Pencarian

Pembunuh Dari Jepang 1

Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Bagian 1


PEMBUNUH DARI JEPANG Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Layar perahu yang mengarungi samudera itu ter-
bentang dihembus angin keras. Pagi sudah mengham-
par dalam naungan persada langit yang cukup cerah.
Burung-burung laut beterbangan seolah menyambut
kedatangan perahu yang di kedua ujungnya terdapat
relief besar burung rajawali. Gemuruh ombak laksana angin yang mengerikan,
bergulung-gulung dan berulang kali menabrak dinding perahu.
Di atas perahu itu berdiri tiga sosok tubuh yang
berwajah kaku. Kulit mereka kuning. Mata masing-
masing lelaki itu agak menyipit. Sorotnya tegang. Alis mereka hitam namun tipis.
Mengenakan pakaian berwarna merah panjang, dengan pakaian dalam warna
biru. Di pinggang masing-masing orang terselip sebilah pedang panjang, samurai.
Lelaki yang berkumis tipis dengan ikat kepala
warna merah berkata dingin, agak kaku suaranya, "Pesisir tanah Jawa.... Sebuah
tempat yang telah lama
kudengar tetapi sangat asing... tempat kediaman Pendekar Slebor...."
Tak ada yang sahuti kata-katanya. Masing-masing
kembali ditelan kesunyian. Ombak beberapa kali
menghantam dinding perahu besar itu.
Lelaki berkulit kuning itu berkata lagi, lebih din-
gin, "Sebelum kita berangkat meninggalkan negeri samurai, Saburo-san mengatakan,
kalau kita harus me-
minta bantuan Pendekar Slebor untuk melacak manu-
sia laknat bernama Nomuro Shasuke, yang diketahui
melarikan diri ke tanah Jawa setelah gagal melukai Kaisar Tokugawa
Lesyasumoto.... Jahanam! Demi De-wa Matahari! Aku bersumpah, akan kucincang
tubuh manusia celaka itu!"
"Hiedha-san... kita masih asing di tanah Jawa.
Bahkan kita belum tahu seperti apa wajah dan wujud
Pendekar Slebor kendati kita mendapatkan penjelasan dari Saburo-san tentang
ciri-cirinya," kata yang agak pendek dan berdiri di samping kiri orang yang
pertama bicara tadi. "Kudengar pula... tanah Jawa didiami oleh orang-orang yang
memiliki ilmu tinggi dan aneh. Apakah kau tidak pernah berpikir, bila kedatangan
kita akan membuat orang-orang di tanah Jawa akan tertarik?" Lelaki yang bernama
Hiedha Ogawa hanya keluarkan dengusan. Pandangannya tetap lurus ke depan,
tak berkedip sekali pun juga. Tanpa tolehkan kepala dia menyahut, "Mishima-
san... kedatangan kita untuk memburu manusia celaka itu! Bukan mencari silang
sengketa dengan orang-orang tanah Jawa! Dan kuha-
rap... kita secepatnya bisa bertemu dengan Pendekar Slebor.... Barangkali,
dengan bantuannya kita tak
akan mendapat kesulitan dengan orang-orang di tanah Jawa...."
Lelaki yang paling pendek di antara mereka men-
ganggukkan kepalanya.
Di antara debur ombak dan suara riangnya bu-
rung-burung manyar, lelaki yang paling tinggi dan bertubuh kurus di antara
mereka berkata, "Menurut Saburo-san... pemuda berjuluk Pendekar Slebor cukup
disegani di tanah Jawa! Hiedha-san... apakah kau juga berpikir seperti itu?"
Hiedha Ogawa mengangguk.
"Ya! Dari cerita yang kudengar dari Saburo-san...
pemuda itu jelas seorang pemuda yang disegani oleh
lawan maupun kawan. Kendati menurutnya pula, pe-
muda itu suka sekali bersikap urakan. Makanya... dia dijuluki Pendekar
Slebor...."
Lelaki bertubuh tinggi itu keluarkan dengusan.
Bibirnya menyiratkan ejekan melecehkan.
"Hhh! Sebuah penghargaan yang sebenarnya tak
patut dilakukan Saburo-san! Tak pantas meninggikan
orang yang lain dengan kita! Para samurai seperti kita, lebih tinggi derajatnya
dari siapa pun juga!"
Kali ini Hiedha Ogawa palingkan kepalanya ke ka-
nan. "Ayothomori-san... apa yang dikatakan oleh Saburo-san cukup mengena. Ini
mungkin disebabkan dia
pernah diselamatkan oleh Pendekar Slebor saat ber-
kunjung ke tanah samurai. Tetapi biar bagaimanapun
juga, kita cukup menghargai petunjuknya. Karena kini kita tahu, siapa yang bisa
kita jadikan pemandu di tanah Jawa...."
(Untuk mengetahui siapa Saburo dan apa yang te-
lah dilakukan Pendekar Slebor di negeri matahari beberapa waktu lalu, silakan
baca : "Geisha" dan "Rahasia Sang Geisha").
Ayothomori kertakkan rahangnya. Dari raut wa-
jahnya yang nampak cukup tegang, dia jelas tak suka mendengar kata-kata yang
memuji Pendekar Slebor.
Diam-diam dalam hatinya dia berjanji, "Hhh! Ingin kulihat seperti apa kepandaian
pemuda berjuluk Pende-
kar Slebor itu!"
Hiedha Ogawa berkata lagi, "Tujuan kita ke tanah Jawa, adalah memburu manusia
celaka itu! Mati atau
hidup, kita harus membawanya ke hadapan Kaisar!
Dan satu hal lagi yang perlu diperhitungkan, Nomuro Shasuke bukanlah lawan yang
bisa dipandang sebelah
mata. Dia seorang yang ahli memainkan samurai dan
memiliki kepandaian menyamar. Bahkan dia bisa me-
nerobos masuk ke dalam Istana Kaisar dan mencoba
membunuh Kaisar."
"Sayang saat peristiwa itu terjadi aku masih harus mengurus para pemberontak di
Lembah Aza," sahut Ayothomori sambil kepalkan tinju kanannya. "Bila saja
aku berada di lingkungan istana, manusia celaka itu tak akan pernah lolos! Dan
kita tak perlu bersusah
payah mengejarnya ke tanah Jawa! Apalagi... harus
mencari Pendekar Slebor! Huh! Bila pemuda itu me-
mang tangguh, dia harus mengalahkanku dulu sebe-
lum kuyakini dia memang patut menjadi pemandu ki-
ta!" Hiedha Ogawa menatap tajam pada Ayothomori yang justru keluarkan dengusan.
"Kau nampaknya tidak suka kalau kita meminta
bantuan Pendekar Slebor?"
"Tentu! Biar bagaimanapun juga, derajat kita lebih tinggi darinya!"
"Jangan meninggikan diri hanya karena derajat!"
Seketika Ayothomori arahkan pandangannya pada
Hiedha. Sorot matanya jelas makin menyiratkan rasa
tidak sukanya pada Pendekar Slebor. Tetapi dia tak
mau membuat urusan dengan Hiedha. Makanya, sege-
ra dialihkan pandangannya ke laut lepas sementara
hatinya merutuk panjang pendek.
Kembali masing-masing orang tak ada yang mem-
buka mulut. Matahari terus merayap naik ke atas.
Laut mulai terang dan air laut serta deburan ombak
bergerak-gerak cepat, memantulkan cahaya matahari,
menabrak dinding perahu hingga oleng dan bergerak
menjauh kembali.
Wajah Hiedha Ogawa menunjukkan rasa tak sa-
bar untuk segera tiba di tanah Jawa. Dia tak bisa me-maafkan dirinya sendiri,
mengingat saat manusia cela-ka bernama Nomuro Shasuke berhasil menyelinap
dengan menyamar sebagai seorang pengawal. Dan pe-
ristiwa percobaan pembunuhan terhadap Kaisar Toku-
gawa Iesyasumoto berlangsung di depan matanya.
