Pencarian

Manusia Muka Kucing 1

Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing Bagian 1


MANUSIA MUKA KUCING
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode: Manusia Muka
Kucing 128 hal.
1 Angin dari selatan bertiup dingin. Puncak Bukit Lingkar nampak diliputi gumpalan
kabut tebal, seolah membekali
diri dengan keangkeran Kesunyian menyelimuti kendati
malam belum sepenuhnya datang. Di langit barat masih
nampak bias-bias sinar matahari senja yang agak
kemerahan dan beberapa ekor burung nampak
membentuk siluet-siluet yang indah.
Di bawah paduan binar kuning kemerahan matahari
yang hampir masuk ke peraduan dan menjemput
kegelapan malam yang segera datang membawa suasana
serba hitam nampak satu sosok tubuh hentikan
kelebatannya di jalan setapak menuju ke Bukit Lingkar.
Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berpakaian
hijau pupus ini perhatikan sekelilingnya sejenak, sebelum melempar pandangan ke
Bukit Lingkar. Wajahnya yang tampan dan dihiasi oleh sepasang alis
hitam legam yang menukik laksana kepakan sayap elang
agak memerah karena hawa dingin Pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini tarik napas pendek Desiran angin
mengurai rambutnya yang bertambah acak
acakan. Masih pandangi Bukit Lingkar, pemuda yang tak lain
Andika alias Pendekar Slebor adanya berkata sambil garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, "Busyet! Seram amat nih bukit! Apa aku tidak salah jalan"! Lagi
pula, bagaimana ceritanya sih aku bisa kesasar di tempat jin buang anak ini?"
Kembali pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini
arahkan pandangan ke sekelilingnya. Keheningan merajai
sekitarnya "Hmm.. mendingan aku cari tempat dulu sebelum
malam makin menyelimuti alam."
Gerakan yang akan dilakukan Andika tertahan tatkala
telinganya menangkap derap langkah kuda yang agak
keras Segera dia arahkan pandangan pada jalan yang tadi
dilaluinya Nampak seekor kuda putih berlari sangat cepat ke arahnya. Dari
gerakan kuda itu jelas dia tak peduli
apakah akan menabrak sesuatu atau tidak di hadapannya
"Kura kura bau' Apa apaan ini" Jangan jangan kuda itu kuda gila!!" desis Andika
begitu menyadari kalau dirinya akan diterjang kuda putih itu.
Lalu dengan gerak yang cepat Andika menyingkir. Kuda
itu terus berlari tanpa terganggu oleh kehadirannya Namun justru Andika yang
jadi kerutkan kening
Karena saat menyingkir ke kanan tadi, dilihatnya ada
noda noda merah pad; kuda itu. Dan pemuda urakan ini
tahu betul kalau itu adalah noda darah.
Busyet! Kenapa tuh kuda. Kalau memang darah itu
keluar dari tubuhnya sudah tentu ada darah yang ter-
cecer. Tetapi tak kulihat sama sekali ada tetesan darah di lanah! Berarti...
kuda itu sebelumnya ditunggangi
seseorang yang terluka!! Kalau memang iya. apakah si
penunggangnya terjatuh atau terlempar" Atau justru malah sudah tewas?"
Bcrpikir demikian. dengan kerahkan ilmu peringan
tuhuhnya pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini segera berkelebat menyusul kuda putih itu. Hanya lima kejapan mata saja dia
sudah berhasil mem- perpendek
jarak. Lalu dengan gerakan ringan, Andika melompat, dan
sosoknya tepat duduk di punggung kuda itu yang sekejap
keluarkan ringkikan tetapi tak hentikan larinya.
Semula Andika bermaksud untuk menghentikan lari
kuda putih yang begitu cepat dengan napas mendengus-
dengus ini. Namun begitu disadarinya kalau kuda putih ini menuju ke satu tempal.
maka dia pun membiarkan saja.
Kuda putih gagah itu terus berlari. Dengan mudah
melompati batu-batu, akar yang menyembul keluar,
bahkan ranggasan semak setinggi dada.
"Busyet! Jelas kuda ini sangat hafal jalan-jalan di tempat ini! Ke mana ya dia
akan membawaku?" desisnya dengan tubuh agak membungkuk.
Tepat tengah malam, kuda itu lelah memasuki sebuah
hutan lebat. Kegelapan makin menyelimuti mata, tetapi
hewan ini terus berlari tanpa kenal lelah. Padahal dari desah napasnya jelas
kalau hewan mi sudah kelelahan.
Tatkala terdengar kokok ayam jantan di kejauhan,
hewan ini telah keluar dari hutan lebat yang luas tadi.
Mendaki sebuah bukil kecil, lalu berbelok ke kiri melewati rerumputan yang
langsung rebah terinjak.
Dari alas punggung kuda itu. Andika melihal sebuah
bangunan yang nampak sudah runtuh di sana-sini.
"Apakah tempat itu yang dituju kuda ini?" desisnya dengan pandangan tak
berkedip. "Cukup menyeramkan."
Apa yang diduganva memang betul. Karena kuda putih
itu tahu-tahu berhenti seraya keluarkan ringkikan keras.
Bila saja Andika tidak segera melompat, sudah tentu dia akan terbanting ke tanah
karena kuda itu berdiri dengan kedua kaki terangkat ke atas. Saat kedua kaki
depannya itu menyentuh tanah kembali, kuda ini keluarkan lagi
ringkikan kerasnya.
Bersamaan terdengar ringkikan kuda, dua orang
pemuda gagah telah keluar dari bangunan itu.
"Si Putih!!"
"Oh! Di mana Paman Guru"!"
Yang berseru pertama tadi seorang pemuda bcr paras
tampan dengan bibir agak memerah. Rambutnya gondrong
acak-acakan dengan ikat kcpala warna biru di keningnya.
Dia mengenakan pakaian warna putih dengan celana
pangsi biru. Di pinggangnya melilit sebuah angkin hitam.
Yang berseru kedua tadi seorang pemuda tinggi besar.
Wajahnya agak kasar dengan tatapan mata dingin.
Mengenakan pakaian biru gclap dengan celana hitam. Dari keterkejutan mereka
melihat si Putih, seolah baru
menyadan kehadiran orang asing, segera masing- masing
orang arahkan pandangan pada Pendekar Slebor.
Yang dipandang cuma cengar-cengir saja padahal
pandangan itu begitu tajam dan menusuk.
"Kang Arya.. siapakah kira-kira pemuda berpakaian
hijau pupus itu?" bisik yang pertama dengan pandangan tak berkedip pada Andika.
Kali ini dia berdiri dengan kedua kaki agak dibuka. tanda bersiaga penuh.
Pemuda berpakaian biru gelap yang bernama Arya
Sempala terdiam dulu sebelum buka mulut, "Hhh! Siapa lagi kalau bukan salah
seorang anak buah manusia terkutuk dari Pulau Hantu"! Dan sudah tentu dia yang
membunuh Paman Guru, lalu sengaja menunggangi si
Pulih untuk mengetahui di mana kita bersembunyi! Ja-
hanam! Jaya Lantung! Beritahu Werdaningsih dan lin dungi Guru! Biar aku
yangmenghadapi manusia keparat ini!!"
Mendengar perintah itu, yang diperintah seperti tidak
suka. Bukan dikarenakan dia disuruh seperti itu, melainkan karena memiliki
keinginan untuk membunuh pemuda
berpakaian hijau pupus di hadapannya yang masih nyengir.
Setelah keluarkan dengusan, pemuda yangdi
pinggangnya melilit angkin hitam ini langsung berkelebat kembali kedalam
bangunan. Sementara itu Arya Sempala sudah maju tiga langkah
ke muka. Berdiri dengan kedua kaki agak dipentangkan
sejarak tujuh langkah dari hadapan Andika.
