Pencarian

Sepasang Bidadari Merah 1

Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah Bagian 1


SEPASANG BIDADARI MERAH oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
Dalam episode: Sepasang Bidadari Merah 128 hal.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Dunia seringkali menawarkan pada
manusia sesuatu yang tidak terduga.
Layaknya sakaratul maut menjemput. Datang tanpa disadari siapa pun, sementara
manusia mungkin masih terlena buaian duniawi.
Seperti juga yang dialami seorang
gadis cantik yang saat ini berada di sebelah selatan Pintu Sorga dan Neraka
Dunia. Dia adalah Anggraini, putri
seorang tokoh silat wanita bernama Ku-pu-kupu Merah. Berjalan bersamanya
adalah seorang laki-laki tua, penguasa wilayah ini. Julukannya, Pangeran Neraka.
Mereka tampak beriringan akrab dengan langkah lambat menyusuri jalan setapak
berkerikil halus. Sebelah tangan Pangeran Neraka menggandeng bahu gadis cantik
itu, memperlihatkan perhatian seorang paman kepada kemenakannya (Untuk
mengetahui lebih jelas tentang mereka, baca serial Pendekar Slebor dalam kisah:
"Pendekar Wanita Tanah Buangan").
Di atas sana, angkasa meredup la-
mat. Cahaya mentari telah menguning matang, pertanda hari sebentar lagi
tersungkur di awal malam. Angin senja menyapu kulit kedua insan yang berta-lian
darah itu. "Bukankah kau hendak menceritakan
padaku tentang cemeti dan kalung kepala rajawali yang diberikan ibu padaku,
Paman Bureksa?" tanya Anggraini berna-da meminta, setelah memindahkan benda-
benda yang dimaksud ketangannya.
"Apakah kau sudah siap mendengarnya?" tanya Pangeran Neraka yang bernama asli
Bureksa. Cara bicara laki-laki tua ini
saat itu sangat jauh dari sifat sebenarnya yang telengas dan culas. Dia lebih
tampak sebagai orangtua arif penuh kasih.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, Paman?"
Pangeran Neraka tertawa.
"Sewaktu bertemu pertama kali, bukankah kau tak percaya kalau aku ini kakak
ayahmu?" kata Pangeran Neraka seperti hendak menguji kesungguhan
Anggraini menanyakan tentang riwayat dua benda di tangannya.
"Sekarang aku percaya, setelah Paman bisa tepat menceritakan tentang riwayat
ibuku." "Tapi itu bisa saja dilakukan banyak orang yang mengenal ibumu. Kupu-kupu Merah
adalah julukan ibumu yang tersohor beberapa waktu lalu. Banyak orang yang tahu
tentang ibumu."
"Tapi, tak mungkin banyak orang tahu tentang kalung kepala rajawali ini, bukan?"
Pangeran Neraka tertawa lagi. En-
tah apa yang dianggapnya lucu.
"Sekarang, Paman mau menceritakan bagaimana kaitan benda-benda ini dengan
ayahku, bukan?" desak Anggraini halus tanpa kesan merajuk.
Dalam beberapa hari ini, gadis
itu memang sudah begitu dekat dengan Pangeran Neraka. Keberadaan lelaki tua itu
seperti mengisi kerinduannya pada sosok seorang ayah. Namun demikian, sebagai
seorang gadis yang dibesarkan menurut adat orang-orang persilatan Anggraini tak
tampak manja. Pangeran Neraka mengangguk man-
tap. "Baiklah," desah orang tua itu.
Anggraini menunggu. Namun, belum
ada satu kata lagi meluncur dari mulut Bureksa. Anggraini tentu saja menjadi
agak heran. "Kenapa Paman kelihatannya ragu?"
tanya Anggraini.
"Aku ingin bertanya dulu padamu sebelum bercerita," kata Bureksa, seraya
menjemput bahu Anggraini dengan kedua tangan kekarnya yang berkulit cacat
seperti bekas terbakar. Ditatapnya sepasang mata gadis itu lekat-
lekat. "Aku sempat melihat kau bersama pemuda berpakaian hijau muda waktu
itu. Bagaimana hubunganmu dengannya?"
Anggraini mengingat-ingat. Gadis
itu cepat tahu, siapa yang dimaksud pamannya.
"Andika maksud Paman?"
"Ya!" sahut Bureksa, singkat.
"Dia kawan baruku," jawab Anggraini, sungkan.
"Jangan menyembunyikan apa-apa padaku, Anggraini! Aku sudah hidup cukup lama.
Artinya, aku sudah hafal benar, bagaimana sinar mata seorang gadis yang mulai
jatuh hati pada seorang pemuda...."
Ucapan Bureksa terasa sekali me-
nyentil perasaan Anggraini. Cepat-
cepat pandangannya dialihkan, melepas ikatan mata Pangeran Neraka. Seolah-olah
gadis itu percaya pamannya mampu membaca isi hatinya melalui sinar ma-ta. Saat
yang sama, pipinya bersemu merah.
"Kau belum mengatakan hal yang sebenarnya, bukan?" usik Pangeran Neraka. Nadanya
seperti mendesak, membuat Anggraini merasa tak nyaman.
"Ayo, Anggraini! Katakan padaku.
Kau mulai mencintai pemuda itu, bu-
kan?" Pangeran Neraka makin mendesak.
Cekalan tangan di bahu gadis itu pun mengeras.
"Aku tak suka Paman mendesakku seperti ini!" se-tak Anggraini tiba-tiba.
Ditepisnya kedua tangan sang paman dari bahunya.
Gadis itu berbalik, membelakangi
Bureksa. Wajahnya yang kian matang
terbakar oleh rasa malu dan kegugupan
atas tekanan Bureksa, seakan-akan dis-embunyikannya.
Pangeran Neraka hendak meraih ba-
hu Anggraini kembali dari belakang.
Baru saja tersentuh, Anggraini sudah menjauh
dengan langkah terbanting-
banting. "Anggraini!" seru Bureksa agak gusar melihat sikap kemenakannya yang baru saja
dikenal. "Kalaupun aku mengakuimu sebagai kakak ayahku, tapi bukan berarti Paman bisa
mencampuri hidupku seenaknya,"
gerutu Anggraini, sambil tetap melangkah.
"Aku tak akan mencampuri hidupmu, asal kau tidak mencintai pemuda itu!"
tegur Pangeran Neraka, segera menyu-sulnya.
"Paman tak bisa mengatur cinta seseorang. Datangnya cinta tidak bisa ditentukan.
Dan perginya pun tanpa bi-sa dicegah!" bantah Anggraini mulai sengit.
"Tapi kau belum tahu, siapa pemuda itu!"
"Aku memang belum lama kenal dengannya. Tapi hatiku mengatakan, dia lelaki yang
patut dicintai. Seorang pemuda berkepribadian, punya jiwa ksatria. Juga memiliki
kelembutan...."
"Kau sedang mabuk, Anggraini! Kau tak menyadari, siapa yang kau cintai!"
Pangeran Neraka kini segera meng-
hadang langkah Anggraini. Diangkatnya wajah terbakar Anggraini dengan tangan.
"Lihat aku, Anggraini!" ujar orang tua itu, agak keras.
Gadis yang berwatak keras itu tak
juga mau menurut. Lagi-lagi ditepisnya tangan kekar Pangeran Neraka.
"Aku tak mau mendengar ucapan Paman lagi, kecuali tentang ayahku!"
tandas gadis itu.
"Pemuda itu pun berhubungan erat dengan kematian ayahmu, Gadis Keras Kepala!"
hardik Bureksa, mulai kehilangan kesabaran.
Anggraini tercekat. Apakah telin-
ganya tak salah dengar" Pamannya barusan menyebutkan, kalau Andika berhubungan
dengan kematian ayahnya.
Dengan kelopak menyempit,
Anggraini mempertemukan matanya dengan mata sembilu Pangeran Neraka. Ditang-
kapnya jilatan api kemarahan pada mata lelaki itu. Tapi, Anggraini tak peduli.
"Apa maksud Paman?" tanya gadis itu nyaris seperti mendesis.
"Kalau kau ingin tahu, dialah
orang yang telah membunuh ayahmu!" papar Pangeran Neraka tegas, penuh tekanan.
Anggraini melengak. Tak ada lagi
kata yang bisa diucapkan bibirnya. Dia terlalu terkejut mendengar berita yang
disampaikan pamannya. Kelopak matanya membuka tanpa kedip sekian lama. Lalu
mendadak saja tubuhnya berbalik dan berlari sambil mendekap wajah.
"Aku tak percaya ini!" teriak Anggraini bergetar seperti menahan
isak. * * * Berhari-hari Andika mencari
Anggraini. Dan tak sejenak pun sempat dilihatnya lagi wajah gadis itu. Sejak
menghilangnya Anggraini di daerah Pintu Sorga dan Neraka Dunia, Andika jadi
seperti anak ayam kehilangan induk (Untuk lebih jelasnya, baca episode :
"Pendekar Wanita Tanah Buangan"). Dia kelimpungan mencari kesana kemari, ta-pi
hasilnya melompong.
Kalau saja tak mengkhawatirkan
keselamatan gadis yang baru turun dalam persilatan yang penuh tipu daya ini,
tentu Pendekar Slebor sudah melanjutkan perjalanan ketujuan lain.
Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa yang membuat hatinya begitu
mengkhawatirkan Anggraini. Bisa saja semacam perasaan bersalah, karena membuat
Anggraini harus kehilangan seorang yang amat dekat dengannya. Bisa jadi juga dia
mulai menyukai pribadi Anggraini. Tapi, apa begitu" Padahal Anggraini tergolong
sulit diajak ber-
sahabat. Orangnya terlalu keras.
Sambil membawa pikirannya menera-
wang, Pendekar Slebor melanjutkan pencarian. Sampai akhirnya, Andika tiba di
suatu tempat yang teduh. Pohon-pohon besar memayungi tempat itu. Sewaktu melihat
ada sungai kecil berair bening di sana, timbul keinginannya untuk sedikit
menyejukkan badan.
Andika pun menanggalkan pakaian.
Setelah melemparkan perangkat penutup tubuhnya kebawah sebatang pohon, pemuda
tampan itu langsung melompat ke dalam sungai.
Byur! "Fhuah! Segarnya," ucap Andika, begitu muncul di permukaan kembali.
Sungai kecil itu tergolong cukup
dalam. Sehingga, memungkinkan Andika menyelam. Kebeningan airnya menyebab-kan
dasar sungai dapat terlihat melalui permukaan.
