Pencarian

Malaikat Bukit Pasir 2

Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Bagian 2


membunuh kedua manusia keparat itu!"
Andika cuma menggelengkan kepalanya. Membiarkan
gadis itu memaki-maki tak karuan. Ia sendiri mencoba
mencari orang yang telah menolongnya tadi. Tetapi tetap
tak nampak di depan matanya. Lalu ia kembali lagi ke
tempat semula, di mana Imas sedang berusaha
membebaskan dirinya dari totokan Andika, namun tak
mampu dilakukannya.
"Siapa pun dia, kita patut berterima kasih," kata Andika
pelan sambil mengalirkan hawa murninya akibat bentrokan
yang terjadi berkali-kali. "Imas... aku akan membebaskan
totokanmu bila kau berjanji tidak akan membunuh lawan
yang sudah tak berdaya."
Imas masih menolak permintaan Andika. "Seorang
pendekar tak patut melakukan tindakan yang keji," ujar
Andika pula. "Lepaskan totokanmu! Akan kubunuh manusia itu!"
Andika menggeleng. "Lepaskan!"
"Bila kau berjanji untuk tidak melakukan tindakan keji
itu, aku akan melakukannya. Kau lihat sendiri, keduanya
sudah tak mampu berbuat apa-apa. Dengan luka yang
mereka derita, secara tidak langsung ilmu yang mereka
miliki sudah lumpuh!"
Gadis jelita itu mengeluarkan suara menggembor.
"Brengsek! Lepaskan aku! Akan kubiarkan manusia itu
hidup!" Andika tersenyum. "Aku menyukaimu bila kau
menepati janjimu," katanya lalu menggerakkan tangannya.
Tuk! Tubuh Imas terjingkat sebentar. Namun di detik lain,
tubuhnya sudah menderu ke arah Praba Gering yang masih
terduduk sambil menahan rasa sakit dengan teriakan
keras, "Mampuslah kau!"
"Imas, jangan!" seru Andika dan mengempos tubuhnya
untuk menahan serangan Imas. Tetapi, Imas yang sudah
memperhitungkan kalau serangannya akan dihalangi oleh
Andika, mengibaskan pedangnya.
Wuuutt! Andika merunduk. Dan dengan kecepatan yang luar
biasa, hulu pedang di tangan gadis itu menghantam dada
Andika. Des! Tubuh pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu terhuyung. Andika mendengus, benar-benar
menjengkelkan gadis ini. Tiba-tiba ia memiliki satu pikiran
yang jitu untuk menahan kejengkelan Imas.
Tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Lalu ambruk dengan
mengeluarkan suara pelan, "Imas...."
Imas yang siap menghujamkan pedangnya ke Praba
Gering, menoleh ke arah Andika yang mendadak saja
ambruk. Ia urung melakukan niatnya pada lelaki berparas
dewa yang tak mampu lagi untuk berdiri.
"Andikaaa!" serunya memburu. Galau bercampur
kecemasan menjadi satu. Diperiksanya tubuh Pendekar
Slebor dengan perasaan tak menentu. Detak jantung
Pendekar Slebor sangat lemah. Tubuhnya pun terasa
panas. Imas menoleh pada Praba Gering dan Mantari,
"Kalian seharusnya beruntung karena secara tidak
langsung diselamatkan oleh orang yang hendak kalian
bunuh. Pergi dari sini dan jangan bertemu denganku lagi!"
Sambil membopong tubuh Pendekar Slebor, Imas pun
berkelebat tinggalkan tempat itu.
*** 6 Malam mulai merambat perlahan. Imas masih tepekur
di sisi tubuh Pendekar Slebor yang terbujur. Sejak tadi
Andika memang berusaha untuk tetap berlagak pingsan.
Dan apa yang dialaminya kemudian sungguh mengejutkan.
Pikirnya, Imas akan segera meninggalkannya begitu saja,
namun pada kenyataannya ia berusaha keras untuk
menolongnya. Sesaat Andika ingin membuka sandiwaranya, tetapi ia
justru khawatir kalau gadis itu akan mengamuk karena
merasa dipermainkan. Menghadapi gadis semacam ini,
sebenarnya telah sering diterima Andika. Hanya saja,
terkadang ia suka kebingungan untuk menghadapinya.
Sebenarnya, saat ini Imas entah mengapa merasa
trenyuh melihat keadaan Andika. Terutama akan
kebijaksanaan hatinya yang mengampuni lawan yang
sudah tak berdaya.
Sedikit banyaknya, bila mengingat hal itu, Imas
menjadi tidak enak Saat ini pikirannya memang sedang
galau. Nasib gurunya belum ia ketahui.
Ia membawa Andika ke sebuah lembah yang penuh
bukit. Rasa khawatir semakin menderanya, semakin
membuat perasaannya tak menentu melihat keadaan
Andika yang menurutnya sangat berbahaya bagi
keselamatan pemuda tampan berbaju hijau pupus itu.
Dikerahkannya seluruh tenaga dalam dan hawa murninya
untuk menyadarkan Andika, paling tidak menghilangkan
hawa panas yang bagaikan bara. Seluruh ilmu pengobatan
yang dipelajarinya dari Malaikat Bukit Pasir dipergunakan
untuk mengobati luka-luka Andika.
Padahal saat ini, dalam berpura-pura pingsan, Andika
tengah mengeluarkan tenaga 'inti petir' yang dipadukan
dengan tenaga dalamnya untuk mengusir luka dalam yang
dideritanya. Karena itulah saat Imas memegangnya terasa
panas. Dan rasa panas itu akan terus terjadi sebelum
Andika hentikan mengalirkan tenaga 'inti petir'nya.
Justru gadis itu yang menjadi cemas.
"Oh, Tuhan... apa yang harus kulakukan lagi untuk
menyelamatkannya?" desisnya dengan tubuh penuh
keringat, karena ia telah mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menyadarkan Andika. Padahal saat itu udara malam
begitu dingin sekali hingga ke tulang.
Dirabanya sekali lagi tubuh Andika, bertambah panas
tak ubahnya ia memegang bara belaka. Gadis itu berlari
mencari mata air. Tak dihiraukannya lagi keadaan dirinya.
Dibukanya pakaian luarnya hingga kini ia hanya
mengenakan pakaian dalam. Dengan pakaian yang telah ia
basahi, dibalurinya ke sekujur tubuh Andika.
Saat itulah Andika tersentak ketika diam-diam ia
membuka mata dan melihat Imas hanya mengenakan
pakaian dalamnya saja, dan pakaian luarnya dibalut ke
tubuhnya. Sesaat perasaan tak menentu hinggap di hati
Andika. Sementara itu, ia sudah menghentikan
mengalirkan tenaga 'inti petir'-nya untuk mengobati luka
dalamnya, sehingga tak lagi dirasakan panas ketika Imas
meraba tubuhnya.
Didengarnya helaan napas lega dari Imas. Justru
pcrasaan Andika semakin bertambah tak karuan.
"Kutu koreng! Kenapa jadi begini?" desisnya dalam
hati. "Padahal maksudku berpura-pura pingsan agar Imas
tidak menurunkan tangan telengas pada kedua lawan tadi.
Mereka dalam keadaan tak berdaya, tak seharusnya
dihabisi. Bila dalam satu pertarungan jujur, memang tak
ada pilihan lain. Tetapi aku yakin, sikap marah gadis itu
karena ia sedang kesal. Terutama, kusadari kalau ia
tengah mencemaskan gurunya. Ah, ke mana laki-laki buta
itu sebenarnya?"
Lalu ia merasakan Imas merebahkan tubuhnya di
sisinya. Dada Andika menjadi berdebar hebat dengan
wajah memanas. Di sebelahnya tengah terbaring seorang
dara jelita, hanya mengenakan pakaian dalam belaka!
Ditahannya sesuatu yang mengisi hatinya.
"Busyet! Benar-benar kacau! Kekeras kepalaannya
gadis ini sebenarnya karena ia tengah galau memikirkan
nasib gurunya. Padahal ia memiliki hati yang baik. Terbukti,
ia masih berada di sisiku yang menyangka aku pingsan."
Ditunggunya beberapa saat sebelum kemudian ia
melepaskan pakaian luar Imas yang menyelimuti tubuhnya,
lalu diselimutinya tubuh Imas. Saat ia merebahkan
tubuhnya kembali, Andika jadi semakin galau saja.
