Pencarian

Racun Kelabang Merah 2

Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Bagian 2


nya dialihkan ke arah sosok Arya.
Pertiwi sadar kendati Panangkaran tidak
memperpanjang masalah itu, tapi tidak berarti ke-
curigaan lelaki bermata satu itu lenyap. Panangkaran belum puas dengan jawaban
yang diberi- kannya. "Rasanya aku pernah mengenalnya, Ayah."
Pertiwi membuka percakapan ketika mereka telah
menghentikan ayunan kaki di depan tubuh Dewa
Arak. Jarak antara anak dan ayah itu dengan
ujung kaki Arya hanya dua jengkal.
"Begitukah?"
Datar saja pertanyaan yang dilontarkan
Panangkaran seraya menatap Pertiwi yang berdiri di sebelahnya.
"Kau tahu siapa pemuda sombong ini?"
Perlahan-lahan Pertiwi menggelengkan ke-
pala. "Tidak, Ayah. Jangankan mengenalnya, bertemu saja baru sekali. Itu pun
hanya sekeleba-tan. Aku tengah tergesa-gesa karena dikejar-kejar Dewa Obat
Tangan Sakti."
"Dia seorang pendekar muda yang som-
bong, Pertiwi!" Tandas Panangkaran berapi-api.
"Seorang yang merasa paling sakti. Jadi, suka mencampuri urusan orang lain.
Belum lama ini aku dilukainya saat hampir berhasil membunuh
Bagas Pati!"
"Ah....!"
Seruan kaget itu terlontar dari mulut Per-
tiwi. Gadis berpakaian hitam ini tahu betul tingkat kepandaian ayahnya. Kalau
Panangkaran sampai
kalah dan berhasil dilukai, bisa diperkirakan oleh Pertiwi tingkat kepandaian
pemuda berambut putih keperakan itu!
*** "Kau kaget, Pertiwi?"
Ucapan Panangkaran membuat Pertiwi
kembali mengalihkan perhatian pada ayahnya.
"Terus terang ya, Ayah." Gadis berpakaian hitam itu membenarkan. "Rasanya sukar
diper-caya ada orang yang mampu mengalahkan Ayah.
Apalagi orang itu masih muda."
"Kau akan lebih kaget lagi kalau tahu siapa dia sebenarnya, Pertiwi."
"Siapa dia, Ayah?" Pertiwi tidak sabar untuk segera mengetahui siapa pemuda
berpakaian ungu yang luar biasa itu. Yang diam-diam telah
menimbulkan rasa simpati di hati Pertiwi, sejak pertama kali melihatnya ketika
dengan gagah berani menghadang Dewa Obat Tangan Sakti.
"Apakah kau pernah mendengar tentang
seorang pendekar muda yang julukannya meng-
gemparkan dunia persilatan?" Panangkaran malah balik bertanya.
Pertiwi terdiam sejenak. Kemudian, wajah-
nya berubah hebat. "Maksud Ayah" Dewa
Arak..."!" Pertiwi terbata-bata karena tidak yakin dengan dugaannya.
Gadis itu menatap Dewa Arak dengan se-
pasang mata membelalak lebar. Julukan Dewa
Arak telah lama didengarnya. Tokoh muda yang
memiliki kepandaian tinggi. Ditakuti lawan dan
disegani kawan. Tak terhitung tokoh-tokoh hitam yang roboh di tangannya. Ia
sungguh tidak menyangka bisa bertemu dengan Dewa Arak. Untuk
beberapa saat gadis berpakaian hitam ini tertegun begitu Panangkaran mengangguk,
membenarkan dugaannya. "Dan sekarang, Pertiwi." Panangkaran
membuka suara lagi. "Dewa Arak yang terkenal di dunia persilatan itu tak
berdaya. Nyawanya berada
di tanganku. Sebentar lagi nama Panangkaran
akan terkenal sebagai orang yang telah mene-
waskan Dewa Arak! Namaku akan membubung
tinggi. Ha ha ha...!"
Pertiwi ikut tertawa meski sebenarnya ti-
dak ingin melakukannya. Untuk pertama kalinya
Pertiwi yang sudah terbiasa membunuh dan me-
nyiksa merasa tidak rela mendengar musuh ayah-
nya akan tewas. Pertiwi tidak tahu mengapa se-
babnya. Yang jelas, dia tidak ingin Dewa Arak tewas atau tersiksa. Apalagi mati
dengan cara mengerikan. Pertiwi benar-benar tidak rela!
"Lalu,.., apa yang hendak Ayah lakukan
terhadapnya" Membunuhnya?"
"Itu sudah pasti, Pertiwi. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Dewa Arak telah
berani men- campuri urusanku. Bahkan, dia telah melukaiku.
Sebagai balasannya, dia akan mati dengan cara
yang amat mengerikan. Dia akan mati secara per-
lahan-lahan, Pertiwi. Ha ha ha...!"
Untuk kedua kalinya Pertiwi tergelak. Bah-
kan, tawa gadis berpakaian hitam ini lebih keras daripada ayahnya.
"Kau boleh saksikan pertunjukan menarik
ini, Pertiwi. Lihatlah bagaimana kelabang-kelabang merah akan membuat Dewa Arak
tersiksa sebelum
mati secara mengenaskan. Ha ha ha...!"
Dengan derai tawa dari mulutnya, Panang-
karan membuka tutup bumbung rotan yang sejak
tadi dipegang dengan tangan kanannya. Pertiwi
menyembunyikan rasa ngeri yang menggayut di
hati. Belasan ekor kelabang berlompatan keluar
dari lubang bumbung rotan,
Derai tawa Panangkaran mengiringi gerak
kelabang-kelabang merah yang saling berlomba
mendekati tubuh Dewa Arak. Kegembiraan mem-
bayangkan siksaan yang akan dialami Dewa Arak
membuat Panangkaran tidak melihat suatu kegan-
jilan. Pertiwi yang biasanya paling suka melihat orang tersiksa kali ini tidak
memperlihatkan kegembiraan sedikit pun. Gadis berpakaian hitam itu memang
tertawa. Tapi, tawanya sumbang dan jelas kedengaran karena terpaksa.
Panangkaran tidak melihat ketika wajah
Pertiwi menegang hebat saat belasan ekor kela-
bang merah sudah berada dekat dengan Dewa
Arak. Bukan hanya Pertiwi saja yang merasa nge-ri. Dewa Arak pun demikian. Hanya
saja pemuda berambut putih keperakan ini pandai menguasai
perasaannya. Sehingga, tidak terlihat gambaran
perasaan apa pun pada wajahnya.
Kendati hanya bisa menduga kelabang-
kelabang merah itu memiliki racun ganas dari bau amis yang memuakkan ketika
mereka keluar dari
bumbung, Dewa Arak menyadari benar bahaya be-
sar tengah mengancamnya. Pemuda ini tahu Pa-
nangkaran tidak bicara bohong dengan ancaman-
nya tadi. Meski demikian, Dewa Arak tidak putus
asa. Tenaga dalamnya telah pulih seperti sediakala sehingga belenggu-belenggu
itu bukan apa-apa
baginya. Sayang, Panangkaran mengetahui hal itu.
Lelaki bermata satu yang tidak ingin pendekar
muda yang dimusuhinya itu bebas telah menotok-
nya hingga Dewa Arak tidak bisa mengerahkan te-
naga dalam. Tapi, totokan itu dilakukan sudah cukup
lama. Sejak Panangkaran dan Pertiwi tiba Arya
merasakan pengaruh totokan mulai membuyar.
Kini, menyadari adanya ancaman terhadap di-
rinya, Arya mengerahkan tenaga dalam agar toto-
kan itu lebih cepat punah.
Dengan hati berdebar tegang Arya mem-
buat perhitungan. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini yakin semua jalan darahnya akan pulih seperti sediakala sebelum
kelabang yang paling
dulu bergerak menggigit tubuhnya. Arya yakin
akan bisa selamat dari kelabang-kelabang itu.
"Hampir aku lupa!" Panangkaran yang
memperhatikan dengan penuh minat dan wajah
berseri-seri pada kelabang-kelabang berseru kaget.
Lelaki bermata satu ini mengalihkan perhatian
pada Dewa Arak. Jari telunjuk kanannya lalu di-
tudingkan ke depan.
Arya mengeluh dalam hati ketika merasa-
kan sekujur tubuhnya kembali lemas. Panangka-
ran yang teringat akan totokannya merasa khawa-
tir saat itu pengaruh totokan telah membuyar. Ia kemudian mengirim totokan dari
jauh pada bahu kanan Arya. Tepat pada sekujur tubuh Arya kembali
lemas, seekor kelabang menggigit pergelangan kaki kanan pemuda itu. Seringai
kesakitan tampak di
bibir Arya. Kalau saja saat itu ia tidak berada dalam keadaan tertotok, mungkin
tubuhnya akan terguncang karena rasa sakit yang mendera.
Arya merasakan sakit dan pedih. Yang
mengejutkan, sesaat kemudian pada bagian yang
tergigit timbul rasa gatal yang sangat. Rasa gatal yang membutuhkan gerakan
tangan. Karena saat
itu ia tidak bisa bergerak, rasa gatal itu pun menimbulkan perasaan tersiksa.
