Pencarian

Lamaran Berdarah 2

Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah Bagian 2


bercorak catur milik
Pendekar Slebor.
Penguasa Gunung Mambang menggeram mur-
ka. Kedua tangannya terkepal.
"Boleh jadi bila orang-orang gentar denganmu,
Pendekar Slebor. Tapi aku tidak!" geramnya.
"Syukur, syukur kalau kau masih punya kebe-
ranian, Pak Besar!" sahut Andika yang sudah berdiri di hadapan Penguasa Gunung
Mambang. "Itu tandanya
kau lelaki tulen. Karena sebelumnya, ku sangsikan ke-jantananmu!"
Penguasa Gunung Mambang memerah wajah-
nya. Tubuhnya menggigil karena marah. Dan tiba-tiba
tangannya mengibas.
Wusss! Serangan angin dahsyat meluruk cepat. Saat
itu pula, Pendekar Slebor mengibaskan kain bercorak
caturnya, menciptakan angin dahsyat ke arah seran-
gan Penguasa Gunung Mambang.
Blaarrr! Dua tenaga dalam bertemu di udara, menim-
bulkan ledakan cukup besar. Lagi-lagi Penguasa Gu-
nung Mambang memerah wajahnya. Tetapi kali ini di-
tambah dengan rasa terkejut.
Sementara Pendekar Slebor bagai tak terpenga-
ruh apa-apa. "Hei, Jin Gondrong! Katakan, kaukah yang me-
nyebarkan fitnah busuk karena lamaranmu ditolak
Cemeti Melati Kala?" bentak Pendekar Slebor, mulai kumat urakannya. Sementara
kain bercorak catur telah disampirkan ke bahunya.
"Apa yang akan kau lakukan bila memang aku
orangnya, hah"!" balas Penguasa Gunung Mambang.
"Berarti kau akan berhadapan denganku!"
"Justru aku sudah tidak sabar menunggu!"
Sehabis berkata begitu, Penguasa Gunung
Mambang meluruk deras. Gebrakannya bagaikan dis-
engat iblis. Tubuhnya meluncur cepat, sehingga hanya terlihat kelebatannya saja.
Dalam sekali pandang, Andika yakin kalau ju-
rus yang dimainkan Penguasa Gunung Mambang bu-
kanlah jurus sembarangan. Seketika tubuhnya dikem-
pos dengan mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh satu di
tangannya. Dan benturan pun terjadi lagi.
Desss! Kali ini tubuh Andika yang terjajar ke belakang.
Matanya melirik ke tangan dan ternyata telah membi-
ru. Sedangkan Penguasa Gunung Mambang hanya
berdiri tegak sambil terbahak-bahak.
"Hebat, hebat! Kunyuk yang paling dungu,
bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng
yang paling bodoh pun tak bakal mati oleh permai-
nanmu, Jin Gondrong!" ejek Andika. Padahal, dalam dadanya terasa nyeri.
"Sayang aku tak ingin bertarung secara tuntas.
Hem... sebagai orang persilatan, aku menantangmu
untuk bertarung pada purnama mendatang, Pendekar
Slebor!" "Hhh! Wajahmu saja yang seram, buat mena-kut-nakuti bocah! Baik, aku
menerima tantanganmu!"
"Ha ha ha.... Karena aku kasihan bila melihat
Cemeti Melati Kala mampus sekarang! Kau masih ku-
beri kesempatan untuk menyelamatkannya, Pendekar
Goblok!" Kali ini diam-diam Andika tersentak. Bisa dite-
bak kalau manusia berkalung tengkorak itu tentunya
sudah semakin tajam menyebarkan fitnah. Bisa jadi
saat ini banyak tokoh persilatan yang menginginkan
kematian Cemeti Melati Kala!
"Bila terjadi apa-apa dengannya, jangan menye-
sali kalau kau pernah hidup, Jin Panuan!"
"Justru kau yang akan terkapar di halaman
Gunung Mambang pada purnama mendatang, Pende-
kar Slebor!"
Wusss! Andika seketika berkelebat meninggalkan tem-
pat itu dengan rasa cemas sekarang. Meskipun disada-
ri kalau Cemeti Melati Kala akan mampu menahan se-
tiap serangan, namun bila yang dihadapi sangat ba-
nyak, sudah tentu akan kewalahan juga.
Andika pun berkelebat bagai dikejar setan
kembali ke Ngarai Sejuta Madu. Dia harus memburu
waktu sekarang!
8 Ketika Andika tiba di Perguruan Ngarai Sejuta
Madu, hari sudah menjelang pagi. Di ufuk timur sana, bias-bias sinar matahari
sudah mengisi sisi-sisi alam.
"Ranjani!" seru Andika keras. Suaranya menggetarkan seluruh tempat di Ngarai
Sejuta Madu. Tetapi tak seorang pun yang nampak menyam-
but kedatangannya. Suasana di sekitarnya sangat
sunyi sekali. Seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan. Andika berkelebat
masuk, namun lagi-lagi tak
menemukan siapa pun di sana.
"Biang panu! Kenapa tak ada seorang pun di
sini" Di mana Ranjani" Di mana yang lainnya?" desis si pemuda urakan ini semakin
cemas. Andika berkelebat lagi ke seluruh ruangan di
Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Namun lagi-lagi hanya
mendapati ruangan kosong. Tak ada seorang pun yang
terlihat batang hidungnya. Kecuali barang-barang yang berantakan.
"Apakah terjadi pertarungan sangat hebat di si-
ni" Oh, bagaimana nasib Ranjani" Penguasa Gunung
Mambang benar! Dia telah merencanakan semua ini
dengan matang. Hhh! Bangsat biadab, bila aku tak
menemukan Ranjani, pada purnama mendatang kau
akan mampus!"
Dengan gusar dan cemas, Andika berbalik un-
tuk keluar dari Padepokan. Namun tiba-tiba saja inde-ranya menangkap serangkum
angin laksana topan me-
luruk ke arahnya!
"Kutu monyet! Masih ada saja yang mau cari
gara-gara!"
*** "Hup!"
Blaarrr...! Dengan sigap Andika melenting, menghindari
serangan mendadak yang cepat itu. Angin yang men-
deru ke arahnya menghantam sebuah dinding Pergu-
ruan Ngarai Sejuta Madu. Kembali terdengar suara ke-
ras dari dinding yang runtuh.
Ketika Andika hinggap di tanah, tampak seo-
rang nenek berpakaian warna hitam legam menjuntai
ke bawah. Wajahnya cukup mengerikan. Sepasang ma-
tanya memancarkan sinar merah, membuat orang
akan segera tunduk sekali melihat pancaran sinar ma-
tanya. Rambutnya digelung ke atas. Di tangannya ter-
dapat sebuah rotan kecil yang selalu dikebut-
kebutkannya. "Hei, Orang muda! Mau apa kau di sini, hah"!"
bentak perempuan tua itu pada Andika.
Si pemuda urakan ini memperhatikan sejenak
nenek yang berdiri di hadapannya. Diperkirakan usia
nenek itu sekitar sembilan puluh tahun. Namun masih
kelihatan tegap dan gagah. Berarti orang yang berada di hadapannya ini tidak
bisa dianggap sembarangan.
"Hei, orang tua! Kau sendiri mau apa?" balas Andika, konyol.
"Brengsek! Anak muda jelek! Mana Ranjani?"
"Orang tua keriput! Aku pun sedang menca-
rinya!" Sepasang mata merah nenek itu melotot.
"Mau apa kau mencarinya, hah"!"
"Apa nenek keriput ini salah seorang yang ter-
makan fitnah untuk membunuh Ranjani?" pikir Pendekar Slebor.
Andika kembali memperhatikan sosok itu den-
gan seksama. "Nek, apa urusanmu dengan Ranjani?" tanya
Andika memberanikan diri.
"Edan! Enteng banget bacotmu! Katakan, ke
mana muridku"!"
Diam-diam Andika melengak mendengarnya.
Jadi, orang tua yang memegang rotan kecil ini guru
dari Ranjani"
"Hei, Nek... Siapa kau ini" Kok datang-datang
mengaku-ngaku sebagai guru Ranjani. Ah, bukan! Pas-
ti bukan. Aku tak percaya kau guru Ranjani. Masa'
Ranjani cantik, gurunya je...."
"Bocah urakan!" penggal si nenek dengan mata melotot. Makin jelek saja wajahnya.
"Mulutmu terlalu banyak makan sambal!"
Sehabis berkata begitu, si Nenek menderu ke
arah Andika. Rotan kecil yang ada di tangannya ter-
nyata bukan rotan sembarangan. Ketika dikebutkan,
Andika merasakan serangkum angin prahara menderu
ke arahnya. "Yee.... Begitu saja kok, marah?" ledek Andika sambil berkelit cepat ke
belakang. "Sabar dikit dong!"
Tetapi si nenek terus mengejar. Setiap kali me-
nyerang, tubuhnya bagaikan kelebatan bayangan saja.
Namun pemuda pewaris ilmu 'Lembah Kutukan' itu
pun tak mau dirinya dijadikan sasaran serangan. Dia
berusaha menghindari serangan mematikan itu. Dan
mendadak saja tangan kirinya bergerak menangkis sa-
betan rotan. Takk! "Adaawww...!"
Pendekar Slebor melompat ke belakang. Mulut-
nya meringis kesakitan. Ketika dilihat tangannya
membiru. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan un-
tuk mengusir rasa sakit di tangan kirinya.
