Pencarian

Lembah Kutukan 2

Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan Bagian 2


sebilah kapak, naik ke atas panggung. Dia orang pertama
yang berminat. Untuk beberapa saat, dia berdiri angkuh,
seakan-akan menunggu orang yang ingin menantangnya.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh kurus
kering naik ke atas panggung. Tubuhnya amat berlawanan
dengan orang yang membawa kapak. Dengan pakaian
merah-merah yang agak kebesaran, kakinya melangkah
menuju panggung. Dari sorot matanya orang akan segera
tahu kalau ilmu kesaktiannya tidak bisa dipandang remeh.
"Bayuganda...," kata laki-laki kurus itu segera
memperkenalkan diri, seraya membungkuk hormat pada
laki-Iaki yang membawa kapak. "Orang-orang menjuluk aku
si Jari Iblis...."
Mendadak saja terdengar riuh kecil di sana-sinj
Memang, julukan Jari Iblis untuk kalangan persilatan tidak
asing lagi. Dia pendekar aneh, karena sikaprra amat
santun kepada orang lain. Namun dalam urusan bunuh-
membunuh , tak pernah ada satu lawan pun yang
disisakan. Dia bekerja untuk siapa saja yang bisa
membayarnya mahal.
"Ha ha ha...! Jadi, ini orangnya yang berjuluk Jari Iblis
itu," seloroh orang bertampang kasar di hadapannya.
"Rupanya hari ini, si Kapak Setan beruntung dapat menjajal
kebolehanmu, Ki Bayuganda...."
"Hm... silakan, Kisanak. Mari kita mulai," ujar Jari Iblis.
Kini, pertandingan siap dimulai. Masing-masing
memasang kuda-kudanya dengan mantap. Gaungan Kapak
besar yang diputar-putar orang bertampang kasar yang
mengaku berjuluk Kapak Setan sesekali terdengar.
Selangkah demi selangkah, mereka menjejaki panggung,
mencari peluang yang tepat untuk memulai serangan.
"Hiaaat!"
Si Kapak Setan mulai menyerang dengan kapaknya
yang berdesing membelah udara, menuju dua kaki kurus
Jari Iblis. Namun serangan itu dielakkan dengan mudah
oleh Jari Iblis, dengan sedikit bergeser ke belakang. lantas,
sebelah kakinya secepat angin topan membabat kepala
Kapak Setan yang merendah.
Jebbb! Mau tak mau si Kapak Setan terpaksa menjatuhkan
diri kepermukaan panggung, dan secepatnya berguling
menjauh. Kini dia bangkit kembali. Tapi sebelum kuda-
kudanya mantap benar, Jari Iblis melepaskan serangan
bertubi-tubi dengan dua jari menegang bagai mata pedang
ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun
sampai sejauh itu Kapak Setan masih mampu
menghindarinya.
Belum sampai lima belas jurus berlalu, satu kelebatan
tangan Jari Iblis bergerak cepat ke arah ulu hati. Tapi
dengan cepat pula Kapak Setan memapaknya dengan
punggung tangan.
Plakkk! Sungguh di luar dugaan! Justru tenaga dorongan yang
kuat ketika memapak itu dimanfaatkan Jari Iblis untuk
memutar tubuhnya sambil mengelebatkan jari tangannya.
Begitu cepatnya, sehingga tak bisa dihindari lagi oleh si
Kapak Setan. Maka....
Clap! "Aaakh...!"
Si Kapak Setan kontan menjerit memilukan ketika jari
tangan lawan menembus lehernya seperti menembus
pelepah pisang. Matanya kontan mendelik ngeri. Dan
begitu Jari Iblis mencabut jarinya dari leher, darah
memuncrat memerciki panggung.
Penonton seketika berseru ngeri. Dalam perlu dingan
semacam itu, mestinya tidak perlu sampai mati. Karena,
pertandingan ini semata-mata hanya untuk menentukan
orang yang bakal menjadi pengawal Tuan Cokro Adi.
Namun rupanya, Jari Iblis memang tidak pernah berniat
memberi keringanan kepada siapa pun yang berurusan
dengannya. Jari Iblis segera menjura, memberi hormat kepada
hadirin. Wajahnya dingin, sedikit pun tidak memperlihatkan
penyesalan. "Aku benci ini," geram Soma. Lalu, diajaknya Andika
untuk pergi dari situ.
"Ke mana, Kang" Pertandingan belum selesai, kata
Andika enggan. "Aku muak melihat pembunuhan yang hanya karena
uang seperti tadi...," jelas Soma.
"Kalau begitu, Kang Soma harus naik ke panggung
untuk menghentikan si kurus jelek itu agar tidak
membunuh penantang yang lain," ujar Andika tanpa tedeng
aling-aling. Andika sepertinya tidak takut kalau perkataan sampai
ke telinga Jari Iblis.
"Apa kau sudah gila"! Aku jelas bukan tandingan
orang itu. Bahkan kemampuannya mungkin beberapa
tingkat di atas guru kita sendiri...," sentak Soma.
Belum lagi Soma sempat menarik keluar Andika dari
kerumunan, kembali terdengar jeritan menggiriskan dari
atas panggung. Rupanya seorang lagi menemui kematian di tangan
Jari Iblis. Dan Soma makin tidak betah untuk tetap di sana.
Agak kasar dan tergesa, ditariknya tangan Andika.
"Hei! Berhenti!" bentak seseorang di antara
kerumunan. Soma menoleh bingung. Rasanya, dia tidak berbuat
suatu kesalahan" Lalu, kenapa orang itu menyuruh
berhenti dengan nada kasar seperti itu" Astaga! Mendadak
Soma menyadari kebrengsekan Andika.
"Copeeet!" teriak orang yang membentak tadi. Tak
salah lagi, ini pasti akal Andika. Dengan membuat
kericuhan di tengah-tengah kerumunan, maka perhatian
pengunjung akan beralih dari panggung. Hasilnya,
kekejaman yang dilakukan Jari Iblis akan terhenti. Entah
untuk berapa lama....
"Lari, Andika! Lari...!!' seru Soma seraya menarik kuat
kuat pergelangan tangan yang dipegangnya.
Sekali lagi. Soma terkejut bukan main! Ternyata yang
ditariknya bukan lagi tangan Andika, melainkan tangan
seorang laki-laki tua. Soma hanya bisa mendengus kesal.
Rupanya pada saat dia terpana barusan, anak kunyuk itu
sempat menukar tangannya dengan tangan seorang aki
yang kebetulan berada di dekatnya. Tentu orang tua
keriput itu mengamuk sejadi-jadinya. Bibirnya yang sudah
berlipat keriput seperti kain lusuh,menyemburkan makian
pedas, tepat di depan hidung Soma. Bahkan makian orang
tua di depannya juga disertai gerimis kecil yang terlontar
dari mulutnya. Dengan bibir tersenyum kecut, Soma
mengusap wajahnya yang hampir basah oleh air ludah.
Naas sekali nasibnya hari ini.
Setelah itu Soma tersadar pada keadaan Andika. "Ke
mana bocah brengsek itu sekarang?"
"Andika...!" teriak Soma kelimpungan.
Sungguh mati, Soma begitu khawatir terhadap
pemuda tanggung itu. Entah kenapa, selama anak itu
dikenalnya, dia seperti memiliki seorang adik yang patut
mendapatkan perhatian. Namun orang yang diteriaki tidak
terlihat batang hidungnya. Kerumunan orang begitu
banyak, bagaimana mungkin mudah untuk mencari"
"Andika! Di mana kau"!"
Sementara di satu kerumunan lain, terjadi kekacauan.
Beberapa orang berlari ke sana kemari di antara
keramaian, mengejar seorang pemuda tanggung yang
menjarah kantung-kantung uang milik mereka. Jelas anak
itu adalah Andika.
"Hei! Berhenti kau, Pencopet Keparat!"
"Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Jahanam!"
"Tangkap! Tangkap!"
Terdengar teriakan-teriakan korban jarahan tangan
Andika yang melengking geram.
