Pulau Kera 1
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera Bagian 1
PULAU KERA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Pulau Kera 128 hal. 1 Di kaki Gunung Tengger, saat itu terlihat seo-
rang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri.
Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping
karena memiliki hidung yang mancung membentuk
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil merah matang, juga karena
matanya berbulu lebat dan
lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak me-
nyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang ter-
gurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang me-
nanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-
ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-
hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike-
pang, berayun-ayun di sisi pedang yang diletakkan di belakang punggung.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-
da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-
merahan. Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan ba-
ginya. Hanya karena ada satu hal penting yang mesti
diurusnya, mau tak mau dia melakukan juga hal itu.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan
terlihat seseorang berjalan menuju dirinya. Tak ter-
lihat tanda-tanda kalau dia sedang tergesa. Untuk seorang yang sedang ditunggu,
cara berjalan orang ini tergolong begitu santai. Padahal orang yang menunggu
tentunya sudah begitu menghendaki dia tiba secepat-
nya. Dari kejauhan, terdengar senandung ngalor-
ngidulnya. Entah apa yang sedang dilantunkan. Terla-
lu sumbang untuk dikatakan merdu. Cuma dari liri-
kannya, bisa disimak kedalaman hikmah kehidupan
dari orang satu ini.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Setibanya di dekat si wanita, lelaki yang ternya-
ta seorang pemuda tampan berambut panjang sebatas
bahu, berpakaian hijau-hijau itu mendapati gelengan
kepala. "Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur pemuda tadi. "Tak suka aku sedikit
menghibur diri?" lanjutnya dengan bibir mencibir.
Menanggapi teguran tak nyaman barusan, si
wanita tak kalah mencibir. Bahkan nyaris cemberut.
Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-
mu di sini" Setengah harian! Selama itu, aku digarang matahari Lalu kau datang
seenaknya dengan berse-nandung seperti itu" Bayangkan"!"
"Sebentar aku bayangkan...," sahut si pemuda seraya mendaratkan jari telunjuknya
ke kening. Wajahnya berubah kebodohan.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Huh" Kenapa huh"!"
"Aku jengkel tahu!"
"Kenapa jengkel" Aku tidak...," tukas si pemuda lagi, tanpa perasaan bersalah.
Wajahnya makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya wanita
muda tadi berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan
mimik wajah pemuda di depannya.
"Andika... Andika.... Kenapa kau tidak pernah
berubah dari dulu...," katanya terseret tawa tertahan.
Bibir mungil ranumnya didekap.
Pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu men-
jadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dam-
pratan habis-habisan karena sudah terlambat datang.
Bukan cuma terlambat malah. Masa' iya sekadar ter-
lambat sampai setengah hari. Sampai membuat wanita
yang menunggunya hampir kering terjemur" Keterla-
luan. "He he he!" Andika ikut tertawa.
"Diam!" bentak si wanita. "Aku tertawa bukan berarti kejengkelanku padamu
hilang." Lalu.... Duk! Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-
cumbu hidung Pendekar Slebor. Anak muda itu merin-
gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-
dungnya yang berdenyut-denyut.
Andika ingin memprotes kesewenang-wenangan
wanita tadi. Dia memang terlambat. Tapi kalau main
jotos sembarangan itu urusan lain! Mulutnya baru
hendak melancarkan gempuran. Sayang, kalah cepat
dengan 'gempuran' wanita di depannya. Pemuda itu ti-
ba-tiba saja dirangkul erat-erat.
"Biar bagaimanapun, aku tetap rindu padamu,
Andika...," ujar perempuan tadi mendayu seraya
menggoyang-goyangkan tubuh Andika.
Pendekar Slebor mendelik. Ada sepasang benda
padat menggelitiki dada bidangnya! Dia makin membe-
lalak lagi ketika bibir tipis memerah si perempuan
memagut bibirnya sepanas gejolak lahar.
"Mhfff..., aufhh..., fuafhhh!" Pendekar Slebor ge-lagapan.
Usai membuat pendekar muda itu nyaris kehi-
langan napas, perempuan berwajah cantik namun
agak judes tadi menarik pergelangan tangan Pendekar
Slebor. "Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Pendekar Slebor sudah seperti sapi ompong, di-
ikutinya saja tarikan tangan perempuan itu. Seper-
tinya dia baru saja mengalami guncangan batin! Gun-
cangan yang sedap, tentu.....
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian pu-
tih ini ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat semula.
Di sana tertambat dua ekor kuda hitam jantan
pada sebongkah batu besar. Dari beban di punggung
kedua hewan itu, Andika menyimpulkan kalau wanita
yang mengundangnya ke tempat ini berencana mela-
kukan perjalanan jauh.
"Kau minggat dari istana ayahmu," tanya Andika usil. "Justru Ayahanda yang
memintaku melakukan ini," sahut si wanita sungguh-sungguh, tak berniat
menanggapi gurauan Pendekar Slebor.
"Beliau menyuruhmu melakukan apa?"
Tak ada jawaban segera atas pertanyaan Andi-
ka barusan. Wanita yang dikuntitnya terus mendekati
seekor kuda. Dari balik tas beban besar di punggung
kuda, wanita muda yang terpaut usia lebih tua bebe-
rapa tahun dari Andika itu mengeluarkan gulungan
kulit binatang sepanjang lengan. Warna kusam-suram
benda itu menandakan kalau usianya sudah tua. Di-
perkirakan lebih dari tiga ratus tahun.
Di depan Pendekar Slebor, gulungan kulit tadi
dibentangkan. "Lihatlah...," kata si wanita.
Andika membuka mata jelas-jelas. Di atas per-
mukaan lembar kulit tua itu, samar-samar dilihatnya
semacam peta kuno. Guratnya sudah mengabur. Na-
mun masih cukup jelas untuk diteliti. Tepat di tengah-tengah gambar mata Andika
terpancing sebaris huruf
Jawa Kuno. "Pulau Kera?" Pendekar Slebor mengeja.
"Ya, Pulau Kera. Aku memintamu datang agar
kau mau mengantarku ke sana.
*** Siapa sebenarnya wanita yang telah berhasil
mengundang si pendekar muda angin-anginan untuk
datang menemuinya"
Andika sesungguhnya sudah mengenal wanita
itu cukup lama. Tepatnya sejak dia mulai terjun ke gejolak dunia persilatan
untuk pertama kali. Nama wani-ta itu adalah Purwasih. Dia seorang anak raja yang
masih berhubungan keluarga jauh dengan Andika.
(Untuk mengetahui lebih jelas tantang tokoh wanita
ini, bacalah episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara"!) Sebagai seorang
salah seorang warga dunia persilatan, perempuan itu dikenal dengan julu-kan Naga
Wanita, pendekar yang selalu membawa pe-
dang besar bergagang kepala naga di punggungnya.
Sekitar sepekan lalu, seorang utusannya da-
tang menemui Pendekar Slebor. Prajurit istana itu
memberikan Andika surat yang ditandatangani Purwa-
sih. Purwasih meminta anak muda itu untuk datang
ke kaki Gunung Tengger.
Andika sebenarnya agak malas memenuhi per-
mintaan Purwasih. Bagaimanapun anak muda itu tahu
sifat Purwasih. Menghadapi wanita seperti dia, bagi
Andika sama saja menemani sekumpulan bu-rung Cu-
carawa. Cerewet. Bikin pusing. Menyebalkan. Andika
yang sebenarnya tergolong bermulut bawel saja masih
tak tahan menghadapinya. Mana judesnya tak terto-
long. Hanya karena Purwasih mengatakan tentang
suatu hal penting, Andika mau juga menemuinya. Di
samping itu, si anak muda sakti dari Lembah Kutukan
memang sudah cukup rindu dengan Purwasih. Sece-
rewet-cerewetnya dia, sejudes-judesnya dia, Andika tetap harus mengakui Purwasih
memiliki kenangan ma-
nis bersama wanita itu dalam masa perjuangan perda-
nanya dulu. Di pihak Purwasih sendiri, tugas dari ayahan-
danya disambut dengan kegembiraan. Bukan cuma hal
itu akan memuaskan jiwa petualang dan semangat ke-
pendekarannya. Lebih dari itu dia akan bertemu kem-
bali dengan Andika alias Pendekar Slebor, pemuda
yang sejak dulu membuat gemas hatinya.
Padahal ayahandanya justru tak pernah men-
ganggap main-main tugas yang diembankan kepada
putri tunggalnya ini. Kalau bisa, malah lelaki itu ingin menugaskan orang lain
saja. Patih istana misalnya.
Tapi, raja penuh wibawa itu tak bisa memilih selain
Purwasih. Karena cuma Purwasih yang bisa menjalan-
kan tugas itu. Namun sampai saat keberangkatan
Purwasih, dia tak pernah diberi tahu alasan ayahan-
danya memilih dia.
"Kau harus hati-hati, Anakku!" cuma pesan itu yang disampaikan ayahandanya pada
Purwasih. Dengan wajah yang mencoba menyembunyikan kekhawati-
ran di balik kewibawaannya. Purwasih tak begitu
mempedulikan. Pokoknya, dia bisa bertemu kembali
dengan Andika! *** Saat itu keduanya sudah berangkat menuju Pe-
sisir Pantai Selatan dengan menggunakan dua ekor
kuda jantan hitam yang telah dipersiapkan. Renca-
nanya di sana mereka akan berangkat dari satu der-
maga kecil. Salah seorang patih istana telah diutus untuk menyiapkan kapal layar
kecil, kendaraan yang di-
gunakan hanya oleh Pendekar Slebor dan Purwasih
untuk menuju Pulau Kera.
Angin keras mendadak melintas cepat di sisi ki-
ri kuda Purwasih. Hewan tunggangannya meringkik-
ringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depannya
terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan
tubuh Purwasih sejauh mungkin. Wanita bertubuh tak
terlalu tinggi itu terlonjak-lonjak di atasnya. Untuk beberapa hentakan punggung
kuda, dia nyaris terlempar.
Untung saja kesigapan tangannya mencengkeram tali
kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Kuda pemuda di sebelahnya menyuruk ke
samping. Kaki binatang itu bergerak-gerak gelisah. Kalau tak segera ditenangkan
Pendekar Slebor, tentu binatang itu pun akan turut panik.
Andika baru hendak melompat dari punggung
kuda untuk menolong Purwasih. Namun tampaknya
pendekar wanita itu sudah sanggup menenangkan
tunggangannya kembali. Dengan sedikit usapan-
usapan pada lehernya, kuda hitam tersebut akhirnya
tak lagi menyentak-nyentakkan kaki depan. Meskipun
keadaannya masih sedikit gelisah.
"Ada apa?" aju Andika, tak mengerti pada apa
yang sesungguhnya terjadi.
"Angin telah mengejutkannya," sahut Purwasih.
Nafasnya masih turun-naik tak teratur. Dibenarkan-
nya letak duduk setelah sebelumnya sudah tersudut
ke belakang pelana.
"Angin" Angin apa" Aku tak mengerti. Aku tak
merasakan ada angin melintas. Kalaupun ada, aku tak
yakin dapat membuat kuda itu menjadi liar seperti
itu," tukas Pendekar Slebor.
"Tapi aku merasakannya, Andika. Angin itu
bergerak cepat di sisi kiri kuda ini!" ujar Purwasih bersikeras. Andika curiga
ada seseorang yang hendak usil pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu,
dilepas pandangannya ke sekeliling mereka. Tidak ada
apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya
ada bentangan pasir yang menyapu rata hingga ke
puncak Gunung Tengger. Selain itu, hanya ada gerom-
bolan-gerombolan rerumputan liar.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yakin semuanya beres, anak muda itu men-
ganggap perkataan Purwasih tidak keliru. Mungkin
ada angin yang terlalu keras mengejutkan kuda tung-
gangannya. Sementara Andika sendiri mungkin tak be-
gitu menyadari.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu ke Pulau Kera ini?" tanya Andika pada Purwasih setelah beberapa
jauh berlalu. "Ada satu benda milik kerajaan yang harus
kuambil." "Benda rahasia apa?"
"Ayahanda ku tak pernah memberi tahu."
"Aneh...."
"Menurutku juga begitu."
"Kau pernah mencoba bertanya?" kejar Andika, penasaran.
Purwasih mengedikkan bahu.
"Ya, aku pernah mencoba. Tapi Ayahanda tam-
paknya hendak merahasiakan."
Rasa penasaran Pendekar Slebor makin mem-
bengkak. Keingintahuannya akan sesuatu memang be-
sar. Itu salah satu sifat khasnya sejak menjadi gelandangan di kotapraja sewaktu
kecil dulu. Dan itu pula yang menyebabkan otaknya menjadi terlatih.
Jika sesuatu dirahasiakan, biasanya karena
ada hal teramat penting terkandung di dalamnya, pikir anak muda berotak seencer
bubur bayi itu.
"Coba aku lihat lagi peta kulit itu," pinta anak muda itu.
Purwasih berusaha mengeluarkan kembali
benda yang diminta Andika dari dalam kantong di sisi kuda. Tangannya meraba-raba
sejenak, sampai akhirnya wajah mungil nan jelita wanita itu berubah. Garis-garis
parasnya menegang. Sedang warna ronanya me-
mucat sebentar, dan sebentar kemudian menjadi amat
memerah. "Hilang... benda itu hilang!" serunya hampir memekik. Kepanikan melandanya.
Sudah terbayang di
benaknya saat itu bagaimana ayahandanya nanti de-
mikian murka. Bagi Purwasih, kemurkaan lelaki itu lebih menakutkan ketimbang
amukan angin topan!
"Bagaimana mungkin bisa hilang?" lengak Pendekar Slebor. "Bukankah belum lama
tadi kau baru sa-ja menyimpannya kembali?"
"Aku juga tidak tahu!" hardik Purwasih, kesal.
Tak lama Pendekar Slebor menyadari sesuatu.
Dan mungkin itu telah terlambat. Dia ingat kejadian
sebelumnya, angin yang tiba-tiba berhembus hanya
melewati sisi kuda Purwasih. Tentu itu bukan sekadar angin biasa, melainkan
sapuan dari gerak teramat cepat seseorang yang telah merampas peta kulit dari
kantong di sisi kuda. Yang tak habis pikir bagi Andika, bagaimana mungkin orang
itu dapat bergerak demikian hebat. Sementara dia sendiri, pendekar muda
yang sering digembar-gemborkan kalangan dunia per-
silatan sebagai siluman dalam hal kecepatan gerak,
merasa tak cukup sanggup melakukannya. Terlebih la-
gi, Purwasih tak merasakan kantong di kudanya dija-
rah tangan seseorang.
Siapa yang akan dihadapi sesungguhnya"
2 Hanya berbatas bukit di sebelah tempat Pende-
kar Slebor dan Purwasih berhenti, seorang kakek du-
duk beruncang-uncang kaki di atas sebatang pohon
tumbang. Wajahnya demikian tua. Kerut-merut terlalu
meramaikan hampir sekujur wajah tua bangka itu.
Kumis dan jenggot putihnya memanjang sampai dada.
Rambutnya agak panjang, putih seperti juga jenggot-
nya, serta sama sekali tak tertata. Pakaiannya putih.
Tapi warnanya sudah demikian kacau-balau. Di sana-
sini kainnya sudah koyak-moyak. Dekilnya pun minta
tobat. Barangkali air rendamannya bisa untuk mera-
cuni kerbau satu kandang!
Tangan orang tua ini asik menimang-nimang
gulungan kulit hewan. Benda itulah yang telah dicu-rinya dari kantong pelana
kuda Purwasih. "Dasar dua anak muda tak punya otak! Masa'
bisa dikerjai orang jompo seperti aku begitu gampang.
Wuh, bikin malu saja!" gerutunya seraya bangkit.
Sejenak dia mondar-mandir di tempat. Tangan-
nya disilangkan di belakang punggung.
"Bagaimana mungkin aku mempercayakan
urusan besar seperti ini pada mereka?" gerutunya le-
bih jauh. Wajahnya jadi demikian kusam. Lebih kusam
dari jubah yang dikenakannya.
Dia berhenti melangkah. Alis putihnya mengke-
rut ketat. "Bisa berabe urusannya kalau mereka melan-
jutkan usaha itu. Tapi, memang cuma anak gadis si
Bratasena itu yang bisa melaksanakan tugas berat ini.
Jadi bagaimana, ya" Sialan, kenapa aku jadi dibikin
pusing sendiri!"
Langkahnya mulai terayun kembali. Seperti se-
belumnya, lelaki tua yang tetap bergerak gagah meski usianya dapat ditaksir
sudah lebih dari seratus tahun itu mondar-mandir kembali di tempat. Gayanya tak
kurang meyakinkan dari mandor kerupuk!
"Aku ada akal bulus, eh maksudku ada akal
bagus!" serunya mendadak. "Mereka tetap akan kuper-cayakan untuk melaksanakan
tugas berat ini. Tapi,
untuk itu mereka harus menjalani dulu semacam go-
dokan kecil dariku. Godokan kecil, he he he... aku su-ka kata itu! Biar mereka
sedikit kubikin kalang-kabut!"
Selesai menertawai sesuatu yang hanya dimen-
gerti dirinya sendiri, orangtua uzur itu bergerak amat cepat. Tempat itu
seketika sunyi. Tak ada lagi geru-tuannya. Tak ada lagi sosok keropos tadi. Si
orangtua hilang seperti siluman telat buang hajat!
*** Sementara itu, Pendekar Slebor dan Purwasih
alias si Naga Wanita, masih belum bisa menduga siapa yang telah mencuri gulungan
peta kulit dari kantong
pelana kuda tunggangan Purwasih.
Andika sudah mulai meruntunkan caci-maki
'sakti'nya. Dongkol bukan main hati anak muda itu
mengetahui dirinya telah dipermainkan seseorang. Dia merasa dilecehkan begitu
rupa. Purwasih bukannya tak dongkol. Lebih dari itu,
sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana pera-
saannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak ka-
ruan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita
itu pun turut tak karuan. Inginnya dia meloloskan pedang besarnya dari punggung
dan merencah-rencah
apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.
"Manusia keparat mana yang telah berani men-
curi gulungan peta kulit rahasia milik ayahandaku!"
geramnya. "Aku tak tahu seberapa berharganya benda itu bagi Ayahanda, tapi aku
yakin...."
"Sssttt!"
Kedongkolan Purwasih dijegal desis mulut Pen-
dekar Slebor. Mata anak muda itu menatapnya tanpa
berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati Purwasih. Perempuan yang semula
sedang meruntunkan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini men-
coba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya
terlaksana, selantun suara amat tajam mendadak ter-
cipta, menyeruak angkasa, dan menerjang gendang te-
linga kedua muda-mudi itu telak-telak.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Andika terperanjat. Bukankah itu senandung
yang dinyanyikannya ketika hendak menemui Purwa-
sih" Kalau begitu, tentunya orang usil ini telah mengi-
kuti mereka sejak awal. Bagaimana dia sampai tidak
menyadarinya" Anak muda itu tak sempat memper-
panjang keheranan, karena gendang telinganya sudah
terasa hendak terkoyak. Cepat didekapnya telinga dengan kedua tangan.
Bukan cuma Pendekar Slebor yang merasakan
hal itu. Purwasih di sebelahnya pun merasakan hal
yang sama. Bahkan dia merasakan siksaan rasa sakit
yang lebih parah dari Andika. Penyebabnya mungkin
karena tingkat tenaga dalamnya berada beberapa ting-
kat di bawah tenaga dalam Pendekar Slebor.
Andika sungguh mampus menerima perlakuan
seperti itu. Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-
ubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap
telinga, dikerahkannya tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan,
ke saluran napas di tenggorokan.
"Berhentiii!" teriakan mengguntur keluar dari pita suara anak muda itu, bagai
hendak menggempur
langit! Tak ada lain yang hendak diperbuat Pendekar Slebor dengan teriakan tadi,
kecuali melawan suara
senandung berkekuatan tenaga dalam amat tinggi mi-
lik si orang usil. Andika berharap, cukup dengan mengerahkan tenaga sakti
tingkat ke sepuluhnya, seran-
gan suara senandung tadi bakal lantak seketika.
Dugaannya meleset sama sekali! Suara senan-
dung yang melantunkan lirik milik Pendekar Slebor
ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya tak sedikit pun
berkurang. Ini benar-benar mengejutkan Pendekar Slebor,
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh.
