Pencarian

Piramida Kematian 2

Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian Bagian 2


memasuki lorong rahasia menuju Ruang Penyimpanan
Harta. Setelah berjalan sekian lama dengan terbungkuk-bungkuk, akhirnya mereka
tiba juga di ruangan.
"Apa yang terjadi di ruangan ini?" gumam Andika menyaksikan ruangan porak-
poranda, seakan baru saja diobrak-abrik seekor naga luka.
Biksu Punuk Tebal sudah tak terlihat lagi di sana. "Ini ruang penyimpanan harta
Ratu Yang Mulia," gumam Nofret tak kentara. Namun, cukup bisa ditangkap telinga
Andika. "Kau tahu ruangan ini?" tanya pemuda itu. Nofret mengangguk.
"Aku hanya tak tahu kalau ada jalan rahasiayang menghubungkan Ruang Para Dewa
dengan ruang ini," jelas gadfe itu.
Andika melangkah lebih ke dalam. Dan Nofret
mengikuti. Mereka melihat peti-peti harta masih berada di sekitar kolam buatan
di pusat ruang besar bawah tanah ini.
"Kalau mereka mengincar harta, kenapa semuanya masih ada di sini?" gumam Nofret,
lagi-lagi. "Atau mereka mendapatkan sesuatu yang lain, lalu mereka tak berniat lagi pada
harta-harta itu," tukas Andika.
Pemuda itu sudah berdiri di tepi sebuah lubang besar
di bagian lain lantai. Lubang tempat peti yang dijaga gerombolan ular.
Pandangannya tertuju ke sana.
Nofret mendekati Andika. "Kau tahu tempat apa ini?"
tanya Andika. Dahi Nofret berkerut. Matanya yang lentik mengawasi tegas-tegas
lubang itu. Sepertinya, dia hendak mencari keterangan di dalam sana tentang
sesuatu yang belum diketahui. Peti besar yang kini kosong melompong, serta
bangkai ratusan ular dan bangkai seorang tak dikenal yang masih mengepul-kan
asap tipis, tak sedikit pun membuatnya bisa me-nyimpulkan apa yang telah
terjadi. "Kau belum tahu?" susul Andika. "Aneh..., mestinya ayahku memberitahukan aku
tentang lorong rahasia dan lubang ini," keluh Nofret.
Secara tak langsung gadis Mesir sudah menjawab
pertanyaan Andika barusan. Dia memang belum tahu
sedikit juga tentang tempat yang dimaksud.
Andika menggelengkan kepala. Biarpun matanya tak
ditujukan pada Nofret, namun gelengan itu dimaksudkan untuk gadis di sisinya.
"Atau, ayahmu memang tidak pernah mengetahuinya,"
duga Pendekar Slebor.
Nofret mengalihkan pandangan ke arah Andika.
Matanya agak menyipit. Perkataan Andika ditangkap
telinganya sebagai tudingan terselubung terhadap ratunya.
"Maksudmu, kau hendak menuduh Yang Mulia Ratu yang telah merencanakan ini semua"
Lagi-lagi, kau membuatku tak suka, 'Tuan'," kata Nofret bertekanan.
Kesepakatan untuk memanggil nama mereka satu
sama lain, seperti sengaja
diberangusnya dengan menyebut Andika 'tuan'.
"Hey" Ini bukan masalah suka atau tidak, Nona,"
sahut Andika agak terpancing kegusaran Nofret. "Ini masalah nyawa banyak orang
yang menjadi undangan
Ratumu. Aku tak akan pernah sudi membiarkan seseorang menzalimi pihak lain...."
"Mulutmu semakin lancang, Tuan Muda."
Tekanan kata Nofret kian meninggi.
"Kuperingatkan,
kelancangan mulutmu akan berakibat buruk!"
Seperti tak peduli pada peringatan Nofret, Andika
berbalik acuh. "Alasan itu lagi," gerutu Pendekar Slebor.
Andika memang bosan dengan alasan Nofret yang
entah untuk ke berapa kali didengarnya.
"Aku yakin, bukan hanya karena kau khawatir pada keselamatan kami, para
undangan, melainkan terlalu berhati-hati dalam mengabdikan diri pada Ratumu..
Kau mesti tahu, kehati-hatian yang berlebihan sama buruknya dengan
kecerobohan...," sindir Andika, ringan saja. Namun menghujam langsung ke dalam
hati sanubarj Nofret.
"Cukup! Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu!" putus Nofret.
Benteng kesabaran gadis ini sudah tak bisa lagi
dipertahankan. Kontan bobol oleh ucapan pemuda urakan bermulut ceriwis itu. Maka
dengan wajah merah padam, gadis Mesir mempesona itu berbalik. Ditinggalkannya
Andika menuju lorong.
"Mau ke mana kau?" tegur Andika.
"Aku akan mencari dua lelaki Tibet itu di ruangan lain!"
sahut Nofret agak bergetar, membendung kegusaran.
Pendekar Slebor hanya bisa mengangkat bahu tinggi-
tinggi. Dasar perempuan! Maki Pendekar Slebor membatin.
Penasaran dengan keadaan ruangan yang demikian
semrawut, Andika mencoba memusatkan perhatian untuk menyelidikinya. Usahanya
sia-sia, karena....
"Aaauuu...!"
Dari arah lorong tertangkap jeritan keras Nofret.
"Nofret...,"
desis Pendekar Slebor terperanjat. Sepenuh kesigapan, Andika mengayunkan kedua kakinya.
Jangan tanya lagi, bagaimana segenap ilmu lari cepatnya yang demikian dikagumi
di kalangan persilatan dikerahkan.
Karena hanya dalam sekelebatan, tubuhnya sudah
menghilang dari ruangan.
Seperti anak panah bermata, Andika menyusuri lorong
dalam kecepatan menggila. Ketinggian lorong yang
memaksa badannya membungkuk, tak menghalangi
kecepatannya. Memang gadis itu sempat membuatnya dongkol.
Bahkan sampai sekarang pun masih memendam perasaan itu. Dalam hal ini, urusan
menjadi lain sama sekali.
Keselamatan nyawa gadis itu mungkin saja terancam. Soal nyawa, bukanlah perkara
suka atau tidak suka. Bukankah begitu yang dikatakan pada Nofret belum lama ini"
Dalam waktu singkat, lesatan tubuh pemuda itu
sudah hampir mencapai tengah-tengah lorong. Sejauh itu, tak terlihat sesuatu
yang mencurigakan. Tidak juga Nofret, atau siapa pun. Kosong! Hanya kosong yang
didapat pandangannya, kecuali dinding lorong yang terus memanjang dan mengurung.
"Bangsat bau kemenyan!" maki Andika kalap.
Pendekar Slebor sadar kalau telah kecolongan.
Bukankah Nofret belum begitu lama meninggalkan
ruangan penyimpanan harta" Tak mungkin dia berjalan sampai setengah lorong!
Artinya, Andika berlari terlalu jauh dari tempat kejadian!
"Tapi, kenapa aku tak menemukan apa-apa se-
panjang lorong yang kulalui?" gumam Andika, kehilangan akal.
*** 6 Apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Nofret"
Andika tak tahu pasti. Tapi seseorang mengetahuinya amat jelas. Karena, dialah
yang membuat ulah.
Biksu Punuk Tebal! Sesuai rencananya, dia langsung menyergap Nofret di dalam
lorong. Biksu Punuk Tebal tahu, para undangan yang lain
akan mencarinya. Maka, dia pun menanti sampai Nofret melewati lorong. Pada
kesempatan pertama, rencananya tak berjalan mulus. Karena, dilihatnya Nofret
sedang menyusuri lorong bersama Pendekar Slebor. Kalau
pendekar tanah Jawa yang kesaktiannya sudah kesohor sampai ke seberang lautan
itu turut campur, rencananya bisa makin ruwet. Bahkan mungkin terancam.
Karena itu, Biksu Punuk Tebal menunggu kesempatan
kedua. Tepat ketika Nofret kembali menyusuri lorong tanpa kawalan Andika,
langsung di-sergapnya dengan cepat.
Kalaupun Pendekar Slebor tak berhasil menemukan
jejak hilangnya Nofret, hal ini karena Biksu Punuk Tebal menyergap gadis itu
dari salah satu pintu rahasia lorong yang diketahuinya dari peta.
"Lepaskan aku! Kurang ajar kau!" maki Nofret di atas bahu Biksu Punuk Tebal.
Lelaki gundul berbadan agak gempal itu membawa
Nofret ke sebuah ruangan tersembunyi dalam keadaan tertotok. Kemudian
diturunkannya tubuh gadis itu dengan kasar."Apa maumu sebenarnya"!" tanya Nofret
keras. Wajahnya bukan main merah matang, disesaki kemarahan.
Seringai khas Biksu Punuk Tebal mengambang di
bibirnya. "Kau cantik, Nona. Bahkan bisa amat menggiurkan.
Tapi aku tak berminat untuk berbuat macam-macam
padamu...," kata Biksu Punuk Tebal, berdiri berkacak pinggang di depan Nofret
yang dibiarkan tergeletak tanpa tenaga.
"Lalu, apa maumu"!" ulang Nofret, lebih melengking.
Tenang tapi pasti, Biksu Punuk Tebal mengeluarkan
gulungan papirus berisi peta piramida dari balik jubahnya.
"Kau lihat ini...," ujar Biksu Punuk Tebal penuh ketegasan seraya mendekati
Nofret. Dibentangkannya peta itu persis dua jengkal di depan wajah Nofret.