Belum juga perasaan itu lenyap, kelabang-
kelabang lainnya telah menggigit pula. Rasa sakit, pedih, dan panas seperti
terbakar terus dirasakan Arya. Sehabis menggigit, kelabang-kelabang itu
berjalan-jalan di sekujur tubuh Arya. Padahal, setiap kulit manusia yang
tersentuh dengan tubuh
bagian bawah binatang itu bagaikan terkena ulat bulu yang paling gatal.
Sehingga, tidak hanya menimbulkan perasaan gatal yang menyiksa, tapi ju-ga
membuat kulit Arya bentol-bentol besar.
Hanya dalam sebentar saja sekujur tubuh
Arya sudah tidak utuh lagi. Yang paling menge-
naskan pada bagian wajah. Bentol-bentol besar
membuat sepasang mata Arya sipit. Wajah itu bersemu kehijauan, pertanda
keracunan hebat!
Meski rasa sakit yang hebat melanda, Arya
mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang
cengeng. Tak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya. Panangkaran yang
memperhatikan seluruh
kejadian itu diam-diam merasa kagum. Tapi, lelaki bermata satu ini tidak
menunjukkannya. Ia terus tertawa gembira.
Tawa Panangkaran baru lenyap ketika De-
wa Arak pingsan karena tak kuat menahan sik-
saan. Tentu saja hal itu membuat Panangkaran
kehilangan kegembiraannya. Tanpa banyak bicara
lagi dan dengan membayangkan kepuasan hati,
tubuhnya dibalikkan dan berjalan keluar ruangan.
Pertiwi yang telah bisa menguasai pera-
saannya dan berpura-pura gembira mengikuti
langkah ayahnya. Ditinggalkannya kelabang-
kelabang merah yang masih berpesta dengan tu-
buh Dewa Arak *** "Turunkan aku. Harap turunkan aku. Aku
bisa berjalan sendiri...!"
Seruan-seruan itu tidak terlalu keras. Pe-
miliknya tengah berada dalam keadaan lemah. Ta-
pi, cukup untuk membuat gadis berpakaian hitam
yang tengah berlari cepat menghentikan larinya
dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Sosok
yang berada di bahu kanan gadis berpakaian hi-
tam itulah yang mengeluarkan seruan.
Kini ia berdiri di tanah dengan kedua kaki.
Sosok ini seorang pemuda berpakaian ungu dan
berambut putih keperakan. Mengingat bentuk tu-
buhnya yang tegap dan kekar, tentu ia memiliki
wajah yang tampan. Tapi, ternyata tidak. Wajah
itu buruk karena dipenuhi bentol-bentol besar.
Sepasang matanya yang mencorong kehijauan se-
perti mata harimau dalam gelap hampir tidak terlihat. Yang lebih mengerikan,
wajah pemuda ber-
pakaian ungu itu bersemu kehijauan. Pemuda ini
tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak.
"Mengapa kau menolong aku, Pertiwi?"
tanya Arya lemah. Ditatapnya wajah gadis berpa-
kaian hitam itu lekat-lekat. Arya sejak tadi memang diam saja dan membiarkan
Pertiwi memba- wanya kabur. Pertanyaan itu membuat Arya teringat
kembali akan kejadian tadi. Dia baru saja tersadar ketika Pertiwi masuk ke dalam
ruangan tempatnya ditahan. Sebelum Arya sempat bicara sesuatu, gadis berpakaian
hitam itu telah lebih dulu memberi isyarat agar Arya jangan berisik.
Dengan hati-hati, karena takut diketahui,
Pertiwi menyingkirkan kelabang-kelabang merah
dari tubuh Arya. Kemudian, dibukanya belenggu
di kedua pergelangan tangan dan kaki. Lalu Perti-wi membawa kabur pemuda
berambut putih kepe-
rakan itu. Pertiwi yang tidak menyangka akan men-
dapat pertanyaan seperti itu menjadi gugup. Wa-
jahnya memerah sehingga membuat kecantikan-
nya semakin tampak.
"Aku... aku.., eh... maksudku..., aku ingin membalas hutang budi yang telah kau
berikan padaku." Meski dengan terbata-bata Pertiwi berhasil menyampaikan
alasannya. "Maksudmu..., di waktu kau dikejar-kejar
kakek berpakaian putih, Pertiwi?" Tanpa ragu-ragu Arya menyapa gadis berpakaian
hitam itu dengan namanya. Ia tahu nama gadis itu karena
mendengar percakapan Pertiwi dengan Panangka-
ran. "Benar, Dewa Arak." Pertiwi menganggukkan kepala. Suaranya kali ini tidak
gemetar lagi. "Panggil saja aku Arya, Pertiwi. Perlu kau ketahui, waktu itu aku akan
menolongmu tidak
untuk mengharapkan balas jasa. Itu memang su-
dah tugasku. Jadi, tidak perlu kau memaksakan
diri untuk membalas budi. Apalagi, sampai
mengkhianati ayahmu sendiri."
"Tapi, De..., eh, Arya. Apabila aku men-
diamkan saja kau akan tewas di tangan Ayah. Aku akan menyesal seumur hidup. Dan
perlu kau ta-hu, Arya, aku tidak pernah membiarkan orang
menghutangkan budi padaku tanpa aku memba-


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lasnya." Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Pertiwi merasa lega
karena Arya tidak mendesaknya lagi. Terus berdusta terhadap
Dewa Arak yang memiliki sepasang mata tajam
seperti mampu membaca pikiran orang bukan
perbuatan yang mudah!
Memang, Pertiwi berdusta dengan alasan-
nya menolong Dewa Arak. Seorang seperti Pertiwi yang sejak kecil dididik
kejahatan, mana mungkin memikirkan balas budi terhadap orang yang per-
nah menolongnya" Itu tidak ada dalam kamus hi-
dup Pertiwi! Bahkan, gadis berpakaian hitam ini tidak segan-segan membalas budi
orang dengan kejahatan! "O iya, Arya. Hampir saja aku lupa."
"Apa yang kau lupakan, Pertiwi?"
"Ini." Pertiwi mengangsurkan sebuah guci kecil yang mulutnya tersumbat sejenis
kain dari kulit binatang. "Oleskan cairan ini dengan merata pada sekujur
tubuhmu, terutama pada bagian-bagian yang bentol. Kalau tidak, bentol-bentol itu
akan membusuk seperti layaknya daging orang
yang telah meninggal."
"Ah...!"
Arya sampai mengeluarkan seruan kaget
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak me-
nyangka sedahsyat itu akibat yang akan diteri-
manya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Arya menerima guci itu. Kemudian, dibawanya ke
kerimbunan semak yang berada tak jauh dari situ.
Pertiwi sendiri sehabis memberikan guci itu
mengalihkan pandangan ke arah tadi dia datang.
Arah pandangannya tertuju pada tempat ayahnya
berada. Tempat di mana Arya disiksa.
Tanpa sepengetahuan Arya, karena Pertiwi
dengan pandainya mampu menyembunyikan pe-
rasaan, Pertiwi merasa khawatir bukan main. Ba-
nyak hal yang dicemaskannya. Satu di antaranya
adalah apabila ayahnya mengetahui Dewa Arak te-
lah lolos! Panangkaran pasti akan melakukan pengejaran, juga gurunya.
Keberhasilan Pertiwi membawa kabur Dewa Arak adalah karena kebetulan
Panangkaran sedang sibuk menyambut kedatan-
gan gurunya. *** 6 "Pembunuh keji! Kiranya kau berada di si-
ni... Mampuslah!"
Teriakan nyaring yang sarat dengan kema-
rahan itu mengejutkan Pertiwi. Keterkejutan itu bercampur rasa khawatir ketika
mengetahui asal
seruan itu dari tempat Dewa Arak berada.
Tanpa membuang-buang waktu lagi Pertiwi
melesat ke dalam kerimbunan semak. Ia tidak
khawatir kalau-kalau Arya tengah melepas pa-
kaian untuk mengoleskan cairan. Kekhawatiran
akan nasib pemuda berpakaian ungu itu lebih be-
sar dari segalanya.
Pertiwi agak terperanjat ketika telah berha-
sil menerobos kerimbunan semak. Meski cukup
lebat dan lebar ternyata di balik semak-semak itu terdapat lapangan rumput yang
luas! Brakkk! Hiruk-pikuk dari semak-semak yang bera-
da di dekat situ membuat gadis berpakaian hitam terjingkat kaget. Pertiwi baru
saja menjejakkan sepasang kakinya di tanah ketika bunyi hiruk-pikuk terjadi.
Pertiwi langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari Arya. Hati gadis
berpakaian hitam ini menjadi lega ketika melihat Arya bergulingan di tanah. Arya
selamat! Ternyata pemilik bentakan telah melancar-
kan pukulan jarak jauh terhadap Dewa Arak. Na-
mun, gagal karena pemuda berambut putih kepe-
rakan itu sempat menggulingkan tubuh untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Saat Arya
masih bergulingan di tanah, sosok itu melompat
dan menerjang bagai seekor harimau. Jari-jarinya terkembang membentuk cakar!