Sekali lagi, Pendekar Slebor mencoba menge-
rahkan tenaga saktinya. Dari tingkat sepuluh pada
permulaan menuju pengerahan tingkat ke lima belas.
Pada tingkat itu tenaga saktinya sudah menjelang ke-
kuatan puncak. Jarang orang persilatan dapat menan-
dingi kekuatan sakti Pendekar Slebor pada tingkat demikian. Saat bersamaan, si
Naga Wanita pun hendak
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah
Andika membutuhkan bantuannya atau tidak, Purwa-
sih merasa harus melawan serangan suara lawan yang
membuat gendang telinganya nyaris pecah. Maka....
"Heaaa!"
Berbarengan dua teriakan terlepas dari dua ke-
rongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke
tingkat puncak.
Namun, apa hasilnya" Senandung tadi tetap
tak berubah! "Kunyuk buduk bau pesing...," desis Pendekar Slebor seraya meringis menahan
sakit luar biasa yang mulai menjalar ke bagian saraf-saraf di kepalanya.
Keadaan itu membuat tubuhnya mulai terasa lemas.
Otot-otot kenyalnya seperti digerogoti dari dalam.
Sementara itu, si Naga Wanita malah tak kuat
lagi menahan rasukan tenaga suara lawan ke segenap
jaringan sarafnya. Pertahanan tubuhnya kehilangan
kendali. Tak lama, tubuh perempuan itu sudah me-
lorot dari pelana. Jatuh meninju tanah dengan keras.
Anehnya, kalau kedua muda-mudi itu menga-
lami akibat yang cukup parah atas serangan suara
berkekuatan tenaga dalam tinggi tadi, dua ekor kuda
tunggangan mereka justru seperti tak merasakan apa
pun. Keduanya tenang-tenang saja. Seperti tak terjadi apa-apa, dua hewan itu
malah asyik memamah makanan dari perut mereka.
Meski keadaannya demikian sulit, Pendekar
Slebor masih sempat memperhatikan hal itu. Kini, si
pendekar muda dari Lembah Kutukan makin menya-
dari siapa yang tengah dihadapinya. Bukan suatu ker-
ja yang mudah bahkan untuk seorang datuk persilatan
sekalipun melakukan serangan dengan tenaga sakti
hanya ditujukan untuk korbannya!
Jadi, siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi
kini" Hati Pendekar Slebor menggerutu.
Namun karena kekhwatirannya pada Purwasih,
menyebabkan Pendekar Slebor tidak begitu mempedu-
likan tanda tanya di hatinya.
"Purwasih! Kau tak apa-apa"!" teriaknya, mencoba menyaingi suara lawan agar
teriakannya bisa di-
tangkap telinga Purwasih.
Tak ada jawaban. Purwasih tetap tergeletak tak
bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan
diri lagi. "Kutu busuk, kunyuk, bangsat, kuda nil! Kalau
sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan kuren-
cah-rencah dagingmu!" umbar Pendekar Slebor, sarat kemurkaan.
Senandung mendadak terhenti. Bukan karena
kekuatan teriakan anak muda itu telah mempecun-
dangi kekuatan suara tadi, melainkan si pemilik suara senandung rupanya memang
sudah bosan dengan
mainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-
da dirinya?"
Terdengar sebentuk suara yang dikenali Andika
sebagai suara orang usil tadi. Dari warna suaranya,
Andika menilai kalau orang yang sedang berurusan
dengannya adalah seorang tua bangka.
Pendekar Slebor menurunkan tangan dari te-
linganya. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga dalam tingkat
tinggi. Hanya suara jarak jauh
yang lebih bersahabat.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya"!"
hardik Andika, tak kekurangan kegeraman.
Jawabannya cuma kekeh tawa.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara
tawa jelekmu itu!"
Lagi-lagi terdengar kekeh berat.
"Dasar anak muda sial! Rupanya kau selalu tak
mau tahu sedang berurusan dengan siapa, heh"!"
"Ya, siapa kau tempe bongkrek"! Bukankah itu
yang memang kutanyakan tadi padamuuuu!" Pendekar Slebor makin dibuat kalap. Urat
lehernya sampai nyaris putus karena begitu geram berteriak. Matanya me-
lotot-lotot. Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan,
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya sudah seperti orang cacingan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak
terduga-duga, bahkan oleh Pendekar Slebor sendiri.
Seorang lelaki tua tiba-tiba sudah duduk berongkang
kaki tepat di atas kuda yang ditunggangi Purwasih sebelumnya. Orang tua itu yang
telah mencuri gulungan
peta kulit dari kantong pelana.
"Hooii, keluar kau! Jangan hanya bisa main
sembunyi-sembunyian seperti anak kecil, Tua Bang-
ka!" ledak Pendekar Slebor tidak puas-puasnya. Tak disadarinya sama sekali kalau
orang yang dimaksud
malah sudah berada tepat di sampingnya.
Orang tua tadi lama-kelamaan menjadi dongkol
juga menyaksikan Pendekar Slebor terus saja berte-
riak-teriak tak karuan. Digerakkan tangan kanannya
amat ringan ke belakang kepala si anak muda.
Plak! Andika tersentak bukan alang kepalang. Bukan
kerasnya tamparan telapak tangan di belakang kepa-
lanya yang membuat dia begitu. Cuma, dia tak pernah
menyangka tahu-tahu saja ada pukulan mendarat. Pa-
dahal, telinga terlatihnya sama sekali tak menangkap
adanya angin pukulan berseliwer. Padahal pula, telinga pendekar muda urakan itu
bisa menangkap gerak seekor nyamuk dari jarak lima tombak.
"Wait, siapa kau"!"
Pendekar Slebor lantas melompat turun dari
atas punggung kuda. Hinggap di tanah, dan langsung
mencak-mencak. Namun begitu melihat siapa orang
barusan, seketika itu juga parasnya kecut. Warna mu-
ka yang semula merah, berubah memucat, lalu meme-
rah lagi, lalu memucat lagi
"Kenapa kau memelototi aku seperti itu, Bocah
Sial! Apa kau tak suka bertemu aku"!" bentak si orang tua mendapati mata
Pendekar Slebor mendelik ke
arahnya. Andika mengusap-usap mata, berkali-kali. Tak
bisa dipercaya apa yang dilihatnya kini.
"Aku pasti sedang mimpi...," gumamnya. "Pasti sedang mimpi... Atau barangkali
aku kurang tidur se-malam?"
Bagaimana anak muda itu bisa percaya pada
penglihatan sendiri, kalau lelaki tua yang dilihatnya kini adalah buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan.
Seorang tokoh dedengkot golongan putih yang sudah
menjadi legenda orang-orang persilatan.
Dulu. ketika untuk pertama kali sekaligus yang
terakhir kali bertemu dengannya di Lembah Kutukan,
buyutnya itu menemui ajal di sana. Dan Andika pula
yang menguburkannya (Baca kisahnya pada episode :
"Dendam Dan Asmara"). Kalau sekarang lelaki bernama Ki Saptacakra itu muncul
kembali tepat di depan-
nya, apa tak mungkin dia sedang bermimpi" Atau bisa
jadi anak muda itu sedang berhadapan dengan han-
tunya" Andika megap-megap. Sikap yang lahir akibat
perasaan bingung, kekagetan, dan ketidakpercayaan
yang campur-aduk jadi satu.
"E-eh, sekarang malah megap-megap seperti
mujair begitu!" hardik si tua bangka kembali. Dipeloto-tinya anak muda itu
dengan mata kelabu tuanya.
"Ampun Mbah.... Apa buyutmu ini punya salah
sampai kau sendiri mesti datang langsung dari alam
kubur untuk menegurku?" ucap Pendekar Slebor terbata-bata.
"Kutukupret kau! Aku belum mati!"
"Sudah Mbah, Mbah sudah mati. Yakinlah.
Buyutmu ini telah berkata sejujurnya. Tak baik jadi
arwah penasaran, Mbah!"
"Belum!"
"Sumpah, Mbah.... Dulu aku yang mengubur-
kan Mbah, bukan?"
"Memangnya aku menyuruh kau untuk men-
guburkan aku?"
"Ya, kalau Mbah mati, mesti dikubur bukan?"
"E, bujubuneng! Kubilang aku belum mati! Kau
saja yang kelewat tolol menganggap aku sudah mati.
Pertama kali kau bertemu aku, kau menganggap aku
sudah mati. Padahal aku sedang bersemadi...."
"Sudah, Mbah...."
"Sial!"
Si tua Pendekar Lembah Kutukan makin jeng-
kel. Dulu pun dia pernah dianggap setan gentayangan
oleh anak muda ini di Lembah Kutukan. Masa sekali
saja tidak cukup" Benar-benar keterlaluan!
"Nih! Kalau kau tak percaya, cium telapak ka-
kiku!" Dengan gemas disorongkannya sebelah kaki yang berkerut dan berbau tujuh
puluh tujuh ekor siluman. Andika terbangkis-bangkis demi mencium
ujung jempol kaki si tua bangka. Kepalanya pening tu-
juh keliling. Perutnya mual, rasanya isi perutnya hendak jebol saat itu juga.
Tak lama kemudian, dia benar-benar muntah. Itu baru jempol kaki, bagaimana lagi
kalau telapaknya"
"Nah, sekarang kau bisa membedakan, apa bau
jempol kakiku seperti orang hidup atau seperti bau setan penasaran" Dasar anak
tengik!" "Ya Mbah..., tengik!" timpal Andika meringis sambil menunjuk jempol kaki Ki
Saptacakra 3 Di tepi Hutan Alas Roban, belantara perawan
yang tak terusik manusia di Ujung Kulon waktu itu,
enam sosok kecil bergerak lincah dari pohon ke pohon, dalam keremangan selimut
malam yang mulai menebar.
Sosok-sosok kecil itu terus bergerak teratur,
beriringan dalam jarak tak terlalu jauh. Melompat dari satu pohon ke pohon lain,
berayun gesit dari satu oyot ke oyot pohon lain, hinggap dan melompat...
bersalto dan memekik.... Semuanya bergerak menuju arah pasti, barat. Sepertinya
hendak memburu sisa cahaya sen-ja yang megap-megap tanpa daya.
"Nguik-nyit! Kak... kak.. kuik!" suara riuh rendah menyertai kegesitan enam
sosok kecil tadi. Me-
rangsak semak, menerjang kerimbunan.
Ketika sisa cahaya mentari menyapu sekujur
tubuh keenam sosok itu, menjadi jelaslah bentuk tu-
buh mereka. Mereka ternyata cuma enam ekor kera
hutan. Namun, untuk dikatakan 'sekadar kera', sebe-
narnya belum cukup tepat. Di samping karena warna
merah bulu mereka sungguh tidak lazim seperti kera
biasa, juga karena mereka bergerak demikian teratur,
seakan satu sama lain saling memahami pikiran mas-
ing-masing. Mereka memang bukan kera biasa. Bukan,
sama sekali bukan!
Ketika akhirnya keenam kera tersebut tiba di
batas Hutan Alas Roban, semuanya hinggap di tanah
kosong berumput liar. Dekat dengan sebuah pohon
randu besar tua berusia ratusan tahun, mereka ber-
kumpul membentuk lingkaran. Seperti juga gerak tera-
tur mereka, lingkaran itu pun terbentuk demikian teratur. Sekali lagi, itu
membuktikan mereka bukanlah sekadar kera biasa.
"Nyit... nyit!"
Salah satu kera seolah memberi aba-aba pada
lima ekor yang lain dengan lengkingan dan kibasan
tangannya. Kera yang lain lantas merapat, memperke-
cil lebar lingkaran. Lalu, tangan masing-masing kera berpagutan kuat, membentuk
rantai melingkar tak be-rujung-pangkal.
Kera yang sebelumnya memberi aba-aba kem-
bali memperdengarkan suara tingginya,
"Nyit-nguk!"
Menyusul pekik terakhir, keenam kera merah
itu menurunkan tubuh. Mereka duduk bersila dengan
cara manusia! Waktu beringsut bersama diamnya mereka se-
mua. Kelopak mata enam kera merah itu terbuka. Ti-
dak saling menatap, melainkan diarahkan pada pasat
lingkaran. Tanpa sekejap pun berkedip, mereka terus
memusatkan pandangan masing-masing.
Waktu tak peduli pada apa yang mereka kerja-
kan. Malam mengendap-endap.
Lewat delapan kali waktu penanakan nasi, bu-
lu-bulu merah mereka perlahan-lahan berpendar, me-
nyemburatkan warna-warna pelangi. Tata cahaya ter-
sebut memanjang dari sekujur tubuh mereka masing-
masing, meliuk-liuk membentuk pusaran halus, ke-
mudian saling memagut menjadi satu.
Begitu menyatu, ragam cahaya pelangi tadi be-
rubah seketika menjadi warna merah menyilaukan ma-
ta. Amat menyilaukan, bahkan sampai menelan tubuh
keenam kera merah.
Lama cahaya merah menyilaukan tadi meraja
bagai gumpalan bara raksasa di tengah-tengah kegela-
pan Hutan Alas Roban. Sampai akhirnya, cahaya ter-
sebut redup dan redup. Dari penyusutan besar cahaya
itu, muncullah enam kepala manusia! Ya, kepala ma-
nusia! Bukan lagi kepala enam ekor kera merah. Ma-
nakala cahaya merah menyilaukan tadi terus menyu-
sut menuju pusat lingkaran, wujud yang kini terlihat semakin jelas
memperlihatkan bentuk enam manusia!
Malam akhirnya benar-benar jatuh. Tak ada la-
gi sisa cahaya. Kegelapan benar-benar meraja. Awan
pekat beringsut-ingsut di angkasa. Begitu bertumbu-
kan satu dengan yang lain, gemuruh berat pun bergu-
liran di atas sana, dibuntuti kerjapan kilat. Kebetulan saat itu tanah Jawa
memang sedang dirundung musim
penghujan. Jauh dari kesunyian kaki Gunung Tengger, se-
kumpulan orang sedang duduk mengelilingi api un-
ggun besar. Ada sekitar empat orang lelaki dan dua
wanita. Semuanya duduk bersila. Wajah mereka ber-
pendar kemerahan digapai cahaya api unggun. Tak
seorang pun memperlihatkan wajah santai, karena me-
reka semua sedang membicarakan sesuatu yang tam-
paknya membutuhkan kesungguhan.
Empat lelaki di sana rata-rata berusia muda,
tak lebih dari tiga puluhan. Yang duduk di kepala lingkaran adalah pemuda
berparas garang. Kekokohan ra-
hangnya ditimpali dengan ketajaman garis matanya.
Belum lagi sepasang bentangan alis lebat dan kumis
tebal. Rambutnya pendek diikat kain lurik. Berpakaian warna gading. Dia bernama
Suntara. Di sebelah Suntara duduk bersila dua lelaki
Sugali dan Sugalu. Keduanya bersaudara. Meski tak
kembar, wajah dan perawakan keduanya benar-benar
serupa. Orang benar-benar sulit membedakan mereka
berdua. Mereka memiliki wajah yang berkesan lebih
muda dari usia sesungguhnya. Rambut mereka pan-
jang dikepang sebatas pinggang. Berpakaian serupa
pula, rompi hitam dan celana pangsi selutut.
Dibarisan selanjutnya, seorang lelaki lain du-
duk memainkan batang kayu api unggun yang me-
manjang ke dekatnya. Pemuda satu ini bertubuh agak
gempal. Mukanya bulat dan kelimis, sekelimis ram-
butnya yang berminyak. Dari keempat lelaki, dialah
yang paling berpakaian perlente, dengan baju koko
tebal dari katun mahal berwarna nila. Nama lelaki terakhir ini Buntaka.
Dua wanitanya lebih muda. Dari parasnya me-
reka di bawah usia tiga puluhan. Keduanya sama-
sama menarik dengan kelebihan daya tarik wajah mas-
ing-masing. Seorang yang berhidung mancung dan be-
rambut ikal sepanjang bahu bernama Wedari. Berpa-
kaian abu-abu ketat dengan selendang ungu panjang
melilit bagian kerah lehernya. Yang lain bermata amat bulat. Cempaka namanya.
Perempuan ini adalah saudara kembar Suntara. Berpakaian sederhana dengan
pakaian lelaki berwarna biru muda. Rambutnya ditata
pendek, hingga mirip lelaki jika dilihat sekilas.
Keenam orang itulah yang beberapa waktu lalu
menjalani perubahan wujud dari kera menjadi manu-
sia. Telah setengah abad lebih mereka menjelma men-
jadi enam ekor kera merah. Selama itu, mereka meng-
huni bagian paling rawan Hutan Alas Roban yang tak
terjamah manusia.
Jadi, akan sangat keliru bagi siapa pun jika
menilai usia mereka hanya dari raut wajah. Di balik
wajah berkesan muda keenam orang itu, sesungguh-
nya mereka sudah berusia cukup tua.
"Sudah Waktunya kita kembali ke Pulau Kera
untuk menghidupkan kembali perguruan kita, Kera
Merah, yang telah sekian puluh tahun musnah. Itu pe-
san Guru pada kita." Suntara angkat bicara.
"Benar, Kang! Kita harus membangkitkan kem-
bali perguruan kita dan membangun kekuatan kemba-
li! Kita harus buktikan pada dunia persilatan kalau
Perguruan Kera Merah belum musnah. Dan kita cari
pembunuh Guru untuk membayar nyawa Guru yang
telah disingkirkan!" Buntaka ambil bagian. Suaranya meletus-letus memendam bara
dendam. Lain Buntaka yang penuh gejolak, lain pula
Wedari. Wajah wanita ini tampak begitu murung. Men-
dung di atas langit seperti berpindah ke paras ayunya.
"Aku jadi sedih kalau mengingat keadaan Guru
waktu itu," ucapnya perlahan. "Bagaimana beliau sekarat dengan luka yang
demikian menyedihkan di
pangkuanku. Aku masih ingat darah kental hitam
mengalir dari mulutnya, membasahi jenggot putihnya.
Beliau tetap memikirkan kita pada saat itu, pada saat nyawanya sendiri sudah di
ujung tenggorokan.
Kau ingat Kang Suntara, tatapan terakhir Guru
pada kita semua" Ingat bagaimana mata kelabu itu
memancarkan kekhawatiran demikian besar pada na-
sib kita nanti. Tentunya beliau tak ingin kita menjadi korban tangan jahat
lelaki iblis itu...."
Yang lain mendengarkan. Dan sepertinya sedi-
kit ikut terhanyut oleh nada sendu ucapan Wedari.
"Benar kata Kang Buntaka, suatu hari kita ha-
rus membayar nyawa Guru! Lelaki iblis itu harus mati seperti cara Guru
menghadapi kematian! Harus men-
derita seperti penderitaan Guru!" geram Sugali dengan tatapan mata menghunus
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setajam sembilu ke arah tarian api unggun. Gerak api sepertinya membentuk
gambaran seseorang yang begitu dibencinya.
"Sudahlah.... Guru tentu tak ingin kita menjadi bermuram-durja. Sebaiknya kita
langsung membicarakan pesan terakhir Guru pada kita semua...," Suntara menyudahi
kemurungan yang mengurung.
Dari lipatan ikat pinggangnya, lelaki yang beru-
sia paling tua di antara mereka itu mengeluarkan lipatan kulit binatang yang
tampaknya telah disamak ber-
tahun-tahun lampau.
Dihamparkannya lembaran kulit tersebut di
tengah-tengah lingkaran, tetap di sisi api unggun. Nyala terang api unggun pun
memperjelas permukaan
lembaran kulit hewan berusia tua itu. Kini terlihatlah gambar sebuah peta.
Dan... gambar itu amat serupa
dengan milik Purwasih!
"Kalian tentu masih ingat, setengah abad lalu,
ketika Guru sedang sekarat beliau memberikan lemba-
ran peta ini pada kita. Pesan beliau, kita hanya boleh membukanya ketika kita
telah menjalani lima puluh
tahun masa penjelmaan kita menjadi kera...," mulai Suntara lagi.
"Tentunya Guru punya maksud, bukan?" Cem-
paka bertanya dengan gaya yang acuh tak acuh. Sifat
perempuan itu memang bertolak belakang dengan We-
dari. Namun, bukan dengan begitu dia jadi tak peduli sama sekali dengan seluruh
perkataan saudara seperguruannya yang lain. Dalam beberapa keadaan terten-
tu, Cempaka justru memperlihatkan rasa sayangnya
pada setiap saudara seperguruan.
"Ya," jawab Suntara singkat. Dilanjutkan dengan penuturannya.
