Pencarian

Peta Rahasia Lembah Kutukan 1

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan Bagian 1


PETA RAHASIA LEMBAH KUTUKAN Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Bagian kedai di pinggiran Kota Karisidenan Kara-
wang ini kelihatan kekeringan pengunjung. Hanya ada
lima orang. Tiga di antaranya lelaki. Sisanya wanita. Mereka duduk terpisah di
meja masing-masing. Wajah ke-
limanya menampakkan keletihan. Dan rata-rata berpe-
nampilan begitu semrawut. Kemungkinan besar, mereka
adalah pendatang yang baru tiba setelah melakukan
perjalanan jauh.
Sudut meja sebelah timur ditempati seorang pe-
muda berpakaian yang benar-benar tak sedap dipan-
dang. Kata 'kumal' rasanya belum cukup untuk meng-
gambarkan penampilannya. Pada beberapa bagian baju
yang berwarna coklat muram terlihat tambalan-
tambalan. Rambutnya agak ikal, cukup panjang ber-
warna kemerahan dikepang dua. Dari seluruh tamu
yang rata-rata lusuh, dialah yang paling lusuh.
Itu penampilannya. Sebaliknya untuk wajah, pemuda
itulah yang lelaki paling rupawan. Dagunya yang ditum-buhi brewok tipis
memperlihatkan kejantanannya. Sinar matanya membersitkan ketegasan dan
ketegaran. Selain itu, cara menatapnya sangat berwibawa disamping
berkesan sedikit angkuh.
Ada yang menarik dari sikap pemuda satu ini. Bi-
ar pun wajahnya tetap dingin, namun jarinya terus saja mengetuk-ngetuk permukaan
meja secara tak teratur.
Agaknya, ada yang membuatnya begitu gelisah. Entah
apa. Sesekali pandangannya lepas ke luar kedai dengan gerak mata tajam.
Sementara dua lelaki lain duduk pada deretan
bangku dekat dinding pintu masuk. Bertolak belakang
dengan pemuda tadi, dua lelaki ini jauh dari rupawan.
Satu di antaranya bahkan berwajah cacat. Bekas saya-
tan besar tampak menyilang wajahnya. Sebagian cuping hidungnya telah terpotong
hingga menampakkan lubang
agak besar di wajah beringasnya.
Lelaki ini terus saja menenggak dan menenggak
lagi arak dari wadah bambunya. Ketika isi wadahnya
sudah terkuras, di tuangnya kembali arak dari guci. Sepertinya, dia tak peduli
apakah perutnya yang buncit nanti bakal meledak. Tepat di depan mejanya,
tergeletak sebatang toya dari bambu kuning tipis. Orang yang melihat sekilas
tentu menganggap benda itu sekadar kayu untuk memancing. Sebenarnya, justru
benda itu adalah senjata yang paling ampuh bila sudah berada di tangan lelaki
berwajah cacat ini.
Lelaki satu lagi berperawakan biasa. Jeleknya tak
kalah dengan lelaki berwajah cacat tadi. Kumisnya yang tipis panjang seperti
tikus. Dan mulutnya pun semaju moncong binatang pengerat itu. Dengan rakus, di
san-tapnya makanan yang memenuhi meja. Dari petai rebus
sampai semur jengkol ada di depannya. Sementara tan-
gannya sibuk menyuap nasi ke dalam mulut dengan su-
apan besar, tangan yang lain sibuk pula menggaruk-
garuk kepala atau menggeser-geser kain batik penutup kepala. Seisi kedai jadi
riuh oleh suara kecapan yang la-hir dari mulutnya.
Sementara itu dua wanita di dua meja lain terlihat
lebih tenang. Mereka duduk tanpa banyak tingkah. Seorang tergolong manis, jika
diamat-amati. Sedang yang lain tak cantik. Malah dari gambaran wajahnya
terbersit kesan keculasan. Biar pun pakaian mereka lusuh, tetapi bahannya bukan
barang murahan. Setidak-tidaknya,
harga pakaian itu sebanding harga dua ekor kuda jan-
tan. Perempuan berwajah cukup manis yang duduk di
meja sebelah kiri terlihat hanya mengangkat gelas air sesekali. Meneguk isinya
perlahan, lalu membuka-buka
gulungan kulit berisi peta di atas meja. Setelah lama memperhatikan, baru
araknya diteguk kembali.
Dari penampilannya, mengesankan kalau wanita
berwajah manis ini pun adalah orang persilatan, seperti empat orang di
sekitarnya. Tubuh sintalnya dibalut pakaian berwarna jingga tua. Di belakang
punggungnya, tergantung caping lebar yang beratnya tak wajar. Sepertinya, ada sesuatu yang
tersembunyi di dalam caping tersebut.
Sedangkan wanita yang satu lagi terpaku diam.
Seolah-olah dia sedang bersemadi dengan mata terbuka.
Wajahnya dipenuhi jerawat. Rambutnya dipangkas me-
nyerupai lelaki. Satu tangannya terus lekat pada gagang senjata berbentuk
tongkat pendek di ikatan pinggangnya. Wajahnya agak pucat, dan terlihat letih.
Jelas sekali dia baru saja menjalani suatu yang begitu menguras tenaga beberapa
waktu lalu. Pada pelayan, dia hanya
minta disediakan secangkir air bening.
Kelima pengunjung terus terlena oleh keasyikan
masing-masing, sampai datang seorang pengunjung
lain. Cara mendatanginya sama sekali tak pantas sebagai seorang pengunjung
kedai! "Aku menang! Aku menang!"
Orang itu berteriak-teriak tanpa juntrungan. Tan-
gannya dipenuhi kantong-kantong yang di acung-
acungkannya ke atas.
Pengunjung baru itu mengambil tempat di salah
satu meja kosong.
"Pak Kedai! Sediakan aku makanan-makanan
enak dan paling mahal yang kau punya!" teriak pengu-jung baru, seorang lelaki
berpakaian perlente dengan kumis terpangkas rapi.
Lima orang di sekitarnya sesaat seperti melirik
sebentar, selanjutnya kembali meneruskan keasyikan
masing-masing. Agaknya, hanya pemuda kumal yang
tampaknya masih menyimpan kedongkolan. Teriakan le-
laki berpakaian perlente itu dianggap telah lancang
mengusik. Apalagi saat itu dia sedang begitu resah me-nanti sesuatu.
Akibat dorongan rasa gusar, tanpa disadari ketu-
kan jari jemari pemuda kumal pada permukaan meja
menjadi tak terkendali lagi. Mendadak terpercik suara kecil. Kayu jati meja itu
bukan hanya gompal, tapi juga telah berlubang-lubang!
Kejadian kecil namun luar biasa itu agaknya luput
dari pengamatan pengunjung berpenampilan perlente.
Lelaki berwajah panjang yang berusaha tampil menawan tapi tetap tak sedap
dipandang itu terus saja tertawa-tawa seenaknya. Dia merasa wajib melakukannya.
Se- lama tujuh tahun bermain judi, baru kali ini meme-
nangkan hasil begitu melimpah! Dan tawa lancangnya
pun makin seenaknya saja ketika anak gadis pemilik
kedai mendatangi mejanya.
"Suminah! Mau minta beli apa, hah"! Minta apa,
ayo"! Minta... jangan malu-malu! Kakang punya duit
banyak hari ini, Minah!" umbar lelaki perlente ini lupa diri. Dengan kurang
ajar, dirangkulnya pinggul gadis remaja yang baru besar itu.
"Auwww...!"
Suminah kontan menjerit. Bukannya agak kaget
dengan kelancangan tangan lelaki ini, namun wanita
baru mekar itu hanya jijik. Dia tak sudi diperlakukan seperti perempuan murahan!
Pemuda kumal disudut makin mual saja. Namun
baru saja dia hendak bangkit untuk memberi sedikit kepalan ke bacot lelaki
perlente tadi, dari pintu kedai masuk lagi tiga orang kasar sambil mengacungkan
golok besar di tangan masing-masing. Mata ketiganya merah, akibat pengaruh arak yang
ditenggak. "Dasar kutu kupret lu, ya! Menang ya menang. Ta-
pi jangan pergi seenaknya!" bentak salah seorang seraya terus mendekati lelaki
perlente yang sesumbar tadi.
"Apa lu nggak tahu" Gua udah ngejual bini gua
sama Juragan Kontet buat main! Lu mesti tahu itu!"
damprat yang lain berang sekali.
"Hei hei! Kalian jangan macam-macam! Kalau su-
dah kalah, ya kalah! Apa yang diharapkan lagi" Kalian mau aku memulangkan uang
kalian" Kalau begitu
maunya, kenapa main judi"! Keparat sekali!" balas lelaki perlente.
"Lu jangan buang bacot seenak dengkul! Gua mau, lu main lagi. Sampai semua dari
kita benar-benar lu bikin bures. Gua belum kalah. Gua masih bisa menangin
duit gua yang ada sama elu! Makdekipe banget!"
Si lelaki perlente bangkit. Dadanya di busungkan
di depan wajah-wajah berang itu.
"Jadi kalian mau memaksa aku, hen"!"
"Lu pikir apa, hah"!"
Lelaki yang tadi maju lebih dahulu makin sewot.
Dicengkeramnya kerah baju lelaki perlente. Ujung go-
loknya disodorkan ke leher lelaki di depannya.
"Kalau lu nggak mau main lagi, kepala lu gua jamin bakal ngegantiin semur ceker
ayam di nih piring!"
Prak! Tepat di ujung ucapannya, golok lelaki itu terayun
ke piring tanah liat di atas meja. Pecahannya kontan berhamburan. Tak ada tanda-
tanda kalau tindakan itu
dilakukan dengan tenaga dalam. Jangankan dia, bocah
belum makan pun sanggup!
"Lepaskan aku! Kalau tidak...," dengus si lelaki perlente. Hidungnya terangkat.
Barangkali mau sedikit
menggertak. "Kalau nggak apa, hah"!" serobot lelaki yang lain.
Dengan tak kalah gaya, di sabetkannya pula golok ke atas meja.
Bletak! "Wadow wadow! Makdirabut lu! Masa' tangan gua
lu embat juga"!" teriak lelaki lain yang kebetulan tangannya berada di atas meja
sehingga termakan gagang
golok kawannya sendiri. Habis sudah mulutnya maju
mundur meniup-niup tangannya yang mendadak beng-
kak. "Jadi lu mau main lagi apa nggak, nih"!" ancam lelaki yang masih
mencengkeram si perlente.
