Pencarian

Siluman Hutan Waringin 3

Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin Bagian 3


"Bagaimana bila kau memberi kesempatan kepada kami untuk mencarinya" Bila
bertemu dengannya, kami akan memberitahukannya," tawar Angling Srenggi, buru-
buru untuk menghindari pertarungan.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali! Itu lebih baik!"
"Tetapi, ada masalah apakah kau dengan Pendekar Slebor?"
"Untuk apa kau tahu, hah"!" Abirawa malah membentak.
"Sekadar bila berjumpa dengannya, kami bisa menentukan sikap. Apakah harus
mengatakan pesanmu ini, ataukah langsung meringkusnya."
Ternyata, Abirawa terlalu mengandalkan kekuatan
jasmaninya. Terbukti, dengan mudahnya dia termakan kata-kata Angling Srenggi.
"Manusia keparat itu telah membunuh kakak
seperguruan guruku yang berada di dalam tandu
keemasan itu. Dia tak akan pernah kami biarkan hidup terlalu
lama. Karena, guruku bermaksud untuk membalaskan sakit hati kakak seperguruannya," jelas si Pencabut Nyawa penuh
kegeraman. "Siapakah kakek seperguruan gurumu itu, Abirawa?"
tanya Angling Srenggi semakin tertarik. Dia tidak merasa heran bila Pendekar
Slebor banyak dimusuhi orang dari golongan sesat.
"Hhhh! Namanya Wedokmurko yang berjuluk Manusia Pemuja Bulan!" sahut Abirawa.
(Untuk mengetahui siapakah Wedokmurko, silakan baca: 'Manusia Pemuja Bulan'. Dan
untuk mengetahui matinya Wedokmurko.
silakan baca : 'Cingin Berlumur Darah').
Angling Srenggi menggangguk-angguk.
"Baiklah.... Kalau begitu, kami pun akan membantumu untuk meringkusnya.
. "Ha... ha.. ha. .!"
Tertawalah Abirawa, seolah menutupi panas yang
terus meranggas.
"Bagus! Kalian kuizinkan untuk meninggalkan tempat ini!" kata si Pencabut Nyawa
seraya berbalik.
"Berangkat!"
Sepasang Tasbih Kepalan Batu menyingkir, membiarkan rombongan itu lewat. Ketika tandu keemasan
itu lewat, terlihat sedikit celah. Namun, masih bisa dipergunakan untuk melihat
isi tandu. Sepasang Tasbih Kepalan Batu tercengang. Karena di dalam tandu terlihat satu
sosok tubuh berparas tak ubahnya bidadari! Wanita itukah yang dijuluki Dewi
Sutera" Tetapi mereka tak merasa perlu untuk mempermasalahkan, siapa wanita jelita di tandu itu. Yang pasti sekarang, mereka
harus segera mencari Pendekar Slebor. Karena, ancaman demi ancaman terhadap
pendekar sakti itu akan semakin menyulitkan mereka, untuk meminta bantuan
Pendekar Slebor dalam mengobati Ki Mahesa Luwing.
Tapa Srenggi memanggil Minanti yang keluar dengan tubuh berkeringat. Meskipun
sinar matahari tidak tepat mengenainya yang bersembunyi di balik batu besar,
namun hawa panas telah membuatnya berkeringat.
"Kang Tapa... ini bahaya sekali...."
Begitu kata-kata pertama gadis itu muncul di hadapan Sepasang Tasbih Kepalan
Batu. Minanti tadi telah mendengar seluruh percakapan dan langsung mengam-bil
kesimpulan, kalau ada seromhongan orang gagah yang hendak membunuh Pendekar
Slebor. "Bila Pendekar Slebor disibukkan oleh mereka.
kemungkinan besar kita akan gagal meminta bantuannya untuk menghancurkan Siluman
Hutan Waringin dan
mengobati penyakit guru kalian...," lanjut gadis itu.
"Kau benar, Minanti," sahut Tapa Srenggi. "Kita memang harus secepatnya
menemukan Pendekar Slebor.
Tetapi. di manakah dia bisa ditemui?"
Tak ada yang bersuara.
*** Rombongan yang dipimpin Abirawa terus melangkah.
Hingga beberapa penanakan nasi kemudian, malam pun menjelang. Bayangan Bukit
Menjangan terlihat jelas, meksipun tertutup kabut yang semakin turun.
Dalam jarak ratusan tombak dengan Bukit Menjangan
rombongan itu berhenti. Abirawa" berlari mendekati tandu keemasan itu, lalu
berlutut. "Dewi Guru, kita sudah tiba di Bukit Menjangan,"
lapornya. "Abirawa......"
Terdengar suara halus penuh pesona, seperti
mengandung kekuatan sihir.
"Kita urungkan untuk membuat pemukiman disini.
Karena menurut penglihatanku. Pendekar Slebor akan segera muncul. Kita berangkat
kembali!" ujar suara dari balik tandu.
Tanpa banyak cakap, Abirawa segera menyetujui. Dan rombongan itu pun berputar
arah kembali. *** 8 Duuuaaarrr! Ledakan yang terdengar sangat keras, membuat
Pendekar Slebor yang baru saja melepaskan pukulan tercengang-cengang. Ternyata
pohon besar yang jadi sasaran menjadi serpihan semacam butiran debu,
terhantam sebuah pukulan yang tak nampak. Bahkan pemuda ini melakukannya tanpa
mengeluarkan tenaga kuat."Eyang!" serunya terkejut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Tidak usah heran. Ajian bangsa siluman memang sangat hebat, Bor! Kau kinisudah
menguasai ajian bangsa siluman...," jelas si tua bangka.
"Tunggu!" cegah Andika, mengangkat tangannya.
"Kenapa?" tanya Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa, kenapa?" tukas Pendekar Slebor, memaki jengkel. "Aku yang harus
bertanya. Kenapa sih kau memanggilku 'Bor' 'Bor' saja! Namaku Andika! Lebih
cakep dari namamu, tahu"! Enak saja main panggil 'Bor', 'Bor'
saja!"Mendengar bentakan Andika itu, Eyang Sasongko Murti justru terkekeh-kekeh.
"He he he.... Panggilan itu lebih cocok untukmu!"
Andika menggerakkan tangan kanannya. Wuuusss!
Scrangkum pusaran angin panas menderu ke arah
Eyang Sasongko Murti. Terpaksa si tua bangka urakan ini melompal-lompat seperti
monyet kebakar ekomya.
"Busyet! Bor! Aku bisa mati nih!"
"Ah tinggal dikubur ini! Lagian sudah bau tanah....
He... he. . he.. !" seru Andika enteng sambil terkekeh-kekeh.
Kini Pendekar Slebor benar-benar yakin, kalau ajian bangsa siluman yang
dipergunakannya sangat ampuh.
Bahkan melebihi ajian-ajian dari Lembah Kutukan! Hanya bedanya. ajian bangsa
siluman dapat memukul makhluk halus, sementara ajian dari Lembah Kutukan
meskipun mampu digunakan untuk memukul makhluk halus, namun tak sedahsyat seperti ini.
Eyang Sasongko Murti yakin kalau Pendekar Slebor semata ingin menguji keampuhan
ajian bangsa siluman yang baru dipelajarinya. Maka dia melayani.
"Tekan napasmu di dada! Jangan tarik dalam tiga hentakan, tetapi padukan menjadi
satu!" seru si tua ini.
Andika pun menuruti kata-kata itu. Tiba-tiba dirasakannya sesuatu yang membangkitkan kelembutan di dirinya. Bahkan terlihat
gerakannya tidak sekasar pertama saat menyerang Eyang Sasongko Murti tadi.
"Kekuatanmu saat menggunakan ajian ini ada di mata, yang sekaligus merupakan
kelemahanmu!"
"Bagaimana kalau orang mcncolok mataku, Eyang?"
tanya Andika sambil terus menyerang.
"Ya, buta!" sahut si tua, seenaknya.
"Sialan!"
Ajian bangsa siluman itu pun diperlihatkan mereka.
