Pencarian

Lamaran Berdarah 1

Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah Bagian 1


LAMARAN BERDARAH Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Lamaran Berdarah
128 hal. 1 Adakah semesta ini aman barang sekejap, tan-
pa adanya gangguan orang-orang telengas yang su-
kanya memaksakan kehendaknya sendiri atas orang
lain" Di manakah dapat ditemukan tempat yang aman
untuk bersembunyi dari kejaran sang durjana"
Oh, Tuhan. Rasanya lobang semut pun telah
dipenuhi oleh penindasan. Yang merasa dirinya besar, akan menindas yang kecil
dan lemah. Tapi haruskah
lari dari kenyataan itu" Haruskah terus bersembunyi, sementara sang durjana
merajalela. Dan bila sang durjana ingin memaksakan ke-
hendaknya haruskah diam saja"
Itulah yang terjadi terhadap seorang gadis can-
tik yang masih muda, tapi sudah memimpin sebuah
perguruan silat yang seluruh muridnya wanita.
Ranjani, namanya. Dikenal sebagai Ketua Per-
guruan Ngarai Sejuta Madu. Cukup tinggi kepan-
daiannya. Namun tetap saja blingsatan ketika di dinding kamarnya ditemukan
sebuah anak panah yang
menancap dengan segulung kertas. Bukan. Bukan
benda itu yang membuat gadis berusia dua puluh lima
tahun ini gelisah. Tapi isinya.
Dalam gulungan kertas tertulis sebuah pesan
yang sarat ancaman.
Ranjani Mau tak mau, suka tak suka, kau harus menjadi
istriku. Bila menolak, perguruanmu dan seluruh isinya akan rata dengan tanah.
calon suamimu, Penguasa Gunung Mambang
Sudah tentu Ranjani marah membaca isi berita
itu. Tetapi bila menolak, akibatnya pun lebih parah la-gi.
Untuk sesaat gadis yang dikenal berjuluk Ce-
meti Melati Kala ini menimbang-nimbang. Sungguh,
dia bukannya ketakutan membaca surat bernada
mengancam itu, justru hatinya menjadi penasaran in-
gin mengetahui, seperti apa manusia tak tahu diri yang berjuluk Penguasa Gunung
Mambang. Ranjani memang pernah mendengar sebuah
gunung yang terletak sangat jauh dari Ngarai Sejuta
Madu. Gunung yang konon tak pernah didatangi siapa
pun juga. Karena selain banyak tebing terjal, juga sesuai namanya memang
mengandung kekuatan gaib
yang sampai saat ini tak terpecahkan.
Ranjani telah memanggil tiga orang muridnya
yang diunggulkannya. Bukan berarti murid lain tidak
diunggulkan, tetapi ketiganya boleh dibilang lebih cepat menerima ilmu-ilmu
silat yang diberikannya.
Wanita ini pun menceritakan semua itu pada
ketiga muridnya yang kesemuanya berpakaian jingga.
"Ketua.... Kalau begitu..., kita harus bersiap-
siap menyambut kedatangan manusia keparat berju-
luk Penguasa Gunung Mambang," cetus yang berwajah lancip dengan kulit agak
hitam. Namanya Sunarsi.
"Aku ingin tahu, sejenis manusia ataukah mo-
nyet keparat itu, Ketua," timpal yang berwajah bulat.
Namanya Tirawati.
Ranjani mengangguk kelihatan berat. Ada se-
macam beban berat yang menggayuti perasaannya.
Saat gadis berpakaian berwarna kuning dan celana se-
batas lutut itu menggerakkan tubuhnya, terlihatlah
lengan bajunya sebelah kiri menjuntai. Ternyata len-
gan kiri gadis cantik itu buntung!
"Ketua! Ada baiknya, bila kita mengirimkan be-
berapa orang untuk menjajaki Gunung Mambang,"
usul yang berambut pendek.
Ranjani menggelengkan kepalanya.
"Kita cuma membuang waktu, Lestari. Aku ya-
kin, manusia keparat itu pasti akan datang ke sini.
Paling tidak, untuk menanyakan kesediaan ku. Me-
mang dalam suratnya tak ada batas waktu. Tetapi da-
lam waktu dekat, sekali lagi aku yakin, dia akan da-
tang ke sini. Mungkin juga utusannya."
Sebelum ada yang menyahuti kata-katanya, ti-
ba-tiba saja....
"Heaaa...!"
Trangng...! Terdengar suara ribut-ribut di halaman pergu-
ruan yang ditingkahi suara dentang senjata beradu
sangat keras. Ranjani terkejut. Cepat diberinya isyarat dengan gerakan dagunya.
Maka ketiga muridnya dengan sigap melompat keluar.
* * * Tiga murid utama Perguruan Ngarai Sejuta Ma-
du ini melihat lima orang laki-laki berpakaian hitam dengan wajah seram dan
tubuh tinggi besar sedang
terbahak-bahak sambil mengibaskan golok besar ke
arah gadis-gadis murid perguruan itu. Di tanah, lima sosok tubuh ramping
berwarna jingga terkapar penuh
darah. "Ha ha ha! Lebih baik panggil ketua kalian! Katakan, aku Jarotomo utusan
dari Penguasa Gunung
Mambang, hendak meminta jawaban atas lamaran
yang diajukan ketua kami!" seru lelaki yang wajahnya
dipenuhi bulu lebat. Usianya kira-kira empat puluh li-ma tahun.
"Hiaaah...!"
Dikawal teriakan keras, tiga murid utama Per-
guruan Ngarai Sejuta Madu segera melesat maju. Su-
narsi telah mencabut trisula yang terselip di pinggangnya. Seketika senjata
bermata tiga itu dikibaskan ke arah golok besar Jarotomo yang telah mengibas
kembali. Trang!
Jarotomo terkejut. Kakinya mundur dua lang-
kah ketika tangannya bergetar setelah golok besarnya dipapaki seseorang. Tetapi
kemudian lelaki seram ini tertawa keras. Amat keras. Mungkin berusaha menekan
keterkejutannya. Apalagi setelah melihat orang
yang menghalangi serangannya. Seorang gadis manis.
Sungguh, birahi manusia satu ini tak mengenal tem-
pat. Mungkin otak ngeresnya memang selalu diumbar
untuk hal-hal yang begituan. Sehingga ketika melihat gadis di depannya, matanya
langsung ijo penuh pancaran menjijikkan.
"Babo-babo... manis, mengapa kau harus me-
nyerangku" Ayolah, lebih baik serang aku di tempat tidur, he he he...," kata
Jarotomo kurang ajar.
Wajah manis Sunarsi memerah. Tatapannya
nyalang mendengar kata-kata menjijikan itu.
"Manusia berotak iblis! Kau telah menebarkan
darah di sini! Berarti, kau tak akan bisa keluar dari Ngarai Sejuta Madu!"
dengus Sunarsi. Seketika tubuh ramping gadis itu berkelebat cepat. Sepasang
trisulanya langsung mengibas dengan kecepatan tinggi,
menimbulkan angin keras menderu-deru.
Terbahak-bahak Jarotomo mengimbangi. Ma-
tanya makin liar memandang ringan Sunarsi. Tetapi
ketika pertarungan sudah berlangsung lima jurus, sa-
darlah lelaki itu kalau lawan yang dihadapinya bukan orang sembarangan.
Sementara itu Lestari dan Tirawati yang bersen-
jata sepasang trisula telah mendesak dua orang kawan Jarotomo. Sedangkan murid-
murid Padepokan Ngarai
Sejuta Madu lain menyerbu sisa anak buah Jarotomo.
Pertarungan sengit tergelar di halaman padepo-
kan Ngarai Sejuta Madu. Bunyi senjata beradu terden-
gar menusuk-nusuk telinga. Sementara itu Jarotomo
benar-benar merasa terdesak menghadapi gempuran-
gempuran maut Sunarsi. Lelaki ini berusaha mele-
paskan diri dari kepungan sepasang trisula Sunarsi
yang berkelebat bagaikan kilat.
"Gila! Dari getaran angin yang ditimbulkannya,
wajahku bagaikan ditampar!" dengus Jarotomo. "Dia belum tahu siapa aku rupanya!"
Di tempat lain amukan Lestari dan Tirawati se-
perti tak tertahankan lagi. Keduanya benar-benar ma-
rah karena melihat saudara-saudara mereka telah ter-
kapar luka parah. Maka tak heran kalau dalam lima
belas jurus berikutnya, senjata-senjata trisula mereka berhasil melukai dua anak
buah Jarotomo. Saat kedua
lawan terluka begitu, dua gadis ini siap hendak menghabisi. Tetapi kali ini
mereka kecele. Karena kedua lelaki itu mendadak saja berlompatan menyerang
secara bergantian namun terarah.
Kali ini Lestari dan Tirawati menjadi kebingun-
gan sekaligus kewalahan. Namun sebagai murid utama
Padepokan Ngarai Sejuta Madu, sudah tentu mereka
pantang menyerah.
Di pertarungan lain, dua orang dari kelima le-
laki berbaju hitam itu agaknya tidak menemukan la-
wan yang seimbang. Meskipun dikeroyok puluhan ga-
dis gagah berani berbaju jingga, sambil mengumbar
tawa mereka juga mengumbar kebengisan. Golok besar
mereka berkelebatan, tak tertahankan.
Cras! Crasss...!
Satu persatu murid Perguruan Ngarai Sejuta
Madu berjatuhan dengan tubuh bersimbah darah.
Melihat keadaan yang mengenaskan ini, Ketua
Perguruan Ngarai Sejuta Madu yang sudah berdiri di
halaman perguruan geram bukan main. Tangan ka-
nannya sudah memegang sebuah cemeti yang bernama
Cemeti Melati Kala, sesuai julukannya. Di ujung cemeti telah ditaburkan racun
ular bludak yang sangat berbahaya. Dan di hulunya, terdapat sebuah relief ber-
gambar bunga melati.
