Pencarian

Permainan Tiga Dewa 2

Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Bagian 2


sekali! "'Endhuaan'! Jangan-jangan ketiga orang itu semuanya bersaudara kembar.
Lebih 'endhuan' lagi, bila mereka benar-benar bisa menguasai dunia persilatan
kalau bergabung dengan kesaktian masing-masing... "Endhuan-endhuan-endhuan!"
sumpah serapah Pendekar Slebor tertahan-tahan. Saking gemasnya pada kenyataan
di depan mata. tangannya memukul beberapa kali ke tanah.
Rejeki memang tak ke mana-mana. Ketika sedikit saja arah pukulannya
berubah, tahu-tahu sebuah benda telah hancur lebur menjadi sasaran.
Mata pemuda itu kontan mendelik.
"Yang ini justru 'paling eduan'!" rutuk Andika serayu meringis melihat kotoran
seekor rusa yang udah hampir mengering.
"Shih! Aku benar-benar tak sudi ada orang yang mirip denganku! Aku terhina!
Aku terhina!" maki Dewa Api.
Bagaimana Dewa Api merasa terhina" Wajahnya itu...Dia merasa sama-sama
seburuk dua lelaki lain. Seolah-olah tubuhnya sedang berdiri di depan dua cermin
yang memperlihatkan wajahnya yang begitu dibenci. Dan di antara ketiga lelaki
yang sebenarnya satu darah itu, memang dia paling telat berpikir. Sedangkan sifat
berangasannya tak jauh beda dengan Dewa Halilintar.
Lain halnya Dewa Topan. Otaknya cukup cerdas untuk mencari kesimpulan-
kesimpulan. Begitu Dewa Api selesai mengumpat, Dewa Topan pun mulai berpikir
kalau mereka bertiga mungkin saja bersaudara kembar.
"Kalau ingin cepat membuktikan siapa yang paling unggul di antara kita, hayo
kalian berdua hadapi aku!" tantang Dewa Api gelap mata.
"Tunggu! Tunggu dulu!" potong Dewa Topan. 'Apa kalian tak merasa aneh
dengan kemiripan wajah kita?"
"Aneh..." Kau menghina"! Bagaimana tidak aneh dengan wajah seperti beruk"!"
sambar Dewa Api lagi. Masih saja perasaannya tergiring oleh arus kemarahannya
sendiri. Kalau Dewa Halilintar justru memperhatikan ucapan Dewa Topan barusan.
"Kurasa ucapannya benar. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui.... Mungkin saja
kita memang bersaudara kembar. Begitu maksudmu"!" tanggap Dewa Halilintar,
pada Dewa Topan.
"Benar! Apa kalian tak penasaran untuk mencari tahu"! Maksudku, kalau kita
bertiga benar saudara kembar, bukankah bisa menyatukan kesaktian masing-
masing. Lalu, kita bisa kuasai dunia persilatan!" sambung Dewa Topan menggebu-
gebu. Hal yang ditakutkan Pendekar Slebor pun mulai muncul ke permukaan.
"Aku ingin menguasai dunia persilatan sendiri!" sentak Dewa Api, memberangus
harapan dua saudara kembarnya.
"Aku pun tak ingin berbagi kekuasaan dengan orang lain!" timpal Dewa
Halilintar. Kali ini ucapan Dewa Topan tak begitu saja diperhatikannya.
"Kalian jangan bodoh! Kalau benar kita bersaudara kembar, itu berarti
sebenarnya adalah satu. 'Satu darah' Maka jalinan darah itu yang menyatukan
kita. Hanya pada keluarga kita dunia persilatan bertekuk lutut!" papar Dewa Topan,
seperti khotbah.
Barulah dua lelaki berwajah beruk lainnya menimbang-nimbang seluruh
perkataan lelaki berpakaian hitam pekat itu.
"Jadi, bagaimana dengan adu kesaktian kita?" tanya Dewa Api sekian lama
kemudian. "Kita tak perlu lagi membuktikan, siapa yang lebih sakti di antara kita! Yang
perlu dibuktikan adalah apakah kita benar-benar bersaudara kembar!" jawab Dewa
Topan, kian menggebu.
"Setelah kita tahu kita bersaudara kembar, sudah tentu harus menentukan
siapa yang berhak menjadi pemimpin. Tak mungkin memilih orang yang paling tua,
karena usia kita sama!" sela Dewa Halilintar. Seperti Dewa Api, lelaki ini pun
mengungkapkan kata-katanya dengan nada yang selalu panas meletup-letup.
Dewa Topan berpikir sejenak.
"Bisa! Kita bisa menentukan, siapa yang berhak menjadi pemimpin. Kita
buktikan dengan kesaktian!" cetus Dewa Topan kemudian.
"Kau katakan, kita tidak perlu adu kesaktian!" terabas Dewa Halilintar.
"Ya! Kita tak perlu bertarung. Yang dibutuhkan hanya permainan...."
"Permainan" Permainan apa"!" tanya Dewa Api dan Dewa Halilintar nyaris
berbarengan. "Lihat saja nanti...."
Di lain tempat, Andika makin tambah panjang mengulur makian demi
makiannya. Kekhawatirannya terbukti sudah. Dia hanya tinggal menunggu
pembuktian kalau mereka bersaudara kembar. Jika terbukti, maka dunia persilatan
pun siap hancur lebur di bawah telapak kaki mereka. Dan itu tidak boleh
terjadi.... Sampai saat ini Pendekar Slebor tak tahu secara tepat, apa yang bisa dilakukan
untuk menjagal penyatuan mereka. Pikiran sehatnya pun menahannya untuk
melakukan tindakan bodoh. Sayangnya, perasaan khawatir terlalu kuat
berkecamuk. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya mencelat keluar untuk menghadapi
tiga tokoh yang sebenarnya bisa membuatnya menemui maut jika sudah bergabung
menjadi satu!"
"Jangan pergi dulu kalian, manusia-manusia jelek bertabiat jelek, berdengkul
jelek!" maki Pendekar Slebor sewot.
Andika berlari mendekati tiga lelaki di sana dengan wajah merah padam.
Setumpuk kemarahan buta siap dimuntahkan! Tapi sebentang gerbang maut pun,
bisa saja telah siap menelan dirinya....
*** "Bor! Hey, Slebor! Guoblok! Keterlaluan kau! kalanya hendak mencari penawar
racun untukku"!"
Sebentuk suara menyakitkan telinga telah menyadarkan Andika dari
pingsannya. Begitu kelopak matanya terbuka, deraan rasa sakit luar biasa pun
muncul. Tubuhnya seperti hendak diremuk redam oleh penggilingan baja.
Tampak wajah Penggerutu Berkepang cemberut tak tertolong di depan hidung
Andika. Juga serentet gerutuan menyebalkan didengarnya.
"Di mana aku?" tanya Andika, kesadarannya belum pulih benar.
"Di mana.... di mana! Tai kucing! Masa' kau hanya enak-enakkan tidur,
sementara aku meregang-regang nyawa menghadapi racun si Dewa Kentut!"
"Aku tidur...'.'" gumam Andika lirih.
Setelah itu benak Pendekar Slebor kembali terngiang pada kejadian yang
menimpanya. Sewaktu keluar dari semak-semak, tanpa dapat dihindari Andika
harus berurusan dengan Tiga Dewa. Seperti dugaan Andika, penggabungan,
kesekian tiga dewa itu melahirkan sebentuk kesaktian yang hampir tak mungkin
dikalahkan. Bahkan Andika tetap tak mampu melukai salah seorang pun, meski
seluruh kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan dikurasnya sampai habis!
Maka, jadilah dia bulan-bulanan empuk.
Masih teringat dalam benak Pendekar Slebor, puncak kegentingan pertarungan
antara dirinya dengan Tiga Dewa. Dari tiga penjuru berbeda, dirinya digempur
tiga kekuatan berbeda. Halilintar, Api, dan Topan! Selubung sinar keperakan yang
sering muncul di saat-saat amat genting sebagai perwujudan tingkat puncak kesaktian
yang bersemayam dalam dirinya pun, tak kuasa bertahan. Benteng pertahannya
lebur. Meski Andika yang dalam tubuhnya bersemayam buah khasiat 'Inti Petir' yang
bisa menyerap tenaga halilintar milik seorang musuhnya, tetap saja terdesak
dahsyat. Kekutan halilintar yang biasanya dapat dimanfaatkan untuk menambah
kehebatan pukulan jarak jauhnya, ternyata malah memantul balik mendera benteng
selubung tenaga saktinya. Tentu saja hal ini akibat terpecahnya seluruh
perhatian Pendekar Slebor pada tiga medan serangan yang memanfaatkan kekuatan alam
raksasa! "Hey, jangan bengong begitu, Guoblok!"
Andika terkesiap. Lamunannya kontan buyar.
"Kau yang guoblok! Aku bukannya tidur-tiduran! Aku hampir mampus
dikeroyok!" balas Andika. "Kau lihat bajuku yang sudah koyak dan hangus sebagian
ini"!"
Lalu Pendekar Slebor meringis-ringis
begitu rasa sakti luar biasa menggerogotinya lagi di beberapa bag ian tubuhnya.
"Peduli setan kau baru saja menolong kebakaran rumah, atau apa!"
"Aku bertarung! Sudah kubilang aku bertarung!"
Andika jadi kian mengkelap. Kalau saja Penggerutu Berkepang bukan golongan
tua yang mesti dihormati, bogemnya sudah dimasukkan ke mulut menyebalkan itu.
"Lalu, bagaimana dengan janjimu untuk membawakan aku penawar racun"!
Sialan benar...."
"Eh, tunggu dulu...," tahan Andika. Tegas-tegas diperhatikannya keadaan
Penggerulu Berkepang dengan dahi mengernyit. "Bukankah kau sedang sekarat
terkena racun"!"
"Terkena racun..., terkena racun," rutuk Penggerutu Berkepang dengan bibir
dimaju-majukan. "Kalau tak ada seorang tua yang menolongku, aku bisa mati
membiru! Kau memang goublok! Ke mana saja selama ini"!"
"Diam!" bentak Andika sambil bangkit tertatih-tatih. Bibirnya tak berhenti
meringis-ringis
"Kau bilang tadi, ada orang yang menolongmu. Siapa dia?"
Penggerutu Berkepang membantu memapah Pendekar Slebor.
"Karena itu aku mencarimu, sialan... sebalnya, kau enak-enakan tidur di
semak-semak padang ilalang ini."