Sementara itu si nenek mengerutkan kening-
nya. Lalu, tiba-tiba tertawa.
"Hebat! Hebat! Baru kali ini aku melihat ada
yang mampu menahan serangan Rotan Maut-ku ini.
Biasanya, anggota tubuh yang terkena rotan ku seke-
tika langsung pecah!"
"Tetapi rasanya sakit, lho!" tambah Andika, meringis. Si nenek terkekeh-kekeh.
"Anak muda! Pagi ini kau berkenalan dengan
Nenek Rotan Maut yang dikenal sebagai Guru dari
Ranjani. Nah, bersiaplah untuk mampus!" desis si nenek yang mengaku berjuluk
Nenek Rotan Maut.
"Ah, kau bisa saja Nek. Siapa yang mau berke-
nalan dengan nenek-nenek" Turun dong gengsi ku,"
seloroh Andika, kian kumat urakannya.
"Kentut! Hayo, berdiri di situ! Kau harus kubu-
nuh!" "Memangnya aku tikus sawah"!" dengus Andika. "Nenek saja yang berdiri di
sawah. Biar jadi orang-orangan sawah.... he he he...."
"Hei, kau menantang ya" Baik, baik.... Aku tidak akan membunuhmu dulu. Tetapi, katakan! Di
mana murid kesayanganku berada" Hhh! Akan kuge-
buk orang yang telah menyebarkan fitnah pada Ranja-
ni." "Sejak tadi aku pun mencarinya! Aku ini sedang
berusaha menolongnya, Nek," jelas Andika mulai ber-sikap sungguh-sungguh.
"Aku tidak percaya orang sepertimu mampu
menolongnya!"
Andika mendengus. "Sialan! Heran! Kenapa
Ranjani mau menjadi muridmu yang jelek begitu! Aku
jadi kasihan dengannya. Jangan-jangan wajahnya yang
cantik ketularan wajahmu yang peot itu..."
Bukannya marah mendengar ejekan Andika,
Nenek Rotan Maut terbahak-bahak mendengar Andika
memuji muridnya.
"Ya, ya.... Kau benar. Muridku memang cantik.
Dia sangat cantik, bukan" Tetapi... hhh! Tak pantas
dia bersanding denganmu tahu!"
Wajah Andika memerah. "Siapa yang mau den-
gan dia?" kelitnya.
"Hei! Kau pasti mau bilang kalau muridku tidak
cantik, ya" Kau harus diajar adat!"
"Ampuuun! Tadi kubilang cantik, kau menge-
jek. Sekarang kubilang aku tidak mau dengannya, kau
malah marah?"
"Kau harus bilang dia cantik!" bentak Nenek Rotan Maut.
"Iya, ya! Dia memang cantik!" sahut Andika mangkel.
"Nah, berdiri di situ! Kepalamu harus ku ke-
pruk biar pecah!"
"Kalau kepalaku pecah bagaimana aku mem-
bantunya."
Nenek Rotan Maut mendengus geram.
"Hhh! Ini gara-gara orang-orang sepertimu, se-
hingga murid kesayanganku meninggalkan Ngarai Se-
juta Madu, tempat bermainnya selagi kecil. Dulu dia
mengatakan ingin mendirikan Perguruan di Ngarai Se-
juta Madu. Dan... he he he.... Sudah tentu aku meres-tuinya. Tetapi pada
akhirnya, dia harus tersingkir. Dan semua itu karena ulah orang-orang tolol,
yang tak mau membaca keadaan! Padahal, sebenarnya berkeinginan
untuk menghancurkannya! Hei, kenapa kau terdiam"
Ayo tahan seranganku! Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut meluruk ke
arah Andika dengan membawa suara angin laksana
topan menderu-deru. Dengan gerakan laksana kilat,
Pendekar Slebor menghindar. Tubuhnya berlompatan
ke sana kemari, berusaha agar tak tersambar hanta-
man rotan. Dan begitu mendapat kesempatan, Andika pun
mulai membalas. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima belas. Lalu
mulailah melakukan perlawa-
nan. "Wah, wah! Kau berani membalas ya" Lihat ini!"
Tiba-tiba saja bukan hanya angin yang dirasa-
kan Andika, melainkan hawa panas yang mencoba
menggulung-gulung ke arahnya ketika Nenek Rotan
Maut menggerakkan senjata rotannya. Hal ini mem-
buat Andika tak berani untuk mendekat, kalau tak in-
gin tubuhnya terbakar.
Rupanya Nenek Rotan Maut benar-benar ingin


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencabut nyawanya. Bila yang dihadapi bukan Pende-
kar Slebor, sudah sejak tadi akan kojor.
Andika pun terpaksa menggunakan ajian
'Guntur Selaksa' untuk mempertahankan selembar
nyawanya. Seketika tubuhnya menghadang Nenek Ro-
tan Maut yang sedang menerjangnya. Dan....
Blarrr! Terdengar suara keras begitu dua tenaga dalam
berbenturan dengan hebatnya. Tercipta ledakan kuat.
Daun-daun pun seketika berguguran disertai kepulan
debu. Dari kepulan debu itu melontar satu sosok tu-
buh berpakaian hijau pupus. Sementara, Nenek Rotan
Maut hanya berdiri tegak di tempatnya. Tetapi dari
mulutnya mengalir darah segar. Namun, sepertinya ti-
dak dirasakannya sama sekali.
"He he he.... Sekarang aku tahu siapa kau,
Anak muda. Muridku banyak bercerita tentang ilmu
seperti ini. Bukankah kau Andika yang berjuluk Pen-
dekar Slebor?"
Andika bangkit perlahan-lahan. Mulutnya me-
nahan rasa sakit di dadanya. "Au, ah!" cibir Andika.
"Wah, wah... tidak usah sewot. Hei, Pendekar
Slebor! Muridku banyak bercerita tentang kau. Dia
nampaknya jatuh cinta padamu. Hmmm..., sayang!
Kok dia mencintai pemuda urakan sepertimu?"
"Aku juga tak mau punya nenek mertua seper-
timu!" cibir Andika lagi sambil mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Nenek Rotan Maut menggeleng-geleng.
"Sayang, sayang sekali.... Kenapa sih Ranjani
mau-maunya denganmu" Kau cinta padanya, ya?"
"Au, ah!" lagi-lagi si pemuda ini mencibir. Mulutnya monyong-monyong, menggumam
tak karuan. "Ala, jangan bohong! Mana ada sih orang yang
tidak mau menjadi suami muridku" Hei! Bilang saja
kalau suka! Kenapa malu" Kau takut pantatmu jadi
merah, ya?" ejek Nenek Rotan Maut sambil tertawa.
Andika mendengus. Diam-diam dikaguminya
kehebatan Nenek Rotan Maut. Ajian kebanggaan ilmu
'Lembah Kutukan' saja tak mampu menembusnya.
Andika mengibaskan tangannya. "Sudahlah, itu
urusan nanti. Aku hendak mencarinya."
"Kau pasti malu. Akui saja kalau kau mencintai
murid kesayanganku?"
Wajah Andika memerah. Kembali teringat ba-
gaimana dia pernah melihat tubuh indah Ranjani yang
tercetak ketika hujan membasahi tubuhnya. (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Cincin Berlumur Darah").
Nenek Rotan Maut tertawa genit melihat wajah
Andika memerah.
"Sudahlah, Nek. Aku akan segera mencarinya,"
ujar Andika memasang wajah sungguh-sungguh.
"Ke mana?"
"Ke mana saja."
"Aku ikut!"
"Aduh, Nek.... lebih baik kita jalan sendiri-
sendiri saja. Nanti kalau ada yang melihat kita ber-
duaan, pasti mereka akan sedih."
"Lho, kenapa?" tanya Nenek Rotan Maut, tidak mengerti sedang dikerjai Andika.
"Soalnya, kau sudah peot begitu, sedang aku
masih gagah perkasa! Ganteng lagi!"
Nenek Rotan Maut hendak mengibaskan rotan-
nya, tetapi tubuh Andika sudah berkelebat. Sebentar
saja tubuhnya telah lenyap.
Tinggal Nenek Rotan Maut yang berdiam diri di
Ngarai Sejuta Madu yang sepi. Matanya memandang
sekelilingnya, lalu menghela napas masygul. Hatinya
sedih sekali memikirkan bagaimana nasib murid ke-
sayangannya dipermalukan seperti itu.
Lalu si nenek pun melesat meninggalkan Ngarai
Sejuta Madu. 9 Ke manakah Ranjani"
Sejak para tokoh persilatan menyatroni pergu-
ruannya, dia bertekad untuk menyusul Andika ke Gu-
nung Mambang, setelah lebih dulu menyuruh murid-
muridnya menyingkir.
Dia sungguh tak menduga kalau masalahnya
berkembang jadi seluas ini. Inikah bagian dari anca-
man Penguasa Gunung Mambang" Yang dipikirkan
semula, Penguasa Gunung Mambang sendiri yang
akan datang menyatroni perguruannya. Tak tahunya,
malah para tokoh persilatan yang datang. Dari golon-
gan putih pula!
Memang, fitnahan itu, bermula dari lamaran
Penguasa Gunung Mambang. Maka Cemeti Melati Kala
pun memutuskan untuk segera meneruskan langkah-
nya ke sana. Namun belum lagi melangkah, dua sosok tubuh
telah berdiri di hadapannya. Ranjani tersentak meli-
hatnya. "Lestari! Sunarsi"! Mau apa kalian berdua di sini"!" sentak Ranjani
bercampur gembira.
