Pencarian

Pembunuh Dari Jepang 2

Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Bagian 2


berkata, "Perempuan celaka itu telah membunuh guruku!"
Lalu tanpa diminta lagi, Widarti menceritakan apa
yang terjadi. Gadis berpakaian biru menyala ini sebenarnya
murid dari seorang tokoh yang berjuluk Pendekar
Bayangan, yang tinggal di Lembah Bayang-Bayang.
Semenjak kecil, Widarti yang tak pernah mengenal
orangtuanya karena ditemukan oleh Pendekar Bayan-
gan sedang menangis di sebuah hutan, tinggal sekaligus berlatih ilmu yang
diturunkan oleh Pendekar
Bayangan. Tatkala Widarti berusia lima belas tahun, dia di-
tinggal oleh Pendekar Bayangan selama dua minggu.
Dan gurunya kembali dalam keadaan luka parah. Dari
cerita gurunya setelah sembuh berkat perawatan Wi-
darti, gadis ini tahu kalau gurunya mempunyai musuh perempuan berjuluk Dewi
Permata Biru. Permusuhan itu dimulai tatkala Pendekar Bayan-
gan menolak cinta Dewi Permata Biru. Penolakan itu disebabkan karena Pendekar
Bayangan telah mempunyai istri. Tetapi Dewi Permata Biru tak pernah mau tahu
soal itu. Dia tetap bersikeras untuk menjadi istri Pendekar Bayangan.
Bahkan tatkala Pendekar Bayangan meninggalkan
rumah, Dewi Permata Biru datang dan membunuh is-
trinya. Kala itu Pendekar Bayangan tinggal di lereng Bukit Arwah. Bertepatan
Dewi Permata Biru keluar da-ri rumahnya, Pendekar Bayangan muncul. Bahkan
dengan lantangnya Dewi Permata Biru mengatakan ka-
lau dia baru saja membunuh istri Pendekar Bayangan.
Pertarungan sengit terjadi dan kemenangan bera-
da di pihak Pendekar Bayangan. Bila saja Dewi Perma-ta Biru tidak meraup pasir
dan melemparkannya ke
arah Pendekar Bayangan, niscaya perempuan itu akan
tewas saat itu juga. Dengan hati pedih Pendekar
Bayangan menguburkan jenazah istrinya yang kala itu sedang hamil dua bulan.
Dalam kedukaannya dia berusaha keras untuk
menemukan Dewi Permata Biru. Sampai setahun ke-
mudian dia menemukan Widarti yang kala itu berusia
sekitar dua tahun. Entah mengapa orangtua Widarti
meninggalkannya menangis sendirian di sebuah hu-
tan. Kehadiran Widarti lambat laun dapat membuat
Pendekar Bayangan melupakan dendamnya pada Dewi
Permata Biru. Namun perempuan yang tetap mencin-
tainya itu, justru datang mencarinya. Dia menantang Pendekar Bayangan bertarung
di Puncak Karimata.
Pertarungan itu berimbang dan masing-masing orang
menderita luka parah. Pada saat itulah Widarti mengo-bati Pendekar Bayangan.
Dan sekitar sebulan yang lalu, Dewi Permata Biru
muncul kembali di hadapan Pendekar Bayangan. Saat
itu Widarti sedang mandi di sungai. Gadis ini tidak ta-hu apa yang terjadi
kemudian. Dengan akal liciknya, Dewi Permata Biru yang datang dengan berlagak
menyesali segala perbuatannya, berhasil menotok Pendekar Bayangan hingga tak
mampu bergerak. Saat itulah dengan kejamnya Dewi Permata Biru menghabisinya.
Lalu dengan tawa puas yang berkumandang lebar,
Dewi Permata Biru berlalu dari sana. Lima kejapan
mata kemudian, Widarti datang. Alangkah terkejutnya gadis ini mendapati gurunya
terkapar penuh luka. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pen-
dekar Bayangan masih dapat mengatakan siapa yang
telah melakukan perbuatan keji itu.
Dengan menindih segala gundah, gadis ini men-
gubur jenazah gurunya. Lalu mulailah dia melakukan
perjalanan untuk mencari Dewi Permata Biru.
"Guru juga mengatakan padaku, agar aku memin-
ta bantuan seseorang," kata si gadis di akhir ceritanya.
Andika cuma manggut-manggut. "Hmmm... secara
tak langsung, aku terlihat dua urusan yang berbahaya.
Pertama mencari pembunuh dari Jepang bernama
Nomuro Shasuke. Dan kedua, sudah tentu aku tak bi-
sa berpangku tangan untuk tidak mencari perempuan
berjuluk Dewi Permata Biru. Hei! Permata Biru" Bu-
kankah menurut para penduduk dusun Bojong Tung-
gal, seorang perempuan yang menyelamatkan Nomuro
Shasuke terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar
biru pada keningnya" Jangan-jangan... orang itulah
yang berjuluk Dewi Permata Biru" Tetapi... urusan apa dia menyelamatkan Nomuro
Shasuke?" Selagi Andika terdiam, Widarti berkata agak keras,
"Hei! Kenapa kau jadi bengong begitu" Kau merasa kasihan padaku, ya" Huh! Aku
tidak pernah mau dikasi-
hani!" Andika buru-buru mengubah sikapnya.
"Tidak, aku tidak merasa kasihan padamu." katanya segera agar si gadis tidak
salah paham. "Widarti, aku akan mencoba mencari Dewi Permata Biru...."
"Bagus! Dan terus terang, kuucapkan terima kasih atas niat baikmu itu!"
"Kalau begitu... kita berpisah di sini. Masih ada urusan yang harus
kuselesaikan!"
Widarti cuma menganggukkan kepalanya. Andika
tersenyum sejenak, lalu segera putar tubuh dan berlari meninggalkan si gadis.
Dan seperti baru ingat akan sesuatu, Widarti ber-
teriak, "Paradita! Kenalkah kau dengan seorang pemuda bernama Andika yang
berjuluk Pendekar Slebor"!"
Tetapi sosok pemuda dari Lembah Kutukan yang
dikenalnya sebagai Paradita itu, sudah menjauh dan
tak mendengar lagi teriakan Widarti. Tinggal si gadis yang menghela napas
sekarang. "Hmmm... ke mana lagi harus kucari Dewi Perma-
ta Biru" Juga Pendekar Slebor yang dikatakan Guru
sebelum ajalnya" Aku harus meminta bantuannya!
Huh! Urusan ini benar-benar bikin kepalaku pusing!
Tetapi biar bagaimanapun juga, aku harus tetap mem-
balas perbuatan Dewi Permata Biru!"
Dua kejapan mata kemudian, gadis jelita yang di
rambutnya terdapat ronce bunga melati yang makin
menambah kejelitaannya ini, segera berkelebat ke arah yang berlawanan yang
ditempuh Andika. Tempat itu
langsung digigit sepi.
*** 5 Di sebuah gubuk kecil yang terdapat di tengah-
tengah Hutan Bawengan, terdengar desah dan rintihan manja berbalur kenikmatan.
Menyusul suara kikikan
seorang perempuan dan bersuara terengah-engah,
"Luar biasa! Kau masih memiliki kemampuan seperti dulu, Nomuro-san...."
"Justru kau yang tak pernah berubah, Dewi....
Kau tetap pandai memberikan kenikmatan pada lela-
ki...," sahut suara kedua yang juga agak tersengal. La-lu terdengar lagi
suaranya, "Begitu bodoh Pendekar Bayangan yang menolak cintaimu hanya karena
telah mempunyai seorang istri...."
"Hihihi... Nomuro-san.... Kau sengaja membang-
kitkan ingatanku padanya atau memang sekadar bica-
ra" Tetapi sudahlah, manusia itu telah mampus kubu-
nuh sebulan yang lalu. Dan melihat kematiannya, aku puas, sangat puas...."
