Pencarian

Pembunuh Dari Jepang 3

Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Bagian 3


Danau Bulan...."
*** 9 Indrajit mengepalkan tinjunya keras-keras di be-
lakang rumahnya. Ombak bergulung-gulung dahsyat,
perdengarkan suara laksana meriam berdentum.
"Aku tak boleh berdiam diri. Aku tak boleh ber-
pangku tangan," pemuda ini menggeram sendiri. Wajah tampannya dengan kulit agak
hitam karena terlalu banyak berada di lautan, menekuk dalam. Bibirnya
merapat dingin dengan sorot mata gusar.
Menyusul dia kertakkan rahangnya.
"Nomuro Shasuke... pembunuh keparat! Dia harus mampus!" geramnya lagi.
Tatkala diingat-ingatnya kejadian beberapa ming-
gu lalu, kemarahan kian merajai diri Indrajit. Apalagi tatkala diingatnya
bagaimana lelaki jangkung berkulit kuning yang membunuh dua orang temannya
dengan telengas. "Ayothomori... ya, lelaki itu bernama Ayothomo-ri.... Dari sikap kejamnya, jelas
dia tak jauh berbeda dengan Nomuro Shasuke! Kendati pemuda yang menyelamatkan
kami dari tangan maut Ayothomori men-
gatakan itu terjadi karena kesalahpahaman, aku tak
bisa berdiam diri. Sesungguhnya aku bisa membenar-
kan kata-kata Andika. Akan tetapi, darah para saha-
batku telah tertumpah dengan nyawa meregang. Tidak!
Aku tak boleh membiarkan semua ini berlarut-larut!
Manusia-manusia dari negeri Sakura itu harus men-
dapatkan ganjarannya!"
Karena amarah yang telah berbalur menjadi den-
dam, Indrajit memutuskan malam itu juga dia harus
segera berangkat. Lalu dengan cara diam-diam, diper-siapkannya parang yang
diselipkan pada pinggangnya.
Dikenakan pakaiannya yang berwarna putih. Setelah
melirik ibunya yang sudah tua yang tengah terlelap, dia pun segera berlari
meninggalkan dusunnya.
Kendati dibesarkan di perkampungan nelayan, In-
drajit memiliki sedikit kepandaian bela diri, yang di-ajarkan oleh ayahnya
sebelum menghilang di lautan.
Dengan penuh keyakinan dia memantapkan diri untuk
membalas semua perlakuan orang-orang dari seberang
yang menurutnya tak boleh dimaafkan.
Dalam larinya yang tak berniat dihentikan sekejap
pun, Indrajit teringat akan kata-kata pemuda berpa-
kaian hijau pupus.
"Dendam hanya akan membuat kita menjadi buta
hati, buta langkah dan buta bertindak. Dan itu akan membawa kita pada jurang
kehancuran."
Lagi-lagi Indrajit membenarkan kata-kata Andika.
Namun dia justru coba sembunyikan kenyataan itu.
Diingatnya lagi apa yang dikatakan pemuda berambut
gondrong acak-acakan itu.
"Biarlah aku yang mengurus semua ini. Karena
sesungguhnya tiga lelaki Jepang itu tengah memburu seorang pembunuh yang bernama
Nomuro Shasuke...."
Secara tidak langsung, pemuda berpakaian hijau
pupus itu memang menjanjikan kalau dia akan men-
gurusi semua masalah yang terjadi. Namun bagi Indrajit, urusan yang telah
memutuskan nyawa sahabat-
sahabatnya tak bisa didiamkan begitu saja. Justru
semakin dia coba lupakan, masalah itu semakin ber-
tambah melingkar di benak dan hatinya.
Tepat tengah malam, pemuda gagah ini tiba di se-
buah tempat yang sepi. Hewan-hewan malamlah yang
membuat suasana di tempat yang dipenuhi pepohonan
itu agak ramai. Namun apalah artinya suara-suara
hewan malam bila pada kenyataannya dia tetap seo-
rang diri. Indrajit yang sejak kecil ditempa oleh kehidupan
laut yang keras, tak merasa takut sedikit pun juga.
Malah dengan kedua mata dibesarkan diperhatikan
sekelilingnya. Kejap berikutnya terdengar dia berkata, "Memang sulit mencari pembunuh keparat
bernama Nomuro Shasuke. Tetapi apa pun yang terjadi, aku tak akan
mengurungkan niat yang telah terpatri di hati!"
Karena cukup lama dan cukup jauh berlari, Indra-
jit memutuskan untuk beristirahat dulu. Paling tidak, dia akan tidur sampai
matahari terbit kembali.
Memutuskan demikian, pemuda gagah ini dengan
cekatan memanjat sebuah pohon besar. Menurutnya,
paling aman bila dia tidur di atas pohon. Namun baru saja dia merebahkan
tubuhnya pada dua buah dahan
pohon yang berdekatan, mendadak saja didengarnya
ranting pohon berderak, tanda diinjak oleh seseorang.
Agak terkejut dan dengan dada berdebar, Indrajit
buru-buru bangkit. Disibaknya dedaunan sedikit. Un-
tuk sesaat dia sulit melihat siapa orang yang datang.
Tetapi kejap kemudian, dilihatnya seorang gadis se-
dang celingukan tak jauh dari pohon di mana dia mengintip.
"Aneh! Ada seorang gadis yang berani berkeliaran di tempat sesunyi ini seorang
diri. Siapakah gadis itu"
Dan rasanya... sudah tentu gadis itu bukan orang
sembarangan. Karena tak mungkin dia berani berkeliaran di hutan ini tanpa
memiliki bekal yang berarti."
Gadis yang mengenakan pakaian warna biru den-
gan ikat pinggang putih itu sedang memperhatikan sekelilingnya. Di rambutnya
terdapat ronce bunga melati dengan sebuah tusuk konde. Menilik ciri yang ada pa-
da gadis ini, bisa dipastikan kalau dia adalah Widarti, murid Pendekar Bayangan
yang sedang mencari Dewi
Permata Biru. "Huh! Sulit bagiku menemukan di mana perem-
puan celaka itu berada! Bahkan sampai hari ini, aku belum juga bertemu dengan
Pendekar Slebor! Justru
bertemu dengan pemuda urakan yang bernama Paradi-
ta! Ke mana lagi aku harus melangkah?"
Di atas pohon, Indrajit mengerutkan keningnya.
"Siapa perempuan celaka yang dimaksudnya" Dan
mengapa dia mencari Pendekar Slebor?"
Selagi Indrajit bertanya-tanya dalam hati, menda-
dak saja didengarnya suara membentak, "Orang yang berada di atas pohon! Lekas
turun!" Tersentak Indrajit mendengar ucapan orang.
Sungguh tak disangkanya, dia yang sejak tadi tak keluarkan suara maupun lakukan
gerakan apa-apa,
bahkan sosoknya terhalang oleh rimbunnya dedaunan,
kehadirannya dapat diketahui oleh gadis berpakaian
biru itu. Karena merasa tak perlu lagi bersembunyi, Indra-
jit pun segera turun. Berjarak dua meter dari pohon yang dipanjatnya, dia
melompat. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, terdengar
seruan keras Widarti, "Hhh! Ternyata cuma seorang pemanjat pohon belaka! Katakan
padaku, mengapa
kau mengintipku, hah"!"
