Lembah Kutukan 1
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan Bagian 1
LEMBAH KUTUKAN oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode: Lembah Kutukan 1 Bulan bulat penuh mengambang di cakrawala, hanya
disemaraki gumpalan awan putih kecil. Sehingga, cahaya
berjuta bintang pun nampak lebih nyata. Sinar bulan yang
lembut berwarna kuning keemasan itu tak luput jatuh pada
suatu halaman depan sebuah perguruan silat itu, karena
teri hat jelas dari tulisan yang tertera di atas papan jati
yang menggantung di atas pintu gerbangnya. Letaknya
tepat di punggung bukit, dan dikelilingi barisan tak teratur
pohon-pohon besar. Perguruan ini tidak begitu dikenal di
dunia persilatan, karena para ketuanya tidak menganjurkan murid-muridnya membawa-bawa nama
perguruan jika berada di luar lingkungan perguruan.
Di malam yang baru saja menyelimuti sekitarnya,
terdengar teriakan-teriakan berirama memberi aba-aba
dari halaman Perguruan Trisula Kembar. Setiap kali
terdengar teriakan lantang memberi aba-aba, setiap kali
pula di kuti teriakan susulan yang tak kalah lantang dari
bcberapa orang murid Perguruan Trisula Kembar,
menyertai gerakan kompak suatu jurus.
Yang memberi aba-aba adalah seorang pemuda
cukup tampan. Dia nampak berwibawa dalam sorotan sinar
remang bulan purnama. Dan semua yang sedang berlatin
ini mengenakan seragam perguruan berwarna hitam-hitam.
Hanya saja, pemuda yang memberi aba-aba itu
mengenakan tutup kepala dari kain berwarna merah,
bergambar sepasang trisula bersilang di bagian kening.
Sedangkan yang dilatih tidak mengenakan tutup kepala.
Nampaknya itu cukup sebagai bukti kalau pemuda itu
memiliki tingkat kepandaian yang khusus di perguruan ini.
Sesekali pemuda yang memakai penutup kepala itu
berkeliling memperhatikan setiap gerak dari jurus-jurus
yang dimainkan berbarengan oleh sekitar dua puluh
pemuda. Bila ada kuda-kuda yang tidak kokoh dan nampak
rapuh, atau gerakan yang tampak lambat, pemuda itu tak
segan-segan memukulkan punggung tangannya bila salah
seorang murid ada yang salah bergerak.
Tanpa ada yang tahu, di atas sebuah pohon besar
yang menjulang tinggi melampaui pagar perguruan,
seseorang duduk diam sambil memperhatikan orang-orang
yang berlatih silat. Lebatnya dedaunan pohon, membuat
cahaya bulan tidak berdaya menembusnya. Ini jelas
membawa keuntungan bagi pengintai yang tampak tenang,
bagai segerombol daun jika dilihat sekilas dari kejauhan.
Dia Andika, seorang remaja berusia belasan tahun.
Tubuhnya agak kurus, sehingga terlihat begitu lemah.
Matanya yang tajam dengan dua garis alis mata yang
menukik bagai kepak elang, memperhatikan kegiatan
berlatih di Perguruan Trisula Kembar.
Memang, sebenarnya hampir setiap malam Andika
berada di situ, untuk memperhatikan jurus demi jurus yang
diajarkan di Perguruan Trisula Kembar. Setiap gerakan
mampu dicerna otaknya yang memang cerdas.
Bahkan sampai gerak tersulit sekalipun.
Kalau ditelusuri asal-usulnya, sebenarnya Andika
salah seorang gelandangan di kotapraja, yang kebetulan
berjarak setengah hari perjalanan dari bukit tempat
Perguruan Trisula Kembar berdiri. Untuk seorang yang
tidak memiliki ilmu silat atau ilmu meringankan tubuh
sedikit pun, jarak sejauh itu bisa melelahkan.
Seperti juga halnya Andika. Dan karena kekerasan
hatinya untuk bisa melihat latihan setiap malam, hal itu
tidak dipedulikannya lagi. Bahkan hatinya selalu disesaki
keinginan menggebu-gebu untuk dapat belajar ilmu
beladiri. Keinginannya itu bukan tidak beralasan. Memang,
sebagai gelandangan yang selalu disingkirkan, dia selalu
diperlakukan semena-mena oleh orang yang merasa
dirinya berkuasa. Kehidupan kotapraja memang terkadang
bengis. Maka, dia merasa perlu memiliki sedikit
kemampuan untuk mempertahankan diri.
Sebenarnya, Andika ingin mencoba mengajukan diri
untuk menjadi murid Perguruan Trisula Kembar. Tapi,
hatinya tidak begitu yakin, mengingat dirinya hanyalah
seorang gelandangan yang bakal dianggap sampah disana.
Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukannya
adalah mencuri-curi setiap jurus dari pohon besar seperti
yang sedang dilakukannya saat ini.
*** "Hiat hiat hiaaat!"
Teriakan-teriakan yang diiringi semangat berlatih dari
Perguruan Trisula Kembar masih terus berkumandang,
bagai hendak membelah bukit.
"Satu...! Dua...! Satu...! Dua...!"
Andika terus memperhatikan dan langsung mencerna
ke dalam otaknya yang cerdas. Begitu seksamanya,
sehingga dia tidak tahu kalau di bawah pohon telah berdiri
seorang pemuda berpakaian serba hitam. Menilik dari
pakaiannya, jelas pemuda itu juga murid dari Perguruan
Trisula Kembar yang kebetulan habis pergi dari kotapraja.
"Hei, siapa itu"!" bentak pemuda itu, dari bawah
pohon. Kepala pemuda itu mendongak ke atas. Dan ketika
Andika tidak juga bergerak, pemuda itu cepat
mengebutkan tangannya. Maka sebilah pisau seketika
meluncur deras ke arah Andika.
Krosak! Lemparan pisau seruncing taring serigala itu luput
dari sasaran, pada saat bersamaan Andika kehilangan
keseimbangan dan terjatuh.
Buk! Orang yang memergoki Andika cepat memburu keasal
bunyi suara, ketika tubuh Andika menghantam tanah
bersemak. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Andika berusaha
bangkit. Kepalanya terasa pusing, karena terhantam satu
batang pohon saat jatuh tadi. Dunia bagai berputar hebat.
Belum tuntas rasa pusing di kepalanya, datang lagi satu
hajaran telapak kaki yang mendarat di pelipisnya.
Plak! "Aduh!" jerit Andika tertahan, dan kontan terpental
tiga langkah. Mendapat serangan demikian, naluri mempertahankan diri Andika timbul. Tanpa mempedulikan
lagi rasa pusing yang membuatnya ingin muntah, dia
bangkit. langsung kuda-kudanya dipasang dengan mata
mengerlap-ngerjap.
"Bedebah! Rupanya kau sering mencuri jurus-jurus
kami, ya!" geram murid Perguruan Trisula Kembar tatkala
melihat kuda-kuda Andika. Dan itu memang kuda-kuda
pembuka jurus 'Trisula Terbang' milik perguruan itu.
Selama mendapat jurus demi jurus hasil mencuri dari
Perguruan Trisula Kembar, Andika memang melatih sendiri
di sebuah kandang kuda yang sudah tak terpakai di
kotapraja. Sehingga, tampak tidak ada keanggungan
sedikit pun dari gerakannya.
"Jangan sembarangan menuduh orang! Apakah kau
dan perguruanmu merasa kehilangan sesuatu?" dalih
Andika dengan wajah takut-takut.
"Tidak, kan" Kalau begitu, aku bukan pencuri!"
"Pintar ngomong kau, ya"!" dengus pemuda itu.
"Aku punya mulut...."
"Kalau begitu, biar mulutmu akan kuhancurkan!
Hiaat...!"
Setelah itu Andika kembali dirangsek. Kali ini terlihat
lebih ganas, karena pemuda itu sudah dipengaruhi
kemarahan meluap-luap.
Satu pukulan tangan dari murid Perguruan Trisula
Kembar terlihat bagai sedang menggenggam gagang
trisula, ketika melayang tajam ke arah leher Andika. Jelas
jitu memperlihatkan kesungguhannya untuk menghabisi
Andika secepat mungkin.
Andika tahu persis, itu adalah jurus kelima 'Trisula
Terbang'. Maka dengan sedikit bergerak ke sisi kiri,
dihindarinya serangan itu.
"Uts!"
Dengan kecerdikannya, Andika menggabungkan tiga
jurus 'Trisula Terbang' sekaligus, sehingga terlihat seperti
jurus baru. Maka ketika murid perguruan itu hilang
keseimbangan karena serangannya luput, Andika cepat
menyudut. Seketika sikunya yang cukup runcing
disodokkan ke arah ulu hati murid Perguruan Trisula
Kembar itu. Dugh! "Ukh...!"
Orang itu kontan terjatuh berguling, diiringi keluhan
tertahan. Kedua tangannya memegangi ulu hati yang
terasa diaduk akibat hantaman siku Andika. Dia mencoba
bangkit berdiri, sambil menatap tajam ke arah bocah
gelandangan itu.
Andika yang bertubuh kecil sudah bersiap-siap
kembali. Dibanding tubuh penyerangnya yang tegap dan
berotot, tubuh Andika memang tidak ada apa-apanya. Dan
memang, murid Perguruan Trisula Sakti itu membuat
kesalahan dengan menganggap remeh Andika yang
bertubuh kurus.
"Untuk apa kau mencuri jurus-jurus perguruan kami"!"
tanya pemuda itu terdengar seperti erangan suaranya.
"Kau pasti dari golongan hitam yang diutus untuk memata-
matai kaml..!"
Andika bukannya menjawab, tapi malah mesem-
mesem menahan tawa yang mau pecah saat itu juga. Tiba-
tiba, timbul pikiran-pikiran nakal yang kebanyakan dimiliki
anak gelandangan di kotapraja.
"Apa kau tidak melihat jurusku" Kalau diperhatikan,
pasti kau tahu dari perguruan mana aku," kata Andika
lantang, dengan wajah dibuat seangkuh mungkin.
Murid Perguruan Trisula Kembar hanya menautkan
alis sambil tetap memegangi ulu hatinya yang masih terasa
mual. "Perguruan mana, ya" Kuda-kudanya memang kuda-
kuda milik Perguruan Trisula Kembar. Tapi jurus yang
dipakai untuk mematahkan seranganku, rasanya baru kali
ini kulihat," pikir orang itu tetap meringis.
"Dasar murid tolol!" umpat Andika dalam hati.
"Ada apa ini"!"
Tiba-tiba terdengar teriak seseorang di belakang
Andika, sekitar tiga tombak jauhnya. Dan seketika kedua
orang itu kontan melihat ke arah datangnya suara.
"Oh, Kakang Soma.... Jembel kurus bau ini kupergoki
sedang memata-matai perguruan kita di atas pohon itu,"
lapor murid Perguruan Trisula Kembar, ketika mengenali
orang yang baru datang itu. Dan dia lantas menjura.
Andika tahu, orangyang baru datang ini adalah yang
tadi sedang melatih beberapa murid di halaman depan
perguruan Trisula Kembar. Rupanya, dia dipanggil dengan
nama Soma. Melihat kehadiran pelatih silat itu, agak ngeri
juga Andika! Orang yang dipanggil itu melirik Andika. Matanya
tampak tenang dan dingin.
"Benar begitu..."! Hm, siapa namamu?" tanya Soma
cukup ramah, namun belum juga tersenyum.
"Andika," jawab gelandangan itu ragu.
"Benar begitu Andika?" ulang Soma.
"Benar.... Eh, tidak. Maksudku...."
"Aaah! Bertele-tele kau! Sudah, Kang Soma. Tangkap
saja bajingan bau ini, lalu kita paksa bicara...." sergah
murid yang dipecundangi Andika tadi.
Soma hanya mengangkat sebelah tangan, menyuruh
orang itu diam.
"Biarkan dia bicara baik-baik, Gopala."
Andika berkali-kali menelan ludah, membayangkan
apa yang bakal terjadi pada dirinya nanti. Mungkin nanti
akan dipukuli ramai-ramai seperti karung pasir di
pekarangan perguruan yang setiap malam dilihatnya. Atau
barangkali pula di kat di sebatang kayu, lalu dijemur di terik
sinar matahari. Dan bisa juga.... "Andika...."
Andika terperangah. Dia lupa kalau pertanyaan Soma
tadi belum dijawab.
"Maksudku tadi, tidak benar kalau aku memata-matai
perguruan ini, aku hanya...."
"Hanya apa?" pancing Soma kembali. Wajahnya tak
berubah sedikit pun, seakan terbuat dari batu yang
dipahat. "Hanya sedikit mengintip agar bisa belajar satu-dua
jurus...," ungkap Andika akhirnya.
"Sudah berapa lama itu kau lakukan?" "Hanya baru...,
dua purnama."
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh! Dua purnama, kok baru...," celetuk murid vang
dipanggil Gopala itu.
Beberapa saat Soma hanya memainkan dagu dengan
jari tangan kanannya. Dan matanya jatuh ke arah i
erumputan yang berselimut sinar bulan temaram.
"Sudikah kau memperlihatkan jurus-jurus yang telah
didapat selama di perguruan kami?" pinta Soma.
Andika kontan terkejut mendengar tawaran itu, dan
benaknya sudah membayangkan dirinya yang berdiri di
pelataran perguruan, lalu memainkan beberapa jurus di
bawah sinar bulan. Memang, itulah yang diidam-
idamkannya selama ini.
"Bagaimana, Andika" Anggap saja ini undangan dari
kami...." "Oh! Baik... baik," jawab Andika cepat-cepat Seakan
takut kalau undangan itu hanya berlaku hanya sekali saja.
Andika segera menjura seperti layaknya murid
Perguruan Trisula Kembar pada Soma. Saat itulah Andika
mtlihat untuk pertama kalinya senyum Soma yang ramah
dan tak dibuat-buat.
*** Soma memperkenalkan Andika kepada laki-laki
setengah baya yang juga menggunakan pakaian hitam-
hitam. Penampilannya sederhana, tidak jauh beda dengan
murid-murid yang lain. Dan ini memberi kesan seakan
orang itu tidak memiliki pengaruh apa-apa di perguruan itu.
Namun ketika Soma bersikap normat dan menjura
kepadanya sambil memanggil guru, barulah Andika tahu
kalau laki-laki bertubuh sedang itu adalah orang paling
berpengaruh di situ.
Dan Andika segera menyusul memberi hormat
"Kita kedatangan tamu, Guru," papar Soma.
"Namanya Andika. Dan dia selama dua purnama ini
mencoba mempelajari jurus-jurus perguruan kita dari atas!
sebuah pohon."
"Hm...," gumam laki-laki setengah baya itu berwibawa
dengan melipat tangan di depan dada.
"Hm. Namaku Ki Sanca. Dan aku adalah Ketu;
Perguruan Trisula Kembar. O, ya. Benarkah yang dikatakan
muridku itu, Nak Andika?" tanya laki-laki setengah baya
yang memperkenalkan diri sebagai Ki Sanca
"Benar, Ki," jawab Andika singkat.
"Sampai jurus apa yang kau dapatkan?"
"Kalau tidak salah sampai jurus...," 'Sapuan Trisu
Kembar'," jawab Andika lagi, tanpa ingin menyembunyikan
sedikit pun. Begitu lugu sikapnya.
Soma yang masih berdiri di sisi Andika terperanjat
Sampai-sampai dia bergumam sendiri. Bahkan Ki Sanca
pun sempat memperlihatkan perubahan air muka,
mendengar jawaban polos Andika.
Dari tempat duduknya, Ketua Perguruan Trisu Kembar
ini bangkit. Matanya memperhatikan Andik dari mulai ujung
kepala hingga ujung kaki. "Memang bukan main anak ini.