Justru dia tidak tahu saat peristiwa itu terjadi! Bi-la saja Kaisar tak segera
terbangun dari tidurnya dan
berjuang seorang diri menyelamatkan nyawanya, ten-
tunya dia akan menyesali seumur hidup pembantaian
itu. Perintah penangkapan pun segera dilangsungkan tanpa diumumkan kembali.
Namun dengan kelihaian-nya, Namuro Shasuke berhasil meloloskan diri.
Hiedha Ogawa berusaha mengejarnya, sampai
kemudian terlihat manusia laknat itu telah menyebe-
rangi lautan dengan mempergunakan perahu layar.
Dikirimlah lima belas orang pengawal untuk mengejar Nomuro Shasuke. Namun yang
kembali hanya seorang
saja. Kendati demikian, berita yang terdengar sudah jelas. Kalau Nomuro Shasuke
menyeberang ke tanah
Jawa. Nomuro Shasuke dahulunya adalah seorang Pan-
glima perang Kaisar. Namun ambisinya yang ingin
menduduki takhta Kaisar mendorongnya untuk memi-
kirkan bagaimana cara menggulingkan takhta kekaisa-
ran. Dua kali dia mengadakan pemberontakan namun
berhasil dipadamkan. Pada pemberontakan ketiga, di-
ketahui kalau Nomuro Shasuke adalah dalang dari
semua pemberontakan itu.
Manusia itu pun diburu. Namun dia berhasil
menghilangkan jejak dirinya, bahkan tak diketahui berada di mana. Sampai
peristiwa percobaan pembunu-
han terhadap Kaisar terjadi. Dari cara yang dilakukan pembunuh itu, sangat
dikenal sekali, kalau itu merupakan cara yang khas yang kerap dilakukan Nomuro
Shasuke. Hiedha Ogawa teringat akan sahabatnya Saburo.
Maka dia pun mendatangi kawannya itu yang dulu
pernah datang ke tanah Jawa. Dari Saburo lah, Hiedha mendapatkan keterangan
kalau dia bisa meminta bantuan seorang pemuda yang disegani di tanah Jawa
yang bernama Andika dan berjuluk Pendekar Slebor.
Saburo sendiri sebenarnya ingin membantu Hied-
ha untuk melacak jejak pembunuh keparat itu. Namun
Hiedha melarangnya. Setelah melaporkan semua itu
dan meminta izin pada Kaisar, maka berangkatlah
Hiedha menuju ke tanah Jawa bersama Ayothomori
dan Mishima Nobu.
Hening kembali mendiami seisi perahu besar itu.
Mishima berkata, "Aku berharap, apa yang kita
harapkan akan berlangsung sempurna. Dan kehadiran
kita tidak memancing permusuhan dengan orang-
orang di tanah Jawa...."
*** Menjelang matahari bersiap masuk ke peraduan-
nya, perahu yang hampir satu hari satu malam menga-
rungi lautan bebas itu merapat di pesisir timur laut Jawa. Dengan gerakan yang
lincah dan jelas kalau
masing-masing orang memiliki ilmu peringan tubuh
yang cukup tinggi, ketiga samurai itu melompat sebelum perahu betul-betul
merapat. Pakaian panjang yang mereka kenakan beriap saat masing-masing orang
menjejakkan kaki di pasir putih.
Mishima Nobu segera melangkah ke depan. Lalu
dengan cekatan dia menarik perahu itu dan menyem-
bunyikan di balik ranggasan semak di balik sebuah
pohon nyiur. "Beruntung karena kita tiba menjelang malam,
hingga kehadiran kita tidak terlalu menarik perhatian orang," kata Hiedha Ogawa
sambil memandang ke laut lepas.
Mishima Nobu berkata, "Hiedha-san... entah mengapa yang kupikirkan saat ini
bukanlah Nomuro Sha-
suke maupun Pendekar Slebor. Melainkan orang-orang
di tanah Jawa yang kemungkinan besar menganggap
kita sebagai musuh."
"Bila kita bersikap sopan, kurasa mereka tak akan berlaku jahat kepada kita.
Bukankah setiap langkah
kita, ditentukan oleh kita sendiri?"
Sebelum Mishima Nobu menjawab, Ayothomori
sudah membuka mulut, "Hiedha-san... apakah kau tetap akan mencari Pendekar
Slebor untuk meminta
bantuannya?"
Hiedha menangkap nada tidak suka pada perta-
nyaan itu. Dia tahu, kalau sebenarnya Ayothomori
menunjukkan rasa tidak sukanya dikarenakan tak in-
gin mendapat bantuan dari orang di tanah Jawa ini.
Hanya saja Hiedha berpikiran lain. Dia akan tetap
mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya.
Paling tidak, menjadi penunjuk jalan agar tidak salah melangkah dan memancing
silang sengketa dengan
orang-orang di tanah Jawa lainnya.
"Ayothomori-san... dengan berat hati kukatakan, aku akan tetap mencari dan
meminta bantuan Pendekar Slebor. Apa yang dikatakan Saburo-san, sudah
menjadikan satu bukti, kalau Pendekar Slebor adalah orang dari golongan baik-
baik. Hingga rasanya tidak salah bila kita meminta bantuannya..."
Ayothomori hanya keluarkan dengusan pendek.
Matanya yang sipit nampak kian menyipit, menyi-
ratkan ketidaksukaannya mendengar kata-kata Hiedha
Ogawa. "Hhhh! Akan kubuktikan nanti! Kalau aku mampu
menangkap pemberontak celaka itu tanpa bantuan
Pendekar Slebor!" katanya dalam hati. Lalu sambil menindih geramnya dia berkata,
"Untuk saat ini, aku setuju apa yang hendak kita jalankan! Tetapi... aku yakin,
justru pemberontak itu akan semakin jauh bila ki-ta memilih Pendekar Slebor
untuk membantu!"
"Kuharap tidak!"
"Pada kenyataannya, harapan terkadang hanya
angan belaka! Faktalah yang menentukan!"
"Saburo-san telah memperkuat keyakinanku da-
lam soal itu!"
"Kau telah terkena ucapan Saburo-san! Peduli setan dengan orang itu! Yang ingin
kubekuk dan kucin-
cang dengan samuraiku adalah Nomuro Shasuke!"
Wajah Hiedha Ogawa nampak memerah, tanda dia
mulai tak suka mendengar kata-kata lelaki bertubuh
jangkung itu. Sebelum dia membuka mulut, Mishima
sudah berkata, "Tak perlu kita saling berdebat dalam soal apakah kita akan
meminta bantuan Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi pada dasarnya kita harus
menjalankan apa yang telah kita rencanakan dari pertama.
Suka atau tidak suka, berat atau ringan, kita tetap harus mencari Pendekar
Slebor. Tanpa melupakan tu-
juan utama kita, menangkap Nomuro Shasuke...."
Hening melanda ketiga samurai itu. Ombak terus
bergulung hingga ke pantai, tak pernah kenal lelah
dan tak tahu kapan laut akan menghentikan ombak-
nya. Kejap kemudian terdengar suara Hiedha Ogawa
yang merasa lebih baik segera berlalu dari situ ketimbang melayani setiap ucapan
Ayothomori yang jelas-
jelas sudah tidak menyukai Pendekar Slebor, "Rasanya... lebih baik kita segera
tinggalkan pesisir pantai ini!" Namun sebelum ada yang meninggalkan tempat itu,
mendadak saja terdengar suara ramai yang berna-da amarah. Kejap itu pula


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerbu sekitar sepuluh
orang lelaki bertelanjang dada. Wajah mereka begitu beringas. Di tangan masing-
masing orang terdapat
bermacam senjata dan mereka meneriakkan, "Bunuh manusia-manusia celaka itu!"
