Pencarian

Pendekar Wanita Tanah Buangan 1

Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan Bagian 1


PENDEKAR WANITA TANAH BUANGAN
oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor dalam episode
Pendekar Wanita Tanah Buangan
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari kehidupan manusia. Sulit
dicapai, karena dibentengi pegunungan karang terjal di sebelah utara yang
membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan belantara berlumpur pasir
yang dalam, dari selatan hingga timur.
Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya
binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati untuk dijadikan tempat
tinggal. Meski begitu, tetap saja ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun
sejak dua puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya menempati.
Semenjak mulai membangun kehidupan di sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah
Buangan. Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini tampak sedang berlatih
ilmu olah kanuragan. Matahari telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya
dedaunan hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar, dan menerangi
semacam karang datar c ukup luas tempat mereka berlatih.
Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan
cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas lutut. Tubuhnya yang sintal
kuning langsat, terbungkus pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum
semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung bangir. Di atas bibirnya
yang merah merekah, terdapat tahi lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya.
Kendati demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit
judes.Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat penuh gelora di bawah
siraman sinar mentari hangat, seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak
begitu jauh. Walaupun asianya sudah tujuh puluhan, tapi wajahnya masih tergolong
muda. Kalau diperhatikan, mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga
puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama-
sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya pada sinar mata. Wanitayang
lebih tua tampak lebih tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping
mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah dengan sabuk kain pada bagian
pinggang. Rambut yang hitam digelung tanggung di bawah leher. "Hiaaa!"
Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang.
Begitu menggebu seakan siap mcrobek langit. Di bawah pcngawasan wanita tua
sckaligus guru tunggalnya yang duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu
menusuk udara dengan senjata di tangan kanan. Sekejap itu pula tercipta desis
keras mcmbahana, pertanda kalau tenaga dalam gadis ini sudah mencapai tingkat
tinggi. Angin pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding cadas.
Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan.
membentuk lobang besar yang dalam.
Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil angin pukulan perempuan muda
yang tampak lemah
gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang hanya berupa busur
kayu. Tampak rapuh, namun bisa begitu berbahaya di tangannya.
"Cukup, Anakku!" seru wanita tua itu. yang ter-nyata ibu dari Anggraini. Dan di
dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Kupu-kupu Merah. "Kulihat pukulan
'Kekuatan Kembar'-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal mencari tahu, apakah
inti pukulanmu sudah sempurna pula."Kupu-kupu Merah segera bangkit dari
bersilanya. Lalu dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat wanita
awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati-hati, tangan kanannya
dijulurkan ke bagian dalam lobang.
Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat.
Sepcrtinya dia baru saja mcrasakan sengatan halilinlar.
Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini, "Anggraini!
Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu pukulan itu, Anakku!" seru
perempuan tua itu, girang.
Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan
tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri.
"Apa kau tak mendengarku" Kau berhasil, Anakku!
Berhasil!"
Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah
Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih terpana dengan
rangkulan kelewat hangat. Sehingga menyebabkan tubuh Anggraini sedikit
terguncang-guncang.
"Ibu tak sedang menghiburku,
bukan?" tanya
Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya barusan.
Tingkat puncak ilmu pukulan 'Kekuatan Kem-bar'
memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin didapatkan oleh seorang wanita
seperti Anggraini. Bahkan ibunya sendiri sebagai guru tung-galnya tak bisa
mencapai taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya kalau kini
ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah berhasil diraihnya"
"Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu memang tcrjadi. Selama
beberapa keturunan, tak pernah ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu.
Baik diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru yang menciptakan
ilmu pukulan itu...," papar Kupu-kupu Merah bangga tanpa mclepaskan rangkulan.
"Tapi, Bu...," Anggraini coba membantah.
"Tak ada lapi-tapian! Kau telah berhasil, Anakku! Aku patut bangga padamu. Juga
kakekmu, ya juga buyut guru,"
sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini, untuk meninggalkan tempat
ini. "Kita harus merayakan keberhasilan ini!" tambahnya sambil mencubit pipi
Angraini yang bersemu merah.
Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang menjadi korban pukulan
pamungkas Anggraini tadi
mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan-bongkahan batu mulai
berhamburan ja-iuh. Lalu retakan-retakan besar tercipta, menyus ul sebuah suara
desisan amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung menjadi satu,
mengiringi merekahnya bagian datar bukit
karang di dekat lobang pukulan Anggraini
*** "Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan
'Kekuatan Kembar'. Anggraini," kata Kupu-kupu Merah membuka percakapan ketika
mereka sudah berada dalam gubuk.
"Apa, Bu?" tanya Anggraini meminta jawaban.
Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam, seperti mengingat-ingat
sesuatu yang terkubur begitu lama dalam benaknya.
"Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu pernah menyebutkan satu pesan yang
datang secara turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu memiliki
suatu 'kelebihan yang tak pernah terbayangkan oleh pemiliknya' jika sudah
mencapai taraf puncak. Karena kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah
sepantasnya kau mengetahui," papar Kupu-kupu Merah.
"Kelebihan apa kira-kira, Bu?"
Kupu-kupu Merah menggeleng.
"Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga,"
jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya. "Tapi kau akan segera
mengetahuinya nanti. Bersabarlah...."
Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Di-
hampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya sebuah peti kecil yang
terkunci rapat.
"Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu tentang suatu hal," ujar wanita
tua ini seraya membawa peti tadi ke dekat Anggraini.
Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan Anggraini yang tetap duduk
bersimpuh. Lalu dengan sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu.
Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti di
dalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak berbentuk
kepala rajawali. Kupu-kupu Merah mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di
pangkuan Anggraini.
"Apa maksud Ibu dengan semua ini?" tanya Anggraini agak terdengar lirih.
Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud
ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar mengungkap ketidak
setujuannya. "Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu, Anakku...."
"Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda ini?" selak Anggraini,
menyampaikan dugaan kuatnya.
Kupu-kupu Merah mengangguk Iamat. Sebenarnya
bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu.
Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa dihindari setiap
orang. Sudah waktunya bagi Anggraini untuk merambah dunia persilatan,
mengamalkan seluruh kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang
banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan terba-ik bagi anak
tunggalnya. "Aku tak mau berpisah dari Ibu," gumam Anggraini berat.
"Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah dari orang-orang yang
dicintai" Aku pun sesungguhnya berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau
harus menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di tempat terpencil ini.
Banyak hal menunggumu di luar sana.
Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak pengalaman yang akan
memperkaya dirimu agar kau bisa memahami apa arti hidup ini."
Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi trenyuh. Dengan penuh kasih,
dirangkulnya gadis ini erat-erat. "Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku,
Anakku. Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya karena aku tak ada...," tutur
wanita tua itu arif.
"Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya takut tidak akan bertemu lagi
denganmu...," keluh Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil.
"Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis rapuh. Kau tak mau mengecewakan
ibumu, bukan?"
Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu
Merah. "Nah! Kalau begitu, tegakkan kepala dan man-tapkan tekad. Kau harus jadi gadis
berjiwa karang!" ujar sang ibu memberi kekuatan seraya melepas pelukan.
Sementara Anggraini menyeka air mata yang
melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam menunggu. Setelah itu, dia
mulai berbicara kembali.
"Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu.
Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan"
Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda-benda ini, carilah keterangan
tentang ayahmu di luar sana.
Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah dengan hati lapang...."
"Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang ayah padaku?" cetus Anggraini.
"Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan lahu, kenapa aku berkata
seperti itu. Hanya, aku hanya bisa mengatakan kalau ayahmu sangat sayang
padamu...,"
lanjut Kupu-kupu
Merah dengan s uara melemah. Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan Anggraini. "Bawalah benda ini.
Sekali lagi kukatakan.
dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu."
Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya
dengan garis-garis bening di mata.
*** Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu
telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa latihan bersama sang
ibu. Untuk yang terakhir kalinya, dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan
bertahun-tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan.
Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah
menjadi bagian dari dirinya sendiri.
Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri
dataran cadas yang membentang di balik bongkahan karang raksasa. Ketika tiba di
pelataran latihan alam itu, Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut
dalam keadaan porak poranda. Ba-tu-batu besar berserakan tak menentu. Dinding
cadas dilantak retakan-retakan besar.
"Mungkinkah ada gempa?" bisik gadis itu.
Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin
menciptakan lobang seperti galian sumur dengan ga-ris lingkaran yang begitu
bulat, seperti dilihatnya pada pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding
cadas yang terkena pukulannya beberapa hari lalu.
"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Anggraini kembali.
Saat selanjutnya, naluri gadis ini mcmperingati.
Bahaya besar akan dalang! Sekilas dari peringatan nalurinya, terdengar sebentuk
desisan mengerikan yang demikian santer....
"Zzz...!"
Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya berbalik ke arah suara tadi.
Matanya tiba-tiba mcmbesar, bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat
manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu yang 'tak pernah
terbayangkan!. *** Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan
mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam benak. Persis keadaan
Anggraini saat ini.
Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular raksasa! Besar tubuhnya dua
kali ukuran kerbau dewasa.
Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak! Sisiknya kasar bagai serpihan
karang, berwarna hitam keperakan serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya
saja bebas dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas, kepala ular
raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada bagian telinganya terdapat sebentuk
sirip tajam. Mulutnya
pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah tua.
Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat hendak melepas anaknya dua
hari lalu, bahwa pencapaian tingkat pamungkas ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'
yang dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak pernah terbayangkan!
Ular raksasa itu memang muncul, karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan
milik Anggraini.
Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia
ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah mengusik tidurnya dalam perut
bumi setelah seratus lima puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini
menciptakan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar', si ular raksasa pun tiba-tiba muncul
di luar perhitungannya.
Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu terkejut, buyut Anggraini
melepas pukulan ciptaannya ke tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi,
terjadilah pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda.
Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan.
Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki sakti buyut Anggraini.
Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang kembali ke dalam perut
bumi. Bersemadi kembali seperti seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggup mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan
'Kekuatan Kembar' yang sampai padanya jauh di bawah bumi.Jika begitu, mungkin si
ular raksasa akan segera jinak pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu
pukulan 'Kekuatan Kembar' seperti buyut gurunya. Kemungkinan lain pun bisa saja terjadi.
Biar bagaimanapun, hewan tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka,
sehingga mampu membedakan sang tuan atau bukan.
Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai merayap menuju Anggraini.
Gesekan kulitnya yang tebal dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras.
Mulut bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya terjulur keluar seperti
hendak langsung menyambar tubuh Anggraini, lalu menyeretnya mas uk ke dalam
mulut sebesar goa itu.
"Zzz! Zzz...!"
"Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?" gumam Anggraini nyaris mendesis karena begitu
bergidik. Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kalau tidak ingin
menjadi sasaran empuk si ular raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang
dengan ganas. Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk.
Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar,
memperlihatkan rongganya yang berlendir.
Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke udara. Tindakan itu cukup
mampu menyelamatkan dirinya.
Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian jengkal di bawah kakinya.
Luputnya serangan pertama. kembali datang se-
rangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan ekornya pun menyabel deras
kedepan. menyerbu tubuh Anggraini di udara.
Wuk! "Aaaih!"
Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah
lumbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi, Anggraini membuat
putaran darurat dengan menggulung tubuhnya.
Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini dapat dilumpuhkan. Untuk
kali ini, Anggraini tak puas hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus
membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu, hanya ada dua pilihan
bagi gadis itu. Membunuh atau dibunuh!
"Hiaaa!"
Srat-wut! Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak
tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan.
Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang kepala si ular raksasa.
Prak! Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa
telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau
tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga dalam, nyatanya si ular
raksasa tak mengalami akibat yang berarti.
Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu membalikkan kepalanya ke arah
Anggraini. Seolah-olah pukulan tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya.
Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali gadis dari Tanah Buangan.
"Tuhan....
Apakah aku benar-benar mampu menghadapi binatang mengerikan ini?" keluh Anggraini, setelah mencoba membuat
jarak yang cukup aman dari lawan anehnya.
Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu mulai lagi mematuk deras.