Padahal untuk bisa sampai ke jurus yang barusan
disebutkan, murid-muridnya yang lain paling tidak
membutuhkan waktu paling cepat enam Purnama. Tapi
anak ini?"
Maukah kau perlihatkan padaku di halaman depan"
Andika mengangguk cepat. Ki Sanca bergegas
melangkah keluar dari pendopo. Sementara di
belakangnya menyusul Andika dan Soma. Dan mereka
langsung menuju ke halaman depan perguruan yang biasa
digunakan untuk berlatih.
Begitu sampai di luar, Ki Sanca segera
memerintahkan murid-muridnya berdiri membentuk
lingkaran besar. Sementara di tengah-tengahnya Andika
sudah berdiri dengan wajah berbinar. Sedikit pun tak ada
garis kesombongan terlintas di wajah anak berumur
belasan ini. "Ya, silakan mulai," Ki Sanca memberi aba-aba dari
pinggir lingkaran.
Andika memulai. Seketika tubuhnya menjura
sebagaimana kebiasaan perguruan itu. Dan kini dia
memulai dengan membuka jurus-jurus pertama.
Jurus demi jurus dimainkannya dengan cukup
memukau. Terlihat amat mantap. Setiap kali menyambung
satu jurus dengan jurus lain, terlihat gerakannya yang
mengagumkan. Biarpun di mata Ki Sanca gerakan-gerakan
itu tak memiliki pertahanan kokoh, namun anak muda
belasan itu tetap dikaguminya. Kalaupun ada kekurangan,
itu disebabkan dia melatih sendiri setiap jurus yang
didapat. "Guru. Menurutku anak ini punya bakat luar biasa,"
bisik Soma yang menjadi murid tertua perguruan, kepada
Ki Sanca yang berdiri di sebelahnya.
Ki Sanca melirik muridnya, lalu tersenyum. "Apa
artinya itu, Soma?"
"Apa, Guru?" Soma balik bertanya seraya meng angkat
bahu dan ikut tersenyum.
"Kau sepertinya mengusulkan padaku untuk mej
nerima dia sebagai murid. Begitu, kan?" tebak Ki Sana
langsung. "Kira-kira begitu, Guru," kata Soma. Paras mukanya
nampak seperti yang berpikir sungguh-sungguh.
Ki Sanca terkekeh kecil.
"Yah. Entah kenapa, aku juga berpikir kalau anak itu
berbakat luar biasa...," desah Ki Sanca.
Diliriknya Soma yang kini memperlihatkan kepuasan
di wajahnya. "Cukup! Cukup... Andika. Guru kami hari ini ternyata
mau bermurah hati," ujar Soma.
Andika seketika menghentikan gerakan jurusnya. Dia
kemudian menjura kepada Ki Sanca dan Soma, lal kepada
seluruh murid yang melingkarinya. Sebentar k" mudian
kakinya melangkah ke arah Soma.
"Jadi aku boleh pergi dari sini, tanpa dihukum"
"Lebih dari itu. Guru kami mengizinkan kau menjadi
murid perguruan ini...."
Mata Andika melotot tak percaya. Mulutnya
menganga, persis orang bodoh yang melihat wanita cantik
"Sungguhkah itu?" tanya Andika lugu. Namun tiba
tiba.... "Tunggu! Tunggu dulu, Kang Soma! Bagaimana kalau
dia ternyata mata-mata yang ingin menghancurkan
perguruan kita" Bagaimana kalau anak ini murid dari orang
tokoh hitam?" sebuah suara bernada tak senang tiba-tiba
terdengar. Soma seketika menoleh pada sumber suara, yang
ternyata berasal dari murid yang dipecundangi Andika tadi.
Pemuda berwajah kasar yang bernama Gopala itu jelas-
jelas tidak senang terhadap keputusan Soma. Cara
memandang Andika pun amat sinis, bagai menyimpan bara
dendam di kedua biji matanya.
"Apa alasanmu?" selidik Soma mewakili Ki Sanca.
"Tidak hanya jurus-jurus kita yang dimilikinya. Tapi
juga jurus-jurus lain yang kuyakini berasal dari
perguruannya pun dimilikinya. Dia hanya berpura-pura
supaya kita menerimanya, lalu dengan leluasa mempelajari
jurus-jurus kita. Sampai pada akhirnya nanti, dia akan
membawa perguruannya ke sini. Dan...," Gopala tidak
meneruskan. "Bagaimana kau yakin begitu, Gopala?" sela Ki Sanca.
Laki-laki setengah baya itu memang belum tahu tentang
pertarungan kecil antara Andika dengan Gopala.
"Aku sempat bertarung dengannya tadi, Guru. Dia
mengeluarkan jurus-jurus aneh. Dan..., dan dia
menjatuhkan saya," urai Gopala malu-malu.
Ki Sanca beralih kepada Andika.
"Benar begitu, Nak Andika?"
Andika tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan
Ki Sanca. Dan tubuhnya malah bergerak, memperlihatkan
tiga jurus 'Trisula Terbang' yang digabungkan secara cerdik,
hingga tampak sebagai jurus-jurus baru.
Sebagai orang yang memiliki kejelian, serta banyak
menelan pahit manisnya dunia persilatan, Ki Sanca
mampu menebak jurus-jurus apa yang dimainkan Andika.
Terlebih, jurus-jurus yang digabung Andika adalah
ciptaannya sendiri yang sudah menyatu dengan darah dan
dagingnya. "Trisula Terbang' jurus tujuh, delapan, dan sem-bilan,"
kata Ki Sanca sengaja dikeraskan, agar murid-muridnya
mendengar. "Bukan begitu, Nak Andika?"
"Betul, Ki.... Maaf kalau aku lancang."
Gopala seperti tidak percaya dengan apa yang di-
dengar dari Ki Sanca. Demikian juga murid-murid yang lain,
termasuk Soma. Wajah-wajah mereka memancarkan
keterkejutan yang amat sangat.
"Begitulah kenyataannya," tutur Ki Sanca menjawab
lirikan Soma yang menyimpan tanya.
Lalu dengan langkah tenang, Ki Sanca kembali masuk
pendopo, di ringi penghormatan seluruh murid dengan
menjura bersamaan.
Diam-diam hati Ki Sanca menyayangkan Andika
menjadi muridnya. Bukan apa-apa, Ki Sanca amat yakin
kalau bakat alam yang dimiliki Andika yang begitu luar
biasa, suatu saat akan membuat diri anak muda itu men
jadi pendekar digdaya yang sulit ditandingi. Itu pun kalau
guru yang mendidiknya dari golongan putih.
*** 2 Pagi selalu datang ramah bulan-bulan belakangan.
Atap Perguruan Trisula Kembar yang terbuat dari pelipah
kelapa, tersentuh hangatnya mentari pagi. Satwa penghuni
bukit sebagian memperdengarkan kidung alam yang
damai. Sejak pagi buta tadi, seluruh penghuni perguruan
telah sibuk melaksanakan tugas masing-masing. Sebagian
murid membelah kayu bakar, sebagian lain mengisi air di
pancuran sebelah selatan bukit. Mereka juga menggarap
ladang jagung yang luas, terletak tepat di belakang
padepokan. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan
sehari-hari. Bahkan sisanya bisa dijual di kotapraja untuk
keperluan lain.
Sedangkan tugas murid-murid wanita adalah
memasak, mencuci, berbenah-benah, dan pekerjaan yang
lain. Namun sebenarnya mereka lebih banyak hanya
membantu jalannya kehidupan sehari-hari Perguruan
Trisula Kembar.
Memang jika diperhatikan, perguruan ini tak beda
jauh dengan sebuah perkampungan kecil di atas bukit.
Segala segi-segi kehidupan masyarakat tercermin
diperguruan ini.
Dan Andika tak luput dari tugas. Pemuda tanggung ini
mcmbantu Soma yang kini resmi menjadi saudara
perguruan. Atau tepatnya, kakak seperguruan. Bersama
tiga orang murid lain, mereka tampak membel kayu bakar.
Di tengah-tengah kesibukan mereka bekerja itulah Andika
menceritakan asal-usul dirinya. Soma dan tiga orang murid
lain mendengarkan penuh perhatian.
Berdasarkan cerita orang yang menemukannya enam
belas tahun lalu Andika ditemukan sebagai bayi merah
oleh seorang pencopet tua di pinggir hutan. Mulanya
pencopet tua itu tidak ingin peduli. Tapi ketika dia melihat
dengan mata kepala sendiri si bayi itu demikian tenang
tanpa tangis, tengah bermain bersama seekor ular berbisa
besar, barulah disadari kalau bayi ini bukanlah bayi biasa.
Dan hal ini membuat si pengemis tertegun.
Maka dengan segera, diambilnya dahan pohon untuk
mengusir ular itu. Begitu ular pergi, bayi itu segera dibawa
ke gubuknya di pinggir hutan sebelah timur. Mulailah
kehidupan baru bagi bayi itu.
Di sanalah dia dibesarkan dan dididik oleh pengemis
tua. Bahkan ilmu copet-mencopet pun diajarkannya pula.
Menginjak usia tujuh tahun, Andika telah menjadi
pencopet lihai di kotapraja. Bocah itu memang telah
menjadi musuh bagi saudagar-saudagar kaya yang culasj
kaki tangan adipati yang menarik pajak dari rakyat kecil
bahkan para begal berbahaya yang biasa meminta darah
dan nyawa orang kecil.
Ternyata, sebagian besar hasil jarahan, oleh Andika
bdikembalikan ke orang-orang kecil yang selama ini
megap-megap didesak berbagai pihak yang merasa dirinya
berkuasa. Dan nilai-nilai seperti itu sebenarnya tidak
pernah diajari ayah angkatnya. Bahkan niat pengemis tua
itu memelihara Andika, sebenarnya bertujuan tidak baik.
Dia ingin bila sudah terlalu tua dan tidak bisa lagi bekerja,
Andika dapat menggantikannya. Dan dia tinggal menerima
hasilnya saja. Ternyata, cita-cita licik itu jauh dari kenyataan.
Buktinya, ada suatu cahaya kemuliaan di garba jiwa anak
itu yang sulit ditembus oleh didikannya yang keras
sekalipun. Dan pencopet itu memang tak mungkin
merubahnya. Maka, setiap kali Andika pulang menjarah di kotapraja
tanpa hasil banyak, karena sudah mengalir pada tangan-
tangan kurus rakyat menderita, pengemis tua itu
mendampratnya habis-habisan dan memukulinya. Bahkan
mengikatnya di sebuah batang pohon tinggi dalam
keadaan menggantung, dengan kaki di atas selama
seharian. Berkali-kali hal itu terjadi, namun cahaya di garba jiwa
Andika tetap tidak memudar sedikit pun.
Sampai suatu hari, pengemis tua itu sudah demikian
murka. Anak itu hendak dibunuhnya dengan sebilah balok
besar. Andika terpaksa lari menyelamatkan diri, karena
dikejar pengemis yang kalap dan menyumpahinya.
"Anak sundal! Berhenti kau! Biar kubunuh kau, Seperti
orang tuamu yang membuangmuke hutan! Kalau tahu kau
seperti ini, biar setan hutan mengutukmu!" dengus
pengemis tua kala itu.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kau tak pernah tahu siapa orangtuamu?" tanya
Soma, ketika Andika selesai bercerita, tanpa menghentikan
ayunan kampak besarnya ke arah kayu yang hendak
dibelah. Andika menggeleng. Disapunya peluh di kening
dengan punggung tangan.
"Barangkali, itulah yang dinamakan takdir. Aku rasa
tidak ada gunanya memikirkan apa-apa yang sudah terjadi,
Kang," kata bocah tanggung itu, tenang.
Soma meninju bahu kurus Andika, untuk sekadar
menghibur. "Sangat betul, Andika," ucap Soma kemudian.
"Lantas, kalau sekarang sudah menjadi seorang murid
perguruan ini, apa pekerjaanmu yang dulu itu akan terus
dijalani?"
"Menurut Kang Soma sendiri?" Andika malah balik
bertanya. "Kalau aku jadi dirimu.... Hm..., maksudku memiliki
ilmu mencopet selihaimu, aku tidak akan berhenti...."
"Kenapa begitu, Kang?"
'Hei, Copet Kecil Budiman! Siapa lagi nanti yang bakal
mengembalikan uang rakyat jelata yang dirampas paksa
orang-orang terkutuk itu?" kata Soma, yang dibarengi
tawanya. Mereka semua yang ada di situ ikut tertawa.
Sedangkan Andika hanya mesem-mesem, menahan malu.
'Terus terang, kalau kau hendak mencari ilmu
kedigdayaan, di sini bukanlah tempat yang tepat. Kau lihat
sendiri, kehidupan di sini lebih mirip sebuah desa
dibanding sebuah perguruan silat," papar Soma. "Kami
hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini. Kalaupun
Ki Sanca mengajarkan kami ilmu silat, semata-mata hanya
untuk dapat mempertahankan diri jika sewaktu-waktu
diperlukan. Kami hanya ingin lari dari huru-hara dunia
persilatan yang bengis. Banyak di antara kami yang sudah
berkeluarga dan hidup damai di sini. Rasanya itu pun
sudah cukup tanpa perlu menyabung uyawa, agar bisa
diakui menjadi yang terhebat di dunia persilatan."
"Tapi, kebenaran toh, harus tetap ditegakkan," sergah
Andika, tidak begitu setuju dengan ucapan Soma.
"Memang..., namun harus disadari kemampuan kita.
Ilmu milik perguruan ini tidak ada seujung kuku dibanding
ilmu tokoh golongan hitam yang kini meraja lela di dunia
persilatan. Lalu, haruskah kami membuang nyawa tanpa
hasil yang bisa diharapkan?" sahut Soma.
Soma langsung menghentikan kerjanya, menatap
Andika. Seakan dia meminta jawaban anak belasan tahun
itu dengan kedua bola matanya. Dan Andika hanya
menggeleng. Sedangkan Soma kembali menggerakkan tangannya,
untuk menancapkan kapak pada potongan batang kayu
besar. "Andai aku memiliki kedigdayaan seperti Ki Panji
Agung.. Hm..., tentu aku tak akan tinggal diam di tempat
ini...," gumam Soma, diiringi keluhan yang begitu jadi
beban dalam dadanya.
. "Ki Panji Agung?" Andika seperti bertanya pada diri
sendiri "Beliau tokoh golongan putih dari keluarga Pendekar
LembahKutukan.Ilmunya sulit ditandingi tokoh-tokoh
golongan hitam puluhan tahun silam," jelas Soma
"Ke mana sekarang beliau?" tanya Andika lagi, ingin
tahu. "Entah, beliau menghilang begitu saja seperti angin
Malah kini sudah menjadi dongeng ksatriaan yang
dibicarakan rakyat jelata dari mulut ke mulut. Seperti
halnya keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan lain
yang juga hanya jadi dongeng untuk mengiringi tidur anak-
anak rakyat jelata setiap malam. Mereka memang selalu
berharap, keluarga pembela kebenaran itu akan hadir lagi
untuk membela yang lemah," desah Soma.
"Sayang..., padahal Ki Panji Agung amat dibutuhkan
sekarang ini," keluh Andika.
"Ya! Kita hanya dapat berharap seperti rakyat jelata,
agar lahir kembali pendekar-pendekar, seperti keluarga
Pendekar Lembah Kutukan...," kata Soma, sambil
mengacak-acak rambut sebatas bahu Andika.
Dan pemuda tanggung itu hanya diam saja,
membayangkan kehebatan keluarga Pendekar Lembah
Kutukan. Dalam hati, Andika memang berharap bisa
menjadi seperti mereka.
"Siapa tahu kau nanti bisa seperti beliau, An... tutur
Soma menambahkan.
"Omong kosong...! Mana mungkin pepesan teri seperti
saya bisa jadi pendekar," potong Andika dengan mata
membelalak. Keduanya tertawa berbareng.