*** 2 Ketiga lelaki dari negeri Sakura itu terdiam dengan tatapan waspada. Tangan
masing-masing orang berada
di samping kanan kiri. Dan dengan gerakan cepat akan mencabut samurai yang
terselip di pinggang kanan
masing-masing. Sepuluh lelaki bertelanjang baju itu merangsek
maju dengan teriakan-teriakan membahana.
Salah seorang berteriak sambil mengangkat pa-
rangnya tinggi-tinggi, "Jangan beri ampun! Manusia-manusia celaka dari tanah
seberang harus mampus!
Dan sudah tentu mereka adalah gerombolan dari lelaki celaka yang membunuhi
saudara-saudara kita kemarin malam!"
Hiedha yang lebih tenang berkata, kendati demi-
kian suaranya agak kaku dan dingin, "Sabar dulu!
Kami baru saja tiba di sini! Dan tidak tahu apa yang telah terjadi!"
"Dusta!" sahut lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun, yang tadi bicara.
Di tangan kanannya terdapat sebilah parang yang tajam, yang agak berkilat
tertimpa sinar matahari senja. "Selama ini... tak ada pencuri yang mau mengaku
sebagai pencuri! Dan tak
akan pernah ada pembunuh yang mengaku sebagai
pembunuh! Tangkap mereka!"
Habis perintah itu terdengar, masing-masing
orang segera menyerbu ke muka, langsung menya-
betkan senjata mereka pada Hiedha yang berdiri agak di depan.
Hiedha sendiri cepat melompat ke belakang. Lima
buah parang menyerbu ke arahnya. Tetapi lelaki ini la-gi-lagi hanya menghindar.
Dan tatkala dilihatnya Ayothomori sudah mencabut samurainya, dia berseru,
"Jangan gegabah! Ini hanya salah paham saja!"
Tetapi lelaki bertubuh jangkung yang agak berbe-
da dengan ukuran tubuh orang-orang dari negeri Ma-
tahari, sudah menyabetkan samurainya, lurus ke mu-
ka. Craaattt!! Seorang lelaki bertelanjang dada langsung kelua-
rkan teriakan tertahan dengan luka besar di dada. Darah muncrat membanjir
bersamaan tubuhnya ambruk
ke pasir pantai.
Melihat nasib malang yang menimpa salah seo-
rang teman mereka, orang-orang yang lain bukannya
menjadi jeri. Mereka justru bergerak lebih ganas lagi.
Hiedha mengeluh dalam hati melihat ketelengasan
yang dilakukan Ayothomori. Dia cepat melompat men-
dekat dan menangkap tangan kanan Ayothomori yang
bersama dengan tangan kirinya sedang menggenggam
hulu samurai. "Sudah kukatakan, jangan bertindak gegabah!
Tindakanmu hanya makin meruncing urusan!"
Ayothomori cuma keluarkan dengusan. "Apakah
kau pikir kita akan membiarkan diri kita direjam oleh mereka, hah"! Jangan
bertindak bodoh! Manusia-manusia celaka ini harus mampus secepat angin ber-
hembus!" "Jangan...."
Kata-kata Hiedha Ogawa terputus tatkala satu
sambaran parang mengarah padanya. Cepat dia me-
lompat ke samping. Lalu dengan gerakan yang cepat
kaki kanannya melayang.
Des! Dada penyerangnya terhantam telak dan ter-
huyung ke belakang. Namun yang tak disangka Hiedha
Ogawa, Ayothomori sudah menerjang ke muka. Me-
nyabetkan kembali samurainya dengan gerakan melin-
tang yang menghantam perut.
Crasss! Seorang rubuh sudah dengan luka besar terkena
sabetan samurai Ayothomori. Melihat ketelengasan
kawannya yang tak mengenal kasihan itu, Hiedha me-
lompat kembali mendekat.
"Jangan gegabah!"
Ayothomori hanya keluarkan dengusan. Seruan
Hiedha Ogawa justru membuatnya menjadi makin ka-
lap. Dengan ganas dia menerjang ke depan. Mengge-
rakkan samurainya dengan gerakan yang sangat terla-
tih. Setiap kali samurainya bergerak, terdengar kesiur angin membeset udara.
Tiga orang lelaki bertelanjang dada lainnya am-
bruk dengan luka pada kaki dan tangan. Darah segera keluar. Tiga orang dari
mereka sudah memburu untuk
menolong. Namun harus segera menyingkir karena
Ayothomori sudah menyerang kembali. Keadaan itu la-
gi-lagi tak membuat yang lainnya menjadi surut atau hentikan serangan. Justru
mereka menjadi ganas.
Hiedha yang tak ingin melihat ketelengasan yang
dilakukan Ayothomori sudah melesat ke depan. Ber-
sama Mishima yang sejak tadi hanya menghindar, ke-
duanya memburu.
Dalam tiga kali gebrak saja lima orang lelaki bertelanjang dada yang nampaknya
para pelayan sudah
ambruk ke tanah. Mereka mengerang kesakitan mera-
sakan tangan dan kaki dihantam pukulan yang dila-
kukan Hiedha Ogawa dan Mishima.
Sementara itu Ayothomori sudah mulai gusar me-
lihat sikap yang dilakukan Hiedha. Lelaki jangkung
berwajah bengis ini benar-benar tersinggung. Baginya,
kekerasan patut dilakukan terhadap bangsa lain. Apalagi tujuan mereka kemari
sebenarnya untuk membu-
ru Nomuro Shasuke. Dan orang-orang ini telah menye-
rang mereka tanpa sebab!
Dengan teriakan melengking, Ayothomori melom-
pat ke depan. Samurai yang digenggam dengan kedua
tangannya teracung ke atas dan siap mengayun ke
bawah. Hiedha terkesiap melihatnya. Dia mencoba me-
lompat untuk halangi niat Ayothomori seraya berseru,
"Ayothomori-san! Tahan!"
Namun gerakan yang dilakukan oleh Ayothomori
lebih cepat dari gerakan Hiedha. Menyusul dengan ganasnya dia mengayunkan
samurainya dari atas ke ba-
wah, siap memenggal kepala lelaki bertelanjang dada yang pertama kali buka
suara. Akan tetapi, sebelum samurai itu menelan kor-
bannya, mendadak saja terdengar suara, "Traaakk!"
Menyusul Ayothomori merasakan kedua tangan-
nya bergetar, tatkala dirasakan sesuatu menghantam
deras samurainya. Saking kagetnya dia sampai surut
dua tindak ke belakang dan keluarkan suara,
"Aaaaakhhh!"
Sementara itu Hiedha Ogawa yang masih bergerak
untuk hentikan niat Ayothomori, tak dapat hentikan
gerakannya. Karena dia sendiri tak menyangka kalau
Ayothomori mendadak terhuyung. Maka tanpa ampun
lagi, tangan kanannya yang tadi sedianya hendak me-
nangkap tangan Ayothomori, mendarat telak pada
punggung lelaki berwajah bengis itu.
Desss! Ayothomori terhuyung ke samping. Saat dia kua-
sai keadaannya lagi dan hinggap di atas pasir putih, seketika kepalanya
dipalingkan ke arah Hiedha. Pandangannya geram dan menusuk. Tetapi hanya sesaat
dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah arahkan
pandangannya ke kanan.
Dilihatnya sebuah kerikil telah berada di atas pa-
sir putih. Sadar kalau kerikil itulah yang tadi menghalangi niatnya, darah
Ayothomori mendadak naik ke
ubun-ubun. Sebelum dia keluarkan suara dan laku-
kan tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara di-
iringi tawa, "Wah, wah! Celaka betul! Betul-betul celaka! Mengapa orang-orang
dari negeri Sakura menye-
rang dan membunuh orang-orang yang sebangsa den-
ganku" Busyet betul! Apakah tidak ada niatan lain datang ke tanah Jawa ini
selain membunuh!"