"Ada sesuatu yang harus kita dapatkan di Pu-
lau Kera selain membangun kembali Perguruan Kera
Merah." "Apa itu, Kang?"
Suntara baru hendak memberi tahu, namun
terpancung oleh kedatangan suara tak bersahabat dari satu pucuk pohon besar.
"Mahkota Raja Kera! Benda itu akan jadi milik-
ku!" Selanjutnya, meluncur turun sebentuk badan besar berbulu membelah kepekatan
bersama geraman
amat berat, seolah lahir dari kerongkongan naga.
Keenam orang di sekitar api unggun tercekat,
terlebih manakala sinar api unggun memperjelas ben-
tuk sosok yang baru datang....
Seolah mendapat aba-aba, berbarengan mereka
mendesiskan sebuah nama angker.
"Raja Monyet Durjana...."
Raja Monyet Durjana adalah seorang lelaki be-
rusia amat tua, sebaya dengan guru mereka. Lelaki ini pernah menuntut ilmu 'Kera
Sakti'. Namun karena sa-tu kesalahan, wujudnya malah berubah menjadi see-
kor kera besar menyeramkan. Dia baru akan kembali
ke wujud semula jika telah menguasai Mahkota Raja
Kera yang dimiliki oleh seorang guru di Perguruan Kera Merah. Sayang, ketika
Raja Kera Durjana memaksa
sang guru Perguruan Kera Merah untuk menyerahkan
benda tersebut padanya, Mahkota Raja Kera justru te-
lah disembunyikan dalam tempat rahasia oleh sang
guru perguruan.
Terjadi pertarungan antara keduanya. Itu men-
gakibatkan sang guru perguruan menemui ajal. Berpu-
luh-puluh tahun Raja Kera Durjana mencari ke sege-
nap penjuru Pulau Kera, benda itu tetap tak ditemu-
kan. Sampai akhirnya dia putus asa dan mengasing-
kan diri ke sebuah gua.
Suatu hari, dia menyaksikan enam ekor kera
merah di Hutan Alas Roban. Kala itulah dia teringat
pada ajian 'Jelma Kera' milik guru Perguruan Kera Merah. Tentunya ajian itu pun
telah diturunkan oleh
keenam orang muridnya yang menghilang tanpa jejak.
Dia pun mulai mengendusi kalau dirinya selama ini telah diperdayai. Keenam murid
itu sengaja men-jelma
menjadi kera untuk menghindari pengejarannya.
Selama bertahun-tahun. Raja Kera Durjana te-
rus mengawasi gerak-gerik keenam kera jejadian itu.
Lebih dari empat puluh tahun dia mengawasi. Ten-
tunya bukan waktu yang sebentar. Namun, dia tetap
yakin, suatu hari kera-kera jejadian itu akan menjelma ke bentuk aslinya. Pada
saat itulah dia akan memaksa mereka memberi tahu di mana tempat persem-
bunyian Mahkota Raja Kera!
Kini waktunya telah tiba....
Suntara bangkit dengan sikap berwibawa. Wa-
jahnya tetap kera, dingin, tak berubah sedikit pun.
Berbeda sekali dengan kelima saudara perguruannya.
Lima puluh tahun. Selama itu, mereka menanti
agar bisa menjelma menjadi manusia kembali. Lima
puluh tahun mereka harus menjadi hewan penghuni
Hutan Alas Roban, semata hanya karena mereka tak
ingin melanggar pesan terakhir almarhum guru mere-
ka. Guru mereka tak pernah mengizinkan mereka
menjelma menjadi manusia kembali sebelum lima pu-
luh tahun. Padahal, mereka demikian ingin mencari
Raja Kera Durjana dan melunaskan dendam mereka
atas kematian sang guru.
Dan kini, setelah keenam murid dari Perguruan
Kera Merah itu menanti demikian lama, akhirnya ber-
temu juga dengan manusia laknat yang bertanggung
jawab atas kematian guru mereka. Tepat pada saat
mereka telah menepati perintah sang guru untuk men-
jelma menjadi kera selama lima puluh tahun.
"Akhirnya...," desis Suntara. Kelima saudara seperguruannya turut bangkit.
Masing-masing mengambil tempat sejajar, sampai keenamnya membentuk
barisan menghadap lawan.
Lawan mereka di depan menyeringai, memper-
lihatkan sepasang taring sebesar jari kelingking di sudut bibir hitamnya. Mata
besar berurat kasar kemera-
hannya berkilat-kilat, memancarkan kekejian pekat.
"Kalian hendak menuntut balas atas kematian
guru kalian" Nguk nguk he he he! Kalian cuma mimpi
selama lima puluh tahun jika berniat hendak membu-
nuhku. Sayangnya, mimpi itu akan segera berakhir!"
Mendengar ucapan pongah Raja Kera Durjana,
Buntaka mendengus berat.
"Apa pun katamu, kami pasti akan mengirim-
mu ke tempatmu yang sebenarnya... neraka!"
Selesai berkata, Buntaka tak menunggu lebih
lama lagi. Api dendamnya telah demikian menjerang
hingga ke ujung ubun-ubun. Dendam yang selama ini
terpendam kini termuntah seperti gelegar gunung me-
rapi memuntahkan lahar! Diterjangnya Raja Kera Dur-
jana tanpa meminta persetujuan kakak seperguruan-
nya lagi. "Mampuslah kau, Monyet Busuk! Hiaaa!"
"Buntaka tunggu!" Suntara berusaha menahan, tapi sudah terlambat. Buntaka lebih
cepat menerjang
ke depan dengan jurus 'Cakar Kera Gila'-nya. Dari sepuluh ujung jari lelaki
gempal itu seketika bersembulan kuku-kuku runcing berwarna hitam.
Wukh! Jarak yang cukup dekat dengan lawan, mem-
percepat gerak terjangan cakar Buntaka. Namun bu-
kanlah berarti serangannya mendarat tepat pada sasa-
ran. Dengan amat cepat, Raja Kera Durjana mengibas-
kan tangan kanan. Bunyi menderu sekuat hempasan
mata golok besar di udara tercipta.
Wush... dash! Cakar Buntaka yang mencoba mengoyak leher
Raja Kera Durjana dijegal oleh kuku-kuku si lelaki setengah kera raksasa. Kini,
terlihatlah sepuluh kuku
runcing yang jauh lebih besar, jauh lebih menggidik-
kan dari milik Buntaka! Benturan cakar mereka
menghasilkan asap putih tipis yang mengambang lam-
bat di udara malam.
Buntaka sendiri mengeluh tertahan. Didekap-
nya pergelangan tangan yang terjegal cakar lawan. Betapa dia merasakan hantaman
ujung runcing kuku-
kuku lawan serasa baru saja menumbuk cakarnya.
Padahal, cakar Buntaka sendiri sanggup mengoyak ka-
rang! 4 "Kau mau tahu kenapa aku harus kembali ke
dunia persilatan sialan ini?" Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan, buyut
Pendekar Slebor mem-
buka percakapan dengan Andika. Saat itu Andika su-
dah bisa percaya kalau orang tua yang tengah dihada-
pinya bukanlah setan gentayangan atau arwah pena-
saran. Berani sekali lagi anak muda itu menyebut de-
mikian, maka telapak kaki berbau tujuh puluh tujuh
ekor siluman milik si tua bangka akan mendarat di hidungnya!
Lebih baik berdamai, ketimbang harus men-
cium bebauan mematikan seperti itu, pikir Andika terpaksa. Lagi pula Pendekar
Slebor ingat seorang saha-
bat lama Ki Saptacakra berjuluk Pertapa Rakit yang
pernah ditemuinya mengatakan kalau Pendekar Lem-
bah Kutukan sebenarnya memang masih hidup (Baca
kisahnya dalam episode : "Permainan Tiga Dewa").
"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 'dunia'?"
Ki Saptacakra baru hendak menyorongkan te-
lapak kakinya ke hidung Pendekar Slebor. Untung
anak muda itu buru-buru membenahi kesalahan per-
kataannya. ".... E-eh, kembali ke 'dunia'... persilatan, maksudku!" "Itu memang baru mau
kukatakan padamu!"
"Itu juga baru mau kutanyakan padamu, Ki
Buyut." "Jangan membolak-balik perkataanku!"
"Kalau tidak begitu, bukan keturunan Pendekar
Lembah Kutukan dong...."
Ki Saptacakra tertawa tergelak-gelak.
Andika ikut-ikutan. "Hua ha ha ha!" dia bersikap sok akrab dengan buyutnya yang
selama hidup baru dua kali bertemu. Disangkanya lelaki bangkotan
itu senang mendengar ucapannya tadi. Tapi apes....
Tak! Jidatnya dihadiahi jitakan keras, membuat ke-
palanya saat itu seperti baru saja disambar kepalan
Bima. "Kau kira aku suka"!" bentak Ki Saptacakra mendelik-delik.
Andika cuma bisa meringis-ringis: Tahu rasa
dia! "Kau mau mendengar penjelasanku atau tidak,
cucu buyut slompret"!" sambung Ki Saptacakra.
"Ki Buyut sendiri, mau menjelaskan padaku
atau tidak...?" ceplos Andika lagi, belum juga kapok.
"Eeee...." Orang tua di depannya sudah mengangkat tangan lagi, hendak menjitak
Andika. Tobat, Ki Buyut! Aku mau dengar.... Tapi ba-
gaimana dengan Purwasih" Dia 'kan cucu buyut ke-
menakanmu" Apa sebaiknya dia ikut mendengarkan
juga penjelasanmu tentang peta Pulau kera itu?"
"Kau jangan mengaturku! Biar saja dia pingsan
dulu! Soal penjelasannya, nanti juga kau pun bisa me-nyampaikan padanya!"
"Ho-ohlah... ho-oh! Terserah Ki Buyut saja,..,"
Andika pasrah, kalau tak ingin benjol sebesar telur ja-wara di jidatnya
bertambah. Mulailah si tua Pendekar Lembah Kutukan ber-
cerita tentang seorang lelaki tua guru besar Perguruan Kera Merah dengan keenam
muridnya. Juga tentang
pertarungan maut antara sang guru perguruan dengan
Raja Kera Durjana.
"Lalu apa hubungannya dengan kau, Ki Buyut"
Juga hubungannya dengan aku dan Purwasih" Kenapa
urusannya jadi nampak ngelantur jauh?" tanya Pendekar Slebor selesai Ki
Saptacakra bercerita.
"Itu juga baru akan kujelaskan padamu! Kena-
pa kau tak bisa menahan sebentar saja mulutmu agar
tak bicara!"
Andika pasrah lagi. Menyebalkan juga sebenar-
nya. Tapi, yang dihadapinya sekarang adalah buyut-
nya. Orang tua yang pasti lebih sableng darinya. Jangan-jangan jin belang pun
takut padanya! *** Di lain tempat, pertarungan sengit antara enam
murid Perguruan Kera Merah tak bisa dicegah lagi. Kekalapan Buntaka sudah
meletus. Serangan pertama
gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli lagi lelaki gempal itu
pada siapa dia berhadapan. Lawannya jelas bukan orang sembarangan. Lelaki berwu-
jud setengah kera raksasa itu lima puluh tahun lam-
pau telah berhasil menyingkirkan gurunya. Kalau gu-
runya saja bisa disingkirkan, bagaimana lagi Buntaka"
Namun bagi Buntaka sendiri, persoalannya se-
karang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Me-
lainkan, bagaimana dia bisa melampiaskan dendam
yang selama ini cuma menjadi karat dalam dirinya.
Nyawa harus ditebus nyawa, pikirnya. Dan kalaupun
dia tak berhasil melunaskan dendam dengan menca-
but nyawa lawan, setidaknya dia sudah merasa puas.
Tanpa disadari Buntaka, justru itu menjadi sa-
tu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api den-
dam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang.
Bahkan seringkali letupan nafsu justru membawa aki-
bat merugikan diri sendiri,
Terbukti ketika satu cakaran ke sekian dicoba
didaratkan Buntaka ke dada lawan, Raja Kera Durjana
mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki se-
tengah kera raksasa itu mula-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah
putaran. Dan dari belakang tubuhnya, tiba-tiba berseliwer benda panjang berbulu
ke arah Buntaka.
Buntaka tercekat. Kesiagaannya selama ini
hanya dipusatkan pada serangan cakar besar lawan.
Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan
bagian tubuh lain. Pada detik itu, Buntaka sudah terlambat menyadari.
Desh! Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-
nyata ekor Raja Kera Durjana. Bagian tubuh lawan
tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar.
Padahal yang mendarat di bagian ulu hati Buntaka
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cuma bagian ujungnya.
Tubuh lelaki gempal dari Perguruan Kera Me-
rah kontan terjengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia terseret sekitar
enam-tujuh langkah.
"Nguk nguk he he he!" Raja Kera Durjana terkekeh. Dia begitu puas, apalagi
menyaksikan Buntaka
meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-
nentang Raja Kera Durjana!"
Kelima saudara seperguruan Buntaka teramat
gusar menyaksikan keadaan saudara seperguruannya.
Mereka mengeroyok Raja Kera Durjana dengan pan-
dangan menghanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja"!" ledek Raja Kera Durjana meremehkan
sekali. Sugali dan Sugalu hendak beranjak maju. Tapi
tangan Suntara membentang di depan, menghadang
mereka. "Belum waktunya," bisik Suntara tegas.
Di belakang mereka, Buntaka beringsut bangkit
kembali. Dengan mata merah pekat dia melangkah ter-
tatih. "Aku belum menyerah, Monyet Busuk!" erangnya bergetaran. Memang tak ada
tanda-tanda kalau le-
laki bertubuh gempal itu terluka dalam. Tak ada darah kehitaman mengalir keluar
dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-
mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Buntaka hendak memulai kembali ter-
jangannya, Suntara kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan kakak seper-
guruannya, Buntaka menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-
kan orang-orang Perguruan Kera Merah, Raja Kera
Durjana?" ucap Suntara, setelah sebelumnya dia melangkah maju beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh anggota perguruan kami. Kau pun mem-
bunuh guru kami. Kini setelah lima puluh tahun berla-lu, kau masih juga belum
puas?" Cempaka tak senang mendengar perkataan ka-
kak kembarnya barusan. Meski dia murid paling bung-
su di antara mereka, bukan berarti dia harus selalu setuju dengan yang lain.
Baginya, perkataan Suntara
bukanlah ucapan seorang pendekar, melainkan lebih
tepat dikeluarkan dari mulut seorang pecundang.
"Apa-apaan kau ini, Kang Suntara"!" selak
Cempaka gusar. Dia maju di depan Suntara, lalu di-
tentangnya Raja Kera Durjana dengan cara bertolak
pinggang. Suntara menghela napas. Dia mengerti bagai-
mana sifat wanita yang sebenarnya bukan cuma sau-
dara seperguruan semata, tapi juga adik kembarnya
sendiri itu. Dan di antara keenam sisa murid Pergu-
ruan Kera Merah, mereka berdua memiliki kelebihan
sendiri. Ikatan batin yang begitu kuat antara dua saudara kembar itu menyebabkan
mereka bisa mengem-
bangkan ilmu 'Wicara Garba' yang diturunkan khusus
oleh guru mereka kepada keduanya. Ilmu itu dapat
membuat mereka bercakap-cakap dengan bahasa hati
bila dipergunakan.
Suntara menepuk bahu adik kembarnya di d-
pan. Ketika perempuan beradat keras itu menoleh, di-
tatapnya mata Cempaka lekat-lekat. Lalu seberkas ge-
lombang tak tertangkap mata manusia mengalir dari
mata Suntara dan masuk ke sepasang mata bulat
Cempaka. "Aku bukan hendak bersikap pengecut. Aku
punya siasat! Kita harus menghindari dulu manusia
laknat ini. Kau tentu ingat pesan Guru. Kita tak boleh berhadapan dengannya
sebelum kita benar-benar menemukan benda wasiat peninggalan Guru...."
Di garba Cempaka, terdengar kata hati kakak
kembarnya. Kini, perempuan itu bisa mengerti. Dia
pun melangkah kembali ke tempatnya.
"Karena kami tak ingin mengungkit masa lalu
yang demikian menyakitkan untuk kami, kami akan
menyerahkan peta rahasia Pulau Kera padamu...," lanjut Suntara.
Buntaka terperangah. Mana mungkin Suntara
bisa berkata seperti itu" Tindakan yang bukan cuma
bodoh, melainkan sama saja dengan bunuh diri! Kalau
Raja Kera Durjana nanti bisa menemukan benda wa-
siat peninggalan guru mereka, maka tak ada lagi ke-
sempatan bagi mereka untuk bisa menang melawan
kesaktian Raja Kera Durjana!
Untunglah Cempaka cepat memberinya isyarat
dengan kelopak mata ketika lelaki gempal itu hendak
bertindak serampangan kembali.
"Nguk nguk nguk!" Raja Kera Durjana tertawa meriah. "Siasat apa yang hendak
kalian mainkan untuk memperdayaiku" Kau pikir, aku akan mudah ter-
tipu, heh?"
Keadaan mulai sulit, keluh Suntara. Ternyata
sang lawan berwujud monyet raksasa tak mempunyai
otak sebesar otak monyet....
"Kau pikir aku tak akan curiga kalau kalian
memberikan padaku peta itu dengan mudah sementa-
ra peta itu sendiri adalah wasiat guru kalian?" sambung Raja Kera Durjana, makin
menyudutkan Sunta-
ra. Aku harus mengubah siasat! Pikir Suntara.
Semampunya dia harus menghindari pertarungan
langsung antara mereka dengan Raja Kera Durjana.
"Cempaka, kau dengar aku!" sekali lagi, Suntara mengirim gelombang suara hatinya
pada Cempaka. Jika tadi melalui mata, kali ini dikerahkan melalui kulit, menebar lurus ke arah
Cempaka. Kemudian gelom-
bang itu diserap kulit Cempaka.
"Ya, Kang...," jawab Cempaka dalam hati.
"Nanti, ketika kulemparkan peta kulit, berpura-
puralah kau merebutnya. Setelah itu, kau harus mela-
rikannya dari sini. Biarkan Raja Kera Durjana mere-
butnya darimu. Tapi ingat, kau harus hati-hati. Aku
tak mau sampai kau terluka!"
"Baik, Kang...."
"Kami memang mendapat wasiat dari Guru un-
tuk menjaga peta ini?" mulai Suntara kembali. Dikeluarkannya gulungan peta kulit
yang telah digulungkan pada sepotong bambu kuning, lalu diacungkan ke depan.
"Tapi, sebagai murid tertua, akulah yang meng-gantikannya sebagai pemimpin
perguruan. Dan aku te-
lah memutuskan agar benda ini kuserahkan padamu.
Aku tak ingin sisa Perguruan Kera Merah yang telah
hancur akan menjadi bertambah hancur hingga tak
tersisa hanya karena benda laknat ini!" tandasnya, bersandiwara. Untuk seorang
yang tak tahu menahu
tentang seni bersandiwara, gaya bicara Suntara cukup meyakinkan.
Lelaki setengah kera di depan mereka lagi-lagi
memperdengarkan tawa ganjilnya.
"Bagaimana dengan saudara perguruanmu
yang lain" Apakah mereka akan setuju begitu saja
dengan keputusanmu"!" tanya Raja Kera Durjana, mulai terpancing dalam siasat
Suntara. "Aku pastikan, mereka tak akan menentangku!"
"Bagus! Bagus sekali. He he he nguk nguk! Ka-
lau saja gurumu berpikiran seperti kau, tentu Pergu-
ruan Kera Merah tak akan bernasib sial! Tapi, aku masih belum bisa percaya.
Bagaimana kalau gulungan pe-
ta di tanganmu ternyata palsu?"
"Kau bisa memeriksanya di depan hidung kami,
Raja Kera Durjana!"
"Bagus... bagus! Kalau begitu, cepat kau beri-
kan peta itu padaku sekarang!"
Suntara menuruti permintaan Raja Kera Dur-
jana. Dilemparnya gulungan peta di tangannya ke uda-
ra. Sengaja dia membuat lemparan yang agak mening-
gi, sesuai dengan rencana. Dengan begitu, Cempaka
mempunyai kesempatan untuk menyambar benda ter-
sebut di udara.
Tepat ketika gulungan peta melayang tiga tom-
bak di udara, Cempaka berteriak keras-keras.
"Aku tak akan sudi kau memberikan peta wa-
siat itu pada dia!"