"Jangan hanya teriak-teriak! Kejar aku kalau kali bisa,
manusia kentut yang bermuka kentut, berjidat kentut,
berdengkul kentut.... Pokoknya, kentut!" balas, Andika
tanpa rasa takut sedikit pun sambil berlari terbirit-birit.
Selincah kera hutan, Andika menelusup di antara
kerumunan orang. Berkali-kali orang-orang yang mengejarnya nyaris dapat menjambret bajunya, tapi selalu
luput. Sampai akhirnya, Andika terkurung dengan tubuh
merapat di pinggir panggung. Orang-orang yang
mengejarnya makin dekat, dengan wajah disarati
kekalapan. Mata mereka terlihat nyalang bagai ingin
menelan Andika hidup-hidup. Selangkah demi selangkah,
mereka mendekat dengan tangan terentang, takut kalau
buruannya lolos lagi.
Andika yakin, kalau sudah tidak bisa lagi meloloskan
diri. Kecuali, dengan satu cara.... Naik ke panggung
pertandingan! Tubuhnya yang kurus itu pun cepat
meIompat ke atas panggung setinggi bahu.
Jleg! Manis sekali Andika mendaratkan kakinya di atas
panggung. "Phuih!" keluh Andika membuang napas.
Memang sampai di situ orang-orang yang mengejar
nya tidak lagi berani mendekati. Tentu saja mereka takut
disangka menjadi penantang Jari Iblis yang kejam
menggiriskan. Dan tujuh orang berpakaian perlente itu
hanya menatapnya kebodoh-bodohan. Siapa yang sudi jadi
makanan empuk jari-jari tangan si Jari Iblis"
. Sementara Andika hanya merayapi mereka dengan
iii |iiian mata.
Senyum mengejeknya yang khas tersembul. Bukan itu
saja. Dia malah melambaikan tangan, sehingga
menimbulkan kejengkelan di hati pengejarnya.
"Kau penantang berikutnya?"
Tiba-tiba terdengar suara berat di belakang. Andika
terkesiap. Darahnya serasa berhenti mengalir. Wajahnya
kontan pucat. Gila! Sungguh tidak pernah disangka akan
sejauh ini! Maka sambil menelan ludah susah payah,
Andika berbalik. Tampaklah seraut wajah seraut yang
menyeringai buas. Andika ingin menjelaskan segera pada
Ki Bayuganda alias si Jari Iblis, kalau dia bukan penantang.
Bahkan niat saja pun tidak.
Sementara, pengunjung mulai berseru kaget. Suara-
suara gumaman mulai terdengar seperti sekumpulan
lebah. Mereka memandang Andika dengan mata yang sulit
dijelaskan. Mungkin merasa heran, mungkin merasa
terpana. Atau mungkin, merasa salah lihat.
"Apa anak itu sudah sinting?" kata salah seorang.
"Apa itu anak sudah bosan makan nasi?" seloroh yang
lain. "Astaga! Semuda itu sudah menjadi pendekar dan
berani pula menantang Jari Iblis. Ck ck ck...."
"Itu anak konyol yang berlagak sakti, atau anak sakti
yang berlagak konyol, ya?"
Sementara itu, Andika berusaha mengucapkan kata-
kata yang terasa terganjal di tenggorokan. Lidahnya pun
jadi kelu. Dicobanya menggerakkan bibir, namun hanya
sepotong-sepotong yang terucap.
"Ba... bu... anu. aduh Mak...," gagap Andika.
Jari Iblis sudah menjura hormat. Sebagai isyarat kalau
sudah siap untuk memulai pertandingan. Sementara di
kejauhan sana. Soma nyaris seperti orang gila. Dia ingin
menerobos masuk menghampiri panggung dan menjelaskan duduk persoalannya kepada Jari Iblis, tapi
orang-orang yang begitu kepingin tahu kejadian di atas
panggung, membuat kerumunan jadi padat dan sulit
ditembus. "Andika! Turun...!" teriak Soma, kalang kabut.
Sedangkan Ki Bayuganda pun mulai menyusun
langkah perlahan....
*** 4 Andika sebenarnya bukan tergolong anak pengecut.
Sebagai orang yang pernah terbenam dalam dunia
gelandangan, dia sering berhadapan dengan maut.
Sewaktu masih menjalani kegiatannya menjarah
kantung-kantung uang milik orang-orang kaya berhati
busuk, pernah suatu kali bahu kirinya tertembus sebilah
belati yang dilemparkan oleh korban jarahannya. Kalau
saja saat itu belati yang menancapnya mengenai tubuh nya
lebih ke bawah, mungkin dia sudah di alam lain dengan
perantara belati yang menembus jantungnya
Kalau kali ini jantungnya memburu keras dengan
wajah memucat, sebenarnya wajar saja. Dirinya kini
hadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat, dan
sama-sama bisa melemparnya ke neraka. Andai dia
memilih turun, maka orang-orang yang memburunya tentu
akan menghajarnya.
Kalau memilih diam, dia harus berhadapan deng jari
maut milik Ki Bayuganda. Kini mata dingin Ki Bayuganda
menembuskan kengerian ke seluruh persendian Andika.
Nyali pemuda tanggung itu benar-benar bagai dihimpit
habis-habisan. Kaki kurus Ki Bayuganda yang tertutup jubah batas
betis melangkah satu-satu di permukaan panggung, dari
kayu. Langkah-langkahnya yang berbau maut, begitu
menghentak jantung Andika. Jurus-jurus pembuka pun
mulai dimainkannya. Dua jari dari masing-masing tangan
yang masih memerah oleh darah, mengejang


Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa memperdengarkan teriakan, jari Ki Bayuganda
melesat ke arah dada Andika dengan kecepatan dahsyat.
Bagi pemuda tanggung yang tidak pernah mempelajari ilmu
tenaga dalam dan kecepatan, tusukan jari Ki Bayuganda
mustahil untuk dihindari.
Pada saat jari berkecepatan kilat itu hanya tinggal dua
jengkal lagi dari dada Andika, tiba-tiba....
"Uts!"
Tubuh Andika seketika melenting bagai selembar bulu
di udara. Sebentar dia berputaran, lalu hinggap tanpa
sedikit pun suara di belakang Ki Bayuganda.
"Kurang ajar!" dengus Jari Iblis.
Sementara Andika hanya terkesiap. Tangannya
mendekap dada yang sebelumnya akan menjadi sasaran
jari-jari menyeramkan Ki Bayuganda. Matanya belum
berani melirik ke dada, sebab di kepalanya sudah
terbayang darah yang mengalir deras dari bagian tubuh
yang dikiranya terkena. Tapi ketika matanya mencoba
melirik, ternyata dadanya masih utuh.
"Apa yang baru saja kulakukan" Mungkinkah aku
bermimpi?" pada saat gawat tadi, Andika memang hanya
mengikuti naluri untuk menyelamatkan diri. Dia hanya
sekadar mencoba berkelit dengan melenting semampunya.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaan sama sekali. Dia
mampu melewati kepala Jari Iblis dan mendarat ringan di
belakangnya. Demikian juga Soma di kejauhan. Mulutnya tanpa
sadar terbuka karena demikian terpana. Rasanya sulit
dipercayai apa yang baru dilihatnya.
"Aneh..., aneh!" bisik batin Andika berkali-kali.
Sebelum sempat Andika terpesona lebih jauh oleh
apa yang dilakukannya barusan, Ki Bayuganda sudah
melancarkan serangan susulan yang lebih beringas!
Kemarahannya mencuat begitu saja, karena merasa telah
dipermainkan oleh anak tanggungyang tak pernah
dikenalnya dalam dunia persilatan.
Beberapa jurus yang diruntunkan untuk menghabisi
Andika. Namun, pemuda tanggung itu lincah sekali
berlompatan menghindarinya. Seberapa cepat pun
Bayuganda mengerahkan jurus-jurusnya, tetap belum
menggores kulit Andika sedikit pun.
Para pengunjung memang terpesona melihat adegan
seru itu. Tapi bukan oleh kehebatan gerakan kedua orang
itu, melainkan justru pertarungan yang sulit diikuti mata
biasa. Gerakan mereka bagai kilasan-kilasa bayangan saja.