"Heeaaatt...!"
Dikawal teriakan merobek angkasa, Ranjani
melecutkan cemetinya ke arah anak buah Jarotomo
yang tengah menebar kematian. Begitu cepat dan di-
dukung tenaga dalam tinggi, cemeti itu meliuk mem-
bawa maut. Dan....
Cras! Cras! Pluk! Pluk! Tak ada teriakan ketika kedua kepala dua anak
buah Jarotomo menggelinding bagai kepala busuk.
Sementara Ranjani melirik cemetinya yang bernoda da-
rah. Tatapannya dingin, berbalur kemarahan. Lebih
marah lagi melihat murid-muridnya yang luka dan ma-
ti. Inilah yang menguatkan tekadnya untuk menentang
Penguasa Gunung Mambang. Tak ada lagi kebimban-
gan di hatinya. Semut pun kalau diinjak akan menggi-
git. "Yang lain mundur! Biarkan Sunarsi, Lestari,
dan Tirawati berlaga! Obati yang luka-luka. Dan kubur
yang meninggal!"
Serentak para murid Perguruan Ngarai Sejuta
Madu mematuhi perintah Cemeti Melati Kala yang ma-
sih berdiri tegak menatap dingin pada ketiga lelaki
yang masih mengibaskan golok besar mereka.
Jarotomo yang melihat tewasnya dua orang te-
mannya menggeram.
"Ranjani! Kami datang untuk meminta jawa-
banmu atas pinangan ketua kami!" teriak Jarotomo sambil terus menyerang Sunarsi.
"Katakan padanya. Lebih baik pergi ke neraka!"
sahut Ranjani, ketus.
"Mulutmu terlalu lancang! Berani-beraninya
menghina ketua kami!"
"Manusia busuk itu pun akan terkapar di Nga-
rai Sejuta Madu!"
"Keparat! Kau akan merasakan akibatnya dari
kata-katamu itu, Ranjani!" seru Jarotomo.
Lelaki itu hendak meluncur ke arah Ranjani.
Namun niatnya harus diurungkan karena trisula Su-
narsi segera menyambar kedua kakinya. Terpaksa tu-
buhnya harus melenting ke belakang kalau tak ingin
tersungkur oleh sambaran trisula.
"Kau akan kubiarkan hidup untuk menyampai-
kan pesanku itu! Sementara kedua temanmu harus
mampus di sini! Lestari dan Tirawati! Gunakan Trisula Mengebut Angin'!"
Mendengar perintah itu, mendadak saja tubuh
kedua gadis murid utama Perguruan Ngarai Sejuta
Madu melenting ke atas, membentuk satu pusaran ba-
gaikan angin mengamuk. Desirannya pun begitu besar
laksana topan. Kedua lelaki anak buah Jarotomo tersentak me-
lihat perubahan jurus yang menakjubkan sekaligus
membahayakan. Gempuran trisula yang mengandung
kekuatan penuh berdesing-desing dan memekakkan
telinga, membuat mereka segera bergulingan menghin-
dari. Namun mereka hanya memiliki kesempatan seka-
li saja menghindar. Karena kejap selanjutnya Lestari dan Tirawati dengan
mendadak meluruk. Sepasang trisula mereka disabetkan dari kanan-kiri dengan
kece- patan menakjubkan.
Breeet! Breeettt!
"Aaa...!"
Tubuh kedua lelaki berbaju hitam itu kontan
terjengkang ke belakang disertai pekik kematian sam-
baran trisula pada perut. Darah langsung muncrat
dengan isi perut memburai!
Lestari dan Tirawati berdiri tegak, memandangi
dua tubuh yang ambruk itu.
Cemeti Melati Kala tersenyum puas. "Hei, kura-
kura jamban! Selama ini aku tak pernah mencari per-


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuhan! Tetapi ketuamu telah menanamkannya!" desis Ranjani.
"Kalau kau memang pantas dijuluki Cemeti Me-
lati Kala, majulah! Hadapi aku!."
Ranjani tertawa renyah.
"Hmm.... Nyawa sudah berada di ujung tanduk
masih saja berlagak," gumam Ranjani. "Sunarsi! Biarkan dia hidup, agar bisa
menyampaikan pesanku ke-
pada Penguasa Gunung Mambang busuk itu!"
Sunarsi yang sedang menyerang hebat sedikit
memperlambat gerakannya. Tindakan ini dipandang
lain oleh Jarotomo. Dianggapnya kedua lawannya
mengalah. Dan ini membuatnya merasa di atas angin.
Merasa saat inilah yang tepat untuk membalas. Golok
besarnya segera disabetkan berkali-kali ke kaki dan
tubuh Sunarsi. Namun itu adalah kesalahan! Karena di saat le-
laki ini menyabetkan goloknya, Sunarsi mendadak saja membuat satu gerak tipu.
Kakinya disontekkan sehingga membuat Jarotomo mengangkat sebelah ka-
kinya. Saat itulah Sunarsi memutar tubuhnya sambil
membabatkan trisula ke atas dua kali berturut-turut.
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Lolongan bagai serigala kelaparan terdengar da-
ri congor Jarotomo. Wajah jeleknya menyeringai, hing-ga makin jelek saja. Dua
tangannya putus sampai se-
batas siku. Tubuhnya bergulingan menahan sakit.
Sunarsi tersenyum puas. Di kedua trisulanya
menetes darah. Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu terse-
nyum. "Hhhh! Seharusnya kau berterima kasih karena tidak kuperintahkan muridku
untuk mencabut nyawa
busukmu! Katakan pada ketuamu. Aku, Cemeti Melati
Kala, menolak mentah-mentah lamarannya! Katakan
pula padanya, aku ingin melihat tampang jeleknya.
Pergi dari sini, sebelum kuperintahkan untuk menca-
but nyawamu!" seru Ranjani.
Dengan susah payah Jarotomo bangkit, menge-
rahkan sisa-sisa tenaganya. Sakit yang diderita tak ke-palang tanggung. Seolah
menyayat-nyayat hatinya.
"Wanita keparattt...!"
"Suatu saat aku akan datang untuk membu-
nuhmu! Akan ku cabik-cabik tubuhmu sebelum kubi-
kin mampus! Dan.., akan kupermalukan kau di hada-
pan murid-muridmu!"
Ranjani hanya tertawa saja mendengar anca-
man itu. Kini tekadnya kian tak sabar untuk bertemu
Penguasa Gunung Mambang.
Seribu satu perasaan mengaduk-aduk otak Ja-
rotomo. Tubuhnya yang melangkah sempoyongan mu-
lai meninggalkan tempat itu. Darah terus mengucur
dari kedua lengannya yang putus. Hatinya benar-benar diisi oleh dendam terhadap
Ranjani. Apalagi mengingat bagaimana keempat kawannya harus mati! Hari ini.
*** Ranjani telah memerintahkan kepada ketiga
muridnya, agar memperketat kewaspadaan dan kesia-
gaan. Di salah satu sudut nuraninya, dia menyesalkan kejadian pagi tadi.
Sungguh tak pernah disangka, kalau hari ini
Ngarai Sejuta Madu yang damai telah dibanjiri darah.
"Hhh! Penguasa Gunung Mambang! Tidak tahu
adat berani-beraninya melamar!" dengusnya dalam ha-ti.
Tiba-tiba wanita cantik namun bertangan bun-
tung itu terdiam. Sebaris senyum tercipta dibibirnya yang memerah bak delima.
Yah! Di dasar hatinya yang
terdalam, telah lama terpendam sebuah cinta. Cinta
yang datang begitu cepat, dan perlahan-lahan meraya-
pi hatinya. Cinta sejati yang sangat diharapkan balasannya. Oh, apakah pemuda
itu mencintainya" Terus
terang Ranjani sering kali didatangi pikiran semacam itu. Hatinya khawatir,
suatu saat akan kecewa. Apalagi, bila mengingat sikap dan sifat pemuda yang
dicintainya yang seperti tak ada kepastian. Plin-plan.
"Apakah dia mencintai ku?" desisnya sekali lagi.
Pertemuan gadis ini dengan pemuda yang dicin-
tainya memang dirasakan hanya sesaat. Namun, peso-
na yang muncul dari dalam diri pemuda itu telah
menggetarkan seluruh relung hatinya. Bila saja pertemuan itu bisa lebih lama
sedikit, mungkin akan bisa
dirasakan, betapa dadanya semakin menggelora. Dan
sekarang, rindu dan cintanya tetap putih. Seputih
awan di langit tanpa batas.
"Pendekar Slebor.... Pernahkah kau mengingat-
ingat ku" Seperti yang terjadi pada diriku setiap hari?"
rintih si gadis, bergetar. Pandangan Ranjani menera-
wang ke langit tanpa batas.
Kepalanya menggeleng-gelengkan.
"Tak mungkin pemuda itu mengingat aku. Buk-
tinya, Andika belum juga memenuhi permintaanku un-
tuk datang ke sini. Ah! Untuk apa aku memikirkannya.
Toh, dia tidak pernah mencintai ku."
Ranjani menghela napas panjang. Tiba-tiba ra-
sa rindunya pada Pendekar Slebor semakin menggu-
nung. (Untuk mengetahui pertemuan Ketua Perguruan
Ngarai Sejuta Madu dengan Pendekar Slebor, silakan
baca: "Cincin Berlumur Darah").
Akankah Pendekar Slebor muncul ke sini"
"Sudahlah," desahnya. "Lebih baik aku mem-persiapkan diri untuk menghadapi
kedatangan manu-
sia bejat si Penguasa Gunung Mambang."
2 Plak! "Bodoh! Goblok! Goblok sekali kau, Jarotomo!"
Diiringi bentakan keras tangan kekar penuh
bulu milik Penguasa Gunung Mambang melayang, me-
nampar pipi Jarotomo hingga terjengkang ke belakang.