Kini mereka mulai melangkah. Andika tertatih-tatih dipapahan Penggerutu
Berkepang. "Apa maksudmu?"
"Guoblok!" teriak Penggerutu Berkepang persis di telinga pemuda di sisinya.
Andika sampai mengangkat bahu, tak sadar karenanya.
"Maksudku, si tua yang menolongku itu hendak berjumpa denganmu," lanjut
Penggerutu Berkepang. Kalimatnya mendadak menjadi datar lagi.
"Siapa dia?"
"Nghhhl Mumh..., mumhhh sialan," Penggerutu Berkepang menggerutu. Dia
agak lupa dengan nama si tua yang menolongnya.
"Apa" Aku tak dengar"!" tanya Andika.
"Aku memang belum ngomong! Oh, iya aku ingat sekarang.... Namanya, Pertapa
Rakit." Pertapa Rakit" Andika merasa asing dengan nama itu. Siapa lagi sesungguhnya
orang tua ini"
*** 7 Di batas cakrawala sebelah barat, matahari telah terkapar. Sinarnya menjadi
kuning matang kemerahan. Lembayung tak merata di atas sana.
Pendekar Slebor bersama Penggerutu Berkepang telah tiba di tempat yang
dituju. Sebuah muara sungai, di bibir selat kecil yang dipenuhi pepohonan bakau
liar. "Rasanya kita telah sampai," kata Penggerutu Berkepang pada Andika yang
masih cukup rapuh dalam papahannya.
"Jadi, di sini dia akan menunggu?" tanya Andika.
Tentu saja yang dimaksud Andika adalah si Pertapa Rakit. Penggerutu
Berkepang, memang diminta menyampaikan pesan pada Andika untuk menemui
lelaki tua itu di muara sungai tersebut. Namun karena keadaan Andika, Penggerutu
Berkepang sudi tak sudi mengantarkan juga. Hitung-hitung untuk balas jasa pada
Pertapa Rakit, yang telah menolongnya dari cengkeraman racun ganas Dewa Topan.
"Kalau aku mengantarmu ke dasar laut, berarti di dasar laut si tua itu
menunggu. Begitu juga kalau aku mengantarmu ke tempat ini.... Huuuh! Bagaimana
kau ini?" "Tapi aku belum melihat orang itu...," goda Andika.
Sengaja Pendekar Slebor hendak membuat jengkel Penggerutu Berkepang.
Gerutuan dan makian kelewatan lelaki itu ternyata bisa mengurangi sedikit rasa
sakitnya. "Terang saja dia belum datang! Bagaimana kau ini"!" semprot Penggerutu
Berkepang lagi. Matanya mendelik-delik, seraya menepuk-nepuk baju gembelnya.
"Belum lagi berterimakasih, kau sudah secerewet itu!"
Selang beberapa lama kemudian, di kejauhan selat terlihat sesosok tubuh kurus
dan jangkung sedang duduk bersila di atas rakit tua. Datangnya entah dari mana,
tahu- tahu sudah muncul menuju muara. Padahal semenjak tadi, Andika atau Penggerutu
Berkepang masih sempat melepas pandangan ke tengah selat kecil.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti mengikuti irama senandungnya,
sosok yang ternyata lelaki tua bertubuh kurus itu menepuk-nepuk ringan
permukaan air. Namun tindakan yang terlihat remeh, itu ternyata cukup untuk
membuat rakitnya meluncur mantap menentang arus muara sungai yang derasnya
seolah hendak menanduk bibir muara.
"Kau yang bernama Pendekar Urakan?" sapa lelaki tua yang tak lain Pertapa
Rakit pada Andika setelah rakitnya mendekat.
Bibir Andika tersenyum menanggapi kesalahan sebutan julukannya.
"Oh! Pasti aku salah menyebut namamu!" tukas Pertapa Rakit, menyadari arti
senyuman Andika. "Apa, ya.... Pendekar Acuh" Acuh, bukan ..O, Pendekar Slebor!
Iya, kan?"
Sekali ini Andika mengangguk.
"Dan kau....*
Pertapa Rakit mengalihkan ucapan pada Penggerutu Berkepang yang saat itu
asyik menjentik-jentik dahan pohon bakau yang merangas di tepi muara.
"Kau orang yang terkena racun itu, bukan" Julukanmu.... Hm," kala si tua tua
itu. sambil menempelkan jari telunjuknya di kening.
"Penggerutu Berkepang!" terabas Penggerutu Berkepang, jadi tak sabar.
"Ah, iya.... Terima kasih, Saudara Penggerutu Berkepang! Kau telah bersedia
mengantar anak muda ini padaku...," hatur Pertapa Rakit bersahabat dan hangat.
"Yah..., itu kan karena kau telah sudi menolongku," ujar Penggerutu Berkepang
acuh. "Kalau kau tidak menolongku, mana mau aku memenuhi permintaanmu."
"Sekarang aku sudah membayar jasamu, bukan" Dan aku pasti boleh pergi!"
aju Penggerutu Berkepang. Sebelum memastikan jawaban Pertapa Rakit, dia sudah
ngeloyor pergi tanpa pamit
"Naiklah kau ke rakitku, Anak Muda!" pinta Pertapa Rakit, sepeninggal
Penggerutu Berkepang.
Andika memenuhi permintaan lelaki tua yang matanya menyiratkan isyarat
persahabatan hangat itu.
"Hendak kau ajak ke mana aku. Orang Tua" Dan, kenapa kau ingin bertemu
denganku?" tanya Andika.
Si tua jangkung berbadan kurus kering itu tak menyahut. Dia menepuk perlahan permukaan air dengan sepasang telapak tangannya. Lalu __
Werrr! Rakit melaju deras, seperti disorong ke depan oleh segerombolan dedemit usil.
Andika sendiri begitu kaget. Bahkan tubuhnya hampir terlempar ke belakang kalau
saja kesigapannya tak begitu terlatih.
*** Beberapa puluh tahun silam, ada seorang pendekar muda sakti yang memiliki
ilmu sakti sedemikian banyak. Karena terlalu banyak ilmu sakti yang telah


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipelajari, kaum persilatan pun menyepuhkan julukan Pendekar Pengumpul Ilmu.
Kehebatan Pendekar Pengumpul Ilmu tidak diragukan. Di antara para tokoh
sakti mandraguna saat itu, dia memiliki kelas tersendiri dalam penguasaan olah
kanuragan dan kedigdayaan.
Pendekar Lembah Kutukan buyut Pendekar Slebor sekarang mi, kebetulan
seangkatan dengannya. Dan dia menjulukinya si Sahabat Yang Jahat. Kenapa
demikian" Karena, sepak terjang Pendekar Pengumpul Ilmu sangat sulit diduga.
Sebentar berlaku sebagai tokoh sesat, lalu di lain saat berdiri pada jajaran
tokoh- tokoh aliran putih.
Beberapa kali, Pendekar Lembah Kutukan bentrok dengannya. Dan tidak jarang
pula, pendekar sakti yang kemudian menjadi tokoh berpamor tinggi itu mendapat
bantuan dari Pendekar Pengumpul Ilmu dalam tugas menegakkan kebenaran dan
keadilan. Ternyata bagi diri Pendekar Pengumpul Ilmu sendiri, hal itu sebenarnya menjadi
persoalan. Dia seperti memiliki dua pribadi terpisah. Lama-kelamaan, dirinya
mulai dianggap sakit jiwa.
Sejauh itu, hanya Pendekar Lembah Kutukan sajalah yang memaklumi keadaan
pribadi sahabatnya yang terpecah itu.
Suatu ketika, Pendekar Lembah Kutukan menemukan sebuah rahasia yang terdapat
dalam sebuah sobekan kitab kuno. Seluruh ilmu dalam kitab kuno itu, rupanya
telah dipelajari sahabatnya. Sayang, penjelasan tentang bahaya dari ilmu-ilmu
itu luput diketahui Pendekar Pengumpul Ilmu, karena berada pada sobekan yang
hilang. Dalam kitab kuno itu, terdapat tiga kesaktian, yang tak boleh ada satu orang
menguasainya sekaligus. Ilmu itu masing-masing bernama ilmu 'Halilintar', ilmu
'Api', dan ilmu 'Topan'.
Ketiga ilmu itu sesungguhnya hanya bisa dipelajari oleh tiga orang berbeda.
Satu ilmu, untuk setiap orang. Akibat yang bakal menimpa bagi siapa saja yang
nekat menguasai ketiga ilmu itu sekaligus adalah, kerusakan pada jiwanya. Dan
itu terjadi pada Pendekar Pengumpul Ilmu.
Demi mengetahui persoalan dasar yang menjadi sebab terpecahnya pribadi sang
sahabat, Pendekar Lembah Kutukan pun berusaha untuk menjelaskannya.
Namun untuk soal kecil itu. Pendekar Lembah Kutukan harus membayarnya
dengan taruhan nyawa, karena pada saat sahabatnya didatangi, pendekar yangg
sebaya dengannya itu justru gangguan kejiwaannya tengah berlangsung.
Tanpa bisa dicegah, pertarungan sengit dua tokoh muda yang disegani hampir
di segenap hamparan dunia persilatan itu pun meledak. Mereka baru bisa
mengakhiri pertarungan, setelah berlangsung hampir dua hari-dua malam tanpa
pernah berhenti.
Sehari penuh mereka sama-sama tergolek keletihan. Pada keesokan paginya,
keduanya baru bisa merangkak menuju tepi sungai, untuk membasahi
kerongkongan yang kering kerontang dan mengganti cairan tubuh yang terkuras
habis selama bertarung.
Setelah agak segar, barulah Pendekar Lembah Kutukan bisa menyampaikan
tentang rahasia sobekan kitab yang didapat tanpa sengaja di bawah sebuah batu
tengkorak. Keterangan jelas dalam sobekan kitab cepat menyadarkan Pendekar Pengumpul
Ilmu. Barangkali, ini akibatnya bila tak berhati-hati dan terlalu rakus pada
kesaktian. Toh, semua yang berlebihan selalu berakibat tidak baik.