"Lihat baik-baik tanda tongkat kebesaran di peta ini!"
Melihat papirus itu, raut wajah Nofret berubah. Dia tampak begitu terperanjat.
"Dari mana kau dapatkan itu"!" tanya gadis ini memburu.
"Aku tak bertanya untuk mendapat pertanyaan pula!"
hardik Biksu Punuk Tebal tiba-tiba. Menggelegar dan padat kegusaran. "Jawab
pertanyaanku! Dan, jangan banyak tanya! Aku tak sabar meladeni orang bermulut
rewel!" Dengan berani, Nofret menantang tatapan beringas
Biksu Punuk Tebal.
"Kau akan segera menemui Dewa Anubis untuk
diadili!" geram gadis itu.
Plak! Satu tamparan keras menimpa pipi halus Nofret.
Sangat pedas dirasakan. Namun begitu, dia termasuk beruntung. Biksu Punuk Tebal
tak bermaksud cepat-cepat menghabisinya.
Tamparan tadi dilakukannya
hanya menggunakan tenaga luar.
"Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku tak sabar menghadapi orang yang banyak
mulut," cemooh Biksu Punuk Tebal dengan bibir mencibir memuakkan.
Sebelum berkata lagi, biksu murtad itu menjemput
wajah Nofret dengan tangannya. Dicengkeramnya dagu gadis jelita ini geram-geram.
"Katakan padaku, apa yang kau tahu tentang tempat dalam peta bertanda tongkat
kebesaran itu!" bentak Biksu Punuk Tebal dengan kelopak mata membeliak.
"Aku tidak tahu...," sahut Nofret datar, dan diucapkan satu-satu.
"Perempuan laknat!" bentakBiksu Punuk Tebal, lalu....
Plak! "Aaah!"
Tamparan Biksu Punuk Tebal sekali ini dibarengi
ledakan kemurkaannya. Biarpun tak mengerahkan tenaga dalam, namun tetap saja
berakibat tak ringan bagi Nofret yang sebenarnya tak memiliki kepandaian bela
diri sedikit pun. Didahului pekikan tertahan, kepala Nofret yang semula
tersandar di dinding, terkulai di lantai. Sebelah pipinya menjadi memar.
Sedangkan dari sudut bibir
ranumnya, mengalir darah segar. Tamparan keras itu nyaris saja membuatnya
pingsan. Tanpa kenal kasihan, tangan kekar Biksu Punuk Tebal mencengkeram baju sutera
putri Nofret di bagian dadanya.
"Katakan padaku, Nona! Katakan! Sebelum kesabaranku benar-benar habis!" ancam lelaki Tibet ini seraya mendekatkan wajah
lunglai Nofret ke wajah
bengisnya. Kelopak mata Nofret bergerak kuyu dan lamban.
Lamban pula kepalanya menggeleng.
"Cari tahulah di neraka sana...," sahut Nofret lirih.
"Perempuan lacur! Mampuslah kau!" maki Biksu Punuk Tebal.
Tubuh Nofret dihempaskan ke lantai kembali. Lalu
Biksu Punuk Tebal cepat mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. Untuk
hantaman kali ini, agaknya Nofret akan menerima hajaran bertenaga dalam.
Rahangnya akan remuk, dan lehernya akan retak.
"Hih!"
Tap! Sesuatu yang tak pernah terduga Biksu Punuk Tebal
mendadak terjadi begitu saja. Tangannya yang siap
melunc ur deras ke wajah memelas Nofret tiba-tiba terhenti di udara. Terasa ada
tangan kekar ber-otot yang
menghadangnya....
"Kalau beraninya hanya pada perempuan, kenapa kau tak menjadi tikus koreng
saja...," ejek si pemilik tangan
yang tenyata Pendekar Slebor.
Rupanya dengan agak susah payah, akhirnya Andika
bisa menemukan jejak Biksu Punuk Tebal sampai tiba pula di
ruang ini. Bagaimana Pendekar Slebor bisa menemukannya"
Dengan kecerdikan akalnya, Andika menduga kalau
ruang rahasia dapat terbuka dengan mendorong dindingnya. Dan Andika sadar bahwa hilangnya Nofret, masih berada di sekitar
lorong. Berarti, di balik dinding lorong, terdapat ruangan.
Berpikir demikian,
disertai ilmu lari cepatnya,
Pendekar Slebor melesat ke arah tempat dia tadi bersama Nofret sambil tangannya
memukul-mukul sekuat tenaga pada dinding-dinding lorong di kanan dan kirinya.
Hasilnya, salah satu dinding lorong terbuka. Dan, di sanalah dia menemukan Biksu
Punuk T ebal yang tengah mengancam keselamatan Nofret.
Sementara itu, kalau Nofret menyambut kedatangan


Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Slebor dengan rintihan lemah, Biksu Punuk Tebal sudah pasti lain lagi.
Bibirnya terungkit-ungkit bersama hidungnya. Niatnya yang terjegal untuk
menghajar habis Nofret membuat darahnya kian mendidih sampai ke ubun-ubun.
"Kau akan mampus bersama perempuan lacur itu, Pendekar Slebor!" dengus lelaki
Tibet ini seraya membabat cengkeraman tangan Pendekar Slebor dengan tasbih
ganjilnya. Wuk!
Seperti tak disengaja, santai saja Pendekar Slebor melepas cekalan tangan pada
tangan Biksu Punuk Tebal pada saat tasbih itu tinggal berjarak setengah jengkal
lagi. Hebatnya, senjata maut itu sama sekali tak menyentuh, bahkan sekadar kulit
tangan pemuda itu. Lalu dengan sikap acuh seakan tidak sedang menghadapi seorang
lawan pun, dihampirinya Nofret.
"Kau tidak apa-apa, Nofret?" tanya Pendekar Slebor dikawal senyum kebodoh-
bodohan. Wuk! Saat yang sama, Biksu Punuk Tebal memburu lagi
dengan senjata mautnya. Pendekar Slebor yang sedang berjongkok untuk membebaskan
Nofret dari totokan,
hendak dibokongnya.
Tuk! Hanya beberapa kedipan berselang setelah terdengar suara halus totokan di tubuh
Nofret, tubuh Pendekar Slebor bergerak memutar amat cepat. Lalu disusul
kelebatan tangannya.
Wuk-cletar! Sekedip mata, tasbih Biksu Punuk Tebal menjadi
berpentalan ke segenap penjuru. Salah satu bijinya yang terbuat dari tengkorak
manusia kontan lebur laksana batu kapur tertimpa reruntuhan gunung!
Kalau senjatanya yang selama ini begitu dibanggakan hancur demikian rupa, tentu
saja ledakan ke-murkaan Biksu Punuk Tebal tak bisa terelakkan lagi. Tokoh sesat
jajaran atas di tanah Tibet ini kalap sehebat-hebatnya.
"Jangan merasa sudah hebat, Anak Ingusan!" geram Biksu Punuk Tebal sarat tekanan
serta getaran. Andika menanggapinya dengan ringisan bodoh.
"Kau belum lagi merasakan kesaktian-kesaktianku yang lain!" tambah Biksu Punuk
Tebal, amat mengancam.
"Dan kau juga belum merasakan terkencing-kencing di celana" He-he-he...." ejek
Pendekar Slebor, tambah menjengkelkan.
Biksu Punuk Tebal mendengus berat. Dihirupnya
napas dalam-dalam. Amat dalam. Bahkan kemampuan
seorang berparu-paru besar sekalipun, tak akan sanggup melakukannya. Yang
terjadi selanjutnya benar-benar mustahil bagi pandangan Pendekar Slebor.
Dada Biksu Punuk Tebal menjadi menggelembung,
dart terus menggelembung. Besarnya bahkan lebih dari perut seorang wanita hamil
tua! Andika pernah memang mendengar tentang ke-
hebatan ilmu-ilmu Tibet yang begitu handal menguasai pengaturan tubuh. Seorang
yang bisa membangkitkan
tenaga petir dalam tubuhnya. Ada juga yang bisa berjalan
di atas bara tanpa luka. Dan sebagainya. Tapi kalau menggembungkan dada sampai
sebesar itu"
Keterperangahan Pendekar Slebor dipancung oleh
teriakan serak tercabik yang keluar dari kerongkongan Biksu Punuk Tebal.
Terdengar menyakitkan, seolah lelaki licik ini mengalami siksaan luar biasa.
"Astaga! Apa dadanya akan meledak?" gumam Pendekar Slebor ngeri.
Saat berikutnya, Pendekar Slebor segera tahu. Biksu Punuk Tebal itu bukanlah
hendak bunuh diri karena harga dirinya terinjak-injak oleh perbuatan Pendekar
Slebor yang berhasil
melebur senjatanya, tapi justru sedang mengerahkan satu ilmu langka yang bisa saja hanya
pernah dipakai beberapa kali dalam seumur hidup!
"Khiaaarrrhhh!"
Berkawal teriakan kedua yang menyakitkan. Mulut
Biksu Punuk Tebal menyemburkan gumpalan-gumpalan
udara berkekuatan tiga ekor banteng luka! Setiap
gumpalan udara sebesar kepalan tangan, sepertinya
meluruk tanpa tenaga. Terlalu lamban bagi seorang
pendekar berilmu tinggi seperti Pen?dekar Slebor.
Andika bisa menyaksikannya. Tapi dia menyangsikan
kesan remeh yang terlihat. Sebagai pendekar muda yang sudah cukup kenyang
menelan asam garam dunia
persilatan, dia tentu saja tak mau ceroboh.
