Malaikat Peti Mati." sahut
Kaliki Lorot, lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalau begitu, di manakah Kang Andika sekarang ini, Guru?" kejar Menur,
penasaran. "Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya.
Inilah akhir dari semua peristiwa yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati. Lebih
baik, memang kita berdamai saja. Maafkanlah Malaikat Peti Mati!"
Kata kata kembaran Malaikat Peti Mati mengundang dengusan dari pihak golongan
-hitam. Dan satu satu mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun Pendekar Slebor
dianggap pengecut karena tidak muncul, akan tetapi mereka menganggap pula akan
kebijaksanaan pendekar itu yang mau menuruti nasihat kakak kembar Malaikat Peti
Mati. Hanya yang disayangkan, kalau Pendekar Slebor belum mampus juga!
Malam semakin melangkah. Di Bukit Sigura gura hanya tinggal orang orang dari
- -golongan putih saja.
Tiba tiba, sosok rambut emas itu melenting ke arah mereka dan berdiri di tengah
- -tengah. Bibirnya mengulum senyum.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Kuminta,
kalian memaafkan Malaikat Peti Mati. Karena sesungguhnya, hatinya begitu suci.
Tidak ada keinginannya yang busuk selain ingin dipuja dan diakui sebagai orang
nomor satu," ujar kembaran Malaikat Peti Mati.
"Terima kasih atas kemunculanmu, sehingga pertumpahan darah antara Pendekar
Slebor dan Malailat Peti Mati tidak terjadi. Kalau saja yang menghadapinya bukan
kau, dalam pertarungan singkat itu, pasti penyerangnya akan mati," kata Imam
Arif Penguasa Gunu Bontang.
"Kau benar, Ki..., ilmunya sangat tinggi. Sulit menghadapinya bila bertarung
secara kasar. Dan ternyata akal pun bisa dipergunakan, asal dengan keyakinan
kalau kita mampu menghadapinya. Berarti, tidak membuang nyawa percuma."
Semua yang hadir di sana mengakui kebenaran kata-kata kembaran dari Malaikat
Peti Mati. "Hei, Rambut Emas!" seru Kaliki Lorot. "Di mana kau bertemu Pendekar Slebor?"
"Oh! Memangnya kenapa?"
"Mana dia! Dia harus menikahi muridku ini!" tuntut Kaliki Lorot, membuat Menur
menundukkan kepalanya.
Sementara si Naga Gunung tersenyum. Kini dia yakin, mengapa wajah gadis itu
memerah ketika menyebutkan nama Pendekar Slebor. Rupanya, Menur memang mencintai
pendekar muda itu.
"Ki Kaliki Lorot.... Kalaupun kau menginginkan muridmu menikah dengannya, kau
harus menunggu beberapa saat."
"Hei" Apa urusannya denganmu?"
"Dia juga menceritakan soal itu padaku. Karena, untuk saat ini dia belum ingin
menikah." "Busyet! Kurang ajar sekali! Di mana dia"!"
"Ki Kaliki Lorot.... Bila kau memang menyetujui usulnya, aku akan mengatakan dia
di mana saat ini."
"Brengsek! Ayo, katakan!"
"Aku sudah berjanji padanya. Janji seorang rimba persilatan, adalah jantungnya
sendiri. Bila dia mengingkarinya, berarti secara tidak langsung bunuh diri."
Kaliki Lorot mendengus.
"Baik! Katakan, di mana dia berada?"
"Bila kau menyetujui usulku itu, kau harus berjanji tidak akan memaksanya untuk
menikah sekarang juga...."
"Banyak omong!"
"Berjanjilah!"
"Iya, aku berjanji!"
"Janjimu didengar orang orang berilmu di sini,"-tekan kembaran Malaikat Peti Mati sambil tersenyum.
"Busyet! Kau ini bangsa perempuan juga rupanya?"
rutuk Kaliki Lorot. Tetapi kemudian mulutnya nyengir ketika melihat si Naga
Gunung melotot.
"Kupegang janjimu, Ki. Sesungguhnya, Pendekar Slebor tidak jauh berada di
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekitar kita," kata kembaran Malaikat Peti Mati.
"Di mana" Di mana?" kejar Kaliki Lorot.
Bukan hanya Kaliki Lorot yang menolehkan
kepalanya mencari cari Pendekar Slebor, tetapi juga para tokoh yang berada di -sana.
"Dia berada di hadapan kalian."