Si perlente menggeleng.
"Tidak!" jawab lelaki perlente tegas. Sok jumawa pula dia. Padahal hatinya
kebat-kebit tak ketolongan.
"Eeehh! Berani lu, ya"!"
"Iya. Memangnya aku takut?"
"Curut Buduk! Biar lu telan nih ujung golok gua....
Hih!" Golok terayun. Sampai di situ, baru si lelaki perlente tahu, bagaimana
mengerikannya kerjapan sinar
golok. Baru melihat pantulan sinarnya saja sudah ngeri begitu. Apalagi kalau
sudah tertebas"
"Eee, tunggu!" tahan lelaki perlente cepat. Matanya sudah menyipit ketat.
"Ahhh! Gua udah telanjur ngayunin golok!" bentak lelaki yang mengayunkan
senjatanya. Golok itu terus melaju. Senjata yang tidak pernah
alpa diasah tiap malam Jum'at Kliwon itu bakal membelah tempurung kepala si
lelaki perlente. Namun....
Trang! Golok yang siap membelah kepala itu terpental,
seperti tanpa sebab. Jelas, seseorang telah campur tangan! "Aku tak suka kalian
bikin kacau di tempat ma-kanku!"
Terdengar suara seseorang begitu dalam dan, da-
tar. Ketiga lelaki yang kalap menoleh bersamaan. Me-
reka melihat lelaki berwajah tikus sudah berdiri sambil mengusap-usap perutnya.
Kekenyangan dia. Santapan
kelewat banyak baru saja diselesaikan. Ternyata tulang ayam terakhirnya tadi,
dijadikan alat untuk menahan
ayunan golok. "Eeh, siapa lu"! Berani-beraninya unjuk congor tikus di depan gua. Nih, jawara
daerah sini!"
"Bilang siapa nama lu. Biar dia ngeper!" sokong lelaki lain di belakang.
"Nih, gua Sape'i yang nguasain seluruh janda dari kampung itu ke kampung ini!"
Dengan golok, lelaki yang mengaku bernama Sape'i
menepuk dadanya yang kekurangan daging itu.
"Jeee elu,! Masa janda?"
"Eh! Maksud gua, yang nguasain kampung-kam-
pung yang banyak jandanya" ralat Sape'i.
"Jeee... janda lagi..."
"Ah! Udah diam lu!"
"Keluar!" ujar lelaki berwajah tikus, singkat.
"Gila juga tuh orang! Masa' lu diusir gitu aja" Marah dah, marah.... Kalau gua
sih, pasti marah digituin!"
timpal teman Sape'i yang lain membakar semangat.
"Jadi gua marah, nih?" kata Sape'i, meminta pen-dapat temannya.
Kedua temannya membulatkan bibir.
"Dooo, marah aja dah!" sambut mereka bersemangat. Sape'i merasa disemangati.
Secepat kilat dipa-
sangnya wajah berang. Kalau sudah begitu, pantasnya
nama Sape'i diganti menjadi Sapi-ih! Masalahnya jeleknya jadi mirip sapi!
"Udah, tunggu apa lagi"! Bacok aja!"
Sape'i mendongakkan dagu berlagak jumawa.
"Bikin kolak kurang santennya. Pisang kepok di
kebon kelapa. Lu orang banyak suara. Gua tebas..., bas!
Hang kepala!" Bukannya cepat-cepat menerjang, Sape'i malah berpantun.
"Lu mau gebrak apa mau lenong"!" sungut temannya kesal.
"Lu diam aja dah! Yang penting gaya dulu, Bego!"
"Sat, sat, sat!"
Sape'i mulai mengayun-ayunkan golok. Jurusnya
bukan tak hanya berantakan, tapi juga tanpa juntrun-
gan. Biar terlihat lebih menggidikkan, mulutnya sengaja bersat-sut-sat-sut.
Maksudnya, biar disangka suara dari sabetan goloknya.
"Tunggu dulu!" cegah seorang temannya.
"Apaan lagi" Pan, tadi elu juga yang nyuruh gua ngembat tuh orang?" gerutu
Sape'i dongkol.
"Lihat golok lu tuh! Kayaknya tadi masih leng-
kap...." Sape'i melirik goloknya. Bujubuneng! Sape'i mengu-
tuk dalam hati. Goloknya sekarang sudah tinggal sepotong! Pasti telah disunat
sewaktu calon lawannya me-
lempar tulang ayam ke golok itu.
Pikir punya pikir Sape'i mulai mengendusi kalau ca-
lon lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti, dari perubahan lipatan wajahnya.
Mulutnya mulai meringis
tak karuan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Jeee, kenapa nggak diserimpung tuh orang, !" usik temannya.


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sape'i nyengir sebentar.
"Nggak usah, dah. Gua jadi nggak tega juga nih...,"
kilah Sape'i cengengesan. Buru-buru golok cacatnya di-masukkan ke dalam sarung.
"Nah lu! Tumben lu bisa kasihan sama orang?"
"Sekali-sekali kan nggak dosa!" tukas Sape'i buat menyelamatkan muka. "Udah, lu
seret aja tuh si perlente. Bawa ke meja judi kita lagi!"
"Nyok, dah!"
*** 2 Sepeninggal tiga bajingan tengik tadi, lelaki berwa-
jah tikus duduk kembali. Sementara, wanita berpakaian jingga tua yang sejak tadi
memperhatikan peta kulit binatang menghampirinya.
"Tuan, boleh aku bertanya?" kata wanita ini cukup hormat.
Si wajah tikus melirik sebentar.
"Ha... ha... ha...!"
Tanpa berniat menjawab, lelaki berwajah tikus ini
berdahak keras-keras. Lebih tak tahu adat lagi, di tenggaknya arak langsung dari
guci. Seolah-olah, si wanita di dekatnya tak pernah ada.
"Tuan, bisa aku minta tolong?" ulang si wanita mencoba lagi. Diperlakukan
seperti itu, tidak cepat
membuatnya jadi berang. Wajahnya pun tak berubah.
Si wajah tikus tetap tak menggubris.
Wanita ini tak terlalu mempersoalkan. Dia hanya
mengungkit bahu sejenak, lalu mulai beranjak ke lelaki lain yang duduk di meja
sebelah. Kali ini, didekatinya lelaki berwajah cacat yang masih sibuk menguras
guci- guci tuak di meja.
"Tuan...," sebut wanita itu.
"Ya, silakan Nona!"
Belum juga si wanita menyelesaikan pertanyaan-
nya, lelaki cacat itu sudah mempersilakan.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?" lanjut lelaki ini lembut dan teratur.
Sikap lelaki ini bertolak belakang sekali dengan pe-
nampilan kasarnya. Cara bicaranya justru penuh tata
krama. Meskipun sudah beberapa guci arak masuk ke
dalam perut buncitnya, dia tak kelihatan mabuk.
Wanita ini tersenyum.
"Aku ingin bertanya wilayah ini, Tuan," katanya seraya membuka peta dari kulit
di depan lelaki buncit. Di tunjuknya satu bagian gambar dari peta.
"Apa Tuan tahu, aku bisa datang ke tempat ini paling cepat melalui jalur mana?"
Mata lelaki berwajah cacat agak membeliak ketika
melihat daerah yang ditunjuk tadi di dalam peta.
"Apa Nona sungguh-sungguh?" tanya lelaki ini pada si wanita.
Pertanyaan itu mendapat anggukan pasti.
"Apa Nona tahu ini tempat apa?" Lagi-lagi si wajah cacat seperti tak yakin.
"Lembah Kutukan...," sahut si wanita enteng. Empat orang lain di dalam kedai
langsung menoleh berba-rengan. Mereka seperti mendengar suara gaib yang me-
maksa untuk melupakan sejenak urusan masing-
masing. Si wajah cacat menatap perempuan di depannya.
"Ada urusan apa Nona menanyakan tempat itu?"
tanya si wajah cacat.
Tak ada jawaban.
"Ah! Maaf, Nona. Aku jadi terlalu mencampuri urusan Nona. Aku cuma...."
"Cuma heran?" sela si wanita.
Lelaki tadi mengangguk.
"Duduklah dulu, Nona...," hatur lelaki yang di balik wajah bengisnya memendam
kelembutan itu.
Perlahan-lahan perempuan itu menurunkan pan-
tatnya ke kursi. Namun gerak turun yang sesungguhnya tergolong manis jika
diperhatikan urung tiba di kursi, ketika...
Wesss...! Prakk...! Mendadak saja sebentuk angin mendesir dari ba-
wah, menyusul bunyi derak kursi bagai baru dihantam
kaki seekor gajah jantan.
"Berikan peta itu padaku, Nona!" perintah pemuda tampan berpakaian kumal di
seberang. Kini pemuda itu sudah berdiri pula. Matanya te-
rus saja menyiratkan keangkuhan kala menatap perem-
puan yang dibentaknya.
"Kenapa aku mesti memberikan peta ini pada-
mu?" tanya wanita itu tanpa menoleh. Nada suaranya terdengar menantang.
Pemuda berpakaian kumal mendengus. "Kalau kau
tak memberikannya padaku, itu sama artinya mencari
mampus!" "Tunggu! Tunggu dulu, Tuan Muda...," tukas si wajah cacat seraya bangkit dari
kursi. Meja di depannya sampai terserempet permukaan perut buncitnya. "Bisa
dijelaskan kenapa tiba-tiba saja kau menjadi sekasar itu pada Nona ini?"
Merasa tak setuju dengan kekasaran di depan ma-
tanya, si wajah cacat ini buru-buru menanggapi. Apalagi terhadap seorang wanita
yang menurutnya patut dihor-mati pula.
"Aku tak punya urusan denganmu. Lebih baik jan-
gan ikut campur!" tandas pemuda kumal ini.
Si wajah cacat tersenyum mengejek. Di liriknya
nona manis di sebelahnya.
"Apa Nona keberatan kalau aku membenahi mulut
lancang bocah ini?" tanya si wajah cacat.
Perempuan yang ditanya tak menginginkan terjadi
keributan di dalam kedai. Dia sama sekali tak ingin ada orang kecil yang menjadi
korban, seperti pemilik kedai ini.