Karena begitu besar,
patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian kalinya, Anggraini berkelit
jauh-jauh. Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya dilandasi kemarahan ular
raksasa atas tindakan Anggraini yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan
begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda.
Akibatnya, angin deras yang tercipta pun kian besar.
Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala, tak urung angin hasil
gerakan buas si ular raksasa menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat
kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan itu melepas lecutan
secepat kilat. Wuk! Des! Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang, seperti sebongkah batu yang
dilemparkan sepenuh tenaga!
Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga tubuhnya akan remuk-
redam. Atau, paling tidak akan
kehilangan kesadarannya.
Untunglah hal itu tidak terjadi. Meski dengan dada terasa dihantam godam ratusan
kali, gadis putri lunggal Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran
tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding karang. Setelah
menahan luncuran tubuh dengan kakinya, Anggraini mendarat agak payah. Sebelah
tangannya memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya, mengalir cairan
merah. Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan
dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang langka itu. Pandangannya
mengabur. Namun di balik itu, seberkas pijar kegusaran mulai terbetik.
" Jangan senang dulu, Binatang Laknat! Kau pikir aku akan mudah dilumat!" geram
Anggraini bersama rahang yang mengejang.
Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri gadis itu kembali.
Lidahnya menjulur-julur bagaikan mengejek. Mata merahnya mencorong penuh
ancaman. Sambil mendesis mengguntur, taring besar-nya diperlihatkan. "Kau rasakan ini!" rutuk Anggraini.
Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini
meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya.
Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan, segera diacungkan ke muka.
Senjata itu pun meregang, siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke
kepala si ular raksasa. Srat!
Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu
deras meluncur ke arah sasaran.... Tak!
Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak
percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata baja itu ternyata seperti
terhadang tembok kuku tak tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua! Entah
terbuat dari apa kulit kepala binatang itu....
Disertai rasa penasaran membludak,
Anggraini meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung-
tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada beberapa bagian tubuh si
hewan raksasa. Mungkin ada bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit
rapuh.Srat! Siing... Tak-tak-tak!
"Astaga! Betul-betul gila!" seru Anggraini, begitu mengetahui kalau tiga batang
anak panahnya mengalami nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia
sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang diperkirakan lemah!
Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu untuk melepas anak panah
selanjutnya, sebelum ular raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua
anak panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar sasarannya akan
membawa hasil. Yang akan ditujunya sepasang mata merah darah milik si ular
raksasa. Srat! Si ing...!
Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat cepat nyaris mencapai biji
matanya, si ular raksasa tiba-tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh
sebuah kemampuan tempur yang s ulit dipercaya, bisa dilakukan oleh semacam hewan
seperti itu. Seakan-akan makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang
pendekar tangguh.
Bet! Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat dua batang anak panah
bermata perak itu. Secepat kilat, lidah lenturnya menghempas balik ke arah
Anggraini. Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri.
Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, ten-tu sepasang anak panahnya akan
menyantap tubuh sendiri.
Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak bisa melepaskan diri
dari keterkejutan atas tindakan ular aneh ini tak biasanya.
"Benar-benar sulit dipercaya," gumam gadis itu dengan wajah sedikit terlipat.
Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus
sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa yang semakin
kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk
hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris nyali. Karena berkali-kali
gadis itu bisa menyelamatkan diri, maka bukit karang di sekitar pertempuran yang
menjadi sasaran.
Bongkahan-bongkahan
batu terus berguguran. Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum terjadi pertarungan.
Butiran-butiran yang lebih kecil berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian
porak-poranda. Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan bela diri. Tubuhnya tentu akan
cepat kelelahan, jika terus diburu seperti itu. Makanya, kini mulai
dikerahkannya ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' pada kedua tangannya. Suatu ketika,
tangan kanan-nya mendapat kesempatan untuk mendaratkan pukulan tingkat kelima,
setengah dari kemampuan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'. Yang
menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini.
Dugh! Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur.
Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda mengalami
siksaan rasa sakit. Ketika tubuhnya menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng liar dengan cepat.
Anggraini yakin, pukulannya akan segera membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang itu akan terluka
dalam dengan tulang moncong remuk redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu
pasti tidak sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas sekeras apa
pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya.
Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular raksasa.
Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata tidak mengalami luka
berarti. Dengan amat gusar, kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya
terlihat mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil
dengan kemarahan berkobar.
"Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak membuatnya terkapar!" desis
Anggraini takjub, sekaligus bingung. Bagaimana tidak bingung kalau ilmu
andalannya yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup melumpuhkan
lawan" Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya habis-habisan, Anggraini tak
punya pilihan lain. Satu-satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu
pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan
pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu dikerahkan. Sebuah pukulan
yang mengandung dua
kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan sanggup melantakkan karang
men?jadi debu, sedangkan kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena
panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun memiliki kekuatan
untuk menyebar sampai jarak tertentu, seperti kobaran api yang menyambar ke
mana-mana, me-mangsa apa saja.
"Zzz! Zzz!"
"Haaah... hsssh!"
Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa,
Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua ta-
ngannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka.
Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut menganga, tepat ketika gadis
dari Tanah Buangan itu melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya.
Weeesss! Das! "Bgrrrzzz!"
Terjangan si ular raksasa langsung terhadang di
tengah jalan. Kepalanya memantul ke belakang, diterjang pukulan pamungkas jarak
jauh lawan kecil-nya. Sehimpun rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir
kontan mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar biasa akibat hantaman
di pelipis-nya, seakan membelah tengkoraknya dari dalam.
Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit
karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu sebesar kerbau melayang ke
segala arah tersampok gerak tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang
seakan hendak membuat lobang raksasa.
Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung, Anggraini memperhatikan amukan
sang hewan raksasa dengan mata menyipit-nyipit ngeri.
Lama hal itu berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak lagi. Getaran hebat
pun Ienyap ditelan bumi. Batu besar tak lagi terlempar. Dan suasana pun senyap.
Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang
tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati.
Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular raksasa masih hidup. Denyut
di satu bagian tubuhnya jelas terlihat, walaupun sudah lemah.
Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular raksasa mulai beringsut
perlahan. Kepalanya merambat setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu
tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan kepala, diam dengan mata
menatap pasrah. Sinar mata yang merah darah, tak lagi buas mengan-cam. Malah
kini memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap tegang. Sampai
akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke kepala si ular karena rasa iba yang
mengusik nurani kewanitaannya.
*** 3 Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta
kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu.
Sepasang kuda penariknya meringkik-ringkik
bagai kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu meninju permukaan jalan
serta bebatuan yang berserakan.
Dengan napas berdengus memburu, mereka terus
melarikan kereta dalam kecepatan tinggi.
Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau
kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak, seorang saudagar kaya.
Kayunya dari jati berukir indah.
Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera terpancang di kedua sisi
kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat
kusir seorang pun.
Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan tenang, meski suara liar


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diciptakan kereta kuda terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik
ketika kereta kuda kian dekat dan dekat.
Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita itu. Dua kuda liar pembawa
kereta seperti tidak peduli kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan
menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah
sebuah bukit karang.
"Ngi ingi i!"
Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat itu meringkik keras. Tepat
beberapa tombak lagi kereta kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya
ditarik tiba-tiba oleh seseorang.
Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke belakang,
melihat sekilas
kendaraan yang hendak
melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan langkah bagai tak pernah
terjadi apa-apa. Wanita itu tenyata Anggraini.
Sementara dari jendela kereta kuda, muncul ah
kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan
perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar
menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain sutera kuning bersulam
benang emas. Rupanya, dialah yang telah menarik tali kekang. Yang patut
dikagumi, bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya.
Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda itu sanggup menariknya
dari dalam. "Aku bersedia memberi tumpangan padamu, Nisanak!" sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah.
"Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki seperti ini, ketimbang
harus duduk bersama seorang yang suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu,"
jawab Anggraini datar tanpa menoleh.
Sementara Anggraini melangkah, pemuda itu mengikutinya dengan kereta di belakang.
"Hey! Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru saja menyelamatkanmu. Kalau
tali kekangnya tidak kutarik, kau tentu akan hancur," ujar si pemuda, masih dari
jendela keretanya.
"Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang,"
sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda melakukannya dengan
tenaga dalam yang bisa dibilang tingkat tinggi. Si pemuda tertawa.
"Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar di pinggang, kupikir kau orang
persilatan yang tak begitu asing dengan permainan tenaga dalam," kata pemuda itu
setengah meledek.
"Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan!"
selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan langkahnya dipancung saat itu
juga. "O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?"
kata pemuda itu seperti bertanya.
Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah penampilan keseluruhan pemuda
tampan itu. Tubuhnya yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan
kain batik terikat di pinggang hingga ke lutut. Pakaiannya seperti para ningrat
kalangan istana. Lengkap dengan kancing-kancing dan rantai emas.
"Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh rasa hormat. Itu kalau
perbuatanku dianggap lancang, Nisanak," sambung si pemuda seraya menghampiri
Anggraini. Anggraini hanya melirik dingin. "Kini kau mulai pamer kekayaan padaku dengan
pakaian mewahmu. Apa dipikir aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati
karena kau seorang ningrat?"
Si pemuda tersenyum lepas.
"Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku me-mohon maaf. Bagaimana" Kalau
perlu, aku akan
mengganti pakaianku ini, jika kau tak suka...."
"Tak perlu," sahut Anggraini seraya melanjutkan langkahnya. "Kau akan kehilangan
harga dirimu, kalau melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah lambang,
siapa dirimu sesungguhnya?"
"Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku," desah si pemuda disertai hembusan napas
seraya mengedikkan bahu. "Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran baikku,
sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta kudaku dapat lewat?"
Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk ke dalam.
"Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan ini" Terus terang, aku tak
menepi hanya karena kau seorang bangsawan," tandas Anggraini, sinis.
"Baik, kalau itu maumu, Nisanak...," sahut pemuda itu.
Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada sepasang kuda agar segera
berlari lagi. Tapi meski sudah mengulangi siulan,
binalang-binatang itu tetap tak
bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan mengangguk-angguk seperti
meronta dari sebuah ikatan.
Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang
ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua binatang itu. Dalam hati, mau
tak mau si pemuda memuji.
Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata wanita ini sudah menotok
kuda-kudanya. Mungkin pula
lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang dengan tenaga dalam.
"Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer kekuatan, Nisanak...," ujar si
pemuda tanpa terlihat gusar.
"Itu hanya untuk membalas
tanlangan pamer
kekuatanmu!"
"Karena kau sudah membalasnya. kurasa persoalan kita sudah selesai bukan?"
"Apa kau yakin begitu?"
Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat
tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin kalau si pemuda akan
menahannya kembali. Setelah melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu
memang benar menahannya.
"Nisanak, tunggu!"
Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya.
Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit dibebaskan. Sudah puluhan
tahun jenis totokan itu tak muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai
ahli warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali.
"Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai"
Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini"!"
pinta si pemuda.
"Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa"!"
"Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh perjalanan jauhku dengan jalan kaki.
Tapi, apa kau tak kasihan dengan kuda-kuda ini" Tentu mereka akan mati perlahan,
karena kelaparan dan kehausan....
"Apa peduliku"!" dengus Anggraini ketus. Kembali langkahnya dilanjutkan.
Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang.
Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan mencoba memegang bahu
wanita berpakaian merah-merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh
Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si pemuda, lalu melancarkan
tusukan dua jari ke leher.
Jep! Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main.
Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang sifatnya dianggap ketus itu
melancarkan serangan hanya karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga
kalau wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda bangsawan ini berusaha
menghindar tanpa membalas serangan.
Tapi serangan pertama yang luput.
membuat Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan dengan sodokan dengkul
ke perut. Suka tak suka, si pemuda melayani serangan
Anggraini. Setelah menangkis sodokan kaki, jari telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia tak bermaksud
membalas Anggraini, hanya untuk melumpuhkannya.
Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan hanya dalam segebrakan.
Sewaktu jari pemuda itu
melunc ur Iurus, Anggraini malah melayaninya dengan tusukan jari pula.
Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak untuk menguji kecepatan.