Sejenak Indrajit gelagapan mendengar bentakan
itu. Lebih gelagapan lagi tatkala disadarinya betapa je-litanya gadis di
hadapannya ini. Sungguh, baru kali ini Indrajit melihat seorang gadis yang
sedemikian jeli-tanya, dengan bibir memerah dan wajah berbentuk bu-
lat telur. Bahkan pancarkan sinar indah tatkala wajah jelita itu diterangi sinar
rembulan. Dan karena gelagapnya itulah dia tak segera
membuka mulut, yang justru memancing kemarahan
Widarti. "Setahuku... orang yang kerjanya hanya mengintip saja, bukanlah orang baik-baik!
Apalagi menilik tam-pangmu yang tegang begitu!"
Indrajit gelagapan kembali. Kali ini lebih bisa kuasai dirinya ketimbang tadi.
"Maaf... aku... aku... sama sekali tidak bermaksud mengintipmu, Nona.... Hanya
kebetulan saja... aku...
aku bersikap seperti itu."
"Nah! Dengan kata-katamu barusan, mengapa kau
masih coba putar kenyataan, hah"!"
Sadar akan kekeliruan bicaranya, Indrajit buru-
buru menyambung, "Maksudku... aku kebetulan hendak tidur. Tetapi... kudengar
ranting diinjak dan tak tahunya... kaulah adanya, Nona...."
Widarti terdiam. Pandangannya lurus memperha-
tikan pemuda di hadapannya.
"Kata-katanya barusan... sepertinya memang
mengandung kejujuran. Nampaknya dia bukanlah seo-
rang pemuda yang tersesat. Bukan pula penebang
kayu yang kemalaman. Hmmm... di pinggangnya ter-
dapat sebilah parang. Dan wajahnya, kendati gugup
namun pandangan matanya seperti menyimpan den-
dam. Ah, mungkin sikapku ini terlalu keras hingga dia menjadi gugup seperti
itu." Kendati berpikiran demikian, Widarti tetap tak tu-
runkan kewaspadaannya. Seraya maju satu langkah
dia berkata, "Baiklah, kubenarkan apa yang kau katakan. Sekarang beri tahu
padaku, mengapa kau berada
di sini?" Karena tak ingin terjadi salah paham, buru-buru
Indrajit mengatakan sebab-sebab dia berada di situ.
Bahkan disebutkan nama dan asalnya.
Widarti terdiam dulu sebelum berkata, "Namaku
Widarti... aku datang dari Lembah Bayang-Bayang. Setelah pandang Indrajit
sesaat, gadis ini melanjutkan,
"Kurasa.. tak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Tunggu!" sahut Indrajit menahan. Dan buru-buru berkata begitu melihat mata si
gadis melotot, "Jangan salah sangka. Maksudku... aku... aku...."
Dan dia justru tak bisa teruskan kalimatnya kare-
na lagi-lagi hatinya seperti diaduk-aduk melihat kecan-tikan wajah gadis di
hadapannya. Sungguh mati, In-
drajit menjadi salah tingkah sendiri.
"Apa yang hendak kau katakan?"
Mendengar pertanyaan itu Indrajit kian gelagapan.
Justru apa yang dikatakannya berlainan dengan yang
diinginkannya, "Tidak, tidak... ya, ya... kita berpisah di sini...."
Widarti malah kerutkan keningnya.
"Kenapa pemuda ini jadi seperti monyet ke bakar ekornya" Dia keblingsatan
sendiri. Hmmm... mungkin
sikapku memang terlalu keras."
Kembali berpikir demikian, Widarti berkata, "Bila memang tak ada yang hendak kau
bicarakan, memang
sebaiknya kita berpisah. Karena masih ada urusan
yang harus kuselesaikan."
Seperti mendapat petunjuk yang dibutuhkannya,
pemuda itu berkata, "Ya! Urusanmu itu!"
Widarti menatapnya lekat-lekat. Dia berusaha un-
tuk tidak menampakkan kejengkelannya melihat sikap
si pemuda yang justru membuang waktunya.
"Apa maksudmu?"
"Tadi... tadi... kudengar kau sedang mencari Pendekar Slebor, bukan?" tanya
Indrajit susah payah. Dan memaki-maki dirinya sendiri dalam hati, "Brengsek!
Kenapa aku jadi kebingungan seperti ini"!"
"Ya... aku memang mencari Pendekar Slebor."
"Aku mengenalnya."
"Oh!" sesaat Widarti melengak tak menyangka mendengar kata-kata itu. Lalu dengan
suara terdengar gembira dia berkata, "Benarkah kau mengenalnya?"
Buru-buru Indrajit mengangguk. Segera dicerita-
kan apa yang dialaminya di pesisir pantai.
"Lalu... di manakah Pendekar Slebor berada?"
Kali ini Indrajit menggelengkan kepalanya.
"Sayangnya... setelah itu Pendekar Slebor meninggalkan dusun kami. Tetapi yang
pasti, dia sedang melacak jejak pembunuh dari Jepang bernama Nomuro
Shasuke." Widarti tak segera membuka mulut. Dia berkata
dalam hati, "Pemuda ini kelihatannya memang jujur.
Dan aku memang membutuhkan bantuan Pendekar
Slebor untuk mencari perempuan terkutuk yang telah
membunuh Guru. Hingga saat ini, aku tidak tahu se-
perti apa ciri Pendekar Slebor. Huh! Beruntung aku
bertemu dengan pemuda ini ketimbang pemuda yang
bernama Paradita waktu itu! Sebaiknya...."
Memutus kata hatinya sendiri, Widarti kemudian
berkata, "Indrajit... aku memang sedang mencari Pendekar Slebor. Terus terang,
hingga hari ini aku tidak tahu seperti apa rupa dan bagaimana ciri-ciri Pendekar
Slebor. Bila kau bersedia... maukah kau berjalan ber-samaku untuk mencari
Pendekar Slebor?"
Sudah tentu ajakan itu sangat menggembirakan
hati Indrajit. Apalagi diam-diam dia telah jatuh hati pada pandangan pertama
terhadap gadis jelita di hadapannya ini. Namun tatkala dia teringat harus men-
cari Nomuro Shasuke, pemuda gagah ini tak segera
menjawab. Hatinya menjadi bimbang.
"Kenapa, Indrajit" Apakah kau keberatan?"
Indrajit menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak... eh, maksudku... aku... aku sedang mempunyai urusan dengan pembunuh
dari Jepang berna-
ma Nomuro Shasuke. Manusia celaka itu telah mem-
bunuh para sahabatku. Kendati aku tahu ilmunya be-
gitu tinggi, tetapi aku tak perduli. Aku harus membalas sakit hati sahabat-
sahabatku...."
Widarti tak menjawab. Nampak sekali kalau murid
mendiang Pendekar Bayangan ini sedang berpikir. Se-
telah mendapatkan satu pikiran yang bagus, dia ber-
kata, "Indrajit... bagaimana bila kita sama-sama melacak jejak pembunuh itu?"
"Maksudmu?"
"Di samping mencari Pendekar Slebor, kita juga
mencari orang yang bernama Nomuro Shasuke."
"Sebenarnya... maaf, mengapa kau mencari Pendekar Slebor, Widarti?"
Merasa tak ada salahnya menceritakan urusan
yang sedang dituntaskannya, Widarti segera menceri-
takan semuanya.