Andika mencoba menyelamkan kepala
lagi. Panas matahari yang memanggang batok kepalanya siang itu, sepertinya belum
cukup terusir. "Fhuah!"
Pemuda itu muncul kembali di per-
mukaan. Kepalanya menggeleng-geleng keras, mengusir usikan air pada telinganya.
"Tuhan memang adil. Menciptakan rasa panas yang disertai pula rasa
dingin. Coba kalau ada panas saja, bi-sa gosong semua manusia di permukaan bumi
ini," gumam pemuda itu saat meng-gosok-gosok badan dengan batu cadas dari dasar
sungai. Puas menyejukkan sekaligus mem-
bersihkan badan, Pendekar Slebor berniat naik ke tepi sungai. Sewaktu matanya
mencari pakaiannya, wajahnya
kontan terlipat. Pakaiannya tak ada lagi di tempat! Mau tak mau, Andika
mengurungkan niat untuk naik.
"Ini pasti ada yang usil," bisik Pendekar Slebor sambil menggerutu.
"Apa dikiranya aku ini bidadari dari kayangan yang tak bisa kembali lagi kalau
pakaianku diambil"!"
Pendekar Slebor lantas mengedar-
kan pandangan ke sekeliling.
"Hey, Pencuri! Kuberitahu, kalau pakaianku tidak berharga untuk dijual.
Biar ke tempat loakan sekali pun!" teriak Andika. "Dan kalau kau hanya mau usil,
ya jangan keterlaluan! Aku tidak bisa keluar dari sungai ini hanya dengan
mengenakan celana dalam!"
Tak ada sahutan.
"Hoooiii! Perempuan atau lelaki!
Jin botak atau manusia gundul! Tua
atau muda! Yang membawa pakaianku, cepat kembalikan ke tempatnya semula!"
teriak Andika lagi.
Tetap saja tak ada tanggapan.
"Ah! Apa aku hanya berprasangka
buruk saja. Belum tentu pakaianku dibawa orang. Mungkin saja diterpa angin,"
gumam Andika, meralat dugaan sebelumnya.
Pikir punya pikir, pemuda itu ak-
hirnya sedikit nekat untuk naik mencari pakaiannya. Dengan tangan menutupi
celana dalam, tubuhnya mengendap-endap ke tempat pakaiannya diletakkan. Dicari-
carinya baju dan celana hijau muda itu ke sekitarnya. Tapi sejauh mata
memandang, tak juga ditemukannya
Kecurigaan Andika mulai tersembul
lagi. "Kalau begitu, benar dugaanku ta-di. Memang ada manusia usil yang hendak
mengerjaiku," bisik pemuda itu.
Sementara berbisik, matanya meli-
rik kian kemari. Tentu saja pemuda kesohor itu takut tertangkap basah sedang
polos seperti bayi yang hanya
mengenakan popok!
"Iya kalau lelaki yang mengusili ku. Aku tak begitu malu. Bagaimana kalau
wanita" Wah! Bisa lepas wajahku karena malu," gumam Andika lagi seraya
mengendap-endap untuk kembali ke sungai. Maksudnya, supaya bisa menyembunyikan
tubuh. Saat matanya melirik kesana kema-
ri seperti maling kesiangan, mendadak saja terdengar hardikan seseorang di-
belakangnya. "Nhaaa! Mau berbuat mesum, ya!"
Tanpa pikir apa-apa lagi, Andika
langsung saja tunggang-langgang secepatnya ke arah sungai. Tak lagi diper-
dulikan, bagaimana caranya berlari sepanjang masih bisa menutupi celana dalamnya
dengan tangan. "Wuaaa!"
Byur! Didahului teriakan kalang kabut,
pemuda urakan yang ternyata masih
punya malu itu terjun ke dalam sungai kembali.
* * * 2 "Hik hikhik!"
Satu alunan tawa nyaring memekak-
kan telinga berkumandang, mengejek
Pendekar Slebor.
Ketika kepalanya muncul ke permu-
kaan, Andika melihat seorang nenek jelek berpakaian aneh yang pernah dilihatnya
saat melarikan Ratu Lebah. Nenek itu masih terkikik-kikik, sampai tubuhnya
berguncang-guncang kecil. Dedaunan yang menutupi auratnya pun ikut bergetaran.
"Kau lagi...," gerutu Andika dongkol. "Cepat kembalikan pakaianku!"
Mata Andika melotot ketika mene-
mukan pakaian hijau muda itu berada di
tangan si nenek jelek.


Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Enak saja! Aku masih senang menikmati pemandangan bagus itu, kok!"
sergah si nenek, menghentikan tawa nyaringnya. Dengan genit, diliriknya
permukaan sungai tempat Andika beren-dam. "Kau tak sadar, ya" Sungai itu terlalu
bening untuk dijadikan tempat bersembunyi. Hikhikhik!"
Mata pemuda berambut gondrong itu
mendelik sejadi-jadinya. Kenapa dia jadi tolol! Tentu saja setiap orang yang tak
buta akan dapat melihat tubuhnya yang tak berpakaian, dari permukaan air sungai
yang begitu bening!
Untuk keluar dari sungai, sudah
tak mungkin lagi bagi Andika. Itu sama saja membiarkan tubuhnya jadi tontonan
indah si nenek genit. Namun, otak encer Andika tak kehilangan akal. Permukaan
air segera diaduk-aduknya supaya bayangan tubuhnya jadi menghambur tak kentara.
"Lho! Lho"! Kok, tubuhmu sekarang jadi tampak berantakan"!" ejek si nenek dengan
mata terbelalak.
"Tutup mulut mesummu itu, Nenek Jelek!" maki Andika kesal.
"Idih! Begitu saja sudah sewot!"
goda si nenek dengan gaya seorang pe-rawan desa merayu jejaka.
Andika mendengus. Pangkal hidung-
nya jadi terlipat.
"Sebenarnya, apa maumu"!" tanya
Andika kemudian.
"Aku" Yang kumau sih, ya bisa ja-di kekasihmu...," sahut si nenek men-dayu.
"Amit-amit," bisik Andika memba-tin.
Bergidik juga pemuda itu menden-
gar ucapan si nenek genit.
"Terus terang, aku sedang tak
berselera mendengar ocehan tengik. Kenapa kau tak langsung katakan saja, apa
maumu sebenarnya, Perempuan Tua?"
Andika mengulangi kembali pertanyaannya.
"Anak muda selalu bernafsu," cemooh si nenek seraya mencibir. "Tapi, baiklah.
Aku hanya ingin memberi pelajaran padamu, karena kau harus ikut bertanggung
jawab atas luka yang diderita anak gadisku," tutur perempuan uzur itu akhirnya.
"O, sekarang persoalan menjadi jelas. Sejak semula juga sudah kuduga kalau kau
hendak mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi," tanggap Andika.
"Jadi, Ratu Lebah adalah anakmu?"
"Aku tak bilang dia anakku, Tolol!"
"Kalau begitu, pasti dia murid-mu," duga Andika.
"Nah! Kau tidak tolol lagi!"
Pemuda sakti dari Lembah Kutukan
itu memajukan bibirnya.
"Kalau muridnya saja sebejat itu,
apalagi gurunya," sindir Andika, pedas-pedas.
"Siapa yang kau bilang bejat"!"
bentak si nenek sewot.
"Muridmu, Ratu Lebah!"
"Eee, Pemuda Bermulut Lancang!
Kau tak boleh asal bicara sebelum kui-zinkan!"
Si nenek mencak-mencak. Pakaian
Andika dikebut-kebutkannya kian kema-ri.
"Ini mulutku sendiri, Perempuan Tua. Aku tak bisa mengatakan yang hitam itu
putih. Kalau memang bejat, ya kukatakan bejat. Dan kalau...."
"Diam!" potong si nenek, menghar-dik.
Seketika itu juga Andika benar-
benar terdiam. Mulutnya yang biasanya begitu terampil mencerocoskan dengan kata
pedas, tiba-tiba saja tak bisa digerakkan. Raut mukanya kejang dan lidahnya
kelu. Andika tetap tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, meski telah berusaha
menggerakkan rahang
dengan menyalurkan kekuatan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan yang
diandalkan. "Mhhh... mhhh bhff!"
Hanya bunyi itu yang terdengar.
"Hik hik hik! Biar tahu rasa kau!
Itu namanya kualat pada orang tua!"
ledek si nenek. Mencak-mencaknya ber-ganti goyangan pinggul ke kiri dan ka-
nan. Sekarang pendekar muda itu baru
sadar kalau nenek yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Terbukti, tenaga
dalamnya yang disegani di dunia
persilatan tak berdaya menghadapi kuncian yang dibuat si nenek kerahangnya.
"Sebelum aku salah menjatuhkan tangan padamu, sebaiknya kutanyakan dulu padamu.
Apakah kau bertanggung jawab terhadap muridku yang terluka sewaktu kularikan
dulu?" Si nenek mulai mengajukan perta-
nyaan, tak ubahnya seperti seorang
punggawa mengorek keterangan dari seorang mata-mata istana. Wajah keriputnya
dibuat sebengis mungkin. Padahal, malah terlihat menggelikan. Malah lebih parah
daripada raut wajah orang yang terserang mules hebat.
"Mmhh... mmh!" jawab Pendekar Slebor, tak kentara.
"O, iya! Aku lupa dengan mulut-mu...," kata si nenek.
Segera si nenek menyapukan tangan
yang tak memegang pakaian Andika ke udara. Gerakannya terlihat ringan sa-ja,
seolah asap pun tak terhalau. Namun, hasilnya ternyata dapat membuat kuncian
pada mulut Andika terbebas.
"Sekarang bicara!" bentak si nenek, disertai belalakan matanya.
"Aku tak akan menjelaskan duduk perkaranya, kalau kau tak memberikan
pakaianku dahulu!" ujar Andika, tak memuaskan si nenek.
"E, bisa juga kau mengancam, ya!
Nih! Tangkap pakaian jelekmu! Kau pikir aku butuh" Untuk kujadikan gombal saja,
aku tak berniat..."
Perempuan tua berompi kulit pohon
itu melempar pakaian Andika yang sejak tadi dipegangnya. Seperti ketika mem-
bebaskan Andika dari kuncian mulut, gerakan kali ini pun tak kelihatan bertenaga
sama sekali. Amat enteng.