*** Bukan hanya ketiga samurai dari Jepang itu saja
yang segera palingkan kepala ke kanan. Lima nelayan yang terkapar dan perlahan-
lahan bangkit berdiri pun melihat ke kanan. Masing-masing orang melihat seorang
pemuda yang sedang melangkah sambil garuk-
garuk kepalanya. Rambut pemuda itu gondrong acak-
acakan. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau pu-
pus dan di lehernya melilit kain bercorak catur.
Pemuda yang memiliki alis hitam legam dan me-
nukik laksana kepakan sayap elang ini sudah buka
mulut lagi, "Busyet! Apa kalian sedang melihat Pange-ran terganteng di dunia"
Kok pandangan kalian seperti ikan mas koki"!"
Ayothomori lebih dulu tersadar dari keterkesi-
maannya melihat kemunculan si pemuda. Dengan ga-
rang dia maju selangkah ke depan. Pandangannya me-
nyipit tajam, memancarkan sorot nafsu membunuh.
Samurainya masih digenggam erat oleh kedua tangan-
nya. Menyusul kata-katanya yang sangat sengit,
"Pemuda celaka! Rupanya kau yang telah meme-
rintahkan orang-orang ini membunuh kami! Bagus!
Kau harus berkenalan denganku!"
Habis kata-katanya, lelaki jangkung berwajah
bengis ini sudah melompat ke depan diiringi pekikan keras. Samurainya disabetkan
dengan gerak lurus dari atas ke bawah, siap menghantam rengkah kepala si
pemuda. Dan dari caranya bergerak, jelas kalau dia
memandang sebelah mata pada si pemuda.
Tetapi di luar dugaan Ayothomori, pemuda berpa-
kaian hijau pupus itu cuma menggeser kaki kanannya
ke samping, yang saat itu pula sabetan samurainya
luput. Menyadari kalau pemuda ini bukanlah orang
sembarangan, Ayothomori menjadi kian beringas. Ber-
samaan si pemuda bergeser ke kanan, Ayothomori su-
dah menebas dengan ayunan pedang berputar seperti
baling-baling. Suara angin yang membeset cukup mengerikan.
Tetapi si pemuda justru melompat ke depan. Bahkan
dengan satu gerakan yang cepat, seharusnya si pemu-
da bisa mendaratkan pukulannya ke dada Ayothomori.
Karena lelaki jangkung itu masih harus kuasai kesimbangannya.
Tetapi justru si pemuda tak melakukannya. Malah
dia berkata sambil geleng-geleng kepalanya, "Busyet!
Galak betul sih" Apa tidak bisa bertindak kalem sedikit?" Mengkelap wajah
Ayothomori mendengar ejekan itu. Diiringi teriakan kalap dia menerjang lagi.
Samurainya digerakkan berulang kali, membabi-buta. Hing-ga silangan-silangan
cahaya dan suara besetan makin keras terdengar. Tetapi sampai sejauh itu, dia
belum berhasil mendaratkan samurainya ke tubuh si pemuda. Malah kemudian
terdengar kata-kata si pemuda
agak jenuh, "Bosan, ah!"
Lalu sambil hindari hunusan dan sabetan samurai
lawan, dia merangsek maju. Tangan kirinya menjotos
ke muka. Dan jotosan itu hanyalah pancingan belaka.
Justru di saat Ayothomori menarik tubuh ke belakang dan siap menyabetkan
samurainya, dengan gerakan
yang sangat cepat si pemuda sudah tekuk tangan ka-
nannya dan......
Des! Mendarat telak di dada Ayothomori yang langsung
terhuyung ke belakang. Begitu berhasil berdiri tegak kembali dia sudah siap
untuk menerjang ke muka, tetapi suara Hiedha Ogawa menahannya, "Maafkan ka-
mi.... Tuan Pendekar.... Apa yang terjadi ini hanyalah salah paham belaka...."
Bukannya si pemuda yang menyahut, Ayothomori
yang masih gusar berseru, "Hiedha-san! Aku belum menghadapinya dengan jurus
'Menjerat Matahari'!"
Hiedha palingkan kepalanya. Sorot matanya begi-
tu tajam menusuk. Jelas kalau lelaki ini sudah gusar dengan sikap Ayothomori,
"Jangan membantah! Sekali lagi kukatakan, kita datang ke sini bukan mencari
silang sengketa dengan para penduduk di sini! Tetapi ki-ta mengejar Nomuro
Shasuke!" Kendati nampak tidak puas mendengar kata-kata
Hiedha Ogawa, Ayothomori hanya kertakkan rahang-
nya. Pandangannya masih tajam pada si pemuda yang
membalas hanya dengan mengangkat alisnya saja, je-
naka. Lalu dengan santainya pemuda ini berjalan men-
dekati tiga nelayan yang luka-luka. Sejenak diperiksanya luka-luka yang terdapat
pada kaki dan tangan
ketiga nelayan itu.
Kejap kemudian diangkat kepalanya dan berseru
pada lima nelayan lainnya yang nampak bersiaga,
"Jangan tegang! Aku perlu kain untuk membebat dan
menahan darah pada tubuh ketiga teman kalian ini!"
Mendengar kata-kata si pemuda, tiga orang dari
mereka segera merobek celana pangsi yang mereka ke-
nakan. Lalu dengan hati-hati menyerahkannya pada si pemuda, yang dengan cekatan
segera membebat luka-luka pada tubuh tiga teman mereka.
Sementara itu Mishima menarik napas pendek,
tatkala dilihatnya salah seorang dari lima orang nelayan yang telah berdiri
diam- diam mengambil sebilah parang yang tergeletak. Lalu dengan gerakan yang
cepat dilemparkannya parang itu ke arah Hiedha!
"Mampuslah kau!"
Ayothomori seharusnya dapat segera memapaki
luncuran parang itu karena dia berada di dekat Hiedha dan kebetulan juga
melihatnya. Namun lelaki berwajah bengis itu malah berlagak tidak tahu.
Mishima sendiri segera bergerak cepat. Kakinya
menendang sebilah parang lain yang tergeletak di atas pasir putih. Di saat
parang itu meluncur, pasir yang tertendang membuyar.
Traaanggg! Parang yang meluncur ke arah Hiedha langsung
terpental terhantam parang yang ditendang Mishima.
Hiedha sendiri yang sebenarnya merasakan desir angin ke arahnya hanya terdiam
saja, kendati nampak pandangannya cukup gusar. Tetapi lelaki berkumis tipis ini
berusaha keras untuk tindih amarahnya, karena
tak ingin salah paham yang terjadi di antara mereka semakin berkembang.
Ayothomori berkata, "Kau lihat itu, hah"! Apakah manusia semacam itu patut
dibiarkan hidup!"
"Diaaammm!" sengat Hiedha Ogawa keras. Kemudian katanya, "Ayothomori-san! Jangan
terlalu keras!

Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita datang ke tanah Jawa ini bukan untuk membu-
nuh orang-orang asli di sini! Tetapi untuk menangkap
Nomuro Shasuke!"
Sementara itu, pemuda berpakaian hijau pupus
yang telah selesai membebat luka-luka pada tiga ne-
layan dan melihat gerakan yang dilakukan salah seorang nelayan yang melemparkan
parang, diam-diam
membatin, "Dua kali lelaki itu menyebutkan nama Nomuro Shasuke. Siapakah
sebenarnya Nomuro Shasuke itu" Dan tadi... sempat kulihat kalau lelaki bertubuh
jangkung itu tahu kalau ada luncuran parang
yang mengarah pada lelaki bernama Hiedha. Tetapi dia justru berlaku bodoh.
Hmmm... nampaknya memang
ada sesuatu yang telah terjadi."
Habis membatin begitu, si pemuda berkata, "Menilik cara kalian bicara yang agak
terpatah-patah dan pakaian serta senjata yang kalian gunakan, tentunya kalian
berasal dari negeri Matahari. Sekarang, jelaskan mengapa kalian datang ke tanah
Jawa ini?"
"Tutup mulutmu!" membentak Ayothomori dengan wajah kian bengis.