"Begitulah.... Aku harus mencari dan meminta
bantuan Pendekar Slebor. Sebelum ajalnya guruku
berpesan untuk meminta bantuannya. Di samping itu,
kendati dengan cara yang licik, Dewi Permata Biru
berhasil membunuh guruku. Dapat kubayangkan ka-
lau perempuan celaka itu memiliki ilmu yang tinggi.
Indrajit... tadi pun kau mengatakan, kalau pembunuh dari Jepang yang bernama
Nomuro Shasuke itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Bukankah bila kita bersama-
sama, maka kekuatan kita akan bertambah" Paling ti-


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak, kita bisa saling bahu membahu bila kebetulan
bertemu dengan Nomuro Shasuke maupun Dewi Per-
mata Biru. Bagaimana?"
Kali ini wajah Indrajit berseri-seri. Dia mengang-
gukkan kepalanya, agak terburu-buru.
"Kalau memang begitu adanya, aku setuju."
"Bagaimana bila kita memulai perjalanan seka-
rang?" tawar Widarti.
Indrajit melongo dan tak menjawab untuk bebera-
pa saat. "Kenapa lagi dia?" tanya Widarti dalam hati. Lalu ajukan tanya, "Ada apa?"
"Aku... terus terang, aku masih lelah," kata Indrajit dengan wajah memerah.
Beruntunglah dia karena
saat ini sinar rembulan terhalang oleh rimbunnya dedaunan.
Widarti tersenyum dan berkata, "Kalau begitu...
kita bisa beristirahat dulu. Besok pagi, kita memulai perjalanan. Bagaimana?"
"Usul yang bagus!" sahut Indrajit lalu berbalik dan memanjat kembali pohon yang
tadi telah dinaikinya.
Kalau Indrajit memanjat, Widarti justru melompat
dengan ringan untuk sampai ke dahan pohon di sebe-
lah pohon yang dinaiki Indrajit. Lalu menyelinap di antara rimbunnya dedaunan.
Pemuda nelayan ini melengak kaget melihat apa
yang dilakukan Widarti.
"Hebat! Dia bisa naik ke pohon itu hanya dengan sekali melompat! Sungguh luar
biasa! Ah... bila saja dia menjadi istriku tentunya.... Huh! Bodoh! Mana
mungkin dia mau dengan pemuda sepertiku"!"
Kendati berpikir begitu, namun sepanjang malam
Indrajit tak bisa tidur memikirkan kemungkinan itu.
*** 10 Pada saat yang bersamaan, dua sosok tubuh tiba
secara serempak di depan sebuah gubuk. Di belakang
gubuk itu terdapat sebuah danau yang berair jernih.
Hewan-hewan malam bernyanyi gembira menyambut
ketenangan malam. Sesaat masing-masing orang sal-
ing pandang. "Dewi...," yang berada di sebelah kanan berseru.
"Nomuro-san! Rupanya kau baru tiba juga!"
Dua sosok tubuh yang tak lain Nomuro Shasuke
dan Dewi Permata Biru itu tertawa. Lalu melangkah
dan berangkulan. Dengan bernafsu Nomuro Shasuke
menciumi wajah dan bibir Dewi Permata Biru yang
cuma terkikik. Dirasakan bagaimana tangan kanan
dan kiri Nomuro Shasuke merabai seluruh tubuhnya.
Dalam dua kejapan mata saja, dua sosok tubuh
yang berlainan jenis itu sudah dalam keadaan telan-
jang. Mereka mengejar kenikmatan dengan napas
memburu, di atas tanah berumput ditemani sinar
rembulan. Setelah hampir setengah peminuman teh, masing-
masing orang kemudian tergeletak di atas rumput dengan pandangan lurus ke
langit. Napas yang tadi mem-
buru kini terdengar satu-satu.
"Nomuro-san... apa saja yang telah kau lakukan selama dua hari ini?"
"Banyak!"
"Apakah kau sudah bertemu dengan Pendekar
Slebor?" tanya Dewi Permata Biru lagi tanpa bermaksud mengenakan pakaiannya
kembali. Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. "O ya" Apakah kau telah membunuhnya?"
"Tidak!" sahut Nomuro geram. "Saat itu dia bersama seorang lelaki dari India
yang bernama Pucha
Kumar! Tetapi aku puas... karena kini aku tahu seperti apa rupa Pendekar
Slebor!" "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Itu rahasiaku! Dewi... apa yang kuduga ternyata benar, kalau Kaisar Tokugawa
Iesyasumoto telah mengutus tiga orang kepercayaannya untuk mengejar-
ku...." "Dan kau tidak membunuhnya pula?"
"Aku belum mempunyai kesempatan."
"Kesempatan itu akan kau punyai."
"Aku sudah tidak sabar menunggu saat-saat se-
perti itu!" sahut Nomuro Shasuke keras dan dingin.
"Dan kau cuma melakukan hal itu?"
"Tidak!"
"Katakan padaku... apa yang telah kau lakukan?"
Nomuro Shasuke tidak segera menjawab. Dia justru
palingkan kepalanya sejenak pada Dewi Permata Biru.
Lalu sambil memandangi langit kembali dia berka-
ta, "Kau tidak gusar bila kukatakan apa yang telah kulakukan?"
"Sama sekali tidak."
"Aku telah membunuh seorang lelaki tua."
Dewi Permata Biru terkikik. "Gila! apakah otakmu sudah gila mengatakan aku akan
gusar hanya karena
kau telah membunuh seorang lelaki tua" Sudah tentu
tidak! Aku bangga kau melakukannya! Pertanda, kau
telah menjelma kembali menjadi seorang samurai!"
"Aku tetap seorang samurai!"
"Bagus! Kepercayaan dirimu semakin meningkat!"
"Dan aku telah memperkosa cucunya... shisurei shi masu (maafkan saya)...."
Kali ini senyuman di bibir Dewi Permata Biru ter-
putus. Masing-masing orang terdiam. Yang terdengar
hanyalah suara hewan-hewan malam belaka.
Lalu terdengar suara Dewi Permata Biru agak se-
rak, "Bagus bila kau melakukannya!"
"Ya, dan itu tak ada urusamnya denganmu, Dewi!"
kata Nomuro Shasuke dalam hati. "Bila semua urusanku selesai, aku akan
meninggalkanmu, Perempuan
Bodoh!" Nomuro Shasuke berkata, "Kau tidak cemburu?"
"Sama sekali tidak! Kau boleh menikmati perempuan mana saja yang kau inginkan!
Nomuro-san... masihkah kau ingin mengulangi kebersamaan baru-
san?" Nomuro Shasuke palingkan kepalanya. Sambil
tersenyum tipis dia menggeleng, "Aku masih cukup lelah." "Kalau begitu... kita
masuk ke gubuk dulu. Ada berita gembira yang hendak kukatakan padamu...."
Setelah masing-masing orang berpakaian, kedua-
nya pun masuk ke gubuk itu. Dan duduk di sebuah
dipan kecil. "Apa yang hendak kau katakan?"
"Aku telah berjumpa dengan Dedemit Tapak Akhi-
rat, orang yang kuceritakan padamu beberapa waktu
lalu." "Bagaimana" Apakah dia bersedia bergabung?"
Dewi Permata Biru kerlingkan matanya. "Dia bu-
kan hanya bersedia bergabung, bahkan dia mempu-
nyai niat untuk membunuh Pendekar Slebor. Karena
sesungguhnya dia memang punya urusan yang tak bi-
sa ditinggalkan pada Pendekar Slebor."