Arya yang masih bergulingan di tanah,
mengetahui ancaman maut ini. Pemuda berambut
putih keperakan itu sadar jika mengelak tidak
mungkin dilakukan, menangkis pun hanya akan
membuat nyawanya melayang ke alam baka. Te-
naga dalamnya telah lenyap.
Tapi, malaikat maut rupanya belum ingin
berjumpa dengan Arya. Di saat yang amat gawat
bagi keselamatan pemuda itu, Pertiwi melompat
dengan kecepatan menakjubkan. Ia memapaki
terkaman pemilik bentakan yaitu seorang pemuda
berpakaian coklat
Bresss! Benturan keras yang menggetarkan sekitar
tempat itu langsung terjadi. Tubuh kedua orang
itu terjengkang ke belakang dan jatuh tergulingguling di tanah.
Namun, dengan gerakan sederhana Pertiwi
maupun pemuda berpakaian coklat mampu me-
matahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka
bergulingan. Keduanya bangkit berdiri meski dengan pandangan nanar.
"Siapa kau, Nona" Mengapa melindungi
penjahat keji itu?" tanya pemuda berpakaian coklat setelah melempar pandangan
kagum melihat orang yang menangkis serangannya seorang gadis
muda. Cantik lagi.
"Siapa aku tidak perlu kau tahu! Yang je-
las, apabila kau bermaksud bertindak curang dan secara tak tahu malu ingin
membunuh dia, aku
tidak akan tinggal diam! Kau harus melangkahi
mayatku dulu sebelum maksudmu terlaksana!"
penuh semangat dan berapi-api Pertiwi menyam-
buti ucapan pemuda berpakaian coklat yang nama
sebenarnya Patuka.
Pemuda berpakaian coklat terperanjat
mendengar kata-kata yang lantang itu. Di samping
bersemi perasaan kagum yang besar terhadap Per-
tiwi. Gadis itu memang cantik bukan main! Apala-gi ketika dalam keadaan penuh
semangat. Terlihat cantik dan gagah.
"Nona," Suara Patuka mulai melunak. Ia tidak ingin terlibat pertarungan dengan
gadis berpakaian hitam ini. Di dalam hatinya telah muncul simpati yang besar
terhadap Pertiwi. Perasaan
yang membuat Patuka tidak ingin melukai apalagi membunuh Pertiwi!
"Cihhh! Tak tahu malu. Kau kira aku akan
berpihak padamu dengan rayuan yang hendak
kau lontarkan terhadapku"!" timpal Pertiwi, cepat.
Wajah Patuka langsung merah padam.
Ucapan Pertiwi tajam bukan main. Pemuda berpa-
kaian coklat ini merasa heran, tidak menyangka
akan mendapat sambutan sepedas itu. Sukar di-
percaya ucapan sekasar itu keluar dari mulut seorang gadis yang cantik jelita
dan gagah seperti Pertiwi. Patuka besar dalam lingkungan yang meski tidak
terlalu bersopan-santun tapi cukup mempunyai aturan. Lain halnya dengan Pertiwi.
Gadis berpakaian hitam itu besar dalam didikan seorang tokoh hitam yang kasar dan
tidak mengenal aturan. Maka, Pertiwi menganggap sambutan yang
diberikannya biasa-biasa saja.
*** "Mulutmu terlalu tajam, Nona," ucap Patuka dengan wajah memerah karena malu. Itu
pun setelah beberapa saat lamanya terdiam bagai
orang kehilangan akal. "Siapa yang bermaksud merayumu" Aku bukan sejenis orang
seperti itu, Nona. Aku hanya ingin memberitahumu kalau
orang yang kau lindungi itu adalah seorang pem-
bunuh keji!"
"Apa pun yang kau tuduhkan padanya aku
tidak peduli!" tandas Pertiwi mantap. "Yang jelas, kalau kau ingin membunuhnya
kau harus melangkahi mayatku dulu!"
Pemuda berpakaian coklat tersenyum pahit
"Kau tidak memberikan pilihan lain pada-
ku, Nona."
"Tidak usah banyak bicara, Lelaki Bermu-
lut Wanita! Kalau kau bukan seorang pengecut,
maju dan serang aku!"
Patuka menggertakkan gigi. Tidak ada gu-
nanya lagi berpanjang kata kalau tidak ingin ucapan-ucapan Pertiwi semakin
menyakitkan hatinya.
"Tunggu sebentar...!"
Patuka yang telah siap melancarkan seran-
gan dan Pertiwi yang sudah sedia untuk mengha-
dapinya mengendurkan urat-urat mereka men-
dengar seruan itu. Keduanya menoleh bersamaan
ke arah Arya. "Apa lagi yang hendak kau katakan, Pem-
bunuh Keji"!" geram Patuka seraya menatap Arya dengan sinar mata penuh kebencian
dan dendam. Arya tentu saja bisa merasakannya. Tapi,
pemuda berambut putih keperakan ini berpura-
pura tidak tahu.
"Sejak pertama kali kita bertemu kau telah menuduhku seorang pembunuh keji.
Padahal, aku tidak tahu menahu dengan yang kau maksud.
Berkali-kali aku minta kau mau menjelaskan, tapi kau tidak mau mendengarnya.
Sekarang, untuk
terakhir kalinya aku minta kau menjelaskannya
sebelum semuanya menjadi telanjur."
Tenang dan penuh kematangan Arya men-
gucapkan kata demi kata. Tidak ada nada amarah
di dalamnya. Patuka dan Pertiwi terdiam. Mereka mera-
sakan jiwa dan pemikiran yang matang dalam
ucapan Dewa Arak. Ucapan yang membuat kedua
orang muda itu diam-diam merasa kagum.
Patuka menjadi terkejut ketika melihat
keadaan Arya yang mengenaskan. Tadi dia tidak
sempat memperhatikannya karena yang terpikir-
kan hanya membunuh atau terbunuh. Tadi, begitu
melihat pakaian dan warna rambut Arya, dia langsung melancarkan pukulan Jarak
jauh. Pemuda berpakaian coklat itu segera men-
duga Arya tengah menderita keracunan hebat. Se-
ketika ia teringat dengan ucapan Pertiwi yang
mengatakan Arya tengah dalam keadaan tidak
berdaya. "Baiklah kalau itu yang kau inginkan,"
ucap Patuka lebih lunak dari sebelumnya. Tapi,
sorot matanya tetap menyiratkan kebencian. "In-gatkah kau dengan nama Panuggal?"
Arya mengernyitkan dahi mencoba mengin-
gat-ingat sebelum akhirnya menggelengkan kepa-
la. Sepasang mata Patuka berkilat-kilat meman-
carkan kemarahan. Ia menganggap Dewa Arak
berdusta. "Aku bukan orang yang suka berbohong,
Sobat! Aku lebih suka mati daripada memberikan
kesaksian palsu. Sekarang terserah apa tangga-
panmu!" tegas Arya yang dapat melihat ketidakpercayaan Patuka.
"Baiklah! Ucapanmu kupercaya. Tapi sete-
lah satu keterangan lagi kuberikan tidak juga ku-dapatkan jawaban pasti darimu,
tidak ada lagi ba-sa-basi!" Patuka menggeram. "Ayahku tewas di tanganmu. Begitu
berita yang kudapat dari pen-duduk Desa Jarak. Beliau berjuluk Utusan Dari
Akhirat" "Utusan Dari Akhirat?" ulang Arya meminta penegasan.
"Benar! Apakah kau masih mau menyang-
kal bahwa kau yang telah menyebabkan kema-
tiannya"!" sambut Patuka penuh amarah.
"Tidak!" jawab Arya seraya menghela napas berat. Sungguh tidak disangka kematian
Utusan Dari Akhirat akan berbuntut panjang. Arya kem-
bali teringat dengan tokoh itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Perin-tah Maut"). "Memang dia tewas di tanganku. Tapi perlu kau
ketahui, Sobat. Tidak ada permusuhan
sedikit pun antara aku dengan Utusan Dari Akhi-
rat!" "Itu sebabnya kukatakan kau pembunuh keji, Dewa Arak! Tidak ada urusan
antara kau dengannya, tapi kau tega membunuhnya. Aku se-
bagai anaknya tak akan tinggal diam. Ibuku mati merana karena beliau kau bunuh.
Aku, Patuka, rela mati di tanganmu untuk membalaskan kema-
tian ayahku, Dewa Arak!"
Arya tersenyum getir.
"Lebih baik kau urungkan niatmu, Patuka.
Aku tahu kau pemuda baik-baik. Rasa sakit hati
dan dendam membuat akal sehatmu tertutupi.
Janganlah kau ikuti jejak ayahmu yang tidak be-
nar itu. Dan...."
"Tutup mulutmu, Pembunuh Keji! Ayahku
tidak sejahat yang kau kira. Beliau membunuh
orang, bukan karena hatinya jahat. Tapi, karena pesanan orang lain. Seharusnya
orang yang menyuruh ayahku yang kau bunuh!" potong Patuka berapi-api.