Padahal jika mereka bisa melihat, gerakan Andika sama
sekali tidak menunjukkan sedang bertempur, melainkan
gerakan ngawur yang begitu cepat!
Sekali lagi tubuh Andika melenting ke udara dan
mendarat di bibir panggung, tepat di belakang si Jari Iblis.
Wukkk! Deb deb deb...!
Andika pun mulai menyusun kuda-kuda. Setiap kaki
atau tangannya bergerak dengan pemusatan penuh
terdengar deru yang sampai di tempat Soma berdiri
"Hiaaat...!"
Sementara Ki Bayuganda kembali merangsek dengan
teriakan kemarahan membakar dahsyat.
Dan tubuh mereka berdua lantas seperti menyatu
dalam pusaran gerakan-gerakan luar biasa. Sebentar
saling pisah, sebentar kemudian menyatu kembali.
Sementara para penonton seperti terkena tenung
saja. Mereka benar-benar menjadi patung hidup,
menyaksikan pertarungan luar biasa itu.
Bagi yang mempunyai penglihatan jeli, mereka akan
melihat kalau si Jari Iblis begitu bernafsu untuk cepat
menjatuhkan Andika. Jari-jarinya yang setajam mata pisau
berkelebatan cepat sekali. Namun sampai sejauh ilu,
Andika masih mampu menghindari dengan kelitan-
kelitannya yang lincah. Namun tak urung, beberapa bagian
tubuh Andika sempat tersayat jari-jari bagai baja ilu.
Pada suatu kesempatan, Ki Bayuganda yang berjuluk
Jari Iblis mencoba membabatkan jarinya ke arah leher
Andika. Namun di luar dugaan, serangan itu sama sekali
tidak dihiraukan oleh pemuda tanggung itu. Baru ketika
serangan itu hampir menyentuh Ieher, Andika cepat
menarik kepalanya ke belakang.
"Uts!"
Begitu serangan itu bisa dihindari, Andika cepat
memutar tubuhnya seraya melepaskan pukulan bertenaga
dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jari Iblis
tak bisa lagi menghindari.
Degh...! "Aaakh...!"
Satu pukulan dengan punggung tangan telak sekali
mendarat di leher Jari Iblis. Di ringi jerit kesakitan tubuh Ki
Bayuganda terpental keras, melayang bagai tanpa bobot.
Dari mulutnya, tersembur percikan merah yang menciprati
sebagian penonton.
Ketika jatuh berdebum di tanah, barulah or~ orang
tahu kalau Ki Bayuganda atau si Jari Iblis-lah y melayang.
Dan ketika menyentuh tanah, dia sudah k hilangan nyawa.
Matilah tokoh kejam itu di tangan orang anak tanggung
yang tak pernah sedikit pun dj sebut-sebut dalam rimba
persilatan. Di panggung, tampak Andika berdiri kuyu dengan
pakaian tercabik di sana-sini. Di beberapa bagian tubuh
nya, darah mengalir akibat besetan jari tangan Ki
Bayuganda. *** Senja mulai meremang di Perguruan Trisula Kembar.
Di depan padepokan, tampak Andika tengah
termenung. Memang, setelah menamatkan riwayat Jari
Iblis, pikirannya mulai dirasuki keinginan untuk menjajal
keanehan yang terjadi tiba-tiba dalam dirinya. Tatkala
Cokro Adi, saudagar yang mengadakan pertandingan itu
mendekatinya untuk memberi ucapan selamat, tanpa
banyak bicara lagi Andika berusaha melompat sekuat
tenaga dari atas panggung. Nyatanya, keajaiban itu tetap
tinggal dalam dirinya. Tubuhnya tiba-tiba terasa begitu
ringan, hingga lompatannya mencapai jarak dua puluh
tombak. Masih dengan terheran, kakinya lalu menjejak
ringan di atas beberapa kepala para pengunjung, berlari di
atas mereka. Padahal, itu hanya dapat dilakukan oleh
tokoh golongan atas!
Andika terus berlari dalam keheranan tak habis-
habisnya menuju Perguruan Trisula Kembar. Bahkan tanpa
sadar, Soma yang tertinggal di kotapraja sampai
dilupakannya. "Astaga...! Apa yang terjadi, Andika"!"
Sebuah suara bernada terkejut membuyarkan
lamunannya. Menyadari ada orang yang menegurnya,
Andika menoleh. Tampak Ningrum sedang memperhatikannya dengan wajah terkejut. Gadis itu benar-
benar kaget melihat keadaan Andika dengan pakaian
terkoyak-koyak bernoda darah dan luka-luka yang masih
meneteskan darah meski tidak terbilang parah.
"Ng.... Jatuh dari pedati tadi, Nini...," elak Andika,
herbohong. Ningrum mendekatinya. Dipegangnya bahu Andika
yang terluka. "Tapi, kenapa lukamu ini seperti terkena benda
tajam?" tanya Ningrum, agak heran.
"Ah! Barangkali hanya terkena batu tajam...."
"Tunggu di sini sebentar! Akan kuambilkan ramuan
untuk membalut luka-lukamu supaya cepat mengering,"
ujar Ningrum seraya berdiri, lantas pergi mengambil
ramuan. Sebenarnya setiap kali pemuda tanggung itu
bertumbukan mata dengan gadis yang lebih tua lima tahun
tadi, hatinya akan merasa senang bukan kepalang. Namun
untuk saat ini, benaknya masih tetap disibuki oleh kejadian
seperti mimpi yang dialami kemarin malam.
"Apa yang terjadi sebenarnya" Apa arti semua ini?"
Andika kembali merenung. Matanya kosong memandang
lurus. "Mukjizatkah" Atau, barangkali aku sudah gila dan
membayangkan hal yang bukan-bukan?"
Tiba-tiba sepasang tangan halus menyadarkannya
kembali. Ternyata tangan Ningrum. Dengan bibir
tersenyum, gadis itu mulai membalut luka-luka Andika
dengan ramuan dan akar tumbuhan.
"Terima kasih sekali, Nini...," ucap Andika dengan
menatap sejurus pada mata bulat Ningrum.
Ditatap seperti itu, Ningrum jadi tersipu. Bergegas
matanya dilepaskannya dari tatapan lekat Andika. Dia
sendiri heran, "Kenapa berlaku seperti itu. Tatapan tajam
mata anak tanggung itu seperti memiliki pesona tersendiri.
Sinarnya langsung menerabas langsung ke hatinya yang
paling dalam. Padahal, Ningrum sendiri lahu kalau usia
Andika lebih muda darinya. Aneh!"
"Sudahlah.... Lain kali, kau harus hati-hati jika sedang
di atas pedati...," kata gadis itu lembut.
Andika mengangguk. Matanya tetap memperhatikan
wajah ayu Ningrum yang kini mulai bersemu merah.
Ningrum beranjak pergi. Begitu ringan kakinya
melangkah. Dan begitu gadis itu hilang dari pandangan,
Soma muncul. Dia langsung menghampiri Andika yang
masih menatap ke arah kepergian Ningrum.
"Siapa kau sebenarnya Andika?" tanya Soma, begitu
tiba di depan Andika.
Andika mengangkat wajah dengan keningberkerul
"Ada apa, Kang Soma" Mengapa kau berkata seperti itu?"
"Sewaktu pertama kali ke sini, kau mengatakan kalau
kau seorang anak gelandangan yang ingin belajar sedikit
ilmu bela diri. Di kotapraja tadi, nyatanya kau dapat
membinasakan tokoh kejam yang banyak ditakuti orang...,"
papar Soma. Barulah Andika mengerti maksud pertanyaan tadi
Kepalanya hanya menggelengkan perlahan, sebagai
jawaban. "Apa maksudmu?" desak Soma.
Andika menarik napas dalam-dalam dan mengheml
buskannya kuat-kuat.
"Semua yang kukatakan dulu memang benar, Kang.
Aku memang gelandangan kotapraja. Aku tidak berbohong,
termasuk cerita hidupku yang dibesarkan oleh pencopet
tua licik itu. Kalau di kotapraja tadi aku mampu
mengalahkan Ki Bayuganda, aku sendiri tidak tahu
kenapa...," kata Andika.
Soma berbalik membelakangi Andika.
