Pencarian

Pendekar Wanita Tanah Buangan 2

Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan Bagian 2


menyinggungnya sekaligus.
Sekali tepuk dua lalat!
"Ayo, ludahi aku lagi! Biar kusumpal mulut usilmu dengan kainku yang tak pernah
kucuci ini!" tantang Andika kembali. lebih keterlaluan.
Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan
luar biasa mengumbar senyum tipis.
"Hey! Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini," ujar Andika seraya menunjuk
semena-mena ke depan wajah Anggraini. "Tapi, jangan dikira aku akan tergoda
dengan senyummu itu! Huh! Tak usah, ya!"
Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan sudah selesai dengan Ratu
Lebah, wanita ini berjanji akan menyumpal mulut Andika dengan tinjunya!
Di Iain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya mendekat ke arah mereka.
Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik
berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah melompat turun dari kendaraan
anehnya, Pendekar Slebor langsung
pasang kuda-kuda. Dikiranya, wanita menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut.
Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati Agungcakra. Langsung
dipeluknya pemuda itu.
"Cakra...."
"Bibi...," balas Agungcakra setengah lirih. Andika hanya melongo.
*** "Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?" tanya Agungcakra saat keduanya
berjalan beriringan, jauh dari tempat semula. Ratu Lebah telah memaksa
Agungcakra untuk meninggalkan Andika dan Anggraini.
Walau perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi pula, Andika maupun
Anggraini sudah mempersilakannya dengan senang hati.
"Aku...."
Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong.
"Aku berkelana di dunia lain," jawab wanita itu kemudian dengan sebaris senyum
yang sulit dipa-hami.
"Aku tak paham maksudmu, Bi?"
Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya ganjil,
membuat bulu roma di tubuh Agungcakra
meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik
bungsu ayah Agungcakra. Sejak orangtuanya meninggal dalam tugas kerajaan,
Mayangseruni yang waktu itu baru berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni,
kakak lelakinya itu.
Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri
Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi nama Agungcakra.
Mayangseruni dan Agungcakra lalu tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa
kanak-kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi dengan keponakan.
Lebih dari itu, mereka sudah seperti kakak beradik.
Waktu berlalu. Tahun-tahun indah tercecer di
belakang. Mayangseruni beranjak sembilan tahun. Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun.
Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni
sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah seorang wanita sakti yang
sudah dianggap makhluk halus oleh masyarakat sekitarnya.
Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh dan bertulang-tulang bagus,
serta mempunyai keyakinan diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa
wanita itu menculiknya.
Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh si pertapa wanita agar
merahasiakan tentang kejadian ini.
Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan dibawa ke suatu tempat
yang menyenangkan. Jika nanti ditanya
oleh orang tuanya, Agungcakra disuruh mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang tak dikenal. Dan suatu saat
nanti, Mayangseruni akan dikembalikan.
Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang
Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak bisa dihindari. Para
prajurit kadipaten dikerahkan untuk mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni
tak pernah ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun.
Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah tentang hilangnya Mayangseruni.
Maka, Agungcakra pun
mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita padanya. Sewaktu Dwigeni
menanyakan ciri-ciri si pertapa, Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan
dengan tepat.Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati Dwigeni
tahu, siapa yang telah membawa adik kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega.
Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya, adalah tokoh sakti sulit
tertandingi dari aliran lurus.
Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa wanita itu akan mengangkat
adiknya menjadi murid.
Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan zaman. Mayangseruni akhirnya
pulang, seperti janji si pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan
lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah berubah menjadi gadis
cantik, yang mekar merekah bagai bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun
sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil dalam menegakkan
kebenaran. Namanya pun kian harum semerbak, dalam percaturan dunia persilatan,
selaku tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah.
Karena itu, lahir julukan untuknya Ratu Lebah!
Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang
bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya.
Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut kabar burung, julukannya
didapat di negeri Tiongkok, tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu
usaha menuntut ilmu hitam, Pangeran Neraka harus menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu didapatnya, tapi sayang seluruh
kulit tubuhnya melepuh.
Kecuali, wajahnya.
Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayangseruni saat itu berusaha menggagalkan
segala sepak terjang Pangeran Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun
begitu, Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik
lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan saraf di otaknya. Sampai
akhirnya, gadis itu kehilangan
akal waras. Bahkan pikirannya berada di bawah pengaruh Pangeran Neraka.
Mengetahui lawan telah berada di bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan
kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus, memanfaatkan kesaktiannya.
Ratu Lebah pun dijadikan pasangan si lelaki laknat.
Selanjutnya, Mayangseruni menghilang kembali seperti beberapa tahun lalu.
Sementara Agungcakra memang sudah telanjur
sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak perempuan. Maka dia segera
melakukan pencarian,
setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada tokoh kerajaan. Tiga tahun
dia terus mencari tanpa basil.
Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan Anggraini bersamanya.
*** "Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu selama ini?" tanya Agungcakra
sungguh-sungguh. Ada yang tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak
muda itu. Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata
Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya meledak lagi, lebih tinggi
daripada sebelumnya.
Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah
terjadi pada diri Mayangseruni. Sepanjang pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh kendali diri. Dia tidak
akan tertawa seenaknya, seperti perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu
amat kentara sinar keceriaan di wajahnya, Mayangseruni yang ditemuinya kini
memiliki sinar mata kejam.
Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya itu pergi untuk sebuah urusan
tiga tahun lalu. Ketika itu, Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya.
Namun, Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya harus diselesaikan
sendiri. Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa dengan
bibinya. Dan sewaktu mencoba mencari keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat hanya sedikit
keterangan. Menurut mereka yang sempat tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama
seorang tokoh sesat bernama Pangeran Neraka.
"Lama aku berkelana, Cakra," tutur Mayangseruni lagi sambil memainkan anak
rambutnya seperti wanita jalang penggoda. "Berkelana di batas sorga dan neraka.
Kau tahu, bagaimana rasanya berjalan disana" Seperti siksaan yang melenakan.
Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi demikian takut... takut!"
Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut
matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan.
Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan.
"Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan menitahku untuk menikmatinya.
Dan..., aku pun bisa menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah,
menikmati...."
"Cukup, Bibi Mayang! Kau bukan bibiku yang dulu lagi!
Rupanya kehidupan dunia yang memikat telah membuatmu lupa diri!" tuduh Agungcakra. "Kau telah terjerumus
dalam dunia laknat kaum sesat yang
menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan darah!
Sadarlah, Bibi.... Jangan sampai Tuhan memurkaimu...."
Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran. Betapa terpukulnya dia mendapati
orang yang disayangi sudah berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-
kaca, menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah.
"Terlambat, Anak Muda! Semuanya sudah terlambat!"
Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya
begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh, tampak Pangeran Neraka telah
berada di sana. Ielaki itu berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya
yang tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot matanya menyampaikan
ancaman berbau maut....
7 "Siapa kau"!" bentak Agungcakra penuh selidik. Tanpa berkedip, diawasinya
Pangeran Neraka lekat-lekat.
Pangeran Neraka beringsut ke arah Agungcakra lebih dekat. Mulutnya mengumbar
senyum mengejek.
"Aku" Hu hu hu! Pertanyaanmu terlalu menyedihkan.
Itu pertanda, kau tak banyak tahu tentang dunia persilatan yang keras ini. Kau
terlalu hijau, Anak Muda...."
Pangeran Neraka memenggal kalimat, seiring terangkatnya dagu. "Akulah Pangeran Neraka. Dunia persilatan sudah kenal baik
dengan namaku," lanjut laki-laki tua itu, menyombong.
"Apa hubunganmu dengan bibiku"!" tanya Agungcakra penuh menyelidik.
Pemuda itu yakin, segala sesuatu yang terjadi tentu ada penyebabnya. Jika
bibinya jadi tampak ganjil di matanya, tentu pula tak luput dari penyebabnya.
Agungcakra pun yakin, lelaki yang baru kali ini dilihatnya tentu tersangkut
dalam perkara yang membuat bibinya menjadi begitu tak dimengerti seperti
sekarang. "Aku tak suka cara kau menatapku, Anak Muda."
Bukannya menjawab, Pangeran Neraka malah melempar kalimat lain.
"Jawab pertanyaanku!" sentak Agungcakra, diburu kegusaran.
"Nyalimu cukup besar. Atau, kau memang terlalu bodoh sehingga tidak tahu dengan
siapa berbicara."