Malam telah rebah di kaki Gunung Menjangan. Gelap
merambat perlahan menyelimuti sekitarnya. Di sebelah
timur kaki gunung yang berhadapan dengan jurang terjal
mengerikan, tampak tiga sosok tubuh berdiri tegang.
Dalam gelap yang tak terjangkau cahaya satu benda langit
pun, sosok mereka seperti bayangan saja.
"Panji Agung! Panji Agung...! Keluarlah kau, Tua
Bangka Keparat! Apa tulang-tulang rapuh dan daging
peotmu membuat cepat ngantuk"!"
Teriakan menggelegar yang disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi terdengar dari salah seorang
diantara mereka. Gemanya menelusup ke sela-sela pohon,
dan memantul pada lekuk pegunungan sebelah barat.
Bahkan sampai menggugurkan daun-daun pepohonan di
sekitar mereka!
"Cepatlah keluar, Pendekar Tua! Apa kau takut
menghadapi kematian"!"
Kembali terdengar teriakan menggema, namun tidak
ada tanda-tanda sahutan dari orang yang diteriaki. Hanya
gema suara teriakan itu yang terdengar di antara desir
angin malam yang dingin menusuk.
"Panji Agung!" teriak orang yang mengenakan pakaian
serba hitam terbuat dari beberapa lapis sutera.
Wajah orang itu tampan dan kelimis. Namun,
berkesan amat dingin. Matanya yang tajam mengedari
seluruh kaki gunung. Tak beda dengan mata seekor ular
liar di kegelapan yang menanti mangsa.
"Panji Agung, aku Begal Ireng! Aku kembali untuk
kematianmu, Tua Keparat!" teriak orang yang mengaku
sebagai Begal Ireng kembali. Suaranya terdengar
menggelegar bagai halilintar.
Sementara itu, dua orang lain tetap mematung. Hanya
jubah putihnya yang sedikit menggelepar diusik angin.
Keduanya bagai tidak bisa dibedakan, karen sama-sama
berkepala gundul dan bermata sipit. Ditambah kulit yang
pucat, mudah diduga kalau mereka berasal dari daratan
Tiongkok. Di kalangan persilatan, mereka dikenal sebagai
si Kembar dari Tiongkok. Du tokoh golongan hitam amat
dingin dalam menghabii lawan-lawannya. Kekejaman
mereka seperti tergambar dari bibirnya yang terlalu tipis
dan melekuk sinis.
"Aku tahu, kau ada di dalam pondok di atas sana Panji
Agung! Jangan sampai aku menyebutmu sebaga pendekar
pengecut!"
Lagi-lagi Begal Ireng berteriak lantang. Kali in
suaranya diwarnai tekanan-tekanan marah memuncak Dan
tak lama kemudian....
"Ada apa, Tua Bangka Begal Ireng?" tiba-tiba
terdengar sahutan berwibawa yang amat dekat dengan
mereka. Namun, sesungguhnya asal suara itu sendiri amat
jauh dari atas pegunungan. Sungguh suatu pengiriman
suara dengan tingkat tenaga dalam mempesona. Bahkan
hanya bisa dilakukan oleh segelintir tokoh persilatan
bertenaga dalam sangat tinggi. Dan salah satunya adala Ki
Panji Agung! "Jangan coba menyebutku tua bangka lagi! Da jangan
main sembunyi-sembunyi seperti ini, Peot!" dengus Begal
Ireng. "Ha ha ha..! Apa dipikir kau masih muda, Bega Ireng"
Jangan lupa, kau adalah salah satu orang tua yang tak
tahu diri di dunia ini. Lantas, kenapa tidak mau menerima
kenyataan" Takut tidak bisa 'menggarap' perawan lagi,
sehingga merasa perlu menuntut ilmu awet muda?" ejek Ki
Panji Agung, masih belum menampakkan diri.
"Diam!" murka Begal Ireng. Tangannya langsung
berkelebat, melepaskan pukulan jarak jauh! Sebatang
pohon cemara besar saat itu juga tumbang berderak
menjadi sasaran kekesalan lewat pukulan jarak jauhnya.
"Ha ha ha...."
Tahu-tahu Ki Panji Agung telah berada di pucuk
sebuah pohon cemara di hadapan mereka. Dia memakai
ikat kepala merah, berjenggot putih, dan berambut
menjuntai sepinggang berwarna putih pula. Tubuhnya yang
kurus tidak membuatnya kelihatan loyo. Wajahnya tampak
menyimpan kerutan, namun memperlihatkan kewibawaan.
"Apa keperluanmu hingga sudi bertandang ke tempat
menyepiku ini, Begal Ireng?" sambut Ki Panji Agung.
Bibirnya terus saja tersenyum ringan.
"Hanya ada satu keperluanku. Mengirim kau ke
Neraka!" tegas Begal Ireng.
"Ah! Kau pasti tahu, itu bukan tempatku, Begal Ireng"
Tubuh Ki Panji Agung langsung melenting, dan
berputaran beberapa kali di udara. Lalu, kakinya ringan
bagai sehelai bulu. Dan kini, pada jarak sekitar lima
tombak, dia berhadapan dengan Begal Ireng dan si kembar
dari Tiongkok. "Kalau aku tak salah duga, ini pasti urusan lama yang
menghangat kembali. Begitu?" tanya Ki Panji Agung, pura-
pura bodoh. Mata Begal Ireng yang nyalang menusuk, langsungj
bertemu dua bola mata kelabu Ki Panji Agung. Dan
mulutnya masih dengan mimik sinis.
"Kau belum begitu pikun untuk mengingat peristiwa
empat puluh tiga tahun lalu, bukan?" kata Begal Ireng,
dengan wajah meremehkan.
Mendapat pertanyaan ini, Ki Panji Agung hanya
tertawa. Dan ini membuat beberapa kerutan di wajah nya
meregang. Dia ingat betul kejadian itu. Jadi, benar ini
memang urusan lama yang rupanya hendak diperuncing
setan belang si Begal Ireng.
"Tentu saja aku ingat. Waktu itu, ada seorang
pecundang berjuluk si Pencabut Nyawa yang gagal
melaksanakan niat busuknya, untuk menggulingkan Sang
Prabu. Pecundang itu adalah kau sendiri, Begal Ireng...,
kata Ki Panji Agung, lantang.
Seketika terdengar gemeletuk gigi-gigi beradu milik
Begal Ireng, begitu Ki Panji Agung selesai mengucap kan
kata-katanya. "Bagus kalau masih ingat, Keparat! Dengan begitu aku
bisa menjelaskan tekadku yang mungkin belum kau dengar
selama memencilkan diri di lubang tikus. Pertama, aku
Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa tidak akan
berhenti melaksanakan keinginannya sampai ajal
menjemput! Yang jelas, sang Prabu harus menyerahkan
kursi istananya kepadaku! Kedua, kau masi punya waktu
untuk mengejekku sebagai pecundang sebelum niatku
terlaksana..., untuk membunuhmu!" kata Begal Ireng,
lantang. "O, o.... Kau takut aku akan menghalangimu lagi untuk
merebut kekuasaan kerajaan, hingga merasa perlu
menghabisiku"! Kalau itu maumu, silakan," timpal Ki Panji
Agung, tenang. Dan kini tidak ada suara terlontar dari mulut mereka.
Suasana jadi hening mencekam. Hanya terdengar bisikan
angin yang melaju di sela kaki gunung. Bahkan Binatang
malam yang mestinya telah memperdengarkan
nyanyiannya, kali ini seperti enggan bersuara. Sepertinya,
mereka tahu kalau saat ini ada kekuatan besar yang akan
meledak dalam suatu pertempuran maut.
"Hiaaat!"
Keheningan kontan pecah oleh teriakan menusuk
angkasa. Begal Ireng segera memulai pertempuran dengan
satu serangan mengerikan. Tangannya yang telah terisi
tenaga dalam, menebas bagian leher Ki Panji Agung. Suatu
serangan menggeledek, sehingga menimbulkan bunyi yang
mendirikan bulu roma.
Singngng...! Ki Panji Agung yang telah waspada sejak tadi, sedikit
menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan tangan
Begal Ireng. Sehingga serangan tangan yang terbuka milik
Begal Ireng hanya lewat sejengkal dari lehernya Namun tak
urung, Ki Panji Agung bisa merasakan pedih akibat angin
pukulan tadi. Serangan berikutnya menderu lebih ganas. Sebelah
kaki Begal Ireng bagai memiliki mata, mengejar ke mana
saja Ki Panji Agung bergerak. Bahkan serangan-
serangannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang
mematikan! Ki Panji Agung sama sekali belum balas menyerang
Dengan agak kewalahan, dia berusaha mengelak dan
menangkis. Sungguh, Ki Panji Agung tidak menyangka
kalau kepandaian Begal Ireng maju demikian pesat
Sehingga untuk beberapa saat tadi, dia sempat terkesiap.
Dibanding empat puluh tiga tahun yang lalu, meski
Begal Ireng masuk dalam jajaran tokoh atas golongan
hitam, namun kemampuannya masih beberapa tingkat di
bawah Ki Panji Agung. Pada saat dia hendak berbuat
makar terhadap Prabu Mahesa, Ki Panji Agung yang saat
itu menjadi tokoh golongan putih, muncul mematahkan
rencana jahatnya. Sengaja nyawa Begal Ireng dan
komplotannya tidak dihabisi, karena diharapkan di lain
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu dapat bertobat. Namun kenyataannya sekarang"
Biarpun serangan-serangan Begal Ireng sangat
merepotkan, namun belum ada satu hantaman pun yang
menyentuh tokoh tua digdaya ini.
Memang, kecepatan dan tenaga dalam yang dimiliki
beberapa keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan,
sulit dicari tandingannya. Seperti juga Ki Panji Agung,
sebagai salah satu keturunan keluarga itu.
Dunia persilatan menyebut kecepatan dan kekuat an
tenaga dalam yang dimiliki keluarga Pendekar Lem bah
Kutukan sebagai ilmu 'Siluman' karena apabila di gunakan,
hasilnya memang menakjubkan.
Tampaknya, untuk dua hal itu Begal Ireng masih
belum mampu menandingi Ki Panji Agung. Sehingga
ketikaKi Panji Agung mulai melancarkan serangan balasan,
tokoh bengis itu jadi berada di bawah angin.
Sampai suatu saat, Ki Panji Agung melancarkan
serangan pukulan ke dada kiri Begal Ireng. Dengan agak
terkesiap, tokoh hitam ini mengebutkan tangan kirinya
dengan gerakan menyilang. Namun sungguh di luar
dugaan, Ki Panji Agung memutar tangan kanannya, dan
langsung bergerak menggedor dada Begal Ireng. Begitu
cepat gerakannya, sehingga....
Desss! "Aaakh!"
Tubuh Begal Ireng kontan melayang lurus, begitu
dadanya terkena hantaman yang disertai tenaga dalam
dari tangan kanan Ki Panji Agung. Diiringi keluhan
tertahan, tubuhnya terus melayang dan kontan
menghantam sebuah pohon besar di belakangnya hingga
Iangsung hancur. Sepuluh tombak di depan Ki Panji Agung,
kini Begal Ireng tergeletak memegangi bagian dadanya
sambil meringis, dia bangkit.
Lagi-lagi Ki Panji Agung terkesiap. Betapa tidak"
Pukulannya tadi amat dikenalnya, karena memang milik
Keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan pukulan itu
dapat menyerpihkan batu karang besar sekalipun. Tapi,
nampaknya tidak ada pengaruh besar yang terjadi pada diri
Begal Ireng. Ilmu apa yang kini dikuasainya"
"'Pukulan Geledek' tingkat lima milikmu tidak berarti
apa-apa buatku, Panji Agung," ledek Begal Ireng dengan
wajah amat sinis. "Kau bahkan tidak akan mampu
membinasakanku meski pukulan kotoran kucing itu
dikerahkan hingga puncaknya! Ha ha ha...!"
Sehabis berkata demikian, Begal Ireng kembali
menyerang. Kali ini, tangannya sudah menggenggam
cemeti yang dilepas dari bagian pinggangnya, setelah sejak
tadi hanya dililitkan. Cletarrr!
Bunyi cemeti yang bisa memecahkan gendang telinga
seseorang yang berilmu cetek seketika terdenga
menggelegar. Tidak itu saja. Gesekan cemeti dengan udara
pun menimbulkan percik-percik api yang membuat nyali
setiap orang yang melihat menjadi ciut.
Tapi tidak untuk Ki Panji Agung. Asam garam yanj
ditelannya dalam mengarungi rimba persilatan selama ini,
membuatnya tetap tenang menanti serangan. Meski dia
tahu, kali ini bisa saja nyawanya benar-benar terancam....
Cletarrr! Cemeti yang terbuat dari satu akar tumbuhan beracun
itu melesat menuju wajah Ki Panji Agung. Dengan sigap Ki
Panji Agung melenting ke udara. Memang menghadapi
senjata seperti itu, dia tidak boleh bertempur dalam jarak
jauh. Karena itu sambil berkelit, tubuhnya berjumpalitan
memperkecil jarak dengan Bega Ireng.
Tapi Begal Ireng rupanya juga tidak bodoh. Dengan
membarengi gerakan salto Ki Panji Agung, tubuhnya pun
melenting menjaga jarak. Bagai dua buah bola mereka
berputaran di udara, di antara batang-batang pohon
cemara. Dan saat itulah Begal Ireng menjalankan rencana
licik yang sebelumnya telah direncanakan matang dengan
dua orang botak yang selama pertarungan terjadi hanya
diam mematung. Dengan tubuh masih melayang di udara, Begal ireng
melecutkan cemetinya, sebagai isyarat kalau rencana
segera dilaksanakan!
Maka seketika tubuh si Kembar dari Tiongkok yang
tadinya mematung, dalam waktu singkat telah membentuk
sebuah gerakan bersama. Sekejap satu tangan mereka
mengerahkan dua kekuatan yang tergabung pada masing-
masing telapak. Tiba-tiba, telapak tangan yang bersatu itu
memerah. Dan dalam sekejap pula, satu tangan yang lain
diarahkan pada tubuh Ki Panji Agung yang masih melayang
di udara! Sehingga....
Whush...! Bunyi angin pukulan jarak jauh yang digabung dua
orang botak itu melesat memburu tubuh tua Ki Panji
Agung. Maka....
Desss! Memang begitu cepat pukulan jarak jauh itu, sehingga
KiPanji Agung tak mampu menghindari. Apalagi tubuhnya
saat itu tengah berada di udara. Maka tak beda dengan
sebuah durian, tubuh Ki Panji Agung kontan nuluncur jatuh
terhantam pukulan jarak jauh licik itu. Suara berdebum
terdengar saat tubuh kurus Ki Panji Agung menghujam
tanah. "Ha ha ha...."
Megitu mendarat di tanah, Begal Ireng tertawa
terbahak-bahak puas, dengan dada membusung.
Sementara tangannya sudah menggenggam cemetinya
kembali. "Bagaimana, Ki Panji Agung" Lumayan kan, pukulan
jarak jauh dua sobatku itu?" ejek tokoh sesat itu kepada Ki
Panji Agung yang mulai bangkit dengan mulut meneteskan
darah. Tokoh tua aliran putih itu menatap tajam, lurus lurus
ke arah Begal Ireng. Kemarahan pendekar tua ini kini
menggejolak sampai ke ubun-ubun.
"Tikus busuk macam kau, memang tidak pernah malu
bertindak curang...," dengus Ki Panji Agung sambi
menahan sakit yang mendera di bagian belakang tubuh
nya. 'Apa kau merasa aneh melihat perbuatanku"
Mestinya lebih berhati-hatilah kalau sudah tahu begitu...,
kembali Begal Ireng meledek.