Kepalanya pusing tujuh keliling dengan darah hitam
kental yang keluar dari mulut dan hidungnya.
Padahal, Jarotomo baru saja tiba, langsung
menghadap Penguasa Gunung Mambang. Sehari sema-
lam dia melakukan perjalanan dari Ngarai Sejuta Madu ke Gunung Mambang. Berkat
daya tahan tubuhnyalah
yang membuatnya masih hidup tanpa kehabisan da-
rah. Dan kini, dia ditempeleng begitu saja.
"Bodoh! Bodoh sekali!" maki lelaki tinggi besar yang sekujur tubuh ditumbuhi
bulu lebat itu. Si lelaki berbulu ini berambut panjang dengan ikat kepala
berwarna perak. Wajahnya penuh jerawat merah. Bibirnya
tebal dengan hidung bagaikan buah tomat. Pakaiannya
berwarna hitam terbuka, sehingga memperlihatkan
dada bidangnya berbulu. Di lehernya tergantung se-
buah kalung berbandul tengkorak kepala ukuran ma-
nusia dewasa. Konon kepala itu dari gurunya sendiri
yang telah dibunuhnya sewaktu kepergok mencuri ki-
tab larangan berisikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi.
Setelah bangkit Jarotomo merundukkan kepala
dengan menahan geram. Tidak! Dia tidak ingin mati
dulu sebelum dendamnya pada Cemeti Melati Kala ter-
lampiaskan. Meskipun tahu nyawanya sudah berada di
ujung tanduk, namun dia tetap untuk bertahan hidup.
Setelah puas memaki-maki sambil menghan-
curkan barang apa saja yang ada di ruangan dalam
rumahnya, Penguasa Gunung Mambang duduk den-
gan napas tersengal. Kesempatan itu dipergunakan Ja-
rotomo untuk mengangkat kepalanya.
"Maaf, Ketua. Bila Ketua menghendaki nyawaku
sekarang ini, aku rela."
"Kau memang tak berguna!" dengus Penguasa
Gunung Mambang.
"Tetapi, Ketua! Aku mempunyai satu siasat
mengasyikkan untuk mendapatkan Cemeti Melati Ka-
la," kilah Jarotomo.
"Siasat apa pun yang kau katakan, tak ada gu-
nanya lagi. Wanita itu telah mencoreng wajahku den-
gan arang hitam dan menginjak-injak harga diriku! Dia harus mampus!"
"Kalau dia mati, Ketua tak akan pernah me-
nikmati keindahan tubuhnya. Berarti, Cemeti Melati
Kala tetap berhasil mempertahankan kehormatannya.
Sementara dia telah memandang remeh pada Ketua."
Kata-kata Jarotomo kontan menggelitik telinga
Penguasa Gunung Mambang.
"Pintar juga manusia buntung ini berbicara,"
pikir Penguasa Gunung Mambang. "Meskipun telah tak berdaya, tetapi aku ingin
mendengar juga pada usul-nya itu." Lelaki berbulu ini lantas menatap dalam-dalam
wajah Jarotomo.
"Jarotomo! Katakan, apa yang hendak kau
usulkan. Bila ternyata aku tidak tertarik, kau harus memenggal kepalamu
sendiri." Melihat kesempatan sudah terbuka, Jarotomo
segera mengatakan rencananya untuk mendapatkan
Cemeti Melati Kala. Padahal di samping itu, dia juga memiliki satu rencana lain
untuk membalas dendamnya pada Cemeti Melati Kala.
Sesaat kemudian terdengar Penguasa Gunung
Mambang terbahak-bahak keras.
"Kau ternyata tidak bodoh! Tetapi licik! Usulmu memang sangat menarik. Teramat
menarik! Ini bisa dipakai untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala dengan
mudah." Jarotomo tersenyum puas. Senyum penuh keli-
cikan: "Laksanakan rencanamu besok. Lakukan secepatnya, biar Cemeti Melati Kala
menjadi pontang-
panting dibuatnya!" ujar Penguasa Gunung Mambang, lalu berdiri dan melangkah
menuju ke peraduannya.
Di sana, seorang wanita sedang menunggu.
Tanpa basa-basi lagi, Penguasa Gunung Mambang se-
gera merangkul wanita itu.
Sementara Jarotomo tersenyum, membayang-
kan kemenangan yang akan didapatnya.
3 Waktu terus bergulir. Perlahan namun pasti,
menggilas alam. Tak terasa lima belas hari sudah berlalu dari peristiwa pinangan
berdarah di Ngarai Sejuta Madu. Di tempatnya Ranjani nampaknya sudah benar-benar
bersiaga untuk menyambut kedatangan
Penguasa Gunung Mambang. Dalam perkiraannya,
sudah bisa digambarkan kemarahan manusia keparat
itu saat menerima kedatangan anak buahnya yang
buntung kedua lengannya. Bahkan bisa dipastikan,
kalau Penguasa Gunung Mambang akan marah besar
mendengar kata-katanya.
Dalam ketegangan yang luar biasa itu menda-
dak.... "Hoooi, Ranjaniii! Aku datang!"
Terdengar teriakan keras dari halaman pergu-
ruan. Ranjani yang sedang duduk bersila di salah satu ruangan dalam perguruannya
tersenyum dingin.
"Hhh! Rupanya manusia keparat itu sudah
muncul. Aku jadi ingin mengetahui kehebatannya!"
gumam Ranjani. Gadis ini memandang ke arah ketiga
murid utamanya yang duduk di hadapannya.
"Hadapi dia! Katakan! Dia tak pantas berjumpa
denganku," ujarnya, mendesis.
Sunarsi, Lestari, dan Tirawati bergegas bangkit
dan melangkah ke luar ruangan ini.
Di luar, murid-murid Perguruan Ngarai Sejuta
Madu tengah mengurung seorang pemuda berwajah
tampan dengan pakaian hijau pupus. Rambutnya yang
gondrong berkibaran dimainkan angin pagi, seiring kibaran kain bercorak caturnya
yang disampirkan di ba-
hu. Matanya memancarkan kecerdikan dengan sepa-
sang alis hitam legam bagaikan kepakan sayap elang.
Sunarsi, Lestari, dan Tirawati yang telah berada
di luar segera ikut mengurung. Mereka yakin, kalau
yang muncul ini bukan Penguasa Gunung Mambang.
Tak pantas rasanya pemuda ini menyandang gelar se-
perti itu. Paling tidak, dia seorang suruhan Penguasa Gunung Mambang.
"Hai, pemuda cari mati! Mengapa tidak sekalian
saja manusia keparat itu yang muncul"!" bentak Sunarsi. Sesaat ketiga gadis itu
melihat si pemuda mengerutkan keningnya. Tetapi sejurus kemudian malah
cengar-cengir. Malah cengirannya kalah cakep dengan
cengiran kuda. "Wah... kalian tuli, ya" Sayang, cantik-cantik
tuli semua. Aku ke sini mau cari Ranjani, bukan cari mati," sahut pemuda tampan
ini seenaknya. "Jangan banyak cincong! Pikirkan masak-
masak! Segera angkat kaki dari sini, atau ingin mati!"
bentak Sunarsi, lagi.
Kening si pemuda berkerut lalu bibirnya terse-
nyum. "Baik! Lihat, kaki sudah kuangkat!" kata si pemuda seraya mengangkat kaki
kanannya. "Dasar pemuda bodoh!"
"Lho" Lantas maksud kalian apa" Katanya su-
ruh pilih, angkat kaki atau mati. Ya, aku pilih angkat kaki, dong. Sekarang
setelah kakiku kuangkat, kalian marah. Lantas apa mau kalian?" tukas si pemuda.
"Kami ingin agar kau mati!"
"Nah, yang itu aku tak mau. Tapi tolong pang-
gilkan Ranjani dulu.... Katakan, aku sudah tak sabar menunggu....",
Suara si pemuda terdengar kalem, namun di te-
linga gadis-gadis itu bagai memandang rendah.
"Kau tak pantas berjumpa ketua kami!" timpal Lestari. Pemuda itu melotot.
"Apakah dia menyuruh kalian berkata seperti
itu?" "Tanpa disuruh, kami pun akan mengatakannya!" "Ada apa, ya" Apa Ranjani
marah karena baru sekarang aku datang?" pikir si pemuda. "Tapi bila melihat
sikap gadis-gadis ini jelas sekali mereka tak menginginkan kehadiranku. Hmm, ada
apa sebenarnya?"
Si pemuda semakin menjadi penasaran. Ini
yang membuatnya tak ingin segera angkat kaki. Maka
bagaikan tak memperhatikan tatapan penuh bahaya
dari para gadis itu, kakinya melangkah maju.
"Bangsat! Lancang sekali kau!" seru Sunarsi sambil mengibaskan sepasang
trisulanya. Wuttt! "Uts...!"
Dengan enaknya si pemuda memiringkan tu-
buhnya. Dan dengan gerakan begitu cepat hingga tak
terlihat, tangannya mengibas.
Plak!

Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan Sunarsi bergetar keras, begitu berben-
turan dengan tangan si pemuda. Tubuhnya sedikit
terhuyung. Sejenak dia terheran-heran melihat bagai-
mana caranya pemuda itu menangkis sambaran trisu-
lanya. Kening pemuda itu kembali berkerut. "Kalian ini yang benar saja. Masa'
aku tidak boleh bertemu
Ranjani" Apakah dia sudah tidak mengenaliku lagi?"
"Siapa pun kau adanya, Ketua tak menerima
kedatanganmu!" bentak Sunarsi sambil bersiap menyerang. Kali ini gadis itu akan
meluruk dengan kekua-
tan penuh, karena menyadari kehebatan si pemuda.
Begitu pula kedua temannya yang diam-diam kagum
juga melihat bagaimana si pemuda menangkis tadi.
Begitu cepat dan tak terlihat.
"Hai... begini saja. Kalau aku tak boleh bertemu Ranjani, bagaimana kalau
Ranjani yang menemui aku.