"Manusia terkutuk! Kau datang hanya unluk
mengantarkan nyawa saja!! Mengapa bukan Manusia
Muka Kucing yang muncul di hadapanku"!"
Mendengar ucapan itu, cengiran di bibir Andika
langsung putus. Kendati sejak pertama tadi dia memang
sudah menangkap nada kemarahan dari pemuda di
hadapannya ini, namun sama sekali tak disangkanya kalau dia menangkap satu
tuduhan jelek. "Manusia Muka Kucing" Busyet! Kayak apa sih tuh
orang?" "Jangan berJagak pilon di hadapanku!! Kedatangan
Manusia Muka Kucing beserta gerombolannya telah
menimbulkan petaka yang tak bisa dimaafkan! Termasuk
kau!!" "Busyet! Enak betul dia membentak-bentak seperti itu!"
rutuk Andika dalam hati. Lalu bersuara sopan, "Maafkan
aku. . aku sama sekali tidak dapal memahami apa yang
kau katakan. .. Kalau kau maksud aku punya kucing atau
tidak, ya kujawah tidak!"
"Berlagak mulia di hadapanku sungguh percuma! Orang-orang sepertimu lebih baik
mampus ketimbang
menimbulkan kekacauan di tanah yang indah ini!" seru Arya Sempala bertambah
gusar Mendadak dia berseru
laksana menggeram. "Terimalah kematian!!"
Habis seruannya, pemuda berwajah agak kusam namun
memiliki hati lembut ini sudah menerjang dengan jotosan tangan kanan lurus ke
wajah Andika. Menilik angin yang
keluar dari jotosannya, jelas kalau si pemuda
mempergunakan sebagian tenaga dalamnya.
Andika yang tidak mengerti mengapa pemuda itu
menyerangnya, jelas tak mau menerima nasib konyol.
Segera saja dia miringkan rubuh. Jotosan yang dilancarkan Arya Sempala hanya
menjangkau tempat yang kosong.
Saat menghindar seperti itu, sebenarnya Andika bisa
langsung lancarkan balasan. Tetapi itu tidak dilakukannya, karena dia sadar
kalau ini hanyalah kesalahpahaman
belaka. Bahkan dia jadi penasaran untuk mengetahui apa
yang telah terjadi.
Tetapi Arya Sempala tidak mau tahu soal itu. Dia terus
menerjang dengan ganas diiringi makian-makian
menjengkelkan. Kali ini dorongan angin setiap kali dia
gerakkan anggota tubuhnya, terasa lebih keras dan dingin.
"Busyet!" desis Andika dalam hati. "Dia bertambah beringas"! Benar-benar kutu
monyet! Perut lagi kelaparan begini harus menghadapi orang beringas seperti
dia?" Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya,
Andika Iuput dari serangan ganas Arya Sempala. Sekali pun dia tidak membalas.
Namun lama kelamaan kejengkelan
mulai masuk pula ke hatinya.
"Hei, hei! Sabar dulu, Tong! Jangan main serang
begini"!" serunya sambil melompal ke belakang. "Nanti kujitak juga nih
kepalamu!"
"Manusia terkutuk! Kau berhasil membunuh orang
orang yang tak menyukai kehadiran partaimu! Tetapi. kau tak akan dapat
mcmadamkan semangat yang ada di dada
kami!!" sahut Arya Sempala bertambah ganas.
Bahkan mendadak saja dia mundur tiga langkah
kebelakang. Pandangannya makin menusuk dengan napas
agak terengah. Menyusul dia saling usap tangan kanan dan kirinya. Tiba-tiba saja
terlihat cahaya putih bening di kedua tangannya. Rupanya dia telah keluarkan
jurus 'Tebar Cahaya Maut', yang diwarisi dari gurunya.
Sebelum dia lakukan serangan, terdengar seruan keras,
"Kakang Arya! Tahan dulu seranganmu!!"
Seorang gadis jelita berambut dikucir kuda telah
berkelebat dari dalam bangunan dan berdiri tiga tindak di sisi kanan Arya
Sempala. "Werdaningsih! Apa-apaan kau menahanku, hah"!!" seru Arya Sempala gusar. Lalu
palingkan la tatapannya lagi ke arah Andika yang sedang garuk-garuk kepalanya.
"Kakang... aku tak bermaksud menahanmu! Manusia
terkutuk seperti pemuda ini memang harus mampus!
Tetapi aku ingin tahu nasib Paman Guru!!" sahut si gadis yang bernama
Werdaningsih. Dia sudah tahu kehadiran
pemuda itu dari Jaya Lantung. Bahkan didengarnya suara serangan demi serangan
yang tcrjadi. "Justru kau hanya akan membangkitkan
kesombongannya belaka!!"
Gadis berpakaian putih-putih ilu tak pedulikan kala kata Arya Sempala. Dia
berseru dengan tatapan tak berkedip
pada Andika. "Pemuda celaka! Iblis terkutuk! Katakan, di mana Paman Guruku,
hah"!"
Sudah tentu Andika terheran-heran mendengar
perlanyaan yang dilontarkan dengan cara membentak itu.
Dia tak segera buka mulut. Dan berkata dalam hati
"Menilik sikap mereka, jelas ada satu masalah besar rupanya. Dan mereka tengah
menantikan Paman Guru
mereka yang tentunya pergi dengan menunggang kuda
putih itu, namun kuda putih kembali tanpa
penunggangnya. Hmmm.. aku jadi ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi."
Memutuskan demikian, Andika rangkapkan kedua
tangannya di depan dada, agak membungkuk sedikit. Lalu
berkata sopan, "Maaf. . aku sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku
juga tidak mengerti mengapa kalian menuduhku anak buah dari orang yang berjuluk
Manusia Muka Kucing?"
"Terkutuk!!" Mengkelap wajahWerdaningsih. "Kurobek mulutmu!!"
Sebelum Andika buka mulut, .Arya Sempala yang sudah
tidak sabar untuk lancarkan serangan berkata, "Manusia jahanam seperti dia, mana
mungkin buka mulut! Ingat,
Werdaningsih. . kehadirannya bersama partai terkutuknya telah menumpahkan
darah!! Bunuh pemuda celaka itu!!"
"Tunggu!! Kalian salah paham! Aku sama sekali tidak mengerti dengan yang kalian
maksud! O ya, namaku
Andika. Aku bisa tiba di sini, karena tertarik melihat kuda putih itu yang
berlari ke arahku. Terus terang, semula
kupikir itu kuda gila. Tetapi begitu kulihat ada noda darah di punggungnya, aku
jadi ingin tahu ada apa sebenarnya.
Dan tak kusangka sama sekali kalau kuda itu akan
membawaku ke sini."
"Manusia hina! Kau lerlalu banyak bicara! Kupulangkan jasadmu pada Manusia Muka
Kucing!" "Wah! Jadi berabe nih! Kalau kudiamkan, bisa-bisa aku kena sasaran serangan
mereka! Tapi kalau kuajak bicara, mereka semakin ganas! Tapi juga kalau aku
pergi dari sini, justru aku tidak tahu apa yang membuat mereka begitu


Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beringas! Benar-benar berabe! Apakah aku harus.. ."
Kata batin Andika terputus tatkala terdengar hentakan
Werdaningsih, "Katakan apa yang telah kau lakukan pada Paman Guru, hah"!" '
"Busyet! Mana aku tahu?" dengus Andika dalam hati.
Lalu katanya, "Dengar dulu dong apa yang kukatakan tadi!
Aku sudah bilang, aku tidak mengerti dengan semua ini!
Kalian kan bisa mendinginkan kepala dulu" Kalau tidak
bisa juga ya.. nyebur saja di sungai!"
Selorohan Andika justru membuat Arya Sempala
bertambah kalap. Dia berseru keras; 'Terkutuk' Lebih baik kau mampus
ketimbang. .."