Begal Ireng tawanya yang terbahak, mengusik pelosok
kaki gunung. "Sekarang, bersiaplah menerima kematianmu, Tua
Bangka...," lanjut Begal Ireng penuh ancaman.
Ki Panji Agung yang menyadari kalau keadaannya
tidak menguntungkan, segera saja mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Sebelumnya, dia telah
menotok beberapa jalan darah di bagian tubuhnya, tatkala
mengetahui kalau pukulan si Kembar dari Tiongkok
ternyata beracun.
"Hiaaat...."
Begal Ireng mulai merangsek kembali. Serangannya
sekarang tidak tanggung-tanggung lagi. Cemetinya
menggeletar di udara, menimbulkan bunyi menggelegar!
dan percikan api. Bahkan sekarang dua orang botak itu
ikut andil pula dalam serangan puncak. Dengan ganas
mereka mengeroyok pendekar tua beraliran putih in
Maka pertarungan sengit tak dapat dielakkan lagi.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar tua berkesaktian
tinggi itu rupanya tetap tidak mudah diruntuhkan, meski
telah terluka dalam yang parah. Pukulan-pukulan
geledeknya yang telah dikerahkan hingga puncaknya,
beberapa kali membuat kekompakan tiga orang
pcngeroyoknya menjadi sedikit kacau.
Hingga menjelang fajar, pertarungan alot ini terus
l?crlangsung. Sementara tubuh Ki Panji Agung sudah terkoyak
disana-sini, terkena sabetan cemeti Begal Ireng yang
setajam mata pedang iblis. Darah makin banyak mengucur
dari tubuhnya. Dan ini membuat Ki Panji Agung semakin
lemah dan tersuruk-suruk di antara serangan bertubi-tubi
tiga tokoh golongan hitam itu.
Hingga matahari mulai mengintip di ujung timur
cakrawala, sebuah sabetan cemeti Begal Ireng melecut ke
bagian mata Ki Panji Agung.
Ctarrr! "Aaakh!"
Belum juga Ki Panji Agung menguasai diri, dua
pukulan berisi tenaga pamungkas dari si Kembar dari
Tiongkok seketika menghantam dada kiri dan kanan Ki
Panji Agung. "Ugh!"
Ki Panji Agung memang sudah tak kuasa menghindar
dari dua serangan itu. Tubuhnya kontan terpental amat
jauh diiringi pekikan tertahan. Dan tubuhnya lurus
meluncur seperti batu yang dilontarkan. Kemudian, dia
jatuh di muka bumi dan langsung terguling-guling
mengenaskan. Tubuh Ki Panji Agung hanya sempat bergeming
sedikit. Kepalanya bergerak dengan mata menatap sayu ke
arah tiga pengeroyoknya. Anehnya, bibirnya justru
tersenyum. Dan ini membuat Begal Ireng menautkan alis
tak mengerti. Sesaat kemudian, Ki Panji Agung tak berkutik lagi.
Pendekar tua yang sakti itu telah tiada. Dengan sebuah
senyum manis menyertai kepergiannya.
Begal Ireng yang mengetahui musuh utamanya telah
benar-benar mampus, langsung tertawa terbahak-bahak.
Dianggapnya, itu merupakan kemenangan yang amat
besar dalam hidupnya. Selama ini, tidak ada satu tokoh
golongan hitam pun yang mampu menandingi KI Panji.
Agung. Apalagi, membunuhnya.
Sedangkan dua orang botak yang membantunya
hanya menatap dingin tubuh Ki Panji Agung. Tatapan nya
berkesan memuakkan, seperti sedang melihat sepotong
bangkai tikus menjijikkan.
Begal Ireng belum puas juga tertawa, sampai akhir
nya tercekat oleh sesuatu yang amat ganjil. Dari jasad Ki
Panji Agung, tiba-tiba keluar cahaya keperakan yang masih
dapat tertangkap mata, karena matahari belum begitu
muncul benar. Sinar itu melayang cepat ke angkasa, lantas meluncur
ke arah barat seperti hendak menjauhi matahari Dan sinar
itu lurus meluncur, mirip bintang jatuh... menuju Perguruan
Trisula Kembar.
Sinar itu terus menembus atap padepokan, lalu
menyelusup ke dalam tubuh salah seorang murid yang
masih terpulas, karena lelah akibat latihan semalam. Murid
itu adalah..., Andika. Dan itu tanpa disadari Andika sendiri.
*** 3 Seorang gadis tinggal di padepokan Perguruan Trisula
Kembar. Rambutnya panjang disanggul kecil. Tampak anak
rambutnya menjuntai di depan telinga. Kulitnya kuning
langsat, tubuhnya langsing, dan wajah ayu. Dan itu
membuatnya semakin mempesona. Bibir nya yang kerap
tersenyum, sering kali menggetarkan kalbu laki-laki.
Namanya, Ningrum.
Kira-kira empat purnama yang lalu, Ningrum datang
ke perguruan ini dengan mengaku sebagai tabib wanita
yang tersesat di hutan sebelah selatan, ketika mencari
rempah-rempah dan dedaunan untuk bahan obat-obatan.
Sejak saat itulah, dia tinggal di sana. karena kebetulan
perguruan waktu itu belum memiliki tabib, maka Ki Sanca
memutuskan untuk menerima Ningrum.
Dan pagi ini, Ningrum tampak tengah sibuk di dapur
perguruan. Tangannya dengan lincah mencari-cari daunan
yang digunakan untuk obat, kemudian di tumbuknya.
Setelah itu racikannya dimasukkan ke dalam kuali, dan
mulai mengaduk perlahan-lahan. Gadis memang tengah
membuat jamu godokan untuk murid-murid Perguruan
Trisula Kembar.
"Pagi, Nini...," sapa Andika pada Ningrum yang usia
nya lebih tua sekitar lima tahun.
"Pagi...," sahut Ningrum seraya tersenyum teduh.
"Sedang menggodok ramuan apa, Nini?" lanjut Andika.
Padahal, sebenarnya Andika harus membantu Soma
membelah kayu bakar seperti biasanya. Tadi, waktu pergi
ke dapur untuk mengambil kapak, tanpa sengaja Andika
melihat Ningrum. Ada yang menyejukkan hati pemuda
tanggung itu, tatkala matanya bertemu tatapan lembut
Ningrum. Mata yang berbulu lentik dan memancar indah itu
telah menggetarkan sendi-sendi kelaki-lakian Andika Dan
pemuda tanggung itu sendiri tidak mcngerti, perasaan apa
yang menjalar hatinya.
'Ini ramuan beras kencur...," sahut Ningrum, singkat.
"Beras kencur?" tanya Andika dalam hati.
Mendadak terlintas pikiran nakal yang selalu saja
muncul di benak anak gelandangan kotapraja seperti
Andika. "Benar," jawab Ningrum, tanpa menghentikan gerakan
tangannya yang halus dalam mengaduk kuali tanah liat.
"Untuk pegal kena pukulan bisa?"
"Tentu saja, bisa...."
"He he he...," batin Andika terkekeh.
Sekejap kemudian wajah Andika dibuat memelas.
Mulutnya meringis-ringis di depan Ningrum.
"Kalau begitu, Nini bisa menolongku, bukan"
Tanganku ini semalam kena gagang trisula waktu latihan"
ujar Andika seraya menjulurkan tangannya pada ningrum.
"Yang mana?" tanya Ningrum heran, karena tidak
melihat ada bekas terpukul sedikit pun pada tangan
pemuda tanggung itu.
"Ini..., yang ini," tunjuk Andika pada bagian tangan
yang dianggap kaku.
Ningrum memegang tangan kurus itu, dan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan daerah yang ditunjuk Andika.
"Kok, tidak ada memar?" tanya Ningrum, heran.
"Memang... memang," sergah Andika. "Tapi kalau
dipegang, terasa nyeri. Kalau Nini tidak percaya, pegang
saja!" Walaupun agak sedikit mengerutkan kening kareru
bingung, Ningrum memijit juga bagian tangan yang ditunjuk
Andika. Setiap kali ditekan, anak badung iti langsung
menjerit-jerit seperti amat menderita dengan wajah
meringis-ringis sedemikian rupa. Andika tidak peduli, bila
wajahnya di mata Ningrum terlihat sepert orang kesakitan.
Atau, lebih mirip orang yang sedang buang hajat besar.
Pokoknya, meringis. Biar sandiwara nya kelihatan benar-
benar bagus! "Adouuuw!" teriak Andika.
"Sakit sekali, ya?" tanya Ningrum kebingungan.
"Iya! Kau tahu rasa sakit terkena tusukan seribu
sembilu?" kata Andika, menggambarkan rasa sakit yang
dibuat-buat. Dalam hati, Andika sendiri mau tertawa sekeras
kerasnya melihat mata Ningrum yang bergerak bingung
ketika dia menjerit-jerit.
"Adouuuw!" sekali lagi mulut Andika memperde
ngarkan teriakan.
"Lho"! Aku lean belum memijit tanganmu lagi?" sela
Ningrum dengan alis mata terangkat.
"Belum, ya" Ng..., makanya pijit lagi, biar aku teriak
lagi...," kata Andika, ketolol-tololan.
Sebelum tangan halus Ningrum memegang kembali
lungan kurus Andika, tiba-tiba....
"Lagi apa kau di sini?"
Terdengar suara Soma, menegur Andika. Seketika
Andika menarik tangannya. Memang kakak seperguruannya itu sudah berada di belakangnya sambil
berkacak pinggang, begitu Andika menoleh. Dan pemuda
tanggung itu jadi cengar-cengir.
"Minta beras kencur...," jawab Andika asal jadi.
Soma memelototi anak itu. Dia tahu, apa maksud
Andika sebenarnya. Seketika dijewernya telinga Andika
sekeras-kerasnya.
"Ayo, ikut aku membelah kayu! Orang lain sudah
sungsang sumbel, kau masih enak-enak minta beras
kencur!" "Ampuuun. Ampuuun, Kang Soma!"
Soma terus berjalan sambil menarik Andika, keluar
dari dapur. Setelah agak jauh dari tempat Ningrum, barulah
jeweran pada Andika dilepasnya.
"Kau memang tidak boleh melihat 'ayam' mulus!" maki
Soma, jengkel. Andika tidak menjawab. Sementara tangannya sibuk
mengusap-usap telinganya yang merah matang. Wajah nya
masih meringis seperti sewaktu di depan Ningrum. Tapi,
kali ini bukan pura-pura lagi.
"Hey! Aku bicara denganmu!"
"Alaaah, Kakang Soma ini.... Kenapa jadi begitu
mangkel" Kalau memang Kang Soma juga suka dengan
nini tadi itu, saya bersedia mengalah...," canda Andika
seenak perut. Soma hanya menggeleng-geleng kepala.
"Monyet kecil brengsek!" hardik Soma, setengah
tertawa. Ditamparnya kening Andika, seraya berjalan ke
tempat dia tadi membelah kayu.
Bergegas Andika memikul kapak yang tidak sesuai
dengan ukuran tubuhnya yang kurus. Segera disusulnya
Soma. "Kang! Tunggu, Kang! Nama nini tadi itu siapa, ya
tanya Andika ingin tahu.
*** Siang memanggang bulat-bulat kotapraja, membuat
debu jalan menjadi amat ringan. Hingga tatkala angin
bertiup, debu-debu itu beterbangan menjengkelkan
Matahari memang bersinar terik. Tapi biarpun begitu
kotapraja tetap ramai. Terlebih lagi, siang itu ada acara
yang banyak mengundang minat orang di sekitarnya.
Soma yang kebetulan pergi ke kotapraja bersa Andika
untuk menjual kelebihan jagung dan belanja beberapa
keperluan, tidak luput dari rasa ingin tahu. Mereka
bergegas mempercepat lari kuda yang menarik pedati.
"Ada apa ya, Kang?" tanya Andika ketika pedati yang
dikendarai kini sudah kosong, melewati sebuah kerumunan
yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah panggung.
"Nampaknya ada pertandingan silat," jawab Soma
menduga-duga. Setahu Soma, jika ada panggung besar di kotapraja
seperti itu, biasanya akan ada pertunjukan kesenian
takyat, atau pertandingan silat.
"Kita nonton dulu ya, Kang...," ajak Andika, sambil
menatap kakak seperguruannya.
"Bagaimana, ya...," Soma ragu-ragu. Dia agak khawatir
Ki Sanca nanti menegurnya kalau pulang terlambat.
"Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!" usik
Andika pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan
pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa. Kna
toh, perlu juga melihat perkembangan dunia per-"ilntan."
Gaya Andika yang selalu tampak sok tahu itu, se-i
mgkali membuat Soma geleng-geleng kepala. Apalagi til nt
keras kepalanya.
"Kalau Ki Sanca nanti mengomeli kita, biar aku yang
itnggung jawab," desak Andika kemudian.
"Baik... baik." Soma menyerah.
Kalau Soma tidak menuruti keinginannya, bisa-bisa di
panjang perjalanan pulang kunyuk itu terus saja nyerocos.
Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai
makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian,
pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Soma, setelah
mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan
mencari bahan keperluan sehari-hari.
"Ingat, jangan coba macam-macam!" pesan Soma
tatkala mereka turun dari pedati.
Andika hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya
mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Soma agar tak
perlu khawatir dengan dirinya.
Kerumunan orang makin padat saat mereka telah
bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian
seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang
menyandang pedang, sebagian lain ada yang membawa
tombak, golok, keris, dan toya. Tampaknya dugaan Soma
ada benarnya. Mereka pasti berkumpul untuk ikut dalam
pertandingan silat di atas panggung besar di depan sana.
Tiba-tiba Andika menunjuk seorang pendekar wa nita
dengan rambut berkepang kuda. Pedang besar yan tidak
sesuai dengan tubuhnya, tampak tersandang punggung.
Cantik, namun terlihat judes.
"Lebih cantik mana dia dengan Nini Ningrum" tanya
Andika, usil. Lantas saja Soma menepak jari tangan Andika. Dan
seketika pemuda tanggung itu menekuk wajahnya yang
menukik itu, makin menukik.
"Kenapa Kang Soma selalu saja gusar kalau aku
bicara soal Nini Ningrum?"
"Hus! Bukan begitu! Jarimu yang menunjuk-nunjuk
seenaknya itu bisa bikin perkara...."
"O, jadi bukan...."
"Sudah, diam! Apa mulutmu bisa kaku kalau tida
bicara agak lama?" "He he he...!"
Andika menggerak-gerakkan
kedua alisnya, menggoda Soma. "Jadi, apa maumu?" tanya Soma. "Kakang belum
jawab pertanyaanku tadi."
"Apa?"
"Kakang cemburu, bukan?"
"Astaga! Jadi, kau masih meributkan masalah kemarin
pagi itu?"
Andika tersenyum nakal, seraya mengangguk mantap.
"Kemarin aku melarangmu mengganggu Nini Ningrum,
karena dia lebih tua darimu, Tolol! Kau harus hormat
kepadanya...," dengus Soma.
"Ah, syukurlah kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
'Tidak apa-apa...."
Kembali mereka mengarahkan pandangan ke atas
panggung. Tampak seseorang naik ke atasnya,
membacakan sebuah pariwara.
"Saudara-saudara... kisanak dan nisanak! Tuan Cokro
Adi sebagai seorang saudagar kaya, membutuhkan
seorang pendekar yang mampu melindungi dirinya,
sekaligus keluarga dan hartanya. Maka untuk itulah,
panggung ini disediakan, agar para pendekar yang
berminat menjadi pengawal bayaran Tuan Cokro Adi,dapat
memperlihatkan ketangguhan ilmu kedigdayaannya. Dua
orang yang tak terkalahkan akan berhak dipilih Tuan Cokro
Adi...," kata orang itu, lantang.