Didukung pertimbangan sahabatnya, Pendekar Lembah Kutukan, pendekar
yang menjadi gudang kesaktian ini pun mencoba melepaskan ketiga ilmu luar biasa
itu. Tapi persoalannya pun tidak semudah mencampakkan kotoran. Pada saat
mengenyahkan kekuatan sakti ketiga ajian itu, Pendekar Pengumpul Ilmu malah
nyaris mampus. Seperti sebelum-sebelumnya. Pendekar Pengumpul Ilmu lalu meminta nasihat
Pendekar Lembah Kutukan, yang amat terkenal juga sebagai pendekar muda
bijaksana. Jawaban dari Pendekar Lembah Kutukan datang, setelah Pendekar Pengumpul
Ilmu hampir gila bertarung dengan kesintingannya sendiri. Pendekar Lembah
Kutukan mempunyai pertimbangan, agar ketiga ilmu sulit tidak tertandingi itu
diberikan kepada tiga murid berbeda. Mungkin dengan demikian, Pendekar
Pengumpul Ilmu dapat sekaligus melepasnya.
Untuk mencari murid yang benar-benar pantas menerima tiga kesaktian luar
biasa, ternyata juga terlalu sulit. Dunia ini justru lebih banyak dipenuhi
manusia- manusia bejat tak tahu adat, ketimbang sebaliknya.
Di lain sisi, kerusakan jiwa Pendekar Pengumpul Ilmu kian hari kian
memprihatinkan. Bahkan dengan terpaksa, sahabatnya sendiri harus memasungnya
dengan berpuluh-puluh rantai baja, ditambah sejumlah totokan di beberapa jalan
darah! Karena sudah begitu mendesak dan genting, Pendekar Lembah Kutukan
akhirnya memutuskan untuk mengambil calon murid secara untung-untungan.
Kalau ada yang kebetulan lewat pertama kali ke trmpat pemasungan sahabatnya
pada pagi-pagi buta, maka mereka akan dijadikan murid. Begitu sumpahnya dalam
hati. Celakanya, pada keesokan pagi, saat hari masih kuyu dengan segenap embun
dinginnya, justru yang melintasi wilayah pemasungan justru tiga orang pencoleng
kesiangan! Mereka berlari serabutan dikejar-kejar penduduk kampung. Untuk
menyelamatkan diri, dicobanya memasuki hutan tempat Pendekar Pengumpul Ilmu
dipasung. Sumpah sudah tercatat di hati. Bahkan disaksikan seluruh isi bumi. Apa mau
dikata. Pendekar Lembah Kutukan pun akhirnya menculik pencoleng kelas teri itu
untuk dijadikan murid sahabatnya. Maka, jadilah ketiga pencoleng sebagai pewaris
ilmu yang amat langka serta luar biasa. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan
seorang wanita.
Nasi sudah menjadi bubur. Kalau bubur bisa enak dimakan. Kalau ketiga
pencoleng yang ketiban bulan itu lain lagi. Meski sudah dimaki-maki untuk
membenahi diri masing-masing, bahkan sampai Pendekar Lembah Kutukan bosan,
mereka tetap saja brengsek.
Waktu berlalu terus berlalu, seiring berputarnya jagad raya.
Ketiga kesaktian itu telah berhasil diturunkan pada ketiga pencoleng. Bahkan
mereka siap jadi tokoh kelas alas dunia persilatan. Sementara Pendekar Pengumpul
Ilmu pun sembuh.
Pendekar Lembah Kutukan gembira sekaligus geram. Gembira, karena
sahabatnya telah berhasil lolos dari sergapan kesintingannya. Geram, karena kini
bertambah lagi urusannya untuk mengawasi setiap sepak terjang para pencoleng
yang telah berubah sakti itu....
*** Pertapa Rakit mengakhiri ceritanya pada Andika. Mereka masih berada di atas
rakit rongsokan milik lelaki tua itu, meluncur tanpa tujuan menembus lautan
lepas. "Jadi buyutku, Pendekar Lembah Kutukan, pernah memiliki sahabat kental
berjuluk Pendekar Pengumpul Ilmu. Tapi sampai sejauh ini, aku masih belum
paham tujuanmu menceritakannya padaku, Orang Tua" Lalu, siapa sebenarnya
Pendekar Pengumpul Ilmu" Kupikir, dia sudah tak ada pula seperti buyutku. Bukan
begitu?" berondong Andika, di sebelah Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak! Pendekar Malang itu belum mati," kata Pertapa Rakit, menjawab
pertanyaan terakhir Andika.
Senyum di bibir berkeriput itu penuh makna. Dan mata Andika bisa
menangkapnya. Lagi pula, binar matanya menunjukkan kalau dia sedang
menerawang, sepertinya sedang menikmati masa-masa penuh suka duka dahulu.
"Apa Pendekar Pengumpul Ilmu itu adalah kau, Orang Tua?" duga Andika agak
ragu. Sekilas Pertapa Rakit melirik anak muda itu. Lalu, kepalanya mengangguk.
"Jadi benar?" tandas Andika, agak terkejut sendiri karena dugaannya ternyata
mengena. "Ya," tandas Pertapa Rakit. "Kau tahu..." Bila aku sekarang berdiri bersamamu,
rasanya sedang berdiri dengan buyutmu sewaktu muda dulu. Kau amat mirip
dengannya...," puji Pertapa Rakit, membuat cuping hidung Andika kembang-kempis
tak ada kerjaan. Besar kepala dia!
Di kelopak mata bawah orang tua kurus itu terlihat rentangan garis bening yang
agak bergetar kecil. Hatinya tampak haru.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain, Orang Tua," usik Andika, agar
Pertapa Rakit tidak terlalu hanyut oleh perasaannya.
"Kau tidak bisa menduga?" tantang Pertapa Rakit. "Atau, kau tidak berotak
secemerlang buyutmu?"
Sekarang hidung Andika tidak lagi kembang-kempis, tapi justru menguap lebar.
Agak melonjak harga dirinya dikatakan seperti tadi.
"Itu mudah saja, Orang Tua," tukas Andika pongah. "Aku rasa kau butuh
pertolonganku, untuk mencegah murid-muridmu atau paling tidak cucu murid-
muridmu, merajalela seperti tikus sawah!"
Pertapa Rakit terkekeh.
"Benar! Memang benar begitu..., Kau sudah mengenal Tiga muridku itu?"
Sekali lagi. Andika mati kutu. Dia tidak bisa menjawab, karena memang sama
sekali belum berjumpa tiga murid sesat lelaki tua itu.
*** 8 Sekarang Pendekar Slebor telah tahu banyak tentang asal muasal kesaktian
'Halilintar', 'Api', dan 'Topan' dari sahabat kakek buyutnya. Menurut Pertapa
Rakit waktu itu, banyak kemungkinan bahaya lain bisa terjadi, bila seseorang menguasai
ketiga kesaktian itu sekaligus.
Juga baru diketahui Andika, bahwa tiga lelaki kembar berwajah beruk adalah
murid dari tiga orang pencoleng yang menjadi pewaris ketiga kesaktian
tangguhnya. Setelah mendapatkan kesaktian masing-masing, ketiga bekas pencoleng yang
kemudian tersohor sebagai Tiga Datuk Sesat Penguasa Alam itu mulai bermusuhan
satu sama lain. Sebab pada dasarnya, tabiat mereka sudah buruk. Dianggapnya,
diri masing-masing adalah orang yang memiliki kesaktian paling ampuh.
Permusuhan mereka ternyata telah sengaja ditanamkan secara cerdik oleh
Pendekar Lembah Kutukan. Dengan permusuhan itu, mereka jadi tak terlalu banyak
melakukan kejahatan di dunia persilatan, karena disibuki oleh ulah satu sama
lain. Memang, sebelum masing-masing benar-benar tuntas diturunkan tiga ilmu
berbeda oleh sahabatnya. Pendekar Lembah Kutukan sengaja membakar-bakar rasa
kebanggaan berlebihan mereka satu persatu. Pada setiap orang dikatakan kalau
kelebihan kesaktian kesaktian yang didapat lebih tinggi dan lebih hebat daripada
yang lain. Begitu ketiganya sudah kenyang dicekoki, tentu saja mereka akan
merasa paling hebat. Maka perselisihan yang berekor pada permusuhan pun tak dapat
dicegah lagi. Sampai suatu hari, tanpa sengaja mereka menemukan batu berbentuk
tengkorak. Di sanalah mereka membuat kesepakatan untuk membuat batas wilayah
kekuasaan masing-masing. Setelah bermusuhan selama lebih kurang empat puluh
tahun, mereka rupanya mulai bosan dan letih-
Agar tidak melakukan sepak terjang di luar balas, tanpa diketahui mereka
sendiri, sang guru telah menjalankan hidup sebagai pertapa yang selalu
menghalang-halangi niat buruk ketiganya.
Maka tak heran bila tiap murid dari masing-masing tokoh sesat yang berjuluk
Tiga Datuk Sesat Penguasa Alam itu kemudian juga saling mengagungkan
kepandaian masing-masing. Bahkan begitu mendengar kalau dalam dunia persilatan
ada tokoh yang berjuluk Pertapa Rakit dengan kepandaian yang amat tinggi, salah
satu murid dan salah salah satu datuk sesat itu, Dewa Halilintar, berani
menantang Pertapa Rakit. Dan Dewa Halilintar memang tidak tahu kalau Pertapa Rakit
sebenarnya adalah Eyang Gurunya.
Di samping seluruh cerita tadi, Andika pun mendapat tambahan cerita rahasia.
Bahwa.... *** Angin puting beliung mengamuk sejadi-jadinya siang itu. Tak peduli pada apa
atau siapa, semuanya diterjang, diseruduk, atau dilempar tinggi-tinggi ke udara.
Sebagian malah digulung-gulung di angkasa!
Orang-orang lari lintang-pukang. Rumah-rumah remuk redam. Binatang ternak
terhempas, seperti lembaran-lembaran kapas. Pepohonan tercabut, disedot masuk
ke dalam pusaran puting beliung, lalu diputar-putar. Semuanya porak poranda.
Tapi, sang raja angin belum juga puas.
Tepat di puncak angin puting beliung, setiap mata pasti akan terbeliak. Bahkan
setiap hati tak urung menjadi ciut melihat seorang lelaki berwajah beruk
berpakaian hitam pekat berdiri tangguh bagai si penunggang puting beliung! Dialah Dewa
Topan. "Hiaaa... ha ha ha! Kalian semua harus tahu! Kami, Tiga Dewa akan segera
menjadi penguasa dunia persilatan. Perkataan kami adalah titah! Kaki kami
menjadi tempat untuk disembah! Hiaaa ha ha ha!" seru Dewa Topan selantang salakan petir
seangkuh guruh.