"Entah kenapa, aku belum bisa mempercayai itu,'
tegas Soma. "Sungguh, Kang.... Aku berani sumpah!"
Tidak ada tanggapan dari Soma. Dia tetap diam
sambil melipat tangan di dada. Sikapnya persis saat
pertama kali Andika bertemu dengannya.
"Mungkin benar juga kata adik seperguruanku dulu
kau memang mata-mata dari perguruan lain yang hendak
berniat jahat terhadap kami," kata Soma perlahan namun
menusuk. Selesai mengucapkan itu, Soma meninggalkan Andika
begitu saja. Kakinya melangkah lebar-lebar, dengan
hentakan kuat. "Kang..., Kakang harus percaya padaku!"
Tanpa ada yang tahu, di salah satu ranting dahan
yang tidak besar, di luar pagar perguruan seseorang tengah
berdiri tanpa menimbulkan bunyi. Dari caranya berdiri,
jelas ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi. Dan
kalau melihat ciri-cirinya, orang itu adalah Begal Ireng yang
berjuluk si Pencabut Nyawa.
Memang, sejak dari kotapraja, tepatnya sejak Andika
memperlihatkan kemampuan ajaibnya yang mampu
menghabisi Ki Bayuganda, Begal Ireng terus mengawasi
Andika dengan sinar mata menerkam. Sebagai orang yang
pernah bertarung melawan Ki Panji Agung, Begal Ireng
melihat adanya kesamaan pada jurus-jurus yang diuraikan
Andika. Jelas, jurus-jurus itu milik Ki Panji Agung.
Sebetulnya, Begal Ireng tidak akan menemukan letak
Perguruan Trisula Kembar. Buktinya saat membuntuti
Andika yang berlari dengan kecepatan angin menuju
perguruan, tokoh golongan hitam itu terteter. Bahkan
akhirnya kehilangan jejak. Kemarahan besarnya ditumpahkan pada pepohonan hutan. Bagaimana dia tidak
murka, jika ilmu meringankan tubuhnya ternyata mampu
dipecundangi anak ingusan"
Soma yang pulang menggunakan pedati, kebetulan
melewati tempat Begal Ireng kehilangan jejak. Kembali
Begal Ireng menaruh harapan dapat menemukan Andika,
dengan mengikuti Soma. Akhirnya. dia memang berhasil.
Tampak bibirnya kini menyeringai puas. Tanpa
bersuara dia turun dari pohon.
"Tunggulah kau, Anak Keparat! Tidak akan pernah ada
keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan selama
aku masih ada...." dengus Begal Ireng.
Begitu banyak hal yang tidak dimengerti dalam hidup
Andika. Hal seperti itu yang terus bergeliat dalam benaknya
hari-hari belakangan ini. Setiap kali Ki Sanca
menemukannya, pasti sedang merenung dengan
pandangan kosong. Ki Sanca menyangka, perubahan yang
terjadi pada diri Andika akhir-akhir ini hanya masalah akil


Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baliknya yang mulai meraba arti cinta. Sebab, memang ada
desas-desus dari beberapa muridnya, mengenai sikap
Andika terhadap Ningrum. Makanya, dia hanya tersenyum
setiap kali memergoki anak tanggung itu berdiam diri
berlama-Iama. Padahal, pertanyaan-pertanyaan
tentang diri sendirilah yang lebih menguasai pikiran Andika. "Siapa
dirinya sebenarnya" Siapa orangtuanya" Kenapa dia harus
dibuang di pinggir hutan saat bayi" Lalu belakangan ini,
apa pula yang terjadi pada dirinya?"
Beberapa hari lalu Andika memang telah bermimpi
aneh. Mimpi yang mengusik tidurnya, sebelum peristiwa di
kotapraja terjadi. Dalam mimpinya, dia didatangi seorang
kakek berjenggot dan berambut putih. Keningnya
mengenakan ikat merah. Kewibawaan tampak terpancar
dalam wajah orang tua yang datang dalam mimpi itu.
Orang tua itu tersenyum pada Andika tanpa sepatah
kata. Tangannya mengangsurkan sesuatu yang bercahaya
menyilaukan. Dan tanpa sepatah kata pula, Andika
menerimanya. Setelah itu, Andika terbangun pada saat
matahari sudah naik sepenggalan.
Tanpa pernah diketahui Andika sendiri, bertepatan
dengan mimpinya, cahaya keperakan yang keluar dari
jasad Ki Panji Agung yang mati dibunuh Begal Ireng masuk
dalam tubuhnya.
"Andika..."
Tiba-tiba sebuah panggilan terdengar. Maka anak
muda yang termenung dengan wajah tanpa sinar gairah itu
tersentak. Begitu menoleh, ternyata Ki Sanca sudah ada di
depannya. "Ah, Guru.... Aku sampai kaget," kata Andika berusaha
bersikap wajar pada Ki Sanca. Dia segera bangkit.
"Sore ini kau tidak ada kerjaan, bukan?"
Andika mengangguk sopan.
"Bagus! Kalau begitu, kau harus menolongku?"
"Pasti, Guru. Apa yang bisa aku bantu, Ki?"
Ki Sanca tak langsung menjawab, tapi malah
mengangguk-angguk. Bibirnya menyembulkan senyum
kecil. "Tolong antarkan Ningrum ke pinggir hutan. Dia ingin
mencari beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran.
Persediaannya hampir habis," ujar Ki Sanca.
"Apa Guru percaya padaku, kalau aku mampu
menjaga Nini Ningrum" Bukankah ada yang lebih mampu
menjaganya, seperti Kang...," sergah Andika merasa
diri?nya dicomblangi.
"Sttt! Katanya kau mau menolongku. Kok, tiba-tiba
seperti menolak?" kata Ki Sanca.
Andika garuk-garuk kepala, meski tidak gatal.
Rasanya dia sudah terjebak.
"Baiklah, Guru...."
Kembali Ki Sanca tersenyum kecil.
"Ng.... Tunggu, Guru!" cegah Andika ketika Ki Sanca
hendak beranjak pergl
"Ada apa lagi?"
"Apa Kang Soma bercerita sesuatu pada Guru" tanya
Andika ragu-ragu.
'Bercerita tentang apa?"
Andika cepat-cepat menggelengkan kepala.
"Tidak apa-apa."."
Ki Sanca jadi ikut geleng-geleng kepala melihat
tingkah anak muda ini yang serba salah. Dia hendak
meneruskan langkah, namun....
"Guru...," lagi-lagi Andika mencegahnya.
"Ada apa lagi?" tanya Ki Sanca dengan alis mata
terangkat karena bingung.
"Boleh menanyakan sesuatu?"
"Pasti! Masa' aku tidak membolehkan muridku
bertanya," seloroh Ki Sanca.
"Guru tahu mengenai tafsir mimpi?"
"Sedikit-sedikit. Kenapa?"
Ki Sanca mendekati kembali Andika yang masih
berdiri. Sesaat orang tua itu menunggu, Andika belum juga
mengatakan sesuatu. Pemuda tanggung itu agak ragu
untuk menceritakan tentang mimpinya. Hatinya hanya
bimbang kalau-kalau mimpi itu tidak berhubungan sama
sekali dengan kejadian aneh pada dirinya. Atau paling tidak
mimpi itu sekadar kembang tidur.
"Ayo! Apa yang ingin kau tanyakan?" desak Ki Sanca.
Akhirnya Andika memutuskan untuk bercerita juga.
"Anu, Ki.... Aku bermimpi didatangi seorang tua
berjenggot putih, kepalanya mengenakan ikat kepala
merah. Wajahnya amat berwibawa dan teduh. Dia
memberiku sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Yang jelas,
sesuatu itu bercahaya kemilau keperakan. Apa artinya itu,
Guru?" Begitu selesai mendengarkan cerita Andika, wajah tua
Ki Sanca tiba-tiba saja seperti diselubungi sesuatu yang
sulit dijelaskan. Sepasang alis putihnya bertaut sedemikian
rupa, menunjukkan kalau pikirannya tengah diusik oleh hal
yang nampaknya sungguh-sungguh. Dan itu membuat
Andika jadi penasaran.