"Sungguh sebuah kebetulan yang sangat menye-
nangkan. Lalu, apakah dia bersedia membantuku un-
tuk lakukan pemberontakan kembali terhadap Kaisar
Tokugawa?"
Kembali perempuan yang di keningnya terdapat
permata yang pancarkan sinar biru itu tersenyum.
"Kendati mulutnya berkata tidak, tetapi aku yakin hatinya mengiyakan tawaran
itu. Orang semacam Dedemit Tapak Akhirat, memang tak pernah mau berte-
rus terang. Tetapi percayalah... dia akan takluk di bawah kakiku dan melakukan
sesuai rencana yang telah
kita tentukan."
Lelaki bertampang bengis itu pentangkan senyum.
Sungguh, senyuman yang diperlihatkan tak lebih dari sinisan belaka. Dan menambah
kebengisan wajahnya.
"Kuharap... semuanya memang berjalan seperti
yang kita harapkan."
"Tadi kau katakan... ada seorang lelaki dari India.
Siapa dia?"
Nomuro Shasuke terdiam dulu sebelum menja-
wab, "Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi yang kudengar... dia
mencariku, Dewi...."
Ganti Dewi Permata Biru yang terdiam. Bahkan
kening perempuan ini berkerut.
"Apa maksud dia mencarimu?"
Seperti menutupi sesuatu, Nomuro Shasuke lang-
sung mendekap Dewi Permata Biru. Kendati perem-
puan ini nampaknya masih penasaran ingin mengeta-
hui mengapa Pucha Kumar mencari Nomuro Shasuke,
tetapi dia sudah tak peduli. Perempuan yang dulu pernah disakiti hatinya
sekaligus ditolak cintanya oleh Pendekar Bayangan, selalu tak pernah puas untuk
menahan nafsu birahinya.
Kejap itu pula perbuatan terkutuk itu terulang la-
gi. *** Pada saat yang bersamaan tiga utusan Kaisar To-
kugawa Iesyasumoto tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir deras. Suara
gemuruh air sungai itu seperti memecah kesunyian malam. Hiedha Ogawa langsung
menghampiri sungai itu. Dia mencuci tangan, muka
dan minum. Sementara itu, Mishima Nobu hanya memperhati-
kan sekelilingnya dengan tatapan waspada. Di sebelah kanannya, Ayothomori sedang
memperhatikan Hiedha
Ogawa dengan pandangan menusuk.
Lelaki bertubuh jangkung ini masih marah dengan
sikap Hiedha Ogawa. Terlebih lagi tatkala mengingat, kalau secara tak langsung
Hiedha Ogawa justru membela Pendekar Slebor. Kebencian Ayothomori pada
Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Dia sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk per-
gunakan jurus 'Menjerat Matahari' guna menandingi
kehebatan Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa yang sudah selesai mencuci muka
dan minum air sungai itu, mendekati keduanya. Tatka-la dilihatnya wajah
Ayothomori, dia sadar betul akan
ucapan Pendekar Slebor. Kalau sewaktu-waktu lelaki
itu akan meledak dan membahayakan dirinya. Hiedha
Ogawa tak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi untuk membicarakan soal itu saat
ini, dia merasa bukanlah waktu yang tepat. Mengingat mereka masih harus
menemukan Nomuro Shasuke. Apalagi sekarang mereka
tahu, seorang lelaki dari India juga mendendam pada Nomuro Shasuke.
Dengan kata lain, Nomuro Shasuke sudah mengi-
barkan bendera permusuhan yang dalam pada siapa
pun juga. Hiedha Ogawa mendehem. Lalu berkata, "Urusan
Nomuro Shasuke semakin menyulitkan keadaan kita.
Mishima-san... ternyata apa yang kau khawatirkan
memang terjadi. Kalau kedatangan kita ke sini justru banyak mengundang
kesalahpahaman. Tetapi, itu disebabkan karena ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... aku juga memikirkan kemungkinan itu. Tetapi sekarang... aku tak
peduli lagi. Kendati aku masih bisa kendalikan diri dari sikap orang-orang yang
salah paham pada kita, namun lama kelamaan aku tak
bisa menahan diri," sahut Mishima Nobu.
Hiedha Ogawa tak menjawab namun hatinya ber-
kata, "Bila aku tak bersabar-sabar pun aku akan bertindak seperti itu."
Kemudian katanya, "Kupikir, apa yang telah terjadi itu hanyalah kesalahpahaman
saja. Semua ini ada-
lah ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... apakah kau akan tetap berdiam diri sementara harga diri kita
diinjak-injak?" terdengar suara Ayothomori. Bibirnya membentuk sinisan.
Hiedha Ogawa arahkan pandangannya pada lelaki
bertubuh jangkung itu.
"Ayothomori-san... sudah tentu aku tidak pernah melupakan siapa aku sebenarnya."
"Seorang samurai," kata Ayothomori dengan suara makin sinis. "Dan apakah seorang
samurai seperti yang kau katakan tadi masih membiarkan diri...."
"Ayothomori-san...," putus Hiedha Ogawa sambil menarik napas pendek. "Sama
sekali aku tak melupakan soal itu. Tetapi perlu diingat, kita tak pernah punya
silang sengketa dengan orang-orang itu kecuali Nomuro Shasuke. Bahkan... seorang
lelaki dari India bernama Pucha Kumar juga sedang memburunya. Menurut perkiraan
Pendekar Slebor sendiri...."
"Mengapa kau selalu meninggikan pendekar dari
tanah Jawa itu, Hiedha-san?" ganti Ayothomori yang memutus kata-kata Hiedha.
Kali ini sikapnya agak
sengit. Setiap kali nama itu disebutkan, darahnya selalu mendidih.
"Tidak! Aku sama sekali tidak meninggikan Pendekar Slebor. Hanya saja, dialah
satu-satunya orang yang bisa kita percaya di sini, Ayothomori-san...."
"Tetapi sikap yang diperlihatkannya justru membuat harga diriku diinjak-injak.
Hhh! Terus terang, aku ingin sekali merasakan kehebatan Pendekar Slebor."
Mishima Nobu tahu kalau sebentar lagi Hiedha
Ogawa akan meledak. Karena sesungguhnya, dia sen-
diri pun tak bisa menahan diri untuk tidak segera
memotong kata-kata Ayothomori.
Makanya lelaki yang bertubuh paling pendek di
antara mereka bertiga ini berkata, "Ayothomori-san...
sebaiknya di antara kita tak perlu ada keributan. Masalah yang kita hadapi ini
bukanlah urusan Pendekar Slebor. Perlu diingat, justru kita yang membawanya
masuk ke dalam urusan Nomuro Shasuke...."
"Itulah kebodohan kita, Mishima-san! Bila sejak pertama kita tidak memutuskan
untuk mencari Pendekar Slebor, kita tak perlu lagi mengurusi soal dia!"
sahut Ayothomori.
"Tetapi satu hal yang terpenting, justru karena ke-cerdikannyalah kita jadi
tahu, kalau Nomuro Shasuke memiliki seorang kambrat yang berjuluk Dewi Permata
Biru. Sudah tentu perempuan itu bukan perempuan
sembarangan."