Sehingga dalam beberapa saat saja, tanah yang dipijak terasa bergetar. Bahkan
terasa hingga ke jantung.
"Sekarang kamu putar tubuhmu ke kiri, Bor! Sambil berputar, lakukan Tapa Geni!
Waktumu hanya beberapa kejap!"
Tapa Geni adalah tapa tanpa memperlihatkan api.
Namun, Tapa Geni yang dimaksud Eyang Sasongko Murti berarti, Andika harus
memusnahkan hawa panas yang berada dalam tubuhnya. Bagi Pendekar Slebor yang
memang telah menguasai ajian-ajian tangguh dari Lembah Kutukan, hal itu sangat
mudah dilakukan.
Tiba-tiba terjadi perubahan mengerikan. Karena
mendadaksaja, tubuh Andika membubung tinggi hingga setinggi pohon kelapa!
"Ajian itu bernama 'Ajian Rubah Jasad', yang hanya dimiliki
bangsa siluman saja! Kalaupun manusia memilikinya, lebih cenderung pada ilmu sihir!" jelas Eyang Sasongko Murti,
berseru. Namun mendadak saja Andika menjejakkan kakinya
ke arah Eyang Sasongko Murti. Mau tak mau si tua cerewet ini memaki-maki
terkejut sambil menghindari serangan.
"Tutup!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Eyang Sasongko Murti yang keras sambil
menggerakkan tangannya.
Mendadak saja tubuh raksasa Pendekar Slebor
terhuyung ke belakang. Ketika hampir saja terhempas ke bumi, tiba-tiba perubahan
jasadnya terjadi kembali. Kali ini, tubuhnya terhempas setelah berubah seperti
sedia-kala dan tak bisa lagi menggunakan ajian bangsa silumannya.
Kini ganti Eyang Sasongko Murti yang terkekeh-kekeh.
"Sok tahunya kau ini! Baru saja kubuka jalan ajian siluman yang kau miliki,
sudah sok!"
Andika mengusap-usap kepalanya sambil nyengir.
"Kini kuakui, ajian bangsa siluman sangat mengerikan. Aku lebih senang bila bisa menggunakannya seeara mendadak saja.
Maksudku, bila terdesak atau bagaimana. Karena. aku tidak ingin membunuh orang
dengan ajian siluman ini, bila tidak terpaksa. Itu pun, haruslah orang dari
golongan sesat yang banyak membuat onar di muka bumi ini!" puji Pendekar Slebor.
"Bagus! Itulah sebabnya aku bersedia menurunkan ajian bangsa siluman ini
kepadamu!" Eyang Sasongko Murti balas memuji.
"He he he.... Bisa, bisa kau kalah denganku, Eyang?"
seloroh Andika sambil berdiri kembali.
"Sudah, sudah! Malam semakin membentang. Bulan tepat di kepala kita! Aku mencium
sesuatu yang sangat kukenal! Sesuatu yang membuat kita harus berhati-hati!
Jangan kaget kalau mendadak saja kau mampu
menggunakan ajian bangsa siluman itu!" ujar si tua itu.
Werrr.... Baru saja kata-kata Eyang Sasongko Murti habis, tiba-tiba terlihat beberapa buah
bola api yang panas menderu-deru cepat ke arah mereka. Seketika hutan pekat itu
terang benderang!
Mereka tersentak dan secara serempak bergulingan
kalau tidak ingin tcrbakar hidup-hidup. Namun bola-bola api itu terpecah menjadi
dua bagian. Dan masing-ma-sing memburu ke arah Pendekar Slebor dan Eyang
Sasongko Murti. Seketika, mereka terpaksa bergulingan ke sana kemari.
"Busyet! Siapa sih, yang sedang main bola api ini?"
maki Pendekar Slebor sambil mengebutkan kain pusakanya. Crasss! Bola api itu terpental ke belakang, namun kembali memburu dengan kecepatan
sangat luar biasa.
"Kutu kupret! Hei, Monyet Jelek! Keluar kau dari persembunyianmu! Biar kupukul
pantatmu sampai merah!"
maki Pendekar Slebor sambil menggerakkan kain
pusakanya kembali.
Sementara itu Eyang Sasongko Murti bisa menebak, kalau bola api yang cepat
menderu dan siap mencabut nyawanya bukanlah pcrbuatan bangsa manusia. Dia pun
sudah mempergunakan ajian bangsa silumannya, untuk mengusir bola api yang
dahsyat ini. Sraaak! Dugaan si tua cerewet ini memang benar. Karena tiga buah bola api yang menderu
ke arahnya seketika padam, begitu tersampok kedua tangannya.
"Bor! Gunakan ajian 'Singkir Geni'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil
menggerakkan tangannya ke arah Pendekar Slebor.
Seketika ajian bangsa siluman yang diajarkannya
pada Pendekar Slebor terbuka.
Andika pun segera menyampirkan kain pusaka yang
bercorak catur. Sambil bersalto beberapa kali, segera digunakannya ajian
'Singkir Geni'.
Wuttt...'! Dan hanya sekali mengibaskan tangan, bola api itu pun padam. Lalu Pendekar
Slebor melenting ke arah Eyang Sasongko Murti, beradu punggung dengan mata
siaga. "Eyang! Rupanya siluman monyet itu muncul. ya?"
Eyang Sasongko Murti cuma mengangguk. Diam-diam
mata batinnya dipergunakan untuk mcnembus kegelapan malam. Namun, tak ada
bayangan Siluman Hutan Waringin di sekitar sana. Akan tetapi, penciumannya tak
bisa dibohongi kalau siluman itu ada di sekitar sini.
Belum lagi Eyang Sasongko Murti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja munc ul satu
sosok tubuh berperawakan sedang. Rambutnya terurai panjang dengan wajah cantik
jelita. Pakaiannya berwarna merah tipis menerawang.
Meskipun di tempat gelap, yang mengherankan
Andika bisa melihat sampai ke dalam tubuh mcnerawang itu! Bila dalam keadaan
biasa, sudah tentu mulutnya yang usil akan berkata-kata. Namun Pendekar Slebor
hanya memperhatikan dengan tajam gadis jelita yang melangkah gemulai ke arahnya.
"Eyang.... Apakah gadis ini jelmaan dari Siluman Hutan Waringin?" tanya Pendekar
Slebor sambil menatap gadis yang sedang melangkah sambil tersenyum itu. Tetapi
sejurus kemudian dia tertawa-tawa. "Sayang sekali, ya"
Heran! Siluman itu kenapa selalu menjelma menjadi gadis-gadis cantik saja, sih"
Sekali-sekali jadi gadis jelek, kenapa" Biar memusnahkannya sedikit enak!"


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Sasongko Murti tidak menggubris kata-kata
Andika. Sepasang mata kelabunya menatap penuh
ketajaman. Dia tidak bisa membedakan, apakah gadis ini jelmaan dari Siluman
Hutan Waringin ataukah hanya dititisi belaka" Pikiran yang kedua itu sungguh
menyulitkannya.
Karena bila gadis itu ternyala hanya dititisi, berarti akan mengorbankan sebuah
nyawa percuma. Gadis jelita dengan sepasang mata bening dan tubuh aduhai di balik pakaiannya
yang mcnerawang itu
mendekat. Bibirnya tersenyum, seperti mengandung kekuatan sihir.
Eyang Sasongko Murti melirik Andika yang sedang
tersenyum pula.
Mendadak saja dijitaknya kepala
Pendekar Slebor.
"Waaadddooow! Kenapa sih, main jitak-jitak saja"
Ngiri ya, dengan kepalaku yang bagus ini"!" maki Andika melotot.
"Jangan terpengaruh tatapannya!" sahut Eyang Sasongko Murti mengingatkan.
"Maafkan kemunculanku ini, dua laki-laki gagah."
Tiba-tiba gadis itu membuka mulut. Suaranya begitu merdu sekali.
Dari rasa jengkelnya karena mendadak dijitak tadi, Andika menekap mulutnya agar
tidak tertawa mendengar kata-kata itu. Karena kata laki-laki gagah berarti juga
ditujukan pada Eyang Sasongko Murti.