"Apa artinya itu, Guru?" ulang Andika dengan tekanan
pada kata-katanya.
Dan Andika melihat adanya keanehan ketika Ki Sanca
berusaha menghindar dari pertanyaan itu.
"Nah! Ningrum sudah datang.... Ayo, antarkan dia!"
kilah Ki Sanca untuk menghindar dari pertanyaan Andika. '
"Tapi, Guru...."
"Ayo! Jangan membantah gurumu, Anak Brengsek.
Ki Sanca memperlihatkan senyum pada Andika, tahu
kelihatan kalau dipaksakan. Tidak lagi lepas seperti
sebelumnya. Dan mau tidak mau, Andika pergi juga ketika Ningrum
sampai di tempat mereka berdiri. Kakinya kelihatan berat
dalam melangkah mengiringi Ningrum keluar dari
perguruan. *** Api membumbung ke angkasa menyebarkan asap
hitam pekat menyemarakkan langit. Si jago merah yang tak
kenal kata ampun itu kelihatan menggila, melalap apa Scja
yang di dekatnya. Asal kebakaran itu, tepat berada di bukit
yang menjadi letak Perguruan Trisula Kembar. Perguruan
yang tenang bagai perkampungan kecil di atas bukit itu
perlahan-lahan mulai musnah. Padahal, perguruan itu tak
pernah membuat persoalan dengan urusan dunia luar.
Bahkan perguruan itu tempat orang yang lari dari
kebrutalan rimba persilatan.
Di sana-sini bangkai manusia tercampak mengenas-
kan. Sebuah pembantaian besar-besaran telah terjadi.
Seluruh laki-laki tak tersisa. Juga, tak terhitung wanita yang
menemui ajal. Mereka dihabisi seperti binatang dengan
luka terkuak lebar di tubuh.
Beberapa wanita yang beruntung masih memilik
nyawa pun keadaannya sungguh menyedihkan. Dengan
luka tak ringan, mereka merangkak keluar dari kepungan
api. Tangisan anak kecil yang kehilangan orangtuanya
terdengar di beberapa tempat. "Guru...! Guru...!"
Andika yang baru saja tiba mengantar Ningrum jadi
terkesiap tak percaya. Tanpa mempedulikan Ningrum, dia
berlari sambil berteriak-teriak. Dilabraknya kepungan api
dengan satu kecepatan yang kini dimilikinya. Tubuhnya
bagai mengejang dironta kekuatan sakti yang tidak pernah
dimengerti. Beberapa balok kayu yang runtuh hendak
menimpa anak-anak dan perempuan yang masih hidup,
terpental seperti sebatang lidi terhajar lengan kurus
Andika. Lalu dengan kecepatan yang hanya dimiliki tokoh
persilatan golongan atas, diraihnya mereka satu demi satu,
dan dikeluarkannya dari kepungan api.
"Guru...! Kang Soma! Di mana kalian"!"
Setelah tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, Andika
mulai memeriksa seluruh mayat yang bergelimpangan.
Bagai kerasukan setan, dia mencari-cari Soma dan gurunya
di antara mayat-mayat yang sudah hangus menghitam.
Sebentar saja Soma ditemukan Andika dalam
keadaan benar-benar mengenaskan. Tubuhnya tercabik-
cabik di sana-sini. Tak jauh dari mayat Soma, Andika
menemukan tubuh Ki Sanca dalam keadaan sekarat.
Tangannya menggapai-gapai lemah ke arahnya. Tak beda
dengan keadaan Soma, orang tua itu pun tercabik
menggidikkan. Andika cepat menghampiri, dan menubruknya. Lalu, diambilnya kepala Ki Sanca, dan
disandarkan di bahunya.
"An... dika," panggil Ki Sanca, lirih.
"Guru.... Tenang, Guru.... Aku menyelamatkanmu,
Guru... kau harus selamat, Guru...," ucap Andika terbata.
Ki Sanca menggeleng perlahan sekali di pangkuan
Andika. "Aku tak tahan.... Aku tak akan hidup lebih lama,
Andika...."
"Jangan bicara seperti itu, Guru...."
Dari balik jubahnya, Ki Sanca mengeluarkan satu
kitab berukuran kecil, sebesar telapak tangan Orang
dewasa. Tangannya bergetar memberikan kitab itu pada
Andika. "Bacalah kitab ini...," ujar orang tua itu, lirih. "Kitab itu menceritakan
tentang keluarga Pendekar Lembah
Kutukan.... Aku pernah dititipkan kitab ini oleh salah
seorang pendekar dari keluarga itu. Tampaknya, dia begitu
yakin kalau aku dapat menyampaikan suatu saat pa...."
"Sudahlah, Guru. Jangan terlalu banyak bicara,"
sergah Andika. "Aku tidak peduli dengan kitab ini. Itu tidak
ada hubungannya denganku. Yang penting, kau harus
selamat, Guru...."
Ki Sanca hanya menggelengkan kepala. Bibirnya
mengembangkan senyum bersama darah di sisi-sisinya.
"Bacalah... itu milikmu, aaakh!"
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Ki Sanca
meregang nyawa. Tubuhnya mengejang, lalu diam tidak
bergerak lagi. Mati.
"Guru, Guru..., jangan mati! Siapa yang berbuat
sebiadab ini"! Guru...," teriak Andika, seakan kehilangan
orangtua sendiri. Pemuda itu hanya bisa terduduk lunglai.
Pipinya basah oleh air yang mengalir dari sepasang
matanya. 7 Sang Penguasa Jagat menurunkan cahaya.
Untuk tiga purnama tapa.
Pada hamba. Lalu hamba berdiri untuk berjanji
Angkara murka di wajah bumi
Mesti mati Ketika hamba terbujur mati
Cahaya itu hamba warisi
Pada setiap babak keturunan keluarga hamba.
Satu menjadi pewaris cahaya.
Alis mata Andika bertaut saat membaca bait syair
pada kitab yang hanya memiliki dua halaman terbuat dari
kayu setebal jarinya.
"Apa maknanya ini?" tanya Andika, bergumam sendiri.
Lalu dibacanya halaman kedua.
Sang Pewaris datangi Lembah Kutukan.
Jalani penyempurnaan.
Alam selaku guru.
Untuk satu ilmi. baru.
Sementara tanpa para 'Penjaga Pintu'
berkipas naga. Sang Pewaris tak pernah tahu ke mana.
"Apa pula makna bait satu ini?"
Andika bingung. Kepalanya digaruk-garuk, seakan
dengan begitu bisa membuka pikirannya sehingga dapat
memecahkan maksud syair yang baru saja dibaca. "Apa
mungkin Ki Sanca salah alamat dengan memberikan kitab
kayu itu padaku?"
Setelah peristiwa pembumi hangusan Perguruan
Trisula Kembar, Andika bersama Ningrum berjalan tanpa
tujuan pasti. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk
pergi ke kotapraja. Di sana, mungkin mereka bisa hekerja
sebagai pelayan kedai makan, atau menjadi buruh harian.
Pokoknya, asal bisa makan untuk menyam-bung hidup.
Penampilan Andika sengaja dibuat berbeda dari
sebelumnya. Secara sadar, dia dapat mencium maksud
pembantaian Perguruan Trisula Kembar yang dilakukan
orang biadab. Meski belum tahu siapa yang telah
melakukannya, namun diyakini kalau orang-orang biadab
itu sebenarnya mengincar dirinya. Barangkali, ada
hubungannya dengan peristiwa di kotapraja lalu. Makanya,
dia kini mengenakan caping agar wajahnya tidak mudah
dikenali. Pakaiannya pun diganti. Baju-baju milik Ki Sanca
yang tersisa dalam kebakaran, dibuntal dalam kain putih
agar bisa dikenakan. Kini, penampilannya bagai seorang
pendekar. Jubahnya hitam-hitam dengan trisula kembar
milik Ki Sanca terselip di pinggang.
Di sebuah kandang kuda tak terpakai di sudut
kotapraja, Andika membaca berkali-kali kitab kayu itu.
Diperhatikannya baris demi baris syair di dalamnya.