"Aku tak peduli, dengan siapa aku bicara. Dengan tokoh sakti atau iblis durjana
sekali pun! Aku hanya ingin kau
menjawab pertanyaanku,"
tandas Agungcakra, setengah mengancam.
"Hu hu hu! Ternyata nyalimu jauh lebih besar daripada dugaanku," cemooh Pangeran
Neraka. "Keparat! Tentu kau ikut andil dalam perkara bibiku!"
tuding Agungcakra tak bisa lagi membendung kecurigaannya. "Kalau kujawab, ya, kau mau berbuat apa?" tantang Pangeran Neraka melecehkan.
Sengaja dia memancing terus kegusaran anak muda di depannya.
"Bajingan busuk!" maki Agungcakra berat terseret.
"Akan kuhabisi nyawamu sebagai bayaran atas kesalahan yang telah kau perbuat
terhadap bibi kesayanganku!"
Pangeran Neraka memperdengarkan tawa khasnya.
"Kenapa tak segera kau lakukan" Apa mungkin kau hanya berani mengancam, dan tak
mau menerima akibat jika mengancam orang seperti aku?"


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi-lagi Pangeran Neraka melecehkan Agungcakra.
"Pergilah kau ke dasar neraka, Manusia Keparat!"
Sampai di situ, Agungcakra tak bisa lagi menahan kemurkaan yang meledak-ledak di
dalam dada. Kalau saja persoalannya lain, tentu dia tak akan seberingas itu.
Tapi, ini menyangkut diri orang yang begitu disayanginya. Orang yang terdekat
setelah kedua orangtuanya. Itu tentu saja perasaannya bagai diluluh-lantakkan.
Sarat kemurkaan pada wajahnya, Agungcakra melepas satu serangan dahsyat. Kelima jari kirinya yang tajam, mengancam leher
Pangeran Neraka se-penuh
kekuatan. Tampaknya,
Agungcakra tak peduli lagi,
bagaimana harus melabrak lawan. Hanya satu yang
dikehendakinya saat itu. Lelaki di depannya harus mati secepatnya!
Bet! "Putus lehermu, Keparat!"
Lelaki yang diserang masih sempat mengejek dengan sebaris senyum memuakkan.
Sekejap kemudian, tubuhnya berkelit enteng. Maka, luputlah terjangan Agungcakra.
Dorongan kemarahan yang sudah mendaki hingga ke
puncak kepala, mendorong Agungcakra untuk melakukan serangan susulan. Sikunya
yang cukup dekat dengan Pangeran Neraka, segera menghujam ke ulu hati.
Deb! Pangeran Neraka tak mau ambil bahaya. Apalagi
tingkat kepandaian lawan bisa diukurnya. Maka segera
ditangkisnya tohokah siku Agungcakra dengan satu tangan terangkat ke atas dalam
gerakan menyapu keluar.
Tak! Lalu disusul satu serangan balasan. Tinju Pangeran Neraka yang terkenal selalu
mengandung racun amat kuat, langsung melayang lurus ke rahang pemuda tampan yang
sedang kalap itu.
Wus! "Hiah!"
Berbarengan hentakan suara, Agungcakra berusaha
menghindar sejauh-jauhnya.
Meski tergolong hijau, pemuda itu bisa merasakan hawa maut yang disebar oleh angin pukulan Pangeran
Neraka. "Hu hu hu! Terbukti ucapanku tadi, bukan" Kau memang terlalu hijau, terlalu bau
kencur. Lebih baik, kembalilah ke ibumu dan minta diteteki!" sembur Pangeran
Neraka. "Kau boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi, aku tak akan surut dari pertarungan ini.
Kau harus mati di tanganku, walaupun aku harus membayarnya dengan nyawa!"
"Lalu, kenapa kau harus menghindar sejauh itu" Ayo, ke sini kau! Biar tinjuku
ini sedikit memanjakanmu!"
"Hiaaa!"
Agungcakra memulai pertarungan kembali. Tubuhnya mencelat tinggi. Satu kakinya
membentang lurus ke depan, sedang yang lain terlipat. Tendangan terbangnya kini
mengancam dada kekar Pangeran Neraka!
Seperti sebelumnya, meski serangan Agungcakra
sudah hampir tiba, Pangeran Neraka kembali memperlihatkan senyum yang lebih mirip seringai. Tingkat kepandaian Pangeran
Neraka memang terlalu tinggi, meskipun Agungcakra di dunia persilatan cukup bisa
mengandalkan kemampuannya. Itulah sebabnya, Pangeran Neraka seperti tak terancam
oleh serangan-serangannya.
Sesaat sebelum kaki Agungcakra benar-benar tiba, Pangeran Neraka membuat satu
gerakan tangan. Telunjuk kanannya teracung lurus pada arah tendangan terbang
pemuda itu. Tas! Entah bagaimana caranya, hanya dengan jari telunjuk tadi. Pangeran Neraka
ternyata sanggup menahan
tendangan terbang berkekuatan milik Agungcakra. Tubuhnya tak terlihat bergoyang, bahkan sekadar getaran pada pakaiannya.
Sementara di lain pihak, Agungcakra malah ter-pental balik. Anak muda berwajah
tampan dan ber-kesan jantan itu seperti baru saja menerjang bukit ka-ret yang
kenyal! Tak hanya itu. Ketika kakinya menjejak bumi, Agungcakra merasakan nyeri yang
luar biasa pada bagian kaki yang bertumbukan dengan jari telunjuk Pangeran
Neraka. Rasa nyeri terus merangsek ke dalam serat-serat tubuhnya bagai terikut
dalam aliran darah.
Urat-urat wajah Agungcakra menampakkan ke-
sakitan. "Kenapa, Anak 'Menak'" Apa di tempat tinggalmu yang nyaman kau tak pernah
merasakan sakit" Kau tentu terlalu dimanja para inangmu.... Hu hu hu!"
Agungcakra diam dengan rahang mengatup ra-pat-
rapat, hingga otot-otot sekitarnya terlihat menonjol keluar.
Ejekan-ejekan lawan telah keterla-luan. Bahkan untuk ukuran orang yang paling
sabar sekali pun.
Tekat Agungcakra
untuk memberangus nyawa Pangeran Neraka kian meledak-ledak Maka, tanpa
menimbang lebih lama, Agungcakra segera memper-
siapkan ilmu pamungkasnya. Hanya cara itulah dia bisa punya kesempatan untuk
menghabisi Pangeran Neraka.
Sebelum serangan si pemuda kalap terlepas kembali, Pangeran Neraka telah lebih
dulu melepas satu isyarat mata pada Ratu Lebah alias Mayang-seruni. Gerak kecil
matanya, seakan hendak memerintah si wanita cantik yang bernasib malang itu
dengan satu kalimat pendek. Habisi dia!
Begitu Mayangseruni mengeluarkan suara ganjil yang tertangkap telinga
Agungcakra, pemuda itu cepat menoleh.
Hatinya jadi terkesiap melihat bibinya siap melesatkan ludah berkekuatan
dahsyat, seperti pernah disaksikannya dulu sewaktu bersama Andika dan Anggraini.
"Bibi jangan!" tahan Agungcakra.
Sayang, usaha Agungcakra untuk menahan ke-
bengisan yang kini menguasai seluruh pikiran bibinya, tak berarti apa-apa di
telinga Mayangseruni.
"Chuih!"
Wesss! Sebisa-bisanya, Agungcakra menghindar. "Heaaa...!"
Sentakan suara terlempar keluar, untuk mengimbangi pangerahan seluruh kemampuan
ilmu meringankan tubuh pemuda itu. Selagi tubuhnya masih di udara, Ratu Lebah
sudah melepas lagi semburan ludahnya. Kali ini, tak cukup sekali."Chuih! Chuih!
Chuih!" Wess.. ssss. . sss!
Tiga kelebatan serangan ganjil Ratu Lebah melesat ke arah tiga kedudukan yang
amat menyulitkan Agungcakra.
Satu menyergap bagian atas, sedang yang lain melesat ke bagian kiri dan kanan.
Untuk menyelamatkan kepala agar tak tertembus,
Agungcakra harus membuang tubuhnya ke sam-ping di udara. Namun begitu, dia harus
berjudi dengan ludah maut yang lain. Jika bergerak lebih cepat, tentu selamat.