Namun ketika pakaian berwarna hijau muda itu terlepas dari tangannya....
Wuuut! Terciptalah kelebatan amat cepat.
Mata terlatih Andika yang biasa me-
nangkap kecepatan sambaran kilat di Lembah Kutukan, masih sempat menangkap
kelebatan pakaiannya.
Lalu tangkas sekali pendekar muda
itu mengangkat tangan dari bawah permukaan sungai, untuk menjemput lemparan si
nenek. Meski begitu, ketangkasan tangannya belum bisa menghadang kelebatan
pakaiannya. Pyar! Sekejap kemudian, pakaian hijau
muda itu menampai permukaan sungai di belakang Andika. Saat itu air, seperti
langsung disibak tangan raksasa. Sampai-sampai, tubuh Andika sendiri terhempas
gelombang besar ketepi sungai.
"Sudah tidak betah di sungai,
ya?" ledek si nenek, menjengkelkan.
Seraya menggerutu berkepanjangan,
Andika memakai pakaiannya. Daripada setengah telanjang, dipakainya juga pakaian
basah itu. Tak begitu lama, dia pun naik.
"Nah! Sekarang, jawab pertanyaanku!" kata si nenek memulai kembali.
"Terus terang, aku memang memusuhi muridmu. Aku tak menyesal jika dia terluka,"
jelas Andika tak segan-segan.
"Aku tak tanya kau menyesal atau tidak! Yang kutanya, apa kau bertanggung jawab
terhadap keadaan muridku!"
sergah si nenek ngotot.
"Kalau itu pertanyaannya, kujawab tidak."
"Bagus!" cetus si nenek.
Setelah itu, si nenek berbalik.
Perempuan tua itu pergi begitu saja.
Padahal, Andika menduga si nenek akan menggempurnya setelah seluruh pertanyaan
dijawab. Biasanya, jika murid bejat, itu karena hasil didikan gurunya. Dengan
kata lain, guru yang ke-ji biasanya akan melahirkan murid yang sama keji.
Dengan terheran-heran, Andika me-
nahan langkah si nenek.
"Kenapa kau tak melabrakku?"
tanya Andika. Si nenek menoleh sebentar.
"Apa kau mau bermusuhan dengan
seorang yang baru kau kenal?" si nenek balik bertanya. Bibirnya tersungging
kecil. Entah meledek, entah meremeh-kan.
Dan entah pula merasa lucu dengan pertanyaan Andika barusan.
"Bermusuhan" Aku malah sering me-mimpikan seluruh manusia di atas jagad ini
membuang semua sifat ingin musuhan. Lalu, mereka bisa hidup damai
saling berkasih sayang. Sayang, hati manusia banyak yang dengki dan busuk...,"
ucap Andika seperti bicara pada diri sendiri.
Sekali ini, si nenek terkekeh
mendengar penuturan pemuda yang baru saja dikerjainya.
"Itu artinya, kau tidak mau bermusuhan denganku. Nah, kenapa pula aku harus
memusuhi orang yang tidak ingin bermusuhan denganku" Asal kau tahu, Anak Muda
Semestinya, di dunia ini
berlaku hukum yang setimpal Setiap kejahatan harus dibalas kejahatan. Sebabnya,
kebaikan harus dibalas pula dengan kebaikan...," ucap si nenek berkesan dalam.
"Tapi, jika seseorang ingin besar di hadapan Tuhan semesta Alam, semes-tinya
memaafkan kejahatan yang diperbuat orang terhadap dirinya. Dan, membalas
kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik...," timpal Andika.
"Hik hik hik! Aku suka kau, Anak
Muda!" puji si nenek tulus meski disampaikan secara menyebalkan.
Tak lama kemudian, si nenek sudah
menghilang bagai ditelan bumi. Andika memang sempat menangkap kelebatan
tubuhnya. Tapi dia tahu sulit untuk me-nandingi kecepatan geraknya.
* * * Anggraini termenung sendiri dalam
kungkungan kebisuan. Dipandanginya gerombolan bunga matahari di kejauhan, dengan
sinar mata amat kosong. Di bawah naungan ser ampun bambu kuning
yang tumbuh di beberapa tempat di Pintu Sorga dan Neraka Dunia, gadis menawan
itu duduk bersandar. Angin mengu-sik derit batang bambu hingga saling bergesekan
menggoda. Juga, gemerisik dedaunan bambu mencoba menyadarkan
Anggraini dari lamunan. Namun, gadis itu tidak peduli.
Banyak hal yang bisa membuat se-
seorang bagai menghukum diri menjadi area batu seperti itu. Untuk dara semacam
Anggraini, penyebabnya seringkali mudah dikenali. Cinta!
Cinta" Ya! Satu kata singkat, na-
mun menyimpan sehimpun makna. Dan itu telah menggerayangi gadis ini hari-hari
belakangan. Dimulai sejak Pangeran Neraka, pamannya, menerangkan kalau pembunuh
ayah gadis ini adalah je-
jaka yang berhasil menanam benih-benih kasih terdalam, yang kemudian tumbuh
menjadi cinta pertamanya.
Betapa Anggraini sulit memper-
cayai keterangan tersebut. Dimatanya, Andika adalah seorang pemuda yang tidak
saja tampan rupawan. Tapi, juga memiliki sifat yang patut dikagumi.
Ksatria, welas asih, dan berwibawa
adalah sekadar sebagian pribadinya.
Anggraini bisa melihatnya, meski per-kenalan dengan Andika bisa dikatakan
singkat. Mungkinkah semua itu adalah ke-
palsuan semata" Anggraini bertanya resah. Bukankah kepura-puraan dan kemu-
nafikan adalah jamur menjijikkan yang semakin tumbuh di dunia ini" Dalam di-ri
sekian banyak manusia" Keraguan mulai merambah relung batin gadis itu.
"Tapi, bagaimana mungkin dia tak membunuhku, kalau tahu aku bakal menuntut balas
atas kematian ayahku?"
sangkal sisi hati Anggraini yang lain.
"Kalau dia memang yang berdarah dingin, tentunya aku sudah tak memiliki nyawa
lagi.... Tapi, ah! Kenapa dia membunuh
ayahku" Apa salahnya"
Atau...." Relung hati gadis ini tak kuasa
lagi menampung beruntun pertanyaan
yang membingungkan. Dia berontak dan terjaga. Namun yang ditelannya setelah itu
adalah sebentuk kekecewaan menghu-
jam. Kecewa karena pemuda yang menanam benih cinta pertamanya, ternyata adalah
sang pembunuh ayah kandung yang begitu lama dirindukan!
"Aku benci kau, Andika!" rutuk Angraini geram, nyaris bergumam geram.
Sesudah itu, Anggraini bangkit
dengan benak terkoyak. Dia berdiri di-am, menantang sapuan angin lembah. Dalam
dirinya hanya terngiang kata-kata Bureksa, pamannya. Andika adalah pembunuh
Ayah! Andika adalah pembunuh
Ayah...! * * * 3 Di pinggiran sungai Andika sedang
memanggang ikan mujair hasil tangka-pannya. Asap putih membawa aroma sedap
berarak naik dari tumpukan kayu bakar, menggoda perut Andika yang sudah demikian
keroncongan. Sambil bersiul-siul, pemuda itu
membalik-balik panggangan ikan di tangannya. Dan tiba-tiba siulan riangnya
terhenti seketika, terpenggal oleh ingatan yang muncul begitu saja.
"Si nenek jelek itu...," gumam Pendekar Slebor. "Bukankah kemarin du-lu dia
mengatakan kalau kejahatan mestinya dibalas kejahatan" Kalau murid-
nya terluka oleh Anggraini, tentunya dia akan menuntut balas. Kemarin lalu pun,
dia menemuiku untuk meminta tanggung jawabku...."
Plak! Andika menampar kening keras-
keras dengan telapak tangan kiri.
"Kenapa aku jadi tolol! Tentu si nenek jelek itu kini sedang mencari Anggraini.
Bukankah sewaktu menyelamatkan Ratu Lebah, dia melihat
Anggraini sedang bertarung dengan muridnya itu" Tentu dia tahu, Anggraini lah
yang melumpuhkan muridnya.... Wah, kacau! Anggraini bisa jadi sasaran kemarahan
si nenek jelek. Padahal, muridnya sendiri yang salah...," gumam Andika lagi.
Dari duduknya, pemuda berambut
gondrong itu cepat-cepat bangkit
"Tapi, ke mana aku harus mencari gadis itu" Dia menghilang seperti ditelan bumi.
Berhari-hari aku menca-
rinya, tapi nihil. Apa iya, aku bisa menemukan secepatnya sebelum didahului
nenek jelek itu?"
Andika mengetuk-ngetuk kepala
dengan jari kiri. Sedang dipikirkan, bagaimana caranya agar bisa cepat menemukan
gadis yang baru turun dalam dunia persilatan itu.
"Ah! Peduli setan bagaimana caranya! Kalau aku hanya berpikir terus, bisa-bisa
sudah kedahuluan nenek jelek
itu!" umpat Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Sejenak dipandanginya panggangan
mujair di tangan kanan. Sudah matang dan benar-benar menggoda. Baunya pun
menyengat hidung.
"Apa boleh buat...," gumam Andika.
Panggangan mujair itu dimasukkan
saja ke balik bajunya. Padahal asapnya masih mengepul. Memang sayang, Dari pada
dibuang, lebih baik dijadikan
persediaan kalau perutnya tak bisa diajak berdamai lagi. Dasar urakan!
Pemuda acuh ini pun beranjak dari
tempat itu. Tujuannya, Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia akan memulai ulang
pencarian Anggraini dari tempat pertama. Disana, mungkin bisa disusuri jejak
yang luput ditemukan pada pencarian pertama.
* * * Pintu Sorga dan Neraka Dunia tam-
pak lengang. Pendekar Slebor tiba di sana ketika matahari terjatuh pengga-lan


Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibelahan angkasa sebelah barat.
Berawal dari tempat Anggraini
bertempur melawan Ratu Lebah dulu, Andika mulai mencari tanda-tanda yang mungkin
bisa dijadikan petunjuk, kema-na perginya Anggraini. Cukup lama pemuda
berpakaian hijau-hijau menyusuri
tiap jengkal tanah disekitarnya. Matanya bahkan sudah sedikit pedih, karena
terus dikerahkan. Kalau penci-umannya setajam anjing pelacak, tentu urusannya
akan lain. "Tak ada tanda-tanda sedikit
pun.... Koreng garing!" umpat Andika kesal. "Aku
jadi semakin yakin, Anggraini menghilang karena keinginannya sendiri. Sedikit pun tak ada tanda
kalau dia dipaksa oleh seseorang. Apa mungkin dia tak ingin urusannya kucam-
puri. Padahal, aku sangat berkaitan erat dengan urusan gadis itu...."