Di lain tempat pada waktu yang sama, kebakaran besar melahap sebuah
perguruan silat yang dapat disejajarkan sebagai perguruan paling disegani. Di
antara gejolak jilatan lidah api raksasa, seorang manusia api berdiri sombong di
atap sebuah bangunan utama. Dewa Api telah pula unjuk gigi!
Dalam seharian, dia tak hanya membumihanguskan tempat itu. Tapi, juga
membantai para sesepuh perguruan tersebut yang ilmu kedigdayaannya cukup
disegani di kalangan persilatan.
Puas membakar kering para sesepuhnya, Dewa Api pun berubah menjadi
manusia api mengerikan. Dengan kobaran api dari tubuhnya, diciptakannya
sebentuk tangan raksasa berbentuk kobaran api pula. Tangan raksasa itu bagai
percikan neraka yang tercampak ke bumi, menelan seluruh bangunan yang luasnya
dua kali alun-alun!
"Perkenalkan.... Kami Tiga Dewa, akan segera menjadi Tuan kalian semuaaa...!"
Berkawal api raksasa. Dewa Api meneriakkan seruan merobek langit.
Sementara itu, pada tempat berbeda namun dalam waktuu yang sama pula,
Dewa Halilintar memuntahkan segenap kekuatan halilintarnya di puncak Gunung
Bromo di Jawadwipa. Tanpa menduga sama sekali, orang akan menjadi terpana-
pana. Mereka pikir, apa kiamat akan segera datang"
Keliru! Mereka keliru besar! Karena yang terjadi sesungguhnya adalah,
sebentuk pamer kesaktian dari seorang anak muda mandraguna berhati iblis!
Puncak Bromo saat itu seperti ujung mercon raksasa yang membersitkan
sambaran-sambaran api raksasa, merangas liar ke mana-mana Gelegar ber-
kepanjangan mendepak kelengangan alam sekitarnya. Sementara, kabut Bromo
menjadi pantulan ker-japan-kerjapan dahsyat dari setiap muntahan halilintar
senjata Dewa Halilintar.
Segenap mata warga persilatan yang kebetulan berada cukup dekat untuk
menyaksikan puncak Bromo menjadi tak berkedip. Mereka tiba-tiba seperti dicekam
oleh suatu ancaman yang belum lagi terpahami.
"Tiga Dewa! Tiga Dewaaa, Tiga Dewaaa...!" teriak Dewa Halilintar, bagai sedang
menzikirkan keunggulan mereka bertiga.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Rupanya, mereka yang menyebutkan diri sebagai Tiga Dewa telah tahu siapa
diri masing-masing!
*** "Kini, telah jelas kalau kita ternyata bersaudara kembar, bukan?" Dewa Topan
membuka percakapan pada Dewa Api dan Dewa Halilintar di tempat terakhir mereka
bertemu sebelum seluruh kejadian itu. "Guru kita masing-masing telah jelas-jelas
mengatakan begitu!"
"Sekarang, apa mau kita sebenarnya"!" tukas Dewa Halilintar menyela.
"Itu pertanyaannya. Mau apa kita sekarang?" ulang Dewa Topan. "Bukankah
terakhir kali kita membicarakan, siapa yang pantas menjadi pemimpin.
Dewa Api mengangguk. Begitu juga Dewa Halilintar. Keduanya selalu tampak
menekuk wajah. Bertolak belakang sekali dengan Dewa Topan yang lalu tampak
senang. Satu sifat yang sama buat ketiganya adalah, nafsu membunuh dan nafsu
berkuasa yang begitu meraksasa!
"Kalau begitu, mari kita adakan permainan!" ajak Dewa Topan meledak-ledak.
Tangannya terangkat tinggi. Wajahnya dilumat luapan nafsu.


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu"!" sentak Dewa Api. "Apa kau hendak membuat malu kami"!"
"Kau jangan bodoh! Permainan ini akan menentukan, siapa di antara kita yang
memiliki kehebatan tertinggi. Caranya dengan berlomba mencari nama di dunia
persilatan. Siapa saja yang menjadi tersohor dan paling menggegerkan, maka akan
pantas menjadi pemimpin!" kata Dewa Topan dengan wajah berbinary-binar.
Pada saatnya, ketiganya benar-benar mewujudkan rencana sinting itu! Maka
ketiganya memulai sepak terjangnya bagai tiga makhluk terkutuk yang datang dari
dasar neraka untuk memporak-porandakan dunia persilatan. Membasuhnya dengan
tumpahan warna merah berbau anyir, serta melantakkannya dengan segenap
lengkingan kematian! Lalu, inilah mereka!
Dewa Topan telah mendapat seseorang yang bisa dijadikan sasaran dalam
menguji kesaktian serta dalam menumpahkan segenap keinginan gilanya. Seseorang
itu berdiri tak bergeming menyaksikan sepak terjang Dewa Topan. Sepertinya dia
tak merasa gentar sedetik pun pada angin raksasa berpusing yang dekat dan semakin
dekat menuju dirinya.
Dia adalah seorang lelaki berusia lebih tua sekitar dua puluh tahunan dari
Dewa Topan. Tengkuknya berpunuk seperti unta gurun. Wajahnya kurus
memanjang, dengan hidung seperti paruh gagak. Matanya bulat dan besar, seperti
sedang mendelik Dewa Topan di pucuk angin puting beliungnya. Bibirnya berkerut
merut seakan bergelombang.
Begitu angin puting beliung Dewa Topan kian dekat, pakaian lelaki yang berupa
jubah kulit banteng langsung saja bergeletar hebat Tapi siapa nyana kalau
keampuhan angin berpusing yang sanggup membuat terbang pepohonan berakar
tangguh itu. ternyata tak sedikit pun bisa memaksa si lelaki berpunuk untuk
terhempas. Seperti tidak peduli pada usikan anak rambutnya yang tebal panjang berwarna
kemerahan yang tersibak angin ke mana-mana; lelaki berpunuk tadi terus saja
menatap Dewa Topan dengan kilatan mata menantang. Sebentar-sebentar, kelopak
matanya menyipit, lalu mulai mendelik kembali.
Tak perlu heran jika lelaki berpunuk itu berani bertindak nekat, sementara
orang lain sudah menyingkir jauh-jauh dari amukan angin puting beliung. Dia
memang bukan sejenis manusia yang sudi menyatu dengan gerombolan pecundang.
Baginya lebih baik mati ketimbang hidup dengan wajah tercoreng.
Hati lelaki ini keras membatu. Seperti membaurnya rasa kemanusiaan dalam
dirinya. Hingga yang menguasai benaknya hanya kekejaman dan kekejian. Di Rimba
persilatan, orang itu ditakuti sebagai si Hati batu. Seorang tokoh kawakan sesat
yang terlalu banyak membunuh.
"Siapa kau'"!" hardik Dewa Topan di atas angin yang ditungganginya.
Di kejauhan sana, Dewa Api terlihat begitu kecil. Namun tetap jelas terlihat
sedang bertolak pinggang tinggi-tinggi.
Si liati Batu mendongak. Tubuhnya tetap tak terusik meski libasan berpusing
angin puting beliung sudah tinggal sekitar delapan tombak lagi darinya!
"Kau bocah bau kencur rupanya"!" ejek si Hati Batu. "Apa kau belum pernah
dengar julukan yang bisa membuatmu terkencing-kencing" Akulah si Hati Batu!"
"Hiaaa ha ha ha! Terkencing-kencing"! Hia ha ha! Tak akan ada lagi orang yang
akan kau buat terkencing-kencing unta sembrono! Karena tak lama lagi, nyawamu
akan segera kucampakkan ke dasar neraka!" sahut Dewa Topan, pongah.
Si Hati Batu membuang ludah penuh kemuakan.
"Chuih! Belum lagi kau tahu siapa aku, bisa-bisanya kau berkata seyakin itu!"
"Kenapa aku tidak yakin" Bisa kau saksikan sendiri bukan, kalau aku mampu
menunggangi angin raksasa ini" Kau tahu" Dari tempatku ini, kau seperti seorang
liliput yang siap kuinjak mampus!"
Kembali ludah si Hati Batu terhempas ke bumi. Hatinya semakin muak dengan
pemuda yang seenaknya sesumbar di depan hidungnya. Meskipun dalam hati
kecilnya, dia cukup kagum terhadap kehebatan ilmu meringankan tubuh yang amat
sempurna milik sang calon lawan.
"Kau tampaknya begitu benci denganku. Atau, kau hanya iri karena kau tak
bisa melakukan keluar biasaan seperti yang sedang kulakukan sekarang?" leceh
Dewa Topan, makin menjerumuskan si Hati Batu dalam kawah kemurkaannya
sendiri "Bangsat! Kau akan mampus di tanganku!" maki si Hati Batu, kehilangan
seluruh kata-kata untuk menangkis cemoohan calon lawannya. Di ujung makian,
kedua tangannya meraih sudut jubah kulit bantengnya.
Prat! Seperti gerak seekor raja kelelawar buruk rupa mengepak sayap, si Hati Batu
mengibaskan sepenuh kekuatan sisi-sisi jubahnya. Siapa yang mau bermain-main
dengan lawan yang sanggup menunggangi angin puting beliung" Demikian pikirnya.
Sebab itu, si Hati Balu tak mau tanggung-tanggung, meskipun dalam gebrakan
pertama. Sungguh patut dikagumi perlawanan manusia bungkuk itu. Dari kibasan
jubahnya, tercipta serang-kum angin yang tak kalah ganas, merangsak ekor angin
puting beliung yang berada di permukaan bumi.
Wssshhh! Serbuan angin tadi demikian kuat. Mungkin lebih hebat daripada kekuatan
benteng raksasa dari beton baja. Sayang, yang diterjang justru memiliki
nkekuatan pertahanan sepuluh kali lebih kuat! Maka yang dihasilkan hanya kesia-siaan.
Terjangan angin si Hati Batu itu seperti dilahap begitu saja oleh pusingan angin
puting beliung Dewa Topan.
Si Hati Batu dipaksa terperangah dengan kenyataan itu. Tak pernah diduga
kalau pemuda lawannya memiliki benteng pertahanan angin yang sebegitu kukuh.
Wajahnya sekejap memucat, namun secepatnya menguasai diri. Dirinya sekali lagi
bersumpah, bahwa lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang harus menjadi
pecundang memalukan!