Perasaan aneh di batinnya menjalar, ditahannya sekuat
tenaga. Dan karena tak ingin melihat tubuh Imas, Andika pun
memejamkan matanya pula. Tetapi, disebabkan rasa
lelahnya, ia pun akhirnya lerlelap.
*** Pagi sudah membentang sejak lima jam yang lalu.
Matahari sudah lebih dari sepenggalah. Burung-burung
beterbangan bercicitan.
Andika terbangun ketika sehelai daun menerpa
wajahnya. Yang pertama kali di ngat adalah Imas. Dengan
cepat, Andika bangkit. Tetapi hanya sesaat ia bisa
melakukannya, karena setelah itu ia rebah kembali.
Dilihatnya gadis itu tidur hanya mengenakan pakaian
dalam saja. Kalau semalam tak begitu kentara, sekarang
nyata sekali bentuk tubuhnya. Karena, selain saat ini
matahari sudah.muncul juga pakaian luar itu sudah tak
pada posisi di mana Andika meletakkannya semalam.
"Busyet! Kacau juga nih!" desisnya sambil menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Lalu dengan wajah memerah, Andika mengambil
pakaian itu, dan menyelimuti tubuh Imas kembali. Tetapi
perbuatannya justru membangunkan Imas dari tidurnya.
"Oh! Mau apa kau?" bentaknya pertama kali sambil
mendekap tubuhnya sendiri. Matanya bagai tertarik ke
dalam, tak ubahnya mata kelinci yang kelimpungan karena
kepungan beberapa ekor serigala.
Andika gelagapan dengan wajah memerah. "Aku hanya
ingin menyelimutimu saja, Imas." Imas langsung berdiri dan
menyambar pakaiannya, berlari ke satu tempat.
"Imas!"
"Ceriwis! Kau mempergunakan kesempatan untuk
melihati tubuhku rupanya!" seru gadis itu di balik semak.
Malunya tidak ketolongan lagi. Konyol kenapa ia masih
tertidur tadi" Astaga, apa yang sebelumnya dilakukan oleh
Andika tadi" Bagai disengat kalajengking ia meraba
tubuhnya sendiri dan diyakini tak kurang suatu apa.
Meskipun demikian hatinya jengkel bukan main. Andika
mengusap rambutnya ke belakang. Edan, kenapa jadi
begini sih" Lalu menggerakkan tubuhnya yang terasa
pegal. Imas muncul kembali sudah berpakaian.
"Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu, jangan
mempergunakan kesempatan!" tuding gadis itu ketika
muncul dari balik semak.
Andika jelas sekali melihat kalau Imas masih
mengantuk. Ia benar-benar merasa tidak enak. Padahal, ia
berpura-pura pingsan agar Imas tidak lagi mempersoalkan
Praba Gering yang memang sudah mau mampus. Dan ia
pikir, gadis itu tak peduli. Tetapi nyata-nya" Ah, Andika jadi
pusing sendiri. Dan sudah tentu semakin tak berani untuk
mengatakan sesungguhnya.
"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya...."
"Alasan!" seru Imas sengit. Ia kelihatan geram sekali.
Wajahnya merah padam tak karuan. Lalu katanya dengan
suara menggcmbor, "Kalau kau sudah merasa sembuh,
aku hendak pergi sekarang!"
"Ke mana?" tanya Andika yang benar-benar jadi tidak
enak dan pertanyaan itu terlonlar begitu saja.
"Mencari guruku!"
Andika menahan langkah Imas, "Tunggu!" Gadis itu
berbalik sambil mendengus,
"Apa lagi?"
"Ada yang ingin kukatakan tentang gurumu," kata
Andika dan tak menunggu pcrsetujuan Imas, ia
menceritakan tentang Malaikat Bukit Pasir. Bukannya
gembira, Imas justru melotot.
"Kau?" desisnya dengan tubuh bergetar. "Di mana
guruku sekarang, hah?"
"Sungguh aku tidak tahu. Ini memang kesalahanku,
Imas. Aku akan berusaha menemukannya. Imas, ceritakan
tentang gurumu. Mengapa banyak sekali yang menginginkan nyawanya...."
"Setelah kau tidak tahu di mana guruku berada, kau
ingin aku menceritakan apa yang telah terjadi" Justru kau
sendiri yang tahu jawabannya!"
"Maksudmu... sebelum kejadian itu. Ceritakan...."
"Kau harus bertanggung jawab atas hilangnya guruku!"
Gadis itu hanya berkata-kata tanpa menjawab keingintahuan Andika tentang Malaikat Bukit Pasir.
Andika cuma mendengarkan saja, membiarkan gadis
itu mengeluarkan seluruh keinginannya karena ia tahu
gadis itu gusar dan risau memikirkan gurunya. Setelah
puas memaki, Imas berkelebat meninggalkannya. Tinggal
Andika yang terdiam. Setengah penasaran dan gusar. Biar
bagaimanapun juga, ia harus mencari Malaikat Bukit Pasir.
Lalu ditinggalkannya tempat itu dengan sejuta pikiran
yang mengganggu benaknya.
*** Hujan lebat dan kabut tebal menutup seluruh Gunung
Neraka mulai dari puncak hingga ke kaki. Dingin yang
menusuk tulang tak terkirakan lagi. Dan tadi siang hujan
terus turun dengan derasnya. Suara yang menderu
menegakkan bulu roma. Petir sambar menyambar. Kilat
sesekali menerangi puncak Gunung Neraka yang
mengerikan. Namun satu sosok tubuh yang menunggang kuda tak


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hiraukan semua itu. Ia terus memacu kudanya, tak peduli
sekujur tubuhnya sudah basah. Wajahnya bagaikan
ditempa oleh tusukan jarum yang kuat. Sesekali terdengar
suaranya memberi semangat pada kudanya. Bila melihat
kabut yang tebal dan derap langkah kuda yang ringan itu,
seolah tak merasa terhalangi oleh hujan, menandakan
kalau penunggang-nya sudah hafal liku-liku sekitar Gunung
Neraka yang sulit dan penuh dengan batu-batu terjal yang
setiap saat bisa berjatuhan.
Gerakannya pun benar-benar menandakan ia sangat
hafal sekali, karena dengan ringannya ia bisa melewati
batu-batu terjal dan jalan yang agak licin untuk tiba di
puncak Gunung Neraka yang menyeramkan dan gelap
karena tertutup kabut tebal.
Tiba di puncak Gunung Neraka, penunggang kuda itu
melompat dari kudanya dan tanpa buang waktu langsung
kelebalkan tubuh menuju sebuah bangunan kecil yang
seakan hendak runtuh ditimpa hujan dan petir yang
mampu menggetarkannya. Ia menerobos masuk dan
menggerakkan seluruh tubuhnya agar air hujan yang
melekat di tubuhnya berjatuhan.
"Tepat sekali kedatanganmu ini, Grido...," terdengar
suara dingin itu.
Orang yang baru datang, yang ternyata Grido Kencono
langsung jatuhkan tubuh di dasar bangunan kecil yang
lembab. "Maafkan atas keterlambatanku, Guru."
Bangunan kecil itu gelap gulita. Mata telanjang saja
seakan tak sanggup untuk menembus kegelapan. Namun
tiba-tiba satu cahaya bersinar. Ketika terlihat, jelas-jelas
sekali api yang muncul itu berasal dari jentikan sebuah
tangan. Bahkan api itu menempel di ujung jari telunjuk!
Dialah Datuk Pincang Gunung Neraka, guru dari Grido
Kencono yang sekaligus guru dari kedua orang tuanya
Sepasang Iblis.
"Guru...," desis Grido Kencono lagi.
Orang yang ujung jari telunjuknya menyala api
tersenyum dingin. Begitu mengerikan. Wajahnya tak
ubahnya bagaikan tengkorak belaka, karena kurus sekali.
Rambutnya berwarna kelabu sekelabu biji matanya.
Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata yang
turun. Bila saja wajahnya tak seperti tengkorak, sudah
tentu matanya akan membentuk gelambir. Pakaiannya
berwarna hitam panjang. Menutupi seluruh tubuhnya saat
ia duduk. Ketika ia menggerakkan kakinya, terlihatlah kaki
kirinya lebih kecil dari kaki kanannya. Di sisinya terdapat
sebuah tongkat berwarna hitam pula dengan ukiran
tengkorak di pangkalnya.