11 Semua yang ada di sini melotot, ketika perlahan lahan kembaran Malaikat Peti
-Mati mencabut rambut emasnya. Membuka pakaian keemasannya, dan
mengupas topeng karet yang berada di wajahnya.
Selebihnya, tampak seraut wajah tampan dengan alis hitam seperti kepak elang
berpakaian hijau pupus dan selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.
"Kang Andika!" seru Menur keras. Kalau saja tidak malu, gadis ini sudah berlari
menubruk orang yang sangat dirindukannya.
Semua tercengang melihatnya. Rupanya, kembaran Malaikat Peti Mati adalah
Pendekar Slebor yang sedang menyamar! Tak heran kalau samarannya begitu
sempurna, karena dia memang memiliki ilmu
menyamar yang didapat dari Raja Penyamar!
Andika hanya nyengir saja.
"Gelo! Edan! Sinting! Apa apaan kau ini, hah"!" maki Kaliki Lorot.
-Lelaki tua ini benar benar terkejut melihat siapa sosok di balik rambut emas
-yang telah membuat Malaikat Peti Mati menyadari kesombongannya dan sempat
bentrok dengannya. Dia memang membuat kejutan seperti yang dijanjikannya.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang hanya
menggeleng gelengkan kepala.
-"Tak kusangka, kalau sosok rambut emas itu adalah kau sendiri, Andika."
"Maafkan aku, Ki Pangsawada.... Sebenarnya, aku tidak menginginkan menyamar
seperti ini. Tetapi, setelah aku bertemu Eyang Srimpil, aku baru tahu tentang
Malaikat Peti Mati yang sesungguhnya. Aku yakin, dia bukanlah dari golongan
sesat. Dia pemuda yang memiliki darah muda yang cepat bringas. Dia hanya ingin
diakui sebagai orang nomor satu dan dipuja orang orang rimba persilatan. Lalu -kupikirkan cara bagaimana agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Setelah aku bertemu Eyang Srimpil, maka kuputuskan untuk menyamar sebagai
kembarannya. Secara
kebetulan, ketika aku meninggalkan Menur, aku bertemu lelaki tua yang mengaku
bernama Eyang Srimpil. Dia saat itu memang hendak mencari muridnya yang bernama
Seta Lelono yang mengaku berjuluk Malaikat Peti Mati. Firasat Eyang Srimpil
mengatakan kalau pemuda itu memiliki sifat ingin dipuja, walaupun sebenarnya
baik hati. Maka ketika mendengar kabar kalau Malaikat Peti Mati berniat
menantang Pendekar Slebor, Eyang Srimpil keluar dari pengasingannya. Ketika
bertemu aku, dia minta pendapatku, bagaimana menyadarkan Malaikat Peti Mati.
Maka atas persetujuannya, aku menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati.
Dan sekaligus, aku diajarkan jurus-jurus dasar milik Eyang Srimpil. Jadi, aku
bisa menahan gempuran Malaikat Peti Mati.... Hebat, ya...!" tutur Andika panjang
lebar. Imam Arif Penguasa Gunung Bontang tersenyum melihat kecerdikan Andika.
"Kalau begitu, kau telah mempermainkan kami, Andika! Apakah kau yang bertarung
denganku dan si
Golok Maut?"
Andika terbahak bahak.
-"Siapa lagi yang tidak segera mengirim kalian ke akherat, kalau bukan aku" Bila
yang dihadapi Malaikat Peti Mati sudah tentu kalian tak akan diberi ampun."
Si Golok Maut mendengus.
"Kurang ajar! Kau menghantamku dengan keras!"
"Bukankah kemudian aku muncul dengan wajahku yang tampan ini dan mengobatimu?"
desis Andika tersenyum.
"Kurang ajar! Kau pasti yang juga bertarung denganku, setelah aku kau obati"!"
maki Kaliki Lorot.
Lagi lagi Andika nyengir saja.
-"Sudah kuduga!"
"Andika.... Mengapa kau kelihatan begitu marah pada dirimu sendiri saat menyamar
sebagai Malaikat Peti Mati?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kalau tidak begitu, gagallah rencanaku bila kau atau siapa pun tahu kalau aku
sedang menyamar. Eh! Tidak tahunya aku bertemu Kaliki Lorot yang langsung
menyerangku. Saat itu, dia sengaja kuhadapi karena sekaligus aku ingin
membuktikan kalau samaranku sempurna. Dan ternyata, memang sempurna. Dalam
penyamaranku sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati, aku pun bertarung dengan
murid murid Partai Tumbal Iblis yang menginginkan Malaikat Peti Mati untuk
-bergabung. Saat itulah aku yakin, Partai Tumbal Iblis akan membangun kekuasaan
yang berguna baginya untuk melebarkan kekuatan."