"Bukankah Tuan tak ingin terjadi keributan di sini, bukan?" ujar perempuan itu
menyabarkan. "Sebaiknya kau katakan pula pada manusia jelek
itu, Nona. Dia belum cukup memiliki kepandaian untuk menghadapiku... Tendangan
Bayangan Seribu," sesumbar si pemuda kumal.
"O, rupanya kau orangnya! Kalau tak salah,
'Tendangan Bayangan Seribu' mu telah berhasil melem-
par seribu lalat ke neraka, bukan?" ejek lelaki buncit berwajah cacat.
Muak bukan main lelaki cacat ini melihat keang-
kuhan pemuda di depannya. Dia cukup tahu pamor
Tendangan Bayangan Seribu. Tapi sepanjang pengeta-
huannya, nama itu besar di dunia persilatan oleh kehebatan seorang setengah
umur. Bukan oleh pemuda bau
kencur itu! Mungkin, anak ini hanya murid Tendangan
Bayangan Seribu yang mencoba mendompleng ketena-
ran gurunya. Begitu dugaan lelaki berwajah cacat ini.
"Keparat!"
Pemuda yang mengaku sebagai Tendangan Bayan-
gan Seribu seketika melepas sabetan tangan ke udara dari tempatnya. Hanya cukup
dari tempatnya, dia coba menghantam dari jarak cukup jauh.
Wuttt...! Seberkas pukulan tipis berupa bayangan hitam
berkelebat cepat.
"Cukup!" bentak wanita berpakaian jingga tua. Dalam waktu bersamaan, tangannya
melepas caping dari
punggung. Lalu dilemparkannya.
Sat! Caping itu terus melesat, melabrak bayangan hitam
ketika melintas di depan perempuan ini.
Dasss...! Bagai tak mengeluarkan tenaga, pukulan bayangan
yang belum lama memporakkan kursi kayu kokoh se-
perti kerupuk, dapat dimentahkan. Tenaga perusak
yang terkandung di dalamnya melepus begitu saja.
Begitu habis mementahkan serangan, caping itu
melayang balik ke arah pemiliknya.
Tap! Manis sekali perempuan itu menangkap, dan lang-
sung memasangnya lagi di punggung.
"Aku tak suka ada keributan di tempat ini!" hardik si perempuan lagi pada pemuda
kumal berjuluk Tendangan Bayangan Seribu. Kalau semula begitu lembut,
kini berubah sekeras baja, segarang jilatan api. "Sebaiknya cepat tinggalkan
tempat ini, Tuan!"
Di tangan wanita itu sekarang sudah tergenggam
semacam cakram berbentuk piringan yang tengahnya
berlubang. Melihat hal itu, sadarlah lelaki berwajah cacat, siapa sesungguhnya
yang berdiri di depannya.
"Bidadari Cakram Terbang...," bisik lelaki berwajah cacat, pelan sekali.
Bidadari Cakram Terbang sebenarnya adalah to-
koh wanita yang menggegerkan kalangan atas dunia
persilatan, pada dasawarsa silam. Kemunculannya sela-lu disertai senjata
khasnya, Cakram Terbang. Senjata yang selalu tersembunyi di balik caping jika
tak diperlukan. Sejak berhasil menyingkirkan musuh besarnya,
pendekar wanita itu menghilang. Menurut kabar bu-
rung, luka parah yang diderita memaksanya menyingkir dari hingar-bingar dunia
persilatan. Di tempat penga-singannya dia mengobati diri, sekaligus menyempurna-
kan kedigdayaannya.
Pendekar wanita rendah hati ini membuat kegem-
paran lebih dahulu dibanding Pendekar Slebor. Ada selang waktu sekitar enam
tahun, sebelum anak muda
sakti itu muncul dari masa penyempurnaannya di Lem-
bah Kutukan. Saat pertama kali muncul, usia Bidadari Cakram
Terbang sangat muda. Tak lebih dari enam belas tahun!
Itulah salah satu keistimewaannya menurut kalangan
persilatan. Dan jika kini keluar kembali ke dunia persilatan, artinya usianya
menjelang dua puluh enam ta-
hun. Begal Ireng musuh besar Pendekar Slebor, pernah mengirim orang
kepercayaannya untuk membunuh Bidadari Cakram Terbang. Sepak terjang wanita muda
itu di wilayah selatan memang telah menghambat banyak
gerakan kejahatan antek-anteknya waktu itu. Orang kepercayaan Begal Ireng ini
malah tak pernah kembali.
Mereka mati di tangan gadis muda perkasa itu.
Sampai akhirnya, Bidadari Cakram Terbang ber-
hadapan dengan tokoh hitam kelas atas yang telah
membunuh gurunya. Kedua tokoh tua itu telah bermu-
suhan selama puluhan tahun. Kemudian Bidadari Ca-
kram Terbang datang untuk menuntut balas atas kema-
tian guru wanitanya. Saat itulah dia mengalami luka
amat berat. Sehingga, mengharuskannya mengundur-
kan diri lagi dari dunia persilatan.
"Sulit kupercaya kalau kau...." Ucapan bernada takjub lelaki berwajah cacat
dicegah isyarat tangan Bidadari Cakram Terbang. Wanita itu tampaknya tak mau
kemunculan keduanya diketahui kalangan persilatan.
"Sebaiknya kau menuruti kata Nona ini, Anak Mu-
da...," lanjut lelaki berwajah cacat, beralih pada Tendangan Bayangan Seribu.
Lelaki ini merasa harus mengatakannya pada si
pemuda. Sebab dia tahu bagaimana kesaktian pendekar
wanita di depannya. Sepuluh tahun lalu saja, kesak-
tiannya sudah begitu membuat kelimpungan tokoh du-
nia hitam. Apalagi setelah menjalani pengasingan diri selama dasawarsa terakhir"
Semuanya diketahui betul
oleh lelaki berwajah cacat ini.
Bukannya menyingkir, pemuda kumal itu malah
tertawa pongah. Rupanya, dia belum mendengar nama
besar Bidadari Cakram Terbang pada sepuluh tahun si-
lam. Benar, penilaian lelaki berwajah cacat. Anak muda itu tak lebih dari salah
satu warga bau kencur dunia persilatan. Nama besar yang di sandangnya pun, tak
lebih dari mendompleng kesohoran gurunya.
"Kau pikir, bisa apa wanita seperti dia padaku?"
cemooh Tendangan Bayangan Seribu. "Kalau pun
'Pukulan Bayangan'-ku dapat di mentahkannya, tidak
berarti dia cukup hebat berhadapan denganku"
"Lelaki berwajah cacat menggeleng-gelengkan ke-
pala mendengarkan sesumbar pemuda itu. Sementara
itu, Bidadari Cakram Terbang mencoba menguasai diri.
Cakram di tangannya disisipkan kembali di bawah ca-
pingnya. "Kalau dia tak mau menyingkir, lebih baik aku
yang mengalah," kata Bidadari Cakram Terbang meren-dah. Wanita perkasa rendah
hati itu pun melangkah,
meninggalkan kedai. Sebelumnya, dia melempar uang
logam ke meja tempatnya, membayar arak yang telah
diminum. "Nah! Kau lihat, bukan" Dia tak berani menghadapiku?" kata Tendangan Bayangan
Seribu lagi, pongah.
Bidadari Cakram Terbang tak menggubris. Sampai
di pintu kedai, langkahnya tertahan. Dirasakannya ada angin pukulan yang sama
seperti sebelumnya. merang-sek dari belakang.
"Haiiit!"
Secepat gerak camar meliuk ke udara, tubuh pen-
dekar wanita itu melenting. Sementara cakramnya telah dilempar lebih dulu tanpa
terlihat. Tubuh perempuan
itu meluncur di udara begitu menginjak cakram.
Pada pohon beringin besar jauh di sebarang kedai,
senjata terbang itu menancap sebagian. Sedang bagian lain tetap dijadikan
pijakan. "Apa maumu sebenarnya Tuan?" tanya Bidadari Cakram Terbang dengan suara tetap
datar, di atas cakram yang tertancap di batang beringin besar.
Tendangan Bayangan Seribu yang tadi membo-
kongnya menyusul ke luar kedai dengan langkah ang-
kuhnya. "Apa kau tuli, Nona" Aku meminta peta mu tadi...,"
ucap pemuda kumal itu, di luar kedai.
"Kau rupanya terlalu memaksa, Tuan. Kalau itu
maumu...."
Bidadari Cakram Terbang turun. Dengan gerakan
indah tubuhnya berputar sebentar di udara, sambil mencabut cakramnya. Selang
berikutnya, dia sudah
berdiri dengan sikap siap tarung.
"Izinkan aku menghajar anak muda tak tahu adat
ini, Nona Pendekar...!"
*** 3 Pertarungan tak bisa dicegah lagi. Apalagi ditunda.
Namun bukan antara Bidadari Cakram Terbang dengan
Tendangan Bayangan Seribu. Karena sebelum wanita
yang pernah membuat kegemparan sepuluh tahun silam
itu berniat memberi pelajaran, lelaki berwajah cacat sudah maju siap menyerang.
Merasa tak perlu lagi banyak cakap, lelaki berwa-
jah cacat itu langsung berdiri menghadap Tendangan
Bayangan Seribu. Ditantangnya anak muda itu dengan
gelegak panas di ubun-ubun.
"Perlihatkan kehebatan 'Tendangan Bayangan'-mu,
anak muda tak tahu diri," tantang lelaki berwajah cacat.
"Sebutkan namamu, Orang Jelek! Aku tak suka
bertarung melawan orang yang tak kukenal. Lagi pula, kalau kau nanti mampus,
harus kutulis nama apa di
batu nisan mu...," sesumbar Tendangan Bayangan Seribu makin menjadi.


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki berperut buncit yang berdiri enam depa di
depan Tendangan Bayangan Seribu tertawa terbahak.
Dia merasa lucu mendengar kepongahan yang terulur
dari mulut anak itu. Di cibirkannya bibir berbareng ge-lengan kepala sarat
cemoohan. "Kasihan sekali kau, Anak Muda. Rupanya kau
masih terlalu hijau di dunia persilatan sampai tak mengenal siapa yang kini
berdiri di hadapanmu," sela sebentuk suara camprang dari arah kedai.