Adilkan?" "Keparat! Langkahi mayat kami dulu sebelum
kau bertemu Ketua! Heaat...!"
Dikawal teriakan keras, bersama Lestari dan Ti-
rawati, Sunarsi meluruk menyerang si pemuda. Tiga
buah serangan menggebah dengan kekuatan tinggi.
Dengan kecepatan luar biasa pemuda itu me-
lenting ke samping.
"Monyet pitak! Serangan mereka bukan main-
main lagi"! Ada apa sebenarnya dengan mereka" Men-
gapa begitu melihatku seperti melihat musuh bebuyu-
tan" Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini?" desis si pemuda dalam hati.
Gebrakan Sunarsi bersama Lestari dan Tirawati
benar-benar suatu gebrakan dahsyat mengundang
maut. Enam buah trisula tajam berkelebat bagaikan
kilat melingkar-lingkar di sekitar tubuh si pemuda.
Namun dengan enaknya pemuda dengan kain bercorak
catur di bahu itu melompat-lompat lincah. Sehingga
tak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tu-
buhnya. "Hei, sabar dulu dong!" kata pemuda itu sambil mengibaskan tangannya.
Plak! Plak! "Iiihh...!"
Lestari dan Tirawati mendadak saja terjajar ke
belakang, saat tangan mereka ditepak si pemuda.
Melihat hal itu, Sunarsi dengan geram membu-
ru kembali. Hatinya panas melihat begitu mudahnya si pemuda menahan serangan.
Dengan jurus Trisula Mengebut Angin, Sunarsi
memutar tubuhnya hingga bagai berada dalam pusa-
ran hebat. Serangan trisulanya bagaikan gebrakan an-
gin yang menderu-deru mengundang maut.
Namun menghadapi pemuda berbaju hijau pu-
pus itu, si gadis benar-benar tak mampu mengem-
bangkan jurusnya. Bahkan dengan satu gerakan cepat
tak terlihat, mendadak tubuh si pemuda berkelebat.
Dan tahu-tahu....
Plak! "Auuuwww...!"
Mendadak saja Sunarsi menjerit ketika bo-
kongnya ditepok.
"He he he.... Maaf, aku tak sengaja. Makanya,
punya pantat jangan gede-gede...."
Sunarsi memerah wajahnya. Dia ingin segera
melenyapkan pemuda ini. Namun baru saja akan ber-
gerak.... "Manusia busuk! Kau akan menyesal telah da-
tang ke sini!"
Terdengar bentakan keras yang diiringi berke-
lebatnya satu bayangan ke arah si pemuda yang mem-
belakangi. Namun satu tombak serangan sampai, si
pemuda berbalik.
"Pendekar Slebor!"
Bayangan itu langsung membuang tubuhnya ke
samping dengan satu seruan bernada gembira ber-
campur terkejut.
*** Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar
Slebor terkekeh-kekeh.
"Hebat benar sambutanmu, Ranjani. Beginikah
sambutanmu pada pemuda ganteng sepertiku"!" cibir Andika pada sosok bayangan
yang ternyata Ranjani.
Ranjani kelihatan serba salah dengan wajah
memerah. Dia tadi saking kalapnya melihat murid-mu-
ridnya tak bisa menjalankan tugasnya ditambah lagi
ketegangan dengan ancaman dari Penguasa Gunung
Mambang, membuatnya tak mengenali Pendekar Sle-
bor. Sungguh, tak pernah disangka kalau yang hadir
adalah pemuda yang selama ini dirindukannya.
"Maafkan atas sikap ketiga muridku ini, Andi-
ka," ucap Ranjani, dengan kepala tertunduk.
Pemuda berbaju hijau pupus itu ngedumel tak
karuan. Mulutnya monyong-monyong seperti nenek-
nenek kehabisan sirih.
"Maaf, ya maaf. Tetapi aku bisa mampus tadi.
Hei, sebenarnya ada apa sih" Mengapa mereka menga-
takan aku tak pantas berjumpa denganmu" Kalau kau
merasa begitu, ya tidak apa-apa. Aku balik saja deh,"
ujar Andika Bagai anak kecil ngambek, Pendekar Slebor
berbalik. "Jangan salah paham, Andika," tahan Ranjani.
"Jadi aku boleh bertemu denganmu?" tukas
Andika tanpa berbalik.
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu."
"Aku sudah tahu, kok."
Kali ini Pendekar Slebor berbalik sambil terke-
keh-kekeh. Ranjani hanya tersenyum saja. Tidak heran hatinya melihat sikap
Pendekar Slebor yang angin-anginan semacam itu. Sementara Sunarsi, Lestari, dan
Tirawati hanya memperhatikan saja. Sedikit banyak
mereka bersyukur karena ternyata ketua mereka men-
genal pemuda berilmu tinggi ini.
"Nah! Apakah kau mempersilakan aku masuk
ataukah berbicara di sini?"
Ranjani mengajak Andika masuk ke ruangan-
nya. Sementara ketiga muridnya melangkah dengan
tubuh masih terasa sakit.
Sambil berjalan, Ranjani menceritakan apa
yang telah dialami di perguruannya. Sedangkan Andi-
ka mendengarkan dengan seksama.
"Jadi kau tidak mengenal siapa Penguasa Gu-
nung Mambang itu?" tanya Andika, setelah Ranjani se-lesai bercerita.
Kini mereka berada di ruangan utama dan du-
duk saling berhadapan.
Ranjani menggeleng.
"Tidak. Tetapi, sikapnya yang sudah menebar-
kan hawa kematian tak bisa ku maafkan."
"Kau betul. Tetapi, sudahlah.... Apakah tak
kangen denganku" Toh sikapmu kulihat tetap tenang."
Ranjani tersenyum.
"Kau salah, Andika. Aku masih cemas menung-
gu kedatangan Penguasa Gunung Mambang. Karena,
aku tak tahu siapa dia."
"Tahukah kau letak Gunung Mambang?"
Ranjani memberitahu pada Andika letak Gu-
nung Mambang. Dan Andika justru tengah menikmati
wajah Ranjani yang cantik.
Namun belum puas Andika menatap, menda-
dak... "Ranjani! Keluar kau!"
Terdengar bentakan keras dari halaman mem-
buat Ranjani kontan menatap Andika. Dan begitu Pen-
dekar Slebor menganggukkan kepala, secara bersa-
maan mereka melesat ke halaman.
4 Begitu tiba di halaman, Ranjani dan Pendekar
Slebor melihat tiga orang bertubuh tinggi besar ter-
bungkus pakaian serba merah tengah berdiri tegak
dengan sikap menantang.
Ranjani memperhatikan ketiganya dengan sek-
sama. "Masalah apa lagi yang kuhadapi" Melihat sikap mereka, jelas sekali
menunjukkan amarah dan dendam. Tetapi, aku tidak mengenal siapa mereka?" gumam
gadis itu. "Cemeti Melati Kala!" bentak salah seorang yang berwajah tirus dengan parang
teracung. "Kami akui, kau memang hebat! Tetapi hari ini, Tiga Parang Dewa
akan menghabisi mu! Sekaligus menghentikan se-pak
terjang busukmu yang hendak menguasai rimba persi-
latan ini!"
"Hei?"
Ranjani tersentak dengan wajah memerah. Ma-
tanya sempat melirik Pendekar Slebor yang tampak te-
nang-tenang saja.
"Aku tidak mengerti maksud kalian. Lagi pula,
aku sama sekali tidak mengenal kalian?"
"Gadis hina! Jangan mungkir, kalau kau telah
merencanakan pembunuhan terhadap para tokoh rim-
ba persilatan agar kau bisa berkuasa di rimba persilatan ini?" bentak orang
berwajah tirus semakin kasar membentak.
"Kurang ajar! Siapa yang menyebarkan fitnah
seperti itu"!"
"Itu bukan fitnah! Tetapi kenyataan! Kau telah
membunuh Pendekar Baju Emas. Dia tewas akibat
cambukan Cemeti Melati Kala! Tubuhnya hangus ter-
kena racun ular bludak! Hhh! Siapa lagi yang memiliki senjata semacam itu kalau
bukan kau, Ranjani" Kau
harus mati untuk menebus dosa-dosamu!"
Bagaikan diberi aba-aba, ketiga orang yang
mengaku berjuluk Tiga Parang Dewa bergerak dengan
cepat. Parang besar dan tajam di tangan mereka me-
nyabet Ranjani dengan hebatnya. Suaranya menderu-
deru tajam penuh ancaman.
Percuma saja Ranjani membela diri. Toh ketiga
lawannya memang benar-benar sudah kalap. Malah ti-
ga parang besar itu mengurungnya begitu rapat, mem-
buatnya harus tunggang langgang menghindar.
Dan mendadak saja Ranjani meloloskan cemeti
dari pinggangnya. Lalu diayunkannya dengan cepat.
Ctaarrr! Bagai digebah satu kekuatan dahsyat, ganti Ti-
ga Parang Dewa yang berjumpalitan menghindar. Teta-
pi hanya sesaat. Karena begitu kaki mereka menyen-
tuh tanah, langsung melenting kembali.
Ranjani yang semula ingin meluruskan masa-
lahnya, tak ayal lagi kembali mengebutkan cemetinya.
Tiga Parang Dewa terkejut ketika beberapa sinar putih berkelebat. Kalau saja tak
merundukkan kepala, sudah jelas hidung mereka akan somplak.
"Rangkaikan jurus 'Tiga Parang Memecah Gu-
nung'!" teriak salah satu dari tiga lawan Ranjani.
Seketika Tiga Parang Dewa saling mendekat.