"Sudahkah kau membunuh si Keparat Malaikat Bukit
Pasir, Grido?"
Grido Kencono menghela napas pelan, lalu sahutnya
takut-takut, "Belum, Guru"
"Murid bodoh!" suara itu keras menggelegar, seakan
menyaingi petir yang sambar menyambar. Gubuk itu
bagaikan bergerak sesaat. Tangannya bergerak menampar
pipi Grido Kencono hingga mengalirkan darah. Sakitnya
bukan alang kepalang, di tahannya semua itu dengan
merapatkan giginya. "Tak guna aku mendidikmu selama ini
untuk membunuh manusia keparat itu! Ingat Grido, nyawa
kedua orang tuamu mati di tangannya! Keduanya adalah
muridku yang kusayangi! Dan kau sebagai anaknya, sudah
tentu adalah cucuku! Yang harus membalaskan sakit hati
kedua orangtuamu, juga sakit hatiku pada Malaikat Bukit
Pasir! Yang perlu kau ingat, Grido... laki-laki buta itulah
yang membuat hidungku hancur seperti ini dan wajahku
yang tak ubahnya mirip setan gentayangan belaka. Selagi
aku mencoba menolong dan menyelamatkanmu dari
tangan Malaikat Bukit Pasir, pertarungan dahsyat tak bisa
kuelakkan. Karena, ada kau di tanganku yang waktu itu
masih bayi, gerakanku jadi kacau. Terutama karena aku
memang ingin menyelamatkanmu. Hhh! Aku hanya
menunggu waktu beberapa hari lagi untuk menyempurnakan ilmu baruku ini! Namun yang perlu kau
ketahui pula, kau mampu menggempur Malaikat Bukit
Pasir dengan ilmu yang kuajarkan kepadamu. Sejak
puluhan tahun lalu, aku dan Malaikat Bukit Pasir selalu
berada di jalur yang berbeda. Ia selalu menghalangi sepak
terjangku, juga kedua muridku yang tak lain kedua
orangtuamu. Kini saatnya bagimu tunjukkan bakti untuk
membalas sakit hati kedua orang tuamu."
Grido Kencono menyahut tanpa mengangkat wajahnya.
Ia bisa membayangkan kemurkaan Datuk Pincang Gunung
Neraka. "Maafkan saya, Guru. Sebenarnya saya berhasil untuk
mengalahkannya, namun scorang pemuda berpakaian
hijau pupus telah menolongnya," katanya memberanikan
diri. "Siapa setan keparat itu?" suara itu semakin dingin
mengandung kegeraman. Tulang-tulang di wajahnya makin
nampak menonjol tak karuan.
"Pendekar Slebor."
"Hhh! Aku pernah mendengar sepak terjang seorang
pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor! Seperti apa
kehebatan pemuda itu, hah" Kau yang bodoh atau dia
yang memang terlalu tangguh untukmu?"
Panas wajah Grido Kencono mendengar ejekan
gurunya. Namun sudah tentu ia tak menampakkannya.
"Kau cari kedua manusia keparat itu! Bunuh mereka!
Jangan mempermainkan aku sebagai gurumu!"
"Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran
lagi dari Guru. Saya akui, karena saya tak mampu untuk
menandingi kehebatan Pendekar Slebor. Kabarnya, ia
berasal dari Lembah Kutukan."
Datuk Pincang Gunung Neraka terlengak sejenak.
Matanya menyipit.
"Hhh! Ada hubungan apa pemuda itu dengan Ki
Saptacakra?" dengusnya, seolah bertanya pada dirinya
sendiri. Grido Kencono yang mendengarnya baru berani
mengangkat kepalanya. Ia melihat gurunya seperti
termenung. Lalu didengarnya lagi suara gurunya, "Peduli setan bila
ia memang ada hubungan dengan Ki Saptacakra. Kau tak
perlu khawatir lagi untuk menghadapinya. Akan kubuat
pemuda lancang itu kena batunya di tanganmu. Pejamkan
kedua matamu."
Serentak Grido Kencono memejamkan matanya
dengan hati gembira. Ia tahu, dengan perintah seperti itu
gurunya jelas akan menurunkan sebuah ilmu baru.
Memang itulah yang diinginkan.
Dan mendadak saja ia merasakan satu sengatan yang
sangat keras sekali, membuat tubuhnya bergetar hebat. Di
udara yang sedingin itu, Grido Kencono mengeluarkan
keringat yang banyak. Kedua matanya seakan hendak
melompat karena tak sanggup menahan panas. Mulutnya
menjerit-jerit setinggi langit. Ia merasa seluruh tenaganya
bagaikan terkuras, membuatnya kelojotan tak menentu
Sengatan itu bagaikan ribuan listrik yang menyerangnya.
Cukup lama juga lelaki berkumis dan berjenggot
panjang itu merasakan sakit yang menderanya, hingga
kemudian bagaikan sehelai kertas, ia doyong ke belakang
dan ambruk. "Bangun! Pusatkan tenaga dalammu di perut dan
hembuskan napasmu perlahan-lahan!"
Meski masih menahan rasa sakit yang menderanya,
Grido Kencono melakukan perintah dari gurunya, seketika
itu juga ia merasakan sekujur tubuhnya membaik kembali.
Sengatan listrik tadi tak begitu dirasakannya lagi, seolah
lenyap begitu saja.
"Kau sudah memiliki ajian 'Rembulan Matahari' yang
sangat dahsyat, Grido. Kau akan mampu menandingi ajian
'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor bila ia memang
mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Tetapi, aku tak
percaya soal itu. Tak seorang pun yang bisa mewarisi ilmu
Ki Saptacakra."
Grido Kencono mengangguk-angukkan kepalanya
dengan gembira.
"Guru, dengan ajian yang baru saja Guru turunkan ini,
saya akan secepatnya melaksanakan perintah Guru."
"Kalau begitu, kembalilah kau sekarang juga, Grido!
Ingat, aku tak pernah suka menunggu terlalu lama."
"Baik, Guru!"
Dengan tertawa gembira Grido Kencono berkelebat
keluar dari bangunan itu. Seperti halnya tadi, ia segera
menaiki kudanya dan menggebraknya kencang. Terobos
hujan dan kabut tebal. Kalau tadi ia datang dengan hati
agak waswas karena khawatir kena marah gurunya, kali ini
senyum tak pernah pupus sepanjang ia menaiki kudanya
selalu bertengger di bibirnya.
Di matanya sudah terbayang bagaimana jasad
Pendekar Slebor membujur tak bernyawa. Dan ia tak sabar
untuk menunggu saat yang ditunggunya.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Neraka berada
dalam kegelapan kembali. Karena ia sudah memadamkan
api yang keluar dari jarinya tadi. Ada sesuatu yang
dipikirkannya....
*** 7 Andika memaki-maki, kesal sendiri. Ia masih berdiri
tegak di sebuah batang pohon, melindungi dirinya dari
hujan yang turun dengan derasnya.
"Busyet! Kalau begini terus, aku akan kehilangan jejak
Imas!" dengusnya jengkel. Kalau di ngat tentang kejadian
itu, Andika jadi malu sendiri. Habis, kalau saat itu ia
menahan serangan Imas pada Praba Gering, bisa-bisa
gadis itu akan ganti marah padanya. Padahal, Andika
membutuhkannya untuk bertanya lebih jauh tentang
Malaikat Bukit Pasir. Soal Praba Gering dan Mantari yang
ingin dibunuh oleh Imas, sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Karena dugaan Andika, keduanya tak akan mampu hidup
lebih lama lagi. Kalaupun hidup, mereka akan menjadi
orang cacat selama-lamanya. Pemuda tampanberalis hitam
legam mirip kepakan sayap elang itu mendengus
membayangkan kekeraskepalaan Imas. "Menjengkelkan,
mengapa aku mencemaskannya sekarang" Apakah karena
aku merasa bersalah setelah hilangnya gurunya itu,
Malaikat Bukit Pasir" Uh, kenapa harus ada sih gadis
menjengkelkan seperti itu?"