Dan tiba-tiba, tersembul di benaknya pertanyaan yang
mula-mula harus dijawab. "Kenapa Ki Sanca beranggapan
kalau diriku adalah orang yang berhak menerima kitab tua
itu?" sesaat dia berpikir. Otakny ayang memang tajam,
cepat menemukan jawabannya.
"Mimpi itu!" pekik Andika, bagai bocah kecil yang


Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat mainan.
Bukankah beberapa saat
sebelum peristiwa
pembantaian itu, Andika menceritakan tentang mimpinya
kepada Ki Sanca" Maka dengan terburu-buru dibukanya
halaman kayu pertama, dan dibacanya dengan seksama.
Pada syair itu, disebutkan tentang 'cahaya'. Maka ingatan
Andika langsung menerawang pada mimpi yang dialami.
Namun mimpinya pun kelihatan seperti ada cahaya. Lalu,
diperhatikannya satu baris lain.
"Cahaya itu hamba warisi!" gumam Andika, membaca
syair itu. Lagi-lagi pemuda tanggung itu membayangkan
mimpinya, tentang seorang tua yang memberinya cahaya
berkilau. "Apakah pemberian cahaya berkilau keperakan
itu bermakna mewariskan?"
"Kalau begitu, aku adalah salah seorang pewaris
'cahaya?"! Dan itu, berarti aku adalah salah satu ke
turunan dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan..., desah
Andika. Andika menyipitkan mata. Rasanya sulit hal itu di
percayainya. Tapi bagaimana dengan kejadian aneh yang dialami
Andika" Tentang kekuatan dahsyat itu" Tentang kecepatan
kilat larinya" Sedangkan pada syair jelas-jelas disebutkan
kalau para tokoh sakti keluarga Pendekar Lembah Kutukan
mendapatkan 'cahaya' melalui tapa untuk membasmi
keangkara murkaan. Itu berarti 'cahaya* yang disebutkan
dalam syairnya adalah sebuah kesaktian yang luar biasa.
Persis seperti kesaktian yang tiba-tiba saja dimilikinya!
"Jadi, aku adalah keturunan keluarga Pendekar
Lembah Kutukan yang kehebatannya sudah seperti do-
ngeng" Apa ini bukan mimpi?" desah Andika.
"Andika...."
Dari luar kandang kuda, Ningrum datang tergopoh
raengejutkan Andika. Cepat-cepat Andika menyembunyikan
kitab kayu di tangannya ke balik pakaian. Dia merasa,
kerahasiaan kitab kayu itu harus dijaga. Bahkan kepada
Ningrum sekalipun.
"Ada apa, Nini?" tanya Andika, seraya menatap gadis
cantik itu. Gadis ayu yang baru pulang dari kedai makan tem
patnya kini bekerja sebagai pelayan, cepat menghampiri
Andika. "Di kedai tadi, kudengar tiga orang berwajah seram
raenyebut-nyebut soal Perguruan Trisula Kembar...," bisik
Ningrum. Andika segera berdiri, ingin memperhatikan sungguh-
sungguh berita yang dibawa Ningrum selanjutnya.
"Apa kata mereka?" tanya Andika, amat penasaran.
Api kemarahan dalam dada Andika atas peristiwa
pembantaian perguruan yang sudah seperti keluarganya
sendiri, berkobar kembali. Lebih-lebih, ketika ingatannya
kembali pada gambaran tubuh Soma dan Ki Sanca yang
mengenaskan. Andika telah bersumpah untuk mencari
orang-orang biadab yang melakukannya. Bahkan menuntut
pembayaran atas perbuatan keji mereka
"Kudengar, merekalah yang melakukan pembantaian
itu. Dan kalau tidak salah dengar, pembantaian itu
dilakukan sebenarnya dengan maksud mencari seorang
anak muda tanggung. Apa mungkin kau yang dicari?"
"Jahanam! Mereka mungkin kawan-kawan si Jari Iblis
yang ingin menuntut balas padaku...," desis Andika. disertai
gejolak kegeraman.
"Apa katamu, Andika?" tanya Ningrum ingin tahu,
Andika menggelengkan kepala menyadari kelan
cangan mulutnya, dengan mengungkap kejadian yang
mestinya tetap dirahasiakan.
"Tidak..., tidak apa-apa, Nini...," kilah Andika.
Sementara, Ningrum menatap cemas pada pemuda
tanggung ini. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi
tak ingin diungkapkannya.
"Apa mereka masih di sana?" tanya Andika kembali.
"Sewaktu aku ke sini, mereka pergi menuju timur...,"
jelas Ningrum. "Apa Nini kenal mereka?"
Ningrum menggeleng.
"Ciri-cirinya?"
Ningrum pun menguraikan ciri-ciri ketiga orang
bertampang bengis itu. Mereka memang Begal Ireng yang
berjuluk si Pencabut Nyawa dan dua orang Tiongkok yang
membantunya. Siapa lagi kalau bukan si Kembar dari
Tiongkok! *** Ketika malam telah merayap. Dan ketika Andika
terlelap. Orang tua berikat kepala merah itu datang lagi
dalam mimpi Andika malam ini. Kalau saja anak muda
tanggung ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Panji
Agung yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung
mengenali gambaran seseorangyang muncul dalam
mimpinya. Dengan senyum berwibawa, Ki Panji Agung dalam
mimpi itu membelai-belai rambut Andika.
"Pergilah kau ke Lembah Pandam. Temui wanita
Penjaga Pintu' di sana, pada malam purnama..." ujar Ki
Panji Agung, lembut.
Begitu kata-kata itu selesai, Andika terjaga dengan
peluh membasahi sekujur wajah. Tidak ada yang
menakutkan dalam mimpi itu. Tapi entah kenapa,
jantungnya berdetak keras dan napasnya memburu
kencang. Barangkali mimpi itu semacam satu kekuatan
gaib yang menelusup dalam rongga jiwanya.
Sambil menyapu keringat di kening, Andika mengingat
kembali pesan orang tua dalam mimpinya. Lembah
Pandam" 'Penjaga Pintu'! Begitu cepat ingatannya kembali
pada syair di halaman kedua kitab kayu pemberian Ki
Sanca. Sepertinya ada kesamaan antara pesan itu dengan
salah satu baris syairnya.
Cepat diambilnya kitab dalam buntalan yang tadi
dijadikan bantal. Sebelum kitab itu benar-benar
dikeluarkannya, diliriknya Ningrum yang tertidur tak jauh di
sebelahnya. Wanita itu masih terpulas, jadi cukup aman
untuk membukanya tanpa terusik kerahasiaannya.
Dibukanya kitab itu hati-hati tanpa menimbulkan
bunyi. Di ringi beberapa tarikan napas, ditelitinya bari demi
baris sampai akhirnya menemukan baris yang dicari. Benar
saja! Ada kata-kata 'Penjaga Pintu'di sana, Dan ini berarti
sama dengan ucapan orang tua dalam mimpinya tadi.
"Lalu, untuk apa menemuinya?" hati Andika bertanya-
tanya. Sebelum Andika bisa berpikir, kantuk menyergapnya
kembali. Segera tubuhnya direbahkan, dan sebentar saja
terdengar tarikan napasnya yang halus.
Matahari beranjak sepenggalan. Sinarnya menyapu
wajah tirus Andika, sehingga membuatnya terbangun.
"Pagi, Andika," sapa Ningrum.
Rupanya gadis itu telah bangun lebih awal. Di luar
kandang kuda tua yang kini jadi tempat berteduh
sementara mereka, Ningrum membuat perapian untuk me-
masak air. Andika buru-buru bangkit. Hatinya agak malu juga
bangun lebih siang dari pada Ningrum. Dengan meng
garuk-garuk rambutnya yang sebahu tak teratur, Andika
berusaha tersenyum.
"Pagi, Nini. Maafkan, aku bangun terlambat. Mestinya
aku yang mencari kayu-kayu kering untuk perapian itu,"
sahut Andika. "Hm... kalau begitu, biarlah aku yang
mengambil air saja."
Ningrum hanya tersenyum.
Andika siap akan melangkah, setelah mengambil
ember kayu yang tak jauh dari situ.