Kepala pemuda sakti dari Lembah
Kutukan ini menoleh ke sana kemari.
Sepertinya, dia masih penasaran.
"Kalau nanti aku bertemu dengannya, bagaimana caraku menjelaskan kalau aku
adalah pembunuh ayahnya?" gumam Pendekar Slebor lagi.
Plak! Mendadak sontak Andika merasa ke-
palanya ditampar seseorang dari belakang. Hal itu membuat Andika terke-
siap. Bukan karena tamparan itu berba-haya, sebaliknya tamparan itu sepertinya
hanya dimaksudkan untuk main-
main saja. Pemuda urakan itu terkesiap, ka-
rena sedikit pun tak menyangka ada seseorang yang melayangkan telapak tangan
kebelakang kepalanya. Padahal, sebagai seorang pendekar sakti yang cu-
kup menggetarkan dunia persilatan, gerakan halus seekor cecak pun dapat
tertangkap telinganya.
Andika cepat menoleh.
"Hik hik hik! Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi.
Kalau ada jodoh untukku seorang, boleh kita berkencan lagi!"
Andika meringis lebar-lebar.
Orang yang menampar belakang kepalanya ternyata perempuan tua pertapa, guru Ratu
Lebah. Nenek yang sudah bau tanah itu senyam senyum genit, memperlihatkan
sebutir gigi besar yang masih tersisa di mulutnya.
"Ampun.... Kenapa aku harus berjumpa nenek jelek ini lagi"! Apa sa-lahku?"
gerutu Andika berbisik.
"Kau jangan sembarangan menghina-ku, ya"!" hardik si nenek sewot. "Begini-begini
juga masih membawa reje-ki!"
Rupanya bisikan Andika yang begi-
tu halus bisa ditangkap dengan baik oleh telinga si nenek. Barangkali
hanya kata hati saja yang tak bisa di-dengarnya.
"Kita bertemu lagi, ya Nek"!" Andika berbasa-basi pura-pura ramah. Sementara
wajahnya sama sekali tidak me-nunjukkan keramahan. Bisa dibilang, mirip wajah
orang yang telat buang ha-jat!
"Yang sopan terhadap orangtua ka-
lau tak mau kualat!"
"Lho" Sapaan tadi sudah sopan, bukan?" sergah Andika.
"Nih....."
Perempuan uzur itu menyodorkan
punggung tangannya.
"Cium! Itu tanda kau anak muda yang sopan! Ayo, cium!" perintah si nenek dengan
mata mendelik-delik.
Dengan berdecak-decak mangkel,
Andika menuruti perintahnya.
"Aku sudah cium tangan, Nek. Karena, aku sebenarnya menaruh hormat pada orang
yang lebih tua. Sekarang, apa lagi" Cium dengkulmu?" ceracau Andika.
Si nenek malah terkikik.
"Aku benar-benar suka padamu,
Anak Muda!" kata si nenek. Lalu....
Plak! Sekali ini, kening Andika yang
menjadi sasaran kegemasannya. Mulutnya sampai meringis-ringis.
"Kau benar-benar pemuda yang cocok buat kujadikan menantu. Eh! Maksudku, jadi
suami muridku yang molek itu, lho!" lanjut si nenek.
"Apa"!" Andika terbelalak. Mulutnya terbuka lebar.
Selagi masih terbelalak bodoh se-
perti itu, si nenek aneh menarik tangannya.
"Ayo ikut aku, Anak Muda! Sebaiknya kau melihat dulu anak gadisku,"
ujar si nenek semena-mena.
"Tapi...."
"Biar kau tahu dan jelas benar kalau anak gadisku memang molek!" te-rabas nenek
pertapa, tak peduli. Andika pun ditariknya seperti kambing con-gek.
Baru beranjak sekitar empat tom-
bak dari tempat semula, seseorang
menghadang tepat di depan si nenek.
Gerakannya ringan. Sewaktu berke-
lebat, Andika menangkap warna merah pakaian si penghadang. Juga, sempat
menangkap rambutnya yang panjang. Ma-ka, hatinya pun mulai menduga kalau si
penghadang adalah Anggraini. Dugaannya terbukti, ketika matanya jelas-jelas
melihat wajah Anggraini yang sudah tegak berdiri dengan sikap tegang.
"Nhaaa! Pucuk dicinta ulam pun tiba!" sambut si nenek senang sekali bisa
menemukan Anggraini yang dica-rinya, tanpa harus susah payah.
Sementara, Andika sibuk memperin-
gati Anggraini Dibelakang si nenek. Tangannya
memberi isyarat di udara, menyuruh
Anggraini untuk segera pergi. Anak mu-da itu tidak mau urusan jadi runyam akibat
kesalahpahaman, karena si nenek belum sadar kalau sebenarnya muridnya lah yang
bersalah. "Jangan coba macam-macam di bela-kangku, Anak Muda!" ancam si nenek
tanpa menoleh. "Bisa-bisa, kubuat ru-jak kau!"
Andika meringis. Tangannya ber-
henti bergerak-gerak.
"Nah! Mumpung kau ada di sini, Anak Gadis. Katakan padaku, apa kau bertanggung
jawab terhadap luka yang diderita muridku tempo hari?" tanya si nenek memulai
lagi. "Maaf, Nek. Aku menghadang bukan untuk berurusan denganmu. Urusanku
dengan pemuda itu," ucap Anggraini menusuk, seraya melempar isyarat mata yang
panas kepada Andika.
Kalau sebelumnya pemuda berkain
corak catur itu meringis mendengar ancaman aneh si nenek, kini mulutnya meringis
karena sikap dan ucapan
Anggraini. Sama sekali tidak dimengerti maksud gadis itu. Menurut dugaannya,
tentu ada sesuatu yang melatar belakangi sikap Anggraini yang kini berubah tak
ramah padanya. Apa mungkin gadis itu sudah tahu kalau Andika adalah pembunuh
ayahnya" Sembarangan saja kau membacot!"
sergah si nenek kasar. "Jelas-jelas kau berurusan denganku, kalau kau telah
melukai muridku tempo hari! Ayo jujur... jur... jur!"
Cukup lama Anggraini menatap si
nenek. Matanya sebentar-sebentar melempar bara panas ke arah Andika.
Meski begitu, ada sesuatu yang lain
ditangkap mata Andika. Pancaran mata yang menyeruak di antara kebencian, yang
berasal dari hati terdalamnya.
Ya! Andika menangkap rasa cinta di antara sinar kebencian pada pandangan mata
Anggraini! "Baiklah kalau begitu," putus Andika. "Bisakah kau menjelaskan padaku duduk
permasalahannya" Terus terang saja, aku sama sekali tidak mengenali-mu."
Kata-kata Anggraini tetap memper-
tahankan kesopanan pada perempuan tua di depannya.
"Kau ingat pertempuran dengan Ra-tu Lebah?" tanya si nenek.
Anggraini mengangguk.
"Orang yang melarikan Ratu Lebah adalah aku. Ada lagi yang perlu kau tahu, aku
adalah guru perempuan
itu...," papar si nenek tegas dan mantap. Kalau bisa busungkan dada, tentu dia
akan membusung. Sayang, punggung-nya sudah bungkuk.
"Ya! Sekarang aku paham," lanjut Anggraini.
"Nah, bagus!"
"Lalu, apa maumu denganku, Nek?"
tanya Anggraini.
"Lho" Katanya paham" Bagaimana ini?" si nenek menggerutu seraya menoleh pada
Andika. Andika membalasnya dengan mengangkat bahu.
"Begini," lanjut si nenek memulai
lagi. "Aku mau meminta pertanggung ja-wabanmu...."
"Kau tak bisa semena-mena begitu, Nek,", selak Andika. "Dalam hal ini,
muridmulah yang bersalah...."
"Diammm! Aku tak perlu pendapat-mu!" bentak si nenek geram sekali. Bibirnya
sampai terpuntir-puntir sewaktu membentak.
"Sudahlah, Nek," putus Anggraini.
"Menurutku, aku tak perlu mempertang-gung jawabkan tindakanku terhadap
muridmu...."
"Apa"!" mata si nenek mendelik besar-besar.
"Kau ingin menyangkal
perbuatanmu"!"
"Aku tidak menyangkal. Kuakui, aku memang telah melukai muridmu. Tapi kalau kau
katakan bersalah, jelas aku tak akan mengakuinya...."
"Eee! Anak gadis slompret! Nih, kuberi sedikit pelajaran, biar kau ta-hu adat!"
Tangan keriput perempuan pertapa
itu meraih daun-daun kering penutup auratnya. Dalam sekerdipan mata saja, si
nenek bisa sekaligus melemparkan dedaunan kering ke arah Anggraini.
Wes! Wes! Wes! Beberapa lembar daun berwarna
coklat berkelebat deras, dan nyaris tak tertangkap mata Andika dan
Anggraini. Mata Andika yang terlatih untuk
bersiaga pada setiap sambaran lidah petir di Lembah Kutukan, sempat melihat
kehebatan lain pada kelebatan
daun-daun yang dilempar si nenek. Masing-masing daun, ternyata telah diisi
tenaga dorong menyamping. Pada saat meluncur, daun yang satu dengan daun yang
lain akan saling mendorong. Sehingga, dapat bergerak mengembang untuk mengurung
seluruh ruang gerak
Anggraini bila menghindar. Jika gadis itu mencoba menghindar, maka malah akan
terkena sambaran salah satu daun.
"Jangan menghindar!" seru Andika, secepat kelebatan dedaunan yang dilempar si
nenek. Sayang, peringatan Andika terlam-
bat. Anggraini dengan amat sigap telah lebih dahulu bergerak menghindar. Aki-
batnya.... Des! Daun yang ringan itu kontan mela-
brak tubuh Anggraini bagai palu raksasa sebesar kerbau. Kontan saja tubuh gadis
itu melayang deras ke belakang, seolah-olah bobotnya tak lebih berat dari daun
yang menghajarnya.
Grusak! Setelah melayang hampir sepuluh
tombak, Anggraini jatuh menimpa gerombolan bunga matahari.