Tetapi di detik lain, pikirannya berubah. "Biar
bagaimanapun juga, aku harus menemukan Imas. Karena,
tak mustahil dialah yang sekarang akan menjadi sasaran
manusia-manusia busuk yang mendendam pada gurunya!"
Berpikir seperti itu, Andika akhirnya memutuskan
untuk meneruskan larinya.
Tubuh itu pun berkelebat menerobos hujan.
Di sebuah tempat yang agak lapang, tiba-tiba saja
Andika berteriak keras. Empat buah tali telah mengikat
kedua tangan dan kakinya. Serentak Andika mendengus
sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Heeeiiittt!"
Empat buah tali itu menyentak dan empat sosok tubuh
berpentalan keluar dari arah yang berlainan, yang bagai
dibetot oleh tenaga raksasa, namun segera sigap berdiri.
Mereka cukup kaget melihat tenaga yang diperlihatkan
oleh Pendekar Slebor. Karena, membuat tubuh
keempatnya bergetar.
Andika mendengus gusar begitu melihat siapa yang
muncul. "Rupanya monyet-monyet kepala kuning! Hhh! Di
mana Grido Kencono berada?"
Bukannya menyahut keempat orang itu segera
menderu secara serempak dengan empat buah parang
yang besar. Kibasan parang di tangan mereka seakan
mengalahkan suara gemuruh hujan. Andika mendengus
sambil menghentakkan tangannya yang dialiri oleh tenaga
dalam. Tubuh keempatnya tertarik ke depan dan jatuh
bangun. Namun mereka segera berdiri meskipun di bibir
mereka mengalirkan darah. Serangan kali ini lebih
berbahaya lagi. Andika berkali-kali harus melompat dan
membuang tubuhnya kalau tidak ingin dicacah oleh
parang-parang besar itu.
Yang lebih membahayakan lagi, karena tiba-tiba saja
keempatnya melemparkan parang secara serempak ke
arah Andika yang harus berjumpalitan menghindar.
Ia memang berhasil menghindari serangan itu, hahkan
tangannya masih sempat mematahkan dua buah parang
sekaligus. Namun begitu ia menjejakkan kakinya di tanah
yang becek, empat buah jala yang dilemparkan sekaligus
dari arah berlainan telah menjeratnya. Menjadikannya
bagaikan seekor burung yang terkena perangkap.
Rupanya keempatnya memang telah mempersiapkan
jebakan yang lebih hebat lagi. Serentak mereka
menariknya dengan mengalirkan tenaga dalam sehingga
ikatan jala itu semakin mengencang. Lalu berlarian
berputaran, sehingga tali-tali yang menghubungkan dengan
jala itu semakin pendek, dan membuat Andika bagaikan
terikat erat. Andika berontak dengan suara memaki-maki panjang.
Ia mencoba untuk memutuskan rangkaian jala itu. Namun
jala itu begitu kedot sekali. Keempatnya terus berusaha
mempertahankan agar Andika tak mampu meloloskan diri.
"Keparat! Kalian ingin mencari mampus!" geram
Andika dan berusaha untuk mclepaskan jala-jala itu.
Namun yang anehnya, jala yang terbuat dari rangkaian tali
yang bening itu tak mampu untuk diputuskan. Bahkan


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ajian 'Guntur Selaksa' tak bisa memutuskannya. Bukan
karena tak mampu, melainkun karena jala itu sangat lentur
sehingga Andika bagaikan memukul angin.
Salah seorang dari mereka itu terbahak-bahak, "Hebat!
Hebat sekali! Kakang Grido Kencono pasti menyukai kerja
kita ini begitu tahu siapa yang masuk dalam jala-jala maut!"
Andika menyipitkan matanya, tubuhnya tertekuk
karena ikatan jala yang menguat Kedua kakinya bagaikan
menekan dadanya sendiri. Cukup menyiksa berada dalam
ruang gerak yang sempit ini. Bahkan untuk bernapas saja
rasanya sulit, karena wajahnya pun tertekan ikatan jala itu.
"Manusia busuk! Kita bertarung sampai mampus!"
serunya gusar. "Mengapa harus repot-repot untuk membunuhmu,
Pendekar Slebor! Gara-gara ulah busukmu itulah Malaikat
Bukit Pasir lolos dari tangan kami!"
"Keparat! Monyet pitak! Ombak karang! Satu saat akan
ku kepruk kepala kalian sampai pecah!" maki Andika dan
berusaha meronta kembali, namun semakin ia meronta,
semakin kuat jala-jala itu mengikat tubuhnya.
Orang-orang itu terbahak-bahak. Lalu bagaikan
dikomando, keempatnya menerjang ke arah Andika yang
tengah meringkuk tanpa mampu berontak. Pukulan dan
tendangan bertubi-tubi diterima Andika dengan hati marah.
Namun, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Setelah puas memukuli dan menendang Andika,
bagaikan mendapat hewan buruan, dengan sekali sentak
saja mereka mengangkat tubuh Andika dan meninggalkan
tempat itu sambil terbahak-bahak.
Tinggal Andika yang menahan geramnya dengan
sekujur tubuh yang terasa sakit sekali. Namun itu tak
dirasakannya, karena justru hatinya yang bertambah sakit.
Imas terus berlari menembus hujan yang lebat sekali.
Ia tak peduli semua itu. Yang dipikirkannya hanyalah nasib
gurunya. Berbagai pikiran aneh yang mengandung
kecemasan selalu bermain di otaknya. Tetapi Imas
berusaha untuk segera menghilangkan pikiran buruknya
bila setiap kali datang.
Di sebuah tempat yang sunyi, Imas menemukan
sebuah gubuk kecil yang tak dipakai lagi. Gubuk itu masih
nyaman untuk sekadai melindunginya dari cu-rahan hujan.
Di gubukitulah Imas meringkuk dengan menekuk kedua
lututnya di balai-balai yang telah kusam dengan rasa lelah
yang mulai dirasakan.
Pikirannya kembali menerawang. Teringat lagi saat-
saat yang menggembirakan bersama gurunya. Teringat
bagaimana gurunya berlatih ilmu kanuragan. Teringat
bagaimana gurunya selalu memberikan wejangan hidup
yang berarti. Semua-muanya teringat dan membuat gadis
itu berkali-kali menarik napas.
Apa yang dialami gurunya saat ini" Dan berada di
manakah dia" Tanya gadis itu dalam hati.
Imas mendesah panjang. Ia sudah mendengar cerita
dari gurunya mengapa dua puluh lima tahun yang lalu
membunuh kedua orangtua Grido Kencono.
Karena mereka orang jahat yang keijanya hanya
membunuh saja dan mengumbar ilmu-ilmu hitam. Saat itu,
gurunya datang berkelana seperti kebiasaannya dan ia
memiliki seorang musuh bebuyutan yang berjuluk Datuk
Pincang Gunung Neraka. Dalam berkelananya, ia pun telah
mendengar sepak terjang dari Sepasang Iblis yang
mengerikan. Dalam satu perjumpaannya dengan Sepasang Iblis,
gurunya berhasil membunuh mereka. Namun harus dibayar
mahal dengan indera penglihatannya yang terkena Bubuk
Sutera yang ditebarkan oleh Sepasang Iblis.
Gurunya pun tahu kalau Sepasang Iblis memiliki
seorang anakyang bernama Grido Kencono. Namun ketika
ia mencarinya, ia terlambat. Karena Datuk Pincang Gunung
Neraka yang diketahui sebagai guru dari Sepasang Iblis
telah membawanya pergi.
Mengetahui kalau Sepasang Iblis ternyata adalah
murid dari musuh bebuyutannya, gurunya berusaha
mengejar Datuk Pincang Gunung Neraka, namun lelaki
berwajah tengkorak itu sudah menghilang. Dan yang tak
pernah disangka Imas, kalau begitu banyak yang
mendendam pada gurunya. Meskipun ia kini menyadari,
kalau dulu gurunya bertindak sebagai pendekar kebenaran
dan sudah tentu orang-orang busuk yang pernah
dikalahkannya bertambah mendendam saja.
Meskipun cemas bercampur bingung memikirkan
nasib gurunya, tetapi Imas bangga karena gurunya adalah
tokoh dari golongan lurus.