Dari dalam gubuk yang diredupi oleh pepohonan
yang menggagalkan sorot matahari senja mengarah
pada gubuk itu, Nomuro Shasuke bangkit dari dipan
bambu yang baru saja dipakainya mengejar kenikma-
tan dengan Dewi Permata Biru. Saat menggerakkan
tangan kanannya, nampak di bahunya sebuah rajahan
matahari berwarna merah.
Sejenak dipandanginya sosok perempuan jelita
yang berusia kira-kira empat puluh lima tahun itu,
yang telentang dalam keadaan telanjang. Dan tak se-
kali pun perempuan ini berusaha menutupi bagian-
bagian tubuhnya yang terbuka lebar.
"Sungguh menyenangkan mempunyai kawan se-
perti perempuan ini. Sungguh menyenangkan pula ka-
rena dia memang sedang dirundung kelaraan karena
cintanya ditolak. Dan biarpun katanya Pendekar
Bayangan telah tewas di tangannya, aku tetap ber-
keyakinan kalau perempuan ini masih memendam cin-
tanya. Huh! Peduli setan! Untuk apa aku memikirkan
soal itu" Yang penting, dia datang tepat di saat aku membutuhkan bantuannya.
Juga... dia dapat dijadikan tempat pelampiasan nafsuku...."
Lalu dengan gerakan yang cepat, lelaki dari Je-
pang ini segera mengenakan pakaiannya kembali. Tan-
gan perempuan yang masih telanjang bulat mengga-
painya. "Mau ke mana" Mengapa kau sudah berpakaian?"
Nomuro Shasuke cuma pentangkan senyum.
Dewi Permata Biru berkata lagi, "Apakah kau tidak ingin mengulanginya?"
"Sudah tentu aku masih ingin. Bahkan tak pernah puas. Seumur hidupku, baru
denganmulah ku rasakan kenikmatan surga dunia yang sesungguhnya...."
"Ah, aku jadi malu mendengarnya. Mana mungkin
orang seperti kau tak pernah merasakan kenikmatan
yang diberikan para geisha di Jepang" Kudengar, me-
reka sangat ahli dalam pelayanan yang satu itu...."
"Tidak salah! Tetapi yang menilai tentunya aku, karena aku yang melakukannya!"
sahut Nomuro Shasuke sambil tersenyum. Tangan kanannya menjamah
payudara Dewi Permata Biru yang sejenak memejam-
kan matanya saat payudaranya diremas-remas.
"Kau semakin membuatku malu...," sahut perempuan yang di keningnya bertengger
sebuah permata yang pancarkan sinar biru, yang dikaitkan ke belakang kepalanya. Kaitan benang
halus itu tak nampak karena disembunyikan di balik lebatnya rambut yang
dimilikinya. "Dewi... ada sesuatu yang ingin kubicarakan...,"
kata Nomuro Shasuke kemudian. "Berpakaianlah...."
Dewi Permata Biru mengerling manja. "Nomuro-
san... apakah kau lebih suka aku berpakaian ataukah seperti keadaan sekarang
ini?" "Sudah tentu seperti sekarang ini. Tetapi, aku khawatir nafsuku akan naik
kembali hingga urusanku
tak akan selesai," sahut Nomuro Shasuke, lalu melanjutkan dalam hati, "Hhhh!
Dasar perempuan bodoh!
Kau tidak tahu kalau dirimu sedang kumanfaatkan!
Siapa orangnya yang mau meninggalkan tubuh molek
seperti yang kau miliki, hah"! Dasar Pendekar Bayangan saja yang bodoh, yang
akhirnya istri dan dirinya
sendiri harus mampus di tangan perempuan ini!"
Sambil tertawa genit perempuan jelita yang di ke-
ningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan si-
nar biru itu bangkit. Dia sejenak menggeliat, seolah hendak menunjukkan
payudaranya yang besar dan
kencang itu. Lalu dengan dibantu oleh Nomuro Shasuke, dia
mengenakan pakaian dalamnya yang berwarna putih.
Lalu mengenakan pakaian luarnya, panjang dan ber-
warna merah menyala. Nomuro sendiri yang kemudian
melilitkan selendang putih ke pinggang ramping Dewi Permata Biru.
"Sejak semula aku sudah yakin, kau tak mungkin datang ke tanah Jawa ini sekadar
mencariku. Tentunya ada urusan yang sangat penting. Dan kebetulan sekali, aku
tiba di dusun Bojong Tunggal, di saat nya-wamu akan putus di tangan para
penduduk. Nah, ka-
takan apa yang kau hendaki dariku?"
Nomuro Shasuke selain kejam juga termasuk
orang yang memiliki banyak akal licik. Sudah tentu ka-ta-kata Dewi Permata Biru
tadi membuatnya menjadi
jengah. Terburu-buru dia berkata, "Sebetulnya... urusanku datang ke tanah Jawa
ini sudah tentu menca-
rimu, Dewi. Aku sangat rindu padamu. Tetapi bila
kuingat kau masih mencintai Pendekar Bayangan, aku
selalu mengurungkan niat untuk datang menjumpai-
mu. Kusadari betul, kalau aku sudah tentu tak akan
mendapatkan cintamu...."
Dewi Permata Biru kembangkan senyum. Kendati
dia tahu kalau lelaki bertampang bengis ini hanya ber-dusta, tetapi dia senang
diperlakukan seperti itu.
"Bukankah sekarang orang yang kucintai sudah
tewas" Dan tentunya kesempatanmu lebih besar, bu-
kan?" Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Lalu dikecupnya bibir merah yang menantang di hadapannya. Setelah itu dia
berkata, "Dewi... aku membutuhkan bantuanmu...."
"Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan" Un-
tuk seseorang yang mau mengerti tentang diriku, cintaku dan kasihku, aku rela
mengorbankan nyawa...."
"Hmmm... sungguh kasihan sebenarnya perem-
puan ini. Sejak lama dia merindukan kasih sayang.
Malangnya dia jatuhkan pilihan pada Pendekar Bayan-
gan yang telah beristri. Tetapi masa bodoh! Aku telah mendapatkan kesempatan
yang memang kucari. Dengan kepandaiannya, aku bisa menjalankan semua ren-
canaku. Paling tidak, membunuh orang-orang yang di-
utus Kaisar Tokugawa Iesyasumoto."
Habis membatin begitu, Nomuro segera menceri-
takan apa yang telah dialaminya. Lalu, "Aku yakin, Kaisar mengutus orang-
orangnya untuk menang-kapku...."
Dewi Permata Biru berkata sambil tersenyum,
"Mengapa kau pusingkan soal itu" Biar kubunuh
orang-orang Kaisar keparatmu itu!"
"Oh! Terima kasih, Dewi! Satu lagi, aku ingin mendapatkan tempat yang paling
aman yang tentunya
menurutmu...."
"Mengapa kau mencari tempat seperti itu" Nomu-
ro-san... tak perlu bersembunyi dari kejaran orang-
orang Kaisar celakamu itu. Kupikir... mereka bukanlah sebuah kekuatan yang
mengerikan...."
"Kau bisa saja berkata demikian. Tetapi aku yakin, Hiedha Ogawa pasti turut
andil dalam memburu
nyawaku," kata Nomuro Shasuke dalam hati.
Melihat lelaki beralis tipis ini terdiam, Dewi Per-
mata Biru berkata, "Mengapa kau terdiam" Apakah kau sekarang sudah tidak
memiliki nyali lagi, hah" In-ikah yang dulu pernah kau banggakan, kalau seorang
samurai sejati pantang menyerah dan lebih baik mati ketimbang harga dirinya
diinjak-injak?"
Mendengar kata-kata yang mengandung ejekan
itu, mata Nomuro semakin menyipit. Tetapi buru-buru dia tersenyum seraya
berkata, "Aku masih tetap meninggikan derajat sebagai seorang samurai yang
kumiliki. Tetapi aku tak mau tewas lebih dulu sebelum ren-canaku untuk merebut
takhta Kaisar Tokugawa Iesya-
sumoto berhasil kujalankan...."


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sangat paham maksudmu. Hanya saja, men-
gapa kau nampak begitu gelisah?"