Dua sosok yang baru muncul itu tak lain ada-
lah dua murid utamanya. Keduanya menjura dengan
penuh hormat. "Maafkan kami, Ketua...," ucap Lestari. "Bukan maksud kami untuk mengikuti
Ketua. Tetapi kami...."
Lestari kehabisan kata-kata. Ranjani terse-
nyum. "Sudahlah. Terus terang aku gembira melihat kalian muncul. Hanya saja,
keadaan sangat tidak
mengizinkan. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini"
"Ketua.... Kami ingin mengabdi sampai akhir
hayat pada Ketua," timpal Sunarsi.
Ranjani terdiam. Terus terang, selain tak me-
nyangka kalau di hadapannya akan muncul dua mu-
ridnya ini, hatinya juga gembira. Tetapi saat ini keadaan benar-benar tidak
memungkinkan baginya untuk
mengajak kedua muridnya. Biar bagaimana pun dia
tak ingin mengorbankan murid-murid untuk masalah
pribadi. "Kalian berdua lebih baik tinggalkan tempat ini," lanjut Ranjani.
"Tetapi, Ketua...."
"Lestari!" potong Ranjani.
"Bukan aku tidak menghargai kalian. Tidak
sama sekali. Bahkan aku senang dengan kemunculan
kalian ini. Berarti, kalian masih menyayangi dan mencintai ku sebagai Ketua
sekaligus guru kalian. Tetapi, aku tak ingin mengorbankan sia-sia nyawa
kalian...."
"Ketua! Kami rela mati untuk mengabdi pada
Ketua," tandas Sunarsi.
Ranjani sangat terharu mendengar kata-kata
itu. "Aku percaya pada kalian. Tetapi, sekali lagi
maafkan aku. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini."
"Ketua...."
"Lestari! Dan kau, Sunarsi! Bila kalian masih
menganggapku sebagai Ketua, turutilah permintaanku.
Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini.. Atau...
hei! Keparat!"
Tiba-tiba saja tangan Ranjani mengebut ke ba-
lik sebuah semak.
Wuuuttt! Blarrr! Semak belukar yang rimbun dan setinggi dada
orang dewasa di depan Ranjani kontan bagai tercacah.
Dan bersamaan dengan itu, melenting satu sosok tu-
buh kerempeng sambil disertai tawa keras.
"Tri darma!" seru Ranjani.
Sementara dua orang murid Cemeti Melati Kala
terperangah begitu melihat apa yang terjadi. Sigap keduanya bersiaga dan
memperhatikan laki-laki kerem-
peng itu. "Selamat berjumpa lagi, Ranjani. Menyenang-kan sekali bertemu
denganmu. Rupanya kau masih
mengenaliku. Terus terang, aku juga mendengar kabar
kalau kau telah berubah menjadi manusia sesat. Tak
kusangka, tak kuduga. Tapi aku maklum, manusia bi-
sa berubah. Hm... begini Ranjani. Nyawamu akan
kuampuni, bila kau mau bergabung denganku untuk
mewujudkan impian mu menguasai dunia persilatan.
Itulah sebabnya, diam-diam aku mendatangi dan men-
gikutimu yang akan pergi ke Gunung Mambang. Seka-
lian mengajukan pinangan padamu agar kau mau
menjadi istriku. Bagaimana?" kata lelaki kerempeng yang ternyata Tri darma.
(Untuk mengetahui siapa Tri darma, baca kisah: "Manusia Pemuja Bulan" dan
"Cincin Berlumur Darah").
Wajah Cemeti Melati Kala memerah. Belum lagi
berkata apa-apa, Lestari dan Sunarsi sudah melesat ke depan. Ranjani tercekat
melihatnya. Dia tahu, kedua
muridnya bukanlah tandingan Tri darma. Namun ke-
dua gadis itu sudah menderu bagai siap menggulung
Tri darma. Sunarsi mengebutkan trisulanya. Serangannya
memang lumayan cepat dan penuh tenaga. Begitu pula
yang dilakukan Lestari. Akan tetapi, yang dihadapi mereka adalah Tri darma, yang
ilmunya jauh lebih tinggi.
Sekali Tri darma mengebutkan tangan saja....
Des! Des! Tubuh kedua gadis berpakaian jingga itu me-
luncur ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Melihat hal itu, kegeraman Cemeti Melati Kala
semakin hebat. Langsung diterjang Tri darma setelah meloloskan senjata
cemetinya. Tri darma berlompatan menghindari serangan maut yang menimbulkan
gemuruh angin tinggi dan suara keras.
Ctaarrr! Ctaarrr!
Namun lama kelamaan Tri darma pun kalang
kabut. Karena, Ranjani terus menerus mencecarnya.
Tubuhnya tiba-tiba melenting ke belakang. Dan men-
dadak kedua tangannya mengibas secara bersamaan.
Sing! Sing! Seketika dua larik sinar keemasan melesat
membuat Ranjani mengurungkan niatnya untuk sege-
ra menghabisi Tri darma.
"Ranjani...! Apakah kau tidak tahu kalau saat
ini nyawamu sudah di ujung tanduk" Bersikaplah
agak lunak. Bila kau menjadi istriku, sudah tentu kau akan selamat. Terutama
dari incaran Penguasa Gunung Mambang!" bujuk Tri darma.
"Persetan dengan ucapanmu itu, Kerempeng!
Sampai kapan pun juga, aku akan tetap mengingat
akan lenganku yang kau buat buntung!" desis Ranjani.
"Bukankah itu lebih baik daripada kedua tan-
ganmu yang buntung?"
"Keparat!"
Ranjani melesat kembali. Namun lagi-lagi dia
harus urung menyerang, karena laki-laki kerempeng
itu sudah melepaskan pukulan 'Sinar Keemasan'-nya.
Kini justru Ranjani yang akhirnya dicecar den-
gan hebat. Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu benar-
benar dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan
maut Tri darma.
Namun hanya sesaat saja itu terjadi. Karena
kejap berikutnya, Ranjani sudah kembali mendekat
dengan jalan bergulingan. Tubuhnya bergerak bak bola maut ke arah Tri darma.
Namun, rupanya ada pikiran lain di benak ja-
hat Tri darma. Ketika Ranjani menyerang sedemikian
rupa, lelaki kerempeng keriput dengan rambut awut-
awutan itu justru melenting ke belakang. Tiba-tiba tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu. "Aku mempunyai suatu permainan yang lebih
menarik, Ranjani!" teriak Tri darma dari kejauhan keras.
Ranjani menghentikan serangannya. Dia meng-
hela napas lega. Kendati demikian hawa amarahnya
masih menguasai dada.
"Manusia setan itu akan semakin menambah
kekacauan ini," desisnya geram.
Gadis ini lantas mendekati Sunarsi dan Lestari
yang tergolek lemah dengan dada terengah-engah tu-
run naik. Tanpa banyak bicara segera diobatinya ke-
dua muridnya dengan memberikan obat pulung. Se-
bentar saja kedua gadis ini telah merasa nyaman.
"Maafkan kelancangan kami, Ketua...," ucap Lestari. "Sudahlah. Tak ada yang
perlu disesalkan. Kalian berdua, sebaiknya memang segera meninggalkan
tempat ini. Kuakui akan kesetiaan kalian kepadaku.
Tetapi yang perlu diketahui, ini bukanlah tugas ka-
lian." Tak ada yang bersuara. Dan Ranjani berdiri.
"Dalam waktu sepenanakan nasi, kesehatan
kalian akan segera pulih kembali. Sebaiknya, segera
tinggalkan tempat ini."
Lalu.... Wuttt! Tubuh Ranjani sudah melesat cepat. Memang,
itulah yang terbaik yang dilakukan Ranjani. Dia tak
sudi mengorbankan lagi nyawa-nyawa murid setianya.
*** "Jarotomo! Aku sudah tidak sabar untuk men-
jadikan Ranjani sebagai istriku. Hhh! Seharusnya aku membunuh Pendekar Slebor
waktu itu! Tetapi, aku
menginginkan dia sakit hati bila melihat Ranjani jatuh ke tanganku! Ingin
kulihat, bagaimana hatinya begitu terpukul luar biasa bila kehormatan Ranjani ku
cabik- cabik!" umbar Penguasa Gunung Mambang sambil duduk minum tuak, ditemani
Jarotomo. "Ketua..., bersabarlah sedikit," ujar Jarotomo, perlahan.
"Tidak! Siang malam aku selalu terbayang pa-
danya. Siang malam aku selalu mengkhayalkannya.
Kalau dia tetap tidak mau, akan kubunuh!" dengus lelaki berkalung tengkorak itu.
"Ketua, percayalah! Tak lama lagi Ranjani akan
muncul ke sini."
Penguasa Gunung Mambang menatap tajam
Jarotomo. "Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?"
tanya lelaki itu. "


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena kalau saja mempergunakan otaknya,
Ranjani pasti tahu bagaimana kejadian demi kejadian
ini terjadi. Dia pasti menduga semua ini dari lamaran yang Ketua sampaikan. Juga
dengan kemunculanku di
Ngarai Sejuta Madu. Aku yakin, dia telah tiba pada kesimpulan itu. Apalagi, bila
dia memang sudah pernah
bertemu Pendekar Slebor. Terbukti, Pendekar Slebor
pun mencari tahu sampai ke Gunung Mambang itu."