"Nona manis, siapakah kau sebenarnya?" tanya Eyang Sasongko Murti.
Sementara, mata si tua ini menatap tajam, berusaha menembus ke arah gadis itu.
Bila memang gadis ilu jelmaan dari Siluman Hutan Waringin, akan langsung
diserangnya. Tetapi kalau hanya dititisi siluman itu belaka, maka betapa
malangnya nasib gadis itu.
"Aduh.... Kau ini. ah! Membuatku malu saja.
Tampan...."
Gadis itu terkikik sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Sehingga,
ketiaknya yang tak berbulu terlihat. Mulut Andika sempat cengar-cengir, meskipun
geli membayangkan wajah Eyang Sasongko Murti yang acak-acakan karena dikatakan
tampan. Sementara laki-laki berpakaian compang-camping itu terdiam. Seperti dia tengah
berpikir. "Kalau begitu, aku permisi! Ayo, Bor!" ajak si tua ini.
Namun belum lagi Eyang Sasongko Murti bergerak
tiba-tiba saja kedua kakinya terasa menjadi dingin. Kaku.
Namun dengan cepat segera dimusnahkannya serangan diam-diam itu dengan
mengalirkan hawa panas. Dia juga melihat Andika sudah menggerakkan kakinya.
Hmm.... Berarti hanya si tua ini yang diserang!
"Hei, Eyang! Kenapa diam saja?" tanya Andika.
Bukannya menjawab pertanyaan Andika, tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti
menggerakkan tangannya ke arah
gadis itu. Wusss! "Heh..."!"
Yang mengherankan, gadis itu justru diam saja.
Andika yang melihat kontan terpekik kaget. Dengan cepat tubuhnya bcrkelebat ke
arah gadis itu. Lalu dengan sekali melenting ke depan disambarnya tubuh gadis
itu. Karena dalam pikirannya, bila gadis itu ternyata jelmaan Siluman Hutan
Waringin, dengan cepat serangan itu pasti
dielakkannya. Tetapi, dia diam saja seperti layaknya orang yang tak mengerti
ilmu silat. Namun, begitu tangan Andika memegang tangannya,
gadis itu bergerak hendak menepak punggungnya. Dengan cepat Andika menjatuhkn
dirinya, dan berguling.
"He he he... Eyang... Gadis itu memang jelmaan Siluman Hutan Waringin!" kata
Pendekar Slebor terkekeh.
Eyang Sasongko Murti menghela napas. Dia tadi
sudah terkejut ketika mendadak saja Andika bergerak, seperti
menyongsong serangan dan berusaha menyelamatkan gadis itu. Namun sekarang dia tahu, kalau Andika hanya ingin
menguji, siapa gadis itu sebenarnya.
Sebenarnya Eyang Sasongko Murti tidak tahu, kalau semula Andika memang ingin
menyelamatkannya! Namun, pemuda sakti itu lebih tanggap. Malah segala sesuatunya
sudah diperhitungkan hingga berhasil melepaskan diri dari serangan diam-diam
gadis itu. Akan tetapi di luar dugaan mereka tiba-tiba saja si gadis jatuh terduduk dan
menangis tersedu-sedu!
*** 9 Eyang Sasongko Murti menahan Pendekar Slebor
yang hendak melangkah untuk mendekati gadis jelita itu.
Andika meliriknya seolah bertanya. Kenapa"
"Kita harus berhati-hati. Siluman itu mampu mengubah wujudnya menjadi apa saja yang diinginkannya,"
jelas si tua ini.
"Tetapi, Eyang! Mengapa dia menangis?" tanya Andika.
"Mungkin hanya pancingan belaka. Lebih baik, kita pergi saja dari sini," sahut
Eyang Sasongko Murti. "Ingat!
Kau pernah tertipu gadis jelmaan dari Siluman Hutan Waringin."
Andika hanya mengangguk-angguk saja. Lawan yang
dihadapinya ini sangat berat. Bangsa siluman yang memiliki ilmu mengerikan.
Termasuk, mengubah dirinya menjadi apa saja yang dikehendakinya, seperti yang
dikatakan Eyang Sasongko Murti.
Lalu seperti yang dikalakan si tua ini Pendekar Slebor segera melangkah.
Termasuk, Eyang Sasongko Murti yang diam-diam ingin melihat kejadian apa yang
akan terjadi. Tiba-tiba tangis
gadis itu semakin mengeras,
membuat mereka terpaksa berhenti.
"Eyang," bisik Andika.
"Jangan terpancing. Kita harus..., bangsat!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti
menggeram hebat.
Andika melirik dengan pandangan tak mengerti.
"Ada apa, Eyang?"
"Gadis itu bukanlah jelmaan Siluman Hutan Waringin.
Tetapi, hmmm..., dia akan segera dititisinya. Bor, bersiaplah. Kita akan
menghadapi bahaya yang sangat dahsyat!"
Baru saja kalimai Eyang Sasongko Murti habis, dalam penglihatan mata batinnya
tampak setitik sinar warna kuning masuk melalui ubun-ubun kepala gadis yang
tangisnya semakin lama semakin keras. Bahkan bertambah memilukan, sehingga mau tak mau membuat yang mendengarnya merasa
prihatin. Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangannya ke arah gadis yang sedang menangis.
Wusss.. ! Serangkum angin berhawa panas langsung menderu
ke arah gadis itu. Dan anehnya, gadis itu lagi-lagi tidak menghindar. Andika
sendiri tidak berusaha mencegah seperti yang dilakukan pertama kali saat Eyang
Sasongko Murti menyerang gadis itu.
Akibatnya, hawa panas yang menderu itu kontan
menyambar tubuh si gadis. Seperti terbakar, pakaian yang dikenakannya tiba-tiba
luruh menjadi abu. Sehingga, memperlihatkan seluruh auratnya yang tak tertutupi
sehelai benang pun.
"Busyet kau, Eyang! Sudah tua masih genit saja!
Bilang saja kalau kau hendak membuka pakaian gadis itu!"
desis Andika. Tetapi sepasang mata kelabu Eyang Sasongko Murti tidak berkedip. Bahkan tubuhnya
tidak bergeming.
"Kau lihat, Bor.... Gadis itu tidak seperti kebanyakan gadis lainnya. Tubuhnya
pasti hangus! Tapi dia tidak...!"
Seketika Andika menghentikan tawanya, lalu mengangguk-angguk. Kini sadarlah Pendekar Slebor, siapa gadis yang sedang
menangis di hadapannya. Maka
mendadak saja tubuhnya meluncur deras ke arah gadis itu.
"Siluman busuk! Jangan kau pergunakan tubuh ga?dis yang tak berdosa ini sebagai
tameng!" "Andika!" jerit Eyang Sasongko Murti.
Tetapi, tubuh Andika sudah menderu cepat. Seketika si gadis menggerakkan tangan
kirinya, sehingga buah dadanya bergoyang menggairahkan.
Des! Pukulan Andika berhasil ditangkis. Maka mau tak mau pemuda itu melenting kembali
ke belakang. Saat itu juga tangannya terasa ngilu. Ketika matanya melirik,
tangannya membiru! "Kau lupa, yang kau hadapi bangsa siluman! Ajian-mu tak banyak gunanya!" ingat
Eyang Sasongko Murti.
Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan tcrbahak-bahak dengan suara dingin.
Tatapannya nyalang. Tubuhnya yang tanpa busana terlihat sangat menggairahkan.
"Sasongko! Kau tak bisa terjebak juga, hah"!" tiba-tiba gadis itu bersuara penuh
kegeraman. "Hhh! Tetapi, aku akan tetap membunuh pemuda sialan itu!"
Andika pun bersiap. Kini diyakini kalau gadis itu telah dititisi Siluman Hutan
Waringin. Sementara Eyang
Sasongko Murti terlihat melompat dua tindak ke depan Andika pun berbuat sama,
dengan merenggangkan jarak dua tombak.
Tiba-tiba saja gadis yang bertelanjang bulat itu menderu maju dengan gerengan
mengerikan. Bahkan
sampai membuat dedaunan berguguran!