"Keparat terkutuk! Lama kelamaan aku tak bisa
tahan amarahku mendengar ucapan sialannya!" maki Nomuro dalam hati. Tetapi dia
justru tersenyum saat berkata, "Memang ada yang menggelisahkanku."
"Katakan...."
"Aku mendengar kabar, kalau di tanah Jawa ini
ada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor.
Pemuda yang bersahabat dengan Saburo. Dan aku ya-
kin, setelah orang-orang Kaisar mengetahui aku pergi ke tanah Jawa, mereka akan
mendatangi Saburo-san,
untuk mendapatkan petunjuk. Kukira, Saburo-san
tentunya mengatakan kalau Pendekar Slebor lah orang yang patut dimintai
bantuan...."
Dewi Permata Biru lagi-lagi tersenyum.
"Tak perlu khawatir. Aku memang pernah menden-
gar julukan pemuda itu. Tetapi... nampaknya dia bukanlah sebangsa orang yang
perlu ditakuti. Demi un-
tuk itu, biar ku urus orang-orang yang mengejarmu, sekaligus membunuh Pendekar
Slebor. Di samping itu, akan kita susun penyerangan pada Kaisar Tokugawa
Iesyasumoto. Jangan khawatir, aku memiliki beberapa orang kambrat yang tentunya
bersedia membantu. Terlebih lagi, seorang kambrat yang memang mendendam
pada Pendekar Slebor. Tetapi karena aku masih men-
gurusi soal Pendekar Bayangan, maka aku tak pernah
tertarik dengan segala urusannya pada pemuda dari
Lembah Kutukan itu beberapa minggu lalu. Percaya-
lah... kau akan bisa tidur nyenyak selagi aku masih berada di sisimu...."
"Aku ingin tahu seperti apa Pendekar Slebor...."
"Kau tak perlu tahu. Sekali lagi kukatakan, kau akan aman di sini...."
"Oh, terima kasih, Dewi! Terima kasih...," sahut Nomuro Shasuke sambil merangkul
perempuan itu kembali, yang seketika rebah di atas dipan. Diam-
diam, lelaki dari Jepang ini membatin, "Aku akan mencari tahu seperti apa
Pendekar Slebor...."
Lalu dengan beringas, dilucutinya seluruh pakaian
yang dikenakan Dewi Permata Biru yang cuma terki-
kik-kikik saja. Malah kedua tangannya yang dihiasi ja-ri jemari lentik juga
berusaha membuka pakaian No-
muro Shasuke. "Menyenangkan sekali.... Aku sangat suka ini...,"
desisnya sambil mengikik. Tahu-tahu dia berkata, "Tetapi ingat, Nomuro-san...
aku paling tidak suka dengan orang yang mengkhianatiku..."
Nomuro Shasuke tak sahuti ucapan Dewi Permata
Biru. Dia terus berusaha mengejar apa yang ingin di-dapatkannya kembali.
Kejap kemudian, yang terdengar dari gubuk itu
hanyalah desahan napas memburu diselingi ucapan-
ucapan cabul. *** 6 Matahari kembali memunculkan diri dari ufuk ti-
mur tatkala Pendekar Slebor tiba di Hutan Bawengan.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini sejenak
pandangi sekitarnya sebelum meneruskan larinya me-
masuki Hutan Bawengan.
Angin menggeresek dedaunan, berguguran seolah
menyambut kelebatan tubuhnya. Tepat di tengah-
tengah hutan itu, Andika hentikan larinya. Bukan dikarenakan dia merasa
membutuhkan istirahat karena
dadanya sudah mau pecah, melainkan karena sesuatu
yang menarik perhatiannya.
Pandangannya menatap tak berkedip pada sebuah
gubuk yang berdiri agak miring ke kanan berjarak lima tombak dari tempatnya
berdiri. Masih pandangi gubuk itu, pemuda yang memiliki
alis hitam legam laksana kepakan sayap elang ini
membatin, "Hmmm... siapakah penghuni gubuk itu"
Kendati sudah agak miring namun nampaknya masih
layak dihuni. Atau... gubuk itu memang tak berpeng-
huni, hanya sebuah gubuk yang dijadikan sebagai
tempat peristirahatan oleh para penebang kayu bela-ka" Busyet! Kalau cuma
ngomong saja, mana aku bisa
tahu siapa penghuni gubuk itu. Sebaiknya... kuperiksa saja...."
Memutuskan demikian, Andika melangkah men-
dekati gubuk itu. Sejarak lima langkah dia sudah berteriak, "Hoooiii! Ada orang
tidak" Kalau ada diam saja, kalau tidak ada menyahut! Eh! Terbalik, terbalik!
Kalau ada orangnya menyahut, kalau tidak ada diam sa-
ja!" Lalu dengan sikap seenak perutnya, pemuda ini mendorong pintu gubuk itu
sambil berseru, "Maaf nih ya kalau ada orangnya!"
Tetap tak ada sahutan. Berarti memang tak ada
orang di gubuk itu.
"Hmmm... tidak ada orang. Tetapi... bau apa ini?"
desisnya sambil menggerak-gerakkan cuping hidung-
nya, mengendus. "Ada aroma harum yang tersisa. Menilik aroma harum ini,
nampaknya semalam ada yang
menempati gubuk ini. Bisa juga dipastikan kalau yang singgah di sini pasti
seorang perempuan. Lalu perempuan seperti apa yang berani-beraninya meninggalkan
gubuk ini" Seorang diri ataukah mempunyai teman?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Sambil putar tubuhnya kembali dia membatin,
"Ke mana aku harus menemukan Nomuro Shasuke
dan Dewi Permata Biru" Dua urusan sudah memben-
tang di hadapanku. Mengejar pembunuh dari Jepang
dan mengejar Dewi Permata Biru yang telah turunkan
tangan pada Pendekar Bayangan.... Busyet! Kenapa
begitu banyaknya orang yang suka menurunkan tan-
gan telengas?"
Andika memperhatikan kembali sekelilingnya.
"Kutu monyet! Semakin kupikirkan kok semakin
buntu! Jangan-jangan otakku yang sudah tidak bisa dipakai lagi! Lebih baik
aku... eh, tunggu dulu!"
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini terdiam. Otaknya diperas memikirkan sesuatu yang melintas pada benaknya.
Lalu diputar tubuhnya lagi, pandangannya diarahkan pada gubuk di hadapannya.
Cuping hidungnya bergerak-gerak.
"Aroma harum... ya, ya... bukankah apa yang katakan penduduk Bojong Tunggal,
selain melihat pe-
rempuan yang menyelamatkan Nomuro Shasuke ter-
dapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru, juga
meninggalkan aroma harum" Jangan-jangan... uh! Kok
aku jadi curigaan begini" Siapa tabu kebetulan saja ada seorang gadis pesolek
yang menyinggahi tempat ini semalam.... Benar-benar kutu busuk! Bawaannya
curigaan terus"!"
Kembali pemuda urakan ini garuk-garuk kepa-
lanya. Lalu diputuskan untuk meninggalkan tempat
itu. Baru tiga langkah dia bergerak, dilihatnya satu sosok tubuh berlari cepat
ke arahnya. Karena tak mungkin lagi untuk menghindari orang itu, Andika akhirnya
sengaja menunggu.
Sementara itu, orang yang berlari ke arahnya sen-
diri nampak terkejut. Saat itu pula dia hentikan larinya. Pandangannya tajam
pada Andika yang cuma
tersenyum. "Aneh! Kalau beberapa hari lalu aku kedatangan orang-orang dari negeri Matahari,
nampaknya sekarang aku bertemu dengan orang dari India. Cara ber-
pakaiannya menunjukkan dari mana dia berasal," kata Andika dalam hati.
Lelaki yang dikepalanya melilit sebuah sorban
warna putih itu tegak tak bergerak. Sepasang matanya tajam ke arah Andika.
Pipinya dipenuhi dengan bulu-bulu halus. Hidungnya mancung dan agak bengkok.
Dia mengenakan pakaian panjang warna biru yang di
luarnya dilapisi pakaian seperti rompi berwarna hitam.