"Tidak perlu kau ajari, Patuka. Aku sudah
melakukannya!" Nada suara Arya mulai meninggi
"Memang kuakui ayahmu tidak jahat. Pekerjaan ayahmu sangat berbahaya. Ia
membunuh siapa saja tanpa pilih bulu. Daripada dia terus menye-barkan ancaman dan dimanfaatkan
orang-orang jahat, lebih baik kulenyapkan dia!"
"Keparat! Sekarang, kaulah yang harus ma-
ti di tanganku untuk menebus nyawa ayah dan
ibuku, Dewa Arak!"
Patuka menutup ucapannya dengan ter-
jangan ke arah Arya. Dalam cekaman kemarahan
yang bergelora ia mengeluarkan sebatang cambuk
berujung tiga. Pada tiap-tiap ujungnya terbelit sebatang pisau yang putih
berkilat. Sekarang, tiga batang pisau itu meluncur ke berbagai jalan darah
mematikan di tubuh Dewa Arak.
"Manusia pengecut!"
Pertiwi yang memang sudah sejak tadi siap
menolong Arya langsung melesat ke depan pemu-
da berambut putih keperakan itu. Entah kapan


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambilnya, di tangan Pertiwi telah tergenggam sehelai sabuk hitam panjang. .
Prat, prattt, prattt!
Tiga batang pisau Patuka terpental ke be-
lakang ketika dengan gerakan luar biasa ujung
sabuk Pertiwi bergerak tiga kali memapaki luncuran pisau.
Patuka menggeram keras melihat seran-
gannya kandas. Walau tidak ingin bertarung den-
gan Pertiwi yang telah menarik hatinya, tapi karena gadis itu menghalangi
tindakannya, terpaksa ia menyerang Pertiwi. Hanya apabila Pertiwi telah roboh
dia dapat membunuh Dewa Arak. Untuk me-
robohkan Pertiwi tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengan gadis berpakaian
hitam yang memi-
liki kepandaian luar biasa ini.
Pertarungan sengit antara kedua orang
muda itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi meledak-ledak terdengar ketika
cambuk dan sabuk
dilecutkan. Dalam pengerahan tenaga dalam ting-
gi, senjata lemas itu tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam.
Baik Pertiwi maupun Patuka bertarung
dengan penuh semangat, agar bisa merobohkan
lawan secepatnya. Bedanya kalau Patuka tidak
melancarkan serangan-serangan maut terhadap
Pertiwi, tidak demikian halnya dengan putri Pa-
nangkaran. Pertiwi melancarkan serangan-
serangan yang sebagian besar dapat mengirim
nyawa lawannya ke alam baka.
Cambuk Patuka menegang kaku bagai
tombak. Sementara sabuk Pertiwi mampu menjadi
pedang yang luar biasa tajam. Dalam keadaan se-
perti itu Patuka maupun Pertiwi bisa mengguna-
kan senjatanya untuk menusuk, membacok, atau
membabat yang mengeluarkan bunyi bercicitan ta-
jam. Rrrttt! Pertiwi yang tidak sabar melihat pertarun-
gan berjalan seimbang, pada suatu kesempatan
disaat cambuk Patuka meluncur, Pertiwi memper-
gunakan sabuknya untuk melilit cambuk Patuka.
Pertiwi yang sudah merencanakan hal itu
segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menarik. Menurut perhitungannya, Patuka yang
tidak ingin kehilangan senjatanya pasti akan menarik pula. Dan, ternyata benar.
Tarik-menarik pun terjadi. Di saat cambuk dan sabuk menegang ka-
rena pengaruh tarikan, Pertiwi mengibaskan tan-
gan kirinya. Bubuk-bubuk halus yang berada di
sapu tangan dalam genggaman tangan kiri Pertiwi meluncur ke arah wajah Patuka.
Bubuk itu ber- bau harum yang memabukkan.
Patuka kaget bukan main melihat serangan
yang tidak terduga ini. Semula, mengingat kega-
gahan sikap Pertiwi, Patuka mengira Pertiwi me-
rupakan murid seorang pendekar. Tak mungkin
murid seorang pendekar melakukan kecurangan.
Keyakinan akan dugaannya itu yang mengejutkan
Patuka. Apalagi, ketika mengetahui serangan Pertiwi ternyata beracun.
Meski demikian, Patuka tidak kehilangan
akal untuk menyelamatkan diri. Dengan pengera-
han tenaga dalam ditiupnya debu-debu halus yang meluncur ke wajahnya, hingga
berbalik kembali
pada Pertiwi. Pertiwi sebagai pemilik bubuk-bubuk itu
tentu saja tidak merasa khawatir. Dia hanya me-
mejamkan mata agar bubuk-bubuk itu tidak ma-
suk ke dalam mata. Pada saat yang bersamaan
gadis itu mengirimkan tendangan ke paha kanan
Patuka. Desss! Tubuh Patuka terjengkang ke belakang ke-
tika dengan telak kaki Pertiwi menghantamnya.
Cambuk yang sejak tadi dipertahankan terlepas
dari pegangan. Pertiwi tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan baik itu. Sekali tangan kanannya yang memegang sabuk dikibaskan, cambuk
Patuka melayang deras ke arah pemiliknya.
Pertiwi mempergunakan kesempatan di
saat Patuka tengah sibuk menghadapi serangan
cambuknya sendiri untuk melompat jauh ke bela-
kang dan menyambar tubuh Arya. Pemuda itu se-
jak tadi menyaksikan jalannya pertarungan den-
gan rasa khawatir. Arya yang telah kenyang pen-
galaman mengetahui kepandaian Pertiwi dan Pa-
tuka hampir berimbang. Bila diteruskan, salah sa-
tu di antara mereka pasti akan celaka. Yang me-
nang terluka parah dan yang kalah akan tewas.
Betapa leganya hati Arya ketika melihat
Pertiwi menghentikan pertarungan dan memba-
wanya kabur meninggalkan tempat itu.
Berbeda dengan Arya, Patuka merasa ge-
ram bukan main. Dia mencoba untuk mengejar.
Tapi, kakinya yang terkena tendangan terasa nyeri ketika digunakan untuk
berdiri, apalagi jika berlari. Patuka hanya bisa menatap kepergian Pertiwi yang
membawa Arya. 7 "Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang
hendak kau lakukan terhadapku, Pertiwi?"
Dalam keadaan tubuh dipondong Pertiwi
yang tengah berlari cepat Arya mengajukan pertanyaan itu.
"Membawamu pada Dewa Obat Tangan
Sakti untuk memintanya agar mengobatimu," beritahu Pertiwi tanpa mengendurkan
kecepatan la- rinya. "Apakah kau tidak bisa mengobatiku, Pertiwi" Aku dengar meski julukannya
Dewa Obat, dia tidak mudah menerima orang untuk dioba-
tinya. Kudengar dia orang yang aneh. Kadang
orang yang meminta pengobatannya dibiarkannya
saja sampai betul-betul parah."
"Apa yang kau dengar itu memang tidak sa-
lah, Arya. Dewa Obat Tangan Sakti memang memi-
liki perangai aneh. Tapi, hanya dialah yang memiliki pemunah racun yang
bersarang di tubuhmu.
Sedangkan ayahku tidak mungkin memberikan
pertolongan. Jadi, hanya tinggal Dewa Obat Tan-
gan Sakti satu-satunya harapan kita," jelas Pertiwi
panjang lebar. "Aku mendengar nada ketidakyakinan akan
keberhasilan usaha ini, Pertiwi" Apakah tidak se-baiknya kau hentikan saja
usahamu. Aku yakin
akan dapat mengobati keracunan ini dengan arak
dalam guciku. Arakku mampu menawarkan segala
macam racun." Arya mengajukan usul.
"Kau terlalu menganggap enteng racun ke-
labang merah, Arya." Terdengar agak kesal sambutan yang diberikan Pertiwi.
"Apakah kau tidak ta-hu kalau tenaga dalammu telah lenyap?"
"Ah...!" Arya berseru kaget Tentu saja dia tahu tenaga dalamnya telah lenyap.
Itu diketa-huinya sewaktu bertemu dengan Patuka di semak-
semak dan pemuda itu menyerangnya dengan pu-
kulan jarak jauh. Arya mencoba melompat ke atas.
Namun, tidak jadi dilakukannya ketika tidak me-
rasakan adanya putaran tenaga dalam di pusar-
nya. Dengan untung-untungan Arya membanting
tubuh di tanah dan bergulingan. Untung, sebelum maut merenggut nyawanya Pertiwi
keburu muncul dan menolongnya. "Jadi..., lenyapnya tenaga da-lamku karena pengaruh racun
kelabang merah?"
"Itu tanda-tanda permulaan saja, Arya,"
jawab Pertiwi sungguh-sungguh. "Lewat sehari kau akan terserang rasa panas yang
sangat. Hingga, semua bulu yang ada di tubuhmu rontok dan
tidak pernah tumbuh lagi untuk selamanya. Ke-
mudian, sedikit demi sedikit akan muncul bercak-bercak putih di kulitmu. Bagian
yang terdapat bercak ini akan mati rasa. Kejadian selanjutnya sungguh mengerikan. Mulai dari
ujung jari, seruas demi seruas akan terpisah dalam keadaan hancur.