Tiba-tiba Imas teringat akan Pendekar Slebor. Bibir
gadis itu tiba-tiba tersenyum sendiri berbalur malu. Ah,
pemuda tampan yang urakan itu telah melihat tubuhnya.
Ini sebenarnya memalukan, makanya Imas merasa lebih
baik meninggalkannya saja. Meskipun ia sedih mendengar
cerita Pendekar Slebor yang gagal untuk menyelamatkan
gurunya. Ah, ke mana gurunya pergi sebenarnya" Desisnya
resah. Namun lagi-lagi bayangan Pendekar Slebor yang
muncul di benaknya. Eh! Apa-apaan sih ini" Geramnya
gusar dan berusaha untuk menghilangkan bayangan
Pendekar Slebor.
Akan tetapi, semakin ia berusaha keras untuk
menghilangkan bayangan-bayangan itu, justru semakin
kuat mengikatnya. Wajah Imas memerah kembali ketika
teringat lagi bagaimana Pendekar Slebor menatap
tubuhnya. "Memalukan!" desisnya gusar. Seharusnya ia
membunuh saja pemuda brengsek itu yang telah melihat
tubuhnya. Dalam keadaan terluka itu, tentunya ia lebih
mudah membunuh Pendekar Slebor. Namun entah
mengapa di dasar hatinya Imas merasa senang tubuhnya
dilihat Pendekar Slebor.
Kembali ia memaki ketika pikiran itu muncul .
"Brengsek! Kenapa sih bayangan pemuda brengsek itu
tidak mau hilang juga!" makinya gusar.
Dan semuanya bagaikan film yang diputar belaka.
Kembali lagi bayangan-bayangan itu menguak di benaknya.
Ih, apakah aku sudah jadi perempuan gatal" Makinya.
Lalu ia berusaha mengkonsentrasikan pikirannya pada
nasib gurunya. Tetapi, bayangan Pendekar Slebor terus
mengikuti jalan pikirannya.
"Brengsek! Brengsek! Kenapa sih jadi begini?" makinya
lagi. Apalagi ketika teringat ia meninggalkan Pendekar
Slebor dalam keadaan terluka. Justru ia merasa tak tenang
sekarang. "Ah, tidak apa-apa. Pemuda brengsek itu
memiliki ilmu yang tinggi! Kalaupun ia terluka, seperti
ceritanya karena ia telah bertarung secara beruntun
dengan orang-orang yang menginginkan nyawa Guru... aku
yakin ia masih mampu mengatasinya."
Tetapi gadis itu justru mendesah gelisah. Pendekar
Slebor tak tahu masalah apa yang sebenarnya tengah
terjadi, tetapi ia sudah terlibat dalam masalah berdarah ini.
Saat itu, Imas benar-benar mencemaskan Pendekar
Slebor. Perubahan sikapnya begitu cepat sekali. Semula
membenci dan merutuknya karena telah melihat tubuhnya,
sekarang justru ia yang merasa tidak tenang.
Ah, mengapa harus jadi seperti ini" Desisnya masih
mencoba menutup segala keanehan yang dirasakannya.
Tetapi, justru ia berusaha menutupnya, justru kecemasanitu semakin besar bertalu-talu di hatinya.
"Brengsek! Kenapa aku harus memikirkan pemuda
urakan itu" Sialan betul!"
Namun sesuatu yang aneh di hatinya bertalu-talu.
Setelah hujan berhenti, Imas bertekad untuk mencari
Pendekar Slebor.
*** 8 Grido Kencono hanya mendengus ketika penglihatannya yang tajam menangkap satu sosok tubuh
berkelebat. Hmmm, ada tikus yang iseng rupanya, de-
ngusnya dalam hati.
Tiba-tiba tangannya mengibas.
Duaaaar! Semak belukar seketika pecah berantakan begitu
terkena sambaran pukulan anginnya yang keras. Satu
sosok tubuh melenting dari sana sambil menggeram.
Lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak melihat sosok di
hadapannya. "Rupanya memang ada tikus iseng yang busuk!"
Orang yang baru muncul itu adalah Jalak Codet Merah.
Setelah melarikan diri sambil membawa tubuh saudara
kembarnya yang tewas akibat hantaman Pendekar Slebor,
ia pun menguburkannya di satu tempat yang sunyi.
Kegeramannya bertambah setinggi langit. Ia berteriak
keras bagaikan membedah alam. Dan ia bersumpah untuk
membunuh Pendekar Slebor. Makanya ia kembali berbalik
arah untuk mencari Pendekar Slebor tanpa mempedulikan
lagi kcmampuan dirinya. Yang terpenting sekarang, adalah
salah seorang dari mereka harus mati. Dirinya, atau diri
Pendekar Slebor. Untuk sejenak dilupakannya tentang
dendamnya pada Malaikat Bukit Pasir yang telah
membunuh gurunya sepuluh tahun lalu.
Dan sekarang, ia muak diperlakukan seperti ini oleh
lelaki berkumis dan berjenggot lebat yang terbahak-bahak
di hadapannya. "Manusia hina! Jangan kau mencari urusan denganku!
Biarkan aku meninggalkan tempat ini bila kau ingin
selamat!" ancamnya dengan mata memerah tajam.
Grido Kencono terbahak-bahak. Tiba-tiba saja tawanya
terhenti dan tubuhnya melompat garang ke arah Jalak
Codet Merah, menebarkan hawa panas yang tinggi. Jalak
Codet Merah yang sejak tadi sudah mempersiapkan diri,
segera meluruk dengan kecepatan yang sama.
Duk! Buk! Dua kali tangan dan kaki keduanya bertemu dan
keduanya mundur ke belakang. Jalak Codet Merah
mengerutkan keningnya ketika melihat tangannya
membiru. Sementara Grido Kencono hanya terbahak-
bahak. "Rupanya kau sendiri yang tak akan selamat!"
Geram serta penasaran sekali Jalak Codet Merah
segera menggerakkan kedua tangannya sekaligus dalam
pukulan yang kuat dan mengandung tenaga yang sangat
dahsyat. Dengan gerakan itu, Jalak Codet Merah
bermaksud menjepit lengan kanan lawan kemudian
mematahkannya! Tetapi lagi-lagi Jalak Codet Merah tersentak ketika
mendadak saja lawannya membentak keras, "Awas leher!"
Dan laksana cengkeraman seekor elang, kedua tangan
Grido Kencono sekaligus menyapu dan menderu ke batang
leher Jalak Codet Merah.
"Setttan!" memalri Jalak Codet Merah sambil
mengeluarkan suara yang keras. Seketika ia melihat tubuh
lawannya bagaikan lenyap dari pandangan. Namun
mendadak ia mendengar angin berkesiur dari sisinya.
Sewaktu lengan Grido Kencono menebas ke arah
leher, Jalak Codet Merah berhasil mengelakkan dan kini
begitu terdengar seruan lawan maka tak ayal lagi ia
merunduk cepat dan laksana kilat ia menyodokkan kedua
tangannya dengan gerakan beruntun. Satu ke wajah dan
satu lagi ke ulu hati.
Namun ia harus tertipu oleh gerak serangan lawannya.
Karena, sesungguhnya dengan kecepatan yang luar biasa
tangan Grido Kencono berputar ke bawah dan naik lagi ke
atas di antara kedua lengan-nya.
Besss! Tubuh Jalak Codet Merah terjajar ke belakang.
Tangannya mengusap dadanya yang nyeri terpukul.
Matanya memicing dengan kemarahan yang semakin
menjadi-jadi. "Keparat!" makinya dan serentak memutar tubuh
dengan gerakan aneh. Tangan kanannya bergerak ke kiri
dan kekanan, membuat Grido Kencono sejenak tertegun
dengan serangan yang aneh semacam itu. Itu adalah jurus
'Merah Darah Membuyarkan Lautan'.
Kali ini Grido Kencono nampak bagaikan tikus yang
terkena perangkap kepungan seekor kucing. Ia mencoba
mengelak dengan mempergunakan kecepatannya, namun
setiap kali ia bergerak, setiap kali pula serangan Jalak
Codet Merah mengarah padanya.