Seruan Arya Sempala terputus tatkala terdengar suara
Jaya Lantung keras, "Arya! Werdaningsih! Keadaan Guru gawat!!"
Werdaningsih langsung bcrkelebat masuk ke dalam
bangunan, sementara Arya Sempala berkata dulu pada
Andika, "Bila kau punya nyali. tetap berada di situ! Karena aku akan tetap
mengirimmu ke neraka!!"
Lalu dia segera masuk ke dalam bangunan yang
sebagian dindingnya sudah runtuh dan sebagian lagi
dihinggapi lumut.
Di tempatnya, Andika agak mangkel juga diancam
seperti itu. Tetapi dia pun sadar kalau semuanya hanyalah salah paham belaka.
Kendati demikian, dia tetap
penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Terutama,
mendengar kata-kata pemuda yang bernama Jaya Lantung
tadi. Di dalam bangunan, nampak tiga remaja itu sedang
berlutut mengelilingi seorang letaki tua berpakaian putih bersih. Kendati
wajahnya pucat pasi, tetapi mata orang tua itu bersinar teduh. Di bagian perut
lelaki tua itu nampak noda darah yang besar. Rupanya perut lelaki itu terluka
besar. "Kakang Arya! Apa yang akan kita lakukan?" seru Werdaningsih menahan sedih.
Arya Sempala cuma menahan napas. Dia sendiri sudah
berusaha untuk mengobati luka-luka yang diderita gurunya, namun tak membawa
hasil yang memuaskan.
Jaya Lantung membawa sebuah baki terbuat dari tanah
liat. Dari dalam baki itu mengepul asap putih yang berbau agak menusuk. Lalu
dengan hati-hati. ramuan yang terbuat dari akar dan bubukan daun kering itu
ditaburkan pada
luka si kakek. Terdengar desisan kesakitan dari lelaki tua itu.
Sepasang matanya yang menyipit makin menyipit. Keringat
semakin membanjiri tubuhnya.
"Kang Jaya.. ," mendesis ngeri Werdaningsih.
"Jangan legang. Kita berdoa saja agar ramuan ini dapal menyumbat darah yang
terus menerus keluar," sahut Jaya Lantung. Lalu berhati hati dia mengambil air
ramuan itu. Ditiupnya sejenak sebelum diminumkan secara hati-hati
pada si kakek Si kakek tcrsedak dan air ramuan itu langsung keluar
lagi. Menyusul terdengar keluhannya, tertahan.
"Rasanya.. sudah lerlambat. .," desis Jaya Lantung pasrah.
Kata-kata Jaya Lantung membuat Werdaningsih mau
tak mau lerisak. Gadis jelita ini sangat menyayangi gurunya yang berjuluk
Malaikat Keadilan. Sementara Arya Sempala hanya herdiri kaku dengan pandangan
lurus. Raut wajah
pemuda ini pun menunjukkan ke pedihan yang dalam.
Selagi suasana dieekam keheningan, terdengar suara di
ambang pintu, "Bila kalian menghendaki, biarkan kucoba untuk mengobati luka yang
diderita Guru kalian.. ."
*** 2 Masing-masing orang yang berada di sana segera
palingkan kepala. Arya Sempala langsung berdiri tcgak
dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
"Manusia terkutuk! Keluar dari sini!!"
Orang yang tadi bicara dan tak lain Andika cuma
tersenyum, padahal dalam hati dia berkata mangkel.
"Brengsek juga! Huh! Kalau tidak sabar-sabar, sudah kujitak kepalanya!!"
Kemudian katanya, "Aku tak peduli kalian
menganggapku anggota gerombolan yang telah
mencelakakan kalian atau tidak. Tetapi percayalah, aku
bukan orang yang kalian duga!"
"Diaaammm!!"
Tetapi Andika tak peduli. Hanya sekali lihat saja dia tahu kalau leiaki tua yang
tergolek lemah itu bertambah parah.
"Tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Izinkan aku membantu mengobati guru
kalian.. ."
"Manusia jahanam! Pantang
kami meminta bantuanmu!!" geram Arya Sempala bertambah gusar. Dan dia nampak sudah hendak
lepaskan serangan.
Namun gerakannya tertahan tatkala terdengar suara
Werdaningsih. "Kakang Arya! Biarkan dia... "
"Tidak!" sahut Arya Sempala tanpa palingkan kepala.
"Manusia seperti dia, hanya menjadi racun di muka bumi ini!" "Brengsek juga
mulutnya! Huh! Benar-benar ingin kujitak nih!" kata Andika dalam hati lalu
berkata. "Biarkan aku mengobati guru kalian. Setelah itu, aku akan pergi dari
sini." "Kau harus mampus!!"
Sebelum Andika berkata, Jaya Lantung buka mulut lebih
dulu, "Kau dan gerombolanmu telah membuat malapetaka yang lak pernah habis!
Untuk saat ini, nyawamu kami
bebaskan! Lekas menyingkir dari sini!!"
"Kutu monyet! Bila terus menerus seperti ini. tak
mustahil nyawa kakek itu tak akan tertolong!' kata Andika dalam hati.
Lalu tanpa perdul kan tatapan bengis dari Arya Sempala
dan Jaya Lantung, pemuda dan Lembah Kutukan ini
melangkah. Sikap yang dilakukannya membuat Arya
Sempala tak bisa menahan sabar lagi. Tinjunya sudah
menderu ke wajah Andika.
Pemuda ini cuma angkat tangan kanannya
Des!! Benturan dua langan ilu memang cukup menyakitkan.
Sosok Arya Sempala terhuyung tiga tindak ke belakang
yang dengan cepat segera ditahan oleh Jaya Lantung.
Sementara Andika yang surut lima tindak tahu- tahu
menggerakkan tangannya cepat. Entah apa yang
dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah melangkah
mendekati Malaikat Keadilan yang bertambah parah.
Anehnya, kali ini kedua pemuda itu tak mencoba
menahannya. Bahkan mereka hanya memperhatikan saja.
Werdaningsih sebenarnya cukup heran. Namun gadis yang
mencemaskan keadaan gurunya tak mempeduli kannya.
Dipehatikan bagaimana pemuda berpakaian hijau
pupus itu sudah berlutut dan memeriksa luka di perut
gurunya "Lukanya parah sekali. Nampaknya bekas ditoreh oleh senjata yang sangat tajam.
Menilik warna kehitaman
ini,"jelas kalau senjata itu telah dibubuhi racun."
Lalu berhati-hati Andika memegang kedua ibu jari kaki
Malaikat Keadilan. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' tingkat kesembilan.
Begitu kedua ibu jarinya dipegang, si kakek nampak
melonjak dengan keluarkan suara tertahan.
Werdaningsih terkejut hingga bersuara, "Apa yang kau lakukan, hah"!!"
Tetapi Andika tidak peduli. Dia terus alirkan tenaga Inti Petir. Sementara
Werdaningsih sendiri urung Iontarkan
suara kcmbali, apalagi dilihatnya kedua kakak
seperguruannya hanya terdiam saja. Diam-diam di dalam
hati dia berharap, agar pemuda itu dapat menyembuhkan
luka yang diderita gurunya.
Beberapa kejap berlalu, Andika nampak mulai di banjiri
keringat. Bahkan nampak napasnya sudah megap-megap
sekarang. Wajahnya merona merah dengan tubuh agak
bergetar. Cukup lama dia alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua lbu jari Malaikat
Keadilan. Setelah dilihatnya si kakek muntah darah dan dari luka di perutnya
keluar darah hitam yang kental, Andika menarik napas panjang.
Hati-hati dilepasnya kedua ibu jari Malaikat Keadilan
yang dipegangnya.
"Beri dia minum .,' katanya entah pada siapa.
Werdaningsih buru-buru mengambil bubung bambu
berisi air yang diminumkan secara hati-hati pada gurunya.