Wanita berambut seperti lelaki yang sebelumnya
berada dalam kedai ternyata sudah keluar pula. Tak
jauh darinya, si lelaki bertampang tikus sudah pula bertengger di jendela besar
kedai. Dia duduk beruncang
kaki seperti tengah menonton pertunjukan ludruk.
Terbakar oleh perkataan tadi, pemuda berjuluk
Tendangan Bayangan Seribu menoleh. Tatapannya me-
meram nafsu membunuh. Dia beranggapan siapa pun
tak bisa selancang itu pada dirinya.
"O.... Sepertinya ada rencana untuk mengeroyok-
ku...," leceh Tendangan Bayangan Seribu.
Masih juga pemuda kumal ini mengumbar keang-
kuhannya. Pepatah memang tak salah. Air laut, siapa
yang membuat asin, kalau bukan laut itu sendiri. Anak muda itu pun demikian.
Kesaktiannya dianggap sudah
cukup tangguh untuk menghadapi tiga orang yang kini
mengepungnya dengan tatapan sembilu. Hanya lelaki
bertampang tikus yang tampaknya tak mau banyak
urusan. Padahal, dugaan lelaki berwajah cacat sama sekali
bertolak belakang. Si wajah cacat melihat nama besar yang dibangun guru
Tendangan Bayangan Seribu selaku
tokoh disegani kalangan lurus. Jelas hendak disalahgunakan untuk hal yang
tengik. "Ayo! Tunggu apa lagi" Siapa di antara kalian yang ingin mendapat sial terlebih
dahulu?" tantang Tendangan Bayangan Seribu.
"Aku," terabas lelaki berwajah cacat. tak lagi bisa menunda kesabarannya
mendengar seluruh ucapan
memuakkan anak muda itu.
Sekejap, lelaki berwajah cacat itu berdahak. Pan-
jang dan bersambungan. Aneh. Semestinya hal itu terja-di saat menenggak belasan
guci arak. Sebaliknya. sela-ma menenggak belasan guci arak, dahaknya tak kun-
jung menyembul meski sepelan dengkur anak monyet.
Di akhir dahaknya yang panjang, tubuh si buncit
berwajah cacat mulai bergerak. Irama gerak tubuhnya
begitu lamban dan lembut. Selamban tarian wanita
penghibur. Selembut ayunan perahu di permukaan tela-
ga. Biar begitu, tak ada keteraturan dalam geraknya.
Langkah kakinya pun begitu ngawur. Satu langkah ke
depan. Dua langkah berikutnya terhuyung ke belakang.
Kedua tangannya mengimbangi ayunan kaki. Setiap sa-
tu kaki bergerak, tangannya melambai maju mundur.
Seluruh kembangan jurus lelaki berwajah cacat ini
tak jauh beda dengan tingkah orang mabuk. Di dunia
persilatan, hanya ada satu-satunya tokoh yang memiliki jurus itu.
"Kau sedang berhadapan dengan Raja Arak, Anak
Muda," kata Bidadari Cakram Terbang seperti mempe-ringatkan seraya tersenyum.
Dia memang merasa men-
genali jurus khas itu.
Dulu, ketika wanita itu pertama kali mengobrak-
abrik kalangan hitam untuk yang pertama, dia sering
ingin berjumpa tokoh satu ini.
Tokoh berjuluk Raja Arak sering disebut-sebut ju-
ga Si Pemabuk Bijak. Bukan hanya kaya dengan jurus
sakti, tapi juga kaya hikmah hidup. Kerap kali dia menjadi tempat menimba
nasihat bagi kalangan lurus. He-
ran. Namanya pemabuk, kok bisa memberi nasihat, ya"
Hanya karena Si Pemabuk Bijak tak mau menon-
jolkan diri, dia sering bersembunyi mati-matian jika ada yang merasa harus
meminta nasihatnya. Tak jarang harus berpura-pura dengan seribu satu tambah
seribu sa-tu, cara agar tak terlalu disanjung sebagai orang bijak.
Baginya, pemabuk tetap pemabuk. Dia menganggap di-
rinya masih berlumur lumpur pekat. untuk dijadikan
orang yang diharapkan nasihatnya.
Dan semakin tokoh ini buron dari kejaran. sema-
kin penasaran berbondong-bondong orang yang haus
petuah dan hikmah ingin menemuinya.
Jika Si Pemabuk Bijak berkata dirinya tak lebih
dari seorang pemabuk kotor, maka orang-orang pun
akan berkilah, dari mulut pemabuk pun kalau nyatanya mengalir kebijakan, kenapa
tak didengarkan" Bahkan
seandainya kata-kata bijak itu keluar dari moncong anj-ing sekalipun....
Lalu, apa yang mau dikatakan lagi"
"O, jadi inikah Raja Arak itu?" leceh Tendangan Bayangan Seribu.
Di ujung kalimatnya, pemuda besar kepala itu ha-
rus melakukan tangkisan, karena Raja Arak alis Si Pemabuk Bijak telah menyerobot
bagian dadanya dengan
sodokan jari telunjuk.
Gempuran tak putus sampai di situ. Raja Arak
mengirim lagi sapuan kaki sambil berputar. Debu men-
gepul sepanjang sapuan kakinya yang terseret di tanah kering. Terpaksa pemuda
jumawa itu meloncat-loncat ke belakang.
Jika tendangan Tendangan Bayangan Seribu lambat se-
dikit saja, pasti akan terpelanting ke belakang. Derasnya sapuan lelaki berwajah
cacat itu terlalu luar biasa. Bukan tak mustahil akan diterimanya juga akibat
lain jika terkena. Persendian kakinya bisa langsung terpatah
dua! Tendangan Bayangan Seribu tak mau terus dikejar serangan. Begitu mendapat
kesempatan, dia mulai balas menyerang. Begitu mencelat, kakinya adu cepat dengan
sapuan Raja Arak. Namun arahnya bergerak mendepak
ke atas. Tumitnya mencoba meremukkan pelipis lelaki
berwajah cacat itu. Tendangan anak muda itu patut di-beri decakan kagum. Sebab,
meski tubuhnya sedang
mencelat masih mampu melepas tendangan bertenaga,
sekaligus amat cepat. Kandungan tenaga dalam tingkat tinggi dalam tendangannya
tersembul dari bunyi santer yang tercipta.
Wukh! Namun Raja Arak bukan bocah kemarin sore.
Menghadapi serangan balik dia tak menjadi gelagapan.
Tetap dengan kuda-kuda seperti orang mabuk, tubuh-
nya sempoyongan ke belakang. Sepertinya, tindakan itu tak disengaja. Namun
hasilnya cukup untuk membuat
dongkelan kaki pemuda itu hanya memangsa angin.
Kaki Tendangan Bayangan Seribu berusaha men-
gejar. Begitu satu kakinya bisa menjejak bumi dengan kokoh, kesempatan untuk
melancarkan jurus mautnya
pun terkuak lebar-lebar. Tanpa ada sekerdipan mata,
sebelah kakinya membuat sepuluh tendangan sekaligus.
Dalam satu kelebatan dengan sepuluh titik di tubuh lawan! Deb! Deb! Deb!
Sebelah kaki Tendangan Bayangan Seribu menjel-
ma menjadi seperti belalai gurita raksasa dari dasar laut, mengancam dari segala
penjuru. Orang yang me-
nyaksikannya hanya akan melihat bayangan kaki itu
menjadi berlipat ganda.
Empat lima tendangan masih bisa dihindari Raja
Arak. Seperti seseorang kehilangan keseimbangan. Lela-ki buncit itu terhuyung-
huyung limbung kian kemari,
dalam irama menakjubkan!
Sisa ranting tendangan Tendangan Bayangan Se-
ribu sayangnya tak bisa dimentahkan dengan mudah.
Meski Raja Arak sudah mengempos segenap kecepatan
tangannya untuk memapak, tapi....
Desss...! Desss...! Desss!
"Aaakh...!"
Tak urung tiga hantamam kaki Tendangan
Bayangan Seribu mendera tubuh lelaki berperut buncit dalam satu rangkai gerak
yang menyatu! Akibatnya, Ra-ja Arak dipaksa memekik nyeri. Dada, bahu, dan pang-
kal kaki kirinya seperti baru saja digempur godam raksasa dari baja. Sekujur
tubuhnya berdenyar, mengiringi rasa nyeri sebelumnya.
Saat itu juga Raja Arak meluruk deras ke bela-
kang. Dia hampir saja jatuh, tapi untung jurus-jurusnya memang terbiasa dalam
menjaga ketidakseimbangan.
Hingga dengan agak susah payah kuda-kudanya dapat
dikuasainya kembali. Tampak darah mengalir dari sudut bibirnya. Pekat.
Dan belum sempat Raja Arak menepis siksaan dari
tiga tempat di tubuhnya. Tendangan Bayangan Seribu
sudah memburunya penuh nafsu. Tendangan terbang
yang paling disegani di dunia persilatan seketika di per-tunjukkannya.
"Hiaaa...!"
Berkawal teriakan mencerabut nyali, tubuh anak
muda itu melayang. Satu kakinya membentang ke de-
pan. Yang lain terlipat rapat. Empat tombak dari laju luncurannya, kaki yang
belum lama memangsa tubuh
lawan, kembali berkelebat membentuk bayangan berli-
pat ganda. Deb! Deb! Deb...!
Dalam keadaan yang jelas-jelas tak menguntung-
kan, amat tolol kalau Raja Arak bersikeras memapaki.
Yang paling baik untuknya adalah menghindar sejauh
mungkin, sejauh kaki pemangsa tak lagi bisa menjang-
kaunya. Maka, Raja Arak melompat menghindar. Tubuh
buntalnya tak membuatnya sulit melakukan lompatan
tinggi serta jauh. Dia telah berhasil, mengambil jarak.
"Hai, Orang Jelek! Kenapa kau mundur" Apa kau
terkejut dengan tendangan ku tadi?" ejek Tendangan Bayangan Seribu, membentak.
Tanpa menggubris cemoohan, Raja Arak memain-
mainkan bola matanya. Biji mata besarnya berputar-
putar tak karuan. Dengan cara itu, lelaki buncit jago mabuk itu berusaha membuat
dirinya sepusing mungkin. Baginya, semakin kepalanya memberat, akan se-
makin lancar jurus-jurus tingkat tingginya mengalir keluar. Terbukti begitu
melancarkan serangan, gerakan
Raja Arak jadi kian hebat. Deru yang dihasilkan geraknya bertambah kencang.