Untuk menjajaki bagaimana kekuatan gumpalan
udara yang disemburkan Biksu Punuk Tebal, Pendekar Slebor tidak berusaha
menghindar. Anak muda itu justru menghadang gumpalan udara itu dengan sapuan
senjata pusakanya dengan kekuatan setengah dari seluruh
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Wuthhh! Blup! Sapuan kain bercorak catur bertenaga dahsyat yang
sesungguhnya sanggup memporak porandakan tembok
setebal dua tombak itu, ternyata seperti melabrak asap.
Gumpalan udara yang dikirim Biksu Punuk Tebal sama sekali tidak terjegal.
Akibatnya.... Blap! Dada Pendekar Slebor pun langsung menjadi sasaran
empuk. Tubuhnya tidak terlihat terpental atau tersentak.
Sebaliknya, sekujur otot di tubuhnya pada saat itu juga menjadi kaku. Terkunci
sebentuk kekuatan yang sulit dimengerti!
Di samping itu, Andika merasakan kebekuan yang
menggigit ganas. Rasa dingin yang jauh lebih hebat daripada gunung es kutub
selatan! Mata Andika hanya bisa membeliak manakala
gumpalan udara yang lain terus mendekat. Satu gumpalan saja, telah membuatnya
menjadi membeku. Bagaimana
pula jika ada satu gumpalan lain menerpa" Tentu dia benar-benar akan menjadi
patung es. Kaku, retak-retak.
dan kehilangan nyawa!
Saat itu juga Pendekar Slebor mencoba untuk
mengempos seluruh tenaga sakti tingkat puncak ke
segenap tubuhnya, untuk melantakkan kebekuan yang
menguncinya. Ternyata usahanya sia-sia. Sepertinya, tenaga sakti tingkat
kesembilan belasnya pun membeku!
Pada saat-saat antara hidup dan mati seperti itu, tak ada lagi yang bisa
diperbuat pendekar muda ini selain menyerahkan semuanya kepada kekuatan Sang
Penguasa Alam.Dan kejadian tak terduga terjadi....
"Waaa!"
Biji mata Biksu Punuk Tebal saat itu seperti hendak melempar keluar. Raut
wajahnya sulit digambarkan. Yang jelas menggambarkan seseorang yang sedang
menderita rasa sakit hebat sepanjang hidupnya. Mulutnya terbuka amat lebar,
seperti hendak merobek rahangnya sendiri.
Sementara, sepasang tangannya mendekap selangkangannya yang dibanjiri warna merah.
Pendekar Sleborkah yang telah melakukannya" Tidak!
Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu sendiri tengah terkungkung
dalam satu kekuatan tak nampak yang berisi hawa sedingin es. Dan kalau tiba-tiba
Biksu Punuk Tebal menjadi begitu, bagaimana Pendekar Slebor tak terperanjat"
Merasa yakin ada orang lain dalam ruangan itu,
Andika dalam keterpakuannya hanya mencari-cari waspada. Hasilnya, telinga Pendekar Slebor hanya mene?mukan kesunyian dan matanya hanya menelan
tubuh Biksu Punuk Tebal yang sudah ambruk menjadi
bangkai. Bahkan sampai cukup lama menanti, Andika tetap tak menemukan apa-apa
atau siapa-sia-pa....
"Itu tadi perbuatanku, Andika...," cetus Nofret di belakangnya.
Andika tak cepat menoleh. Dia masih terpaku dengan mulut terkuak, walaupun
sebenarnya kini kungkungan yang membelenggu dirinya telah sirna. Dia tengah
berusaha meyakinkan diri kalau baru saja salah mendengar ucapan Nofret barusan.
"Aku yang melakukannya, Andika. Lelaki itu terlalu berhati binatang untuk tetap
dibiarkan hidup...," tandas Nofret, masih tetap dengan suara lirih.
Barulah Andika berbalik perlahan.
"Kau yang melakukannya?" ulang Andika. Raut wajahnya digelayuti kesan ketidak
percayaan. Terlihat jelas dari pangkal hidungnya yang agak berkerut.
Nofret bangkit tertatih.
"Ya!" sahut gadis itu tanpa menoleh.
"Tapi...."
Andika tak bisa melanjutkan kalimatnya karena tubuh Nofret keburu ambruk. Dan
dia harus cepat menyergapnya.
*** 7 Sepertinya seluruh kejadian dalam Piramida Tonggak Osiris telah digerayangi
teka-teki. Kejadian demi kejadian makin terseret dalam pusaran membingungkan.
Untuk seorang berotak cemerlang seperti Pendekar Slebor pun semuanya masih demikian
samar. Belum lagi sebentuk pertanyaan dapat disingkap, pertanyaan yang
berikutnya sudah menjelma di depan mata.
"Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya pada lelaki busuk itu" Padahal, aku
sama sekali tak menangkap gerakanmu" Telingaku yang kuyakin tergolong peka pun,
tak menangkap suara gerakan apa-apa" Lalu, bagaimana kau bisa melakukannya?" be-
rondong Andika pada Nofret.
Nofret yang telah siuman setelah Andika me-
nyalurkan hawa murni untuk mengembalikan kesegaran tubuhnya, menatap Andika
lekat-lekat. Mereka masih di ruangan yang sama.
"Ayahku seorang Pendeta 'Ka' sekaligus seorang ahli sihir, Andika. Sebagai anak
tunggalnya, aku diwarisi pula ilmu itu...," tutur Nofret.
Mulut Nofret membuka. Sekarang, rasanya dia
mengerti. "Jadi kau menggunakan sihir?" tanya Pendekar Slebor seperti tak menghendaki
jawaban. Sinar mata Andika mulai tampak mencurigai Nofret
kembali, seperti sebelum-sebelumnya.
"Kau menggunakan sihirmu untuk membunuh biksu palsu dari Tibet itu.... Bagaimana
dengan Hakim Tanpa Wajah" Lelaki tua yang mati di lubang berpasir itu?" desak
Andika mulai pula menyudutkan.
Anak muda itu bangkit dari sisi Nofret yang masih
setengah berbaring di lantai. Kemudian kakinya melangkah ke satu sudut ruangan.
"Kau jangan menuduhku sembarangan, Andika!"
sergah Nofret. Gadis ini memang sudah bosan disudutkan terus
seperti itu. Karenanya, perasaannya pun makin tak
terkendali bila pemuda yang sebenarnya telah menanamkan benih-benih cinta di lubuk hatinya itu mulai kembali dengan segala
kecurigaannya. "Aku memang yang membunuh biksu Tibet palsu itu dengan kemampuan sihirku.
Sewaktu perhatiannya terpusat padamu, dengan ilmu sihir aku menciptakan ular dari tongkatku ini. Dan
ular itu diam-diam merayap, lalu melalap kelaki-lakian Biksu Punuk Tebal. Tapi,
terus terang, selama kalian tiba, baru kali ini aku menggunakannya...,"
sangkal Nofret, membela diri.
"Kau ingin berkata bahwa kematian Hakim Tanpa Wajah bukan perbuatanmu?"
"Ya!" tegas Nofret.
"Lalu..., siapa yang berbuat?" Andika menatap Nofret tajam-tajam.
Dari sinar sepasang mata berbulu lentik itu, Andika mencoba menilai apakah
Nofret berdusta. Nyatanya, tak secercah pun ditemukan sebersit kedustaan.
Wajah Nofret berubah. Mendadak gadis itu bangkit.
Didekatinya mayat Biksu Punuk Tebal. Dari salah satu telapak tangan mayat itu,
dipungutnya selembar papirus.
"Barangkali papirus ini bisa menjawabnya," kata Nofret seperti bergumam.
Pendekar Slebor tertarik. Dihampirinya Nofret. Lama Andika hanya menunggu gadis
Mesir itu mengamati peta di atas lembaran papirus. Beberapa kali warna wajahnya
berubah. Beberapa kali pula hendak mengajukan pertanyaan, namun selalu dicegah Nofret dengan isyarat tangan.
"Kali bisa membuatku mati penasaran kalau terus begitu!" sentak Andika dongkol
setengah edan. "Katakan padaku, apa yang kau temukan pada papirus itu. Dan,
ceritakan pula kenapa benda itu ada di tangan biksu sundal ini!"
"Tampaknya...," desah Nofret terputus, ragu untuk meneruskan kalimat.
"Waduuuh!" gerutu Andika. Ditamparnya kening sendiri keras-keras. "Kau benar-
benar mau membuatku mati penasaran, ya"!"
Cukup lama Nofret menatap mata elang pemuda di
dekatnya. Seakan dia hendak meminta dorongan agar bisa meneruskan kalimat.
"Ayo, katakan. Apa pun yang bakal terjadi, aku siap membantumu. Asal, kau berada
di pihak yang benar!" ujar Andika, mendorong semangat Nofret.
Puas memadati paru-parunya dengan udara, lalu
menghempaskannya lewat hembusan panjang, Nofret mau juga mengatakan pada Andika
hal yang mengusik dirinya, setelah membaca papirus tadi.
"Tampaknya dugaanmu benar, Andika. Mungkin
Ratuku lah yang telah merencanakan semua ini...," tutur Nofret seperti berbisik
amat hati-hati. "Apa isinya" Apa isinya" Jangan terus membuat teka-teki seperti
ini, Nofret?"
desak Andika, bergegas.
"Peta pada papirus ini menjelaskan tentang seluruh rancang bangun Piramida
Tonggak Osiris,...