Kalau jarinya lebih cepat, Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita
itu lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si pemuda tahu, jari
Anggraini tidak dimaksudkan untuk sekadar menotok.
Deb! Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha
membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar jari Anggraini tak mendarat
di tenggorokan. Sayang, dia membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga,
gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya kini terjepit. Sementara
jari Anggraini kian dekat ke sasaran.
"Tunggu!" teriak si pemuda, kalap.
Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang cepat membelah udara. Asalnya
dari sisi kanan mereka.
Tak! "Aaah!" Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi tepat mengenai jari
telunjuknya dan langsung pula menyempongkan laju jari itu ke arah lain.
Bles! Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan tusukan jari Anggraini,
hingga seluruh jari telunjuk gadis dari T anah Buangan itu melesak. Hanya
berjarak setengah jengkal dari tenggorokan lawan!
"Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk sebuah urusan sepele, Nisanak
Cantik"!"
Sebuah s uara terdengar, tujuh tombak dari tempat mereka berdua. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap.
Kemunc ulannya, seperti hantu.
"Siapa kau"!" bentak Anggraini ketus,
seraya mengangkat tangannya dari lereng bukit. Ditempatkannya kedua tangan di pinggang,
lalu tubuhnya dihadapkan pada si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih
galak daripada macan betina.
Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru
datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya.
Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan selembar kain bercorak
catur ter-sampir bebas di bahunya.
Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat saingan. Kalau ada seorang
gadis yang diminta untuk memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu
akan kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan memikat dan sama-sama
memiliki kelebihan pula dalam ketampanan itu.
"O, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan mata keranjang?" sindir
Anggraini, pada pemuda yang baru datang. Padahal, dia belum lagi mendapat
jawaban dari pertanyaannya yang pertama.
"Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang can-tik....
Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?"
kata si pemuda berpakaian hijau-hijau.
"Jangan banyak basa-basi! Kenapa kau tak langsung
menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini!"
"Aku Andika," sahut pemuda berpakaian hijau yang memang Andika atau lebih
terkenal sebagai Pendekar Slebor. "Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak
mau meluluskan permintaanmu. Apa kau membiarkan seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu itu nyeri?"
"Itu artinya kau menantangku! Dasar tak tahu diri!
Mestinya, kau berterimakasih karena aku telah mengampunimu!"
Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan Anggraini. Santai saja,
didekatinya kereta kuda. Diamatinya kaki-kaki kuda yang masih kaku. "Totokan
yang bagus. Agak sulit membebaskannya,
karena ditempatkan demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...," kata Pendekar Slebor sambil
berjongkok dan mengorek-ngorek telinga.
Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini.
"Tapi itu bukan perkara yang terlalu s ulit bagiku." ujar Pendekar Slebor
menyombong. Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar
Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran Anggraini.
"E-e! Sebelum kau marah, biar aku bertanya dulu. Kau menotok kuda ini tidak
dengan jari, bukan?" lahan Andika saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel.
"Bagaimana kau tahu"!" tanya Anggraini. Kelopak matanya agak membesar, karena
terkejut. "Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi pada satu bagian urat
saraf. Jika menggunakan jari, pasti akan menyebabkan luka di bagian luar kulit
kuda ini. Jadi menurut perkiraanku...," Andika menjentikkan jarinya dengan
mengaliri tenaga dalam.
Tik! Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat
bergerak kembali seperti semula.
"Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu
yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu.
Seperti juga aku membebaskannya," sambung Andika.
"Bukan begitu?"
*** 4 Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda bangsawan
itu melintasi jalan kembali. Seperti sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya, meninggalkan kepulan debu
serta ringkikan kuda yang tinggi mengoyak langit.
Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda tampan tidak sendiri dalam
kendaraannya. Ada dua orang lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini
Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk
karena ilmu totokan warisan

Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buyut guru yang dibanggakannya ditelanjangi mentah-mentah oleh Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar be-berapa jurus. Namun rhanakala
melihat cemeti yang melilit pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis
itu menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit karena kemarahannya pada
Pendekar Slebor sudah begitu meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau
mengenal pemilik cemeti itu, barulah gadis ini menghentikan serangan.
Tahu apa kau dengan cemetiku ini"!" tanya Anggraini waktu itu.
Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat-
ingat."Cepat jawab! Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan pertarungan
denganku" Kau takut dipecundangi perempuan, bukan?" desak Anggraini, sekaligus mengejek.
"Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja"! Aku sedang mengingat-ingat, tahu!
Kalau kau tak, berhenti berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang cemeti
itu!" ancam Andika.
Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat.
Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng (Untuk mengetahui kisah
tokoh ini, bacalah episode:
"Lembah Kutukan" berikut "Dendam Dan Asmara").
Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih
rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika bersedia meluluskan
permintaan itu, asal mereka mau berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini
terpaksa menyetujui syarat yang diajukan.
Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta
kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah
perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk
menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada Anggraini, Andika membutuhkan
waktu banyak. Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan utamanya turun ke dunia
persilatan adalah mencari tahu tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan
cemeti serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya.
Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta
memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang bangsawan muda dari wilayah
selatan. "Apa aku perlu memanggilmu 'Raden'" Raden Agung cakra?" goda Andika.
'Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu,"
tolak Agungcakra, merendah.
Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah
asam, tiba-tiba menyelak.
"Munafik! Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau ingin sekali menerima
sebutan itu! Raden.... Hm, membanggakan bukan" Tak setiap orang bisa memakai
gelar itu, bukan?"
Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada pemuda di sisinya yang sedang
menyentak-nyentak tali kekang.
Tak terlihat ada perubahan di wajahnya
mendengar cemoohan pedang Anggraini. Bahkan ditanggapinya dengan senyum tipis.
"Hey" Apa tujuanmu ke barat?" cetus Andika, menghanguskan suasana tak nyaman
tadi. "Aku mencari bibiku," jawab Agungcakra singkat, sementara tangannya sibuk
menyentak tali kekang kuda.
"Kenapa dengan dia sebenarnya" Apakah kau .ada keperluan dengannya atau
bagaimana?" susul Andika.
Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri dengan kelancangan
mulutnya. "Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi usil pada urusan orang
Iain...." "Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan bantuan orang lain dalam perkara
ini," kata Agungcakra.
"Begitukah" Kau bisa cerita tentang bibimu?"
"Tentu...."
Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya.
*** Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang
bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun lalu. Sesungguhnya, tak
ada yang perlu di-takuti dengan keadaannya.
Bahkan bisa dibilang s uasana dan pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang membelah padang bunga
matahari, bukit di kejauhan yang mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni
yang berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah kolam alam kecil penuh
teratai jingga, adalah keindahan yang bisa ditemui setiap hari.
Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab,
kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang memiliki ilmu olah
kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang
pembantaian keji. Beberapa orang di antaranya malah menjadi mayat tanpa kepala.
Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia persilatan menyebutnya Pintu
Sorga dan Neraka Dunia.
Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup desas-desus ke segenap
penjuru dunia persilatan.
Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat itu, maka ada tiga kemungkinan
baginya. Orang itu sudah kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau
menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di dunia.
Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di jalan setapak Pintu
Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya mengenakan pakaian seperti biksu berwarna
putih. Kepala mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari mata yang
sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah diduga kalau mereka adalah orang-
orang Tiongkok.
Si Kembar Dari T iongkok, adalah julukan mereka di dunia persilatan. Beberapa
waktu lalu, mereka menjadi kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal
Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan rencana jahat Begal Ireng,
keduanya melarikan diri, tanpa bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit
pun (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar Slebor dalam
rpisode : "Lembah Kutukan" berikut "Dendam dan Asmara").
Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba hukum kerajaan Alengka, mereka
jadi tak begitu mengikuti perkembangan
dunia persilatan. Termasuk, tak mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini.
"Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak memburu kita lagi?" tanya salah
seorang dalam bahasa Tiongkok kental.
"Aku yakin begitu," sahut lelaki yang lain. "Mereka mungkin berpikir kita sudah
kembali ke Tiongkok."
"Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?"
"Kau mulai jadi pengecut?" sindir lelaki yang memiliki tahi lalat besar di bawah
telinga kiri. Namanya, Chia Jui.
"Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu pemuda itu lagi," sergah
kembarannya, Chia Kuo.
"Pendekar Slebor?"
"Ya."
"Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama hampir tiga tahun ini?"
"Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki kesaktian yang begitu
hebat." "Sudahlah! Kalau kau nanti tak mau menghadapinya, lebih baik lari saja seperti
perempuan!" putus Chia Jui agak
kesal."Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?"
tanya Chia Kuo agak terkejut.
"Aku tak bilang begitu, Bodoh!"
Chia Kuo mengangkat bahu.
"Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia Jui! Sama-sama gentar.
Bedanya, aku lebih jujur ketimbang kau!" gerutu Chia Kuo.
Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan setapak. Tiba di suatu
tikungan yang berbatasan dengan kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak
menghadang di depan.
"Siapa kau"!" bentak Chia Jui gusar, melihat seorang wanita cantik berpakaian
merah-merah mengganggu
perjalanan mereka.
Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik menggoda, matanya tampak
menyiratkan kekejaman.
Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah tajam dengan dua tokoh
sesat dari Tiongkok yang
dihadangnya. "Apa kau orang Kerajaan Alengka"!" timpal Chia Kuo, tak kalah berang.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar mengangguk atau menggeleng.
Hanya matanya yang terus menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah
memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka
bertemu. "Kalian telah mengusik istanaku!"
hardik si perempuan, tiba-tiba.
Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana"
Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu, mereka tak pernah
menjumpai sebuah bangunan pun.
Lebih-lebih, sebuah istana.
"Kau keluarga Istana Alengka?" tanya Chia Kuo menebak-nebak.
Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara
kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada
pihak mus uh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu.
Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan kembali dengan Pendekar
Slebor selaku seorang yang memiliki pertalian darah dengan ke?luarga istana.
"Ini istana! Apa kalian buta"! Aku tak punya nama untuk istana ini. Tapi, orang-
orang dungu di luar sana menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang
buruk, tapi aku cukup menyukainya...," ujar si perempuan berpakaian merah
meledak-ledak. Chia Jui mulai melangkah lagi.
"Peduli setan dengan istanamu! Kami akan lewat!
Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah!" bentak Chia Jui.
"Biar kalian mampus!" terabas si perempuan sambil mengirim satu sambaran cakar
ke wajah Chia Jui.
Bet! "Perempuan keparat!" maki Chia Jui dengan logat Tiongkok.
Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari
lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna keunguan. Dibalasnya salam
perkenalan lawan dengan sebuah layangan tinju geledek.
Deb! Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada si wanita yang memiliki dua
bukit padat. Tapi dengan enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping
Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya terangkat. Lalu,
disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu.
Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat.
Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya.
Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar kuku-kuku tangannya
seperti gerakan memeras, maka tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau,
lebih parah dari itu... terputus!
Siapa yang mau mempunyai saudara kembar
bertangan kutung" Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia Kuo cepat melepas
hantaman jarak jauh, sekejap sebelum tangan si perempuan bergerak.
Wush! Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia Jui. Walau begitu, tak luput
tangan Chia Jui tercabik sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya.
Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak terkirakan, sambil melompat
menjauhi lawan.
Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa
mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang orang. Kalau mereka yang sudah
masuk dalam jajaran atas golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan,
bagaimana dengan kepandaian wanita ini.
*** 5 Terbukanya matamilik Kembar Dari Tiongkok terha-
dap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka memutuskan
untuk menghadapinya dengan menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak terpisahkan, mereka memang tak
bisa bertarung sendiri-sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya
menggabungkan kesaktian.
Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit itu membentuk sebuah gerak
bersama. Sekejap, tangan mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing, untuk
mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan mereka yang masih bebas mulai
memerah, lalu diarahkan lurus-lurus ke arah wanita itu.
Wuuush! Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut,
memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar ke arah wanita itu.
Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan ganas tersebut. Entah
karena ilmu kedigdayaannya begitu melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan
tenang saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok dihadapi.
Dengan maksud untuk memamerkan kehe?batan,
tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar kemerahan dengan membuat
hirupan udara dari mulut.