"Hiaaa ha ha ha! Tak kukira, sesumbarmu saja yang hebat! Ternyata, kau
hanya bisa melempar hembusan angin sepoi-sepoi padaku!" cemooh Dewa Topan di
puncak angin puting beliung. "Kau salah jika hendak melawanku dengan kekuatan
angin pula, Manusia Unta! Karena aku adalah rajanya angin! Dewaaa Topaaan! Hia
ha ha!" "Jangan gembira dulu!" bentak si Hati Batu. "Terimalah ini!"
Bukan alang kepalang gusarnya si Hati Batu. Ejekan itu terlalu menginjak-injak
harga dirinya yang begitu dijunjung tinggi. Untuk menguras kesaktian
pamungkasnya pun, sekarang dia tak akan ragu lagi. Maka ketika dadanya
menggelembung dan punuk besarnya ikut mekar, berubahlah tubuhnya berubah
seperti manusia katak! Wajahnya tertarik melebar ke samping. Sementara tubuhnya
seperti menyusut ke bawah sampai tangannya menempel ke bumi.
"Krooogh!"
Lantas tiba-tiba saja terlontar bunyi aneh dari pita suara di kerongkongan si
Manusia Batu. Selintas dari suara aneh tadi, tubuh si Manusia Batuyang membungkuk dalam,
mendadak lepas dari permukaan bumi. Meluncur deras dan tinggi ke angkasa,
menuju tempat Dewa Topan berdiri. Di kalangan atas dunia persilatan, ilmu itu
dikenal bernama Terjangan Raja Katak'!
Seperti terbang, si Hati Batu mendekat dalam luncuran deras. Ubun-ubun angin
puting beliung setinggi lebih dari tiga puluh tombak, jelas-jelas tak menjadi
kesulitan baginya untuk dijangkau.
Benar! Beberapa kejapan kemudian, luncuran tubuh si Hati Batu sudah bisa
menyamai ketinggian tempat Dewa Topan berdiri di atas angin.
"Chuiiih!"
Srrr! Tepat pada saat tubuh mereka sejajar di udara, mulut si Hati Batu
menyemburkan semacam lendir amat kental berwarna kehijauan. Baunya amat
menyengat. Bahkan sampai tercium di tempat Dewa Topan.
Dewa Topan sempat terpengaruh oleh bau semburan ludah si Hati Batu. Baru
saja hidungnya mengdusi tanpa sadar, kepalanya tiba-tiba seperti dibebani beton
baja ribuan kati beratnya! Pandangannya mulai berkunang-kunang. Nyaris
keseimbangan dirinya tak bisa lagi dikuasai.
Namun ternyata, ludah si Hati Batu kembali meluncur dalam keadaan
demikian, maka mudah sekali ludah itu menyambar kerongkongan Dewa Topan.
Srat! "Eakhk!"
Lelaki muda berwajah beruk itu terpekik kecil. Kulit lehernya seperti baru saja
ditembus batangan besi panas membara. Kemudian, menyusul rasa sesak luar biasa
yang menyumbat habis aliran pernapasan di kerongkongannya.
Dewa Topan terpontang-panting di ketinggian. Tangannya mendekap leher erat-
erat, seolah hendak melepas kepalanya sendiri. Sampai akhirnya, keseimbangannya
benar-benar tak bisa dipertahan kan lagi. Tubuhnya tergelincir dari tepian ubun-
ubun angin puting beliung, lalu meluncur deras ke bumi!
Pada saat yang sama, tubuh mengkerut si Hati Batu pun sudah meluncur turun
pula. Tubuh mereka beriringan jatuh pada jarak yang tak begitu jauh. Hal itu
dimanfaatkan dengan baik oleh si Hati Batu.
"Sekarang kau baru tahu siapa aku, Monyet Sial! Chuih! Chuihl Chuih...!"
Seraya berteriak penuh kemenangan, si tua buruk rupa itu melepas serbuan
ludah beruntun ke arah Dewa Topan.
Tepat pada keadaan ujung tanduk itu, kesadaran Dewa Topan mulai pulih.
Rasa panas yang menjangkiti sekujur lehernya telah dapat dienyahkan, dengan
melepaskan hembusan angin dari pori-pori kulitnya.
Dan menyadari kalau si Hati Balu menyusul dengan serangan lebih gencar,
Dewa Topan berpura-pura tak sadarkan diri. Lalu sampai segerombolan ludah yang
beruntun itu datang dan benar-benar nyaris tiba di tubuhnya, tiba-tiba saja
pemuda sakti ini berteriak seguruh petir melantak langit! Seketika itu pula kedua
tangannya dikembangkan. Si Hati Batu terperanjat. Nalurinya mengingatkan bahaya yang siap melalapnya.
Sayang, kesalahannya sudah terlambat.
Begitu tangan Dewa Topan terkembang, angin puting beliung di sisinya terus
berpusing, bagai didorong ke arah si Hati Batu. Sekejap saja, tubuh manusia
berpunuk itu ditelan keganasan putarannya.
Di perut puting beliung itu, si Hati Batu dipermainkan bagai sebutir kerikil.
Siap diperas darahnya. Atau mungkin, siap dibumikan menjadi serpihan-serpihan!
Nyawa tokoh sesat itu berakhir....
Selelah itu, kepala angin puting beliung seperti ditarik oleh tangan Dewa Topan.
Puncak pusarannya seketika meliuk, mengejar luncuran jatuh lelaki muda berparas
kera itu. Ssshhh...! Dengan gemulai dan mulus, kaki Dewa Topan lelah berhasil menjejak kembali
ke bibir pusaran. Dia berdiri gagah, seperti semula. Tak beda seorang raja
perkasa yang baru menang perang!
*** 9 Di tiga tempat dalam waktu yang sama telah terjadi kegemparan sehebat
bencana alam dahsyat. Tiga tokoh sakti yang baru saja menjejaki dunia persilatan
telah unjuk gigi. Ketiganya seakan membuat maklumat dahsyat, untuk menantang
seluruh lapisan dunia persilatan!
Di sekitar Gunung Bromo, telah berkumpul puluhan bahkan ratusan orang
persilatan. Sebagian di antara mereka, bahkan tergolong tokoh penguasa papan
atas. Apakah itu dari dunia hitam atau dari dunia putih.
Banyak yang tak bisa memungkiri ketakjuban mereka menyaksikan ulah Dewa
Halilintar. Namun tak sedikit pula yang menjadi muak.
Sementara jumlah mereka terus bertambah, kericuhan besar di Puncak Bromo
makin menggila.
"Ada pemuda sinting berilmu tinggi yang mengamuk! Entah, pada siapa," begitu
kata setiap orang yang baru datang.
"Ah! Barangkali dia belum menetek pada ibu nya," leceh yang lain sebelum benar-
benar menyaksikan dengan mala kepala sendiri.
Setelah benar-benar menyaksikan, mereka malah tidak bisa bicara. Bungkam
seribu bahasa, seolah baru saja diserobot setan telat buang air!
Di lain tempat, makin banyak kobaran api raksasa menjilat angkasa di beberapa
tempat. Itulah ulah si Dewa Api yang telah membuat beberapa perguruan besar
menjadi memberantas habis penghuninya, seperti membantai anjing-anjing geladak
tak berarti. Setiap kali muncul untuk memberangus sebuah perguruan silat besar, lelaki
muda itu akan berdiri pongah di atas bangunan terbesar. Seluruh tubuhnya
diselubungi api. Dengan perbuatannya, dia mengumumkan bahwa seorang tokoh
sakti dari Tiga Dewa telah datang bertandang dan siap mengirim siapa saja ke
dasar kerak neraka! Tuntas membereskan satu perguruan besar yang sesungguhnya sudah berjaya
dalam persaingan antar perguruan yang keras, Dewa Api memburu perrguruan-
perguruan besar di tempat lain. Begitu seterusnya sampai seluruh dunia
persilatan tahu kalau Dewa Api telah datang untuk menjadi momok!
Satu lagi kehebohan yang tak mungkin diacuhkan adalah sepak terjang Dewa
Topan yang terus saja mengumbar kekuatan angin raksasanya untuk mengelilingi
buana dengan menunggang puting beliung!
Semua itu amat membuat seorang pendekar menjadi murka besar. Setelah
mendengar dari beberapa sumber tentang sepak terjang mereka bertiga, telinganya
kontan menjadi panas memerah. Siapa dia" Dia adalah sang pembela kebenaran
dan keadilan. Tokoh muda yang saat ini paling menjadi perhitungan siapa pun
tokoh sesat.... Pendekar Slebor!
Kini, pemuda sakti itu sedang mengejar waktu menuju tempat Dewa Topan
mengamuk. Keputusan pertama itu dibuatnya mengingat sepak-terjang Dewa Topan
paling banyak memakan korban yang tak berdosa di kalangan rakyat jelata
Apa yang hendak diperbuatnya pada Dewa Topan"
*** "Anak muda sembrono! Hentikan tindakan tololmu seperti itu! Apa kau pikir
dunia ini milikmu!" hardik seseorang, amat sarat kegusaran di antara suara riuh-
rendah angin puting beliung tunggangan Dewa Topan.
Dewa Topan cukup terkesiap mendengar hardikan itu. Dari pucuk angin yang
demikian tinggi saja, telinganya sudah begitu pekak mendengar hardikan tadi.
Apalagi, jika berada di bawah sana. Belum lagi, kekuatan hardikan yang sanggup
menembus suara keras angin puting beliungnya
Sementara melayang jauh di ketinggian, mata Dewa Topan mencari-cari asal
suara. Dan dia menemukan seseorang yang membuat bulu halus di sekujur
tubuhnya bergetar. Orang itu sedang berdiri bertolak pinggang di lapangan
kering. Wajahnya mendongak, melempar kesan kemurkaan pada Dewa Topan.
Sosok yang dilihat Dewa Topan itu hanya seorang pemuda berambut panjang
lurus dengan ikat kepala warna merah. Wajahnya tampan sekaligus angker.
Matanya setajam sisi sembilu. Sinar matahari terpantul ramai dari pakaian kulit
ular keperakan yang dikenakan.
Yang jelas bukan hanya karena itu hati Dewa Topan menjadi mengempas. Di
mata kalung pemberian gurunya, Datuk Sesat Penguasa Topan, terdapat lukisan
pemuda yang amat mirip dengan orang yang disaksikannya sendiri saat ini.