"Anjing! Kau harus mampus!" tiba-tiba saja Grido
Kencono bersalto ke belakang dengan lincahnya, bahkan
saat bersalto ia masih sempat menendang sehingga Jalak
Codet Merah urung untuk mengejar. Saat ia hinggap di
tanah, di tangannya telah terangkum ajian 'Rembulan
Matahari' yang baru didapatnya dari Datuk Pincang Gunung
Neraka. Jalak Codet Merah yang telah dirasuki amarahnya tak
sadar kalau bahaya telah mengancam. Dengan sengitnya,
dan suara gerengan yang keras ia kembali menyerang.
Dalam pikirannya, manusia yang mengenakan ikat kepala
kuning itu hanya membuang waktunya saja untuk mencari
Pendekar Slebor.
Namun belum lagi serangannya sampai pada Grido
Kencono, Jalak Codet Merah sudah membuang tubuhnya
ke kiri dan bergulingan. Ia merasakan satu sentakan


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga yang kuat dan dahsyat mengarah padanya tadi.
Duaaar! Wajahnya seketika pucat pasi melihat lima buah pohon
pecah menjadi serpihan ketika serangan Grido Kencono
luput dari sasarannya.
"Gila! Kalau aku nekat meneruskan semua ini, bisa-
bisa aku mampus di tangannya! Kesempatanku untuk
mencari Pendekar Slebor akan pupus."
Grido Kencono terbahak-bahak melihat wajah
lawannya yang pias. "Kini kau akan mampus, Manusia
Busuk!" tawanya sambil mengangkat tangan kanan nya.
Ajian 'Rembulan Matahari' siap dikirimkan pada lawan.
Jalak Codet Merah mengangkat kedua tangannya
seraya berseru, "Tahan! Biarkan aku hidup, maka aku akan
mengabdi kepadamu!"
Grido Kencono mengeluarkan suara tertawa yang lebih
tinggi. Perutnya bagaikan berguncang hebat.
"Usul yang menarik sekali. Silakan kau menjilat kedua
kakiku bagaikan seekor anjing untuk mengetahui
ketulusan hatimu mengabdimu kepadaku!"
Wajah Jalak Codet Merah memerah mendengarnya. Ia
berusaha menahan seluruh gelegak amarahnya. Ia
memang tak ingin mati dulu sebelum membunuh Pendekar
Slebor. Lalu dengan menahan seluruh amarah, dendam,
dan malunya, bagaikan seekor anjing ia menjilati kedua
kaki Grido Kencono yang terbahak-bahak, tetap dengan
tangan yang terangkum ajian 'Rembulan Matahari' bila
lawannya ternyata hanya berpura-pura.
"Ha ha ha... bagus! Kau boleh mengabdi kepadaku!
Sebutkan namamu dan ceritakan apa yang sedang
kaualami!"
Jalak Codet Merah menyebut namanya dan
menceritakan semua yang dialaminya. Seketika terdengar
suara Grido Kencono bagaikan ledakan keras.
"Lagi-lagi pendekar keparat itu!" tiba-tiba tangannya
mengibas kembali. Suara ledakan sepuluh kali beruntun
terdengar bersamaan sepuluh pohon besar yang menjadi
serpihan. "Aku pun mempunyai dendam yang sama pada
Pendekar Slebor! Jalak Codet Merah, pengabdianmu
sejalan dengan yang hendak kulakukan pada Pendekar
Slebor! Dan yang terpenting lagi, kita pun memiliki dendam
pula pada Malaikat Bukit Pasir! Hhh! Keinginanku yang ada
sekarang ini membunuh pendekar lancang itu!"
"Kawan Grido, terima kasih bila kau menganggapku
sebagai teman seperjalanan!" sahut Jalak Codet Merah
tersenyum. Dengan adanya Grido Kencono, ia yakin akan
berhasil membunuh Pendekar Slebor.
"Ha ha ha... kau memang pandai menjilat rupanya!
Sayang, Jalak Kembar Baju Merah hanya tinggal seorang!
Hhh! Pendekar Slebor memang harus mampus di
tanganku!"
Tiba-tiba terdengar satu suara, "Kakang Grido!
Pendekar busuk ini telah berada di tangan kita!"
Grido Kencono menoleh ke arah suara itu. Begitu pula
dengan Jalak Codet Merah yang seketika bergerak
bagaikan melihat buruannya.
"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa adikku!
Heaaa!" Bruk! Kaki Grido Kencono lebih dulu menyambar kaki Jalak
Codet Merah sehingga lelaki itu tersuruk ke depan.
"Tidak perlu langsung membunuhnya! Ini kesempatan
kita untuk memperlihatkan diri pada seluruh isi rimba
persilatan, kalau pendekar nomor satu dirimba persilatan
berada di tangan kita! Setelah manusia ini kita bikin
mampus, usaha yang harus kita lakukan adalah memburu
Malaikat Bukit Pasir! Ha ha ha...."
Pendekar Slebor yang kali ini benar-benar bagaikan
tikus yang masuk perangkap hanya bisa menggeram gusar
dengan tatapan sengit.
"Kita bertarung sampai mampus, Orang Busuk!"
serunya sambil mencengkeram erat jala yang menyelimuti
tubuhnya. Ia tahu, keadaan tak menguntungkan saat ini.
Apalagi dilihatnya Jalak Codet Merah sudah bergabung
dengan Grido Kencono.
"Pemuda setan! Kita akan membuat permainan yang
sangat menarik!" Tubuh Grido Kencono berkelebat cepat.
Tuk! Tuk! Dua kali ia menotok Andika sehingga pemuda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu semakin tak berdaya
saja. "Keluarkan ia dari jala itu!"
Serentak keempat lelaki yang memegang tali masing-
masing menggerakkannya.
Bruk! Jala-jala itu terlepas, tubuh Andika terlempar dan jatuh
bagaikan nangka busuk.
Sementara sepasang mala Jalak Codet Merah semakin
berkilat-kilat dengan dendam yang semakin sarat. Namun
ia masih bisa menahan rasa dendamnya untuk tidak
menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Toh, sebentar lagi ia
akan turut menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Ini adalah
kesempatan yang lebih baik, karena tak perlu bersusah
payah mencarinya.
Andika masih memaki-maki dengan tubuh tak bisa
bergerak. Kemarahannya sudah membludak sebenarnya.
Tiba-tiba ia mengaduh dengan kepala oleng. Kaki Ekalaya
sudah menyepak mukanya.
"Jangan jadi badut di sini!"
Andika menggeram pada Ekalaya. "Kuhajar tunggang-
langgang kau nanti!"
Ekalaya terbahak-bahak. "Sudah mau mampus masih
bertingkah! Kakang, apa yang akan kita lakukan dengan
manusia busuk ini"!"
"Ikat kedua kakinya!"
Ekalaya segera menjalankan perintah itu. Lalu
meneruskan dengan melemparkan tali itu ke sebuah
batang pohon. "Tarik! Biar seluruh darahnya tumpah di kepala!"
Apa yang dialami Andika memang benar-benar suatu
siksaan. Kini tubuhnya tergelantung di dahan pohon
dengan kepala ke bawah. Ia tak mampu untuk meronta
sedikit pun kecuali hanya memaki-maki tak karuan.
"Kumpulkan batu!" seru Grido Kencono sambil
terbahak-bahak.
Dengan cepat termasuk Jalak Codet Merah, mereka
mengumpulkan batu-batu yang cukup besar.
"Nah, kita akan menikmati permainan ini! Barang siapa
yang bisa melempar tepat di kepala pemuda sialan itu,
maka ia berhak melempar dua kali!"
Wajah Andika pias bercampur kemarahan yang tinggi.
Ia menggeram hebat mengumbar seluruh amarahnya.
Namun totokan yang dilakukan Grido Kencono bukanlah
totokan sembarangan, ia bukan hanya tak mampu untuk
melepaskannya, bahkan untuk menemukan di bagian
mana tubuhnya ditotok saja sungguh sulit.
"Keparat busuk! Manusia monyet!"
"Kau boleh memaki sepuasmu, Pendekar Slebor! Ingat,
aku bisa menghentikan semua permainan ini, bila kau mau
mengatakan di mana Malaikat Bukit Pasir berada?"
"Setan alas! Monyet gundul! Bila aku tahu di mana ia
berada, tak akan pernah akan kukatakan padamu! Kau
harus mampus, Jelek!"