"Peduli setan! Demi Dewa Matahari! Siapa pun
yang menghalangiku untuk membunuh Nomuro Sha-
suke, akan kuhadapi dengan sepenuh hati!"
Hiedha Ogawa segera berkata, "Bila kau berkata demikian, mengapa kau justru
membenci Pendekar
Slebor" Bukankah dia sama sekali tak menghalangi
keinginanmu untuk membunuh Nomuro Shasuke"
Bahkan dia bermaksud membantu kita...."
Mendengar kata-kata lelaki berkumis tipis itu, wa-
jah Ayothomori memerah. Sesaat dia gelagapan tak bi-sa menjawab. Lalu katanya
seraya palingkan kepala,
"Aku hanya tak suka urusan ini dicampuri olehnya."
"Atau kau sesungguhnya tak suka setelah dipe-
cundangi dengan mudah oleh Pendekar Slebor?" kata Hiedha Ogawa dalam hati. Sudah
tentu dia tak akan
keluarkan kata-kata itu, karena khawatir akan mem-
buat kegusaran dan kebencian Ayothomori pada Pen-
dekar Slebor semakin menjadi-jadi.


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu katanya, "Semenjak kita mendarat di tanah Jawa ini, kita belum mendapatkan
jejak berarti dari pembunuh keparat itu. Bagaimana bila sekarang kita
berpencar?"
"Bagaimana maksudmu, Hiedha-san?" tanya Mishima Nobu.
Hiedha Ogawa yang memang sudah memikirkan
kemungkinan itu menjelaskan maksudnya, "Lebih baik kita berpencar. Dengan cara
berpencar maka langkah
kita akan semakin panjang dan jauh. Kupikir, kendati kita seorang diri, kita
akan mampu menghadapi Nomuro Shasuke bila bertemu. Ingat, bukankah kita
memiliki semangat seorang samurai?"
Kendati saat berkata-kata Hiedha Ogawa arahkan
pandangannya pada Mishima Nobu, namun telinga
Ayothomori memerah, merasa disentil dengan kata-
kata itu. Dia hanya keluarkan dengusan sebagai tanda kejengkelannya.
Hiedha Ogawa tak perdulikan sikapnya. Dia ber-
kata lagi, "Bila salah seorang dari kita berhasil menemukan dan mengalahkannya,
maka harus mencari
yang lainnya. Tetapi bila gagal mengalahkannya, paling tidak jejak pembunuh
celaka itu sudah diketahui. Terus terang, hingga hari ini belum ada di antara
kita yang melihat Nomuro Shasuke, kendati kehadirannya
di tanah Jawa ini sudah jelas. Kalian paham maksud-
ku?" Mishima Nobu palingkan kepalanya dulu pada Ayothomori. Setelah melihat
kepala Ayothomori mengangguk, dia segera mengangguk pula.
Dan tanpa setahu siapa pun, Ayothomori berkata
dalam hati, "Bila aku menemukan dan berhasil mengalahkannya, akan segera kubawa
lelaki celaka itu ke
hadapan Kaisar. Dan kukatakan kalau kalian sudah
tak lagi menghiraukan martabat sebagai seorang sa-
murai. Hmmm... luar biasa! Dapat kubayangkan ha-
diah apa yang akan kuterima dari Kaisar."
Setelah masing-masing orang menganggukkan ke-
palanya, Hiedha Ogawa berkata lagi, "Kalau begitu...
aku akan menempuh arah utara. Mishima-san... kau
tempuh arah timur. Sementara Ayothomori-san... me-
nempuh ke arah barat. Tujuh hari dari sekarang, kita bertemu di daerah selatan.
Berhasil atau tidak mendapatkan pembunuh celaka itu. Bagaimana?"
Ayothomori langsung mengganggukkan kepalanya.
Dan kejap itu pula tanpa keluarkan kata sepatah pun juga, dia sudah bergerak ke
arah barat. Hiedha Ogawa menarik napas pendek melihat si-
kapnya. Tetapi dia tak mempermasalahkan. Lalu kata-
nya pada Mishima, "Mishima-san... hati-hati...."
Mishima Nobu membungkuk seraya berkata, " Ari-gatoo gozimashita (terima kasih
banyak).... Kau juga harus berhati-hati, Hiedha-san...."
Hiedha Ogawa menganggukkan kepalanya. Lalu
masing-masing orang segera berkelebat ke arah yang
telah ditentukan, menembus kegelapan malam.
*** 11 Menjelang malam telah lewat dua pertiga perjala-
nannya, Pendekar Slebor hentikan langkahnya di se-
buah jalan setapak. Malam menggigit alam. Naungan
mata langit begitu gelap sekali. Sinar rembulan tak kuasa tembusi tingginya
pepohonan. "Aneh... mengapa aku masih memikirkan soal pertarungan antara Pucha Kumar dengan
Ayothomori?"
desis pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini. Kepa-
lanya digeleng-gelengkan, seperti hendak mencari apa yang dirasakannya aneh.
"Huh! Bukankah seharusnya aku memikirkan bagaimana caranya menemukan Nomuro
Shasuke dan Dewi Permata Biru?"
Sejenak Pendekar Slebor hentikan ucapannya. Te-
tapi di lain saat dia sudah berkata kembali, "Ada sesuatu yang aneh... ya,
sesuatu yang aneh...."
Diusahakannya untuk menemukan apa yang aneh
itu. Akan tetapi, kendati dia berusaha untuk mengetahui apa yang aneh dalam
pikirannya, namun dia gagal untuk menemukannya.
Tahu-tahu pemuda ini mendengus, "Sudahlah!
Apa pun yang aneh itu toh cuma bikin pusing saja! Lebih baik tak kupedulikan
lagi!" Namun lagi-lagi dia terdiam. Kali ini keningnya
benar-benar dikernyitkan.
"Huaaahhh!" tahu-tahu dia berseru begitu. "Bikin pusing saja!"
Kemudian diarahkan pandangannya ke depan,
yang nampak hanyalah jajaran pepohonan yang masih
disaput kegelagapan. Di kejauhan terdengar suara
ayam jantan berkokok tanda fajar telah mengambang
kembali. "Semakin kulacak jejak Nomuro Shasuke, semakin banyak segala masalah yang mesti
kupecahkan. Titik
pangkal dari semua ini justru berpulang pada Dewi
Permata Biru. Bila dugaanku benar kalau Nomuro
Shasuke diselamatkan oleh Dewi Permata Biru, berarti dialah yang harus kucari.
Tetapi di mana aku harus
mencarinya" Kutu busuk!"
Sejenak pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini memaki-maki dirinya sendiri. Di lain kejap tahu-tahu dia tertawa.
"Wah! Bodohnya aku ini" Ya masa sih mesti kuca-ri di kolong kedua kakiku" Jelas
saja tidak mungkin!
Dasar dungu! Slebor! Urakan! Memalukan! Segala-
galanya, deh! Lebih baik, aku kembali saja menyusuri ke mana perginya Nomuro
Shasuke yang dibawa oleh
Dewi Permata Biru!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
berkelebat meninggalkan jalan setapak itu. Sambil
berkelebat dia coba memikirkan keanehan apa yang dirasakannya. Namun hingga
matahari tepat sepengga-
lan, pemuda ini belum juga berhasil memecahkan apa
yang dipikirkannya.
Dua kejapan kemudian, dia justru hentikan lang-
kahnya tatkala dilihatnya seorang lelaki tua sedang
terbaring di atas tanah berumput.