Di pinggangnya melilit kain berwarna biru pula dan
terselip sebilah golok yang sangat tajam.
Sesaat masing-masing orang tak ada yang buka
suara. Andika sendiri cuma cengar-cengir saja, merasa lucu melihat cara orang
itu berpakaian.
Dan karena tak enak berdiam diri seperti itu, An-
dika pun berkata, "Kenapa berhenti berlari" Apakah kau memang sengaja mencariku,
atau kau berhenti
karena melihatku?"
Lelaki bersorban putih itu tak segera menjawab.
Pandangannya masih tajam. ke arah Andika. Lalu den-
gan suara agak sengau dan terbata-bata dia berkata,
"Tak ada urusanku mencarimu. Tak ada urusanku
berhenti karena melihatmu...."
"Nah, nah! Kok aneh" Kalau begitu kenapa ber-
henti" Cuma iseng, ya" Atau kau sudah kelelahan?"
Lelaki itu terdiam kembali. Lalu berkata, "Siapa kau, Anak Muda?"
"Wah! Akhirnya kenalan juga!" sahut Andika masih cengar-cengir. "Namaku Andika.
Nah, kau siapa?"
"Namaku... Pucha Kumar."
"Tepat dugaanku. Dari namanya saja sudah men-
cerminkan dari mana dia berasal. Jangan-jangan... dia datang ke sini mau jual
martabak telor?" seloroh Andika dalam hati. Lalu berkata, "Apakah tanah India
sudah tak layak lagi dihuni hingga kau hijrah ke sini, Pucha Kumar" Busyet!
Namamu kok tidak enak banget
ya disebut?"
Lelaki bernama Pucha Kumar itu tak hiraukan se-
lorohan Andika. Sikapnya sangat serius, pertanda dia memang jarang sekali
bergurau. Kemudian katanya, "Aku datang... untuk mencari seorang pemuda berjuluk Pendekar
Slebor...."
Melengak pemuda urakan ini mendengar kata-
kata orang. Kali ini cengirannya langsung lenyap. Tetapi ya... dasar urakan, dia
kembali nyengir kembali.
"Ada apa kau mencari Pendekar Slebor?" ta-nyanya.
Bukan jawab pertanyaannya, Pucha Kumar justru
balik bertanya, "Apakah kau mengenalnya?"
"O... sudah tentu! Siapa sih yang tidak kenal pemuda yang paling ganteng sedunia
itu" Ngomong-
ngomong... kenapa kau mencarinya?"
"Aku membutuhkan bantuan Pendekar Slebor.
Andika, bila kau mengenalnya, tolong beritahukan kepadaku, di mana aku dapat
menemuinya?"
"Bantuan apa yang kau butuhkan?" tanya Andika lalu melanjutkan dalam hati,
"Persoalan apa lagi yang dibawa penjual martabak telor ini?"
"Mungkin... kau sudah mendengar tentang seo-
rang pembunuh dari Jepang yang datang ke tanah Ja-
wa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke. Beberapa ming-
gu lalu, lelaki itu mendarat di tanah India. Kemuncu-lannya ternyata justru
membuat onar. Dua adik pe-
rempuanku telah diperkosa dan dibunuhnya. Sayang
saat itu aku sedang bertapa hingga gagal menyela-
matkan kedua adik perempuanku. Tetapi, aku tak ber-
diam diri. Kucari manusia celaka itu yang kemudian
kudengar kabar, kalau dia mendarat di tanah Jawa ini.
Telah seminggu lamanya aku berada di sini. Setiap
orang yang kutanyakan soal Nomuro Shasuke tak ada
yang pernah memberikan jawaban memuaskan. Justru
mereka berkata, carilah Pendekar Slebor, maka urusan akan tuntas...."
"Ah!" Andika menjadi jengah kendati hidungnya bergerak-gerak bangga. Lalu buru-
buru dia berkata,
"Aku memang telah mendengar tentang pembunuh da-ri Jepang yang bernama Nomuro
Shasuke. Bahkan dia
telah membuat keonaran di sebuah dusun. Kini tiga
orang utusan Kaisar Jepang tengah mencarinya...."
"Jahanam terkutuk!" Pucha Kumar kertakkan rahangnya. Wajahnya nampak tegang
sekali. Saat dia
melanjutkan kata-katanya, tangan kanannya mengepal
keras, "Manusia celaka itu harus mampus!"
Andika cuma manggut-manggut saja, seolah men-
gikuti getar kemarahan di hati Pucha Kumar.
Kemudian didengarnya lelaki bersorban putih itu
berkata, "Lantas... apakah kau mengenal Pendekar Slebor?"
"Ya."
"Katakan... di mana dia berada?"
Andika tersenyum. "Kau tak perlu pergi jauh-jauh.
Karena... ya, kebetulan sekali, kalau orang yang kau cari adalah aku
sendiri...."
*** Sesaat Pucha Kumar tak buka suara. Kali ini pan-
dangannya agak menyipit. Andika mendengus dalam
hati begitu menyadari arti pandangan lelaki di hadapannya.
"Brengsek! Kok dia kelihatannya tidak percaya
sih?" gerutunya dalam hati.
Lalu didengarnya suara Pucha Kumar, "Aku me-
mang belum pernah mengenal pemuda berjuluk Pen-
dekar Slebor. Tetapi untuk kali ini, aku bisa memper-cayaimu."
"Lho, tidak percaya juga tidak apa-apa," sahut Andika agak jengkel.
Pucha Kumar masih pandangi pemuda di hada-
pannya sebelum berkata, "Baiklah... aku percaya dengan siapa kau adanya.
Pendekar Slebor... maukah kau membantuku untuk menemukan di mana Nomuro
Shasuke berada?"
Andika mengangkat kedua bahunya. "Ya, sebe-
narnya kebetulan sekali kalau aku juga sedang mencarinya."
"Sudahkah kau bertemu dengannya?" suara Pucha Kumar begitu bernafsu sekali. Dan
dia menghela napas masygul begitu melihat Andika menggeleng.
"Sayang sekali... aku belum menemukannya...."
Lelaki dari India itu mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Ya... sayang sekali...."
"Pucha Kumar... busyet! Betul-betul tidak enak banget namamu disebut!" seloroh
Andika konyol. "Tapi masa bodohlah! Memang itu sudah namamu, kan" Sekarang...
kita mempunyai kepentingan yang sama
mencari Nomuro Shasuke. Kupikir, sebaiknya kita
berpisah saja di sini...."
"Dan kau mau membantu?"
"Sudah tentu akan kulakukan...."
Lelaki bersorban putih itu rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Lalu berkata hormat, "Terima kasih atas kesediaanmu
membantuku, Tuan Pendekar...."
"Ya, sudah, sudah! Belum tentu juga berhasil, sudah main terima kasih saja!"
Pucha Kumar membungkukkan sedikit tubuhnya
dengan tangan masih merangkap di dada. Dengan si-
kap asal-asal Andika membalas sambil berkata dalam
hati, "Lumayan juga nih...."
Setelah itu, masing-masing orang pun segera me-
langkah ke arah yang berlawanan. Namun baru tiga
langkah mereka bergerak, terdengar suara, "Andika-san!" Bukan hanya Andika yang
segera hentikan langkah. Pucha Kumar juga berbuat yang sama. Sesaat
nampak wajah lelaki itu berubah melihat siapa yang
muncul. Di kejap lain kedua matanya membuka lebar.
Menyusul bentakannya yang keras, "Manusia keparat!


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katakan padaku, siapa di antara kalian yang bernama Nomuro Shasuke"!"
*** 7 Orang yang memanggil Andika tadi adalah Hiedha
Ogawa, yang telah berdiri berjarak delapan langkah
dari depan. Di kanan kirinya berdiri Mishima Nobu
dan Ayothomori.
Sudah tentu mendengar bentakan yang dikelua-
rkan lelaki berhidung bengkok itu membuat kening
masing-masing orang berkerut.