Kesinambungan jurusnya pun
kian meninggi. Meski begitu, semuanya tetap terlihat kacau tak beda sebelumnya.
Jelas, jurus 'Pemabuk
Mengencani Angin' telah menampakkan bentuknya!
Sementara, Bidadari Cakram Terbang merasa agak
heran menyaksikan tindakan Raja Arak. Bukan sifatnya kalau jurusnya diperas
hanya untuk perkara kecil tak berarti terhadap seorang pemuda yang pongah. Kalau
kini lelaki yang memiliki daya pikat tersendiri di dunia persilatan itu
mengerahkan salah satu jurus andalannya, apakah tidak aneh"
Sebenarnya sifat Raja Arak yang dikenal Bidadari
Cakram Terbang tidak begitu. Biasanya lelaki berpikiran bijak ini lebih suka
menyingkir untuk perkara sepele.
Namun kenapa kali ini tidak" Apa ada sesuatu yang tidak beres" Mungkinkah dia
bukan Raja Arak sesung-
guhnya" Runtunan pertanyaan dalam benak wanita itu tak
sempat mendapat jawaban, karena perhatiannya kini
tersita pada dua petarung tingkat tinggi yang sudah siap bertukar jurus kembali
di depan sana....
Werrr...! Tiba-tiba memporakkan segalanya ketika tahu-
tahu berkelebat bayangan tinggi besar yang menerabas deras. Memporakkan hati
Bidadari Cakram Terbang.
Memporakkan pula keasyikan orang-orang yang me-
nyaksikan pertarungan.
Gerakan bayangan itu tak terduga dan tak terhindarkan lagi, dari arah matahari
siap bertelungkup. Kelebatan-nya menggiring angin besar di sisi-sisinya,
menerbangkan debu dan dedaunan kering. Menggeleparkan pa-
kaian kelima orang-orang yang ada di sana. Begitu tiba, semuanya terjadi begitu
cepat Desss...! "Hekh...!"
Raja Arak mendadak tersentak di tempat dengan
keluhan tertahan. Kembangan jurus yang mengalir ter-
penggal seketika. Tubuhnya mengejang sebentar. Ma-
tanya membesar. Segenap urat-urat wajah dan tubuh-
nya meregang bersamaan.
Sesudahnya. langkah Raja Arak menjadi demikian
limbung. Bukan lagi karena jurus-jurus mabuknya, me-
lainkan ada sesuatu yang menghantam tubuhnya demi-
kian telak tak terhindari.
Tiga-empat langkah ke belakang, Raja Arak tersu-
rut. Wajahnya menjadi pucat sekali. Darah di wajahnya seperti baru saja terperas
sekian kejap yang lalu.
"Hoeeekkk...!"
Menyusul kejadian itu, dari mulut Raja Arak ter-
muntahkan darah kental kehitaman. Simbahannya me-
nyiram tanah kering di bawah kaki. Dari telinga dan hidungnya pun mengalir darah
encer menyertai muntah
darahnya. Kelebatan tadi benar-benar menjinjing bahaya tak
terduga. Tak hanya bagi Raja Arak, juga bagi Bidadari Cakram Terbang. Dalam
selang waktu yang terlalu tipis untuk dihindari, kelebatan bayangan tadi telah
pula tiba tepat di dekat wanita itu.
Kalau Raja Arak tak mampu membendung anca-
man yang menghampiri, Bidadari Cakram Terbang tidak
begitu. Wanita ini masih sempat menyadari. Dengan na-luri tajamnya, perempuan
itu berusaha menepis bahaya.
Tak kalah cepat dengan kelebatan bayangan tadi, di
pompanya tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Wak-
tunya demikian ketat baginya untuk membuat tindakan
seperti itu. Jelas akan menjadi tindakan teramat sulit.
Tapi dia harus melakukannya. Kemudian.... Dash!
Terdengar benturan tenaga dalam berkekuatan
dahsyat. Seperti keadaan Raja Arak barusan, tubuh Bidadari Cakram Terbang pun
tersentak seketika. Tenaga dalamnya sudah tersalur sempurna ke sekujur tubuhnya,
ketika bayangan tadi tiba. Tangannya pun berhasil memapak serangan gelap dengan
kandungan tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi nyatanya, itu sama sekali tak
menjamin dirinya luput dari bahaya.
Sebentar kemudian, keadaan wanita itu tak jauh
beda dengan Raja Arak. Wajahnya memucat. Tubuhnya
terhuyung limbung. Mulut, hidung, dan telinganya ber-simbah darah! Padahal dua
tokoh yang baru terpedaya
ini adalah orang-orang kawakan yang terbilang disegani!
Kedigdayaan mereka tak diragukan lagi. Banyak tokoh
sesat tingkat atas yang mesti kehilangan nyawa di tan-
gan mereka. Sekali ini, mereka tampaknya berhadapan dengan
tokoh biangnya tingkat atas. Sesepuh sakti yang belum lagi diketahui. Namun
telah jelas bagi keduanya kalau orang itu adalah tokoh sesat berperangai iblis!


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang sesungguhnya terjadi" Begitu tanya wa-
nita berambut pendek dan si wajah tikus di muka kedai.
Mereka dibuat terperangah oleh kenyataan di depan ma-ta. Bahkan beberapa saat
kemudian, baru disadari ka-
lau seseorang telah datang melakukan serangan.
Untuk keadaan yang bisa saja mendongkel nyawa
keluar dari raga, Raja Arak dan Bidadari Cakram Ter-
bang tak ingin lama-lama mendiamkannya. Dengan su-
sah payah mereka menghempos hawa murni dalam tu-
buh. Luka yang diderita menggerogot secara cepat. Terlambat dalam hitungan
helaan napas saja, bisa berakibat konyol.
Sementara lelaki dan perempuan yang tengah ber-
kutat mengatasi luka dalam, lelaki dan perempuan lain di muka kedai masih
dipaksa terpana melihat sosok lain di sisi Tendangan Bayangan Seribu. Di Sana,
telah berdiri sosok angker bertubuh besar seperti gambaran tokoh Bima dalam
pewayangan. Wajahnya amat memikat,
berhias cambang tipis serta lintangan kumis lebat. Bersit matanya kasar, bengis
dan telengas. Pakaian rompi kulit macan menutupi sebagian dadanya yang kekar
berbulu. Dengan berdiri memancang tubuh perkasa,
pendatang baru itu memainkan peta kulit binatang yang sudah berada di tangannya.
Kedua mata Bidadari Cakram Terbang menyempil
menyaksikan orang itu. Ada kecamuk amarah yang ber-
gejolak dalam dirinya. Bukan hanya soal peta yang direbut secara menakjubkan
saja penyebabnya. Tapi, kare-
na wajah itu pernah dikenalnya....
*** 4 Permainan judi koprok sedang seru-serunya di se-
buah gubuk reyot, tak terlalu jauh dari depan kedai
tempat pertarungan antara Raja Arak dan Bidadari Ca-
kram Terbang melawan Tendangan Bayangan Seribu
yang kini dibantu sosok bertubuh tinggi besar.
Tiga lelaki tengik yang petantang-petenteng di kedai kini mulai dibuai
kesenangan. Urat leher mereka menggelembung, disesaki tawa penat atau teriakan
menggila. Rupanya uang mereka telah berhasil dimenangkan
kembali dari kantong uang lelaki berpakaian perlente.
Batok kelapa pengocok dadu dibuka untuk kese-
kian kali. Tiga dadu di atas piring kayu memperlihatkan beberapa angka.
"Aku dapat!"
Satu orang lelaki tengik berseru serak, nyaris keke-
ringan suara sendiri. Lalu di raupnya keping-keping uang di atas meja penuh
kerakusan. Matanya berbinar-binar, seakan memantulkan cahaya ketamakan dari se-
tiap keping uang yang didapatnya.
Sementara lelaki perlente bertubuh kurus melipat wa-
jahnya. Pundi uang yang sebelumnya dimenangkan su-
dah ludes kembali. Tiga lelaki bertampang sial di depannya telah berhasil
menguras kemenangan. Sekarang dia akan miskin lagi. Benar-benar terkapar miskin.
Sebab, pundi uang itu adalah modal terakhirnya setelah menjual seluruh harta
kekayaannya! Saat keping-keping uangnya kian menipis, terlintas
di benak lelaki perlente itu untuk mencari modal baru.
Modal yang harus lebih besar, agar nanti mengeruk
keuntungan sebakul.
Namun belum juga lelaki perlente ini menemukan
jalan, seorang pemuda masuk dengan lagak serampan-
gan. Kursi sarang kepinding di sisi meja bundar di tem-patinya. tanpa
mempedulikan tatapan keempat para
penjudi. Wajahnya keningratan. Tapi jika melihat pe-
nampilannya, orang lebih suka menganggapnya gelan-
dangan. Lusuh, tak terurus dengan pakaian hijau pu-
pus. Belum lagi rambutnya yang panjang sebahu. Kain
bercorak catur di bahunya dikibas-kibaskan untuk
mengusir gerah.
"Kocok lagi," ujar pemuda itu enteng pada Bandar bergigi keropos kehitaman.
"Mau ikut main?" tanya lelaki bertampang jelek di sebelahnya.
Si pemuda menggeleng. Mulutnya cengengesan.
"Kalau ikut main, aku pasti menang," tukas pemuda ini acuh, penuh keyakinan.
"Mana modal mu?" tanya lelaki lain, panas seperti menantang.
Pemuda berbaju hijau pupus itu mengeluarkan
kantong uang sebesar kepalan tangan. Diletakkannya
kantong itu lambat-lambat di sisi meja. Begitu tangan lelaki di dekatnya hendak
meraih.... Slap! "Hah"!"
Kantong itu tahu-tahu sudah menghilang. Keempat
lelaki di dekat pemuda itu terperanjat. Mereka tak mengerti, bagaimana kantong
uang bisa hilang begitu saja"
"Jangan bingung," ujar si pemuda, masih menjaga keen-tengan ucapannya.
Pemuda ini membuka tangan kanan. Nyatanya kan-
tong uang itu telah berada di sana.