Dengan hati bertanya-tanya, Andika cepat meng-
hampirinya. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat luka besar di punggung si
orang tua. "Gila! Luka ini seperti sayatan sebuah pedang!"
desisnya. Lelaki tua yang sedang menderita itu mengangkat
kepalanya. Wajahnya begitu pucat dengan sorot mata
memilukan. Tangannya mengapai-gapai. Andika cepat
memegang tangannya.
"Jangan banyak bergerak dulu, Bapak.... Aku
akan menolongmu...."
"Tidak usah...," sahut si orang tua terpatah-patah.
"Anak muda... tolong cucuku.... Minsari... tolong dia...."
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara yang kian terputus-putus, lelaki tua
itu bercerita. Dia dan cucunya yang bernama Minsari baru saja kembali dari
kotapraja. Karena sudah larut malam, mereka memutuskan untuk beristirahat sambil
menunggu pagi. Namun begitu mereka baru terlelap, mendadak
saja muncul seorang lelaki bermata sipit. Mendekati keduanya dengan langkah kaku
dan samurai di tangan. Sadar kalau lelaki yang muncul itu akan memba-
wa bahaya, lelaki tua itu segera bersiaga penuh. Apa yang diduganya memang
benar. Karena begitu melihat
cucunya, lelaki bersamurai itu menghendakinya.
Sudah tentu lelaki tua itu tak mau menuruti pe-
rintah si lelaki. Dan penolakannya justru berakibat fatal. Dengan ganasnya
lelaki bermata sipit itu menyabetkan samurainya ke punggung si orang tua yang
langsung ambruk. Bersamaan dengan itu terdengar je-
ritan cucunya yang langsung menubruk tubuhnya.
Tetapi dengan kasar lelaki bermata sipit itu mena-
rik sang cucu dan membawa pergi.
"Jahanam terkutuk!" maki Andika dalam hati.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan Nomuro Shasuke"!"
Lalu terburu-buru Andika berusaha menyela-
matkan nyawa lelaki tua itu. Tetapi karena sudah terlalu banyak darah yang
keluar, lelaki itu pun akhirnya tewas di pangkuan Andika.
Betapa gusar hati pemuda urakan ini. Rahangnya
mengatup rapat. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. La-lu dengan menahan segala
amarahnya dikuburkannya
mayat lelaki tua itu.
Setelah selesai melakukannya, Andika berdiri per-
lahan-lahan. Wajah dan sorot matanya yang biasanya
jenaka, kali ini seolah menguap. Keseriusan dan kete-gangannya makin menjadi-
jadi. Kedua tangannya
mengepal kuat, hingga urat-urat lehernya keluar tanda dia berada di puncak
kemarahannya. "Keparat! Datang ke tanah leluhurku kau hanya
menyebarkan penyakit dan petaka belaka! Ke mana
pun kau pergi, aku akan tetap mencarimu, Nomuro
Shasuke!" Kejap berikutnya, pemuda yang di lehernya melilit
sehelai kain bercorak catur segera meninggalkan tempat itu. Hanya sekitar
sepenanakan nasi dia berkelebat, dilihatnya satu sosok tubuh yang tergantung di
sebuah pohon. "Terkutuk! Terkutuk!" maki Andika gusar menyadari kalau sosok gadis berkebaya
lurik itu telah menjadi mayat.
Sekali lagi dengan menahan kepedihannya ditu-
runkannya mayat gadis itu. Hanya sekali lihat saja Andika yakin kalau sebelum
matinya gadis ini telah diperkosa. Dia juga yakin kalau gadis itu bernama
Minsari, cucu dari lelaki tua yang baru saja dikuburkan-
nya. "Nomuro Shasuke... kau benar-benar keji dan licik! Kau harus membayar semua
perbuatanmu ini!"
desis Andika di hadapan makam yang baru saja di-
buat. Ketika dia hendak balikkan tubuh, tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
satu sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan pakaian hitam-hitam terbuka di
depan dada. Sorot mata sosok tubuh itu pancarkan sinar kelabu!
*** Sejenak Pendekar Slebor kerutkan keningnya me-
lihat sosok tua di hadapannya.
"Hebat! Sejak kapan dia berada di belakangku"
Tahu-tahu sudah nongol begitu saja" Hiiii... kalau dia sebangsa jin, kok ada jin
yang jelek begitu ya" Tetapi...
banyak juga kok jin yang bisa mengubah wajahnya mi-
rip tengkorak" Tetapi kalau dia manusia... jangan-
jangan sebangsa mayat hidup?"
Selagi pemuda urakan itu berseloroh konyol dalam
hati, lelaki berpakaian hitam-hitam yang tak lain Dedemit Tapak Akhirat buka
mulut, "Pemuda bertampang urakan! Jawab pertanyaanku, apakah kau yang
berjuluk Pendekar Slebor"!"
"Busyet! Kok nada bicaranya angker amat" Jan-
gan-jangan... dia memang sebangsa jin!" kata Andika dalam hati.
"Jawaab pertanyaankuuu!" suara yang mengguntur itu membuat Andika sampai
melengak. Bahkan
tanpa sadar dia sampai surut satu tindak ke belakang.
"Bangun-bangun makan nasi sama kue pancong!"
selorohnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Lalu ber-
seru, "Hei, Muka Tengkorak! Kalau mau nanya ya
nanya! Jangan main bentak begitu! Untung saja aku
tidak jantungan" Kalau aku langsung 'det' kau mau
ganti nyawaku"!"
Lelaki bertampang tengkorak itu kertakkan ra-
hangnya. Sinar kelabu yang keluar dari sorot matanya, bertambah pekat, bertanda
dia mulai gusar.
Sesungguhnya, Dedemit Tapak Akhirat memang
belum mengenal Pendekar Slebor. Kalaupun dia tahu
tentang Pendekar Slebor, itu diberitahukan oleh mu-
ridnya yang bernama Gendala Maung (baca: "Cinta Dalam Kutukan").
"Pemuda lancang! Kau berani bermain-main den-
gan Dedemit Tapak Akhirat, hah"!"
Melengak Andika mendengar julukan itu dis-
ebutkan. Bahkan tanpa sadar dia sampai surut satu
tindak ke belakang.
"Dedemit Tapak Akhirat" Bukankah dia adik se-
perguruan Jala Kunti yang telah tewas di tangan
Eyang Saptacakra" Kutu monyet! Urusanku belum se-
lesai, sudah datang lagi urusan seperti ini! Benar-benar kutu monyet!"
Di depan Dedemit Tapak Akhirat menggeram
murka. "Dari sikapmu, kau memang ingin mampus!
Bagus! Kukirim kau sekarang ke neraka!"
Habis makiannya, mendadak saja lelaki bertam-
pang tengkorak ini gerakkan tangan kanannya. Serta-
merta menghampar gelombang angin deras yang kelu-
arkan hawa panas ke arah Pendekar Slebor.
Tak mau dirinya mengalami nasib konyol, dengan
gerakan yang cepat Andika melompat ke samping ka-
nan. Serangan yang dilancarkan Dedemit Tapak Akhi-
rat hanya lewat satu jengkal dari tubuhnya.
Di tempatnya, sejenak Dedemit Tapak Akhirat ter-
diam dengan kening dikernyitkan. Lalu terdengar suaranya gusar, "Pantas kau
berani berlagak! Rupanya
punya kebisaan pula, hah"!"