Tetapi si pemuda justru cuma nyengir saja. "Busyet! Apakah mulutmu tidak enak
kalau tidak mem-
bentak" Lama kelamaan tanganku jadi gatal juga
nih"!"
Ayothomori justru balikkan tubuh. Dengan kedua
kaki terpentang lebar dan kepala agak diangkat dia
berseru gusar, "Mau apa kau, hah"!"
"Kok mau apa" Ya kalau tanganku gatal... jelas di-garuk! Kok ada manusia tolol
seperti kau, ya?" sahut si pemuda seenak perutnya saja.
Mengkelap wajah Ayothomori mendengar seloro-
han si pemuda. Sebelum dia membuka mulut, Hiedha
Ogawa sudah berkata dengan tubuh agak dibungkuk-
kan, "Maafkan sikap kami, Tuan Pendekar. Kami datang dari negeri Matahari!
Namaku Hiedha Ogawa! Ini kawanku yang bernama Ayothomori! Dan di samping
kananku, bernama Mishima Nobu! Kami memang sen-
gaja datang ke tanah Jawa, karena kami mengejar
pemberontak yang bernama Nomuro Shasuke!"
"Lantas... apa yang terjadi dengan para nelayan ini?" tanya si pemuda dengan
kening berkerut, bertanda dia sedang memikirkan sesuatu.
"Begitu kami tiba di sini, mereka tahu-tahu muncul dan menyerang! Tanpa sebab
yang kami ketahui!"
"Manusia celaka!" berseru salah seorang dari nelayan itu. "Pakai berlagak bodoh!
Kau pikir kami tidak tahu, kalau lelaki yang kemarin malam lakukan pembantaian
di kampung kami adalah temanmu, hah"!"
Mendengar ucapan orang, Hiedha terdiam sejenak.
Lain berkata, "Mengapa kau menuduh seperti itu?"
"Orang itu mengenakan pakaian yang sama den-
gan kalian! Membawa samurai dan bersikap begitu ke-
ji! Orang itu kami pergoki sedang memakan ikan-ikan hasil tangkapan kami!
Tatkala kami tegur, dia justru menyerang kami dengan samurainya! Apakah bukti
semacam itu belum juga membuka mata kalian, kalau
orang itu adalah teman kalian sendiri, hah"!"
Hiedha Ogawa terdiam dulu sebelum berkata da-
lam hati, "Tak salah lagi... jelas dia adalah Nomuro Shasuke...."
Kemudian katanya dengan agak membungkuk,
"Kalian telah salah menyangka. Orang itu bukanlah teman kami. Dan sudah barang
tentu, orang itulah
yang sedang kami buru hingga kami tiba di tanah Ja-
wa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke...."
Lelaki yang bersuara tadi terdiam, kendati demi-
kian wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya.
Sementara itu, Mishima yang sejak tadi memper-
hatikan pemuda berpakaian hijau pupus yang di le-
hernya melilit kain bercorak catur perlahan-lahan
mendekati Hiedha dan berbisik, "Hiedha- san... apakah
kau lupa dengan ciri pemuda yang dimaksud oleh Sa-
buro-san" Bukankah ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda di hadapan kita?"
Seperti baru teringat, Hiedha Ogawa segera arah-
kan pandangannya pada si pemuda yang memang tak
lain Andika alias Pendekar Slebor adanya. Cukup lama dia memperhatikan sampai
Andika sendiri merasa jengah. "Busyet! Apakah dia baru pernah melihat pemuda
yang gantengnya kayak aku ini" Huh! Kalau seorang
gadis yang memperhatikan sih boleh juga, tetapi ini...
bah!" dengus Andika dalam hati.
Dari memperhatikan yang begitu serius, nampak
kepala Hiedha mengangguk-angguk.
"Kau benar, Mishima-san.... Tak salah lagi, sudah barang tentu pemuda inilah
yang dimaksud oleh Saburo-san," katanya dalam bisikan. "Tetapi sayangnya...
kita berjumpa dalam suasana yang tidak enak seperti ini...."
Kemudian dengan suara menghormat, Hiedha
berkata, "Tuan Pendekar... apakah salah bila kukatakan, anda bernama Andika yang
berjuluk Pendekar
Slebor?" Si pemuda justru kerutkan keningnya dulu sebe-
lum berkata, "Wah! Bagaimana kau bisa tahu" Rupanya aku termasuk orang top juga,
ya"!"
*** 3 Sementara wajah Hiedha Ogawa dan Mishima No-
bu berseri-seri, justru wajah Ayothomori berubah menjadi jengkel. Dia yang sejak
pertama sudah tidak setu-
ju dengan tindakan untuk mencari dan meminta ban-
tuan Pendekar Slebor guna menangkap Nomuro Sha-
suke, kini seperti merasa diinjak-injak karena tadi dapat dipecundangi dengan
mudah oleh pemuda yang
tak lain Pendekar Slebor adanya.
"Demi Dewa Matahari! Akan ku tantang pemuda
ini bila kudapatkan kesempatan! Sebaiknya, sekarang ini aku bersikap senang
seperti yang ditunjukkan oleh Hiedha-san dan Mishima-san! Hhhh! Mereka telah
menjadi manusia hina yang merubuhkan martabat
bangsa samurai di hadapan pemuda kampungan ini!"
Terdengar suara Hiedha berkata, "Tak kusangka
kami dapat menemukanmu lebih cepat dari apa yang
kami perkirakan. Andika-san... terimalah salam ka-
mi...." Andika yang memang jarang sekali berbasa-basi
cuma menggaruk-garuk kepalanya.
"Ceritakan mengapa kalian tiba di sini?" tanya Andika kemudian.
Hiedha Ogawa tak mau membuang waktu lagi. Dia
segera menceritakan semuanya. Juga disampaikannya
salam Saburo pada Andika.
"Saburo... ah, sahabatku.... Bagaimana kabar dia"
Apakah baik-baik saja?"
Hiedha mengangguk. "Ya! Dia dalam keadaan
baik-baik!"
Andika cuma tersenyum. Lalu diterangkannya apa
yang telah terjadi pada kelima nelayan yang masih hidup, yang sedikit banyaknya
mengerti. Lalu mereka
pun mengangkat dua teman mereka yang telah menja-
di mayat dan memapah tiga orang lainnya yang luka-
luka akibat serangan Ayothomori. Salah seorang dari mereka yang bertubuh tegap
dan bernama Indrajit,
memandang gusar pada Ayothomori yang balas me-
mandangnya dengan nafsu membunuh.
"Satu saat... kau akan mendapat ganjaran dari
tindakan keji yang telah kau lakukan," ancam Indrajit dalam hati. Lalu sambil
membopong mayat salah seorang temannya, dia menyusul keempat temannya yang
lain. Malam semakin datang. Sinar rembulan di ujung Sana berenang-renang di
lautan lepas. Ombak terus
berdebur dan udara kian dingin.
Dalam kesempatan itu, Hiedha Ogawa menguta-
rakan maksudnya untuk meminta bantuan Pendekar
Slebor menangkap Nomuro Shasuke. Andika sendiri
yang sebenarnya tidak suka melihat pandangan dan
perbuatan kejam yang dilakukan oleh Ayothomori cu-
ma menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak bisa berjanji banyak. Kendati demikian akan kucoba untuk membantu
kalian. Katakan padaku seperti apa ciri orang yang bernama Nomuro Sha-
suke?" "Lelaki itu bertampang bengis. Memiliki kepan-
daian tinggi. Wajahnya tak jauh berbeda dengan kebanyakan orang Jepang seperti
kami. Tetapi pada bahu kanannya terdapat rajahan matahari berwarna merah.
Satu hal lagi, dia sangat pandai menyamar," sahut Hiedha.