"Aku tak akan membiarkan uangku keluar dari
kantong ini, kalau tak kalah dalam permainan koprok
kalian. Kalian mengerti?" kata pemuda itu lagi, agak
sombong. Dengan kebodoh-bodohan, keempat lelaki di seki-
tarnya mengangguk-angguk seperti sapi di cocok hi-
dungnya. "Ayo, kocok lagi! Tunggu apa lagi"!" bentak pemuda ini, membuat keempat lelaki
tadi hampir saja meloncat dari kursi masing-masing. Permainan dimulai lagi.
Dalam berjudi, kecurangan bukan hal aneh. Selama
tidak diketahui, tindakan itu tak akan jadi persoalan.
Lain lagi jika kelicikan itu terendusi.
Bandar berwajah brewok yang tak pernah putus
mengisap rokok kawungnya dalam beberapa kesempa-
tan, melakukan kecurangan. Satu orang sudah hampir
sekarat kehabisan uang. Dua yang lain memang masih
cukup mendapat kemenangan. Namun kalau hendak
melihat hasil. Bandar itu yang paling banyak mengeruk kemenangan. Tumpukan
uangnya terus meninggi. Kalau
kecurangannya terus berjalan, bisa dipastikan seluruh uang penjudi bakal di
ludeskannya. Namun akankah Bandar brewok itu terus begitu. Se-
bab,. anak muda yang baru datang agaknya tak gam-
pang dikelabui. Matanya yang bergaris tajam sejeli tatapan elang, bisa menangkap
ketidakberesan kocokan
Bandar. Tiga dadu dalam tempurung kelapa tidak bisa saja
bergulir menentukan angka. Si Bandar, rupanya turut
campur dalam penentuan. Dengan kelihaiannya me-
mainkan tenaga dalam, diaturnya biji dadu untuk keun-tungannya.
Sementara, pemuda berpakaian hijau pupus mulai
memasang taruhannya. Dua keping uang perak dikelua-
rkan. Hanya dua keping. Itu pun tidak dikeluarkan dari kantong uang yang
sebelumnya diperlihatkan, melainkan dari ikatan pinggangnya. Lambat, digesernya
dua keping uang logam itu ke satu angka di atas meja.
Bandar melirik pemuda itu. Sambil melirik, tan-
gannya terus memutar batok kelapa di tangan.
Penjudi lain tak ketinggalan memasang. Pada meja
yang sama, pada angka berbeda.
Selanjutnya....
Prak! Batok kelapa telah ditelungkupkan di atas meja.
Tangan sang Bandar siap mengangkatnya. Penjudi lain, termasuk pemuda berbaju
hijau pupus boleh menunggu
angka berapa yang bakal keluar. Yang lain mungkin
menatap dengan mata sesak harap. Namun tidak untuk
si anak muda. Dia tenang-tenang saja memainkan kan-
tong uang di depannya.
Mata sang Bandar melirik sebentar ke angka-
angka di atas meja.
Sedangkan pemuda berpakaian hijau pupus justru
melirik wajah lelaki Bandar yang memegang batok kela-pa. Bibirnya sedikit
terungkit manakala menyaksikan
bersit kecurangan melintas di mata orang yang dilirik.
Pada saat itu, sang Bandar memang sedang me-
nyalurkan tenaga dalam ke tangan. Pendengarannya
yang cukup tajam dimanfaatkan untuk menentukan su-
ara amat halus yang begitu di hapalnya. Perbedaan sua-ra gesekan permukaan dadu
pada meja, membuatnya
sanggup menentukan angka mana yang bakal muncul.
Selain sang Bandar dan pemuda berbaju hijau pupus,
tak ada yang bisa menangkap gesekan sehalus itu. Bu-
nyinya bahkan lebih lembut dari suara sayap seekor le-bah kecil.
"Angkatlah!" ujar si perlente tak sabar.
Di antara yang Iain, wajah lelaki ini paling tegang.
Sebab, ini taruhan terakhirnya. Kalau tak berhasil menang, habislah harapannya.
Istrinya yang menumpang
di rumah mertua bakal menceramahinya seumur hidup.
Batok kelapa dibuka.
Bukan alang kepalang terperanjatnya Bandar dan
tiga lelaki di dekat pemuda berbaju hijau menyaksikan biji-biji dadu masih
berputaran liar. Berputar pelan saja sudah mustahil. Apalagi berputarnya
demikian cepat!
Cepat sang Bandar menyadari, ada seseorang yang
mengusili siasatnya. Kecurangannya diketahui. Dan ca-ra itu pasti untuk
menelanjangi kelicikannya.
Dari biji-biji dadu yang masih berpusing liar, mata
sang Bandar beralih pada anak muda yang justru me-
masang wajah tak bersalah. Begitu asyik putaran dadu diperhatikan dengan bibir
tak lekang dari senyum.
Tahulah kini sang Bandar kalau anak muda itulah
yang menjajal tenaga dalamnya. Geram sekali hatinya.
Tanpa terlihat, disalurkannya lagi tenaga dalam dari telapak tangannya.
Putaran dadu melambat. Melambat dan kian me-
lambat. Sang Bandar ganti tersenyum, mengejek pemu-
da berpakaian hijau. Dikiranya dadu akan segera berhenti pada angka yang
ditentukan. Itu artinya dua kemenangan. Satu untuk kemenangan pamer kekuatan,
dua untuk kemenangan taruhan.
Namun bila sang Bandar mengira bakal unggul yang je-
las keliru! Begitu ketiga dadu hampir berhenti berputar, mendadak saja
putarannya meningkat kembali. Lebih
menggila dari sebelumnya. Lebih hebat dari putaran
gangsing. "Bangsat...," desis sang Bandar dalam hati. Rasanya dia begitu ditantang oleh
anak muda di dekatnya.
Untuk kedua kalinya, sang Bandar memompa te-
naga dalam ke dadu melalui meja. Sebelumnya memang
terlihat putaran dadu melambat. Sekali ini, malah tidak.
Dicobanya lagi. Putaran dadu hanya berubah sesaat. Selanjutnya makin tak
terkendali! Sang Badar penasaran. Kekuatan tenaga dalamnya
merasa ditantang habis-habisan. Maka habis-habisan
pula dikerahkannya.
Tiga lelaki lain terpana-pana menyaksikan keganji-
lan di atas meja. Wajar saja, karena ketiganya memang sama sekali awam dengan
tenaga dalam. Pengerahan tenaga dalam yang terus digenjot oleh
sang Bandar tak cukup berarti. Ketiga dadu di atas piring kayu malah makin hebat
berpusing. Sang Bandar berkutat dengan tenaga dalamnya
sendiri. Sementara itu pemuda berbaju hijau tak tampak
melakukan apa-apa. Sikapnya masih tetap tenang sam-
bil memainkan sudut bibirnya. Bahkan mulai pula men-
cukil-cukil telinga dengan jari kelingking.
Sedang buat sang Bandar sendiri, keringat sebesar
ujung kelingking perlahan bersembulan, membanjiri
kening dan lehernya. Tenaga dalamnya benar-benar ha-
bis-habisan dikerahkan. Sesaat lagi, pengerahannya
akan sampai puncak. Tapi, tak ada yang berubah. Da-
lam hati, di kutuknya pemuda itu dengan serangkai caci maki terkotor. Siapa anak
muda ini" Kenapa begitu enteng menghadapi tenaga dalam yang sudah nyaris di ku-
rasnya" Sampai akhirnya, mulai merebak asap tipis di seke-
liling dadu. Kekuatan putaran itu telah membuat gesekan hebat antara dadu dengan
piring kayu. Bila gesekan makin sengit, maka panas pun menanjak terus. Tak heran
bila asap tipis muncul.
Tak lama berikutnya, bukan lagi asap tipis yang mengepul. Bressshhh!
Dalam sekejap, api telah memangsa ketiga dadu.
Piring kayu telah berlubang pada tiga bagian yang masing-masing api menjilat
kecil. "Utsss...!"
Brakkk...! Kala yang bersamaan, sang Bandar tersentak ke be-
lakang. Kursinya ambruk terpatah. Dia terpuruk di lantai. Nafasnya terengah-
engah tak beraturan. Dengan ra-sa lemas menggerayangi segenap persendian, dia
bang- kit susah payah.
"Heiii, aku menang!" seru pemuda berbaju hijau seraya melonjak girang.
Tiga dadu yang hampir hangus telah memperli-
hatkan angka. Tentunya, angka yang dipasang pemuda
itu. Lalu, diraup keping-keping uang di atas meja, di bawah tatapan kosong
ketololan tiga lelaki di sekeliling-nya. "Siapa kau?" tanya sang Bandar.
Bandar ini mulai menyadari kalau dirinya tengah
berhadapan dengan salah satu 'naga' dunia persilatan.
Sementara dia sendiri bukanlah apa-apa. Tenaga da-
lamnya mungkin hanya seujung kuku kemampuan si
pemuda. Pertanyaan sang Bandar tak mendapat sambutan.
Di samping pemuda itu tak mau menjawab, ada pula
sebab lain. Pintu gubuk reot tiba-tiba ambrol secara aneh. Pecahan daun pintu
berhamburan ke luar ruangan. Jelas, ada tenaga yang menghantamnya dari luar.
Dan semestinya, daun pintu terhambur ke bagian dalam ruangan.
Hanya satu pikiran yang terbetik di benak pemuda
berbaju hijau. Ada orang lain yang mau turut ambil bagian dalam unjuk kesaktian
di gubuk reot itu....
*** 5 Dua sosok memasuki gubuk perjudian. Kesemua-
nya lelaki. Mereka tak lain Tendangan Bayangan Seribu dengan lelaki tinggi besar
yang telah mencederai Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak.
Dari wajah, tampak betapa yakinnya mereka ma-
suk tempat perjudian ini. Seakan, mereka tahu sesuatu yang dikehendaki berada di
sana. Semua orang di pinggir meja judi mengalihkan
pandangan. Bersamaan mereka menatap kedua lelaki
pendatang baru. Suasana jadi legang mencekik. Sepi.