Namun kalau terlambat sedikit saja, maka ludah yang meluruk di sisi-sisinya akan
merencah tubuhnya.
Karena keadaan sudah begitu mendesak, Agungcakra tak bisa lagi berpikir lama-
lama. Langsung saja dia melempar tubuh ke sisi kanan sekuat tenaga.
Sayang.... - Srat!
Seketika itu juga, bagian pinggang Agungcakra
tersayat dalam oleh ludah Ratu Lebah. Tubuhnya
kontan jatuh ters ungkur tanpa sempat berpijak.
Sambil memegangi pinggang yang mengucurkan
darah, Agungcakra menatap nanar wajah dingin dan kejam Mayangseruni yang dulu
dikenalnya sebagai seorang bibi
yang lembut dan welas asih.
"Bibi! Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" lirih si pemuda tampan dalam
kalimat putus asa.
Saat berkata, sehimpun kepedihan lain yang berasal dari dasar hatinya mengusik
benteng kelelakian si pemuda.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tali kasih sayang tulus telah terputus oleh
kepedihan yang tak terperi di antara semua kepedihan. Sebuah kekecewaan yang
terlalu berat untuk ditanggung.
"Apakah..., apakah kau memang sudah melupakan sama sekali cerita kita waktu
kecil dulu?" lanjut Agungcakra tertahan-tahan. "Tentang cerita kita di taman
bunga kadipaten" Tentang bibi yang berlari riang mengejar kupu-kupu kecil, lalu
aku mengikutimu karena takut kau celaka" Apa Bibi lupa dengan semua itu?"
Dingin! Hanya dingin yang bisa ditemukan Agungcakra di wajah Mayangseruni.
Semenjak Pangeran Neraka ada di dekatnya, sisa-sisa rasa kasih sayang di
kalbunya bagai terbelenggu pengaruh jahat.
Hati Agungcakra kian tercabik-cabik. Kalau saja dia bukan lelaki, tentu akan
menangisi semua itu dengan dada sesak.
"Kau tak tahu, Bibi! Bagaimana sulitnya aku mencarimu berhari-hari, berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun. Hujan dan terik tak kupedulikan. Badai pun tak
bisa menahan tekadku untuk mene-mukan orang yang
kucintai," ucap Agungcakra lamat, seperti berkata pada diri sendiri. "Tapi, tak
kuduga sama sekali. Ternyata aku telah kehilangan Bibi untuk selama-lamanya.
Bibi telah binasa dalam kemungkaran...."
Agungcakra senyap. Entah putus asa entah sudah
kehilangan kata.
"Kalau kau mau butuh aku, bunuhlah! Sudah terlanjur kusia-siakan hidup, untuk
mencari Bibi yang sebenarnya tak mungkin kutemui lagi...," bisik pemuda itu
lemah dengan kepala terjatuh.
Detak-detak degup jantungnya melangkah pasrah.
"Chuih! Chuih! Chuih!"
Seruntun kelebatan ludah berkekuatan dahsyat
menuju tubuh kuyu si pemuda. Dalam sekejap, tubuhnya dikoyak-koyak bagai sehelai
daun kering tak berarti.
" Tangan-tangan maut sepertinya adalah jalan terbaik menuntas hidup Agungcakra
yang diberangus kecewa.
Bersama darah yang membasahi sekujur tubuhnya, seiring keluh panjang atas
kekecewaan, Agungcakra mengatupkan mata perlahan. Sebentang garis bening
mengalir lembut di antara warna merah yang membasahi pipinya.
*** 8 "Urusan Cakra sudah beres. Dia sudah bertemu bibinya kembali," cetus Anggraini
pada Andika setelah kepergian Agungcakra dan Ratu Lebah. "Kini tinggal urusanku
denganmu...."
Seperti tak berniat menggubris, Pendekar Slebor
melangkah acuh menghampiri sisa api unggun yang masih melepas lenggokan asap
putih tipis diusik angin malam.
Dijemputnya panggangan daging kelinci. Hampir dingin, tapi tak dipedulikan.
Perut yang begitu lapar membuatnya begitu lahap menyantap.
"Kau jangan berpura-pura bodoh! Sudah sejak tadi kau menjengkelkanku. Kalau tak
sabar-sabar, sudah kuhajar kau. Sekarang, cepat ceritakan padaku tentang cemeti
itu!" desak Anggraini. Si dara ketus itu berdiri bertolak pinggang. Raut
wajahnya sudah matang.
Andika melirik enggan pada Anggraini. Dita-riknya napas dalam-dalam. Agak berat
baginya menceritakan hal sebenarnya tentang cemeti itu. Bukannya tak mau
berterus terang. Dalam hal ini, dia berada dalam keadaan selaku pembunuh pemilik
cemeti tersebut. Bisa jadi, si pemilik cemeti, Begal Ireng, adalah ayah
Anggraini. Kalau benar, tentu akan menjadi perkara hutang nyawa. Dan Anggraini
bisa-bisa memusuhinya habis-habisan.
"Padahal, aku tak mau bermusuhan dengannya. Aku tahu, dia bukan gadis sesat.
Meski, sifatnya agak ketus,"
gumam Andika tak sadar, terbawa arus pikiran sendiri.
"Hey, apa katamu tadi?" sergah Anggraini.
"Ah, tidak.... Tidak apa-apa," elak Andika.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi" Aku ingin cepat-cepat membereskan
urusanku...."
"Begini saja," putus Andika akhirnya. "Sebaiknya, kau mencari dua orang dari
Tiongkok. Karena mereka kembar, keduanya dijuluki Kembar Dari Tiongkok."
"Apa hubungannya dengan aku?"
"Pokoknya, cari mereka. Dan, korek keterangan dari
keduanya!" tandas anak muda dari Lembah Kutukan itu.
"Apa hubungannya denganku"!" Si dara berpakaian merah mengotot.
"Sial!" maki Andika jengkel. Pendekar Slebor memang tidak suka dipojokkan
seperti itu. Apalagi oleh perempuan pula. "Yah.... Mereka itu amat kenal pada
pemilik cemeti yang kau bawa!" jelas Andika, menyerah. "Mungkin kau bisa
mengorek keterangan dari mereka, tentang kakak kandung si pemilik cemeti. Se-bab
menurut kabar burung, pemilik cemeti itu mempunyai seorang kakak lelaki...."
"Kalau begitu, terimakasih!" ucap Anggraini ketus.
Dijumputnya cemeti yang terjatuh di sisi sisa api unggun, lalu beranjak
meninggalkan tempat itu.
"Kau mau ke mana?" tanya Andika.
"Ke neraka!"
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana dengan jatah panggangan kelincimu ini"!"
seru Pendekar Slebor lagi.
"Makan saja sendiri. Bukankah kau memang ra-kus?"
cemooh Anggraini di kejauhan.
"Perempuan slompret!"
*** Tiga hari telah berlaku, Anggraini sudah terlihat di satu sudut kotapraja. Malam
sudah tiba. Lampu-lampu minyak bertebaran semarak di daerah itu.
Tempat yang paling sering dan paling banyak menjadi sumber berita adalah kedai.
Di sana, desas-desus marak di antara bau arak dan panganan. Dan Anggraini kini
memasuki salah satu kedai. Dia berharap bisa mencuri-curi keterangan dari
obrolan par pengunjung tentang Kembar Dari Tiongkok.
Gadis itu mengambil tempat, tepat di tengah tengah ruangan. Tempat yang bagus
untuk bisa mendengar ke segenap penjuru kedai. Sambil terus memasang kuping,
dipesannya makanan. Ketika makanan datang, gadis itu pun menyantapnya.
Harapan Anggraini terkabul sebelum sempat menghabiskan santapan malam. Dua lelaki yang tampaknya dari dunia persilatan,
sedangsantai membica-rakan sesuatu sambil menikmati tuak keras. Mereka rupanya
sudah cukup mabuk, sehingga lancar saja mengobral ucapan.
"Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah membual kegemparan tiga tahun
lalu bersama Begal Ireng?" tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk memenuhi
wajahnya. "Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah mati sewaktu Pendekar Slebor
mengamuk, mem-bumi
hanguskan mereka?" tanggap lelaki yang diajak berbicara.
Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot.
"Mati" Siapa yang bilang mereka mati" Begal Ireng memang mampus di tangan


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar muda itu. Tapi
mereka tidak"
"Ah! Dari mana kau tahu begitu?"
"Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu mereka. Dengan kalimat-
kalimat mereka yang kaku, aku ditanya tentang Pendekar Slebor...."
"Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu"
Sinting! Apa mereka belum kapok"!"
"Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari dunia persilatan, Kembar
Dari Tiongkok mempersiapkan diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka
mungkin punya ilmu baru!"
"Ah! Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak muda sakti itu meski tiga tahun
menambah ilmu. Kata banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan.
Kalau dia bergerak..., bet! Bet! Tahu-tahu, apa yang ada di depan hancur. Belum
lagi, kabarnya dia bisa menyerap tenaga petir!" tutur lelaki klimis menggebu-
gebu. Saking semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke lantai.
"Yaaa.... Tuak kita. Kau sih! Cerita pakai mencak-mencak segala!" gerutu lelaki
bauk. "Mana uangku sudah habis...."
"Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?" sapa Anggraini yang kebetulan tak
jauh dari tempat mereka.
Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena pengaruh tuak.
"Wah, rejeki nomplok! Nisanak haik sekali...." sambut lelaki klimis.
"Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau memberitahu aku, ke mana
Kembar Dari Tiong?kok pergi,"
lanjut Anggraini.
Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari
Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara berpakaian merah.
"Aku tahu, Nisanak," kata si bauk. "Setelah bertanya padaku, mereka pergi ke
arah utara, eh... ! Tunggu dulu."
Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat.
"Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?" tanya laki-laki itu pada kawannya.
"Barat maksudmu?" sela Anggraini.
"Ya, barat! Tepat, Nisanak!"
"Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?"
Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat kemudian wajahnya meringis
ngeri. "Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya Pintu Sorga dan Neraka
Dunia. Jaraknya tak begitu jauh dari sini. Kira-kira setengah harian
berkuda...."
"Cukup, terimakasih,"
putus Anggraini, seraya mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya uang itu pada si lelaki
pemabuk. "Mabuk sampai pagi!" teriak lelaki itu girang bukan main. Setelah itu tubuhnya
ambruk, tak kuat lagi menahan pengaruh tuak dalam tubuhnya.
Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar kedai. Malam itu juga, gadis
ini mencari seekor kuda jantan dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke
arah yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi.
*** Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan
Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut timur cakrawala. Cahaya
jingganya menyapu samar wilayah itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari
tidur. "Pantas saja tempat ini disebut 'Pintu Sorga'. Ke-indahannya benar-benar
menakjubkan," puji Anggraini perlahan.
Gadis itu memandangi pucuk-puc uk bunga matahari jangkung
yang masih tertunduk-tunduk,
seakan sekumpulan serdadu mengantuk.
Warna kuningnya
menyatu dengan jingga sang matahari.
"Tapi, kenapa tempat itu disebut juga 'Pintu Neraka'"
Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada tanda-tanda kalau tempat ini
seperti neraka...," gumam gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa
sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng daerah itu.
Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan
Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini dia pun mulai
mengendalikan kuda tunggangan yang telah dibelinya, berjalan perlahan menyusuri
jalan setapak berkerikil warna-warni.
Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemu-kan serumpun bambu kuning setinggi
dua kali manusia.
Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin mengusik. Di dekat serumpun
bambu kuning lain, telinga Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar
gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka seketika
pen-dengarannya
ditajamkan. Tak lama kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah rintihan seseorang.
Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari punggung kudanya. Dia
langsung berlari ke balik
kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan
terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah tiang kayu bcsar terpancang
angkuh dan dingin. Di atasnya, tergantung sescorang yang sudah dikenalnya....
Agungcakra. "Cakra! Apa yang terjadi?" tanya Anggraini, khawatir melihat keadaan Agungcakra
yang mengenaskan.
Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini.
Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya tergantung. Sudah begitu
banyak darah tergenang disana.
Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat pasi. Matanya terkatup,
redup. Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu.
Dan tangannya pun bergerak sekelebat. Wes... tes!
Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa kesulitan, seakan baru saja
ditebas sebilah kelewang amat tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun
meluncur jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap.
"Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak manusia....," kata Agungcakra
lirih. Tubuhnya telah terbaring di tanah, sementara kepalanya senga-ja dipangku
Anggraini. "Tentang seorang yang begitu menyayangi adik kandung ayahnya. Dia
mencari sang bibi yang menghilang bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa
kenal mcnyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan, tiba-tiba dia
harus menerima kenyataan pahit. Harapannya untuk menerima kasih sayang yang dulu
pernah hilang, lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti dulu.
Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada hanyalah perempuan keji yang
sudi mencabik-cabik atas perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai
hubungan darah.... Ugh-ugh!"
Hati lembut Anggraini tersentuh. Nurani kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan Agungcakra menjelang ajal
yang kian dekat.
"Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...," hibur Anggraini bergetar lemah.
Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di kedalaman jiwa goyah Agungcakra.
Tak terasa garis-garis bening mulai menggantung di matanya.
"Aku letih mcncari, Nisanak. Amat letih...."
Agungcakra memperlihatkan tawa rapuh yang demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasib-nya.
"Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana pun, aku tetap menyayanginya.
Hanya 'sisi gulita' dalam dirinya yang membuatnya begitu," desah Agungcakra,
mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika dan Anggraini.
Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan sekadar desah napasnya.
Agungcakra telah mati akibat tangan orang yang disayanginya.
Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya terpaku
diam, memandangi jasad Agungcakra di pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari kehalusan pipi gadis itu.
jatuh tepat di sisi bibir Agungcakra yang masih memperlihatkan senyum kekalahan
atas nasibnya. Belum puas gadis itu melepas keharuan. mendadak
sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang.
Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya dari kebisuan panjang
mengiringi jiwa Agungcakra yang pcrgi."Dia telah mati, Nisanak," ucap seorang di
belakang Anggraini.
Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu siapa yang ada di
belakangnya. Ternyata, orang itu adalah Andika, yang mengikutinya sejak gadis
itu meninggalkan kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini sampai
tiba di tempat ini.
"Apakah kau percaya?" kata Anggraini, "Kemarin malam, dia masih tertawa dengan
kita. Masih membaca sajak indah untuk kita...."
Andika tak mampu berkata-kata.
*** Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah
menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di
tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung kuda masing-masing.
Anggraini masih menatap gundukan tanah basah di depan.
"Kasihan dia...," bisik Andika seolah pada diri sendiri.
Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu binatang itu berjalan
perlahan. Andika menyusulnya di belakang.
"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Anggraini pada Andika beberapa waktu
kemudian. "Aku hanya khawatir padamu," kata Andika.
Anggraini menatap Andika lekat-lekat.
"Kenapa" Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu dikhawatirkan?" ujar gadis itu
agak tersinggung.
Andika tersenyum.
"Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari caramu menotok kuda almarhum
Agungcakra waktu itu, aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan untuk
menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang baru di dunia persilatan
busuk ini...."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari caramu waktu memperlakukan aku dan
Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu hati-hati. Bahkan kau
sempat hendak menurunkan tangan kejam pada Agungcakra waktu itu...."
"Ya.... Aku memang menyesal...," sela Anggraini, leringat sikap kasarnya pada
pemuda yang ternyata berusia singkat itu.
"Nah! Menurut pcngalamanku, hanya orang-orang yang baru turun ke dunia
persilatan yang bersikap seperti itu,"
papar Andika entcng. Kembali bibirnya mempcrlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini agak rikuh.
"Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya, aku mengira kalian sejenis
pemuda hidung belang. Tapi, nyatanya kalian berhati mulia...," kata Anggraini
dengan kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil, seolah merasa bersalah.
"Aku" Aku kau sebut berhati mulia?" tukas Andika, memperlihatkan wajah mencemooh
diri sendiri. "Kau belum tahu saja."
"Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan bertemu Cakra," kata Anggraini, tak
mempedulikan gurauan Andika. "Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak hal.
Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira telah bertemu bibinya yang
telah dicari sekian lama...."
"Ternyata dia mengalami nasib mengenaskan.
Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak
'bungkusan bagus, tapi isinya bangkai'...," potong Pendekar Slebor.
Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan
yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini mempunyai perhatian besar.
Tadi, Andika mengatakan kalau mencemaskan Anggraini.
Kini dari mulutnya
melunc ur nasihat-nasihat yang begi?tu bijak.
Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir Anggraini. Keketusannya
saat itu seperti terbang entah ke mana."Jangan suka mencuri-curi pandang padaku,
Nisanak. Nanti kau bisa jatuh cinta!" cetus Andika tak terduga.
Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini.
Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan semu merah yang merebak di
kedua belah pipinya.
Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya
yang merah karena malu, mendadak.
"Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini, harus mati!"
"Heh"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar,
membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat keterkejutan mereka hilang,
menyusul berkelebatnya sesosok bayangan merah....***
9 Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak menghadang jalan mereka
adalah Ratu Lebah. Tampak masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna
keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas kematian Agungcakra.
Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian,
memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji.
Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat untuk menghabisi
Agungcakra. Meski bagaimanapun, ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra
masih tetap tersisa.
Sewaktu Pangeran Neraka memerintahnya membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi pertentangan batin dalam
dirinya antara pengaruh jahat Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang
tersisa. Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai pikirannya. Dengan
telengas, Ratu Lebah menyerang keponakannya sendiri yang sangat disayangi.
Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara
Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu tanpa kesulitan berarti
mengoyak-ngoyak kulit tubuh Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran
Neraka menjerat kakinya
dengan tambang besar.
Agungcakra digantung di sebuah tiang.
"Rupanya sang bibi bertangan dingin itu," kata Anggraini, menyambut penghadangan
Ratu Lebah dengan riuh. Matanya berkilat-kilat gusar. "Tak kusangka, kau


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega menghabisi nyawa keponakan
sendiri!" "Apa maumu Ratu Lebah?" tanya Andika datar.
Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan.
Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan terakhir
Agungcakra. Tapi menurut pengalaman- pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila menghadapi tokoh sesat yang
sulit terukur kepandaiannya
dengan gegabah.
Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya menyeringai seraya melempar
sorot mata keji pada Andika.
"Perjaka tampan! Kau tentu belum pernah melayang-layang dalam tungku tanpa
batas...," desis Ratu Lebah dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini.
"Aku tak paham maksudmu," kata Andika. 'Tak perlu lagi berbasa-basi dengan
wanita busuk ini, Andika! Dia harus menerima hukuman!"
Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak hatinya melihat seringai Ratu
Lebah. Matanya jelas sekali menemukan pandangan telengas wanita itu.
Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu tangannya ke depan tubuh
perlahan dan pasti. Wajahnya berubah menegang.
"Kau rasakan ini!" seru Anggraini berbareng gerakan tangan, membuat pukulan
jarak jauh ke bumi.
Wesss! Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat
terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena langsung membara selebar roda
pedati. Asap hitam mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemu? dian....
Grrr! Bumi bagai digoncang, menciptakan gemuruh dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Ang?graini mulai kalang kabut. Mereka
meringkik-ringkik liar dengan kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu
yang amat menakutkan mereka.
Saat berikutnya, retakan tanah tercipta. Berpusat dari tempat Anggraini melepas
pukulan 'Kekuatan Kembar'nya, retakan meluas dan Irian meluas. Kuda tunggangan
anak muda itu pun tersentak mundur ketakutan sewaktu
retakan lebar membelah tanah di depan. Seketika kuakan besar tercipta,
memunculkan wujud mengerikan. Besar, bersisik serta keperakan.
Andika terpukau. Seumur hidup, baru kali ini matanya melihat makhluk raksasa
itu. Bahkan benaknya pun tak
pernah sekali pun membayangkan-nya.
"Kadal linglung-kecoa bunting!" desis Pendekar Slebor dengan rrtata terbelalak
besar-besar, seakan siap melompat keluar. "Nenek moyang ular dari mana ini?"
Sekilas Pendekar Slebor menatap Anggraini tanpa
sempat berkedip. Hampir tak bisa dipercaya kalau gadis di sebelahnya itu yang
telah mengundang si ular raksasa muncul.
"Nisanak! Apa kau sejenis siluman ular" Atau kau mahaguru para pawang ular"
Atau..., atau aku yang memang sudah tidak waras?" tanya Andika padanya.
Anggraini seperti tak pernah mendengar gumam
takjup Andika lagi. Tangan kanannya diacungkan lurus-lurus ke arah Ratu Lebah.
Seolah dia berkata dengan isyarat pada sang ular raksasa, bunuh perempuan itu!
Waktu itu si ular raksasa setelah takluk pada
Anggraini, diberi nama Naga Bumi. Binatang itulah sesungguhnya yang dimaksud
buyut guru Anggraini sebagai
'kehebatan lain' dari ilmu 'Kekuatan Kembar'. Sesuatu yang dikata ibunya sebagai
'yang tak pernah terpikirkan'. Panas hebat dari pukulan 'Kekuatan Kembar' selalu
akan mengundangnya
untuk muncul dari perut bumi, meninggalkan pertapaannya jauh di bawah sana, untuk menerima titah sang tuan.
Naga Bumi kini sudah menampakkan seluruh
tubuhnya yang menggetarkan. Mulutnya mendesis-desis dengan
suara bagai guruh. Mulutnya menganga, mengancam Ratu Lebah yang berdiri dua puluh tombak darinya. "Ssszzz!"
"Lumatkan dia!" teriak Anggraini, penuh gejolak kemurkaan.
Hilanglah kesan gadis nakal yang sering tampak pada dirinya. Kini sitatnya telah
ganti menjadi seorang perwira perang wanita berwibawa.
Sementara itu Naga Bumi meliuk kasar, mem-
porakkan kumpulan pohon bunga matahari di sisi jalan setapak. Kerikil
berhamburan. Bumi terus digebah getaran.
Sasarannya hanya satu. Ratu Lebah!
Wuk! Ekornya membuat serangan pembuka. Deras menyabet, menimbulkan angin yang bergulung disekitarnya. Ratu Lebah cepat melenting lincah.
Caranya menghadapi binatang dari perut bumi itu begitu pasti.
Sedikit pun tak kentara kegugupan dalam dirinya. Wajah cantiknya tetap sedingin
es. Gerakannya tetap mantap.
Selagi melayang di udara, tubuh Ratu Lebah di-terjang kepala binatang raksasa
yang mematuk dengan mulut menganga.
Satu gaya menyelamatkan diri dari lahapan mulut
sebesar goa kini dibuat Ratu Lebah. Dengan lentur, tubuhnya yang semula
tergulung, merentang lurus ke depan. Kedua tangannya terbentang ke muka, siap
menyambut kepala lawan. Ketika hampir tertelan, dua tangan wanita itu menyentak
kuat taring besar di mulut si ular raksasa.
Das! Ratu Lebah berhasil menjauhi lawannya dengan
memanfaatkan tenaga dorongannya sendiri. Tubuhnya pun jatuh dengan kuda-kuda
matang, siap menanti terjangan selanjutnya.
Sementara si ular raksasa bagai tak pernah
merasakan sakit pada taringnya. Dia terus saja merangsek.
Jaraknya dengan lawan kecilnya yang tak begitu jauh, segera dicapai dengan
patukan panjang.
Wuuukh! Pada saat yang sama, Ratu Lebah sedang memu-
satkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, untuk
menahan patukan kepala besar itu.
"Chiaaa!"
Dark! Beriring teriakan melengking tinggi, pukulan tenaga dalam Ratu Lebah terlepas,
lantas menghajar telak moncong si ular raksasa. Luncuran kepalanya langsung
terhenti di tempat, seakan baru saja terhadang benteng kokoh kasatmata.
"Ayo! Serang aku lagi, Binatang Keparat! Biar kukirim kau ke suatu tempat yang
menyenangkan, tempat kita berpesta dengan siksaan!" tantang Ratu Lebah sulit
dipahami. Seperti mengerti ucapan lawan, si ular raksasa
memacu kembali tubuhnya dengan kemurkaan maha
besar. Hantaman Ratu Lebah telah membuat darahnya mendidih. Sepasang mata merah
darahnya kian memerah pekat. Di sisi-sisinya mulai berpijaran.
Anehnya, si ular raksasa tak segera menuju lawannya.
Tubuhnya meliuk ke atas. Lalu tiba-tiba, kepalanya menyeruduk bumi, menciptakan
lobang besar. Kemudian dia menelusup dan menghilang.
Permukaan tanah di sekitar arena pertarungan
bergetar hebat seperti semula. Tak ada yang tahu, apa yang hendak dilakukan
binatang langka mengerikan itu.
Yang pasti, kini dia sudah mengaduk aduk isi bumi.