Andika langsung sadar, kalau kesalahpahaman
bisa terjadi. Makanya dia buru-buru berkata, "Tahan!
Pucha Kumar! Kau salah orang! Tak ada orang yang
bernama Nomuro Shasuke di antara mereka!"
"Andika! Jangan ikut campur urusanku!" seru Pucha Kumar keras. "Katakan padaku,
siapa di antara kalian yang bernama Nomuro Shasuke"!"
Sudah tentu ketiga orang utusan Kaisar Tokugawa
Iesyasumoto itu makin kerutkan kening. Mereka tidak mengenal orang yang
keluarkan bentakan dan lebih
heran lagi karena orang itu menuduh salah seorang di antara mereka adalah Nomuro
Shasuke. Sementara ketiga utusan Kaisar Jepang itu sedang
keheranan, Andika justru memaki-maki dalam hati,
"Brengsek! Tadi dia bilang meminta bantuanku, sekarang aku tak boleh ikut
campur! Huh! Setan belang!
Urusan bisa jadi kapiran bila tak segera kuselesaikan!"
Tetapi Pucha Kumar yang nampaknya memang
begitu mendendam, tak mau membuang waktu. Golok
di pinggangnya segera dicabut. Menyusul dengan te-
riakan membahana dia menerjang sambil mengayun-
kan golok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah
Hiedha Ogawa yang berada di depan.
"Heiiii!" seru lelaki berkumis tipis itu sambil membuang tubuh ke samping kanan.
Golok yang disabetkan Pucha Kumar rupanya tak
mau tinggal diam lebih lama. Dengan gerakan cepat,
disabetkannya golok itu dari kanan ke kiri, ke arah Ayothomori lalu ke arah
Mishima Nobu, yang masing-masing orang segera melompat menghindar.
Ayothomori yang memang panasan juga tak mau
tinggal diam. Segera saja dia cabut samurainya. Dengan tangan kanan dan kiri
menggenggam hulu samu-
rai, dia melompat ke depan dengan cara mengayunkan
dari atas ke bawah.
"Huh! Rupanya kau ingin menantang samurai dari negeri Matahari"!"
Tranggg! Ayunan samurainya terhalang oleh gerakan golok
Pucha Kumar yang sedemikian cepat. Habis menangkis
ayunan samurai Ayothomori, Pucha Kumar merunduk.
Dengan cara menyentak maju satu langkah ke ,depan,
didorong goloknya ke arah perut Ayothomori yang se-
gera putar samurainya.
Kembali suara keras terdengar saat dua senjata
itu berbenturan. Menyusul suara angin yang membe-
set setiap kali senjata-senjata itu bergerak. Sementara itu Hiedha Ogawa dan
Mishima Nobu hanya terpaku di
tempatnya. Mereka tak berniat untuk membantu Ayo-
thomori. Namun di dalam hati masing-masing orang,
berharap agar Ayothomori dapat menyelesaikan perta-
rungan itu dengan cepat.
Sementara itu di tempatnya Andika mendengus
dalam hati. "Berabe! Dasar orang-orang yang panasan!"
Namun sebelum dia bergerak untuk memisahkan
kedua orang itu, sejenak pemuda ini mengerutkan ke-
ningnya. Ada sesuatu yang melintas di benaknya. Akan tetapi, karena nampaknya
pertarungan itu semakin
sengit dan bisa membahayakan masing-masing orang,
Andika memutuskan untuk segera memisahkannya.
Dengan menyambar sebatang ranting kering dan
segera dialiri tenaga dalamnya, pemuda urakan ini
langsung masuk ke kalangan. Ranting itu segera dikibaskan.
Prak! Prak! Terdengar suara yang keras saat menghantam go-
lok Pucha Kumar maupun samurai Ayothomori. Na-
mun kedua lelaki yang sama-sama panasan itu tak
mau dipisahkan begitu saja. Mereka langsung merang-
sek kembali. "Kutu busuk! Ingin kujitak kepala kedua orang
ini!" maki Andika.
Dan dengan cepat dia meluruk ke depan, lalu
memutar tubuh setengah lingkaran. Bersamaan den-
gan itu, dikerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat keempat belas pada ranting yang
dipegangnya. Terdengar suara salakan petir yang cukup mengejutkan tatkala
ranting yang dipegangnya digerakkan.
Prak! Prak! Kembali ranting yang mendadak menjadi sangat
keras setelah dialiri tenaga 'Inti Petir' itu menahan serangan golok dan samurai
kedua orang yang berta-
rung. Menyusul dengan gerakan yang sangat cepat,
Andika menotok pangkal lengan Pucha Kumar. Semen-
tara tangan kirinya menotok pula pangkal lengan kiri Ayothomori.
Masing-masing orang terkejut dengan tubuh me-
lengak sesaat dengan langkah terhuyung dan tubuh
yang dirasakan ngilu. Senjata yang dipegang terlepas begitu saja. Bersamaan
dengan itu, Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah berseru, "Tahan!
Jangan bertindak gegabah! Kita bukan bermusuhan! Malah
boleh dikatakan sebagai sahabat! Tetapi bila memang kalian keras kepala, kalian
bisa maju berdua sekaligus menghadapiku!"
Seruan Andika itu terdengar memang agak som-
bong. Namun pemuda dari Lembah Kutukan ini tidak
bermaksud demikian. Itu dilakukan karena dia sudah
sangat jengkel karena kedua orang yang bertarung itu tak mau mendengarkan
seruannya. Wajah Pucha Kumar nampak berubah. Dia buru-
buru rangkapkan kedua tangannya. Saat digerakkan
tangan kirinya, terasa agak ngilu sekali. Sebenarnya,
bila saja Andika melakukan totokannya sepenuh hati, saat itu pula Pucha Kumar
bisa muntah darah.
Lain halnya dengan yang dilakukan Pucha Kumar,
Ayothomori justru makin beringas. Dari semula dia
memang tak menyukai Pendekar Slebor. Apalagi bebe-
rapa hari lalu dia dapat dikalahkan oleh pemuda itu yang baru diketahui kalau
pemuda itulah Pendekar
Slebor. Dan sekarang, pemuda itu mencampuri urusan-
nya. Harga diri Ayothomori merasa diinjak-injak.
Sambil menahan rasa ngilu pada pangkal lengan
kirinya, lelaki bertubuh jangkung ini menuding dengan tangan kanan, "Andika-san!
Jangan turut campur urusan ini! Lelaki keparat itu harus mampus di tanganku!"
Andika menggeram jengkel. Tetapi dia berusaha
untuk tindih segala kejengkelannya. Kendati demikian wajahnya yang biasa cengar-
cengir, kali ini berubah menjadi serius.
"Ayothomori-san! Aku tidak tahu mengapa kau
begitu membenci kepadaku! Tetapi urusan kau me-
mang membenciku atau tidak, aku tidak peduli! Cuma
saja, jangan lagi bertindak telengas di depan mataku!"
Mendengar kata-kata yang tegas itu, Ayothomori
makin meradang. Seraya maju satu langkah, lelaki
jangkung berkulit kuning ini merandek dingin, "Andika-san! Sikapmu sudah kelewat
batas! Sejak pertama
aku memang tak setuju dengan keinginan Hiedha-san
dan Mishima-san untuk meminta bantuanmu mencari
Nomuro Shasuke!"
"Aku tidak peduli! Tetapi perlu kau ketahui, di sini aku dilahirkan! Ini tanah
leluhurku! Siapa pun orangnya yang berniat bikin rusak tanah leluhurku ini,
harus berhadapan denganku!"
"Kau menantangku, Andika-san?"
"Tidakkah terbalik apa yang kau tanyakan itu,
hah"!"
"Baik! Aku menantangmu!"
Andika yang sudah jengkel melihat sikap telengas
Ayothomori segera maju satu tindak ke depan.
"Baik! Biar kau puas... kuterima tantanganmu!"
Sementara itu Hiedha Ogawa yang melihat suasa-
na kian memanas, buru-buru berkata, "Andika-san...
tahan segala amarah dalam dadamu...."