Dan secara serentak mereka menyerang. Tiga buah si-
nar berwarna merah kontan berkelebat mengurung tu-
buh Ranjani. Di tempat lain Pendekar Slebor hanya geleng-
geleng kepala. "Hmmm.... Semakin banyak saja masalah yang
menimpa Ranjani. Dan aku belum mengerti satu per-
satu. Apakah aku harus membantu Ranjani sekarang"
Ah, tapi jelas sekali dia masih bisa bertahan. Bahkan aku yakin dia bisa
menjatuhkan ketiga lawannya,"
gumam Andika. "Kalian tak memberikan kesempatan padaku
untuk menjelaskan!" teriak Ranjani. "Aku juga tak ingin mampus sia-sia di tangan
kalian!" Tiba-tiba saja Ranjani memutar senjatanya.
Wuuut! Wuuttt! Cemeti Melati Kala kontan berputar meninggal-
kan angin dahsyat dan sinar berwarna putih. Namun
Tiga Parang Dewa justru semakin gencar memainkan
jurus 'Tiga Parang Memecah Gunung'. Parang mereka
telah berbentuk macam kitiran. Hingga yang terlihat
kemudian hanyalah sinar berwarna merah.
"Cemeti Melati Kala masih tetap saja hebat se-
perti dulu. Sayangnya, dia kehilangan tangan sebelah kiri. Kalau tidak, Tiga
Parang Dewa sudah sejak tadi dijatuhkannya," gumam Andika lagi.
Sepuluh jurus telah mengalir begitu saja. Sua-
sana di halaman Padepokan Ngarai Sejuta Madu telah
dipenuhi murid-murid Cemeti Melati Kala. Mereka
sampai terlongong bengong melihat kelebatan aneh
dan sinar berkilat-kilat.
Tiba-tiba.... "Kalian terlalu memaksaku!" teriak Ranjani, keras seraya mengebutkan cemetinya
lebih dahsyat lagi.
Wuuuttt! Brett! Wuuuttt! Breettt!
Dua lelaki dari Tiga Parang Dewa kontan terpe-
lanting deras saat tangan kanan mereka tergores sam-
baran Cemeti Melati Kala. Seketika keduanya menggigil keras. Darah kental tampak
mengalir dari mulut. Sebelum ada yang sempat menyadari kaki Ranjani telah
melayang cepat ke arah yang seorang lagi.
Desss...! Orang itu kontan terjengkang saat tendangan
Ranjani menghantam dadanya. Dia segera bangkit
dengan tatapan nanar sambil memegangi dadanya
yang terasa sesak.
"Rupanya dengan kehebatanmu kau memang
hendak menjual lagak, Ranjani! Ingat! Pertemuan ini
akan berlanjut!" ancam orang itu.
"Aku tidak pernah melakukan apa yang kalian
tuduhkan! Aku tidak mengenal Pendekar Baju Emas!
Kalau pun mengenalnya, aku tak pernah punya silang
sengketa!" tegas Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu itu.
"Kau telah memperkuat dugaan kami kalau
kaulah yang memang telah membunuhnya! Racun ular
bludak yang ada di ujung cemeti mu menjadi saksi! Ingat, Ranjani...! Suatu saat
kami akan datang kembali!"
Sambil menggeram, orang itu menghampiri dua
temannya. Dan dengan sekali sentak tubuhnya berke-


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebat membawa dua temannya yang tengah menggigil
hebat. Dengan gerakan mengagumkan Ranjani mela-
kukan satu tindakan luar biasa sekali. Tubuhnya
mendadak saja melenting ke depan, melewati Tiga Pa-
rang Dewa. Seketika tangan kanannya menepuk bahu
dua orang yang terkena Cemeti Melati Kala.
"Hah"!"
Terdengar suara melengak cukup keras. Dan....
Hup! Di saat kedua orang itu melengak dengan mu-
lut terbuka, Ranjani melemparkan dua buah bulatan
kecil berwarna jingga ke mulut kedua orang itu. Begitu kakinya menjejak tanah,
tubuhnya sudah melenting
kembali sambil menepuk bahu dua orang yang terluka.
Yang terkena tendangan Ranjani menghentikan
langkah, langsung menatap sengit.
"Jangan dikira dengan memberi obat pada ke-
dua saudaraku ini, dendam ini akan tuntas, Ranjani!"
Sehabis berkata begitu Tiga Parang Dewa pun
berkelebat kembali.
"Aku tak mengerti, ada apa ini sebenarnya?"
desis Ranjani sambil menyeka keringatnya, setelah tiba di sisi Pendekar Slebor.
"Jawabannya hanya satu. Kita harus menemui
Penguasa Gunung Mambang. Karena dia awal dari se-
mua ini." Ranjani tersenyum.
"Mengapa?"
"Karena aku yakin Penguasa Gunung Mambang
yang menyebar fitnah. Bahkan mungkin bukan hanya
Tiga Parang Dewa yang akan datang ke sini. Rupanya
fitnahan pada dirimu sudah merebak cepat, Ranjani.
Hmm, sebaiknya aku menuju ke Gunung Mambang."
"Andika...."
"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku. Ka-
rena..., aku memang akan membantumu."
"Bukan, bukan itu! Apakah kau belum mandi?"
Andika terbelalak. Lalu sebelah tangannya di-
angkat dan diciumnya. Bau kecut.
"Tapi kau suka, kan?" seloroh Pendekar Slebor.
Ranjani tertawa.
"Mengapa kau menolak lamaran Penguasa Gu-
nung Mambang, Ranjani" Bukankah bila menerimanya
tak akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang
keji seperti ini?" usik Andika, ketika duduk bersama Ranjani di halaman
belakang. Ranjani terdiam sesaat.
"Aku tidak tahu siapa dia," sahut gadis ini, li-rih. "Justru karena tidak tahu,
mengapa kau bisa me-nolaknya?" tanya Andika.
"Itu adalah keinginanku. Karena..., ah! Tidak,
tidak...," Ranjani menggelengkan kepalanya. Andika menangkap desah gelisah dari
nada suara Ranjani.
"Mengapa, Ranjani" Apakah ada seseorang
yang nyantol di hatimu?"
Andika menatap gadis itu. Ditatap demikian
Ranjani semakin gelisah. Wajahnya dipalingkan ke
tempat lain. "Sebenarnya..., yang kau katakan itu benar,"
desah gadis ini malu-malu.
"Wah.... Kuucapkan selamat! Beruntung sekali
pemuda itu."
Ranjani menggeleng.
"Tidak."
"Kenapa, Ranjani?"
"Karena..., aku tak tahu apakah dia mencintai
ku atau tidak."
Andika terdiam. Terbayang di wajahnya tentang
Ningrum, gadis yang dicintainya. Sampai saat ini, Andika memang masih
mencintainya. Namun sudah ten-
tu cintanya tak akan pernah terbalas, karena Ningrum sudah damai di sisi-Nya.
(Untuk mengetahui tentang
Ningrum silakan baca: "Dendam dan Asmara").
Berkelebat pula wajah Sari, Menur, Sawitri,
Rawangi, dan deretan gadis-gadis lain yang pernah
singgah di hatinya.
"Ranjani.... Mengapa kau tidak mau mengata-
kan isi hatimu padanya?" usik Pendekar Slebor.
Ranjani menoleh. Tampak wajah tampan Andi-
ka sedang tersenyum. Dan gadis ini merasa bagai di-
lindungi Andika.
"Andika, pantaskah aku mengatakannya lebih
dulu?" tanya Ranjani minta pendapat. "Ya, boleh-boleh saja." "Apakah dia tidak
akan menghinaku, menganggapku rendah?"
"Mengapa harus seperti itu" Cobalah utarakan
isi hatimu itu padanya."
"Aku sudah melakukannya."
"Nah! Kau kan sudah melakukannya. Mengapa
masih cemas?"
"Karena..., dia belum menjawab."
"Kau harus berusaha, Ranjani. Jangan sam-
pai...." "Andika..., aku mencintaimu," potong Ranjani tiba-tiba.
Andika melengak. Sesaat pemuda ini gelagapan
hingga tak tahu harus berkata apa. Tetapi kemudian
dengan hati-hati dipegangnya kedua tangan Ranjani.
"Ranjani..., akukah orang yang kau cintai itu?"
Ranjani merasa wajahnya memanas dan meme-
rah tak karuan. Samar Andika melihat kepala gadis itu
mengangguk. Lalu dengan hati-hati dirangkulnya pe-
nuh kelembutan tubuh padat Ranjani.
"Ah! Kau membuatku tersanjung, Ranjani. Te-
tapi..., apakah kau sudah mantap dengan pilihan mu?"
Ranjani mengangguk.
"Ini memang kabar luar biasa, Ranjani. Tetapi,
bisakah kita tunda dulu semuanya?"
Ranjani mendesah lembut, masygul dengan ha-
ti semakin tak menentu. Tetapi dia tak bisa berbuat
apa pun selain terdiam. Lalu dirasakannya rangkulan
Andika semakin lembut. Dirasakannya pula sebuah
kecupan mesra di bibirnya. Sesaat, Ranjani melupakan seluruh masalah yang
dialami. "Ranjani..., besok pagi aku akan ke Gunung
Mambang." 5 Kabar lebih cepat dari berita. Begitu kata pepa-
tah. Apalagi kabar itu menyangkut nama baik seseo-
rang. Maka tak heran kalau kabar fitnah terhadap diri Ranjani begitu cepat
menebar, seperti wabah penyakit saja. Kini beberapa tokoh golongan putih
berdatan-gan ke Ngarai Sejuta Madu. Rata-rata mereka ingin
menghentikan sepak terjang Ranjani. Karena menurut
kabar yang terdengar, selain ingin menguasai rimba
persilatan, Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu itu
sudah banyak melakukan tindakan telengas.
Mati-matian Ranjani menolak semua tuduhan
yang dilontarkan. Namun kabar busuk itu agaknya te-
lah menutup nurani orang-orang golongan lurus. Begi-
tu pula dengan para tokoh dari golongan hitam. Wa-
laupun belum bertindak, tapi mereka sudah mengincar
Ngarai Sejuta Madu dan Cemeti Melati Kala.