Eyang Sasongko Murti dan Pendekar Slebor yang
sudah memperhitungkan akan serangan mendadak segera melenting ke arah
berlawanan. Dalam sekali melompat saja, mereka bisa melewati serangan dahsyat.
Gadis itu berbalik dengan tatapan menyalang
mengandung kegeraman.
"Grrrhhh! Sasongko! Dan kau, Pendekar Slebor! Hari ini riwayat kalian akan
tamat!" "Heran" Apa bangsa siluman bisa menentukan nasib manusia?" tukas Pendekar
Slebor, terkekeh-kekeh.
"Bisa! Dan malam ini nasib kita ditentukan oleh nya!"
Eyang Sasongko Murti yang menyahuti.
Andika paham, ke mana arti ucapan Eyang Sasongko Murti itu. Maka ketika si gadis
yang dititisi oleh Siluman Hutan
Waringin itu meluruk cepat, dia segera mempersiapkan diri. Gerakan gadis ini begitu dahsyat, sehingga mampu membuat
jantung terasa mau copot!
"Gunakan ajian bangsa siluman!" seru Eyang
Sasongko Murti sambil meluncur kc arah gadis itu.
Andika pun berbuat sama. Bisa dirasakan kedahsyatan ajian bangsa siluman yang baru saja
dimilikinya. Begitu merapal, sekujur tubuhnya terasa bergetar. Dan tiba-tiba dia
merasa kalau hawa marah melingkupinya.
"Graughrrr...!"
Seketika terdengar gerengan Pendekar Slebor yang luar biasa keras.
"Murid laknat! Rupanya kau menurunkan ajian bangsa siluman pada pemuda gondrong
itu!" geram gadis itu.
"Kalau kau takut. pulang saja ke asalmu!" seru Andika.
Eyang Sasongko Murti mengincar bagian atas dari
tubuh si gadis. Sementara, Andika menderu-deru menyerang bagian bawahnya. Sejenak pemuda itu
gelagapan juga melihat 'benda' rahasia si gadis yang terbuka. Tetapi, dia tidak
peduli. Karena yang terpenling seka-rang,
mcmusnahkan Siluman Hutan Waringin. sekaligus menyelamatkan nyawa gadis tak berdosa.
Siluman Hutan Waringin yang dikeroyok dari dua
jurusan rnenggeram-geram penuh amarah. Serangan demi serangan menimbulkan hawa
panas dan dingin bergantian.
Bahkan terkadang bulatan bola api yang banyak menderu-deru. sctiap kali
tangannya mengibaskan. "Kutu kupret!
Monyet jelek! Kurang ajar!" Andika sendiri memaki-maki ketika bahunya
terserempet bola api itu. Pendekar Slebor menepuk-nepuk bahunya. hingga api itu
padam. Bahunya pun terbuka, karena pakaiannya di sekitar sana telah hangus.
Anehnya, kain bercorak caturnya sama sekali tak hangus.
Dengan jengkcl Pendekar Slebor kembali menerjang, sekaligus membantu Eyang
Sasongko Murti yang kini menjadi bulan-bulanan serangan Siluman Hutan Waringin.
Meskipun dikeroyok dua pendekar sakti, Siluman Hutan Waringin tak kelihatan
terdesak sedikit pun. Bahkan serangannya semakin gencar dan ganas.
"Eyang! Gawat kalau begini!" seru Pendekar Slebor yang sempat terserempet
pukulan pada dadanya. Kalau
saja belum memiliki ajian bangsa siluman, sudah pasti dadanya seketika hangus.
"Tak ada jalan lain lagi! Kita harus menyabung nyawa, Bor!" seru Eyang Sasongko
Murti. Beberapa kali dada si tua ini terhantam pukulan sangat dahsyat.
"Aku tidak memikirkan nyawaku, Eyang! Mampus hari ini juga tidak apa-apa!"seru
Andika kembali menyerang.
"Tetapi yang kupikirkan, nasib gadis itu!"


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pun memikirkan hal yang sama! Siluman itu sengaja menitis pada gadis tak
berdosa, sehingga kita sulit untuk menyerangnya! Mundur sepuluh tombak! Aku
minta darahmu!"
"Untuk apa?"
"Jangan banyak tanya! Mundur. Bor!" seru Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Sementara dia sendiri menderu menyerang.
Andika yang mundur sepuluh tombak ke belakang,
cepat menggigit lengan kirinya sambil menahan rasa sakit.
Darah pun menetes. Buru-buru darahnya ditadahi dengan kain bercorak caturnya.
Karena dia ingat, dulu pun ketika sama-sama terjebak di Alam Sunyi, Eyang
Sasongko Murti meminta darahnya sebagai 'jalan ke-luar' dari Alam Sunyi.
(Baca: 'Neraka di Keraton Barat).
"Eyang! S udah!" seru Andika kembali berguling menyerang ke arah gadis yang
dititisi Siluman Hutan Waringin.
"Lemparkan kepadaku, Bor!" pinta si tua itu.
Dengan sigap sambil melenting, Andika mengerahkan tenaganya. Lalu dilontarkannya
kain pusaka yang tadi ditadahi darahnya sendiri. Eyang Sasongko Murti pun
bcrmaksud menyambarnya.
Namun hal itu tidak mudah dilakukan. Karena
beberapa bola api sudah menderu-deru. Bersamaan
dengan itu, tubuh si gadis melayang hendak menyambar kain pusaka Andika yang
terbuntal darahnya sendiri.
"Heaaa!"
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan. Andika
segera mengempos tubuhnya disertai teriakan keras.
Kakinya seketika berputar dua kali.
Buk! Buk! Tepat sekali tendangan Pendekar Slebor mengenai
dada gadis itu hingga terpental ke belakang diiringi gerengan kemarahan luar
biasa. Sedangkan dengan
sigapnya Andika kembali menyambar kain pusakanya.
"He he he.... Empuk... Empuk sekali!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa.
"Lumayanlah. Yang penting kan tersentuh dada lembut yang montok itu!" sambungnya
konyol. Dan Pendekar Slebor pun harus kembali melompat
menghindari serangan Siluman Hutan Waringin. Begitu marahnya, hingga serangannya
di ringi lemparan bola api yang melingkar-Iingkar.
Sambil menghindar dengan jalan menyepak bola api yang menderu, Andika
melemparkan kain pusakanya ke arah Eyang Sasongko Murti.
Lalu untuk mengalihkan perhatian yang ingin me-
rebut kain pusaka, Andika terus mcncecarnya. Pendekar Slebor berusaha terus
memukul mundur siluman itu.
'Akan tetapi, Siluman Hutan Waringin bukan hanya mampu menghindar. Bahkan
menyerang balik pada Andika berkali-kali.
Desss.. . desss.. -
Lagi-lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu merasakan nyeri luar biasa di dadanya.
Perutnya bagai teraduk-aduk keras.
Sementara Eyang Sasongko Murti sedang merapal
ajiannya, sambil mendekatkan kain pusaka yang berisi darah Pendekar Slebor.
Seketika, darah yang sudah mulai mengering itu tiba-tiba mencair kembali dan
mengental. Darah seorang perjaka tulen ilu akan dipergunakannya sebagai senjata.
Namun belum lagi si tua ini mempergunakannya, tiba-tiba saja satu sambaran keras
bagaikan bunyi gunung marah mengarah kepadanya.
Eyang Sasongko Murti mendongak kaget. Sebisanya
dia menggulingkan diri, karena sambaran itu datang dari kaki Siluman Hutan
Waringin yang telah mengubah diri menjadi raksasa pula. Maka kain yang berisi
darah Pendekar Slebor pun terpental entah ke mana.
"Bangsat!" maki Eyang Sasongko Murti sambil berdiri sigap.Si tua ini melihat
Pendekar Slebor sedang meringis menahan sakit. Saat itu juga, tiba-tiba tubuh
Eyang Sasongko Murti pun berubah menjadi raksasa. Langsung dihalanginya serangan
maut Siluman Hutan Waringin pada Pendekar Slebor yang terpental ke belakang,
karena sambaran angin tendangannya.