"O, ya Andika...," sahut Ningrum, menahan langkah
Andika menuju mata air yang tak jauh dari sana. "Tolong
jangan panggil aku dengan sebutan nini. Cukup Ningrum
saja. Kalau terus-terusan begitu, aku jadi jengah."
Andika mengangkat alis dan bahunya berbarengan.
Rasanya, dia memang tak perlu membantah permintaan
Ningrum. Masalahnya, pemuda tanggung itu sendiri sudah
lama ingin memanggil gadis ayu yang selalu me-buatnya
berdebar-debar ini.
"Ningrum...," ucap Andika, tanpa maksud apa-apa.
Bisa jadi dia sedang melatih lidahnya agar nanti tak keluar
lagi sebutan nini.
"Kau mau diam di situ terus, apa mau ke mata air?"
usik Ningrum mendapatkan Andika masih saja menatapnya
terpaku ke arahnya.
"Oh, iya...."
Andika menepuk keningnya keras-keras menyadari
upa yang barusan dilakukannya tanpa sadar. Dan Ningrum
hanya menggelengkan kepala. Bibirnya memperlihatkan
senyum yang demikian mempesona, secerah pagi ini
Tak begitu lama Andika mengambil air. Karena, selain
tempatnya tidak terlalu jauh, Andika juga sedang menjajal
ilmu lari cepatnya yang didapat tanpa diketahuinya. Tak
heran kalau dia sudah kembali lagi di hadapan Ningrum.
Andika kini duduk bersila di pinggir perapian bersama
Ningrum. Teh hangat dalam mangkuk tempurung kelapa di
tangannya sesekali diseruput.
"Ng..., Ningrum. Apa kau tahu letak Lembah Pandam?"
tanya Andika. "Lembah Pandam?" ulang Ningrum ingin meyakinkan
apa yang didengarnya dari mulut Andika.
"Iya, Lembah Pandam. Kenapa, Ningrum?" tanya
Andika, nggak berani melihat perubahan pada wajah gadis
itu. Ningrum segera menyembunyikan raut heran di
wajahnya. "Tidak apa-apa," kilah Ningrum, menghindar. Di
aduknya teh yang mendidih di kuali yang biasa digunakan
untuk menggodok ramuan, sekadar mengalihkan perhatian
pemuda tanggung itu.
Andika yang sudah telanjur melihat perubahan sekilas
pada wajah Ningrum, jadi bertanya-tanya. "Ada apa dengan
lembah itu, sehingga Ningrum bersikap seakan
menyembunyikan sesuatu?"
"Ada apa dengan lembah itu, Ningrum" Apa tempat itu
amat berbahaya?" selidik Andika.
"Tidak apa-aja. Aku hanya biasa ke lembah itu untuk
mencari damar sebagai campuran ramuanku...," desah
Ningrum, berkilah.
"Ooo." Andika mengangguk-angguk.
"Kau sendiri ada kepentingan apa menanyakan
tempat itu?" Ningrum balik bertanya tanpa diduga Andika
sama sekali. "Anu...." Anak muda tanggung itu gelagapan. "Ng....
Aku hanya..., ya hanya ingin melihat bulan purnama."
Ningrum menatapnya heran. Hatinya seperti tidak
puas dengan jawaban Andika yang tampak main-main.
"Sungguh! Apa kau tak tahu kalau di sana bulan
purnama bersinar begitu jelas dan sangat indah," ujar
Andika memberi alasan.
"Bagaimana kau tahu kalau di sana bulan purnama
tampak lebih indah, sedangkan letak lembah itu kau masih
tanya padaku?" desak Ningrum.
Andika jadi mati kutu. Kalaupun diteruskannya
menjawab pertanyaan Ningrum, bisa-bisa akhirnya rahasia
miliknya terbuka.
"Sialan! Aku kira hanya otakku saja yang encer!"
gerutu pemuda tanggung itu dalam hati.
Andika jadi tersipu malu, sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, untuk mengangkat
wajahnya berat sekali.
"Oh, ya. Hari tampaknya sudah cukup siang. Apa kau
nanti tidak terlambat masuk kerja di kedai itu?" kata
Andika, mengalihkan pembicaraan. Matanya langsung
disipitkan, melihat ke arah matahariyang semakin naik.
"Astaga.... Kenapa aku jadi keenakan bicara
denganmu...," tukas Ningrum seraya bergegas bangkit.
"Selamat..., selamat...," kata Andika dalam hati.
Tak lama kemudian Ningrum keluar dari kandang
kuda itu, lalu berangkat ke kedai tempat kerjanya.
*** Letak Lembah Pandam berjarak satu hari berjalan
kakidari kotapraja. Dan tepat pada saat bulan beranjak
perlahan di cakrawala tak berawan, Andika dan Ningrum
tiba di sana. Andika sebetulnya berharap sekali dapat pergi sendiri
ke tempat ini dengan arah petunjuk yang diberikan
Ningrum. Namun, dia tak sampai hati meninggalkan
sendirian perempuan seayu Ningrum. Apalagi, di kota praja
yang segala kejahatan bisa saja terjadi. Dan setahu Andika,
Ningrum selama di Perguruan Trisula Kembar hanya
seorang tabib muda yang kebetulan menetap di perguruan
itu. Bagaimana Andika dapat menemui wanita 'Penjaga
Pintu' seperti yang dikatakan orang tua dalam mimpinya,
itu urusan nanti. Yang penting, akan dicarinya alasan tepat,
jika nanti Ningrum bertanya. Kalau perlu, dia akan
mengarang cerita yang bisa dipercaya Ningru agar rahasia
tentang dirinya tidak bocor.
Ini bukan berarti Andika tidak mempercayai Ningrum.
Yang jelas, dia hanya sekadar menjaga agar dirirry sebagai
keturunan Pendekar Lembah Kutukan dapat tetap terjaga
kerahasiaannya, sampai semua pesan yang terkandung
dalam syair di kitab kayu itu dapat dilaksanakan.
Lembah Pandam begitu sunyi, hanya di si paduan
nyanyian jangkrik. Tempat ini hanya berupa dataran
berumput luas yang diapit kaki gunung, sehingga bulan
purnama nampak berada dalam mangkuk raksasa bila
dilihat dari lembah itu. Sungguh menawan! Berarti, tak


Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah dugaan Andika.
Di belakang segerombol semak lebat yang banyak
tumbuh di sana, Andika dan Ningrum duduk dalam
temaram sinar bulan. Angin malam menyapu wajah-wajah
mereka. Bagi Andika, itu berarti pengintaian ter-sembunyi.
Bagaimana bagi Ningrum"
"Jadi kau ke sini jauh-jauh hanya untuk duduk perti
ini?" tanya Ningrum, kebingungan.
"Apa aku tidak boleh menikmati keindahan purnama
bersamamu seperti sekarang?" balas Andika dengan mata
tetap mengawasi dataran di depannya.
"Kenapa harus di semak-semak seperti ini" Kita kan
bisa duduk di dataran rumput itu, dan membuat api
unggun...," ujar Ningrum. Wajah mempesonanya tampak
bersemu merah tanpa diketahui Andika.
"Tapi aku kan tidak bermaksud yang bukan-bukan.
Jangan berpikiran ngaco!" sergah Andika sambil melirik
Ningrum di sampingnya. "Kau mau percaya atau tidak, aku
ini pemuda baik-baik."
Ningrum tertawa kecil mendengar itu.
"Ssst... ssst!" cegah Andika. "Kenapa jadi tertawa" Apa
tadi ada yang lucu?"
"Bagaimana tidak lucu. Kau tadi mengatakan, ingin
menikmati purnama. Tapi, kenapa malah duduk melingkar
di semak dengan wajah tegang seperti itu...," kata Ningrum,
sambil tersenyum manis.
Andika melirik Ningrum dengan alis tertaut.
"Jadi, maumu apa" Apa aku harus merangkulmu agar
suasana lebih nikmat?" seloroh Andika, ceplas-ceplos.
Mata Ningrum kontan membesar, mangkel campur
malu. "Kau mulai kurang ajar padaku" Aku kan lebih tua
darimu!" sindir Ningrum.
"Biar kau lebih tua, tapi aku toh tetap laki-laki," kata
Andika lagi, makin membuat wajah wanita muda itu
memerah tak karuan.