"Hfff...."
Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari
Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan menyedot lebih kuat,
angin pukulan itu dipaksa masuk ke dalam mulutnya.
Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok adalah himpunan gelombang petir
yang kuat luar biasa. Di tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para
pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan seluruh tenaga petir dalam
tubuh manusia, hingga
mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga pukulan itu akan membawa
akibat merusak, sewaktu terus tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si
perempuan. Mulanya, Kembar

Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari T iongkok menyeringai, menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga,
sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu mengejang dan mati.
Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan mata kepala sendiri, keduanya
melihat lawan tersentak sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan
tenang seluruh sengatan petir disa-lurkan ke bumi sampai hilang tertelan.
"Sinting!"
sergah Chia Jui, tak mempercayai penglihatannya. "Dia itu manusia atau...."
"Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus segera menyingkir!" peringat
Chia Kuo, kalang kabut.
Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak memucat. Bagaimana tidak, kalau
kemampuan gabungan mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan cantik tapi
bengis itu"
"Heeeh...," si perempuan menggeram.
"Jangan berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup! Sudah menjadi
sumpahku, kalau istana ini adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku,
berarti telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh!"
Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis ini menyeringai. Sebaris
gigi putih menawan tersembul.
Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan.
Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak memperkenalkan
namanya, meludah ke sebuah bongkahan batu sebesar kuda.
"Chuih!"
Plas! Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung
melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain.
"Aku tak ingin mengotori tangan! Akan kubunuh kalian dengan ludahku. Ya! Dengan
ludahku. Hanya ludah yang
pantas untuk kalian," geram wanita itu menggidikkan.
Sepasang matanya mencorong di
bawah kelopak, memperlihatkn setengah warna hitamnya.
"Kau sudah gila, Perempuan!" maki Chia Jui, was-was.
"Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi bagiku, tidak ada soal
apakah aku gila atau tidak!"
"Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu!"
lontar Chia Kuo, membela diri.
"Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki istanaku!"
"Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat!" sengit Chia Jui. "Aaah! Toh, bukan
aku saja yang berbuat sewenang-wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang
telah melakukannya di dunia sampah ini! Asal kalian tahu itu!
Kini, bersiaplah untuk mampus!"
Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar
lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya, andai saja sebuah seruan
lantang tak menahannya.
"Tunggu!"
Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya
seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot seperti seekor kambing
gunung. Menilik kerutan wajah, bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan.
Alisnya hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam sembilu. Meski
tua, masih tampak sisa ketampanannya.
Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala,
memanjang lepas menutupi bokongnya. Perawakan lelaki itu tinggi be?sar dan kekar berotot.
Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat kulit pada seluruh badan dari
bagian leher ke bawah.
Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lu-suh dengan warna merah kehitam-
hitaman. Sepertinya, dia pernah mengalami luka bakar yang demi-kian hebat.
" Pengeran Neraka," sebut si perempuan.
Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun berbinar. "Kekasihku,
pangeran istanaku...," tambah wanita
ini, mendayu. Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju.
Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi baja, sebesar kepalan tangan.
"Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?" tanya si wanita cantik berpakaian merah-
merah manja. Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu kekarnya.
Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya
melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit dibedakan.
"Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah," kata laki-laki berjuluk Pangeran
Neraka pada Kembar Dari Tiongkok. '"Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati
tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup sampai petang'."
Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka
meneliti lelaki yang baru munc ul dengan mata masing-masing.
"Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang berasal dari negeri kami
sendiri. Tapi, apa mak-sudmu dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?" tanya
Chia Kuo, mengungkap keheranannya.
"Hu... hu... hu! Tak kukira kalian ini tergolong bebal, Kembar Dari Tiongkok,"
ejek Pangeran Neraka, didahului tawa yang terdengar aneh.
Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi Kembar Dari Tiongkok meneliti
tegas-tegas Pangeran Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena,
lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang jauh. Sekarang, tiba-
tiba saja dia menyebut julukan Kembar Dari Tiongkok.
Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari Tiongkok. Chia Jui maupun
Chia Kuo yakin, sebab
Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri tirai bambu itu.
Dengan begitu, dia bukan-lah utusan dari Tiongkok yang hendak menjemput mereka
pulang. Tapi, siapa" "Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa kami pulang untuk menerima
hukuman, bukan?" aju Chia Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri.
"Hu... hu... hu! Ya, jelas bukan!" "Kalau begitu, jelaskan saja, apa maksudmu
dengan pepatah tadi?"
sergah Chia Jui tak sabar. "Maksudku...."
Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan
"Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku" Bukankah dua orang lancang ini
telah mengotori Istana kita?" potong si perempuan di sisinya.
Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan.
"Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri Mayang seruni?"
"Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?"
"Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna.
Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah membunuh saudara
kandungku, Putri...."
"Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?" perempuan yang ternyata bernama Putri
Mayangseruni balik bertanya.
"Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin secepatnya mengunyah jantung si
pembunuh saudara
kandungku. Hu hu hu, betapa nikmatnya...."
Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis
rimbunnya. "Kita lihat saja nanti...."
Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari
Tiongkok. "Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku melontarkan pepatah tadi.
Artinya, kalau memang waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan mampus. Sebaliknya, kalau
belum waktu?nya, biar kalian jatuh dari gunung, tetap tidak mampus." Pangeran
Neraka tertawa dengan gaya yang khas. "Kalian bingung, ya" Jadi, singkatnya
kalian belum waktunya mampus hari ini...."
*** Malam turun merambah mayapada. Ribuan bintang
gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh yang muncul tak ragu-ragu.
Temaram cahayanya benda-benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat
itu angkasa tak diusik awan kelabu.
Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di atasnya, terpanggang.daging
tiga ekor kelinci gemuk hasil panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak
muda itu kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan dingin malam
yang meng-gelitik kulit.
Satu sisi diri manusia
adalah malam gulita
istana para durjana semesta
b'rsemayam dan berenc ana
untuk sehimpun dusta
untuk sehimpun nista...!
Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari kalangan bangsawan, keindahan
susastra sudah menjadi bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah
seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam diri manusia.
Andika bertepuk-tepuk.
"Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan," puji Andika, terhadap sajak si
kawan baru. Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon
tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu panggangan.
"Bagaimana menurutmu, Anggraini?" tanya Andika, ingin tahu penilaian gadis itu
tentang karya sastra Agungcakra.
"Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan padaku perihal cemeti
ini...," sahut Anggraini, tanpa melirik sedikit pun.
Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan
melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh.
Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel.
Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering
kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis makhluk indah yang sulit
dipahami. "Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini,"
kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya ke atas. "Tapi, kau sendiri
tidak pernah memberitahu padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda
ini?" "Itu bukan urusanmu!" tandas Anggraini judes, seraya melemparkan sepotong
daging kelinci yang sudah matang pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak
sopan. Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai
menyantap. "Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri urusanmu! Jadi, kau tak perlu
keterangan dariku," sindir Andika.
Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas api unggun. Baunya sedap,
mengundang selera Andika. Si pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya
sudah mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru saja tangannya
terjulur ke daging kelinci panggang....
Plak! "Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran!"
bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika.
Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat
tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada gombal, Andika akhirnya
kembali ke tempatnya. Sementara Agungcakra hanya tersenyum kecil;
"Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat
membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu ngotot hendak mencaritahu
tentang cemeti itu...," kata Anggraini mulai lagi.
"Sesukamulah," jawab Andika, agak merajuk.
"Kau mau dengar apa tidak"!" mata Anggraini jadi begitu galak.
"Ya ya ya, mau," jawab Andika cepat, daripada tak dapat jatah daging kelinci
panggang. Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang
asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya.
Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas.
"Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda yang berhubungan dengan
ayahku...," tutur Anggraini mengakhiri.
"Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa me-nelusuri jejak ayahmu?" tanya
Andika, menduga.
Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan.
"Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda itu milik ayahmu, bukan?"
susul Andika hati-hati.
Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si gadis, berarti dia telah
berhutang nyawa pada Anggraini.
Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya sewaktu Pendekar Slebor
baru turun dari Lembah
Kutukan" Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya.
"Apa maksudmu?" tanya Anggraini.
Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung
dengan pertanyaan macam itu.
"Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini Iho...," kata Pendekar Slebor tergagap dan
kelimpungan sendiri.
Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika, Agungcakra jadi tak bisa
menahan geli. Pemuda bangsawan itu terbahak mendadak.
"Kenapa tertawa?" Andika agak tersinggung.
Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci.
Agungcakra menggeleng.
"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu.
Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing menyentak ketiganya....
"Ngi ingngng...!"
*** 6 Anggraini yang berada paling dekat dengan api
unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga
dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api, Andika, Agungcakra, dan
Anggraini menelusup cepat ke balik semak-semak lebat.
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya
purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan pe-
rasaan tegang. Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pe-
mandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran benda langit angkasa, tampak
seorang wanita cantik berpakaian merah sedang melayang di udara dalam
keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada sekitar ratusan lebah
mengangkatnya dengan benang-benang halus yang terangkai menjadi semacam
permadani tembus pandang! Dengung lebah itulah yang terdengar sebagai bunyi
asing. Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang,
secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beris-tirahat di dekat wilayah Pintu
Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin
di sekitar wilayah kekuasaannya.
"Ratu lebah...," bisik Agungcakra, nyaris tak terdengar.
Andika di sisinya menoleh.
"Kau kenal perempuan itu?" tanya Pendekar Slebor perlahan, serta hati-hati.
"Tentu saja aku kenal. Dia...."
Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau menurut Agungcakra adalah
Ratu Lebah. menghentikan laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar ke
sekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase betina.
Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ra?tu
Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau.
Andika memuji dalam hati ketajaman indera pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun dirinya sudah begitu halus.
Belum lagi, suara bising para lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus
mereka. Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium,
Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika segera menahannya. Menurut
Pendekar Slebor, terlalu dini mereka
berurusan dengan tokoh wanita yang kepandaiannya sulit terukur itu.
Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra.
"Aku hendak menemuinya, Andika! Lagi pula dia sudah tahu persembunyian kita,"
bisik Agungcakra lagi dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan.
"Kau ceroboh!" sentak Andika, tetap berbisik.
Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja me-
nangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang halus, tampak mengejang.
Bibir ranumnya yang tipis bergerak.
"Chuih!"
Srak! Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak-
semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata bagian atasnya. Kalau
saja Andika, Anggraini, dan Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala
mereka ikut terbabat.
Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi itu muncul perlahan dari semak-
semak yang terpangkas.
Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali dari raut wajah
mereka yang agak menegang. Lain lagi Andika. Pendekar muda itu muncul dengan
senyum serba-salahnya.
"Selamat malam, Nisanak," sapa Andika berbasa-basi disertai cengiran konyol.
"Sungguh, kita bertiga tak sedang memata-mataimu, he he he. Bukan begitu,
Kawan?" Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan
Agungcakra di sisinya.
Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi Andika dengan keramahan, tapi
dengan satu semburan ludah maut kembali.
"Chuih!"
"Sial! maki Andika.
Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain pusaka ke arah ludah Ratu
Lebah. Menghadapi kealotan kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Le? bah tak bisa
berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak begitu saja oleh kekuatan
yang disalurkan Pendekar Slebor pada kain pusaka.
"Nisanak! Mestinya kau bisa bersikap ramah pada orang ramah seperti aku ini!"
semprot Pendekar Slebor.
Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya mulai panas atas perlakuan
Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi, sifat urakannya tentu akan meledak.
"Andika...," tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut bangkit. Dipegangnya bahu
Pendekar Slebor.
"Apa"! Ini semua gara-gara ulahmu, tahu! Coba kalau kau bisa sedikit tutup
mulut!" omel Pendekar Slebor pada Agungcakra.
Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutuk-an itu makin melonjak naik ke ubun-
ubun. Alis mata sayap elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang-kempis.
Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan
menantang. "Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak! Kau terlalu sombong untuk menghargai
orang lain!" sembur Pendekar Slebor lagi.
Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat Andika tadi sengaja hendak
Hati Budha Tangan Berbisa 13 Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala Pendekar Sadis 1
^