Ratu Lebah berdiri waspada. Diperhatikannya
permukaan tanah tanpa berkedip sekejap pun. Mata-nya liar bergerak kian kemari,
menjaga kemunculan sang lawan yang bisa saja muncul tiba-tiba.
Kewaspadaan Ratu Lebah tak sia-sia. Si ular raksasa, seperti dugaannya, memang
muncul mendadak dari dalam bumi tepat di atas tempatnya berpijak.
Gruak! "Hai it!"
Ratu Lebah berhasil menggenjot tubuh ke atas,
dengan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Sayangnya, kemunc ulan kepala si ular raksasa lebih cepat dari dugaannya. Kepala
besar itu cepat menyusul beringas ke atas dengan mulut menguak lebar-lebar.Plap!
Sekejap saja, tubuh Ratu Lebah masuk ke dalam
rongga mulutnya.
Andika di kejauhan ternganga amat takjup. Wanita itu pasti telah ditelan mentah-
mentah oleh si ular raksasa itu.
Tapi kenyataan berikutnya membuat dia lebih ternganga takjup. Di dalam rongga
mulut Naga Bumi, tampak Ratu Lebah sedang merentang-kan tangan tubuh dan kakinya
lurus-lurus dan tegang.
Tangannya terganjal di rongga atas mulut Naga
Bu?mi, sedangkan kakinya bertahan di atas lidah.
Naga Bumi menghempas-hempas kepala ber-kali-kali.
Tubuh calon korban yang mengganjal rahangnya hendak dilontarkannya. Berkali-kali
dicoba, berkali-kali gagal.
Terkadang dicobanya mcngatup-kan rahang untuk meremukkan sekaligus tubuh Ratu Lebah. Namun usaha itu pun menemui kegagalan.
"Ck, ck, ck. .," Andika berdecak-decak sendiri. Bibirnya sampai maju-mundur
seperti moncong kelinci.
Anggraini di sisinya menatap terus tajam-tajam Sikap tubuhnya terlihat amat
siaga. Tampaknya, dia sedang menanti satu kesempatan. Entah untuk apa.
Seesaat kemudian, baru jelas apa yang hendak
dilakukan gadis berwajah ketus itu. Kala mulut ular taklukannya menghadap ke
arahnya, secepat kilat
tubuhnya melompat turun dari kuda yang tak henti gelisah.
Dan secepat kilat pula, dua tangannya memben tang lurus ke depan, melepas
pukulan jarak jauh 'Kekuatan Kembar'
tingkat pembuka dibidikkan amat teliti ke tubuh Ratu Lebah.
Wusss! . Kekuatan panas terlepas cepat, menembus udara
dan memanggangnya dalam sekejap. Asap putih membekas, sepanjang lintasan tenaga pukulan tadi.
109 Arahnya demikian tajam, ke tubuh Ratu Lebah di
rongga mulut ular raksasa. Das!
Ratu Lebah kontan terhantam telak. Untung saja,
hanya bagian paha padatnya yang terhajar. Jika sedikit lebih ke atas, bisa
dipastikan nasibnya akan naas.
Kalaupun bisa bertahan menerima rangsekan pukulan yang sanggup meremukkan
karang, tentu tubuhnya akan
terdorong mas uk ke tenggorokan Na-ga Bumi. Dia akan menjadi isi perut ular
raksasa itiu. Beruntung pula, pada saat bersamaan ketika
tubuhnya kehilangan pertahanan, Naga Bumi meng-
goyangkan keras kepalanya. Akibatnya, Ratu Lebah pun jadi terlempar keluar dari
rongga mulut Naga Bumi. Setelah melunc ur cukup jauh, tubuhnya jatuh meninju
bumi di atas hamparan pohon bunga matahari.
Srak! Sekujur paha Ratu Lebah yang terkena pukulan jarak jauh Anggraini tak bisa lagi
digerakkan. Panas luar biasa begitu terasa, bagai ada panggangan besi membara!
Ratu Lebah tak kuasa lagi berdiri di atas kuda-kudanya.
Sementara, Naga Bumi tak membiarkan wanita
telengas itu sempat bernapas lega. Binatang beringas itu merangsek lagi dengan
seluruh gambaran keganasan serta kemurkaannya.
Menyadari tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, si wanita cantik yang kehilangan
kewarasan ini memutar jari telunjuknya di udara, dalam satu pengerahan tenaga
dalam. Maka sekelika suara tinggi melengking pun tercipta.
Swing, swing, swing!
Apa yang sesungguhnya dilakukan wanita itu" Jelas, dia tidak sedang bermain-main
dalam keadaan genting seperti ini.
Mendadak, dari balik bukit sebelah tenggara, keluar sebentuk hamparan di angkasa
yang berubah-ubah
bentuk. Dari kejauhan, bunyinya bisa ditangkap. Berdengung hingga ke balik bukit seberang. Berjuta-juta makhluk sebesar
kelingking berwarna hitam, rupanya telah merambah angkasa. Jutaan lebah yang
terkenal memiliki sengatan paling berbisa di seantero jagad. Bisanya, beberapa
kali kuat daripada bisa seekor ular sendok.
Lebah-lebah itu memang sengaja dibiakkan Ratu Lebah dengan ramuan khusus yang
menyebabkan mereka
memiliki bisa amat kuat.
Dan hari ini, si Pendekar Slebor sedang mendapat
jatah 'ternganga-nganga' yang melimpah. Sudah beberapa kali dia terbengong-
bengong, kini pun mesti terbengong lagi. Siapa yang tak takjup mendapati
pemandangan seperti itu" Lebah-lebah yang terbang membentuk raksasa ganjil di
angkasa" "Mak! Aku memang benar-benar sudah tak waras barangkali, ya?" rutuk Pendekar
Slebor pada diri sendiri.
Dipukul-pukulnya kepala seperti orang hilang ingatan.
Tak lama, jutaan lebah itu mendapat aba-aba suara siutan dari Ratu Lebah, untuk
segera menyerang Naga Bumi.
Ngungngng! Naga Bumi kontan diserbu makhluk-makhluk kecil
dari berbagai penjuru. Mereka menyengat seluruh kulit Naga Bumi dengan rakus.


Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, sengatan yang bisa menewaskan manusia dalam sekian kedip mata itu,
ternyata hanya jadi semacam c ubitan kecil bagi si ular raksasa.
Naga Bumi mengamuk. Ekornya dikibas-kibas-kan
sambil meliuk-liukkan badan. Ratusan lebah ma-lah ditelannya begitu saja. Dan
ketika sepasukan le?bah itu tak juga mau berhenti mengerubungi, Naga Bumi tak
ambil peduli lagi.
Tubuh besar terus merayap menuju Ratu Lebah.
Sesaat lagi, wanita itu siap dihantamkan moncong-nya.
Wusss! Set! Tepat ketika tinggal setengah tombak lagi mon-cong Naga Bumi menimpa tubuh Ratu
Lebah, sekelebat
bayangan menyambarnya amat cepat. Tubuh sintal Ratu Lebah langsung dibopong di
bahu seperti bungkusan kapas.
"Hey, siapa kau"!" teriak Andika.
Seketika itu juga tubuh Pendekar Slebor berkelebat cepat, mengejar.
*** 10 Di dunia persilatan, ilmu kecepatan gerak dan
meringankan tubuh Pendekar Slebor tergolong berada dalam urutan puncak. Bahkan
bisa dibilang sulit dicari tandingan. Tak jarang orang menyebut kecepatannya
sebagai sambaran petir, atau kecepatan setan.
Andai ada seseorang yang mampu mengecoh Andika
dengan kecepatannya,
maka jangan ragukan lagi, bagaimana tingkat kesaktian orang itu. Hari ini, Andika bertemu orang semacam
itu. Sewaktu mencoba mengejar orang yang berkelebat
menyambar tubuh Ratu Lebah, Pendekar Slebor terkecoh.
Ternyata orang itu berlari lebih cepat darinya. Padahal, sedang membopong tubuh
orang lain. Dengan cepat, Andika kehilangan jejak.
Yang menjengkelkan, orang itu muncul lagi di
kejauhan selagi Pendekar Slebor celingukan seperti kera bodoh. Dia berdiri
menanti, memperdengarkan tawanya yang buruk. Pendekar Slebor jadi merasa diejek.