Pendekar Slebor melihat dua sosok raksasa sedang bertarung sengit. Bumi benar-
benar bergonjang-ganjing.
Kalau saja Eyang Sasongko Murti tidak segera mengubah dirinya menjadi raksasa
pula, sudah bisa dipastikan akan terpental-pental.
Terlihatlah pemandangan luar biasa mengerikan,
sekaligus menakjubkan. Dua sosok raksasa tengah
bertarung hebat. Demikian pula bola api raksasa yang menderu-deru kencang,
membakar pepohonan dan
mengusir malam yang telah menjelma menjadi pagi!
"Eyang! Kenapa kau tidak menurunkan ajian 'Rubah Jasad' itu kepadaku sih?"
Andika berseru keras dengan kedua tangan di mulut berbentuk corong.
"Bukannya aku tidak menurunkan, Bor! Rupanya tubuhmu menolak ajian ini! Kau
masih perjaka ting-ting!"
sahut Eyang Sasongko Murti dengan suara terdengar bagaikan guntur menyalak.
Mendadak saja Pendekar Slebor kembali menderu-
deru. Tak dipedulikannya rasa sakit yang menyiksa.
Sasaran serangannya adalah kedua kaki besar Siluman Hutan Waringin yang menitis
di tubuh gadis jelita itu.
Dig! Dig! Tetapi, lagi-lagi serangan Andika tak ada gunanya.
Bahkan tubuhnya terpental kembali dan jatuh bergulingan.
Melihat hal itu, Eyang Sasongko Murti semakin murka.
Tubuh raksasanya mencoba menghantam tubuh raksasa bugil itu yang dititisi
Siluman Hutan Waringin.
"Eyang! Kau bisa membunuh gadis itu!" teriak An?dika.
"Tak ada jalan lain, Bor! Terpaksa kita memang harus mengorbankan nyawa gadis
itu!" seru Eyang Sasongko Murti sambil mengirimkan bola-bola api panas.
Seketika terlihat suasana berubah terang. Dan hawa dingin pun menjelma menjadi
panas menyengat. Be-lum lagi ketika Siluman Hutan Waringin membalas dengan cara
sama. Sehingga, terjadilah benturan bola-bola api yang menimbulkan ledakan dan
bunga api yang membakari pepohonan di sekitarnya.
Bagi Eyang Sasongko Murti sendiri, lebih baik
mengorbankan nyawa gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin
daripada nanli siluman iiu menimbulkan
kerusuhan di mana-mana. Sementara bagi Andika, masih dipikirkannya cara untuk
menyelamatkan gadis yang tak berdosa. Namun hingga pertarungan berjalan sampai
siang hari, jawabannya beluin juga ditemukan.
Pendekar Slebor lantas melenting ke atas, mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya. Bagaikan seekor lalat, dihantamnya wajah siluman itu dengan ajian
bangsa siluman. Namun, hasilnya nihil.
"Hup!"
Kembali Andika hinggap, kalau tidak ingin tersampok kibasan tangan gadis itu
yang besar. Belum lagi kakinya hinggap di bumi, kembali tubuhnya harus
berguling, kalau tak ingin terhantam tendangan kaki yang menimbulkan suara angin
laksana topan. Dan pemandangan i u mengejutkan tiga sosok tubuh yang baru tiba di sana. Karena
sejak tadi, mereka merasakan bumi yang dipijak bergoyang. Bahkan mereka
menyangka, ada sebuah gunung yang terletak tak jauh dari tempat ini hendak
memuntahkan laharnya.
"Kang Tapa, apa-apaan ini?" desis salah seorang terheran-heran. Mereka tak lain
Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti.
"Aku tidak mengcrti. Bukankah pemuda berpakaian hijau pupus yang scdang
menyerang kedua kaki gadis itu adalah Pendekar Slebor" Gila! Pertarungan ini
benar-benar mengerikan!" seru Tapa Srenggi sambil memperhatikan penuh takjub.
Sekaligus, ada kengerian di hatinya.
Sementara Minanti menundukkan kepala. Dia me?rasa risih melihat raksasa yang satunya lagi, yang sedang menyerang raksasa
berpakaian compang-camping.
Kewanitaannya bergetar. Sungguh, memalukan pe-
mandangan itu. Angling Srenggi yang melirik tersenyum saja. Dia maklum kalau
Minanti menundukkan kepala.
"Aku yakin, raksasa wanita tanpa busana itu jelmaan dari Siluman Hutan
Waringin," desis Tapa Srenggi.
Mereka kini kembali memperhatikan jalannya pertarungan. Sementara, Minanti sambil menghela napas panjang pun memperhatikan
pula. Dari rasa risih melihat tubuh raksasa jelita yang tanpa busana, timbul
pula rasa ngerinya. Bila memang benar yang dikatakan T apa Srenggi tadi kalau
gadis itu jelmaan Siluman Hutan Waringin, alangkah mengerikannya! Meskipun saat
ini ia seharusnya gembira karena
menemukan makhluk yang telah menghancurkan perguruan, saudara-sandara seperguruan.
dan gurunya. Tetapi untuk menghadapi Siluman Hutan Waringin, sudah tentu sangat
sukar! Tiba-tiba pandangan Minanti terbentur pada se-
onggok kain bercorak catur takjauh darinya. Diam-diam segera diambil kain itu.
"Oh!"
Minanti mendesis setelah melihat telapak tangannya yang terdapat bercak darah.
Rupanya, darah Pendekar Slebor merembes ke tangannya. Dibukanya kain bercorak
catur itu yang tak lain milik Pendekar Slebor yang terlontar ketika dipegang
Eyang Sasongko Murti tadi. Ada darah cair di sana. Yang membuatnya heran, darah itu tidak segera
mengering"
"Gila! Milik siapakah ini?" desis gadis ilu sambil kembali ke tempat di mana
Sepasang Tasbih Kepalan Batu yang tengah memperhatikan jalannya pertarung-an.
Minanti pun kembali memperhatikan pertarungan
dengan hati semakin ciut. Jantungnya terasa berdetak lebih hebat. Dan tubuhnya
berguncang-guncang akibat sentakan kaki-kaki raksasa pada bumi. Sementara,
tangan kanannya menggenggam kain bercorak catur yang berisi darah Pendekar
Slebor. *** 10 Pertarungan aneh sekaligus mengerikan terus terjadi.
Keadaan di sekitarnya sudah porak-poranda. Banyak sudah pepohonan tercabut. Ada
yang terinjak, ada yang terbakar,
dan ada yang memang dicabut untuk dilemparkan ke arah lawan. Dalam keadaan wajar,
menghadapi serangan dari siluman itu Andika bisa merasakan betapa tubuhnya telah
terluka parah. Dia yakin, dalam beberapa saat kemudian tak akan mampu
bertahan. Namun hal itu tak dipedulikannya. Baginya, nyawanya putus hari ini
juga bukanlah masalah besar.
Yang terpenting, Siluman Hutan Waringin bisa dimusnahkan! Semakin lama pertarungan semakin bertambah seru
dan menegangkan. Yang mengherankan Andika. karena dari malam hingga siang hari
ini benarung, tubuh? nya belum juga terasa letih. Bahkan tenaganya pun tak
berkurang sedikit pun! Padahal, ajian yang dipergunakannya memakan banyak tenaga. Bahkan
berkali-kali tubuhnya terhantam serangan raksasa. Namun, otaknya yang encer
seketika mampu memecahkannya.
Mungkin, hal ini karena telah memiliki ajian bangsa siluman!
Namun Andika bisa merasakan pula sesuatu yang
lain. Meskipun tenaganya tak berkurang, namun luka di tubuhnya akibat pukulan
Siluman Hutan Waringin atau sambaran bola api yang dilcmparkan, bisa membuat
keadaan tubuhnya semakin lama semakin payah.
Eyang Sasongko Murti pun melihal keadaan Pendekar Slebor yang terus-menerus
bergulingan menghindari setiap sambaran Siluman Hutan Waringin.