Tanpa palingkan kepala Andika menjawab, "Hied-
ha-san... aku masih bisa menahan diri sebenarnya
dengan apa yang dilakukan Ayothomori-san di pesisir pantai beberapa hari lalu!
Tetapi nampaknya, kawan-mu itu tidak puas dengan sikapku! Biar dia berhada-
pan denganku!"
"Celaka! Urusan bisa menjadi gawat! Mengapa harus di antara kami yang saling
membuka silang seng-
keta" Bila berita ini terdengar oleh manusia pengkhianat itu, bisa-bisa dia
tertawa setinggi langit."
Habis membatin begitu, Hiedha Ogawa melangkah
dan berdiri di tengah-tengah Andika dan Ayothomori.
"Andika-san... aku mohon maaf atas sikap Ayo-
thomori-san...," katanya sambil membungkukkan tubuh. Andika menarik napas
panjang. Lama dia terdiam sebelum akhirnya berkata, "Bukan maksudku untuk
memperlihatkan diri! Tetapi aku ingin...."
"Hiedha-san! Mengapa kau bersikap lemah seperti itu, hah"!" putus Ayothomori.
"Biarkan aku bertarung dengannya! Ingin kulihat... kebisaan apa yang dia
miliki!" Hiedha Ogawa tak pedulikan kata-kata Ayothomori. Dia berkata lagi pada
Andika, "Andika-san... kami datang untuk meminta bantuanmu... sudah barang
tentu apa yang dilakukan Ayothomori-san sebuah ke-
salahan...."
"Jangan membelanya! Pemuda celaka ini..."
"Tutup mulutmu, Ayothomori-san!" menghardik Hiedha Ogawa sambil putar tubuh.
Wajahnya berubah
menjadi dingin. Pancaran matanya tajam menusuk.
Sesaat Ayothomori nampak melengak. Sesaat pula
dia balas menatap Hiedha Ogawa dengan tatapan ben-
gisnya. Tetapi di saat lain, dia sudah arahkan pandangannya ke samping kanan.
Nampak sekali kalau dia
berusaha tindih segala kekesalannya.
"Keparat! Dua kali Hiedha-san menghinaku! Tak
akan ada yang ketiga kalinya! Sungguh perbuatan
yang tak patut dilakukannya! Perbuatan yang meren-
dahkan derajat dan martabat seorang samurai! Ba-
danku sudah terhina! Akan kubalas semua penghi-
naan ini dengan darah!"
Sementara itu Andika sendiri mulai merasa tidak
enak dengan perkembangan yang terjadi. Tetapi apa
yang dilakukannya tadi memang benar. Karena se-
sungguhnya dia tak menyukai sikap telengas Ayotho-
mori. Lalu katanya sambil membungkuk sedikit, "Hiedha-san... maafkan atas
kekhilafanku...."
Hiedha Ogawa membuka kedua tangannya seraya
mendekat. Sambil menepuk-nepuk kedua bahu Andika
dia berkata, "Tak perlu kau meminta maaf.... Ini bukan kesalahanmu. Justru
kesalahan Ayothomori sendiri...."
Andika cuma tersenyum padahal dalam hati dia
memaki-maki dirinya sendiri, "Kutu monyet! Kenapa aku jadi geram begitu ya" Huh!
Tetapi... siapa sangka kalau aku ternyata juga bisa marah" Wah! Ini berita
bagus!" Kemudian sambil nyengir dan kembali pada sikap
aslinya, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutu-
kan ini mendekati Ayothomori. Tak dihiraukannya
pandangan menusuk Ayothomori sambil perlihatkan
sinisannya. Dengan sikap gagah Andika berkata, "Maafkan
atas kekasaranku tadi...."
Ayothomori tak menyahut. Hanya sinisannya yang
semakin lebar. Bagi Andika sendiri orang itu mau me-maafkannya atau tidak masa
bodoh. Yang pasti dia
sudah mengakui kesalahannya.'
Keheningan itu dipecahkan oleh suara Pucha Ku-
mar, "Maaf, maaf... justru akulah yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini.
Terus terang, aku khilaf dan menyerang kalian begitu saja. Apa yang dilakukan
oleh Ayothomori bukanlah sebuah kesalahan. Dia memang patut melakukannya....
Justru akulah yang se-
harusnya kalian hukum...."
Seolah mendengar ada orang yang berpihak pa-
danya, Ayothomori angkat kepalanya. Memandang pa-
da Pucha Kumar yang sudah berdiri di samping kanan
Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa berkata, "Kawan... tak ada yang salah di antara kita. Tidak juga
Ayothomori-san dan tidak juga kau. Yah, ini mungkin merupakan bumbu da-
lam kehidupan. Bolehkah kami tahu siapa kau
adanya?" Pucha Kumar segera arahkan pandangan pada
Hiedha Ogawa. Lalu disebutkan nama, asal-usul dan
apa yang dicarinya di tanah Jawa ini.
"Itulah sebabnya, tadi kuserang kalian karena aku menduga salah seorang di
antara kahan adalah pembunuh keji bernama Nomuro Shasuke...."
Hiedha Ogawa menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak ada di antara kami yang bernama
Nomuro Shasuke. Sesungguhnya, kami adalah utusan
dari Kaisar Tokugawa Iesyasumoto yang sedang men-
cari manusia celaka itu...."
Wajah Pucha Kumar nampak penuh penyesalan.
"Sekali lagi... maafkan aku...." Lalu dia berkata la-gi pada Ayothomori,
"Kawan... kuhaturkan permintaan maaf setulusnya padamu...."
Kalau tadi Ayothomori tersenyum karena ada yang
berpihak padanya, kali ini dia mendengus. Lalu den-
gan sikap angkuh lelaki bertubuh jangkung itu me-
langkah ke bawah sebuah pohon. Dan duduk bersan-
dar dengan mata dipejamkan.
Mishima Nobu mendekatinya dan mencoba mene-
nangkan hati kawannya itu. Di lain pihak, Hiedha
Ogawa berkata, "Andika-san... apakah kau sudah mendapatkan jejak Nomuro
Shasuke?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Hiedha-san... pernahkah kau mendengar tentang seorang tokoh berjuluk Dewi
Permata Biru?"
Sesaat kening Hiedha berkerut sebelum akhirnya
menggeleng. "Tidak. Mengapa?"
"Apakah selama ini, kau tahu kalau sesungguhnya Nomuro Shasuke pernah datang ke
tanah Jawa?"
Lagi-lagi kepala Hiedha menggeleng.


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika berkata lagi, "Menurut perkiraanku, Nomuro Shasuke pernah datang ke tanah
Jawa dan saat ini dia tentunya sedang bersama kambratnya yang berjuluk Dewi Permata Biru...."
Sesaat hening melanda masing-masing orang se-
belum akhirnya Hiedha Ogawa membuka mulut, "Andika-san... aku baru ingat
sekarang.... Ya, ya... bisa ja-di kala itu dia datang ke tanah Jawa...."
"Ceritakan...."
"Sepuluh tahun yang lalu... terjadi pemberontakan di Kekaisaran. Semua turun
tangan untuk mengatasi
para pemberontak. Dan setelah pemberontakan itu
berhasil diatasi, kami baru sadar kalau Nomuro Sha-
suke tidak ada di antara kami. Saat itu kami berpikir dia telah tewas dalam
pertarungan sengit. Tetapi dua
bulan kemudian, dia muncul kembali dalam keadaan
segar bugar. Menurut ceritanya... dia mengejar sisa-sisa gerombolan sampai ke
Bukit Huy. Dan kami se-
mua percaya dengan penjelasannya. Hmmm... bisa ja-
di, kalau sebenarnya dia justru melarikan diri dari tanggung jawabnya menuju ke
tanah Jawa.... Andika-san... bagaimana kau bisa menduga kalau Nomuro
Shasuke saat ini sedang bersama-sama Dewi Permata
Biru?" Andika menceritakan apa yang diketahuinya dari
para penduduk dusun Bojong Tunggal.