Mungkin pula dimulai dari hidung. Sayang, aku
tidak tahu pasti. Tapi, yang jelas apabila sudah sampai pada keadaan seperti
itu, ditolong pun ku-
rasa tidak ada gunanya lagi!"
Arya tidak mampu memberikan sambutan
atas uraian Pertiwi. Pemuda berambut putih keperakan yang memiliki kepandaian
menakjubkan itu
merasa ngeri! Siksaan yang didengarnya terlalu
dahsyat. "Tapi, kudengar Dewa Obat Tangan Sakti
sukar dicari tempat tinggalnya. Apakah... waktu yang kita miliki cukup untuk
mencarinya" Belum
lagi kalau dia menolak?" Arya membuka percakapan dengan suara kering.
"Tenanglah, Arya, semua itu sudah kupi-
kirkan. Percayalah, kau akan diobatinya dan sembuh." Pertiwi mencoba menenangkan
hati Arya. Arya tidak memberikan tanggapan lagi.
Gadis itu mencoba untuk membuatnya tidak geli-
sah. Padahal, Arya tidak gelisah. Ia sudah siap menerima kenyataan yang paling
buruk. Karena tidak ada percakapan lagi, meski
tengah berlari benak Pertiwi menerawang jauh.
Gadis berpakaian hitam ini telah bertekad apa pun yang terjadi Dewa Arak harus
diobati Dewa Obat
Tangan Sakti. Pertiwi kembali teringat pertemuannya per-
tama kali dengan Arya. Saat itu dia dikejar-kejar kakek berpakaian putih. Ia
melihat seorang pemuda berambut putih keperakan tengah berlari ke
arahnya. Dalam pertemuan pertama itu hati Perti-wi telah tergetar. Tubuh Arya
yang tegap dan kekar serta wajahnya yang tampan menimbulkan
kekaguman di hati Pertiwi.
Kekaguman Pertiwi semakin menjadi-jadi
ketika melihat dengan beraninya Arya mengha-
dang kakek berpakaian putih. Sayang, kesempa-
tan yang tidak memungkinkan membuatnya tidak
dapat mengenal Dewa Arak lebih jauh.
Pertiwi baru mengetahui lebih banyak ten-
tang Arya ketika pemuda berambut putih kepera-
kan itu menjadi tawanan ayahnya. Kekaguman
yang akhirnya membuahkan rasa cinta. Apalagi,
ketika mengetahui orang yang dikaguminya ter-
nyata Dewa Arak dan memiliki kepandaian di atas ayahnya. Perasaan cinta itu
membuat Pertiwi berani menanggung akibat dengan menolong Dewa
Arak yang sama artinya dengan menantang ayah-
nya. *** "Ratih...."
Suara pelan yang sarat dengan perasaan
iba itu keluar dari mulut seorang kakek berpa-
kaian abu-abu. Kakek itu berada di dalam sebuah gua yang mempunyai ruangan cukup
luas. "Seperti sudah kukatakan, yang telah mati
kita relakan saja. Tidak usah dipikirkan lagi. Apalagi sampai demikian sedih.
Beberapa hari kau tidak makan. Aku khawatir kau jatuh sakit. Andai-
kata ayahmu yang telah meninggal diberikan ke-
sempatan untuk kembali ke dunia, dia pasti akan menyuruhmu berhenti melakukan
penyiksaan diri
seperti ini."
"Yang kusesalkan mengapa dia harus mati
seperti itu, Kek?" protes Ratih, putri Dewa Seribu Pisau. Kakek berpakaian abu-
abu tersenyum lebar penuh kesabaran.
"Setiap orang memang akan mati, Ratih.
Dan, caranya tentu saja tidak sama. Menurut
pendapatku, ayahmu, gembira dengan cara kema-
tiannya, karena sesuai dengan dirinya sebagai seorang tokoh persilatan. Apakah
kau lebih suka ayahmu mati karena sakit" Berbulan-bulan ter-
baring di tempat tidur dan tersiksa oleh penyakit-nya. Tegakah kau melihatnya,
Ratih?" Ratih terdiam. Nasihat kakek berpakaian
abu-abu bisa diterima oleh akal sehatnya. Meski demikian, kemurungan pada
wajahnya tidak teru-sir. Hanya, sorot penasaran dalam matanya tidak terlihat
lagi. "Lagi pula." Kakek berpakaian abu-abu menambahkan. "Kalau kau terus berlaku
seperti ini, bagaimana bisa membalaskan sakit hati
ayahmu" Kau malah akan mati perlahan dengan
batin tersiksa. Ah, betapa mengerikan!"
Wajah Ratih tampak beriak. Kata-kata yang
diucapkan kakek berpakaian abu-abu telah mem-
bakar semangat hidup Ratih.
"Ada orang datang, Ratih. Dua orang men-
datangi tempat ini. Langkah salah satu di antara mereka terdengar jelas oleh
telingaku. Berat, seperti langkah orang yang tidak mempunyai ilmu
meringankan tubuh. Mari kita lihat siapa mereka."
Tiba-tiba kakek berpakaian abu-abu berkata agak lirih. Dengan sikap segan Ratih
mengikuti kakek berpakaian abu-abu melangkah keluar gua.
Ruangan yang berada di dalam gua ternya-
ta tidak jauh dari mulut gua. Dalam beberapa belas langkah, kakek berpakaian
abu-abu dan Ratih telah hampir sampai di mulut gua. Mendadak
langkah mereka bertambah cepat. Malah, terden-
gar Ratih menggertakkan gigi. Tatapannya tertuju lurus ke depan dengan sorot
mata penuh kebencian dan dendam!
Pemandangan keluar gua memang terang
benderang. Di depan gua, hanya berjarak sekitar enam tombak dari mulut gua,
berdiri dua sosok
tubuh. Seorang pemuda berpakaian ungu yang be-
rambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba hitam. Dewa
Arak dan Pertiwi!
Wajah Pertiwi tampak sangat tegang.
Begitu mengenali betul orang yang berdiri
di depan mulut gua, Ratih tidak bisa menahan sabar lagi. Dia segera melesat
keluar untuk melancarkan serangan.
Tapi, baru beberapa langkah ayunan kaki
Ratih terhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah menahan ayunan kakinya.
Ratih yang tengah kalap tidak mau menye-
rah. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan. Namun, usahanya sia-sia.
Memang kedua kaki Ratih berlari, tapi hanya di tempat itu saja.


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan penasaran Ratih menoleh ke bela-
kang. Dia menduga kejadian ini pasti perbuatan
kakek berpakaian abu-abu. Dan, dugaan gadis
berpakaian merah ini memang tidak keliru. Ratih melihat kakek berpakaian abu-abu
menjulurkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itulah keluar kekuatan dahsyat yang
menahannya. Tubuh Ratih yang tengah melesat keluar itu, tiba-tiba berhenti. Suatu kekuatan
tak nampak telah menahan ayunan kakinya!
Tentu saja Ratih tidak sudi menyerah. Selu-
ruh tenaga dalamnya dikerahkan. Namun, usa-
hanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih terlihat seperti berlari, tapi hanya di
tempat itu saja!
Melihat Ratih menoleh, kakek berpakaian
abu-abu tersenyum. Lalu, tangannya digerakkan
seperti menarik sesuatu. Ratih tidak mampu
mempertahankan tubuhnya yang meluncur deras
ke arah kakek berpakaian abu-abu.
"Sabar, Ratih tidak ada gunanya kau um-
bar kemarahan. Wanita itu memiliki kepandaian
jauh di atasmu. Menurutkan kemarahan hanya
akan merugikan dirimu sendiri. Tenanglah."
Kakek berpakaian abu-abu lebih dulu
memberi nasihat sebelum Ratih melontarkan
protes. "Hilangkan amarahmu, dan tenangkan ha-ti. Kita bersama-sama keluar.
Percayalah, dengan adanya aku, gadis liar itu tidak akan berbuat se-maunya
terhadapmu."
Tanpa memberi kesempatan pada Ratih
untuk memberikan jawaban, kakek berpakaian
abu-abu menggandeng Ratih keluar goa.
Tapi, baru beberapa tindak terdengar se-
ruan halus bernada teguran.
"Lebih baik kau berdiam saja di dalam gua, Pendekar Kaki Seribu. Orang-orang itu
datang kemari untuk menemuiku. Biar aku yang me-
nyambutnya!"
Belum sempat kakek berpakaian abu-abu
dan Ratih memberikan sahutan, angin berkesiur
dan di dekat mereka telah berdiri kakek berpa-
kaian putih. Kakek yang tadi juga berada bersama Ratih
dan Pendekar Kaki Seribu. Hanya, sejak tadi ia
duduk bersila dan berdiam diri saja. Tidak peduli dengan kejadian yang
berlangsung di sekelilingnya. Kakek berpakaian putih lalu mengayunkan
kaki menuju mulut goa, Ratih bingung. Kakek
berpakaian putih itulah yang menyembuhkan luka
keracunannya. Tapi, sayang kakek itu tidak bisa diajak bicara. Yang dilakukannya
hanya duduk bersemadi. Berbeda dengan Pendekar Kaki Seribu
yang mau peduli akan nasib yang menimpanya.