"Jangan terlalu yakin. Sampai saat ini aku be-
lum mendengar kalau Ranjani telah mati dibunuh para
tokoh rimba persilatan," cibir Penguasa Gunung Mambang. "Itu membuktikan betapa
tingginya ilmu yang dimilikinya. Dan dia memang sangat pantas bersanding dengan
Ketua yang berilmu tinggi. Begitu pula
Ranjani. Dengan bersandingnya Ketua dan Ranjani,
keinginan Ketua untuk membunuh Pendekar Slebor di
purnama mendatang, akan segera terlaksana. Tetapi,
aku yakin Ketua akan mampu menghancurkan Pende-
kar Slebor!"
Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak
dengan suara menggelejar.
"Kau memang pandai berbicara, Jarotomo," puji lelaki itu.
Jarotomo menyeringai puas. Dia memang yakin
akan kehebatan Penguasa Gunung Mambang untuk
meringkus Ranjani. Namun, akal licik dan dendam te-
lah terpatri di hatinya. Suatu saat, akan dicarinya kesempatan untuk membunuh
Ranjani. Baru saja bayangan Ranjani terlintas di pelu-
puk mata mereka tiba-tiba....
"Manusia keparat yang berjuluk Penguasa Gu-
nung Mambang! Keluar kau! Aku Cemeti Melati Kala
meminta pertanggungjawaban mu!"
Jarotomo tersenyum puas, saat terdengar teria-
kan keras seakan hendak meruntuhkan bangunan.
"Kemenangan sudah milik Ketua."
10 Sepasang mata bagus milik Cemeti Melati Kala
terbuka ketika melihat satu sosok tinggi besar melangkah keluar dari bangunan
besar dengan tawa dingin.
Sejenak kening Ranjani berkerut. Inikah Penguasa
Gunung Mambang" Bila melihat sosok dan sikapnya,
sudah jelas orang itu tak bisa dianggap sembarangan.
Dan Ranjani berani bertaruh, kalau manusia ini ber-
kepandaian sangat tinggi.
"Hhh! Rupanya manusia kunyuk ini yang bera-
ni melamar ku"!"
"Aha, Ranjani..."! Mengapa kau berkata seperti
itu" Tidak tahukah kau kalau aku adalah calon sua-
mimu?" tukas Penguasa Gunung Mambang.
Sementara itu beberapa anak buah lelaki ber-
kalung tengkorak itu telah berdiri tegap, siap menung-gu perintah.
Ranjani menatap muak pada Penguasa Gunung
Mambang. Sikapnya yang sengak dengan kedua tan-
gan terentang, seolah siap merangkul Ranjani.
"Bila kau menerima lamaranku, silakan. Biar
seluruh anak buahku gembira. Karena mulai hari ini,
akan mendapatkan seorang Ketua wanita. Ingat, Ran-
jani! Bila menjadi istriku, kau akan dihormati seluruh anak buahku. Juga,
lapisan orang rimba persilatan,"
bujuk lelaki itu.
"Mbelgedes! Kedatanganku bukan ingin membi-
carakan masalah lamaranmu. Hanya orang bodoh dan
buta saja yang mau menerima lamaran seekor anjing
kurap! Kedatanganku ingin meminta pertanggungja-
waban mu atas fitnah yang kau sebarkan!"
Lelaki berkalung tengkorak itu menyeringai,
menampakkan deretan giginya yang hitam.
"Apa maksudmu, Ranjani?" tukas Penguasa
Gunung Mambang.
"Jangan menjual lagak di hadapanku!"
"Aha! Mengapa harus memperlihatkan taring
mu di hadapanku, Ranjani"! Kau tahu, aku sangat
mencintaimu. Bila kita menjadi sepasang suami-istri, tidak mustahil tidak akan
pernah bisa dikalahkan siapa pun juga. Dan kau bisa melaksanakan keinginan-
mu untuk menguasai rimba persilatan ini!"
Ranjani terdiam. Sejenak otaknya berpikir ke-
ras. Apakah dengan kata-kata yang dilontarkan itu berarti Penguasa Gunung
Mambang memang tidak tahu
soal fitnah terhadap dirinya" Ataukah, hanya berpura-pura belaka" Toh, dia dan
Pendekar Slebor sudah tiba pada kesimpulan yang kedua. Tetapi, di manakah Pen-
dekar Slebor berada sekarang" Apakah sudah tertang-
kap" Tidak! Tidak mungkin pemuda pewaris ilmu
'Lembah Kutukan' yang berotak cerdik itu bisa dilum-
puhkan dengan mudah!
"Jangan anggap aku mempunyai keinginan bu-
suk seperti itu! Lebih baik melihat kau mati daripada menjadi istrimu!" maki
Ranjani keras dengan kemarahan menggelegak.
Kembali Penguasa Gunung Mambang mengelu-
arkan suara tawanya.
"Kau salah sangka, Ranjani! Jangan menuduh-
ku menyebarkan fitnah keji seperti itu, Aku mengin-
ginkan kau menjadi istriku. Mana mungkin aku ber-
niat mencelakakanmu"!"
"Ular kepala dua! Kebusukan mu membuatku
muak!" "Sabarlah.... Lebih baik kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin.
Jangan ambil pusing dengan segala urusan!"
"Bangsat! Kepalaku mau meledak mendengar
kata-kata busukmu!"
Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah.
Sejak tadi dia dibentak dengan kata-kata menyakitkan.
Tetapi dia masih berusaha menenangkan diri. Karena
telah ngeres otaknya membayangkan kalau Ranjani
akan menjadi teman setidurnya.
"Ranjani, calon istriku. Apakah kau masih me-
nuduhku yang menyebar fitnah?"
Menggigil tubuh Ranjani mendengar ejekan itu.
Tanpa membuang tempo lagi, gadis berlengan satu itu
menyerbu dengan tenaga hebat. Gerakannya secepat
kilat bak angin prahara mengarah pada Penguasa Gu-
nung Mambang. Si lelaki membentak kasar. Tubuhnya cepat di-
buang ke kiri. Sementara Ranjani yang sudah berada
di puncak kemarahannya menyerang semakin gencar.
"Jangan terlalu keras kepala, Calon istriku!" ka-ta lelaki berkalung tengkorak
sambil menghindari se-
tiap serangan maut Cemeti Melati Kala.
Mendengar kata-kata itu Ranjani semakin ma-
rah. Diserbunya lelaki itu dengan kecepatan luar bi-
asa. Penguasa Gunung Mambang pun mengimban-
ginya. Kini, yang terlihat dua buah tubuh berkelebat dengan cepat tak ubahnya
dua hantu saling serang.
Namun tahu-tahu....
Penguasa Gunung Mambang terjajar ke bela-
kang.... Desss...!
"Bangsat!"
Lelaki ini memegang dadanya yang terkena ten-
dangan Ranjani.
"Kehebatan Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Ma-
du memang tak perlu disangsikan lagi. Tetapi, aku
masih bermurah hati kepadamu. Karena, kau calon is-
triku!" oceh Penguasa Gunung Mambang.
"Justru aku ingin melihat kekejamanmu, Ma-
nusia hina!" sahut Ranjani, kembali menerjang.
Kali ini Penguasa Gunung Mambang pun mem-
balas dengan serangan-serangan mautnya. Gemuruh
angin keras dan sinar menggidikan meluruk ke arah
Cemeti Melati Kala, ditingkahi suara teriakannya.
Tak terasa empat jurus pun telah lewat. Dan
kelihatan kalau Ranjani mulai terdesak. Namun den-
gan cepat gadis itu meloloskan senjata, dan mengge-
rakkannya ke arah Penguasa Gunung Mambang.
Ctarrr! Tubuh tinggi besar itu melenting ke samping.
Dan benturan cemeti Ranjani menghantam tembok ha-
lamannya hingga runtuh menimbulkan suara gemu-
ruh. "Hhh! Sudah lama aku ingin melihat kehebatanmu menggunakan cemeti mu itu,
Ranjani!" tantang Penguasa Gunung Mambang, jumawa.
"Dan kau akan merasakannya, Bangsat!" har-
dik Ranjani. Kembali gadis ini menyerang hebat. Serangan-
serangannya mengundang hawa kematian. Penguasa
Gunung Mambang rupanya memang bukan lawan en-
teng baginya. Malah dengan mudah mampu menghin-
dari serangan-serangan maut Ranjani. Tubuh lelaki ini seketika berkelebat
laksana kilat, menimbulkan desi-ran angin keras bergulung-gulung ke arah
Ranjani. "Hiaaa...!"
Cemeti Melati Kala membentak keras. Tubuh-
nya cepat melenting, menghindari amukan angin yang
bergulung itu. Namun gerakannya kalah cepat. Se-
hingga.... Trass! Tubuh Ranjani melintir di udara, ketika ka-
kinya tersambar angin keras dari serangan lawannya.
Namun secepatnya dia menguasai diri, langsung melu-
ruk. Cemetinya segera dikibaskan.
Ctarrr! Luar biasa! Tanpa rasa terkejut, Penguasa Gu-
nung Mambang justru menelusup ke bawah, sehingga
senjata cemeti hanya menyambar angin kosong di atas
kepalanya. Bahkan langsung bergulingan ke arah Ran-
jani. Begitu dekat, kakinya terjulur ke depan.
Desss.... "Aaakh...!"
Ranjani terjajar ke belakang ketika sodokan
Penguasa Gunung Mambang menghantam perutnya.
Serangan itu memang tak tertangkap oleh pandangan-
nya. "Aku menghendaki kau menjadi istriku, Ranjani! Tetapi kau memaksaku untuk
berbuat lebih jauh lagi! Tetapi, ha ha ha...! Kau tak akan mati sebelum ku
nikmati apa yang kuinginkan!"