Hiedha Ogawa mengepalkan tinjunya. "Nampak-
nya... lelaki celaka itu tengah menghimpun kekuatannya lagi dengan meminta
bantuan orang-orang sesat
seperti Dewi Permata Biru...."
Kembali tak ada yang membuka suara. Di bawah
pohon, Mishima Nobu nampaknya berhasil menenang-
kan hati Ayothomori, terbukti lelaki jangkung itu mau kembali bergabung. Namun
tak seorang pun yang ta-hu, kalau sesungguhnya Ayothomori masih menden-
dam pada Pendekar Slebor.
Lalu terdengar kata-kata Pucha Kumar, "Aku ma-
sih tidak enak dengan tindakan yang kulakukan tadi, yang hampir saja membuka
urusan salah paham di
antara kita, bahkan bisa jadi mengorbankan nyawa bi-la Andika tidak segera
bertindak. Dan kini kita sama-sama tahu, kalau masing-masing orang sedang mem-
buru Nomuro Shasuke yang menurut Andika telah
bergabung dengan Dewi Permata Biru. Kalau begitu...
aku mohon diri untuk segera mencari Nomuro Sha-
suke...." Tak ada yang menahan keinginan Pucha Kumar.
Karena sesungguhnya masing-masing orang juga tak
mau membuang waktu untuk meneruskan melacak je-
jak pembunuh dari Jepang itu.
Sepeninggal lelaki dari India itu, Andika berkata,
"Kini kita tahu masalah yang sesungguhnya. Berhati-hati bila bertemu dengan
seorang perempuan yang di
keningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan
warna biru...."
Lalu Andika berbisik pada Hiedha Ogawa, "Hied-
ha-san... hati-hati terhadap Ayothomori... aku khawatir dia akan meledak
sewaktu-waktu dan membikin
urusan ini jadi berantakan...."
Setelah Hiedha Ogawa menganggukkan kepa-
lanya, Andika meneruskan langkah ke arah yang ber-
lawanan dengan Pucha Kumar.
Sepeninggal pemuda dari Lembah Kutukan itu,
ketiga utusan Kaisar Yokugawa Iesyasumoto segera
meneruskan perjalanan.
Sementara itu, diam-diam Ayothomori berkata,
"Suatu saat... akan kukejutkan kalian... terutama kau, Pendekar Slebor...."
*** 8 Di sebuah tempat yang cukup jauh dari perte-
muan Pendekar Slebor, Pucha Kumar dan tiga orang
utusan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto, nampak satu
sosok tubuh menghentikan kelebatannya di sebuah ja-
lan yang dipenuhi bebatuan. Sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan pakaian
warna hitam-hitam terbuka
di bagian dada hingga menampakkan tonjolan tulang-
nya, keluarkan dengusan.
"Keparat! Aku terlambat datang! Pendekar Slebor telah berhasil mengalahkan
kutukan Jala Kunti! Jahanam sialan! Sampai di mana pun juga, akan kucari
pemuda celaka yang ikut campur dalam urusan den-
dam lama kakak seperguruanku itu pada Ki Saptaca-
kra!" Kembali lelaki tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini keluarkan
dengusan. Wajah orang ini
demikian mengerikan, karena seperti tak terlapis dag-ing dan kulit. Begitu
kurusnya hingga wajahnya nam-
pak seperti tengkorak belaka. Rambut orang itu pan-
jang tak beraturan. Sepasang matanya menjorok ke
dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Lagi-lagi dia keluarkan suara dingin, "Dua murid-ku telah tewas di tangannya!
Urusan kutukan Jala
Kunti berhasil digagalkannya! Jahanam keparat! Pe-
muda dari Lembah Kutukan itu semakin membuat ke-
dua tanganku kian gatal untuk mengepruk kepalanya!"
Lalu mendadak saja lelaki kurus ini menggerak-
kan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri. Ke-
jap itu pula menghampar dua gelombang angin yang
mengandung hawa panas. Menghantam deras dua
buah batu sebesar kambing jantan.
Blaaarr! Blaaarrr!
Begitu terdengar letupan yang keras, batu besar
itu langsung rengkah. Bukan menjadi pecahan kerikil yang berpentalan, melainkan
menjadi abu yang membubung ke udara.
Siapakah lelaki tua yang mendendam pada Pen-
dekar Slebor" Dia tak lain adalah Dedemit Tapak Akhirat, guru dari Dua Iblis
Lorong Maut. Tatkala terjadi peristiwa aneh sekaligus mengerikan yang berkaitan
dengan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor memang
terlihat dalam urusan itu. Sementara Dedemit Tapak
Akhirat yang setelah menurunkan ilmunya pada Gen-
dala Maung, langsung turun tangan untuk mencari
Pendekar Slebor.
Namun dia datang agak terlambat, karena dengan
kecerdikan dan kesaktian yang dimilikinya, Pendekar Slebor berhasil memutuskan
segala kutukan perempuan sesat bernama Jala Kunti yang mendendam pada
Eyang buyutnya, Ki Saptacakra (Untuk mengetahui
semua peristiwa ini, silakan baca : "Patung Kepala Singa", "Rahasia Di Balik
Abu" dan "Cinta Dalam Kutukan").
Kembali lelaki bertampang layaknya tengkorak ini
keluarkan dengusan.
"Huh! Sampai kapan pun juga, tak akan kubiar-
kan pemuda celaka itu hidup lebih lama!"
Belum lagi habis kata-katanya terdengar, menda-
dak saja terdengar suara agak nyaring dari belakangnya, "Tak disangka dan tak
dinyana, tak perlu bersusah payah akhirnya bertemu juga di sini! Sungguh
menyenangkan! Dedemit Tapak Akhirat... apakah kau
masih mengenaliku"!"
Seketika itu juga Dedemit Tapak Akhirat paling-
kan kepalanya ke belakang. Sepasang matanya yang
pancarkan sinar kelabu memandang tak berkedip pada
perempuan berparas jelita yang kenakan pakaian war-
na merah menyala dan telah berdiri berjarak lima
langkah dari tempatnya. Perempuan itu langsung pa-
merkan senyum genit. Dan di keningnya terdapat se-
buah permata yang pancarkan sinar warna biru.
Dari sikapnya yang sejak tadi begitu jengkel, kali
ini Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak.
"Dewi Permata Biru... tak kusangka pula kalau ki-ta akan bertemu lagi.
Kupikir... kau sudah menghilang setelah cintamu ditolak oleh Pendekar Bayangan?"
Perempuan yang tadi keluarkan suara dan tak lain
memang Dewi Permata Biru adanya maju dua tindak
ke depan. "Setiap kali bertemu, kau selalu mengingatkanku pada lelaki keparat itu! Tetapi
urusan Pendekar
Bayangan telah kutuntaskan! Lelaki keparat itu telah mampus di tanganku...."
"Bagus! Kau memang harus kubur dalam-dalam
segala cinta yang pada akhirnya akan menjeratmu
sendiri! Dan sungguh kabar yang menyenangkan men-
dengar Pendekar Bayangan telah mampus! Padahal se-
jak dulu kukatakan padamu, biar aku yang mengurus
nyawa lelaki yang membuatmu lara!"
"Tetapi pada akhirnya... justru dia mampus di
tanganku, bukan?"
"Berarti... hatimu telah setajam duri mawar! Cintamu telah berubah menjadi
dendam angkara!"
"Terkadang... aku sendiri tak begitu paham tentang cinta yang kumiliki! Di saat
seorang lelaki men-cintaiku, justru aku tak bisa membalasnya! Tetapi
tatkala aku jatuh cinta setengah mati pada seorang lelaki, justru lelaki itu
yang tak bisa membalas cintaku!
Hanya saja... sudahlah! Kini segala urusan cinta telah berlalu, begitu jauh!"
Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak keras
hingga tubuhnya berguncang. Masih tertawa dia ber-
kata, "Kemunculanmu ini sungguh mengejutkan! Dan rasanya tak mungkin bila kau
tak membawa sebuah
urusan! Ada apa"!"