"Kau sudah sinting, Nenek Moyang Gendoruwo!" maki Andika murka, menyaksikan
kesewenang-wenangan si nenek di
depan matanya. "Eee! Memaki orang tua, ya"! Mau kualat kau"!" Salak si nenek tak ambil pusing
dengan kegusaran pemuda berambut gondrong itu.
"Kau tak pantas kuhormati! Kau lebih pantas kuhajar!" cecar Andika lagi.
Beriring makiannya, Andika meng-
hentak pergelangan tangan yang masih digenggam si nenek. Tak lepas! Padahal, si
nenek tak tampak sungguh-
sungguh mencekalnya. Andika mencoba lagi. Kali ini disertai penyaluran kekuatan
warisan Pendekar Lembah Kutukan sampai tingkat kedelapan. Tapi tetap tak bisa!
Cekalan tangan si nenek
hanya tersentak sedikit, tanpa terlepas dari pergelangan tangan Andika.
"Ayo! Kerahkan tenaga saktimu
sampai tingkat kesembilan belas!" le-ceh si nenek, memanas-manasi.
Begitu mendengar penuturan perem-
puan tua yang mencekalnya, Andika kontan terdiam.
"Tingkat kesembilan belas, katanya?" bisik hati Andika. "Bagaimana dia bisa tahu
kalau tenaga sakti warisan buyutku mencapai kekuatan pamungkas pada tingkat
kesembilan belas?"
"Wah! Masih muda sudah sering
linglung! Hik hik hik!"
* * * 4 Sementara itu Pangeran Neraka
tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengan dua sekutu barunya, Kembar Dari
Tiongkok. Di sebuah pondok di kaki bukit yang Neraka Dunia, ketiganya ber-
kumpul. "Aku tak mengerti, kenapa Mayangseruni tiba-tiba menghilang tanpa terlebih
dahulu meminta izin padaku?" ka-ta Pangeran Neraka, membuka percakapan.
Lelaki berkulit cacat itu berja-
lan hilir mudik dalam ruangan. Tangannya terlipat di depan dada.
"Sebelum menghilang, apa ada kejadian ditempat kita ini, Ketua?"
tanya Chia Jui yang bersila bersebelahan dengan saudara kembarnya, Chia
Kuo. Dua lelaki Cina itu memang telah
mengangkat Pangeran Neraka sebagai
'ketua'. Di samping karena tingkat il-mu Pangeran Neraka lebih tinggi, mereka
juga membutuhkan pelindung. Paling tidak bisa membantu mereka jika suatu hari
harus berhadapan dengan orang-orang kerajaan yang hendak mereka tum-bangkan dulu
hersama Begal Ireng. Khu-susnya, jika harus berhadapan dengan seseorang yang
begitu mereka taku-ti.... Pendekar Slebor (Baca episode
"Dendam dan Asmara").
"Ya! Memang telah terjadi sesua-tu, sebelum Mayangseruni menghilang,"
gumam Bureksa alias Pangeran Neraka.
Sekali lagi, disebutkannya nama asli Ratu Lebah.
Chia Jui dan Chia Kuo menunggu
uraian Bureksa lebih lanjut.
"Menurut keterangan kemenakanku
yang bernama Anggraini, Mayangseruni bertempur dengannya. Dan... ah! Baru aku
ingat sekarang! Anggraini juga
bercerita kalau ada seseorang melarikan Mayangseruni, ketika Anggraini
berhasil melukainya!" cetus Bureksa.
"Kira-kira, berada di pihak mana orang yang telah melarikan Mayangseruni?" tanya
Chia Kuo. Pertanyaan itu wajar saja diaju-
kannya. Dia maupun saudara kembarnya memang khawatir jika ada orang lain yang
berdiri di pihak lawan. Malah, kesempatan mereka untuk mencari per-lindungan di
bawah ketiak Pangeran Neraka, menjadi semakin tak bisa diharapkan. Sebaliknya,
jika ada orang lain yang memihak mereka, tentu dengan begitu akan lebih banyak memiliki
kesempatan lolos dari tangan pihak kerajaan.
"Aku masih belum bisa memastikan.
Yang jelas, orang itu memiliki kepandaian sulit diukur. Begitu menurut
Anggraini yang sempat melihat cara
orang itu melarikan Mayangseruni," jawab Bureksa gamang, karena merasa
kehilangan seorang kaki tangan setangguh Ratu Lebah.


Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chia Kuo dan Chia Jui tak suka
mendengarnya. Mungkinkah dengan begitu mereka akan digerayangi rasa was was,
karena belum bisa mengetahui orang itu berada di pihak mana"
"Bagaimana dengan rencanamu membalas hutang nyawa Begal Ireng?" tanya Chia Jui
kemudian. Pangeran Neraka mengambil tempat
duduk didepan lelaki gundul kembar itu. Pembicaraan makin sungguh-sungguh
baginya, jika sudah membahas soal rencana balas dendam terhadap Pendekar Slebor.
"Justru itu yang hendak kubicarakan pada kalian. Aku punya rencana ce-merlang
untuk mengirim pemuda itu ke neraka! Hu hu hu!" Bureksa mengekori kalimatnya
dengan tawa anehnya.
Kembar Dari Tiongkok langsung me-
nampakkan wajah penasaran mendengar penuturan Pangeran Neraka. Mata keduanya pun
tampak berbinar-binar penuh luap. Dengan membantu membalaskan dendam Bureksa,
mereka bisa sekaligus me-metik keuntungan. Selamat dari buruan Pendekar Slebor!
Dan hal itu memang yang amat diharapkan.
"Kalian tahu," kata Pangeran Neraka, seraya mengangsurkan wajah ke
dekat Kembar Dari Tiongkok. Cara bica-ranya penuh tekanan, memancing
keingintahuan Kembar Dari Tiongkok. "Pendekar keparat itu akan mati, tanpa aku
mesti turun tangan sedikit pun!"
Chia Jui dan Chia Kuo menatap
sungguh-sungguh mata Bureksa. Kelopak mata mereka tak berkedip. Jangan
tanya, bagaimana rasa penasaran mere-ka.
"Bagaimana cara kau melakukan
itu, Ketua"!" ujar! Chia Jui tak sabar menanti penuturan Bureksa selanjutnya.
"Huhuhu!"
Bureksa melempar tawa khasnya ke
segenap ruangan, hingga memadati pondok kecil itu. Alis matanya yang tebal dan
lebat diungkit-ungkit.
"Kalian tunggu saja hari kematian anak sial itu!" bisik Bureksa, mendesis.
* * * Apa yang sebenarnya dialami
Anggraini setelah terhajar daun yang dilempar nenek pertapa" Andika tidak tahu
jawabannya. Sejauh yang diketahuinya, Anggraini terpental jauh, lalu jatuh
menyeruak gerombolan bunga matahari.
Dan sampai sejauh itu, pemuda
urakan ini tak habis fikir , siapa sesungguhnya nenek aneh itu. Sewaktu
bertemu untuk yang kedua kalinya di dekat sungai kecil, perempuan tua itu
meninggalkannya begitu saja. Padahal, Andika mengira akan dilabrak atas lu-ka-
luka yang diderita Ratu Lebah. Lalu pada waktu yang bersamaan ini, si nenek
dengan telengas melabrak Anggrai-ni. Sekaligus, membuat suatu kejutan dengan
mengetahui tingkat pamungkas tenaga sakti Andika.
"Katakan padaku! Siapa kau sebenarnya, Nenek jelek"!" maki Andika, usai terbebas
dari ketertegunannya.
"Jangan sebut-sebut aku nenek jelek! Kalau tak salah, di antara nenek-nenek,
akulah yang paling cantik! Hik hik hik!"
"Kau tak lebih dari tukang sihir kampung! Aku tak akan takut menghada-pimu,
meski ilmumu jauh lebih tinggi dariku. Bagiku, mengadu jiwa dengan manusia-
manusia zalim adalah kehormatan!"
"Hush! Hush! Jangan terus sewot begitu! Yang zalim itu siapa, Pemuda Tolol"!"
dalih si nenek seraya menga-cung-acungkan jari.
"Kau telah berlaku keji pada gadis itu!" bentak Andika lagi. Jarinya menunjuk ke
arah Anggraini terjerem-bab.
Gadis itu belum tampak muncul da-
ri gerombolan pohon bunga matahari yang jangkung.
"Kau yakin aku telah berbuat keji pada gadis ayu tadi?" kelit si nenek tenang.
Andika tak melanjutkan caci ma-
kinya. Matanya yang mulai memerah karena marah, menatap si nenek lurus-
lurus. "Jangan main-main padaku, Nenek Jelek! Apa maksud perkataanmu?" tanya Andika,
masih dengan nada tinggi.
"Dasar anak muda! Selalu saja
terburu nafsu dalam segala hal. Hik hik hik! Coba sana, kau lihat ke tempat
gadis ayu tadi jatuh," ujar si nenek.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan itu ragu-ragu melirik tempat jatuhnya Anggraini.
Ajaib! Saat itu, si gadis berpa-
kaian merah-merah muncul tanpa luka sedikit pun. Anggraini tampak sedang
mengebut-ngebutkan pakaian dari dedaunan pohon bunga matahari yang menempel.
"Nah, kan.... Kubilang juga
apa...," seloroh si nenek penuh keme-nangan. "Sudah, ya! Aku akan pergi du-lu!
Urusanku dengan kalian sudah
beres. Menurutku, kalian anak muda
yang jujur...."
Si nenek pun berkelebat dan hi-
lang. Sepeninggalannya, Andika mengga-
ruk-garuk kepala. Ingin rasanya dia
menganggap semua kejadian dengan si nenek hanya mimpi. Semuanya begitu
membingungkan!"
"Jadi hanya begitu saja?" gumam Andika, seperti orang bodoh.
"Aku punya urusan yang belum ter-selesaikan denganmu, Andika!" sentak Anggraini,
mengejutkan pemuda itu.
Gadis berambut panjang itu sudah
berdiri empat tombak di depannya. Si-kapnya begitu kaku, sarat ancaman.
"Ada apa lagi ini?" tanya Andika, melihat sikap tak bersahabat Anggraini.
"Aku ingin menuntut hutang nya-wa!"
Pandangan Andika terjatuh.
"Sudah kuduga, akhirnya kau akan tahu juga...," desah Pendekar Slebor.
"Kuakui, memang aku telah
......membunuh Begal Ireng, ayahmu.