Bahkan sisa debu kayu jatuh pun mungkin terdengar


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemerisiknya. Kecuali pemuda berpakaian hijau, lelaki di meja ju-
di terpaksa harus lebih lama terpana. Sebelumnya me-
reka terbengong-bengong menyaksikan dadu 'ajaib'. Sekarang menyaksikan pintu
berantakan secara 'ajaib' pu-la. Takutnya, di antara mereka ada yang sakit
jantung. Bisa-bisa mati berdiri dengan mata membeliak dan mu-
lut menganga. Kesialan tiga bajingan buduk yang petantang-
petenteng di kedai tadi belum selesai. Selagi mematung dengan raut wajah tolol
kelewatan, tangan besar lelaki seperti Bima mencengkeram kerah baju mereka satu
persatu, lalu dilempar ke luar gubuk. Enteng, bagai melempar sekaleng kerupuk
kulit. "Wuaaa!"
Di luar, terdengar teriakan kacau. Mereka kontan
pontang-panting melarikan diri sambil terus menjerit-jerit tak karuan. Mudah-
mudahan tak ada yang jadi
sinting! Sementara lelaki perlente dan sang Bandar pun
bakal mendapat giliran. Begitu tiba giliran lelaki per-
lente, orang kurus berpakaian mencolok itu mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Terima kasih, terima kasih! Aku bisa melakukan-
nya sendiri!" ucap lelaki perlente, cengengesan seraya berlari keluar.
Sebelum tiba di pintu, lelaki itu melompat seken-
cang-kencangnya, kemudian jatuh berdebam di luar.
Dia lebih suka membuang diri sendiri, ketimbang harus dilempar keluar secara
mengerikan seperti yang lain.
Kini tinggal pemuda berpakaian hijau. Sikapnya tetap tak peduli. Terus saja
telinganya dikorek-korek dengan asyik. Wajahnya meringis-ringis sesekali.
"Cara kalian masuk tak punya tata krama," kata pemuda ini.
Dua lelaki itu menatapnya. Tajam-tajam, seakan
ingin menelannya hidup-hidup.
"Apa kalian tak bisa mengetuk pintu dulu" Atau, kalian ingin agar aku mengajari
kalian sedikit sopan-santun?"
Ucapan pemuda itu tetap tak digubris.
"Hei, hei!" Dengan lagak tengik, pemuda ini melambai-lambaikan tepat di depan
wajah dua lelaki yang terus mengawasinya tanpa gemik.
"Aku tidak bicara dengan monyet-monyet hilang
ingatan, bukan?" tukasnya meninggi.
Dongkol juga rupanya anak muda itu, karena di-
anggap sekadar kentut.
Dari diamnya, si lelaki tinggi besar mendadak
membuat gerakan. Telapak tangannya dihadapkan ke
arah meja judi. Saat itu juga, meja bergeser ganas. Bahkan mencoba menanduk si
pemuda. Jarak yang demi-
kian dekat, membuat pemuda itu tak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terseret
cepat. Brak! Bersama meja. pemuda berpakaian hijau menjebol
dinding kayu gubuk. Tubuhnya terus terbawa sampai di dekat pohon besar, lalu
terjepit. Himpitan meja teramat kuat. Pada jarak yang begitu jauh, lelaki tinggi
besar masih bisa mengatur tenaga dalamnya pada meja.
Sungguh permainan kekuatan yang luar biasa!
Sementara, pemuda berpakaian hijau meringis da-
lam himpitan pohon besar dengan meja di perutnya.
"Hei" Apa kalian hendak menggagahi ku. Sebaiknya kalian kuberitahu, aku ini
lelaki lho!" celoteh si pemuda seenak perut. Rasa sakit luar biasa di perutnya
seperti tak pernah dirasakan. Matanya kemudian terpejam. Tak lama berselang,
meja judi yang menjepit meluncur kembali ke tempat semula. Geraknya tersendat-
sendat. Sebentar meluncur ke arah gubuk, sebentar kemudian me-
luncur kembali ke arahnya.
Tak pelak lagi, adu tenaga dalam terjadi. Berbeda dengan kejadian dadu di atas
meja, sabung tenaga dalam
kali ini tidak main-main. Dua kekuatan tenaga dalam
tingkat tinggi sedang berlangsung.
*** Sabung tenaga dalam antara anak muda berpa-
kaian hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor melawan lelaki tinggi besar di
kedai masih berlangsung. Jarak yang cukup berjauhan, tak menyulitkan keduanya
untuk saling menyalurkan tenaga dalam ke meja.
Ajang adu kesaktian makin memuncak. Sementara
tekanan berat dari dua arah berlawanan, menyebabkan
meja tak kuat bertahan lebih lama. Lalu....
Brak! Hancurlah meja bundar untuk ajang perjudian itu.
Kepingannya berhamburan sederas peluru. Sebagian
menancap di dinding gubuk, sebagian lain menembus
pepohonan. Kalau saja ada orang tak cukup memiliki
ilmu kedigdayaan, tentu akan menjadi korban.
"Nah! Selesai sudah main-main kita," ujar Pendekar Slebor.
Keringat mengkuyupi sebagian pakaian Andika. Di-
akui, tenaga dalam lelaki tinggi besar barusan tergolong amat sulit dilawan.
Pengerahan tenaga dalam warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh telah dike-
rahkan. Namun tak ada tanda-tanda lawan akan terde-
sak. Kalau lebih dari setengah kemampuan tenaga da-
lamnya sudah dikerahkan seperti itu, bisa dinilai kehebatan lawannya yang
mungkin setingkat dengan tokoh-
tokoh jajaran atas. Atau malah lebih tinggi. Andika masih sulit menentukan.
Sementara dari gubuk tak mengeluarkan seorang
pun dari sana. Andika bersiaga. Dikiranya lawan akan melakukan
sesuatu yang gila lagi. Mungkin serangan susulan yang lebih hebat. Serangan yang
bisa membuatnya cukup kalang-kabut, mengingat kesaktian lawan masih belum
dapat di ukurnya.
Ditunggu sekian lama, tak juga ada serangan. Ba-
tang hidung dua lelaki tadi pun tak dilihatnya.
Si pendekar muda godokan Lembah Kutukan jadi
tak sabar. "Kalian rupanya mau main kucing-kucingan, heh!"
rutuk Andika dongkol setengah mampus.
Sifat usil Pendekar Slebor pun menjangkit. Otak-
nya berkutat sejenak. Dan ditemukannya cara konyol
untuk mengakhiri kucing-kucingan menyebalkan itu.
"Heaaa!"
Sekuat tenaga pemuda urakan itu meregangkan
otot tenggorokannya. Wajahnya sampai mematang kare-
nanya. Siapa pun yang mendengar teriakan menggelegar barusan akan menyangka
pemiliknya sedang murka.
Tentu pula akan disusul amukan menggila.
Tapi, yang dilakukan Pendekar Slebor selanjutnya
justru tak ada. Dia hanya berteriak panjang dan keras di tempatnya berdiri. Lalu
dengan sedikit mengatur tenaga dalam, Andika membuat teriakan-nya bergerak ke
arah gubuk. Dengan cara itu, ada kesan kalau dirinya sedang berlari liar menuju
gubuk. Brosss...! Brosss...!
Akal bulus Andika membawa hasil. Dua lelaki di
dalam sana mendadak saja keluar menjebol wuwungan.
Sungguh mati, disangka akan ada serangan maha hebat
menuju mereka. Karena itu mereka berusaha menghin-
dar dengan melompat sebisa-bisanya ke atas.
"He he he!"
Pendekar Slebor terkekeh menyaksikan dua lelaki
bertengger di atas wuwungan dengan wajah agak terhe-
ran-heran. Selanjutnya wajah mereka berubah gusar,
setelah tahu kalau baru saja dikadali pendekar muda
berotak encer! "Ngomong-ngomong, kalian ini siapa" Kenapa tiba-tiba saja mengusili keasyikan
ku?" tanya Andika. La-gaknya seolah-olah tak punya dosa.
"Kami tak butuh untuk memperkenalkan diri pa-
damu, Pendekar Slebor!" seru Tendangan Bayangan Seribu, pongah.
"Hei" Rupanya kau kenal aku! Pasti kau salah seorang pengagum ku, bukan"!"
"Kami punya kepentingan padamu, Pendekar Sle-
bor!" terabas lelaki berperawakan seperti Bima, tak ingin menggubris ocehan
ngawur Andika. "Kalian punya kepentingan" Ah! Kalau aku sih tidak!" "Jangan main-main! Kami
minta kau mengantar kami ke Lembah Kutukan!"
"Kalian pasti sinting! Kenal saja belum, tapi bisa-
bisanya yakin kalau aku akan mengantarkan kalian ke
Lembah Kutukan...."
Wajah Andika tiba-tiba terbengong. Anak sapi ma-
sih kalah jelek dari tampangnya saat itu.
"Kalian tadi bilang Lembah Kutukan?" tanya Pendekar Slebor, baru terperangah
karena telat mikir. "Apa kalian mengigau" Ya ya, pasti kalian mengigau di siang
bolong!" Memang, Lembah Kutukan bukan tempat asing
buat Pendekar Slebor. Di sanalah penyempurnaan ke-
pendekarannya dijalani. Di sana pula dia dipaksa amukan lidah petir untuk
menciptakan jurus-jurus anehnya.
Juga, di tempat tersebut Andika memakan buah 'inti petir' yang menyebabkan
tubuhnya bisa menyerap kekua-
tan petir! Biar bagaimanapun, tempat itu telah membuat
Andika kapok. Biar dipaksa setan belang sekalipun, tak bakalan sudi kembali ke
sana. Sebab, hanya orang tak waras yang berniat datang ke tempat itu. Begitu
pikir Andika. Kalaupun dulu didatanginya juga, itu semata
karena mesti menjalani penyempurnaan kesaktian. (Un-
tuk lebih jelasnya; baca episode 'Dendam dan Asmara')
"Hei, aku ingat sekarang! Kalau begitu, kalianlah yang mengundang aku untuk
datang ke tempat ini!" tukas Andika begitu terbersit ingatan di benaknya.
Tiga hari lalu, Pendekar Slebor memang telah
mendapat kabar dari seorang utusan tak dikenal untuk datang ke tempatnya
sekarang di pinggiran Karisidenan Karawang. Kata utusan itu, ada hal amat
mendesak yang harus diketahui. Maka Andika pun berusaha da-
tang, dan sampai ini hari.
"Bukan urusanmu, apakah kami mengundangmu
atau tidak! Sekarang, jawab permintaan kami. Apakah
kau akan mengantar kami memasuki Lembah Kutu-
kan"!" tukas lelaki seperti Bima.