Begitu orang itu selesai membacakan pariwara,
menyusul seorang bertampang kasar dan membawa
Tengkorak Maut 25 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Pendekar Kembar 14
LEMBAH KUTUKAN oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode: Lembah Kutukan 1 Bulan bulat penuh mengambang di cakrawala, hanya
disemaraki gumpalan awan putih kecil. Sehingga, cahaya
berjuta bintang pun nampak lebih nyata. Sinar bulan yang
lembut berwarna kuning keemasan itu tak luput jatuh pada
suatu halaman depan sebuah perguruan silat itu, karena
teri hat jelas dari tulisan yang tertera di atas papan jati
yang menggantung di atas pintu gerbangnya. Letaknya
tepat di punggung bukit, dan dikelilingi barisan tak teratur
pohon-pohon besar. Perguruan ini tidak begitu dikenal di
dunia persilatan, karena para ketuanya tidak menganjurkan murid-muridnya membawa-bawa nama
perguruan jika berada di luar lingkungan perguruan.
Di malam yang baru saja menyelimuti sekitarnya,
terdengar teriakan-teriakan berirama memberi aba-aba
dari halaman Perguruan Trisula Kembar. Setiap kali
terdengar teriakan lantang memberi aba-aba, setiap kali
pula di kuti teriakan susulan yang tak kalah lantang dari
bcberapa orang murid Perguruan Trisula Kembar,
menyertai gerakan kompak suatu jurus.
Yang memberi aba-aba adalah seorang pemuda
cukup tampan. Dia nampak berwibawa dalam sorotan sinar
remang bulan purnama. Dan semua yang sedang berlatin
ini mengenakan seragam perguruan berwarna hitam-hitam.
Hanya saja, pemuda yang memberi aba-aba itu
mengenakan tutup kepala dari kain berwarna merah,
bergambar sepasang trisula bersilang di bagian kening.
Sedangkan yang dilatih tidak mengenakan tutup kepala.
Nampaknya itu cukup sebagai bukti kalau pemuda itu
memiliki tingkat kepandaian yang khusus di perguruan ini.
Sesekali pemuda yang memakai penutup kepala itu
berkeliling memperhatikan setiap gerak dari jurus-jurus
yang dimainkan berbarengan oleh sekitar dua puluh
pemuda. Bila ada kuda-kuda yang tidak kokoh dan nampak
rapuh, atau gerakan yang tampak lambat, pemuda itu tak
segan-segan memukulkan punggung tangannya bila salah
seorang murid ada yang salah bergerak.
Tanpa ada yang tahu, di atas sebuah pohon besar
yang menjulang tinggi melampaui pagar perguruan,
seseorang duduk diam sambil memperhatikan orang-orang
yang berlatih silat. Lebatnya dedaunan pohon, membuat
cahaya bulan tidak berdaya menembusnya. Ini jelas
membawa keuntungan bagi pengintai yang tampak tenang,
bagai segerombol daun jika dilihat sekilas dari kejauhan.
Dia Andika, seorang remaja berusia belasan tahun.
Tubuhnya agak kurus, sehingga terlihat begitu lemah.
Matanya yang tajam dengan dua garis alis mata yang
menukik bagai kepak elang, memperhatikan kegiatan
berlatih di Perguruan Trisula Kembar.
Memang, sebenarnya hampir setiap malam Andika
berada di situ, untuk memperhatikan jurus demi jurus yang
diajarkan di Perguruan Trisula Kembar. Setiap gerakan
mampu dicerna otaknya yang memang cerdas.
Bahkan sampai gerak tersulit sekalipun.
Kalau ditelusuri asal-usulnya, sebenarnya Andika
salah seorang gelandangan di kotapraja, yang kebetulan
berjarak setengah hari perjalanan dari bukit tempat
Perguruan Trisula Kembar berdiri. Untuk seorang yang
tidak memiliki ilmu silat atau ilmu meringankan tubuh
sedikit pun, jarak sejauh itu bisa melelahkan.
Seperti juga halnya Andika. Dan karena kekerasan
hatinya untuk bisa melihat latihan setiap malam, hal itu
tidak dipedulikannya lagi. Bahkan hatinya selalu disesaki
keinginan menggebu-gebu untuk dapat belajar ilmu
beladiri. Keinginannya itu bukan tidak beralasan. Memang,
sebagai gelandangan yang selalu disingkirkan, dia selalu
diperlakukan semena-mena oleh orang yang merasa
dirinya berkuasa. Kehidupan kotapraja memang terkadang
bengis. Maka, dia merasa perlu memiliki sedikit
kemampuan untuk mempertahankan diri.
Sebenarnya, Andika ingin mencoba mengajukan diri
untuk menjadi murid Perguruan Trisula Kembar. Tapi,
hatinya tidak begitu yakin, mengingat dirinya hanyalah
seorang gelandangan yang bakal dianggap sampah disana.
Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukannya
adalah mencuri-curi setiap jurus dari pohon besar seperti
yang sedang dilakukannya saat ini.
*** "Hiat hiat hiaaat!"
Teriakan-teriakan yang diiringi semangat berlatih dari
Perguruan Trisula Kembar masih terus berkumandang,
bagai hendak membelah bukit.
"Satu...! Dua...! Satu...! Dua...!"
Andika terus memperhatikan dan langsung mencerna
ke dalam otaknya yang cerdas. Begitu seksamanya,
sehingga dia tidak tahu kalau di bawah pohon telah berdiri
seorang pemuda berpakaian serba hitam. Menilik dari
pakaiannya, jelas pemuda itu juga murid dari Perguruan
Trisula Kembar yang kebetulan habis pergi dari kotapraja.
"Hei, siapa itu"!" bentak pemuda itu, dari bawah
pohon. Kepala pemuda itu mendongak ke atas. Dan ketika
Andika tidak juga bergerak, pemuda itu cepat
mengebutkan tangannya. Maka sebilah pisau seketika
meluncur deras ke arah Andika.
Krosak! Lemparan pisau seruncing taring serigala itu luput
dari sasaran, pada saat bersamaan Andika kehilangan
keseimbangan dan terjatuh.
Buk! Orang yang memergoki Andika cepat memburu keasal
bunyi suara, ketika tubuh Andika menghantam tanah
bersemak. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Andika berusaha
bangkit. Kepalanya terasa pusing, karena terhantam satu
batang pohon saat jatuh tadi. Dunia bagai berputar hebat.
Belum tuntas rasa pusing di kepalanya, datang lagi satu
hajaran telapak kaki yang mendarat di pelipisnya.
Plak! "Aduh!" jerit Andika tertahan, dan kontan terpental
tiga langkah. Mendapat serangan demikian, naluri mempertahankan diri Andika timbul. Tanpa mempedulikan
lagi rasa pusing yang membuatnya ingin muntah, dia
bangkit. langsung kuda-kudanya dipasang dengan mata
mengerlap-ngerjap.
"Bedebah! Rupanya kau sering mencuri jurus-jurus
kami, ya!" geram murid Perguruan Trisula Kembar tatkala
melihat kuda-kuda Andika. Dan itu memang kuda-kuda
pembuka jurus 'Trisula Terbang' milik perguruan itu.
Selama mendapat jurus demi jurus hasil mencuri dari
Perguruan Trisula Kembar, Andika memang melatih sendiri
di sebuah kandang kuda yang sudah tak terpakai di
kotapraja. Sehingga, tampak tidak ada keanggungan
sedikit pun dari gerakannya.
"Jangan sembarangan menuduh orang! Apakah kau
dan perguruanmu merasa kehilangan sesuatu?" dalih
Andika dengan wajah takut-takut.
"Tidak, kan" Kalau begitu, aku bukan pencuri!"
"Pintar ngomong kau, ya"!" dengus pemuda itu.
"Aku punya mulut...."
"Kalau begitu, biar mulutmu akan kuhancurkan!
Hiaat...!"
Setelah itu Andika kembali dirangsek. Kali ini terlihat
lebih ganas, karena pemuda itu sudah dipengaruhi
kemarahan meluap-luap.
Satu pukulan tangan dari murid Perguruan Trisula
Kembar terlihat bagai sedang menggenggam gagang
trisula, ketika melayang tajam ke arah leher Andika. Jelas
jitu memperlihatkan kesungguhannya untuk menghabisi
Andika secepat mungkin.
Andika tahu persis, itu adalah jurus kelima 'Trisula
Terbang'. Maka dengan sedikit bergerak ke sisi kiri,
dihindarinya serangan itu.
"Uts!"
Dengan kecerdikannya, Andika menggabungkan tiga
jurus 'Trisula Terbang' sekaligus, sehingga terlihat seperti
jurus baru. Maka ketika murid perguruan itu hilang
keseimbangan karena serangannya luput, Andika cepat
menyudut. Seketika sikunya yang cukup runcing
disodokkan ke arah ulu hati murid Perguruan Trisula
Kembar itu. Dugh! "Ukh...!"
Orang itu kontan terjatuh berguling, diiringi keluhan
tertahan. Kedua tangannya memegangi ulu hati yang
terasa diaduk akibat hantaman siku Andika. Dia mencoba
bangkit berdiri, sambil menatap tajam ke arah bocah
gelandangan itu.
Andika yang bertubuh kecil sudah bersiap-siap
kembali. Dibanding tubuh penyerangnya yang tegap dan
berotot, tubuh Andika memang tidak ada apa-apanya. Dan
memang, murid Perguruan Trisula Sakti itu membuat
kesalahan dengan menganggap remeh Andika yang
bertubuh kurus.
"Untuk apa kau mencuri jurus-jurus perguruan kami"!"
tanya pemuda itu terdengar seperti erangan suaranya.
"Kau pasti dari golongan hitam yang diutus untuk memata-
matai kaml..!"
Andika bukannya menjawab, tapi malah mesem-
mesem menahan tawa yang mau pecah saat itu juga. Tiba-
tiba, timbul pikiran-pikiran nakal yang kebanyakan dimiliki
anak gelandangan di kotapraja.
"Apa kau tidak melihat jurusku" Kalau diperhatikan,
pasti kau tahu dari perguruan mana aku," kata Andika
lantang, dengan wajah dibuat seangkuh mungkin.
Murid Perguruan Trisula Kembar hanya menautkan
alis sambil tetap memegangi ulu hatinya yang masih terasa
mual. "Perguruan mana, ya" Kuda-kudanya memang kuda-
kuda milik Perguruan Trisula Kembar. Tapi jurus yang
dipakai untuk mematahkan seranganku, rasanya baru kali
ini kulihat," pikir orang itu tetap meringis.
"Dasar murid tolol!" umpat Andika dalam hati.
"Ada apa ini"!"
Tiba-tiba terdengar teriak seseorang di belakang
Andika, sekitar tiga tombak jauhnya. Dan seketika kedua
orang itu kontan melihat ke arah datangnya suara.
"Oh, Kakang Soma.... Jembel kurus bau ini kupergoki
sedang memata-matai perguruan kita di atas pohon itu,"
lapor murid Perguruan Trisula Kembar, ketika mengenali
orang yang baru datang itu. Dan dia lantas menjura.
Andika tahu, orangyang baru datang ini adalah yang
tadi sedang melatih beberapa murid di halaman depan
perguruan Trisula Kembar. Rupanya, dia dipanggil dengan
nama Soma. Melihat kehadiran pelatih silat itu, agak ngeri
juga Andika! Orang yang dipanggil itu melirik Andika. Matanya
tampak tenang dan dingin.
"Benar begitu..."! Hm, siapa namamu?" tanya Soma
cukup ramah, namun belum juga tersenyum.
"Andika," jawab gelandangan itu ragu.
"Benar begitu Andika?" ulang Soma.
"Benar.... Eh, tidak. Maksudku...."
"Aaah! Bertele-tele kau! Sudah, Kang Soma. Tangkap
saja bajingan bau ini, lalu kita paksa bicara...." sergah
murid yang dipecundangi Andika tadi.
Soma hanya mengangkat sebelah tangan, menyuruh
orang itu diam.
"Biarkan dia bicara baik-baik, Gopala."
Andika berkali-kali menelan ludah, membayangkan
apa yang bakal terjadi pada dirinya nanti. Mungkin nanti
akan dipukuli ramai-ramai seperti karung pasir di
pekarangan perguruan yang setiap malam dilihatnya. Atau
barangkali pula di kat di sebatang kayu, lalu dijemur di terik
sinar matahari. Dan bisa juga.... "Andika...."
Andika terperangah. Dia lupa kalau pertanyaan Soma
tadi belum dijawab.
"Maksudku tadi, tidak benar kalau aku memata-matai
perguruan ini, aku hanya...."
"Hanya apa?" pancing Soma kembali. Wajahnya tak
berubah sedikit pun, seakan terbuat dari batu yang
dipahat. "Hanya sedikit mengintip agar bisa belajar satu-dua
jurus...," ungkap Andika akhirnya.
"Sudah berapa lama itu kau lakukan?" "Hanya baru...,
dua purnama."
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh! Dua purnama, kok baru...," celetuk murid vang
dipanggil Gopala itu.
Beberapa saat Soma hanya memainkan dagu dengan
jari tangan kanannya. Dan matanya jatuh ke arah i
erumputan yang berselimut sinar bulan temaram.
"Sudikah kau memperlihatkan jurus-jurus yang telah
didapat selama di perguruan kami?" pinta Soma.
Andika kontan terkejut mendengar tawaran itu, dan
benaknya sudah membayangkan dirinya yang berdiri di
pelataran perguruan, lalu memainkan beberapa jurus di
bawah sinar bulan. Memang, itulah yang diidam-
idamkannya selama ini.
"Bagaimana, Andika" Anggap saja ini undangan dari
kami...." "Oh! Baik... baik," jawab Andika cepat-cepat Seakan
takut kalau undangan itu hanya berlaku hanya sekali saja.
Andika segera menjura seperti layaknya murid
Perguruan Trisula Kembar pada Soma. Saat itulah Andika
mtlihat untuk pertama kalinya senyum Soma yang ramah
dan tak dibuat-buat.
*** Soma memperkenalkan Andika kepada laki-laki
setengah baya yang juga menggunakan pakaian hitam-
hitam. Penampilannya sederhana, tidak jauh beda dengan
murid-murid yang lain. Dan ini memberi kesan seakan
orang itu tidak memiliki pengaruh apa-apa di perguruan itu.
Namun ketika Soma bersikap normat dan menjura
kepadanya sambil memanggil guru, barulah Andika tahu
kalau laki-laki bertubuh sedang itu adalah orang paling
berpengaruh di situ.
Dan Andika segera menyusul memberi hormat
"Kita kedatangan tamu, Guru," papar Soma.
"Namanya Andika. Dan dia selama dua purnama ini
mencoba mempelajari jurus-jurus perguruan kita dari atas!
sebuah pohon."
"Hm...," gumam laki-laki setengah baya itu berwibawa
dengan melipat tangan di depan dada.
"Hm. Namaku Ki Sanca. Dan aku adalah Ketu;
Perguruan Trisula Kembar. O, ya. Benarkah yang dikatakan
muridku itu, Nak Andika?" tanya laki-laki setengah baya
yang memperkenalkan diri sebagai Ki Sanca
"Benar, Ki," jawab Andika singkat.
"Sampai jurus apa yang kau dapatkan?"
"Kalau tidak salah sampai jurus...," 'Sapuan Trisu
Kembar'," jawab Andika lagi, tanpa ingin menyembunyikan
sedikit pun. Begitu lugu sikapnya.
Soma yang masih berdiri di sisi Andika terperanjat
Sampai-sampai dia bergumam sendiri. Bahkan Ki Sanca
pun sempat memperlihatkan perubahan air muka,
mendengar jawaban polos Andika.
Dari tempat duduknya, Ketua Perguruan Trisu Kembar
ini bangkit. Matanya memperhatikan Andik dari mulai ujung
kepala hingga ujung kaki. "Memang bukan main anak ini.