Sementara Andika duduk dengan kedua tangan
dirangkapkan di depan dada. Jelas kalau dia tengah
memulihkan keadaannya lagi.
Werdaningsih yang selesai memberikan minum pada
gurunya, kembali keheranan melihat sikap dua kakak
seperguruannya, yang tetap berdiri tanpa berbuat apa- apa.
Werdaningsih berpikir, "Mereka tak berbuat apa- apa, mungkin dikarenakan pemuda
itu memang telah berhasil
menolong Guru."
Suasana kembali hening. Tak ada yang keluarkan
suara, kecuali sesekali terdengar batuk Malaikat Keadilan.
Andika yang telah selesai pulihkan tenaganya, berdiri
lagi. Sejenak diperhatikannya wajah si kakek sebelum
berkata pada Werdaningsih, "Selama sepenanakan nasi, alirkan tenaga dalam kalian
pada guru kalian.
Kuharap, kalian bergantian melakukannya. Tenaganya
begitu lemah sekali. "
Hanya itu yang dikatakan Andika, karena kejap
berikutnya dia sudah keluar dari sana. Ada keinginan di hati Werdaningsih untuk
mengucapkan terima kasih.
Namun karena kedua kakak seperguruannya tidak berbuat
apa-apa kecuali tetap berdiri tegak, Werdaningsih pun
urung melakukannya.
Di luar Andika berkata dalam hati, "Aku ingin tahu apa yang terjadi. . "
Lalu dia pun meninggalkan tempat itu.
Pagi terus beranjak menuju siang. Sebagian bangunan
yang agak runtuh itu, mulai disusupi sekaligus diterangi sinar matahari.
Werdaningsih masih berlutut sambil
pandangi wajah gurunya yang kini tidak pucat seperti
semula. Bahkan napas gurunya mulai terdengar teratur.
Cukup lama gadis berkuncir kuda ini memperhatikan
gurunya sebelum akhirnya menyadari kalau tak mendengar
suara kedua kakak seperguruannya. Cepat- cepat
dipalingkan kepalanya. Mereka masih berdiri tegak.
"Kang Arya! Kang Jaya! Bantu aku alirkan tenaga dalam pada Guru!!" seru
Werdaningsih sambil palingkan kepala lagi pada gurunya.
Dia berucap lagi lalkala melihat kedua kakak
seperguruannya masih berdiri tegak tanpa berbuat apa-
apa. Bahkan tak keluarkan suara.
Kali ini Werdaningsih berdiri dengan pandangan
berkerut. "Aneh, apa yang terjadi dengan mereka" Apakah mereka berdiam diri
karena merasa geram seorang musuh
yang telah menyelamatkan Guru" Atau.. ke duanya mulai
menduga kalau pemuda yang di lehernya melilit kain.
bercorak catur bukanlah anggota Manusia Muka Kucing?"
Werdaningsih berkata, "Apa-apaan kalian ini" Ayo, bantu aku!!"
Tetapi setelah tak mendapati sahutan, Werdaningsih
perlahan-lahan mendekali keduanya. Dipandangi nya
wajah masing-masing orang satu per satu.
"Mereka tak membuka mulut. Hanya mata mereka yang
bergerak-gerak seperti mengisyaratkan sesuatu. Apakah...
hei! Sejak tadi mereka tetap berdiri tegak seperti ini"!"
Merasa heran Werdaningsih berkata, "Apa yang terjadi dengan kalian" Mengapa
kalian diam saja" Apa kalian.. "
Memutus kata-katanya sendiri Werdaningsih membatin,
"Gila! Mereka dalam keadaan tertolok! Oh! Bagaimana bisa
mereka tertotok" Dan siapa yang melakukannya" Sejak
tadi hanya pemuda itu saja yang berada di sini!"
Tiba-tiba Werdaningsih menghela napas panjang.
"Yah, siapa lagj yang melakukannya kalau bukan
pemuda tadi" Sungguh hebat!! Pantas Kang Arya dan Kang
Jaya lidak berbuat apa-apa kecuali seperli membiarkan
pemuda itu menolong Guru. Karena bila dalam keadaan
tidak tertotok. tak mungkin mereka mengizinkan pemuda
itu mengobati Guru."
Lalu dengan hati-hati diperiksanya tubuh kedua kakak
seperguruannya yang kini nampak agak malu. Tetapi
pancaran mata Arya Sempala begitu geram.
Setelah diperiksa tukup lama. Werdaningsih gagal
menemukan di mana totokan yang telah membuat kedua
kakak seperguruannya berubah laksana patung berada.
Hal ini membuatnya bertambah penasaran. Namun makin
dicari, makin tak ditemukan di mana totokan itu.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, pasrah. Ada
pcrasaan kecut menyadari kalau dia menggantungkan
harapan pada kedua kakak seperguruannya.
"Jalan satu-satunya.. aku harus mencari pemuda itu untuk membebaskan kedua kakak
seperguruanku ini dari
totokan yang dilakukannya," desisnya dalam hati. Lalu berkata, "Maafkan aku.
Kang Arya, Kang Jaya.. . Aku tidak tahu di mana totokan itu berada. Kalaupun
tahu, aku juga ragu apakah dapat membebaskan kalian atau tidak."
Namun sebeium dia berbuat apa-apa. mendadak saja
tcrdengar keluhan pelan. Menyusul kedua kakak
seperguruannya itu ambruk seperti ditiup angin.
"Kang Arya! Kang Jaya!!"
Kedua pemuda itu geleng-gelengkan kepala, karena
merasa agak pusing. Cukup lama mereka dalam keadaan
terduduk sebelum terdengar seruan gusar Arya Sempala
seraya berdiri, "Jahanam! Aku harus mencari pemuda itu"!"
"Kang Arya! Tunggu! Jangan bertindak gegabah!!"
Sementara Arya Sempala hentikan gerakannya dan
palingkan kepala gusar, Jaya Lantung berkata,
"Werdaningsih! Ini urusan laki-laki! Kau tetap menjaga Guru!!"
"Tidak! Maksudku. . aku.. . Sudahlah, kalian tak perlu meributkan soal pemuda
tadi." "Dia telah menotokku!!" seru Arya Sempala gusar
"Aku juga baru tahu soal itu! Tetapi, apakah kalian tidak berpikir, kalau dengan
cara yang tidak kelihatan pemuda itu berhasil mcnotok kalian" Bila dia hendak
membunuh kalian, tentunya dengan mudah akan dilakukan!"
Mendengar kata-kata si gadis, dua pemuda itu sama-
sama kertakkan rahangnya. Namun sedikit banyaknya
membenarkan apa yang dikatakan Werdaningsih.
Werdaningsih berkata lagi, "Sebaiknya.. kita tinggalkan tempat ini sebelum
manusia-manusia keparat itu datang!
Atau paling tidak, kita mencari tahu keadaan Paman Guru.
Bagaimana menurut kalian?"


Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya Sempala nampak masih gusar. Tetapi dia
membenarkan juga kata-kata Werdaningsih tadi, "Kau benar. Werda. Keadaan
nampaknya bertambah buruk saja
scmenjak kila bersama-sama Guru berusaha mengatasi
sepak terjang Manusia Muka Kucing. Yah, kita tinggalkan tempat ini. Kau dan Jaya
membawa Guru menjauh dan sini, sementara aku akan mencari kabar tentang Paman
Guru." "Lain bagaimana dengan pemuda itu, Kang Arya?" tanya Jaya Lantung.
Arya Sempala tcrdiam dulu sebelum menjawab, "Aku
tidak tahu siapa dia adanya. Tetapi terus terang kukagumi kehebatannya. Tadi
kupikir, saat dia terhuyung dan
menggerak-gerakkan tangannya, hanya untuk membantu
kuasai keseimbangannya belaka. Tidak tahunya. dia
lakukan totokan dari jarak jauh. Dan totokan yang
dilakukannya akan terlepas bila sudah lewat dari batas
waktunya. Kupikir, untuk saat ini kita tak perlu
mempersoalkannya lagi."