Dan pagi ini pun, Ranjani kedatangan dua
orang tamu. Yang seorang berpakaian merah menyala,
dengan sebilah keris di pinggang. Kepalanya mengena-
kan blangkon batik. Usianya kira-kira sekitar tiga puluh dua tahun. Wajahnya
cukup tampan. Sedangkan
yang seorang lagi wanita cantik berpakaian sama. Di
pinggangnya terlilit sebuah selendang berwarna hitam.
Rambutnya panjang diikat ekor kuda.
"Rupanya, kau yang berjuluk Cemeti Melati Ka-
la yang telah menebar darah permusuhan," kata si lelaki, dingin.
Ranjani mendesah pendek. Dia benar-benar tak
kuasa untuk membela diri sekarang.
"Maaf, aku tak pernah mengenal kalian," kilah-nya. "Sebutkan kesalahanku."
"Kami memang jarang keluar dari kediaman.
Namaku Dorojati. Dan ini istriku. Sawitri, namanya.
Kami datang untuk menghentikan mu Ranjani!"
Ranjani tersenyum tenang. Sementara beberapa
muridnya termasuk ketiga murid utamanya, berada di
belakang. Mulai hari ini, Ranjani sudah menetapkan.
Dia tidak ingin mengorbankan murid-muridnya yang
sesungguhnya tak mengetahui masalah. Sama seperti
dirinya. "Rupanya, aku kedatangan Sepasang Naga Selatan. Sungguh, suatu
penghormatan yang tinggi seka-
li. Hanya sayang, kedatangan kalian tidak sebagaima-
na mestinya," lanjut Ranjani yang sudah mulai mengenal julukan mereka dari nama
yang disebutkan. Na-
da suaranya mencoba ramah.
"Ranjani! Telah lama kudengar sepak terjang
mu yang lurus. Tetapi, kau telah mengubahnya! Perse-
tan dengan semua keinginanmu untuk menguasai
rimba persilatan! Dan hari ini, kau harus melepas
nyawamu untuk membayar nyawa Lara, anak angkat
kami yang kau bunuh dengan kejam!" bentak Sawitri.
Wajah Ranjani, kontan pias mendengarnya.
Namun sikapnya masih diusahakan untuk tenang.
"Sawitri.... Aku baru tahu kau telah mengang-
kat seorang anak. Tetapi, ketahuilah. Selama ini aku, tak pernah keluar dari
Ngarai Sejuta Madu," tandas Ranjani.
"Durjana berkedok dewi!" bentak Sawitri dengan hati panas.
Saat itu juga di benak Sawitri terbayang bagai-
mana pedihnya ketika menemukan anak angkatnya
sudah menjadi mayat dengan tubuh terbelah. Setelah
diperiksa di tubuh Lara terdapat beberapa goresan lu-ka. Luka yang membiru dan
hangus juga terlihat ra-
cun ular bludak yang sangat mengerikan.
"Kita tak punya silang sengketa. Tetapi dengan
kejamnya kau membunuh bocah lima tahun yang tak
berdosa!" lanjut Sawitri.
"Sawitri.... Sekali lagi kukatakan, aku tak pernah bertindak serendah itu!"
"Jangan berkilah, Ranjani! Karena keinginan
busukmu, kau hancurkan dirimu sendiri!"
"Sawitri...! Lebih baik kita hentikan saja perde-batan ini. Kau dan suamimu,
kembalilah ke selatan.
Ku mohon, jangan memancing bibit permusuhan di
antara kita," sahut Ranjani tenang, meskipun tak yakin apakah Sepasang Naga
Selatan akan menuruti
keinginannya. "Keparat busuk! Kau harus membayar nyawa
Lara dengan nyawa busukmu itu! Heaaa!"
Tubuh Sawitri sudah melenting dengan kecepa-
tan tinggi ke arah Ranjani.
Ranjani memiringkan tubuhnya ketika merasa-
kan sambaran angin kuat menderu ke arahnya.
"Sawitri! Aku bersumpah atas nama Gusti Al-
lah, aku tidak pernah melakukan perbuatan hina se-
perti yang kau tuduhkan! Tak pula di hatiku ada keinginan untuk menjadi orang
nomor satu di rimba persi-
latan ini! Renungkanlah, Sawitri!"
"Renungkanlah sendiri di akhirat sana!" geram Sawitri. Wanita itu berbalik
menyerang kembali. Dia
tak mau bertindak tanggung menghadapi wanita yang
dianggap telah membunuh anak angkat yang disayan-
ginya. Mereka yakin, hanya Ranjani yang memiliki senjata racun ular bludak.
Ranjani pun tak bisa membiarkan dirinya dija-
dikan sasaran serangan Sawitri. Tubuhnya berkelit
menghindar, lalu mulai membalas. Kecepatan dua wa-
nita yang bertarung benar-benar luar biasa. Untuk beberapa saat yang terlihat
hanyalah kelebatan-
kelebatan tubuh dan suara keras.
Tak terasa lima jurus berlalu begitu cepat. Na-
mun belum terlihat ada yang terdesak.
Dorojati memperhatikan saja pertarungan anta-
ra istrinya dengan Ranjani. Hatinya memang geram
luar biasa. Ingin rasanya dia turun dalam pertarungan.
Dan ternyata, rasa malu untuk mengeroyok masih
mengikat urat-urat geraknya. Padahal kemarahannya
sudah singgah di ubun-ubunnya.
Dalam satu kesempatan, Sawitri terjajar ke be-
lakang, terkena tendangan memutar berkecepatan
tinggi yang dilepaskan Ranjani. Mestinya selagi tubuh Sawitri terjajar seperti
itu, bisa saja Ranjani menghabi-sinya. Tetapi gadis jelita itu hanya berdiri
tegak di tempatnya.
"Lebih baik hentikan semua tindakan sia-sia
ini!" desisnya. "Sekali lagi kukatakan, aku tidak melakukan seperti yang telah
kalian tuduhkan! Aku pun
tak memiliki keinginan untuk membela diri dari tudu-
han kalian! Karena, semuanya akan percuma!"
"Kalau memang itu hanya fitnah belaka, men-
gapa kau tidak mencari orang yang menyebarkan fit-
nah itu!" bentak Sawitri. Segera wanita ini mengalirkan hawa murninya untuk
mengurangi rasa sakit di dadanya. "Aku pun hendak melakukannya."
"Dan sampai sekarang kau masih berada di si-
ni?" "Sawitri! Apakah bila aku meninggalkan Ngarai
Sejuta Madu, maka orang-orang akan tenang" Akan
berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di Ngarai Sejuta Madu" Hhh! Tidak akan
mungkin aku membiarkan
murid-muridku mati di tangan mereka hanya karena
kesalahpahaman belaka. Dan yang lebih ku pikirkan,
bila ada orang-orang golongan sesat yang akan mem-
pergunakan kesempatan!"
"Tak kusangka kau pandai berbicara, Ranjani!"
dengus Sawitri. Tiba-tiba selendang hitamnya dilo-
loskan. "Lebih baik kau mampus saja di tanganku, untuk menebus dosa-dosamu atas
kematian Lara! Lihat
serangan!"
Diiringi bentakan teramat dahsyat, Sawitri me-
nyerang. Selendangnya berkelebat, menimbulkan tiga
larik sinar kuning emas. Sementara herannya selen-
dang itu sendiri bergerak sangat lambat.
Ranjani diam-diam sadar kalau di balik gera-
kan yang lamban itu tersimpan kekuatan dahsyat.
Makanya saat senjata cemetinya diloloskan dia tidak


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang. Melainkan menghindari tiga larik sinar
kuning itu. "Apakah Cemeti Melati Kala tahu kalau tengah
ku jebak" Sialan! Kalau saja selendangku dilepas dengan cemetinya, sudah pasti
akan ku lilit dan ku sentak pulang ke arahnya!" dengus batin Sawitri.
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi Sawitri
menyerang kembali. Ranjani berkelebat gesit. Kegesi-
tan inilah yang menolongnya dari gerak tipu serangan Sawitri. Setiap kali
dicecar, Ranjani terus berkelebat cepat. Malah sekali pun belum sempat Cemeti
Melati Kala dikibaskan. Hingga yang kemudian terlihat hanya bayang-bayang serta gemuruh
angin dahsyat. Tanpa terasa lima jurus berlalu. Diam-diam Do-
rojati bisa mengukur kehebatan Ranjani.
Baru setelah dianggap berbahaya, Ranjani mu-
lai menyerang dengan kelebatan Cemeti Melati Kala-
nya. Setiap kali sinar kuning menderu ke arahnya, selalu terpapas sinar putih
yang keluar dari cemetinya.
Hal ini membuat Sawitri menjadi penasaran karena la-
gi-lagi Ranjani berhasil menghindari serangannya.
Namun Sawitri yang telah dibakar amarah, tak
membiarkan Ranjani lolos dari serangan yang semakin
hebat. Kibasan selendangnya benar-benar menakjub-
kan. Terkadang berubah bagaikan menjadi toya, lalu
bergetar bagaikan dawai.
Ranjani menyadari kalau lawan benar-benar
ingin membunuhnya. Kesempatan untuk membela diri
pun seakan tak pernah diperolehnya. Dia hanya
menghindar dengan sekali-sekali mencoba membalas.
Sreett! Suatu ketika kaki Ranjani terlilit oleh selendang
Sawitri! Seketika istri Dorojati itu menariknya dengan cepat. Akan tetapi, suatu
gerakan menakjubkan diper-
lihatkan Ranjani. Saat sebelah kakinya ditarik, tubuhnya jatuh dengan kedua kaki
terlentang lurus. Dan
saat terlentang kakinya yang terlilit selendang Sawitri digerakkan menyentak.