Andika cuma menganggukkan kepalanya saja. Di-
am-diam dia membatin, "Aku harus mengurus para nelayan itu. Kulihat tadi
pandangan pemuda yang bergerak paling akhir begitu mendendam. Tetapi siapapun
wajar bila mendendam, karena tindakan Ayothomori
sungguh di luar batas." Kemudian sambil pandangi ketiga samurai itu bergantian,
Andika berkata, "Kalau begitu... kita berpisah di sini!"
Habis kata-katanya pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu sudah berkelebat. Sepeninggalnya, Ayo-
thomori membuka mulut gusar, "Hiedha-san! Apakah
orang semacam itu yang kau harapkan bantuannya"
Tidakkah kau lihat sendiri sikapnya yang merasa lebih jago dari kita"!"
Hiedha Ogawa tidak segera menjawab. Masih di-
pandanginya sosok pemuda berpakaian hijau pupus
yang semakin lama menghilang dari pandangannya.
Menyadari pertanyaannya tak dijawab, Ayothomori
mengulanginya, kali ini lebih keras, "Percuma mengharapkan bantuan pemuda
seperti itu! Apa yang barusan diperlihatkannya kepada kita, sungguh menjengkel-
kan!" Hiedha Ogawa menyahut tanpa palingkan wajahnya, "Biar bagaimanapun juga,
kita membutuhkan bantuannya. Dan aku yakin, seorang pendekar memang tak pernah
mau membuat janji, tetapi di dalam
hatinya dia akan membantu tanpa diminta lagi."
"Menilik kata-katamu, kau nampaknya masih te-
tap mengharapkan bantuannya?"
"Ya! Paling tidak ilmu yang dimilikinya cukup
tinggi!" sahut Hiedha Ogawa sambil putar tubuh. Dipandanginya Ayothomori lekat-
lekat. Lalu terdengar
suaranya agak jengkel, "Bukankah kau sendiri tadi merasakannya" Dapat
dikalahkannya hanya beberapa
kali gebrak!"
Habis kata-katanya, Hiedha Ogawa melangkah
pada arah yang berlawanan dengan arah yang ditem-
puh Pendekar Slebor. Ayothomori yang hendak me-
nyahut, langsung rapatkan mulutnya. Lalu terdengar
rahangnya dikertakkan.
Dia melihat Mishima Nobu yang menggeleng-
gelengkan kepalanya. Seperti mendapatkan kawan
berbagi dia berkata, "Mishima! Aku belum menghadapinya dengan mempergunakan
jurus 'Menjerat Mata-
hari'!" Mishima Nobu cuma angkat kedua bahunya. Dan
tanpa bicara sepatah kata pun dia menyusul Hiedha
Ogawa. Di tempatnya, Ayothomori kepalkan tinju kanan
dan kirinya. "Keparat! Manusia-manusia keparat! Akan kutun-
jukkan pada kalian, siapa Ayothomori sebenarnya!"
Habis bersuara begitu, lelaki bertubuh jangkung
ini segera menyusul Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu.
*** Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan seta-
pak yang jauh dari pesisir pantai itu, satu sosok tubuh berpakaian merah
gombrang dengan pakaian luar seperti rompi berwarna kuning, hentikan
kelebatannya. Sepasang mata orang ini sipit dengan alis tipis. Rambutnya digelung ke atas,
agak menampakkan lebar ke-
ningnya. Bibirnya yang agak memerah, tipis dan seper-ti membentuk garis lurus,
merapat dalam. Di ping-
gangnya melilit kain berwarna putih dengan celana hitam gombrang. Di tangan
kirinya tergenggam sebilah
samurai. Kejap kemudian dia keluarkan dengusan, menyu-
sul suaranya yang terdengar berat dan kaku, "Jahanam! Bila saja aku dapat
bertindak lebih cermat, sudah tentu Kaisar Tokugawa Iesyasumoto akan mam-
pus di ujung samuraiku! Dua kali aku melakukan
pemberontakan tetapi gagal! Bahkan yang ketiga, di
saat aku turun tangan sendiri pun gagal! Benar-benar dia memiliki nyawa
rangkap!" Orang yang tak lain Nomuro Shasuke ini kembali
terdiam. Matanya kian menyipit saat pandangannya
mengarah pada segenap penjuru. Di kanan kirinya di-
penuhi jajaran pepohonan dan ranggasan semak belu-
kar. "Huh! Biar bagaimanapun juga, aku menginginkan tampuk Kekaisaran! Akulah orang
yang pantas me-mimpin Kekaisaran! Bukan tikus busuk seperti Toku-
gawa Iesyasumoto!"
Wajah lelaki ini kian menegang. Sepasang ma-
tanya makin bertambah menyipit.
"Tak ada jalan lain.... Satu-satunya cara untuk kembali ke Jepang adalah dengan
memupuk segala rencana dan melatih diri. Aku yakin, Kaisar tak akan tinggal diam. Dia tentunya
telah mengutus orang-orangnya untuk mengejarku. Hhh! Tanah Jawa begitu
luas... tak akan mudah mereka menemukanku! Apala-
gi aku yakin, orang-orang utusannya tak pernah da-
tang ke tanah Jawa! Tak seperti yang pernah kulaku-
kan sepuluh tahun lalu di saat aku melarikan diri dari tugas untuk mengatasi
pemberontakan penguasa Owa-ri.... Tak seorang pun yang tahu kalau aku sesung-
guhnya pergi ke tanah Jawa dan kembali lagi dalam suasana tenang...."
Dari wajahnya yang tegang diselingi nada-nada
amarah, kali ini wajah lelaki berkulit kuning ini nampak agak tenang. Namun
kebengisannya semakin
nampak. Sepasang alis tipisnya yang menukik ke ba-
wah seolah bertemu di pangkal hidung, menandakan
betapa kejamnya orang ini.
"Dewi Permata Biru... hmmm, padanyalah aku
akan meminta bantuan...," desisnya lagi. "Tetapi... di manakah aku bisa
menemukan perempuan yang sepuluh tahun lalu pernah berjumpa denganku di tanah
Jawa ini" Sungguh bukan suatu urusan yang mudah."
Sesaat lelaki yang gagal membunuh Kaisar Toku-
gawa Iesyasumoto ini terdiam, sebelum mendadak saja memegang perutnya yang
terasa lapar. "Bila aku berada di sini terus, sudah tentu aku tak akan bisa menemukan Dewi
Permata Biru! Tetapi
pertama-tama... aku harus cari makan dulu!"
Memutuskan demikian, lelaki bengis ini segera
bergerak lagi. Caranya berlari sungguh unik. Tubuh-
nya agak miring ke kanan seolah menepiskan angin,
sementara kedua kakinya bergerak seperti berjingkat.
Dan dia begitu cepat berlari.
Tepat rembulan di tengah-tengah kepala, sepa-


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang kaki Nomuro Shasuke memasuki dusun Bojong
Tunggal. Sebuah dusun yang bila pagi dan siang hari sangat ramai, namun pada
malam hari begitu sunyi.
Di setiap rumah terdapat lampu sentir yang cukup
menerangi bagian depan rumah. Kendati demikian ja-
lan di dusun itu agak sedikit gelap. Namun bagi mata Nomuro Shasuke yang
terlatih, hal itu tidak membuatnya menjadi kelimpungan.
"Hmmm... kedatanganku ke sini tak boleh diketahui orang. Kukhawatirkan utusan
Kaisar akan tiba di sini, maka secara tak langsung jejakku akan tercium.
Kalau begitu, aku akan menyelinap mencari makan."
Dengan gerakan yang sangat cepat, lelaki berpa-
kaian merah ini menyelinap ke dinding sebuah rumah
yang paling ujung. Dinding yang terbuat dari bilik itu, dapat diterobos oleh
pandangannya. Dilihatnya dua
sosok tubuh sedang terlelap. Dan di antara dua sosok tubuh itu terdapat seorang
bayi lelaki yang nampak
begitu tenang tidurnya.
"Aku yakin... mereka mempunyai makanan...," desisnya.