"Bila pemuda itu hendak membunuh kita, maka dengan mudah akan dilakukannya.
Bukan hanya akan membunuh
kalian berdua, tetapi juga aku dan Guru." kata
Werdaningsih menimpali. "Tidakkah kalian memikirkan soal itu?"
Kedua kakak seperguruannya mengangguk-angguk.
Arya Sempala berkaia lagi. "Tak usah kita membicarakan siapa sebenarnya pemuda
itu. Tetapi tempat
persembunyian kita secara tidak sengaja telah diketahui olehnya. Berarti, bisa
jadi orang-orang Manusia Muka
Kucing cepat atau lambat akan tiba di sini juga. Sekarang kalian bawa Guru
menjauh dari sini, naikkan ke tubuh si Putih. Pergi ke arah timur. Aku akan
mencari tahu tentang Paman Guru."
"Kang Arya... bagaimana kami bisa tahu keadaanmu?"
tanya Werdaningsih.
Arya Sempala terdiam. Nampak wajahnya sarat dengan
keragu-raguan. Lalu katanya pelan, "Biarlah aku yang akan mencari kalian...."
Ketiga remaja itu saling tatap. Kejap kemudian, dengan
dibantu Werdaningsih, Jaya Lantung telah menggendong
tubuh gurunya yang masih belum pulih benar.
Keduanya masih pandangi sejenak Arya Sempala yang
berdiri tegak. Kejap berikutnya, Jaya Lantung mulai
melangkah keluar diiringi Werdaningsih
Namun baru saja mereka menginjak ambang pintu,
langkah mereka tertahan laksana dihadang setan.
Pandangan masing-masing orang terbeliak lebar.
Di hadapan mereka, telah berdiri lima orang lelaki tinggi besar dengan wajah
bengis berpakaian hitam - hitam! Si Putih sendiri sudah tidak ada di tempatnya.
*** 2 Arya Sempala langsung melompat ke depan, berdiri dl
hadapan Jaya Lantung dan Werdaningsih. Tatapannya
lajam lak berkedip pada kelima orang berpakaian hitam-
hitam yang hanya saling pandang disusul tawa keras.
Ketiga wajah murid Malaikat Keadilan ini cukup tegang.
Terutama Werdaningsih yang segera merapati Jaya
Lantung. Tak ada yang keluarkan suara kecuali tawa keras dari kelima orang
berpakaian hitam-hitam itu.
Tanpa setahu orang-orang yang berada di sana,
sepasang mata dari balik ranggasan semak belukar mem-
perhatikan. Pemilik sepasang mata ini yang ternyata
Pendekar Slebor adanya membatin, "Untung aku masih sempat melihat kedatangan
kelima Orang berpakaian
hitam-hitam. Menilik sikap mereka dan ketegangan yang
melanda tiga remaja itu, jelas kalau sesungguhnya mereka telah saling mengenal.
Atau paling tidak, mempunyai
dugaan yang tepat. Sebaiknya, kulihat dulu apa yang akan terjadi."
Rupanya, Pendekar Slebor yang memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu, melihat kelima orang berpakaian hitam-hitam sedang
berkelebat menuju ke bangunan di
mana Malaikat Keadilan dan ketiga muridnya berada.
Merasa ada sesuatu yang harus diketahuinya, Andika
mengurungkan niat unluk segera menyelidiki masalah apa
sampai Malaikat Keadilan menderita luka sedemikian
parah. Karena diam-diam, anak muda urakan ini merasa
kehadiran kelima lelaki berpakaian hitam hitam
merupakan sebagian jawaban yang dicarinya.
Semen tara itu Arya Sempala diam-diam agak bergetar
juga. Tetapi hanya sekejap. karena kejap berikutnyu sorot mutanya memancar
dingin dengan dendam yang tinggi.
Tanpa palingkan pandangan dia herbisik pada Jaya
Lantung, "Selamatkan Guru"
Jaya Lantung sejenak nampak meragu. Tetapi begitu
dilihat kekerasan wajah kakak seperguruannya, dia pun
segera bergerak ke arah timur disusul oleh Werdaningsih.
Namun tiga lelaki berpakaian hitam hitam itu lelah
melompat menghadang, sementara yang dua orang lagi
maju salu langkah ke hadapan Arva Sempala. Salah
seorang yang menghadang Jaya Lantung dan
Werda?ningsih berkata sambi terbahak, "Mau ke mana, hah" Bukankah sudah ada
jalan yang paling aman menuju
ke neraka"!"
"Bawung! Apakah kau tidak melihat kelinci gemuk yang tentunya enak bila digarap
heramai ramai?" bersuara yang berwajah tirus pada orang penuh bulu yang
berbicara pertama tadi. Pandangan orang ini menyipit dan sorot
matanya berkilat penuh birahi pada Werdaningsih.
Serta-merta wajah gadis berkuncir kuda ini merah
padam mendengar kata-kata orang Namun gadis ini masih
bisa menahan diri untuk tidak segera bertindak gegabah.
Dari pandanga.nnya pada Jaya Lantung, Bawung
alihkan pandangannya pada Werdaningsih. Dengan
seringaian lebar dia buka mulut lagi, "Benar-benar kelinci gemuk! Dan sungguh
nikmat dinikmati di saat seperti ini!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Werdaningsih keras.
"Hmm.. liar juga rupanya! Aku masili bermurab bati pada kalian untuk tidak
mencabut nyawa kalian! Serahkan Malaikat Keadilan untuk kami serahkan pada
Manusia Muka Kucing!"
"Iblis terkutuk! Begundal-begundal tengik! Panggil Manusia Muka Kucing untuk
berhadapan dengan kami!!"
menyengat Werdaningsih dengan kedua tinju dikepalkan.
Bersamaan Werdaningsih keluarkan bentakan, Andika
yang masih bcrada di balik ranggasan semak membatin
lagi, "Manusia Muka Kucing! Hmm.. jadi orang- orang itu anak buah orang yang
berjuluk Manusia Muka Kucing"
Busyetl Apa mukanya memang mirip kucing" Atau kakinya
yang berjumlah empat yang kayak kucing" Huh! Pasti
kucing garong!!"
Bawung keluarkan tawanya yang keras. "Tidakkah
kalian ingat kalau guru kalian tak berdaya menghadapi
Manusia Muka Kucing"! Masih untung dia dapat melarikan
diri hinga tidak mampus tercabik-cabik oleh kuku-kukunya yang mengandung racun!!
O ya, tidakkah kalian ingin tahu nasib Paman Guru kalian yang bernama Paksi
Uladara" Dia telah mampus dengan tubuh robek terkena cakar Manusia
Muka Kucing!!"
Bukan hanya Werdaningsih yang terkejut, Java Lantung
sendiri bergetar dadanya. Pandangan pemuda itu makin
tajam. Namun dia juga tak mau bertindak gegabah Karena
dia harus menyelamatkan gurunya.
Semertara itu Werdaningsih membatin, "Mungkin. . ini jawaban dari kata-kata
pemuda berpakaian hijau pupus
itu.Jelas dja bukanlah salah seorang anak buah Manusia
Muka Kucing." Lalu hati-hati dia berbisik pada Jaya Lantung, "Kau bawa Guru dari
sini, Kang. . Biar aku yang menahan mereka. . "
"Tidak!" balas Jaya Lantung dalam bisikan. "Kau yang membawa Guru, aku yang
menghadapi mereka."
Bawung berkata dengan seringaian lebar, "Kau benar!
Ya, kau benar! Tetapi.. kita urus dulu Malaikat Keadilan yang sudah sekarat
iluj" Habis kata-katanya terdengar, lelaki brewok ini sudah
mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah Jaya
Lantung. Namun sebelum jotosan itu mengenai sasarannya
Werdaningsih sudah maju memapaki seraya berseru,
"Selamatkan Guru, Kang Jaya!!"