Ratih menoleh ke arah Pendekar Kaki Seri-
bu. Dilihatnya kakek itu mengangguk dan membe-
ri isyarat agar Ratih mengikuti kakek berpakaian
putih. Dengan ragu-ragu Ratih menuruti saran
itu. Sempat dilihatnya Pendekar Kaki Seribu me-
langkah kembali ke ruangan dalam goa.
Pemilik tempat ini memang kakek berpa-
kaian putih. Pendekar Kaki Seribu kawan kental
kakek berpakaian putih. Tapi, sikap kakek berpakaian putih pada Pendekar Kaki
Seribu terlihat
dingin dan tak acuh. Seorang kakek yang aneh!
Begitu kakek berpakaian putih dan Ratih
muncul di mulut goa, Pertiwi mengembangkan se-
nyum lebar tapi dengan pandangan meremehkan.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Obat Tangan
Sakti. Sungguh tidak kusangka gelar yang kau
sandang bukan omong kosong belaka. Telah ku-
buktikan sendiri kehebatan ilmu pengobatanmu
dengan berhasil menyembuhkan luka beracun pa-
da wanita di sebelahmu. Meski harus kuberitahu
kalau racun itu hanya suatu racun yang tergolong ringan." Pertiwi membuka suara
menyambut kedatangan kakek berpakaian putih dan Ratih.
Kakek berpakaian putih yang disapa Perti-
wi dengan julukan Dewa Obat Tangan Sakti men-
gernyitkan alis. Dia tidak tahu ke mana arah ucapan putri Panangkaran itu. Meski
demikian, Dewa Obat Tangan Sakti tidak terlalu memikirkannya.
Perhatian kakek ini lebih banyak tertuju pada De-wa Arak. Dewa Obat Tangan Sakti
segera dapat mengetahui Dewa Arak tengah menderita keracu-
nan hebat. Siapakah yang telah melukainya" Ka-
kek itu bertanya dalam hati. Beberapa hari yang lalu ia sempat bentrok dengan
Dewa Arak. Saat
itu, pemuda berambut putih keperakan ini dalam
keadaan segar bugar.
Bukan hanya Dewa Obat Tangan Sakti saja
yang terkejut. Hal yang sama pun menimpa Dewa
Arak. Arya sungguh tidak menyangka Dewa Obat
Tangan Sakti adalah kakek yang dulu mengejar-
ngejar Pertiwi dan hampir terlibat pertarungan
dengannya. Dalam hati Arya menghela napas be-
rat. Ia tahu harapan Dewa Obat Tangan Sakti
akan mengobatinya sangat kecil.
Sekarang Arya mengerti mengapa Pertiwi
tidak yakin dengan keberhasilan usahanya. Tapi, mengapa Pertiwi tetap saja
meneruskan usahanya" Pertiwi yang melihat sikap Dewa Obat Tangan Sakti seperti
tidak mempedulikan ucapannya
tampak mendongkol sekali. Namun, karena se-
dang memiliki keperluan gadis itu berusaha me-
nahannya. Suaranya masih terdengar tenang keti-
ka berbicara lagi.
"Dewa Obat Tangan Sakti, apakah kau ta-
kut mendengar ucapanku maka bersikap tidak
peduli" Ataukah kau takut ketidakbecusanmu da-
lam ilmu pengobatan diketahui orang banyak ka-
lau kau mendengar ucapanku lebih lanjut" Kau
takut aku menantangmu untuk menguji apakah
kau pantas berjuluk Dewa Obat. Kudengar banyak
orang yang berobat padamu bukannya sembuh
tapi malah tewas. Bukankah itu berarti kau tidak memiliki ilmu pengobatan yang
cukup?" Akibat ucapan Pertiwi sungguh hebat Wa-
jah Dewa Obat Tangan Sakti merah padam karena
merasa tersinggung. Keahliannya diragukan orang, bahkan dicela. Tentu saja dia
menjadi kalap! Apalagi yang menghinanya seorang gadis muda. Sung-
guh berani Pertiwi meremehkan kemampuannya
sebagai seorang Dewa Obat!
"Tidak usah berbelit-belit, Gadis Bermulut Tajam! Katakan apa maksud
kedatanganmu?"
tanya Dewa Obat Tangan Sakti dengan geram.
Pertiwi tahu umpannya telah mengena.
Dewa Obat Tangan Sakti telah kena pancing. Tapi, dengan cerdiknya gadis
berpakaian hitam ini menyembunyikan rasa gembiranya. Ia mendengus
meremehkan. "Mungkin kau belum tahu siapa diriku,
kakek tua yang berani sombong memakai gelar
Dewa Obat! Tidak ada salahnya kalau aku mem-
perkenalkan diri. Namaku, Pertiwi. Aku mempu-
nyai seorang ayah sekaligus kakak seperguruan
yang bernama Panangkaran. Guruku yang juga
menjadi guru ayahku berjuluk Raja Racun Langit
Bumi!" Dewa Obat Tangan Sakti sebenarnya kaget bukan main mendengar orang-orang
yang menjadi ayah dan guru Pertiwi. Pentolan-pentolan sesat!
Panangkaran saja terkenal lihai bukan main. Apalagi gurunya yang berjuluk Raja
Racun Langit Bumi. Seorang manusia yang menganggap racun
seperti makanan atau minuman. Meski demikian,
untuk menjaga wibawanya kakek berpakaian pu-
tih ini mengambil sikap tidak peduli. Seakan ia mendengar hal yang biasa saja.
*** 8 Pertiwi tidak menjadi kecil hati kendati
Dewa Obat Tangan Sakti bersikap tidak peduli
dengan nama-nama orang yang disebutnya. Sikap
gadis berpakaian hitam ini tetap seperti semula.
Sementara, Ratih menatap ke arahnya dengan
pandangan yang seperti ingin menelannya bulat-
bulat. "Guruku, Raja Racun Langit Bumi, pernah
menceritakan tentang dirimu yang katanya memi-
liki ilmu pengobatan mengagumkan. Guruku men-
gatakan kau ahli obat-obatan nomor satu. Bahkan konon tidak ada luka biasa
maupun keracunan
yang tidak bisa kau atasi. Meski demikian guruku tidak yakin kau mampu mengobati
luka beracun akibat tangan guruku. Terdorong untuk mencoba
kelihaian ilmu pengobatanmu, aku tidak membu-
nuh putri Dewa Seribu Pisau ketika aku melihat
kedatanganmu. Aku ingin tahu apakah kau berha-
sil menyembuhkan luka beracun yang dideritanya.
Beberapa orang ahli obat yang kutemui di perjalananku mampu menyembuhkan luka
seperti itu. Jadi, keberhasilanmu mengobati gadis itu tidak
menjamin kau benar-benar patut bergelar Dewa
Obat. Itulah sebabnya hari ini kubawa korban
yang terkena pukulan beracun ayahku. Kalau kau
berhasil menangkal racun ini, kau memang patut
bergelar Dewa Obat. Tentu saja kalau kau tidak
berani menyambut tantangan ini aku tidak akan
memaksa. Menyerah mungkin lebih baik daripada
kau berusaha tapi gagal!"
Pertiwi yang memiliki kecerdikan, lebih te-
patnya kelicikan luar biasa, sengaja menutup tantangannya dengan kata-kata
demikian. Kata-kata
yang memaksa Dewa Obat Tangan Sakti memenu-
hi tantangan yang diajukan Pertiwi jika tidak ingin julukannya hancur dan
menjadi ejekan tokoh-tokoh persilatan!
Dan memang, sambutan yang diberikan
Dewa Obat Tangan Sakti tidak meleset dari perkiraan Pertiwi. Dengan muka merah
padam karena tersinggung kakek berpakaian putih itu melang-
kah maju. "Kuterima tantanganmu, Gadis Bermulut
Ular! Bukankah pemuda itu yang menjadi kelinci
percobaanmu?" Dewa Obat Tangan Sakti menuding ke arah Arya.
Arya yang sejak tadi mendengarkan perca-
kapan itu dalam hati memuji kecerdikan Pertiwi.
Sejak semula memang telah disepakati ia akan di-am saja. Pertiwi yang akan
mengurus semuanya.
Dan, gadis berpakaian hitam itu ternyata berhasil.
Begitu melihat Pertiwi mengangguk, Dewa
Obat Tangan Sakti melambaikan tangannya. "Kemari kau, Anak Muda. Biar kulihat
sampai di ma- na kehebatan racun Raja Racun Langit Bumi!" pe-rintah kakek berpakaian putih itu
pada Dewa Arak. Tanpa banyak cakap Arya melangkah ma-
ju. Tapi, baru beberapa tindak ayunan kakinya di-hentikan. Ia mendengar seruan
yang telah cukup
dikenalnya. "Kau tertipu oleh seorang bocah kemarin
sore, Dewa Obat! Kami tak pernah mengajakmu
melakukan pertandingan bodoh ini!"
Kalau Arya yang baru mendengar beberapa
kali telah bisa mengenali pemiliknya, apalagi Pertiwi. Wajah gadis itu langsung
pucat pasi. Suara itu adalah milik... ayahnya, Panangkaran!