Tiba-tiba saja tubuh Penguasa Gunung Mam-
bang melenting dan meluruk ke arah Ranjani. Kedua
kakinya berputar ke atas bak baling-baling, menim-
bulkan gemuruh angin sangat luar biasa. Dedaunan
beberapa pohon berguguran dan sedikit bergetar.
Serangan aneh itu, membuat Ranjani terpaksa
mundur selangkah sambil mengibaskan Cemeti Melati
Kala-nya. Hatinya benar-benar muak menerima perla-
kuan seperti itu.
Ranjani bertekad untuk bisa membuktikan pa-
da dunia persilatan kalau semua yang telah terjadi karena fitnahan keji.
Mendadak saja Ranjani melompat
ke samping, ketika dengan hebatnya Penguasa Gu-
nung Mambang bergerak laksana angin untuk berta-
rung jarak pendek. Kedua tangannya mencecar bagian-
bagian yang mematikan pada tubuh gadis itu. Dengan
demikian Ranjani tak bisa memainkan cemetinya.
Sejenak wajah Ranjani menjadi pias. Bulu ku-
duknya dirasakan meremang. Dari pada satu kesem-
patan, tiba-tiba saja tangan Penguasa Gunung Mam-
bang mengibas cepat.
Plakkk! Tangan lelaki itu telah menghantam tangan ka-
nan Ranjani, membuat Cemeti Melati Kala-nya terle-
pas. Gadis ini merasa tubuhnya menggigil. Belum lagi tenaganya bisa dipulihkan
satu jotosan masuk ke dadanya.
Desss...! Gadis jelita itu terhuyung. Rasa sakit semakin
menyiksanya. Begitu ambruk, dia kontan pingsan. Da-
rah kental kehitaman keluar dari mulut dan hidung-
nya. Penguasa Gunung Mambang tersenyum puas.
"Kau akan mendapatkan satu kenikmatan yang
sangat hebat, Ranjani. Ingin kulihat bagaimana saha-
batmu si Pendekar Slebor akan mengalami siksaan ba-
tin yang tinggi melihat kehormatanmu ku cabik-ca-
bik." Lalu dengan langkah bergegas, Penguasa Gunung Mambang mengangkat tubuh
Ranjani yang ter-
kulai. Dia segera melangkah ke rumahnya, siap dibawa ke kamarnya.
Namun belum sampai kakinya menginjak ban-
gunan megah itu, lelaki ini terbelalak kaget. Karena di hadapannya telah berdiri
satu sosok tubuh bertelanjang dada dengan senyum dingin.
*** "Keparat kerempeng! Siapa kau"!" bentak Penguasa Gunung Mambang sambil
mengibaskan tangan-
nya. Wusss! Angin kencang langsung menerjang ke arah so-
sok bertelanjang dada dengan kumis putih tebal. Na-
mun, sosok ini cepat menghindari dengan melenting
ringan. Begitu kedua kakinya yang kurus terbalut ce-
lana pangsi berwarna hitam hinggap di bumi, terden-
gar suaranya yang tajam dan dingin.
"Penguasa Gunung Mambang! Kita mempunyai
keinginan yang sama rupanya," kata sosok itu.
"Apa maksudmu?"
Meskipun agak terkejut melihat bagaimana so-
sok kerempeng itu menghindari serangannya, Pengua-
sa Gunung Mambang menyahut juga.
"Kau menginginkan Cemeti Melati Kala untuk
kau jadikan istrimu. Sedangkan aku, menginginkan
nyawanya," jelas si kerempeng.
"Bangsat! Sebutkan namamu!"
"Namaku Tri darma. Orang-orang rimba persila-
tan tidak pernah menjulukiku dengan sebutan apa
pun juga, Penguasa Gunung Mambang! Bagaimana bi-
la bekerja sama?" tawar si kerempeng yang ternyata Tri darma. Penguasa Gunung
Mambang yang merasa ke-senangannya jadi terganggu melotot.
"Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum nya-
wa anjingmu ku cabut!" bentak lelaki berkalung tengkorak itu.
"Aku hanya menawarkan satu kerja sama di
antara kita. Kau bisa menikmati tubuh Ranjani se-
puas-puasmu. Tetapi setelah itu, kau berikan kepada-


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku untuk kubunuh!" kilah Tri darma.
"Anjing buduk! Sembarangan kau bicara! Ru-
panya kau punya nyawa rangkap berani berbuat tolol
di hadapanku!"
"Justru aku yang bertanya kepadamu, apakah
kau mempunyai nyawa rangkap?" Tri darma terbahak-bahak. "Tetapi yang kuinginkan
bukanlah permusuhan. Aku menginginkan kerja sama yang akan kita ja-
lin untuk menguasai rimba persilatan ini."
"Hhh! Apa untungnya bagiku?"
"Pertama! Kau tak akan ku halangi untuk me-
nikmati tubuh Cemeti Melati Kala seperti keinginan-
mu. Kedua! Kita akan bekerja sama untuk membunuh
Pendekar Slebor. Kudengar, kau pernah bertarung
dengannya. Dan pertarungan mu akan dilanjutkan lagi
pada purnama mendatang. Tetapi, apakah kau percaya
kalau Pendekar Slebor akan memenuhi permintaan-
mu" Ia seorang pendekar kenamaan yang memang
menjunjung tinggi jiwa ksatria. Namun bila kau meni-
punya, dia tak akan pernah mau memenuhi permin-
taanmu! Bahkan, tak akan pernah melepaskan nyawa
busukmu yang telah mempermainkan sahabatnya!"
Mendengar kata-kata Tri darma, Penguasa Gu-
nung Mambang terdiam. Itu usul yang menarik sebe-
narnya. Meskipun diyakini dengan kehebatannya sen-
diri pun mampu membunuh Pendekar Slebor.
Sejurus kemudian Penguasa Gunung Mambang
terbahak-bahak. Dia memang tidak mengenal, siapa
Tri darma. Namun yang jelas, lelaki itu mempunyai
dendam pada Pendekar Slebor. Berarti, itu sejalan
dengan keinginannya yang telah lama ingin merasakan
kehebatan Pendekar Slebor. Soal Ketua Perguruan
Ngarai Sejuta Madu bukanlah persoalan berarti. Saat
ini dia hanya ingin merusak kehormatan Cemeti Melati Kala! Dan dia ingin
melihat, bagaimana wajah Pendekar Slebor akan merah padam dengan kemarahan
membludak. "Baiklah, kuterima tawaran kerja sama mu itu,
Tri darma. Kita akan bersama-sama membunuh Pen-
dekar Slebor. Sekarang menyingkirlah. Aku ingin me-
nikmati dara jelita ini...," desisnya kemudian.
"Ingat! Aku hanya memberimu waktu selama ti-
ga hari. Setelah puas, kau harus menyerahkan Ranjani kepadaku untuk kubunuh.
Setuju?" "Apa pun yang kau inginkan, akan kuberikan"
"Itu suatu usul yang baik. Silakan menikmati
tubuh montok Cemeti Melati Kala."
"Kau memang kawan yang bisa diandalkan." Tri darma menyingkir ketika Penguasa
Gunung Mambang membawa masuk Ranjani sambil terbahak-bahak.
"Ha ha ha... Cemeti Melati Kala... Kau akan ku
bawa ke langit tingkat tujuh...," kekeh Penguasa Gunung Mambang, ketika tiba di
kamarnya. "Atau, justru kau yang tersungkur ke dalam ta-
nah?" Mendadak terdengar sahutan.
11 Untuk kedua kalinya Penguasa Gunung Mam-
bang bergelegar amarahnya, melihat satu sosok tubuh
yang sedang selonjor di ranjangnya dengan kedua tan-
gan ditekuk seolah menjadi bantal. Dan yang lebih
menggeramkan, setelah lelaki ini tahu siapa pemuda
gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain berco-
rak catur di bahunya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor" "Pemuda keparat!"
Sambil mendengus liar lelaki berkalung tengko-
rak itu mengibaskan tangannya. Seketika serangkum
angin dahsyat meluruk ke arah Andika.
Wusss! Prakkk! Seketika ranjang itu hancur berantakan terke-
na hentakan pukulan jarak jauh Penguasa Gunung
Mambang. Ke mana Pendekar Slebor" Dengan kecepa-
tan luar biasa, Andika melenting dan tahu-tahu telah berdiri di hadapan lelaki
itu sambil cengengesan
"Sayang sekali, ranjang yang bagus itu harus
dihancurkan. Ngamuk, ya, ngamuk. Tapi lihat-lihat
dong." Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah.
"Pendekar Slebor! Kau berani mampus rupanya
datang kemari"!" bentaknya bengis.
Bagaimana tahu-tahu Pendekar Slebor berada
di sana" Andika memikirkan setiap peristiwa yang terja-
di. Sampai tiba-tiba, dia menyadari kalau kemungki-
nan Ranjani menyusul ke Gunung Mambang. Makanya
dia langsung ke tempat ini.
Sebenarnya, ketika Andika menerima tantan-
gan dari Penguasa Gunung Mambang adalah salah sa-
tu dari kecerdikannya. Dia memang mengurungkan
niatnya untuk bertarung dengan Penguasa Gunung
Mambang dikarenakan ingin melihat apa yang terjadi.
Di samping itu, juga cemas memikirkan nasib Ranjani.