Padahal untuk bisa sampai ke jurus yang barusan
disebutkan, murid-muridnya yang lain paling tidak
membutuhkan waktu paling cepat enam Purnama. Tapi
anak ini?"
Maukah kau perlihatkan padaku di halaman depan"
Andika mengangguk cepat. Ki Sanca bergegas
melangkah keluar dari pendopo. Sementara di
belakangnya menyusul Andika dan Soma. Dan mereka
langsung menuju ke halaman depan perguruan yang biasa
digunakan untuk berlatih.
Begitu sampai di luar, Ki Sanca segera
memerintahkan murid-muridnya berdiri membentuk
lingkaran besar. Sementara di tengah-tengahnya Andika
sudah berdiri dengan wajah berbinar. Sedikit pun tak ada
garis kesombongan terlintas di wajah anak berumur
belasan ini. "Ya, silakan mulai," Ki Sanca memberi aba-aba dari
pinggir lingkaran.
Andika memulai. Seketika tubuhnya menjura
sebagaimana kebiasaan perguruan itu. Dan kini dia
memulai dengan membuka jurus-jurus pertama.
Jurus demi jurus dimainkannya dengan cukup
memukau. Terlihat amat mantap. Setiap kali menyambung
satu jurus dengan jurus lain, terlihat gerakannya yang
mengagumkan. Biarpun di mata Ki Sanca gerakan-gerakan
itu tak memiliki pertahanan kokoh, namun anak muda
belasan itu tetap dikaguminya. Kalaupun ada kekurangan,
itu disebabkan dia melatih sendiri setiap jurus yang
didapat. "Guru. Menurutku anak ini punya bakat luar biasa,"
bisik Soma yang menjadi murid tertua perguruan, kepada
Ki Sanca yang berdiri di sebelahnya.
Ki Sanca melirik muridnya, lalu tersenyum. "Apa
artinya itu, Soma?"
"Apa, Guru?" Soma balik bertanya seraya meng angkat
bahu dan ikut tersenyum.
"Kau sepertinya mengusulkan padaku untuk mej
nerima dia sebagai murid. Begitu, kan?" tebak Ki Sana
langsung. "Kira-kira begitu, Guru," kata Soma. Paras mukanya
nampak seperti yang berpikir sungguh-sungguh.
Ki Sanca terkekeh kecil.
"Yah. Entah kenapa, aku juga berpikir kalau anak itu
berbakat luar biasa...," desah Ki Sanca.
Diliriknya Soma yang kini memperlihatkan kepuasan
di wajahnya. "Cukup! Cukup... Andika. Guru kami hari ini ternyata
mau bermurah hati," ujar Soma.
Andika seketika menghentikan gerakan jurusnya. Dia
kemudian menjura kepada Ki Sanca dan Soma, lal kepada
seluruh murid yang melingkarinya. Sebentar k" mudian
kakinya melangkah ke arah Soma.
"Jadi aku boleh pergi dari sini, tanpa dihukum"
"Lebih dari itu. Guru kami mengizinkan kau menjadi
murid perguruan ini...."
Mata Andika melotot tak percaya. Mulutnya
menganga, persis orang bodoh yang melihat wanita cantik
"Sungguhkah itu?" tanya Andika lugu. Namun tiba
tiba.... "Tunggu! Tunggu dulu, Kang Soma! Bagaimana kalau
dia ternyata mata-mata yang ingin menghancurkan
perguruan kita" Bagaimana kalau anak ini murid dari orang
tokoh hitam?" sebuah suara bernada tak senang tiba-tiba
terdengar. Soma seketika menoleh pada sumber suara, yang
ternyata berasal dari murid yang dipecundangi Andika tadi.
Pemuda berwajah kasar yang bernama Gopala itu jelas-
jelas tidak senang terhadap keputusan Soma. Cara
memandang Andika pun amat sinis, bagai menyimpan bara
dendam di kedua biji matanya.
"Apa alasanmu?" selidik Soma mewakili Ki Sanca.
"Tidak hanya jurus-jurus kita yang dimilikinya. Tapi
juga jurus-jurus lain yang kuyakini berasal dari
perguruannya pun dimilikinya. Dia hanya berpura-pura
supaya kita menerimanya, lalu dengan leluasa mempelajari
jurus-jurus kita. Sampai pada akhirnya nanti, dia akan
membawa perguruannya ke sini. Dan...," Gopala tidak
meneruskan. "Bagaimana kau yakin begitu, Gopala?" sela Ki Sanca.
Laki-laki setengah baya itu memang belum tahu tentang
pertarungan kecil antara Andika dengan Gopala.
"Aku sempat bertarung dengannya tadi, Guru. Dia
mengeluarkan jurus-jurus aneh. Dan..., dan dia
menjatuhkan saya," urai Gopala malu-malu.
Ki Sanca beralih kepada Andika.
"Benar begitu, Nak Andika?"
Andika tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan
Ki Sanca. Dan tubuhnya malah bergerak, memperlihatkan
tiga jurus 'Trisula Terbang' yang digabungkan secara cerdik,
hingga tampak sebagai jurus-jurus baru.
Sebagai orang yang memiliki kejelian, serta banyak
menelan pahit manisnya dunia persilatan, Ki Sanca
mampu menebak jurus-jurus apa yang dimainkan Andika.
Terlebih, jurus-jurus yang digabung Andika adalah
ciptaannya sendiri yang sudah menyatu dengan darah dan
dagingnya. "Trisula Terbang' jurus tujuh, delapan, dan sem-bilan,"
kata Ki Sanca sengaja dikeraskan, agar murid-muridnya
mendengar. "Bukan begitu, Nak Andika?"
"Betul, Ki.... Maaf kalau aku lancang."
Gopala seperti tidak percaya dengan apa yang di-
dengar dari Ki Sanca. Demikian juga murid-murid yang lain,
termasuk Soma. Wajah-wajah mereka memancarkan
keterkejutan yang amat sangat.
"Begitulah kenyataannya," tutur Ki Sanca menjawab
lirikan Soma yang menyimpan tanya.
Lalu dengan langkah tenang, Ki Sanca kembali masuk
pendopo, di ringi penghormatan seluruh murid dengan
menjura bersamaan.
Diam-diam hati Ki Sanca menyayangkan Andika
menjadi muridnya. Bukan apa-apa, Ki Sanca amat yakin
kalau bakat alam yang dimiliki Andika yang begitu luar
biasa, suatu saat akan membuat diri anak muda itu men
jadi pendekar digdaya yang sulit ditandingi. Itu pun kalau
guru yang mendidiknya dari golongan putih.
*** 2 Pagi selalu datang ramah bulan-bulan belakangan.
Atap Perguruan Trisula Kembar yang terbuat dari pelipah
kelapa, tersentuh hangatnya mentari pagi. Satwa penghuni
bukit sebagian memperdengarkan kidung alam yang
damai. Sejak pagi buta tadi, seluruh penghuni perguruan
telah sibuk melaksanakan tugas masing-masing. Sebagian
murid membelah kayu bakar, sebagian lain mengisi air di
pancuran sebelah selatan bukit. Mereka juga menggarap
ladang jagung yang luas, terletak tepat di belakang
padepokan. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan
sehari-hari. Bahkan sisanya bisa dijual di kotapraja untuk
keperluan lain.
Sedangkan tugas murid-murid wanita adalah
memasak, mencuci, berbenah-benah, dan pekerjaan yang
lain. Namun sebenarnya mereka lebih banyak hanya
membantu jalannya kehidupan sehari-hari Perguruan
Trisula Kembar.
Memang jika diperhatikan, perguruan ini tak beda
jauh dengan sebuah perkampungan kecil di atas bukit.
Segala segi-segi kehidupan masyarakat tercermin
diperguruan ini.
Dan Andika tak luput dari tugas. Pemuda tanggung ini
mcmbantu Soma yang kini resmi menjadi saudara
perguruan. Atau tepatnya, kakak seperguruan. Bersama
tiga orang murid lain, mereka tampak membel kayu bakar.
Di tengah-tengah kesibukan mereka bekerja itulah Andika
menceritakan asal-usul dirinya. Soma dan tiga orang murid
lain mendengarkan penuh perhatian.
Berdasarkan cerita orang yang menemukannya enam
belas tahun lalu Andika ditemukan sebagai bayi merah
oleh seorang pencopet tua di pinggir hutan. Mulanya
pencopet tua itu tidak ingin peduli. Tapi ketika dia melihat
dengan mata kepala sendiri si bayi itu demikian tenang
tanpa tangis, tengah bermain bersama seekor ular berbisa
besar, barulah disadari kalau bayi ini bukanlah bayi biasa.
Dan hal ini membuat si pengemis tertegun.
Maka dengan segera, diambilnya dahan pohon untuk
mengusir ular itu. Begitu ular pergi, bayi itu segera dibawa
ke gubuknya di pinggir hutan sebelah timur. Mulailah
kehidupan baru bagi bayi itu.
Di sanalah dia dibesarkan dan dididik oleh pengemis
tua. Bahkan ilmu copet-mencopet pun diajarkannya pula.
Menginjak usia tujuh tahun, Andika telah menjadi
pencopet lihai di kotapraja. Bocah itu memang telah
menjadi musuh bagi saudagar-saudagar kaya yang culasj
kaki tangan adipati yang menarik pajak dari rakyat kecil
bahkan para begal berbahaya yang biasa meminta darah
dan nyawa orang kecil.
Ternyata, sebagian besar hasil jarahan, oleh Andika
bdikembalikan ke orang-orang kecil yang selama ini
megap-megap didesak berbagai pihak yang merasa dirinya
berkuasa. Dan nilai-nilai seperti itu sebenarnya tidak
pernah diajari ayah angkatnya. Bahkan niat pengemis tua
itu memelihara Andika, sebenarnya bertujuan tidak baik.
Dia ingin bila sudah terlalu tua dan tidak bisa lagi bekerja,
Andika dapat menggantikannya. Dan dia tinggal menerima
hasilnya saja. Ternyata, cita-cita licik itu jauh dari kenyataan.
Buktinya, ada suatu cahaya kemuliaan di garba jiwa anak
itu yang sulit ditembus oleh didikannya yang keras
sekalipun. Dan pencopet itu memang tak mungkin
merubahnya. Maka, setiap kali Andika pulang menjarah di kotapraja
tanpa hasil banyak, karena sudah mengalir pada tangan-
tangan kurus rakyat menderita, pengemis tua itu
mendampratnya habis-habisan dan memukulinya. Bahkan
mengikatnya di sebuah batang pohon tinggi dalam
keadaan menggantung, dengan kaki di atas selama
seharian. Berkali-kali hal itu terjadi, namun cahaya di garba jiwa
Andika tetap tidak memudar sedikit pun.
Sampai suatu hari, pengemis tua itu sudah demikian
murka. Anak itu hendak dibunuhnya dengan sebilah balok
besar. Andika terpaksa lari menyelamatkan diri, karena
dikejar pengemis yang kalap dan menyumpahinya.
"Anak sundal! Berhenti kau! Biar kubunuh kau, Seperti
orang tuamu yang membuangmuke hutan! Kalau tahu kau
seperti ini, biar setan hutan mengutukmu!" dengus
pengemis tua kala itu.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kau tak pernah tahu siapa orangtuamu?" tanya
Soma, ketika Andika selesai bercerita, tanpa menghentikan
ayunan kampak besarnya ke arah kayu yang hendak
dibelah. Andika menggeleng. Disapunya peluh di kening
dengan punggung tangan.
"Barangkali, itulah yang dinamakan takdir. Aku rasa
tidak ada gunanya memikirkan apa-apa yang sudah terjadi,
Kang," kata bocah tanggung itu, tenang.
Soma meninju bahu kurus Andika, untuk sekadar
menghibur. "Sangat betul, Andika," ucap Soma kemudian.
"Lantas, kalau sekarang sudah menjadi seorang murid
perguruan ini, apa pekerjaanmu yang dulu itu akan terus
dijalani?"
"Menurut Kang Soma sendiri?" Andika malah balik
bertanya. "Kalau aku jadi dirimu.... Hm..., maksudku memiliki
ilmu mencopet selihaimu, aku tidak akan berhenti...."
"Kenapa begitu, Kang?"
'Hei, Copet Kecil Budiman! Siapa lagi nanti yang bakal
mengembalikan uang rakyat jelata yang dirampas paksa
orang-orang terkutuk itu?" kata Soma, yang dibarengi
tawanya. Mereka semua yang ada di situ ikut tertawa.
Sedangkan Andika hanya mesem-mesem, menahan malu.
'Terus terang, kalau kau hendak mencari ilmu
kedigdayaan, di sini bukanlah tempat yang tepat. Kau lihat
sendiri, kehidupan di sini lebih mirip sebuah desa
dibanding sebuah perguruan silat," papar Soma. "Kami
hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini. Kalaupun
Ki Sanca mengajarkan kami ilmu silat, semata-mata hanya
untuk dapat mempertahankan diri jika sewaktu-waktu
diperlukan. Kami hanya ingin lari dari huru-hara dunia
persilatan yang bengis. Banyak di antara kami yang sudah
berkeluarga dan hidup damai di sini. Rasanya itu pun
sudah cukup tanpa perlu menyabung uyawa, agar bisa
diakui menjadi yang terhebat di dunia persilatan."
"Tapi, kebenaran toh, harus tetap ditegakkan," sergah
Andika, tidak begitu setuju dengan ucapan Soma.
"Memang..., namun harus disadari kemampuan kita.
Ilmu milik perguruan ini tidak ada seujung kuku dibanding
ilmu tokoh golongan hitam yang kini meraja lela di dunia
persilatan. Lalu, haruskah kami membuang nyawa tanpa
hasil yang bisa diharapkan?" sahut Soma.
Soma langsung menghentikan kerjanya, menatap
Andika. Seakan dia meminta jawaban anak belasan tahun
itu dengan kedua bola matanya. Dan Andika hanya
menggeleng. Sedangkan Soma kembali menggerakkan tangannya,
untuk menancapkan kapak pada potongan batang kayu
besar. "Andai aku memiliki kedigdayaan seperti Ki Panji
Agung.. Hm..., tentu aku tak akan tinggal diam di tempat
ini...," gumam Soma, diiringi keluhan yang begitu jadi
beban dalam dadanya.
. "Ki Panji Agung?" Andika seperti bertanya pada diri
sendiri "Beliau tokoh golongan putih dari keluarga Pendekar
LembahKutukan.Ilmunya sulit ditandingi tokoh-tokoh
golongan hitam puluhan tahun silam," jelas Soma
"Ke mana sekarang beliau?" tanya Andika lagi, ingin
tahu. "Entah, beliau menghilang begitu saja seperti angin
Malah kini sudah menjadi dongeng ksatriaan yang
dibicarakan rakyat jelata dari mulut ke mulut. Seperti
halnya keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan lain
yang juga hanya jadi dongeng untuk mengiringi tidur anak-
anak rakyat jelata setiap malam. Mereka memang selalu
berharap, keluarga pembela kebenaran itu akan hadir lagi
untuk membela yang lemah," desah Soma.
"Sayang..., padahal Ki Panji Agung amat dibutuhkan
sekarang ini," keluh Andika.
"Ya! Kita hanya dapat berharap seperti rakyat jelata,
agar lahir kembali pendekar-pendekar, seperti keluarga
Pendekar Lembah Kutukan...," kata Soma, sambil
mengacak-acak rambut sebatas bahu Andika.
Dan pemuda tanggung itu hanya diam saja,
membayangkan kehebatan keluarga Pendekar Lembah
Kutukan. Dalam hati, Andika memang berharap bisa
menjadi seperti mereka.
"Siapa tahu kau nanti bisa seperti beliau, An... tutur
Soma menambahkan.
"Omong kosong...! Mana mungkin pepesan teri seperti
saya bisa jadi pendekar," potong Andika dengan mata
membelalak. Keduanya tertawa berbareng.