Kalaupun hatinya jadi demikian terperangah, karena menurut Datuk Sesal
Penguasa Topan, anak muda yang ada dalam lukisan mata kalung itu adalah guru
besarnya yang sudah dianggap seperti dewa!
"Kenapa kau jadi melompong seperti itu! Cepat turun dari mainanmu itu! Apa
kau tak bisa sopan sedikit pada eyang gurumu!" bentak pemuda di bawah.
Dewa Topan digasak kebimbangan. Apa benar orang itu adalah eyang gurunya
yang hidup berpuluh-puluh tahun silam" Mengapa dia masih semuda itu" Ataukah
memang sehebat dewa seperti perkataan gurunya hingga sanggup pula membuat
dirinya awet muda"
Merasa kurang yakin dengan pandangannya serta teriakan orang di bawah tadi,
Dewa Topan segera saja mengeluarkan mata kalung dari balik bajunya. Sekali lagi
dilihatnya lukisan yang agak kusam pada kulit kerang laut itu. Kemudian,
dibandingkannya dengan orang di bawah. Dua kali... tiga kali.... Sampai dia
sendiri sulit membedakannya dengan seorang yang dilihatnya. Benar-benar mirip dengan
lukisan yang terdapat di kalung. Jadi"
"Hoooiii! Apa kau tuli"! Atau Sancini tak pernah memberitahu siapa aku"!"
Sekali lagi tersumbar teriakan memekakkan yang lebih guruh daripada suara
angin raksasa Dewa Topan.
"Dia tahu pula nama guruku?" kata Dewa Topan, membatin lagi.
"Turun kataku! Atau aku harus melibas angin ini dulu agar kau terjatuh"!"
Mata Dewa Topan membesar, bingung berbaur gusar. Masih saja hatinya tak


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin kalau orang yang dihadapinya kini adalah eyang gurunya. Seorang tokoh
angkatan tua yang kesaktiannya selalu digembar-gemborkan gurunya, sebagai dewa
berwujud manusia... si Pengumpul Ilmu!
"Siapa kau sebenarnya"!" teriak Dewa Topan, menanggapi teriakan-teriakan liar
orang di bawahnya.
"Dasar otak tumpul! Bukankah sudah kukatakan tadi, kalau aku adalah eyang
gurumu!" Dewa Topan menyeringai.
"Hia he he.... Jangan anggap aku bisa begitu saja percaya," cemooh Dewa
Topan. Tangan orang di bawah Dewa Topan makin tinggi bertolak pinggang. Wajahnya
makin tersapu warna merah. Sedang matanya makin mendelik-delik panas.
"Kalau begitu, sama saja kau minta digebuk tangan eyang gurumu sendiri!"
"Eyang Guru.... Hia he he," celoteh Dewa Topan melecehkan kembali.
"Kurang asin, kau ya! Nih, biar tahu rasa!" seru pemuda berpakaian kulit ular
yang begitu serupa dengan si Pengumpul Ilmu pada masa jayanya beberapa puluh
tahun lalu. Seraya berseru, tangan pemuda itu mengibas enteng ke pusat angin puting
beliung yang berpusing, seakan hendak melubangi bumi sekitar dua puluh tombak
dari tempatnya. Beriring gerak kibasan enteng tangannya, berhembus angin lembut
sepoi-sepoi. Jangan lagi untuk memporak-porandakan angin ribut, untuk
mengayunkan daun kering di udara saja tampaknya sudah tak sanggup.
Lambat tapi pasti, angin semilir itu seperti merambat menuju sasaran. Begitu
tiba di kaki angin puting beliung, dalam sekerdipan mata saja angin semilir itu
berubah menjadi sebentuk sapuan amat dahsyat, yang sanggup memenggal seketika
arus putaran angin raksasa itu!
Maka terbuktilah ancaman pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu.
Dia benar-benar telah berhasil melibas angin puting beliung raksasa langsung
dari pusatnya. Tak ayal lagi, arah putarannya pun menjadi tak beraturan. Akibatnya,
kekuatan angin menjadi terpecah hingga pusaran raksasa tak dapat terbentuk lagi.
Kecuali, tiupan ngawur yang berhembus kencang ke segenap penjuru!
"Yah.... Tamatlah riwayat angin puting beliung...," tukas pemuda berpakaian
ular itu. Kepalanya menggeleng-geleng lamban, seperti menyesali perbuatannya
sendiri. Di lain sisi, Dewa Topan kini melayang deras menuju wajah bumi. Lapangan
kering kerontang yang tanahnya sudah terbelah-belah siap menadahi tubuhnya.
Dari ketinggian yang begitu luar biasa, ternyata Dewa Topan masih sanggup
mengusahakan agar tubuhnya tak salah mendarat. Begitu indah dan menga-
gumkan, ketika tubuhnya berputar beberapa kali dalam beberapa bentuk gerak.
Sampai akhirnya, kakinya mendarat lebih dahulu.
Jleg! Hanya tercipta detak ringan manakala kaki Dewa Topan menghujam tanah
kering, tepat sembilan depa dari pemuda berpakaian kulit ular.
"Sekarang, coba katakan kalau kau masih belum percaya padaku!" ancam
pemuda berpakaian kulit ular itu.
Dewa Topan menantang tatapan lelaki muda yang mengaku sebagai eyang
gurunya dengan mata mencorong tak kalah mengancam.
"Aku memang masih tetap tak percaya!" tandas Dewa Topan sepenuhnya
menantang. Mata pemuda berpakaian kulit ular itu melotot sejadi-jadinya. Dongkol sekali
hatinya menghadapi silat keras kepala Dewa Topan.
"Apa lagi yang kau minta agar aku bisa membuatmu mengakui aku sebagai
eyang gurumu, Pemuda Kualat!" hardik si Pengumpul Ilmu terseret dan garang.
"Bertarung! Hanya dengan pertarungan, aku bisa tahu apakah kau benar-benar
eyang guruku atau bukan...," tegas Dewa Topan mantap.
Bibir pemuda berpakaian kulit ular terungkit. Sulit menentukan apakah sedang
menyeringai, atau sedang tersenyum.
"Kau akan menyesal nanti..," desis si Pengumpul Ilmu tajam.
Dewa Topan tak ingin berlama-lama. Segera saja telapak tangannya digenjot ke
depan. Seluruh otot-ototnya meregang, bagai jalinan kawat baja. Begitu juga
kesepuluh jari-jemarinya. Saat itu pula dari telapak tangannya berhembus amat
kencang pukulan 'Angin Menggila' tingkat ketiga puluh tiga. Digempurnya pemuda
berpakaian kulit ular dengan pukulan yang menghasilkan hembusan angin
berkekuatan topan.
Bagai gelombang yang membuncah dari dasar laut, angin pukulan Dewa Topan
menyerbu ganas ke arah pemuda berpakaian kulit ular perak. Debu, rerumputan,
kerikil, bahkan batu-batu sebesar kepala kerbau ikut terbawa.
Wushhh! Terjangan angin berkekuatan amukan topan, melahirkan deru yang bisa
membuat pecah gendang telinga seorang berkepandaian cetek. Tanah kering di kaki
mereka saja dapat terbelah terkena getarannya.
Memang sehimpun batu sebesar kepala kerbau ikut tersapu. Demikian pula
tanah kering yang menjadi terbelah. Namun pemuda yang menjadi sasaran serangan
tetap dingin. Wajahnya setenang permukaan telaga dengan mata terpejam. Bahkan
tak tampak sesak manakala menarik napas. Padahal, kekuatan angin Dewa Topan
sanggup menahan jalan napas seekor gajah jantan!
Rambut pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu itu menjadi awut-
awutan tak karuan. Kalau ada yang paling parah menjadi korban serangan, hanya
baju kulit ular peraknya. Di beberapa bagian menjadi koyak dibetot angin.
Semakin angin menerjang, semakin ramai koyakannya.
Gilanya, si pemilik pakaian ular itu justru malah terlihat semakin menikmati!
Bibirnya mengumbar senyum. Sesekali matanya membuka, lalu terkatup-katup
layaknya seorang kakek menikmati angin sepoi-sepoi di senja hari.
Dewa Topan jadi jengkel bukan main. Baru kali ini ada orang yang bisa
menganggap pukulan 'Angin Menggila'nya hanya sebagai hembusan pengundang
kantuk! "Heaaa...!"
Dengan sebongkah kegusaran melonjak ke tenggorokan, Dewa Topan berteriak
lantang-lantang. Digenjotnya lagi tenaga 'Angin Menggila'nya hingga hampir
mencapai tingkat empat puluhdua, satu tingkat menjelang puncak.
"Huaaahhh...!"
Si Pengumpul Ilmu memang sedikit sinting. Menerima peningkatan gempuran
yang jauh lebih dahsyat, justru mulutnya malah menguap lebar-lebar. Kalau saja
ada seekor tikus ikut terbawa angin, sudah pasti akan tertelan.
Tapi jangan dianggap kalau itu kuapan biasa. Justru sambil menguap, dia mulai
melakukan serangan balasan.
Nguuung! Suara bergaung akibat terpaan angin pada mulutnya mulai terdengar. Semula
pelan saja. Namun sekejap kemudian mulai meninggi, meninggi dan kian meninggi.
Sampai yang terdengar hanya gaung yang menelan deru angin ribut dari tangan
Dewa Topan. Bahkan kini telinga Dewa Topan digasaknya. Sebentar saja, pemuda berwajah
beruk itu mulai mengungkit-ungkit bahu, tak tahan mendengar bunyi ganjil itu.
Matanya pun terkatup, hingga sudut-sudutnya mengerut.
Biar begitu, Dewa Topan tak menyerah. Angin pukulannya segera ditingkatkan
ke arah pemuda berpakaian ular itu. Namun, apa yang terjadi" Semakin hembusan
anginnya ditingkatkan, semakin gila saja gendang telinganya digasak dengung dari
mulut lawan! Serangan balasan yang menggelikan sekaligus mempesona! Menggelikan, karena
suara itu dihasilkan bentuk kuapan mulut si Pengumpul Ilmu. Mempesona, karena
hanya dengan memanfaatkan tenaga lawan yang diarahkan dengan sempurna,
pemuda berpakaian ular itu bisa melancarkan serangan balasan yang merepotkan....
Sampai akhirnya, Dewa Topan tiba di ambang batas pertahanannya. Dijegalnya
pukulan 'Angin Menggila'nya secara tiba-tiba, begitu telinganya bagai hendak
disodok tombak bermata baja. Saat itu, cairan berwarna merah sudah pula
menggenangi sepasang telinganya. Puncaknya terjadi, ketika dengung itu seperti
merasuki seluruh jaringan saraf di otaknya.... Kepalanya mendadak seperti
ditimpa gunung. Itulah yang membuat serangannya berhenti tiba-tiba.