Nofret membisu dahulu. Dan ini membuat Andika
makin gemas saja.
"Juga tentang rencana bangun semua jalan dan
tempat rahasia yang aku sendiri tak pernah tahu. Dari tanda-tandanya, aku bisa
tahu kalau beberapa tempat memang sengaja diciptakan jebakan-jebakan maut tanpa
ampun...," lanjut gadis itu.
Pendekar muda yang sebenarnya telah kenyang
menelan sekian kisah kengerian dunia persilatan itu pun sempat bergidik
mendengar penuturan Nofret. Bukan apa-apa. Mereka di dalam bangunan kuno ini tak
lebih orang-orang asing yang buta. Ibarat binatang buruan buta, mereka akan
begitu mudah menjadi santapan mata panah si pemburu!
Jari telunjuk Nofret menunjuk tanda
tongkat kebesaran Raja Mesir pada satu bagian peta.
"Kau lihat gambar ini?" tanya gadis itu tanpa
mengharapkan jawaban Andika. "Tanda itu adalah lambang kekuasaan tertinggi.


Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau tanda itu disematkan di salah satu ruangan dalam peta, artinya...."
"Ruangan ini berhubungan erat dengan kekuasaan lertinggi," sela Andika
menyimpulkan. "Atau dengan kata lain, seorang yang bisa memasuki ruangan itu
akan mendapatkan kekuasaan...."
"Ya!" sahut Nofret, singkat.
"Apa nama ruang itu?"
Nofret meneliti papirus.
"Ruang Pusaka Para Ahli Sihir Ratu," sebut gadis ini kemudian, setelah membaca
sebaris tulisan Mesir Kuno.
*** Nofret serta para undangan telah berkumpul kembali
ke Ruang Para Undangan. Jumlah mereka kini menyusut menjadi sepuluh orang. Empat
orang lainnya, Hakim Tanpa Wajah, Dua Biksu Dari Tibet, dan suami si Manyar
Wanita, sudah menjadi tumbal bagi Piramida Tonggak Osiris.
Sebelum menuju ke sana, Andika meminta Nofret
untuk merahasiakan dahulu perihal peta yang didapat dari tangan Biksu Punuk
Tebal. Sebab bukan tidak mungkin di antara para undangan lain ada yang berhasrat
untuk mendapatkannya. Kalau itu terjadi, maka pertumpahan darah bisa pula tak
terelakkan. Baru saja tiba, Pendekar Slebor sudah dihadapkan
pada berita kematian mendadak suami si Manyar Wanita yang mengerikan.
"Wuaaa...! Hik-hik-hik! Suami jelekku mati tanpa permisi lagi," lapor Manyar
Wanita, langsung menghambur ke dada bidang Andika.
Maksud wanita ini cuma mau mengadu pada
pendekar muda yang membuat dadanya kebat-kebit. Tapi karena terlalu berlebihan,
justru malah terlihat seperti orang hendak melantakkan tulang-belulang Pendekar
Slebor. Andika dipeluknya erat-erat, tak ketinggalan pula
diguncang-guncangkannya keras-keras.
Tinggal Andika meringis-ringis dengan napas Senin-
Kamis.... "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Andika, setelah Manyar wanita berhasil
'dijinakkan'. "Kejadiannya begitu cepat. Ketika kami hendak menyusul kalian, lelaki yang
tinggal sendiri di ruangan itu tiba-tiba menjerit. Begitu kami memburu ke sini,
yang didapat cuma mayat yang sudah dikerubungi ulat-ulat menjijikkan," cerita
Hiroto. Padat dan tak bertele-tele.
Pendekar Slebor manggut-manggut. Entah percaya,
entah tidak. "Kami sudah mencoba menyelidiki, tapi tak berhasil,"
tambah Hiroto dengan wajah kecewa.
Andika melirik Chin Liong. Maksudnya meminta
kepastian ksatria Cina yang sekaligus sahabatnya. Chin Liong mengangguk,
menyetujui seluruh cerita Hiroto. Dari sini, baru Pendekar Slebor percaya penuh
pada cerita tadi.
"Apa kau menemukan sesuatu?" tanya Andika pada Chin Liong.
Chin Liong menggeleng. Wajahnya juga kecewa,
seperti Hiroto.
"Kau punya otakyang jernih, Andika. Aku justru berharap, kau dapat memecahkan
teka-teki ini," keluh Chin Liong."Ya... huu-hik-hik," timpal Manyar Wanita.
"Pokoknya aku harus tahu, kenapa suamiku tiba-tiba jadi bangkai. Ya!
Biarpun dia jelek, kan tetap bisa jadi teman tidur... hu-hi-hik-hik...."
Nofret menarik pangkal lengan Andika. Diajaknya
pemuda itu ke sudut ruangan. Dari wajahnya, jelas sekali kalau gadis itu hendak
berbicara empat mata dengan Pendekar Slebor.
Sambil mengikuti langkah Nofret, mata Andika
mengawasi tangan halus
dara Mesir yang masih
memegangi pangkal lengan. Sudah berani rupanya gadis ini memegang. Begitu bisik
hati Andika, senang.
Sadar kalau tindakannya diamati, Nofret menjadi
jengah. Dilepaskannya pegangan tangannya.
"Kenapa dilepas" Aku memperhatikannya bukan
berarti tak suka!" goda Andika urakan. Nofret hanya bisa tersenyum sungkan. "Ada
apa" Kau mengetahui sesuatu?"
tanya Andika kemudian, saat mereka sudah cukup aman dari jangkauan
pendengarannya yang lain.
"Peta tadi," bisik Nofret teramat halus di dekat telinga Andika.
Hidung Pendekar Slebor sampai bisa mencium aroma
tubuhnya. Bahkan dikhawatirkan bisa melempar anganangan pemuda itu melayang ke
hal yang bukan-bukan.
"Kalau di ruang ini terdapat juga jebakan rahasia, tentu kita bisa memastikan
bentuk jebakan itu, dan di mana di tempatkannya...," sambung Nofret.
Karena terlalu menikmati keharuman tubuh Nofret,
pendekar muda urakan ini jadi tak begitu memperhatikan apa yang diucapkan
Nofret. Matanya menerawang jauh entah ke mana. Napasnya dita-rik panjang-
panjang. Dasar kadal!
"Kau paham maks udku?" tanya Nofret agak bingung, karena pemuda itu tampak
seperti memikirkan hal yang lain.
"Ah ah, apa" Apa?" Andika malah bertanya tergagap.
"Peta itu," ulang Nofret agak kesal.
Andika seperti orang linglungsebentar.
Untung otaknya memang cukup handal untuk menyimpulkan
dengan cepat perkataan
lerakhir Nofret.
Biarpun, selebihnya sama sekali dia tidak mendengar.
"O, iya. Peta itu!"
Nofret mengurungkan niat untuk mengeluarkan
papirus dari balik bajunya.
"Lebih baik kita meneliti peta itu di luar," usul Nofret.
"Sikap kita nanti malah akan menimbulkan kecurigaan...."
"O, iya. Di luar!" bisik Andika, lagi-lagi membeo.
Belum sempat mereka tiba di mulut pintu....
"Berikan peta itu padakuuu...!"
Mendadak seseorang bergerak kaku bagai mayat baru
bangkit dari kubur menghadang mereka. Suaranya
terdengar berat dan serak menyeramkan. Bahkan hampir-hampir sulit ditangkap.
Nofret nyaris memekik melihat siapa orang itu. Untung saja tangannya segera
mendekap mulut. Sementara
matanya membelalak ngeri. Meski tak separah Nofret, Pendekar Slebor dipaksa
tercekat juga. Orang yang
menghadang mereka ternyata... Biksu Punuk Tebal!
Sebentuk pusaran pertanyaan langsung berkecamuk
dalam benak kedua anak muda itu. Bukankah Biksu Punuk Tebal sudah mati"
Bagaimana mungkin masih bisa
berjalan ke tempat ini" Atau mereka telah salah
memeriksa mayatnya"
"Berikan ituuuhhh padakuuu...," pinta Biksu Punuk Tebal.Kaki lelaki yang kini
mayat hidup itu melangkah satu-satu, terseret dan tersendat. Wajahnya sudah
tidak mencerminkan kehidupan lagi. Kecuali, pijar dingin dari dasar manik
matanya yang bagai lentera dari alam kubur!
Nofret tersekat mundur. Tangannya masih mendekap
mulut. Wajahnya diberangus ketakutan teramat sangat.
Sementara Pendekar Slebor berusaha menenangkan
diri Nofret. Didekapnya tubuh gadis itu erat-erat ke dada bidangnya. Lalu dia
pun mulai mengatur langkah ke
belakang. Pendekar Slebor hendak menyusun kesiagaan bila mayat hidup itu
menerkam.... *** 8 Tepat seperti dugaan Pendekar Slebor, mayat hidup
itu ternyata benar-benar melakukan serangan. Dibarengi teriakan, mayat hidup
Biksu Punuk Tebal menerkam
Andika dan Nofret. Tangannya mengejang ke depan.
Mulutnya membuka lebar, memperlihatkan barisan giginya seakan siap mengunyah
daging korban. "Khrrrhhh!"
Dengan gerakan sigap, Pendekar Slebor mendorong
Nofret ke belakang. Baginya, untuk menghadapi serangan macam itu tidaklah
terlalu sulit. Tapi kalau masih ada Nofret di pelukannya, persoalan jadi lain.