Des!l . " v
Jotosan Bawung jadi melenceng. Bukannya geram
karena niatnva digagalkan gadis berkuncjr itu, lelaki ini justru terbahak-bahak
hingga perutnya yang agak buncit bcrgcrak. "Sangat menyenangkan! Kalian langkap
gadis itu! lngat, jangan sampai terluka! Biar kuurus pemuda celaka yang sudah mau mampus
ini!!" Dua, orang kaWan Bawung sudah mengurung Wer-
daningsih dan langsung lancarkan serangan yang ganas.
Bawung sendiri segera mencecar Jaya Lantung yang dalam
keadaan menggendong gurunya sudah tentu pemuda ini
cukup kerepotan.
Makanya setelah berhasil hindari serangan Bawung, dia
segera turuhkan sosok gurunya. Lalu mencelat ke depan.
Memang itulah yang ditunggu Bawung sebenarnya. Karena
apa yang dikatakannya tadi adalah scbuah rencana lidk.
Salah seorang yang mengurung Werdaningsih dan
hcrtubuh jangkung segera melompat memburu ke arah
Malaikat Keadilan. Tangan kanannya yang mengandung
tenaga dalam penuh, siap menghajar dada si kakek yang
masih dalam keadaan lemah itu.
Jaya Lantung terperanjat melihat hal itu. Dia cepat
melompat ke samping setelah kaki kanannya dijejakkan
lebih keras ke tanah. Jotosan lawan yang siap
menghancurkan kepala Malaikat Keadilan terhalang oleh
tendangannya. NamunJaya Lantung sendiri harus merasakan betapa
kerasnya pukulan Bawungyang mendarat didadanya.
Pemuda itu sampai terpental hingga menabrak pohon.
Sementara itu Arya Sempala sudah harus menghadapi
dua lelaki berpakaian hitam-hitam lainnya. Pemuda
berwajah agak kasar ini tak mau bertindak ayal. Kedua
tangannya sudah pancarkan cahaya bening yang begitu
digerakkan, langsung mencelat dua cahaya bening ke arah dua lawannya.
Tersentak masing-masing orang menerima serangan itu
yang kontan langsung bergulingan. Cahaya-cahaya bening
yang keluarkan suara menggemuruh itu menghantam
rengkah ranggasan semak belukar yang langsung
terbongkar ke udara.
Berhasil membuat jarak dengan dua lawannya, Arya
Sempala menggerakkan tangannya ke arah Bawung yang
sedang mengejar Jaya Lantung.
"Keparat sial!!" maki Bawung sambil membuang diri.
Blaaarrr! Cahaya bening itu menghantam ranggasan semak
hingga pecah berhamburan.
Sementara itu seorang Iain bertubuh jangkung sudah
siap menjejakkan kaki kanannya pada kepala Malaikat
Keadilan. Namun mendadak saja dirasakan satu tenaga
tak nampak mcnahan injakan kakinya, menyusul satu
sentakan keras yang membuatnya terlempar ke belakang.
"Aaaakhhh!!"
Lelaki jangkung ini terjengkang di atas lanah dan
langsung muntah darah. Setelah menggeliat sejenak.
nyawanya pun melayang. Rupanya Malaikat Keadilan yang
sudah merasa tenaganya agak pulih berhasil halangi
maksud orang itu.
Andika yang tadi bermaksud untuk halangi niat si
Jangkung menarik napas lega. "Tak kusangka... dalam keadaan masih lemah seperti
itu, si kakek mampu hadang
serangan. Sekaligus, memutus nyawa orang yang
menyerangnya."
Bawung yang melihat kematian si Jangkung berteriak
setinggi langit. Dia mengamuk sejadi-jadinya dengan
serangan demi serangan ganas pada Jaya Lantung. Angin
keras berkesiur mendahului setiap serangannya.
Lama kelamaan Jaya Lantung menjadi kewalahan juga.
Melihat hal itu Andika memutuskan untuk membantu.
Namun gerakannya tertahan, tatkala dilihatnya gadis
berpakaian putih-putih yang kendati agak terdesak telah bertindak cepat.
Tangan kanannya pun telah keluarkan cahaya bening
yang langsung didorong ke muka, sementara tangan kiri
didorong ke arah Bawung. Lawannya yang sedang
lancarkan tendangan, tak menyangka kalau satu
gelombang angin keras yang disertai cahaya bening telah melabrak ke arahnva.
Tanpa ampun lagi dadanya terhantam telak hamparan
angin yang keluar dan dorongan tangan kanan
Werdaningsih. Terdengar jeritan tertahan menyusul tubuh yang
terpental. Begitu ambruk ke tanah, lelaki itu telah menjadi mayat dengan dada
menghitam yang keluarkan asap.
Sementara hamparan angin dan cahaya bening yang
melesat dari tangan kiri Werdaningsih menghalangi niat
Bawung untuk kirimkan serangan kembali pada Jaya
Lantung. Begitu melihat Bawung melompat kesamping,
Jaya Lantung langsung menerjang ke depan. Kedua
tangannya pun telah keluarkan cahaya bening dan di-
hantamkan pada dada Bawung yang keluarkan pekikan
tertahan. Seketika itu juga Bawung terpental kebelakang dan
muntah darah. Dia masih sempat kelojotan saat tubuhnya
ambruk. Dua kejap kemudian sosoknya diam tak bergerak
dengan dada menghitam keluarkan asap.
"Hebat!" desis Andika. "Tetapi jurus itu agak kejam.
Rasanya tak pantas dilakukan oleh gadis seperti
Werdaningsih. Namun keadaan memang.. heil!"
Melihat sesuatu yang janggal, Andika memutus kata-
katanya sendiri. Menyusul tubuhnya berkelebat cepat
melalui arah sebelah kanan.
Sementara itu. mendapati kawan-kawan yang lain
sudah tewas, dua lelaki berpakaian hitam hitam yang
sedang menghadapi Arya Sempala menjadi ngeri.
Serangan yang mereka lancarkan menjadi kacau balau
karena mereka berusaha untuk melarikan diri. Namun
pemuda berpakaian biru gelap ini tak mau membiarkan
orang-orang itu melarikan diri. Dengan jurus 'Tebar Cahaya Maut', dicecarnya
kedua lelaki berpakaian hitam yang kini memucat.
"Kalian tak akan bisa lolos dari tanganku, Manusia-manusia celaka!!" gcram Arya
Sempala terus mencecar.


Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serangan demi serangan yang dilancarkan tak mampu
dihadang oleh kedua lawannya. Dua gebrakan kemudian,
kedua lawannya sudah terbaring di tanah dan nyawa
melayang ke neraka.
Arya Sempala meludahi kedua mayat itu dengan geram.
"Manusia-manusia celaka seperti kalian lebih baik
mampus!!" makinya jengkel.
Tatkala dipalingkan kepalanya, dilihatnya Werdaningsih
sedang alirkan tenaga dalamnya pada Jaya Lantung. Arya
Sempala segera mendekatinya.
"Biar aku yang meneruskan, Werda. Kau lihat keadaan Guru...."
Arya Sempala segera alirkan tenaga dalamnya pada
Jaya Lantung yang duduk bersila. Baru saja dia selesai
alirkan tenaga dalamnya, terdengar seruan tertahan
Werdaningsih, "Kang Arya! Kang Jaya Lantung! Guru tidak ada"!"
*** 4 Kedua pemuda itu segera berkelebat mendekati
Werdaningsih. Jaya Lanlung langsung bergerak cepat. Dia bukan hanya mendatangi
tempat di mana tadi diletakkan
tubuh gurunya di sana, tetapi juga mengelilingi tempat itu.