Kendati jengkel mendapati dirinya diserang sede-
mikian rupa, Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau aku punya sedikit kebisaan, apakah kau
tiba-tiba menjadi ciut seperti tikus got"!"
Mengkelap wajah Dedemit Tapak Akhirat menden-
gar ejekan itu. Kalau tadi dia hanya kibaskan sebelah tangannya, kali ini tangan
kanan dan kirinya didorong ke depan.
Dua gelombang angin langsung menderu dahsyat
ke arah Andika. Terkejut bukan alang kepalang pemu-
da dari Lembah Kutukan ini. Serta-merta dia melom-
pat ke samping kiri. Namun belum lagi kedua kakinya hinggap di atas tanah,
menderu hamparan angin yang
menyeret tanah dan langsung timbulkan suara letupan keras.
"Kura-kura bau!" rutuk Andika dalam hati. Sulit baginya untuk menghindar
kembali. Maka jalan satu-satunya dia segera gerakkan kedua tangannya yang telah
dialiri tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh.
Blaaaarrr! Letupan keras terdengar tatkala dua pukulan itu
bertemu, yang segera rengkahkan tanah dan untuk
beberapa saat menghalangi pandangan. Tatkala semu-
anya sirap, nampak sosok Andika telah terhuyung lima langkah dari tempat semula.
Sementara di tempatnya, Dedemit Tapak Akhirat masih berdiri dengan kedua
kaki tegak. Tetapi kedua matanya membuka lebih lebar, kian
pancarkan sinar kelabu yang bertambah pekat.
"Pukulan tenaga 'Inti Petir'!" desisnya seperti ledakan. "Jahanam terkutuk! Kau
adalah Pendekar Slebor!" "Wah! Kok kau begitu kaget ya" Kalau aku memang
Pendekar Slebor, kau mau apa" Apakah kau


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak ciut dan berusaha untuk menjabat dan
mencium tanganku" Ah, aku jadi tidak enak nih! Men-
dingan...."
"Tutup mulutmu!"
Dengan kegusaran yang tinggi, lelaki berparas
tengkorak ini sudah rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. "Kematian sudah di ambang pintu hidupmu, Pen-
dekar Slebor!" serunya dingin. "Kusampaikan pula salam Dewi Permata Biru
untukmu!" Habis kata-katanya segera ditepuk tangan kanan
dan kirinya hingga terdengar suara menggelegar keras.
Kejap itu pula satu gelombang tenaga dahsyat yang
percikkan sinar merah menggebrak ke arah Pendekar
Slebor. Terkesiap Andika melihatnya sambil melompat
tatkala dirasakan pula hawa panas yang ditimbulkan
tenaga serangan lawan menyengat tubuhnya.
Bummm! Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah
beterbangan. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja.
Dua pohon langsung tumbang dengan dedaunan men-
gering, lalu berguguran saat ambruk ke tanah.
Dedemit Tapak Akhirat yang jelas-jelas tak mau
membuang kesempatan yang ada, sudah merangsek
maju diiringi teriakan membahana. Tangan kanan dan
kirinya digerakkan. Seketika nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah
keluar dari tapak kedua
tangannya. Menyusul suara mengerikan laksana sala-
kan guntur. Blgaaarrr! Sadar kalau bahaya sudah dekat, Pendekar Slebor
pun tak mau menghindar lagi. Dia tahu, kalau 'Tapak Akhirat' yang dikeluarkan
oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Karena sebelumnya, Andika juga pernah bertarung
dengan Gendala Maung, yang merupakan murid dari
lelaki tua berparas tengkorak ini, yang juga mempergunakan ilmu 'Tapak Akhirat'.
Namun ilmu kejam itu lebih mengerikan dimain-
kan oleh Dedemit Tapak Akhirat ketimbang oleh Gen-
dala Maung. Dengan teriakan menambah semangat, Andika
sudah menderu ke depan. Ajian 'Guntur Selaksa' digunakan saat itu pula. Sesaat
nampak seluruh tubuh
pemuda dari Lembah Kutukan ini seperti dikelilingi
oleh pernik perak.
Blaaammm! Blaaammm!
Suara menggelegar saat itu pula terdengar menge-
rikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke belakang dengan deras. Bila
saja dia tak segera kuasai keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya
akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Dedemit Tapak Akhirat berdiri te-
gak sambil terbahak-bahak.
"Siapa pun orangnya yang menggagalkan niat ka-
kak seperguruanku untuk membunuh Saptacakra, ha-
rus mampus di tanganku! Apalagi, kau adalah keturu-
nan dari Saptacakra!"
Menyusul lelaki bertampang tengkorak ini kembali
tepukkan tangannya. Serta-merta menderu kembali
serangan yang lebih mengerikan. Hawa panas yang ke-
luar dari ilmu 'Tapak Akhirat' mengeringkan ranggasan semak belukar. Menyusul
menggebahnya gelombang
angin dahsyat yang percikkan sinar merah ke arah
Andika. "Kutu monyet! Bisa putus nyawaku sekarang ju-
ga!!" makinya dalam hati sambil membuang tubuh ke samping kanan, bersamaan
dengan itu tangan kanannya telah menyambar kain bercorak catur yang melilit pada lehernya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah
kembali, dengan lenturnya tubuh pemuda ini langsung meluruk. Kain bercorak catur
warisan dari Ki Saptacakra di Lembah Kutukan telah digerakkan dengan dipa-
du ajian 'Guntur Selaksa'.
Serta-merta terdengar suara laksana ribuan tawon
murka diiringi gelombang angin raksasa yang mengge-
brak ke arah Dedemit Tapak Akhirat.
Blaaammmm! Benturan keras terjadi dengan memerciknya sinar
merah ke udara. Masing-masing orang sama keluarkan
pekikan tertahan dan surut tiga tindak ke belakang.
Tatkala berdiri tegak kembali, Andika memegang da-
danya dengan tangan kiri, sementara wajah Dedemit
Tapak Akhirat kian mengkelap.
"Gila!" desis Andika dalam hati. "Ilmu 'Tapak Akhirat' lebih mengerikan di
tangannya ketimbang yang
pernah dilakukan Gendala Maung padaku tempo hari!
Celaka betul! Bila tak segera kuselesaikan, Nomuro
Shasuke tentunya sudah semakin sulit kutemukan.
Bisa jadi pula pembunuh dari Jepang itu sudah sebarkan petaka yang diturunkan.
Hhhh! Aku harus menga-
tasi manusia satu ini!"
Berpikir demikian, pemuda urakan ini segera pu-
tar kain bercorak caturnya di atas kepala. Serta-merta menderu gelombang angin
dahsyat dipadu dengan suara dengusan mengerikan. Bukan hanya dedaunan
yang beterbangan. Ranting dan dahan pohon pun pa-
tah, lalu timbulkan suara berderak-derak saat bertabrakan satu sama lain. Tanah
sejarak satu tombak da-ri tempat Andika berdiri, membubung ke udara.
Di depan, Dedemit Tapak Akhirat kertakkan ra-
hangnya. Wajahnya terasa seperti ditampar.
"Pantas bila Gendala Maung tak kuasa mengha-
dapi kesaktiannya. Tetapi... pemuda ini jelas bukanlah tandinganku! Akan
kuperlihatkan sesuatu yang mem-
buat kedua matanya terbuka lebih lebar!"