Maka dengan sepenuh
kemampuan, dikerah-kannya ilmu
peringan tubuh. Dikejarnya lagi orang itu. Dan tiba-tiba pula, orang itu
menghilang seperti ditelan bumi.
"Kenapa aku hari ini dibuat kebingungan terus,"
gerutu Andika sambil menggaruk-garuk kepala. "Ada gadis cantik yang judes tahu-
tahu punya peliharaan yang besarnya minta tobat. Ada wanita jelita setengah gila
punya peliharaan jutaan binatang 'tukang sundut'. Eh, bisa-bisanya sekarang aku
dijadikan bulan-bulanan orang yang larinya cepat seperti setan...."
Di akhir gerutuan Pendekar Slebor, terdengar lagi tawa seseorang di kejauhan.
Jelek dan serak seperti tadi.
Andika mendengus kesal. Dia merasa dipecundangi hari ini. Kalau diperhatikan
lebih teliti, Pendekar Slebor berkesimpulan kalau suara itu keluar dari pita
suara seorang tua renta. Jika lelaki, suara itu terlalu cempreng.
Kalau begitu, pasti suara perempuan bangkotan. Tapi, siapa"
"Ah, peduli setan!" maki Andika. "Aku tidak mau cepat-cepat jadi gila memikirkan
perempuan bangkotan itu!"
Andika lalu berlari kembali ke tempat semula. Hendak ditemuinya Anggraini. Biar
s udah tahu gadis itu punya peliharaan yang bisa diandalkan, Andika tetap saja
khawatir dengan keselamatannya.
Seperti pernah diungkapkan pada Anggraini, rimba persilatan terlalu licik bagi seorang yang
baru menceburkan diri ke dalamnya.
Seperti juga Anggraini.
Tak banyak memakan waktu, Pendekar Slebor sudah
tiba kembali. Tapi di Sana, tak ditemukan seorang pun.
Tidak juga Anggraini. Ular raksasa dan se-kumpulan lebah itu pun sudah tak
tampak. Yang tersisa hanya suasana yang porak poranda, akibat pertempuran
dahsyat. "Eih! Ke mana pula gadis ketus itu?" gumam Andika.
Kepala Pendekar Slebor celingukan ke sana ke-mari.
Tapi, tak ada tanda-tanda arah kepergian Anggraini.
"Anggraini! Anggraini! Anggraini!" panggil Andika.
Tak ada sahutan. Suara Andika kembali lagi, akibat pantulan bukit yang mengepung
tempat itu.... *** Jauh, amat jauh dari Pintu Sorga dan Neraka Dunia,
seseorang tampak berlari cepat. Bahunya membopong tubuh seorang wanita sintal.
Orang yang dibopong berukuran lebih besar. Tapi, bukan karena itu tubuhnya
membungkuk. Orang itu adalah nenek tua peot. Rambutnya putih digelung, dihiasi tusuk konde
dari trisula. Seluruh wajahnya dipenuhi keriput. Di mulutnya tersembul satu gigi
besar yang tersisa. Dia mengenakan pakaian seronokan. Bagian atas tubuhnya
ditutup rompi kulit kayu yang terbuka ke mana-mana,
sehingga buah dadanya yang kendor
bergelayut kian kemari. Bagian bawah tubuhnya ditutup
dedaunan yang diikat menjadi satu ke pinggang.
Nenek peot itu memasuki wilayah pekuburan tua, di atas kaki gunung. Di tengah
kuburan, tumbuh sebuah pohon beringin besar. Dihampiri pohon itu. Di sisi pohon,
si nenek terbatuk-batuk sesaat. Dan, terbukalah satu sisi pohon membentuk pintu
masuk. Rupanya, saat batuk tadi dia melepas satu tenaga dalam yang menggerakkan
roda-roda di bawah pintu yang beratnya mungkin lebih berat tiga kerbau jantan
dewasa! Si nenek masuk. Dan pintu pun tertutup kembali.
Di dalam, ternyata ada tangga menuju ke bawah,
terbuat dari susunan batu besar dari sungai yang dipapas oleh tangan membentuk
persegi panjang.
Setelah menuruni sekitar sepuluh tangga ber-warna merah, lima anak tangga kuning
serta seratus dua puluh tangga hijau, si nenek tiba di depan pintu kedua. Begitu
pintu batu dibuka, terlihatlah ruangan besar lengkap dengan perabotannya. Ada
meja dan bangku yang
semuanya dari batu. Ada rak tempat piring dan gelas tanah liat. Ada juga semacam
tempat tidur dari tumpukan jerami.
Di tumpukan jerami itu, Ratu Lebah direbahkan.
"Duh, Nduk.J. Nduk. Kasihan sekali nasibmu!" kata si nenek. Wajah keriputnya
terlihat prihatin. "Bodohnya, aku terlambat mengetahui keadaanmu. Aku terlalu
yakin pada ilmu-ilmu yang telah kuberikan padamu. Untung saja, aku iseng-iseng
keluar dari tempat pertapaan bau pesing ini, Nduk."
Di lain sisi, si sosok yang diajak bicara hanya diam tanpa gerak. Matanya
terpejam tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum
disambar si nenek peot, Ratu Lebah alias Mayangseruni rupanya sudah ditotok
lebih dahulu. "Sebentar, Ndukl" pamit si nenek. "Akan kuambilkan dulu Baki Penerawangku."
Beberapa lama, perempuan tua itu tampak mencari-
cari sesuatu di sudut ruangan. Bunyi barang-barang berantakan terdengar kacau
dan bising. Mungkin akan
lebih tepat kalau dikatakan sedang mengaduk-aduk perabotan.
Prak! Gedubrang! Gedubreng!
"Nah hek hek hek! Akhirnya ketemu juga Baki Penerawang sial ini," cetus si nenek
gembira didahului tawa jelek menyakitkan telinga.
Dengan tertatih-tatih, nenek ini menaruh baki usang dari sejenis bata laut ke
meja batu. "Sekarang aku perlu air. Air.... hm. . Air di tempayan sudah kering kupakai
untuk berkumur. Mau ambil di luar malas. Ah! Masa bodoh!" kata si nenek. Segera
dibawanya baki kembali ke satu sudut ruangan. Di sana dia
berjongkok di depan baki.
Srrr! Tak lama kemudian, si nenek tertawa-tawa puas. Satu gigi besar berwarna kuning
pekat di mulut keriputnya tersembul.
"Biar pesing sedikit, yang penting air, hek hek hek!"
Kemudian si nenek meletakkan baki di meja batu, lalu duduk bersila di atas meja
batu tersebut. Dengan mata terpejam, dia bersemadi. Kalau orang lain bersila,
nenek tua renta itu malah berjongkok seperti sedang buang hajat.
Kedua tangannya ditempelkan ke kening. Mulutnya komat-kamit. "Ningnangneng...
gong, anak bagongmakan sing-kong, kodok bangkok di dalam centong.... Ning nang
neng... pret, ada lontong disangka kampret! Phuah! ' Phuah! Khoaek chuih!
Mantera dari dunia antah berantah telah dibacakan si nenek. Matanya pun terbuka
perlahan. Masih tetap dengan tangan di kening, diperhatikannya permukaan 'air'
di dalam baki. "Mmm, ya ya. Begitu rupanya," gumam si nenek seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi, kau ini terkena pukulan beracun Perusak Saraf dari negeri Tiongkok,
Nduk." Si nenek mengangkat kepalanya sesaat.
"Weleh, weleh... weleh... Bisa-bisanya pukulan dari negeri jauh itu menjahili
anak gadisku...."
Si nenek mengembalikan pandangan ke baki. Air
kekuningan di sana kembali mengabarkan berita padanya.
"Jadi, manusia berjenggot kambing gunung itu biang keladinya. Eee, Manusia Jelek
Sial!" Berita-berita gaib dari Baki Penerawang pun dilihat terus oleh si nenek, yang
sesungguhnya adalah guru Ratu Lebah. Dialah pertapa wanita yang dulu menculik
Mayangseruni, untuk dijadikan murid. Setelah semua keterangan dari baki dianggap
cukup, acuh tak acuh dilemparnya baki tersebut ke tempat semula.
Gedubnang! Dan bau menusuk hidung pun menebar ke segenap
ruangan! "Sayang sekali, racun itu tak ada pemunahnya, Nduk.
Pengetahuanku tentang racun pun tak bisa menolongmu.