Yakin kalau Nofret sudah cukup aman, pendekar
muda tanah Jawa itu langsung memasang kuda-kuda
sambutan. Sewaktu terkaman mayat hidup itu sampai, cepat tubuhnya disingkirkan
ke samping. Terkaman liar mayat Biksu Punuk Tebal Iolos.
Tubuhnya meluruk begitu saja ke sisi Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor hendak mengirimkan satu babatan
telapak tangannya ke belakang kepala mayat hidup itu.
Namun, belum lagi tangannya bergerak, jasad mati Biksu Punuk Tebal sudah ambruk
di tanah. Di lantai tubuh itu mengejang-ngejang
sejenak, kemudian diam tidak berkutik. Andika yang baru siap memasang jurus babatan
tangan menjadi terdiam tak mengerti. Hanya sampai di situkah kekuatan Biksu
Punuk Tebal" Semula dikiranya dia akan menerkam serentetan serangan maut yang
dahsyat. Untuk meyakinkan diri kalau mayat Biksu Punuk Tebal tak akan bangkit kembali,
Andika mencoba membalik
tubuh yang tertelungkup itu dengan se-belah kakinya.
Begitu mayat membalik, Pendekar Slebor langsung
menelan pemandangan menjijikkan.
Tampak wajah serta leher mayat Biksu Punuk Tebal
sudah digerogoti ulat-ulat kecil. Binatang-binatang kecil itu meliuk-liuk dalam
lobang yang dibuat pada kulit mayat
Biksu Punuk Tebal! Belum lagi lendir berwarna kuning kental di sekeliling ulat-
ulat kecil itu....
Andika sendiri sampai hendak muntah. Pemandangan
itu terlalu menjijikkan. Bahkan bagi seorang yang biasa berkalang bangkai
sekalipun! Yang paling repot menyaksikan keadaan mayat Biksu
Punuk Tebal adalah Manyar Wanita. Kembali wanita itu memulai teriakan-teriakan
kaleng rombengnya yang
diramaikan pula dengan isak senyaring denging bagi hutan.
"Wuaaa! Ya! Seperti itu suamiku tadi! Suamiku tersayang jadi makanan ulat-ulat
kecil... hik-hik-hik! Kenapa orang sejelek dia mesti mengalami nasib senaas itu,
ya" Hih-hik-hik... huuu!"
"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Dua Biksu Dari Tibet itu, Andika?" tanya si
Gila Petualang, mencoba mengalihkan perhatian pada pemandangan menjijikkan di
tengah ruangan.
"Menurut perkiraanku, mereka hendak mencoba
berbuat culas. Tanpa sengaja, mereka mungkin menemukan jalan rahasia yang menghubungkan ke ruang penyimpanan harta. Lalu,
mereka memutuskan untuk
memisahkan diri dari rombongan, dan mengambil harta di ruang penyimpanannya...,"
cerita Andika. "Lalu?" susul si Gila Petualang.
"Seorang dari mereka tampaknya menemui ajal di ruang itu. Sedang yang seorang
lagi...." Andika tak meneruskan laporannya. Dia baru sadar,
kalau terus meruntut kejadian yang telah diketahuinya.
Maka pada akhirnya, peta yang sengaja dirahasiakan pun akan terangkat ke
permukaan. "Kenapa dengan yang seorang lagi?" tanya si Gila Petualang karena rasa
penasarannya jadi terusik.
Andika masih ragu. Benaknya menimbang-nimbang,
apakah sudah bisa mencentakan perihal peta piramida pada orang lain, selain
dirinya dan Nofret. Bukannya Andika tak percaya dengan orang tua itu, tapi hanya
mencoba untuk berhati-hati. Sebab kalau rahasia itu bocor,
akibatnya akan terlalu buruk. Bisa jadi, ada salah seorang anggota rombongan
yang menjadi mata gelap demi
mendengar ada satu ruang tempat penyimpanan benda
pusaka para ahli sihir Raja Mesir. Bukankah di bagian mana pun di dunia ini,
iblis selalu siap menghasut hati-hati yang rapuh"
Pertimbangan-pertimbangan dalam benak Pendekar
Slebor mendadak terpenggal ketika....
"Aaa!"
Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara jeritan takut yang dikenalnya
sebagai suara Nofret.
Andika cepat berbalik.
"Nofret...," desis Pendekar Slebor.
Saat itu juga Pendekar Slebor melihat gadis yang
dimaksud sedang dibekap di bagian lehernya oleh laki-laki berjuluk Kepala Kacang
dari belakang. Wajah menawan yang sebelumnya sudah pucat kini semakin pucat
dibawah ancaman senjata lelaki jangkung di belakangnya. Di tangan Kepala Kacang,
tergenggam sebuah lempeng logam
berbentuk taji yang tajam luar biasa. Benda berwarna perak itu digenggam tepat
di antara jari telunjuk dan tengah, seperti kuku Bima dalam cerita pewayangan.
Ujung runcingnya sendiri menempel tepat di tenggorokan Nofret.
Sehingga memaksa gadis itu menengadah ngeri.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Kepala Kacang?"
tanya Chin Liong tak habis pikir.
Sama sekali pemuda sahabat Andika itu tak men-
duga kalau lelaki jangkung yang selama ini lebih banyak diam ternyata memendam
kebengisan. Kepala Kacang tak menjawab. Wajah pucatnya saja
yang bergerak-gerak. Sedangkan matanya terarah lurus pada Pendekar Slebor.
"Hey" Tampaknya kau mulai menyukai ketam-
pananku, atau bagaimana?" koar Andika, mencoba menenangkan suasana tegang.
"Jangan berpura-pura padaku, Pendekar Slebor! Kalau kau bisa berdusta pada
mereka, jangan harap bisa
berdusta padaku!" bentak Kepala Kacang, disertai geraman.
"Dusta" Dusta pada siapa" Apa ada yang merasa telah kudustai?" cerocos Andika
lagi, berpura-pura tidak paham maksud Kepala Kacang. Padahal, dia sudah bisa
menduga apa yang sedang di ncar Kepala Kacang dengan menyandera Nofret.
"Berikan gulungan papirus itu padaku!" ujar Kepala Kacang dengan bentakan
bergema. Andika maju mendekat beberapa tindak.
"Papirus!" Di sini banyak sekali papirus. Papirus mana lagi yang kau maksud?"
Masih saja Andika mencoba bermain kucing-kucingan.
Sementara itu, mata elangnya meneliti siaga, menanti kelengahan lawan.
"Jangan coba teruskan langkahmu, Pendekar Slebor!
Kau akan menyesal seumur hidup, jika leher mulus gadis ini tertembus senjataku,"
ancam lelaki jangkung berwajah pucat itu.
Andika mengangkat bahu. Wajahnya sengaja dibuat-
buat. Terkadang meringis bodoh, terkadang pula memaju-majukan
bibirnya. Tujuannya, tentu

Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja hendak memancing kemarahan si Kepala Kacang. Kalau darah
lelaki jangkung berkepala kecil itu sudah menggelegak ke ubun-ubun, maka
kewaspadaannya biasanya menjadi
melemah. Saat itulah mungkin menjadi saat yang tepat pagi Andika untuk
menyergapnya. Sebenarnya, Pendekar Dungu yang terus tekun duduk
dengan kepala terangguk-angguk mengantuk, bisa saja melakukan tindakan cepat.
Selaku tokoh tua yang tak tertandingi, kecepatan geraknya bisa amat menentukan
untuk menyelamatkan Nofret.
Sayang seribu, bahkan sejuta kali sayang.... Pendekar bangkotan itu terlalu
dungu untuk memikirkan tindakan apa yang mesti dilakukan. Jangan lagi untuk
bertindak. Untuk menentukan, apakah si Kepala Kacang adalah
musuh yang harus dibasmi atau bukan saja, dia masih
kebingungan sendiri.
Kalau orang lain digelayuti ketegangan untuk mencari cara membebaskan Nofret, si
tua itu kini malah memulai kerja sehari-harinya. Mengupil hidung!
"Apa kau pikir aku tak mendengar kasak-kusukmu dengan gadis cantik ini barusan?"
cibir si Kepala Kacang.
"Semuanya bisa jelas tertangkap sekaligus!"
Putri Ying Lien yang berdiri tak begitu jauh dari tempat si Kepala Kacang
menahan Nofret, menjadi mengerutkan dahi. Kalau telinganya yang begitu terlatih
saja ternyata tak sanggup menjaring bisik-bisik Andika dengan Nofret, bagaimana
lagi kepekaan pendengarannya lelaki jangkung itu" Sebenarnya kalau Putri Ying
Lien atau Andika tahu, mereka akan segera memaklumi. Si Kepala Kacang adalah
salah seorang pemuja iblis sejati. Apa yang dilihatnya, adalah seperti apa yang
sanggup dilihat makhluk-makhluk terkutuk. Dan apa yang didengarnya, adalah
segala apa yang bisa didengar makhluk-makhluk terkutuk. Seperti juga apa yang
dipikirkannya....
Untuk menyatukan kesaktian setan dalam dirinya,
setiap catur purnama, lelaki berpenampilan seperti mayat itu akan memburu
manusia untuk dijadikan santapan
malam! Ya! Hanya lewat kebiadaban, dia bisa tetap
menyatukan diri dengan makhluk jahanam pujaannya....
Jadi, jangan lagi Pendekar Slebor dan Nofret berbisik di ujung ruangan itu
dengan suara yang demikian halus.