Lantas bagai kelincahan seekor manyar, tu-
buhnya melentik ke udara, memburu guliran gulungan
peta kulit. Tep! Raja Kera Durjana membeliak. Sungguh dia tak
menduga sama sekali kalau perempuan berambut
pendek itu akan menyambar peta di udara! Dia sendiri sudah terlambat untuk
melompat memburu gulungan
peta. Saat itu pula, sesuai dengan perhitungan Sun-
tara, keraguan Raja Kera Durjana kalau peta yang di-
lempar Suntara adalah palsu terberangus seketika itu juga. Terlebih lagi ketika
Cempaka dengan segera me-larikan diri ke dalam hutan dengan mengerahkan se-
genap ilmu peringan tubuhnya.
"Hei, berikan benda itu padaku!" seru Raja Kera Durjana, murka. Dikejarnya
Cempaka dengan beran-gasan. Sebagaimana wujudnya, cara berlari orang
aneh ini tak lagi seperti manusia. Dia justru melompat-lompat dengan jejakan
teramat kuat, Sekali lompatan, jarak sepuluh tombak terlampaui!
Menyusul menghilangnya Raja Kera Durjana di
antara gelapnya pepohonan, kelima murid Perguruan
Kera Merah yang lain turut pula mengejar. Suntara
memberi isyarat pada yang lain agar tetap menjaga ja-
rak. Dia tak ingin kecurigaan Raja Kera Durjana kem-
bali merebak. Perempuan yang diburunya terus lari makin ke
dalam hutan. Untuk ilmu peringan tubuh, Cempaka
dapat diandalkan. Tak mudah bagi Raja Kera Durjana
mengejarnya, lebih-lebih menangkapnya.
Namun karena tindakan yang dilakukan Cem-
paka sekadar siasat belaka, maka dia tak terlalu men-gempos kemampuan peringan
tubuhnya. Bahkan dia
berlari sambil memperlihatkan senyum tersamar. Ter-
bayang dalam pikirannya, kakak kembarnya akan
mengadali Raja Kera Durjana. Tentu nanti wajah be-
ruknya akan bertambah jelek ketika menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah.
Tentu dia akan berjing-kat-jingkat sambil meruntunkan sumpah serapah yang
terdengar seperti ocehan monyet sakit perut!
Tak jauh masuk ke dalam hutan, Raja Kera
Durjana sudah bisa mendahului Cempaka.
"Berhenti kau, Perempuan!"
Raja Kera Durjana hinggap tepat di depan
Cempaka, menghadang gerak lari perempuan itu. Wa-
jahnya mematang. Amat merah. (Pinggiran borok saja
pasti kalah merah!). Mata bulat beruratnya nyalang
berkilat-kilat. Dua taring di sudut bibirnya menyingsing, menggidikkan. Sebagian
bulu-bulu di bagian tengkuknya berdiri tegak. Dia murka. Itu sebabnya sinar
mata si manusia setengah kera begitu menyembu-
ratkan hawa membunuh.
Cempaka bergidik. Mungkinkah dia bisa berha-
sil menjalankan siasat kakak kembarnya tanpa harus
kehilangan nyawa seperti telah direncanakan Suntara"
*** 5 Raja Kera Durjana menggeram berat sekaligus
mengancam. Kerongkongannya seperti mengulur suara
mahkluk terkutuk.
"Cepat serahkan peta itu padaku!"
Cempaka sadar, nyawanya kini sedang teran-
cam. Raja Kera Durjana bukanlah lawan yang sepadan
untuk dirinya. Bahkan jauh tak sepadan. Kemam-
puannya bertahan, mungkin cuma terbilang sekian
puluh jurus. Setelah itu, nyawanya tak dapat dijamin lagi. Namun begitu, Cempaka
tahu, dia tak punya
pilihan. Rencana Suntara harus diteruskan sampai la-
wan benar-benar masuk perangkap tanpa disadari.
Untuk itu dia harus bertarung lebih dahulu dengan
Raja Kera Durjana, agar lawan merasa benar-benar
yakin peta di tangan Cempaka benar-benar benda yang
diinginkan selama lima puluh tahun belakangan.
Untuk menghadapi Raja Kera Durjana sebenar-
nya Cempaka punya semangat membakar. Dia pun
dendam teramat sangat pada pembunuh gurunya. Bu-
kan cuma itu, Cempaka sendiri tak pernah merasa
perlu takut menghadapi manusia zalim macam Raja
Kera Durjana. Meski seandainya manusia berwujud
kera itu adalah dewa sekalipun.
Tapi, persoalannya bukan cuma dendam buta.
Dia tak ingin bersikap tolol seperti Buntaka. Seperti juga Suntara, perempuan
itu amat tahu, belum waktunya mereka berhadapan dengan kesaktian Raja Kera
Durjana. Kemampuan mereka masih terlalu mentah.
Mereka harus menjalani godokan akhir untuk me-
nyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan guru
mereka di Pulau Kera. Bagi Cempaka, itulah arti per-
juangan menegakkan kebenaran. Selain semangat, di-
butuhkan juga perhitungan-perhitungan matang. Bu-
kan sekadar nafsu dendam buta.
Sekarang ini, kalaupun dia harus berhadapan
dan bertukar jurus dengan Raja Kera Durjana, semata
karena dia percaya pada siasat kakak kembarnya.
Dan agar dia dapat menjalankan pesan terakhir
gurunya untuk menyempurnakan kesaktian sebelum
benar-benar menghadapi dan menyingkirkan Raja Kera
Durjana zalim, Cempaka harus amat hati-hati. Dia
bertekad agar dirinya tidak kehilangan nyawa. Meski
kemungkinan itu sama sekali tak pernah ditakutinya.
"Tak akan kuserahkan benda wasiat Eyang
Guru kepada manusia laknat sepertimu!" sentak Cempaka, meneruskan sandiwara yang
telah dimulai Sun-
tara sebelumnya.
Raja Kera Durjana tak punya cukup kesabaran
untuk banyak berdalih. Darahnya mendidih menden-
gar bantahan keras Cempaka. Dalam hal memuaskan
keinginannya semata, dia tak segan-segan membunuh
siapa pun. Tak peduli wanita. Bahkan jika perlu, seorang bayi.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan segera mampus! Grrrr nguik!"
Lantas, terkaman gaya seekor kera buas berin-
gas pun menerjang Cempaka. Cakar besarnya yang hi-
tam runcing membabat udara, mengancam kulit leher
halus perempuan di depannya. Pada saat tergesek
udara, kesepuluh kuku Raja Kera Durjana memercik-
kan bunga-bunga api dibayangi asap tipis putih kehi-
taman. Pertanda betapa teramat tinggi kecepatan dan
betapa amat kuat sapuan cakar si lelaki kera.
Cempaka dipaksa memekik. Dia menghindar
dengan mengerahkan segenap kecepatan yang sanggup
dilakukan pada saat demikian sempit.
Wukh! Trssssh! Udara terbakar lagi. Bau sangit melayapi udara.
Cempaka berhasil lolos dari terkaman maut dengan
membuang diri ke belakang. Setelah bersalto tiga-
empat kali, dia berhasil mendaratkan kaki tanpa kekurangan sesuatu tujuh tombak
dari tempat semula.
Raja Kera Durjana tak ingin membiarkan lawan
bernapas lega. Diburunya kembali Cempaka dengan
segenap kebuasan binatang mata gelapnya.
"Nguikggrrrrh!"
Cakarnya berkelebat lagi. Sekali ini mencoba
mengoyak perut langsing Cempaka. Sedikit saja ter-
gores ujung cakar itu, maka isi perut Cempaka bisa
terburai di tanah! Cempaka tak mau mengambil resiko
itu. Pada detik yang demikian genting, timbul kein-
ginan perempuan jelita itu untuk menjajal tingkat tenaga dalam lawan. Dikayuhnya
tangan ke udara den-
gan menyalurkan hampir seluruh tenaga dalamnya ke
sepasang tangan.
Dagh! Tak ada sekedipan mata dari benturan perge-
langan tangan mereka, tubuh Cempaka terpental ke-
ras. Dia seperti disentak tenaga dorongan sepuluh be-lalai gajah jantan. Setelah
melayang deras berarah lurus sekitar sepuluh depa ke belakang, tubuhnya ter-
banting di tanah. Dengan bergulingan, Cempaka ber-
hasil menguasai keseimbangannya kembali. Kakinya
dapat menjejak tanah dengan mantap. Cuma, perge-
langan tangan yang tadi berbenturan dengan lawan
seperti remuk-redam dari dalam. Nyerinya sampai ke
ulu hati. Dan, mata Cempaka jadi berkunang-kunang
karenanya. "Gila, pantas saja Eyang Guru meminta kami
untuk menyempurnakan kesaktian terlebih dahulu
untuk menghadapi manusia monyet ini!" desis Cempaka sambil mengerjap-ngerjapkan
mata. "Kalau begitu, akan amat berbahaya cakarnya.
Dengan tenaga dan kecepatan seperti itu, aku tak bo-
leh sedikit pun tergores ujung kukunya. Selain itu, bukan tak mungkin kuku si
manusia monyet ini pun
mengandung racun...," simpul Cempaka.
Sebelum saudara seperguruannya yang lain ti-
ba, dia harus berpura-pura dapat dikalahkan Raja Ke-
ra Durjana. Namun dia tak mungkin mengambil resiko
membiarkan tubuhnya disambar cakar lawan. Harus
ada cara lain, pikirnya. Pada saat genting itulah Cempaka teringat pada ekor
lawan. Sebelumnya dia me-
nyaksikan sendiri, ekor itu bisa menjadi senjata lawan.
Namun ketika menimpa tubuh Buntaka tampaknya
ekor lawan tak terlalu berbahaya dibanding cakarnya.
Jika demikian, Cempaka akan berusaha me-
maksa ekor lawan turut dipergunakan. Pada saat itu,
dia akan berpura-pura terhajar ekor tersebut.
Berpikir begitu, Cempaka segera melakukan se-
rangan tanpa menunggu lawannya menerjang.
"Hiaaa!"
Dengan bambu dalam gulungan peta kulit,
Cempaka melepas hantaman keras ke kepala Raja Ke-
ra Durjana. Wukh! Raja Kera Durjana merunduk dengan mudah.
Kaki depannya yang membengkok berusaha menyapu
kuda-kuda Cempaka.
Cempaka melihat ada kesempatan untuknya
agar bisa berada di belakang tubuh lawan tanpa dicu-
rigai. Dia pun melompat ke depan, melewati kepala lawan dengan cepat dan hinggap
di belakang tubuh la-
wan. Begitu tiba, kakinya menyentak ke punggung
lawan. Perhitungannya berhasil. Lawan sadar dirinya
terancam telapak kaki Cempaka. Dia akhirnya meng-
gerakkan ekor. Tendangan perempuan itu dimentah-
kan. Dan pada gerak selanjutnya, ujung ekor lelaki ke-ra itu menanduk dada
sebelah kanan Cempaka.
Desh! "Aaakhh!"
Cempaka memekik. Di luar perhitungannya,
ternyata hantaman ekor lawan demikian kuat. Da-
danya seperti ditanduk kekuatan ombak raksasa. Saat
itu juga dia kehilangan kesadaran. Dunia gelap. Dia
tak ingat apa-apa lagi.
*** "Cempaka.... Cempaka...."
Lamat-lamat telinga Cempaka mendengar
panggilan kakak kembarnya. Kesadarannya masih te-
rasa amat jauh. Untuk membuka kelopak mata saja
seperti memindahkan bukit ke tempat lain. Hanya ka-
rena suara Suntara merasuk langsung ke dalam gar-
banya, Cempaka berusaha untuk bisa kembali ke ke-
sadarannya. Akhirnya, mata berkelopak sayu itu membuka.
Cempaka melenguh.
"Kau tak apa-apa, Cempaka?" tanya Wedari. Di samping Suntara, dia teramat
khawatir pada keadaan
adik seperguruan wanitanya.
Perempuan acuh yang sifat dan penampilannya
seperti lelaki itu meringis. Masih terasa mendera-dera sakit di dadanya akibat
hantaman ekor Raja Kera Durjana. "Si monyet kurap itu hebat juga...," lirihnya,
mengumpat. "Hanya dengan ekornya saja, aku sudah
dibuat begini.... Sialan!" Cempaka beringsut bang-kit.
Tangannya mendekap bagian yang sakit. Suntara
membantunya. "Kau yakin tak apa-apa, Cempaka?" kakak
kembarnya mengulang pertanyaan Wedari barusan.
"Tentu saja aku 'kenapa-napa'," ketus Cempa-ka. "Apa kau tak melihat aku masih
melilit-lilit seperti ini?" Suntara tertawa kecil. Kalau adiknya bisa ngo-ceh
selancar itu, itu artinya dia tak apa-apa.
"Kau malah tertawa?" sungut Cempaka. "Ini semua karena rencanamu!"
"Ya, rencana itu berhasil karena bantuanmu,
bukan?" "Tapi aku belum jelas, apa rencanamu sebe-
narnya"!" tukas Cempaka, nyaris berbarengan dengan Buntaka.
"Kenapa kau membiarkan Raja Kera Durjana
mendapatkan peta pemberian Eyang Guru?" cecar
Buntaka, tak habis mengerti dengan rencana kakak
seperguruannya.
"Apa kau memberikan peta palsu, Kang?" timpal Sugalu.
Suntara menggeleng. "Bagaimana mungkin Ra-
ja Kera Durjana akan membiarkan kita kalau peta
yang kuberikan ternyata palsu...," katanya tenang.
"Jadi peta asli"!" Cempaka memekik. "Kau jangan sinting, Kang!" Perempuan itu
baru saja mengangkat tinju, hendak disarangkan ke dagu Suntara.
Kakak kembarnya cepat menahan.
"Jangan terburu mengamuk seperti itu.... Biar
kujelaskan. Peta itu memang yang asli. Tapi...," Suntara memotong kalimatnya
sendiri. Dikeluarkannya se-
suatu dari balik ikat pinggangnya. Selembar sayatan
memanjang yang ternyata adalah satu bagian kecil pe-
ta Pulau Kera. "Tanpa bagian ini. Raja Kera Durjana tak me-
nemukan tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera."
Buntaka kontan tergelak-gelak mengetahui akal
bulus kakak seperguruannya.
"Pada saat dia menyadari kalau peta itu tak
lengkap nanti, kita sudah terlebih dahulu tiba di Pulau Kera...," tambah
Suntara. "Tapi, Kang. Bagaimana cara kita bisa tiba di
tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera, se-
mentara bagian terbesar dalam peta dipegang Raja Ke-
ra Durjana?" Sugali menyela.
Suntara tersenyum penuh arti. Santai, dilepas-
nya pakaian bagian atas.
Saudara seperguruannya yang lain terperan-
gah. Mereka melihat rajah di dada Suntara. Rajah itu adalah salinan bagian peta
yang diberikan kepada Raja Kera Durjana.
"Aku telah membuatnya ketika kita hendak
meninggalkan Pulau Kera. Aku tahu, suatu hari kita
akan berhadapan kembali dengan Raja Kera Durjana.
Dia tentu akan menuntut peta itu dari tangan kita. Karena itu, aku menyusun
rencana matang...," paparnya enteng. "Jadi, selama kita menjelma menjadi kera,
salinan peta itu tetap berada di punggungmu" Dan bulu
lebat telah menyamarkannya selama ini?" Cempaka bertanya dengan mata membeliak
kagum. Suntara mengangguk membenarkan.
Buntaka tergelak kembali. Dia geli mem-
bayangkan kalau Raja Kera Durjana mengetahui hal
itu ketika mereka masih menjelma sebagai kera. Bisa
jadi petanya akan terbuat dari kulit kera jelmaan Suntara! "Sebaiknya kita
jangan berlega hati dulu. Raja
Kera Durjana tetap bisa menyusul kita ke Pulau Kera.
Untuk bisa tiba di sana, tanpa peta itu pun dia sanggup. Cuma, dia hanya tak
bisa menemukan tempat
penyimpanan rahasia Eyang Guru. Tentu dia akan se-
gera menyusul kita ke sana. Atau menanti kita di pu-
lau itu, jika kita kalah cepat ke sana...."
6 Pulau Kera, pulau kecil terpencil yang hampir-
hampir tak pernah ditemui manusia ketika itu. Terle-
tak di tengah-tengah Selat Sunda, di antara beberapa pulau kecil lain. Selama
berabad-abad, Pulau Kera
menjadi misteri. Seperti genangan kabut pekat setinggi sepuluh kaki, pulau itu
pun diselubungi teka-teki.
Cerita-cerita, desas-desus, dan kabar burung
berseliweran tentang pulau penuh teka-teki itu.
Banyak pelaut yang menyaksikannya pada sua-
tu kali, namun tak berhasil menemukan kembali pada
kali yang lain.
Beberapa pelaut ulung yang penasaran menco-
ba menemukan Pulau Kera. Mereka semula berniat
hendak mendarat di tempat itu untuk mencari tahu
ada apa di sana. Tapi, niat mereka tak pernah kesam-
paian. Jangankan mendarat, untuk menemukannya
saja mereka tak pernah mampu. Padahal, sepanjang
jalur pelayaran telah mereka arungi, bahkan mereka
yakin telah menyusuri seluruh wilayah Selat Sunda.
Sebaliknya, para orang-orang yang tak berniat sama
sekali untuk menjamah Pulau Kera, justru dengan
mudah menyaksikan pulau tersebut.
Sebagian kalangan berpendapat kalau pulau
tersebut sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya.
Melainkan hanya dataran berdasar batu apung yang
terus berpindah-pindah tempat di sekitar Selat Sunda.
Sebagian yang lain menganggap pulau itu adalah Pu-
lau Hantu. Desas-desus lebih seru pun tak jarang mene-
bar. Kata beberapa orang, pulau itu sebenarnya adalah perahu Kerajaan Nyai Roro
Kidul. Dikawal oleh sepa-sukan tentara lelembut berbentuk kabut.
"Pulau Kera itu dijaga banyak prajurit, lho!
Bener, sumpah mampus, dah!" koar seseorang yang mengaku pernah menyaksikan Pulau
Kera. "Prajuritnya serem-serem?"
"Wih, bukan serem lagi! Gede-gede!"
"Ck ck ck! Berani juga kau melihatnya, ya?"
"Ah, kata orang kok...,"
"Wuuuu, ngomong sama ember!"
Lepas dari simpang-siurnya cerita-cerita yang
lebih banyak dilebih-lebihkan ketimbang dikurangi,
pendekar muda kita telah menuju ke sana bersama
Purwasih. Jauh di tengah samudera, Pulau Kera sendiri
dirundung kebisuan. Segenap misteri masih mengung-
kungnya rapat-rapat. Malam saat itu. Lautan sedang
pasang. Gelombang tumbuh meninggi, kian liar dan
buas dari waktu ke waktu. Lidah-lidah ombak meng-
hantami sebagian sisi pulau berkarang. Airnya terpe-
cah di udara, sia-sia menghadapi kekokohan karang.
Di pantai berpasir bagian selatan Pulau Kera,
mendarat satu perahu kecil berpenumpang dua orang.
Layarnya tergulung, karena tak dibutuhkan pada saat
samudera tak ramah. Salah seorang melompat dari pe-
rahu tak berlayar. Di atas pasir, kakinya menjejak.
Tangan orang itu lalu menjulur ke depan, hen-
dak menawarkan bantuan pada orang di atas perahu.
"Tak perlu! Kau pikir aku ini nenek-nenek jom-
po!" terdengar suara meninggi wanita di atas perahu
tadi. Dia Purwasih. Sedangkan lelaki yang mendahu-
luinya turun dari perahu, siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor.
"Ya, sudah..." gerutu Pendekar Slebor, sedikit kesal karena tawaran jasanya
ditolak mentah-mentah
oleh si manis tapi judes.
Kedua muda-mudi itu tak mengalami kesulitan
menemukan Pulau Kera, seperti kabar burung keba-
nyakan orang. Sebenarnya, memang ada cara khusus
untuk menemukan pulau itu. Dan peta Pulau Kera di
tangan Purwasih menjelaskan hal itu. Itu sebabnya
mereka tak banyak mengalami kesulitan sampai di sa-
na. Meskipun bukan berarti mudah bagi mereka untuk
mengarungi gejolak samudera yang sedang mengamuk.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andika melangkah bersungut-sungut mening-
galkan perahu, pada saat Purwasih sedang berusaha
Senopati Pamungkas 16 Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Pendekar Pedang Pelangi 15
PULAU KERA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Pulau Kera 128 hal. 1 Di kaki Gunung Tengger, saat itu terlihat seo-
rang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri.
Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping
karena memiliki hidung yang mancung membentuk
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil merah matang, juga karena
matanya berbulu lebat dan
lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak me-
nyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang ter-
gurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang me-
nanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-
ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-
hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike-
pang, berayun-ayun di sisi pedang yang diletakkan di belakang punggung.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-
da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-
merahan. Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan ba-
ginya. Hanya karena ada satu hal penting yang mesti
diurusnya, mau tak mau dia melakukan juga hal itu.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan
terlihat seseorang berjalan menuju dirinya. Tak ter-
lihat tanda-tanda kalau dia sedang tergesa. Untuk seorang yang sedang ditunggu,
cara berjalan orang ini tergolong begitu santai. Padahal orang yang menunggu
tentunya sudah begitu menghendaki dia tiba secepat-
nya. Dari kejauhan, terdengar senandung ngalor-
ngidulnya. Entah apa yang sedang dilantunkan. Terla-
lu sumbang untuk dikatakan merdu. Cuma dari liri-
kannya, bisa disimak kedalaman hikmah kehidupan
dari orang satu ini.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Setibanya di dekat si wanita, lelaki yang ternya-
ta seorang pemuda tampan berambut panjang sebatas
bahu, berpakaian hijau-hijau itu mendapati gelengan
kepala. "Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur pemuda tadi. "Tak suka aku sedikit
menghibur diri?" lanjutnya dengan bibir mencibir.
Menanggapi teguran tak nyaman barusan, si
wanita tak kalah mencibir. Bahkan nyaris cemberut.
Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-
mu di sini" Setengah harian! Selama itu, aku digarang matahari Lalu kau datang
seenaknya dengan berse-nandung seperti itu" Bayangkan"!"
"Sebentar aku bayangkan...," sahut si pemuda seraya mendaratkan jari telunjuknya
ke kening. Wajahnya berubah kebodohan.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Huh" Kenapa huh"!"
"Aku jengkel tahu!"
"Kenapa jengkel" Aku tidak...," tukas si pemuda lagi, tanpa perasaan bersalah.
Wajahnya makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya wanita
muda tadi berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan
mimik wajah pemuda di depannya.
"Andika... Andika.... Kenapa kau tidak pernah
berubah dari dulu...," katanya terseret tawa tertahan.
Bibir mungil ranumnya didekap.
Pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu men-
jadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dam-
pratan habis-habisan karena sudah terlambat datang.
Bukan cuma terlambat malah. Masa' iya sekadar ter-
lambat sampai setengah hari. Sampai membuat wanita
yang menunggunya hampir kering terjemur" Keterla-
luan. "He he he!" Andika ikut tertawa.
"Diam!" bentak si wanita. "Aku tertawa bukan berarti kejengkelanku padamu
hilang." Lalu.... Duk! Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-
cumbu hidung Pendekar Slebor. Anak muda itu merin-
gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-
dungnya yang berdenyut-denyut.
Andika ingin memprotes kesewenang-wenangan
wanita tadi. Dia memang terlambat. Tapi kalau main
jotos sembarangan itu urusan lain! Mulutnya baru
hendak melancarkan gempuran. Sayang, kalah cepat
dengan 'gempuran' wanita di depannya. Pemuda itu ti-
ba-tiba saja dirangkul erat-erat.
"Biar bagaimanapun, aku tetap rindu padamu,
Andika...," ujar perempuan tadi mendayu seraya
menggoyang-goyangkan tubuh Andika.
Pendekar Slebor mendelik. Ada sepasang benda
padat menggelitiki dada bidangnya! Dia makin membe-
lalak lagi ketika bibir tipis memerah si perempuan
memagut bibirnya sepanas gejolak lahar.
"Mhfff..., aufhh..., fuafhhh!" Pendekar Slebor ge-lagapan.
Usai membuat pendekar muda itu nyaris kehi-
langan napas, perempuan berwajah cantik namun
agak judes tadi menarik pergelangan tangan Pendekar
Slebor. "Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Pendekar Slebor sudah seperti sapi ompong, di-
ikutinya saja tarikan tangan perempuan itu. Seper-
tinya dia baru saja mengalami guncangan batin! Gun-
cangan yang sedap, tentu.....
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian pu-
tih ini ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat semula.
Di sana tertambat dua ekor kuda hitam jantan
pada sebongkah batu besar. Dari beban di punggung
kedua hewan itu, Andika menyimpulkan kalau wanita
yang mengundangnya ke tempat ini berencana mela-
kukan perjalanan jauh.
"Kau minggat dari istana ayahmu," tanya Andika usil. "Justru Ayahanda yang
memintaku melakukan ini," sahut si wanita sungguh-sungguh, tak berniat
menanggapi gurauan Pendekar Slebor.
"Beliau menyuruhmu melakukan apa?"
Tak ada jawaban segera atas pertanyaan Andi-
ka barusan. Wanita yang dikuntitnya terus mendekati
seekor kuda. Dari balik tas beban besar di punggung
kuda, wanita muda yang terpaut usia lebih tua bebe-
rapa tahun dari Andika itu mengeluarkan gulungan
kulit binatang sepanjang lengan. Warna kusam-suram
benda itu menandakan kalau usianya sudah tua. Di-
perkirakan lebih dari tiga ratus tahun.
Di depan Pendekar Slebor, gulungan kulit tadi
dibentangkan. "Lihatlah...," kata si wanita.
Andika membuka mata jelas-jelas. Di atas per-
mukaan lembar kulit tua itu, samar-samar dilihatnya
semacam peta kuno. Guratnya sudah mengabur. Na-
mun masih cukup jelas untuk diteliti. Tepat di tengah-tengah gambar mata Andika
terpancing sebaris huruf
Jawa Kuno. "Pulau Kera?" Pendekar Slebor mengeja.
"Ya, Pulau Kera. Aku memintamu datang agar
kau mau mengantarku ke sana.
*** Siapa sebenarnya wanita yang telah berhasil
mengundang si pendekar muda angin-anginan untuk
datang menemuinya"
Andika sesungguhnya sudah mengenal wanita
itu cukup lama. Tepatnya sejak dia mulai terjun ke gejolak dunia persilatan
untuk pertama kali. Nama wani-ta itu adalah Purwasih. Dia seorang anak raja yang
masih berhubungan keluarga jauh dengan Andika.
(Untuk mengetahui lebih jelas tantang tokoh wanita
ini, bacalah episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara"!) Sebagai seorang
salah seorang warga dunia persilatan, perempuan itu dikenal dengan julu-kan Naga
Wanita, pendekar yang selalu membawa pe-
dang besar bergagang kepala naga di punggungnya.
Sekitar sepekan lalu, seorang utusannya da-
tang menemui Pendekar Slebor. Prajurit istana itu
memberikan Andika surat yang ditandatangani Purwa-
sih. Purwasih meminta anak muda itu untuk datang
ke kaki Gunung Tengger.
Andika sebenarnya agak malas memenuhi per-
mintaan Purwasih. Bagaimanapun anak muda itu tahu
sifat Purwasih. Menghadapi wanita seperti dia, bagi
Andika sama saja menemani sekumpulan bu-rung Cu-
carawa. Cerewet. Bikin pusing. Menyebalkan. Andika
yang sebenarnya tergolong bermulut bawel saja masih
tak tahan menghadapinya. Mana judesnya tak terto-
long. Hanya karena Purwasih mengatakan tentang
suatu hal penting, Andika mau juga menemuinya. Di
samping itu, si anak muda sakti dari Lembah Kutukan
memang sudah cukup rindu dengan Purwasih. Sece-
rewet-cerewetnya dia, sejudes-judesnya dia, Andika tetap harus mengakui Purwasih
memiliki kenangan ma-
nis bersama wanita itu dalam masa perjuangan perda-
nanya dulu. Di pihak Purwasih sendiri, tugas dari ayahan-
danya disambut dengan kegembiraan. Bukan cuma hal
itu akan memuaskan jiwa petualang dan semangat ke-
pendekarannya. Lebih dari itu dia akan bertemu kem-
bali dengan Andika alias Pendekar Slebor, pemuda
yang sejak dulu membuat gemas hatinya.
Padahal ayahandanya justru tak pernah men-
ganggap main-main tugas yang diembankan kepada
putri tunggalnya ini. Kalau bisa, malah lelaki itu ingin menugaskan orang lain
saja. Patih istana misalnya.
Tapi, raja penuh wibawa itu tak bisa memilih selain
Purwasih. Karena cuma Purwasih yang bisa menjalan-
kan tugas itu. Namun sampai saat keberangkatan
Purwasih, dia tak pernah diberi tahu alasan ayahan-
danya memilih dia.
"Kau harus hati-hati, Anakku!" cuma pesan itu yang disampaikan ayahandanya pada
Purwasih. Dengan wajah yang mencoba menyembunyikan kekhawati-
ran di balik kewibawaannya. Purwasih tak begitu
mempedulikan. Pokoknya, dia bisa bertemu kembali
dengan Andika! *** Saat itu keduanya sudah berangkat menuju Pe-
sisir Pantai Selatan dengan menggunakan dua ekor
kuda jantan hitam yang telah dipersiapkan. Renca-
nanya di sana mereka akan berangkat dari satu der-
maga kecil. Salah seorang patih istana telah diutus untuk menyiapkan kapal layar
kecil, kendaraan yang di-
gunakan hanya oleh Pendekar Slebor dan Purwasih
untuk menuju Pulau Kera.
Angin keras mendadak melintas cepat di sisi ki-
ri kuda Purwasih. Hewan tunggangannya meringkik-
ringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depannya
terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan
tubuh Purwasih sejauh mungkin. Wanita bertubuh tak
terlalu tinggi itu terlonjak-lonjak di atasnya. Untuk beberapa hentakan punggung
kuda, dia nyaris terlempar.
Untung saja kesigapan tangannya mencengkeram tali
kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Kuda pemuda di sebelahnya menyuruk ke
samping. Kaki binatang itu bergerak-gerak gelisah. Kalau tak segera ditenangkan
Pendekar Slebor, tentu binatang itu pun akan turut panik.
Andika baru hendak melompat dari punggung
kuda untuk menolong Purwasih. Namun tampaknya
pendekar wanita itu sudah sanggup menenangkan
tunggangannya kembali. Dengan sedikit usapan-
usapan pada lehernya, kuda hitam tersebut akhirnya
tak lagi menyentak-nyentakkan kaki depan. Meskipun
keadaannya masih sedikit gelisah.
"Ada apa?" aju Andika, tak mengerti pada apa
yang sesungguhnya terjadi.
"Angin telah mengejutkannya," sahut Purwasih.
Nafasnya masih turun-naik tak teratur. Dibenarkan-
nya letak duduk setelah sebelumnya sudah tersudut
ke belakang pelana.
"Angin" Angin apa" Aku tak mengerti. Aku tak
merasakan ada angin melintas. Kalaupun ada, aku tak
yakin dapat membuat kuda itu menjadi liar seperti
itu," tukas Pendekar Slebor.
"Tapi aku merasakannya, Andika. Angin itu
bergerak cepat di sisi kiri kuda ini!" ujar Purwasih bersikeras. Andika curiga
ada seseorang yang hendak usil pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu,
dilepas pandangannya ke sekeliling mereka. Tidak ada
apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya
ada bentangan pasir yang menyapu rata hingga ke
puncak Gunung Tengger. Selain itu, hanya ada gerom-
bolan-gerombolan rerumputan liar.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yakin semuanya beres, anak muda itu men-
ganggap perkataan Purwasih tidak keliru. Mungkin
ada angin yang terlalu keras mengejutkan kuda tung-
gangannya. Sementara Andika sendiri mungkin tak be-
gitu menyadari.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu ke Pulau Kera ini?" tanya Andika pada Purwasih setelah beberapa
jauh berlalu. "Ada satu benda milik kerajaan yang harus
kuambil." "Benda rahasia apa?"
"Ayahanda ku tak pernah memberi tahu."
"Aneh...."
"Menurutku juga begitu."
"Kau pernah mencoba bertanya?" kejar Andika, penasaran.
Purwasih mengedikkan bahu.
"Ya, aku pernah mencoba. Tapi Ayahanda tam-
paknya hendak merahasiakan."
Rasa penasaran Pendekar Slebor makin mem-
bengkak. Keingintahuannya akan sesuatu memang be-
sar. Itu salah satu sifat khasnya sejak menjadi gelandangan di kotapraja sewaktu
kecil dulu. Dan itu pula yang menyebabkan otaknya menjadi terlatih.
Jika sesuatu dirahasiakan, biasanya karena
ada hal teramat penting terkandung di dalamnya, pikir anak muda berotak seencer
bubur bayi itu.
"Coba aku lihat lagi peta kulit itu," pinta anak muda itu.
Purwasih berusaha mengeluarkan kembali
benda yang diminta Andika dari dalam kantong di sisi kuda. Tangannya meraba-raba
sejenak, sampai akhirnya wajah mungil nan jelita wanita itu berubah. Garis-garis
parasnya menegang. Sedang warna ronanya me-
mucat sebentar, dan sebentar kemudian menjadi amat
memerah. "Hilang... benda itu hilang!" serunya hampir memekik. Kepanikan melandanya.
Sudah terbayang di
benaknya saat itu bagaimana ayahandanya nanti de-
mikian murka. Bagi Purwasih, kemurkaan lelaki itu lebih menakutkan ketimbang
amukan angin topan!
"Bagaimana mungkin bisa hilang?" lengak Pendekar Slebor. "Bukankah belum lama
tadi kau baru sa-ja menyimpannya kembali?"
"Aku juga tidak tahu!" hardik Purwasih, kesal.
Tak lama Pendekar Slebor menyadari sesuatu.
Dan mungkin itu telah terlambat. Dia ingat kejadian
sebelumnya, angin yang tiba-tiba berhembus hanya
melewati sisi kuda Purwasih. Tentu itu bukan sekadar angin biasa, melainkan
sapuan dari gerak teramat cepat seseorang yang telah merampas peta kulit dari
kantong di sisi kuda. Yang tak habis pikir bagi Andika, bagaimana mungkin orang
itu dapat bergerak demikian hebat. Sementara dia sendiri, pendekar muda
yang sering digembar-gemborkan kalangan dunia per-
silatan sebagai siluman dalam hal kecepatan gerak,
merasa tak cukup sanggup melakukannya. Terlebih la-
gi, Purwasih tak merasakan kantong di kudanya dija-
rah tangan seseorang.
Siapa yang akan dihadapi sesungguhnya"
2 Hanya berbatas bukit di sebelah tempat Pende-
kar Slebor dan Purwasih berhenti, seorang kakek du-
duk beruncang-uncang kaki di atas sebatang pohon
tumbang. Wajahnya demikian tua. Kerut-merut terlalu
meramaikan hampir sekujur wajah tua bangka itu.
Kumis dan jenggot putihnya memanjang sampai dada.
Rambutnya agak panjang, putih seperti juga jenggot-
nya, serta sama sekali tak tertata. Pakaiannya putih.
Tapi warnanya sudah demikian kacau-balau. Di sana-
sini kainnya sudah koyak-moyak. Dekilnya pun minta
tobat. Barangkali air rendamannya bisa untuk mera-
cuni kerbau satu kandang!
Tangan orang tua ini asik menimang-nimang
gulungan kulit hewan. Benda itulah yang telah dicu-rinya dari kantong pelana
kuda Purwasih. "Dasar dua anak muda tak punya otak! Masa'
bisa dikerjai orang jompo seperti aku begitu gampang.
Wuh, bikin malu saja!" gerutunya seraya bangkit.
Sejenak dia mondar-mandir di tempat. Tangan-
nya disilangkan di belakang punggung.
"Bagaimana mungkin aku mempercayakan
urusan besar seperti ini pada mereka?" gerutunya le-
bih jauh. Wajahnya jadi demikian kusam. Lebih kusam
dari jubah yang dikenakannya.
Dia berhenti melangkah. Alis putihnya mengke-
rut ketat. "Bisa berabe urusannya kalau mereka melan-
jutkan usaha itu. Tapi, memang cuma anak gadis si
Bratasena itu yang bisa melaksanakan tugas berat ini.
Jadi bagaimana, ya" Sialan, kenapa aku jadi dibikin
pusing sendiri!"
Langkahnya mulai terayun kembali. Seperti se-
belumnya, lelaki tua yang tetap bergerak gagah meski usianya dapat ditaksir
sudah lebih dari seratus tahun itu mondar-mandir kembali di tempat. Gayanya tak
kurang meyakinkan dari mandor kerupuk!
"Aku ada akal bulus, eh maksudku ada akal
bagus!" serunya mendadak. "Mereka tetap akan kuper-cayakan untuk melaksanakan
tugas berat ini. Tapi,
untuk itu mereka harus menjalani dulu semacam go-
dokan kecil dariku. Godokan kecil, he he he... aku su-ka kata itu! Biar mereka
sedikit kubikin kalang-kabut!"
Selesai menertawai sesuatu yang hanya dimen-
gerti dirinya sendiri, orangtua uzur itu bergerak amat cepat. Tempat itu
seketika sunyi. Tak ada lagi geru-tuannya. Tak ada lagi sosok keropos tadi. Si
orangtua hilang seperti siluman telat buang hajat!
*** Sementara itu, Pendekar Slebor dan Purwasih
alias si Naga Wanita, masih belum bisa menduga siapa yang telah mencuri gulungan
peta kulit dari kantong
pelana kuda tunggangan Purwasih.
Andika sudah mulai meruntunkan caci-maki
'sakti'nya. Dongkol bukan main hati anak muda itu
mengetahui dirinya telah dipermainkan seseorang. Dia merasa dilecehkan begitu
rupa. Purwasih bukannya tak dongkol. Lebih dari itu,
sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana pera-
saannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak ka-
ruan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita
itu pun turut tak karuan. Inginnya dia meloloskan pedang besarnya dari punggung
dan merencah-rencah
apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.
"Manusia keparat mana yang telah berani men-
curi gulungan peta kulit rahasia milik ayahandaku!"
geramnya. "Aku tak tahu seberapa berharganya benda itu bagi Ayahanda, tapi aku
yakin...."
"Sssttt!"
Kedongkolan Purwasih dijegal desis mulut Pen-
dekar Slebor. Mata anak muda itu menatapnya tanpa
berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati Purwasih. Perempuan yang semula
sedang meruntunkan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini men-
coba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya
terlaksana, selantun suara amat tajam mendadak ter-
cipta, menyeruak angkasa, dan menerjang gendang te-
linga kedua muda-mudi itu telak-telak.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Andika terperanjat. Bukankah itu senandung
yang dinyanyikannya ketika hendak menemui Purwa-
sih" Kalau begitu, tentunya orang usil ini telah mengi-
kuti mereka sejak awal. Bagaimana dia sampai tidak
menyadarinya" Anak muda itu tak sempat memper-
panjang keheranan, karena gendang telinganya sudah
terasa hendak terkoyak. Cepat didekapnya telinga dengan kedua tangan.
Bukan cuma Pendekar Slebor yang merasakan
hal itu. Purwasih di sebelahnya pun merasakan hal
yang sama. Bahkan dia merasakan siksaan rasa sakit
yang lebih parah dari Andika. Penyebabnya mungkin
karena tingkat tenaga dalamnya berada beberapa ting-
kat di bawah tenaga dalam Pendekar Slebor.
Andika sungguh mampus menerima perlakuan
seperti itu. Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-
ubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap
telinga, dikerahkannya tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan,
ke saluran napas di tenggorokan.
"Berhentiii!" teriakan mengguntur keluar dari pita suara anak muda itu, bagai
hendak menggempur
langit! Tak ada lain yang hendak diperbuat Pendekar Slebor dengan teriakan tadi,
kecuali melawan suara
senandung berkekuatan tenaga dalam amat tinggi mi-
lik si orang usil. Andika berharap, cukup dengan mengerahkan tenaga sakti
tingkat ke sepuluhnya, seran-
gan suara senandung tadi bakal lantak seketika.
Dugaannya meleset sama sekali! Suara senan-
dung yang melantunkan lirik milik Pendekar Slebor
ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya tak sedikit pun
berkurang. Ini benar-benar mengejutkan Pendekar Slebor,
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh.
Sekali lagi, Pendekar Slebor mencoba menge-
rahkan tenaga saktinya. Dari tingkat sepuluh pada
permulaan menuju pengerahan tingkat ke lima belas.