Tapi...." "Aku tak butuh alasanmu!" penggal Anggraini dengan wajah merah penuh kemarahan.
"Kau harus dengar aku dulu,
Anggraini!"
Andika berusaha menjelaskan pada
Anggraini kembali Sia-sia. Gadis itu tampaknya sudah sampai pada ambang batas
kemurkaan. Sebuah gejolak dendam membunuh siap tertumpah.
"Aku paham, bagaimana rasanya tak memiliki orangtua," bujuk pemuda itu
tak menyerah begitu saja.
"Aku tak peduli!"
Anggraini langsung memasang jurus
pembuka. "Anggraini, tunggu!" cegah Andika. Tapi....
"Hiaaat!"
Sudah tak ada kesempatan lagi ba-
gi Pendekar Slebor menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Dan ketika satu tusukan
jari Anggraini lurus-lurus
mengancam keningnya, Andika dengan sigap menahannya dengan himpitan telapak
tangan. Tap! Tepat di depan wajah Pendekar
Slebor, gerakan jemari halus namun berkekuatan milik Anggraini tertahan karena
himpitan telapak tangan Andika.
Gadis dari Tanah Buangan ini su-
dah gelap mata Serangan susulan memba-bi buta pun segera dilancarkan. Sebelah
tangannya yang bebas, menerabas dari samping kiri, menuju pelipis Pendekar
Slebor. Wuk! Suara santer yang tercipta menya-
darkan Pendek Slebor, kalau pelipisnya terancam sebentuk tenaga dalam yang bukan
hanya meremukkan, melainkan mampu membuat keningnya hancur lebur!
Pendekar Slebor sadar. Dia harus
memapaki tebasan tangan Anggraini jika tak ingin pelipisnya jadi sasaran em-puk.
Untuk melakukannya, yang dibutuh-
kan ialah tangan. Tapi, kedua tangannya masih menghimpit satu tangan lain
Anggraini. Kalau sedikit saja himpitan telapak tangan dikendurkan, maka jari
Anggraini akan langsung menusuk kening!
Kedudukan sulit itu dengan cerdik
dipecahkan Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan
segera disalurkannya ke sepasang telapak tangannya. Kekuatan sakti itu dalam
sekejap menekan tenaga dalam yang berada dalam tangan Anggraini
yang telah dihimpit. Maka tak ada sekerdipan mata, sebelah tangan Anggraini
langsung bisa dikuasai Andika. Lalu dengan amat cepat, tangan Anggraini digiring
untuk ditusukkan dengan sebelah tangan gadis itu yang lain.
Aaagh! Selamatlah pelipis Andika dari
tebasan tangan gadis kalap ini. Yang menjadi sasarannya malah tangan
Anggraini yang sebelah lagi. Ketika bertumbukan, Anggraini merasakan tulang-
tulang tangannya seperti dilo-
loskan dari daging.
Bagai singa betina terluka,
Anggraini tak peduli akan rasa menyiksa di bagian tangannya. Sesaat setelah
sepasang telapak tangan Pendekar Slebor melepaskan himpitan, dikirimkannya
tendangan cepat bertubi-tubi ke beberapa bagian tubuh Pendekar Slebor.
"Hiaaa!"
Deb! Satu tendangan pertama dilepaskan
dengan mantap. Sasarannya tulang rusuk kiri Pendekar Slebor.
Masih dengan mudah, Andika memen-
tahkan serangan Anggraini. Gerakannya yang kesohor amat cepat, mementahkan
tendangan gadis itu dengan satu keli-tan manis.
Deb! Anggraini memburu. Tendangan be-
rikutnya mendarat lurus kedada bidang Andika.
Untuk tendangan kali ini, Pende-
kar Slebor tak hanya mengelak. Satu siasat tempur diterapkannya. Tangan
Anggraini yang terangkat tinggi segera disambut angsuran tangan kebawah kaki.
Berbarengan dengan itu Andika menyalurkan sebagian kekuatan warisan
buyutnya yang sanggup menahan serudukan banteng jantari sekali pun. Dan jari
tangannya pun menjepit bagian bawah kaki Anggraini.
Tap! "Aaaw!" pekik Anggraini saat itu juga.
Jepitan jari Andika, tanpa senga-
ja rupanya mengenai bagian bawah pa-hanya. Tak terlalu sakit. Hanya karena
daerah itu cukup peka, Anggraini seketika jadi menjerit kaget.
Sementara Andika sudah mengunci
gerak Anggraini dengan menekan kaki bagian atas dengan tangannya yang
lain. Kuncian yang demikian kuat bagai himpitan batu karang, membuat Anggraini
tidak bisa bergerak. Walaupun tangannya masih bebas, tetap tidak bisa menjangkau
Andika. "Kurang ajar kau!" maki gadis itu.
Andika tersenyum serba salah.
"Aaa..., aku tak sengaja!" kilah pemuda itu, gagap.
"Lepaskan aku! Kita bertarung
mengadu jiwa!"
"Jangan bernafsu begitu, Anggraini! Tak baik menyelesaikan persoalan dengan
kepala mendidih," ujar Andika, menasihati.
"Aku tak perlu menyelesaikan persoalan hanya dengan bicara. Persoalan ini akan
tuntas kalau kau sudah masuk liang kubur!" tandas Anggraini berge-jolak.
"Tenanglah dulu...," ucap Andika, kehabisan kata menghadapi amukan dendam gadis
ini. "Lepaskan aku pengecut!" hardik Anggraini.
Karena tak ingin dianggap kurang
ajar, Andika akhirnya melepaskan juga kuncian itu. Kalau lebih lama, akan
menjadi kian risih.
Selagi melepas kuncian, pendekar
muda kesohor itu melenting ringan ke-
belakang, untuk mengambil jarak. Ia berniat membujuk Anggraini sekali la-gi.
"Anggraini, sabar.... Mestinya kau berpikir, kenapa aku tidak membunuhmu selagi
aku tahu, kau akan menuntut balas terhadap kematian ayahmu,"
jelas Andika dengan tangan terangkat ke depan, mencoba menyabarkan Anggraini.
Sembilan tombak dari tempatnya,
Anggraini mulai maju selangkah demi selangkah. Matanya menusuk lurus, amat
mengancam. Sementara tangannya bergerak-gerak memainkan kembangan jurus yang
pernah diajarkan ibunya.
"Aku pernah berpikir seperti
itu," geram Anggraini.
"Lalu?" tanya Andika tersurut-surut, seperti tikus selokan tertangkap basah oleh
kucing betina. "Aku tak peduli pada hal itu la-gi!"
"Itu artinya kau tak mau mendengar suara hatimu, Anggraini. Sadar-
lah.... Apakah kau tak tahu, suara ha-ti kerap kali membawa kebenaran?"
"Kukatakan sekali lagi, aku tak peduli!"
"O, Tuhan...," keluh Andika.
Kepala Pendekar Slebor menengadah
ke angkasa. "Apa dunia-Mu ini sudah terbalik"
Mengapa orang yang ingin menegakkan
kebenaran seperti diri hamba harus di-tuding bagai orang hukuman?" bisik
Pendekar Slebor, seperti menggugat.
Sang Maha Tunggal pasti mendengar
keluh Andika. Tapi apa Anggraini sudi menden-
garkan juga" Tidak! gadis itu menerkam Pendekar Slebor manakala jarak mereka
tinggal empat tombak lagi.
"Hiaaah!"
Sepuluh jari indah gadis itu se-
ketika menegang, memperlihatkan kesan kebengisan. Setelah bersalto, tubuhnya
meluruk di udara dengan sepasang tangan mencabik udara.
Srah! Srah! Srah!
Tiba di dekat Andika, cabikan
tangan Anggraini yang hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan tenaga ketelapak
tangan, mengembang lebar dan men-gepak indah bagai sepasang sayap kupu-kupu.
Angin besar tercipta dari kepa-kannya, pertanda kekuatan yang tersim-pan pada
serangan tak bisa dianggap main-main. Kupu-kupu Merah, Ibunya, memang telah
mewariskan ilmu 'Kepakan Sang Kupu-kupu' yang dahsyat kepada anak tunggalnya!
Tindakan Anggraini tersebut me-
maksa Andika mengeluarkan pula satu jurus yang cukup diandalkan. 'Guntur
Selaksa'! "Heaaa!"
Deb! Deb! Deb! * * * Wajar saja kalau Andika terheran-
heran terhadap si nenek pertapa, guru Ratu Lebah yang sebenarnya bernama
Nyai Silili-lilu. Satu nama aneh yang entah didapat dari mana. Dia adalah
seorang pertapa berusia amat uzur.
Bahkan untuk ukuran seorang nenek sekalipun. Dia telah hidup lebih dari tiga
keturunan. Dunia persilatan sudah menganggapnya sebagai siluman perempuan,
karena tabiatnya sulit dipahami dengan kesaktian yang demikian tinggi.
Nyai Silili-lilu kini kembali ke-
tempat persembunyiannya. Seperti biasa, dia masuk ke dalam satu wilayah
pemakaman tua. Melalui pintu rahasia pada pohon besar di tengah kuburan,
perempuan tua itu masuk ke ruang bawah tanah. Dan akhirnya si nenek pertapa tiba
di ruangan, tempat tubuh Mayangseruni atau Ratu Lebah terbaring.
Kini si nenek menghampiri satu
sudut ruangan, tempat penyimpanan segala perabotannya. Beberapa saat, diaduk-
aduknya barang-barang yang sudah bagai tumpukan loak itu. Seisi ruangan jadi
bising tak karuan.
Kalau saja ada orang yang meli-
hat, tentu orang itu akan bingung. Sebenarnya, si nenek sedang mencari sesuatu


Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau sedang uring-uringan"
Gedumbrang... gedumbreng! Prak!
Cit, cit, cit! Seekor tikus kurus lari terbirit-
birit, ketika tangan luput si nenek menggapai satu baki rombeng dari tuang laut.
"Selalu saja kau susah ditemukan kalau sedang dibutuhkan! Dasar baki kentut!"
maki perempuan tua ini, sebal.
Tertatih-tatih, Nyai Silili-lilu
membawa baki yang disebutnya sebagai Baki Penerawang itu ke sebuah meja, setelah
sebelumnya diisi air dari gen-tong di satu sudut. Tak cuma baki yang menempati
meja. Tubuh kurusnya pun ambil bagian di atas meja batu.