Sawitri tersentak. Hentakan kaki itu begitu
kuat, membuatnya mau tak mau harus mengempos
tubuhnya mengikuti ayunan kaki Ranjani. Dan saat
itulah Ranjani menggerakkan sebelah kakinya yang
bebas. Dess! Sawitri yang benar-benar tak menduga akan
serangan balik dari Ranjani kontan terhuyung ke belakang. Melihat keadaan
berbahaya yang menimpa is-
trinya, Dorojati segera melesat.
"Suatu gerak tipu yang manis!" sambil berkata demikian, lelaki itu menyerang
cepat bagai kilat.
"Dorojati! Aku yakin kau bisa berkepala dingin.
Lebih baik beri kesempatan padaku untuk membela
diri!" desis Ranjani sambil melilitkan kembali senjatanya di pinggang.
"Kakang!" seru Sawitri. "Jangan termakan oce-han busuknya! Bunuh dia, Kakang!
Bunuh dia!"
"Dorojati! Hentikan semua ini!" seru Ranjani, sambil menghindari setiap serangan
penuh tenaga dan
berkecepatan hebat.
"Maafkan aku, Ranjani. Kau harus menebus
dosa-dosamu!" seru Dorojati seraya mengerahkan jurus-jurus 'Naga Selatan' yang
diciptakannya. Maka dalam tiga gebrak saja, dia berhasil mendesak Ranjani.
"Bagus, Kakang! Manusia busuk itu memang
harus mampus!" seru Sawitri tersenyum puas.
Saat yang sama tiga murid pilihan Padepokan
Ngarai Sejuta Madu sudah tidak sabar untuk bergerak.
Namun mereka tak berani melangkahi, sebelum dipe-
rintahkan. Mereka tahu, betapa letih dan terkurasnya tenaga ketua mereka karena
belum lagi beristirahat,
sudah datang kembali orang yang hendak membunuh-
nya. Mereka hanya bisa berdiam diri tertindih rasa
pedih di dada. Merasa kasihan melihat nasib ketua
mereka yang benar-benar dijadikan bulan-bulanan
oleh Dorojati. "Dorojati! Bila memang harus mati hari ini, aku rela. Tetapi aku masih ingin
membuat perhitungan
dengan manusia keparat yang telah menyebar fitnah
keji itu!" kata Ranjani. Tiba-tiba saja, senjatanya diloloskan. Ctaaarrr!
Sekali ayun saja, Dorojati sudah mengurung-
kan niatnya untuk memukul jatuh Ranjani. Terpaksa
dia membuang diri ke samping, lalu berdiri dengan tatapan dingin.
"Aku ingin mengetahui kehebatanmu memain-
kan senjata andalanmu itu, Ranjani!"
Tiba-tiba saja Dorojati membuka kedua ka-
kinya. Kaki kanannya dimajukan setindak, dan kaki
kiri ditekuk. Kedua tangannya mengatup di dada. "Lihat jurus 'Amukan Naga
Selatan'-ku! Yeaaah!"
Ranjani pun membuka jurusnya. Cemetinya di-
getarkan. Saat yang sama, Dorojati melenting dengan
manisnya. Lalu tangannya menghentak ke muka.
Wusss! Ranjani mencoba menghindari pukulan jarak
jauh itu dengan melenting ke atas pula. Tetapi mendadak saja Dorojati langsung
melepas tendangan disertai luncuran tubuhnya. Dalam keadaan begini tak ada
waktu lagi buat menghindar. Sehingga....
Desss! Cepat sekali kaki Dorojati mendarat telak di
dada Ranjani. Gadis itu terjajar dengan mulut mengeluarkan
darah. Sementara tubuh Dorojati hinggap di tanah
dengan tatapan meremehkan.
"Rupanya, hanya begitu saja kepandaianmu,
Ranjani!" Kali ini Ranjani benar-benar sudah tak bisa
menahan amarahnya.
"Kita lihat sekarang!"
Tiba-tiba gadis ini mendahului menyerang.
Dengan cepat dan hebat cemetinya bergeletar ke arah
Dorojati. Lelaki ini cepat menghindar sambil terus melancarkan jurus 'Amukan
Naga Selatan'. Namun kali
ini jurus itu tak banyak gunanya. Karena Ranjani su-
dah bisa menebak arah serangan jurus itu. Kibasan
tangan yang dilakukan Dorojati tak lebih dari pancingan belaka. Dan serangan
sesungguhnya justru dari
kakinya. Itu yang terbaca oleh Ranjani.
Ranjani pun membiarkan saja serangan tangan
Dorojati. Justru yang diincar adalah kaki Dorojati. Beberapa kali dia bertindak
demikian, membuat Dorojati mendengus dan menarik pulang setiap serangan ti-
puannya. "Bangsat!" seru Dorojati.
Kembali lelaki ini menyerang ganas. Dicobanya
memotong setiap serangan Ranjani. Namun lagi-lagi
kecepatan dahsyat diperlihatkan Ranjani saat me-
mainkan cemetinya. Sehingga mau tak mau Dorojati
harus menarik setiap serangannya. Pada saat yang
demikian, Ranjani telah meluncur dahsyat. Kakinya telah terjulur, melepas
serangan. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Kelamlah wajah Dorojati ketika tendangan Ran-
jani mendarat telak di dadanya. Seketika kerisnya yang memancarkan sinar
berwarna merah dicabut. Dalam
sekali lihat saja, Ranjani bisa menebak kalau keris di tangan Dorojati bukanlah
keris sembarangan. Hawa
panas langsung terpancar dari mata keris.
Namun sebelum Dorojati melakukan tindakan,
Ranjani telah lebih dulu mengibaskan Cemeti Melati
Kala-nya. Ctarrr! "Aaakh...!"
Dorojati terpekik ketika tangannya yang meme-
gang keris tersengat cemeti Ranjani hingga buntung
pada pergelangannya. Bibirnya kontan meringis mena-
han sakit luar biasa. Kerisnya kontan terpental entah ke mana.
"Ranjani keparat...! Hari ini kami mengaku ka-
lah. Tapi lain waktu, jangan harap kau selamat!"
Setelah berkata begitu, Dorojati mengajak istri-
nya pergi dari tempat ini.
Sementara, Ranjani menghela napas lega. Hanya se-
saat saja, karena pikirannya kini kembali tegang. Jelas, sehabis kedatangan
Sepasang Naga Selatan, akan
muncul lagi tokoh-tokoh persilatan yang telah terma-
kan fitnah keji itu.
6 Ranjani sungguh tidak menyangka kalau akan
menghadapi kejadian pahit seperti ini. Bermula dari
surat pinangan yang diterimanya dari Penguasa Gu-
nung Mambang. Dan semuanya itu perlahan-lahan
berkembang menjadi suatu fitnah yang entah disebar-
kan oleh siapa. Sebuah fitnah yang menyatakan kalau
Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu, melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh persilatan,
untuk menguasai rimba persilatan.
Gadis ini kini duduk gelisah, dikelilingi murid-
muridnya. Namun yang jelas dia sudah punya rencana
tersendiri. Cemeti Melati Kala mendesah panjang, menata-
pi satu persatu muridnya.
"Muridku, tak ada jalan lain lagi bagi kita, selain untuk berpisah lebih dulu.
Aku bermaksud me-
nyusul Pendekar Slebor. Karena, aku ingin manusia
keparat Penguasa Gunung Mambang mati di tangan-
ku. Aku tahu, kalian semua sangat setia padaku. Ku-
hargai hal itu. Dan kusampaikan terima kasihku yang
sebesar-besarnya pada kalian. Tetapi seperti yang kalian ketahui, keadaan di
Ngarai Sejuta Madu semakin
lama semakin tidak aman. Lebih baik, kalian tinggal-
kan tempat ini," kata Ranjani seraya menunduk kembali. "Ketua...."
"Maaf.... Aku bukannya tidak menghendaki ka-
lian bersama-samaku di sini. Aku justru mengha-
rapkan kita bisa bersatu terus dalam kerukunan di
Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Tetapi sekarang, kea-
daan tidak bisa lagi dipertahankan. Aku tidak ingin
mengorbankan kalian. Bahkan, aku sendiri tidak yakin apakah aku masih mampu
mempertahankan selembar
nyawaku ini."
Hening. Angin malam masuk melalui kisi jende-
la. Ranjani mengangkat kepalanya. Kembali ma-
tanya beredar ke sekitarnya. Satu persatu muridnya
yang begitu sedih mendengarkan kata-katanya ditatap
dengan sinar matanya yang sendu.
"Jadi kuminta, malam ini juga kalian harus
meninggalkan Ngarai Sejuta Madu. Bila keadaan su-
dah aman, kalian bisa ke sini kembali."
"Ketua...."
Ranjani berdiri.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dalam
waktu sepeminuman teh, tak seorang pun yang akan
kulihat di sini."
Sambil menekan seluruh perasaannya, Ranjani
meninggalkan murid-muridnya. Mereka saling berpan-
dangan dengan hati sedih.
Tiba di kamarnya, Ranjani mendesah panjang.
Mengapa keadaan ini semakin mengerikan saja" Tetapi
dia sudah bertekad dengan satu tujuan, meninggalkan
Ngarai Sejuta Madu! Akan dicarinya manusia keparat
yang telah menyebarkan fitnah padanya.
Sepeminum teh berikutnya, Ranjani keluar lagi.
Dia tak lagi melihat seorang muridnya pun di sana. Sejenak dia termangu, lalu
berkelebat meninggalkan Ngarai Sejuta Madu.
7 "Hei, Penguasa Gunung Mambang! Ayo, keluar.
Kalau tidak keluar, ku jewer kuping mu yang caplang
itu!" teriak Andika ketika tiba di tempat kediaman Penguasa Gunung Mambang.
Dengan bertanya sana-sini
dengan cepat Pendekar Slebor bisa menemukan letak
gunung itu. Teriakan Pendekar Slebor yang keras terdengar
oleh Jarotomo. Kontan kening lelaki ini berkerut. Dari
tempat mengintipnya di balik pintu, dia tahu siapa
yang datang. Dari ciri-ciri yang dikenakan pemuda itu jelas sekali kalau yang
datang adalah Pendekar Slebor.