Berbisik di seberang lautan pun, si Kepala Kacang mungkin masih sanggup
mendengarnya. "Cepat tunggu apa lagi! Serahkan peta piramida itu padaku!" bentak Kepala
Kacang, murka besar. "Atau...."
Si Kepala Kacang langsung menyeret ujung sen-
jatanya ke kulit leher Nofret. Maka tersayatlah kulit halus itu cukup dalam,
mengalirkan darah..., merah membentang panjang.
Nofret memekik. Sedang Andika tercekat. Mulailah
darah Pendekar Slebor menggelegak. Tindakan itu
dianggapnya sebagai perbuatan pengecut. Andika memang paling muak terhadap
manusia pengecut. Tapi jauh lebih muak terhadap manusia yang berbuat semena-mena
terhadap orang selemah Nofret. Kalau kedua-duanya ada dalam sosok si Kepala
Kacang, maka jangan harap mata elang Andika tak berkilat-kilat saat menatapnya.
"Segores lagi kau melukai gadis itu, tubuhmu akan kucincang menjadi daging
paling halus yang pernah ada!"
ancam pemuda dari Lembah Kutukan itu seiring getaran kuat pada setiap penggal
katanya. "Kalau kau tak memberikan papirus itu padaku, maka bukan saja gadis ini akan
kuhadiahkan goresan. Bahkan aku bersedia membelah lehernya dan kuhisap otaknya!"
tandas si Kepala Kacang tak main-main.
Terlihat jelas dari gerak bibir laki-laki berkepala kecil itu yang melekuk
memperlihatkan sepasang gigi taring.
Dengan menarik napas sesak akibat harus mem-
bendung kemarahan, Andika mau tak mau mengeluarkan juga peta piramida yang di
nginkan si Kepala Kacang.
"Lemparkan itu padaku! Jangan coba macam-macam!
Nyawa gadis ini tergantung tindakanmu, Pendekar Slebor!"
lanjut si Kepala Kacang memberi perintah sekaligus peringatan.
Pendekar Slebor menurut. Dilemparnya gulungan
papirus di tangannya hati-hati.
Begitu tiba di depannya, tangan si Kepala Kacang
yang masih bebas segera menangkap. Sementara, tangan yang lain masih tetap
menempelkan senjatanya di leher Nofret.
"Menyingkir dari tempaimu berdiri, Pendekar Slebor!"
perintah lelaki jangkung itu lagi.
Andika menuruti kembali. Masih dengan tatapan
menghujam mata lawan, kakinya melangkah menepi.
Setelah terbuka jalan baginya, si Kepala Kacang pun meninggalkan ruangan dengan
tetap menyandera Nofret.
Amat berhati-hati lelaki pemuja iblis itu menyurutkan langkah, menuju pintu
keluar. Sekilas setelah tubuh lelaki iblis tadi menghilang di balik dinding. Tiba-
tiba.... "Aaagrrrh...!"
Mendadak segenap tempat itu disentak oleh erangan
tinggi menggemuruh. Begitu keras sehingga sulit dibedakan, apakah berasal dari pita suara Nofret atau si Kepala Kacang.
Mendengarnya, jantung Pendekar Slebor seperti
herldak berhenti berdetak. Khawatir sekali pemuda itu pada keselamatan Nofret
yang semenjak dikenalnya terus saja menyihir perasaannya ke segenap sudut
hatinya. Saat itu juga, Andika langsung memburu ke pintu
ruangan. Tindakan itu pun dilakukan yang lain. Kecuali Pendekar Dungu, tentu
saja. Lelaki tua berotak bebal itu masih terus sibuk 'membenahi' kotoran
hidungnya yang masih saja menumpuk tebal meski sudah dicukil-cukil sekian waktu.
Di balik pintu, tepatnya sekitar lima tombak di lorong yang menghubungkan Ruang
Para Undangan dengan ruang lain, tampak si Kepala Kacang sedang meronta-ronta
serabutan dengan sekujur tubuh diselubungi api besar!
Tak jauh darinya, Nofret berdiri lurus dalam keadaan tegang. Matanya yang tajam
menusuk setiap gerakan liar orang yang baru saja menyanderanya. Mata yang
sebelumnya selembut serat sutera itu, kini berubah menjadi sekeras baja,
seberingas naga wanita!
Semuanya dicerna dalam otak cemerlang Pendekar
Slebor. Dengan cepat, otaknya mengambil kesimpulan pula bahwa si Kepala Kacang
baru saja kena batunya. Andika yakin, Nofret sedang mengerahkan kekuatan sihir
dari sepasang matanya!
"Modar! Biar modarlah kau! Tinggal pilih! Mau jadi daging panggang, kambing
guling..., atau guling panggang yang diguling-guling! Hie-he-he!" sorak Andika.
Kewibawaannya sebagai pendekar dengan nama
besar, menguap begitu saja. Memang begitulah dia. Tak heran kalau dirinya
disematkan dengan julukan Pendekar
Slebor! Dari belakang Andika, si bangkotan berotak bebal
tiba-tiba menyeruduk.
"Ada apa ini" Ada apa ini?" tanya Pendekar Du?ngu dengan wajah berseri. "Aku
dengar tadi ada yang menyebut-nyebut kambing guling?"
Kegembiraan Pendekar Slebor cepat berakhir. Tak
lama kemudian, si Kepala Kacang tampaknya bisa
menguasai keadaan....
Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan
bagaimana si Kepala Kacang dapat mementah-kan
kekuatan sihir Nofret dengan kekuatan hitam nya....
*** 9 Apa yang dipertontonkan antara Nofret dengan si
Kepala Kacang benar-benar memukau. Selesai para
undangan lain terpana menyaksikan bagaimana tubuh
lelaki berkepala kecil itu tiba-tiba dikepung api besar, kini mereka diseret ke
terpanaan lain. Si Kepala Kacang tiba-tiba meregang dalam kobaran warna merah
yang menggila. Kulit tubuhnya sudah meleleh, memunculkan gelembunggelembung lemak berwarna
putih kemerahan. Pakaiannya pun sudah tak lagi berbentuk, menyatu dengan
kelupasan kulitnya!
Saat selanjutnya, dari kerongkongan pemuja iblis itu terlompat keluar suara aneh
bagai senandung upacara para makhluk halus.
"Ngg.. , ngggssshhhsss. . "
Asing, lamat, tapi juga menusuk.
Lalu, kepungan api ciptaan Nofret menjauh perlahan.
Seakan dari tubuh si Kepala Kacang keluar lapisan kaca yang membentengi dirinya
dari kepungan api.
Jengkal demi jengkal, kepungan api ciptaan Nofret
menjauh dan menjauh. Ketika jaraknya sudah mencapai sekitar tiga tombak, kobaran
api itu mendadak pupus ditelan kabut hitam pekat yang mendadak muncul.
Mengambang lamat dan bergulir lamban.
Dari setiap jengkal gumpalan kabut, bersembu-lanlah jutaan ulat-ulat berlendir
kuning kental menjijikkan. Persis, seperti ulat-ulat yang menggerogoti bangkai
Biksu Punuk Tebal dan laki-laki suami dari Manyar Wanita!
Kini jelas sudah, kalau kematian suami Manyar
Wanita adalah perbuatan si Kepala Kacang. Jauh di dasar benak hitamnya, pemuja
iblis itu rupanya tak bisa
mengendalikan hasrat haus darahnya!
Memang. Sementara para undangan menanti tengah
malam menjelang, pada saat yang sama purn-ma keempat telah jatuh. Itulah waktu
bagi si Kepala Kacang untuk mempersembahkan satu nyawa manusia bagi para iblis.
Mau tak mau dia harus mencari tumbal ilmu sesatnya. Dan nasib buruk ahirnya
jatuh menimpa suami Manyar Wanita.
Dialah yang dianggap cocok oleh si Kepala Kacang sebagai tumbal.
Begitu bola mata besar si Kepala Kacang sudah tak
berkelopak lagi melirik Nofret, gumpalan kabut itu melayang cepat menuju Nofret.
"Nofret! Menyingkir dari sana!" teriak Pendekar Slebor memperingati.
Tapi, Nofret sepertinya tidak ambil peduli. Gadis itu tetap berdiri lurus,
menatap lawannya.
Pendekar Slebor tentu saja tak akan membiarkan
gadis yang disenanginya itu menjadi korban kesekian dari ulat-ulat iblis
peliharaan si Kepala Kacang. Segenap tenaga tubuhnya melesat memburu ke arah
Nofret. "Hiaaa!"
Grap! Seketika Pendekar Slebor menyergap tubuh sintal
Nofret dalam gerakan singa menerkam. Usahanya tidak sia-sia. Hanya berjarak
sekitar setengah jengkal, kabut hitam pekat itu menebas atas kepala Nofret.
Kedua anak muda itu bergulingan di lantai. Andika
sudah tak peduli lagi, apakah dadanya menyentuh dada padat menantang milik
Nofret. Atau, bahkan menindihnya.
Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah menyelamatkan Nofret. Apalagi ketika tanpa diduga, kabut hitam pekat si Kepala
Kacang menaburkan ulat-ulat dari dalamnya ke lantai tempat Pendekar Slebor dan
Nofret bergulingan.
Makin kelimpungan saja Pendekar Slebor. Dia
bergulingan lincah kian kemari, bersama tubuh Nofret yang dirangkul erat-erat.
Setiap ulat yang bisa dihindari, melesak masuk ke
lantai dari batu pualam yang kerasnya tidak diragukan.
Seakan batu alam itu tak Iebih dari hamparan lilin dijatuhi percikan bara.