Pada tingkat itu tenaga saktinya sudah menjelang ke-
kuatan puncak. Jarang orang persilatan dapat menan-
dingi kekuatan sakti Pendekar Slebor pada tingkat demikian. Saat bersamaan, si
Naga Wanita pun hendak
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah
Andika membutuhkan bantuannya atau tidak, Purwa-
sih merasa harus melawan serangan suara lawan yang
membuat gendang telinganya nyaris pecah. Maka....
"Heaaa!"
Berbarengan dua teriakan terlepas dari dua ke-
rongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke
tingkat puncak.
Namun, apa hasilnya" Senandung tadi tetap
tak berubah! "Kunyuk buduk bau pesing...," desis Pendekar Slebor seraya meringis menahan
sakit luar biasa yang mulai menjalar ke bagian saraf-saraf di kepalanya.
Keadaan itu membuat tubuhnya mulai terasa lemas.
Otot-otot kenyalnya seperti digerogoti dari dalam.
Sementara itu, si Naga Wanita malah tak kuat
lagi menahan rasukan tenaga suara lawan ke segenap
jaringan sarafnya. Pertahanan tubuhnya kehilangan
kendali. Tak lama, tubuh perempuan itu sudah me-
lorot dari pelana. Jatuh meninju tanah dengan keras.
Anehnya, kalau kedua muda-mudi itu menga-
lami akibat yang cukup parah atas serangan suara
berkekuatan tenaga dalam tinggi tadi, dua ekor kuda
tunggangan mereka justru seperti tak merasakan apa
pun. Keduanya tenang-tenang saja. Seperti tak terjadi apa-apa, dua hewan itu
malah asyik memamah makanan dari perut mereka.
Meski keadaannya demikian sulit, Pendekar
Slebor masih sempat memperhatikan hal itu. Kini, si
pendekar muda dari Lembah Kutukan makin menya-
dari siapa yang tengah dihadapinya. Bukan suatu ker-
ja yang mudah bahkan untuk seorang datuk persilatan
sekalipun melakukan serangan dengan tenaga sakti
hanya ditujukan untuk korbannya!
Jadi, siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi
kini" Hati Pendekar Slebor menggerutu.
Namun karena kekhwatirannya pada Purwasih,
menyebabkan Pendekar Slebor tidak begitu mempedu-
likan tanda tanya di hatinya.
"Purwasih! Kau tak apa-apa"!" teriaknya, mencoba menyaingi suara lawan agar
teriakannya bisa di-
tangkap telinga Purwasih.
Tak ada jawaban. Purwasih tetap tergeletak tak
bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan
diri lagi. "Kutu busuk, kunyuk, bangsat, kuda nil! Kalau
sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan kuren-
cah-rencah dagingmu!" umbar Pendekar Slebor, sarat kemurkaan.
Senandung mendadak terhenti. Bukan karena
kekuatan teriakan anak muda itu telah mempecun-
dangi kekuatan suara tadi, melainkan si pemilik suara senandung rupanya memang
sudah bosan dengan
mainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-
da dirinya?"
Terdengar sebentuk suara yang dikenali Andika
sebagai suara orang usil tadi. Dari warna suaranya,
Andika menilai kalau orang yang sedang berurusan
dengannya adalah seorang tua bangka.
Pendekar Slebor menurunkan tangan dari te-
linganya. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga dalam tingkat
tinggi. Hanya suara jarak jauh
yang lebih bersahabat.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya"!"
hardik Andika, tak kekurangan kegeraman.
Jawabannya cuma kekeh tawa.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara
tawa jelekmu itu!"
Lagi-lagi terdengar kekeh berat.
"Dasar anak muda sial! Rupanya kau selalu tak
mau tahu sedang berurusan dengan siapa, heh"!"
"Ya, siapa kau tempe bongkrek"! Bukankah itu
yang memang kutanyakan tadi padamuuuu!" Pendekar Slebor makin dibuat kalap. Urat
lehernya sampai nyaris putus karena begitu geram berteriak. Matanya me-
lotot-lotot. Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan,
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya sudah seperti orang cacingan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak
terduga-duga, bahkan oleh Pendekar Slebor sendiri.
Seorang lelaki tua tiba-tiba sudah duduk berongkang
kaki tepat di atas kuda yang ditunggangi Purwasih sebelumnya. Orang tua itu yang
telah mencuri gulungan
peta kulit dari kantong pelana.
"Hooii, keluar kau! Jangan hanya bisa main
sembunyi-sembunyian seperti anak kecil, Tua Bang-
ka!" ledak Pendekar Slebor tidak puas-puasnya. Tak disadarinya sama sekali kalau
orang yang dimaksud
malah sudah berada tepat di sampingnya.
Orang tua tadi lama-kelamaan menjadi dongkol
juga menyaksikan Pendekar Slebor terus saja berte-
riak-teriak tak karuan. Digerakkan tangan kanannya
amat ringan ke belakang kepala si anak muda.
Plak! Andika tersentak bukan alang kepalang. Bukan
kerasnya tamparan telapak tangan di belakang kepa-
lanya yang membuat dia begitu. Cuma, dia tak pernah
menyangka tahu-tahu saja ada pukulan mendarat. Pa-
dahal, telinga terlatihnya sama sekali tak menangkap
adanya angin pukulan berseliwer. Padahal pula, telinga pendekar muda urakan itu
bisa menangkap gerak seekor nyamuk dari jarak lima tombak.
"Wait, siapa kau"!"
Pendekar Slebor lantas melompat turun dari
atas punggung kuda. Hinggap di tanah, dan langsung
mencak-mencak. Namun begitu melihat siapa orang
barusan, seketika itu juga parasnya kecut. Warna mu-
ka yang semula merah, berubah memucat, lalu meme-
rah lagi, lalu memucat lagi
"Kenapa kau memelototi aku seperti itu, Bocah
Sial! Apa kau tak suka bertemu aku"!" bentak si orang tua mendapati mata
Pendekar Slebor mendelik ke
arahnya. Andika mengusap-usap mata, berkali-kali. Tak
bisa dipercaya apa yang dilihatnya kini.
"Aku pasti sedang mimpi...," gumamnya. "Pasti sedang mimpi... Atau barangkali
aku kurang tidur se-malam?"
Bagaimana anak muda itu bisa percaya pada
penglihatan sendiri, kalau lelaki tua yang dilihatnya kini adalah buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan.
Seorang tokoh dedengkot golongan putih yang sudah
menjadi legenda orang-orang persilatan.
Dulu. ketika untuk pertama kali sekaligus yang
terakhir kali bertemu dengannya di Lembah Kutukan,
buyutnya itu menemui ajal di sana. Dan Andika pula
yang menguburkannya (Baca kisahnya pada episode :
"Dendam Dan Asmara"). Kalau sekarang lelaki bernama Ki Saptacakra itu muncul
kembali tepat di depan-
nya, apa tak mungkin dia sedang bermimpi" Atau bisa
jadi anak muda itu sedang berhadapan dengan han-
tunya" Andika megap-megap. Sikap yang lahir akibat
perasaan bingung, kekagetan, dan ketidakpercayaan
yang campur-aduk jadi satu.
"E-eh, sekarang malah megap-megap seperti
mujair begitu!" hardik si tua bangka kembali. Dipeloto-tinya anak muda itu
dengan mata kelabu tuanya.
"Ampun Mbah.... Apa buyutmu ini punya salah
sampai kau sendiri mesti datang langsung dari alam
kubur untuk menegurku?" ucap Pendekar Slebor terbata-bata.
"Kutukupret kau! Aku belum mati!"
"Sudah Mbah, Mbah sudah mati. Yakinlah.
Buyutmu ini telah berkata sejujurnya. Tak baik jadi
arwah penasaran, Mbah!"
"Belum!"
"Sumpah, Mbah.... Dulu aku yang mengubur-
kan Mbah, bukan?"
"Memangnya aku menyuruh kau untuk men-
guburkan aku?"
"Ya, kalau Mbah mati, mesti dikubur bukan?"
"E, bujubuneng! Kubilang aku belum mati! Kau
saja yang kelewat tolol menganggap aku sudah mati.
Pertama kali kau bertemu aku, kau menganggap aku
sudah mati. Padahal aku sedang bersemadi...."
"Sudah, Mbah...."
"Sial!"
Si tua Pendekar Lembah Kutukan makin jeng-
kel. Dulu pun dia pernah dianggap setan gentayangan
oleh anak muda ini di Lembah Kutukan. Masa sekali
saja tidak cukup" Benar-benar keterlaluan!
"Nih! Kalau kau tak percaya, cium telapak ka-
kiku!" Dengan gemas disorongkannya sebelah kaki yang berkerut dan berbau tujuh
puluh tujuh ekor siluman. Andika terbangkis-bangkis demi mencium
ujung jempol kaki si tua bangka. Kepalanya pening tu-
juh keliling. Perutnya mual, rasanya isi perutnya hendak jebol saat itu juga.
Tak lama kemudian, dia benar-benar muntah. Itu baru jempol kaki, bagaimana lagi
kalau telapaknya"
"Nah, sekarang kau bisa membedakan, apa bau
jempol kakiku seperti orang hidup atau seperti bau setan penasaran" Dasar anak
tengik!" "Ya Mbah..., tengik!" timpal Andika meringis sambil menunjuk jempol kaki Ki
Saptacakra 3 Di tepi Hutan Alas Roban, belantara perawan
yang tak terusik manusia di Ujung Kulon waktu itu,
enam sosok kecil bergerak lincah dari pohon ke pohon, dalam keremangan selimut
malam yang mulai menebar.
Sosok-sosok kecil itu terus bergerak teratur,
beriringan dalam jarak tak terlalu jauh. Melompat dari satu pohon ke pohon lain,
berayun gesit dari satu oyot ke oyot pohon lain, hinggap dan melompat...
bersalto dan memekik.... Semuanya bergerak menuju arah pasti, barat. Sepertinya
hendak memburu sisa cahaya sen-ja yang megap-megap tanpa daya.
"Nguik-nyit! Kak... kak.. kuik!" suara riuh rendah menyertai kegesitan enam
sosok kecil tadi. Me-
rangsak semak, menerjang kerimbunan.
Ketika sisa cahaya mentari menyapu sekujur
tubuh keenam sosok itu, menjadi jelaslah bentuk tu-
buh mereka. Mereka ternyata cuma enam ekor kera
hutan. Namun, untuk dikatakan 'sekadar kera', sebe-
narnya belum cukup tepat. Di samping karena warna
merah bulu mereka sungguh tidak lazim seperti kera
biasa, juga karena mereka bergerak demikian teratur,
seakan satu sama lain saling memahami pikiran mas-
ing-masing. Mereka memang bukan kera biasa. Bukan,
sama sekali bukan!
Ketika akhirnya keenam kera tersebut tiba di
batas Hutan Alas Roban, semuanya hinggap di tanah
kosong berumput liar. Dekat dengan sebuah pohon
randu besar tua berusia ratusan tahun, mereka ber-
kumpul membentuk lingkaran. Seperti juga gerak tera-
tur mereka, lingkaran itu pun terbentuk demikian teratur. Sekali lagi, itu
membuktikan mereka bukanlah sekadar kera biasa.
"Nyit... nyit!"
Salah satu kera seolah memberi aba-aba pada
lima ekor yang lain dengan lengkingan dan kibasan
tangannya. Kera yang lain lantas merapat, memperke-
cil lebar lingkaran. Lalu, tangan masing-masing kera berpagutan kuat, membentuk
rantai melingkar tak be-rujung-pangkal.
Kera yang sebelumnya memberi aba-aba kem-
bali memperdengarkan suara tingginya,
"Nyit-nguk!"
Menyusul pekik terakhir, keenam kera merah
itu menurunkan tubuh. Mereka duduk bersila dengan
cara manusia! Waktu beringsut bersama diamnya mereka se-
mua. Kelopak mata enam kera merah itu terbuka. Ti-
dak saling menatap, melainkan diarahkan pada pasat
lingkaran. Tanpa sekejap pun berkedip, mereka terus
memusatkan pandangan masing-masing.
Waktu tak peduli pada apa yang mereka kerja-
kan. Malam mengendap-endap.
Lewat delapan kali waktu penanakan nasi, bu-
lu-bulu merah mereka perlahan-lahan berpendar, me-
nyemburatkan warna-warna pelangi. Tata cahaya ter-
sebut memanjang dari sekujur tubuh mereka masing-
masing, meliuk-liuk membentuk pusaran halus, ke-
mudian saling memagut menjadi satu.
Begitu menyatu, ragam cahaya pelangi tadi be-
rubah seketika menjadi warna merah menyilaukan ma-
ta. Amat menyilaukan, bahkan sampai menelan tubuh
keenam kera merah.
Lama cahaya merah menyilaukan tadi meraja
bagai gumpalan bara raksasa di tengah-tengah kegela-
pan Hutan Alas Roban. Sampai akhirnya, cahaya ter-
sebut redup dan redup. Dari penyusutan besar cahaya
itu, muncullah enam kepala manusia! Ya, kepala ma-
nusia! Bukan lagi kepala enam ekor kera merah. Ma-
nakala cahaya merah menyilaukan tadi terus menyu-
sut menuju pusat lingkaran, wujud yang kini terlihat semakin jelas
memperlihatkan bentuk enam manusia!
Malam akhirnya benar-benar jatuh. Tak ada la-
gi sisa cahaya. Kegelapan benar-benar meraja. Awan
pekat beringsut-ingsut di angkasa. Begitu bertumbu-
kan satu dengan yang lain, gemuruh berat pun bergu-
liran di atas sana, dibuntuti kerjapan kilat. Kebetulan saat itu tanah Jawa
memang sedang dirundung musim
penghujan. Jauh dari kesunyian kaki Gunung Tengger, se-
kumpulan orang sedang duduk mengelilingi api un-
ggun besar. Ada sekitar empat orang lelaki dan dua
wanita. Semuanya duduk bersila. Wajah mereka ber-
pendar kemerahan digapai cahaya api unggun. Tak
seorang pun memperlihatkan wajah santai, karena me-
reka semua sedang membicarakan sesuatu yang tam-
paknya membutuhkan kesungguhan.
Empat lelaki di sana rata-rata berusia muda,
tak lebih dari tiga puluhan. Yang duduk di kepala lingkaran adalah pemuda
berparas garang. Kekokohan ra-
hangnya ditimpali dengan ketajaman garis matanya.
Belum lagi sepasang bentangan alis lebat dan kumis
tebal. Rambutnya pendek diikat kain lurik. Berpakaian warna gading. Dia bernama
Suntara. Di sebelah Suntara duduk bersila dua lelaki
Sugali dan Sugalu. Keduanya bersaudara. Meski tak
kembar, wajah dan perawakan keduanya benar-benar
serupa. Orang benar-benar sulit membedakan mereka
berdua. Mereka memiliki wajah yang berkesan lebih
muda dari usia sesungguhnya. Rambut mereka pan-
jang dikepang sebatas pinggang. Berpakaian serupa
pula, rompi hitam dan celana pangsi selutut.
Dibarisan selanjutnya, seorang lelaki lain du-
duk memainkan batang kayu api unggun yang me-
manjang ke dekatnya. Pemuda satu ini bertubuh agak
gempal. Mukanya bulat dan kelimis, sekelimis ram-
butnya yang berminyak. Dari keempat lelaki, dialah
yang paling berpakaian perlente, dengan baju koko
tebal dari katun mahal berwarna nila. Nama lelaki terakhir ini Buntaka.
Dua wanitanya lebih muda. Dari parasnya me-
reka di bawah usia tiga puluhan. Keduanya sama-
sama menarik dengan kelebihan daya tarik wajah mas-
ing-masing. Seorang yang berhidung mancung dan be-
rambut ikal sepanjang bahu bernama Wedari. Berpa-
kaian abu-abu ketat dengan selendang ungu panjang
melilit bagian kerah lehernya. Yang lain bermata amat bulat. Cempaka namanya.
Perempuan ini adalah saudara kembar Suntara. Berpakaian sederhana dengan
pakaian lelaki berwarna biru muda. Rambutnya ditata
pendek, hingga mirip lelaki jika dilihat sekilas.
Keenam orang itulah yang beberapa waktu lalu
menjalani perubahan wujud dari kera menjadi manu-
sia. Telah setengah abad lebih mereka menjelma men-
jadi enam ekor kera merah. Selama itu, mereka meng-
huni bagian paling rawan Hutan Alas Roban yang tak
terjamah manusia.
Jadi, akan sangat keliru bagi siapa pun jika
menilai usia mereka hanya dari raut wajah. Di balik
wajah berkesan muda keenam orang itu, sesungguh-
nya mereka sudah berusia cukup tua.
"Sudah Waktunya kita kembali ke Pulau Kera
untuk menghidupkan kembali perguruan kita, Kera
Merah, yang telah sekian puluh tahun musnah. Itu pe-
san Guru pada kita." Suntara angkat bicara.
"Benar, Kang! Kita harus membangkitkan kem-
bali perguruan kita dan membangun kekuatan kemba-
li! Kita harus buktikan pada dunia persilatan kalau
Perguruan Kera Merah belum musnah. Dan kita cari
pembunuh Guru untuk membayar nyawa Guru yang
telah disingkirkan!" Buntaka ambil bagian. Suaranya meletus-letus memendam bara
dendam. Lain Buntaka yang penuh gejolak, lain pula
Wedari. Wajah wanita ini tampak begitu murung. Men-
dung di atas langit seperti berpindah ke paras ayunya.
"Aku jadi sedih kalau mengingat keadaan Guru
waktu itu," ucapnya perlahan. "Bagaimana beliau sekarat dengan luka yang
demikian menyedihkan di
pangkuanku. Aku masih ingat darah kental hitam
mengalir dari mulutnya, membasahi jenggot putihnya.
Beliau tetap memikirkan kita pada saat itu, pada saat nyawanya sendiri sudah di
ujung tenggorokan.
Kau ingat Kang Suntara, tatapan terakhir Guru
pada kita semua" Ingat bagaimana mata kelabu itu
memancarkan kekhawatiran demikian besar pada na-
sib kita nanti. Tentunya beliau tak ingin kita menjadi korban tangan jahat
lelaki iblis itu...."
Yang lain mendengarkan. Dan sepertinya sedi-
kit ikut terhanyut oleh nada sendu ucapan Wedari.
"Benar kata Kang Buntaka, suatu hari kita ha-
rus membayar nyawa Guru! Lelaki iblis itu harus mati seperti cara Guru
menghadapi kematian! Harus men-
derita seperti penderitaan Guru!" geram Sugali dengan tatapan mata menghunus
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setajam sembilu ke arah tarian api unggun. Gerak api sepertinya membentuk
gambaran seseorang yang begitu dibencinya.
"Sudahlah.... Guru tentu tak ingin kita menjadi bermuram-durja. Sebaiknya kita
langsung membicarakan pesan terakhir Guru pada kita semua...," Suntara menyudahi
kemurungan yang mengurung.
Dari lipatan ikat pinggangnya, lelaki yang beru-
sia paling tua di antara mereka itu mengeluarkan lipatan kulit binatang yang
tampaknya telah disamak ber-
tahun-tahun lampau.
Dihamparkannya lembaran kulit tersebut di
tengah-tengah lingkaran, tetap di sisi api unggun. Nyala terang api unggun pun
memperjelas permukaan
lembaran kulit hewan berusia tua itu. Kini terlihatlah gambar sebuah peta.
Dan... gambar itu amat serupa
dengan milik Purwasih!
"Kalian tentu masih ingat, setengah abad lalu,
ketika Guru sedang sekarat beliau memberikan lemba-
ran peta ini pada kita. Pesan beliau, kita hanya boleh membukanya ketika kita
telah menjalani lima puluh
tahun masa penjelmaan kita menjadi kera...," mulai Suntara lagi.
"Tentunya Guru punya maksud, bukan?" Cem-
paka bertanya dengan gaya yang acuh tak acuh. Sifat
perempuan itu memang bertolak belakang dengan We-
dari. Namun, bukan dengan begitu dia jadi tak peduli sama sekali dengan seluruh
perkataan saudara seperguruannya yang lain. Dalam beberapa keadaan terten-
tu, Cempaka justru memperlihatkan rasa sayangnya
pada setiap saudara seperguruan.
"Ya," jawab Suntara singkat. Dilanjutkan dengan penuturannya.