Wajah Grido Kencono memerah. "Jangan salahkan aku
bila kau akan segera mengikuti permainan ini! Lakukan!"
Lalu mulailah ia menerima siksaan yang membuatnya
gusar dan marah. Batu-batu itu dilempar secara
bergantian, mencecar kepalanya. Memang hanya sesekali
batu yang dilempar dengan kekuatan penuh itu menimpa
kepalanya, namun rasa sakitnya sungguh luar biasa. Darah
sudah mengalir dari pelipisnya. Belum lagi bagian-bagiah
tubuhnya yang lain yang terhantam oleh batu-batu itu.
Orang-orang itu melakukannya sambil tertawa-tawa.
Jalak Codet Merah benar-benar merasakan satu
kesenangan yang telah lama dicarinya. Bahkan ia
melempar dengan mempergunakan tenaga dalam yang
penuh sehingga setelah sepenanakan nasi Andika
menerima siksaan itu, ia pun jatuh pingsan.
"Cukup! Guyur ia dengan air biar sadar kembali!
Setelah itu, kita teruskan permainan ini!" seru Grido
Kencono dengan senyum puas.
Ekalaya sambil tertawa-tawa segera mengambil air
yang terdapat di sebuah sungai.
Ia menemukan sebuah gentong yang terbuat dari
tanah liat. Gentong yang cukup besar itu, sudah agak
kusam. Namun tak ada bagian yang retak. Dengan gentong
itu ia membawa air yang banyak. Ketika ia akan kembali
lagi ke tempat semula, mendadak saja satu pukulan keras
menimpa punggungnya hingga ia jungkir balik. Tulang
punggungnya terasa patah. Gentong yang dipegangnya
terlepas, pecah dan airnya tumpah.
Matanya berkeliaran mencari siapa yang membokongnya. Namun tak satu sosok pun yang terlihat.
"Manusia keparat! Tampakkan wajah busukmu bila
kau memang jantan!" maki Ekalaya dengan sikap waspada.
Tak ada suara apa pun.
Yang ada hanya kesiur angin yang datang begitu tiba-
tiba. Buk! Kembali Ekalaya bergulingan dan ketika berdiri ia
memaki-maki keras. Ia sungguh tak melihat orang yang
menyerangnya, Bahkan bayangannya pun tidak. Hanya
suara angin yang mendesir saja yang dirasakannya.
Kembali ia memaki-maki keras. Namun makiannya itu
tak berguna, karena sejurus kemudian kepalanya sudah
pisah dari jasadnya.
*** Grido Kencono mendengus gusar ketika menyadari
sudah cukup lama Ekalaya tak kembali. Ia sudah tak sabar
untuk mempermainkan Andika kembali. "Subali! Susul dial"
Yang diperintah segera menjalankan tugas. Namun ia
pun tak kembali lagi. Karena, suara angin yang aneh itu
terdengar lagi dan Subali merasakan tubuhnya terkena
hantaman keras. Tulang iganya patah seketika. Belum lagi
ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara 'krak' yang
cukup keras. Kepalanya pecah terkena keprukan yang
dahsyat. Grido Kencono benar-benar murka sekarang. Dengan
segera ia memerintahkan dua temannya sekaligus untuk
mencari Ekalaya dan Subali.
Keduanya kembali lagidengan teriakan-teriakan keras,
"Kakang! Ekalaya dan Subali sudah menjadi mayat!"
"Apa?" lelaki tinggi besar itu bangkit dari duduknya
dengan suara menggelegar. Matanya nyalang dan
suaranya semakin keras menggelegar, "Siapa yang
melakukan semua itu?"
"Kami tak melihat siapa-siapa!"
"Kalian tunggu di sini! Jalak Codet Merah, ikut
denganku! Rupanya ada manusia lancang yang hendak
mencari mati!" serunya keras.
Lalu dengan kegeraman yang sangat besar, Grido
Kencono berkelebat bersama Jalak Codet Merah. Apa yang
dikatakan Drajit dan Waringko memang benar. Ia
menemukan mayat Ekalaya dan Subali dengan leher patah.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Ia menjerit keras
memanggil-manggil si penyerang yang tak ketahuan batang
hidungnya. Setelah beberapa saat tak muncul, dengan
kegeraman yang sangat Grido Kencono melepaskan
pukulan ajian 'Rembulan Matahari' berkali-kali. Seketika
suara gemuruh bagaikan puluhan ekor gajah liar
mengamuk Setelah puas mengumbar amarahnya, dengan napas
terengah-engah menyimpan gelegak amarah, ia segera
mengajak Jalak Codet Merah kembali ke tempat semula.
Dan sepasang matanya yang geram seakan melompat
keluar ketika melihat Drajit dan Waringko sudah menjadi
mayat. Sementara tubuh Pendekar Slebor tak ada di
tempatnya! "Bangsat keparat! Kau hanya mencari mampus!"
geramnya setinggi langit, membedah tempat yang besar
dan sunyi itu. Sementara Jalak Codet Merah hanya terdiam dengan
tatapan waspada.
*** 9 Andika membuka matanya, yang kembali segera
dipejamkan karena silaunya sengatan matahari. Yang
diingatnya, hanyalah ketika terakhir ia mengalami siksaan
yang dilakukan oleh Grido Kencono. Makanya, seketika ia
bangkit berdiri dan bersiaga. Namun tempat itu sepi, tak
seorang pun berada di sana.
Diam-diam Andika mendesah. Berada di manakah ia
sekarang ini" Bukankah saat itu ia tengah tergantung
dengan kepala ke bawah" Baru pula disadarinya kalau
luka-lukanya telah sembuh. Bahkan Andika merasa
tubuhnya seperti sediakala.
Siapa yang telah menolong aku" desisnya bertanya-
tanya. Tiba-tiba ia menoleh ketika didengarnya suara ranting
patah karena terinjak dan dilihatnya Imas sedang
melangkah perlahan. Di tangannya terdapat buah-buahan
yang ranum. Andika mendesis, entah kenapa ia jadi
gelisah. Melihat kehadiran gadis ini, ia yakin, pasti Imas
yang menolongnya. Ah, kalau dulu ia mempermainkan
gadis itu dengan berpura-pura pingsan, justru sekarang ia
pingsan benaran. Karena merasa seperti itu, Andika


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung mendekat dan berkata.
"Kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Imas."
Bukannya menjawab sebaliknya gadis itu mendengus,
"Bicaramu ngaco! Aku merasa tidak menolongmu lagi?"
Lalu dengan santainya ia duduk di tanah dan tanpa
menawari ia memakan buah yang baru dipetiknya.
"Pemuda seperti kau ini justru akan mencuri kesempatan
kalau ditolong! Kesudian amat!"
Andika hanya membuang napasnya saja. Sikap gadis
ini memang masih tetap semaunya saja. Tetapi merasa ia
memang harus berterima kasih, Andika berkata lagi, "Biar
bagaimanapun juga, aku berterima kasih padamu."
"Sudah kubilang tadi, aku tidak menolongmu!"
Kali ini Andika mengerutkan kening. "Kalau kau
merasa tidak menolongku, lalu siapa yang melakukannya?"
tanyanya seolah pada diri sendiri.
Gadis itu menyahut tak acuh, "Mana aku tahu" Aku
menemukanmu dalam keadaan pingsan. Ketika kuperiksa
luka-lukamu, kau seperti baru saja diobati. Masih untung
sebenarnya! Masih ada yang mau menolongmu!"
"Brengsek, gadis ini bicara seenak perutnya saja!" maki
Andika dalam hati. "Tetapi, siapa yang telah menolongku?"
desisnya bagai bergumam.
Imas yang mendengar gumamannya itu membentak,
"Ya ampun! Kau ini bagaimana sih"! Sudah kubilang tadi,
mana aku tahu! Hei, kau lapar tidak" Nih, kau nikmati
rezekimu!"
Andika menangkap buah yang dilemparkan Imas. Lalu
dengan masih memikirkan siapa yang telah menolongnya,
ia memakan buah itu. Sesaat kemudian dilihatnya Imas
telah berdiri, "Aku mau mencari Guru!"
"Tunggu, Imas!"
Gadis itu menghentikan langkahnya. Lalu sambil
menghentakkan kakinya ia menoleh dan berseru, "Apa
lagi" Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan" Nah!