Malam telah rebah di kaki Gunung Menjangan. Gelap
merambat perlahan menyelimuti sekitarnya. Di sebelah
timur kaki gunung yang berhadapan dengan jurang terjal
mengerikan, tampak tiga sosok tubuh berdiri tegang.
Dalam gelap yang tak terjangkau cahaya satu benda langit
pun, sosok mereka seperti bayangan saja.
"Panji Agung! Panji Agung...! Keluarlah kau, Tua
Bangka Keparat! Apa tulang-tulang rapuh dan daging
peotmu membuat cepat ngantuk"!"
Teriakan menggelegar yang disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi terdengar dari salah seorang
diantara mereka. Gemanya menelusup ke sela-sela pohon,
dan memantul pada lekuk pegunungan sebelah barat.
Bahkan sampai menggugurkan daun-daun pepohonan di
sekitar mereka!
"Cepatlah keluar, Pendekar Tua! Apa kau takut
menghadapi kematian"!"
Kembali terdengar teriakan menggema, namun tidak
ada tanda-tanda sahutan dari orang yang diteriaki. Hanya
gema suara teriakan itu yang terdengar di antara desir
angin malam yang dingin menusuk.
"Panji Agung!" teriak orang yang mengenakan pakaian
serba hitam terbuat dari beberapa lapis sutera.
Wajah orang itu tampan dan kelimis. Namun,
berkesan amat dingin. Matanya yang tajam mengedari
seluruh kaki gunung. Tak beda dengan mata seekor ular
liar di kegelapan yang menanti mangsa.
"Panji Agung, aku Begal Ireng! Aku kembali untuk
kematianmu, Tua Keparat!" teriak orang yang mengaku
sebagai Begal Ireng kembali. Suaranya terdengar
menggelegar bagai halilintar.
Sementara itu, dua orang lain tetap mematung. Hanya
jubah putihnya yang sedikit menggelepar diusik angin.
Keduanya bagai tidak bisa dibedakan, karen sama-sama
berkepala gundul dan bermata sipit. Ditambah kulit yang
pucat, mudah diduga kalau mereka berasal dari daratan
Tiongkok. Di kalangan persilatan, mereka dikenal sebagai
si Kembar dari Tiongkok. Du tokoh golongan hitam amat
dingin dalam menghabii lawan-lawannya. Kekejaman
mereka seperti tergambar dari bibirnya yang terlalu tipis
dan melekuk sinis.
"Aku tahu, kau ada di dalam pondok di atas sana Panji
Agung! Jangan sampai aku menyebutmu sebaga pendekar
pengecut!"
Lagi-lagi Begal Ireng berteriak lantang. Kali in
suaranya diwarnai tekanan-tekanan marah memuncak Dan
tak lama kemudian....
"Ada apa, Tua Bangka Begal Ireng?" tiba-tiba
terdengar sahutan berwibawa yang amat dekat dengan
mereka. Namun, sesungguhnya asal suara itu sendiri amat
jauh dari atas pegunungan. Sungguh suatu pengiriman
suara dengan tingkat tenaga dalam mempesona. Bahkan
hanya bisa dilakukan oleh segelintir tokoh persilatan
bertenaga dalam sangat tinggi. Dan salah satunya adala Ki
Panji Agung! "Jangan coba menyebutku tua bangka lagi! Da jangan
main sembunyi-sembunyi seperti ini, Peot!" dengus Begal
Ireng. "Ha ha ha..! Apa dipikir kau masih muda, Bega Ireng"
Jangan lupa, kau adalah salah satu orang tua yang tak
tahu diri di dunia ini. Lantas, kenapa tidak mau menerima
kenyataan" Takut tidak bisa 'menggarap' perawan lagi,
sehingga merasa perlu menuntut ilmu awet muda?" ejek Ki
Panji Agung, masih belum menampakkan diri.
"Diam!" murka Begal Ireng. Tangannya langsung
berkelebat, melepaskan pukulan jarak jauh! Sebatang
pohon cemara besar saat itu juga tumbang berderak
menjadi sasaran kekesalan lewat pukulan jarak jauhnya.
"Ha ha ha...."
Tahu-tahu Ki Panji Agung telah berada di pucuk
sebuah pohon cemara di hadapan mereka. Dia memakai
ikat kepala merah, berjenggot putih, dan berambut
menjuntai sepinggang berwarna putih pula. Tubuhnya yang
kurus tidak membuatnya kelihatan loyo. Wajahnya tampak
menyimpan kerutan, namun memperlihatkan kewibawaan.
"Apa keperluanmu hingga sudi bertandang ke tempat
menyepiku ini, Begal Ireng?" sambut Ki Panji Agung.
Bibirnya terus saja tersenyum ringan.
"Hanya ada satu keperluanku. Mengirim kau ke
Neraka!" tegas Begal Ireng.
"Ah! Kau pasti tahu, itu bukan tempatku, Begal Ireng"
Tubuh Ki Panji Agung langsung melenting, dan
berputaran beberapa kali di udara. Lalu, kakinya ringan
bagai sehelai bulu. Dan kini, pada jarak sekitar lima
tombak, dia berhadapan dengan Begal Ireng dan si kembar
dari Tiongkok. "Kalau aku tak salah duga, ini pasti urusan lama yang
menghangat kembali. Begitu?" tanya Ki Panji Agung, pura-
pura bodoh. Mata Begal Ireng yang nyalang menusuk, langsungj
bertemu dua bola mata kelabu Ki Panji Agung. Dan
mulutnya masih dengan mimik sinis.
"Kau belum begitu pikun untuk mengingat peristiwa
empat puluh tiga tahun lalu, bukan?" kata Begal Ireng,
dengan wajah meremehkan.
Mendapat pertanyaan ini, Ki Panji Agung hanya
tertawa. Dan ini membuat beberapa kerutan di wajah nya
meregang. Dia ingat betul kejadian itu. Jadi, benar ini
memang urusan lama yang rupanya hendak diperuncing
setan belang si Begal Ireng.
"Tentu saja aku ingat. Waktu itu, ada seorang
pecundang berjuluk si Pencabut Nyawa yang gagal
melaksanakan niat busuknya, untuk menggulingkan Sang
Prabu. Pecundang itu adalah kau sendiri, Begal Ireng...,
kata Ki Panji Agung, lantang.
Seketika terdengar gemeletuk gigi-gigi beradu milik
Begal Ireng, begitu Ki Panji Agung selesai mengucap kan
kata-katanya. "Bagus kalau masih ingat, Keparat! Dengan begitu aku
bisa menjelaskan tekadku yang mungkin belum kau dengar
selama memencilkan diri di lubang tikus. Pertama, aku
Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa tidak akan
berhenti melaksanakan keinginannya sampai ajal
menjemput! Yang jelas, sang Prabu harus menyerahkan
kursi istananya kepadaku! Kedua, kau masi punya waktu
untuk mengejekku sebagai pecundang sebelum niatku
terlaksana..., untuk membunuhmu!" kata Begal Ireng,
lantang. "O, o.... Kau takut aku akan menghalangimu lagi untuk
merebut kekuasaan kerajaan, hingga merasa perlu
menghabisiku"! Kalau itu maumu, silakan," timpal Ki Panji
Agung, tenang. Dan kini tidak ada suara terlontar dari mulut mereka.
Suasana jadi hening mencekam. Hanya terdengar bisikan
angin yang melaju di sela kaki gunung. Bahkan Binatang
malam yang mestinya telah memperdengarkan
nyanyiannya, kali ini seperti enggan bersuara. Sepertinya,
mereka tahu kalau saat ini ada kekuatan besar yang akan
meledak dalam suatu pertempuran maut.
"Hiaaat!"
Keheningan kontan pecah oleh teriakan menusuk
angkasa. Begal Ireng segera memulai pertempuran dengan
satu serangan mengerikan. Tangannya yang telah terisi
tenaga dalam, menebas bagian leher Ki Panji Agung. Suatu
serangan menggeledek, sehingga menimbulkan bunyi yang
mendirikan bulu roma.
Singngng...! Ki Panji Agung yang telah waspada sejak tadi, sedikit
menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan tangan
Begal Ireng. Sehingga serangan tangan yang terbuka milik
Begal Ireng hanya lewat sejengkal dari lehernya Namun tak
urung, Ki Panji Agung bisa merasakan pedih akibat angin
pukulan tadi. Serangan berikutnya menderu lebih ganas. Sebelah
kaki Begal Ireng bagai memiliki mata, mengejar ke mana
saja Ki Panji Agung bergerak. Bahkan serangan-
serangannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang
mematikan! Ki Panji Agung sama sekali belum balas menyerang
Dengan agak kewalahan, dia berusaha mengelak dan
menangkis. Sungguh, Ki Panji Agung tidak menyangka
kalau kepandaian Begal Ireng maju demikian pesat
Sehingga untuk beberapa saat tadi, dia sempat terkesiap.
Dibanding empat puluh tiga tahun yang lalu, meski
Begal Ireng masuk dalam jajaran tokoh atas golongan
hitam, namun kemampuannya masih beberapa tingkat di
bawah Ki Panji Agung. Pada saat dia hendak berbuat
makar terhadap Prabu Mahesa, Ki Panji Agung yang saat
itu menjadi tokoh golongan putih, muncul mematahkan
rencana jahatnya. Sengaja nyawa Begal Ireng dan
komplotannya tidak dihabisi, karena diharapkan di lain
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu dapat bertobat. Namun kenyataannya sekarang"
Biarpun serangan-serangan Begal Ireng sangat
merepotkan, namun belum ada satu hantaman pun yang
menyentuh tokoh tua digdaya ini.
Memang, kecepatan dan tenaga dalam yang dimiliki
beberapa keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan,
sulit dicari tandingannya. Seperti juga Ki Panji Agung,
sebagai salah satu keturunan keluarga itu.
Dunia persilatan menyebut kecepatan dan kekuat an
tenaga dalam yang dimiliki keluarga Pendekar Lem bah
Kutukan sebagai ilmu 'Siluman' karena apabila di gunakan,
hasilnya memang menakjubkan.
Tampaknya, untuk dua hal itu Begal Ireng masih
belum mampu menandingi Ki Panji Agung. Sehingga
ketikaKi Panji Agung mulai melancarkan serangan balasan,
tokoh bengis itu jadi berada di bawah angin.
Sampai suatu saat, Ki Panji Agung melancarkan
serangan pukulan ke dada kiri Begal Ireng. Dengan agak
terkesiap, tokoh hitam ini mengebutkan tangan kirinya
dengan gerakan menyilang. Namun sungguh di luar
dugaan, Ki Panji Agung memutar tangan kanannya, dan
langsung bergerak menggedor dada Begal Ireng. Begitu
cepat gerakannya, sehingga....
Desss! "Aaakh!"
Tubuh Begal Ireng kontan melayang lurus, begitu
dadanya terkena hantaman yang disertai tenaga dalam
dari tangan kanan Ki Panji Agung. Diiringi keluhan
tertahan, tubuhnya terus melayang dan kontan
menghantam sebuah pohon besar di belakangnya hingga
Iangsung hancur. Sepuluh tombak di depan Ki Panji Agung,
kini Begal Ireng tergeletak memegangi bagian dadanya
sambil meringis, dia bangkit.
Lagi-lagi Ki Panji Agung terkesiap. Betapa tidak"
Pukulannya tadi amat dikenalnya, karena memang milik
Keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan pukulan itu
dapat menyerpihkan batu karang besar sekalipun. Tapi,
nampaknya tidak ada pengaruh besar yang terjadi pada diri
Begal Ireng. Ilmu apa yang kini dikuasainya"
"'Pukulan Geledek' tingkat lima milikmu tidak berarti
apa-apa buatku, Panji Agung," ledek Begal Ireng dengan
wajah amat sinis. "Kau bahkan tidak akan mampu
membinasakanku meski pukulan kotoran kucing itu
dikerahkan hingga puncaknya! Ha ha ha...!"
Sehabis berkata demikian, Begal Ireng kembali
menyerang. Kali ini, tangannya sudah menggenggam
cemeti yang dilepas dari bagian pinggangnya, setelah sejak
tadi hanya dililitkan. Cletarrr!
Bunyi cemeti yang bisa memecahkan gendang telinga
seseorang yang berilmu cetek seketika terdenga
menggelegar. Tidak itu saja. Gesekan cemeti dengan udara
pun menimbulkan percik-percik api yang membuat nyali
setiap orang yang melihat menjadi ciut.
Tapi tidak untuk Ki Panji Agung. Asam garam yanj
ditelannya dalam mengarungi rimba persilatan selama ini,
membuatnya tetap tenang menanti serangan. Meski dia
tahu, kali ini bisa saja nyawanya benar-benar terancam....
Cletarrr! Cemeti yang terbuat dari satu akar tumbuhan beracun
itu melesat menuju wajah Ki Panji Agung. Dengan sigap Ki
Panji Agung melenting ke udara. Memang menghadapi
senjata seperti itu, dia tidak boleh bertempur dalam jarak
jauh. Karena itu sambil berkelit, tubuhnya berjumpalitan
memperkecil jarak dengan Bega Ireng.
Tapi Begal Ireng rupanya juga tidak bodoh. Dengan
membarengi gerakan salto Ki Panji Agung, tubuhnya pun
melenting menjaga jarak. Bagai dua buah bola mereka
berputaran di udara, di antara batang-batang pohon
cemara. Dan saat itulah Begal Ireng menjalankan rencana
licik yang sebelumnya telah direncanakan matang dengan
dua orang botak yang selama pertarungan terjadi hanya
diam mematung. Dengan tubuh masih melayang di udara, Begal ireng
melecutkan cemetinya, sebagai isyarat kalau rencana
segera dilaksanakan!
Maka seketika tubuh si Kembar dari Tiongkok yang
tadinya mematung, dalam waktu singkat telah membentuk
sebuah gerakan bersama. Sekejap satu tangan mereka
mengerahkan dua kekuatan yang tergabung pada masing-
masing telapak. Tiba-tiba, telapak tangan yang bersatu itu
memerah. Dan dalam sekejap pula, satu tangan yang lain
diarahkan pada tubuh Ki Panji Agung yang masih melayang
di udara! Sehingga....
Whush...! Bunyi angin pukulan jarak jauh yang digabung dua
orang botak itu melesat memburu tubuh tua Ki Panji
Agung. Maka....
Desss! Memang begitu cepat pukulan jarak jauh itu, sehingga
KiPanji Agung tak mampu menghindari. Apalagi tubuhnya
saat itu tengah berada di udara. Maka tak beda dengan
sebuah durian, tubuh Ki Panji Agung kontan nuluncur jatuh
terhantam pukulan jarak jauh licik itu. Suara berdebum
terdengar saat tubuh kurus Ki Panji Agung menghujam
tanah. "Ha ha ha...."
Megitu mendarat di tanah, Begal Ireng tertawa
terbahak-bahak puas, dengan dada membusung.
Sementara tangannya sudah menggenggam cemetinya
kembali. "Bagaimana, Ki Panji Agung" Lumayan kan, pukulan
jarak jauh dua sobatku itu?" ejek tokoh sesat itu kepada Ki
Panji Agung yang mulai bangkit dengan mulut meneteskan
darah. Tokoh tua aliran putih itu menatap tajam, lurus lurus
ke arah Begal Ireng. Kemarahan pendekar tua ini kini
menggejolak sampai ke ubun-ubun.
"Tikus busuk macam kau, memang tidak pernah malu
bertindak curang...," dengus Ki Panji Agung sambi
menahan sakit yang mendera di bagian belakang tubuh
nya. 'Apa kau merasa aneh melihat perbuatanku"
Mestinya lebih berhati-hatilah kalau sudah tahu begitu...,
kembali Begal Ireng meledek.