"Lebih baik kau pergi dari sini, Bor! Aku yang akan menghadapinya!" ujar si tua
ini. "Tidak!" seru Andika keras kepala. "Aku akan bertarung sampai mampus!"
"Jangan bertindak bodoh! Bila aku mampus hari ini.
masih ada kau yang menghalangi sepak terjang Siluman Hutan Waringin ini!" seru
Eyang Sasongko Murti jeng-kel.
"Peduli Setan! Kutu busuk itu harus mampus!" geram Andika keras
kepala, sambil merangkum kembali
tenaganya dan terus menyerang.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa bertahan lebih lama, Pendekar Slebor! Inilah
akibatnya berani-berani lancang menyelamatkan Sasongko Murti!" ejek gadis itu
dengan suara aneh. Lalu kaki-kakinya yang besar mencecar tubuh Andika, tak
ubahnya bagaikan menginjak seekor belalang.
Namun bagi Andika, nyawanya melayang bukanlah
menjadi soal. Yang penting Siluman Hutan Waringin ini harus bisa dimusnahkan.
Dan meskipun berkali-kali menghantamkan
pukulan atau tendangan dengan mempergunakan ajian bangsa siluman yang baru
dipelajari, tubuh gadis itu tetap tegar. Hanya di beberapa bagian saja
menghangus. Akhirnya. diputuskannya untuk menghentikan
serangannya. Karena, timbul rasa kasihannya pada gadis tak berdosa itu yang menderita akibat pukulannya.
"Kalau kau tidak mau mundur, jangan bertindak setengah-setengah!" teriak Eyang
Sasongko Murti.
"Tetapi Eyang! Tubuh raksasa gadis itu sukar sekali kuhadapi! Jadi salahmu
sendiri, kenapa aku tidak diturunkan ajian 'Rubah Jasad'! Lagi pula, gadis itu
bukanlah orang jahat!" tangkis Andika.
"Aku tahu! Namun dia dititisi Siluman Hutan Waringin yang tak akan pernah mau
tahu siapa yang dititisinya!
Sudah berkali-kali kukatakan hal itu! Ingat, Bor! Hari ini adalah hari
pengadilan maut bagi kita!"
Pendekar Slebor pun kembali meningkatkan serangannya. Kini dia benar-benar meyakinkan diri sendiri, kalau lawan yang
dihadapi bukanlah sosok gadis itu. Dan gadis itu sendiri hanya merupakan wajah


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dititisi Siluman Hutan Waringin. Seorang gadis yang tak mengerti apa-apa.
Dengan mempergunakan kelincahannya, Pendekar
Slebor berkali-kali mencecar dan sekaligus menghindari setiap sambaran kaki atau
tangan gadis itu yang membuat wajahnya terasa panas. Padahal, hanya terkena
sambaran angin yang menderu-deru laksana badai.
Wuttt...! Tiba tiba saja Siluman Hutan Waringin menggerakkan kedua tangannya ke depan.
Maka, beberapa buah pohon kontan tercabut dan berterbangan ke arah Pendekar
Slebor dan Eyang Sasongko Murti. Seharusnya, saat menggunakan ajian 'Rubah
Jasad' serangan beberapa buah pohon yang meluneur bagaikan tombak itu bukanlah
serangan sulit. Mudah ditepiskan dengan sekali mengibaskan tangan. Ini memang bisa dilakukan Eyang Sasongko Murti. Tetapi, bagi
Andika" Dia harus benar-benar memperlihatkan kelincahannya kalau tidak ingin
tubuhnya hancur berantakan.
Namun, lima belas buah pohon besar yang tercabut dan menderu ke arah Pendekar
Slebor dan Eyang
Sasongko Murti lelah dialiri ajian bangsa siluman. Bila terkena sambarannya
seketika tubuh yang terkena akan menjadi hangus.
Eyang Sasongko Murti yang lebih dulu menyadari hal itu.
"Hati-hati! Aku belum pernah mempelajari ajian yang satu ini!" seru si tua itu
sambil melompat-lompat.
Blammm...! Blarrr...!
Dan ketika pohon-pohon itu terhempas ke bumi.
bukan hanya suara berdebam saja yang terdengar, tetapi suara ledakan sangat
dahsyat! "Ke mana kain pusakamu yang telah ditetesi darahmu itu, Bor" T ubuhmu bisa pecah
renyah terkena pohon-pohon itu!" teriak Eyang Sasongko Murti.
"Aku tidak tahu!" dengus Andika geram. "Gila! Kalau begini caranya, dia benar-
benar mati kutu! Benar-benar brengsek Eyang Sasongko Murti ini. Dia tidak
mengajarkan ilmu 'Rubah Jasad' padaku!"
Tetapi, kemudian Andika yakin dengan kata-kata
Eyang Sasongko Murti, kalau ajian 'Rubah Jasad' tidak bisa ke tubuhnya.
Sementara itu, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan
Minanti yang mengintip pertempuran aneh dan mengerikan, seketika mengalirkan hawa murni untuk menu-tupi kedua telinga agar
tidak mendengar ledakan keras tadi. Sedangkan Minanti sudah melirik kain
bercorak catur yang ada darah cair di sana.
"Inikah yang dimaksudkan Eyang Sasongko Murti?"
desisnya dalam hati.
"Kalian akan mampus hari ini! Sasongko! Kembalilah kau ke Alam Sunyi untuk
menerima hukumanku!
Dan kau, Pendekar Slebor! Kau harus menyerahkan
jantungmu kepadaku!" teriak si gadis raksasa.
"Enak saja ngomong! Di pasar kotapraja, jantung sekilo mahal harganya. tahu"!"
seru Andika. Mendadak saja Pendekar Slebor sudah mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa' yang dibanggakan dan diperoleh dari Lembah
Kutukan. Begitu ajian itu dilepaskan, Pendekar Slebor juga memadukan dengan
ajian 'Tapa Geni' ajaran Eyang Sasongko Murti.
Wurrr..,! Akan tetapi. serangan Andika tetap tidak membawa hasil memuaskan. Jalan satu-
satunya memang harus mencari kain pusaka yang telah ditetesi darahnya sendiri.
Memang hanya itulah satu-satunya cara untuk menghabisi Siluman Hutan Waringin.
Tetapi untuk mencari kain pusaka di saat genting seperti ini, sangat sulit.
Malah bisa dipastikan, siluman itu tak akan memberikan kesempatan.
"Kalian harus mampus!" seru gadis raksasa seraya mengibaskan langan. Wurrr...!
Seketika bergulung-gulung angin raksasa ke arah
keduanya, sehingga menimbulkan suara ribut bergemuruh.
Bumi seperlinya terjadi gempa.
"Selamatkan dirimu, Bor!" seru Eyang Sasongko Murti sambil mcncoba memotong
serangan Siluman Hutan
Waringin. Namun tubuh raksasa si tua i u pun mendadak saja tcrhempas ke belakang.
Sementara. Andika pun sudah mendcru eepat dengan kedua tangan terangkum ajian
'Guntur Selaksa' yang kali ini dipadukan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa
Geni' ajian bangsa siluman. Blasss!
Hasil yang didapat Pendekar Slebor sungguh di luar dugaan. Seketika, pusaran
angin raksasa itu diterobos oleh ajian 'Guntur Selaksa'. Bahkan langsung
menembus ke arah si gadis raksasa yang sedang melancarkan serangan tangguh.
Blaaarrr! Kini tubuh si gadis raksasa terhempas ke bumi. Dan mendadak saja tubuhnya
menciut dalam ukuran yang sewajarnya. Dan dari ubun-ubunnya, keluarlah setitik
cahaya berwarna kuning yang mendadak berasap dan membubung tinggi.
Mendadak, asap itu mengelam sosok Siluman Hutan
Waringin yang mengerikan tetap berwujud raksasa.
SepasangTasbih Kepalan Batu dan Minanti terkc-jut melihatnya. Tapa
Srenggisendiri tanpa banyak bicara lagi langsung bergulingan, dan menyambar
tubuh gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin tadi. Dibawanya gadis itu
kembali ke tempat persembunyian.