Tiga tarikan napas berikutnya, dia sudah kembali lagi ke tempat semula dengan
wajah tegang. "Tidak ada. .," desisnya gelisah dengan napas berat.
"Tadi di mana kau letakkan Guru, hah"!" seru Arya Sempala agak keras.
Jaya Lantung tergagap sejenak. Dia tak segera
membuka mulut karena sedikit banyaknya merasa
bersalah. "Aku... aku... tadi kuletakkan di sini, Kakang...."
"Lalu di mana sekarang, hah'"!" suara Arya Sempala bertambah gusar. Sebagai
murid yang tertua dia merasa
bertanggungjawab atas hilangnya sang Guru.
"Aku... aku...."
"Berpencar! Kau pergi bersama Werdaningsih ke arah timur! Aku akan menyusuri
arah barat!!" kata Arya Sempala kemudian dan langsung berkelebat
Sepeninggalnya tak ada yang buka mulut. Jaya Lan tung
masih tergugup dengan suasana yang tak disangkanya.
Werdaningsih diam-diam merasa tidak enak dengan situasi yang baru saja lerjaili.
Apalagi melihat wajah Jaya Lantung yang nampak bersalah.
"Kang Jaya. . sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Kita harus mencari Guru. .."
"Seharusnya aku lidak menurunkan Guru tadi," kata Jaya Lantung resah.
"Kang Jaya... apa yang kau lakukan ladi benar. Karena secara tidak langsung kau
lelah menyelamatkan Guru.
Sungguh sulit menghadapi lawan sambil menggendong
Guru," kata Werdaningsih bijaksana Padahal saal ini hatinya resah bukan main.
"Seharusnya tadi kau tak perlu membantuku
memulihkan tenaga, Werda. Kau harusnya langsung
menemui Guru."
"Kang Jaya... jangan bicara begitu. Lebih baik kita segera mencari Guru," kata
Werdaningsih. Lalu berkata,
"Kira-kira siapa yang telah membawa Guru" Atau
mungkinkah Guru yang memang meninggalkan kita?"
Jaya Lantung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dugaan yang ada. Guru telah dilarikan seseorang yang tentunya bermaksud jahat
Kalaupun Guru yang sengaja
berlalu, tak mungkin. Kendati dia sudah mulai membaik,
namun lentunya belum memiliki tenaga penuh."
Merasa gembira karena Jaya Lantung dapat diajak
bercakap-cakap lagi sccara normal, Werdaningsih berkata,
'Kita berangkat ke arah timur sekarang juga."
Pilihatnya Jaya Lantung masih terdiam. Setelah
menghela napas dia berkata, "Aku bersumpah.. bila terjadi sesuatu yang tidak
mengenakkan pada Guru, akan
kucincang orang Itu."
Werdaningsih tak menghiraukan sumpah yang di
katakan Jaya Lantung. Dia sudah berkelebat ke arah timur dengan hati gelisah.
Jaya Lantung sendiri segera menyusul adik seperguruannya itu.
Tanah yang cukup luas di hadapan bangunan yang
sebagian telah runtuh itu kembali ditindih sepi. Matahari terus beranjak naik ke
titik paling atas, menerangi lima mayat berpakaian hitam-hitam yang tergeletak
di atas tanah. Jauh dari tempat itu, Pendekar Slebor terus berkelebat
dengan cepat. Sejarak lima belas tombak di hadapannya.
satu sosok tubuh berpakaian merah-merah terus berlari
dengan membopong tubuh Malaikat Keadilan.
"Kurang asem! Siapa orang itu?" desis Andika jengkel.
"Semakin kupercepat lariku, semakin dia menjauh. Jelas-jelas kalau orang itu
memiliki ilmu peringan tubuh yang lebih tinggi."
Sambil memaki panjang pendek, anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini terus menambah ilmu
peringan tubuhnya. Namun seperti yang dikatakannya tadi, semakin dia mempercepat
larinya, orang yang membopong
Malaikat Keadilan justru semakin menjauh.
Rupanya, di saat Andika mcmutus kata-katanya tadi,
karena dia melihat seseorang berpakaian merah- merah
muncul begitu saja tanpa diketahui dari mana datangnya.
Lelaki berkumis tebal dengan luka di pipi kanan itu.
langsung menyambar tubuh Malaikat Keadilan dan
langsung mcmbawanya pergi.
Andika sendiri segera berkelebat menyusul.
Di depan. lelaki berpakaian mcrah-merah yang
membopong tubuh Malaikat Keadilan dan mengetahui
kalau dia di kuti membalin, "Hmmm... rupanya pemuda itu masih mengikutiku.
Bagus! Dia akan mengalami kejutan
yang besar di ujung jalan sana!"
Merentanakan sesuatu untuk pemuda yang
mengikutinya, lelaki berkumis tebal ini sengaja
memperlambat gcrakannya, hingga jarak antara dia
dengan Andika semakin dekat. Andika sendiri yang sudah
jengkel terus kerahkan ilmu pcringan tubuhnya.
Dan dia berseru tatkala sudah memasuki ujung jalan,
"Orang celaka! Turunkan Malaikat Kecfdilan!!"
Tanpa berpaling dari larinya, orang itu berseru,
"Mengapa hanya bisa bicara" Mengapa tidak kau sendiri yang mengambil lelaki tua
yang mau mampus ini"!"
"Kutu monyet! Akan kujitak kepalanya sampai benjol!!"
maki Andika sambil pereepat larinya.
Sejarak delapan langkah, lelaki berpakaian merah-
merah itu tiba-tiba saja hentikan larinya. Tatkala berpaling dia langsung
berseru keras, "Sekarangl!"
Belum lagi Andika mengerti apa yang terjadi, mendadak
saja meluncur empat buah tambang yang langsung
menjerat kedua kaki dan tangannya Menyusul dirasakan
betotan yang coba untuk menarik putus kaki dan
tangannya. "Kura-kura baulT" rutuk anak muda ini sambil kerahkan tenaga dalamnya guna
menahan betotan empat buah tali
itu. Empat buah tambang sebesar lengan seorang bocah itu menyentak dan empat
sosok tubuh berpentalan ke luar
dari arah yang berlainan melompat keluar akibat tarikan Andika. Namun dengan
kaki kanan menahan tanah,
masing-masing orang dapat menahan tarikan tenaga
dalam Andika. Andika mendengus, "Monyet-monyet pitak! Rupa nya
kalian termasuk orang-orang iseng, hah"!"
Di depan, lelaki berpakaian merah-merah terbahak-
bahak keras. "Anak muda... siapa pun yang mencoba
menyelamatkan pemberontak celaka ini harus mampus!!
Hmmm. . ingin kulihat kebisaanmu dulu sebelum mampus!!
Tarik dia sampai putus anggota tubuhnya!!"
Mendengar perintah itu, keempat orang berpakaian
hitam-hitam langsung tarik tali yang masing-masing
pegang. Tubuh Andika sejenak meregang, namun dengan
cepat ditahannya. Hingga terjadilah tarik menarik yang kuat antara Andika dengan
empat orang berpakaian hitam-hitam itu.
"Kutu monyet!!" maki Andika sambil terus bertahan.
Sungguh sulit mengatasi keadaan ini sebenarnya.
Karena kedua kaki yang menjadi tumpuan keseimbang-
annya harus diperlahankan dari betotan orang-orang itu.
Bila saja kakinya berhasil dilarik, sudah bisa dipastikan kalau dirinya akan
terjengkang dan mudah untuk
dijatuhkan. Tetapi memang sulit memperlahankan
keseimbangannya. Apalagi Secara mendadak dua orang
yang memegang tambang yang mengikat kedua kakinya,
mengendurkan tenaganya. Hingga mau tak mau Andika
yang sedang kerahkan tenaganya terpelanting ke samping
akibat betotan tenaganya sendiri. Baru saja tubuhnya
terjatuh, dua orang yang memegang tambang dan
mengikat kedua tangannya sudah menarik ke depan.