Ketika tiba di Gunung Mambang, apa yang di-
perkirakannya memang benar. Ranjani sedang berta-
rung dengan Penguasa Gunung Mambang
Hati Andika menjadi marah begitu melihat ba-
gaimana Ranjani menjadi bulan-bulanan Penguasa
Gunung Mambang. Hatinya terasa panas luar biasa.
Dia bersiap untuk memasuki kancah pertarungan itu,
namun sudah terlambat. Karena saat itu Ranjani su-
dah jatuh pingsan.
Melihat hal itu, Andika menduga kalau Pengua-
sa Gunung Mambang tak akan segera membunuh
Ranjani. Karena dia tahu, lelaki tinggi besar itu menghendaki Ranjani menjadi
miliknya. Berpikiran demi-
kian, Andika pun langsung berkelebat masuk ke ka-
mar Penguasa Gunung Mambang. Dia bukan hanya
bermaksud mengejutkan lelaki berkalung tengkorak
itu, tetapi juga akan menolong Ranjani.
Jadi Andika tidak tahu saat Tri darma muncul.
Sekarang Pendekar Slebor terkekeh-kekeh me-
lihat betapa geramnya wajah Penguasa Gunung Mam-
bang. Tatapan mata bulat besar itu bagai hendak me-
nelannya hidup-hidup.
"Eh, ngomong-ngomong wajahmu seperti di-
hinggapi kepiting rebus, ya," ledek Pendekar Slebor.
"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang
dengan kemarahan membludak.
Rupanya, yang dikatakan Tri darma memang
benar. Kali ini, Penguasa Gunung Mambang merasa
kecolongan setelah merasa yakin berhasil menipu Pen-
dekar Slebor. "Tunggu!"
Pendekar Slebor mengibaskan tangannya ke
sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati. Dengan
sungguh menakjubkan! Begitu lemari itu bergeser, sa-
tu sosok tubuh dengan kedua lengan buntung jatuh ke
lantai. Telah menjadi mayat!
"Jarotomo!" seru Penguasa Gunung Mambang,
terkejut. "Terpaksa aku membunuhnya! Habisnya, la-
gaknya sok sih! Begitu pula begundal-begundalmu.
Mereka kubuat pingsan semuanya. Eh, kau marah
ya?" ejek Andika sambil memikirkan bagaimana caranya mendapatkan Cemeti Melati
Kala. Karena, tak
mustahil Penguasa Gunung Mambang justru memper-
gunakan Cemeti Melati Kala sebagai tameng.
"Bangsat!"
Penguasa Gunung Mambang membentak den-
gan suara menggelegar setinggi langit. Sesaat Pendekar Slebor merasa tubuhnya
bergetar karena pengaruh tenaga dalam yang disentakan lelaki berkalung tengko-
rak itu melalui suara.
Penguasa Gunung Mambang mendorong tubuh
Ranjani yang masih terkulai pingsan hingga menggelo-
soh di sudut kamar. Kesempatan yang seharusnya di-
pergunakan Penguasa Gunung Mambang untuk segera
mendapatkan Ranjani, lenyap tiba-tiba berganti kema-
rahan membludak pada Pendekar Slebor. Maka dengan
penuh amarah, diserangnya pemuda itu.
"Aku belum membayar pertunjukan sandiwa-
ramu, Manusia busuk! Nih, kubayar!"
Andika melancarkan pukulan cepat mengan-
dung kekuatan dahsyat. Kalau saja Penguasa Gunung
Mambang tidak memiringkan tubuhnya, bisa dipasti-
kan kalau akan hancur seketika.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor!" geram
lelaki itu sambil balas menyerang. Ruang kamar yang lumayan besar itu pun
menjadi arena pertarungan
dahsyat dua tokoh. Lemari, kursi, meja dan makanan
berhamburan patah. Kamar itu benar-benar bergetar
bagaikan ada gajah yang mengamuk.
Bagi Pendekar Slebor sendiri, tindakan Pengua-
sa Gunung Mambang yang memfitnah Ranjani tidak
bisa didiamkan. Hatinya pun gusar ketika mem-
bayangkan bagaimana penderitaan Ranjani dalam
menghadapi semua fitnahan.
Menghadapi Penguasa Gunung Mambang yang
merupakan pangkal semua bencana ini, membuat An-
dika tidak bertindak tanggung lagi. Tenaga 'Inti Petir'
tingkat kelima telah dipergunakannya. Tubuhnya ber-
kelebatan dengan kecepatan tinggi.
Namun dengan jurus 'Memburu Gunung Mam-
bang', lelaki berkalung tengkorak itu melayani memba-bi buta. Setiap kali
tangannya bergerak, kekuatan
dahsyat yang menggetarkan terjadi. Serangan-
serangannya penuh hawa kematian. Penuh hawa
maut, siap mencabut nyawa Pendekar Slebor.
Sesungguhnya, bertarung di ruangan seperti itu
sangat menyulitkan. Karena gerakan dibatasi empat
buah dinding. Tetapi bagi keduanya, tidak ada masa-
lah sedikit pun. Terutama, bagi Penguasa Gunung
Mambang yang memang menginginkan kematian Pen-
dekar Slebor. Penguasa Gunung Mambang yang sudah kalap,
melepas serangan dahsyat dengan satu hantaman
yang begitu cepat.
Dess! Pukulan 'Memburu Gunung Mambang' mener-
pa tubuh Andika, sehingga terlontar menabrak dind-
ing. Seketika kamar itu bergetar. Tetapi dengan cepat Andika berdiri tegak.
"He he he..., tidak sakit. Tidak sakit. Lagi,
dong!" ejek Pendekar Slebor.
"Bangsat!"
Kembali Penguasa Gunung Mambang sudah
meluruk kembali. Kali ini tangannya terlihat meman-
carkan sinar berwarna hitam yang menderu-deru ke
arah Andika. Andika dengan sigap meloloskan diri dengan ja-
lan berguling. Broll! Dinding kamar itu pun jebol terkena hantaman
pukulan Penguasa Gunung Mambang.
"Hei, itu tembok. Bukan badanku. Nah, kalau
itu badanmu. Tapi, penuh panu, ha ha ha...," ejek Pendekar Slebor tanpa peduli
kalau pertarungan ini
adalah pertarungan antara hidup dan mati.
Penguasa Gunung Mambang makin geram. Se-
ketika tubuhnya mencelat menyerang. Kedua tangan-
nya langsung dihentakkan ke depan. Tapi Pendekar
Slebor pun bergerak cepat menghentakkan tangannya
pula. Blarrr....
Benturan keras terjadi. Kali ini membuat tubuh
Penguasa Gunung Mambang terjajar.
"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang.
"Hei, tak usah heran! Ini adalah urusan kau
denganku!" seru Andika sambil melepaskan serangannya kembali.
"Juga ini menjadi urusanku, Pendekar Slebor!"
Mendadak terdengar suara menggetarkan, yang dis-
usul masuknya satu sosok tubuh kerempeng ke ruan-
gan ini. Andika melotot.
"Wah! Manusia kerempeng yang muncul! Ba-
gus! Kan jadi ramai nih, jadinya!"
Orang yang masuk itu memang Tri darma.
"Kalau dulu kau berhasil mempecundangi ku,
sekarang justru kau yang akan mampus, Pendekar
Slebor! Sahabatku Manusia Pemuja Bulan baru akan
tenang, setelah melihat orang yang telah membunuh-
nya pun mampus di tanganku!" bentak Tri darma,
mengancam "O..., jadi kau sahabatnya Manusia Pemuja Bu-
lan?" tukas Andika, seolah baru menyadari kalau Tri darma adalah sahabat dari
Manusia Pemuja Bulan.
Wajah Tri darma memerah. Sementara Pengua-
sa Gunung Mambang mempergunakan kesempatan itu
untuk mengatur nafasnya. Dia merasa beruntung ka-
rena Tri darma muncul. Tadi dadanya serasa mau me-
ledak saat terjadi benturan.
"Jangan banyak bacot!" bentak Tri darma.
"Ya, begitulah.... Orang yang hatinya berkarat memang suka tidak menyadari kalau
maut sudah dekat dengannya!" sahut Andika dingin. "Tri darma! Kau
tak akan pernah kuampuni karena pernah membawa-
bawa nama eyang buyutku! Hhh! Kau terlalu hina un-
tuk mengabdi kepada Eyang buyutku, Ki Saptacakra!"
(Untuk mengetahui bagaimana Pendekar Slebor
sampai tertipu oleh Tri darma yang mengaku sebagai pelayan dari Ki Saptacakra
Eyang Buyut Pendekar Slebor, silakan baca: "Manusia Pemuja Bulan").
"Bangsat! Kau yang harus mampus!" balas Tri darma, hendak melontarkan serangan.
"He he he.... Tahan, tahan. Bagaimana bila kita bertarung di luar saja" Biar...,
sebelum kau mampus, masih bisa menikmati udara segar. Juga kau, Jin
Gondrong! Nah! Bukankah aku masih merasa menga-
sihi kalian?"
"Kentut busuk!"
Tri darma sudah melabrak ke arah Andika. Be-
gitu pula Penguasa Gunung Mambang. Dengan kekua-


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tan penuh dia siap menghancurkan Andika.
"Bagaimana kalau di luar saja?" seru Andika.
Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bergerak, mene-
robos dinding kamar itu hingga jebol. Lalu tubuhnya
melenting dua kali di luar, dan hinggap sambil terkekeh-kekeh.
"Ayo, Jin Gondrong! Juga kau, Tri darma!" teriak Pendekar Slebor.