"Pantas kau memberitahukan soal itu kepada kami, "
desis Imam Arfi Penguasa Gunung Bontang.
"Tidak bisa! Tidak bisa!"
Tiba tiba Kaliki Lorot memaki maki sendiri.- -"Kenapa, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kau harus menikah dengan muridku!"
"Ki.... Bukankah kau sudah berjanji untuk mengurungkan dulu masalah perjodohan ini?" tukas Andika.
"Itu karena kau menyamar sebagai kakak kembar Malaikat Peti Mati."
"Kalau begitu, aku akan menyamar kembali. Dan itu berarti kau akan mengurungkan
dulu niatmu, bukan?"
Kaliki Lorot mendengus. Dia menjadi malu sendiri.
"Baik! Kita tunda dulu masalah perjodohan ini. Tetapi awas, aku akan mencarimu
bila tidak menikahi muridku yang jelita ini! Ayo, Menur! Kita kembali!"
Menur belum melangkah. Matanya yang bening
menatap Andika. Penuh sorot kecewa berbalur cinta.
"Kang Andika...."
Andika mendekat. Dipegangnya kedua lengan yang mulus itu, lalu tersenyum.
"Menur.... Tidak usah berkecil hati. Bila Yang Maha Kuasa menghendaki kita
bersatu, pasti akan terlaksana.
Tetapi, he he he.... Aku belum berjanji, ya?"
Menur terdiam. Tetapi, matanya berkaca kaca
-memperlihatkan kekecewaan di hatinya.
"Baiklah, Kakang. Aku akan menunggumu."
"Terima kasih."
Menur pun berbalik mengikuti Kaliki Lorot yang sudah melangkah. Andika merasakan
sesuatu yang hangat menerpa tangannya. Air mata Menur.
Diam diam Pendekar Slebor mendesah panjang. Lalu
- tubuhnya berbalik ke arah yang lain.
"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?" tanya Andika.
Tak ada yang bersuara.
"Nyai.... Latihlah tangan dan kedua kakimu dengan mengalirkan tenaga dalam yang
kini bisa kau pusatkan di dada. Dalam kesinambungan dan ketekunan, mudah-mudahan
seluruhnya akan kau peroleh kembali," ujar Pendekar Slebor, memecah keheningan.
"Terima kasih, Andika."
Andika memandang kejauhan, menatap Bukit Sigura-gura yang kini sudah membiaskan sinar matahari. Fajar sudah datang. Tiba tiba
-saja pemuda ini tersentak.
"Oh!"
Seketika yang lainnya mengikuti arah pandangan Andika.
"Apa yang kau lihat tadi, Andika?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Ki.... Apakah aku tidak salah lihat" Aku.... melihat satu sosok tubuh
berpakaian putih bersih menjurai dengan rambut bergerai panjang berdiri di sana
tadi. Dia memegang sebuah tongkat berwarna hitam," desis Andika masih memperhatikan
puncak Bukit Sigura gura.
-Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah.
"Rupanya, dia masih mendatangi tempat kediamannya ini."
"Siapa dia, Ki?"
"Dia adalah Ki Langlang Jagat. Andika.... Kau beruntung masih sempat melihatnya.
Karena sudah puluhan tahun lelaki sakti itu tak pernah kelihatan."
Andika hanya terdiam saja. Lalu tanpa pamit lagi, kakinya melangkah meninggalkan
tempat itu dengan otak berpikir keras. Ki Langlang Jagat, Penguasa Bukit Sigura
-gura. Oh! Andika berharap sekali satu saat akan berjumpa tokoh agung itu.
Dan perlahan lahan, yang lain pun meninggalkan tempat ini. Tak ada yang
-tersinggung melihat sikap Andika yang berlalu tanpa pamit.
*** Partai Tumbal Iblis. Pagi hari. Dewi Kemuning menggeram marah luar biasa. Dia
sudah mendengar kalau pertarungan antara Malaikat Peti Mati melawan Pendekar
Slebor gagal berlangsung.
"Bangsat! Manusia manusia hina itu harus kubunuh!-Hhh! Satu saat, mereka akan terkejut melihat kehadiran dan kekuatan Partai
Tumbal Iblis di rimba per silatan ini!"
SELESAI Segera terbit: JODOH SANG PENDEKAR
Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Golok Kumala Hijau 1 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Mustika Serat Iblis 1