Kembali mau tak mau tubuh pemuda berpakaian hijau
pupus ini tcrtarik ke depan. Belum lagi dia dapat kuasai
keseimbangannya dua orang yang memegang tambang
dan mengikat kedua kakinya, sudah mencelat ke depan
dengan tendangan lurus.
Des! Des! Dua tendangan telak itu langsung menghantam dada
Andika yang tersentak kaget. Darah segar menyembur
keluar. Menyusul dirasakan tarikan pada kedua tangannya lagi. Lelaki berpakaian
merah merah tertawa keras,
"Rupanya tak memiliki kepandaian apa-apa tetapi sudah berani lancang untuk
menghalangi niat anak buah Manusia Muka Kucing! Hmmm.. sebelum mampus, kau boleh
bcrkenalan dulu denganku! Ingat, kau boleh memanggilku, si Kaki Kilat karena
kepandaianku dalam hal ilmu peringan tubuh!!"
"Monyet pitak! Kenapa kau tidak turun sekalian !"
sentak Andika gusar dan berusaha untuk mengatasi setiap penderitaan yang
dialaminya. Dan mendadak saja terdengar seruannya, terlahan
Karena mendadak tiga orang lelaki berpakaian hitam-
hitam lainnya telah muncul dari tiga arah yang ber-
lawanan, Langsung menebarkan jala besar yang
mengurung tubuhnya.
Gelagapan Andika berseru keras, "Kucing-kucing bau!!"
Cepat dialirkan tenaga 'Inti Petir' ke seluruh tubuhnya, mencoba memutuskan jala
itu. Bersamaan dengan itu.
satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Rupanya salah seorang yang memegang tambang besar
dan mengikat kaki kanannya, sudah melompat.
Kendati tubuh Andika terhuyung ke depan, namun
orang yang menendangnya tadi memekik keras. Karena
dirasakan satu sengatan mendera kaki kanannya. Pe
gangannya pada tambang itu terlepas dan orang ini jatuh tersungkur dengan kaki
melepuh. Melihat hal itu, leiaki berkumis tebal terhenyak kaget.
Segera saja dia mencelat ke depan setelah melempar
begitu saja tubuh Malaikat Keadilan. Gerakan kedua
kakinya sangat cepat sekali hingga keluarkan angin
berdesir-desir.
Andika terhenyak mclihatnya. Dia mencoba menahan
dengan kedua tangan yang segera diangkat, namun saat
itu pula tangan kanan kirinya menyentak ke samping
karena dua orang yang memegang tambang telah
menariknya. Maka tanpa ampun lagi, tendangan kaki kanan dan kiri
yang dilancarkan si Kaki Kilat telak menghantam dadanya.
Des! Des! Saat itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang. Si Kaki
Kilat sendiri yang telah berdiri tegak agak terkejut, karena dirasakan sengatan
pada kedua kakinya. Bila saja saat itu Andika tidak dalam keadaan kehilangan
keseimbangan, sudah dipaslikan kaki kanan kiri si Kaki Kilat akan
langsung melepuh terkena tenaga 'Inti Petir' yang telah dialirkan pada sekujur
tubuhnya. Andika sendiri merasakan tubuhnya dibetot keras
disertai jala yang makin mengikatnya.
"Busyet!" makinya jengkel.
Hanya dalam tiga kejapan mata saja, tubuh anak muda
urakan ini telah tertekuk. Dadanya terasa sakit sekali
karena kedua tangannya yang ditarik ke belakang seperti menindih dadanya
sendiri. Wajahnya sendiri sudah
mencang mencong karena tarikan jala yang kuat.
"Kura-kura bau!!" makinya gusar dalam hati. "Kalau aku terlepas dari jala
keparat ini, akan kujitak kepala mereka satu per satu sampai benjol!!"
Lalu Ia berseru konyol, "Hoooii !! Aku bukan ikan nih!
Lepaskan dong!!"
Tetapi sudah tentu orang-orang itu tak mau
melepaskannya. Bahkan si Kaki Kilat sudah memberi aba-
aba untuk menghantami tubuh Andika. Kejap itu pula
dalam keadaan tcrikat kuas, Andika menenma hantaman
yang keras, bertubi-tubi hingga akhirnya pemuda dari
Lembah Kutukan ini jatuh pingsan.
Melihat hal itu, lelaki berkumis tebal terbahak-bahak
lebar seraya melangkah mendekati Andika.
"Hhhh! Tak seorang pun yang dapat menyelamatkan
nyawa Malaikat Keadilan! Satu-satunya stsa pemberontak
yang menentang kebijaksanaan Manusia Muka Kucing!"
Lalu dengan kaki kanannya, dia menyepak tubuh
Andika hingga terlentang. Nampak darah segar keluar dari hidung dan mulut pemuda
urakan itu. Seringaian bertambah lebar di bibir Kaki Kilat.
"Aku tidak tahu siapa pemuda ini. Kubunuh pun tidak jadi masalah karena yang
dihendaki oleh Manusia Muka
Kucing adalah Malaikat Keadilan. Hmmm.. entah apa yang
di nginkan oleh Manusia Muka Kucing sebenarnya. Hingga
hari ini, aku belum tahu apa yang di nginkannya kendati dia telah menaklukkanku.
Menjadi salah seorang tangan
kanannya sungguh menyenangkan. karena aku dapat
berlindung dari segala yang merintangi kesenanganku."
Habis membatin begitu, dengan tawa keras lelaki
berkumis lebal ini berseru "Bunuh dia!!"
Serentak orang-orang berpakaian hitam hitam me-
langkah mendekati Andika sambil bersorak-sorai Mem-
bunuh bagi mereka adalah sebuah kesenangan tiada
banding. Namun belum lagi mereka melakukan perinlah si
Kaki Kilat, satu gelombang angin raksasa telah menderu
dengan keluarkan angin menggidikkan.
Hebatnya, gelombang angin itu tidak menghantam
sosok Andika yang pingsan. melainkan orang-orang


Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian hitam hitam yang saat itu pula langsung terpental. Lima orang
langsung tewas tanpa keluarkan suara.
Sementara dua orang lagi jatuh pingsan. Akibat lain dari gelombang angin yang
mendadak muncul, ranggasan
semak belukar langsung terseret pecah dan tanah munerat ke udara.
Terkesiap si Kaki Kilat melihat anak buahnya morat-
marit seperti itu. Segera saja dia balikkan tubuh dan siap keluarkan bentakan.
Namun mulutnya laksana terkunci.
Kedua matanya terbeliak kaget.
Kejap itu pula dia langsung jatuhkan tubuh, di hadapan
seseorang berpakaian terbuat dari bulu berwarna belang-
belang yang berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya
"Ketua...."
*** 5 Orang yang berdiri di hadapan Kaki Kilat dan tadi
lepaskan gelombang angin yang menghantam tujuh orang
anak buah Kaki Kilat, merandek dingin. Orang yang
tingginya hanya sebahu Kaki Kilat ini memandang lelaki itu dengan sorot mala
memerah Ada kengerian dalam bagi
siapa saja yang melihatnya. Rambut orang ini panjang tak beraturan dan kenakan
pakajan terbuat dari bulu herwarna belang-belang. Pada jari-jari tangannya
terdapat kuku-kuku runcing warna hitam. Dari wujudnya yang aneh, ada
sebuah keanehan sekaligus kengerian bagi yang
melihatnya. Wajah lelaki ini mirip kucing!
Saat menyeringai, unlaian kumis jarangnya seperti
meregang Suaranya agak sengau, "Bagus kau berhasil mendapatkan Malaikat
Keadilan!"
Kaki Kilat yang tadi geram melihal anak buahnya dibuat
Kisah Si Bangau Putih 11 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 9
^