"He he he! Bagaimana, Anak Muda" Apa kau masih belum percaya?" leceh
pemuda berpakaian kulit ular perak. Matanya santai mengawasi Dewa Topan yang
nyaris bersimpuh. Disebutnya Dewa Topan dengan sebutan 'anak muda', seolah
usianya bertaut demikian jauh.
Masih dengan mendekap telinganya erat-erat didera rasa sakit. Dewa Topan
mulai bisa menguasai kesadarannya kembali.
"Kalau kau benar-benar eyang guruku, apa maumu sebenarnya...?" tanya Dewa
Topan terseret. Kekukuhan pendirian dan keangkuhannya telah lumer.
"Dasar anak bodoh!" umpat pemuda berpakaian kulii ular setengah menggerutu.
"Kalau eyang gurumu datang, tentu saja ada maunya. Aku ingin memberitahu
padamu, bagaimana caranya agar benar-benar dapat menguasai dunia persilatan!
Kau mau apa tidak"! Kalau tidak, aku akan segera pergi. Dan aku tak perlu pada
anak muda yang tak mau diberi petunjuk oleh eyang gurunya sendiri!"
Pemuda berpakaian kulit ular itu pun mulai melangkah, hendak pergi.
"Eyang tahan!" cegah Dewa Topan.
Pikir punya pikir. Bahkan setelah dipikir bolak-balik, Dewa Topan akhirnya mau
juga mengakui lelaki yang tak lebih tua darinya sebagai eyang gurunya. Kalau
wajah dan penampilannya sudah sama dengan lukisan di mata kalung, dan kalau
kesaktiannya pun sudah tidak diragukan, mau apa lagi"
"Ampuni aku Eyang. Aku tadi hanya....
"Hanya tak percaya!" sergah si Eyang. Matanya mendelik sebesar jengkol.
Wajahnya yang tampan jadi terlihat tolol.
"Sekarang aku siap menerima nasihat Eyang," ucap Dewa Topan luluh
bersimpuh di depan kaki. si Eyang Muda. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Tanpa sepengetahuan Dewa Topan, si Eyang tersenyum tipis penuh arti.
Senyum yang hanya dimengerti olehnya sendiri...
*** Puncak Gunung Bromo saat ini belum tuntas digebah rentetan lidah halilintar
sambung-menyambung. Bagi Dewa Halilintar, selama belum cukup warga persilatan
menyaksikan kedigdayaan nya, hatinya belum cukup puas. Sampai saat itu, belum
ada yang secara langsung hendak menantangnya mengadu kesaktian.
Sampai akhirnya, seorang anak muda yang umurnya tak jauh berbeda dengan
Dewa Halilintar, tiba-tiba muncul di dekatnya seperti menggunakan kecepatan
dedemit yang sulit ditangkap mata.
Orang itu ternyata sama persis dengan pemuda yang mengaku sebagai si
Pengumpul Ilmu pada Dewa Topan. Baik rambutnya, parasnya ataupun
penampilannya. Meski cukup kaget, Dewa Halilintar tak cukup jujur untuk mengakuinya. Malah
dengan sinar kepongahan di wajahnya, ditatapnya tajam-tajam pemuda berpakaian
kulit ular itu tanpa kesopanan.
"Siapa kau"! Berani benar mencari mati dengan mendatangiku"!"
Pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum samar.
Tangannya bersidekap memperlihatkan kewibawaan. Lalu tiba-tiba pula dia
menghilang kembali dari tempatnya berdiri.
Mata Dewa Halilintar tak bisa mengikuti ke mana tamunya pergi. Gerak pemuda
itu terlalu cepat untuk diikuti matanya, biarpun kelopak matanya dipaksa untuk
terbelalak sekali pun.
Belum lagi sempat Dewa Halilintar menduga kemana tamunya pergi, dari
belakangnya tahu-tahu terdengar suara.
"Aku eyang gurumu.... Apa kau tak melihat lukisanku di mata kalung
pemberian gurumu?"
Bukan main terkesiapnya Dewa Halilintar. Bukan hanya suaranya yang
menyembul tiba-tiba di belakangnya, tapi juga karena suara itu mengaku sebagai
eyang gurunya. Bergegas Dewa Halilintar menoleh secepat kilat.
Begitu menghadap ke belakang, orang tadi sudah tidak ada lagi. Semua itu,
perlahan membangkitkan ketegangan dalam diri pemuda berwajah beruk ini.
Matanya seperti tak berani berkedip, takut-takut orang tadi muncul kembali di
tempat lain. Benar saja! Seperti kemunculan pertama, kemunculan orang itu kali ini pun
begitu mendadak. Dewa Halilintar tak tahu, bagaimana caranya orang itu sudah
berada empat tombak di sampingnya.
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya"!" hardik Dewa Halilintar. Tentu saja
hatinya mengkelap setelah merasa dipermainkan mentah mentah.
Lagi-lagi si tamu tersenyum samar.
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku adalah eyang gurumu...," jawab orang
itu dular. "Bajingan busuk! Mana sudi aku percaya begitu saja! Guruku saja sudah begitu
tua. Dan kau malah mengaku-aku sebagai eyang guruku!" bentak Dewa Halilintar.
"Apa salahnya bila seorang awet muda"!"
"Tentu saja salah, selama dia mengaku sebagai guru besar dari si Dewa
Halilintar!"
"He he he. Anak muda yang bodoh... Sudah bodoh, tinggi hati pula," ledek
pemuda berpakaian ular itu.
Mata Dewa Halilintar dipaksa mendelik dengan perkataan pemuda berpakaian
kulit ular perak di depannya. Rahangnya mengeras, melahirkan bunyi bergemcluluk
geram. "berani-beraninya kau menghina calon penguasa dunia persilatan! Akan
kubakar mulutmu dengan halilintarkul" sentak Dewa Halilintar meledak-ledak
penuh ancaman. Pemuda yang mengaku sebagai eyang guru ini menggeleng-gelengkan kepala
mantap. "Kau tak akan bisa menjadi penguasa dunia persilatan. Otakmu terlalu tumpul!
Kalau kau ingin berhasil, dengarkan nasihatku! Eyang gurumu...."
"Peduli setan dengan semua bualanmu!" dengus DEwa Halilintar menerabas
habis. Secepatnya diputar kembali senjata aneh berbentuk gada pendek berantai
miliknya Wuk! Wuk! Wuk! "Sebentar lagi kau akan menyesal di neraka, karena telah berani mengaku-aku
sebagai eyang guruku!"
Lalu.... Jlegar, jlegar!
Lidah halilintar mulai menjilat-jilat dari bandul senjatanya. Bagai ratusan
tangan gurita laut berpendar menyilaukan mata!
Salah satu lidah halilintar menerjang pemuda berpakaian kulit ular itu.
Sinarnya membersit, seakan siap membelah bumi sekali pun. Namun orang yang
menjadi sasarannya tak tampak hendak menghindar. Padahal kalau mau, tentu
seluruh kemampuan kecepatannya yang sempat memperdaya Dewa Halilintar sudah
dikerahkan. Slash! Telak! Cahaya berkekuatan petir raksasa itu menyergap tubuh korbannya.
Tubuh orang itu sekejap berpijar seperti dikepung kekuatan halilintar ciptaan
Dewa Halilintar. Tubuhnya tampak terdiam kaku, namun masih juga memperlihatkan
ketenangan. Perlahan-lahan, sinar yang menyelubungi dirinya memupus, kemudian
menghilang sama sekali.
"Percuma kau mempergunakan kesaktian halilintarmu untuk menyerangku.
Bukankah sudah kukatakan, aku eyang gurumu. Ilmu yang didapat gurumu berasal
dariku. Kalau kau mempergunakannya untuk menyerangku, sama saja memberikan
mainan...," papar pemuda berpakaian kulit ular.
"Aku tak percaya denganmu!" sentak Dewa Halilintar seolah hendak
meyakinkan diri sendiri. Bagaimana mungkin seorang manusia tinggi hati seperti
dia bisa dengan mudah percaya"
"Hiaaah, mampuslah kau!"
Berawal teriakan yang menyamai kesangaran salakan halilintarnya. Dewa
Halilintar memutar kembali senjata andalannya. Sekali ini, dengan segenap
pengerahan kemampuan yang dimiliki.
Jleguar. jleguarrr!
Sehimpun lidah halilintar menjilat, mengoyak langit. Menyusul satu bersitan
cahaya menusuk mata menerjam pemuda berpakaian kulit ular. Lebih dahsyat
daripada sebelumnya. Karena mungkin sambaran cahaya kali ini berkekuatan tiga
puluh kali lebih dahsyat.
Slashhh! Hanya desis panjang yang tercipta manakala kelebatan cahaya itu merangsak
tubuh sasaran. Seperti pertama, lidah halilintar tersebut hanya seperti api yang
diredam ke dalam kubangan air. Tubuh korbannya seperti menyerap sekaligus
meredam begitu saja terjangan yang mampu mematangkan tiga ekor banteng lebih!
Sampai di situ, barulah mata Dewa Halilintar terbuka. Kalau kesaktian


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

andalannya saja bisa diredam begitu mudah, dengan apa lagi bisa menghadapi
kesaktian orang ini" Hatinya jadi kecut. Mungkin memang benar kata-kata pemuda
berpakaian kulit ular itu.
Agak ragu, tangan Dewa Halilintar menjemput kalung pemberian gurunya yang
selama ini tergantung di lehernya. Ketika membandingkan lukisan di sana dengan
orang di depannya, barulah mulut jelek lelaki itu terbuka Semuanya begitu jelas
dan persis. Lalu....
"Eyang.... Ampuni aku. Eyang Guru!" ujar Dewa Halilintar bergegas. Bergegas
pula lelaki muda berwajah beruk itu bersimpuh dengan kepala menunduk.
Sementara Dewa Halilintar tidak memperhatikan apa-apa, pemuda yang
mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum puas. Tapi tak cukup sampai di
situ. Dari sinar matanya, terbetik suatu niat untuk menuntaskan kerjanya!
"Jadi sekarang, kau mau dengar kata-kataku" Kau ingin tahu. bagaimana agar
benar-benar bisa menguasai dunia persilatan ini di bawah ketiakmu?" lanjut si
Eyang berwajah muda.