Lalu perlahan-lahan Namuro melangkah ke bela-
kang rumah itu. Pintu rumah hanya dikunci dengan
sebuah kayu yang terkait di kanan kiri. Dengan pergunakan samurainya, Nomuro
berhasil merobek pintu
yang juga terbuat dari bilik. Lalu dimasukkan tangannya dan diangkat palang
pintu itu. Dengan hati-hati dia menutupnya kembali. Sejenak
lelaki ini memperhatikan sekelilingnya. Diperiksanya dulu pemilik rumah itu yang
masih terlelap sebelum
memeriksa ruangan yang paling dekat dengannya. Be-
gitu dia mendapatkan makanan, lelaki ini segera mela-hapnya kendati sejenak agak
terheran-heran dengan
rasa makanan yang didapatnya.
Selagi Nomuro Shasuke asyik melahap makanan
yang didapatnya, pemilik rumah itu terbangun karena hendak membuang air. Lelaki
bertubuh tegap yang berusia kira-kira dua puluh lima tahun ini, merapikan kain
sarungnya. Tanpa rasa curiga, dia melangkah ke belakang.
Langkahnya langsung terhenti tatkala melihat satu
sosok tubuh yang membelakanginya. Seketika itu pula dia membentak, "Heiii! Siapa
kau"!"
Nomuro Shasuke terhenyak. Cepat dia putar tu-
buhnya. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat pula, samurainya telah dicabut dan
digerakkan melintang ke arah perut.
Crasss! Tanpa sempat menghindar maupun berteriak lagi,
tubuh si pemilik rumah langsung rubuh dengan darah
membuyar. Rupanya keributan singkat itu memancing
perhatian istrinya. Dari dalam kamar, perempuan yang berparas jelita ini
berseru, "Kang Pandi! Kang! Ada apa"!"
Dan dia menjerit tertahan tatkala satu sosok tubuh
telah berdiri di hadapannya. Di tangan lelaki yang
muncul itu terdapat samurai yang di ujungnya ber-
simbah darah. Sadar kalau bahaya maut siap mengan-
camnya, perempuan itu buru-buru bangkit dan ber-
siap melarikan diri.
Akan tetapi, dengan satu lompatan saja, ujung sa-
murai Nomuro Shasuke telah merobek punggung si pe-
rempuan yang langsung terbanting ke tanah. Lalu
dengan kejamnya, lelaki bengis ini membunuh bayi
yang baru berusia lima bulan.
Begitu selesai menghabisi seisi penghuni rumah,
Nomuro Shasuke bermaksud untuk meninggalkan
tempat itu. Tatkala dia tiba di luar, dilihatnya obor-obor telah menyala. Obor-
obor yang dipegang oleh beberapa lelaki.
Rupanya keributan di rumah Pandi itu terdengar
oleh tetangga sebelah yang segera terbangun untuk
melihat. Bersamaan lelaki itu keluar, lima orang pe-ronda tepat melewati jalan
itu. Maka bersama-sama
mereka mendatangi rumah Pandi, tepat di saat Nomu-
ro Shasuke membuka pintu.
Nomuro Shasuke keluarkan makian dalam bahasa
Jepang. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang ke depan. Samurainya
disabetkan dengan cara mengayun, melintang, bahkan dari bawah ke atas.
Tiga orang langsung ambruk dengan bersimbah da-
rah. Tiga orang lainnya mencoba mengurung Nomuro
yang memandang tanpa kedip.
"Benar-benar celaka! Mereka bisa mengenaliku!
Dan bukan itu saja, penduduk yang lain bisa terban-
gun! Aku harus cepat bergerak!"
Sebelum Nomuro Shasuke menjalankan niat, apa
yang dikhawatirkannya terjadi. Karena mendadak saja puluhan orang telah muncul
dengan membawa obor.
Suasana desa yang hening kini menjadi begitu ramai.
Tanpa bertanya lagi, orang-orang yang berdatangan itu tahu apa yang terjadi,
begitu melihat mayat tiga orang teman mereka dan orang asing yang memegang
samurai bersimbah darah. Mereka langsung mengurung
Nomuro yang nampak sedikit panik. Persis seekor ti-
kus yang masuk perangkap kucing.
"Sial! Nasibku sungguh sial!" maki Nomuro dalam hati. Dia berputar-putar dengan
ujung samurai siap
diayunkan. Begitu tiga orang merangsek maju dengan parang di tangan, segera saja
dengan teriakan meng-guntur, lelaki bengis ini segera mengayunkan samu-
rainya. Dua orang mengalami nasib naas, langsung am-
bruk dengan perut robek. Melihat keadaan itu, yang
lainnya serentak merangsek maju. Parang-parang
mengayun ke arah Nomuro yang segera menangkis.
Traanggg! Lalu dengan gerakan yang sangat terlatih dia me-
nyabetkan samurainya berulang kali dengan gerakan
mundur maju dan mata yang berkesiuran cepat.
Tetapi para penduduk dusun itu semakin menjadi
nekat. Mereka terus menyerang dengan disertai teriakan-teriakan keras. Nomuro
sendiri kendati memiliki ilmu samurai yang tinggi namun memiliki tenaga yang
terbatas. Tak mungkin dia bisa andalkan kecepatan-nya bila tenaganya telah
terkuras. Memikirkan soal itu, lelaki kejam ini mencoba
mencari kesempatan untuk lolos. Akan tetapi jelas tidak mudah. Para penduduk
sudah tentu tak akan
membiarkannya lolos. Mereka terus mengepung dan
semakin lama semakin dekat sambil ayunkan senjata
di tangan. Sebisanya Nomuro Shasuke mempertahankan se-
lembar nyawanya. Suara senjata yang beradu semakin
keras terdengar. Kaki kanan Nomuro sendiri telah ter-sabet parang salah seorang
penduduk. Kendati demi-
kian, dia masih ngotot untuk mempertahankan diri
meskipun lambat laun disadarinya kalau nyawanya
akan putus malam ini juga.
Dalam keadaan yang sangat kritis bagi lelaki kejam
itu, mendadak saja menghampar satu gelombang an-
gin dari belakang. Menghantam para penduduk yang
siap merejam tubuh Nomuro.
Saat itu pula sebagian penduduk yang sedang
mengurung Nomuro, berpentalan jauh dengan suara
pekikan. Beberapa orang muntah darah sebelum am-
bruk. Belum lagi yang lainnya menyadari apa yang telah terjadi, satu gelombang
angin lainnya yang keluarkan suara menggemuruh sudah menggebrak.
"Menghindar!" salah seorang berseru.
Tetapi terlambat, karena gelombang angin itu telah
mendekat. Tanpa ampun lagi sisa para penduduk itu
berjumpalitan ke belakang dilabrak gelombang angin
yang keras. Nomuro Shasuke sendiri merasa kaget
dengan apa yang terjadi. Sebelum dia sadar sepenuh-
nya, mendadak saja satu sosok tubuh yang keluarkan
aroma harum telah menyambarnya. Lalu dengan gerak
yang sangat cepat melompat ke atap rumah dan berke-
lebat dari satu atap ke atap lain sebelum akhirnya
menghilang. Sebagian penduduk hanya melihat kalau orang
yang menyelamatkan orang asing itu, di keningnya
terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru!
*** 4 Pendekar Slebor yang tiba di dusun Bojong Tung-
gal dua hari kemudian hanya kertakkan rahangnya
mendengar cerita para penduduk. Diam-diam dia
mendesis dalam hati, "Ciri-ciri yang dikatakan, jelas mengarah pada Nomuro
Shasuke. Kutu monyet! Sampai ke mana pun akan kukejar manusia celaka itu!"
Lalu pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini
pun berpamitan. Dari salah seorang penduduk dia
mendapatkan petunjuk kalau pembunuh yang disela-
matkan oleh seseorang yang di keningnya terdapat sebuah benda yang pancarkan
sinar biru, bergerak ke
arah timur. Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang
kesohor, Andika terus berkelebat. Wajah tampannya
tertekuk dalam-dalam mengingat betapa telengasnya
pembunuh dari Jepang itu.