*** 12 Habis membatin demikian, dengan teriakan mem-
bahana Dedemit Tapak Neraka menerjang ke depan.
Saat tubuhnya melesat cepat, angin berkesiur keras.
Menyusul kedua tangannya didorong ke depan sebe-
lum akhirnya dirangkapkan, ditepukkan dan serta-
merta melabrakan gelombang angin yang percikkan si-
nar merah. Di seberang, Pendekar Slebor untuk sesaat melen-
gak. Bahkan tanpa sadar dia keluarkan desisan tertahan, "Oh!"
Namun di kejap lain, dengan cepat diputar tangan
kanannya yang masih memegang kain bercorak catur.
Bersamaan gemuruh angin dan suara dengungan ke-
ras menderu, tangan kirinya yang telah terangkum
ajian 'Guntur Selaksa' melabrak ganas.
Saat itu pula terdengar suara laksana salakan
guntur marah. Dua serangan yang sama-sama berada pada pun-
cak paling atas bagi masing-masing pemiliknya berte-mu. Blaammmmmm!
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah den-
gan terdengarnya ledakan keras tatkala serangan De-
demit Tapak Akhirat bentrok dengan serangan Pende-
kar Slebor. Tempat itu kontan bergetar keras. Ranggasan semak belukar yang
berada di sekitar tempat itu terabas rata.
Sosok Pendekar Slebor terpental lima langkah ke
belakang, pertanda jelas kalau serangan yang dilan-
carkan oleh Dedemit Tapak Akhirat adalah serangan
yang ganas. Apa yang dialami pemuda dari Lembah Kutukan
ini ternyata tidak hanya sampai di sana saja. Belum lagi dia dapat kuasai
keseimbangannya dan masih merasakan betapa sakit dada serta kedua lengannya,
Dedemit Tapak Akhirat yang hanya surut satu tindak ke belakang, sudah menggebrak
lagi ke depan. Meski terhuyung, Pendekar Slebor cepat angkat
tangan kirinya untuk memapak pukulan yang datang.
Menyusul dikibaskan kain bercorak caturnya, yang seketika memapak gelombang
pukulan Dedemit Tapak
Akhirat. Gelombang pukulan yang mengarah padanya ter-
sapu keras, lalu mengudara menghantam tempat ko-
song. Namun bahaya belum selesai. Dedemit Tapak Ak-
hirat yang memang tak menginginkan membuang ke-
sempatan, apalagi dilihatnya Pendekar Slebor sudah
dalam keadaan terdesak, kembali tepukkan kedua
tangannya, disusul dengan tubuhnya mencelat ke de-
pan. Kali ini Andika benar-benar pucat pasi. Sepasang matanya seperti hendak
melompat keluar. Dalam keadaan yang kritis itu, dengan susah payah pemuda pe-
waris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera mem-
buang tubuh ke samping kanan. "
"Aku tak boleh mampus dulu! Aku belum kawin!"
serunya keras seperti menambah semangat. Saat dia
membuang tubuh ke samping kanan, kain bercorak
caturnya cepat dilemparkan.
Wuuutttt! Kain bercorak catur itu melesat laksana meteor.
Sejenak ganti Dedemit Tapak Akhirat yang terkejut.
Begitu kain bercorak catur siap menghajar tubuhnya, cepat dia putar diri
setengah lingkaran. Lalu dengan cepat disambarnya kain bercorak catur itu.
Tap! Wuungggg! Begitu ditangkap kain itu langsung diputar-
putarnya hingga saat itu pula menderu angin ganas
yang mengerikan.
Sejarak tiga tombak dari hadapan lelaki bertam-
pang tengkorak itu, wajah Andika benar-benar pias
laksana tanpa darah. Tubuhnya agak goyah tatkala
berdiri kembali di atas tanah. Disesalinya mengapa dia sampai melempar kain
pusakanya itu. Tetapi bila tadi dia tidak melemparnya, tak mustahil serangan
yang dilancarkan Dedemit Tapak Akhirat akan merenggut
nyawanya. Lelaki kurus yang bajunya terbuka dan menam-
pakkan tonjolan tulang di dadanya itu tertawa keras,
"Hanya begitu saja kehebatan Pendekar Slebor! Huh!
Urusan kecil seperti ini terlalu dibesar-besarkan oleh Gendala Maung!"'
Sambil menahan ngilu pada dada dan kedua tan-
gannya Andika masih bisa membacot, "Waduh! Berhenti dulu deh! Napasku sudah mau
putus nih! Ba- gaimana kalau kita lanjutkan pada ronde berikutnya"
Itu pun kalau kau setuju, lho! Kalau tidak, ya tidak apa-apa! Wah! Betul-betul
busyet! Di matamu itu terdapat batu akik ya" Kok sinarnya makin seram ban-
get"!"
Di seberang, Dedemit Tapak Akhirat yang baru sa-
ja memutuskan tawanya begitu mendengar ejekan An-
dika, makin keras memutar kain bercorak catur.
"Celaka! Selama ini aku memang belum pernah
merasakan kehebatan kain pusakaku sendiri" Namun
akibat yang telah dihasilkannya sering kau kulihat!
Kutu busuk! Apakah aku harus mampus justru pada
senjata mustikaku sendiri"!" maki Andika dalam hati sambil bersiaga penuh.
Mendapati wajah pemuda berambut acak-acakan
itu bertambah pias, Dedemit Tapak Akhirat kembali
umbar tawanya. "Sangat disayangkan... kalau pendekar kesohor
yang namanya ditakuti orang, kini harus mampus di
tanganku! Bahkan... pada senjatanya sendiri!"
Dasar urakan, dalam keadaan yang kritis seperti
itu Andika masih juga berseloroh konyol, "Nah, kalau kau tidak mau melakukannya,
kembalikan kain pusakaku itu! Nanti kau baru bunuh aku" Bagaimana?"
"Jahanam! Terimalah kematianmuuu!"
Habis seruannya seraya putar kain bercorak ca-
turnya, Dedemit Tapak Akhirat sudah menderu ke
muka. Serta-merta menghampar gelombang angin rak-
sasa dibalur dengan suara dengungan yang sangat ke-
ras. Andika yang memang sudah bersiaga kendati te-
naganya sudah mulai terkuras, langsung mengangkat
kedua tangannya. Namun satu gelombang angin tiba-
tiba menyeruak dan mendahului pukulan Andika me-
napak langsung gelombang angin yang keluar dari kain bercorak catur.
Blaaammmm! Gelombang angin itu pecah dan membuyar di
angkasa. Tanah di mana bertemunya dua gelombang
angin itu langsung terbongkar, dan menerbangkan
bongkarannya ke udara.
Dedemit Tapak Akhirat berseru keras dengan wa-
jah tegang. Dia segera berkelebat ke samping kiri dari mana angin yang memapaki
serangan dari kain bercorak catur yang kini berada di tangannya datang.
Saat itu pula tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi,
bersiap untuk lepaskan serangan. Namun begitu sepa-
sang matanya yang pancarkan sinar kelabu meman-
dang ke depan, mendadak saja tangan kirinya terdiam di udara.
Seperti digantung oleh seutas tali alot yang tak
nampak.... SELESAI Segera menyusul:
SAMURAI BERDARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Asmara 12 Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 5
^