Sebagai jawaban atas seruannya, Penguasa
Gunung Mambang melesat cepat membawa satu se-
rangan dahsyat. Andika memiringkan tubuhnya ke ki-
ri. Seketika tangan kirinya menghantam ke perut
Desss! Jotosan itu mendarat telak pada sasaran. Teta-
pi lelaki berkalung tengkorak itu tak bergeming sama sekali. Malah mulutnya
menyeringai semakin geram.
Pada saat yang sama Tri darma sudah meluncur me-
nyerang. Andika berkelebat ke kanan. Matanya sempat
melihat Tri darma yang menyilangkan kedua tangan-
nya saat menyerang. Begitu silangan dibuka, tangan
kirinya berpusat sedemikian rupa ke bawah, lalu me-
nusuk tajam ke perut. Begitu cepat hingga....
Desss! Tubuh Pendekar Slebor terpental ke belakang
disertai keluhan menahan sakit. Sebelum sempat ber-
diri dengan benar, dua buah jotosan dari Penguasa
Gunung Mambang sudah mendarat di wajah dan tu-
buhnya. Des! Des! Hidung Pendekar Slebor kontan mengucurkan
darah. Sedang perutnya bagaikan dihantam sebuah
godam yang luar biasa keras.
"Hiaaa...!"
Andika berteriak keras setinggi langit, melam-
piaskan kemarahannya. Seketika tubuhnya melenting
cepat, melayani dua serangan yang datang sekaligus.
Menghadapi dua tokoh ini bukannya membuat
Andika gentar, meskipun berkali-kali terhantam.
Malah dia semakin keras menyerang dengan
pukulan-pukulan saktinya. Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas pun segera
dipergunakan. Pendekar Slebor memang tak pernah menyang-
ka akan munculnya Tri darma. Dan berarti, kemara-
han lama yang dipendamnya pun harus bangkit. Me-
mang manusia itu telah lancang berani mengaku seba-
gai pelayan dari Ki Saptacakra.
Bagi Andika, nama Ki Saptacakra adalah san-
gat keramat. Tak boleh dipakai sembarangan. Apalagi
bila ada yang mengaku-ngaku pernah berhubungan
dengan eyang buyutnya itu.
12 Pertarungan sengit pun terus berlangsung den-
gan hebatnya. Desir angin keras terdengar ketika keti-ga tubuh yang bertarung
saling menggebrak!
Tri darma benar-benar mengumbar pukulan si-
nar keemasannya, sehingga sempat membuat Andika
kewalahan. Belum lagi ketika menerima serangan me-
matikan dari Penguasa Gunung Mambang. Di benak
lelaki tinggi besar itu tak ada lagi bayangan keindahan tubuh Ranjani, melainkan
keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor.
Sementara bagi Andika sendiri, ini adalah per-
tarungan paling hebat dan menentukan. Hebat karena
menghadapi dua tokoh sekaligus. Menentukan karena
merasa di sinilah hidup dan matinya ditentukan.
Namun akibat tekanan dua gabungan tenaga
dan ilmu yang tinggi, Andika pun mulai terdesak. Se-
sekali wajahnya tegang menerima serangan gencar dan
cepat itu. Bahkan berkali-kali tubuhnya terhantam jotosan dan tendangan keras.
"Gila! Aku tak boleh mati di sini. Aku harus ma-ti di pangkuan Ranjani. Biar
kelihatan seru, gitu!" dengus Andika, masih sempat-sempatnya mengoceh demi-
kian. Padahal keadaannya amat memprihatinkan.
Maka dengan gebrakan laksana kilat, Pendekar
Slebor melepas kain bercorak catur dari bahunya. Be-
gitu serangan kian mendekat, kakinya segera dike-
butkan. Bletakk!
Andika bisa bernapas sedikit karena serangan
kedua lawannya bisa dihalau. Pendekar Slebor melent-
ing ke belakang untuk menjaga jarak.
Namun mendadak saja, Tri darma menghen-
takkan kedua tangannya, melepas pukulan 'Sinar
Keemasan'. Apa yang harus diperbuat Pendekar Sle-
bor" Apalagi pada saat yang sama, Penguasa Gu-
nung Mambang pun menderu-deru dengan ajian-ajian
kebanggaannya. Setiap kali tangannya bergerak, bu-
kan hanya desir angin kuat yang terdengar. Tapi suara ledakan hebat.
"Manusia-manusia sompret!" damprat Andika
seraya melenting ke atas, menghindari terjangan sinar-sinar kuning keemasan.
Begitu meluruk, kain pusa-
kanya dilecutkan ke arah Penguasa Mambang.
Ctarrr! Satu sabetan Pendekar Slebor yang disalurkan
tenaga sakti tingkat kesembilan belas berkelebat ke
arah lelaki berkalung tengkorak. Tak tanggung-tang-
gung pula, dalam sabetannya membuat sekian geta-
ran. Penguasa Gunung Mambang terlongong, na-
mun cepat membuang tubuhnya ke belakang. Kendati
hanya tersambar angin sambaran Andika, tak urung
nafasnya jadi sesak.
Pada saat itu, Pendekar Slebor telah mendarat
kembali di tanah. Namun ketika akan melepas seran-
gan kembali....
"Wah, wah! Andika! Kenapa kau tidak mengajak
aku, hah"!"
Terdengar suara mengekeh.
Andika melirik lalu mendesah kesal.
"Ah! Kenapa sih dia melulu yang muncul"! Da-
sar bangkotan!"
Namun dikejap kemudian si pemuda pewaris
ilmu-ilmu 'Lembah Kutukan' telah melompat ke arah
asal suara kekehan.
"Hei, Nenek Rotan Maut! Lebih baik kau sela-
matkan muridmu di dalam sana! Biar kedua tikus ini
aku yang hadapi!" ujar Andika.
"Mana bisa" Penguasa Busuk itu yang harus
kubunuh! Kurang ajar sekali dia memfitnah murid ke-
sayanganku!" dengus sosok perempuan tua yang ternyata Nenek Rotan Maut.
"Nyawa muridmu lebih utama untuk disela-
matkan!" tandas Andika.
"Kau saja yang pergi menyelamatkannya! Biar
aku yang membunuh kedua manusia busuk itu!" tolak Nenek Rotan Maut.
"Memang memalukan punya guru seperti kau
ini!" "Ampun! Sekali lagi kau ngomong begitu, ku
kepruk kepalamu! Kau yang harus menyelamatkan
Ranjani!" Memang tak ada cara lain untuk menyela-
matkan Ranjani selain meninggalkan pertarungan ini.
Sejak tadi, Andika memang cemas akan nasib gadis
itu. Dia memang harus menyelamatkannya terlebih
dulu. Tiba-tiba saja Andika melenting masuk ke da-
lam, melewati kepala Tri darma dan Penguasa Gunung
Mambang sambil mengibaskan kain pusakanya.
Wrrr! Angin bagai satuan topan meluruk ke arah ke-
dua manusia bau tanah itu. Mereka cepat bergulingan.
Dan ketika hendak menyusul Andika, Nenek Rotan
Maut sudah berkelebat sambil mengibaskan rotan ke-
cilnya. "Hei, hei! Mau ke mana" Kan masih ada aku di
sini"!" sentak si nenek.
Tri darma dan Penguasa Gunung Mambang
memicingkan matanya, menatap satu sosok tubuh
yang sedang terkekeh.
"Kenapa" Kagum akan kecantikanku?" desis
Nenek Rotan Maut terkekeh.
Penguasa Gunung Mambang membuang lu-
dahnya. "Manusia busuk penuh kudis!"
"Setan alas! Berani menghinaku lagi, ku cabut
nyawa keparatmu! Hhh! Sebenarnya aku ingin melihat
kau mampus di tangan muridku! Tetapi, apa boleh
buat" Justru aku yang akan mencabut nyawa bu-
sukmu!" "Rupanya, Nenek Rotan Maut yang berada di
hadapanku," desis Tri darma.
"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa tidak segera
bersujud" Hayo, bersujud! Jangan sampai ku paksa!"
"Keparat! Kau yang harus bersujud di hada-
panku!" "Kurang ajar!"
Tiba-tiba saja tubuh Nenek Rotan Maut berke-
lebat ke arah kedua lawan barunya. Rotan kecil di tangannya mengebut
mengeluarkan suara bagai ribuan
tawon ngamuk. Hasilnya benar-benar luar biasa Tera-
sa kalau bumi yang dipijak bergetar.
Mengetahui kehebatan lawannya, Tri darma
dan Penguasa Gunung Mambang pun mengeluarkan
segenap kemampuan untuk mengimbangi.
*** Di kamar Penguasa Gunung Mambang, Pende-
kar Slebor bergegas mendekati Ranjani. Lalu dialir-
kannya tenaga dalam dan hawa murni ke tubuh gadis
ini yang dirasakannya mulai memanas.
Setelah menuntaskan pengobatannya pada
Ranjani, Pendekar Slebor segera memondongnya. Seke-
tika tubuhnya berkelebat melalui dinding yang jebol
akibat pertarungannya dengan Penguasa Gunung
Mambang. Andika segera membawa tubuh Ranjani yang
masih pingsan ke tempat aman.