"Hiak-hiak!"
Pendekar Dungu mencak-mencak tak karuan. " Wih, seru nih! Aku paling suka acara
mesum seperti itu!" koar lelaki bebal itu masih juga ngaco.
Di sudut lain, hamburan ulat-ulat dari kabut hitam makin lebat mencecar.
Zesss! Zesss! Klap-klap!
Bunyi pualam tertembus lendir beracun yang panas
luar biasa berseliweran di sekitar tubuh sepasang anak muda itu.
Kini sudah saatnya bagi Andika untuk melepaskan
kain pusaka bercorak caturnya. Keadaan sudah tak
memungkinkan lagi baginya untuk sekadar menghindar.
Secepat tangannya bergerak, secepat itu pula kain
bercorak caturnya dikebutkan beberapa kali.
Srat! Cletar-cletar! Prat!
Kelebatan cepat kain pusaka itu membentuk pa-yurig, melindungi Pendekar Slebor
dan Nofret. Pualam mungkin bisa dijadikan makanan empuk lendir beracun ulat-ulat
itu. Tapi, tidak bagi Kain Pusaka Pendekar Slebor.
Setiap kali binatang-binatang dari alam kegelapan itu menyentuh senjata Pendekar
Slebor, setiap kali pula terdengar bunyi halus seperti sesuatu yang lembek
tertimpa benda keras.
Makin banyak ulat menghujani kain pusaka itu, maka makin sering terdengar suara
halus tadi. Sementara asap tipis berwarna kuning pun mulai menggumpal di atas
putarannya. Panas lendir beracun yang tak mampu
menembus kekuatan kain pusaka Pendekar Slebor
rupanya penyebabnya.
Sampai suatu ketika....
"Khiaaa!"
Sekujur urat leher Andika meregang tegang. Pita
suaranya meluncurkan jeritan, pertanda amukan kemarahan. Kemudian disusul sebuah dorongan tenaga dalam tingkat ke sembilan
belas terlepas dari satu tangan.
Sasarannya, adalah kabut gelap kental.
Brash! Sekedip mata saja, kabut buatan Kepala Kacang si
pemuja iblis berhamburan menjadi pecahan-pecahan kecil.
Setelah menghambur dalam bentuk yang semakin kecil, seluruh kabut itu pupus.
Kini tak ada lagi bunyi-bunyi anehyang membuat mual siapa pun pendengarnya. Tak
ada lagi. Ruangan berubah sunyi. Andika yang mengira si Kepala Kacang akan
mengirim serangan susulan, sudah tak menemukan lelaki itu lagi di tempatnya.
"Ke mana biang borok itu"!" umpat Andika membatin.
Plok! Plok! Plok!
Sahutannya adalah suara tepukan ramai Pendekar
Dungu. "Tegang-tegang! Ayo, siapa yang tidak tegang pasti sudah tidak waras...,"
celoteh lelaki bebal ini semakin ngawur.
*** "Kepala Kacang! Kita harus segera mengejar lelaki itu, Andika!" sergah Nofret,
setelah keadaan menjadi tenang kembali. "Dia telah tahu ruang penyimpanan Pusaka
Para Ahli Sihir Raja! Dengan ilmu iblisnya yang kini dimiliki saja, dia sudah
demikian berbahaya. Apalagi jika berhasil mendapatkan benda-benda pusaka itu!"
Tak seperti kebiasaannya yang
hanya sedikit berbicara, Nofret kali ini terlihat meledak-ledak. Bisa jadi karena begitu
khawatir akan terjadi bencana besar


Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimpa banyak orang, jika manusia pemuda iblis macam Kepala Kacang mendapatkan
kekuatan tambahan.
"Ya, aku sadar. Bukankah karena itu pula peta di atas papirus.itu menyebut-
nyebut tentang kekuasaan tertinggi"
sahut Andika menanggapi. Dia berusaha untuk setenang mungkin.
"Sejak tadi aku mendengar kalian menyebutkan
tentang peta. Peta apa yang kalian maksud?" tanya Kenjiro, menyela.
Lelaki bertubuh gempal dari negeri Sakura itu selalu saja sulit untuk menahan
keingintahuannya. Tak seperti Hirono yang berpembawaan lebih tenang dan mantap"
Karena merasa sudah tak berguna lagi dirahasiakan, Pendekar Slebor akhirnya
menceritakan dengan singkat tentang peta yang didapat ketika bersama Nofret.
"Astaga...," desis Putri Ying Lien. "Kalau begitu, benar kata Nofret. Lelaki itu
harus segera dicegah!" Wajah gadis dari Cina ini sekhawatir Nofret.
Andika menautkan alis legamnya. Biarpun berusaha
tetap tenang, tak urung wajahnya menyiratkan kekhawatiran pula.
"Tapi, masalahnya kita tak memiliki peta itu lagi,"kata Nofret, terdengar putus
asa. "Jangan khawatir! Sebelumnya, aku sudah khawatir peta itu jatuh ke tangan
seorang berhati iblis di .intara kita.
Karena itu, diam-diam aku membuat salinannya. Kupikir, seandainya peta itu jatuh
ke tangan orang sesat, aku masih bisa berbuat sesuatu...," papar Andika ringan.
"Mana salinan itu, Andika?" tanya Chin Liong hergegas.
Chin Liong melihat Andika yang terlalu acuh itu
membuatnyajadi agak tak sabar. Bukan apa-apa. Dia
hanya khawatir si Kepala Kacang berhasil mendapatkan benda-benda pusaka seperti
ucapan Nofret tadi.
Andika menunjuk keningnya.
"Di sini," jelas Pendekar Slebor singkat.
*** 10 Ruang penyimpanan Pusaka Para Ahli Mesir Raja
terletak jauh di dasar gurun. Letaknya beberapa kali lebih dalam daripada ruang
penyimpanan harta. Tampaknya
piramida kuno itu benar-benar dirancang secara istimewa oleh pemiliknya.
Tak terlalu sulit untuk sampai di ruang itu sebe-
narnya. Namun karena selama ini dirahasiakan, ruangan itu tak pernah ada yang
tahu. Nofret selaku orang yang dipercaya untuk memandu
para undangan pun, baru kali itu mengetahui. Bahkan mungkin ayahnya yang seorang
Pendeta 'Ka' pun tak
pernah mengetahui.
Halang-rintang pun tak pernah muncul sepanjang
lorong menurun, menuju ruang tersebut. Sungguh tak sebagaimana mestinya ruang
yang teramat rahasia.
Biasanya si empunya bangunan akan membuat
semacam jebakan-jebakan yang menghambat orang lain, bila hendak memasukinya.
Anehnya, lorong menuju ruang itu justru tidak memiliki pengaman sedikitpun!
Keadaan ini memereikkan kec urigaan di dasar benak Pendekar Slebor. Namun
setelah dipikir ulang, bisa saja Sang Ratu pemilik piramida sengaja merancang
seperti itu, agar tidak menimbulkan kecurigaan kalau lorong ini menuju sebuah
ruang penyimpanan benda paling penting.
Secara beriringan, rombongan undangan itu menyusuri lorong sempit menurun berliku-liku. Makin ke dalam, mereka seperti
sedang menyusuri labirin tak berujung pangkal. Melelahkan dan menyebalkan.
"Slompret! Kenapa kalian seperti tidak punya kerjaan berjalan di selokan tikus
seperti ini, sih?" gerutu Pendekar Dungu, mulai uring-uringan. Dengkul tuanya
mulai tak bisa diajak berdamai, setelah sekian lama berjalan.
Untung saja ada Putri Ying Lien di dekatnya. Setiap kali si tua bangka itu
hendak macam-macam, gadis itu menjawil bahunya. Diberinya tua bangka berotak
bebal ini senyum kecil agak menggoda. Kalau sudah begitu,
Pendekar Dungu akan membusungkan dada datarnya
hebat-hebat, walaupun sebenarnya terasa dipaksakan.
"Kira-kira, sampai berapa jauh lagi kita berjalan?"
tanya Kenjiro sesak.
Napas lelaki asal negeri Matahari Terbit itu turun naik tak teratur. Bagi orang
bertubuh tambun seperti dia, perjalanan seperti itu benar-benar menjadi siksaan.
"Apa kita tak salah jalan" Apa yang kita masuki ini justru jalan tak berujung
pangkal yang cuma jebakan"
Apa...," lanjut Kenjiro.
"Apa tak sebaiknya kau mengunci mulut?" sambar Pendekar Slebor.
Sudah dongkol mendengar keluhan seorang tua
bangka, ada lagi keluhan manusia kelebihan lemak! Maki Andika dalam hati.
Sampai akhirnya penyusuran yang memang memuakkan itu berakhir, ketika Pendekar Slebor yang berada paling depan
mengangkat tangan memberi aba-aba untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Chin Liong berbisik.
"Aku tak tahu, apakah kita sudah tiba di ruang penyimpanan benda pusaka atau
tidak. Yang jelas, aku menemukan pintu yang menjadi jalan masuk menuju satu
ruang besar," lapor Andika, berbisik pula.
"Manusia iblis itu ada di sana?"tanya Nofret menyela.
Andika menggeleng.
"Ada yang aneh dengan ruang itu...," duga pemuda Lembah Kutukan itu. Matanya
lekat mengawasi segenap ruangan dari sisi pintu.