Begal Ireng tawanya yang terbahak, mengusik pelosok
kaki gunung. "Sekarang, bersiaplah menerima kematianmu, Tua
Bangka...," lanjut Begal Ireng penuh ancaman.
Ki Panji Agung yang menyadari kalau keadaannya
tidak menguntungkan, segera saja mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Sebelumnya, dia telah
menotok beberapa jalan darah di bagian tubuhnya, tatkala
mengetahui kalau pukulan si Kembar dari Tiongkok
ternyata beracun.
"Hiaaat...."
Begal Ireng mulai merangsek kembali. Serangannya
sekarang tidak tanggung-tanggung lagi. Cemetinya
menggeletar di udara, menimbulkan bunyi menggelegar!
dan percikan api. Bahkan sekarang dua orang botak itu
ikut andil pula dalam serangan puncak. Dengan ganas
mereka mengeroyok pendekar tua beraliran putih in
Maka pertarungan sengit tak dapat dielakkan lagi.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar tua berkesaktian
tinggi itu rupanya tetap tidak mudah diruntuhkan, meski
telah terluka dalam yang parah. Pukulan-pukulan
geledeknya yang telah dikerahkan hingga puncaknya,
beberapa kali membuat kekompakan tiga orang
pcngeroyoknya menjadi sedikit kacau.
Hingga menjelang fajar, pertarungan alot ini terus
l?crlangsung. Sementara tubuh Ki Panji Agung sudah terkoyak
disana-sini, terkena sabetan cemeti Begal Ireng yang
setajam mata pedang iblis. Darah makin banyak mengucur
dari tubuhnya. Dan ini membuat Ki Panji Agung semakin
lemah dan tersuruk-suruk di antara serangan bertubi-tubi
tiga tokoh golongan hitam itu.
Hingga matahari mulai mengintip di ujung timur
cakrawala, sebuah sabetan cemeti Begal Ireng melecut ke
bagian mata Ki Panji Agung.
Ctarrr! "Aaakh!"
Belum juga Ki Panji Agung menguasai diri, dua
pukulan berisi tenaga pamungkas dari si Kembar dari
Tiongkok seketika menghantam dada kiri dan kanan Ki
Panji Agung. "Ugh!"
Ki Panji Agung memang sudah tak kuasa menghindar
dari dua serangan itu. Tubuhnya kontan terpental amat
jauh diiringi pekikan tertahan. Dan tubuhnya lurus
meluncur seperti batu yang dilontarkan. Kemudian, dia
jatuh di muka bumi dan langsung terguling-guling
mengenaskan. Tubuh Ki Panji Agung hanya sempat bergeming
sedikit. Kepalanya bergerak dengan mata menatap sayu ke
arah tiga pengeroyoknya. Anehnya, bibirnya justru
tersenyum. Dan ini membuat Begal Ireng menautkan alis
tak mengerti. Sesaat kemudian, Ki Panji Agung tak berkutik lagi.
Pendekar tua yang sakti itu telah tiada. Dengan sebuah
senyum manis menyertai kepergiannya.
Begal Ireng yang mengetahui musuh utamanya telah
benar-benar mampus, langsung tertawa terbahak-bahak.
Dianggapnya, itu merupakan kemenangan yang amat
besar dalam hidupnya. Selama ini, tidak ada satu tokoh
golongan hitam pun yang mampu menandingi KI Panji.
Agung. Apalagi, membunuhnya.
Sedangkan dua orang botak yang membantunya
hanya menatap dingin tubuh Ki Panji Agung. Tatapan nya
berkesan memuakkan, seperti sedang melihat sepotong
bangkai tikus menjijikkan.
Begal Ireng belum puas juga tertawa, sampai akhir
nya tercekat oleh sesuatu yang amat ganjil. Dari jasad Ki
Panji Agung, tiba-tiba keluar cahaya keperakan yang masih
dapat tertangkap mata, karena matahari belum begitu
muncul benar. Sinar itu melayang cepat ke angkasa, lantas meluncur
ke arah barat seperti hendak menjauhi matahari Dan sinar
itu lurus meluncur, mirip bintang jatuh... menuju Perguruan
Trisula Kembar.
Sinar itu terus menembus atap padepokan, lalu
menyelusup ke dalam tubuh salah seorang murid yang
masih terpulas, karena lelah akibat latihan semalam. Murid
itu adalah..., Andika. Dan itu tanpa disadari Andika sendiri.
*** 3 Seorang gadis tinggal di padepokan Perguruan Trisula
Kembar. Rambutnya panjang disanggul kecil. Tampak anak
rambutnya menjuntai di depan telinga. Kulitnya kuning
langsat, tubuhnya langsing, dan wajah ayu. Dan itu
membuatnya semakin mempesona. Bibir nya yang kerap
tersenyum, sering kali menggetarkan kalbu laki-laki.
Namanya, Ningrum.
Kira-kira empat purnama yang lalu, Ningrum datang
ke perguruan ini dengan mengaku sebagai tabib wanita
yang tersesat di hutan sebelah selatan, ketika mencari
rempah-rempah dan dedaunan untuk bahan obat-obatan.
Sejak saat itulah, dia tinggal di sana. karena kebetulan
perguruan waktu itu belum memiliki tabib, maka Ki Sanca
memutuskan untuk menerima Ningrum.
Dan pagi ini, Ningrum tampak tengah sibuk di dapur
perguruan. Tangannya dengan lincah mencari-cari daunan
yang digunakan untuk obat, kemudian di tumbuknya.
Setelah itu racikannya dimasukkan ke dalam kuali, dan
mulai mengaduk perlahan-lahan. Gadis memang tengah
membuat jamu godokan untuk murid-murid Perguruan
Trisula Kembar.
"Pagi, Nini...," sapa Andika pada Ningrum yang usia
nya lebih tua sekitar lima tahun.
"Pagi...," sahut Ningrum seraya tersenyum teduh.
"Sedang menggodok ramuan apa, Nini?" lanjut Andika.
Padahal, sebenarnya Andika harus membantu Soma
membelah kayu bakar seperti biasanya. Tadi, waktu pergi
ke dapur untuk mengambil kapak, tanpa sengaja Andika
melihat Ningrum. Ada yang menyejukkan hati pemuda
tanggung itu, tatkala matanya bertemu tatapan lembut
Ningrum. Mata yang berbulu lentik dan memancar indah itu
telah menggetarkan sendi-sendi kelaki-lakian Andika Dan
pemuda tanggung itu sendiri tidak mcngerti, perasaan apa
yang menjalar hatinya.
'Ini ramuan beras kencur...," sahut Ningrum, singkat.
"Beras kencur?" tanya Andika dalam hati.
Mendadak terlintas pikiran nakal yang selalu saja
muncul di benak anak gelandangan kotapraja seperti
Andika. "Benar," jawab Ningrum, tanpa menghentikan gerakan
tangannya yang halus dalam mengaduk kuali tanah liat.
"Untuk pegal kena pukulan bisa?"
"Tentu saja, bisa...."
"He he he...," batin Andika terkekeh.
Sekejap kemudian wajah Andika dibuat memelas.
Mulutnya meringis-ringis di depan Ningrum.
"Kalau begitu, Nini bisa menolongku, bukan"
Tanganku ini semalam kena gagang trisula waktu latihan"
ujar Andika seraya menjulurkan tangannya pada ningrum.
"Yang mana?" tanya Ningrum heran, karena tidak
melihat ada bekas terpukul sedikit pun pada tangan
pemuda tanggung itu.
"Ini..., yang ini," tunjuk Andika pada bagian tangan
yang dianggap kaku.
Ningrum memegang tangan kurus itu, dan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan daerah yang ditunjuk Andika.
"Kok, tidak ada memar?" tanya Ningrum, heran.
"Memang... memang," sergah Andika. "Tapi kalau
dipegang, terasa nyeri. Kalau Nini tidak percaya, pegang
saja!" Walaupun agak sedikit mengerutkan kening kareru
bingung, Ningrum memijit juga bagian tangan yang ditunjuk
Andika. Setiap kali ditekan, anak badung iti langsung
menjerit-jerit seperti amat menderita dengan wajah
meringis-ringis sedemikian rupa. Andika tidak peduli, bila
wajahnya di mata Ningrum terlihat sepert orang kesakitan.
Atau, lebih mirip orang yang sedang buang hajat besar.
Pokoknya, meringis. Biar sandiwara nya kelihatan benar-
benar bagus! "Adouuuw!" teriak Andika.
"Sakit sekali, ya?" tanya Ningrum kebingungan.
"Iya! Kau tahu rasa sakit terkena tusukan seribu
sembilu?" kata Andika, menggambarkan rasa sakit yang
dibuat-buat. Dalam hati, Andika sendiri mau tertawa sekeras
kerasnya melihat mata Ningrum yang bergerak bingung
ketika dia menjerit-jerit.
"Adouuuw!" sekali lagi mulut Andika memperde
ngarkan teriakan.
"Lho"! Aku lean belum memijit tanganmu lagi?" sela
Ningrum dengan alis mata terangkat.
"Belum, ya" Ng..., makanya pijit lagi, biar aku teriak
lagi...," kata Andika, ketolol-tololan.
Sebelum tangan halus Ningrum memegang kembali
lungan kurus Andika, tiba-tiba....
"Lagi apa kau di sini?"
Terdengar suara Soma, menegur Andika. Seketika
Andika menarik tangannya. Memang kakak seperguruannya itu sudah berada di belakangnya sambil
berkacak pinggang, begitu Andika menoleh. Dan pemuda
tanggung itu jadi cengar-cengir.
"Minta beras kencur...," jawab Andika asal jadi.
Soma memelototi anak itu. Dia tahu, apa maksud
Andika sebenarnya. Seketika dijewernya telinga Andika
sekeras-kerasnya.
"Ayo, ikut aku membelah kayu! Orang lain sudah
sungsang sumbel, kau masih enak-enak minta beras
kencur!" "Ampuuun. Ampuuun, Kang Soma!"
Soma terus berjalan sambil menarik Andika, keluar
dari dapur. Setelah agak jauh dari tempat Ningrum, barulah
jeweran pada Andika dilepasnya.
"Kau memang tidak boleh melihat 'ayam' mulus!" maki
Soma, jengkel. Andika tidak menjawab. Sementara tangannya sibuk
mengusap-usap telinganya yang merah matang. Wajah nya
masih meringis seperti sewaktu di depan Ningrum. Tapi,
kali ini bukan pura-pura lagi.
"Hey! Aku bicara denganmu!"
"Alaaah, Kakang Soma ini.... Kenapa jadi begitu
mangkel" Kalau memang Kang Soma juga suka dengan
nini tadi itu, saya bersedia mengalah...," canda Andika
seenak perut. Soma hanya menggeleng-geleng kepala.
"Monyet kecil brengsek!" hardik Soma, setengah
tertawa. Ditamparnya kening Andika, seraya berjalan ke
tempat dia tadi membelah kayu.
Bergegas Andika memikul kapak yang tidak sesuai
dengan ukuran tubuhnya yang kurus. Segera disusulnya
Soma. "Kang! Tunggu, Kang! Nama nini tadi itu siapa, ya
tanya Andika ingin tahu.
*** Siang memanggang bulat-bulat kotapraja, membuat
debu jalan menjadi amat ringan. Hingga tatkala angin
bertiup, debu-debu itu beterbangan menjengkelkan
Matahari memang bersinar terik. Tapi biarpun begitu
kotapraja tetap ramai. Terlebih lagi, siang itu ada acara
yang banyak mengundang minat orang di sekitarnya.
Soma yang kebetulan pergi ke kotapraja bersa Andika
untuk menjual kelebihan jagung dan belanja beberapa
keperluan, tidak luput dari rasa ingin tahu. Mereka
bergegas mempercepat lari kuda yang menarik pedati.
"Ada apa ya, Kang?" tanya Andika ketika pedati yang
dikendarai kini sudah kosong, melewati sebuah kerumunan
yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah panggung.
"Nampaknya ada pertandingan silat," jawab Soma
menduga-duga. Setahu Soma, jika ada panggung besar di kotapraja
seperti itu, biasanya akan ada pertunjukan kesenian
takyat, atau pertandingan silat.
"Kita nonton dulu ya, Kang...," ajak Andika, sambil
menatap kakak seperguruannya.
"Bagaimana, ya...," Soma ragu-ragu. Dia agak khawatir
Ki Sanca nanti menegurnya kalau pulang terlambat.
"Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!" usik
Andika pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan
pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa. Kna
toh, perlu juga melihat perkembangan dunia per-"ilntan."
Gaya Andika yang selalu tampak sok tahu itu, se-i
mgkali membuat Soma geleng-geleng kepala. Apalagi til nt
keras kepalanya.
"Kalau Ki Sanca nanti mengomeli kita, biar aku yang
itnggung jawab," desak Andika kemudian.
"Baik... baik." Soma menyerah.
Kalau Soma tidak menuruti keinginannya, bisa-bisa di
panjang perjalanan pulang kunyuk itu terus saja nyerocos.
Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai
makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian,
pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Soma, setelah
mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan
mencari bahan keperluan sehari-hari.
"Ingat, jangan coba macam-macam!" pesan Soma
tatkala mereka turun dari pedati.
Andika hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya
mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Soma agar tak
perlu khawatir dengan dirinya.
Kerumunan orang makin padat saat mereka telah
bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian
seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang
menyandang pedang, sebagian lain ada yang membawa
tombak, golok, keris, dan toya. Tampaknya dugaan Soma
ada benarnya. Mereka pasti berkumpul untuk ikut dalam
pertandingan silat di atas panggung besar di depan sana.
Tiba-tiba Andika menunjuk seorang pendekar wa nita
dengan rambut berkepang kuda. Pedang besar yan tidak
sesuai dengan tubuhnya, tampak tersandang punggung.
Cantik, namun terlihat judes.
"Lebih cantik mana dia dengan Nini Ningrum" tanya
Andika, usil. Lantas saja Soma menepak jari tangan Andika. Dan
seketika pemuda tanggung itu menekuk wajahnya yang
menukik itu, makin menukik.
"Kenapa Kang Soma selalu saja gusar kalau aku
bicara soal Nini Ningrum?"
"Hus! Bukan begitu! Jarimu yang menunjuk-nunjuk
seenaknya itu bisa bikin perkara...."
"O, jadi bukan...."
"Sudah, diam! Apa mulutmu bisa kaku kalau tida
bicara agak lama?" "He he he...!"
Andika menggerak-gerakkan
kedua alisnya, menggoda Soma. "Jadi, apa maumu?" tanya Soma. "Kakang belum
jawab pertanyaanku tadi."
"Apa?"
"Kakang cemburu, bukan?"
"Astaga! Jadi, kau masih meributkan masalah kemarin
pagi itu?"
Andika tersenyum nakal, seraya mengangguk mantap.
"Kemarin aku melarangmu mengganggu Nini Ningrum,
karena dia lebih tua darimu, Tolol! Kau harus hormat
kepadanya...," dengus Soma.
"Ah, syukurlah kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
'Tidak apa-apa...."
Kembali mereka mengarahkan pandangan ke atas
panggung. Tampak seseorang naik ke atasnya,
membacakan sebuah pariwara.
"Saudara-saudara... kisanak dan nisanak! Tuan Cokro
Adi sebagai seorang saudagar kaya, membutuhkan
seorang pendekar yang mampu melindungi dirinya,
sekaligus keluarga dan hartanya. Maka untuk itulah,
panggung ini disediakan, agar para pendekar yang
berminat menjadi pengawal bayaran Tuan Cokro Adi,dapat
memperlihatkan ketangguhan ilmu kedigdayaannya. Dua
orang yang tak terkalahkan akan berhak dipilih Tuan Cokro
Adi...," kata orang itu, lantang.
Begitu orang itu selesai membacakan pariwara,
menyusul seorang bertampang kasar dan membawa
Tengkorak Maut 25 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Pendekar Kembar 14