"Huh! Dua kali aku mengalami pengalaman jelek!
Pertama dari tiga samurai yang baru mendarat di Pesisir Laut Jawa! Salah seorang
dari mereka lelah menurunkan tangan telengas! Kedua, pemberontak dan
pembunuh yang sedang dicari mereka! Tetapi menilik
kekejaman yang terjadi, apa bedanya antara Ayotho-
mori dengan Nomuro Shasuke?"
Pemuda dari Lembah Kutukan ini terus berkelebat
tanpa sekali pan berhenti. Akar yang menyembul ke-
luar dan ranggasan semak belukar dilompatinya den-
gan gerakan ringan.
"Datang ke tanah leluhurku bukannya membawa
persahabatan, tetapi justru menumpahkan darah! Be-
nar-benar manusia celaka!"
Di sebuah tempat yang agak luas dan dipenuhi
dengan pepohonan dan ranggasan semak setinggi da-
da, pemuda tampan yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini hentikan
larinya. Nafasnya agak terengah sedikit. Setelah diatur, nafasnya kembali
normal. Kejap kemudian terdengar suaranya, "Kadal bu-
duk! Akan kujitak kepalanya sampai benjol kalau berhasil kutemukan! Benar-benar
manusia...."
"Huh! Bicara sembarangan! Siapa orang yang kau maksud hendak kau jitak sampai
benjol, hah"!" satu suara dari atas pohon memutus kata-katanya.
Serta-merta Andika segera angkat kepalanya. Dili-
hatnya seorang gadis berambut tergerai panjang se-
dang duduk beruncang kaki di sebuah dahan yang ke-
cil. Dari caranya duduk, terlihat kalau si gadis memiliki ilmu peringan tubuh.
Pandangannya agak tajam pa-
da Andika. Kalau tadi pemuda berpakaian hijau pupus ini
ngomel-ngomel sendiri, kali ini cengar-cengir.
"Eh! Lagi apa, Non" Nungguin monyet kawin?" selorohnya.
Sepasang mata si gadis makin melotot. Lalu den-
gan ringannya dia melompat turun dan berdiri berjarak lima langkah dari hadapan
Andika. Langsung berkacak pinggang.
Dari jarak yang cukup dekat itu, Andika bisa me-
lihat betapa cantiknya wajah si gadis. Berbentuk bulat telur dengan kulit kuning
langsat. Hidungnya mancung dengan bibir memerah. Alisnya hitam legam. Pa-
da rambutnya yang indah, terdapat ronce bunga melati dengan sebuah tusuk konde.
Bila saja sepasang matanya tidak sedang melotot, sungguh sangat indah bola
matanya itu. "Enaknya ngomong! Kau sedang ngapain bicara
ingin bikin benjol kepala orang, hah"! Yang berada di sini cuma kau dan aku!
Kalau kau ingin bikin benjol kepalaku, jelas akan kuhajar! Huh! Paling-paling
yang akan kau jitak kepalamu sendiri!"
"Busyet! Mulutnya nyinyir betul" Siapa gadis berpakaian biru menyala dengan ikat
pinggang putih ini?"
tanya Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia berkata, "Sudah tentu tak
mungkin kujitak kepalaku sendiri sampai benjol! Ya... kalau kau tidak mau
kujitak sampai benjol, ya tidak apa-apa! Toh memang bukan
kau yang ingin kubikin benjol! Eh! Aku masih ada
urusan nih! Maklum... orang penting memang suka si-
buk! Sudah ya" Sampai jumpa kapan-kapan!"
Lalu dengan sikap santai, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera melangkah. Na-
mun baru tiga langkah, si gadis sudah keluarkan bentakan, "Meninggalkan lawan
bicara seenak jidat sungguh perbuatan tidak sopan! Kau patut dihajar!"
Habis seruannya, mendadak saja si gadis gerak-
kan tangan kanannya ke arah Andika. Segera saja
menghampar angin yang keluarkan hawa panas.
Merasakan ada deru angin ke arahnya, Andika
cuma putar tubuh setengah lingkaran.
Wuuuttt! Hamparan angin yang dilepaskan si gadis lolos da-
ri sasarannya dan melabrak sebatang pohon yang se-
bagian dedaunannya langsung berguguran.
Diserang seperti itu Andika menjadi jengkel juga.
"Apa-apaan ini" Kenal juga tidak, main serang begitu saja! Kalau kena bagaimana,
hah"!"
"Ya, kau kesakitan!" sahut si gadis sambil lipat kedua tangannya di depan dada.
"Brengsek! Bicaramu kok enak betul! Siapa sih
kau sebenarnya?" sungut Andika jengkel.
Gadis yang di rambutnya terdapat ronce bunga
melati ini, menyahut ketus, "Katakan dulu siapa namamu... maka akan kukatakan
siapa namaku!"
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Karena dia sudah jengkel, makanya dia menjawab asal saja, "Namaku Paradita! Nah,
siapa namamu"!"
Sejenak gadis di hadapannya terdiam. Kemudian
berkata, "Namaku Widarti."
"Nah! Kalau masing-masing sudah sebutkan na-
ma, ada urusan apa lagi?"
"Ada yang hendak kutanyakan padamu...,"
"Aku bukan tempat yang tepat untuk bertanya!
Tetapi ya... kalau kau tanyakan apakah aku ganteng
atau tidak, sudah tentu kujawab aku paling ganteng
sedunia" "Ya, di antara yang jelek!" sahut Widarti sambil
memonyongkan mulutnya.
Andika mendengus. "Bisa juga dia ngomong!" katanya dalam hati. Lalu berkata,
"Apa yang hendak kau tanyakan?"
"Ada dua pertanyaanku! Pertama... tahukah kau
di mana perempuan berjuluk Dewi Permata Biru bera-


Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da?" Kali ini Andika kerutkan keningnya dan membatin, "Dewi Permata Biru" Rasa-
rasanya... baru kali ini kudengar julukan itu. Siapa dia sebenarnya" Dan mau apa
gadis ini bertanya soal perempuan berjuluk Dewi Permata Biru?"
"Hei, kau tahu tidak"!" seru Widarti tiba-tiba. "Kalau tidak tahu, jangan
berlagak tahu! Huh! Kayak
kambing ompong!"
Andika cuma nyengir saja. Lalu menggelengkan
kepalanya. "Kalau aku menggeleng, apakah kau mengaku aku orang yang paling
ganteng?" "Keblinger! Pertanyaanku kedua...," tahu-tahu si gadis memutus kata-katanya
sendiri. Lalu dengan
pandangan melecehkan dia berkata, "Hmmm... sudah pasti kau tidak tahu juga! Huh!
Percuma saja!"
"Kalau sudah tahu percuma, mengapa masih me-
maksa?" balas Andika.
"Ya sudah! Kalau kau mau pergi, pergi saja sana!"
"Itu juga lebih baik ketimbang kepalaku jadi pusing!" "Huh! Bicara sembarangan!"
Andika tertawa pelan. "Coba kau ceritakan pada-ku, mengapa kau mencari Dewi
Permata Biru?"
"Buat apa?"
"Ya... barangkali saja bila aku bertemu dengannya, akan kukatakan kau
mencarinya!"
Di luar dugaan Andika, justru si gadis memben-
tak, "Aku ingin membunuhnya bila bertemu dengan
perempuan celaka itu!"
Kali ini Andika benar-benar kerutkan keningnya.
Pandangannya lurus pada Widarti yang mendadak
menjadi tegang.
"Ada sesuatu yang telah terjadi," duga Andika. La-lu berkata, "Ceritakan
padaku... apa yang telah terjadi?" Widarti tak segera menjawab. Nafasnya
mendadak memburu. Lalu dengan kedua tinju dikepalkan kuat-kuat, gadis ini
Suling Emas Dan Naga Siluman 21 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Rahasia Surat Berdarah 3
^