Belum juga gema ucapan itu lenyap, berke-
lebat dua sosok bayangan yang langsung menje-
jakkan kaki di sebelah kanan Dewa Obat Tangan
Sakti. Wajah pucat Pertiwi semakin memucat ke-
tika melihat sosok lelaki di sebelah ayahnya. Sosok tinggi besar dari seorang
kakek berambut panjang putih tergerai. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Kakek
yang mirip raksasa ini memiliki raut muka demikian dingin. Ia adalah guru dari
Pertiwi dan Panangkaran, Raja Racun Langit Bumi!
Dulu, sebelum berguru pada Raja Racun
Langit Bumi, Panangkaran mempunyai seorang
guru yang berjuluk Mayat Berkabung. Tapi, gu-
runya tewas ketika terjadi penyerbuan kelompok
pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu Pisau dan Bagas Pati. Itu
terjadi dua belas tahun lalu. Panangkaran sendiri terluka parah. Demikian pula
dengan putrinya, Pertiwi. Namun, keduanya
berhasil diselamatkan oleh Raja Racun Langit
Bumi yang kebetulan lewat di tempat itu. Nasib
Panangkaran dan putrinya tengah mujur karena
Raja Racun Langit Bumi berkenan mengangkat
mereka menjadi murid.
Setelah hampir dua belas tahun menuntut
kepandaian, Panangkaran dan Pertiwi yang di-
amuk dendam mulai turun tangan. Mereka mela-
kukan pembalasan. Satu-persatu para pendekar
yang terhitung dalam penyerbuan terhadap ge-
rombolan Panangkaran berguguran di tangan Pa-
nangkaran dan Pertiwi. Keluarga mereka pun di-
tumpas sebagaimana halnya keluarga Bagas Pati
dan Dewa Seribu Pisau.
Dan sekarang, Pertiwi dan Panangkaran
saling berhadapan di pihak yang berlawanan.
*** Meski merasa gentar melihat keberadaan
ayah dan gurunya, maksud hati Pertiwi tidak menjadi surut. Dengan sikap gagah
gadis berpakaian hitam ini melompat ke depan Dewa Arak untuk
melindungi. Raja Racun Langit Bumi mengeluarkan
dengusan mengejek dari hidungnya melihat sikap
Pertiwi. "Rupanya putrimu telah terpikat oleh ke-tampanan bocah gila itu,
Panangkaran," dingin
dan datar nada ucapan kakek berpakaian serba
hitam itu. Wajah Panangkaran tampak merah padam
karena malu dan marah. Meski tidak langsung,
tapi Panangkaran tahu Raja Racun Langit Bumi
menegurnya. Dari nada ucapan kakek tinggi besar itu, Panangkaran juga tahu Raja


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Racun Langit Bumi murka dan menyuruhnya untuk memberi-
kan hukuman kepada Pertiwi.
"Biar kulenyapkan saja anak tak tahu di-
untung ini, Guru," ujar Panangkaran, geram.
Raja Racun Langit Bumi tidak memberikan
tanggapan. Bahkan, ketika Panangkaran mulai
melangkah dengan sikap mengancam menghampi-
ri Pertiwi. Pertiwi sampai terbelalak mendengar uca-
pan Panangkaran. Dia terkesima karena tidak percaya. Benarkah ayahnya akan
sampai hati mem-
bunuhnya" Keterkejutan yang melanda hati Pertiwi
membuat gadis itu tetap berdiam diri kendati Panangkaran telah melangkah tiga
tindak. Melihat perkembangan yang tidak disang-
ka-sangka itu, Dewa Obat Tangan Sakti menjadi
bingung. Tapi kemudian dia menjadi tersinggung karena merasa dilangkahi.
"Tunggu, Panangkaran! Aku mau bicara!"
seru kakek berpakaian putih itu penuh wibawa.
"Apakah kau sekarang telah menjadi orang
yang tidak mempunyai rasa malu sehingga mau
mencampuri urusan seorang ayah dan anaknya!"
jawab Panangkaran tajam sehingga wajah Dewa
Obat Tangan Sakti berubah pucat saking malunya.
Kakek berpakaian putih ini pun tidak membuka
suara lagi. "Ayah...!"
Pertiwi berseru dengan suara bergetar. Ia
tidak menyangka ayahnya akan sampai hati ingin
membunuhnya. Perasaan gadis berpakaian hitam
ini hancur luluh. Air mata mengembang pada ke-
dua bola matanya.
"Ayo, keluarkan senjatamu dan lawan aku,
Anak Durhaka! Tidak usah tanggung-tanggung
kau tolong Pemuda Sombong itu! Ayo, serang dan
bunuh aku!" sambut Panangkaran dengan suara menggeledek.
Sekujur tubuh Pertiwi menggigil hebat.
Sungguh tidak disangka akan demikian hebat aki-
bat tindakannya menolong Dewa Arak.
"Menyingkiriah, Pertiwi. Biarkan ayahmu
membunuhku. Tidak patut seorang anak berta-
rung dengan ayahnya sendiri." Arya mengetahui pergolakan hebat di batin Pertiwi
mencoba memberikan nasihat
Pertiwi semakin bimbang. Dia hanya bisa
menatap wajah Panangkaran dengan sorot mata
yang membayangkan kepedihan. Tapi, Panangka-
ran semakin memiliki hati baja. Dia tidak sedikit pun merasa terharu melihat
keadaan putrinya.
Bahkan, lelaki bermata satu ini menggeram keras.
"Keparat! Hayo, bersiaplah untuk berta-
rung denganku, Anak Durhaka! Pantang bagi Pa-
nangkaran untuk membunuh lawan yang tidak
melawan!" Tantangan itu justru membuat kedua kaki
Pertiwi semakin menggigil.
Kemarahan Panangkaran pun meledak!
"Baiklah! Rupanya kau perlu dipanasi dulu
agar mau bertarung denganku," ujar Panangkaran tidak sabar. "Ketahuilah, hei
anak tak tahu diun-tung, kau bukan anakku! Aku tidak pernah mem-
punyai anak! Kau masih bayi ketika kutemukan di
sebuah kerimbunan semak dua puluh tahun lalu.
Kau bukan anakku, paham" Sekarang, aku akan
membunuhmu. Ayo, lawan aku! Mungkin ayah
ibumu telah tewas di tanganku karena kesenan-
ganku adalah membunuh orang. Nah! Kau dengar
itu"!" Semua orang terperanjat mendengar pen-gakuan Panangkaran. Mereka tidak
menyangka hal itu. Terutama Pertiwi. Gadis berpakaian hitam ini mengeluh tertahan setelah
terbelalak sesaat.
Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah seperti ka-
rung basah. Pertiwi jatuh pingsan!
"Pertiwi...!"
Arya terkejut melihat keadaan Pertiwi. Dia
ingin menangkap tubuh gadis berpakaian hitam
itu agar tidak membentur tanah. Tapi, ketidak-
adaan tenaga dalam membuat gerakannya kurang
gesit. Tangkapannya pun hanya mengenai angin.
Sebelum Arya sempat berjongkok untuk
memeriksa keadaan Pertiwi, terdengar bentakan
nyaring yang disusul berkelebatnya sesosok
bayangan coklat meluncur ke arah Arya
Meski tenaga dalamnya telah lenyap, pan-
dangan Dewa Arak masih tetap tajam. Dia dapat
mengetahui sosok bayangan itu menyerangnya
dengan ayunan tangan kanan berbentuk cakar
naga yang ditujukan ke arah kepala.
"Pembunuh Keji! Sekarang tamatlah ri-
wayatmu...!" seru sosok bayangan coklat mengiringi luncuran serangan mautnya.
Arya menyadari benar tidak ada yang bisa
dilakukannya untuk menyelamatkan nyawanya.
Serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba.
Sementara tenaga dalamnya telah lenyap.
Tapi, sebelum batok kepala Arya hancur
dihantam cakar naga, sesosok bayangan melesat
memapaki. "Hentikan, Patuka!"
Terdengar suara keras dari sosok bayangan
yang baru datang.
Plakkk! Tubuh kedua sosok itu terjengkang ke be-
lakang ketika benturan terjadi. Namun, dengan
manisnya mereka mematahkan daya luncur dan
menjejak tanah dengan mantap.
Arya menghela napas berat ketika melihat
penyerangnya adalah Patuka. Sedangkan sosok
yang menyelamatkan seorang pemuda berpakaian
kuning, Ludiga. Pemuda yang dilihatnya tengah
mengguncang-guncang mayat Bagas Pati. Me-
mang, setelah terjadi pertempuran dengan Patuka dan kegagalannya mencari
Panangkaran, Arya
kembali untuk mencoba mengobati Bagas Pati.
Tapi, ternyata kedatangannya terlambat. Dari jarak yang cukup jauh dilihatnya
Ludiga tengah menangisi mayat Bagas Pati. Karena tak ingin
mengganggu, pemuda berambut putih keperakan
itu segera pergi dengan diam-diam. Sungguh tidak disangka kalau sekarang Ludiga
lah yang menjadi penolongnya.