Dewi Permata Biru kerlingkan mata dulu sebelum
berkata, "Tak kusangka juga kalau kau akan keluar dari tanah terkutuk bernama
Puncak Balu-Balu! Apakah kau sudah bosan menyendiri di tempat itu, hah"!"
Tawa Dedemit Tapak Akhirat terputus. Sepasang
matanya menyipit, agak tajam memandang Dewi Per-
mata Biru yang masih tersenyum.
"Kendati usia perempuan ini jauh berbeda dengan usiaku, tetapi dia adalah salah
seorang kambrat yang setia. Kendati setiap ucapannya terkadang membuatku ingin
menghajarnya, tetapi dia adalah orang yang bisa
diajak bersatu dalam kejahatan."
Habis membatin begitu Dedemit Tapak Akhirat
berkata, "Mengapa harus putar pertanyaan bila masih ada yang mengganjal"
Urusanku meninggalkan Puncak Balu-Balu, adalah urusanku semata! Katakan...
apa keperluanmu?"
Kembali Dewi Permata Biru kerlingkan matanya.
Lidahnya dikeluarkan dan dijilat bibirnya dengan cara yang merangsang. Dedemit
Tapak Akhirat cuma mendengus.
"Orang tua... aku membutuhkan bantuanmu...."
"Sudah kuduga!" sahut Dedemit Tapak Akhirat dengan suara melecehkan. "Kau memang
selalu membutuhkan bantuanku!"
"Kurang ajar!" maki Dewi Permata Biru dalam ha-ti. Tetapi dia tetap tersenyum,
"Kupikir aku tak pernah meminta bantuanmu, Orang Tua! Justru kaulah yang
dulu menawarkan bantuanmu untuk membunuh Pen-
dekar Bayangan! Tetapi sudahlah... apakah kau per-
nah mendengar julukan Pendekar Slebor?"
Mendengar julukan pemuda yang dibencinya, ke-
pala Dedemit Tapak Akhirat sampai menegak. Sepa-
sang matanya yang keluarkan sinar berwarna kelabu
mencorong dalam.
"Mengapa kau sebutkan julukan pemuda yang in-
gin kubunuh!" serunya menyengat.
Sesaat perempuan berpakaian merah menyala itu
kerutkan kening. Saat keningnya berkerut, nampak
permata yang terdapat di keningnya itu semakin terang bersinar.
"Pemuda yang ingin dibunuhnya" Oh! Apakah
manusia ini memang sedang punya urusan dengan
Pendekar Slebor" Pucuk dicinta ulam pun tiba! Ra-
sanya tak perlu repot-repot aku mengajaknya untuk
bergabung."
Lalu dengan masih kerlingkan matanya Dewi Per-
mata Biru berkata, "Ada urusan apa kau dengan pemuda dari Lembah Kutukan itu?"
"Jangan campuri urusanku! Katakan, mengapa
kau mencarinya"!" balas Dedemit Tapak Akhirat geram. Dewi Permata Biru tahu
betul akan tabiat lelaki bertampang tengkorak ini. Makanya dia segera
menceritakan apa yang dialami dan diinginkannya.
Dilihatnya kepala Dedemit Tapak Akhirat mang-
gut-manggut. "Hmmm... lalu di mana temanmu yang bernama
Nomuro Shasuke itu?"
"Lelaki itu penasaran ingin tahu seperti apa wajah Pendekar Slebor. Saat ini dia
sedang mencari keterangan tentang pemuda itu, juga mencari tahu tentang
utusan Kaisar Jepang yang mengejarnya ke tanah Ja-
wa." Dedemit Tapak Akhirat terdiam. Dari raut wajahnya jelas dia tak suka
mendengar masalah yang diha-
dapi Dewi Permata Biru. Lalu didengarnya perempuan
itu ajukan tanya, "Dedemit Tapak Akhirat... apakah kau setuju untuk membantuku?"
"Mengapa kau membutuhkan bantuanku" Apakah
kau sudah tak punya nyali untuk menghadapi anak
ingusan itu?"
"Jahanam! Lama kelamaan aku tak bisa menahan
diri untuk tidak segera merobek mulutnya!" maki Dewi Permata Biru gusar dalam
hati. Tetapi lagi-lagi tak di-tampakkan amarahnya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Tak sekali pun aku kehilangan nyali untuk menghadapinya. Tetapi... apakah kau
tidak tertarik dengan rencana sahabatku itu untuk menggulingkan Kaisar
Tokugawa Iesyasumoto?"
"Huh! Untuk apa aku tertarik dengan segala nia-
tan seperti itu" Di tanah Jawa ini, aku sudah memiliki nama! Barang siapa yang
mendengar julukanku, maka
dia akan lari terbirit-birit!" sahut Dedemit Tapak Akhirat keras. Namun
sebenarnya diam-diam dia mulai tertarik dengan ajakan itu.
Dan diam-diam pula Dewi Permata Biru tahu ka-
lau lelaki kurus berpakaian hitam-hitam ini tertarik dengan ajakannya. Karena
sekilas dilihatnya kilatan-kilatan pada sepasang mata Dedemit Tapak Akhirat.
"Tanah Jawa sudah tak membuatku bergairah la-
gi. Kejenuhan itu cukup melanda hatiku setelah Pen-
dekar Bayangan berhasil kubunuh. Kupikir... bila kita bahu membahu dengan Nomuro
Shasuke untuk menggulingkan Kaisar Tokugawa... maka apa yang se-
lama ini kita dambakan akan tercapai."
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah dalam usiamu yang semakin tua itu
menginginkan hidup yang lebih baik lagi" Dikelilingi oleh harta yang melimpah,
jabatan tinggi dan tentunya... gadis-gadis jelita yang dapat menghiburmu?"
Dedemit Tapak Akhirat cuma keluarkan dengu-
san. "Huh! Urusanku adalah urusanku! Apa yang menjadi urusanmu dengan orang
Jepang itu adalah uru-
sanmu! Tetapi sungguh kebetulan kita mempunyai la-
wan yang sama! Baik, kita bekerja sama untuk menca-
ri Pendekar Slebor! Tetapi ingat, bila kau berhasil menemukannya, kau tak boleh
membunuhnya! Karena
aku ingin mencabik-cabik seluruh tubuhnya sebelum
mampus kubunuh!"


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Permata Biru pamerkan senyumnya.
"Sudah tentu akan kulakukan keinginanmu itu."
"Bagus! Lantas persoalan apa lagi yang hendak
kau bicarakan, hah"!"
"Bagaimana dengan tawaranku untuk membantu
sahabatku mengadakan pemberontakan di Jepang?"
"Aku akan memikirkannya nanti setelah melihat Pendekar Slebor mampus! Apa
lagi"!"
"Justru sekarang hal itu hendak kutanyakan pa-
damu!" "Tak ada lagi yang perlu dibicarakan!"
Habis sahutannya, Dedemit Tapak Akhirat sudah
putar tubuh. Kejap berikutnya dia sudah berkelebat
cepat. Kendati hanya sekilas, Dewi Permata Biru yakin kalau dia melihat Dedemit
Tapak Akhirat tidak menginjak tanah saat berkelebat.
"Hmmm... urusan satu telah kujalankan dengan
baik. Tak kusangka kalau lelaki tua kurus itu memiliki dendam yang tinggi pada
Pendekar Slebor! Lama kelamaan niatku jadi berubah. Ingin kulihat seperti apa
kesaktian yang dimiliki pemuda dari Lembah Kutukan
itu...." Lalu kepalanya ditengadahkan.
"Apa yang dialami Nomuro Shasuke sekarang"
Apakah dia sudah kembali ke Danau Bulan" Atau...
masih melacak jejak Pendekar Slebor?" desisnya dan tahu-tahu bibirnya tersenyum.
"Jangan-jangan... saat ini dia sedang asyik menggeluti seorang gadis manis
bertubuh montok. Hmmm... sebaiknya aku kembali ke
Memanah Burung Rajawali 7 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Pendekar Wanita Penyebar Bunga 14
^