"Kau makin ngaco!" hardik gadis itu seraya bangkit.
Andika diam saja dan tetap tidak bergeming
memandang ke depan. Ketika Ningrum berjalan keluar dari
semak, baru anak muda tanggung itu menoleh.
"Mau ke mana kau?" tanya Andika setengah ber-bisik.
"Aku akan mencari damar!" jawab Ningrum ketus,
Baru kali inilah wanita muda yang anggun itu bersikap agak
judes. "Persediaan damarku habis!"
"Jangan! Nanti ada apa-apa! Tetap di sini saja!
"Menunggumu yang tegang memperhatikan dataran
rumput" Ooo..., terima kasih banyak, Tuan Muda...,' ledek
Ningrum, lalu melangkah. "Lagi pula kau tidak perlu
khawatir. Aku cukup kenal baik dengan daerah ini Jauh
lebih baik ketimbang dirimu...."
"Huh, perempuan!" maki Andika, menggerutu.
Lama Andika meringkuk dalam semak seperti setan
bodoh kesasar. Bahkan ketika malam makin tua pun,
belum tampak ada tanda-tanda seorang perempuan yang
lewat di padang rumput yang terhampar di depannya.
"Sialan...," gerutu pemuda tanggung itu sambi
menggaruk kepala. "Apa aku sudah dikibuli mimpi sendiri?"
Hati Andika makin resah, ketika Ningrum belum juga
kembali. Dia memang sudah terlalu lama pergi, tapi belum
juga kembali. Biarpun gadis itu sempat membuatnya kesal
tadi, toh Andika tidak akan mampu menguasai perasaan
yang dirasanya sebagai cinta itu. Dan perasaan khawatir
saat itu pula menguasainya.
"Ke mana dia" Jangan-jangan...," gumam Andika.
Kekhawatiran Andika jadi benar-benar beralasan,
ketika.... "Hiaaat!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita yang
memecah malam sepi. Teriakan itu seperti dekat saja. Tapi
dari sebelah mana" Suara itu memantul kian kemari,
sehingga sulit ditentukan asalnya. Tubuh Andika menegang
menyadari keadaan yang genting itu. Pendengarannya
segera dipusatkan agar dapat cepat menentukan asal
suara tadi. "Haaap!"
Terdengar lagi teriakan seorang wanita. Setelah
memperhatikan dengan seksama, Andika merasa tidak
mengenali suara itu. Itu bukan suara Ningrum. Lantas,
siapa" Yakin kalau suara itu berasal dari sebelah timur,
barulah Andika bergerak. Sekali lagi, dijajalnya
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
secara aneh itu. Nyatanya, ilmu itu tetap ada dalam
tubuhnya. Maka tubuhnya pun melesat bagai tak memiliki
berat. Dia melenting-lenting di antara bebatuan gunung
seringan kumbang.
Begitu tiba di tempat kejadian, Andika melihat dua
orang perempuan tengah bertempur sengit. Salah seorang
menggenggam pedang besar melebihi ukuran tangannya.
Namun kemampuan tenaga dalamnya tampak tangguh.
Kelihatan ringan saja dia menggerak-gerakkan pedang
besar itu kian kemari. Rambut wanita berusia sekitar dua
puluh sembilan tahun itu berkepang kuda. Dalam
gerakannya yang cepat, Andika masih sempat melihat
kecantikannya yang disinari bulan. Dan rasanya, wajah
wanita itu cukup dikenalnya. Di ngat-ingatnya di mana
pernah bertemu. Tak salah lagi! Di kota Praja, saat ada
panggung pertandingan beberapa waktu lalu!
Dan yang seorang lagi.... Andika mengerjap-ngerjap
mata, tak mempercayai apa yang dilihatnya. Tampak
Ningrum dengan gerakan luar biasa menandingi serangan-
serangan wanita. Padahal, Ningrum hanya menggunakan
sebatang ranting pohon. Namun begitu, terlihat kekuatan
tenaga dalamnya, ranting sebesar kelingking itu mampu
dibuatnya menjadi senjata ampuh menandingi pedang
milik lawannya.
Andika yang masih di atas sebuah batu besar
menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya kesal bercampur
kagum. Kesal karena merasa telah dikibuli Ningrum
selama ini. Kagum karena ternyata perempuan selembut
itu memiliki ilmu kedigdayaan yang tidak main-main.
"Berhenti!" teriak Andika dengan pengerahan tenaga
dalam yang keluar begitu saja.
Dua wanita yang sedang menjajal jurus masing-
masing terhentak. Dan seketika mereka menghentikan
gerakan, dan sama-sama menoleh ke arah Andika.
Pada kesempatan itulah, Andika yang tak berada jauh
dari mereka bergerak mengagumkan. Luncuran tubuhnya
demikian cepat, dan sulit di kuti mata biasa ke arah
mereka. Dan sebelum ada yang menyadari, Andika cepat
menggerakkan tangannya. Lalu....
Tep tep teppp...!
Pedang dan ranting kayu di tangan kedua wanita itu
kini sudah berpindah tangan, setelah tersambar tangan
Andika. "Ada apa ini" Kenapa kalian berkelahi seperti
perempuan binal yang memperebutkan lelaki?" kata
Andika terdengar kurang ajar di telinga kedua wanita itu.
Kedua wanita itu sama-sama memelototi Andika.
Perempuan berkepang itu memelototi, karena dirinya
merasa terhina oleh perkataan Andika barusan.
Semen?tara Ningrum melotot, karena tidak mempercayai
kalau yang baru saja bergerak seperti angin itu adalah
Andika, pemuda tanggung menawan namun bodoh dalam
ilmu kedigdayaan.
"Andika?" sebut gadis itu, tak percaya.
Andika memperlihatkan senyumnya yang memikat,
namun juga seringkali menjengkelkan.
"Kau kira siapa, Sayang?" sambut Andika, nakal
menggoda. "Sekarang, ceritakan kenapa kalian berkelahi?"
"Kembalikan dulu pedangku!" bentak wanita
berambut berkepang dengan wajah berang.
"Kita buat perjanjian saja. Kau ceritakan masalahmu
dengan ng..., kekasihku ini...," ujar Andika tenang seraya
menunjuk Ningrum.
Lagi-lagi Ningrum mendelik, mendengar perkataan
Andika yang seenak dengkul.
"Setelah kau menceritakan itu, barulah pedang ini
akan kuberikan," sambung Andika.
"Kau pikir, kau siapa, hah"!"
"Kupikir aku bukan siapa-siapa. Tapi yang jelas, aku
sekarang sedang memegang pedangmu." Diperhatikannya
pedang besar berkepala naga pada gagangnya.
"Nampaknya, ini sangat berarti bagimu. Bukan begitu.'
Kalau tak cerita, tak kau dapat benda kunomu ini..."
"Kenapa tak kau tanya kekasihmu?"
"Ya, kenapa" Karena aku menanyakanmu", jawab
Andika benar-benar menyebalkan.
"Anak keparat! Kau tidak mengenal aku adalah Naga
Wanita, orang kepercanyaan prabu!" maki wanita itu penuh
amarah. "Ampunkan hamba jika tidak tahu siapa dirimu,"
seloroh Andika lagi amat meremehkan.
Wanita cantik berambut kepang dua itu memperlihatkan sinar keheranan di wajah halusnnya.
Hampir semua tokoh rimba persilatan mengenalnya. Dan
sebagian malah yang ada langsung ciut nyalinya
mendengar julukannya. Tapi anak ingusan yaflg baru besar
itu" "Andika. Biar aku saja yang menjelaskanya...." Sela
Ningrum. Dia tidak mau hal itu menjadi terlalu berlarut
larut. "Kalau begitu, ya terserahmu...."
Dengan acuh tak acuh, Andika melemparkan pedang
wanita berambut kepang dua yang mengaku berjuluk Naga
Wanita itu. Dan pedang itu jatuh tepat di dekat kakinya.
Sementara, Ningrum mulai menjelaskan duduk per-
masalahannya. Bagus Sajiwo 12 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Rumah Judi Pancing Perak 1
^