"Gawat kalau begini! Secepatnya aku harus
memberitahu Ketua." Tergopoh-gopoh Jarotomo mendatangi pintu sebuah kamar.
Diketuknya pintu kamar
ini. "Siapa?" terdengar bentakan bernada gusar dari dalam kamar.
"Ketua! Ini aku! Jarotomo!" sahut lelaki ini.
"Bangsat! Mau apa kau"!" bentak suara dalam kamar. Suara bernada kesal dari
mulut Penguasa Gunung Mambang.
"Ini penting, Ketua. Sangat penting!"
Tak lama terdengar suara langkah terseret. Be-
gitu pintu dibuka, tampak Penguasa Gunung Mam-
bang langsung memasang wajah garang.
"Ada apa?" bentak lelaki tinggi besar ini begitu tiba di hadapan Jarotomo.
Jarotomo sempat melihat tubuh telanjang seo-
rang wanita di ranjang dalam kamar itu. Wajahnya
memerah sesaat, namun cepat perhatiannya dialihkan
ke wajah Penguasa Gunung Mambang.
"Ketua... Pendekar Slebor datang," jelas Jarotomo. Penguasa Gunung Mambang
terbahak-bahak "Hhh! Bagus! Ini baru berita penting! Suruh yang lain berkumpul membentuk
lingkaran. Akan kubikin pepes
Pendekar Slebor!"
"Jangan, Ketua. Kita jangan gegabah," sergah Jarotomo.
"Hei, apa maksudmu?" tukas Penguasa Gunung Mambang dengan kening berkerut.
Tatapannya gusar.
"Ketua.... Bukankah saat ini kita sedang menja-
lankan rencana" Seperti Ketua ketahui, kita telah berhasil menyebarkan fitnah
terhadap Cemeti Melati Kala, meskipun sepertinya Pendekar Slebor tidak terpenga-
ruh. Bahkan, kita juga membuat onar di beberapa
tempat dengan senjata cambuk pula yang dibaluri ra-
cun ular bludak. Sehingga, para tokoh golongan lurus pun bermunculan untuk


Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghancurkan Cemeti Melati Kala. Tidak hanya itu. Anak angkat Sepasang Naga
Selatan pun telah kita bunuh dengan menyebar fitnah
kalau yang melakukannya adalah Cemeti Melati Kala.
Ketua! Bila membunuh Pendekar Slebor sekarang juga,
seluruh rencana yang telah kita susun akan batal," jelas Jarotomo.
"Keparat kau ini! Aku sudah tidak sabar untuk
menghancurkan Pendekar Slebor yang dibanggakan
orang-orang rimba persilatan. Ini adalah kesempatan
ku yang paling baik untuk membunuhnya!" geram
Penguasa Gunung Mambang.
"Ketua! Untuk membunuh Pendekar Slebor bagi
Ketua sangat mudah. Tetapi yang kita inginkan, bu-
kankah Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu?"
Mendengar kata-kata Jarotomo yang berbisa
itu, Penguasa Gunung Mambang hanya mengangguk,
lelaki ini ternyata hanya mampu mempergunakan te-
naga kasar dan ilmunya. Tetapi, otaknya cuma berisi
dodol saja. "Ketua..., maaf. Bukan sekali-sekali aku me-
mandang sebelah mata. Tetapi yang harus Ketua laku-
kan dalam menghadapi Pendekar Slebor, adalah siasat.
Ketua harus mampu memainkan satu peranan berarti.
Bila Pendekar Slebor sudah terjebak, maka dia pun
akan membenci Cemeti Melati Kala."
"Mengapa kau begitu khawatir sekali, hah"!"
"Karena, Pendekar Slebor dan Cemeti Melati Ka-
la bersahabat. Bila dia tahu kalau kita yang merencanakan semua ini, tidak
mustahil kita pun akan dibi-
nasakannya."
Prakkk! Tangan kekar Penguasa Gunung Mambang
menghantam dinding kamarnya, hingga berlubang.
"Dengan kata lain, kau menganggapku tak
mampu menghadapinya, hah"!" serunya keras.
Nyali Jarotomo ciut juga mendengar bentakan.
Yang dipikirkannya adalah, bagaimana cara untuk
membalas dendamnya pada Cemeti Melati Kala. Dia ti-
dak mau hancur dulu sebelum membunuh gadis itu.
"Ketua..., aku tidak berkata seperti itu. Aku yakin, di rimba persilatan ini...,
hanya Ketua-lah raja-nya," ralat Jarotomo buru-buru.
Kali ini wajah Penguasa Gunung Mambang ber-
seri-seri mendengar kata-kata itu. Dan mereka segera melangkah ke halaman depan.
Andika yang menunggu dengan tak sabar ak-
hirnya menarik napas panjang ketika melihat satu so-
sok tinggi besar muncul sambil terbahak-bahak. Pen-
dekar Slebor bukannya tak tahu kalau di tempat-
tempat tersembunyi telah siap beberapa anak buah
Penguasa Gunung Mambang.
"Hari ini aku mendapat kunjungan kehormatan
dari seorang pendekar muda yang banyak dibicarakan
orang. Pendekar Slebor! Telah lama aku mendengar
namamu diperbincangkan. Sungguh, ini suatu ke-
banggaan tersendiri dengan munculnya kau di sini."
Andika memperhatikan sosok besar itu. Dia ya-
kin, inilah Penguasa Gunung Mambang. Dari gelarnya
saja sudah menunjukkan keseramannya. Belum lagi
dari wajahnya yang dingin menyeramkan.
"Ha ha ha....," Andika mengeluarkan suara tawa
tetapi bukan tertawa. "Nama besar Penguasa Gunung Mambang juga sudah sampai
dikupingku dan hanya
mengotori gendang telingaku saja!" sahut Pendekar Slebor, santai.
Andika melihat wajah Penguasa Gunung Mam-
bang memerah. Tetapi lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak kembali.
"Ah, yang penting kau sudah mendengarnya!
Katakan, apa keperluanmu, hah"!"
"Keperluan ku ingin mengajak mu main lenong.
Judulnya, Jin Buang Anak. Nah, kaulah yang jadi jin-
nya. Hei, Jin! Siapakah yang menyebarkan fitnah keji pada Cemeti Melati Kala?"
sahut Pendekar Slebor dengan lagak seperti main lenong betulan.
Kembali wajah Penguasa Gunung Mambang
memerah. Hatinya benar-benar jengkel.
"Basa-basi mu itu tak ada gunanya! Siapa pun
tahu kalau Cemeti Melati Kala telah membelot dari ja-lurnya!" tangkis lelaki
tinggi besar itu.
"Dan kau, Jin! Mengapa berani melamarnya.
Enak saja melamar istri orang! Sana kembali ke asal-
mu di lampu wasiat!" kata Pendekar Slebor melantur.
Lagaknya kian menjadi-jadi bagai bocah lenong.
"Pendekar Slebor! Ucapanmu membuat jan-
tungku berdetak lebih hebat lagi! Aku ingin melihat
kehebatanmu itu! Bunuh dia!"
*** Begitu terdengar perintah, puluhan anak panah
melesat ke arah Andika dari tempat-tempat tersem-
bunyi. Cepat Pendekar Slebor berkelebat. Saking ce-
patnya sehingga hampir dua puluh anak panah yang
meluncur dalam tiap kejapan, tak satu pun yang me-
nyentuh tubuhnya.
Bahkan dengan kecepatan gerak tangannya be-
berapa anak panah, berhasil ditangkap, lalu dilemparkannya ke Penguasa Gunung
Mambang. Namun sam-
bil tertawa, lelaki berkalung tengkorak itu mengi-
baskan tangannya.
Prakkk! Anak-anak panah patah seketika.
"Mainkan 'Panah Menjulang ke Langit'!" teriak Penguasa Gunung Mambang.
Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan
keselamatannya untuk serangan ini memang sedang
diuji. Puluhan anak panah yang melesat kali ini mem-
buatnya harus berjumpalitan dengan mengerahkan se-
luruh kemampuan yang diperoleh dari Lembah Kutu-
kan. Betapa tidak" Anak panah yang mengarah pa-
danya itu tiba-tiba saja bisa berbelok ketika hendak di-tangkapnya, lalu
menyerangnya kembali.
"Monyet pitak! Kutu koreng! Ternyata bukan
manusia saja yang punya mata. Anak panah ini pun
tak mau ketinggalan. Hmmm. Aku tahu! Anak panah
itu dikendalikan tenaga dalam dari orang yang mele-
pasnya. Boleh juga kepandaian anak buah si jelek itu!"
Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menye-
lamatkan diri" Padahal kini anak-anak panah telah
mengurungnya dari semua penjuru!
"Hiaaa...!"
Entah apa maksudnya Pendekar Slebor berte-
riak keras begitu. Mungkin kalau di depannya ada
kucing lewat, kontan mati berdiri. Tapi yang jelas, si pemuda telah berkelebat
luar biasa cepatnya setelah
melepas kain bercorak caturnya. Tubuhnya bagaikan
kelebatan bayangan hijau yang menderu-deru sambil
mengibaskan senjata pusakanya. Beberapa anak pa-
nah yang melesat pun langsung tersampok berkali-
kali. Walaupun tak ada lagi anak-anak panah yang
menyerangnya, Andika terus berkelebat ke segala pen-
juru sambil mengibaskan kain bercorak caturnya den-
gan tenaga dalam tinggi. Gerakannya bagai orang ka-
lap yang kebelet buang hajat. Tapi hasilnya memang
patut diacungi jempol.
Anak buah Penguasa Gunung Mambang yang
sedang mengendalikan anak panah dengan tenaga da-
lam langsung berpentalan disertai teriakan kesakitan terkena sambaran angin kain
Setan Selaksa Wajah 2 Petualangan Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Kitab Serat Biru 3
^