Chin Liong yang berdiri tepat di belakang Andika jadi kepingin tahu. Dengan
hati-hati, dia ikut mengintip dari sisi pintu."Aku tidak melihat apa pun yang
aneh. Ruang itu hahkan tidak ada apa-apa...," kata Chin Liong, menduga pula.
"Justru karena tidak ada apa-apa di sana, aku
mengatakan aneh!" sergah Andika. "Apa kau tak mem-bandingkan dengan ruangan-
ruangan lain yang penuh
segala tetek bengek. Sementara, dinding ruangan satu ini bahkan tidak memiliki
lukisan seperti ruangan lain...."
"Heyyy! Slompret benaran! Kenapa jalannya jadi mandek!" seru Pendekar Dungu di
deretan paling belakang.
Andika mengeraskan rahangnya. Geram sekali hatinya pada tua bangka itu.
Sementara orang lain sudah berusaha berhati-hati, bahkan harus berbicara secara
berbisik-bisik pula, si bebal itu malah seenaknya teriak-teriak!
Kegeraman Andika pada kelancangan bacot si
bangkotan memang beralasan. Begitu suara serak seperti beduk pecah milik
Pendekar Dungu berpantul di sisi-sisi lorong.... Grrrhhh!
Mendadak saja lorong tempat mereka berdiri
bergetar. Getaran amat hebat yang pernah dirasakan selama berada dalam Piramida
Tonggak Osiris...
Drrrhhh...! Lalu dinding sebelah kiri mereka menyusul terkuak
besar. Tinggi kuakan sekitar empat tombak. Sedang
lebarnya sekitar lima tombak. Dinding dari susunan batu alam yang tebalnya luar
biasa itu kini membentuk satu pintu masuk lain. Artinya, mereka kini menemukan
dua ruang. Salah satunya, harus dipilih untuk dimasuki....
Tidak hanya sampai di situ. Di sisi dinding yang lain pun secara berurutan
membentuk pintu-pintu baru,
berukuran sama disertai getaran pula. Setiap kali satu pintu sepenuhnya terkuak,
menyusul pintu yang lain di seberangnya. Terus begitu, hingga seluruh pintu kini
berjumlah sembilan.
"Hm.... Permainan puncak tampaknya baru saja
dimulai...," gumam Andika disertai ringisan kecele.
Dugaan Pendekar Slebor kalau lorong itu tak memiliki halang rintang apa-apa,
ternyata meleset. Untuk sampai di ruang yang dituju, satu-satunya cara adalah
memilih salah satu pintu masuk. Bukan tidak mustahil kalau salah masuk, mereka
malah dihadang tangan Dewa Osiris. Dewa
Kematian..., "Bagaimana selanjutnya Andika, San*" tanya Hiroto, meminta pertimbangan Pendekar
Slebor. Andika garuk-garuk kepala. Otak encernya entah
kenapa menjadi beku menghadapi rentetan teka-leki
memusingkan di bangunan kuno ini. Asal jangan sampai sebeku Pendekar Dungu saja.
Kata batin Andika,
menghibur diri sendiri.
"Bagaimana Andika?" ulang Chin Liong.
"Kali ini, apa sebaiknya ditanyakan pada Nofret saja?"
kilah pendekar muda tanah Jawa itu.
Memang siapa tahu, gadis Mesir itu memiliki
pertimbangan lain yang lebih baik. Padahal kalau mau jujur, Andika mengakui
kalau pikirannya sudah demikian mumet.
Nofret tak buru-buru menanggapi. Mata lentik nan
jelinya sibuk mengawasi setiap pintu yang mem-bentang di sekitar mereka.
"Begini saja...," kata Nofret akhirnya. "Kita bagi rombongan menjadi sembilan.
Karena jumlah kita persis sembilan orang, maka setiap orang akan memasuki satu
pintu...."
"Gila! Ini namanya berjudi dengan nyawa!" bantah Kenjiro.
"Tapi, hanya itu kesempatan kita agar cepat tiba di ruang penyimpanan benda
pusaka. Bukankah kita tak ingin si Kepala Kacang mendahului kita?" sergah
Nofret, memberi alasan jitu.
Yang lain diam tanda setuju. Dan suka tak suka,
Kenjiro pun terpaksa menyetujui.
Kini, mulailah mereka memisahkan diri. Masing-
masing memasuki satu pintu. Apa pun yang terjadi dalam ruang yang dimasuki, akan
menjadi tanggung jawab
masing-masing untuk menghadapinya. Termasuk, kemungkinan bentrok dengan si Kepala Kacang. Atau, bentangan jebakan demi
jebakan maut yang sejak semula selalu mengintai.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak di nginan, Pendekar Slebor mengusulkan agar
mereka berkumpul kembali ke tempat semula dalam waktu sekian lama. Jika salah
satu tidak ada yang kembali ke ruang semula, maka yang lain akan segera
menyusul. Usul Pendekar Slebor disetujui. Biarpun, hanya satu-dua orang yang menanggapinya
dengan sung-guh-sungguh.
Namun kebanyakan mereka merasa harga dirinya terusik, selaku orang persilatan.
*** Pendekar Slebor mulai melangkahkan kakinya ke
ruang pertama. Ruang besar yang polos itu tetap ilingin menyambut kehadirannya.
Tanpa lukisan dan tanpa
seonggok perabotan, bukan berarti ruang itu tak mungkin menghadirkan ancaman
seperti ruang-ruang lain. Kejelian naluri kependekaran anak muda itu tetap masih
mampu merasakan adanya bahaya tersembunyi. Diam, tapi setiap saat bisa berakibat
sangat buruk. Seluruh kesiagaan diri Pendekar Slebor terbangun.
Jika setiap langkah bisa berarti kematian, maka pada setiap langkah pun, dia
mencoba waspada.
Andika berhenti sebentar,
setiap kali kakinya
melakukan jejakan ringan di lantai. Matanya mengawasi tajam seluruh ruangan.
Tangannya siap di depan dada, dalam bentuk kuda-kuda siap tarung. Kalau tidak
terjadi apa-apa, barulah memulai langkah selanjutnya.
Pada langkah yang kesekian....
Psss! Tiba-tiba bergulung-gulung
asap kelabu pekat berhembus dari seluruh celah dinding batu. Begitu gencar.
Sampai dalam waktu tak terlalu lama, seisi ruangan sudah habis terkepung.
Andika cepat memutus pernapasannya. Urat dadanya
ditahan kuat-kuat. Tak ada seorang pun yang akan sudi mencari bahaya dengan
menarik napas dalam ruangan
berbau maut seperti itu. Andika sendiri sudah begitu yakin kalau asap itu
mengandung racun. Bisa saja, salah satu racun terganas yang pernah ada di bumi
ini. Dengan perhitungan asap pekat itu akan bertahan
lama dalam ruangan, Pendekar Slebor memutuskan untuk segera meninggalkan tempat
ini. Sekuat-kuatnya paru-paru Andika tak akan sanggup bertahan sampai
sepeminuman teh.
Perhitungannya ternyata tak semulus dalam benak.
Belum lagi kaki Pendekar Slebor digenjot, asap tebal tadi sudah mengaburkan
pintu keluar. Bahkan saat berikutnya, pintu keluar benar-benar tak lagi nampak.
Di sana-sini hanya ada kepekatan yang tersaput warna kelabu.
Dalam kepungan keadaan menjengkelkan seperti itu,
biasanya Pendekar Slebor akan menyemburkan makian-
makian manis. Tapi, sekarang ini jangan sekali mencoba-coba! Sedikit saja
membuka jalan napas, asap itu akan langsung melabrak dinding paru-parunya!
Kelimpungan. Hanya itu yang bisa diperbuat anak
muda urakan ini. Matanya berkeliaran, terus mencari jalan keluar. Tapi, tetap
tak ditemukan. Tubuh nya bergerak tak kalah liar. Tangannya menyibak-nyibak
asap, mencoba membuat jalan pada pandangannya. Juga tetap sia-sia.
Sementara itu waktu merangkak cepat, mendalangi
Pendekar Slebor dengan juluran tangan mautnya. Dan sementara itu pula, udara
dalam paru-paru Andika sudah tidak bisa lagi dipertahankan.
Dada anak muda itu menjadi sesak luar biasa. Otot-
otot di bagian dadanya mulai merontaki dirinya dengan gelialan rasa nyeri.
Akibat kekurangan udara, kepalanya pun mulai berkunang-kunang. Sekejap lagi,
saraf di paru-parunya akan menarik udara, tanpa bisa lagi dikendalikan.
Anak muda itu siap menghirup asap dalam ruangan!
Dalam saat-saat di mana Andika sudah tak bisa lagi menguasai dirinya, terdengar
bisikan seorang wanita.
Warna suaranya halus menggoda. Sekaligus, lamat
menggidikkan....
"Sementara menunggu tepat tengah malam, kalian tidak pemah menyadari kalau
tengah malam itu sudah terlampaui Yang kalian telah alami, itulah yang kujadikan
hidangan. Namun jangan mengira tak ada hidangan lain....
Karena upacara akan segera dimulai!
** * Apakah yang bakat terjadi pada diri sang pendekar
muda tanah Jawa itu" Hidangan apa lagi yang akan ditemui Andika, dan para
undangan lain"
Apakah yang didengar Pendekar Slebor adalah bisikan Ratu Mesir dari zaman
sebelum masehi" Ataukah, wanita itu sebenarnya masih hidup"
Jangan lewatkan ketegangan selanjutnya dalam
episode: WARISAN RATU MESIR
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel


Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Hong Lui Bun 1 Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Kitab Serat Biru 1
^