Dewa Halilintar mengangguk.
"Bagus!"
"Apa yang mesti kulakukan Eyang Guru?" tanya Dewa Halilintar.'
"Tak banyak..."
Si Eyang berhenti sejenak. Dielus-elusnya dagu khusuk sekali.
"Kau tentu telah tahu kalau kau memiliki dua saudara kembar, bukan" Tak
usah dijawab! Dua saudara kembarmu itu pun mewarisi dua kesaktian dariku. Kau
menguasai aji 'Halilintar', sedang yang lain menguasai aji 'Topan', dan
'Api...." Kembali si Eyang terdiam. Sementara Dewa Halilintar tak berani menyela. Dia
tetap tertunduk tepekur, seperti seekor ayam jantan pesakitan.
"Temuilah dua saudaramu segera. Permainan harus dihentikan! Segera! Kau
dengar aku"! Segera...!" tandas si Eyang muda yang sebenarnya sama sekali tidak
ada kepantasan untuk menerima sebutan itu. Karena memang wajahnya masih
terlihat begitu muda.
"Setelah itu, Eyang?"
"Setelah itu.... Hm-hm-hm. Kau dan mereka harus berbagi kesaktian...."
Dewa Halilintar melengak. Kepalanya terangkat takut-takut.
"Maksud Eyang?" tanya lelaki berwajah bersih.
"Aku tak mau kalian meributkan, siapa di antara kalian yang pantas menjadi
pemimpin! Kalian harus mempelajari ilmu masing-masing, agar semuanya memiliki
kesaktian sama. Dengan begitu, tak perlu ada lagi yang meributkan, siapa yang
paling sakti. Mengerti" Lagi pula, dengan begitu kalian akan menjadi tiga tokoh
sakti yang tak terkalahkan. Apa kau tak tahu, bila ketiga kesaktian itu digabungkan
menjadi satu, maka tak ada seorang tokoh pun bisa menandingimu
" "Jadi maksud Eyang..."
"Guoblok! Sudah kubilang tadi, kalian harus berbagi kesaktian! Masing-masing
pihak harus mengajarkan ajian yang dimilikinya pada yang lain!"
"Tapi, bagaimana kalau mereka tidak menyetujuinya, Eyang?" bantah Dewa
Halilintar, memberanikan diri.
"Kalau salah satu ada yang berani menolak perintahku, maka guru kalian akan
menerima hukumanku. Dan kalau guru kalian menerima hukuman dariku akibat
ulah kalian, maka cepat atau lambat kalian pun akan menerima hukuman amat
berat dari mereka.... Mengerti"! Tidak usah dijawab!"
Mata si Eyang muda mendelik-delik seperti hendak melompat keluar sewaktu
berbicara. Apalagi ketika Dewa Halilintar berani mengangkat kepala. Tampangnya
lebih menyeramkan dari topeng barong*. Itulah sebabnya Dewa Halilintar makin
ciut saja- "Lagi pula." tambah si Eyang. "Kedua saudara kembarmu itu sudah pula
kuberitahu. Mereka menyetujuinya. Entah kalau kau sendiri..."
"Tentu...! Tentu saja aku menyetujuinya, Eyang Guru!" sahut Dewa Halilintar
bergegas. Dewa Halilintar seakan begitu ngeri kalau eyang gurunya akan menelannya
hidup-hidup. Bukankah menurut gurunya sendiri, eyang gurunya sudah bagai
dewa. Setiap kali pemuda berwajah beruk ini berlatih dulu, gurunya selalu
menyanjung-nyanjung nama besar si Pengumpul Ilmu bagai tak akan bisa bernapas
kalau belum melakukannya.
"Nah, sekarang kau sudah mengerti apa belum"! Apa mesti kuulangi semua
perkataanku sampai mulutku berbusa"!" bentak si Eyang.
Gaya bicara pemuda berbaju kulit ular itu sungguh bertolak belakang dengan
penampilannya. Kalau penampilannya tampak muda, gaya bicaranya justru tampak
seperti orang tua bangkotan kehilangan cangklong.
"Mengerti.... Mengerti sekali, Eyang Guru!" sahut Dewa Halilintar cepat.
"Kalau begitu, cepat temui mereka!" ujar Eyang. Koornya lebih kencang daripada
kentut sekawanan dedemit.
Di akhir teriakannya, tubuh si Eyang muda lenyap begitu saja. Entah terbawa
angin, entah pula tertelan bumi....
*** Satu purnama terlewati tanpa banyak basa-basi. Hari memang tak berniat
uncang-uncang kaki sebentar pun. Dia terus menggiling usia manusia tanpa peduli.
Siang itu, di ujung barat kaki Gunung Bromo, berjalan tiga orang yang berwajah
serupa dengan arah berbeda. Satu ke barat, satu ke selatan, dan yang lain ke
utara. Mereka rata-rata berperawakan gagah, layaknya seorang jawara dunia
persilatan. Langkah-langkah mereka pun demikian ringan. Sayang, seribu kali sa-
yang.... Ketiganya mengidap penyakit jiwa yang berbeda.
Lelaki yang berjalan ke utara, terus saja tertawa terbahak-bahak bersambungan. Pada satu saat, tawanya meninggi hingga terpingkal-pingkal kalang-
kabut. Perutnya sendiri dipegangi seraya berguling-guling di tanah. Sepertinya
dia akan mati dalam tawanya. Sinting!
Lelaki yang menuju selatan lain lagi. Sambil berjalan membawa rantai
berbandul batu berbentuk gada pendek, dia bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Apa
pun lagu di kepalanya, disenandungkan. Tak peduli enak didengar atau tidak. Tak
peduli lagu anak-anak atau lagu orang jompo.
"Lenggang kangkung jalan menikung....
Minta uang, dikasih tepung....
Pak-tipuk-tipak-tipung:...
Kangkung-kangkung! Sayur bayem tempe bongkrek!"
Senandung itu terdengar ngalor-ngidul. Ya, lelaki berwajah beruk itu memang
sinting! Sedang seorang lagi, berjalan dengan wajah diliputi mendung. Tampak murung.
Sesekali tangannya menggosok-gosok dua batang kayu kering. Ketika gosokan itu
kian panas dan memercikkan api kecil..
"Api! Api...! Kebakaraaan...!"
Orang itu berteriak kacau balau. Ya, dia pun sinting!
Mereka semua adalah Tiga Dewa yang telah temakan jebakan pendekar berotak
encer, Pendekar Slebor. Seperti pernah diketahui pendekar muda itu, jika tiga
kesaktian 'Api', 'Halilintar', dan 'Topan' disatukan, maka pemiliknya akan
mengalami gangguan jiwa berat.
Kalau si Pengumpul Ilmu yang begitu mandraguna saja masih bisa diganyang
ilmu aneh itu, apalagi ketiga pemuda murid dari para muridnya!
Sementara itu, jauh di sebelah selatan tempat tersebut, Pendekar Slebor dan
Pertapa Rakit yang semasa mudanya dikenal sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu,
berjalan sambil sesekali tertawa-tawa renyah. Tidak, mereka tidak ikut sinting!
Mereka hanya menertawakan hidup yang demikian aneh. Terkadang,
perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan pun bisa membuat mereka
terlihat bodoh. Begitu kata Pertapa Rakit.
Bagaimana tidak bodoh kalau si tua bangkotan yang sebentar lagi masuk liang
lahat itu sudi-sudinya dipermak dengan keahlian penyamaran Andika, untuk
menjadi Pendekar Pengumpul Ilmu yang muda kembali! Ya! Orang tua itulah yang
telah menemui Dewa Topan.
Sedangkan Andika yang juga menyamar sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu,
menemui Dewa Halilintar. Bukankah mukjizat buah 'Inti Petir' dalam dirinya mampu
menyerap hujanan petir dari langit" Apalagi sekadar kekuatan halilintar ciptaan
senjata Dewa Halilintar.... Tapi. entah bila Pendekar Slebor sendiri dikeroyok
oleh Tiga Dewa dengan ilmu masing-masing. Untung saja, Andika hanya menghadapi
salah seorang yakni Dewa Halilintar. Tambahan lagi, masalah halilintar
sepertinya sudah bagian hidup Pendekar Slebor sehari-hari.
Demikian pula bagi si Pertapa Rakit. Sebagai orang yang dulu memiliki tiga
kesaktian itu sekaligus, rasanya mudah bila untuk melumpuhkan salah satu ilmu
itu. Ilmu 'Angin Menggila' milik Dewa Topan.
"Untung saja kau cepat menemui Dewa Api. Kalau tidak, tentu dia akan makin
banyak meminta korban. Dasar tukang tabun! Sembarangan saja membakar
perguruan orang!" kata Andika pada lelaki tua sahabat buyutnya.
Pertapa Rakit di sisinya menatap Andika dengan sinar mata terheran-heran
mendengar perkataan barusan.
"Lho" Bukankah justru kau yang cepat menemui Dewa Api?" orang tua itu balik
bertanya dengan alis putih samar bertaut.
Giliran Andika yang menatap Pertapa Rakit terheran - heran.
"Aku tidak," jawab Andika.
"Aku pun juga tidak," timpal Pertapa Rakit.
Mereka kini sama-sama menatap bingung. Lalu, siapa yang telah menyamar sebagai
Pendekar Pengumpul Ilmu muda yang menemui Dewa Api"
Sesaat kemudian terdengar tawa nyaring, menyentak keterpanaan mereka.
"Siapa itu, Orang Tua?" tanya Andika.
Pertapa Rakit menyembulkan senyum kecil.
"Sahabatku. Tampaknya dialah yang telah menyamar untuk menemui Dewa
Api...," jawab Pertapa Kakit. enteng berbareng tarikan napas lega.
"Maksudmu, buyutku" Pendekar Lembah Kutukan?" Andika tercengang.
Setahunya, si tua buyutnya telah mati.
"Tapi...."
"Tak perlu pakai tapi. Dia memang orang yang sulit dimengerti!" sergah Pertapa
Rakit. "Tapi...."
"Tak perlu bingung. Dia tak kalah cerdik denganmu, meski usianya sekeropos
aku!" "Tapi...," Andika kehabisan kata-kata.
SELESAI Serial Pendekar Slebor selanjutnya:
UNDANGAN RATU MESIR
Kaki Tiga Menjangan 47 Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa Naga Naga Kecil 4
^