"Gila!" desis Tapa Srenggi setelah melihat luka yang diderita gadis itu.
"Seperti luka yang kau alami, Minanti!
Kita harus menyelamatkan nyawanya. Ah! Entah di mana dia tinggal. Dan, bagaimana
bisa dititisi Siluman Hutan Waringin itu."
Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Tapa
Srenggi berusaha menyelamatkan nyawa gadis itu.
"Bantu aku. Adi Angling!"
Sementara itu, pertarungan aneh semakin mengerikan saja.
"Grrhhh! Sasongko Murti! Kenibalilah kau ke Alam Sunyi untukmenerima
pengadilanku! He he.... Kau tentu tidak ingin melihat pemuda gondrong ini
mampus?" Eyang Sasongko Murti hanya bisa mendengus saja
sambil melancarkan serangan. Namun dia pun harus terpukul mundur. karena
serangan balik Siluman Hutan Waringin begitu mengerikan. Diam-diam si tua ini
mendesah masygul, karena ajian-ajian yang diperlihatkan Siluman Hutan Waringin
sama sekali belum dipelajari-nya.
"Gggrrrhhh! Kembalilah ke Alam Sunyi, Sasongko Murti!" seru Siluman Hutan
Waringin lagi. Sementara itu tubuh Pendekar Slebor tampak sudah terhuyung ke sana kemari. Ajian
'Guntur Selaksa' yang dipadukan dengan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa
Geni', hanya mampu menahan dua gebrakan dari serangan
Siluman Hutan Waringin. Selebihnya, justru Pendekar Slebor yang menjadi bulan-
bulanan. Tubuh Pendekar Slebor terhuyung. Dan berkali-kali muntahkan darah yang terpaksa
keluar dari mulut.
"Siluman busuk itu harus musnah!" desis Pendekar SleborKembali Andika menyerang
cepat. Namun kali ini, pemuda itu benar-benar tak mampu lagi menahan
serangan balik dari Siluman Hutan Waringin. Kembali tubuhnya terhantam pukulan-
pukulan dahsyat.
"Kalau saja kita bisa tcmukan kain corak caturmu, Bor!" dengus Eyang Sasongko
Murti sambil menghadang serangan Siluman Hutan Waringin.
Minanti yang mendengar semua itu tersentak..Tanpa pikir panjang lagi,
dilemparkannya kain itu pada Eyang Sasongko Murti. Dia memang langsung menyadari
kalau kain inilah yang dibutuhkan si tua itu.
Tiba-tiba saja mata si tua menangkap sesuatu yang melenting ke arahnya. Memang
hanya sebatas paha saja.
Tetapi dengan sigap ditangkapnya benda yang tak lain kain pusaka milik Andika
yang dipegang Minanti tadi.
"Aaagrrrh...!"
Dan begitu kain pusaka itu terpegang si tua ini, mendadak saja Siluman Hutan
Waringin menjerit-jerit kesakitan. Tubuhnya bagai terbakar. Namun, Eyang
Sasongko Murti tak mau membuang waktu lagi. Dengan gencar kain bercorak catur
yang jadi seperti sangat kecil dikibaskan.
Wuttt...! "Aghrrr...!"
Siluman Hutan Waringin terus meraung-raung keras.
Dengan serentak, Eyang Sasongko Murti mengarahkan kain pusaka itu ke mata.
Namun, siluman itu langsung menutup kedua matanya. Tubuhnya bergerak bagaikan
mabuk, menghancurkan apa saja yang ada di sana.
Dan tiba-tiba saja tubuh raksasa Siluman Hutan
Waringin lenyap. Lalu. terlihatlah sebuah cahaya berwarna kuning melingkar-
lingkar. "Sasongko! Suatu saat aku akan muncul lagi untuk mencabut nyawamu dan nyawa
Pendekar Slebor!"
Terdengar suara Siluman Hutan Waringin.
Plas! Cahaya kuning itu pun mendadak menghilang: Eyang Sasongko Murti menghela napas
panjang. Lalu dia
mengubah diri menjadi bentuk seperti sediakala. Begitu pula Andika yang langsung
terbujur. Seketika Eyang Sasongko Murti langsung memeriksa luka Pendekar
Slebor. "Luka kecil saja!" desis si tua ini. Dioleskannya darah Pendekar Slebor yang ada
di kain itu. Seketika, Andika merasakan kalau rasa sakit dan nyeri di tubuhnya
sedikit menghilang.
Dan tak lama, tiga sosok tubuh muncul. Mereka
adalah Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti. Di bahu Tapa Srenggi tampak
sosok gadis yang dititisi Siluman Hutan Waringin, telah diobati namun masih
pingsan. "Wah, wah...! Rupanya dua botak ini yang muncul. Eh"
Siapa pula gadis jelita itu?" tanya Pendekar Slebor sambil nyengir.
Minanti menundukkan kepala, malu-malu. Saat itulah Sepasang
Tasbih Kepalan Batu mengemukakan maksudnya, untuk meminta tolong kepada Pendekar
Slebor agar bersedia mengobati penyakit guru mereka yang disebabkan oleh Siluman
Hutan Waringin.
Andika mengangguk-angguk tanda setuju. Belum lagi ada yang sempat bergerak,
tiba-tiba saja puluhan sosok manusia dengan senjata di tangan, disusul sebuah
kereta kuda yang bagus.
"Abirawa! Benar bukan ucapanku?"
Terdengar suara halus dari balik tandu yang diusung empat orang.
"Pendekar Slebor.... Hari ini aku, Dewi Sutera, menuntut balas atas kematian
kakakku Manusia Pemuja Bulan yang telah kau bunuh!" lanjut suara dari balik
tandu. Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Busyet! Baru saja
tuntas urusannya dengan Siluman Hutan Waringin, kini sudah muncul lagi yang
baru. "Siapa kau ini" Kalau mendengar suaramu. kau pasti gadis jelita! Tetapi, bisa
saja kau ini nenek-nenek yang memiliki suara merdu?" seloroh Pendekar Slebor
asal saja. Sementara, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan
Minanti segera bersiaga. Rupanya, rombongan Dewi Sutera sudah tiba di sini.
Hanya Eyang Sasongko Murti yang acuh saja.
Mendadak satu sosok tubuh melenting ke arah
Pendekar Slebor.
"Kau harus mampus, Pemuda Hina!" bentak sosok itu.
"Heeeii ttt!"
Andika pun melenting ke samping. Dan dia melihat satu sosok tubuh berpakaian
putih menerawang, sehingga memperlihatkan lekuk tubuh yang menggairahkan. Begitu
mendarat, sosok itu kembali menyerbu cepat. Wajahnya tak ubahnya bidadari dari
kahyangan. Begitu jelita sekali.
Rambutnya digelung ke atas, dan sebagian tergerai di punggung.
Dia tak lain dari Dewi Sutera yang mendendam pada Pendekar Slebor.
"Wah, wah! Kau cantik sekali! Dewi Sutera! Apakah
kau tidak tahu kalau kakak seperguruanmu telah berubah menjadi manusia laknat?"
tukas Pendekar Slebor, kalem sambil berlompatan menghindar.
"Aku tak peduli apa yang dilakukannya! Yang kuinginkan adalah nyawamu!" seru
Dewi Sutera terus menyerang ganas.
Setiap kali wanita itu bergerak, rangkaian angin panas menderu-deru ke arah
Pendekar Slebor dengan cepatnya.
"Baik! Ini adalah urusanku denganmu, Dewi Sutera!
Jadi tak kuinginkan dari pihakmu atau pihakku sa-ling bertempur!"
"Aku setuju! Akan kubunuh anak buahku yang
menyerangmu!" sahut Dewi Sutera seraya menerjang dengan serangan-serangan
berbahaya. Sepuluh jurus pun berlalu, tanpa ada yang kelihatan terdesak atau pun mengalah.
Dewi Sutera sendiri segera meningkat
serangannya. Dia berusaha mendesak Pendekar Slebor dengan serangan-serangan berbahaya.