Jadi bagaimana, ya" Tapi menurut Baki Penerawang sial tadi, kau bisa sembuh oleh
pertolongan seseorang yang telah memakan buah 'inti petir'. Dengan buah itu,
orang tersebut akan menyalurkan kekuatan petir yang bisa menghancurkan pengaruh
racun di otakmu.... Weleh..
weleh... we-leh... Menyusahkan juga ya, Nduk!
Si pertapa keriput menatap wajah Mayangseruni.
Mata gadis itu masih terkatup tenang. Bibirnya memperlihatkan lekukan manis, seperti senyum kebebasan. Pcrlahan dadanya yang padat turun naik teratur.
"Pokoknya, aku janji. Siapa saja perjaka yang makan buah 'inti petir' dan bisa
menolongmu, maka dia harus mengawinimu. Kalau tidak mau, tahu sendiri dia! Akan
kusunat dia! Eh! Tapi. mana ada jejaka yang menolak gadis seayu dirimu ya,
Nduk!." Si nenek tertawa cekikikan.
"Dan buat si jenggot kambing yang mencelakakanmu.
tunggu saja! Akan kubuat lelaki sial itu terkencing-kencing di celana! Hek hek
hek... khoek chuih!"
Sebenarnya, ke manakah Anggraini" Saat Andika
pergi mengejar nenek pertapa yang menyambar tubuh Mayangseruni, seseorang
mendatanginya dari belakang.
Ketajaman telinga yang ter-latih selama di Tanah Buangan, membuat Anggraini
dengan sigap menoleh.
Tampaklah seorang lelaki berusia delapan puluhan sedang berdiri memandangi
dirinya. "Siapa kau?" tanya
Anggraini, mengungkapkan keingintahuannya.
"Kau sendiri siapa?" kata lelaki berwajah seram itu balik bertanya penuh
selidik. "Hey"! Pertanyaanku belum lagi kau jawab!" ser-gah Anggraini agak gusar.
Lelaki itu kembali menatap Anggraini, tajam dan teliti.
Matanya menyusuri setiap jengkal tubuh gadis itu dari kepala hingga ujung kaki.
"Kau lelaki bangkotan mata keranjang!"' sodok Anggraini kasar, menyadari dirinya
sedang dilalap mentah-mentah oleh mata lelaki di depannya.
"Baik. Aku biasa dipanggil Pangeran Neraka," sahut lelaki tua itu.
Ditunggunya tanggapan Anggraini. Gadis itu tak
tampak terkejut mendengar nama angkernya. Padahal, banyak
tokoh persilatan langsung kecut nyalinya mendengar julukan itu.
"Kau tidak terkejut mendengar julukanku?" tanya Pangeran Neraka.
"Kenapa harus terkejut" Apa kau kira namamu membuat aku takut dengan embel-embel
'neraka'?"
cemooh Anggraini ketus sekali.
"Artinya, kau adalah orang yang baru turun ke dunia persilatan...," simpul
Pangeran Neraka, tak menggubris cemooh tadi.
"Apa pedulimu!"
Sekali ini, mata berbinar menusuk milik Pangeran Neraka tertumbuk pada cemeti
yang melingkar di pinggang si dara.
"Sejak tadi aku penasaran dengan cemeti itu, Gadis Muda. Siapa kau sebenarnya"
Apa hubunganmu dengan Begal Ireng?" desak Pangeran Neraka penuh selidik.
"Justru hal itulah yang ingin kutahu. Kemarin, aku dengar pula nama Begal Ireng
disebutkan seseorang di kedai. Kata mereka, dia berhubungan dengan Kembar Dari
Tiongkok!"
"Ada urusan apa kau dengan dua lelaki kembar itu?"
"Bukan urusanmu!"
"Jangan bertele-tele, Anak Gadis! Aku bisa membawamu langsung pada Kembar Dari Tiongkok, asal kau katakan apa urusanmu
dengan mereka!" te-gas Pangeran Neraka datar, namun menusuk.
Mata memikat Anggraini menatap Pangeran Neraka.
Kali ini, dia ganti menyelidik. dengan pandangan. Dengan sedikit menimbang-
nimbang, akhirnya Anggraini mau terus terang juga. Dia memang hanya ingin
secepatnya mengorek keterangan dari Kembar Dari Tiongkok.
"Menurut kawanku, aku bisa mendapat keterangan tentang cemeti ini dari dua orang
itu," kata gadis dari Tanah Buangan ini.
"Nama kawanmu?" tanya Pangeran Neraka, se?perti menyudutkan Anggraini.
"Kau terlalu banyak menuntut, Orang Tua! Kau bilang tadi hendak membawa aku
langsung pada Kembar Dari Tiongkok!"
"Baik! Kalau kau tak mau menjawab pertanyaan. Tapi jawab pertanyaanku yang satu
ini, dari siapa kau dapatkan cemeti itu?"
Anggraini menggeleng-gelengkan kepala jengkel.
"Cepat jawab, Anak Gadis. Kalau tidak, aku tak akan mengantarmu ke Kembar Dari
Tiongkok. Dan, silakan kau bersusah payah mencari mereka," ancam Pangeran
Neraka.

Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini dari ibuku! Puas" Lagi pula, apa kepentinganmu menanyakan hal itu...."
"Kupu-kupu Merah?"
Belum juga selesai kalimat Anggraini, Pangeran
Neraka memenggalnya dengan satu kata yang membuat gadis itu tersentak.
"Hey" Dari mana kau tahu nama ibuku?"
Seperti sebelumnya, Pangeran Neraka tak me-
nanggapi pertanyaan Anggraini. Dia juga tak peduli kebingungan yang terpancar di
wajah gadis belia itu.
Dengan langkah pasti dan mantap, didekatinya Anggraini.
Didekati oleh orang yang baru pertama kali di-
kenalnya, Anggraini jadi curiga.
"Apa maumu"!" bentak Anggraini, mempersiap-kan kuda-kuda. Siaga.
Pangeran Neraka kian dekat. Jarak antara mereka
tinggal sedepa lagi. Tiba-tiba saja, lelaki berjenggot itu menyambar kasar
kancing baju di bagian dada Anggraini.
Sret! Begitu cepat tangan itu bergerak. Meski Anggraini sesigap mungkin berusaha
berkelit, tetap saja bajunya tersobek di bagian dada. Maka seketika buah dada
gempal nan lembut gadis itu pun tersembul sebagian. Tapi, bukan itu yang menjadi
sasaran perha-tian Pangeran Neraka.
Melainkan, seuntai kalung bermatakan ukiran kepala rajawali.
"Kurangajar!"
Plak! Betapa murkanya Anggraini. Perbuatan lelaki di
depannya ini tak hanya mempermalukan dirinya. Harga dirinya
merasa ditelanjangi. Tangannya langsung menampar keras pipi Pangeran Neraka yang tak mengelak sedikit pun.
"Kau Anggraini?" tanya Pangeran Neraka pelan.
Anggraini terpaku. Masih tetap memegangi bagian
bajunya yang terkoyak, ditangkapnya sinar mata Pangeran Neraka yang berubah
lembut. "Siapa sesungguhnya orang ini?" bisik hati Anggraini bertanya-tanya bimbang.
Semula, orang ini tahu nama ibunya. Lalu, namanya pun disebutkan.
"Aku Lodaya. Kakak ayahmu, Begal Ireng...," tutur Pangeran Neraka....
*** Ratu Lebah telah ditemukan kembali oleh gurunya
yang berperangai ganjil. Nenek peot itu adalah salah seorang sesepuh golongan
putih yang sulit dimengerti.
Dengan begitu, apakah Ratu Lebah berhasil diselamatkan"
Bisakah dia kembali memperkuat jajaran tokoh pembela kebenaran" Atau dia tetap
akan menjadi wanita bengis tak kenal ampun"
Siapa pula pemuda yang telah memakan buah 'inti
petir' seperti disebutkan si nenek"
Sementara itu, Anggraini telah bertemu pamannya
langsung. Si paman sudah pasti akan menceritakan kejadian sebenarnya, tentang
pembunuh Begal Ireng, ayah Anggraini yang dilakukan Andika.
Apakah dengan begitu rasa sukanya yang mulai
berkecambah di kedalaman hati Anggraini akan diberangus kebencian" Bisakah gadis
itu jatuh hati pada Andika yang dibencinya"
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
SEPASANG BIDADARI MERAH
Pisau Terbang Li 14 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Pedang Langit Dan Golok Naga 12
^