"Ada sesuatu yang harus kita dapatkan di Pu-
lau Kera selain membangun kembali Perguruan Kera
Merah." "Apa itu, Kang?"
Suntara baru hendak memberi tahu, namun
terpancung oleh kedatangan suara tak bersahabat dari satu pucuk pohon besar.
"Mahkota Raja Kera! Benda itu akan jadi milik-
ku!" Selanjutnya, meluncur turun sebentuk badan besar berbulu membelah kepekatan
bersama geraman
amat berat, seolah lahir dari kerongkongan naga.
Keenam orang di sekitar api unggun tercekat,
terlebih manakala sinar api unggun memperjelas ben-
tuk sosok yang baru datang....
Seolah mendapat aba-aba, berbarengan mereka
mendesiskan sebuah nama angker.
"Raja Monyet Durjana...."
Raja Monyet Durjana adalah seorang lelaki be-
rusia amat tua, sebaya dengan guru mereka. Lelaki ini pernah menuntut ilmu 'Kera
Sakti'. Namun karena sa-tu kesalahan, wujudnya malah berubah menjadi see-
kor kera besar menyeramkan. Dia baru akan kembali
ke wujud semula jika telah menguasai Mahkota Raja
Kera yang dimiliki oleh seorang guru di Perguruan Kera Merah. Sayang, ketika
Raja Kera Durjana memaksa
sang guru Perguruan Kera Merah untuk menyerahkan
benda tersebut padanya, Mahkota Raja Kera justru te-
lah disembunyikan dalam tempat rahasia oleh sang
guru perguruan.
Terjadi pertarungan antara keduanya. Itu men-
gakibatkan sang guru perguruan menemui ajal. Berpu-
luh-puluh tahun Raja Kera Durjana mencari ke sege-
nap penjuru Pulau Kera, benda itu tetap tak ditemu-
kan. Sampai akhirnya dia putus asa dan mengasing-
kan diri ke sebuah gua.
Suatu hari, dia menyaksikan enam ekor kera
merah di Hutan Alas Roban. Kala itulah dia teringat
pada ajian 'Jelma Kera' milik guru Perguruan Kera Merah. Tentunya ajian itu pun
telah diturunkan oleh
keenam orang muridnya yang menghilang tanpa jejak.
Dia pun mulai mengendusi kalau dirinya selama ini telah diperdayai. Keenam murid
itu sengaja men-jelma
menjadi kera untuk menghindari pengejarannya.
Selama bertahun-tahun. Raja Kera Durjana te-
rus mengawasi gerak-gerik keenam kera jejadian itu.
Lebih dari empat puluh tahun dia mengawasi. Ten-
tunya bukan waktu yang sebentar. Namun, dia tetap
yakin, suatu hari kera-kera jejadian itu akan menjelma ke bentuk aslinya. Pada
saat itulah dia akan memaksa mereka memberi tahu di mana tempat persem-
bunyian Mahkota Raja Kera!
Kini waktunya telah tiba....
Suntara bangkit dengan sikap berwibawa. Wa-
jahnya tetap kera, dingin, tak berubah sedikit pun.
Berbeda sekali dengan kelima saudara perguruannya.
Lima puluh tahun. Selama itu, mereka menanti
agar bisa menjelma menjadi manusia kembali. Lima
puluh tahun mereka harus menjadi hewan penghuni
Hutan Alas Roban, semata hanya karena mereka tak
ingin melanggar pesan terakhir almarhum guru mere-
ka. Guru mereka tak pernah mengizinkan mereka
menjelma menjadi manusia kembali sebelum lima pu-
luh tahun. Padahal, mereka demikian ingin mencari
Raja Kera Durjana dan melunaskan dendam mereka
atas kematian sang guru.
Dan kini, setelah keenam murid dari Perguruan
Kera Merah itu menanti demikian lama, akhirnya ber-
temu juga dengan manusia laknat yang bertanggung
jawab atas kematian guru mereka. Tepat pada saat
mereka telah menepati perintah sang guru untuk men-
jelma menjadi kera selama lima puluh tahun.
"Akhirnya...," desis Suntara. Kelima saudara seperguruannya turut bangkit.
Masing-masing mengambil tempat sejajar, sampai keenamnya membentuk
barisan menghadap lawan.
Lawan mereka di depan menyeringai, memper-
lihatkan sepasang taring sebesar jari kelingking di sudut bibir hitamnya. Mata
besar berurat kasar kemera-
hannya berkilat-kilat, memancarkan kekejian pekat.
"Kalian hendak menuntut balas atas kematian
guru kalian" Nguk nguk he he he! Kalian cuma mimpi
selama lima puluh tahun jika berniat hendak membu-
nuhku. Sayangnya, mimpi itu akan segera berakhir!"
Mendengar ucapan pongah Raja Kera Durjana,
Buntaka mendengus berat.
"Apa pun katamu, kami pasti akan mengirim-
mu ke tempatmu yang sebenarnya... neraka!"
Selesai berkata, Buntaka tak menunggu lebih
lama lagi. Api dendamnya telah demikian menjerang
hingga ke ujung ubun-ubun. Dendam yang selama ini
terpendam kini termuntah seperti gelegar gunung me-
rapi memuntahkan lahar! Diterjangnya Raja Kera Dur-
jana tanpa meminta persetujuan kakak seperguruan-
nya lagi. "Mampuslah kau, Monyet Busuk! Hiaaa!"
"Buntaka tunggu!" Suntara berusaha menahan, tapi sudah terlambat. Buntaka lebih
cepat menerjang
ke depan dengan jurus 'Cakar Kera Gila'-nya. Dari sepuluh ujung jari lelaki
gempal itu seketika bersembulan kuku-kuku runcing berwarna hitam.
Wukh! Jarak yang cukup dekat dengan lawan, mem-
percepat gerak terjangan cakar Buntaka. Namun bu-
kanlah berarti serangannya mendarat tepat pada sasa-
ran. Dengan amat cepat, Raja Kera Durjana mengibas-
kan tangan kanan. Bunyi menderu sekuat hempasan
mata golok besar di udara tercipta.
Wush... dash! Cakar Buntaka yang mencoba mengoyak leher
Raja Kera Durjana dijegal oleh kuku-kuku si lelaki setengah kera raksasa. Kini,
terlihatlah sepuluh kuku
runcing yang jauh lebih besar, jauh lebih menggidik-
kan dari milik Buntaka! Benturan cakar mereka
menghasilkan asap putih tipis yang mengambang lam-
bat di udara malam.
Buntaka sendiri mengeluh tertahan. Didekap-
nya pergelangan tangan yang terjegal cakar lawan. Betapa dia merasakan hantaman
ujung runcing kuku-
kuku lawan serasa baru saja menumbuk cakarnya.
Padahal, cakar Buntaka sendiri sanggup mengoyak ka-
rang! 4 "Kau mau tahu kenapa aku harus kembali ke
dunia persilatan sialan ini?" Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan, buyut
Pendekar Slebor mem-
buka percakapan dengan Andika. Saat itu Andika su-
dah bisa percaya kalau orang tua yang tengah dihada-
pinya bukanlah setan gentayangan atau arwah pena-
saran. Berani sekali lagi anak muda itu menyebut de-
mikian, maka telapak kaki berbau tujuh puluh tujuh
ekor siluman milik si tua bangka akan mendarat di hidungnya!
Lebih baik berdamai, ketimbang harus men-
cium bebauan mematikan seperti itu, pikir Andika terpaksa. Lagi pula Pendekar
Slebor ingat seorang saha-
bat lama Ki Saptacakra berjuluk Pertapa Rakit yang
pernah ditemuinya mengatakan kalau Pendekar Lem-
bah Kutukan sebenarnya memang masih hidup (Baca
kisahnya dalam episode : "Permainan Tiga Dewa").
"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 'dunia'?"
Ki Saptacakra baru hendak menyorongkan te-
lapak kakinya ke hidung Pendekar Slebor. Untung
anak muda itu buru-buru membenahi kesalahan per-
kataannya. ".... E-eh, kembali ke 'dunia'... persilatan, maksudku!" "Itu memang baru mau
kukatakan padamu!"
"Itu juga baru mau kutanyakan padamu, Ki
Buyut." "Jangan membolak-balik perkataanku!"
"Kalau tidak begitu, bukan keturunan Pendekar
Lembah Kutukan dong...."
Ki Saptacakra tertawa tergelak-gelak.
Andika ikut-ikutan. "Hua ha ha ha!" dia bersikap sok akrab dengan buyutnya yang
selama hidup baru dua kali bertemu. Disangkanya lelaki bangkotan
itu senang mendengar ucapannya tadi. Tapi apes....
Tak! Jidatnya dihadiahi jitakan keras, membuat ke-
palanya saat itu seperti baru saja disambar kepalan
Bima. "Kau kira aku suka"!" bentak Ki Saptacakra mendelik-delik.
Andika cuma bisa meringis-ringis: Tahu rasa
dia! "Kau mau mendengar penjelasanku atau tidak,
cucu buyut slompret"!" sambung Ki Saptacakra.
"Ki Buyut sendiri, mau menjelaskan padaku
atau tidak...?" ceplos Andika lagi, belum juga kapok.
"Eeee...." Orang tua di depannya sudah mengangkat tangan lagi, hendak menjitak
Andika. Tobat, Ki Buyut! Aku mau dengar.... Tapi ba-
gaimana dengan Purwasih" Dia 'kan cucu buyut ke-
menakanmu" Apa sebaiknya dia ikut mendengarkan
juga penjelasanmu tentang peta Pulau kera itu?"
"Kau jangan mengaturku! Biar saja dia pingsan
dulu! Soal penjelasannya, nanti juga kau pun bisa me-nyampaikan padanya!"
"Ho-ohlah... ho-oh! Terserah Ki Buyut saja,..,"
Andika pasrah, kalau tak ingin benjol sebesar telur ja-wara di jidatnya
bertambah. Mulailah si tua Pendekar Lembah Kutukan ber-
cerita tentang seorang lelaki tua guru besar Perguruan Kera Merah dengan keenam
muridnya. Juga tentang
pertarungan maut antara sang guru perguruan dengan
Raja Kera Durjana.
"Lalu apa hubungannya dengan kau, Ki Buyut"
Juga hubungannya dengan aku dan Purwasih" Kenapa
urusannya jadi nampak ngelantur jauh?" tanya Pendekar Slebor selesai Ki
Saptacakra bercerita.
"Itu juga baru akan kujelaskan padamu! Kena-
pa kau tak bisa menahan sebentar saja mulutmu agar
tak bicara!"
Andika pasrah lagi. Menyebalkan juga sebenar-
nya. Tapi, yang dihadapinya sekarang adalah buyut-
nya. Orang tua yang pasti lebih sableng darinya. Jangan-jangan jin belang pun
takut padanya! *** Di lain tempat, pertarungan sengit antara enam
murid Perguruan Kera Merah tak bisa dicegah lagi. Kekalapan Buntaka sudah
meletus. Serangan pertama
gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli lagi lelaki gempal itu
pada siapa dia berhadapan. Lawannya jelas bukan orang sembarangan. Lelaki berwu-
jud setengah kera raksasa itu lima puluh tahun lam-
pau telah berhasil menyingkirkan gurunya. Kalau gu-
runya saja bisa disingkirkan, bagaimana lagi Buntaka"
Namun bagi Buntaka sendiri, persoalannya se-
karang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Me-
lainkan, bagaimana dia bisa melampiaskan dendam
yang selama ini cuma menjadi karat dalam dirinya.
Nyawa harus ditebus nyawa, pikirnya. Dan kalaupun
dia tak berhasil melunaskan dendam dengan menca-
but nyawa lawan, setidaknya dia sudah merasa puas.
Tanpa disadari Buntaka, justru itu menjadi sa-
tu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api den-
dam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang.
Bahkan seringkali letupan nafsu justru membawa aki-
bat merugikan diri sendiri,
Terbukti ketika satu cakaran ke sekian dicoba
didaratkan Buntaka ke dada lawan, Raja Kera Durjana
mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki se-
tengah kera raksasa itu mula-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah
putaran. Dan dari belakang tubuhnya, tiba-tiba berseliwer benda panjang berbulu
ke arah Buntaka.
Buntaka tercekat. Kesiagaannya selama ini
hanya dipusatkan pada serangan cakar besar lawan.
Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan
bagian tubuh lain. Pada detik itu, Buntaka sudah terlambat menyadari.
Desh! Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-
nyata ekor Raja Kera Durjana. Bagian tubuh lawan
tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar.
Padahal yang mendarat di bagian ulu hati Buntaka
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cuma bagian ujungnya.
Tubuh lelaki gempal dari Perguruan Kera Me-
rah kontan terjengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia terseret sekitar
enam-tujuh langkah.
"Nguk nguk he he he!" Raja Kera Durjana terkekeh. Dia begitu puas, apalagi
menyaksikan Buntaka
meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-
nentang Raja Kera Durjana!"
Kelima saudara seperguruan Buntaka teramat
gusar menyaksikan keadaan saudara seperguruannya.
Mereka mengeroyok Raja Kera Durjana dengan pan-
dangan menghanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja"!" ledek Raja Kera Durjana meremehkan
sekali. Sugali dan Sugalu hendak beranjak maju. Tapi
tangan Suntara membentang di depan, menghadang
mereka. "Belum waktunya," bisik Suntara tegas.
Di belakang mereka, Buntaka beringsut bangkit
kembali. Dengan mata merah pekat dia melangkah ter-
tatih. "Aku belum menyerah, Monyet Busuk!" erangnya bergetaran. Memang tak ada
tanda-tanda kalau le-
laki bertubuh gempal itu terluka dalam. Tak ada darah kehitaman mengalir keluar
dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-
mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Buntaka hendak memulai kembali ter-
jangannya, Suntara kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan kakak seper-
guruannya, Buntaka menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-
kan orang-orang Perguruan Kera Merah, Raja Kera
Durjana?" ucap Suntara, setelah sebelumnya dia melangkah maju beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh anggota perguruan kami. Kau pun mem-
bunuh guru kami. Kini setelah lima puluh tahun berla-lu, kau masih juga belum
puas?" Cempaka tak senang mendengar perkataan ka-
kak kembarnya barusan. Meski dia murid paling bung-
su di antara mereka, bukan berarti dia harus selalu setuju dengan yang lain.
Baginya, perkataan Suntara
bukanlah ucapan seorang pendekar, melainkan lebih
tepat dikeluarkan dari mulut seorang pecundang.
"Apa-apaan kau ini, Kang Suntara"!" selak
Cempaka gusar. Dia maju di depan Suntara, lalu di-
tentangnya Raja Kera Durjana dengan cara bertolak
pinggang. Suntara menghela napas. Dia mengerti bagai-
mana sifat wanita yang sebenarnya bukan cuma sau-
dara seperguruan semata, tapi juga adik kembarnya
sendiri itu. Dan di antara keenam sisa murid Pergu-
ruan Kera Merah, mereka berdua memiliki kelebihan
sendiri. Ikatan batin yang begitu kuat antara dua saudara kembar itu menyebabkan
mereka bisa mengem-
bangkan ilmu 'Wicara Garba' yang diturunkan khusus
oleh guru mereka kepada keduanya. Ilmu itu dapat
membuat mereka bercakap-cakap dengan bahasa hati
bila dipergunakan.
Suntara menepuk bahu adik kembarnya di d-
pan. Ketika perempuan beradat keras itu menoleh, di-
tatapnya mata Cempaka lekat-lekat. Lalu seberkas ge-
lombang tak tertangkap mata manusia mengalir dari
mata Suntara dan masuk ke sepasang mata bulat
Cempaka. "Aku bukan hendak bersikap pengecut. Aku
punya siasat! Kita harus menghindari dulu manusia
laknat ini. Kau tentu ingat pesan Guru. Kita tak boleh berhadapan dengannya
sebelum kita benar-benar menemukan benda wasiat peninggalan Guru...."
Di garba Cempaka, terdengar kata hati kakak
kembarnya. Kini, perempuan itu bisa mengerti. Dia
pun melangkah kembali ke tempatnya.
"Karena kami tak ingin mengungkit masa lalu
yang demikian menyakitkan untuk kami, kami akan
menyerahkan peta rahasia Pulau Kera padamu...," lanjut Suntara.
Buntaka terperangah. Mana mungkin Suntara
bisa berkata seperti itu" Tindakan yang bukan cuma
bodoh, melainkan sama saja dengan bunuh diri! Kalau
Raja Kera Durjana nanti bisa menemukan benda wa-
siat peninggalan guru mereka, maka tak ada lagi ke-
sempatan bagi mereka untuk bisa menang melawan
kesaktian Raja Kera Durjana!
Untunglah Cempaka cepat memberinya isyarat
dengan kelopak mata ketika lelaki gempal itu hendak
bertindak serampangan kembali.
"Nguk nguk nguk!" Raja Kera Durjana tertawa meriah. "Siasat apa yang hendak
kalian mainkan untuk memperdayaiku" Kau pikir, aku akan mudah ter-
tipu, heh?"
Keadaan mulai sulit, keluh Suntara. Ternyata
sang lawan berwujud monyet raksasa tak mempunyai
otak sebesar otak monyet....
"Kau pikir aku tak akan curiga kalau kalian
memberikan padaku peta itu dengan mudah sementa-
ra peta itu sendiri adalah wasiat guru kalian?" sambung Raja Kera Durjana, makin
menyudutkan Sunta-
ra. Aku harus mengubah siasat! Pikir Suntara.
Semampunya dia harus menghindari pertarungan
langsung antara mereka dengan Raja Kera Durjana.
"Cempaka, kau dengar aku!" sekali lagi, Suntara mengirim gelombang suara hatinya
pada Cempaka. Jika tadi melalui mata, kali ini dikerahkan melalui kulit, menebar lurus ke arah
Cempaka. Kemudian gelom-
bang itu diserap kulit Cempaka.
"Ya, Kang...," jawab Cempaka dalam hati.
"Nanti, ketika kulemparkan peta kulit, berpura-
puralah kau merebutnya. Setelah itu, kau harus mela-
rikannya dari sini. Biarkan Raja Kera Durjana mere-
butnya darimu. Tapi ingat, kau harus hati-hati. Aku
tak mau sampai kau terluka!"
"Baik, Kang...."
"Kami memang mendapat wasiat dari Guru un-
tuk menjaga peta ini?" mulai Suntara kembali. Dikeluarkannya gulungan peta kulit
yang telah digulungkan pada sepotong bambu kuning, lalu diacungkan ke depan.
"Tapi, sebagai murid tertua, akulah yang meng-gantikannya sebagai pemimpin
perguruan. Dan aku te-
lah memutuskan agar benda ini kuserahkan padamu.
Aku tak ingin sisa Perguruan Kera Merah yang telah
hancur akan menjadi bertambah hancur hingga tak
tersisa hanya karena benda laknat ini!" tandasnya, bersandiwara. Untuk seorang
yang tak tahu menahu
tentang seni bersandiwara, gaya bicara Suntara cukup meyakinkan.
Lelaki setengah kera di depan mereka lagi-lagi
memperdengarkan tawa ganjilnya.
"Bagaimana dengan saudara perguruanmu
yang lain" Apakah mereka akan setuju begitu saja
dengan keputusanmu"!" tanya Raja Kera Durjana, mulai terpancing dalam siasat
Suntara. "Aku pastikan, mereka tak akan menentangku!"
"Bagus! Bagus sekali. He he he nguk nguk! Ka-
lau saja gurumu berpikiran seperti kau, tentu Pergu-
ruan Kera Merah tak akan bernasib sial! Tapi, aku masih belum bisa percaya.
Bagaimana kalau gulungan pe-
ta di tanganmu ternyata palsu?"
"Kau bisa memeriksanya di depan hidung kami,
Raja Kera Durjana!"
"Bagus... bagus! Kalau begitu, cepat kau beri-
kan peta itu padaku sekarang!"
Suntara menuruti permintaan Raja Kera Dur-
jana. Dilemparnya gulungan peta di tangannya ke uda-
ra. Sengaja dia membuat lemparan yang agak mening-
gi, sesuai dengan rencana. Dengan begitu, Cempaka
mempunyai kesempatan untuk menyambar benda ter-
sebut di udara.
Tepat ketika gulungan peta melayang tiga tom-
bak di udara, Cempaka berteriak keras-keras.
"Aku tak akan sudi kau memberikan peta wa-
siat itu pada dia!"