Selamat tinggal!"
Wajah Andika memerah karena jengkel diejek seperti
itu. Ia mendengus tanpa berkata lagi.
Gadis itu membuang wajahnya, lalu dengan langkah
angkuh ia meninggalkan Andika.
Andika tak menahan kepergian Imas. Sesungguhnya,
ia tak tahu apa yang ada di hati gadis itu sebenarnya. Imas
memang sengaja hendak meninggalkannya, dengan
harapan Andika akan mengikutinya. Atau paling tidak
menahannya lagi. Tetapi justru Andika malah membiarkan
saja. Huh! Pemuda bodoh! Tidak tahu kalau aku mulai
mencintainya, dengus Imas. Tidak tahu kalau aku selalu
memikirkannya. Tiba-tiba terdengar teriakannya yang
keras. "Kang Andikaaaa!"
Andika yang masih terdiam, melengak lalu dengan satu
lompatan ringan ia sudah tiba di sisi Imas. "Ada apa,
Imas?" Gadis itu menunjuk seekor ular yang sedang melata
dengan tangan gemetar. Sikapnya begitu ketakutan sekali.
Andika segera mengambil sebutir kerikil, menjentiknya
hingga batu itu meluncur laksana anak panah yang
dilepaskan dari busur ke arah ular itu Dan seketika kepala
ular itu pecah!
"Tidak apa-apa! Mengapa hanya dengan ular saja kau
takut" Padahal, kau berani membentakku!"
Imas memukul bahu Andika dengan manja. Andika
mengerutkan keningnya. "Aneh, tadi ia membentak-
bentakku, sekarang sikapnya begitu manja. Kenapa sih"
Jangan-jangan buah yang dimakannya mengandung racun
pengacau otak?"
Andika memang tak tahu kalau itu hanyalah akal Imas
belaka. Jangankan hanya seekor ular, seekor singa yang
menghadangnya, gadis itu pun masih berani menghadapinya. Yang terjadi kemudian, tahu-tahu keduanya sudah
saling tatap. Mata mereka seakan magnit yang membuai
dan menggerakkan hati. Karena tiba-tiba saja sepasang
mata Imas terpejam dengan dada berdebar. Untuk sejenak
Andika mengerutkan keningnya. Tidak mengerti.
"Kenapa, Imas" Apakah kau masih ngeri dengan ular
itu?" tanyanya, polos.
Imas menjadi gemas dan segera membuka matanya.
"Kang Andika ini!"
"Lho, aku bertanya kan... ha ha ha!" tiba-tiba Andika
tertawa. Lalu ia memijit hidung Imas yang bangir setelah
menyadari apa yang terjadi. "Kalau kau ingin kucium, aku
mau saja."
Justru dikatakan seperti itu Imas jadi malu. Wajahnya
memerah tak karuan. Namun hatinya senang bukan main.
Akan tetapi, karena sudah telanjur malu, ia melepaskan
rangkulannya pada Andika dan berlari.
"Hei, kau mau ke mana?" seru Andika.
"Kejar aku kalau Kang Andika mampu!"
"Busyet! Dia nantang nih! Tetapi nanti kasih cium ya?"
seru Andika masih tertawa geli memikirkan sikap Imas.
"Cium bibir sumur mau?" seru Imas dari kejauhan.
Andika mengejar, "Kalau kau yang jadi sumurnya, ya...
aku belum tentu mau! Ha ha ha!"
*** Dunia memang berputar, sesuai dengan hukum alam.
Malam pun kembali tlatang. Bentangan langit gelap yang
diterangi oleh jutaan bintang membentang indah.
Di bawah pohon yang rindang, Andika dan Imas duduk
berdua. Dalam jarak seratus tombak dari mereka, berjejer
bukit-bukit indah, namun dilihat pada malam hari tak
ubahnya bagai raksasa yang sedang tertidur. Pada siang
hari, pemandangan disekitar bukit itu sangat indah.
Imas bersandar di batang pohon, sementara Andika
tiduran dengan kepala berbantal kedua paha Imas.
Apa yang dialami oleh Imas ini memang sangat ia
harapkan sekali. Sementara bagi Andika sendiri, ia merasa
Imas akan lebih aman bersamanya karena seperti
diketahui kalau intaian maut siap mengancam mereka.
Meskipun terus terang, berjalan bersama seorang gadis
dalam keadaan semacam ini bukanlah hal yang
mengenakan. Mengingat gadis itu juga memiliki sifat yang
keras kepala. Sampai saat ini Andika masih memikirkan siapakah
yang telah menolongnya. Biar bagaimanapun juga, siapa
pun orangnya, ia akan tetap berterima kasih padanya. Yang
juga masih dipikirkannya, tentang lenyapnya Malaikat Bukit
Pasir yang kemungkinan berkaitan dengan seseorang, yang
mungkin telah menolong laki-laki buta itu atau bisa pula
telah atau akan membunuhnya.
"Kang Andika...," desis Imas dengan suara bergetar
sambil membelai rambut Andika yang gondrong. Matanya
memandang lembut pada Andika yang mendongak.
"Ya?"
"Aku mencemaskan nasib Guru."
"Begitu pula denganku, Imas. Aku sungguh menyesal
karena tidak lebih dulu mengamankannya saat mencari
buah-buahan pengisi perut."
"Jangan salahkan dirimu, Kang Andika. Bukankah kau
sendiri saat itu yakin kalau Guru akan aman?"
"Kau benar, Imas. Tetapi biar bagaimanapun juga...."
Imas menekan mulutnya pada bibir Andika
"Tidak usah kau teruskan lagi."
Suasana hening. Masing-masing dicekam oleh pikiran
sendiri. Malam semakin merambat. Suara binatang malam
terdengar cukup ramai. Andika tak ingin memasang api
unggun karena tak mau mengundang masalah. Sudah
berhari-hari mereka mencari jejak Malaikat Bukit Pasir,
namun lelaki itu tetap tak diketahui di mana berada.
Seolah lenyap dari muka bumi begitu saja.
Kesempatan berdua-dua dengan Imas dipergunakan
Andika meminta pada gadis itu agar menceritakan tentang
Maiaikat Bukit Pasir. Andika mengangguk-anggukkan
kepalanya setelah mendengar semua itu.
Kini ia tahu, kalau sesungguhnya dulu Malaikat Bukit
Pasir selalu menumpas orang-orang golongan sesat. Dan
sekarang, mereka yang masih tersisa masih memendam
dendam yang sangat. Terutama dari Grido Kencono yang
jelas-jelas ditunggangi oleh Datuk Pincang Gunung Neraka.
Sehabis menceritakan semua itu, Imas merebahkan
tubuhnya di tanah, menatap langit yang terhalang oleh
pohon tinggi besar. Andika pun melakukan hal yang sama
dengan otak yang masih berpikir.
Berada di samping Andika, perasaan Imas jauh lebih
aman dan tenteram. Apalagi ketika dingin semakin
menyerang dan ia semakin tenteram ketika tangan
melingkar di tubuhnya. "Tuhan, jangan kau biarkan pagi
datang terlalu cepat. Aku ingin menikmati semua ini
berama-lama," doanya.
Tiba-tiba pesona yang sedang dinikmati gadis itu
lenyap ketika Andika berkata sambil cengengesan, "Imas....
Ada sesuatu yang kurahasiakan sebenarnya."
Gadis itu berbalik, menatap Andika dengan kening
berkerut. Matanya yang indah seolah memancarkan sinar
kelembutan di malam itu. Andika sendiri hampir-hampir tak
percaya menyaksikan apa yang dilihatnya.
"Tentang apa?"
"Aku pernah membohongimu."
Kali ini Imas lebih serius menatap Andika.
"Berbohong" Maksud Kang Andika bagaimana?"
"Dia sudah terbiasa menyebutku dengan panggilan
'Kang'," desis Andika dalam hati dan merasa tak enakbila
mengingat ia pernah membohongi gadis itu. Merasa saat
inilah yang tepat untuk mengatakannya, Andika segera
bercerita saat ia berpura-pura pingsan.
Imas terduduk sambil berkacak pinggang. "Kau?"
suaranya gemetar dengan tangan menuding.
"Apa lagi" Sudah, sudah! Kan sudah berlalu...."
Kemelut Iblis 1 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 14
^