Kini Nyai Silili-lilu bersila te-
pat di depan baki. Baki dan pemiliknya sudah mirip penghias meja. Mata Nyai
Silili-lilu terpejam. Tangannya menyentuh sisi kening.
"Nyam..., nyammm.... Khoekchuih!"
perempuan tua itu memulai mantera-manteranya.
Dal del dol perkedel nonjol...
Pak tani ketiban papan....
Matinya jam delapan....
Kuburnya tahun depan.... Ngik!
Nyam... nyam" Dari balik rompi kulit pohonnya, perlahan-lahan tangan Nyai
Silili-lilu mengeluarkan selembar kecil sobekan kain berwarna hijau muda dari
sobekan baju Andika. Sengaja sobekan kain itu disembunyikan, sewaktu
Andika sedang mandi di sungai kecil beberapa waktu yang lalu,
Dengan lemah gemulai, sobekan
kain bau apek itu dilemparkan ke dalam baki berisi air hingga menjadi basah.
Beberapa saat mengapung, lalu tengge-lam ke dasar baki.
Kelopak mata Nyai Silili-lilu pun
menyusul membuka. Cukup lama matanya melirik-lirik ke seluruh bagian baki.
Alisnya yang putih sampai-sampai melengkung hebat. Sesuatu yang diha-
rapkannya belum juga muncul. Perempuan tua ini mulai mangkel. Bibirnya maju
mundur tak teratur, lebih jelek daripada mulut mujair.
"Baki slomprettt! Jangan coba-
coba mogok kerja, ya"!" maki Nyai Silili-lilu dengan segenap semburan
liur. Setelah dimaki, terjadi perubahan
pada baki. Dan wajah keriput si nenek pun ikut berubah. Cerah ceria, gemah ripah
dan sebagainya....
"Mmm emmm emmm...," gumam Nyai Silili-lilu sambil mengangguk-angguk kepala
berirama. "Ya ya ya. Sudah kuduga sebelumnya. Anak muda itu memang masih ada
hubungan denganku. Dia itu cucunya si Sapta Cakra buduk, adikku yang ileran
sewaktu masih kecil. Iik hik hik! Her... iler...."
Inilah satu tabir rahasia yang
sampai saat ini belum terbuka untuk
Pendekar Slebor. Sesungguhnya, Nyai Silili-lilu kakak perempuan dari Ki
Saptacakra, buyut Andika sendiri. Seperti juga Ki Saptacakra yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Silili-lilu juga sudah menjadi cerita
rakyat. Jika nama Pendekar Lembah Kutukan besar karena ksatriaan-nya, maka Nyai
Silili-lilu besar karena sifatnya yang ganjil. Namun begitu, tetap ada satu
kejelasan kalau perempuan tua itu tak akan pernah sudi memihak pada golongan
sesat. Meski, tak juga memerangi kalau benar-benar tak terpaksa. Dengan begitu,
orang sering juga menyebutnya si Nenek pertapa ren-dah hati. Karena, dianggap
tak mau me-mamerkan kesaktiannya.
Nyai Silili-lilu kini menepuk-
nepuk dengkul sebentar. Lalu mulai
bergumam lagi. Suara gumamannya terdengar seperti orang berkumur.
"E e e! Rupanya dia juga pernah makan buah 'inti petir'! Wih! Rakus juga anak
muda itu, ya" Dan... lho"
kok gambarnya hilang"!" sentak Nyai Silili-lilu. Matanya terbelalak, mulai mau
mengamuk lagi dia. Sebelum semburan mulutnya terjadi, bayangan di baki muncul
lagi. "Lho" Anak muda ini sedang bertempur dengan kawan wanitanya. Kok, bisa begitu
ya" Wah! Mesti cepat-cepat kulerai. Kalau tidak, bisa ada yang
celaka....' Nyai Silili-lilu bergegas bangkit
dari meja batunya
Gedumprang! Nyai Silili-lilu tiba di tempat
pertempuran, saat sepasang anak muda itu sedang terlibat pertukaran jurus hebat.
Debu menyelimuti arena pertempuran, Kehebatan tenaga dalam yang dimiliki masing-
masing menciptakan gu-lungan debu tinggi serta pusaran angin yang menghempas
batuan ke mana-mana saat terjadi benturan. Sebagian padang tanaman bunga
matahari pur sudah tak jelas lagi bentuknya.
"Boleh juga ilmu mereka," puji Nyai Silili-lilu. Nenek itu berdiri cukup jauh.
Jarak yang cukup untuk bi-sa menikmati pertempuran.
"Iya, ya. Kalau cepat-cepat kulerai, aku bisa kehilangan tontonan se-ru," gumam
Nyai Silili-lilu. "Lebih asyik kalau. kunikmati dulu dua muda-mudi itu baku
hantam. Setelah mereka mulai tak terkendali, baru kulerai.
Hik hik hik! Gagasan yang bagus!"
Maka, Nyai Silili-lilu yang semu-
la hendak melerai Andika dan Anggraini, sekarang malah duduk santai meng-
guncang-uncang kaki dibawah serumpun bambu kuning. Tingkahnya yang sudah
berlipat seperti gombal, mencoba bersiul. Yang dihasilkan malah suara
sember seperti kaleng rombeng ditiup
angin! "Hiaaa!"
Des! Deb! Deb! Biar bagaimanapun, Pendekar Sle-
bor tetap berada atas angin. Sekian puluh jurus tangguh dikerahkan
Anggraini, tetap tidak bisa menjatuh-kannya. Bahkan untuk sekadar membuat
terdesak sekalipun.
Jurus-jurus ciptaan Andika di
Lembah Kutukan memang bukanlah tandingan gadis yang masih hijau di dunia
persilatan ini. Kalaupun Anggraini telah mengeluarkan beberapa tingkat ilmu
Kekuatan Kembarnya, tetap tak menjamin bisa mengungguli Andika.
Setiap kali telapak tangan
Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar', Pendekar Slebor meredamnya dengan
selubung kekuatan sakti warisan Ki Saptacakra yang sanggup menahan
gempuran petir!
Sampai satu ketika....
Tap! Kecepatan tangan Andika yang ser-
ing membuat Warga persilatan kagum, mencekal pergelangan tangan gadis itu.
Sekali terkena, tangan Pendekar Slebor langsung lekat bagai bertemunya dua besi
sembrani. Dalam serangkai gerakan yang su-
lit diikuti mat awam, Andika langsung memutar tubuh Anggraini hingga membe-
lakanginya. Pada jarak
berhimpitan itu, sebelah tangan Andika lain dengan tangkas meraih pinggang gadis itu dari
belakang. Tap! Pendekar Slebor pun langsung men-
gunci tubuh Anggraini dalam pelukannya.
Gadis itu berusaha meronta sepe-
nuh tenaga. Tapi tetap tak berhasil melepaskan diri. Tentu saja, tenaga Pendekar
Slebor jauh lebih unggul da-rinya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Apa kau hanya bisa berbuat seperti ini"!" maki
Anggraini dalam rontaannya yang sia-sia.
"Kalau kau terus meronta, aku
akan terus mendekapmu," kata Andika, tepat di belakang telinga Anggraini.
Kata-katanya diucapkan tanpa amarah dan berkesan dalam.
Ternyata tak sekadar telinga
Anggraini yang menangkap kalimat Andika barusan. Hati wanitanya pun me-
nangkapnya. Ada getaran yang tercipta di dada gadis ini. Gemuruh yang sejuk.
Maka perlahan-lahan tenaga rontaannya memupus, lalu hilang sama sekali.
Anggraini tergugu dalam dekapan tangan kekar pemuda yang menitipkan cinta
pertama baginya.
Di antara tarikan napas Anggraini
yang masih terhela, Andika mendekatkan mulutnya.
"Kau bisa memusuhiku. Bahkan kau bisa membunuhku. Tapi asal kau tahu, aku tak
akan mungkin membunuh dan memusuhimu...," bisik Andika.
Anggraini bisa menikmati selent-
ing rasa damai dalam kalimat Andika.
Dan itu membuatnya seperti makin ter-tawan dalam sangkar cinta yang mendadak
menyembul, manakala tak berdaya di dada bidang sang jejaka.
"Kau tahu sebabnya" Karena kau tak pantas mendapatkan sikap permusu-hanku. Kau
gadis yang berhati pualam.
Rasa sayangmu terhadap orang tua, mem-buktikannya. Jadi, kau tak bisa memak-saku
memusuhimu," desah Andika, seraya mengendurkan cekalannya pada tangan Anggraini.
Dengan hati-hati pula, Andika me-
lepas pelukan sebelah tangannya pada pinggang Anggraini. Kakinya lantas
mundur beberapa langkah, membiarkan Anggraini terpaku merenungi kata-kata tadi.
Tak lama kemudian, bahu gadis itu
tampak berguncang-guncang kecil. Kepalanya merunduk. Sementara, sebelah
tangannya menutup bibir.
"Anggraini!" panggil Andika, ketika gadis menawan berlari membawa isak
tertahannya. Plok! Plok! Plok...!
"Weleh..weleh..weleh! Sebuah ade-gan yang mengharukan," ceracau Nyai
Silili-lilu sepeninggalan Anggraini.
Dihampirinya Andika. Sementara
pemuda itu masih terpaku menatap hilangnya Anggraini di kejauhan.
"Heh, sudah jangan sedih! Nanti!
Uwak belikan gasing dari kulit jengkol...," tegur Nyai Silili-lilu, sambil
menepuk pundak Andika.
Mendengar seloroh si nenek, Andi-
ka menoleh Meski dengan kalimat menggoda, Andika tahu ucapan Nyai Silili-lilu
ditujukan untuk menghibur kega-lauan hatinya terhadap sikap Anggraini.
"Kau lagi, Nek. Ada perlu apa la-gi?" tanya Andika. Tak seperti sebelumnya, kali
ini pendekar muda itu
bersikap lebih ramah.
"Aku butuh pertolonganmu," kata Nyai Silili-lilu singkat. Lalu tanpa banyak
mulut, tangan Andika langsung ditariknya.
"Mau ke mana kita, Nek?"
"Nanti juga kau tahu!"
"Asal jangan dibawa ke neraka sa-ja...."
"Kalau banyak tanya, kau bakal sampai ke neraka!!
Andika meringis ngeri.