"Ludiga...!" seru Patuka, kaget. "Mengapa kau berada di sini?"
"Aku datang untuk mencegahmu melaku-
kan tindakan bodoh memusuhi Dewa Arak. Kau
tahu Guru telah melarang maksudmu itu. Aku ju-
ga tengah mencari Panangkaran yang telah mem-
bunuh orangtuaku. Hentikan maksudmu itu, Pa-
tuka! Atau kau berani mencoba melawanku" In-
gat, aku akan mencegahmu. Dan, Guru menyetu-
jui tindakanku!"
*** "Kau... kau..., siapa kau" Rasanya wajah-
mu tidak asing bagiku?" tanya Panangkaran agak bergetar karena heran. Sepasang
matanya menatap wajah Ludiga lekat-lekat.
Ludiga yang sadar wajahnya memang mirip
dengan wajah ayahnya di waktu masih muda
membusungkan dada sebelum menjawab.
"Namaku Ludiga. Ayahku bernama Bagas
Pati. Aku yakin beliau yang kau maksud!"
"Ha ha ha...!"
Panangkaran tertawa bergelak. Kelihatan
gembira sekali. Tapi hanya pendek saja tawanya.
Kemudian langsung ditutup dengan dengusan.
Wajah lelaki bermata satu ini pun berubah bengis.
"Jadi, kau putra si keparat Bagas Pati" Kalau begitu silakan kau menyusul ayah
dan ibumu yang telah pergi ke alam baka. Sungguh tidak kusangka kau akan datang
mengantarkan nyawa!"
Wajah Ludiga berubah hebat Ditatapnya
wajah Panangkaran tajam-tajam.
"Jadi..., kau Panangkaran..."!" tanya Ludiga, kaget. Memang, pemuda ini hanya
mengenal nama Panangkaran, tapi tidak tahu orangnya.
"Memangnya kau kira siapa?" Panangkaran menjawab dengan penuh kebanggaan.
Jawaban itu membuat Ludiga marah dan
menyerangnya dengan sengit. Panangkaran den-
gan gembira menyambuti. Pertarungan pun ber-
langsung. Melihat muridnya telah terlibat dalam per-
tarungan, Raja Racun Langit Bumi segera men-
gayunkan kaki mendekati Dewa Arak. Pemuda be-
rambut putih keperakan itu telah menyingkir ke
tempat yang lebih aman begitu pertarungan terja-di. Tak lupa dibawanya tubuh
Pertiwi. Kali ini Patuka tidak menyerang Dewa Arak
lagi. Dia takut melakukan hal itu karena keberadaan Ludiga yang merupakan kakak
seperguruan- nya. Patuka tidak berani menentang Ludiga, apa-
lagi bertarung dengannya. Belum lagi jika diingat gurunya berdiri di belakang
Ludiga. Kenyataan itu membuat Patuka jadi bim-
bang. Kalau Dewa Arak memang bersalah, tanpa
diminta pun Ludiga dan gurunya pasti akan mem-
bantunya untuk membuat perhitungan dengan
Dewa Arak. Api dendamnya dalam hati Patuka
pun mulai menyusut kendati tetap tidak bisa dihilangkan.
Terdengar bunyi tang-tung-tang-tung yang
begitu nyaring. Sesaat kemudian, di belakang De-wa Arak telah berdiri seorang
kakek berpakaian
tebal. Malaikat Salju. Kakak kandung Raja Racun Langit Bumi.
"Jangan kau lanjutkan maksudmu yang ti-
dak baik itu!" ujar Malaikat Salju pelan tapi mengandung wibawa kuat sehingga
Raja Racun Langit
Bumi tertegun sejenak. "Kurasa lebih baik kau tolong Dewa Arak dulu, Dewa Obat
Aku yakin kea- daannya telah mengkhawatirkan!"
Kali ini Raja Racun Langit Bumi menatap
wajah Malaikat Salju dengan sinar mata penuh
tantangan. "Muridku berhasil! mencelakai Dewa Arak
dengan kecerdikannya. Kalau kau memang mam-
pu, silakan merampasnya dariku!" tantang Raja Racun Langit Bumi.
Malaikat Salju tersenyum getir. "Sejak dulu jalan hidup kita selalu
bersimpangan, tapi tak
pernah terjadi bentrokan. Sekarang, rupanya hal itu tidak bisa dipertahankan
lagi. Majulah, aku pun ingin melihat sampai di mana kemajuan yang
kau dapatkan!"
Jawaban dari tantangan Malaikat Salju
adalah serangan Raja Racun Langit. Bumi. Kakek
tinggi besar laksana raksasa ini membuka seran-
gan dengan tamparan bertubi-tubi ke arah pelipis.
Malaikat Salju menyambutinya sehingga pertarun-
gan antara kakak beradik ini pun berlangsung.
Pertarungan itu dahsyat bukan main. Debu
mengepul tinggi ke udara. Terasa sergapan hawa
dingin yang mampu membekukan jalan darah ke-
tika Malaikat Salju mengirimkan serangan. Semua yang menyaksikan jalannya
pertarungan merasa
takjub. Tubuh kedua tokoh yang telah gaek itu lenyap karena cepatnya mereka
bergerak. Yang ter-
lihat hanya dua kelebatan bayangan yang saling
belit Beberapa saat kemudian....
"Ah!"
Raja Racun Langit Bumi terhuyung-huyung
ke belakang. Ia memekik tertahan ketika paha kanannya terkena tendangan
kakaknya. Pertarungan
langsung terhenti karena Malaikat Salju tidak melanjutkan serangannya.
"Bagaimana" Apakah kau tidak mau men-
gaku kalah?" tanya Malaikat Salju, geram.
"Minumkan saja obat ini!" Raja Racun Langit Bumi melemparkan obat pulung
berwarna pu- tih yang langsung ditangkap Malaikat Salju dan
kemudian diberikannya pada Arya. Kakek tinggi
besar ini tidak mengakui kekalahannya. Tapi, dari tindakan yang dilakukannya,
semua orang tahu
Raja Racun Langit Bumi telah kalah!
Tanpa ragu-ragu Arya menelannya. Sesaat
kemudian, Arya merasakan keadaan tubuhnya
mulai membaik. Obat Penawar Racun Raja Racun
Langit Bumi ternyata manjur sekali.
"Lukamu telah sembuh, Kek?"
"Tak sampai setengah hari, Dewa Arak,"
jawab Malaikat Salju gembira karena keadaan De-
wa Arak yang dikaguminya mulai membaik.
Obrolan Dewa Arak dengan Malaikat Salju
terhenti ketika tiba-tiba terdengar seruan kaget.
Hampir bersamaan Dewa Arak, Malaikat Salju,
dan Raja Racun Langit Bumi mengalihkan perha-
tian. Mereka melihat Dewa Obat Tangan Sakti terbelalak menatap Pertiwi yang
tengah tergolek di tanah. "Ada apa, Dewa Obat?" Malaikat Salju yang rupanya
cukup dekat dengan kakek berpakaian
putih itu menegur.
"Dia pasti cucuku!" seru Dewa Obat Tangan Sakti dengan suara bergetar seraya
menunjuk tubuh Pertiwi. "Tanda merah di sebelah kanan le-hernya kuingat betul.
Aku menengoknya ketika dia baru dilahirkan. Ibunya meninggal setelah mela-
hirkannya. Sedangkan ayahnya menjadi gila dan
tak terdengar lagi beritanya. Rupanya, batinnya terguncang dengan kematian
istrinya, yaitu anakku. Mungkin sekali anak ini ditinggalkan di re-
rumputan oleh ayahnya yang telah gila. Bertahun-tahun aku mencari, namun tanpa
hasil. Syukur, sekarang kutemukan!" Sepasang mata Dewa Obat Tangan Sakti berkaca-kaca.
Arya dan Malaikat Salju mengucapkan se-


Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lamat. Kemudian, Malaikat Salju pergi meninggalkan tempat itu dengan mengajak
adik kandung- nya, Raja Racun Langit Bumi.
Dewa Arak pun pergi tepat pada saat ujung
cambuk Ludiga menghantam pelipis kanan Pa-
nangkaran hingga retak. Panangkaran tewas tanpa sempat mengeluh lagi. Begitu
berhasil mene-waskan Panangkaran, Ludiga mengedarkan pan-
dangan mencari Dewa Arak untuk meminta maaf
atas ketidakpantasan sikap Patuka. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu
sudah tidak ada la-gi.
Arya yang dicari-cari telah berada jauh dari
tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan itu sengaja tidak menunggu Ludiga
selesai bertarung dan Pertiwi sadar dari pingsannya. Arya menyadari kalau
Pertiwi mencintainya. Padahal, Arya tidak bisa membalasnya. Jadi, lebih baik
pergi tanpa diketahui.
Sementara Ratih harus mengubur den-
damnya dalam-dalam karena Pertiwi ternyata cucu Dewa Obat Tangan Sakti. Dan
lagi, Pertiwi agak-nya telah sadar dari kesesatannya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Gempar Aji Karang Rogo 2 Dewi Ular Lorong Tembus Kubur Riwayat Lie Bouw Pek 11
^