"Ooo," Andika menggelengkan kepala berkali-kali dengan mulut monyong. "Aku tak
akan datang lagi ke sana. Aku sudah bersumpah. Sampai mampus tak sudi
lagi kembali ke sana!"
"Kalau begitu, kau akan kami paksa!" tandas Tendangan Bayangan Seribu. Andika
terkekeh. "Memaksa?" tanya Andika dengan wajah mencemooh.
"Ya!"
Andika terkekeh lagi. Makin menjengkelkan.
"Jangan...," katanya. "Kalian akan membuang tenaga percuma memaksaku memasuki
tempat itu. Aku
sudah kapok! Kapok, tahu"!"
Si anak muda urakan, terlihat sengit sekali. Wa-
jahnya cepat berubah, menampakkan kedongkolan.
"Kalau kalian mau pergi ke sana, pergilah sendiri.
Kalau kalian mau menjadi gila, kusarankan masuklah
ke tempat itu. Tempatnya... ihhh...."
Andika bergidik. Bahunya terangkat. Nyalinya se-
bagai seorang pendekar memang besar. Tapi untuk uru-
san satu itu, dia sudi dibilang pengecut sekalipun!
"Kalau begitu, aku permisi dulu ah...," kata anak muda itu acuh, hendak beranjak
seenak perutnya. Ta-pi.... Wrrr! Jleg!
Tendangan Bayangan Seribu sudah berkelebat dan
berdiri menghadang Andika. Dari sikap berdirinya tampak sekali kalau pemuda
sebaya Andika itu sudah siap tarung.
"Kau...," sungut Andika. "Jangan halangi jalanku!"
"Antarkan kami memasuki Lembah Kutukan. Sete-
lah itu, barulah kau akan bebas!"
Andika melotot.
"Apa ibumu lupa membersihkan telingamu waktu
kau kecil?" tanya Andika sambil menggeleng-geleng.
Pendekar Slebor lantas maju satu tindak, sambil
memajukan wajahnya. Telapak tangannya ditegakkan di
samping mulut. Lalu....
"Aku tidak mau mengantar kalian ke tempat itu!"
teriak Andika. Pendekar muda yang sulit ditebak itu lantas hen-
dak melangkah lagi.
"Kau terlalu memaksa, Pendekar Slebor. Hih!"
Mendadak saja, Tendangan Bayangan Seribu men-
jegal langkah Pendekar Slebor. Kakinya membabat me-
nyamping ke arah leher. Cepatnya seperti sapuan kilat.
Wukh! Namun Andika bukan bocah buduk. Jangankan
tendangan kilat. Kilat sebenarnya saja sudah pernah di-hadapinya, sewaktu di
Lembah Kutukan, tempat yang
membuatnya kapok itu. Dengan sekali beringsut ke ba-
wah, tendangan itu sudah berhasil dihindari.
"Menurutmu, aku yang terlalu memaksa atau ka-
lian?" tanya Pendekar Slebor masih dalam keadaan ber-jongkok.
"Keparat!"
Wukh, wukh! Seruntun tendangan pemuda berbaju kumal men-
cecar Pendekar Slebor. Dengan tangan di belakang tu-
buh, Andika berkelit ringan kian-kemari. Sementara itu, mulutnya terus mengoceh.
"Tendangan mu sudah bagus. Tapi kalau kau beri tekanan sedikit pada kuda-kudamu,
pasti akan lebih
bagus," puji Pendekar Slebor, namun seperti mendikte ketika suatu kali lawan
menghentakkan kaki ke arah
kepalanya. Dari bertahannya, Pendekar Slebor menggebrak.
Kakinya bergerak cepat, menandingi kecepatan kaki andalan Tendangan Bayangan
Seribu. Hasilnya....
Desss...! Brukkk! Tendangan Bayangan Seribu ambruk. Sebelah kaki
pertahanannya berhasil disapu Andika. Keseimbangan-
nya jadi hilang. Dan mulutnya hanya mendesis geram.
"Tuh.... Ku bilang juga apa...," kata Pendekar Slebor santai.
"Keparat!"
Tendangan Bayangan Seribu mengkelap. Dia mera-
sa benar-benar dilecehkan. Cepat-cepat pemuda kumal
ini bangkit. Hendak di genjotnya jurus-jurus andalan.
Maka, jurus-jurus berbahaya yang dipergunakan
Tendangan Bayangan Seribu untuk menggempur Raja
Arak pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kemban-
gannya dimainkan teramat cepat dan lincah.
Sementara Andika sempat kagum juga melihatnya.
Tentu tak akan mudah untuk menghadapi jurus sema-
cam itu.

Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heeeaaa!"
Tendangan Bayangan Seribu menghambur lagi. Ke-
dahsyatan serangannya sudah berlipat ganda dari se-
mula. Sepasang kakinya berubah menjadi senjata maut.
Setiap kibasan, bisa menghancurkan batuan sungai!
Serangan baru pemuda itu dilakukan dengan mele-
pas tendangan ganda ke beberapa bagian tubuh lawan
yang mematikan. Untuk serangan itu, tentu saja cukup menyulitkan Pendekar
Slebor. Jika satu titik tubuhnya bisa diselamatkan, maka titik lain akan
terancam dalam selang waktu sedemikian sempit.
Namun, perhitungan Tendangan Bayangan Seribu ma-
sih terlalu mentah. Salah satu kemampuan
Pendekar Slebor yang justru dikagumi dunia persilatan adalah kecepatan
bergeraknya yang menakjubkan. Banyak yang membanding-bandingkan kecepatannya
den- gan kecepatan dedemit telat buang air!
Kalau musuh lain mungkin menghindar sekaligus
membuang diri sejauh-jauhnya dari jarak jangkauan
kaki Tendangan Bayangan Seribu. Maka Pendekar Sle-
bor malah sengaja diam di tempat. Hanya tangan dan
kakinya yang berkelebatan ngabur. Andika tak menge-
luarkan jurus apa-apa. Tidak juga jurus sakti yang tercipta di Lembah Kutukan.
Yang dilakukan hanya me-
musatkan ingatannya pada saat dia sungsal-sumbel
menyelamatkan diri dari gempuran lidah petir di Lem-
bah Kutukan. Dan itu menghasilkan jurus dadakan yang ganjil
sama sekali. Kaki dan tangannya seperti hendak kusut saat itu juga. Tapi
anehnya, tak ada satu pun tendangan kilat lawan yang berhasil menembus!
Sebelum kekalapan Tendangan Bayangan Seribu ter-
lampiaskan, lelaki seperti Bima di atas wuwungan ber-suit nyaring!
Wajah pemuda kalap tadi menjadi ketat. Giginya
bergemeretuk. Suitan tadi isyarat dari kawannya untuk pergi dari tempat ini
secepatnya. Padahal, darahnya sudah sampai ke ubun-ubun.
Terpaksa akhirnya Tendangan Bayangan Seribu
menyingkir juga dari tempat itu. Pergi, sebelum keingi-nannya terpenuhi.
*** 6 Apa yang menyebabkan dua lelaki bejat tadi me-
nyingkir" Pendekar Slebor baru menyadari setelah da-
tang tiga orang dari arah berbeda.
Dua orang datang bersama-sama. Mereka tak lain
Bidadari Cakram Terbang dan si Raja Arak. Tubuh me-
reka masih limbung akibat luka dalam. Darah di pa-
kaian sudah mengering. Tampaknya selama Andika be-
rurusan dengan dua lelaki tadi, mereka berusaha men-
gatasi luka dalam masing-masing.
Seorang lagi dari arah berbeda belum lagi diketahui.
Tapi kelihatannya adalah lelaki uzur. Itu terlihat dari rambut panjang berbalut
kain putih dan jenggot yang telah memutih rata. Pakaiannya seperti jubah biksu.
Hanya warnanya coklat, sudah agak kusam.
"Kau yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak Muda?"
sapa orang tua berjubah biksu.
Sementara Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak
pun mengajukan pertanyaan sama.
Andika melirik sebentar.
"Mimpi apa aku semalam" Kenapa hari ini tiba-tiba saja banyak orang yang
mencariku" Apa ada tengkulak
kolang-kaling yang mengaku-aku dengan julukanku"
Slompret sekali!" gumam Andika.
"Anak muda! Apa kau Pendekar Slebor?" ulang orang tua berjubah biksu.
"Ya ya ya...," sahut Andika akhirnya, ogah-ogahan.
"Bagus!"
"Bagus apanya?" gerutu Andika, sebal. Kalau terus begini, Andika merasa jadi tak
leluasa bergerak. Ke sana sulit. Ke sini sulit.
"Perkenalkan.... Aku Kaki Angin Barat!" lanjut orang tua berjubah biksu.
Raja Arak yang baru tiba pun terkejut. "Kau Kaki Angin Barat" Ki Mahesa" Guru
Tendangan Bayangan
Seribu?" tanya lelaki buncit itu beruntun seperti tak percaya.
"Ya, Saudara. Kau ini siapa?" Kaki Angin Barat atau Ki Mahesa balik bertanya.
"Ah! Aku bukan siapa-siapa. Yang jelas, aku hanya orang persilatan yang merasa
mendapatkan kehormatan
biasa berjumpa dengan dua tokoh besar sekaligus. Kau, Ki Mahesa. Dan Saudara
Pendekar Slebor...."
Andika sekarang melirik Raja Arak. Bisa-bisanya
dia memuji, sungut Andika membatin.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Andika dengan keingintahuan yang
sudah sejak tadi mem-
bludak. Maka begitu ada kesempatan untuk bertanya
pada orang yang sedikit lebih bersahabat, langsung di-lakoninya.
"Biar aku jelaskan, Saudara Andika." sela Bidadari Cakram Terbang.
"Kau siapa?"
Andika menemukan wajah manis wanita itu. Si-
kapnya dijamin berubah sempurna. Dari wajah jengkel, sekarang sarat dengan
senyum ramah. Memang begitu
adatnya! "Panggil aku Kemuning," jawab Bidadari Cakram Terbang, menyebutkan nama aslinya.
"Nama bagus. Di mana tinggalmu" Kalau boleh, aku bisa mengantarmu pulang. Kau
Pemikat Iblis 2 Gento Guyon 1 Tabib Setan Gelang Kemala 9
^