* * * 6 Pendekar Slebor begitu terbawa
pesona, menatapi sosok yang terbaring di depannya. Berkelopak mata lembut,
diperindah sebaris bulu lentik nan legam. Matanya terkatup. Di bawah sepasang
mata berbulu lentik, mencuat hidung tipis dan bangir. Sisi-sisi pang-kalnya
mempertegas cekung kelopak ma-ta, mempersarat kesan menggoda. Di bawah cuping
hidung yang melancip, ada terbentang bibir merah menggemaskan.
Bagian atasnya tipis, sedang bagian bawahnya merekah. Dalam keadaan setengah
terbuka, bibir itu seperti mengundang birahi setiap pria. Semuanya ada dalam
sebentuk wajah bulat telur, di-permanis kulit kuning langsat bercahaya.
Sosok itu diam dalam kedamaian
yang dimilikinya. Dalam kedamaian, dia seperti terbebas dari sebuah belenggu.
"Dhuarrr...!"
Andika kontan tersentak dari ke-
terpesonaannya terhadap wajah Mayangseruni yang masih tak sadarkan diri.
Sementara itu, Nyai Silili-lilu
berada di belakangnya. Tampak cengar-cengir, memergoki Andika yang tadi
tengah menikmati mana karya Tuhan yang terbentang diam di meja batu.
"Suaramu masih lumayan keras untuk membuat copot jantungku, Nek," se-
loroh Andika, berusaha berkelit dari tatapan mata Nyai Silili-lilu yang
menggoda. "Tertangkap basah?" cecar Nyai Silili-lilu.
"Iya, Nek. He he he," sahut Andika, mati kutu.
"Apa kubilang. Kau akan terpesona setelah memperhatikan muridku...," tukas nenek
pertapa itu seraya membenahi perabotannya yang lupa dibereskan.
"Aku tak mengira wanita yang kejam bisa memancarkan kedamaian dalam ketidak
sadarannya," kata Andika agak bergumam.
"Slompret kau! Dia bukannya gadis jahat! Jangan coba-coba lagi kau sebut dia
begitu!" hardik Nyai Silili-lilu gemas.
"Tapi..."
"Ya..., ya! Kau akan mengatakan tentang tindak-tanduknya di lembah
Pintu Sorga dan Neraka Dunia, bukan?"
serobot Nyai Silili-lilu sambil terus sibuk meletakkan barang-barangnya ke-
tempat semula. "Sebenarnya, itu bukan sifat asli Mayangseruni, Anak Muda.
Dia berubah sifat, karena terkena racun 'Perusak Saraf milik Bureksa!"
"Bureksa?" tanya Andika. Jangan-kan nama Bureksa, julukan lelaki itu pun Andika
belum tahu. "Itu, lho.... Pangeran Neraka,"
tambah Nyai Silili-lilu, menegaskan.
"Pangeran Neraka?"
Mata perempuan tua itu memelototi
Andika. "Kau ini bagaimana" Malang melin-tang di dunia persilatan, tapi belum tahu kalau
musuh yang telah kau tumpas punya seorang kakak lelaki. Maksudku, si Bureksa itu
adalah kakaknya Begal Ireng, Tolol!" dengus Nyai Silili-lilu.
Andika tak memberi tanggapan apa-
apa. Pemuda itu diam dengan kelopak mata menyipit. Ada sesuatu yang dipi-
kirkannya, setelah mendengar penjelasan Nyai Silili-lilu.
"Pantas saja Anggraini cepat tahu kalau aku adalah pembunuh ayahnya,"
gumam pemuda berambut gondrong ini.
"Pasti, lelaki itu yang telah memberi-tahu. Dia pula tentu yang menghasut-hasut
Anggraini, dengan memutar-
balikkan kenyataan sebenarnya.... Licik!"
"Betul!" sambut perempuan tua ini seraya menuding telunjuk di depan wajah
Andika. "Lelaki slompret itu memang licik! Cepat atau lambat, kau
pasti akan menghadapinya juga. Untuk itu, aku peringati. Hati-hati terhadap
Bureksa! Dia selicik serigala dan selicin belut!"
Kepala Andika mengangguk-angguk.
"Bagus! Sekarang kau harus membantuku menolong anak gadisku yang ma-
lang ini," ujar Nyai Silili-lilu.
Segera perempuan tua itu mendeka-
ti meja batu tempat Mayangseruni ter-geletak.
"Oh, iya! Ada satu hal lagi, sebelum kita berusaha menolong anak gadisku. Kau
harus memanggilku 'Uwak'!"
sambung si nenek, sama sekali membuat Andika tak mengerti.
"Kenapa aku harus memanggilmu
'Uwak'?" tanya Andika.
"Karena kau adalah cicit kemenakanku..."
"Maksudmu bagaimana, Nek?"
"Uwak!"
"Eh, iya! Maksudmu bagaimana..., Uwak?"
"Aaah, slompret kau! Sudah kubilang jangan banyak tanya! Telingaku sudah terlalu
tua untuk menerima per-tanyaanmu yang tak habis-habisnya!"
Andika hanya bisa menggaruk-garuk
kepala, meski tak gatal.
Untuk menyembuhkan Mayangseruni,
memang dibutuhkan bantuan seseorang yang sudah pernah memakan buah 'inti petir'.
Salah seorang yang beruntung memakan buah langka itu adalah Andika.
Ki Saptacakra telah memberi buah itu, ketika Andika menyelesaikan penyempur-


Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naannya di Lembah Kutukan (Baca episode : "Dendam dan Asmara").
Sudah menjadi semacam cerita di
dunia persilatan, bahwa bila seseorang
memakan buah mukjizat itu, maka akan sanggup menyerap tenaga petir ke dalam
seluruh serat tubuhnya. Bahkan sekaligus dapat memanfaatkan tenaga petir itu
menjadi sebentuk pukulan maha dahsyat berkekuatan geledek raksasa!
Kejadian sebenarnya, nyata-nyata
bukan sekadar cerita. Andika kerap
kali mengalami hal ini, setelah memakan buah 'inti petir'. Dalam saat-saat
genting menghadapi musuh yang terlampau tangguh, Pendekar Slebor bisa me-
lancarkan pukulan maut sekuat petir setelah terlebih dahulu menyerapnya dari
angkasa. Sayangnya, kehebatan itu tak selalu bisa diwujudkan, selama tak ada
arakan awan hitam pekat. Dan Andika lebih suka menganggapnya sebagai suatu bukti
kekuasaan Tuhan. Tanpa kehendak dan kodrat-Nya, segala hal yang mungkin terjadi
tidak mungkin. Sebaliknya, hal yang terkadang mustahil, mendadak bisa terjadi.
Saat ini, kemukjizatan buah 'inti
petir' yang sudah menyatu dengan darah dan daging Andika, hendak dicoba di-
manfaatkan oleh Nyai Silili-lilu demi kesembuhan murid tunggalnya.
Sewaktu ditanya caranya, jawaban
Nyai Silili-lilu mengejutkan Andika.
Katanya, untuk bisa memulihkan simpul-simpul saraf dalam jaringan otak
Mayangseruni yang terganggu, Pendekar Slebor harus mencoba menyerap sambaran
petir. Andika berpikir, itu pun gila.
Kalau sebelumnya tubuhnya menyerap kekuatan petir, itu semata-mata di luar
kehendaknya. Petir tiba-tiba menyam-bar. Dan dia merasakan penderitaan
luar biasa bagai disayat-sayat sejuta kuku hewan buas.
Maka jika sekarang harus menanti
disambar petir di atas sebuah bukit gundul, itu sama artinya menyiksa di-ri.
Padahal setiap kali mengalami pe-nyerapan kekuatan petir, Andika selalu berharap
hal itu tak akan terjadi lagi padanya, untuk seumur hidupnya!
"Kalau begitu, kau bukanlah ksatria sejati!" rutuk Nyai Silili-lilu menerima
penolakan Andika.
"Ini sama saja bunuh diri!" kilah Andika.
Bukannya Pendekar Slebor gentar,
tapi hanya agak ragu. Apakah pada saat dia sengaja membiarkan dirinya disambar
petir, nyawanya tetap utuh di badan" Itu berarti dirinya telah melakukan
kebodohan andai benar-benar tewas.
Lagi pula, sengaja menentang kekuatan alam, seperti hendak menjajal-jajal
kekuasaan Tuhan. Dan dia tak mau jadi manusia durhaka!
"Kau tak perlu menganggapnya bunuh diri, Tolol! Kau harus menganggapnya usaha
menolong sesama!" kilah Nyai Silili-lilu, tak mau kalah bersikeras.
"Aku tak mau menentang kekuasaan Tuhan dengan sengaja!"
"Anak bandel! Apa kau pikir Tuhan tak tahu hatimu" Dia itu mengetahui apa-apa
yang dilahirkan atau disembunyikan hati manusia. Kalau niatmu ik-hlas untuk
menolong orang lain, tentu tindakanmu tergolong tugas suci!"
Andika diam dengan wajah terli-
pat. Pemuda itu duduk melengkung di bangku batu milik si nenek pertapa.
Kedua tangannya menopang dagu.
Melihat Andika duduk bertopang
dagu seperti itu, lama kelamaan Nyai Silili-lilu menjadi sebal.
"Huh! Tak kukira aku akan punya cicit kemenakan sepengecut kau!"
Andika terusik. Telah dua kali
telinganya mendengar si nenek menyebut dirinya 'cicit kemenakan'. Benar-benar
mengundang keingintahuannya.
"Siapa kau ini sebenarnya, Uwak"
Sudah dua kali kau menyebutku cicit kemenakan...?" tanya Andika penasaran.
"Janji dulu padaku, kau harus menolong Mayangseruni. Setelah itu, baru kau
kuceritakan siapa aku sebenarnya!"
elak si nenek, menuntut satu perjanjian tak tertulis.
"Baik..., baiklah!" putus Andika akhirnya. "Tapi bukan karena aku ingin tahu
siapa kau sebenarnya. Aku merenungi kata-katamu barusan. Sepertinya, ucapanmu
ada benarnya, Uwak," tutur
Andika jujur. "Hik hik hik! Itu baru cicit kemenakanku!"
"Sekarang ceritakanlah?" pinta Andika.
Nyai Silili-lilu pun memulai ce-
ritanya. *** Dua hari berlalu sudah. Kuburan
tua tempat tinggal Nyai Silili-lilu tampak lengang. Kabut pagi bergen-tayangan
lamban. Hujan yang sejak se-malam mengguyuri hebat, pagi itu tinggal tersisa
Dendam Manusia Kelelawar 1 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Kisah Pedang Di Sungai Es 2
^