Bahkan tiba-tiba saja tangannya membuat gerakan
bagaikan menebar.
Di balik tebaran yang kasat mata itu, terdapat se-kumpul tenaga dalam teramat
kuat. Sehingga Andika akhirnya terpaksa bergulingan. Namun, Dewi Sutera yang
memang ingin melihat Pendekar Slebor terkapar segera memburu cepat. Dia
menginginkan segalanya berlangsung cepat.
Namun yang dihadapi Dewi Sutera adalah Pendekar
Slebor yang sesekali mengoceh seenak perutnya saja.
"Dewi Sutera.... Kupikir tak ada gunanya membela kakak seperguruanmu yang bejat
itu," ujar Pendekar Slebor sambil menghindari dan sekaligus membalas serangan
Dewi Sutera. Pada dasarnya, Andika berkeyakinan kalau Dewi
Sutera bukanlah datang dari golongan hitam. Dia hanya bermaksud membalas sakit
hatinya yang mendengar kakak seperguruannya telah tewas.
"Bila melihat sikapmu, kau bukanlah dari orang
golongan hitam, Dewi Sutera! Lebih baik kau sadarkan diri.
Ikhlaskan saja kenyataan kalau Manusia Pemuja Bulan memang sudah selayaknya mati
sebagai orang sesat,"
lanjut Andika. "Dia adalah kakak seperguruanku! Dan kau yang telah membunuhnya! Yeaaa!"
Kembali Dewi Sutera menerjang ganas. Kali ini
tubuhnya mendadak bergulung-gulung, bagaikan angin.
Menderu dan siap menghancurkan Pendekar Slebor!
Andika sendiri akhirnya merasa kalau memang harus menjatuhkan tangan. Kali ini
tubuhnya dikempos dengan mempergunakan tenaga 'inti petir'. Sehingga setiap kali
menyerang, terdengar suara bagai salakan petir yang keras, membuat Dewi Sutera
sejenak terkejut pula.
Akan tetapi, di mata wanita ini Pendekar Slebor


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanyalah seorang lawan yang harus dihabisi! Biar bagai-manapun juga, pemuda itu
telah membunuh kakak
seperguruannya yang telah dua belas tahun tak jumpa. Di saat telah mendirikan
Partai Dewi Sutera, di saat ingin mengajak kakak
seperguruannya bcrgabung, justru terdengar kabar kalau manusia ilu telah menemui ajal di tangan Pendekar Slebor!
Memang, Dewi Sutera mendengar kalau kakaknya
telah berubah dari sifat semula. Kakaknya telah menjadi orang
bejat yang telah membuat keonaran
dan meresahkan rimba persilatan. Akan letapi, dia tidak mau tahu. Kakak
seperguruannya sudah sangat dirindukan. Dan di saat-saat rindunya tuntas,
kakaknya dikabarkan telah tewas! Dan Pendekar Slebor-lah yang harus membayar
semua ini dengan nyawanya!
"Dewi Sutera.... Sadarlah.... Kau lak patut menjadi manusia bejat seperti kakak
seperguruanmu. Kau tak patut membela manusia bus uk itu! Kehidupan yang telah
dan akan kau jalani, adalah kehidupan lurus yang seharusnya dipertahankan.
Janganlah diputarbalikkan. Ingat! Manusia Pemuja Bulan telah menjadi manusia
sesat yang berdosa!"
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduli!" seru Dewi Sutera
sambil terus menyerang gencar.
Tetapi Pendekar Slebor menangkap isaknya yang
tersendat. Sesungguhnya, hati wanita itu memang berhati murni. Hati yangberada
dalam jalan lurus. Sehingga akhirnya perlahan-lahan bisa disadari kenyataan itu.
"Dewi.... Hentikan semua ini. Kita tidak perlu menanamkan bibit silang sengketa!
Kita tidak perlu mengumbar amarah hingga saling menumpahkan darah!
Kau orang baik, Dewi...," bujuk Pendekar Slebor.
Tiba-tiba saja Dewi Sutera menghentikan serangannya. Lalu, tubuhnya berbalik meninggalkan tempat itu dengan hati pedih
dan mata berkaca-kaca. Dia sedih bukan karena tak bisa mengalahkan Pendekar
Slebor, tapi setelah menyadari kakak seperguruannya telah berubah menjadi orang
sesat yang menimbulkan keonaran.
Melihat sikapnya. sudah tentu Abirawa dan yang lain terkejut. Tetapi mereka tak
bisa berbuat apa-apa. Mata Abirawa mcnatap tajam pada Pendekar Slebor.
"Kita kembali! Susul Ketua!" ujar si Pencabut Nyawa.
Serentak rombongan itu berlalu meninggalkan tempat ini menyusul Dewi Sutera yang
sedang berlari sambil menyesali diri karena terlalu gegabah menyerang Pendekar
Slebor. Di hati kecilnya, dia rela kakak seperguruannya mati di tangan Pendekar
Slebor., *** Pendekar Slebor mendesah pendek. Hati nurani Dewi
Sutera masih bersih sekali. Sangat disayangkan kalau hatinya
yang murni dibaluri amarah yang bisa menghancurkannya.
"Ternyata..., dalam jiwa manusia itu masih ada musuh yang paling besar. Yaitu
nafsu. nafsu dari segala nafsu yang akan menyengsarakan siapa pun juga," kata
Eyang Sasongko Murti sambil lersenyum.
Pendekar Slebor juga tersenyum.
"Eyang... Dewi Sutera termasuk dalam hal itu. Juga,
kita semua. Tetapi di dasar hati kita yang paling dalam pula, selalu terdapat
kebajikan. Selalu terdapat nurani yang mengatakan kalau hal yang kita lakukan
adalah benar dan salah," sahut Pendekar Slebor yang kali ini masih bisa
bijaksana. "Kau benar, Bor! Nih, kukembalikan kain bercorak catur jelek milikmu!"
Eyang Sasongko Murti melemparkan kain bercorak
catur itu pada Andika.
"Kini aku bisa menikmati alam indah ini dengan bebas. Tetapi aku yakin, Siluman
Hutan Waringin suatu saat akan kembali. Sampai ketemu lagi, Bor!"
Tubuh berpakaian compang-camping
itu pun berkelebat, dan menghilang dalam sekali kejap.
"Pendekar.... Sekali lagi kuminta, bersediakah kau mengobati penyakit guru
kami?" kata Tapa Srenggi, ketika si tua tadi telah lenyap.
"Ha ha ha.... Aku bersedia sekali. Lebih baik, kita berangkat saja sekarang.
Karena aku khawatir keadaan Ki Mahesa Luwing semakin parah."
Wajah Sepasang Tasbih Kepalan Batu berseri-seri.
Tiba-tiba saja Angling Srenggi menoleh pada Minanti yang tercliam.
"Minanti..., hendak ke manakah kau?" tanya laki-laki botak bertasbih perak.
Minanti gelagapan.
"Aku..., aku tidak tahu......"
Angling Srenggi mendesah pendek.
"Minanti...,
sudikah kau ikut denganku ke Pesanggrahan Utara?" tawar Angling Srenggi.
Wajah Minanti sejenak terangkat. Sepasang matanya terbelalak.
Tetapi sejurus kemudian kepalanya mengangguk. Angling Srenggi mendesah lega. Tapi justru Tapa
Srenggi yang mengerutkan keningnya. melihat keberanian adik kembarnya.
Andika menepuk bahunya.
"He! Kau tidak usah iri, Botak! Bukankah masih ada gadis yang kau panggul itu?"
sentak Pendekar Slebor sambil tertawa.
Wajah Tapa Srenggi memerah.
Andika tertawa lagi.
"Sudahlah, mudah-mudahan saja gadis yang kau pondong itu menerima botakmu yang
licin itu.... Ayo, kita segera berangkat ke Pcsanggrahan Utara!"
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Segera terbit: PETA RAHASIA LEMBAH KUTUKAN
Jubah Tanpa Jasad 2 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Pedang Kayu Harum 21
^