Lantas bagai kelincahan seekor manyar, tu-
buhnya melentik ke udara, memburu guliran gulungan
peta kulit. Tep! Raja Kera Durjana membeliak. Sungguh dia tak
menduga sama sekali kalau perempuan berambut
pendek itu akan menyambar peta di udara! Dia sendiri sudah terlambat untuk
melompat memburu gulungan
peta. Saat itu pula, sesuai dengan perhitungan Sun-
tara, keraguan Raja Kera Durjana kalau peta yang di-
lempar Suntara adalah palsu terberangus seketika itu juga. Terlebih lagi ketika
Cempaka dengan segera me-larikan diri ke dalam hutan dengan mengerahkan se-
genap ilmu peringan tubuhnya.
"Hei, berikan benda itu padaku!" seru Raja Kera Durjana, murka. Dikejarnya
Cempaka dengan beran-gasan. Sebagaimana wujudnya, cara berlari orang
aneh ini tak lagi seperti manusia. Dia justru melompat-lompat dengan jejakan
teramat kuat, Sekali lompatan, jarak sepuluh tombak terlampaui!
Menyusul menghilangnya Raja Kera Durjana di
antara gelapnya pepohonan, kelima murid Perguruan
Kera Merah yang lain turut pula mengejar. Suntara
memberi isyarat pada yang lain agar tetap menjaga ja-
rak. Dia tak ingin kecurigaan Raja Kera Durjana kem-
bali merebak. Perempuan yang diburunya terus lari makin ke
dalam hutan. Untuk ilmu peringan tubuh, Cempaka
dapat diandalkan. Tak mudah bagi Raja Kera Durjana
mengejarnya, lebih-lebih menangkapnya.
Namun karena tindakan yang dilakukan Cem-
paka sekadar siasat belaka, maka dia tak terlalu men-gempos kemampuan peringan
tubuhnya. Bahkan dia
berlari sambil memperlihatkan senyum tersamar. Ter-
bayang dalam pikirannya, kakak kembarnya akan
mengadali Raja Kera Durjana. Tentu nanti wajah be-
ruknya akan bertambah jelek ketika menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah.
Tentu dia akan berjing-kat-jingkat sambil meruntunkan sumpah serapah yang
terdengar seperti ocehan monyet sakit perut!
Tak jauh masuk ke dalam hutan, Raja Kera
Durjana sudah bisa mendahului Cempaka.
"Berhenti kau, Perempuan!"
Raja Kera Durjana hinggap tepat di depan
Cempaka, menghadang gerak lari perempuan itu. Wa-
jahnya mematang. Amat merah. (Pinggiran borok saja
pasti kalah merah!). Mata bulat beruratnya nyalang
berkilat-kilat. Dua taring di sudut bibirnya menyingsing, menggidikkan. Sebagian
bulu-bulu di bagian tengkuknya berdiri tegak. Dia murka. Itu sebabnya sinar
mata si manusia setengah kera begitu menyembu-
ratkan hawa membunuh.
Cempaka bergidik. Mungkinkah dia bisa berha-
sil menjalankan siasat kakak kembarnya tanpa harus
kehilangan nyawa seperti telah direncanakan Suntara"
*** 5 Raja Kera Durjana menggeram berat sekaligus
mengancam. Kerongkongannya seperti mengulur suara
mahkluk terkutuk.
"Cepat serahkan peta itu padaku!"
Cempaka sadar, nyawanya kini sedang teran-
cam. Raja Kera Durjana bukanlah lawan yang sepadan
untuk dirinya. Bahkan jauh tak sepadan. Kemam-
puannya bertahan, mungkin cuma terbilang sekian
puluh jurus. Setelah itu, nyawanya tak dapat dijamin lagi. Namun begitu, Cempaka
tahu, dia tak punya
pilihan. Rencana Suntara harus diteruskan sampai la-
wan benar-benar masuk perangkap tanpa disadari.
Untuk itu dia harus bertarung lebih dahulu dengan
Raja Kera Durjana, agar lawan merasa benar-benar
yakin peta di tangan Cempaka benar-benar benda yang
diinginkan selama lima puluh tahun belakangan.
Untuk menghadapi Raja Kera Durjana sebenar-
nya Cempaka punya semangat membakar. Dia pun
dendam teramat sangat pada pembunuh gurunya. Bu-
kan cuma itu, Cempaka sendiri tak pernah merasa
perlu takut menghadapi manusia zalim macam Raja
Kera Durjana. Meski seandainya manusia berwujud
kera itu adalah dewa sekalipun.
Tapi, persoalannya bukan cuma dendam buta.
Dia tak ingin bersikap tolol seperti Buntaka. Seperti juga Suntara, perempuan
itu amat tahu, belum waktunya mereka berhadapan dengan kesaktian Raja Kera
Durjana. Kemampuan mereka masih terlalu mentah.
Mereka harus menjalani godokan akhir untuk me-
nyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan guru
mereka di Pulau Kera. Bagi Cempaka, itulah arti per-
juangan menegakkan kebenaran. Selain semangat, di-
butuhkan juga perhitungan-perhitungan matang. Bu-
kan sekadar nafsu dendam buta.
Sekarang ini, kalaupun dia harus berhadapan
dan bertukar jurus dengan Raja Kera Durjana, semata
karena dia percaya pada siasat kakak kembarnya.
Dan agar dia dapat menjalankan pesan terakhir
gurunya untuk menyempurnakan kesaktian sebelum
benar-benar menghadapi dan menyingkirkan Raja Kera
Durjana zalim, Cempaka harus amat hati-hati. Dia
bertekad agar dirinya tidak kehilangan nyawa. Meski
kemungkinan itu sama sekali tak pernah ditakutinya.
"Tak akan kuserahkan benda wasiat Eyang
Guru kepada manusia laknat sepertimu!" sentak Cempaka, meneruskan sandiwara yang
telah dimulai Sun-
tara sebelumnya.
Raja Kera Durjana tak punya cukup kesabaran
untuk banyak berdalih. Darahnya mendidih menden-
gar bantahan keras Cempaka. Dalam hal memuaskan
keinginannya semata, dia tak segan-segan membunuh
siapa pun. Tak peduli wanita. Bahkan jika perlu, seorang bayi.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan segera mampus! Grrrr nguik!"
Lantas, terkaman gaya seekor kera buas berin-
gas pun menerjang Cempaka. Cakar besarnya yang hi-
tam runcing membabat udara, mengancam kulit leher
halus perempuan di depannya. Pada saat tergesek
udara, kesepuluh kuku Raja Kera Durjana memercik-
kan bunga-bunga api dibayangi asap tipis putih kehi-
taman. Pertanda betapa teramat tinggi kecepatan dan
betapa amat kuat sapuan cakar si lelaki kera.
Cempaka dipaksa memekik. Dia menghindar
dengan mengerahkan segenap kecepatan yang sanggup
dilakukan pada saat demikian sempit.
Wukh! Trssssh! Udara terbakar lagi. Bau sangit melayapi udara.
Cempaka berhasil lolos dari terkaman maut dengan
membuang diri ke belakang. Setelah bersalto tiga-
empat kali, dia berhasil mendaratkan kaki tanpa kekurangan sesuatu tujuh tombak
dari tempat semula.
Raja Kera Durjana tak ingin membiarkan lawan
bernapas lega. Diburunya kembali Cempaka dengan
segenap kebuasan binatang mata gelapnya.
"Nguikggrrrrh!"
Cakarnya berkelebat lagi. Sekali ini mencoba
mengoyak perut langsing Cempaka. Sedikit saja ter-
gores ujung cakar itu, maka isi perut Cempaka bisa
terburai di tanah! Cempaka tak mau mengambil resiko
itu. Pada detik yang demikian genting, timbul kein-
ginan perempuan jelita itu untuk menjajal tingkat tenaga dalam lawan. Dikayuhnya
tangan ke udara den-
gan menyalurkan hampir seluruh tenaga dalamnya ke
sepasang tangan.
Dagh! Tak ada sekedipan mata dari benturan perge-
langan tangan mereka, tubuh Cempaka terpental ke-
ras. Dia seperti disentak tenaga dorongan sepuluh be-lalai gajah jantan. Setelah
melayang deras berarah lurus sekitar sepuluh depa ke belakang, tubuhnya ter-
banting di tanah. Dengan bergulingan, Cempaka ber-
hasil menguasai keseimbangannya kembali. Kakinya
dapat menjejak tanah dengan mantap. Cuma, perge-
langan tangan yang tadi berbenturan dengan lawan
seperti remuk-redam dari dalam. Nyerinya sampai ke
ulu hati. Dan, mata Cempaka jadi berkunang-kunang
karenanya. "Gila, pantas saja Eyang Guru meminta kami
untuk menyempurnakan kesaktian terlebih dahulu
untuk menghadapi manusia monyet ini!" desis Cempaka sambil mengerjap-ngerjapkan
mata. "Kalau begitu, akan amat berbahaya cakarnya.
Dengan tenaga dan kecepatan seperti itu, aku tak bo-
leh sedikit pun tergores ujung kukunya. Selain itu, bukan tak mungkin kuku si
manusia monyet ini pun
mengandung racun...," simpul Cempaka.
Sebelum saudara seperguruannya yang lain ti-
ba, dia harus berpura-pura dapat dikalahkan Raja Ke-
ra Durjana. Namun dia tak mungkin mengambil resiko
membiarkan tubuhnya disambar cakar lawan. Harus
ada cara lain, pikirnya. Pada saat genting itulah Cempaka teringat pada ekor
lawan. Sebelumnya dia me-
nyaksikan sendiri, ekor itu bisa menjadi senjata lawan.
Namun ketika menimpa tubuh Buntaka tampaknya
ekor lawan tak terlalu berbahaya dibanding cakarnya.
Jika demikian, Cempaka akan berusaha me-
maksa ekor lawan turut dipergunakan. Pada saat itu,
dia akan berpura-pura terhajar ekor tersebut.
Berpikir begitu, Cempaka segera melakukan se-
rangan tanpa menunggu lawannya menerjang.
"Hiaaa!"
Dengan bambu dalam gulungan peta kulit,
Cempaka melepas hantaman keras ke kepala Raja Ke-
ra Durjana. Wukh! Raja Kera Durjana merunduk dengan mudah.
Kaki depannya yang membengkok berusaha menyapu
kuda-kuda Cempaka.
Cempaka melihat ada kesempatan untuknya
agar bisa berada di belakang tubuh lawan tanpa dicu-
rigai. Dia pun melompat ke depan, melewati kepala lawan dengan cepat dan hinggap
di belakang tubuh la-
wan. Begitu tiba, kakinya menyentak ke punggung
lawan. Perhitungannya berhasil. Lawan sadar dirinya
terancam telapak kaki Cempaka. Dia akhirnya meng-
gerakkan ekor. Tendangan perempuan itu dimentah-
kan. Dan pada gerak selanjutnya, ujung ekor lelaki ke-ra itu menanduk dada
sebelah kanan Cempaka.
Desh! "Aaakhh!"
Cempaka memekik. Di luar perhitungannya,
ternyata hantaman ekor lawan demikian kuat. Da-
danya seperti ditanduk kekuatan ombak raksasa. Saat
itu juga dia kehilangan kesadaran. Dunia gelap. Dia
tak ingat apa-apa lagi.
*** "Cempaka.... Cempaka...."
Lamat-lamat telinga Cempaka mendengar
panggilan kakak kembarnya. Kesadarannya masih te-
rasa amat jauh. Untuk membuka kelopak mata saja
seperti memindahkan bukit ke tempat lain. Hanya ka-
rena suara Suntara merasuk langsung ke dalam gar-
banya, Cempaka berusaha untuk bisa kembali ke ke-
sadarannya. Akhirnya, mata berkelopak sayu itu membuka.
Cempaka melenguh.
"Kau tak apa-apa, Cempaka?" tanya Wedari. Di samping Suntara, dia teramat
khawatir pada keadaan
adik seperguruan wanitanya.
Perempuan acuh yang sifat dan penampilannya
seperti lelaki itu meringis. Masih terasa mendera-dera sakit di dadanya akibat
hantaman ekor Raja Kera Durjana. "Si monyet kurap itu hebat juga...," lirihnya,
mengumpat. "Hanya dengan ekornya saja, aku sudah
dibuat begini.... Sialan!" Cempaka beringsut bang-kit.
Tangannya mendekap bagian yang sakit. Suntara
membantunya. "Kau yakin tak apa-apa, Cempaka?" kakak
kembarnya mengulang pertanyaan Wedari barusan.
"Tentu saja aku 'kenapa-napa'," ketus Cempa-ka. "Apa kau tak melihat aku masih
melilit-lilit seperti ini?" Suntara tertawa kecil. Kalau adiknya bisa ngo-ceh
selancar itu, itu artinya dia tak apa-apa.
"Kau malah tertawa?" sungut Cempaka. "Ini semua karena rencanamu!"
"Ya, rencana itu berhasil karena bantuanmu,
bukan?" "Tapi aku belum jelas, apa rencanamu sebe-
narnya"!" tukas Cempaka, nyaris berbarengan dengan Buntaka.
"Kenapa kau membiarkan Raja Kera Durjana
mendapatkan peta pemberian Eyang Guru?" cecar
Buntaka, tak habis mengerti dengan rencana kakak
seperguruannya.
"Apa kau memberikan peta palsu, Kang?" timpal Sugalu.
Suntara menggeleng. "Bagaimana mungkin Ra-
ja Kera Durjana akan membiarkan kita kalau peta
yang kuberikan ternyata palsu...," katanya tenang.
"Jadi peta asli"!" Cempaka memekik. "Kau jangan sinting, Kang!" Perempuan itu
baru saja mengangkat tinju, hendak disarangkan ke dagu Suntara.
Kakak kembarnya cepat menahan.
"Jangan terburu mengamuk seperti itu.... Biar
kujelaskan. Peta itu memang yang asli. Tapi...," Suntara memotong kalimatnya
sendiri. Dikeluarkannya se-
suatu dari balik ikat pinggangnya. Selembar sayatan
memanjang yang ternyata adalah satu bagian kecil pe-
ta Pulau Kera. "Tanpa bagian ini. Raja Kera Durjana tak me-
nemukan tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera."
Buntaka kontan tergelak-gelak mengetahui akal
bulus kakak seperguruannya.
"Pada saat dia menyadari kalau peta itu tak
lengkap nanti, kita sudah terlebih dahulu tiba di Pulau Kera...," tambah
Suntara. "Tapi, Kang. Bagaimana cara kita bisa tiba di
tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera, se-
mentara bagian terbesar dalam peta dipegang Raja Ke-
ra Durjana?" Sugali menyela.
Suntara tersenyum penuh arti. Santai, dilepas-
nya pakaian bagian atas.
Saudara seperguruannya yang lain terperan-
gah. Mereka melihat rajah di dada Suntara. Rajah itu adalah salinan bagian peta
yang diberikan kepada Raja Kera Durjana.
"Aku telah membuatnya ketika kita hendak
meninggalkan Pulau Kera. Aku tahu, suatu hari kita
akan berhadapan kembali dengan Raja Kera Durjana.
Dia tentu akan menuntut peta itu dari tangan kita. Karena itu, aku menyusun
rencana matang...," paparnya enteng. "Jadi, selama kita menjelma menjadi kera,
salinan peta itu tetap berada di punggungmu" Dan bulu
lebat telah menyamarkannya selama ini?" Cempaka bertanya dengan mata membeliak
kagum. Suntara mengangguk membenarkan.
Buntaka tergelak kembali. Dia geli mem-
bayangkan kalau Raja Kera Durjana mengetahui hal
itu ketika mereka masih menjelma sebagai kera. Bisa
jadi petanya akan terbuat dari kulit kera jelmaan Suntara! "Sebaiknya kita
jangan berlega hati dulu. Raja
Kera Durjana tetap bisa menyusul kita ke Pulau Kera.
Untuk bisa tiba di sana, tanpa peta itu pun dia sanggup. Cuma, dia hanya tak
bisa menemukan tempat
penyimpanan rahasia Eyang Guru. Tentu dia akan se-
gera menyusul kita ke sana. Atau menanti kita di pu-
lau itu, jika kita kalah cepat ke sana...."
6 Pulau Kera, pulau kecil terpencil yang hampir-
hampir tak pernah ditemui manusia ketika itu. Terle-
tak di tengah-tengah Selat Sunda, di antara beberapa pulau kecil lain. Selama
berabad-abad, Pulau Kera
menjadi misteri. Seperti genangan kabut pekat setinggi sepuluh kaki, pulau itu
pun diselubungi teka-teki.
Cerita-cerita, desas-desus, dan kabar burung
berseliweran tentang pulau penuh teka-teki itu.
Banyak pelaut yang menyaksikannya pada sua-
tu kali, namun tak berhasil menemukan kembali pada
kali yang lain.
Beberapa pelaut ulung yang penasaran menco-
ba menemukan Pulau Kera. Mereka semula berniat
hendak mendarat di tempat itu untuk mencari tahu
ada apa di sana. Tapi, niat mereka tak pernah kesam-
paian. Jangankan mendarat, untuk menemukannya
saja mereka tak pernah mampu. Padahal, sepanjang
jalur pelayaran telah mereka arungi, bahkan mereka
yakin telah menyusuri seluruh wilayah Selat Sunda.
Sebaliknya, para orang-orang yang tak berniat sama
sekali untuk menjamah Pulau Kera, justru dengan
mudah menyaksikan pulau tersebut.
Sebagian kalangan berpendapat kalau pulau
tersebut sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya.
Melainkan hanya dataran berdasar batu apung yang
terus berpindah-pindah tempat di sekitar Selat Sunda.
Sebagian yang lain menganggap pulau itu adalah Pu-
lau Hantu. Desas-desus lebih seru pun tak jarang mene-
bar. Kata beberapa orang, pulau itu sebenarnya adalah perahu Kerajaan Nyai Roro
Kidul. Dikawal oleh sepa-sukan tentara lelembut berbentuk kabut.
"Pulau Kera itu dijaga banyak prajurit, lho!
Bener, sumpah mampus, dah!" koar seseorang yang mengaku pernah menyaksikan Pulau
Kera. "Prajuritnya serem-serem?"
"Wih, bukan serem lagi! Gede-gede!"
"Ck ck ck! Berani juga kau melihatnya, ya?"
"Ah, kata orang kok...,"
"Wuuuu, ngomong sama ember!"
Lepas dari simpang-siurnya cerita-cerita yang
lebih banyak dilebih-lebihkan ketimbang dikurangi,
pendekar muda kita telah menuju ke sana bersama
Purwasih. Jauh di tengah samudera, Pulau Kera sendiri
dirundung kebisuan. Segenap misteri masih mengung-
kungnya rapat-rapat. Malam saat itu. Lautan sedang
pasang. Gelombang tumbuh meninggi, kian liar dan
buas dari waktu ke waktu. Lidah-lidah ombak meng-
hantami sebagian sisi pulau berkarang. Airnya terpe-
cah di udara, sia-sia menghadapi kekokohan karang.
Di pantai berpasir bagian selatan Pulau Kera,
mendarat satu perahu kecil berpenumpang dua orang.
Layarnya tergulung, karena tak dibutuhkan pada saat
samudera tak ramah. Salah seorang melompat dari pe-
rahu tak berlayar. Di atas pasir, kakinya menjejak.
Tangan orang itu lalu menjulur ke depan, hen-
dak menawarkan bantuan pada orang di atas perahu.
"Tak perlu! Kau pikir aku ini nenek-nenek jom-
po!" terdengar suara meninggi wanita di atas perahu
tadi. Dia Purwasih. Sedangkan lelaki yang mendahu-
luinya turun dari perahu, siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor.
"Ya, sudah..." gerutu Pendekar Slebor, sedikit kesal karena tawaran jasanya
ditolak mentah-mentah
oleh si manis tapi judes.
Kedua muda-mudi itu tak mengalami kesulitan
menemukan Pulau Kera, seperti kabar burung keba-
nyakan orang. Sebenarnya, memang ada cara khusus
untuk menemukan pulau itu. Dan peta Pulau Kera di
tangan Purwasih menjelaskan hal itu. Itu sebabnya
mereka tak banyak mengalami kesulitan sampai di sa-
na. Meskipun bukan berarti mudah bagi mereka untuk
mengarungi gejolak samudera yang sedang mengamuk.
Pendekar Slebor 39 Pulau Kera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andika melangkah bersungut-sungut mening-
galkan perahu, pada saat Purwasih sedang berusaha
Senopati Pamungkas 16 Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Pendekar Pedang Pelangi 15