*** "Hei! Bagaimana dengan muridku!" seru Nenek Rotan Maut begitu melihat Andika
sudah kembali. Sambil berkata demikian si nenek menyerang
Penguasa Gunung Mambang. Rupanya dia sejak tadi
telah berhasil mendesak kedua lawannya. Penguasa
Gunung Mambang yang kembali mempergunakan ju-
rus 'Memburu Gunung Mambang' pun harus goyah ke-
tika berkali-kali kakinya tersabet rotan kecil berkekuatan dahsyat milik Nenek
Rotan Maut. Sementara
meskipun beberapa kali tubuhnya digedor tendangan
dan pukulan maut Nenek Rotan Maut, Tri darma ma-
sih memperlihatkan kelincahannya.
"Dia sudah aman, Nek! Minggir, aku minta Tri
darma untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
atas penghinaan yang dilakukan terhadap eyang
buyutku!" ujar Andika, ketika berada di samping Nenek Rotan Maut.
"Terserah mana yang kau pilih! Toh dua-
duanya akan kubikin mampus!" seru Nenek Rotan
Maut. Penguasa Gunung Mambang menjadi pias keti-
ka Nenek Rotan Maut mencecarnya. Kalau tadi saja
sudah tidak mampu menahan serangan dari Nenek Ro-
tan Maut bersama Tri darma, apalagi kini sendirian.
Serbuan-serbuan berbahaya yang dilancarkan
Nenek Rotan Maut yang sambil terbahak-bahak itu
benar-benar membuat lelaki berkalung tengkorak itu
harus jatuh bangun. Rotan kecil di tangan si nenek
memang bukan senjata sembarangan. Karena setiap
kali dikebutkan, tercipta sambaran angin kencang ke
arah Penguasa Gunung Mambang.
Di tempat lain Tri darma merasa mendapat an-
gin menghadapi Pendekar Slebor. Amarahnya pun di-
lampiaskan pada Pendekar Slebor karena tadi sempat
didesak Nenek Rotan Maut.
Tetapi, Pendekar Slebor pun sudah dirasuki
kemarahannya. Untuk serangan pembuka, Andika tak
mau ambil akibat terlalu banyak. Dia memang telah
mengenal Tri darma, tapi siapa tahu kesaktiannya telah bertambah.
Pendekar Slebor berkelebat terus untuk memu-
singkan lawan. Sedang Tri darma sendiri berusaha
menyerang pula dengan pukulan 'Sinar Keemasan'.
Namun serangan itu kini tak banyak berarti, karena
Andika bergerak laksana kilat.
Tri darma memaki-maki melihat serangannya
tak ada yang berhasil. Namun begitu mendapatkan ke-
sempatan, dia langsung menyerbu masuk.
Andika yang sudah merangkum ajian 'Guntur
Selaksa' pun segera menyongsong dengan tak kalah
hebat. Dagghh...!
Benturan tangan bertenaga dahsyat barusan
sudah pasti akan mengakibatkan kedahsyatan tak ka-
lah menggiriskan. Tubuh Andika kontan terpental be-
berapa tombak dengan mulut mengalirkan darah. Tri
darma sendiri mengalami akibat yang lebih parah. Tu-
buhnya sempoyongan kehilangan keseimbangan.
Melihat hal itu, dengan cepat Andika mengem-
pos tubuhnya ke arah Tri darma.
Set! Set! Namun mendadak saja, Pendekar Slebor harus
melompat ke samping karena tiga larik sinar berwarna keemasan menghalangi
serangannya. Dan kesempatan
itu dipergunakan Tri darma untuk meloloskan diri.
"Pendekar Slebor.... Hari ini aku mengaku ka-
lah! Tetapi lain kali, aku akan datang untuk membu-
nuhmu!" Terdengar suara Tri darma dari kejauhan.
Bukannya Andika tak mau mengejar. Mengin-
gat keadaannya sendiri yang cukup parah, membuat
langkahnya tertahan.
"Keparat kerempeng! Kau berhasil lolos lagi hari ini! Tetapi, suatu saat kau
akan kuremas-remas!" desis Andika hampir tanpa suara. Perhatian Pendekar Slebor
beralih pada Nenek Rotan Maut yang tengah mendesak
hebat Penguasa Gunung Mambang.


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah lelaki tinggi besar itu benar-benar sudah
pias. Keringat pun telah mengalir di tubuhnya. Dia benar-benar tak mampu
menghadapi Nenek Rotan Maut
yang berkelebat bagai setan, dan memiliki tenaga tiga orang raksasa. Pohon-pohon
telah tumbang akibat ki-basan rotan kecilnya.
Berkali-kali anggota tubuh lelaki itu terkena
sabetan rotan kecil di tangan Nenek Rotan Maut. Aki-
batnya keadaannya bagaikan mau pingsan. Tubuhnya
sudah limbung ke sana kemari dengan keseimbangan
semakin hilang. Tenaganya telah terkuras.
"Hhh! Capek aku begini terus! Mampuslah
kau!" Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut melemparkan
rotannya yang meluncur deras ke arah Penguasa Gu-
nung Mambang. Wusss! Dengan sentakan terkejut Penguasa Gunung
Mambang melempar dirinya ke samping. Namun sesu-
atu yang mengejutkan terjadi. Bagaikan memiliki mata, rotan itu terus meluncur
ke arahnya. Plok! Plok! Plok!
Pendekar Slebor bertepuk tangan. Bukan seka-
dar hendak memuji, tapi lebih dari itu dia tengah me-nertawakan Penguasa Gunung
Mambang. Paling tidak
biar kemarahan lelaki itu meledak. Rasain!
Sementara itu Penguasa Gunung Mambang
hanya mengeluarkan suara dengusan keras. Dan se-
saat kemudian. Cras! "Aaa...!"
Terdengar lolongan kematian dari mulut lelaki
berkalung tengkorak itu. Kedua matanya melotot lebih lebar, karena rotan milik
Nenek Rotan Maut telah menancap tepat di jantungnya. Tubuhnya pun ambruk
bersimbah darah.
"Yaaa... kok cuma sebentar saja pertunjukan-
mu itu?" kata Pendekar Slebor, kecewa. Pendekar Slebor tadi telah mengaliri
tenaga dalam ke tubuhnya gu-na mengusir rasa sakit yang dirasakannya akibat ber-
benturan dengan Tri darma tadi.
Nenek Rotan Maut mendengus, lalu mendekati
mayat Penguasa Gunung Mambang. Dicabutnya rotan
dari tubuh yang telah kaku itu. Lalu dihapusnya darah yang menempel di ujungnya
dengan sikap jijik.
"Hih! Bisa kena penyakit aku!"
Pendekar Slebor tertawa-tawa.
"Apa kau bukannya penyakitan, Nek?" usik Andika. "Diam! Di mana muridku itu"!"
bentak si nenek.
"Aman, Nek. Dia aman."
"Andika! Ceritakan tentang Tri darma," pinta Nenek Rotan Maut
Andika pun bercerita tentang siapa Tri darma.
Sedangkan kedua tangannya, mengepal.
"Kalau hari ini aku gagal lagi membunuhnya,
suatu saat dia akan merasakan kematian yang lebih
pedih," desis Andika, mengakhiri ceritanya.
"Antar aku ke tempat muridku."
"Beres, beres."
Andika membawa Nenek Rotan Maut menemui
Ranjani yang disembunyikan di tempat aman
Pendekar Slebor berdiri di samping Nenek Ro-
tan Maut. Sementara si nenek mendesah panjang me-
lihat bagaimana Ranjani masih dalam keadaan ping-
san. Perempuan bau tanah ini berjongkok sambil me-
nyampirkan kain batiknya ke belakang. Dipegangnya
bagian-bagian tubuh Ranjani.
"Hmmm.... Boleh juga cara kau mengobatinya,
Bor," puji si nenek.
"Siapa dulu dong orangnya?" tukas Pendekar Slebor, sambil membusungkan dada dan
menepak-nepaknya.
Si nenek berdiri. Lalu....
Plak! "Sial! Kenapa kau menampar kepalaku, Nek?"
dengus Andika sambil mengusap-usap kepalanya.
"Biar kau tidak sok tahu. Nah! Sekarang ini,
urusan Ranjani menjadi urusanmu."
"Mana bisa begitu?"
"Heh"! Apakah kau ingin mampus seperti Pen-
guasa Gunung Mambang?" Andika nyengir.
"Aku terlalu ganteng untuk mati seperti Pengu-
asa Gunung Mambang,"' sahut Pendekar Slebor en-teng. Tangan Nenek Rotan Maut
mengeprak kepala
Andika. "Dasar urakan! Sok cakep! Apa kau pikir muridku mau denganmu, hah"! Aku
akan meninggalkan-
mu! Tolong beri apa yang diinginkan! Sampaikan sa-
lamku padanya!"
"Ya, sudah! Pergi saja Sana. Aku bosan melihat
tampang kusut mu!"
"Sialan!"
Tubuh Nenek Rotan Maut pun berkelebat le-
nyap secepat angin.
Andika menghela napas panjang. Ditatapnya
wajah Ranjani yang masih terkulai pingsan. Ah, betapa beratnya penderitaan yang
dialami gadis ini.
Andika bersyukur, karena telah berhasil meno-
long Ranjani dari belenggu yang sangat menyiksa. Lalu perlahan-lahan tubuhnya
direbahkan di sisi tubuh
Ranjani yang masih pingsan. Tiba-tiba, dia merasakan kepenatan luar biasa.
Tanpa terasa, kedua mata Andika pun terpe-
jam. Lalu terdengar dengkurannya yang sempat men-
gagetkan sepasang kelinci yang tengah bermesraan.
Kebluk juga, itu pendekar!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 8 Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan Lembah Nirmala 19
^